20 HALAMAN
NOMOR 163 TAHUN KE 68
Online :http://www.balipost.co.id http://www.balipost.com E-mail: balipost@indo.net.id
terbit sejak 16 agustus 1948 perintis: k. nadha HARGA LANGGANAN Rp 90.000 ECERAN Rp 4.000
balipost (102 rb Like) http://facebook.com/balipost
minggu kliwon, 31 Januari
Pengemban Pengamal Pancasila
2016
@balipostcom (3,8rb Follower) http://twitter.com/balipostcom
@balipostcom http://instagram.com/balipostcom
TELEPON: Iklan/Redaksi/Sirkulasi (0361) 225764 Faksimile: 227418
Penolakan Desa Adat Tak Diakomodasi
Amdal Teluk Benoa Tak Relevan Direvisi
K U L TE OA BEN
Denpasar (Bali Post) Kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang diajukan pemrakarsa reklamasi Teluk Benoa dianggap tidak layak untuk dijadikan dasar pertimbangan menentukan nasib reklamasi Teluk Benoa. Kajian dinilai tidak fair, dangkal, dan mengabaikan pengelolaan pesisir secara terpadu. Revisi amdal pun sudah tak relevan dan tak memungkinkan dilakukan mengingat daerah terdampak yakni komunitas adat di Bali --sebagai aspek sosiologis-- sudah secara tegas menyatakan menolak reklamsi Teluk Benoa. Untuk itu, pemerintah sebagai hakim dari nasib reklamasi Teluk Benoa diminta arif dan mendengarkan putusan paruman 15 prajuru adat sebagai putusan tertinggi komunitas adat di Bali.
Pandangan ini dilontarkan akademisi yang menggeluti keilmuan bidang kelautan Ketut Sudiarta dan aktivis ForBali Wayan Gendo Suardana Sabtu (30/1) kemarin. Mereka berpandangan jeda revisi selama 30 hari seperti diisyaratkan oleh Komisi Penilai Amdal Pusat juga tak relevan lagi diwacanakan. Hal. 19 Tidak Fair
56 Surat Penolakan
FORUM Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) menyurati Presiden Joko Widodo berisi penolakan atas rencana reklamasi Teluk Benoa. Ada 56 surat yang dikirimkan rakyat Bali untuk memastikan bahwa Presiden telah benar-benar menerima surat masyarakat Bali yang selama ini menentang keras rencana reklamasi. Dari 56 surat penolakan yang dikirimkan ForBALI kepada Jokowi yaitu surat dari Desa Adat (15 Desa Adat), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, Organisasi Pemuda Adat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi pemuda dan komunitas, musisi (band), dan mahasiswa. Menurut ForBALI, surat tersebut awalnya dikirim masingmasing lembaga. Namun oleh ForBALI, forum yang mendapat tembusan surat, dilakukan pengiriman ulang pada 28 Agustus 2015. Hal. 19 Pernyataan Sikap
Ilustrasi/Tu Suaria/BPM
JAGAT BALI
Pemaksaan Reklamasi ’’Kolonialisme’’ terhadap Bali Denpasar (Bali Post) Kuatnya penolakan reklamasi terhadap Bali jangan dianggap sepele oleh pemerintah pusat dan oknum pemerintah daerah. Sebagai pengambil kebijakan, pemerintah pusat jangan sampai mengabaikan kekuatan 15 desa adat yang tegas menolak reklamasi berkedok revitalisasi terhadap Teluk Benoa, Badung. ‘’Pemaksaan reklamasi dengaan dalih apa pun di Teluk
Benoa patut dicap sebagai bentuk ’kolonialisme’ terhadap Bali. Jika dipaksakan, ini patut dicatat sebagai bentuk pemaksaan kekuasaan terhadap hak orang Bali,’’ ujar Prof. Sutjaja Jumat (29/1). Pengamat sosial-budaya Bali ini mengingatkan pengambil kebijakan di Bali untuk tidak gegabah dalam mengambil keputusan terkait reklamasi Teluk Benoa. ‘’Buka mata, hati, serta telinga. Ingat 15 desa adat
itu bukan kekuatan massa yang kecil. Otoritas adat di Bali sampai saat ini masih sangat kuat dan memiliki sanksi sekalaniskala,’’ ujarnya. Ia juga mengingatkan krama Bali jangan pernah berhenti menyuarakan kebenaran untuk memperjuangkan hak-haknya. Salah satu tanggung jawab moral krama Bali adalah menjaga pertiwi Bali dari keserakahan. Hal. 19 Berhak Menuntut
‘’Pemaksaan reklamasi dengaan dalih apa pun di Teluk Benoa patut dicap sebagai bentuk ‘kolonialisme’ terhadap Bali. Jika ini dipaksakan patut dicatat sebagai bentuk pemaksaan kekuasaan terhadap hak orang Bali.’’ Prof. Sutjaja
Bukan Proyek Mangku Pastika Desa Adat Tolak reklamasi
Pura Tirta Harum
UMAT Hindu di Bali begitu menyucikan yang namanya sumber air dan air itu sendiri. Kebesaran air bagi kehidupan manusia sering dijadikan tonggak untuk membangun pura. Hal ini patut dijadikan renungan ketika 15 desa adat di Bali terus berjuang menolak reklamasi Teluk Benoa. Pura Tirta Harum merupakan pura kawitan Mahagotra Tirta Arum. Pura ini berlokasi di Banjar Tegalwangi Desa Nyalian Kecamatan Banjarangkan, Klungkung, tepatnya di atas Tukad Melangit. Meski terletak di wilayah Klungkung, namun pura ini juga dapat dijangkau dari Banjar Guliang Kangin Desa Tamanbali, Bangli. Untuk menuju pura ini dari Banjar Guliang Kangin, ada ratusan anak tangga yang harus dilalui. Searah dengan jalan menuju Pura Tirta Harum, terdapat juga sebuah pura yang bernama Pura Jero Puri. Secara historis kedua pura tersebut memiliki hubungan yang sangat erat. Pemangku Pura Tirta Harum A.A. Gede Mangku saat ditemui Sabtu (30/1) kemarin, menjelaskan berdasarkan beberapa sumber sejarah yang dimilikinya, Pura Tirta Harum diperkirakan berdiri sekitar tahun 1350 silam. Keberadaan pura ini tidak terlepas dari sejarah perjalanan Ida Batara Sakti Wawu Rauh. Diceritakan bahwa Ida Batara Sakti Wawu Rauh melakukan perjalanan dari Tohlangkir dengan menyusuri Tukad Melangit. Di tengah perjalanannya, Ida Batara Sakti Wawu Rauh merasa haus. Karena beliau tidak melihat adanya sumber mata air, beliau lantas melakukan tapa semadi. Hal. 19 Mata Air
Desa Adat Legian
Desa Adat Canggu Desa Adat Serangan
Denpasar (Bali Post) Gubernur Bali Made Mangku Pastika tak ingin dikaitkan dengan megaproyek reklamasi Teluk Benoa. Dia menegaskan reklamasi Teluk Benoa bukanlah proyek Mangku Pastika. “Begini ya, supaya orang paham, reklamasi itu bukan proyek Mangku Pastika, itu loh,” ujarnya usai simakrama dengan ratusan tokoh masyarakat dan pejabat SKPD di Wantilan DPRD Bali, Sabtu (30/1) kemarin. Pastika mengaku heran lantaran proyek atau gagasan besar selalu diidentikkan dengan dirinya. Sebagai contoh, KSPN serta rencana perluasan Rumah Sakit Mata Bali Mandara atau RS Indera. “Keliru itu, paham itu yang harus kita luruskan,” tegasnya. Itu sebabnya, dia memilih tidak hadir dalam pembahasan Amdal, RKL-RPL reklamasi Teluk Benoa karena tidak ingin proyek itu dikaitkan dengan dirinya. Terkait pembahasan Amdal, Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengatakan, hasil pembahasan nantinya akan dijadikan dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah. Hal. 19 “Conflict of Interest” Mangku Pastika
Amdal Reklamasi Layak Ditolak
Oleh Wayan Windia
SAYA hadir dalam acara diskusi publik Amdal proyek reklamasi Teluk Benoa di Kantor Gubernur (Jumat, 29/1) lalu. Berdasarkan diskusi itu, saya berpendapat bahwa tampaknya ada dua kutub dalam menyikapi kasus tersebut. Pertama, adalah kutub pejabat yang pro-reklamasi (eksekutif, DPRD, DPD, termasuk dirjen si ketua sidang), dengan kedok aturan formal. Kedua, adalah kutub masyarakat yang kontra-reklamasi, dengan alasan kultural. Tampaknya, para pinandita (Tim Sembilan), juga menolak reklamasi, dengan ungkapan yang “berkulit” teologis. Beliau mengungkapkan bahwa, tidakkah proyek ini justru akan merupakan merta matemahin wisia? Kalau
kawasan Teluk Benoa merupakan kawasan suci, ya kawasan suci, dan jangan diapa-apakan; kalau betul-betul meyakini, mari kita sama-sama ke Pura Besakih untuk bersumpah. Ungkapan di atas menunjukkan bahwa tampaknya akan terjadi konflik yang berkepanjangan antara pihak proyek dengan masyarakat di sekitarnya. Kiranya dapat dibayangkan bahwa ada suatu proyek, yakni reklamasi Teluk Benoa. Tapi di hadapannya, ada masyarakat Teluk Benoa, yang justru akan menolaknya mati-matian. Hal ini berarti bahwa proyek ini tidak menerapkan filsafat Tri Hita Karana (THK). Untuk itu, saya beda pendapat dengan Tim Amdal yang diwakili oleh Dr. Jro Mangku Wayan Suarjaya (dosen IHDN).
Menurut saya bahwa prinsip penerapan THK adalah membangun harmoni. Kalau suatu proyek tidak mewujudkan harmoni, tetapi justru akan mewujudkan konflik yang berkepanjangan dalam pawongan, maka hal itu bukan suatu penerapan THK. Dalam beberapa referensi diungkapkan bahwa suatu proyek bisa diterima, kalau secara teknis adalah benar, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial dapat diterima. Proyek reklamasi Teluk Benoa secara tegas ditolak oleh masyarakat Desa Teluk Benoa. Dengan demikian, maka seharusnya proyek Reklamasi Teluk Benoa dibatalkan. Hal. 19 Jangan di Bali