Selasa Kliwon, 27 September 2016
SOSOK
KARANGASEM
13
Warga Protes, Mete Muntigunung Dibeli Murah Amlapura (Bali Post) Desa Adat Muntigunung, Tianyar Barat, Kecamatan Kubu, yang selama ini dikenal dengan kampung pengemis, menyimpan potensi komoditas mete. Buah mete di desa setempat, selama belasan tahun dibeli oleh Yayasan Dian Desa. Yayasan ini dikelola seorang turis asing. Kini, warga Muntigunung protes. Persoalannya, selama belasan tahun mete mereka dibeli dengan harga murah. Mereka menuntut adanya peningkatan harga dan transparansi data produksi mete, yang selama ini terkesan disembunyikan.
Tuntunan Kitab Suci KETERBATASAN ekonomi membuat warga Desa Munti Gunung yang tinggal terpencar di pegunungan tidak bisa berbuat banyak. Jangankan untuk membangun sanggah, tempat ibadah keluarga di pekarangan rumahnya, untuk makan saja mereka susah dan harus menggepeng. Bendesa Pakraman Munti Gunung Gede Putu Dana mengatakan warga Munti Gunung, perlu membangun merajan atau sanggah sebagaimana digariskan Mpu Kuturan. Tiap rumah tangga harus memiliki sanggah rong tiga. ‘’Selain warga kami memang kurang mampu, dari segi agama mereka juga tidak mengerti. Karena itu, perlu diberikan penyuluhan agama. Apalagi kini Kementerian Agama sudah memiliki penyuluh agama dan Pemprov Bali telah mengontrak penyuluh Bahasa Bali,’’ tegas Gede Putu Dana. Saat Bupati Karangasem IGA Mas Sumatri bertatap muka dengan ratusan KK penggepeng di Taman Soekasada Oejoeng, pihaknya sebagai bendesa adat di desa tandus itu sudah melaporkan kebiasaan warganya. Dikatakan, warganya lebih percaya kepada hasil nunas baos atau maluasan kepada balian sakti di desanya, dibandingkan menjalankan agama sesuai ajaran yang disampaikan tokoh agama atau sulinggih. ‘’Saya lihat warga justru banyak membangun sanggah kembar. Tradisi lainnya, ketika anggota keluarga sakit, mereka bukannya berobat ke puskesmas atau ke dokter, malah nunas baos ke balian sakti. Kemudian balian meminta membangun sanggah kembar. Jadi satu KK ada yang punya enam atau delapan sanggah kembar. Saat hari tertentu dipandang baik, mereka juga ngerainin di sanggah dan banyak nguling babi,’’ paparnya. Putu Dana mohon kepada pemerintah terutama Kementerian Agama agar membantu ngelaca-laca (melihat -red) warganya di Munti Gunung. Mereka perlu diberikan siraman rohani dan tuntunan beragama sesuai dresta di Bali dan mengacu kitab Weda. Perlu juga menggunakan bahasa sederhana. Tidak perlu bahasa Bali halus. Bila perlu dialek Munti Gunung. ‘’Kalau pakai Bahasa Indonesia sulit dimengerti. Semoga kebiasaan nunas baos ke balian sakti itu menurun. Sudah waktunya, mereka mengikuti tuntunan dari kitab suci agama. Ini penting agar warga kami senang tinggal di desa. Tidak lagi mereka keblas-kebles’ ke luar daerah luas menjadi peminta-minta,’’ tandasnya. (bud)
Tuntutan warga itu disampaikan Perbekel Tianyar Barat, Agung Pasrisak Juliawan, belum lama ini. Dia mengaku prihatin, potensi mete yang begitu besar di Muntigunung tidak banyak berkontribusi terhadap kesejahteraan warga setempat. Hal itu dikarenakan pihak yayasan tak pernah memberikan harga yang layak untuk mete Muntigunung. Sejak dirinya menjabat perbekel, dia mengaku sempat memanggil pihak pengelola Yayasan Dian Desa ini. Pemanggilan itu untuk membahas masa depan mete dan para petaninya. “Saya minta laporan hasil penjualannya. Karena selama ini manajemen yayasan itu terkesan tertutup. Tidak ada yang tahu, berapa banyak dia jual mete Muntigunung. Lima belas tahun saya lihat mereka mengambil mete di Muntigunung, tapi nasib warga kami tak banyak berubah,” katanya. Selama ini, hasil produksi mete Muntigunung ternyata banyak dijual ke hotel-hotel dan restoran di Indonesia. Bahkan, hasil produksinya juga dijual ke
luar negeri, seperti Singapura. Dia mengetahui hal itu, setelah melihat langsung mete hasil produksi dari Muntigunung, dengan label Mete Muntigunung. Untuk menuntaskan masalah ini, pihaknya berencana kembali memanggil pihak Yayasan Dian Desa. Jika tidak ada solusi peningkatan nilai jual mete Muntigunung, pihaknya akan meminta warga mencari pasar lain. Masih banyak pasar alternatif yang menjanjikan nilai jual mete lebih tinggi. Salah satunya melakukan kerja sama dengan koperasi dan pusat-pusat perbelanjaan yang ada di Bali. Dia yakin, selama ini yayasan ini meraup untung besar dari penjual mete Muntigunung. Mereka membeli dengan harga sangat murah dari petani, namun menjualnya dengan harga cukup tinggi ke hotel-hotel dan ke luar negeri. Salah satu potensi mete ini akan terus digali, berapa persisnya rata-rata petani menjual mete Muntigunung ini, karena setiap petani memberikan harga berbeda-beda. Petani yang masih bertahan
Bali Post/dok
POTENSIAL - Pohon mete, ternyata komoditas yang potensial di Muntigunung, Tianyar Barat, Kubu. Hanya, selama ini produksi mete dari warga dibeli relatif murah oleh Yayasan Dian Desa. dengan buah mete, ada sekitar tiga kelompok tani. Mete ini memiliki potensi besar, sebagai salah satu upaya mengubah wajah Muntigunung dari kesan tempat gepeng atau pengemis. Pihaknya belum mengantongi data, berapa jumlah luasan areal pertanian mete maupun jumlah petani yang menekuni pertanian mete ini. Hingga berita ini ditulis, pihak Yayasan Dian Desa belum bisa dimintai konfirmasi. Jarang ada yang tahu bagaimana cara kerja
Amlapura (Bali Post) – Belakangan ini sering terjadi kecelakaan di jalur lalu lintas galian C. Sudah beberapa kali, pengendera sepeda motor menabrak truk yang parkir di pinggir jalan di Karangasem. Tidak sedikit peristiwa itu hingga merenggut korban jiwa. Karena itu, hal itu mendesak dicarikan solusi. Ketua DPRD Karangasem Nengah Sumardi dan sejumlah anggotanya seperti Gede Dauh Suprapta dan Gusti Agung Dwiputra, Senin (26/9) kemarin di Karangasem, mengatakan perlu disediakan tempat beristirahat (rest area) bagi sopir truk galian C. Areal parkir untuk tempat istirahat para sopir berikut truknya itu, perlu disiapkan agar truk-truk tidak berderet parkir di jalur jalan sempit. Alasannya, hal itu mengundang angka lakalantas di jalur itu. Sumardi mengatakan, tak perlu merasa sulit menyediakan tempat parkir itu. Soalnya, pemkab atau pemprov memiliki lahan. Lahan pemerintah bisa ditukar dengan tanah masyarakat di lokasi yang perlu disediakan tempat rest area itu. ‘’Rest area dimaksud tak perlu mewah, cukup lapangan parkir, ada WC. Nanti dengan sendirinya di sana muncul pedagang minuman dan makanan. Selain lalu lintas lebih aman, kemacetan terhindari, kita harapkan memberi dampak peningkatan ekonomi warga. Karena sudah pasti warga akan membuka warung baru di sekitar tempat beristirahat itu,’’ papar Sumardi. Selama ini, setelah penutupan galian C bodong di Kecamatan Rendang, Selat dan Bebandem, ribuan sopir truk galian C beralih membeli pasir ke galian C di Kecamatan Kubu. Angka lakalantas meningkat di jalur KubuAmlapura-Yeh Malet. Di jalan sempit dan lurus di Puahan, Datah, dua kali terjadi kasus lakalantas dengan empat korban tewas di tempat akibat menabrak bak besi truk galian C yang parkir di tepi jalan yang kondisinya gelap pada malam hari. Total sudah delapan korban tewas lakalantas di jalur itu dalam beberapa bulan ini. Korban lainnya luka ringan dan berat. Bupati Karangasem IGA Mas Sumatri, sependapat dengan DPRD Karangasem. Menurutnya, memang perlu disediakan tempat parkir bagi truk galian C. Parkir itu penting untuk mendinginkan ban truk berbeban galian C berat itu. ‘’Saya segera memerintahkan Kadishub agar melakukan penjajakan. Di lokasi mana perlu disediakan tempat parkir truk galian C yang ramai itu. Truk tidak boleh parkir sembarangan di badan jalan yang sempit dan membahayakan,’’ paparnya. Kadishub Karangasem Wayan Sutapa usai rapat rutin dengan Bupati Mas kemarin, mengatakan pihaknya sudah diperintahkan Bupati guna menjajaki lokasi rest area itu. Hematnya, perlu empat lokasi rest area, seperti yang diamatinya selama ini. Di mana sopir truk galian C berhenti mendinginkan bannya agar tak meledak, seperti di Puahan, di Berina, di Tirtagangga, di Bugbug. Selain itu di Candidasa atau di Buitan. ‘’Saya segera ke wilayah utara (Abang dan Kubu, menjajaki lahan yang bisa dipakai rest area itu,’’ ujar Sutapa. (013)
Dengan keterampilan itu, mereka yang ikut pelatihan berjanji tak akan menggepeng lagi. Mereka juga diberikan bantuan masingmasing Rp 5 juta, untuk modal awal selanjutnya berwirausaha sendiri. Dari data Dinas Sosial, setelah seratus gepeng bersedia berhenti mengemis, kini tinggal 38 kepala keluarga yang tercatat menjadi gepeng. “Data ini sangat akurat, by name, by adress dan by photo,” kata Kepala Dinas Sosial, Made Sosiawan. (kmb31)
Batas Waktu Habis
Penertiban Alat Berat Berakhir Antiklimaks
Perlu Disiapkan ’’Rest Area’’
Minimalisasi Lakalantas di Jalur Galian C
yayasan ini, karena mereka bekerja secara tertutup. Pihaknya berharap pemerintah daerah juga bisa membantu mengangkat nilai jual mete ini, agar memiliki nilai lebih kepada petani. Selain memaksimalkan potensi pertanian mete, Agung Pasrisak Juliawan juga membekali warga setempat dengan keterampilan berwirausaha. Seperti yang dilakukan baru-baru ini, yakni melatih lebih dari seratus gepeng berwirausaha, membuat dupa dan anyaman daun lontar.
Bali Post/kmb31
BANTEN PEBANGKIT - Para pangayah istri sedang membuat sarana banten pebangkit di pura setempat, Senin kemarin.
Purnama Kelima, Puncak Karya di Pura Pucak Gunung Kembar Amlapura (Bali Post) Setelah menyelesaikan tahapan pembangunan selama 21 tahun, pangempon Pura Penataran Agung Pucak Gunung Kembar di Kenusut, akan menggelar karya mamungkah, nubung daging, dan ngenteg linggih. Puncak karya direncanakan berlangsung tepat purnama kelima, 14 November nanti. Berbagai persiapan sedang dilakukan di pura yang terletak di atas bukit Desa Adat Jumenang, Desa Bukit, Karangasem itu. Salah satu pemangku setempat, Jero Mangku Wayan Catra, Senin (26/9) kemarin, mengatakan saat ini pangayah istri disibukkan dengan berbagai rutinitas membuat kelengkapan sesajen dan banten lainnya. Seperti banten pebangkit dan banten suci. Sementara di jabaan pura, pangayah lanang disibukkan menyiapkan berbagai sarana lainnya, seperti warung
atau piranti upacara/upakara. Warga yang ngayah tak hanya dari Jumenang, ada juga dari desa adat lain yakni Bukit, dari Saren hingga Budakeling dan desa lainnya. “Nanti 8 Oktober baru kami menghias seluruh palinggih,” kata Jero Mangku Wayan Catra. Dudonan karya ini sudah dimulai sejak 24 Juli lalu, seperti ngakuagem karya, ngawit nangiang wewangunan, majaya-jaya hingga ngaturang piuning (mamiyut). Dilanjutkan 1 September melaspas wewangunan warung atau piranti upacara/upakara. Tepat 15 September lalu, ngarya sunari, nunas jatu sari sedana, pangeradan sedana, pamatuh, pangasih, penolak baya, pangemit karya, nuur bhatara tirta jagi nedtegang daging dan melaspas. Sehari berikutnya, 16 September lalu, melaspas sunari, sanggar tawang, negtegang daging hingga ngaturang yasa kerti. “18 Oktober
nanti baru melaspas palinggih, rsi gana, masesapuh, misudha gumi,” tegasnya. Sebelum digelar puncak karya pada 14 November nanti, tepat 3 November nanti, dilaksanakan melasti, ngaturang mapekelem, nuur tirta di Segara Ujung, Karangasem. Melasti nanti kapuput Ida Pedanda Gede Manu Siraga (Gria Sangkan Gunung Sidemen) dan Ida Pedanda Gede Made Demung Sogata (Gria Demung Culik). Kemudian 5 November mapepada wewalungan tawur balik sumpah agung. 6 November, dilanjutkan tawur agung balik sumpah agung, 9 November ngelemekin tawur hingga 11 November Ida Batara Masucian. Pada 13 November baru mapepada wewalungan karya, sebelum puncak karya sehari berikutnya. “Karya baru kasineb 25 November nanti,” katanya. (kmb31)
Amlapura (Bali Post) Sikap tegas pemerintah daerah terhadap penertiban alat berat di lokasi galian C bodong Kecamatan Selat, Bebandem, dan Rendang, berakhir antiklimaks. Setelah batas waktu penarikan alat berat selama sepekan berakhir Kamis (22/9) lalu, Tim Yustisi tak melakukan tindakan tegas bagi pengusaha yang belum menarik alat beratnya, sebagaimana ancaman sebelumnya. Tim Yustisi berdalih, tidak ada aturan jelas yang bisa dipakai dasar untuk melakukan tindakan tegas seperti itu. Kepala Satpol PP Pemkab Karangasem, Iwan Supartha, belum lama ini, mengatakan pascaturunnya surat imbauan penarikan seluruh alat berat dari lokasi galian C tanpa izin kepada seluruh pengusaha, mayoritas pengusaha memilih memarkir alat beratnya di rumah-rumah penduduk. Ketika diparkir di sana, Tim Yustisi mengaku tidak punya kewenangan mengangkut paksa. Padahal, pengangkatan paksa itu telah digembar-gemborkan pada awal upaya penertiban. ‘’Di tiga kecamatan ini harus steril dari alat berat,’’ ujar Iwan Supartha. Justru setelah habis batas waktu evakuasi alat berat, Tim Yustisi sempat rapat lagi. Waktu itu, pengangkatan paksa itu kembali dibahas. ‘’Nah, setelah didalami, rupanya Tim Yustisi tidak punya kewenangan memindahkan alat berat itu secara paksa,” tambahnya Atas situasi ini, pihaknya mengaku hanya melakukan upaya persuasif, baik kepada kalangan pengusaha maupun masyarakat setempat. Selain itu, guna mengontrol agar tidak ada lagi usaha galian C tanpa izin beroperasi, Tim Yustisi juga membuat beberapa pos penjagaan. Pos itu dijaga se-
tiap hari oleh personel lengkap Tim Yustisi. Dia belum berani memastikan, sampai kapan pos penjagaan ini diterapkan. Iwan Supartha mengklaim, adanya pos penjagaan ini bisa efektif, menjaga wilayah yang sudah ditertibkan agar tidak ada galian C bodong lagi. Sebelumnya, pemkab hanya memberikan waktu tujuh hari untuk mengosongkan lokasi galian C bodong dari seluruh alat berat para pengusaha. Ultimatum ini tertuang dalam surat pemberitahuan tertanggal 13 September yang diterima kalangan perbekel, Rabu (14/9) lalu, se-Kecamatan Selat. Surat tersebut juga disampaikan kepada Ketua DPRD, Kapolres, Kepala Kejaksaan Negeri Amlapura, Dandim 1623/Karangasem, Ketua Asosiasi Galian C, hingga MADP (Majelis Alit Desa Pakraman). Apabila ultimatum ini tak diindahkan dalam waktu tujuh hari sejak surat ini diterima, maka pemkab akan mengambil tindakan tegas sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam surat nomor 331.1/1016/ Satpol.PP/Setda tersebut juga melampirkan berita acara hasil rapat Forkopinda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah) 2 September lalu. Selain segera meminta pengusaha galian C bodong mengangkut seluruh alat beratnya, hasil rapat waktu itu juga menelurkan tindak lanjut peninjauan lapangan oleh Tim Gabungan. Peninjauan ini untuk mengkaji dampak sosial ekonomi akibat penutupan pertambangan galian C tak berizin itu. Hasil kajian dari Tim Gabungan ini diserahkan kepada Bupati Karangasem dan Forkopinda Karangasem, sebagai bahan pengambilan keputusan terhadap kebijakan selanjutnya dari Pemkab Karangasem. (kmb31)
Tingkatkan PAD
Pemkab Perlu Kelola Pelabuhan Rakyat Pemkab Karangasem mesti segera mengelola pelabuhan rakyat, selain itu bisa juga pelabuhan penyeberangan fastboat dalam kaitan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Logikanya, dari sana akan diperoleh masukan dalam wujud pajak, cukai sehingga secara potensial bisa meningkatkan APBD Karangasem. Di daerah mana saja pelabuhan penyebrangan itu perlu dikelola? APBD Karangasem tahun ini dipastikan turun drastis. Demikian juga pendapatan asli daerah (PAD). Kenapa pendapatan APBD Karangasem tahun ini disebutnya ‘’hancur lebur’’. Alasannya, dana
alokasi khusus (DAK) dari pusat sudah dipangkas Rp 53 miliar lebih. Selain itu, dana bagi hasil pajak dari Pemprov Bali juga dipotong belasan miliar. ‘’Kami di DPRD Karangasem sampai harus bolak-balik merasionalisasi anggaran dalam pembahasan KUPA/ PPASP,’’ ujar Ketua DPRD Karangasem, Nengah Sumardi, Senin (26/9) kemarin di Karangasem. Pria asal Banjar Kreteg, Sibetan itu menegaskan selama ini potensi pendapatan besar itu sudah ada. Di antaranya penyeberangan wisatawan dari Padangbai ramai. Kendati, dermaga rakyat di utara Pelabuhan Padangbai yang melayani penyeberangan tourist ke Gili Terawangan, Lombok Utara kecil, tetapi potensi pendapatan dari sana relatif memadai. Sebab, dari sana dilayani belasan fastboat. Satu fastboat beberapa waktu lalu bahkan mengalami kecelakaan. Boat itu meledak di laut Tanjungsari, Padangbai
dan menyebabkan empat korban tewas, serta belasan lainnya luka berat dan ringan. Sementara dari Amed atau dari Jemeluk di Kecamatan Abang, juga setidaknya ada tiga boat yang melayani penyeberangan wisatawan ke Gili Terawangan. Baik dermaga rakyat Padangbai maupun penyeberangan dengan fastboat ke NTB itu, selama ini tanpa dikelola dan dipunguti pajak ‘’Saya istilahkan kita seperti cicing (anjing) makalung urutan. Kita mencium bau enak dari besarnya potensi pajak atau retribusi ramainya penyeberangan itu, tetapi kita tak bisa makan karena tak memungut pajaknya. Kita hanya menjadi penonton,’’ paparnya. Padahal, katanya, Pemkab Lombok Utara sudah bisa memungut pajak dari penyeberangan fastboat di Gili Terawangan. Pendapatan mereka miliran, dari informasi yang kami terima saat studi banding ke pemkab itu.
Lombok Utara sama seperti kita di Karangasem, sudah mendapatkan izin dari Kemenhub pengelola dermaga rakyatnya. Saat Karangasem masih dipimpin Bupati I Wayan Geredeg, pihak Kemenhub sudah memberikan izin SPCode bagi PT Karangasem Sejahtera (KS). SPCode itu izin pengelolaan dermaga rakyat guna bisa Pemkab Karangasem melalui BUMD PT KS antara lain mengelola dermaga itu. Namun saat Ranperdanya diajukan ke DPRD guna membuat perda penyertaan modalnya, justru ranperda itu ditolak. Akibatnya sampai kini belum ada perda penyertaan modal ke BUMD PT KS. Padahal, tambahnya, penyertaan modal Pemkab Karangasem hanya Rp 40 juta. ‘’Modal Rp 10 juta lagi dari KPN Werdhi Guna yang dikelola Koperasi Pegawai Negeri Pemkab Karangasem. Penolakan
ranperda itu menjadi perda mungkin karena dicurigai ada pribadi memasukkan saham ke PT KS,’’ paparnya. Dikatakan, jika pelabuhan penyeberangan fastboat itu dikelola Pemkab Karangasem, maka ada sejumlah keuntungan yang dapat diperoleh dari sana. Kapal cepat yang melayani penyeberangan itu bisa diawasi izinnya. Di samping itu kelaikan berlayar, fasilitas dan keamanannya. Dengan diawasi, maka dipercaya kemungkinan kecelakaan transportasi itu bisa diminalisasi. Selama ini, sudah dua kali kecelakaan transportasi laut fastboat itu. Pertama Juli di Pantai Amed, boat memuat puluhan wisman yang hendak membawa muatan ke Gili Terawangan terbalik di tengah laut. Kedua, Gili Cat II meledak dua pekan lalu. ‘’Kedua dermaga yang melayani penyeberangan wisatawan ini tidak bertuan,’’ papar Sumardi. (bud)