Tabloid Washilah Edisi 113

Page 9

LIPSUS

Edisi 113 | Jumadil Akhir 1442 Hijriyah | Februari 2021 Masehi tidak mungkin SOP itu keluar hanya sekadar untuk dibukukan,”jelasnya.

*Olah Data : Litbang UKM LIMA, Arya Nur Prianugraha *Infografis : Viviana Basri

Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) No. 5494 Tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkup Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Berpegang pada ketiga sumber primer, WR III Bidang Kemahasiswaan, Biro Administrasai Akademik dan Kemahasiswaan, dan Ketua Pusat Studi Gender dan Anak, di hari yang sama masing-masing membenarkan Wacana Kampus Responsif Gender yang akan segera dideklarasikan. Terhitung sejak tanggal 29 September 2020, 49 hari kemudian, tepatnya pada tanggal 16 November 2020, saya mendatangi ruangan PSGA yang berada di Gedung Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masarakat (LP2M) untuk bertemu dan mempertanyakan kepada Dr Rosmini terkait SOP turunan dari SK Dirjen Pendis No. 5494 dan Wacana Deklarasi Kampus Responsif Gender. Gayung bersambut, Dr Rosmini menuturkan, SOP yang dimaksud

draftnya sudah ada dan telah melewati dua kali rapat, namun belum disahkan menjadi aturan Rektor. “Sudah dibuat pedoman itu, pedoman yang menjadi turunan dari SK Dirjen Pendis No. 5494. Draft nya sudah ada,”tutur Dr Rosmini.Tidak dikatakan lebih pasti, mengenai kapan akan dilakukan deklarasi kampus Responsif Gender sebagaimana sudah dicanangkan 49 hari lalu pada 29 September 2020. “Kalau ditanyakan kapan deklarasi itu, tetap kita akan agendakan, yang pasti sekarang ini draft SOP itu sudah ada. Sebenarnya sudah lama saya disuruh oleh pak Rektor, tapi sengaja saya tunda karena masih ada yang perlu dikoreksi.” Jelasnya. Menurut Dr Rosmini, sangat mudah untuk sekadar mempatenkan SOP dan mendeklarasikan Kampus Responsif Gender, namun banyak hal yang perlu dipertimbangkan. “Sebenarnya mengeluarkan SOP itu tidak susahji, karena pak Rektor sudah minta sekalimi, yang saya pikirkan itu setelah dikeluarkan bagaimana implementasinya, karena

Ironi Hari itu, 6 Januari 2021, saya menjemput Lala (Bukan nama sebenarnya) di sebuah kontrakan tidak jauh dari kampus II UIN Alauddin. “Tidak tidurpa, barupa tadi subuh tiba dari kampung,” ucap Lala di atas motor dalam perjalanan ke Pengadilan Negeri Makasssar. Lala datang dari Kampung Halamannya, menuju Samata Kabupaten Gowa untuk memenuhi panggilan Pengadilan Negeri Makassar dalam rangka pemeriksaan sebagai saksi korban. Lala adalah salah satu korban KGBO yang akhir September 2020 lalu menimpa 8 mahasiswi sekaligus, hampir secara bersamaan, dalam rentang waktu 10 menit. Belakangan terungkap dipersidangan, melalui pengakuan pelaku bahwa korbannya sebanyak 18 orang. Dalam perjalanan dari kampungnya menuju rumah kontrakannya di Kabupaten Gowa, yang berjarak 582,6 KM dengan jarak tempuh normal 13 jam 13 menit. Lala mengaku,selama itu dirinya tidak bisa tenang dan tidak bisa tidur. “Tidak bisaka tidur, gemetar, kayak ada salon di dadaku,” keluhnya Hari itu adalah pertama kali saya bertemu dan berkenalan dengan Lala. Lala, Perempuan yang mudah bergaul, sepanjang perjalanan dari rumah kontrakannya ke Pengadilan Negeri Makssar kami bercerita banyak hal. Di tengah macetnya Kota Makassar, dan bisingnya suara kendaraan, Lala bercerita tentang dirinya yang menjadi korban KGBO dan bagaimana dia melewati hari-harinya setelah kejadian di bulan september itu. “Tidak pernahka lupai, sejak kejadian itu kuingat terus sampai sekarang,” kisah Lala. Kisah yang dialami Lala juga dialami oleh Lati (Bukan nama sebenarnya), Lati juga salah satu dari korban itu. Pasca kejadian itu, dirinya mengaku trauma. Hal semakin parah karena orang-orang yang ada di sekitar korban, korban merasa kadang disudutkan dengan pertanyaan yang mengganggu mentalnya. Saat dikonfirmasi mengenai apakah dirinya telah mendapatkan pendampingan psikologi, lati membantah. “Tidak, tidak pernah secara serius,” tegasnya. Dari kasus pelecehan atau kekerasan gender yang menjadi catatan hitam dalam sejarah kampus peradaban itu, memang menuai perhatian dari banyak kalangan. Bendahara Umum Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (Dema-U) UIN Alauddin Makassar Nurkhalisa M Musa menuturkan, keterbukaan informasi tentang pengawalan kampus terhadap kasus kekerasan seksual itu baru terdengar pada kasus KGBO kemarin, itu pun tidak detail. “Kita tidak tahu nama pelakunya siapa, sanksinya apa, kondisi korban bagaimana, yang dimaksud jadi tim investigasi siapa-siapa saja,”jelasnya. Perempuan yang akrab disapa Chae ini mengharapkan keterbukaan informasi dalam penanganan kasus yang terkait isu gender. Menurutnya, hal itu perlu agar si pelaku dan calon

pelaku jera karena berpikir sanksi sosial akan ada, agar korban dan calon korban bisa tenang. Chae meragukan kesungguh-sungguhan kampus dalam menyikapi isu-isu gender, menurutnya keputusan rektor tentang Implementasi Pengarus Utamaan Gender adalah langkah yang paling utama, sehingga yang lain-lain bisa terealisasi, mengingat SK Dirjen Pendis terkait dengan Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada sudah ada sejak tahun 2019. Praktek, tindakan, harus seimbang dengan teori, begitu kata Chae mengulangi perkataan gurunya semasa sekolah dulu. Bagi Chae, hal itu bisa dikoneksikan dengan kondisi permasalahan kekerasan atau pelecehan berbasis gender di UIN Alauddin. SK Dirjen yang mengaturnya sudah ada, namun belum ditindak lanjuti melalui SK Rektor. “Kalau tidak ditindak lanjuti, kan percuma Juga,” Keluh Chae. Chae bertutur, bagi kampus yang mencita-citakan keadilan dan ketentraman, dan rasa aman untuk semua civitasnya. Maka musti ada pencegahan, penanganan, pemulihan korban, dan penindakan atau pemidanaan pelaku kekerasan seksual. Mahasiswi yang juga menjabat sebagai Ketua Korps HMI Wati (Kohati) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam ini sesekali tertawa saat sesi wawancara, iya menekankan, sebelum mendeklarasikan UIN Alauddin sebagai Kampus Responsif Gender, pemenuhan kebutuhan indikatornya harus dibereskan dulu. “Sejauh ini indikator Kampus Responsif Gender yang dipenuhi baru 2, artinya masih ada 7 lagi yang butuh perhatian lebih. Kalau memang sungguh-sungguh, harusnya sudah ada Keputusan Rektor tentang Implementasi Pengarus Utamaan Gender.” pungkasnya. Hal tersebut juga dibenarkan oleh Komite Anti Pelecehan Seksual (Komite APS) UIN Alauddin, Ai’ menjelaskan sebuah kelucuan ketika kampus mengklaim tidak pernah diam dengan memberi contoh kasus yang telah di advokasi, tapi disatu sisi kasus-kasus yang lain terus bermunculan. Menurutnya, perlu dicek dan dievaluasi pada sisi pengadvokasiannya. Dilansir dari akun insragram resminya, Komite Anti Pelecehan Seksual (APS) UIN Alauddin merupakan sebuah kolektif yang menghimpun individu baik mahasiswa maupun alumni yang mempunyai kesadaran penuh atas kekerasan seksual yang ada di lingkup universitas. Pimpinan kampus, kata Ai’ tak ubahnya seperti pemadam kebakaran dalam menangani kasus kekerasan seksual. “Kalau viralmi cepat-cepatmi dipadamkan apinya,” jelas Ai’, lanjut, Ai’ mengaku dalam pemberantasan kasus dan pencegahan tidak bisa dilakukan sendiri- sendiri. birokrasi sendiri, dan mahasiswa sendiri. “Perlu adanya harmonisasi, tapi mahasiswa tetap menjaga independensi politiknya,” terangnya.

9 Melalui sambungan telpon Whats App, pada 8 Januari 2021, saya kembali mencoba menghubungi WR III Prof Darussalam untuk menanyakan Peraturan Rektor dan SOP Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Gender yang merupakan salah satu indikator menuju kampus Responsif Gender. Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) ini mengatakan, bahwa semuanya sudah ada dan telah disusun oleh bidang hukum PSGA, namun Guru Besar bidang Politik Islam ini mengaku tidak mengetahui pasti apakah aturan dan SOP tersebut sudah dikeluarkan. “Lebih bagus, anda komunikasi langsung dengan Ketua PSGA.”tuturnya. Keesokan harinya, 9 Januari saat dihubungi oleh Ketua PSGA Dr Rosmini, Terkait Peraturan Rektor dan SOP Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Gender. Menurut pengakuannya, draft Peraturan Rektor dan SOP yang dimaksud telah selesai, dan saat ini dalam tahap melobi ke pimpinan untuk diseminarkan sebelum di tanda tangan. Disaat yang sama, Dr Rosmini mengatakan, bahwa dirinya masih menuggu kepastian anggaran untuk melakukan seminar. “Rencananya begitu nanda, Semoga ada Afirmasi anggaran untuk itu.” ‘Hanya Keledai yang jatuh di lubang yang sama dua kali’, pepatah itu mengartikan, kita harus belajar dari kejatuhan kita sebelumnya. Hari itu, Minggu 17 Januari 2021 sekitar pulul 14:37, di gang yang berbatasan langsung dengan Kampus II UIN Alauddin Makassar. Seorang Mahasiswi UIN Alauddin, Mulan (Bukan Nama Sebenarnya), kembali menjadi korban begal payudara oleh orang yang tidak dikenal. Di tengah guyuran hujan, dengan memegang payung di tangannya, bersama adiknya dia berjalan melintasi gang sempit dengan lebar tidak lebih dari dua meter, saat pria yang tidak dikenal dengan mengendarai sepeda motor melintas dari arah berlawanan tiba-tiba memegang payudaranya, Mulan tiba-tiba shock, diam, dan mematung. Mulan mengalami Tonic Immobility atau kelumpuhan sementara. Dari kejadian yang menimpanya, Mulan menganggap Kampus gagal belajar dari kejadian yang lalu dan menciptakan rasa aman bagi Civitasnya. “Berapa lagi korban dibutuhkan untuk bisa bergerak buatkan ruang yang aman untuk kami mahasiswa yang tinggal di belakang kampus. Andaikan ada CCTV di gang itu, pasti sudah ditangkap pelakunya,”ujarnya. Waktu terus berjalan, hingga hari ini, UIN Alauddin dengan kasus kekerasan seksual yang kian marak, belum meratifikasi SK No.5494 dari Kemenag, selain itu masih jauh dari pemenuhan 9 indikator menuju kampus responsif gender. *Penulis : Arya Nur Prianugraha *Editor : Nurul Wahda Marang


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.