balipost (158rb Like) http://facebook.com/balipost
Minggu WAGE, 9 April 2017
@balipostcom (4.812 Follower) http://twitter.com/balipostcom
@balipostcom http://instagram.com/balipostcom
TELEPON: Iklan/Redaksi/Sirkulasi (0361) 225764 Facsimile: 227418
iklan@balipost.co.id redaksi@balipost.com
Maudy Ayunda 107 Tahun Wayang Orang (WO) Sriwedari Rilis Video Klip Akan Tampil di Gedung Pewayangan Jakarta Lagu Baru AKTRIS sekaligus penyanyi Maudy Ayunda hari ini mengeluarkan klip video lagu “Satu Bintang di Langit Kelam”, yang juga menjadi lagu untuk film terbarunya “Trinity The Nekad Traveler”. “Rasanya tentu senang banget bisa bekerja sama lagi dengan Mbak Dewi, sudah kangen banget sih bisa menyanyikan lagu beliau lagi. Karena ini lagu remake, pastinya ada beban tersendiri. Walau lagunya gak kalah bagusnya dengan versi yang sebelumnya, tapi harus sama kerennya dan harus berbeda untuk bikin orang merasa bahwa ini versi baru yang sukses,’’ kata Maudy dalam siaran pers, Jumat (7/4). Lagu ini pertama kali dipopulerkan trio Rida Sita Dewi (RSD) pada 1995 lalu, yang diciptakan oleh salah satu anggotanya Dewi “Dee” Lestari, yang kini lebih dikenal sebagai penulis novel. Dee terinspirasi dari kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono “Hujan Bulan Juni”. Maudy tidak ingin terjebak dengan kepopuleran lagu itu sehingga ia benar-benar memikirkan bagaimana membawakan lagu itu. Menurut Maudy, sesi paling menyenangkan adalah sebelum merekam “Satu Bintang di Langit Kelam”, ia berdiskusi dengan Dee mengenai makna lagu yang memuat banyak metafora ini. “Bahwa lagunya seperti apa sih, ceritanya tentang apa, apakah ini lagu sedih atau apa. Jadi, banyak sekali brainstorming session di balik recording lagu ini. Apalagi lirik di lagu ini sangat dalam, kita sempat berargumen tentang arti sebuah kalimat. Kalau gak salah kalimatnya ‘jadilah diriku selatan’. Jadi kita banyak interpretasi dari lagu ini, menurut aku ini yang membuat lagu ini menarik”, kata Maudy tentang proses produksi lagu ini. (ant)
Jakarta (Bali Post) Dinas Kebudayaan Kota Surakarta, bekerja sama dengan Triardhika Production, akan mementaskan grup Wayang Orang (WO) legendaris ‘Sriwedari’ di Gedung Pewayangan Kautaman, Jakarta Timur, Selasa (25/4) mendatang. Pergelaran mengusung cerita “Mintaraga” dengan penekanan tema; interested menjunjung jati diri budaya bangsa. Lakon tersebut terinspirasi dari Serat Arjunowiwaha yang kemudian menjadi lakon utama dalam pertunjukan ini. Pementasan ini berkaitan dengan acara Kongres IX SENAWANGI (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia), yang digelar di Jakarta. “Dengan semangat menjaga budaya, kami ingin memberi ruang apresiasi melalui pementasan Wayang Orang (WO) Sriwedari. Seni tradisi sebagai ungkapan kehidupan yang tidak hanya mengandung tatanan estetika, namun juga pandangan hidup, tata nilai dan identitas diri,” papar Produser Triardhika Production, Eny Sulistyowati S.Pd., M.M., kepada wartawan, di kantornya, di Jakarta Selatan, Jumat. Wayang Orang (WO) Sriwedari, terang Eny, merupakan komunitas seni budaya paling fenomenal, yang kini usianya menginjak 107 tahun. “Walau terimbas oleh dinamika zaman, namun grup kesenian ini tetap eksis
menjaga marwah dan kegemilangannya,” ujar produser, yang juga ikut berperan sebagai Batari Supraba, dalam pementasan ini. Wayang Orang (WO) Sriwedari pernah mengalami masa keemasan yaitu di masa Rusman, Darsi, dan Surono, sebagai penggiat wayang yang paling banyak dikenang oleh pencinta Wayang
Orang. Wayang Orang (WO) Sriwedari mempunyai kekuatan pada tokoh tokohnya, di samping konsep garapan. “Kami ingin menunjukkan bahwa Wayang Orang (WO) Sriwedari sebagai kesenian tradisional, mampu eksis dan berkembang sesuai zaman. Dari segi artistik, bobot isian cerita, pola penggarapan, dan visual panggung,
kami terus mencoba menggali warna-warna baru dengan tetap berpola pada kekuatan klasik Wayang Orang,” terang Agus Prasetyo, S.Sn. yang bertindak sebagai sutradara, sekaligus memerankan tokoh Mintaraga. Pergelaran “Mintaraga” Wayang Orang (WO) Sriwedari ini, juga mendapat dukungan dari Pemerintah
Kota Surakarta. “Pemerintah Kota Surakarta, khususnya Dinas Kebudayaan, sangat mengapresiasi dan menyambut gembira dengan diundangnya Wayang Orang (WO) Sriwedari untuk pentas di Jakarta, dalam rangka Kongres IX Senawangi,” sambut Kepala Dinas Kebudayaan Pemerintah Kota Surakarta, Sis Ismiyati. (pik)
BPM/pik
Pentas Wayang Triardhika Pro.
Night Bus
Drama Thriller nan Mencekam
Bali dan India brolan BALE BANJAR ARIDUS PAGANISME adalah istilah yang mulai muncul saat kepercayaan pada Tuhan Yang Esa atau monoteisme berkembang. Ini sebenarnya stigma setara kafir, musriek, dan syirik, bagi para penganut kepercayaan pada dewa-dewi serta roh dan kekuatan alam. Padahal bila tidak mengingkari sejarah asal-usul kepercayaan yang kemudian terkristal menjadi keyakinan, paganisme yang terdiri dari animisme dan dinamisme adalah awal pengenalan manusia terhadap Tuhan. Animisme adalah kepercayaan bahwa semua benda di jagat raya ini memiliki roh, sedangkan dinamisme meyakini semua benda tersebut memiliki kekuatan. Sayang, karena fanatisme begitu tebal terhadap kredo tertentu, membuat orang sengaja meninggalkan sejarah sekaligus mengabaikan asal-usul. “Aku tidak akan menyinggung agama lain karena pengetahuanku jauh dari cukup untuk itu, lagi pula aku khawatir dipolisikan bila salah ucap dan tafsir. Nah, keyakinanku yang kini bernama Hindu Dharma sejak
1964, merupakan perubahan dari Hindu Bali, nama yang dilekatkan mulai tahun 1958. Sebelumnya bernama Agama Tirta, karena semua upacara keagamaan dianggap suci dan lengkap setelah disiratkan tirta atau air suci. Bahkan konon tatkala sekte masih mewarnai kehidupan beragama di Bali, nama agama sebanyak nama dewa yang oleh masing-masing sekte dianggap paling kuat dan sakti. Makanya ada Agama Brahma, Wisnu, Siwa, Indra, Bayu, Mahadewa, Sambu, Rudra dan lain-lain. Semua nama dewa tersebut merupakan manifestasi dari benda-benda alam dan aktivitas atau keadaan. Wisnu sebagai Dewa Air, Brahma api, Siwa udara. Bayu angin, Indra perang, Saraswati ilmu pengetahuan, Ganesha kebijaksanaan. Perlu disadari bahwa semua nama itu merupakan barang impor dari India, yang dilekatkan setelah kedatangan Hindu ke Nusantara dan Bali khususnya. Jangan salah sangka, kepercayaan pada roh dan kekuatan alam tersebut sudah diyakini para nenek moyang orang Bali, lalu nomenklatur berbahasa Sanskerta dilekatkan, saat Agama Hindu datang. Jadi, aku tidak mau munafik dan mengingkari jasa para leluhur kita, yang meletakkan dasar keyakinan kita, saat mereka masih berstatus politeis, paganis, namun tetap mempertahankan kebudayaan dan tradisi mereka. Mereka menolak adaptasi dan dominasi, namun setuju berakulturasi dan bersimbiose mutualistis,“ papar Rubag.
INDUS T RI perfilman Indonesia setiap hari, bulan, dan tahun semakin meningkatkan kualitas film karya anak bangsa, dengan berbagai genre yang siap tayang di seluruh bioskop Indonesia. Kali ini, industri perfilman Indonesia akan diramaikan dengan sebuah film yang bergenre drama thriller ini bertajuk ‘‘Night Bus - Conflict Doesn’t Chose Its Victims’’, yang diproduseri oleh aktor dan presenter Darius Sinathrya (31). Film ini merupakan debut pertama Darius menjadi produser, yang cukup berani mengangkat ide sederhana d ari kejad ian yang bisa dialami siapa saja, dengan penggarapan yang kompleks serta membutuhkan
biaya tidak sedikit, yang sementara dana tersedia pun terbatas. Night Bus disutradarai Emil Heradi dan scenario ditulis oleh Rahabi Mandra ini memang menampilkan warna baru dalam film aksi Indonesia. Darius menggunakan visual effect atau CGI agar konflik dalam film tersebut semakin terasa atau real kepada penonton, yang menyaksikannya. “Mereka bukan bikin film, tapi mereka bikin sejarah dalam film,” begitu kata ahli Visual Effect Indonesia, Amrin Nugraha soal film Nightbus. Berawal dari kisah perjalanan pulang kampung dengan bus malam seorang pemuda yang lama meran-
tau di kota besar dan ingin kembali ke kampung halaman, sekadar menuntaskan rindu pada keluarga. Semua orang bisa saja punya pengalaman pulang kampung mengendarai bus malam, tetapi tidak semua orang memang terjebak konf lik yang sebab utamanya pun tidak diketahui para penumpang bus. Sekalipun dengan latar belakang berbeda, semua penumpang bus punya tujuan sama, hanya ingin pulang ke rumah dan tiba dengan selamat. Namun penyerangan secara tiba-tiba dari kelompok tidak dikenal di tengah perjalanan membuat nasib semua penumpang jadi sama. Terancam! Siapa yang hidup dan
tewas tidak pernah ada yang tahu, tapi semua berusaha bertahan hingga muncul konflik tajam. Adegan demi adegan jadi begitu mencekam, mulai dari kehancuran kota, kebakaran, kecelakaan hingga baku tembak mewarnai aksi dalam film ini. Semua itu dipoles halus dengan hasil maksimal sekalipun dana terbatas. Berkat kepiawaian dan kerja keras seluruh tim Night Bus Pictures, kita bakal bisa menyaksikan kecanggihan teknologi film yang baru pertama digunakan dalam film Night Bus. Dalam salah satu kesempatan Nightbus Campus Road Show beberapa waktu lalu, sempat ditanyakan kenapa mahasiswa yang
hadir lebih dari seratus lima puluh orang itu, tidak pernah nonton film Indonesia. Salah satu dari mereka menjawab karena Nggak Keren. Menjawab tantangan itu lagi-lagi Amrin Nugraha yang juga merupakan supervisor Visual Effect di film ini, berani menjanjikan kalau film Night Bus yang bakal tayang serentak 6 april nanti di seluruh bioskop Indonesia bakal mampu memuaskan apa yang mereka inginkan. Film ini didukung sederet nama besar seperti Toro Margens, Lukman Sardi, Alex Abbad, Edward Akbar, Teuku Rifnu Wikana, Donny Alamsyah, Rahel Ketsia, Tio Pakusadewo dan lainnya. (pik)
“Benar, kita tidak harus menjadi India karena menganut Agama Hindu. Semua jenis kesenian dan kebudayaan di Bali, termasuk tata berbusana, asli warisan leluhur. Segala jenis pengaruh dari India merupakan unsur-unsur pelengkap dalam kehidupan beragama, berbudaya dan bermasyarakat, sedangkan cikal bakalnya memang lahir dan tumbuh di Bali. Filsafat memang ada diambil dari cerita Mahabharata dan Ramayana, bukan berarti orang Bali tidak memiliki filsafat, justru hasil akulturasi membuat local genius atau kearifan lokal orang Bali jadi tetap eksis hingga kini. Hari Nyepi yang baru-baru ini kita rayakan merupakan titik puncak Trihita Karana, yang merupakan buah pikir leluhur orang Bali, merupakan fenomena mencengangkan di dunia. Orang modern berpikiran maju banyak yang terengah-engah mengejar dunia yang berlari cepat atau run away world, orang Bali justru mampu menghentikan dunia dalam tempo 1 x 24 jam. India yang dikatakan sebagai tempat kelahiran Agama Hindu saja tidak memiliki hari Nyepi. Mungkin saja di sana ada hari raya sejenis Galungan dan Kuningan, namun kita di Bali merayakannya di sanggah atau pemerajan, tempat suci keluarga masing-masing. Orang boleh menganggap Galungan sebagai kemenangan dharma melawan adharma atau memerangi musuh diri, namun bagiku, itu tetap perayaan buat menghormati para leluhur. Karena itulah sesajen atau banten lebih banyak dipersembahkan buat para roh yang berstana di Kemulan atau Bhatara Hyang. Jadi, orang Bali
melakukan ritual agamanya tanpa didominasi dan didoktrin pengaruh India, namun seturut dengan pandangan hidup atau way of life mereka,“ ulas Sudiantara. “Ya, Hindu datang ke Bali bukan untuk mendominasi atau menginginkan orang Bali menyerap dan meniru kebudayaan India. Coba lihat busana adatnya! Tidak ada wanita Bali yang tertarik mengenakan Sari, mereka lebih senang mengenakan kebaya dan kamben. Juga dalam busana lebih tradisional, Payas Agung atau Payas Tegeh lebih cocok melekat di tubuh mereka daripada pakaian adat lain. Ini sempat menggegerkan saat salah seorang wanita anggota rombongan Raja Salman mencoba mengenakan Payas Agung dan diposting di facebook. Begitu pula saat berkunjung ke pura, mereka mengenakan kain dan selempot di pinggang seturut aturan berbusana ke tempat suci di Bali. Ya, Bali memang unik, namun karena keunikan dan keramahan serta kedamaian hati masyarakatnya, membuat Raja Arab Saudi beserta 1.500 orang rombongannya menambah masa tinggal tiga hari di Pulau Dewata. Padahal saat mendarat di Bali, pesawat dengan peralatan canggih mengalami kerusakan pada elevator atau liftnya, sehingga pihak Bandara Ngurah Rai menggunakan Invalid Portable Lift agar Sang Raja bisa turun dari pesawat. Ajaibnya, saat Raja Salman berada di IPL, ekskavator pesawat normal kembali tanpa diperbaiki, malah tetap lancar saat rombongan meninggalkan Bali. Ada yang berpendapat bahwa kerusakan lift adalah sapaan dari para dewata-dewati pada penguasa dua kota suci
Mekkah dan Madinah, agar bersenang hati berlibur di Bali. Sekaligus menyampaikan pesan semiotika dengan memperpanjang masa tinggal kepada golongan bumi datar yang bersumbu pendek, bahwa Bali tidak sejelek yang mereka katakan,“ komentar Mardika. “Terlepas dari tuduhan, itu kepercayaan klenik atau takhayul, namun aku setuju kalau kerusakan elevator tersebut adalah sapaan dari penguasa alam astral terhadap penguasa alam nyata atau dua kota suci di Arab Saudi. Meskipun Agama Hindu Dharma kini dikategorikan monoteis, namun lima prinsip kepercayaan yang menjadi fundamental agama kita yakni Panca Sarada, menurutku, masih mengandung unsur animisme dan dinamismenya. Percaya adanya roh atau atman, di bawah kepercayaan pada Ida Sang Hyang Widi Wasa, lalu Punarbawa atau reinkarnasi, selanjutnya Karma Pala yakni hukum alam, dan terakhir Moksa yaitu bersatunya roh dengan Sang Pencipta, menyiratkan pendapatku itu. Terkait pada lima kepercayaan dasar itulah, orang Bali ikhlas melaksanakan ratusan jenis upacara keagamaan dan adat yang terbagi menjadi lima kelompok. Manusa Yadnya, upacara dari sejak berupa embrio hingga menutup mata terakhir, yang terdiri puluhan jenis ritual. Pitra Yadnya, upacara terkait kematian yang juga punya banyak rentetan yang berakhir hingga Mamukur, selanjutnya disambung ke Dewa Yadnya yakni menuntun roh almarhum ke sanggah Kemulan atau Batara Hyang. Dalam Dewa Yadnya juga
terdiri dari upacara di semua tempat suci dengan puluhan jenis, semuanya untuk pemujaan pada Tuhan Yang Maha Esa. Buta Yadnya, yakni persembahan suci untuk alam beserta isinya, demi keseimbangan dan harmoninya hubungan sesama ciptaan Tuhan. Terakhir, Resi Yadnya adalah ritual untuk menjadi orang suci atau sulinggih. Agaknya, jenis upacara di Bali melebihi yang dimiliki tempat kelahiran Agama Hindu,“ tutur Sugita. ”Persis, saat aku masih menjadi guide, aku sering menangani wisatawan India, malah ada yang bergelar Rsi. Mereka merasa iri dan kagum menyaksikan upacara yang dilakukan masyarakat Bali secara ikhlas kendati modernisasi yang didominasi pragmatisme dan materialisme
melanda dunia. Kondisi beragama seperti di Bali, tidak dijumpai lagi di India, meskipun tempat-tempat suci bersejarah bertebaran di sana. Akhirnya, aku berpendapat, akulturasi antara Hindu dari India dengan kepercayaan asli Bali berhasil secara simbiose mutualistis, karena tidak ada niat saling mendominasi atau menjajah. Peran wayang kulit dalam sosialisasi sangat baik, di mana figur Malen, Merdah, Sangut, dan Delem sebagai filter sangat fungsional dan efektif. Keempatnya bukan tokoh fiktif India, tapi asli Bali, yang berperan sebagai penerjemah dan penafsir. Mereka menolak yang tidak cocok dengan budaya kita, menerima yang cocok dan disesuaikan dengan pandangan hidup kita, “ imbuh Suryanegara menutup obrolan. (aridus)