15
Minggu Kliwon, 6 Maret 2016
Bali, Bunyi, Sunyi (1)
DARI mana Bunyi itu datang? “Dari Sunyi Hening,” tutur Bali Tradisi. Apa itu Sunyi Hening? “Sunyi Hening itu Bali,” sahut Bali Tradisi. Apa itu Bali? “Bali itu daya, kekuatan,” jawab Bali Tradisi lagi. Tapi, apa itu daya, kekuatan? Sampai di sini Bali Tradisi tidak lagi berbunyi, apalagi menjawab dan bertutur. Percakapan itu pun terkunci. Kembali memasuki Hening Sunyi. Dengan diam, tidak menjawab, sejatinyalah Bali Tradisi sedang memberi kesempatan penuh kepada setiap penanya, supaya belajar menikmati langsung cita rasa kesujatian kehadiran Hening Sunyi itu. Dengan belajar menikmati, maka secara perlahan akan mampu pula merasakan kehadiran Hening Sunyi itu. Dengan mampu merasakan kehadiran Hening, lambat laun akan mampu pula memahami dan menghargai Hening Sunyi.
Mampu memahami dan menghargai berarti mampu memaknai sekaligus paham makna Hening Sunyi. Yang paham makna Hening Sunyi, dalam Bali Tradisi, justru tidak lagi berbunyi dan membunyikan sesuatu— karena berbunyi maupun membunyikan itu dengan serta-merta berarti tidak memberi kesempatan Hening Sunyi hadir sepenuhnya, dengan sendirinya, sekaligus apa adanya. Apakah—atau siapakah—itu yang mampu memberi kesempatan Hening Sunyi hadir sepenuhnya, dengan sendirinya, sekaligus apa adanya, kecuali Yang Lebih Kuat tinimbang Hening Sunyi itu sendiri? Tapi, apakah—atau siapakah—Yang Lebih Kuat tinimbang Hening Sunyi itu sendiri? “Sang Diam Yang Senantiasa Diam dalam Ke-Diam-annya itulah Daya Kekuatan Sujati,” bisik Bali Tradisi. ldeprabas
Pria Itu Aku
adiknya Nami. Ia hampir saja menginjak bunga dan coklatku. Untung saja Nami segera mengambil barang tersebut dan memberikannya pada Kiranaku. Kirana terlihat kaget melihat pemberianku. Ia kemudian mengintai sekelilingnya. Aku heran, kenapa Kirana masih mengacuhkanku bahkan seperti tak melihatku. Padahal saat itu aku berada tak jauh darinya. Aku kemudian memanggil-manggilnya, tapi ia tak kunjung menjawabku atau bahkan menoleh ke arahku. Ia kemudian berlalu meninggalkan aku di terras rumahnya bersama Nami. Apa ia sekarang sudah tuli begitu pikirku dengan kesal. Sesaat aku menyadari, kenapa Kirana mengenakan pakaian serba hitam pagipagi begini. Mau melayat kemana dia pikirku. Aku kemudian mengikutinya. Ia menuju rumahku. Ada apa ini,apa yang terjadi di rumahku, siapa yang meninggal ini? | Aku kemudian langsung menerobos kerumunan. Aku tak merasakan sentuhan mereka, aku menembus mereka. Apa aku jangan-jangan aku telah . . . Aku langsung berlari ke dalam rumahku. Di sana kulihat seorang pria muda tengah terbaring dalam tidurnya yang berselimut kain kafan. Senyum bibirnya yang telah pucat, menandakan ia telah tiada. Sesosok wanita paruh baya sedang menangis tersedu-sedu. Dan seorang lelaki tua tengah mengelus-elus punggung wanita tua itu guna menenangkannya. Kualihkan mataku pada wajah pria muda itu. Wajah yang telah tak asing bagiku. Pria itu aku. Pria yang berselimut kain kafan itu adalah aku. Aku tak percaya itu aku. Aku menangis saat itu. Ku panggil wanita paruh baya itu dengan sebutan Ibu dan terus berteriak. Kucoba terus menyentuh Ayahku berkalikali bahkan puluhan kali. Tapi tangan ini menembusnya. Aku putus asa dan berlutut di samping mayatku sendiri. Saat itu aku tersadar, aku pasti telah meninggal ketika mobilku menabrak pohon tumbang itu. Aku yakin. Tapi keyakinanku tak akan membuatku hidup kembali. Karena aku telah dikalahkan oleh maut.
Sore itu, Kirana meneleponku. Ia memintaku untuk menjemputnya di tempat kursus. Kebetulan saat itu mentari ditutupi oleh awan mendung dan hujan turun disertai angin kencang. Aku tak tega membuat kekasihku menunggu lama. Jadi, aku tancap gas mobil menuju tempat kursusnya. Di tengah perjalanan, aku tak melihat ada pohon tumbang di depanku. Dengan segera kuinjak pedal rem itu. Tapi aku malah terlempar dari mobilku hingga kaca mobilku pecah. Untungnya aku baik-baik saja. Tanpa menaiki mobil aku berlari menuju tempat kursus Kirana sambil membawa payung untuknya. Aku tak tahu dimana aku mendapat payung itu. Mungkin saja payung itu terlempar bersama denganku keluar mobil. Ketika sampai di sana, aku melihat Kirana yang sedang resah menantiku. Dengan senyuman aku berlari menuju ke arahnya. Belum sampai aku di depannya, ia memberhentikan sebuah taksi. Ia menaikinya dan meninggalkan aku. Aku bingung, kenapa ia mengacuhkanku. Apa karena aku terlambat menjemputnya hingga membuat ia lama menunggu. Biasanya ia tak pernah seperti ini. Tapi apapun alasanya, aku tahu ini pasti karena salahku. Aku pun berniat meminta maaf padanya. Malam pun tiba, aku berjalan sambil membawa bunga untuk Kiranaku. Tak lupa coklat spesial kesukaannya aku kantongi. Sesampai di rumahnya, kulihat dia sedang asyik membaca buku. Ingin rasanya aku mengagetkannya dengan menutup kedua matanya. Kuletakkan bunga itu di saku celanaku, dan bersiap menutup matanya. Baru ingin aku menutup matanya, Ibunya memanggil dan ia segera masuk ke dalam rumah. Saat itu, aku tak berani memasuki rumah kekasihku. Jadi aku tinggalkan saja bunga dan coklat itu di depan pintu. Tak lupa kuisikan sebuah kertas kecil yang bertuliskan kata MAAF. Malam itu, aku tak pulang dan terus menunggu di teras rumah Kirana sampai ia mau menemuiku. Aku terus terjaga sampai ayam jantan mulai berkokok. Mentari kini telah menunjukkan wujudnya, namun Kiranaku belum juga muncul. Tepat pukul 06.45 aku melihat Kirana keluar bersama
Ni Komang Ayu Gita Astiti SMP N 1 Bangli Br. Pembungan, Jehem, Tembuku, Bangli 80671
Lonceng Berbunyi
Aku tak bisa menghentikan langkah kakiku. Keringat di dahiku dan di punggungku ini terus mengalir membasahi wajah dan pakaianku. Aku tak bisa berpikir dengan tenang, pikiranku terus saja digentayangi dengan kejadian di belakang tempat pembuangan sampah tadi pagi. Kenapa aku harus melihat dia? Matanya menatap tajam ke arahku seusainya. Mataku yang terus saja melongo berpindah ke wajah seseorang berkulit sawo matang, tinggi, dengan bola mata hitam besar yang menggunakan celana jeans, jaket berwarna hitam, serta topi di kepalanya. Aku tak bisa melihat wajahnya, dia menggunakan masker disana. Kulihat tangannya semakin mengepal memegang benda itu. Aku berlari dengan sekuat tenagaku, secepat mungkin aku harus melangkah. Kepalaku terasa berat, pandanganku kabur. Apa yang harus aku lakukan, kaki ini tetap saja melangkah. Lonceng itu terdengar lagi. Aku tidak merasakan letih di seluruh tubuhku, perasaanku begitu tenang. Aku tersenyum melihat wanita cantik itu, lagi. Tak seperti pertama kali aku melihatnya, aku berontak dengan emosi yang menguap dalam diriku. Aku menangis saat itu melihatnya. Banyak sekali cerita yang ingin aku utarakan padamu Sangat cepat. Aku pikir dia sudah tidak mengejarku lagi. Berada di keramaian kota seperti ini, mana mungkin dia berani. Aku duduk di samping wanita cantik berambut pirang. Entah sejak kapan aku mulai memperhatikan orang yang tidak pernah aku kenal seperti ini. Dia wanita baik, dia memberikanku sebotol minuman dingin lalu pergi dan tersenyum kepadaku sebelumnya. Mungkin karena kejadian hari ini yang membuatku lebih waspada dengan orangorang disekitarku. Lelaki itu benar-benar sukses membuatku sangat waspada. Masih
terus saja terbayang di benakku. Mengapa dia melakukannya? Sial! “Aku pulang”. Tidak ada siapapun di rumah. Semuanya masih sibuk beraktifitas di luar rumah. Kenangan itu kembali datang dalam ingatanku. Air mata ini kembali saling berebut untuk jatuh. Aku sangat lelah, sampai kapan aku lemah begini. Bagaikan daun yang terus-menerus tertabrak angin, dan akhirnya lepas dari ranting yang ia jadikan tempat berdiri kokoh karena sudah tidak kuat lagi, tidak ada yang peduli dengan daun itu, dibiarkan begitu saja, tak ada satupun seseorang yang mempunyai keinginan untuk membantunya. Aku berjalan menuju toko buku yang tidak begitu dekat dari rumahku. Jalanan sepi setiap malam. Biasanya aku tak pernah sewaspada ini. Aku terus memberanikan langkah kakiku. Aku teringat akan suatu hal. Tidak mungkin! Sepulang dari toko buku, aku memilih untuk melewati jalan yang biasanya banyak dilewati orang. Aku melihatnya! Aku benar benar melihatnya! Dengan pakaian yang sama lelaki itu memperhatikanku dari kejauhan. Aku berbalik arah dan berlari secepat mungkin. Aku berhenti di tempat yang begitu sepi dan gelap. Aku sendiri tidak tahu sedang berada dimana. Aku rasa dia sudah tidak mengejarku. Dengan tatapan yang tajam sinar mata itu menyiutkan keberanianku. “Siapa kau?, dan apa maumu?”, dengan bodoh aku bertanya pada lelaki dihadapanku ini. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya. Sebentar “Kau! Kau wanita tadi pagi yang tersenyum kepadaku kan?!”, dengan nada suaraku yang bergetar, sekujur tubuhku seketika melemas. Aku ingat celananya, aku ingat
Kawanmu
lRisma Yanti Tinggal Kenangan
Aku kawanmu Dari dimensi kedua delusimu Aku jiwamu Dari lembah di perbuktikan yang menaungi kemalasanmu Akhir adalah sesal Waktu akan menjurumuskanmu Dan nanti kalau kau tersesat Pasti kau minta ampun putar balik waktu Buru-buru carilah kertas Tuliskan aksara dan bacalah mantra Dan wahai teman... Usaha tidak akan mengkhianatimu Bella Pustika Smansa
Masa masa indah yang pernah kita lalui bersama Semuanya telah hilang Dalam suka dalam duka dan lara... Kita arungi bersama Namun kini itu semua telah hilang dan lenyap Hanya sesaat merasakan kebahagiaannya Dan saat ini dihapus oleh ruang dan waktu Dulu kita begitu dekat namun kini begitu jauh Entah hilang kemana kebahagiaan dan keceriaan Entah dimana jalan menuju itu semua Aku hanya ingin semua itu kembali lagi Walau hanya sesaat dalam mimpi.
Bali, Bunyi, Sunyi (3)
Bali, Bunyi, Sunyi (2) BILA Sang Diam Yang Senantiasa Diam dalam Ke-Diam-annya itulah Daya Kekuatan Sujati sekaligus Yang Lebih Kuat tinimbang Hening Sunyi, lantas apakah—atau siapakah—yang lebih diam tinimbang sang Diam, dan karenanya juga lebih kuat tinimbang Daya Kekuatan. “Sang Mahaswara!” Bali Tradisi menjawab. Mahaswara adalah Mahabunyi. Mahabunyi adalah Mahasabda. “Mahasabda-lah muasal kemenjadianmu sebagai manusia,” tutur Bali Tradisi. Karena kemenjadian sebagai manusia bermuasal dari Mahaswara Mahasabda, maka manusia oleh Bali Tradisi diingatkan supaya mengupayakan pada ujung perjalanan kemakhlukan sebagai manusia kembali Pulang ke Mahaswara Mahasabda. Pulang berarti kembali ke Asal Mula. Bagaimana cara Pulang ke Asal Mula, sang Mahaswara Mahasabda itu? “Dengan diam!” Bali Tradisi memberi petunjuk jalan berbalik arah. Diam berarti tanpa bunyi, tanpa suara, sehingga telinga sebagai organ indera pendengar tiada terpancing-pancing tergerak mendengarkan. Diam berarti tanpa gerak, sehingga lengan, tangan, jemari, paha, dan kaki sebagai organ indera-indera penggerak tiada terpancingpancing tergerak bergerak menggerakkan ataupun digerakkan. Diam berarti tanpa mengecap, sehingga lidah sebagai organ indera pengecap sekaligus pengucap tiada tergerak bergerak mengecap rasa dan mengucap kata, bahkan sekadar suara. Diam berarti tiada nyala, tiada sinar, sehingga mata sebagai organ indera pelihat tidak tergerak terpikat melihat objek di luar. Diam berarti mematikan indera-indera. Mematikan indera-indera berarti melepaskan keterikatan dan kemelekatan indera-indera pada objek keterpautan keterpukauannya masing-masing. Layaknya cecabang pohon yang dicengkeram akar-akar parasit mesti dilepaskan dengan mencabut akar-akar parasit itu atau justru sekalian dengan menebas cecabang pohon bersangkutan sehingga terbuka celah bagi tumbuhnya tunas cecabang yang baru, segar, dan murni. ldeprabas
APAKAH indera-indera dapat dimatikan, dibebaskan keterikatannya dari objek-objek, hanya dengan diam? “Tidak sesederhana itu, dan tidak pula semudah itu,” Bali Tradisi mengungkapkan tandas. Bila begitu halnya, lantas untuk apa diam? “Untuk latihan, latihan, latihan, dan latihan!” Diam hening sunyi tidak bisa dilakukan mendadak, serta-merta. Karena itu, mesti dilatih, dilatih, dan terus dilatih, sehingga menjadi terbiasa. Di titik ini, Bali Tradisi member tawaran cara melatih diam dengan langsung pada pusat kendalinya: itulah Pikiran! Objek inderaindera itu layaknya mata jaring ikan yang jamak, tiada terhitung jumlahnya. Menutup satu per satu lubang jaring tentulah mustahil. Maka, sang Nelayan yang cerdas dan berpengalaman lantas memberi pelajaran: tarik titik simpul pusat jaring, maka seluruh mata jaring itu pun dengan sendirinya niscaya ditarik, dikendalikan. Apakah pusat titik simpul segala organ inderawi itu. Bali Tradisi menjawab tegas bernas, “Pikiran!” Layaknya sang Nelayan menarik pusat titik simpul jaring yang tertebar, maka tariklah Pikiran sebagai pusat titik simpul
kendali inderawi, maka inderaindera itu pun tiada lagi menebar. Bagaimana caranya menarik Pikiran? “Diam, diam, diam. Meneng. Nengil. Nesil,” begitu formulanya. Dengan diam meneng itulah sang Mahaswara Mahasabda dibiarkan Hadir Utuh-PenuhSeluruh apa adanya sekaligus memenuhi segalanya hingga menjadi perayaan maharaya nan paripurna. Dengan diam nengil itulah sang Maha Penggerak Kehidupan dibiarkan menarinari Utuh-Penuh-Seluruh apa adanya hingga menjadi panggung koreografi maha beraneka ragam dalam rajutan nan harmonis. Dengan diam nesil itulah sang Maha Dirigen Kehidupan dibiarkan memainkan irama musik Semesta Raya hingga menjadi komposisi simponi mahabhinneka yang demokratis: “semua tercatat, semua dapat tempat”, sekaligus semua terhormat sesuai kedudukan, peran, fungsi, dan kontribusinya masing-masing. Diam hening sunyi Nyepi adalah cara Bali Tradisi merayakan keindahan Hidup yang Maharaya sekaligus Mahaindah. ldeprabas
run silent..., run deep.... in the long long run, sail along SMSoliloquy
Coming on Age in Balidwipamandala ...
16 Agustus 2015
16 Agustus 2018
Ali Audah Sang Penerjemah TimurTengah (1-habis)... lMasyarakat Majemuk seperti Indonesia, Masalah Terjemahan Tak Terhindarkan
SE B A G A I S A S TRAWAN, ia aktif sebagai anggota pengurus Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pusat dan Jakarta. Anggota pleno Dewan Kesenian Jakarta (DKI 1971-1981), Anggota Dewan Pekerja Harian DKJ (1977) - 1980). Pendiri dan Ketua Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI 1974-1984). Pendiri dan anggota Pembina Universitas Ibn Khaldun, Bogor dan pendiri dan anggota Pembina Rumah Sakit Islam Bogor. Ia juga aktif dalam berbagai seminar nasional dan internasional. BUKU-BUKU yang sudah terbit dalam karya terjemahan dan karya sendiri sekitar 35 judul, 10 judul di antaranya terbit dalam format besar dan tebal antara 400 s/d 1800 halaman. Termasuk novelnya yang terkenal adalah Malam Bimbang (Nusantara, 1963) dan Djalan Terbuka (Litera, 1971). Menurut Nyak Ina Raseuki, selaku ket-
ua pemilih penghargaan Akademi Jakarta 2015. Profesi penerjemahan tidak banyak mendapat perhatian, padahal bidang sangat penting karena di dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, terjemahan adalah hal yang tidak terhindarkan. Tidak sedikit orang yang bahkan mencemooh terjemahan sebagai kerja terampil yang bisa dilakukan oleh siapapun yang menguasai kedua bahasa yang ingin dialihkan. PADAHAL SESUNGGUHNYA penerjemahan tidak cukup dengan penguasaan bahasa. Diperlukan pemahaman yang cukup untuk menangkap makna dalam bahasa aslinya dan diperlukan kreativitas serta imajinasi yang hebat untuk mengalihkan makna itu ke dalam bahaa yang lain. Itulah yang menjadi alasan Akademi Jakarta tahun ini memberikan penghargaan kepada Ali Audah, seorang sastrawan dan ilmuwan sekaligus yang mengabdikan waktunya untuk menekuni penerjamahan. lRatu Selvi Agnesia
di samping palinggih ané aji batu tabas. Masandekan apang tis Yan Darta bes kebusé mara di jalan macet, Dé Darti milu masa kenyel ngumbah seprai dadua tumbén. Buin pasutriné ento matutur-tuturan indik andus ané suba lebihan tekén telung bulan, ondén nyidayang baana nepasin. “Kénkén ya penduduké ditu sinah nemu pakewuh, mangkihan doén tusing séhat karana ngiup angin macampur andus, awanan liu anak nganggo masker” ajaka dadua sibarengan ngarengkeng kéto. “Beli” buin Dé Darti nakonin kurenanné ané enu negak, ngenehang panadin andusé ané sayan ngarubéda kauripané ditu. “Kénkén?” saut Yan Darta sahasa ningalin langité pelung, galang tusing misi pangalang. “iang mireng siaran TV asing, pakéwehé ené orahanga madan smog apa sujatinné ené? “Oh, ento basa Inggris, apang enggal tur ringkes ngorahang, yén di Indonesia patuh tekén kabut asap” saut Yan Darta sada banban. “adi bisa ringkes kéto anaké uli duranagara nyambatang” dot Dé Darti nawang “Oh ento kruna cutet, asalné uli : smoke lan fog kacutetang dadi smog ” terang Yan Darta sada sumeken “Méh seken kéto Beli?, mara iang tatas nawang,… ampura malu nah, iang lakar nyemuh pantingan-seprai” selag Dé Darti. “Nah kemo lautang, Beli enu negak mategtegan dini” saut Yan Darta sinambi ngebitang Kamus lantas marenung-bengong. Ulian demen muruk basa Inggris, Yan Darta bedik-bedik yén ada kruna anyar lantas ningalin Kamus. Seneng polih galah asapunika, panggihina lengkara sané ngicén informasi ngeninin binan smoke kalawan fog, ané sedeng melekbek ring Sumatera lan Kalimantan. Smoke koné patuh artinné tekén andus. Parindikan ada andus ulian gegaén i manusa, cara morbor saang, ngenjit roko, nunjel mis. Andus bisa
makupuk di paon yén nyakan baan saang. Jani liunan nganggo kompor gas, sinah andusé medikang, tusing kanti ngawinang mekbek melekbek. Yén fog kocap kaceritaang patuh artinné tekén sayong, gobanné patuh cara andus, kowala sing ulian gegaén i manusa, ento ulian alam. Koné yéh pasihé kena panes-matanai, ngiing-iingang dadi uap-air menék ka langité, suba kéto ampehang angin tuun ka muncuk gunung wiadin bukit lantas mapupul, sayan makelo nyansan nebelang, yén suba liu dadi gulem tur baat, ngawetuang ujan. Di déwéké koné ada madan i gulem, ané kacihnayang olih i peteng. Yén suba i manusa kaliput olih kapetengan, sinah patuh cara anaké di Riau-Sumatera, tusing nepukin galang, sing nawang tegehéndép. Ada masih ngorahang yén suba kapetengan, tusing nawang encén kangin, encén kauh ané ngaranayang bingung. Ada ngirgamayang indik kangin-kauh aji warna : putih-kuning koné. Awinan penganggé muah wastra katon ring sajeroning nyanggra upacara wénten warna sakadi asapunika. Warna inucap madué tatujon sapasira ugi sané nangun karya, mangda nénten bingung. Kain putih-kuning pinaka pralambang manggala karya wikan ring tatuwek upacara. Nika mawinan napi ja kakaryanin prasida mamargi antar. Kéto masi, enu ada anak ulian kapetengan tusing nawang déwékné padidi, enyén sujantinné iraga, wiréh ada ngorahang i manusa koné Déwa Ya?, Bhuta Ya?. Béh, kénkénang jani ngilangang gulem di awaké, apang suud bingung. Matakon di keneh Yan Darta sambilanga bengong. … Ené kocap dados tepasin ulian masuwaka malajahang déwék tur rajinang malatih raga. Malajah teleb apang maan kaduegan, tur widagda madué pangewruhan, yén latihan sekensumeken pastika iraga pacang terampil. Pangewruhan muah keterampilan kocap luir sanjata sané dados prabotang sesai, anggé ngaruruh merta napi luiré. Yan Darta tengkejut-gelu lantas suud kenehné ngumbara, wiréh mireng Dé Darti kauk-kauk nagih tulungin ningting jemuhan. Ketas ketis suba guminé lakar ujan bales, langité nyansan tebel kaampel gulem.
Gulem Olih Ngahdipa
Téétt… téétt….tét… munyin bél-pintuné, mara delokina ada pegawé trépel majujuk malun angkul-angkulné, ngabaang tiket pesawat. Madé Darti nyanggra pegawéné ento lantas katerima. Mara bacana, éh inget wiréh Wayan Darta, kurenanné buin a minggu lakar ka PadangSumatera Barat ngamiletin seminar. “Beli, payu kar luas? Ené suba abaanga tiket” kéto patakon kurenanné, sambilanga ningting émbér misi pantingan. Yan Darta mara sajan teka uli Kantor, marérén di obag-obagan koriné. “Kénkén kadén Dé!, kabar andus di Sumatera sayan makudus ngaé gresiuh, nyansan tebel mabelbel koné” imbuh Yan Darta Yan Darta ajak Dé Darti lantas negak di téras umahné ané jimbar, maan maseeban ningalin telaga misi air mancur, ngecor genggaman tangannya, aku ingat bagaimana dia melakukannya, dan aku ingat sorot matanya. Dia tersenyum!, terdengar dari satu hembusan nafasnya yang cepat tapi tidak terburu-buru. “Kau juga yang telah”, belum selesai menyatakan sesuatu aku terperanjat oleh sinar dari kejauhan yang begitu cepat mendekat dan semakin menyakitkan mataku. Kupejamkan mataku, terdengar suara teriakan memecahkan keheningan. Lonceng itu terdengar lagi. Aku mulai bisa melangkahkan kakiku mendekatinya. Senyumnya yang indah itu semakin mengembang. Tidak Aku berhenti. Truk itu bisa menghindariku, tapi tidak dengan pembunuh tepat tidak jauh dari tempatku berdiri, Belina. Entah apa yang dia inginkan, sampai saat ini aku tetap tidak tahu. Mulai saat dia membunuh ibuku di depan mataku. “Maafkan aku ibu, mungkin belum saatnya aku bisa menemanimu disana.” Kejora Pratiwi Karso SMPN 2 Kuta Utara
SOSOK Jika aku jadi miliknya Akan aku bisikan udara untuk menjaganya Akan aku rayu tanah yang diinjaknya Dan aku titahkan pepohonan Agar dia berjalan ke arahku Jika dia tahu aku jadi miliknya Dia akan berpaling wajah Dia akan hilang arah Tidak menyadari betapa nyamannya bisikan udara Betapa kokohnya tanah yang dipijaknya Dan kelak Cerobong asap itu tidak akan berasap Rumah itu akan menyepi Jadi beranjaklah Untuk menyadari sosok di balik langkah yang telah jauh kau pijak Bella Pustika Smansa
Entahlah Entah berapa lama telah berlalu Dari hanya bisa meraba-raba Hingga mampu untuk berlari Entah berapa kisah telah terlewat Dari kenakalan anak kecil Hingga romansa sepasang remaja Entah berapa lama lagi Masa depan yang abstrak Akan menghadirkan artinya I Ketut Rai Asmara Dipta SMAN Bali Mandara
lNita Sinta (Smansa) Melodi Cinta Cinta mulai memainkan not-not rindu Pada dawai senyum manismu Adakah kau lantunkan untukku? Sebaris bait “aku mencintaimu”? Melodi yang tercipta Bergema di dinding-dinding asa Mengikisnya menjadi air mata Hingga runtuh bersama usia