Edisi 11 Februari 2018 | Balipost.com

Page 15

15

Minggu Paing, 11 Februari 2018

Pembubaran Pengajian Gus Dur Di masa Orba, kalau saya mau baca puisi di depan publik, harus minta izin minimal ke Polres, menyerahkan puisi-puisi yang akan saya baca untuk diperiksa dan ditentukan mana yang boleh dibaca dan mana yang tidak. Atau ada satu dua puisi boleh dibaca, kecuali kalimat-kalimat atau kata yang dicoret oleh Polisi. Demikian juga acara-acara lain: seminar, simposium, pertunjukan musik, juga pengajian. Kepolisian mengawasi, mengizinkan atau melarang teks, kalimat, kata dan huruf. Kalau penampilnya tingkat nasional, pemeriksaan dilakukan oleh Polda, atau bahkan Mabes Polri. Kalau tingkat “bahaya”-nya ekstra, TNI diperbantukan untuk mengontrol. Saya diminta berceramah bersama Gus Dur di Jember, dilarang. Tapi spanduk tetap tersebar di jalan raya dan berbagai wilayah Jember: “Selamat Datang di Jember KH Abdurahman Wahid dan Emha Ainun Nadjib”. Dan acara tetap berlangsung. Karena pihak yang berwajib agak lupa-lupa bahwa KH Abdurahman Wahid adalah Gus Dur, dan Emha Ainun Nadjib adalah Cak Nun. Tidak mengherankan . Pasukan Banser sendiri ketika Presiden Gus Dur ke Malang, para Banser berkoordinasi di antara mereka: “Laporan, nDan. Presiden Abdul Rachman Saleh telah mendarat di Bandara Abdurrahman Wahid”. Kata memang terkadang selip di lidah dan bibir. Gus Dur mendapat jaminan dari pengusaha Madura: “Jangan kuwatir Gus, saya bikinkan gedung khusus untuk kantor PKB. Semua fasilitasnya lengkap, cuma Eternit-nya yang saya bingung pengadaannya…”. Maksudnya Internet. Pada suatu hari Pesantren Tambakberas Jombang mengadakan seminar dengan pembicara Gus Dur, Prof Dr Nurcholish Madjid dan Bu Megawati. Mestinya dengan saya juga, cuma saya sedang puasa bicara di depan publik, jadi saya hadir saja sebagai pendengar. Karena di samping Bu Megawati pembicaranya adalah tokoh utama Islam, Gus Dur dan Cak Nur, maka acara ini bersuasana pengajian. Ketika pembicara pertama, Cak Nurcholish Madjid di podium, di luar gedung tiba-tiba terdengar teriakan massal dan keras “Allahu Akbar” berulang-ulang. Saya lari keluar. Ternyata anak-anak kita PMII, Ansor dan Banser bereaksi dan bikin pagar betis untuk menghalangi dua rombongan, pasukan Kodim dan Polres Jombang, jangan sampai mendekat ke gedung seminar. Saya loncat dan menyongsong Komandan tentara dan Polisi. Dengan merendahkan diri dan penuh sopan santun, saya ajak mereka ke bawah pohon di depan pintu masuk Pesantren dari jalan raya. “Supaya anak-anak ndak kemriyek Pak…”, sambil saya bisikkan pertanyaan: “Sampeyan diperintah untuk membubarkan acara Seminar ini

ya?”. Komandan meng-iya-kan. Ada suratnya? Ada, katanya. Lantas saya usul: “Sampeyan dan pasukan tolong tunggu di bawah pohon ini sebentaaaar saja. Komandan saya antar masuk seminar dan saya dampingi untuk membacakan Surat Pembubaran Acara. Yang penting Sampeyan laksanakan perintah sehingga beres dengan Pak Dandim”. Demikianlah. Kami masuk ruang Seminar. Saya interupsi, mohon waktu beberapa menit. Kemudian Komandan saya ajak naik podium dan membacakan surat pembubaran. Semua terpana dan bingung. Saya ambil mikrofon: “Bapak-bapak saya mohon acara break beberapa menit. Perkenankan saya mengantar keluar Pak Komandan dan mencoba bicara kepada anak-anak kita di luar agar jangan marah-marah dulu”. Kami keluar dan saya membisikkan itu kepada anak-anak muda yang progresif revolusioner itu agar tenang sebentar. Pokoknya lima sampai sepuluh menit tolong jangan lakukan apa-apa dulu. Kemudian saya antar Komandan kembali ke pasukannya dan saya bisikkan: “Tolong tunggu saya beberapa menit saja, saya harus kembali ke ruang seminar, mudah-mudahan tidak ada keributan. Yang penting Sampeyan sudah melaksanakan instruksi dengan baik…” Saya kembali ke ruang Seminar yang gemeremang dan agak bingung suasananya. Saya naik podium. “BapakBapak Ibu-Ibu, acara Seminar kita telah dibubarkan. Jadi marilah kita bikin acara yang baru…” Saya menengok ke Gus Dur: “Gus, tolong kasih nama acara kita yang baru ini, apa ya?”. Gus Dur dengan kecerdasannya spontan menjawab: “Mauidloh Hasanah, Cak”. Setuju. Itulah hari lahirnya istilah ‘Mauidloh Hasanah’. Saya umumkan: “Saudara-saudara marilah kita mulai acara Mauidloh Hasanah ini dengan bacaan Basmalah”. Semua membaca bismillahirrohmanirrohim. Kemudian saya teruskan: “Saya persilakan pembicara yang pertama, Bapak Nurcholish Madjid”. Cak Nur naik dan meneruskan pembicaraannya yang tadi terpotong oleh pembubaran acara. Kemudian segera saya lari keluar menuju bawah pohon di mana saya berjanji untuk menemui Komandan kembali. Beliau dan pasukannya saya ajak mengobrol. “Sampeyan sudah bathi berapa, Ndan?”. Maksudnya sudah punya anak berapa. Mau tidak mau dia menjawab: “Dua Cak”. “Lanang? Wedok?”. “Alhamdulillah satu lakilaki, adiknya perempuan”. “Sekolah di mana?”. “Aslinya Sampeyan dari mana? Kalau Ibu? Sebelum tugas di Jombang dulu tugas di mana?”… Pokoknya saya taburi beliau dengan pertanyaan-pertanyaan persaudaraan, kemanusiaan dan kasih sayang. *** l Emha Ainun Nadjib Yogya, 6 November 2017

Airlangga Di masa tuanya, rakyat mengenalnya sebagai Genthayu. Seorang empu sakti, Bharadah, yang namanya telah menjadi klasik dalam cerita Calonarang, menahbiskan dirinya dengan sebutan Jatiningrat. Gelarnya ketika menduduki takhta adalah Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramauttungadewa. Sebagaimana halnya Raja Asoka, dia menganggap dirinya cakrawartin, penguasa dunia. Pemutar roda. Dan sejarah berpusar di sekitarnya. Terkatakan dan nyaris tidak terkatakan. Tersurat sekaligus tersirat. Dan ada yang tak bisa dijelaskan bagaimana akhirnya. Konon, ia bukan putra mahkota yang dipersiapkan buat menduduki takhta, ia kemenakan raja yang selamat ketika pralaya tahun 1016. Segera setelah istana hancur, setelah seluruh kerabat gugur, ia melarikan diri, ia bersembunyi dari kaum Wura-wari, dan –seperti dalam epos tokoh Rama– ia berpakaian compang-camping, keluar masuk hutan dan gunung. Ia mengembara tiga tahun lamanya. Hidup sebatang kara. Berlaku seperti petapa. Tapi catatan sejarah tidak pernah memberitakan adanya pengejaran kaum pemberontak terhadap Airlangga. Sebuah prasasti berbahasa Jawa Kuno hanya menyebutkan bahwa Airlangga sejak kelahirannya telah ditakdirkan sebagai ksatria mahapurusa. Ia dianggap titisan Dewa Wisnu –Si Pengendara burung Garuda. “Karena penjelmaan Wisnu, ia tak binasa oleh mahapralaya sekalipun…” Sebab itu, suatu hari di musim basah, setelah huru-haradan takhta kerajaan kosong lama, setelah laku tapa yang berat dan berlarut-larut itu, orang-orang suci Budha, Syiwa, dan para Brahmana memanggilnya. Dan dengan restu mereka, yang tidak diduga-duga, ia –yang punya tampang menarik; bermata lembut; penuh sopan santun; irit bicara; dan bangsawan Bali– dinobatkan jadi penguasa menggantikan Dharmawangsa, raja yang pegal dan bernasib sial. Kini ia jadi pusat. Tapi tak langsung melakukan hal-hal hebat, menumpas para pemberontak, ia justru memilih diam, diam, diam, diam. Dan setelah bertahun-tahun bungkam, ia angkat senjata, ia perangi para penguasa yang tak mau patuh padanya, ia mulai satukan kembali daerah-daerah yang terpisah

l Anggur

sejak pralaya. Mungkin benar, hidup Airlangga telah digariskan.Dia harus bertempur, memulihkan ketertiban kerajaan. Betapa tidak, bukankah itu telah dikerjakannya: Raja Bismaprabawa ditaklukkannya; Raja Wijaya dari Wengker dikalahkannya; Raja Ajampanuda ditumpasnya; seorang perempuan penguasa daerah selatan “yang bertenaga luar biasa seperti raksasa” ditundukkannya; dan Raja Wura-wari disingkirkannya. Sejak itu, ia telah menempatkan dirinya sedemikian rupa. Orang mulai mengingatnya dan akan menulis riwayatnya yang megah. Salah satu prasasti mencatat kebesarannya itu, “Ia –Airlangga– duduk di tampuk singgasana dengan meletakkan kaki di atas kepala musuhmusuhnya”. Setelah pemerintahannya yang singkat, ia mengundurkan diri dan bersiap menuju kehidupan berikutnya, ia jadi pendeta di luar lingkungan istana. Tapi tak lebih dari sebulan setelah upacara pamitannya, ia kembali menjadi raja. Keterangan ini muncul dalam Prasasti Pamwatan dan Pasar Legi. Yang berangka tahun 1042-1043. Seseorang mengatakan waktu itu segala kegembiraannya telah lenyap dan pergi. Hatinya sedih.Airlangga yang gagah itu tak mampu menguasai perpecahan dalam lingkungan keluarganya sendiri. Ia tak berdaya. Suaranya gemetar, mukanya pucat, dan ia menggigil ketakutan, dan seolah-olah orang yang patut disalahkan. Tapi waktu telah habis. Ia tak mau lagi berharap. Ia mesti pamit untuk penghabisan kalinya. Tapi sebelum itu ia harus mengambil keputusan paling menyakitkan dalam hidupnya: membagi kerajaan yang pernah dengan susah payah dipersatukannya, Panjalu dan Janggala. Di Bali, ia mengangkat seorang raja muda, Marakatta. Dan lebih tragis lagi, sebelum mangkat, sebelum ia diabadikan di lereng Gunung Penanggungan, ia masih menyaksikan perang saudara itu. Orang saling bunuh, saling menghabisi, menggali kuburnya sendiri, dan hidup, akhirnya, kian menjadi mustahil dan jauh. Dan ia masih sempat bertanya. Darah siapakah ini Masih hidupkah mereka Dosa siapakah ini Demi Tuhan, katakanlah! Tapi kata-katanya membentur tembok, kedinginan dan lelah. l Agus Roisalam

Membubarakan Musyawarah “Jangan terlalu mudah bicara carok, duel, berantem, Ling”, Pakde Sundusin menegur Toling sambil tertawa, “Pakde kalian Tarmihim ini dulu punya pengalaman carok dalam arti yang sebenarnya, dalam fakta pedang, clurit dan medan tawur. Memangnya tanganmu pernah memegang pedang, kelewang, rotikalung, tombak?” “Ya tapi kalian memang masih muda belia di dalam usia maupun pengalaman sejarah”, Pakde Brakodin menambahkan, “masih hobi bikin pasukan, serba-serbu, sweepangsweeping…” Pakde Tarmihim karena rasa sayangnya kepada anak-anak muda dan mengharapkan mereka kelak menjadi penduduk bumi yang lebih baik dibanding sekarang yang suka banget tantang-menantang, pukulmemukul, jegal-menjegal, celaka-mencelakakan, mati-mematikan – mengingatkan tentang firman Tuhan yang sering dikutip oleh Mbah Markesot. “Bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh”. Dan manusia yang paling lembut dan selalu bersikap bijaksana, sehingga dijadikan Allah sebagai Rasul pamungkas-Nya, dipasangnya dalam posisi “tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Pakde Tarmihim bercerita tentang salah satu pengalaman kecil Mbah Sot: “1.500-an keluarga terusir dari kampungnya, karena bentrok antar kelompok pekerja di perusahaan Inti Plasma. Terdapat polarisasi kepentingan antara dua kelompok sesama Plasma yang jumlahnya sekitar 5.500 keluarga. Ada perbedaan, bahkan polarisasi pandangan dan sikap para Plasma ini terhadap sejumlah kebijakan atau peraturan perusahaan Inti. Yang satu cenderung taat, lainnya cenderung memberontak. Tapi itu belum tentu inti masalah yang sebenarnya.” “Pertengkaran yang berkepanjangan itu membuat Inti rusak fasilitasnya, terbengkalai pabriknya, keruh suasana budayanya. Inti Plasma ini produsen suatu packaging produk kuliner ekspor terbesar kedua sedunia. Tetapi bentrok massal yang mengakibatkan kematian sejumlah orang dan beberapa lainnya masuk penjara, itu membuat produksi terhenti hampir dua tahun. Keluarga kedua belah pihak menjadi tidak berpenghasilan. Keprihatinan dan kesengsaraan sosial merambah”. “Lokasi mereka di pelosok jauh sebuah provinsi. Tidak masuk akal dan tidak relevan bahwa saya diminta untuk merukunkan dan mempersatukan mereka kembali. Bukan karena punya kemampuan, melainkan semata-mata karena tidak tegaan hati: saya penuhi permintaan itu. Saya datang. Saya temui masing-masing pihak satu persatu. Ketika bertemu, masing-masing para pemimpin kelompok berpelukan dengan saya sambil mengucapkan “Allahumma sholli ‘ala Sayyidina Muhammad” “Kedua kelompok itu berasal dari suatu golongan besar “sepersusuan” (Ummat) nilai dan budaya. Beda konteks dan skala dengan Rakyat (Ra’iyat, kedaulatan) dan Masyarakat(Musyarokah, orang-orang yang berserikat). Mereka sama-sama pentradisi Shalawat, Tahlilan, Istighotsah, Hadlrah dan Rodat. Mereka sama-sama imigran dari Pulau Jawa. Sama-sama “wong cilik”, rakyat biasa yang lembut. Jadi kenapa mereka perang? Kenapa mereka menggunakan kekejaman (violence) untuk mengatasi masalah? Kenapa tidak “fatabayyanu an tushibu qouman bijahalah”? “Wain thoifatani minal mu`mininaqtatalu fa-ashlihu bainahuma”– sebagaimana Al-Qur`an memandunya dengan begitu eksplisit teknis? Atau kenapa tidak pakai Pancasila, melainkan malah membubarkan musyawarah dan mufakat? Lantas bagaimana?” l Joko Umbaran Kretek, 9 November 2017

Pembubaran di Gontor Yang hadir ke acara besar Ulang Tahun Pondok Modern Gontor Ponorogo itu banyak tokoh Pemerintah dan para Kiai. Menteri Agama, Gubernur Jatim, Pangdam, serta tentu saja para Muspika Ponorogo dan para tokoh alumni Gontor sendiri. Kemudian sangat penting untuk dicatat adalah tamu istimewa putranya Presiden Suharto, yakni Mas Bambang Trihatmodjo. Acara diliput oleh salah satu stasiun televisi nasional yang ketika itu paling unggul. Bersama KiaiKanjeng saya bertugas mengisi acara. Setelah beberapa lama saya bicara dan satu dua nomor musik dibunyikan, seseorang mendatangi saya memberikan sobekan kertas yang isinya merupakan pemberitahuan agar saya tidak berbicara politik dan sejumlah blablabla lainnya. Ternyata ada Setan numpang di secarik kertas itu dan langsung merasuki saya. Mendadak muncul amarah di dada saya dan suhu panas di kepala saya. Mungkin karena peristiwa pemberian peringatan itu tidak logis bagi saya. Kenapa Panitia mengundang orang yang mereka tidak percaya, sehingga perlu diberi peringatan? Saya bukan tukang makar. Saya tidak punya jiwa pemberontak. Tidak gagah berani melawan rezim. Mental saya pengecut untuk membenturkan diri saya kepada siapapun dan apapun. Maka tangan kiri saya naik, jari telunjuk saya menuding ke arah putra Presiden: “He Bambang, nanti sampai rumah hitung kembali semua hartamu. Berapa persen yang halal, berapa persen yang haram dan berapa persen yang syubhat…” Ruangan mendadak senyap. Anggota KiaiKanjeng berbisik dari belakang saya: “Cak, sudah, sudah tho. Itu anak Raja lho…” Sebelum saya bereaksi, tiba-tiba terdengar suara pembawa acara yang dibunyikan dari mikrofon di tempatnya: “Saudarasaudara, demikianlah tadi acara telah kita langsungkan dengan alhamdulillah lancar…” Saya gebrak meja. Setan benar-benar menguasai hati saya. “Diam!”, saya membentak, “Saya yang memulai, saya mengakhiri!”. Hampir saya teruskan menjadi improvisasi lagu dangdut: “Kau yang memulai, kau yang mengakhiri…”.

Untung masih tersisa kesadaran untuk membatalkannya. Semua diam dan tidak ada pergerakan apa-apa sampai paket KiaiKanjeng saya selesaikan. Ketika kami ke belakang panggung, ada tiga kali utusan, yakni ustadz-ustadz Gontor yang meminta saya untuk ke rumah Pak Kiai, makan bersama para tamu. Saya menjawab sangat kampungan: “Siapa saja yang butuh saya, ke sini”. Tiga utusan saya jawab sama. Sampai akhirnya saya kompromi: “Baik, saya bersama KiaiKanjeng akan ke tempat transit, kemudian kami akan pulang, beberapa kendaraan kami akan berhenti di depan rumah Pak Kiai, dan hanya saya yang turun”. Demikianlah yang kami lakukan. Konvoi kendaraan KiaiKanjeng berhenti tanpa mematikan mesin. Saya keluar, berjalan masuk ke rumah Pak Kiai, menyalami beliau dan pamit akan pulang ke Yogya. Saya langsung ngacir keluar rumah Pak Kiai, tanpa menoleh kepada satu orang pun. Kemudian kami melaju ke Ponorogo, mencari warung pecel. Tiga hari kemudian Bu Halimah menantu Presiden telepon saya. “Cak, tolonglah, sejak pulang dari Gontor Mas Bambang tidak mau keluar kamar dan tidak mau omong sama sekali. Bolehkah saya memohon Cak Nun datang ke Jakarta. Hanya Cak Nun yang bisa mengajak dia keluar kamar dan mengajak omong”. Saya sungguh berterima kasih kepada diri saya sendiri karena mau memenuhi permintaan itu. Saya ke Jakarta. Mengetuk pintu kamar beliau. Kemudian mengobrol sedikit. Dan ternyata di ruangan lain sudah berkumpul sekian orang yang memimpin pengelolaan GN-Ota. Mas Bambang menyuruh mereka menerangkan kepada saya apa saja yang mereka lakukan, dengan menunjukkan lembar-lembar faktanya. Pak Harto tidak marah anaknya saya tuding-tuding dengan tangan kiri di Gontor di depan khalayak. Karena Pak Harto sendiri yang menyuruh saya agar mempermalukan anaknya. Setiap Bapak memerlukan anaknya dipermalukan. Setiap Presiden membutuhkan anggota keluarganya dituding-tuding oleh rakyatnya. l Emha Ainun Nadjib Kadipiro, 8 November 2017

Membubarkan Kepentingan

Pakde Tarmihim meneruskan ceritanya tentang Mbah Markesot: “Tiga kali Mbah Markesot mengunjungi 5.500 masyarakat Plasma itu secara bertahap. Untuk mempelajari kenapa mereka berperang, menyerbu dan diserbu. Seorang “filsuf” Terminal Bus Tirtonadi mengatakan: Kakek-nenek masyarakat Jawa dulu mewanti-wanti bahwa sebelum bertengkar dengan orang pertanyakan dulu “opo perkarane, sopo musuhmu, oleholehane musuhan opo”. Apa perkaranya, siapa musuhmu dan apa perolehan dari permusuhan itu. Dalam mengidentifikasi apa perkaranya, bisa terdapat jurang perbedaan antara yang dipahami oleh massa dengan yang sebenarnya dimaksudkan oleh para pemimpinnya. Atau bahkan massa tidak mengerti motivasi, pamrih atau kepentingan para pemimpinnya.” “Di jarak antara pemimpin dengan yang dipimpin bisa terdapat disinformasi, manipulasi, kebohongan, atau kepentingan tersembunyi para pemimpin yang sengaja disembunyikan dari pengetahuan massanya, namun memobilisasikan mereka dengan mengatasnamakan kepentingan massa itu. Ketika permusuhan sudah menggejala, apalagi mewujud atau menemukan bentuknya: yang muncul kemudian bukan hanya “perkara”-nya, tapi juga harga diri kelompoknya, “lingsem” dan “mundur isin” alias “malu kalau mundur” dan terus terjang meskipun sampai ke liang lahat.” “Siapa musuhmu?” Sesama pensyaha-

Merah Persibu Ngampoeng Seni untuk Fenomena 27 dalam 72…

Sampai Jumpa Dalam PESTA PUISI Dendang Damba Denpasar 230 tahun Selasa Pon, 27 Februari 2018 Jam 17:30 di JKP-109 Saatnya SANGGAR PURBACARAKA Jalan Nias 13 Denpasar BERAKSI Menjelang 60 tahun FAKSAS - FIB Unud

dat, sesama pensholat lima waktu, sesama pemuasa Ramadlan, sesama pemenuh kewajiban zakat, sesama pencita-cita Haji, tetapi tidak se-kepentingan dunawi. Meskipun sesama penshalawat dan sesama “penerbang” Jawi atau Martapuran, tetapi menghalangi keuntungan materiilku. “Apa perolehan dari permusuhan itu?” Kesengsaraan bersama. Kebersamaan memasuki jurang kemiskinan. Serta kekompakan menghancurnya diri sendiri.” ”Sangat jelas Rasulullah menginformasikan: Jumlah kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian bagai sampah yang dibawa oleh air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian Wahn”. Apa itu Wahn? “Cinta dunia dan takut mati.” Mereka tidak percaya kepada tanggung jawab Allah dan kasih sayang-Nya kepada makhluk-Nya. Lantas takut mati, takut tidak kaya, takut tidak makan. Sehingga berebut, mencuri, memonopoli, mentangmentang. “Mereka adalah bagian dari bangsa yang semakin jinak dan mudah untuk ditipu oleh dunia”. “Dan kehidupan dunia ini

tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. Manusia makhluk Ahsanu Taqwim yang diistimewakan oleh Penciptanya ini dibikin pandir dan dungu oleh kesenangan dunia, sehingga menjadi Asfala Safilin. Mbah Sot mengajak sejumlah pemimpin mereka duduk bersama di tepi hutan. Entah apa saja yang dikemukakan Mbah Sot, tetapi itu Allah dan para Malaikatnya tidak tega, sehingga menolong mereka untuk akhirnya menyatu kembali. Pada pertemuan ketiga kami berkumpul semua kelompok dengan massanya. Mereka menangis berpelukan. Kemudian mesin Inti berputar kembali dan pelan-pelan mencapai ranking ekspor dunia kembali.” “Ukhuwah itu tercapai dengan cara membubarkan kepentingan segelintir orang, menggantikannya dengan pemahaman dan optimisme bersama bahwa kebersamaan dan kesatuan adalah wadah dari perlindungan Allah dan kemurahan rezeki-Nya. Wilayah itu sekarang menjadi Indonesia Kecil yang tenteram sumringah. Sangat berbeda dengan Indonesia Besar yang dipenuhi dendam dan amarah.” Joko Umbaran Kretek, 9 November 2017

l Spirit Ruh Bangsa, Tes Ke-Indonesiaan Raya Kita

CAKRA Yadnya EDUKASI (H) Cinta Nusantara 2018 l

JKPemerdekaan-109, Pijakan Start Ke-rasadiri-an l

Sangkan Paraning Dumadi, yang Terpanggil Sepenanggungan

Januari-Rememberance 27 in 72…, 72 in 27

Road to Homecoming 230 Years Old Denpasart!

Januari PARA : Bill Saragih, Michael Schumaeher, Issac Newton, Mooryati Subadiyo, Kahlil Gibran, IBM Dharma Palguna, Ibu Kasoer, Ridho Rhoma, Dewi Pradewi, Susi Pujiastuti, Maharani MM Raniraning, Aristotle Onassis, Alex Ferguson, All Capone, Muhammad Ali, Ari Lasso, Pep Guardiola, Gitaning Nirmala Palupi, Reina Caesilia Nina, Raudal Taying Banua, Arjen Robben, Jenderal Soedirman, Basuki Abdullah, Mayumi Isawa, Komang Gede Aryasa, Ragil S. Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Jose Manrinho, Putri Susanti, Jaya Suprana, Agus Roisalam, Agung Bawantara. HUBUNGI dan Aktif Mengikuti Wayan Jengki Sunarta via Facebook dua(2) Minggu sebelum KOMUNITAS ANDA di JKP-109


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Edisi 11 Februari 2018 | Balipost.com by e-Paper KMB - Issuu