Minggu Umanis, 13 Desember 2015
Resensi Buku
Membaca Kembali Kitab Suci Judul Buku Penulis Penerbit Tahun Tebal
: Namaku Merah : Orhan Pamuk : Serambi : Agustus,2015 : 750 halaman
MEMBACA kembali agama adalah hal yang menarik, di tengah ketegangan beragama di dunia ini. Novel ini menawarkan perenungan tentang tafsir kitab suci. Pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang kehidupan beragama berdasarkan kitab suci. Layak untuk diperdebatkan kembali, ketika kehidupan beragama di dunia ini begitu “mencemaskan” “Namaku Merah” adalah sebuah novel Orhan Pamuk, sastrawan Turki. Orhan Pamuk telah memenangi Hadiah Nobel pada tahun 2006. Tokoh Utama pada novel ini adalah seorang seniman Turki dari Kekhalifahan Usmaniyah. Kejadian bergulir saat seorang pelukis ditemukan terbunuh, seperti tertulis di Bab I (Aku adalah seorang Mayat). Sudut pandang narator novel berubah setiap bab, dan pembaca akan menemukan kata-kata tak terduga dari seorang mayat, koin dan karpet merah. Novel ini menyampuradukkan ketegangan misteri, cinta dan teka-teki filosofis, membuka jendela kekuasaan Sultan Murad III pada musim dingin tahun 1591 di Istanbul. Enishte Effendi, paman dari ibu si Hitam, sedang membaca Buku Jiwa karangan Ibnul Qayyim al-Jauziyah. Novel dimulai dengan cerita matinya Enishte Effendi dan perjalanan nyawanya. Buku Jiwa sendiri adalah buku yang membahas tentang perjalanan sebuah jiwa ke alam selanjutnya yang dipakai oleh sebagian umat Islam sebagai acuan. Di Buku Jiwa dijelaskan bahwa yang mati dapat mendengar yang hidup. (osi)
Memahami Politik di Bali Judul Buku Penulis Penerbit Tahun Tebal
: Presiden, Partai Politik, dan Masyarakat : GPB Suka Arjawa : Buku Arti dan Widya Pataka 2015 : Mei, 2015 : 219 halaman
GPB Suka Arjawa salah satu pemikir politik berdarah Bali yang gemilang, dan tajam. Fokusnya pada politik dan pergerakan sosial di dalam masyarakat Bali menarik untuk diberikan apresiasi. Bukunya kali ini memotret beragam geliat perubahan politik yang terjadi di Indonesia, tentu dengan diberi sentuhan tentang beragam kebijakan publik yang terjadi di pusat juga menimbulkan sedikit riak di daerah, terutama Bali. Buku ini di bagi atas sekuel-sekuel pendek, untuk memudahkan pembaca memilah-milah beragam topik lebih dalam. Sekuel tentang “Presiden” merangkum 15 artikel. Sekuel kedua tentang “Partai-Partai”, merangkum 15 artikel. Sekuel “Masyarakat”, 12 artikel. Dan “Rakyat dan Wakilnya” 13 artikel. Pemikir muda Bali yang ikut terlibat aktif dalam proses pendirian Fisip Universitas Udayana, dan aktif menulis opini di Bali Post ini memang seharusnya mulai menuliskan satu topik tentang “gerunjal” dan “onak” politik yang terjadi di Bali. Sayang sekali kalau hanya merangkum bunga rampai tentang sosial-politik. Tetapi, bagaimana pun buku ini penting untuk dikoleksi, sambil kita menunggu dari penulis untuk menulis satu topik pemikiran tentang Bali sampai tandas dan tuntas. Kita tunggu pemikiran kritis dan bernasnya. (osi)
CERPEN
JENDELA
5
Perempuan Kecil yang Mengigil Oleh I Putu Agus Phebi Rosadi
/1/ “Masihkah perempuan itu memenuhi kepalamu, sayang?” Daglish menyentak pundakku sewaktu kepalaku tamasya ke jauh waktu. “Tidak, dia laki-laki waktu itu. Kekuatan pukulan dan kekejamannya bukanlah naluri perempuan” Aku mulai menceritakannya pelan-pelan. Ini untuk kali pertama aku bercerita padanya setelah sekian lama aku menutupi cerita tentang perempuan yang membuat kepalanya dijejali penasaran. Aku kenal sekali perempuan itu. Tubuhnya tegap seperti laki-laki, namun cantik dengan gincu merah tua di bibirnya. Tubuh tegap itulah yang membuat kepalaku menyimpulkan bahwa dia adalah laki-laki yang cantik. Sewaktu ayah memelukku di suatu malam yang basah. Di luar, hujan mengguyur, rembesannya masuk lewat jendela yang belum tertutup rapat. Lampu tiba-tiba padam. Aku mengigil ketakutan. Napasku mendesis. Gerahamku menimbulkan getaran-getaran kecil menahan dingin. Seorang perempuan ---yang selanjutnya kusebut sebagai laki-laki, samar telah berdiri di depan pintu. Tangan kanannya memegang sebuah balok kayu. Kilatan petir membuat wajahnya nampak mucul-lenyap. Tapi perawakannya dengan cepat kurekam dalam kepala. Kilau merah tua di daun bibirnya, rambut panjang sedikit menguning, tubuh tegap dengan dada mengembung, lehernya dilingkari syal putih. Ayah tiba-tiba bangkit. “Maafkan aku. Aku hanya ingin menjenguk putriku” Ujarnya sambil memegang dada laki-laki itu dengan kedua tangannya. “Tapi dia selalu membuatmu ingin kembali pada perempuan itu” Tanpa banyak bicara ia langsung membenturkan balok itu ke kepala ayah. Darah memercik ke seluruh ruangan. Ia juga sempat mencengkram leher dan sesekali membenturkan kepala ayah ke dinding. Ayah terkulai di lantai. Tubuhnya tak bernapas. Darah semakin mengalir deras dari batok kepalanya. Membanjiri seluruh ruangan hingga berkubang serupa sungai merah. Melihat kengerian itu aku berlari ke pojok ruangan. Menahan tangis. Menahan mual dari cipratan darah yang mendarat di pipi dan rambutku. Laki-laki itu membiarkannya. Ia pergi melarikan diri. Tapi sebelum melangkah ke luar pintu, ia sempat menatapku. Sambil menahan takut aku bersumpah suatu saat akan membunuhnya. Seketika udara panas meletup dari ubunku dan menyeruak hingga ke sudut-sudut ruangan. /2/ Semenjak itu aku terus mengingat wajahnya. Dan yang paling kuingat jelas adalah sorot matanya yang sedikit sayu. Aku tak akan pernah melupakannya. Hingga di suatu waktu, sebuah pertemuan menyeret ingatan kembali. Aku menemukan mata yang sama seperti laki-laki itu. Sore di sebuah kedai kopi, hari pertama aku mulai bekerja. Hari yang kubayangkan akan menyenangkan. Tapi aku mengawalinya dengan terlambat. Seorang laki-laki tiba-tiba menghampiri saat aku mengganti pakaian di loker. Aku tak mengenalnya. Matanya membelalak. Seketika aku tahu, dia adalah pimpinan pegawai bagi yang bekerja di jam sore. “Kau terlambat” “Maafkan aku.Tapi kau tak perlu memandangku seperti itu” Aku menoleh ke dinding. Waktu menunjukan aku terlambat 20 menit. Aku bergegas dengan memasang wajah bersalah sebagai permintaan maaf pada lelaki itu. Kupacu langkah ke ruang depan toko. Seluruh meja telah penuh. Beberapa kolegaku mengerutkan dahi. Nampak kelelahan di wajahnya. 20 menit ternyata keterlambatan yang cukup lama bagi pergantian waktu bekerja. Pelanggan begitu ramai tanpa sedikitpun memberi celah untuk bersantai. Tak ada semacam kelengangan yang mencipta-
kan obrolan kecil antar pegawai, misalnya. Tentu karena ini musim hujan. Musim yang nikmat bagi penggemar kopi. Sambil kuantarkan pesanan, sesekali kupandang matanya yang sedari tadi selalu melirikku. Kupikir ada semacam sesuatu yang janggal yang membuat lelaki itu nampak sibuk melempar pandangnya. Tapi tak kutemukan sesuatu yang janggal. Pakaianku rapi, sama rapinya dengan pegawai lain. Semuanya bersih, tak ada noda tumpahan kopi yang menempel di bajuku. Akhirnya kuabaikan tatapan matanya yang tajam. Segala perkerjaan kembali kujalankan sebagai mana mestiya pegawai di kedai ini. Sepulang bekerja, lelaki itu tiba-tiba muncul lagi di sampingku. Tepat ketika aku hendak melepas seragam kerjaku. Mulanya memang hanya senyum yang ditebarkan di sela wajahnya yang ditumbuhi rambut-rambut tipis. Tapi beberapa menit kemudian, ia memberiku tangan kanannya. Kami bersalaman. “Aku Daglish” “Seisil” Ucapku sambil memberikan tangan kananku dan memandang matanya. “Ini, akan membantumu terjaga dari hujan” Ia menyodoriku sebuah payung putih. “Kenanpa kau berpura-pura baik?” “Karena kau berpura-pura pikun. Kau tentu tahu, di kota ini, hujan selalu turun. Dan perempuan seusiamu, terlalu berpurapura rasanya melupakan hal sepele seperti itu” “Baiklah. Kuanggap ocehanmu gombalan pertemuan pertama antara laki-laki dan perempuan” Aku menerima payung yang ditawarkannya. Padahal aku tahu, benda itu tentu membuatku semakin mengaduk-aduk gelisah. Dendam tentu akan membayang. Menyapu setiap ngantuk dan lelahku malam nanti. Aku bisa mengenalinya. Dan aku percaya bahwa laki-laki itu adalah pembunuh ayah. Entah kekonyolan macam apa yang telah menumbuhkan kepercayaan yang begitu tebal ini. Sekalipun seluruh
identitasnya dipalsukan, organ tubuhnya –mungkin- dimodivikasi. Tapi sorot mata? Dokter mana yang bisa mengubahnya?. Dalam mataku, ia tetap saja laki-laki waktu itu. Orang yang membuat tubuhku mengigil di bawah jendela dengan sungai darah yang menggenang di depan mata, laki-laki yang membuatku meletupkan sungai kesumat di dada. /3/ Seperti biasa, waktu itu hujan turun tak begitu deras. Tapi dingin tetap terasa sebab cuaca sedikit berangin. Aku berjalan menyibak jarum-jarum gerimis. Tanpa sadar tangan kiriku mengusap mata. Angin meniup payung di tangan kananku. Aku berusaha menahannya. Ia semakin kencang dilarikan angin. Sepanjang perjalanan tubuhku seperti menahan gigil yang berkepanjangan. Tapi ada juga rasa syukur karena hujan sedikit meneduhkan bara di kepalaku. Hari-hari berikutnya, ia selalu merayuku di loker. Dia memang sedikit tua, ---sekiranya 20 tahun jarak membentang antara kami--- tapi wajahnya masih segar. Hanya saja, beberapa helai rambutnya mulai memutih. Kupikir dia lelaki yang rajin menghitamkan rambut dan merawat tubuhnya hingga tak begitu terlihat ia jauh lebih tua dariku. Kebaikannya membuatku tak kuasa menolak setiap ajakannya. Kami sering pergi berkencan di akhir pekan. Hari-hari kami menyenangkan. Aku sering menatap matanya awas. Tapi tak pernah sekalipun ia menebar kecurigaan. Seandainya lelaki itu bukan pemilik mata sayu, mungkin cerita akan berbeda jauh. Mungkin aku tak begitu peduli tentang asal-usul hidupnya, mungkin aku tak perlu bertanya pada setiap orang yang mengenalnya, mungkin aku tak pernah tahu bahwa lelaki itu dulunya adalah seorang lelaki, kemudian perempuan, kemudian kembali menjadi lelaki seperti sekarang ini. /4/ Tepat di bulan Desember, bulan yang menurutnya romantis untuk menjatuhkan
cinta. Hatiku terang menolak, tapi mulut kubuat berucap sebaliknya. Sejenak aku mencoba mendinginkan kepala. Mencoba menahan laju ledakan darah. Kubiarkan tubuhku memeluknya. Dalam keadaan seperti ini, aku merasa tak kuasa, kebencian benar-benar membatu dalam kepala. Sekian tahun kepalaku terperangkap dalam peristiwa itu. Ketika seorang laki-laki bermata sayu membunuh ayahku. Laki-laki yang menurut teman ayahku, adalah kekasih gelapnya. Dia juga yang telah membuat kedua orangtuaku bercerai. Aku diasuh ibu. Mungkin lebih tepatnya diasuh kesunyian, sebab ibu begitu jarang di rumah karena pekerjaan. Tapi sesekali ayah datang menepikan sepiku. Diam-diam, tanpa sepengetahuan siapapun. Hingga suatu hari, laki-laki itu mengetahui ayahku yang diam-diam sering bertemu denganku. Ia murka dan memuarakan sungai darah di kepalaku. Kini, laki-laki itu di depanku. Masih memeluk tubuhku. Degup jantungnya terasa benar-benar berbeda dari biasanya. Lewat matanya kubaca, ia benar-benar mencintaiku. Ditambah sebuah pengakuan yang mengatakan ketulusan hatinya. Aku pun demikian, mencoba setulus hati benar-benar berpura-pura mencintainya. Ia mencoba melumat bibirku, tapi aku selalu berusaha mengelak. “Bukankah hujan dan gelap adalah penjara kebebasan untuk sebuah ciuman?” “Tapi kilat seperti hantu pengintai. Menakutkan dan menjemukan. Seperti seorang sipir yang mengawasi tahanannya” Ia mengumbar senyum. Tanda sebuah kepahaman pada ceritaku suatu waktu. Aku pernah menceritakan padanya bahwa aku perempuan yang takut pada kilat. Ia seperti hantu. Muncul tiba-tiba. Memompa jantungku yang lemah. Kadang membuat napasku terengah. Dalam keadaan seperti itu yang aku butuhkan hanyalah sebuah pelukan. Hujan masih mengguyur di luar kamar. Daglish menambah erat dekapannya. Kilatan petir membuat wajah kami saling muncul-lenyap. Tapi kepalaku begitu hangat. Padahal, sedari tadi dingin menerpa. Merembes masuk lewat celah jendela yang belum kututup dengan rapat. Malam ini kehangatan kepalaku bukan kehangatan biasa. Ia seperti bara merah saga yang meletup dari tungku dadaku. Menyeruak menebar bias panas ke seluruh kamar. /5/ Aku masih menceritakan pada Daglish pelan-pelan. Tentang lelaki pembunuh ayahku. Sangat pelan. Dia menikmati cerita itu sambil mengingat bibirnya yang pernah menyukai warna merah tua, rambutnya yang dulu panjang sedikit menguning, tubuh tegap dengan dada mengembung, dan syal putih favoritnya. Akhirnya ia sadar akulah perempuan kecil yang mengigil waktu itu. Kepala Daglish telah kubuat tamasya ke jauh waktu. Ia tersentak dan melepaskan pelukannya. Daglish memandangku dengan tatapan mata peluru. Aku membalasnya dengan senyuman dingin. Pelan-pelan tanganku mulai menyentuh belati yang sedari tadi kusimpan di bawah bantal. Dendam terus kuledak-ledakkan dalam kepala. Laki-laki itu mencoba mencengkram pundakku, tapi sayang, tanganku lebih dulu menikamkan belati. Tepat di bagian dadanya yang pernah mengembung. Lelaki tua itu memegang belati di dadanya. Aku bisa merasakan sakit yang menikamnya. Kupikir itulah rasa sakit yang setimpal dengan rasa sakit yang kuderita selama bertahun-tahun. Kupandang wajahnya. Kutatap rautnya dengan mata dingin. Dendam membuat kepalaku tak sedikitpun merasa iba. Aku berdiri dan menyodorkan wajah. Tak bergitu jauh dari wajahnya. “Aku Seisil. Perempuan kecil yang mengigil. Apa kau masih mengingatnya?” Lelaki itu diam. Matanya membelalak. Mungkin perempuan kecil yang mengigil itu kini memenuhi kepalanya. (*)
Redaksi Mingguan mengundang Anda untuk berpartisipasi dalam rubrik “Kartun” ini. Tulis nama dan alamat lengkap dibalik gambar kartun. Kirim ke Redaksi Bali Post Jalan Kepundung 67a Denpasar.
Satya Dewi
W.G. Sumarta
Bakti Setyanta
Gus DW
Afrizal