Bali Post
SEJAK 1948
Pengemban Pengamal Pancasila
Regulasi Belum Nyambung
Gubernur Minta ’’Krama’’ Bali Bersabar Denpasar (Bali Post) Maraknya kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang gencar dilakukan Tim Saber Pungli membuat banyak aparat desa/banjar pakraman di Bali, seperti klian adat dan pecalang ketakutan dalam melaksanakan tugas. Padahal, tugas mereka mengurus adat sangat berat. Untuk itu, bukan pemidanaan yang ditonjolkan, namun pembinaan. Hal itu diungkapkan pengamat hukum adat yang juga nayaka (staf ahli) MUDP Kota Denpasar, Dr. A.A. Ketut Sudiana, S.H., M.H. Dia melihat selama ini belum sinkron alias adanya kesamaan pandangan antara MUDP dengan aparat penegakan hukum dan penyidik di Saber Pungli sehingga klian banjar atau aparat desa pakraman di–OTT saat mereka menjalankan pararem banjar atau desa. Saat OTT, seharusnya mereka mendapat pendampingan dari MUDP guna meyakinkan mereka bertugas atas dasar pararem.
A.A. Ketut Sudiana yang juga dosen FH Unmas ini menegaskan solusi yang paling baik adalah dengan mengutamakan pembinaan. ‘’Bersamaan dengan itu dibuatkan perda atau perwali yang menjadi payung hukumnya,’’ tegasnya Sabtu (10/11) kemarin. Hal itu direspons positif oleh Gubernur Bali, Wayan Koster. Pararem dan awig-awig kerap menjadi dasar bagi desa atau banjar pakraman untuk melakukan pungutan. Hal. 11 Menjadi Kelemahan
Desa Pakraman Bukan Organisasi Liar Oleh I Gede Pasek Suardika PUNGLI itu pungutan liar. Liar aturannya, liar pelakunya. Menyamakan prajuru desa pakraman dengan liar-liar itu, baik liar aturannya dan liar pelakunya adalah bentuk pelecehan. Desa pakraman bukan organisasi preman, bukan organisasi tanpa bentuk (OTB) yang memang liar. Desa pakraman adalah subjek hukum yang sah di Republik ini bukan liar. Lembaganya diakui negara bahkan di konstitusi negara pasal 18 B ayat 2 UUD 1945. Keberadaannya diakui termasuk keputusannya sepanjang sesuai dengan wilayah adatnya. Kalau ada perbedaan atau konflik norma antara hukum adat dan hukum formil maka itu harus diuji ke pengadilan ketentuan hukumnya, bukan dengan menangkapi prajuru dengan alasan pungli. Sekali lagi, Desa Pakraman bukan organ liar di republik ini. Desa adat sudah ada sebelum republik ini merdeka. Saya harus tegas ingatkan hal ini kepada siapa pun yang mewakili fungsi negara bertugas di Bali. Orang yang tidak mengakui hukum adat
masih berlaku dan hanya mengakui hukum formil termasuk perda saja maka perlu belajar hukum lagi. Di berbagai daerah di Indonesia masih banyak hukum adat berlaku dan diakui. Jangan mengaku mau memperkuat desa adat tetapi pernyataan dan kenyataannya tidak mengakui adanya hukum adat. Saat ini, DPR, pemerintah dan DPD-RI sedang membahas RUU tentang Kesatuan Masyarakat Hukum Adat. Jangan overdosis menggunakan kewenangan. Semua manusia ada batas kekuasaannya. Desa adat adalah roh kekuatan Bali sehingga menarik pariwisata dunia. Bijaklah bertugas. Lucu kalau mengaku memperkuat desa adat itu dengan cara mempermalukan desa adat. Kalau memang mau memperkuat maka lakukan fungsi pembinaan bukan pemidanaan yang mempermalukan eksistensi desa adat. Hal. 11 Pemidanaan
Ketika ’’Pararem’’ Tergerus Oleh Hukum Positif
Bali Hanya Dinikmati, Pemanfaatan Potensi Lokalnya Dibatasi? Pungutan liar sering disingkat dengan istilah pungli. Dalam konteks bahasa, pungutan liar disebut sebagai pungutan yang ilegal, pungutan tak berdasar. Atau pungutan tanpa dasar hukum. Nah di Bali saat ini gaduh masalah OTT yang dilakukan Satgas Saber Pungli. Pihak yang kontra menuding OTT dilakukan karena sengaja ingin melemahkan posisi desa pakraman. Sebaliknya, pihak kepolisian justru mengaku menguatkan desa adat dengan dilakukan penangkapan tersebut.
Asal Tak Memaksa dan Melanggar Hak KEPOLISIAN saat ini menjadi sorotan sejak OTT kasus pungli di pos-pos yang dikelola banjar dan desa pakraman adat. Pandangan publik khususnya krama Bali terbelah, ada yang pro dan kontra. Bahkan, ada yang khawatir penangkapan tersebut untuk melemahkan peran desa pakraman. Meski demikian, Kapolda Bali Irjen Pol. Dr. Petrus Reinhard Golose tidak terusik karena apa yang dilakukan tersebut sesuai undangundang positif dan Perda Provinsi Bali. Bahkan, dia mengapresiasi Kapolres yang berhasil mengungkap kasus tersebut. Hal. 11 Terus Bergerak
Made Somya Putra
Wayan Sumardika
Ketut Kusuma
DI Bali, banyak pungutan yang dilakukan berdasarkan atas pawuman adat atau pararem dan atau awig-awig. Atas nama desa adat, kemudian ada pengayah yang ditunjuk sebagai eksekutor. Artinya,
mereka menjalankan tugas sebagaimana perintah desa adat. Misalnya memungut retribusi parkir karena di wilayah adat mereka ada objek wisata. Itu tidak hanya ada di Tanjung Benoa, Sanur, Jungut Batu
(Nusa Penida), atau di Tirta Empul, Tampak Siring. Jika ditelisik banyak desa menerapkan itu, guna meringankan beban masyarakat adat. Hal. 11 Pembuktian Yuridis
Tugas Satgas Saber Pungli
Pendapatan Desa Pakraman
(Perpres No.87 Tahun 2016 )
Berdasarkan ketentuan (pasal 10 ayat (1) Perda No. 3 tahun 2001 ) pendapatan Desa Pakraman diperoleh dari
Memberantas pungutan liar secara efektif dan efisien dengan mengoptimalkan pemanfaatan personel, satuan kerja, dan sarana prasarana, baik yang berada di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah Membangun sistem pencegahan dan pemberantasan pungutan liar Mengoordinasikan, merencanakan serta melaksanakan operasi pemberantasan pungutan liar
stop pungli
Melakukan operasi tangkap tangan (OTT)
Urunan krama desa pakraman Hasil pengelolaan kekayaan desa pakraman Hasil usaha Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Bantuan pemerintah dan pemerintah daerah Pendapatan lainnya yang sah Serta sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat
Cara Hindari OTT
Kerja Sama dengan Instansi Pemerintah KASUS petugas pungut retribusi parkir di Pantai Matahari Terbit, Sanur kena Operasi Tangkap Tangan (OTT), beberapa waktu lalu, disikapi sejumlah kalangan. Kondisi ini harus disikapi serius, agar tidak lagi terulang kasus serupa. Karena selama ini, aturan yang memayungi kegiatan tersebut belum kuat secara hukum. Karena itu, diperlukan kesepakatan atau MoU dengan instansi pemerintah yang terkait. Hal ini ditegaskan Bendesa Desa Pakraman Pedungan I Gusti Putu Budiartha, Jumat (9/11) lalu. Dikatakan, kasus OTT yang terjadi selama ini karena pijakan hukumnya masih lemah. Hal. 11 Kerja Sama
‘’Pararem‘’ Dianggap Ilegal, Itu Namanya Pelemahan Desa Pakraman MARAKNYA kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang gencar dilakukan Tim Saber Pungli membuat aparat desa adat/pakraman tersebut dilema dalam memungut iuran bagi penduduk pendatang. Padahal, dalam peraturan desa (pararem) yang telah dibuat dan disepakati bersama, iuran tersebut ke depannya untuk kebaikan penduduk pendatang itu sendiri apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Dana ini menurut Ketua DPRD Kota Denpasar, I Gusti Ngurah Gede, S.H., dikenal sebagai pasayuban alias pengamanan. Penduduk pendatang sama haknya mendapat keamanan dan ketika ditimpa pancabaya seperti rumah terbakar, pencurian, dll. ‘’Jadi, besarnya sumbangan ini dilaporkan tiap bulan di pasangkepan krama. Kalau terus diintai, saya khawatir tak ada yang mau menjadi prajuru banjar atau desa,’’ tegasnya. Banyak yang menganggap bahwa kasus OTT yang menyasar aparat desa pakraman merupakan suatu upaya pelemahan desa adat di Bali. Terhadap hal ini, akademisi Unhi Denpasar, I Kadek Satria, S.Ag., M.Pd.H., mengatakan bahwa segala yang ada di desa pakraman sudah sepatutnya dikelola dengan baik
oleh desa tersebut. Sebab, segala sesuatunya telah diatur melalui pararem. Apalagi, pararem yang dibuat telah dianggap sah karena hasil keputusan rapat desa pakraman dan sebagai terusan dalam pelaksanaan awig-awig desa. Di Bali, kata dia, desa pakraman merupakan benteng dari kebudayaan Bali yang bernapaskan Agama Hindu. Apabila desa pakraman diacuhkan, maka akan menjadi masalah terkait dengan keberlangsungan kebudayaan Bali ke depannya. “Jika pararem menjadi salah satu yang ilegal bagi aparat hukum, berarti juga akan memperlemah desa pakraman di mata hukum,” tandas Kadek Satria Sabtu (10/11) kemarin. Sementara itu, akademisi hukum Dr. Ida Bagus Radendra
Suastama, S.H., M.H., mengatakan secara hukum, peraturan desa apakah berupa pararem dan sebagainya tetap tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan. Meskipun dalam pararem tersebut maksudnya baik, namun jika kemudian maksud baik tersebut dilaksanakan tidak sesuai ketentuan hukum yang berlaku, maka tentu ada konsekuensi hukumnya. Apalagi dalam hukum, sekadar maksud atau niat saja tidaklah cukup. Sebab, hukum berurusan dengan tindakan atau perbuatan, sehingga harus dilaksanakan dengan dasar hukum dan payung hukum yang memadai. “Jika ingin melakukan pungutan (iuran) kepada siapa pun atau penduduk pendatang, walaupun dengan niat baik,
mesti dipelajari dulu hukumnya. Rapat-rapat di banjar dan desa perlu mengkaji aspek hukum dari kesepakatan yang akan dibuat. Misalnya dengan meminta pendapat para ahli hukum di banjar atau desa tersebut. Tapi tentu orang hukum yang benar-benar paham hukum, baik ketentuan maupun filosofinya. Bukan sembarang orang yang mengaku paham hukum namun belum tentu paham sampai ke filosofinya,” ujar Radendra. Agar iuran yang dilakukan tidak melanggar hukum, ada beberapa solusi yang harus dilakukan aparat desa. Di antaranya, menyodorkan pernyataan kepada warga pendatang, yang jika mereka setujui maka mereka tanda tangani. Isinya misalnya bahwa demi antisipasi dalam
hal terjadi sesuatu kejadian yang tidak diinginkan, juga aspek keamanan dan ketenteraman, dan juga sebagai iktikad untuk ikut membangun desa/ banjar tempat mereka tinggal saat ini. Iuran yang dilakukan sifatnya sukarela tanpa tekanan atau keterpaksaan. Jika mereka tidak bersedia, maka tentu kewenangan aparat desa atau banjar untuk melayani atau tidak melayani hal-hal kependudukannya adalah bahan pertimbangan aparat setempat. Dengan pertimbangan bahwa yang bersangkutan berpotensi memunculkan masalah atau beban sosial ke depan bagi banjar/desa tersebut. “Itu kewenangan sah dan wajar dari aparat desa, sejauh dasarnya jelas,” tegasnya. (win/sue)