15
Minggu Paing, 13 November 2016
Mahadaya Maharaya Hening l Menyelami Kedalaman Hening ~ 1
TIADA lebih Mahadaya tinimbang Hening. Tiada jua lebih Maharaya tinimbang Hening. Hening itu sungguh-sungguh tiada tanding, tiada banding, tiada sanding. Hening melingkupi semua. Hening menopang segala. Hening memenuhi sarwa ada, namun sekaligus juga tidak terjebak terperangkap di dalam semua. Hening bebas merdeka. Tiada terikat apa pun. Tiada terlekati apa pun. Tiada melekati apa pun. Hening Ada dengan sen-Diri-NYA, dan senantiasa Ada. Hening tiada terhapuskan, tiada terhilangkan, bahkan tiada tergeserkan sedikit pun, apalagi tergantikan. Hening tetap Ada di tempat keber-Ada-an-NYA semula. Hening tiada ke mana-mana,
meski Ada di mana-mana di setiap titik saat dan tempat. Hening itu sempurna dengan sen-DiriNYA, karena itu Hening menyempurnakan semua, segenap, segala, sarwa ada. Hening itu senantiasa sembuh segar bugar, sehingga mampu menyembuhkan luka mental dan jiwa nan dalam sekalipun. Hening sungguh-sungguh Mahamungkin dan Maha Memungkinkan. Hening itu Mahamampu dan Maha Memampukan. Hening telah senantiasa serba cukup, berkecukupan, dan menyukupkan DiriNYA dengan sen-Diri-NYA. Hening tiada perlu bantuan, pertolongan, apalagi pembelaan dari siapa pun dan apa pun. lnirta ks
lLangit Amarawati Sepundak-pundak Ayah ayah menganyam keringat menjadi jala untuk menangkap ikan-ikan di samudera aspal. bersama debu jejalan, dikayuhnya bahu dan kaki agar terus berlayar uang sekolahku gelombang, yang tak pernah membuat kapal keyakinannya tumbang. di pundak ayah yang dermaga, ikan-ikan dimasak ibu. kadang dengan bumbu tawa, lebih sering ditaburi masin air mata. ‘’begitulah hidup, nak,’’ desir ibu di telingaku dari punggung ayah, aku merajut lesat angin. sesekali menjadi tiang pancang, ikut bertarung dengan asing gelombang pasang. tak ada satupun cuaca yang bisa mematahkan dermaga di pundaknya. tak ada sehelai bada pun yang mampu mengalahkan yakin kayuhan kakinya ayah.
lIGA. Komang Wiliani Rupanya Kata-kata yang paling kuat diruncingkan oleh angin diraun dan disusun gelisah dalam jejeran buku-buku yang lupa dicerna Tentang anjing kecil yang diperlakukan seperti manusia ia tetap menjilat’ ia tak pernah khilaf sedang orang-orang di sebuah perhelatan melepaskan merpati sembari takut mereka berganti warna di sekolah mereka belajar tentang kebebasan yang betanggung jawab dan melawan lupa gila atau menertawai remeh temeh soal bagaimana burung bisa berganti warna rupanya.
lIGA. Komang Wiliani Lukisan Tanahmu Batu-batu berpuasa dari segala warna menahan malam pada tubuh sungai perlahan mengikis tanda jemarimu di sana kau pernah menggenggamnya Suatu sore ketika masa kecil begitu ranum dalam panen daun-daun kering membuat garis garis di tanah untuk Lompatan kakimu baru itu riuh dalam tubuhnya yang berpadu, juga teriakanmu dalam danyuh yang lepas dari tangkainya menghapus lukasan tanahmu karena senja telah menunggu ritual malam ketika batu-batu begitu diam diam hingga sungai perlahan menghapusnya seperti lukisan di tanah itu
lArik Dwijayanthi
Bintang ADA YANG HILANG saat aku rasakan begitu banyak perih yang mengikis hati tanpa sebab. Saat kesunyian melanda hati, saat itu juga aku merasa terpuruk dalam sebuah kekecewaan yang melanda jiwa. Ketika nyanyian itu mereka nyanyikan akupun terhempas ke dalam badai lautan luas yang tak bertepi dan membuatkan terjerat kesepian yang berkepanjangan. Dulu di rumah ini ada banyak kisah antara penghunipenghuninya, tak pernah sepi oleh canda tawa riuh, tapi sekarang rumah ini seperti kembali ke fungsinya yaitu hanya sebagai benda mati yang sengaja dimatikan oleh penghuninya karena mati. LANGIT MALAM DI KOTA INI begitu membinar, walau hanya setitik bintang bercahaya tapi begitu menghujam bumi atas meningkratan cahayanya. Aku hanya bisa terdiam memandangi rumah di depanku, seperti memandangi sebuah lukisan kehidupan masa lelu yang membawaku ke dalam kelam, adakah sisa tawa di hati penghuni rumah ini. Aku terdaim seolah mengisyaratkan pada hatiku untuk mengheningkan cipta, memandangi tembok yang berlumut, rumput yang meninggi, dan laba-laba yang menjadi penghuni baru rumah ini. Rumah yang dulu sempat ditawar dengan harga tinggi oleh pengelola pariwisata. Rumah yang dulu sempat menjadi perebutan kepemilikan dengan sepupuku. Rumah yang dulu ingin ditukar dengan sebuah rumah mewah di kawaan kota terbesar. Rumah yang dulu, kini telah menjadi rumah setan mungkin? AKU RASA sampai sekarang nyawa di rumah ini tidak pernah hilang, ku rasakan fibrasi hawa kecernaan ketika keuangan membingkai aku berlari mengejar bapakku yang baru saja datang dari mengajar. Membingkaiku di mana aku dilatihnaik sepeda gayung oleh bapak. Membingkaiku saat aku meniup angka 10 di atau sebuah kue tari. Membingkaiku ketika pertama kali aku mengajak seorang lawan jenis yuantuk datang ke rumah. Membingkaiku ketika bapak kecewa dengan tulisan-tulisan yang aku buat sama sekali tidak pernah masuk ke media manapun. Membingkaiku ketika aku pamit dari rumah untuk pergi kuliah. Membingkaiku kepada sebuah telapak tangan beraroma rokok dan sisa-sisa kopi saat sebuah kecupan manis mendarat di keningku yang mengiringi setiap pagi rutinitasku. Membingkaiku ketika aku harus kehilangan sesosok bapak yang menyerah tanpa syarat kepada nasib ketika Sanghyang Widhi memangigil dirinya untuk menemani-Nya. Membingkaiku kepada sebuah perdebatan-perdebatan kecil yang menjadi masalah besar. Membingkaiku ketika harus aku harus pergi dari silsilah keluarga karena ku hanya dianggap penghalang. Ketika semua hanya sebuah bingkai yang terbingkai oleh masa, akupun ingin berlari mengejarkan masa itu, tapi kudapati semuanya menghilang. LANGIT MALAM di kota ini sangat mengingatkan kembali pada diriku akan peristiwa-peristiwa pembantaian terhadap kenagan itu. Adakala ketika aku tidak kuat menahan semua ini sendiri, akupun mendekapkan diri ke dalam buaian malam sepi untuk menyepikan diri, bersama tumpukan naskah-naskah kuna yang harus aku terjemahkan. Betapa aku ingin mengutuk waktu yang begitu cepat berlalu meninggalkan sebuah luka yang teramat sakit dan terkadang peris memikul beban yang tak berkesudahan. Aku kadang galau. DI LUAR MASIH ADA sisa-sisa hujan yang membuat beberapa kawanku enggan beranjak dari tempat duduknya. Aku masih menekuni sebuah naskah kuna yang garapan pujangga Kediri.
Menguatkan Negara Kecil Keluarga l Merajut Generasi Berkesadaran Ibu-6 ADALAH sudah jelas, bahwa sistem dan desain teknologi digital yang kian canggih dan mungil yang terus diproduksi industri kini tak akan pernah ramah dengan perilaku keras, kasar, apalagi machoism. Teknologi digital ini justru menuntut sentuhan yang lembut, hatihati, penuh perhatian, dan penjiwaan, yang feminin, berwatak keibuan. Era perdagangan dan jasa yang sedang kencang berembus justru akan dapat diarungi optimum manakala manusia berwatak dewasa—manusia berjiwa kanak-kanak tak bakalan sanggup rendah hati, apalagi merasa bahagia melayani dengan baik dan benar. Manusia egois tak mungkin pula sanggup memberikan layanan karena hidupnya senantiasa ingin dilayani. Perdagangan juga memerlukan satya berkadar tinggi. Di titik itu, nilai-nilai dasar dan esensial budaya-feminitas betapa mendapatkan panggung aktualisasinya yang gayut. Pertanyaan kini, manakala lembaga-lembaga formal dan informal justru cenderung masih menebarkan watak kekerasan, keliru pikir, penalaran menyimpang dari asas-asas kebenaran, siapakah yang dapat diharapkan bakal mewujudkan “impian” penempaan watak generasi baru ini, kini, dan nanti? Tinimbang berharap kepada pihak luar, kiranya lebih arif bila kita mulai dari “negara-negara kecil” bernama Keluarga masing-masing. Ya, kembalilah ke pola asuh dalam keluarga batih masing-masing. Caranya: mulai membiasakan anak-anak mendengar yang Benar—bukan pembenaran—lalu melihat yang Benar. Dengan demikian secara bertumbuh, mudah-mudahan, anak-anak ini terbiasa berpikir Benar, secara
Hening Sempurna Paripurna l Menyelami Kedalaman Hening ~ 2
HENING itu telah senantiasa sempurna paripurna tiada tara. Karena telah senantiasa sempurna paripurna tiada tara, maka Hening itu Utuh. Utuh itu Penuh. Penuh itu Seluruh dan Menyeluruh. Utuh Penuh Seluruh dan Menyeluruh itu tiada terbagi. Bilapun hendak dibagi-bagi, maka setiap bagian dari Hening yang memang telah senantiasa sempurna paripurna tiada tara itu pun tetap saja Hening. Sepercik bagian dari emas murni 24 karat, tetap saja berkadar murni 24 karat. Begitu pula butiran garam tetap saja berasa asin, entah sebatas sejentik ataupun segenggam. Kadar kesempurnaparipurnaan itu bukanlah perkara ukuran atau kategori besar-kecil banyak-sedikit, melainkan esensi inti sari-
pati hakikat. Hening sempurna paripurna tiada tara itu memenuhi yang kecil terkecil sekalipun, sekaligus juga besar nan luas terluas sekalipun. Hening itu melampaui segala batas karena memang Tak Terukur, Tak Terbatas, Tak Berhingga. Hening Ada dalam segenap waktu, memenuhi seluruh waktu, hingga melampaui batas waktu. Hening itu esensi inti sari-pati hakikat ke-Waktu-an sekaligus Mahawaktu. Hening Ada dalam semua ruang, memenuhi segenap ruang, hingga melampaui batas ruang. Hening itu esensi inti sari-pati hakikat ke-Ruang-an sekaligus Maharuang. lnirta ks
benar. Orangtua, misalnya, patut membiasakan kemajemukan analisa, membiasakan dialog yang demokratis dalam keluarga—bukan sekadar patuh mewariskan tradisi. Patut disadari sejak dini, memang, betapa amat tidak mudah mewujudkan “impian” itu. Tantangan dan tentangannya sangat berat. Media-media publik, bahkan juga mediamedia sosial, tak banyak membantu, malah menebar “teror” dengan super-impian serba mudah. Orang tanpa susah-susah berpikir, hanya sekadar cengengesan di depan layar televisi malah tenar, lalu dapat uang mendadak dalam jumlah banyak. Media cetak pun kerap meneror pembaca dengan berita-berita pesanan yang dibayar, atau berita-berita konfliktual tanpa solusi. Tapi, dampak negatif itu, mudah-mudahan, dapat diminimalkan dengan basis paling dekat dan murah: keakraban Keluarga nan
tangguh. Jaga diri sendiri dan Keluarga masing-masing sebagai “negara kecil” agar stabil, rukun, damai, cukup pangan-minum, sandang, dan papan. Matangkan watak anak di rumah sendiri. Syukuri dan berterima kasihlah senantiasa atas semua anugerah Hyang Maha Hidup itu. Yakinilah: mendidik anak, membentuk watak anak, juga pekerjaan amat sangat mulia. Kalau orangtua melahirkan anak berbudi tidak merusak alam, lingkungan, dan sesama, maka itu berarti telah memetik laba dan manfaat hidup dan kehidupan. Sebaliknya, jika anak-anak berwatak merusak hidup pihak lain, itu sesungguhnya orangtua sudah berkontribusi langsung terhadap kerusakan Ibu Alam, Hidup dan kehidupan. Orangtua akan memetik kerugian tak ternilai, berupa kedukaan hidup tiada bertepi. Niscaya bukan itulah yang Anda impikan. ldeprabas
lNoorca M Massardi perupa
lIDK Raka Kusuma Aku akan ke Gubukmu aku akan ke gubukmu tukang pijat dusun Kacangdawa kubawa kesukaanmu sayur kuah cahaya kuberi garam dan merica terkilir urat sukmaku ketika menyeberangi waktu jangan dipijat dengan minyak dibuat di dunia pijatlah pijat dengan minyak Sang Aswina di seberang langit rumahnya sebelum mengeluh dengan kening penuh peluh tak ada jalan ke sana tak tahu jalan ke dana berbisik aku di telinga kirimu di telinga kananmu seberangi diriku seberangi sukmaku seketika kau tiba aku akan ke gubukmu sambut di pintu pagar jangan lupa kesukaanku sayur tumis matahari segar tanpa bumbu, dalam mangkuk batu
lIDK Raka Kusuma Hotel Sudi Hati
kabar terakhir, seorang binatu dari seberang waktu jadi pemilikmu siapapun bermalam menandai dengan salam setrikalah malam dengas setrika memancarkan terang berulang-ulang agar tak nampak keriput walau sejumput keeseokan harinya, sebelum pergi menulis kata-kata di buku tamu: setrikalah pagi setrikalah siang sampai senja menghilang agar tak kusut diterpa segala bunyi setrikalah setiap diri agar tak susut ditimpa sinar matahari ditempa panas cuaca Hotel Sudi Hati seorang utusan hari ini mengabarkan padaku sang binatu tanpa henti menyetrikamu dengan setrika api sambil berdendang tengah malam nanti kau kubawa pulang
PINARA PITU, ENAM (6) KOTA: Gurau angin, laut dan pasir (Sampang, Bangkalan, Sumenep Pamekasan) berlanjut di jantung Surabaya, Terus dengan kereta api ke Bandung lautan api dan air... Begitulah Mira MM Astra memproses Apresiasi kumpulan puisinya yang pertama PINARA PITU, bertemu, berdialog dengan seniwati, sekaum Benasir Nafilah, Langit Amarawati, Ririe Rengganis, Ratna M Rochman adalah berokah Oktober apalagi dengan para penyair yang telah malang melintang di kampus, di kampung dari kota ke kota begitulah semestinya tradisi nyastra dijalankan diam diam cukup dikawal sang putri Maharani...
tanpa engkau dan gebalau hidupmu adakah spies, bonnet, atau arie smith? tanpa engkau, atau babadmu, luka deritamu adakah lempad. bagus made. dan gusti kobot? tanpa engkau atau bumi atau langitmu adakah affandi, atau hendra atau dullah? di campuhan, di tebesaya, di pengosekan sungai-sungaimu, bukit-bukitmu sawah ladangmu telah mengaliri kancas memahatkan kayu mewarnai dirimu warga desamu, pertanimu pekerjaanmu, pedagangmu telah menorehkan derita darah dan keringat mereka ke dalam impresi, menjadi ekspresi sebagai garis, bahkan sapuan lihatlah anak-anakmu para perempuanmu para penarimu ayam dan satwamu banjar-banjarmu adat istiadatmu pura -urimu pantai-pantaimu banten dan sesajenmu ritus dan keseharianmu di dalam bingkai dalam pigura dalam gejolak di dalam jiwa para perupa yang meluapkan haru dan resah kalbu ke dalam cipta yang tak terlupa lihatlah lukisan jiwamu gambaran citramu mataharimu purnamamu napas baumu telah mendupa membawa aroma ke setiap sukma berapakah gerangan beban yang harus ditanggung untuk mengabadikanmu kala panas dan saat hujan sewaktu kelahiran ketika kematian kala galungan dan saat kuningan sewaktu odalan dan saat nyepi? para-perupa jagalah dia
patrikan dia yang telah memberi segala baik nama maupun harta kemasyhuran atau derita karena dia selalu memberi dan tak pernah meminta sampai karya-karyamu berjiwa sampai ungkapanmu berdarah sampai ruhmu menjadi melahirkan makna untuk mu !
lSulis Gingsul AS SIUL MANYAR Senyap Lalu tiba-tiba gemertak Sebatang ranting kering keropos Tanggal dari dahan pohon peneduh Yang daun-daunnya habis dimakan senja Sebuah sarang baru telah jatuh terguling Tanpa terpelanting, terjungkal di rumput kering. Seekor manyar Terbang berputar-putar Menukik panik kemudian tertegun. Cairan lengket itu mengalir bisu Lambat Dan dingin. Seperti siput tua Seperti siput tua Seperti bayang bayang silam Merambat di balik kerut keningmu. Tapi lihatlah Esok, masih akan ada ranting merunduk Sementara kuncup muda mandi cahaya ketika rumput kering berkilau embun. Dan dengarkanlah Seekor manyar tak tahan tidak hinggap Seekor manyar tak tahan tidak besiul Di ranting yang digoyang-goyang angin Sepanjang musim. Yang tanggal, tanggalah Yang pecah, pecahlah Yang tumbuh, tumbuhlah Yang bersatu, bersatulah. Seperti kemarin Tetapi bukan demi kemarin Seperti biasanya, aku bersiul Di sini aku hinggap Di ranting yang belum patah Di sini aku hinggap Di ranting yang masih basah.
TANGGAL 20 November 2016 (Hari Minggu) ‘’PUPUTAN SENI DARI JKP KE MARGARANA’’ Peluncuran Buku Antologi Puisi Bilingual ‘’PENULIS MANTRA’’ karya Dewa Sahadewa, Kupang Jam: 18.00 - 21.00 Wita di : Jatijagat Kampung Puisi JKP 109 Pembicara : Prof. Darma Putra Moderator : Wayan Jengki Sunarta Workshop Musik Puisi oleh FILESKI (Seniman dari Surabaya) Jam : 15.00 - 18.00 Wita di : Jatijagat Kampung Puisi JKP 109
Melihat Lukisan, Membuat Sajak (Chairil Anwar....)
NGAMPOENG SENI DUA (2) PERUPA PLUS... JKP-109 Minggu UMANIS 27 November 2016
WAYAN REDIKA (Karangasem - Denpasar) PUTU SUTA WIJAYA (Tabanan - Yogya) akan menghadirkan DUET Gradag gurat, grudug gowet APRE November 2016 JKP 109 Minggu UMANIS 27 November 2016, pukul 19.00 WITA di Jatijagat Kampung Puisi. Made Wianta, Nyoman Gunarsa, Made Budhiana, Nyoman Erawan, Nyoman Wirata rasa rasanya pernah dipuisikan para penyair kita di Bali. Ini dia Kesempatan terbaik untuk di-wentnen-play-kan di puncak November 2016.... BPM-ist