19
Minggu Wage, 20 November 2016
Dari Bali Dari Hal. 1 Dari Bali, I Gusti Ngurah Rai menjadi salah satu pancaran dunia betapa kekuatan diri harus dibangun, diyakinkan, dan dipastikan ada bila kita menginginkan negeri ini tetap tercatat dalam sejarah dunia yang tak boleh dihapuskan oleh siapa pun. Peringatan Hari Puputan Margarana seperti terjadi pada hari ini, sudah layak dan sepantasnya bila kita membuka kembali memori kita sepadan para tokoh putraputri kusuma bangsa. Kita juga harus mampu meneladani apa yang telah mereka berikan, mereka tinggalkan dan wariskan kepada kita. I Gusti Ngurah Rai, salah satu Pahlawan Nasional dari Desa Carangsari, Badung, Bali, layak untuk diingatkan kembali. Bahwa juga menjadi keharusan dan keniscayaan bila pesan-pesan atau amanah beliau wajib kita jalankan saat ini dan ke depan. Kita tentu pernah membaca siapa I Gusti Ngurah Rai. Pria kelahiran Desa Carangsari, sebuah desa yang waktu itu berada di sudut Kabupaten Badung, yang barangkali ketika itu agak sulit ditemukan dalam peta Indonesia. Dalam catatan sejarah, I Gusti Ngurah Rai adalah anak kedua dari tiga bersaudara, putra dari I Gusti Ngurah Patjung. Konon kelahirannya, tanggal 30 Januari 1917, bertepatan dengan terjadinya gempa bumi yang hebat di Bali. Dalam istilah Bali, gempa adalah gejor atau gejer, sehingga I Gusti Ngurah Rai sebelumnya bernama I Gusti Ngurah Gejor. Terlahir dari pasangan I Gusti Ngurah Patjung dengan I Gusti Ayu Kompyang. Pasangan ini memiliki tiga orang putra yaitu: I Gusti Ngurah Raka sebagai anak sulung, I Gusti Ngurah Rai anak tengah, dan I Gusti Ngurah Anom sebagai anak bungsu. Waktu kecil, beliau belajar di HIS Denpasar, lalu melanjutkan ke MULO di Malang. Setelah lulus, Ngurah Rai yang memang tertarik dengan dunia militer bergabung di sekolah kader militer, Prayodha Bali, Gianyar. Pada tahun 1940, Ngurah Rai dilantik sebagai letnan dua, kemudian melanjutkan Pendidikan di Corp Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO) Magelang, dan Pendidikan Artileri, Malang. Setelah kabar Indonesia merdeka sampai di Bali pada akhir Agustus 1945, menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pengalamannya di dunia militer membuat Ngurah Rai diangkat sebagai Komandan TKR Pusat yang saat itu bermarkas di Yogyakarta, dan Ngurah Rai kemudian dilantik menjadi Komandan Resimen Sunda Kecil. Sekembalinya di Bali, Ngurah Rai mendapatkan bahwa Belanda telah menduduki Bali. Ngurah Rai kemudian membentuk pasukan yang dijuluki Ciung Wanara guna menghadapi Belanda. Hasil Perjanjian Linggarjati yang menyebutkan bahwa Belanda hanya mengakui kekuasaan Indonesia atas Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera, sangat mengecewakan Ngurah Rai. Meskipun Bali diakui menjadi bagian dari Negara
Indonesia Timur bikinan Belanda, namun beliau tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda. Pada tanggal 18 November 1946, Ngurah Rai menyerang Tabanan, sehingga menyebabkan satu detasemen Belanda menyerah. Hal ini memicu Belanda untuk mengerahkan kekuatannya yang ada di seluruh Bali dan Lombok hingga menyulut api pertempuran. Dalam pertempuran itu, pertahanan demi pertahanan yang dibentuk Ngurah Rai dihancurkan Belanda hingga sampai pada pertahanan terakhir Ciung Wanara di Desa Margarana. Ngurah Rai dan pasukannya yang terdesak tidak mau menyerah. Beliau kemudian mengumandangkan seruan puputan yang berarti “perang habis-habisan”. Beliau gugur dengan gagah berani bersama pasukannya. Peristiwa ini terjadi tanggal 20 November 1946, dan kini dikenang sebagai ‘’Puputan Margarana’’. Atas jasa-jasanya, I Gusti Ngurah Rai diangkat sebagai Brigadir Jenderal TNI Anumerta. Kini namanya juga diabadikan menjadi nama Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai di Bali. Apa yang bisa kita petik adalah hikmah perjuangan yang tak kenal kompromi dan tak kenal menyerah untuk mengusir penjajah. Sikap keteguhan hati seorang perwira kesatria yang tidak bisa dibeli atau dikompromikan oleh apa pun. Karakter yang siap, rela, tulus ikhlas mengorbankan nyawanya demi bangsa yang dicintainya. Ketika itu, beliau bahkan sudah memberikan contoh bagaimana konsep sistem pertahanan ataupun perlawanan rakyat semesta ditunjukkan secara nyata. Dalam bahasa Bali disebut puputan, perang habis-habisan, mengerahkan seluruh sumber daya yang dimiliki, melibatkan segenap kekuatan rakyat semesta, bahkan melibatkan sejumlah pejuang lainnya bukan hanya dari Bali tetapi elemen pejuang dari Nusantara. Inilah kiranya menjadi catatan penting bagi kita segenap anak bangsa. Sifat kesemestaan menjadi kekuatan dahsyat. Bila terus dipadukan di seluruh Nusantara akan menjadi kekuatan dahsyat yang hebat, yang mampu menggertak sekaligus menggetarkan kekuatan lain yang mencoba merusak dan menguasai Indonesia. Dari Bali, bersama I Gusti Ngurah Rai, kita sudah diberi contoh jelas nan lugas, bahwa demi bangsa, kita harus rela berkorban apa saja, termasuk keluarga dan nyawanya sendiri. Kini sudah saatnya kita menghormati dan menghargai jasa para pahlawan secara nyata, bukan dengan pidato-pidato semata. Keluarga besar, para kerabat para pahlawan harus kita urus dan kita layani, karena mereka sesungguhnya juga pejuang, sebab mereka juga pasti kehilangan orang-orang yang dicintainya. Mari kita wujudkan, mari kita mulai cari di mana para keluarga para pahlawan ini berada, untuk sepantasnya kita hormati dan kita muliakan dengan nyata. Penulis, mantan Pangdam IX/Udayana
Umpan Pendek Dari Hal. 1 Memanfaatkan umpanumpan pendek, Theerasil Dangda mendapatkan ruang tembak dari luar kotak penalti dan bola keras tak mampu digagalkan Kurnia Meiga. Indonesia sempat dapat peluang di menit ke-90 lewat Boaz yang melepaskan tendangan keras dari jarak dekat. Tetapi, bola masih bisa
diblok kiper Thailand, Kawin Thamsatchanan. Thailand malah berhasil memperlebar keunggulan jadi 4-2 di masa injury time. Setelah Theerasil mencetak hat-trick-nya memanfaatkan umpan Sarach Yooyen. Skor 4-2 untuk Thailand bertahan hingga bubaran. Indonesia selanjutnya akan menghadapi Filipina dan Singapura. (ant/kmb)
Induk MBO Dari Hal. 1 Ciung Wanara ini adalah induk MBO (Markas Besar Oemoem) Sunda Kecil yang dipimpin oleh Letkol I Gst. Ngurah Rai bersama pasukan berjumlah 96 orang telah gugur sebagai kusuma bangsa mempertahankan kemerdekaan RI. Candi Pahlawan Margarana ini dibangun setinggi 17 meter, delapan tingkatan, empat undag dan dasarnya berbentuk segilima sehingga melambangkan kemerdekaan RI 17-8-45. Selain itu, ada tambahan sehingga keseluruhanya membentuk Monumen Nasional Taman Pujaan Bangsa Margarana. Di antaranya patung Panca Bakti, melambangkan persatuan dan kesatuan rakyat dalam memperjuangkan membela negara RI. Ada juga Taman Bahagia adalah tugu roh suci para pahlawan kemerdekaan dari tahun 1945-1949 berjumlah 1.372 buah. Tugu ini melambangkan semua agama yakni gelung candi melambangkan Hindu-Buddha, di bagian belakang tugu ada salib melambangkan Kristen dan kubah atas tugu melambangkan Islam. Di kawasan ini juga ada gedung sejarah adalah tepat untuk menyimpan bendabenda sejarah pejuang. Taman suci sebagai tempat membersihan diri bagi para pejuang untuk melakukan ziarah dan taman karya adalah untuk tempat rekreasi dan pembinaan sosial ekonomi masyarakat.
Panti Asuhan I Nengah Wirta Tamu atau lebih dikenal dengan sebutan Pak Tjilik adalah salah seorang pelaku sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia di Bali. Beliau dilahirkan di Desa Liligundi Buleleng, 14 Oktober 1918. Sementara Bapak Tjilik meninggal 13 Januari 1992 di Denpasar. Benih sifat kepemimpinan Pak Tjilik telah terlihat tatkala masih anak-anak. Meskipun secara fisik beliau kelihatan kecil, namun beliau memiliki soft skill dan jiwa kepemimpinan yang mumpuni. Dia terpanggil untuk masuk pendidikan Tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Negara, Jembrana. Pak Tjilik menjadi Syodanco di Betalyon I, Kompi III, Peleton I, tahun 1943-1945. Pak Tjilik teruji tatkala memegang pucuk pimpinan perang gerilya di Wilayah Buleleng Timur, sejak awal Proklamasi Kemerdekaan hingga 15 Januari 1950. Pengalamannya dalam pendidikan PETA, menyebabkan Pak Tjilik mampu memimpin perang gerilya dengan efektif. Beliau tak bersedia turun dan berhenti bergerilya, hingga akhirnya harus diturunkan oleh Kapten M. Yusuf. Setahun setelah turun dari perjuangan perang gerilya, Pak Tjilik terjun untuk berkarya bagi temanteman seperjuangannya. Dia memimpin Yayasan Kebaktian Proklamasi (YKP), 14 Januari 1951, dengan tujuan memupuk serta memelihara jiwa pengabdian kepada Tanah Air, mengabdikan jiwa pahlawan dan memerhatikan
serta memelihara korban revolusi. Pak Tjilik menerima pesan dari teman seperjuangannya, Wayan Teka, agar anak-anaknya diperhatikan, tatkala menjelang Wayan Teka menjalani hukuman mati. “Pak Tjilik lanjutkan perjuangan. Saya tidak gentar menghadapi kematian. Tolong perhatikan anak-anak saya,” demikian pesan alm. Wayan Teka. Dalam kepimpinannya di YKP Provinsi Bali sejak tahun 1951, selama 17 tahun, Pak Tjilik berjuang agar 5.751 pejuang mendapatkan pekerjaan/bantuan, mengasuh anak-anak yatim piatu korban revolusi sebanyak 289 orang, 280 janda pahlawan mendapat pensiun, 80 orang pejuang yang cacat mendapat pensiun, 892 orang pejuang yang terlibat ekses revolusi mendapatkan pengampunan dan berhasil memperjuangkan I Gusti Ngurah Rai (Puri Carangsari) sebagai Pahlawan Nasional. Di belakang Pak Tilik ada seorang istri yang tangguh. Selama hidupnya, Pak Tjilik didampingi dengan setia oleh istrinya Asimah. Semasa hidupnya Pak Tjilik telah membangun Yayasan Pendidikan Dwijendra, Yayasan Pendidikan Taman 45 (TP 45), Universitas Udayana dan Sekolah Teknik Nasional (STM Nasional). Juga memperoleh Satya Lencana Anumerta Veteran RI, menjadi anggota Majelis Perwakilan Rakyat Sementara (MPRS) dan penghargaan veteran pejuang kemerdekaan dari Bali Post. (sue)
Bawa Klewang Dari Hal. 1 “Waktu itu, kami hanya bawa senjata klewang, tibatiba datang pasukan NICA dengan senjata yang lebih canggih, saya dan sejumlah teman lainnya pun berusaha mengecoh dan menyelamatkan diri,” ucapnya. Dengan raut wajah berkaca-kaca, ia pun kembali mengingat kenangan perjuangannya bersama sejumlah rekannya yang kini sudah banyak meninggal dunia. “Saya harap para generasi muda sekarang bisa mengisi kemerdekaan ini dengan lebih baik,” katanya. Di sisi lain di Banjar Tatag Desa Kukuh, Marga, terdapat tiga bersaudara yang dulu merupakan pejuang kemerdekaan, namun dua di antaranya sudah berpulang, yakni I Ketut Sadia yang gugur dalam medan perang karena tertembak musuh di tahun 1946, dan kakaknya, I Made Rata meninggal tahun 1992. Tinggal I Ketut Sadra (85) yang kondisinya sedang sakit karena mengalami stroke hingga gangguan pendengaran. Ni Made Suparti (57) istri Ketut Sadra pun sampai saat ini selalu menjaga suaminya dengan baik. Sayangnya, akibat terbentur proses administratif, perjuangan Sadra belum terdata sebagai veteran, sehingga sejauh ini belum mendapat bantuan layaknya yang didapatkan rekan sesama veteran. Terkait hal tersebut, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Tabanan, I Nyoman Gede Gunawan, mengatakan tiap tahun para veteran mendapatkan bantuan berupa sembako khususnya yang ada di Munduk Malang dan Lumbung. Bahkan, Pemkab Tabanan juga memberikan sumbangan pada para veteran saat peringatan HUT Kemerdekaan RI pada 17 Agustus. “Sejauh ini hanya itu kepedulian yang kita berikan, dan tidak ada perbedaan perlakuan untuk para pejuang yang dulu telah bertaruh nyawa mem-
perjuangkan kemerdekaan Indonesia,” paparnya seraya mengatakan bantuan uang tunai setiap bulannya memang belum bisa dilakukan. Wakil Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Tabanan, I Wayan Suandi, sebelumnya menerangkan bahwa pemerintah pusat telah memberikan perhatiannya pada para veteran dalam bentuk pemberian tunjangan per bulan. Jumlahnya pun sekitar Rp 1,4 juta ditambah dengan dana kehormatan Rp 750.000. Bahkan, tunjangan untuk veteran ini dikatakannya sudah ada sejak zaman pemerintahan Soeharto. Namun, untuk dana kehormatan memang program masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. “Jadi, ada veteran yang golongannya A, B, C, D, dan E tergantung dari lamanya berjuangan, dan mendapat tunjangan setiap bulannya,” terangnya. Dijelaskannya, tunjangan per bulan ini akan diterima oleh keluarga veteran apabila veteran tersebut meninggal, dan akan diberikan kepada janda veteran tersebut. Sedangkan untuk dana kehormatan hanya didapat semasa veteran tersebut hidup. “Dana kehormatan tersebut hanya didapat semasa hidup saja, kalau tunjangan masih dilanjutkan kepada janda veteran, kalau tidak ada jandanya maka tunjangan akan diputus,” sambung veteran asal Banjar Beng, Desa Tunjuk, Tabanan tersebut. Di samping itu ketika ada veteran yang meninggal, dari pemerintah provinsi akan ada santunan kematian Rp 10 juta, sedangkan dari pemerintah kabupaten diberikan dana duka Rp 1 juta. Terkait veteran yang tidak terdata, dirinya menjelaskan, LVRI tidak mungkin bisa terjun langsung mendata ke lapangan siapa saja orang yang dulu menjadi pejuang, karena selama ini yang bersangkutanlah yang datang ke LVRI untuk membawa data diri sehingga tercatat sebagai veteran.
“Biasanya yang bersangkutan akan datang membawa data-data yang dibutuhkan, apalagi jumlah veteran sangat banyak di Tabanan,” ujarnya. Dari 1.850 lebih veteran yang terdata di Tabanan, belum seluruhnya mendapatkan tunjangan setiap bulannya karena belum sempat mengurus administrasinya. Di Denpasar Soal besarnya sumbangan bagi veteran dibenarkan Ketua LVRI Kota Denpasar, Djero Wiladja. Selain mendapat dana kehormatan, dana tunjangan juga diberikan oleh pemerintah sesuai dengan golongan masing-masing veteran. Untuk anak-anak keluarga veteran yang menempuh pendidikan, pemerintah juga memberikan keringan SPP hingga tingkat SMA/ SMK. “Jaminan kesehatan dan keringanan pembayaran pajak juga diberikan oleh pemerintah. Tunjangan tersebut diteruskan kepada istri atau suami veteran,” lanjutnya. Pemerintah Kota Denpasar memberikan santunan Rp 5.000.000 kepada veteran yang meninggal dunia. Selain bantuan berupa materi, pemerintah juga telah memberikan penghormatan secara militer kepada seluruh veteran yang meninggal dunia. Kalau dulu penghormatan secara militer hanya diberikan kepada veteran yang mempunyai bintang gerilya saja,’’ ujarnya. (bit/win)
Dinyatakan Gugur Dari Hal. 1 Sejak dinyatakan gugur, lalu Indonesia merdeka, keluarganya jarang mendapatkan perhatian, sehingga istri pejuang itu memutuskan nikah lagi. Padahal, setiap 20 November dan 17 Agustus, dirinya bersama keluarga selalu menggelar upacara di pusara pejuang itu dengan biaya sendiri. Wayan Lanus, ahli waris pejuang Ketut Bau, asal Banjar Lebah, Marga, mengaku keluarganya rutin mengunjungi pusara pejuangnya di Taman Makam Pancaka Tirta dan Taman Pujaan Bangsa Margarana. Namun, belum ada bantuan yang berarti bagi keluarga pejuang. Ekonomi keluarga juga tergolong belum mampu. Keluarga pejuang Mas Wagimin, Titik Budiati, menuturkan dahulu sempat ada bantuan rutin ke keluarga pejuang. Namun, beberapa tahun terakhir mendadak vakum dan tak jelas. Kondisi memprihatinkan dialami keluarga pejuang Gede Nyoman Tata, Gede Nengah Liger, asal Buahan, Tabanan. Pria ini mengaku keluarganya hanya petani yang mengandalkan hidup dari sawah. Hasilnya tak seberapa. Sedangkan perhatian bagi keluarga pejuang masih sangat minim. ‘’Keluarga kami gugur ketika masih lajang. Namun, belum ada bantuan yang rutin bagi keluarga yang ditinggal,’’ katanya. Salah seorang putra pejuang yang juga Panglingsir Puri Agung Kesiman, A.A. Ngurah Gede Kusuma Wardana, Sabtu (19/11) kemarin, mengungkapkan peringatan Puputan Margarana baru sebatas seremonial. Sedangkan soal perilaku untuk memerha-
tikan nasib keluarga pejuang belum menonjol. Anggota DPRD Bali setuju nasib keluarga pahlawan yang gugur di Margarana diperhatikan. “Kayaknya kurang maksimal, hanya dapat bingkisan atau ucapan, tidak ada perhatian lebih. Padahal jasa pahlawan itu tiada banding karena berjuang sampai darah terakhirnya,” ujar anggota Komisi I DPRD Bali, I Nyoman Adnyana, di Denpasar, Sabtu (19/11) kemarin. Adnyana menilai perlakuan pemerintah kepada pahlawan khususnya yang masih tersisa, tidak ada yang istimewa. Seharusnya, pemerintah bisa memberikan perhatian lebih karena pejuang yang tersisa semakin tahun semakin sedikit akibat proses alam. “Otomatis yang sedikit ini harusnya lebih banyak perhatian kita, tidak saja dalam bentuk yang biasa seperti selama ini berjalan tapi yang lebih dari itu. Misalnya memikirkan tentang kelangsungan hidupnya itu. Baik di rumah tangganya, kehidupan sehari-harinya. Kalau pekerjaan kan tidak mungkin karena mereka sudah uzur semua,” jelas politisi PDI-P asal Bangli ini. Sementara hari Puputan Margarana agar dimaknai dengan mengambil hikmah semangat pahlawan. “Kita harus berjuang dengan sengit. Dengan semangat dan spirit yang ditularkan oleh pahlawan-pahlawan kita dan jangan pernah putus asa, bisa survive terus, berjuang terus,” tandasnya. Sekretaris Komisi I, Dewa Nyoman Rai juga sepakat pemerintah harus memerhatikan para pejuang kemerdekaan yang masih tersisa. Kalau perlu sampai ke keluarga mereka. (kmb/sue/rin)
Penerima Suap Dari Hal. 1 AKBP Brotoseno kini telah berstatus tersangka penerima suap. Dia bersama Kompol D. diduga menerima uang sebesar Rp 1,9 miliar dari pengacara Hr melalui perantara berinisial L untuk penanganan perkara dugaan korupsi cetak sawah. Selain dua oknum polisi, pengacara berinisial Hr dan perantara yang menyerah-
kan duit berinisial L juga menjadi tersangka. Polisi menyita uang Rp 1,9 miliar diduga uang suap yang menjadi barang bukti. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, proses hukum harus tetap berjalan terhadap Brotoseno. “Kita sudah sepakat, siapa pun itu, kalau memang ditemukan, apalagi tertangkap tangan, ya harus diproses. Biar pun dia ang-
gota Polri, harus diproses,” kata Basaria. Ia menambahkan, sebagai anggota Polri dan mantan penyidik KPK, semestinya Brotoseno menjadi contoh bagi masyarakat. “Ya, kita punya pemikiran, apalagi pernah jadi penyidik KPK. Kita punya pemikiran, mereka menjadi contoh. Tapi, kalau sudah terjadi sekarang, ya harus kita proses,” ujar Basaria. (ant/kmb)