Edisi 17 Mei 2016 | Balipost.com

Page 6

OPINI

6

Selasa Paing, 17 Mei 2016

Harian untuk Umum

Bali Post

Pengemban Pengamal Pancasila

Terbit Sejak 16 Agustus 1948

Tajuk Rencana Pro-Kontra Hukuman Kebiri KASUS perkosaan oleh 14 orang lelaki yang disertai pembunuhan terhadap korban Yuyun dan mayatnya kemudian dibuang ke jurang, seakan menyentakkan penghuni negeri ini akan pentingnya ditingkatkan lagi perlindungan terhadap kaum perempuan dan anakanak. Padahal kasus serupa, yakni kekerasan seksual yang sadis terhadap perempuan telah lama mencuat. Yakni kasus perkosaan terhadap seorang wanita asing oleh beberapa pria di dalam sebuah bus di India, di mana korban juga dibuang ke luar bus. Bahkan, jika balik ke belakang kasus kekerasan dan pelecehan seksual telah berlangsung sejak zamannya Mahabharata. Yakni kekerasan dan pelecehan seksual yang dilakukan seratus orang, yakni keluarga Korawa terhadap Drupadi. Kasus Yuyun sebenarnya hanyalah ujung permasalahan yang menyembul ke permukaan dari sebuah fenomena gunung es. Sebab, kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap kaum perempuan sebenarnya banyak terjadi di masyarakat. Mulai hal-hal kecil di ruang kerja, di lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, dan lingkungan yang lebih besar. Namun, kasus tersebut banyak yang ‘’ditutupi’’ karena alasan menyelamatkan masa depan korban. Beberapa kasus perkosaan malah diselesaikan dengan cara kekeluargaan, yakni pihak pemerkosa bersedia menikahi korbannya. Jika disimak, posisi kaum perempuan ini seperti tidak berdaya, begitu lemah, bahkan tidak mempunyai posisi tawar. Dalam kondisi seperti ini diharapkan negara/pemerintah menjadi satu-satunya harapan, yakni mengeluarkan perangkat hukum yang memberi hukuman berat bagi pelakunya dan melindungi serta memberi rasa keadilan bagi para korbannya. Dalam khazanah ini, kekerasan seksual apalagi terhadap anak di bawah umur diposisikan sama sebagai extra ordinary crime, kejahatan luar biasa. Mengingat masa depan korban telah direnggut dan hilang akibat kejadian ini. Bertolak dari kasus Yuyun dan beberapa kasus lainnya, mencuatlah wacana hukuman kebiri bagi pelaku. Dari wacana hukuman kebiri ini, kemudian lebih mengerucut lagi menjadi hukuman kebiri kimiawi. Kebiri kimiawi adalah memberikan obat antitestosteron yang efeknya dapat menekan hormon testosterone. Hormon tersebut berfungsi untuk menjaga gairah seks pria dan wanita. Jika orang dengan hormon testosterone rendah, maka gairah seksnya akan berkurang. Pelaku diberikan hukuman suntikan hormon antitestosteron untuk menghilangkan gairah seksnya dalam jangka waktu tertentu sesuai hukumannya. Namun hal ini dinilai kurang efektif. Menurut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi (Persandi) Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And., FAACS., hal itu lantaran gairah seks seseorang tidak hanya dipengaruhi hormon testosterone, tetapi juga pengalaman seks sebelumnya yang pada saat-saat tertentu muncul. Kondisi kesehatan dan faktor psikologis orang juga memengaruhi. Gairah seks bisa saja turun dengan pemberian obat antitestosteron, namun efeknya tidak langsung berdampak. Pemberian beberapa kali efeknya baru terasa. Setelah pemberian dalam jangka waktu tertentu, gairah seseorang akan kembali. Tentu saja hal ini tidak efektif diterapkan. Selain itu, jika hukuman kebiri bertujuan untuk menghilangkan gairah seks, tetapi efek yang lain juga akan muncul, dokter yang melakukan hukuman kebiri akan menjadi melanggar kode etik dan melanggar HAM. Mengingat pemberian hormon testosteron berdampak pada penumpukan lemak, sel-sel darah terganggu sehingga terjadi kurang darah (anemia), pembuluh darah terganggu yang berdampak pada jantung, tulang keropos, ingatan berkurang, dan kesuburan terganggu. Bahkan Kepala Bagian/SMF Psikiatri RSUP Sanglah dr. AA Sri Wahyuni, Sp.KJ. berpendapat hukuman kebiri tidak menyelesaikan masalah. Sebab, korban dari tindak kekerasan akan menjadi masalah di kemudian hari. Karena bisa saja korban yang trauma dan terganggu psikologisnya akan menjadi pelaku nantinya, sehingga kejahatan seksual tidak pernah terputus. Dari berbagai pro dan kontra tentang hukuman kebiri ini, jelas yang menjadi fokus masih pada pelaku. Sementara bagaimana nasib korban (yang masih selamat), seakan luput dari perhatian. Misalnya, bagaimana pemulihan psikologisnya, masa depannya dan sebagainya. Seharusnya yang lebih fokus menjadi perhatian, bagaimana upaya penyelamatan masa depan korban ini. Bahkan yang terpenting, upaya pencegahan dan penangkalan terjadinya kasus kekerasan dan kejahatan seksual pada perempuan dan anak-anak. Dengan keterbatasan aparat, tentu kesadaran masyarakat untuk melakukan cegah tangkal ini yang terpenting dimulai dari keluarga. Mengingat kecanggihan teknologi yang memudahkan anak-anak mengakses informasi, termasuk konten pornografi tidak bisa dibendung lagi. Setiap orang harus melakukan cegah tangkal dan peduli dengan nasib anak bangsa ini. Karena yang melahirkan anak-anak bangsa ini adalah kaum perempuan.

S URAT PEMBACA Persyaratan : Sertakan Fotokopi KTP atau SIM

Kasus Yuyun Perlu Penyelesaian yang Sistemik Seorang pelajar putri Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, berusia 14 tahun, menjadi korban pemerkosaan tukang ojek berinisial Mu (31), Minggu siang, 8 Mei 2016. Peristiwa di Dompu itu menambah daftar panjang korban pemerkosaan dan pembunuhan. Sebelumnya, muncul dua tragedi. Yuyun, siswi Sekolah Menengah Pertama di Bengkulu, diperkosa ramai-ramai, lalu dibunuh pada 2 April. Empat pekan berselang, mahasiswi Universitas Gadjah Mada Feby Kurnia Nuraisyah Siregar dibunuh di toilet kampus oleh seorang petugas kebersihan pada 28 April 2016 pagi. Saat mata masyarakat tertuju ke Bengkulu untuk mengetahui kelanjutan proses penyidikan kasus Yuyun, ternyata di Sulawesi Utara ada kasus yang mirip. Seorang perempuan berusia 19 tahun berinisial V diperkosa secara bergiliran oleh 19 pemuda. Bahkan, dua orang di antaranya diduga sebagai oknum aparat. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat tren peningkatan kekerasan seksual di Indonesia sepanjang tahun 2010 sampai 2015. Tren menanjak yang ditemukan berdasarkan hasil riset tentang pelanggaran hak anak itu terjadi hampir merata di semua kota/ kabupaten di Indonesia. Angkanya fantastis: lebih 21 juta kasus pelanggaran hak anak, dan sebanyak 58 persen di antaranya mengandung kejahatan seksual. Pasalnya kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak-anak tiap tahun terus meningkat. Belajar dari kasus Yuyun, kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak baik sebagai ‘’korban’’ maupun ‘’pelaku’’ perlu mendapatkan penanganan yang sistemik. Banyak faktor yang berpotensi menjerumuskan anak dalam tindak kekerasan seksual di antaranya: pengaruh miras, video porno, termasuk kemudahan mendapat kedua barang haram tersebut di masyarakat hingga pelosok kampung. Kondisi sosial-ekonomi, terungkap pula sebagian besar pelaku pemerkosa dan pembunuh Yuyun merupakan remaja putus sekolah. Ini menjadi tantangan berat bagi pemerintah dan menambah deretan realitas kegagalan kurikulum pendidikan untuk mencetak generasi yang punya benteng iman. Kasus Feby pun berlatar belakang sosial ekonomi. Pelaku tega membunuh mahasiswi ini demi sepeda motor dan telepon seluler korban. Barang-barang itu kemudian digadaikan demi mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Tri Ayuning S, S.Si. Jl. Nangka, No.28 Negara, Bali

Feminisme Vs Kekerasan terhadap Perempuan Jika dilacak dari akar historis kehidupan umat manusia di muka bumi ini, maka dapat diketahui bahwa polarisasi kaum laki-laki dengan perempuan sebenarnya sudah ada sejak diciptakannya kedua insan tersebut. Pada awalnya mereka diciptakan dalam rangka saling melengkapi satu sama lainnya, sebagai perwujudan dari keutuhan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Kemudian seiring berkembangnya peradaban umat manusia, kehidupan masyarakat mulai diliputi oleh berbagai sistem, termasuk sistem relegi, khususnya agama. Terkait dengan kehidupan beragama, wahyu pun diturunkan pada kaum laki-laki. Inilah legitimasi pertama bagi kaum adam (laki-laki) yang secara psikologis ataupun sosiologis mengerangkakan pola-pola pikiran manusia untuk menempatkan laki-laki sebagai pusat, sementara kaum hawa (perempuan) sebagai pinggiran (Kutha Ratna, 2004:182).

Oleh Prof. Dr. I Ketut Suda, M.Si. i sisi lain kelemahan biologis yang secara umum dimiliki kaum perempuan pun tak urung dijadikan alasan untuk menempatkan perempuan sebagai kaum imferior. Harapan yang berlebihan terhadap kehadiran anak laki-laki dalam keluarga, misalnya. Terutama pada masyarakat patrilineal ternyata telah mengukuhkan kekuasaan patriarkhi di lingkungan keluarga dan sekaligus memosisikan kaum maskulin sebagai pihak superior dan feminin sebagai yang imperior. Dalam perkembangan pemikiran dan konsepsi tentang kemasyarakatan, terutama dalam hal memerangi ketidakadilan sosial terhadap kaum perempuan yang terjadi di dalam masyarakat sampai saat ini sebenarnya telah banyak melahirkan gerakan, analisis, dan teori sosial yang berusaha mengkritisi kemapanan sosial yang telah terbangun selama ini. Misalnya gerakan feminisme lahir awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya yang berjudul ‘’A Room of One’s Own’’ (1929). Feminimisme lahir sebagai gerakan untuk memperjuangkan

D

hak-hak kaum perempuan sebagai kelas sosial. Demikian halnya dengan analisis dan teori kelas yang dikembangkan Karl Marx, sesungguhnya dapat dijadikan alat analisis untuk memahami bentuk-bentuk ketidakadilan ekonomi dan kaitannya dengan sistem sosial yang lebih luas, khususnya bagi kaum perempuan (Fakih, 2005:xi). Namun, dalam perkembangannya gerakan feminimisme tersebut belum menujukkan hasil yang menggembirakan. Terbukti masih banyak terjadi perlakuan yang tidak adil bagi kaum perempuan yang tidak jarang disertai dengan kekerasan hingga saat ini. Seperti kasus pemerkosaan disertai kekerasan yang dilakukan 14 orang laki-laki terhadap seorang anak di bawah umur yang bernama Yuyun, sampai korbanya meninggal dunia. Demikian pula kasus kekerasan seksual yang menimpa anak umur 10 tahun yang mayatnya ditemukan dalam sebuah kardus di Kali Cideres, dan banyak lagi kasus kekerasan lainnya yang menimpa kaum perempuan, merupakan bukti nyata bahwa ketidakadilan sosial dan kekerasan masih menghantui kaum perempuan di negeri ini. Terhadap berbagai kasus yang menimpa kaum perempuan belakan-

gan ini, maka tidak berlebihan jika Presiden RI Joko Widodo menginstruksikan agar pelaku kekerasan terhadap kaum perempuan dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya. Hal ini sangat beralasan, sebab jika tidak, sampai kapan kaum perempuan di negeri ini akan dibayang-bayangi oleh rasa ketidakadilan sosial dan rasa ketakutan atas kekerasan yang setiap saat bisa saja menimpa diri mereka (baca: kaum perempuan). Apa yang diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo kapada para hakim di Indonesia merupakan angin segar bagi kelahiran epistemologi feminis dan riset-riset feminis yang ke depan diharapkan dapat mengadvokasi kaum perempuan dari berbagai bentuk kekerasan dan ketidakadilan sosial. Namun yang perlu disadari oleh gerakan kaum feminisme ini adalah adanya perlawanan (resistance) terhadap gerakan tersebut, baik yang muncul dari kalangan laki-laki maupun dari kalangan perempuan itu sendiri. Berdasarkan analisis kritis (critical analysis) ada beberapa faktor penyebab timbulnya perlawanan terhadap gerakan feminimisme tersebut, antara lain: Pertama, mempertanyakan posisi kaum perempuan sama art-

Suara Mahasiswa Fenomena Kunjungan Kerja Fiktif DPR-RI BEBERAPA hari yang lalu publik dibuat terkejut dengan diungkapnya temuan BPK, yakni adanya dugaan kunjungan kerja (kunker) fiktif sehingga merugikan negara senilai Rp 945,4 miliar. Ini tentu menjadi fokus banyak pihak, mengingat DPR merupakan representasi rakyat (dipilih rakyat). Dalam operasionalnya menunjang kegiatan wakil rakyat menggunakan dana dari APBN. Pada tahun 2014 realisasi neto belanja DPR mencapai Rp 2,3 triliun. Berangkat dari anggaran tersebut dapat ditarik suatu gambaran mengenai biaya yang digunakan oleh DPR untuk menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya selama satu periode anggaran. Terkait dengan kunjungan kerja, melalui UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, ditegaskan bahwa anggota DPR wajib untuk melakukan kunjungan kerja dengan tujuan untuk menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen. Kunjungan kerja biasanya

Oleh Anak Agung Putra Parasara dilakukan pada masa reses agar tidak mengganggu agenda selama masa sidang. Mengingat dana yang digunakan dalam pelaksanaan kunjungan kerja berasal dari APBN, maka DPR dituntut untuk menerapkan konsep good governance, yakni melaporkan hasil pertemuan dengan konstituennya secara tertulis dan diserahkan kepada Sekretariat DPR melalui fraksinya di DPR. Menjadi persoalan jika DPR tidak melaporkan kunjungan kerja sebagaimana mestinya. Berdasarkan pemberitaan yang berkembang, disebutkan bahwa laporan kunjungan kerja hanya sebatas copy paste dari laporan sebelumnya, dan lebih disayangkan lagi terdapat anggota DPR yang tidak melaporkan hasil kunjungan kerjanya. Peraturan DPR-RI No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, secara gamblang mensyaratkan suatu kunjungan kerja diper-

tanggungjawabkan berdasarkan surat perintah perjalanan dinas dengan tanda bukti penerimaan biaya perjalanan dinas atau secara lumsum atas nama yang bersangkutan. Pada akhirnya lingkungan pengendalian memainkan peran vital dalam mencegah fenomena kunjungan kerja fiktif ini terulang kembali, dengan cara: Setiap elemen pada organisasi menerapkan komitmennya terhadap integritas, etika, dan menginternalisasikan regulasi sehingga penyimpangan dapat dicegah. Fine-tuning regulasi secara berkala sesuai kondisi terkini mutlak diperlukan, karena perkembangan yang dinamis membutuhkan regulasi yang mampu mengantisipasi penyimpangan. Menegakkan aturan pelaksanaan, terutama berkaitan dengan sanksi bagi pelanggar merupakan upaya penindakan seandainya terjadi penyimpangan. Dan pengawasan oleh pihak yang berwenang diharapkan mampu dilaksanakan secara proaktif. Penulis, mahasiswa Universitas Gadjah Mada

inya dengan mengguncang struktur dan sistem status quo ketidakadilan tertua dalam kehidupan masyarakat. Kedua, mempersoalkan posisi perempuan sama pula artinya dengan membahas hubungan kekuasaan yang sifatnya sangat pribadi. Atau dengan bahasa lain sama artinya dengan menggugat privilege yang telah dinikmati kaum mainstream selama ini. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa membahas masalah feminimisme sesungguhnya merupakan isu mendasar dalam rangka menjelaskan hubungan antara kaum perempuan dengan kaum laki-laki. Relasi sosial antara laki-laki dengan perempuan yang berimplikasi pada terjadinya perbedaan antara laki-laki dengan perempuan secara hierarkis telah terjadi melalui proses kultural yang sangat panjang. Perbedaan-perbedaan tersebut terjadi, dikarenakan oleh banyak hal, antara lain: dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun ajaran kenegaraan. Oleh karena itu, melalui proses yang sangat panjang sosialisasi tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan, dalam arti dianggap seolah-olah perbedaan tersebut bersifat biologis yang tidak bisa diubah. Dengan demikian perbedaan antara laki-laki dengan perempuan yang sering disebut perbedaan gender akhirnya dipahami sebagai sebuah kodrat, yakni kodrat antara laki-laki dengan kodrat perempuan (Fakih, 2005:9). Hal ini pulalah yang menyebabkan posisi kaum perempuan selalu tersubordinasi dengan kaum laki-laki, sehingga tidak jarang mendapat perlakuan ketidakadilan secara sosial dan kekerasan secara fisik maupun seksual sampai saat ini. Penulis, Guru Besar Sosiologi Pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia

POJOK Golkar perjuangkan HM Soeharto jadi pahlawan nasional. - Bukan karena balas budi ya? *** Tim Teluk Benoa tanpa kata ‘’suci’’ takkan pernah menyerah. - Desa adat juga takkan menyerah. *** Hubungan Indonesia-Korea Selatan masuki babak baru. - Babak lama devisit terus.

 Perintis : K.Nadha,  Pemimpin Umum: ABG Satria Naradha Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: Wirata Redaktur Pelaksana : Made Sueca, Dira Arsana Sekretaris Redaksi: Sugiartha Redaktur Eksekutif: Parwata Redaksi: Daniel Fajry, Mawa, Yudi Winanto, Subrata, Diah Dewi, Giriana Saputra Anggota Redaksi Denpasar: Oka Rusmini, Umbu Landu Paranggi, Sumatika, Asmara Putra, Dedy Sumartana, Yudi Karnaedi, Pramana Wijaya, Eka Adhiyasa, Parwata, Rindra, Agustoni, Ngurah Kertanegara, Komang Suryawan, Made Miasa, Agung Dharmada. Bangli: IA Swasrina, Sosiawan, Buleleng: Dewa Kusuma, Mudiarta. Gianyar: Manik Astajaya, . Karangasem: Budana, Bagiarta, Klungkung: Dewa Dedy Farendra, Negara: IB Surya Dharma, Tabanan: Dewi Puspawati,Wira Sanjiwani. Jakarta: Nikson, Hardianto, Ade Irawan. NTB: Agus Talino, Izzul Khairi, Raka Akriyani. Surabaya: Bambang Wiliarto. Banyuwangi: Budi Wiriyanto Kantor Redaksi: Jalan Kepundung 67 A Denpasar 80232. Telepon (0361)225764, Facsimile: 227418, Alamat Surat: P.O.Box:3010 Denpasar 80001. Perwakilan Bali Post Jakarta, Bag.Iklan/Redaksi: Jl.Palmerah Barat 21F. Telp 021-5357602, Facsimile: 021-5357605 Jakarta Pusat. NTB: Jalam Bangau No. 15 Cakranegara Telp. (0370) 639543, Facsimile: (0370) 628257. Manajer Iklan: Suryanta, Manajer Sirkulasi: Budiarta, Manajer Percetakan: Tri Iriana, Marketing/Pengaduan Pelanggan: K. Budiarta, Alamat Bagian Iklan: Jl.Kepundung 67A, Denpasar 80232 Telp.: 225764, Facsimile : 227418 Senin s.d. Jumat 08.00-19.00, Sabtu 08.00-13.00, Minggu 08.00-19.00. Tarif Iklan : Iklan Mini: minimal 2 baris maksimal 10 baris, Minggu s.d. Jumat Rp 49.500,- per baris, Sabtu Rp 64.350,- per baris Iklan Umum: < 100 mmk Rp 50.000 per mmk, >100 mmk Rp 55.000 per mmk. Iklan Keluarga/Duka Cita: Rp 40.000 per mmk. Advertorial Rp 25.000 per mmk. Iklan Warna: 2 warna Rp 55.000, 4 warna Rp 75.000 per mmk. Pembayaran di muka, iklan mendesak untuk dimuat besok dapat diterima sampai pukul 18.00. Alamat Bagian Langganan/Pengaduan Langganan: Jl.Kepundung 67A Denpasar 80232 Tel: 225764, Facsimile: 227418. Harga Langganan: Rp 90.000 sebulan, Pembayaran di muka. Harga eceran Rp 4.000. Terbit 7 kali seminggu. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers: SK Menpen No. 005/SK/Menpen/SIUPP/A.7/1985 Tanggal 24 Oktober 1985, ISSN 0852-6515. Anggota SPS-SGP, Penerbit: PT Bali Post. Rek. BCA KCU Hasanudin Denpasar AC: 040-3070618 a/n PT. Bali Post. Rek. BRI Jl. Gajahmada Denpasar A/C: 00170 1000320 300 an Pt.Bali Post. Sumbangan untuk orang sakit Rek. BPD Capem Kamboja, Denpasar No. 037.02.02.00016-8 A/n Simpati Anda,BCA Cabang Denpasar No.040.3555000 A/n Simpati Anda, Dana Punia Pura Rek.BPD Capem Kamboja, Denpasar No. 037.02.02.00017-1 A/n Dana Punia Pura, BCA Cabang Denpasar No. 040.3966000 A/n Dana Punia Pura, BCA Cabang Denpasar No. 040.3277000 A/n Dompet Beasiswa, BCA Cabang Denpasar No. 040.3688000 A/n Dompet Lingkungan.  WARTAWAN BALI POST SELALU MEMBAWA TANDA PENGENAL, DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA/MEMINTA APA PUN DARI NARA SUMBER


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Edisi 17 Mei 2016 | Balipost.com by e-Paper KMB - Issuu