Edisi 08 Januari 2017 | Balipost.com

Page 5

5

Minggu Pon, 8 Januari 2017

Resensi Buku

Pedoman Ngaben Judul Buku Penulis Penerbit Tahun Tebal

Tahun Baru

CERPEN

Oleh Sarasvati Putri

: Upacara Ngaben Pranawa (2) : Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shiri Satra Jyoti : Pustaka Bali Post : Januari 2017 : 43 halaman

BUKU ini memberikan tuntunan atau pedoman ketika melaksanakan upacara ngaben sesuai dengan sumbernya. Sehingga pelaksanaannya dapat dilaksanakan dengan sederhana dan mudah tanpa menghilangkan makna dan tujuannya. Makanya berisi “Seri 2 Mentradisikan Agama bukan Mengagamakan Tradisi” artinya bagian ke dua dari buku “Reformasi Ritual” yang secara khusus menguraikan pelaksanaan upacara ngaben sesuai dengan sumbernya bukan berdasarkan trasisi “nak mula keto”. Buku ini juga berguna untuk memenuhi kebutuhan umat di zaman modern ini di mana umat Hindu semakin haus akan ilmu pengetahuan dan keagamaan, sehingga diperlukan buku-buku yang mampu memberi bekal dan petunjuk-petunjuk praktis kehidupan yang bersumber dari pustaka-pustaka suci dan sastra-sastra agama yang berhubungan dengan tattwa, susila, dan acara. (osi)

Film

Misteri Dering Telepon Judul Film Sutradara Skenario Pemain

: Maigret’s Dead Man : Jon East : Stewart Harcourt : Rowan Atkinson, Anamaria Marinca, John Light Release : Desember 2016 FILM ini dibuka dengan suara musik yang indah dan tertata. Gambar-gambar yang indah bak fotografi. Dibintangi Rowan Atkinson, lupakan peran kocaknya sebagai Mr. Bean atau Johnny English. Kali ini, Rowan Atkinson tampil serius sebagai detektif polisi penyabar asal Perancis, Jules Maigret. Detektif klasik karya George Simenon ini pertama kali muncul di era Golden Age, tepatnya pada tahun 1931 dan sudah berulang kali diangkat ke dalam serial televisi. Di awal 2016 ini, Rowan Atkinson mengambil alih peran Maigret yang sebelumnya pernah diperankan oleh Michael Gambon pada 1988 lalu tersebut. Karakternya terlihat seperti orang ngantuk, suka menghisap pipa, dan memiliki kesabaran yang luar biasa. Semua kasus yang ditangani berakhir dengan memilukan yang membuat kadang Maigret iba dengan sang pelaku. Maigret’s Dead Man berkisah tentang seorang pria yang menelpon Maigret dari sebuah kafe yang mengatakan bahwa dirinya sedang diikuti. Tanpa menjelaskan secara detail, sang penelepon memutuskan sambungannya secara sepihak. rupanya, sang penelepon berniat menelpon lagi dari kafe lainnya. Tapi hal itu tidak terjadi. Tidak beberapa lama, sebuah mayat ditemukan di sebuah taman yang nampaknya telah dilempar dari sebuah mobil. Maigret pun menyelidiki kasus misterius ini. Kisah ini diangkat dari novel berjudul serupa yang aslinya dalam bahas Perancis berjudul “Maigret et son mort.” Novel ini dirilis oleh Georges Simenon sang penulis pada 1948 silam. Kisah ini merupakan film televisi kedua setelah “Maigret Sets a Trap” dan menjadi penutup untuk season pertama. (osi)

KOPLAK tersenyum, kebiasaannya berdiri di depan cermin membuat dirinya belajar untuk menata ulang seluruh perjalanan hidupnya. Tahun ini, dia akan menginjak usia setengah abad. Bukan usia kanakkanak lagi, tetapi usia yang bagi Koplak, dewasa. Koplak emoh dikatakan makin tua. Sebutan “tua” sering membuatnya “patah jantung” dia juga tidak suka berkata “patah hati”, patah jantung, menurut cara berpikir Koplak lebih tepat! Terserah orang mau setuju atau tidak. Bukankah para politisi di negeri ini juga pandai dan mahir mengutak-atik bahasa sehingga terpelintir dan tergelelincir merugikan banyak orang. Bahkan membuat semua merasa kebakaran jenggot. Padahal tidak semua orang memilihara jenggot. Lalu, jenggot siapa yang terbakar? *** Secangkir kopi, dua buah pisang rebus rasanya sudah cukup untuk mengisi perut Koplak. Walau pun Koplak agak sulit juga menghirup kopi dengan cangkir. Seperti priyayi saja! Mana banyak aturannya. Ketika menyeruput kopi, cangkir dan tatakan harus diangkat. Nyeruput kopi juga tidak boleh bunyi. Harus senyap! “Bapa jangan kampungan dong. Sebagai aparat harus memiliki tata krama. Juga tata bahasa yang baik. Tata laku juga perlu diubah. Bapa harus mulai belajar, table manner!” Memang saat ini zaman buduh, gila. Semua hal ada aturan-aturannya. Aturanaturan yang tidak nyaman. Tidak juga menentramkan, apalagi memberi pencerahan. Aturan-aturan masyarakat modern itu begitu banyak. Seolah seluruh hal bisa dibuatkan bhisama. “Bapa ngerti table manner?” “Cening, cening. Alangkah rumitnya hidup di zamanmu, ya?” “Apa! Maksud Bapa, apa? Kok, rumit! Ini namanya kemajuan, Bapa. Orang yang tidak mau maju akan terus ketinggalan. Hidupnya akan monoton dan tidak menarik lagi. Tidak ada tantangan, juga tidak mau belajar hal-hal baru. Kalau itu terjadi, sama saja dengan kematian sudah di ambang pintu. Hidup jadi tidak memiliki spirit. Tidak memiliki tujuan.” Begitulah cerocos anak semata wayang Koplak padanya. Seolah dunia dan kehidupan yang benar adalah dunia, Ni Luh Putu Kemitir. Koplak hanya bisa menarik nafas dalamdalam. Sebagai lelaki singgle parent, dia tidak ingin menyakiti hati anak perempuan satu-satunya itu. Tetapi menyeruput kopi dengan cangkir benar-benar terasa sebuah penindasan yang luar biasa. Rasa tidak nyaman, rasa tidak menikmati hidup benar-benar mengepungnya. Kopak mencoba saran-saran Kemitir. Cangkir kopi diangkat, dia seruput. Kemitir ke luar dari pintu kamar. Hampir saja cangkir kopi dilempar Kopak karena kaget. “Angkat tatakannya, Bapa. Begini caranya!” Kemitir memperagakan gaya minum kopi. Gaya minum kopi yang aneh dan tidak nyaman bagi Kopak. Kopak mengikuti saran anaknya, sambil mengangkat kaki kanannya berlabuh di atas meja. “Bapa! Kakinya turun! Tidak sopan. Seperti orang yang tidak pernah sekolah saja. Kaki diletakkan di bawah!” Kemitir kembali memberi penrintah. Koplak menciut. Hanya bisa menarik napas. Minum kopi saja banyak aturan ini-itu. Koplak benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana cara orang-orang modern di kota menikmati hidupnya? Bahagiakah mereka? Nyamankah mereka? Apakah aturan-aturan yang banyak dan ribet itu membuat mereka merasa menjadi manusia yang baru? *** Angin pagi menampar wajah Koplak. Bau bunga cempaka, kenanga, dan kamboja menyentuh hidung Koplak. Terasa nyaman dan menyejukkan. Koplak menarik nafasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan beragam gusar dan ragu di dalam pikirannya. Lelaki itu berharap, di tahun baru ini banyak hal-hal baru yang bisa diselesaikkannya dengan tuntas.

Banyak target-targetnya belum tercapai. Sebagai Kades, Kepala Desa, Koplak ingin sekali desanya maju. Jauh dari huru-hara seperti yang terjadi di kota. Koplak memang belum mengambil cuti, karena banyak hal yang harus ditandatangani. Banyak proposal yang harus dibacanya. Pokoknya, semuanya harus tuntas sebelum pemungutan suara dilakukan. Agak berat juga memulai hari di tahun baru ini. Karena kelihatannya warga desa sudah dibagi atas tiga kubu, jadi Koplak merasa agak sulit mengerahkan masa, warga desanya sendiri. Warga desanya yang lugu yang sehari-hari waktunya dihabiskan di sawah atau di perkebunan. Pemilihan Kades akan dimulai bulan Februari telah menyita pikiran Koplak. Semua hal menjadi perdebatan-perdebatan yang tidak perlu. Perdebatan yang bagi Koplak tidak masuk akal. Selama jadi Kades di Desa Sawut, Koplak tidak pernah menganjurkan ini-itu pada warganya. Bagi Koplak yang penting semua berjalan damai, aman, dan nyaman. Urusan beres! Setelah mulai pengambilan nomor undi calon Kades, Desa Sawut jadi berubah. Orang-orang desa Sawut yang biasanya tanpa suara, cenderung senyap. Kelihatannya ada yang berubah drastis. “Pemilihan Kades tahun ini, pemilihan yang paling seru,” suatu Pan Dongklang berkata agak keras di kuping Koplak. Koplak terdiam. “Seru? Memangnya main bola?” sahut Pan Kacrut, peternak Babi. “Ah… Kamu itu terlalu banyak berkeliaran di pasar Payuk, Crut. Otakmu isinya cuma harga daing babi saja. Sesekali otakmu itu perlu di upgrade, biar tidak ketinggalan zaman.” “Ugrade? Memangnya otak bisa diupgrade. Gayamu itu, Pan Dongklang seperti ngerti teknologi saja.” “Pergaulanku luas, Crut.” “Kamu sudah cuti jadi bebotoh? Kerja apa kamu sekarang? Kulihat kamu sering berada di kota?” “Tetaplah…” “Bebotoh itu sudah jadi bagian dari hidupku. Kenapa? Kamu mau kasih aku pekerjaan baru?” “Waduh, sekarang ini sedang masa krisis. Harga barang sudah tidak terkendali. Tahun ini juga anakku kuliah. Harga cabai di pasar saja begitu melambung. Istriku sampai pusing memikirkan dan mengatur uang belanja harian. Semua serba mahal.” “Kupikir kamu akan menawarkan pekerjaan untukku.” “Apa kamu bisa kerja, Dongklang?” “Hahahaha, sudah jangan tanya itu. Aku sekarang jadi pendukung calon Kades no.1.” “Maksudmu? Kamu kerja sama I Wayan Agus Sumir? Calon Kades baru kita.” “Wah, hebat.” “Kamu mau ikut?” “Apa ada pekerjaan untukku? Aku tidak pandai berkata-kata sepertimu, Dongklang. Aku juga tidak bisa bohong. Takut sama sesuhunan , leluhur. Tetapi, kalau ada pekerjaan yang bagus dan tidak sulit aku mau. Aku lagi butuh uang banyak,” Kacrut berkata serius. *** Sudah tradisi di Desa Sawut, jika musim kemarau tidak hanya menjadi petaka namun di sisi lain justru menjadi keberuntungan bagi sebagian orang. Seperti halnya petani di Desa Sawut, yang bersyukur adanya kemarau. Para petani ini kini dalam masa panen atas “dagdag” yang mereka petik dari sawah-sawah mereka. “Dagdag” merupakan daun ubi jalar yang dijual untuk makanan ternak babi. Ubi jalar dipilih ditanam pada masim kemarau karena tanaman ini kuat dengan panas dan hanya butuh sedikit air untuk tumbuh lebat. Selain itu, dari segi ekonomi dan pasar dengan menanam dagdag juga lebih menguntungkan. Sebab dagdag yang dihasilkan petani yang berada di perbatasan Desa Sawut dengan Desa Laba tersebut senantiasa diserbu pembeli. Para pengepul senantiasa memburu dagdag dari petani

untuk dijual di Pasar Payuk. Bagi warga desa Sawut penghasilan menanam ubi jalar yang dicari daunnya untuk dagdag jauh menghasilkan daripada menanam padi. Sebab satu cekel dagdag (sekitar 40 batang daun ubi jalar) dijual Rp 25.000. Sementara satu pesel dagdag (kira-kira 250 batang dagdag) dijual ke pengepul Rp 15 ribu rupiah. Oleh sebab itu, Kacrut mengaku bisa meraih laba bersih Rp 1,5 Juta perbulan dari menanam dagdag. “Sawah saya seluas 5 are, ya sebulan panen dagdag dapat Rp 1,5 juta,” ujar Kacrut saat ditemui sedang mengangkat dagdag hasil panennya. Menurutnya, penghasilannya itu jauh dari penghasilan menanam padi yang panen hanya 3 bulan sekali dengan pendapatan sekitar Rp 1 juta rupiah selama tiga bulan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Nyoman Sudira yang juga menanam dagdag di sawah miliknya. Pihaknya menyampaikan bahwa menanam ubi jalar untuk dicari dagdagnya hanya bisa dilakukan ketika musim panas. Sebab ketika musim hujan, ubi jalar yang ditanam akan sulit tumbuh dan mati. “Kalau kebanyakan air karena hujan bisa mati terendam, daunnya juga tidak lebat karena batangnya justru tumbuh akar,” ungkapnya. Warga desa Sawut mengaku menanam ubi jalar tidak dicari umbinya namun dijual daunnya. “Yang dijual kan daunnya, kalau musim hujan daunnya kuning dan batangnya tumbuh akar maka daunnya sedikit, bisa rugi” ungkapnya. Pihaknya pun menyampaikan jika musim hujan dengan air subak dan hujan yang melimpah akan kembali menanam padi kendati hasilnya tidak maksimal. Begitulah kondisi ekonomi masyarakat di Desa Sawut. Semuanya bergulir begitu datar. Hidup selalu bisa disiati dengan beragam cara dan dilakukan dengan girang dan riang. Koplak menarik nafas mengingat ketentraman yang terjalin di antara warga. Kehidupan berjalan begitu harmonis. Orang-orang di desanya tidak pernah kalap jika seorang tetangga bisa membeli barangbarang mewah, misalnya motor. Atau pesawat TV yang besarnya seperti meja rias istri Koplak. Sekarang ini, kata Kemitir jaman modern. Zaman komputer, jaman digital. Semua terasa begitu dingin dan mengerikan bagi Koplak. Seorang lelaki setengah abad yang menghabiskan seluruh hidupnya di Desa Sawut. Dia sesekali ke kota hanya untuk rapat dengan Pak Lurah, Pak Camat, kadang-kadang bertemu juga dengan Walikota, Bupati atau Gubernur. Apakah yang sesungguhnya telah berubah di dalam hidup ini? Semua terasa aneh. Terasa serba palsu. Orang-orang selalu tersenyum. Bajunya bagus, bau mereka wangi. Seolah mereka semua bahagia dan tidak memiliki masalah. Semua diatur ditata. Begitu manis dan harmoni, tetapi di belakang semua itu penuh ranjau. *** Pemilihan Kades masih jauh. Koplak merasa suasana desa sudah berubah. Ada yang mengganjal, tetapi tidak enak untuk dikeluarkan. “Sekarang ini jaman serba cepat, Bapa.” “Terus Bapa harus bagaimana?” “Bapa harus mempersiapkan Timses.” “Apa itu?” “Tim Sukses untuk mendukung Bapa jadi pemenang di pemilihan Kades. Kalau Bapa mau menang harus punya Timses.” “Gawat sekali.” “Bapa, Bapa. Makanya, kalau baca koran dan nonton TV itu didengar baik-baik infonya. Bapa lihat ‘kan, persaingan untuk meraih kursi gubernur di kota? ” “Waduh itu rumit dan menakutkan. Bapa ‘kan cuma mau ikut pemilihan Kades bukan gubernur.” “Iya, ngerti. Harus ditiru sistemnya. Keren, ‘Pe. Cari orang dong untuk buat baliho, poster dan brosur. Sebarkan kepada orang-orang desa program apa yang Bapa

tawarkan untuk membangun desa ini. Ayo dong, ‘Pe. Kerjaaaa. Fokus. Bapa ingin menang nggak sih? Bapa sebetulnya masih ingin menjabat jadi Kades atau tidak? Lo, kok diam saja. Kalau mau menang, harus buat program-program yang oke. Minimal bisa memikat hati rakyat desa ini. Atau… Bisa memikat anakmu ini. Bapa ngertikan?” “Apakah masyarakat desa ini tidak bisa melihat kerja, Bapa?” “Sudah lupa. Sekarang ini orang-orang memerlukan konsep.” “Bapa tidak bisa buat konsep.” “Sewa orang dong.” “Sewa?” “Iya. Bapa cari orang pinter.” “Balian, dukun maksudmu?” “Ya, ampun! Bagaimana sih, Bapa ini mau jadi Kades apa tidak sih? Orang pinter itu, orang sekolahan. Sarjana. Tukang buat konsep. Pokoknya tukang berpikir. Untuk memoles ide-ide Bapa jadi kelihatan lebih gagah.” “Maksudmu apa? Siapa yang harus membayar orang pinter ini?” “Hyang Jagat, Ide Ratu Bhatara titiang. Orang-orang pinter itulah yang akan mengatur jalannya pemilihan Kades di desa kita, Bapa. Semua calon sudah memiliki orang pinter. Hanya Bapa yang belum. Bapa takut keluar uang?” “Buat konsep kok harus bayar. Aneh itu?” “Apa sih yang gratis hari gini. Bapa, Bapa. Kalau Bapa tidak segera bergerak. Habis kita.” “Habis bagaimana?” Koplak menatap anak perempuannya serius. “Tidak bakal menang!” “Terus…. Kalau buat konsep gagah dan membohongi rakyat desa, dijamin pasti menang?” “Itu bagian dari kekinian, Bapa. Namanya tren. Gaul gitu lo!” “Bapa tidak mengerti. Bapa sudah baca seluruh Baliho besar-besar. Juga spanduk dan brosur yang disebar saingan Bapa dalam pemilihan Kades tahun ini. Bapa bingung.” “Bapa kok jadi Koplak sih?” “Nama Bapa memang Koplak. Maksudmu apa, Cening?” Koplak menatap tajam mata anak gadisnya. Mata yang kecewa. Mata yang berharap bapaknya menjadi orang lain. Koplak menarik nafas. Kali ini dia ingin minum kopi dengan bebas, tidak suka pakai cangkir. Buat rumit dan tidak terasa santai. Koplak duduk di teras sambil berpikir, bagaimanamungkin konsep-konsep yang dibuat para tandingannya dibilang bagus oleh anaknya sendiri. Koplak tersenyum geli membaca brosur, spanduk, dan baliho yang memasang foto para calon. Koplak justru bertanya, apa yang mereka tahu tentang desa ini? Mereka tidak pernah tinggal di desa ini. Mereka datang hanya jika ada odalan atau upacara kematian. Mengapa orang-orang senang sekali disajikan kebohongan! Mimpi muluk-muluk. Koplak meneguk kopinya dengan keras mengangkat kakinya, tangannya meraih kalender baru.

Redaksi Mingguan mengundang Anda untuk berpartisipasi dalam rubrik “Kartun” ini. Tulis nama dan alamat lengkap dibalik gambar kartun. Kirim ke Redaksi Bali Post Jalan Kepundung 67a Denpasar.

Satya Dewi K. Ngurah

Achmad Cholid

Nuriarta Afrizal

W.G. Sumarta


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Edisi 08 Januari 2017 | Balipost.com by e-Paper KMB - Issuu