Edisi 08 Januari 2017 | Balipost.com

Page 4

4

Minggu Pon, 8 Januari 2017

BALI — Jurusan Film dan Televisi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang baru dibuka tahun 2014, tahun ini melahirkan film-film tugas akhir angkatan pertamanya. Salah satunya, Tengai Tepet, karya Dodek Sukahet dan tim berhasil menjadi nominasi di UI (Universitas Indonesia) Film Festival. Dwitra J Ariana yang sudah 10 tahun menggeluti dunia film dokumenter, tahun ini mengisi daftar nominasi Piala Citra untuk 2 film dokumenternya, Petani Terakhir dan Masean’s Messages.

BPM/ist

Merayakan Film di Bali TIDAK berlebihan rasanya jika tahun 2016 dikatakan sebagai tahun yang baik untuk perfilman Bali. Di era ketika hampir semua orang memiliki kemampuan untuk mengakses alat produksi gambar bergerak, mulai dari kamera DSLR, hingga telepon genggam dengan resolusi tinggi, membuat film rasa-rasanya bukan sesuatu yang sulit. Tak serumit dekade-dekade sebelumnya, ketika memproduksi sebuah film masih menjadi kegiatan yang sangat mahal dan eksklusif. Namun, sebagaimana medium seni lainnya, penciptaan terhadap karya film tentu bukan hanya perkara kemapanan teknologi. Semua orang bisa jadi bisa membeli kanvas dan cat, tapi tak semuanya memiliki kepekaan untuk mengolah garis dan warna. Begitu juga dalam hal penciptaan film.

Tahun 2016, tentu tidak bisa kita paparkan angka pasti tentang berapa orang di Bali yang memproduksi film, terlepas dari banyaknya motif di balik pembuatan film tersebut. Tapi bolehlah kita mencatat beberapa momen-momen penting (tidak bisa mencakup semuanya) dalam dunia perfilman Bali di tahun 2016. Jurusan Film dan Televisi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang baru dibuka tahun 2014, tahun ini melahirkan film-film tugas akhir angkatan pertamanya. Salah satunya, Tengai Tepet, karya Dodek Sukahet dan tim berhasil menjadi nominasi di UI (Universitas Indonesia) Film Festival. Dwitra J Ariana yang sudah 10 tahun menggeluti dunia film dokumenter, tahun ini mengisi daftar nominasi Piala Citra untuk 2 film dokumenternya, Petani Terakhir dan Masean’s Messages. Petani Terakhir yang mendapatkan hibah produksi dari Denpasar Film Festival pada tahun 2015 ini juga berhasil menyabet penghargaan dokumenter terbaik di Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta. Ada pula film animasi-stop motion berjudul Biru yang disutradarai oleh Maria Rosiana Sedjahtera menjadi finalis kategori short animation XXI Short Film Festival 2016. Ada pula Rai Pendet dan tim yang pada bulan September kemarin merilis film pendek berjudul Menarung Jiwani yang diputar selama kurang lebih 2 minggu di Denpasar Cineplex, salah satu bioskop arus utama di Denpasar. Sementara itu Oka Sudarsana berangkat ke Bangkok bersama filmnya, Sinampura, untuk program SExpress di Thai Short Film & Video Festival. Selain nama-nama yang telah disebutkan, tentu ada banyak pegiat film di Bali seperti Agus Wiranatha, Agung Yudha, Erick Est, dan banyak lagi yang produktivitas dan konsistensinya dalam berkarya patut diapreasiasi. Ekosistem Ekosistem perfilman yang baik tentu tidak hanya dihidupkan oleh tingginya jumlah produksi film, tapi juga bagaimana film-film itu bertemu dengan penontonnya. Di sinilah peran vital ruang pemutaran dan festival film yang memegang peran apreasiasi dalam lingkaran ekosistem perfilman di Bali. Ruang pemutaran alternatif bukanlah hal baru di Bali. Minikino sudah beroperasi sejak 2002 memutarkan berbagai jenis film, umumnya yang tidak diputarkan di bioskop arus utama. Mulai dari film-film yang beredar di festival luar negeri macam Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) yang disutradarai oleh Edwin hingga film produksi lokal semisal Tok Tok Tok (2015) karya Agung Yudha pernah diputar untuk publik di Minikino. Selain menjadi ruang pemutaran,

Minikino juga menggagas progam “Indonesia Raja”, program kolaborasi pemrograman film-film pendek seantero Indonesia yang diinisiasi sejak 2015. Di bulan Oktober 2016 Minikino menggelar Minikino Film Week yang kedua. Sebuah parade film pendek dari seluruh dunia yang diputarkan secara gratis dibarengi dengan beberapa program diskusi dan berbagi. Fokus Membicarakan ruang apresiasi film di Bali, selain Minikino, tentu kita tidak bisa melewatkan Denpasar Film Festival (DFF). Festival film yang fokus pada bentuk dokumenter ini dirayakan untuk ketujuh kalinya di tahun 2016. Tak hanya memberikan penghargaan untuk film-film terbaik, DFF juga mengadakan workshop film dokumenter untuk anak-anak SMA di Bali dan memberikan bantuan dana produksi. Baik Minikino dan DFF memegang peranan penting dalam menyaksikan dan juga mendorong perkembangan film di Bali dari tahun ke tahun melalui keberagaman film-film yang diputar, juga programprogram yang diselenggarakan tiap tahunnya. DFF menyediakan ruang literasi dokumenter untuk anak-anak muda Bali, memberikan stimulan untuk produksi, dan workshop yang mendalam. Hal yang juga patut diapresiasi, keduanya kini tengah berupaya mengubah sentralisasi aktivitas film yang selama ini hanya berpusat di kota. Tengok saja bioskop arus utama kita, semuanya berlokasi di Denpasar dan Badung, dan hampir semuanya terletak di dalam pusat perbelanjaan elit. Artinya, dari pemilihan tempatnya saja, bioskopbioskop ini membatasi bahwa yang bisa menonton film adalah mereka yang mampu plesir ke mall. Sementara kabupaten lain tidak memiliki bioskop atau ruang menonton yang terbuka untuk publik. Kalau mau menonton film harus jauh-jauh ke Denpasar atau Badung, atau opsi lainnya menunggu filmnya diputar di televisi (itupun kalau diputar, dan biasanya harus menunggu berbulanbulan bahkan bertahun-tahun). Ketimpangan akses menonton film ini tengah dibongkar oleh Minikino dan DFF. Keduanya kini mengupayakan agar jangkauan produksi dan distribusi film tidak hanya berpusat di Denpasar. Minikino Film Week di tahun 2016 bekerja sama dengan beberapa instansi luar Denpasar sebagai lokasi pemutaran film. Harapannya tentu agar film-film yang mereka kurasi tak hanya dinikmati oleh penonton di Denpasar-Badung saja. Dari 11 venue pemutaran, 8 di antaranya berlokasi di luar Denpasar-Badung, sebuat saja Apotek Viva Generik Batubulan, Wantilan Desa Sukawati,

Omah Apik Pejeng, Desa Tulamben dan Desa Jemeluk Karangasem, Rumah Film Sang Karsa Singaraja. Bentara Budaya Bali yang juga menjadi salah satu lokasi pemutaran secara geografis memang terletak di kabupaten Gianyar, tapi jangkauan penontonnya sebagian besar masih berasal dari Denpasar. Di lain sisi, DFF melakukan strategi lain dalam memperluas aktivitas sinema di Bali. Festival film yang rutin diadakan tiap bulan Agustus ini mampir ke kabupaten-kabupaten luar Denpasar untuk menjaring anak muda-anak muda berbakatyang tertarik untuk memproduksi film dokumenter. Mereka lantas diundang untuk mengikuti kemah produksi film dokumenter, dibina dari tahap pra hingga paska produksi dengan bantuan dana produksi untuk kelompokkelompok terpilih. Institusi Selain Minikino dan DFF, ada beberapa institusi juga yang rutin menyelenggarakan pemutaran film, terutama di kota Denpasar. Sebut saja Bentara Budaya Bali yang sejak tahun 2009-2010 dengan konsisten memutar film dari seluruh dunia tiap bulannya yang dibungkus dalam suatu program bertemakan khusus. Ada pula Alliance francaise Bali, FLUX, Taman Baca Kesiman, Ubud Writers and Readers Festival, program pemutaran film yang digagas Pemerintah Provinsi Bali di Art Center, dan ainnya. Sering pula kita temui kafe-kafe di Denpasar yang sekali waktu memutarkan film. Tapi sebagai penonton, tentu kita harus cerdas menyikapi, apakah kafe-kafe tersebut menyelenggarakan pemutaran film untuk menyediakan ruang menonton bagi publik, atau semata ingin menarik pengunjung untuk meningkatkan profit kafenya. Keberagaman jenis film yang diproduksi oleh masing-masing pembuat film, juga variasi konsistensi yang diusung masing-masing ruang pemutaran dan festival film bukan semata-mata untuk meramaikan ranah sinema di Bali agar terlihat produktif secara kuantitas. Distribusi pengetahuan ke ruang-ruang komunitas, ke public yang lebih luas adalah upaya untuk mempertemukan film sedekat mungkin dengan penontonnya. Bukan malah menjadi produk mahal yang hanya bisa diakses kalangan terbatas. Keberadaan ruang-ruang pemutaran alternatif juga memikul peran untuk membuka khasanah sinema publik tentang bentuk-bentuk film yang lebih variatif. Bahwa karya yang disebut film tidak hanya film-film yang diputar di bioskop arus utama, yang nyatanya hanya memberikan ruang lebih pada film-film Hollywood. Produksi film dan pengadaan ruang pemutaran adalah bentuk protes sekaligus tawaran solusi atas keterbatasan akses distribusi pengetahuan sinema yang ada di Bali. Mulanya berawal di Denpasar, tapi berikutnya tentu semangat ini akan menjalar ke wilayah lain. Sehingga aktivitas di dunia film, juga bidang seni kreatif lainnya tak hanya berpusat dan dinikmati oleh masyarakat kota. zAyu Diah Cempaka Pegiat Budaya dan Pecinta Film

Tetap Sehat dengan Lensa Kontak LENSA kontak adalah alat bantu untuk mengatasi keluhan sulit melihat jauh maupun dekat. Sebagai pengganti kaca mata, lensa kontak dianggap lebih mudah dan nyaman digunakan. Namun, kini fungsi lensa kontak telah berkembang menjadi suatu tren untuk mempercantik mata pengguna nya. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan jumlah pengguna lensa kontak di Indonesia hingga 15% per tahun. Semakin tingginya pengguna lensa kontak, seringkali tidak diimbangi dengan peningkatan pengetahuan tentang cara menggunakannya. Pemakaian lensa kontak berarti memasukan benda asing ke dalam struktur mata Anda sehingga ada

kemungkinan masuknya benda asing lain yang mungkin melekat pada lensa kontak Anda, misalnya bakteri. Bila Anda tertarik untuk menggunakan lensa kontak, ada baiknya memahami tata cara penggunaan lensa kontak yang tepat. Hal utama yang wajib diperhatikan adalah kebersihan saat pemakaian dan saat penyimpanan lensa kontak. Cuci tangan sebelum menyentuh lensa kontak, cuci lensa kontak setelah pemakaian dan cuci tempat penyimpanan lensa kontak. Pastikan kondisi tempat penyimpanan lensa kontak selalu kering dan bersih untuk mencegah timbulnya bakteri. Lensa kontak sebaiknya direndam selama 4-6 jam agar bersih secara

KOMPLIKASI - Komplikasi dari penggunaan lensa kontak.

optimal. Seminggu sekali tempat lensa kontak dibersihkan dengan air mendidih. Jika terdapat tandatanda tumbuhnya bakteri atau jamur yang tampak seperti bercak kehitaman pada tempat penyimpanan lensa kontak, segera ganti tempat penyimpanan. Buanglah cairan yang telah dipakai setelah satu kali pemakaian dan ganti dengan cairan khusus yang dianjurkan. Anda juga harus memperhatikan tanggal kadaluarsa yang tertera pada kemasan lensa kontak. Penggunaan lensa kontak yang tidak tepat dapat memicu timbulnya infeksi, gangguan penglihatan, hingga ancaman kebutaan. Ada beberapa ancaman peningkatan risiko terjadinya infeksi di antaranya pemakaian lensa kontak lebih dari 12 jam dan pemakai lensa kontak lupa melepas lensa kontaknya ketika akan tidur, berenang, cuci muka dan mandi. Maka dari itu, penting bagi pemakai lensa kontak untuk menghindari hal-hal tersebut. Anda juga patut waspada bila merasakan gejala seperti mata merah, mata berair, banyak kotoran mata, bengkak, nyeri, silau, gatal, rasa terbakar, ataupun pandangan kabur. Berkonsultasilah pada dokter sebelum memilih lensa kontak dan selama pemakaian lensa minimal setahun sekali. Bila keluhan timbul, segera hentikan pemakaian dan periksakan diri ke dokter mata. zDr. Pande Putu Adityo Ananta Ardika, S.Ked.

Film-film Dwitra J Ariana

Dokumenter sebagai Perspektif Membaca Isu Sosial DI tengah ramainya produksi film di Bali, terutama yang dilakoni anak muda, belum banyak yang menghasilkan film dengan pendekatan dokumenter secara konsisten. Salah satunya yang proses kreatifnya patut dipertimbangkan adalah Dwitra J Ariana. Sejak 2006 Dwitra telah membuat film dokumenter berjudul Nangiang Barong yang digarap bersama Ananta Wijaya. Hingga kini ia telah menghasilkan 8 hingga 9 film, beberapa karya penting yang ia lahirkan antara lain Lampion-lampion (2011), Pura Tanpa Daging Babi (2012), Sang Pembakar (disutradarai bersama Ucu Agustin dan Hari Suprayitno) (2015). Film terbarunya yang dirilis tahun 2016 adalah Petani Terakhir dan Masean’s Messages. Keduanya masuk dalam nominasi Film Panjang Terbaik Piala Citra 2016 dan Petani Terakhir berhasil mendapatkan penghargaan dokumenter pendek terbaik Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta 2016.

Medium dokumenter kini telah mengalami transformasi bentuk yang kian beragam. Jika dahulu ia diperkenalkan dan menjadi akrab di kalangan masyarakat Indonesia melalui program televisi dengan gaya investigatif, kini bentuk-bentuk dokumenter telah banyak berkembang, ada yang mengusung bentuk observatif, partisipatif, puitik, dan banyak lagi. Bahkan kini rasa-rasanya eksplorasi medium telah melampaui apa itu fiksi atau apa dokumenter. Lalu apa yang menarik dari film-film Dwitra J Ariana? Terutama dalam kiprah karyanya selama 10 tahun ini? Jika kita tengok karya-karya awalnya, misalnya Lampion-lampion, dan Pura Tanpa Daging Babi, keduanya memiliki benang merah dalam hal bentuk penggarapan. Topik yang diusung sama-sama mengenai akulturasi agama-budaya di beberapa daerah di Bali. Melalui 2 filmnya ini, Dwitra menempatkan film dokumenter sebagai alat mediasi konflik antar-etnis atau antar-kepercayaan. Dampak yang diharapkan setelah menonton kedua film ini adalah agar penonton mengkritisi konflik SARA yang terjadi di sekelilingnya, yang sebenarnya di beberapa tempat justru sudah terpecahkan. Beberapa tahun kemudian, di tahun 2016, Dwitra mulai mengalihkan fokus tema film-filmnya ke konflik kelas dan tragedi kemanusiaan, terealisasikan dalam Petani Terakhir dan Masean’s Messages. “Petani Terakhir” Petani Terakhir yang mendapat hibah produksi dari Denpasar Film

Festival 2015 ini mengisahkan tentang seorang petani yang mengalami dilema antara mempertahankan atau menjual sawah warisan yang dipertahankan oleh keluarganya. Konflik diri petani ini begitu aktual di tengah maraknya penjualan tanah yang ada di Bali. Alih-alih menghadirkan petani dengan sifat heroik yang mati-matian mempertahankan sawah, Dwitra memilih subjek film dengan segala sisi manusiawinya, yang terjebak antara pilihan-pilihan mempertahankan yang ideal atau menjadi realistis-pragmatis. Fenomena ini jika kita tarik sebab musababnya tentu tak jauh-jauh dari pariwisata masal atau mass tourism yang dimulai di tahun 60-an yang menyebabkan harga tanah di Bali ikut melonjak dan menggoda pemilik tanah untuk ramai-ramai menjual tanahnya. Peristiwa ini menjadi masif didukung oleh abainya pemerintah terhadap sektor pertanian. Dibandingkan mengurus lahan, membeli pupuk yang mahal, dengan laba panen tak seberapa, tentu lebih menguntungkan menjual tanah. Hasilnya bisa diputar untuk membuka bisnis. “Masean’S Messages” Sementara Masean’s Messages menceritakan tentang warga di Dusun Masean, Desa Batuagung, Jembrana yang bersepakat melakukan pembongkaran kuburan masal korban G-30-S atau yang di Bali lebih dikenal dengan Gestok. Warga dihantui oleh peristiwa-peristiwa janggal yang beruntun. Mereka percaya bahwa arwah korban Gestok belum tenang, dan harus diupacarai dengan layak.

PENONTON — Petani Terakhir dan Masean’s Messages, Dwitra sebisa mungkin menghindari wawancara dengan subjek film, dan dengan anteng mengikuti serta merekam segala peristiwa yang berlalu di depannya. Dengan metode yang lebih observatif, Dwitra membiarkan penonton mengamati peristiwa-peristiwa yang terangkai di layar, dan masuk ke dalam cerita tanpa menyadari bahwa di balik kamera ada seseorang yang merekam dan barangkali diam-diam memperhitungkan apa yang harus muncul dan tidak boleh hadir di kamera.

Dwitra dengan tekun mengikuti proses pembongkaran ini bahkan sejak tahap persiapan. Ia merekam berbagai reaksi dan inisiatif tiap warga selama proses ini. Di akhir cerita, akan kita dapati sebuah scene, di mana polisi, tentara, dan warga sipil berada dalam satu frame, bahu membahu menyukseskan jalannya pembongkaran kuburan massal ini. Gambar ini menjelaskan pada penonton, bahwa konflik G-30-S sesungguhnya telah selesai di tataran paling bawah. Dwitra menyajikan perspektif lain dalam memandang tragedi ini sebagai masa lalu. Ia menghindari melakukan repetisi yang umum kita temukan di film-film yang mengangkat G-30-S (misalnya Jagal dan Senyap oleh Joshua Oppenheimer), yakni masih berkutat pada persoalan siapa pelaku, siapa korban, dan siapa yang harus minta maaf. Dengan mengambil sudut pandang masyarakat Masean, bahwa siapa pelaku dan siapa korban dalam tragedi tersebut sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat. Hanya saja ia tidak dikatakan secara lugas. Sebab bagi masyarakat yang mewarisi masa lalu kelam anggota keluarganya, yang terpenting bukan lagi menghukum keluarga pelaku atau menenangkan keluarga korban, tapi memastikan bahwa sejarah tidak terulang. Dalam konteks masyarakat Masean, hidup harmonis secara sekala dan niskala adalah yang utama. Baik soal nasib pertanian yang di ujung tanduk, maupun peristiwa G30-S yang tak menemui ujung, keduanya adalah persoalan yang tidak banyak dihadirkan oleh pembuat film Bali. Jangankan pembuat film, bahkan kedua persoalan ini juga sering luput dari pemberitaan media atau dalam agenda pemerintah. Dwitra, melalui medium dokumenter mengantarkan kedua isu ini ke publik dengan intim. Berbeda dengan Lampion-lampion dan Pura Tanpa Daging Babi yang dibungkus dengan dokumenter ekspositori penuh wawancara dan tempelan footage, di kedua film terakhirnya, Petani Terakhir dan Masean’s Messages, Dwitra sebisa mungkin menghindari wawancara dengan subjek film, dan dengan anteng mengikuti serta merekam segala peristiwa yang berlalu di depannya. Dengan metode yang lebih observatif, Dwitra membiarkan penonton mengamati peristiwa-peristiwa yang terangkai di layar, dan masuk ke dalam cerita tanpa menyadari bahwa di balik kamera ada seseorang yang merekam dan barangkali diam-diam memperhitungkan apa yang harus muncul dan tidak boleh hadir di kamera. Ketidakhadiran pembuat film di dalam layar, baik secara audio maupun visual (yang biasa kita temui dalam film dokumenter yang menggunakan metode ekspositori penuh wawancara), secara tidak langsung mereduksi jarak antara film dan penonton, dan membuat mata kamera seolah-olah mewakili mata penonton yang mengamati tiada henti. Pendekatan macam ini memungkinkan penonton untuk masuk ke dalam cerita dan mengalami dengan lebih intim tentang dilema yang dihadapi petani dalam Petani Terakhir ataupun menyaksikan perspektif baru dalam menyikapi tragedi G-30-S dalam Masean’s Messages. zAyu Diah Cempaka

Memasuki Musim Hujan

Pneumonia Perlu Diperhatikan MEMASUKI musim panca roba, banyak anak-anak dan orang dewasa yang mengalami infeksi saluran pernapasan. Jika infeksi saluran pernapasan ini tidak diobati dengan tepat, maka akan menimbulkan beberapa komplikasi.

Salah satunya adalah infeksi pada organ paru-paru atau yang biasa kita sebut sebagai pneumonia. Angka kejadian dan prevalensi penyakit pneumonia di Indonesia pada tahun 2013 adalah 1,8 persen dan 4,5 persen. Lima provinsi yang memiliki kasus pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, serta Sulawesi Selatan. Apa Itu Pneumonia? Menurut Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) pneumonia adalah penyakit infeksi saluran napas bawah akut pada organ paru-paru. Pneumonia dapat disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus, jamur, bakteri, dan parasit. Gejala yang muncul bila seseorang mengalami pneumonia yaitu: batuk berdahak dengan lendir (kuning, atau kehijauan), sesak, demam, nyeri dada saat batuk atau menarik napas yang dalam, sakit kepala dan mual muntah. Batuk yang terjadi pada pasien dengan pneumonia tidak

sembuh dengan obat-obatan yang dapat dibeli di warung, sehingga perlu pemeriksaan lebih lanjut seperti rontgen, dan kultur dahak. Pengobatan pada pasien dengan pneumonia yaitu diberikan antibiotik yang sesuai. Pada pasien yang mengalami sesak napas berat dan tidak bisa bangun dari tempat tidur, disarankan untuk dirawat inap di rumah sakit. Jika dibiarkan, maka kuman penyebab pneumonia akan menyebar di dalam darah dan menganggu sirkulasi tubuh. Hal ini akan menyebabkan infeksi pada organ lainnya seperti jantung dan ginjal, dan berakhir pada kematian.

Pencegahan Pneumonia Seperti yang kita ketahui bahwa pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, maka cara mencegah pneumonia adalah mencegah masuknya kuman ke dalam tubuh kita. Hal-hal yang dapat dilakukan yaitu menjaga kesehatan tubuh dengan berolahraga, makan secara teratur, menggunakan vaksin pneumonia dan menghindari polutan baik asap maupun debu. Jika di sekitar Anda ada yang mengalami gejala-gejala pneumonia, anjurkanlah untuk berobat ke puskesmas atau Instansi Kesehatan terdekat. zdr. I Gede Praya Bayu Pambudi

PNEUMONIA — Gejala pneumonia, batuk berdahak dengan lendir (kuning, atau kehijauan), sesak, demam, nyeri dada saat batuk atau menarik napas yang dalam, sakit kepala dan mual muntah. Batuk yang terjadi pada pasien dengan pneumonia tidak sembuh dengan obat-obatan yang dapat dibeli di warung, sehingga perlu pemeriksaan lebih lanjut seperti rontgen, dan kultur dahak.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.