E journal bidang kajian perdata (edisi pertama)

Page 1

Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) Pelaku Usaha Dalam Produk Makanan Yang Mengandung Bahan Berbahaya | Oleh: Muhammad Azhar, SH (Hal 1-14) Hambatan Pendaftaran Hak Milik Atas Tanah di Kantor Pertanahan Kota Palembang | Oleh: Triyogo Sutrisno, SH (15-31) Studi Terhadap Perjanjian Kerja Antara Pekerja Harian Lepas dengan PT. Adhi Karya dan PT. Pembangunan Perumahan | Oleh: Merry Anggiana, SH (31-46) Hak Gugat Pekerja atau Buruh Terhadap Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang Lalai Dalam Melindungi Hak-Haknya | Oleh: Ria Restu Dwi Putri, SH (60-76) Tinjauan Hukum Mengenai Transfer Atlet: Studi Cabang Olahraga Taekwondo di Sumatera Selatan | Oleh: Dea Justicia Ardha, SH (77-94) Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Melalui Transaksi Elektronik (E-Commerce) | Oleh: Widya Septianingsih, SH (95-106) Perlindungan Kreditur Kepailitan Melalui Actio Pauliana | Oleh: Agustina Ria R.I.S (107-123) Tanggung Jawab Penjamin Terhadap Utang Debitur yang Pailit | Oleh: Revi Apreni, SH (124-133) Kedudukan Masatraining Calon Pekerja Tetap Bank Umum Konvensional Di Kota Lubuklinggau Ditinjau Dari Hukum Ketenagakerjaan | Oleh: Risfi Ananda Pratiwi, SH (134-147) Isi Iklan Sebagai Dasar Untuk Mengajukan Gugatan Terhadap Pelaku Usaha | Oleh: Sainah Anggun Kumala Sari , SH (148-162) Perlindungan Hukum Atas Kerugian Kerusakan Dan/Atau Kehilangan Barang Penumpang Yang Ditempatkan Dalam Bagasi Pesawat Udara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan | Oleh: Meintari Purnama Sari, SH (163-182) Hambatan Pelaksanaan Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara Perdata (Studi Di Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat) | Oleh: Purnamasari, SH (183-196) Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Labelisasi Halal Pada Produk Makanan | Oleh: Elsy Elvarisha, SH (197-212) Fungsi dan Akibat Hukum Penomoran Produk Pangan Oleh Badan Pemeriksa Obat dan Makanan | Oleh: Mita Rachmijati, SH (213-226) Analisis Tentang Kepastian Harga Pada Label Barang yang Diperjualbelikan di Minimarket | Oleh: Nurul Dwi Utari, SH (227-238) Kewenangan Pengawasan Di Bidang Jasa Keuangan (Studi Terhadap Undang-Undang Bank Indonesia dan Undang-Undang No.21tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan) | Oleh: Febri Murtiningtias, SH (239Upaya HukumBagi Pihak yang Menolak Putusan Arbitrase Ad-Hoc Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 | Oleh: Azzanira , SH (258-269) Transparansi Perizinan Usaha Perkebunan Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik | Oleh: Henny Liauw, SH (270-283)


PENGANTAR KATA Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Elekktronik Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya yang terbit pertama pada Bulan Agustus 2013 merupakan tindak lanjut dari edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor:152/E/T/2012 tanggal 27 Januari 2012 hal Publikasi Karya Ilmiah dan Surat Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Nomor:1026/UN9.1.2/MI/2013 tanggal 3 Juli 2013 hal Pemberitahuan Publikasi Karya Ilmiah Mahasiswa. Jurnal ini disepakati untuk diberi nama “OPINI HUKUM”. Penamaan ini dimaksudkan bahwa karya ilmiah yang diterbitkan pada tiap edisi adalah pemikiran-pemikiran hukum yang cerdas dari lulusan S1 Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Penerbitannya dilakukan setiap dua bulan menjelang dengan Wisuda Sarjana Universitas Sriwijaya. Pada tiap penerbitannya tulisantulisan dikelompokkan ke dalam Bidang Kajian yang ada di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, yang terdiri dari Bidang Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara dan Hukum Internasional. Untuk edisi perdana ini tulisan yang disajikan sebanyak 91 artikel sesuai dengan jumlah lulusan Sarjan Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Periode Juli 2013 yang tersebar sesuai dengan Bidang Kajian Hukum para lulusan. Redaksi menyadari bahwa dari segi penampilan dan mutu karya ilmiah yang tersaji belumlah memenuhi standar kualitas yang diharapkan. Namun, ada optimisme untuk melakukan penyempurnaan pada masa yang akan datang. Kepada khalayak pembaca kami ucapkan selamat berkunjung pada OPINI HUKUM Electronic Journal Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Indralaya, 31 Juli 2013 Redaksi

Hal | ii


KATA SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SRIWIJAYA Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Karya tulis ilmiah justru miskin ditengah-tengah masyarakat ilmiah. Inilah tantangan besar dunia perguruan tinggi di Indonesia. Berdasarkan data Kemendikbud, jumlah karya ilmiah yang dihasilkan perguruan tinggi Indonesia saat ini masih rendah, hanya sepertujuh saja jika dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia. Kondisi memprihatinkan itulah yang juga menjadi pertimbangan diterbitkannya Surat Dirjen Dikti No: 152 tanggal 27 Januari 2012. Inti dari surat Dirjen tersebut bahwa yang menjadi syarat lulus bagi mahasiswa program S-1, S-2, dan S-3 untuk memublikasikan karya ilmiahnya, yaitu: (1) Untuk lulus program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah, (2) Untuk lulus program Magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang terakreditasi Dikti, dan (3) Untuk lulus program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional. Menjadi kewajiban semua pengelola perguruan tinggi, termasuk Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, untuk merespon apa yang menjadi arahan Dirjen Dikti tersebut. Walaupun sebelumnya beberapa upaya juga telah dilakukan untuk mendorong kreativitas mahasiswa untuk menghasilkan pemikiran yang kritis dan analitis yang dituangkan juga dalam tulisan. Respon terhadap surat Dirjen Dikti tersebut dan sebagai upaya menambah sarana bagi mahasiswa untuk menuangkan pemikiran yang kritis dalam bentuk tulisan, maka fakultas Hukum UNSRI menerbitkan E-Journal berjudul Opini Hukum. E-Journal ini diharapkan bermanfaat bagi mahasiswa untuk memuat karya tulis mereka sehingga terpenuhi apa yang menjadi harapan Dirjen Dikti tersebut. Saya menyambut baik diterbitkannya E-Journal Opini Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya yang merupakan hasil dari kerja keras tim dibawah koordinasi Pembantu Dekan I. Kiranya para mahasiswa khususnya dan masyarakat ilmiah di Fakultas Universitas Sriwijaya pada umumnya dapat memanfaatkan E-Journal ini secara maksimal. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Indralaya, 26 Juli 2013 Dekan, Prof. Amzulian Rifai, SH., LL.M., Ph.D Hal | iii


Sanksi Terhadap Pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran Serta Standar Program Siaran Radio dan Televisi Berdasarkan UU Bo.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Oleh: Rizky Kurniawan, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Dr. H. Ruben Achmad, SH.,MH dan H. Zulkarnain Ibrahim, SH.,M.Hum

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah melahirkan lembaga sosial baru menyangkut dunia penyiaran dan telah menjadi salah satu sarana berkomunikasi bagi masyarakat yang saat ini makin besar tuntutannya akan hak untuk mengetahui dan hak untuk mendapatkan suatu informasi. Pada saat ini informasi telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat dan telah menjadi komoditas penting dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara.1 Dunia penyiaran di Indonesia di mulai pada tahun 1925, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Prof. Komans dan Dr. De Groot telah berhasil melakukan komunikasi radio dengan menggunakan stasiun radio di Malabar, Jawa Barat. Kemudian Kejadian ini diikuti dengan berdirinya Batavia Radio Vereniging dan Nirom Tahun 1930 amatir radio di Indonesia telah membentuk organisasi yang menamakan dirinya NIVERA (Nederland Indische Vereniging Radio Amateur) yang merupakan organisasi amatir radio pertama di Indonesia. Berdirinya organisasi ini diresmikan oleh pemerintah Hindia Belanda.2 Sebagai media komunikasi massa yang mempunyai peran penting dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi, radio3 dan televisi4 mengalami perkembangan yang cukup pesat, yaitu sejak dimulainya reformasi 1998. Dalam perkembanganya pada masa reformasi yang kemudian mempengaruhi 1

Pengaturan Republik Indonesia, Undang –Undang tentang Penyiaran No.32, LN No. 139 Tahun 2002, TLN No. 4252, pada penjelasan umum. 2 Morissan, Manajemen Media Penyiaran (strategi mengelola radio dan televisi), Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 7. 3 Radio adalah suatu alat informasi berita berupa suara atau audio yang dapat menjangkau daerah yang sangat luas dengan pancaran gelombang atau frekuensi melalui udara. Uji saputro, The Essentials of ICT, Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2010, hlm 8 4 Televisi merupakan peralatan teknologi informasi yang menyajikan suara dan gambar. Uji saputro, The Essentials of ICT, Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2010, hlm 9

Hal | 1


perkembangan pada media sampai sekarang. Berbagai media massa, termasuk radio dan televisi bagai menemukan dunia yang baru dalam fungsinya sebagai komunikasi masa, bahkan radio dan televisi menjadi bagian yang sanga penting dalam kehidupan pers dan kehidupan nmasyarakat yang sadar akan informasi.5 Begitu pula dunia penyiaran radio dan televisi di Palembang saat ini semakin kompetitif dengan maraknya radio-radio swasta dan televisi swasta yang bermunculan untuk melakukan bisnis stasiun penyiaran swasta, karena bisnis ini menjadi salah satu bentuk investasi yang menguntungkan. Hal ini dapat dilihat dari besarnya minat orang untuk membuka stasiun penyiaran, dan spektrum frekuensi di beberapa kota besar di Indonesia khususnya di Palembang ternyata sudah cukup pada.6 Demi mewujudkan penyiaran yang sehat, adil, beragam dan bertanggung jawab, diperlu adanya suatu pengawasan dalam sistem penyiaran. Berdasarkan Undang-Undang Penyiaran No.32 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa media dan penyiaran adalah ranah publik, yang mengakibatkan intervensi pemerintah dibatasi, maka sebagai gantinya, terbentuklah semacam komisi yang akan bertugas menangani segala macam urusan yang berhubungan dengan penyiaran, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang terdiri atas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah (tingkat provinsi). KPI ataupun KPID dibentuk berdasarkan UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran adalah Lembaga Negara Independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran Dalam menjalankan fungsi-fungsinya, (menurut pasal 8 ayat 2) KPI mempunyai wewenang: (1) Menetapkan standar program siaran; (2) menyusun peraturan dan pedoman perilaku penyiaran; (3) mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; (4) memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran; (5) melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan lembaga penyiaran, pemerintah dan masyarakat. Guna menyehatkan sistem penyiaran yang sesuai dengan tujuan dari UU no 32 Tahun 2002 tentang penyiaran , dan sesuai wewenang KPI pasal 8 ayat (2) dan (3), KPI membentuk peraturan no 02 dan 03 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3)dan Standar Program Siaran (SPS). Berdasarkan batasan-batasan

5

http://digilib.uin-suka.ac.id/3134/ pengawasan system penyiaran radio oleh KPID Yogyakarta di akses pada tanggal 2 september 2012 6 Morissan, Op.Cit., hlm. 82

Hal | 2


yang terdapat dalam peraturan tersebut, maka KPI melakukan pengawasan demi mewujudkan sistem penyiaran yang sehat.7 Berdasarkan uraian pada latar belakang permasalahan di atas ada beberapa permasalahan yang ditemukan yang berkaitan pelanggaran terhadap peraturan komisi penyiaran Indonesia tentang pedoman perilaku penyiaran. Sehubungan dengan hal itu, maka dibahaslah skripsi dengan judul “Sanksi Terhadap Pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran Serta Standar Program Siaran Radio dan Televisi Berdasarkan Undang-Undang No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran�

2. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah penerapan sanksi pelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran radio dan televisi pada lembaga penyiaran ? 2. Apa saja hambatan terhadap penerapan sanksi pelanggaran pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran radio dan televisi pada lembaga penyiaran ?

3. Kerangka Konseptual a) Pengertian Komisi Penyiaran Indonesia Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran memberi arti sebagai suatu lembaga negara yang bersifat independen yang ada dipusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran, sesuai pada Pasal 1 ayat (13). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran juga memberikan arti dari Penyiaran, yaitu kegiatan memancarluaskan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di laut, di darat atau di antariksa dengan menggunakan spectrum frekuensi radio melalui kabel, udara, dan/atau media yang lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran, sesuai pada pasal 1 ayat (2). Sementara penyiaran radio adalah media komunikasi massa dengar, yang menyalurkan informasi dalam bentuk suara secara umum dan terbuka, berupa 7

http://digilib.uin-suka.ac.id/3134/ pengawasan system penyiaran radio oleh KPID Yogyakarta Op.Cit.

Hal | 3


program yang berkesinambungan, sesuai pada pasal 1 ayat (3). Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka ataupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan, pasal 1 ayat (4). b) Pengertian Pedoman Perilaku Penyiaran Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran menyatakan bahwan pedoman perilaku penyiaran adalah ketentuan-ketentuan bagi lembaga penyiaran yang ditetapkan oleh komisi penyiaran Indonesia sebagai panduan tentang batasan perilaku penyelenggaraan penyiaran dan pengawasan penyiaran nasional, sesuai pada pasal 1 ayat (1). c) Pengertian Standar Program Siaran Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran menyatakan standar program siaran adalah standar isi siaran yang berisi tentang batasan-batasan, pelanggaran, kewajiban, dan pengaturan penyiaran, serta sanksi berdasarkan pedoman perilaku penyiaran yang di tetapkan oleh KPI. d) Dasar dan tujuan Pedoman Perilaku Penyiaran Menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tetnag Penyiaran Penyiaran diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan asas manfaat, adil dan merata, keberagaman, kebebasan, keamanan, kemitraan, etika, kemandirian, kepastian hukum, dan tanggung jawab. Sementara pada Pasal 3 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran menyatakan Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang demokratis, adil dan sejahtera, mandiri, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia. e) Pengertian Penerapan Sanksi Penerapan sanksi adalah salah satu tujuan pemindanaan yang secara kongkrit dituangkan kedalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan dengan masalah penerapan sanksi, maka yang dituntut adalah asas keseimbangan artinya bahwa harus mengakomodasi semua kepentingan baik kepentingan masyarakat pelaku dan juga korban. Dengan demikian tidak boleh Hal | 4


hanya membedakan pada suatu kepentingan saja, tetapi harus memperhatikan ketiga kepentingan yaitu masyarakat, pelaku dan korban.8 Jadi penerapan sanksi merupakan langkah nyata yang dilakukan oleh kelompok atau golongan untuk memeperaktekkan suatu teori, metode dan hal lain yakni berupa hukuman terhadap seseorang, kelompok, atau golongan yang melakukan pelanggaran terhadap suatu ketentuan maupun peraturan perundang-undangan. f) Faktor-fakto yang mempengaruhi penerapan hukum Menurut soerjono soekanto ada lima faktor yang mempengaruhi penerapan hukum, yaitu faktor hukumnya sendiri, yang dibatasi pada undangundang, Faktor penegak hukum, Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, Faktor masyarakat, dan Faktor kebudayaan.9 B. PEMBAHASAN 1. Penerapan Sanksi Pelanggaran Terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran serta Standar Program Siaran Radio dan Televisi Pada Lembaga Penyiaran Dalam dunia penyiaran di Indonesia, pemerintah secara khusus membentuk lembaga Negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yaitu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan mempunyai wewenang sebagai berikut:10 a. Menetapkan standar program siaran, yakni suatu peraturan yang berisi tentang kewajiban, batasan, dan pelarangan suatu program siaran b.

Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran, yaitu suatu peraturan yang mengatur suatu lembaga siaran

c. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran d. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran

8

http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/58dc4e9dd53744ee937151d93deae116.pdf Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada: 2010, hlm. 8 10 Pengaturan Republik Indonesia, Undang –Undang tentang Penyiaran No.32 Tahun 2002, Pasal 8 (2), pada bagian kedua 9

Hal | 5


e. Melakukan koordinasi dan/atau kerja sama dengan lembaga penyiaran, pemerinta dan masyarakat Upaya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menjamin masyarakat agar memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia berupa: mendapatkan informasi yang tepat akurat, hiburan hiburan yang sehat, dan pendidikan. Maka Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengeluarkan Peraturan Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran, dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran, yaitu standar isi siaran. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Dalam menjalankan perannya sebagai lembaga independen yang mengawasi lembaga penyiaran baik radio maupun televisi sudah menjalankan tugas yang semestinya untuk memberikan sanksi terhadap lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran, dan alhamdulillah cukup efektif.11 Pemberian sanksi kepada lembaga penyiaran yang melanggar pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan sanksi-sanski berupa:12 a.

Teguran tertulis

b.

Penghentian sementara mata acara yang bermasalah melalui tahap tertentu

c.

Pembatasan durasi dan waktu siaran

d.

Denda admistratif

e.

Pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu

f.

Tidak diberikan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran

g.

Pencabutan izin siaran

ketujuh hal tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:13 11

Wawancara dengan Drs. H. M. Yamin Hasan, SH., MM, ketua Bidang Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Selatan, 20 maret 2013 12 Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02/P/KPI/03/2012 Tentang Standar Program Siaran 13 Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02/P/KPI/03/2012 Tentang Standar Program Siaran

Hal | 6


Ad. a. Teguran tertulis Pemberian sanksi teguran tertulis terhadap lembaga penyiaran yang melanggar pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran berupa: pelanggaran terhadap nilai kesukuan, agama, ras antar golongan, norma kesopanan dan kesusilaan, pelanggaran prinsip-prinsip jurnalistik, klasifikasi program siaran. Sanksi diberikan paling banyak dua kali teguran tertulis selama tujuh hari kalender tanpa melalui tahapan klarifikasi dari lembaga penyiaran dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan mengumumkan pelanggaran tersebut kepada publik.14 Ad. b. Penghentian Sementara Penghentian sementara diberikan kepada lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran berupa: kesalahan dalam peliputan bencana, muatan seks dalam lagu dan vidio klip, ungkapan kasar dan makian, dan nilai agama, ras serta kesukuan. Sanksi diberikan kepada lembaga dengan terlebih dahulu memberikan peringatan tertulis dan apabila teguran tidak dihiraukan maka sanksi pemberhentian sementara dijatuhkan.15 Ad. c. Pembatasan durasi Pemberian sanksi pembatasan durasi hampir tidak pernah dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), karena sanksi ini dinilai kurang efektif.16 Ad. d. Denda Administratif Denda administratif hanya diberikan terhadap program siaran iklan niaga yang melebihi 20% (dua puluh persen) dari seluruh waktu siaran per hari. Program siaran iklan juga dilarang menayangkan promosi minuman beralkohol atau sejenisnya, promosi rokok yang memperagakan wujud rokok, promosi yang dihubungkan dengan ajaran suatu agama, upaya menyembunyikan, dan membingungkan atau membohongi masyarakat tentang kualitas, dan kinerja produk atau jasa yang di iklankan. 14

Wawancara dengan M. Yamin Hasan, ketua Bidang Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Selatan, 20 maret 2013 15 Wawancara dengan M. Yamin Hasan, ketua Bidang Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Selatan, 20 maret 2013 16 Wawancara dengan M. Yamin Hasan, ketua Bidang Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Selatan, 20 maret 2013

Hal | 7


Ad. e. Pembekuan Kegiatan Siaran Pembekuan kegiatan siaran hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum. Ad. f. Tidak diberi Perpanjangan Izin Siaran Sanksi ini hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Ad. g. Pencabutan Izin Pencabutan izin dapat dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum. Menurut penjelasan Yamin Hasan, penjatuhan sanksi selanjutnya atau selain sanksi teguran tertulis dilakukan melalui tahapan klarifikasi dari lembaga penyiaran dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut: a. Komisi Penyiaran Indonesia memberikan surat undangan pemeriksaan pelanggaran kepada lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran setelah ditetapkan dalam rapat pleno KPI, rapat pleno dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah peroses pemeriksaan pelanggaran. Jika lembaga penyiaran tersebut tidak memenuhi undangan tersebut maka telah dianggap menggunakan haknya ntuk menyampaikan klarifikasi. b. Sidang pemeriksaan pelanggaran dipimpin oleh ketua, wakil ketua atau anggota KPI yang ditunjuk, Sidang ini dilakukan secara tertutup dan tidak diumumkan kepada publik. c. Bahan bukti yang digunakan dalam penjatuhan sanksi adalah bukti rekaman pelanggaran dan dokumen temuan pengawas. d. Hasil selanjutnya dilaporkan ke rapat pleno KPI guna untuk memutuskan sanksi apa yang akan dijatuhkan kepada lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran. e. Rapat pleno KPI penjatuhan sanksi dilakukan oleh KPI selambatlambatnya tujuh hari kerja setelah proses persidangan. Dalam proses penjatuhan sanksi lembaga penyiaran juga berhak mengajukan keberatan atas surat keputusan KPI, yang disampaikan secara tertulis paling

Hal | 8


lambat tiga hari kerja terhitung sejak tanggal surat keputusan mengenai sanksi KPI diterima.17 Pemberian sanksi yang paling jarang diberikan Komisi Penyiaran Indonesi (KPI) kepada lembaga penyiaran adalah sanksi pembekuan kegiatan siaran, dan pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran, karena sanksi ini hanya diberikan kepada lembaga penyiaran yang melakukan kesalahan fatal seperti yang pernah dilakukan oleh program “Silet� pada tahun 2010 lalu, dengan memberikan informasi palsu dan kata-kata yang melanggar prinsip-rinsip jurnalistik. Pelanggaran yang dimaksud adalah mengenai kata-kata “dalam waktu satu hari gempa akan terulang dan ini bagian dari pada hukuman bagi Yogyakarta sebagai kota yang dikutuk�, sehingga terjadi kepanikan.18

2. Berdasarkan Hasil Riset di PT. Radio Motifasi Menebar Aktifitas Palembang Pada tahun 1993 PT. Radio Motivasi Menebar Aktifitas (MOMEA) menggema dan melangkah seiring sejalan dengan dinamika kehidupan remaja remaja dan menjadi ciri khas anak muda Palembang. Dua puluh tahun perjalanan waktu juga yang memberikan banyak hal kepada MOMEA, kesadaran betapa sangat pentingnya profesionalisme dalam mengelola siaran radio. Keberhasilan radio ini dalam perjalanannya bukanlah pekerjaan yang dilakukan sendiri, melainkan dukungan masyarakat kota Palembang yang siap menerima perubahan yang positif serta dukungan mitra bisnisnya, membuat radio MOMEA tetap bertahan.19 Dalam melakukan kegiatan penyiaran radio sehari-hari, MOMEA FM selalu berusaha untuk mematuhi aturan yang dibuat oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berupa Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, akan tetapi kami tidak menutupi bahwa seringkali lalai dalam menjalankan tugas dan pematuhan terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Pelanggaran yang sering kami lakukan adalah seringkali luput memutarkan adzan pada waktunya, dan penggunaan kata-kata 17

Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02/P/KPI/03/2012 Tentang Standar Program Siaran 18 Wawancara dengan M. Yamin Hasan, ketua Bidang Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Selatan, 20 maret 2013 19 http://www.momeafmpalembang.com/about-momea/history/ diakses pada tanggal 29 April 2013

Hal | 9


atau prosesi penyiaran yang berbau SARA (Suku, agama, ras, dan antargolongan).20 Menurut Bambang 21 , penerapan sanksi atas pelanggaran yang mereka lakukan dalam beberapa tahun terakhir selalu luput dari pihak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sehingga meraka tidak pernah mendapatkan sanksi apapun dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atas pelanggaran yang mereka buat.

3. Berdasarkan Hasil Riset di Sumeks Tivi (PALTV) PALTV yang berdiri pada tanggal 9 September 2007 membuat program yang betul-betul dekat dengan masyarakat. Yaitu memilih program yang lebih menitik beratkan pada “CONTENT LOCAL (70-80%)�. Membuat program yang banyak melibatkan masyarakat. Selain itu juga sebagian program ditayangkan dalam format live dan interaktif dengan pemirsa. Penggunaan bahasa Palembang di beberapa program. Memperbanyak kegiatan off air terutama pada program unggulan.22 Melakukan kegiatan dibidang penyiaran adalah hal yang yang sangat menyenangkan, karena dalam melakukan tugas kami dapat memperoleh pengetahuan baru yang bermanfaat bagi kami dan masyarakat yang menyaksikan program-program kami. Dalam dunia penyiaran ada suatu lembaga yang bertugas untuk mengawasi dan memberikan sanksi terhadap suatu lembaga penyiaran tak terkecuali kepada lembaga kami jika melakukan suatu pelanggaran pada peraturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang disebut Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran.23 Menurut Syafik Gani, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Selatan (KPID SUMSEL) telah menjalankan tugas mereka sebagaimana mestinya, hal itu dapat dilihat dari tindakan mereka yang telah memeberikan

20

Wawancara dengan Bambang, Marketing dan Finance PT. Radio Motifasi Menebar Aktifitas Palembang, 25 maret 2013 21 Wawancara dengan Bambang, Marketing dan Finance PT. Radio Motifasi Menebar Aktifitas Palembang, 25 maret 2013 22 http://www.paltv.tv/index.php?option=com_content&view=article&id=2594& Itemid=78 diakses pada tanggal 29 April 2013 23 Wawancara dengan Syafik Gani, General Manager PT. Sumeks Tivi Palembang, 10 April 2013

Hal | 10


lembaga kami sanksi, jika terjadi pelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran.24

4. Hambatan Terhadap Penerapan Sanksi Pelanggaran Pedoman Perilaku Penyiaran serta Standa Program Siaran Radio dan Televisi Pada Lembaga Penyiaran Hambatan terhadap penerapan sanksi pelanggaran pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran televisi dan radio, diantaranya:25 1) Pemilik Modal lembaga penyiaran 2) Lembaga penyiaran hanya patuh dalam waktu singkat kedua hal tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:26 Ad. 1. Pemilik modal lembaga penyiaran Pemilik modal adalah hambatan yang paling utama dalam pematuhan sanksi pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, karena saat ini program-program siaran hanya mengutamakan mencari keuntungan yang besar tanpa menghiraukan nilai-nilai moral, pendidikan, dan hiburan sehat yang semestinya menjadi fungsi dari suatu program siaran. Besar atau tidaknya keuntungan yang didapat dilihat dari TV rating, TV rating adalah suatu alat ukur yang digunakan untuk melihat apakah suatu program yang disiarkan mendapat banyak respon dari masyarakat atau tidak, jika mendapat respon maka suatu lembaga penyiaran akan mempertahankan program tersebut demi meraup keuntungan, walaupun sudah mendapat sanksi teguran dari KPI.27

Ad. 2. Lembaga penyiaran hanya patuh dalam waktu singkat Hanya patuh dalam waktu singkat menjadi hambatan pematuhan sanksi berikutnya. Jika suatu program siaran dikenakan sanksi teguran oleh Komisi 24

Wawancara dengan Syafik Gani, General Manager PT. Sumeks Tivi Palembang, 10

April 2013 25

Wawancara dengan M. Yamin Hasan, ketua Bidang Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Selatan, 20 maret 2013 26 Wawancara dengan M. Yamin Hasan, ketua Bidang Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Selatan, 20 maret 2013 27 Wawancara dengan M. Yamin Hasan, ketua Bidang Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Selatan, 20 maret 2013

Hal | 11


Penyiaran Indonesia (KPI) maka akan langsung mematuhinya tetapi tidak jarang ada yang hanya patuh sementara kemudian akan mengulanginya lagi, hal ini terjadi karena Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah mengalihkan perhatiannya kepada program-program lain sehingga luput dari pengawasan.28

C. PENUTUP 1. Kesimpulan Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan pada Bab-bab terdahulu, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penerapan sanksi terhadap pelanggaran pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran radio dan televisi pada lembaga penyiaran mengalami masalah. KPI hanya memberikan sanksi teguran tertulis terhadap lembaga penyiaran yang melanggar pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran, sehingga sanksi tidak efektif. KPI juga hanya lebih memperhatikan lembaga penyiaran televisi dibandingkan dengan lembaga penyiaran radio, sehingga banyak lembaga penyiaran radio yang melakukan pelanggaran tidak dikenakan sanksi. 2. Hambatan terhadap penerapan sanksi pelanggaran pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran radio dan televisi pada lembaga penyiaran yaitu: a. Pemilik modal lembaga penyiaran terkadang melakukan perjanjian dengan penguasa agar program siaran tetap berjalan walaupun telah mendapatkan sanksi. b. Lembaga penyiaran hanya patuh dalam waktu singkat setelah diberikan sanksi, dan kemudian akan mengulangi pelanggaran tersebut.

2. Saran 1. Diperlukan ketegasan dan perhatian yang lebih dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap lembaga-lembaga penyiran 28

Wawancara dengan M. Yamin Hasan, ketua Bidang Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sumatera Selatan, 20 maret 2013

Hal | 12


2. Diperlukan kerja sama yang baik antaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan lembaga penyiaran agar program siaran dapat memberikan manfaat yang baik bagi masyarakat luas sesuai dengan fungsi program siaran itu sendiri.

Hal | 13


DAFTAR PUSTAKA Sumber buku: Morissan, 2009, Manajemen Media Penyiaran (strategi mengelola radio dan televisi), Kencana, Jakarta. Uji Saputro, 2010, The Essentials of ICT, PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, Solo Zainudin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Bambang Waluyo, 2008, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cetakan Ke-4, Sinar Grafika, Jakarta. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta. Soerjono Soekanto, 2010, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Burhan Ashshofa, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rineka Citra, Jakarta. Sumber Perundang-undangan: Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia No. 01/P/KPI/03/2012 Tentang Pedoman Perilaku Penyiaran. Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia No. 02/P/KPI/03/2012 Tentang Standar Program Siaran. Website: http://digilib.uin-suka.ac.id/3134/ http://www.momeafmpalembang.com/about-momea/history/ http://www.paltv.tv/index.php?option=com_content&view=article&id=2594&Itemid=7 8

Hal | 14


Hambatan Pendaftaran Hak Milik Atas Tanah di Kantor Pertanahan Kota Palembang Oleh: Triyogo Sutrisno, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Dr. Firman Muntaqo, SH.,M.Hum dan H. Amrullah Arpan, SH.,SU

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masyarakat Indonesia sebagian besar menggantungkan hidupnya dalam lapangan agraria, tanah merupakan barang yang berharga dalam kehidupannya. Menurut kamus hukum29 agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah, Untuk memberikan jaminan yang kuat akan pemilikan tanah perlu kejelasan tentang status tanah agar memberi kepastian hukum pada orang yang menguasai atau memilikinya. Pengaturan pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah dan penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696). UUPA memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat untuk memanfaatkan fungsi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Pemerintah mewajibkan setiap pemilik tanah untuk mendaftarkan tanahnya,sebagaimana diatur pada Pasal 19 ayat (1) UUPA. Pelaksanaan pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, 30 meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah pertama kali meliputi pengumpulan dan pengolahan data fisik, pembukuan dan pembuktian hak, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis, penyimpanan dokumen dan daftar umum. Sedangkan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi pendaftaran peralihan, pendaftaran perubahan data, serta pembebanan hak pendaftaran tanah lainnya.

29 30

Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm. 21 Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Hal | 15


Pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah yang kemudian belum sepenuhnya terlaksana dengan baik seperti yang diharapkan Pasal 19 UUPA pada gilirannya dapat menimbulkan permasalahan tentang bidang-bidang tanah yang ada, baik yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar yang dapat menimbulkan masalah dalam bidang pertanahan. Boedi Harsono mengemukakan bahwa: “Dengan diadakannya pendaftaran tanah maka pihak-pihak yang bersangkutan dengan mudah mengetahui status dan kedudukan hukum dari tanah-tanah yang dimilikinya, luas tanah dan batasnya, siapa yang memiliki dan mempunyai beban hak atas tanah tersebut. Sehubungan dengan itu dibidang administrasi pertanahan, masalah utama yang timbul ialah belum tersedianya data pertanahan yang lengkap dan menyeluruh baik mengenai kepemilikan hak, penguasaan hak, maupun prosedur pendaftarannya�.31 Pentingnya pelaksanaan pendaftaran tanah adalah agar tanah itu terdaftar dan memiliki surat tanda bukti hak (sertifikat) yang penting dalam meningkatkan faktor ekonomi masyarakat. Dengan pendaftaran tanah akan terlihat manfaat dari tanah tersebut yaitu dapat dipergunakan untuk peningkatan usaha pemiliknya misalnya dapat dijadikan sebagai jaminan hutang, dan memberikan kejelasan serta kepastian hukum agar tidak menimbulkan sengketa atas tanah tersebut dikemudian hari. Dari uraian diatas dapat disimpulkan pentingnya pendaftaran tanah dari hak-hak atas tanah tersebut. Dalam hubungannya dengan jaminan kepastian hukum, maka hal terpenting dalam pendaftaran tanah adalah alat bukti kepemilikan tanah yang digunakan sebagai dasar bagi pendaftaran tanah yaitu sertifikat tanah. Begitu banyak fungsi sertifikat tanah bagi masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah maka sudah selayaknya setiap pemegang hak atas tanah mendaftarkan tanahnya guna memperoleh sertifikat tanah. Artinya “setiap pemegang hak atas tanah yang telah bersertifikat akan lebih tenang

31

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, jakarta, 1982, hlm. 462.

Hal | 16


karenamemiliki kepastian hukum dengan adanya pengakuan Negara atas haknya tersebut dan dapat dipertahankan secara mutlak terhadap siapa pun�.32 Tujuan UUPA Dalam penjelasan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 adalah: a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.33 Tujuan UUPA ini diwujudkan dalam tujuan pendaftaran tanah yang terakhir dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah 24 Tahun 1997: Pendaftaran tanah bertujuan: a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar; c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertahanan. Dalam hal pembuktian adanya suatu hak atas tanah secara hukum adalah melakukan pendaftaran hak atas tanah itu, yang mana pendaftaran tanah dimaksud diajukan kepada Kantor Pertanahan, agar tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh seseorang atau badan hukum terdaftar identitasnya dikantor pertanahan dan kepada pemilik yang sah diberikan sertifikat tanah. MP. Siahaan, mengemukakan bahwa:

32

MP. Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, (Teori dan Praktek), PT. Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2003, hlm. 162 33 Boedi Harsono, Op. Cit, hlm. 87

Hal | 17


“Dalam pendaftaran tanah yang terpenting adalah adanya catatan identitas atas tanah yang dimiliki dan dikuasai. yang dimaksud identitas tanah adalah keterangan-keterangan mengenai sebidang tanah sehingga sebidang tanah tersebut jelas-jenis haknya, letaknya, batas-batasnya, luasnya, keadaannya, siapa yang memiliki atau menguasai dan ciri-ciri khas lainnya�.34 Namun dalam kenyataannya tujuan dan cita-cita UUPA belum terlaksana dengan baik, karena mengalami hambatan walaupun UUPA telah lahir 53 tahun yang lalu. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya bidang tanah yang belum terdaftar di seluruh Indonesia termasuk di wilayah kota Palembang. Data Pertanahan Kota Palembang, hingga disusunnya laporan akhir tahun 2012 dari 351.300jumlah bidang tanah di Palembang menunjukkan tanah yang telah bersertifikat sejumlah 201.327, sementara tanah yang belum bersertifikat sejumlah149.973.35Sehingga dapat dikatakan jumlah bidang tanah yang belum bersertifikat masih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan sertifikat hak milik masyarakat Kota palembang terhadap jaminan kepastiaanhukum hak atas tanahnya masih rendah, keadaan seperti ini juga akanmempengaruhi jika suatu saat pemegang hak atas tanah tersebut akan melakukanperalihan hak atas tanahnya kepada orang lain, karena sertifikat merupakan surattanda bukti hak yang otentik atas tanah yang telah dibukukan dalam buku tanahyang bersangkutan. Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis menyebutkan: “Oleh karena itu, tidak mengherankan bila masalah pertanahan yang muncul dari hak atas tanah akan semakin banyak dan semakin beragam. Salah satu penyebabnya adalah belum terdaftarnya seluruh bidang tanah yang ada. Bahkan yang sudah terdaftar saja masih menyimpan masalah apalagi yang belum atau yang tidak didaftar, sehingga kepastian dan perlindungan hukum belum tercipta dengan baik terhadap hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat dan bahkan Negara�.36

34

MP, Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, (Teori dan Praktek), PT. Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2003, hlm. 16 35 http://kot-palembang.bpn.go.id/profilkantor.aspx.diakses pada tanggal 16 Oktober 2012. 36 Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 7

Hal | 18


Berdasarkan permasalahan di atas penulis berkeingginan membuat penelitian dengan judul: “Hambatan Pendaftaran Hak Milik Atas Tanah di Kantor Pertanahan Kota Palembang�

2. Perumusan Masalah 1. Apakah yang menjadi faktorpenghambat pendaftaran hak milik atas tanah di kantor pertanahan kota Palembang? 2. Bagaimanakah kantor pertanahan kota Palembang menanggulangi hambatan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah hak milik di kota Palembang?

3. Kerangka Konseptual Tanah adalah penopang kehidupan manusia yang dapat di haki secara individual. Oleh karena itu hak-hak individual ini disebutkan dalam Peraturan Perundang-undangan seperti Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Sebagai peraturan yang menyangkut pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1961 yang kemudian diubah menjadi Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah diajukan ke kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota dengan memenuhi syarat-syarat yang telah di tentukan, setelah memenuhi syarat-syarat yang telah di tentukan maka terbitlah sertifikat Hak Atas Tanah tersebut, kemudian dalam sertifikat tersebut disebutkan macam hak atas tanah seperti: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, atau hak-hak lain. Hak atas tanah tersebut timbul setelah adanya permohonan menerima sertifikat atas bidang tanah yang diajukan. Dalam Peraturan Perundang-undangan, dalam hal ini Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 pasal 9 menyebutkan bahwa hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan harus didaftarkan, hal ini berarti hak tersebut telah ada baru di daftarkan.

Hal | 19


B. PEMBAHASAN 1. Hambatan yang Timbul Karena Kondisi Internal di Kantor Pertanahan Kantor Pertanahan Kota Palembang telah mengupayakan agar pendaftaran tanah berjalan dengan baik, seperti terungkap dari wawancara dengan informan yaitu: “upaya yang kita lakukan agar pendaftaran tanah berjalan dengan baik dan berkesinambungan yaitu pembenahan secara internal di Kantor Pertanahan sendiri dan secara eksternal berhubungan dengan masyarakat dan akan dikordinasi dengan instansi terkait lainnya termasuk Kantor Pelayanan Pajak yang berhubungan dengan penyuluhan BPHTB�.37 Semenjak berlakunya UUPA No. 5 Tahun 1960, pelaksanaan pendaftaran tanah tidak sebagaimana yang di inginkan. Hal ini bukan lagi disebabkan oleh faktor hukum yang menyangkut pendaftaran tanah karena peraturan pendaftaran tanah yang sekarang sudah dianggap baik, akan tetapi masalahnya cenderung di luar hukum seperti karena budaya hukum masyarakat yang menganggap pendaftaran tanah belum menjadi suatu kebutuhan, sehingga kesadaran untuk mendaftarkan tanah secara swadaya (sporadik) masih rendah, penyebabnya adalah masyarakat kurang memahami fungsi dan kegunaan sertifikat, karena faktor ekonomi, sosial masyarakat yang menganggap alat bukti yang dimiliki selama ini sudah cukup kuat.38 Penyelenggaraan pendaftaran tanah sampai saat ini sering mengundang tanggapan pesimis dari masyarakat akan terlaksana dengan baik dengan berbagai alasan, seperti memakan jangka waktu yang lama, memerlukan biaya yang besar dan prosesnya yang berbelit-belit. Faktor lain dapat disebabkan karena masih rendahnya partisipasi masyarakat sehingga pendaftaran tanah kurang berjalan dengan baik, atau juga disebabkan sebagian masyarakat yang sudah mengerti pentingnya sertifikat atas tanah sebagai alat bukti yang kuat, tetapi enggan untuk mendaftar karena biaya yang terlalu mahal.39

37

Wawancara dengan bapak Zainul. S.H. Kepala sub seksi pendaftaran

hak24 Mei 2013. 38

Wawancara dengan bapak Zainul. S.H. Kepala sub seksi pendaftaran

hak24 Mei 2013. 39

Wawancara dengan bapak Amir mansur S.H., M.H kepala sub seksi pembebanan hak dan PPAT 24 Mei 2013.

Hal | 20


Disamping itu hambatan lainnya adalah kondisi internal di Kantor Pertanahan sebagai penyelenggara pendaftaran tanah, seperti kekurangan anggaran, terbatasnya peralatan dan tenaga pelaksana.40 Pemerintah seharusnya berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melaksanakan pendaftaran tanah secara swadaya (sporadik), karena secara sporadik inisistif melaksanakan pendaftaran tanah datang dari masyarakat pemegang hak atas tanah dan biayanya dibebankan kepada si pemohon dengan sendirinya akan mengurangi beban Pemerintah. Disamping itu karena tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pemegang hak atas tanah yang belum mendaftarkan tanahnya sehingga motifasi masyarakat mendaftarkan tanahnya semakin kecil. Hambatan lainnya adalah keterbatasan peralatan dan tenaga pelaksanaan di lapangan dari Kantor Pertanahan sebagai penyelenggara pendaftaran tanah.41 Untuk menciptakan masyarakat yang patuh dan taat kepada hukum dan agar tujuan hukum secara ideal dapat tercapai bukanlah hal yang mudah, karena menyangkut efektifitas suatu Peraturan Perundang-undangan. Dalam pendaftaran tanah banyak ditemui hal-hal yang timbul yang bersifat internal di Kantor Pertanahan itu sendiri maupun yang bersifat eksternal. Untuk penyebarluasan informasi pendaftaran tanah, diperlukan petugas dibidang hubungan masyarakat yang bertugas melakukan penyuluhan dan penyebarluasan informasi pendaftaran tanah. Dari hasil wawancara dengan Pejabat Kantor Pertanahan Palembang menyangkut petugas yang berhubungan dengan masyarakat ditemui kendala yaitu “salah satu kendala yang kami hadapi sekarang adalah kurangnya petugas penyuluh yang akan memberikan informasi tentang pendaftaran tanah.42 Dari hasil wawancara diatas terbukti bahwa salah satu faktor penyebab kurangnya kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya adalah karena kurang mendapat informasi yang jelas dan akurat tentang pentingnya pendaftaran tanah terutama masalah prosedur pelaksanaan pendaftaran tanah yang sebenarnya, karena selama ini banyak masyarakat yang beranggapan 40

Wawancara dengan bapak Zainul. S.H. Kepala sub seksi pendaftaran hak24

Mei 2013. 41

Wawancara dengan bapak Amir mansur S.H., M.H kepala sub seksi pembebanan hak dan PPAT 24 Mei 2013. 42 Wawancara dengan bapak Amir mansur S.H., M.H kepala sub seksi pembebanan hak dan PPAT 24 Mei 2013.

Hal | 21


bahwa pendaftaran tanah dilakukan tidak begitu perlu karena sudah ada surat tanah yang lain misalnya Surat Kepala Desa/Lurah setempat. Sampai saat sekarang ini sebagian besar masyarakat masih berpendapat bahwa tanah-tanah yang sudah terdaftar itu bermakna jika tanah itu sudah ada suratnya (surat apapun namanya dan siapapun yang menerbitkannya) asalkan terkait pembuatannya dengan instansi pemerintah berarti tanah tersebut sudah terdaftar. Padahal semua tanah yang dimiliki masyarakat dewasa ini telah ditetapkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) nya dalam rangka pemenuhan pendapatan Negara. Ada surat pemungutan pajaknya atau surat-surat bentuk lainnya seperti surat jual beli yang diketahui/disetujui Kepala Desa/ Lurah dan atau Camat dan lain sebagainya. Hal semacam ini bagi sebagian besar masyarakat yang masih pemahamannya salah menganggap sudah cukup sebagai petunjuk bahwa tanahnya telah terdaftar.43 Selain itu kendala yang ditemui di Kantor Pertanahan adalah kekurangan tenaga teknis di bidang pemetaan dan pengukuran tanah, sebagaimana terungkap dari hasil wawancara Bapak Zainul, Pegawai Kantor BPN Palembang, “salah satu kendala yang kami hadapi adalah kurangnya tenaga ahli dibidang pemetaan dan pengukuran tanah khususnya untuk tenaga pemetaan tanah dirasa sangat kurang.44 Dari wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum kendala yang dihadapi dalam pendaftaran tanah secara sporadik adalah merupakan kendala umum yang ditemui di setiap Kantor Pertanahan di seluruh Indonesia yaitu kurangnya Petugas Pelaksana, kurangnya fasilitas dan anggaran.45

2. Hambatan yang Timbul Dari Pihak Masyarakat Pemegang Hak Berdasarkan hasil penelitian dilapangan dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor penghambat yang mempengaruhi masayarakat melaksanakan pendaftaran tanah yaitu:

43

Wawancara dengan bapak Amir mansur S.H., M.H kepala sub seksi pembebanan hak dan PPAT 24 Mei 2013. 44 Wawancara dengan bapak Zainul. S.H. Kepala sub seksi pendaftaran hak24 Mei 2013. 45 Wawancara dengan bapak Zainul. S.H. Kepala sub seksi pendaftaran hak24 Mei 2013.

Hal | 22


1. Faktor Kurang Memahami Fungsi Dan Kegunaan Sertifikat Masyarakat pada umumnya kurang memahami fungsi dan kegunaan sertifikat hal ini di latar belakangi masyarakat kurang mendapat informasi yang akurat tentang pendaftaran tanah. Karena kurangnya informasi akan mempengaruhi kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya, kemudian anggapan masyarakat bahwa sertifikat hak atas tanah hanya dipandang dari nilai ekonomis saja seperti: a. Anggapan bahwa sertifikat hanya diperlukan untuk menaikkan harga bidang tanah sebagai konvensasi dari biaya pengurusan sertifikat di Kantor Pertanahan, sementara masyarakat beranggapan bahwa harga ekonomis tanahnya dinilai berdasarkan luas dan strategi tempatnya. b. Anggapan sertifikat hanya diperlukan apabila ada keperluan untuk mengajukan pinjaman di Bank sebagai jaminan pemberian kredit yang akan di jadikan objek Hak Tanggungan, bahkan ada beberapa anggota masyarakat yang berpendapat bahwa Surat Keterangan Camat merupakan sertifikat yang dikeluarkan oleh Kantor Kecamatan. Sebagian masyarakat yang memiliki surat tanah berupa surat keterangan Camat, Lurah/Kepala Desa atau tanpa alat bukti tertulis tetapi ada pengakuan dari masyarakat dan pemilik sekitar tanah, sudah merupakan alat bukti yang sangat kuat apalagi terhadap tanah yang diperoleh dari warisan umumnya annggota masyarakat mengetahui siapa pemilik riwayat tanah tersebut. Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap pemahaman masyarakat akan kegunaan sertifikat karena semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin tinggi pula keingin tahuannya tentang sesuatu. 2. Faktor Anggapan Dari Masyarakat Diperlukan Biaya Mahal Dalam Melaksanakan Pendaftaran Tanah. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan pelaksanaan pendaftaran tanah tidak berjalan selain pengaruh kurang mendapat informasi tentang pendaftaran tanah, tingkat pendidikan masyarakat juga dipengaruhi oleh anggapan bahwa untuk melaksanakan pendaftaran tanah membutuhkan biaya yang sangat besar. Pandangan sebagian besar masyarakat terhadap biaya untuk menerbitkan sertifikat hak atas tanah mahal karena selama ini tidak ada kepastian yang dapat dimengerti masyarakat mengenai besarnya biaya untuk pendaftaran tanah. Ali Achmad Chomzah berpendapat bahwa:

Hal | 23


Yang menjadikan permasalahan sekarang ini dalam pendaftaran tanah adalah: a. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk penerbitan sertifikat. b. Berapa Rupiah yang diperlukan untuk biaya penerbitan sertifikat. Menurut pengamatan beliau yang diharapkan masyarakat adalah kepastian mengenai jangka waktu dan kepastian mengenai biaya yang harus di bayar masyarakat kepada Kantor Pertanahan setempat didalam menyelesaikan permohonan sertifikat atas tanah. Karena ketidak pastian mengenai biaya permohonan penerbitan sertifikat ini sehingga menimbulkan kesan bahwa pengurusan sertifikat memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang lama.46 Berdasarkan pendapat diatas ketidak pastian jumlah biaya dalam pengurusan sertifikat mulai saat pengajuan permohonan pendaftaran sampai pada saat terbitnya sertifikat merupakan penyebab rendahnya minat masyarakat mendaftarkan tanahnya. Tarif biaya dan pelayanan yang resmi ada tetapi tidak termasuk biaya transportasi petugas, maka jauh lokasi tanah membuat transportasi semakin besar dan Kantor Pertanahan tidak bisa menetapkan biaya minimum atau biaya maksimum yang akan di keluarkan pemohon dalam proses pensertifikatan. Besarnya biaya yang dikeluarkan pemohon dalam pendaftaran tanah untuk pertama kali sebenarnya tergantung pada letak tanah, luas tanah dan nilai jual objek tanah tersebut. Ada beberapa biaya komponen resmi yang harus dikeluarkan pemohon yaitu: biaya tarif pelayanan, pengukuran dan pemetaan yang masuk dalam Penghasilan Negara Bukan Pajak yang di setor ke Kas Negara, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, semua komponen tersebut harus dikeluarkan pemohon. Selain pengenaan tarif pengukuran dan pemetaan, biaya resmi lainnya yang harus dikeluarkan pemohon adalah biaya Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A/ Tim Peneliti, Kemudian ditambah lagi biaya Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5% dari nilai objek pajak setelah dikurangi Nilai Objek Pajak Tidak Kena Pajak ( NOPTKP).47

46

Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Seri Hukum Pertanahan I dan Seri Hukum Pertanahan II, Prestasi Pustaka Publishier,Jakarta, 2005 hlm. 128 47 Pasal 5 dan pasal 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Hal | 24


Disamping biaya resmi yang dikeluarkan pemohon, ternyata masih ada biaya lain yang harus dibayar seperti surat keterangan fisik tanah tanpa alas hak dari Kepala Desa setempat, yang kadang kala Kepala desa tersebut menetapkan biaya seperti terungkap dari wawancara dengan Ibu Anisa dari Jalan Karya jasa yang mengurus sertifikat tanahnya di BPN Palembang. “dalam proses pengurusan sertifikat ke Kantor Pertanahan apabila pemohon membutuhkan surat keterangan dari Kepala Lurah maka biayanya minimal Rp. 500.000 tergantung dari luas tanah yang akan disertifikatkan.48 3. Faktor Anggapan Diperlukan Waktu Yang Lama Dalam Pengurusan Sertifikat Adanya anggapan masyarakat mengurus sertifikat atas tanah sangat lama sebagaimana terungkap dari responden yang telah mendaftarkan tanahnya secara sporadik individual mengatakan bahwa :�pelaksanaan pendaftaran tanah memerlukan waktu yang panjang seperti yang saya alami bahwa pendaftaran yang saya lakukan pada September 2012 sampai Mei 2013 baru sampai pada taraf pemetaan dimana petugas yang kita datangi terkadang sulit ditemukan�.49 Jadi lamanya proses penerbitan sertifikat selain disebabkan oleh faktor kondisi internal dari Kantor Pertanahan itu sendiri, juga disebabkan oleh fakor masyarakat yang enggan melaksanakan pendaftaran tanahnya, baik disebabkan faktor-faktor di atas maupun faktor ekonomi masyarakat, pendidikan dan kepentingan dalam pengembangan usaha. 4. Faktor Anggapan Alas Hak Atas Tanah Yang Dimiliki Sudah Sangat Kuat Berdasarkan dari hasil penelitian, responden yang kurang mengetahui fungsi dan kegunaan sertifikat, sebagian besar beranggapan bahwa alat bukti yang dimiliki selama ini seperti Akta Camat, Lurah/Kepala Desa atau tanpa alat bukti tertulis tetapi masyarakat sekitar tanah mengakuinya merupakan alat bukti yang kuat apalagi yang didapat dari warisan. Sebagian besar tanah yang diperoleh dari warisan yang telah dibagi berdasarkan porsi ahli waris namun tidak mengurus Surat Keterangan Hak Waris karena mereka beranggapan pembagian warisan yang dilakukan dihadapan Tetua Desa sudah cukup. 48

Sumber wawancara dengan Ibu Anisa salah seorang responden yang ditemui di BPN Palembang, 24 Mei 2013. 49 wawancara dengan Ibu Anisa salah seorang responden yang ditemui di BPN Palembang, 24 Mei 2013.

Hal | 25


Disamping itu apabila terjadi pengalihan hak atas sebidang tanah cukup hanya dilakukan perjanjian diatas selembar segel dan dihadiri beberapa orang saksi dan ditandatanagani oleh Kepala Desa dan bahkan sampai kepada Camat, mereka menganggap bahwa tanah tersebut telah terdaftar. Tindakan pengalihan hak seperti ini sangat rentan terhadap timbulnya masalah pertanahan dikemudian hari.

3.

Upaya Yang Dilakukan Kantor Pertanahan Untuk Mengatasai Hambatan Dalam Pelaksanaan Pendaftaran Tanah

Adapun upaya untuk meminimalisir terjadinya hambatan-hambatan pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan adalah: a) Usaha Pemerintah melakukan penyuluhan dan penyebarluasan informasi pendaftaran tanah. ` Untuk meyakinkan akan pentingnya pendaftaran hak, tim ajudikasi untuk pendaftaran tanah mengadakan penyuluhan-penyuluhan dan penyebarluasan informasi pendaftaran tanah di tiap-tiap Desa, dan berusaha mengadakan pendekatan-pendekatan dengan masyarakat, agar terjalin keharmonisan hubungan aparat pemerintah dengan masyarakat yang kurang memahami tentang pendaftaran tanah. Walaupun sampai saat ini masih kurangnya petugas pelaksana tim adjudikasi tetapi Seperti yang disampaikan oleh bapak Zainul S.H: “kami akan bekerja sama dengan Notaris/PPAT serta tokoh masyarakat yang terlaksana setiap tahunnya agar penyuluhan pendaftaran tanah di kota maupun di daerah-daerah terpencil dapat terlaksana dengan baik.� b) Pelaksanaan penerbitan sertifikat biaya ringan bagi masyarakat tidak mampu Dalam keadaan atau kondisi masyarakat tertentu segala pembiayaan yang bersangkutan dengan pendaftaran tanah dalam UUPA bagi rakyat yang tidak mampu di bebaskan dari pembayaran biaya-biaya. Artinya bahwa penyelenggaraan pendaftaran tanah benar-benar berpihak kepada rasa keadilan dan kemanusiaan terutama masyarakat ekonomi lemah. Hal ini diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UUPA dengan “ menjamin perlindungan kepentingan golongan ekonomi lemah�. Pendaftaran tanah harus benar-benar memperhatikan kepentingan masyarakat ekonomi lemah agar nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial Hal | 26


yang terkandung dalam Pancasila dapat terlaksana dengan baik untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Hal ini dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. c) Upaya Pemerintah Mempercepat Pendaftaran Tanah Upaya yang dilakukan pemerintah dalam mempercepat pendaftaran tanah ialah melalui Proyek Operasi Nasional Agraria yang disingkat PRONA. Proyek ini merupakan suatu kegiatan yang diselengarakan pemerintah dalam bidang pertanahan dengan suatu subsidi untuk melakukan pendaftararan tanah secara massal. Dengan demikian diharapkan dengan program ini dapat menimbulkan kesadaran masyarakat dalam melakukan pendaftaran hak atas tanah agar tujuan dan cita-cita Pasal 19 UUPA dapat terlaksana dengan baik.

C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang peneliti kemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Hambatan-hambatan yang ditemui sehingga pelaksanaan pendaftaran tanah belum berjalan dengan baik adalah: a. Hambatan karena kondisi kantor pertanahan yang kekurangan tenaga pelaksana di lapangan terutama tenaga ahli bidang pemetaan, tenaga bidang pengukuran dan tenaga yang berhubungan langsung dengan masyarakat yang bertugas memberikan penyuluhan, dan terbatasnya anggaran untuk mengadakan penyuluhan. b. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk melaksanakan pendaftaran tanah dikarenakan berbagai faktor antara lain: 1. Faktor kurang memahami fungsi dan kegunaan sertifikat atas tanah 2. Faktor anggapan diperlukan biaya yang mahal untuk melaksanaakan pendaftaran tanah. 3. Faktor anggapan diperlukan waktu yang lama dalam pengurusan sertifikat. 4. Faktor anggapan alas hak atas tanah yang dimiliki masyarakat sudah sangat kuat. Hal | 27


2. Upaya untuk meminimalisir hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan pendaftaran tanah hak milik di kantor pertanahan kota Palembang adalah: a. Kantor Pertanahan dapat mengajukan usulan tambahan pegawai di lapangan terutama di bidang pemetaan, pengukuran dan pegawai yang bertugas melakukan penyuluhan. Kemudian usulan alokasi anggaran rutin untuk mengadakan penyuluhan yang terpadu dan berkesinambungan yaitu menyangkut pendaftaran tanah dan juga keringanan-keringanan yang diberikan menyangkut biaya-biaya dalam pendaftaran tanah. b. Usaha Pemerintah dalam rangka pemberian sertifikat bagi masyarakat artinya dengan terbatasnya biaya, tenaga dan peralatan maka pendaftaran tanah itu dilakukan bertahap dengan memperhatikan prioritas-prioritas daerah mana yang harus didahulukan (untuk mempercepat proses pensertifikatan tanah dengan biaya yang relative ringan) dalam rangka menunjang program pembangunan di daerah/wilayah, maka pelayanan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah dapat tercapai dengan baik, c. Melaksanakan penerbitan sertifikat biaya ringan bagi masyarakat yang tidak mampu. Dalam keadaan atau kondisi masyarakat tertentu segala pembiayaan yang bersangkutan maka bagi rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya. Pendaftaran tanah sebagai jaminan kepastian hukum tersebut benar-benar berpihak kepada rasa keadilan dan kemanusiaan terutama masyarakat ekonomi lemah sehingga dapat memberi perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah. 2. Saran 1. BPN seharusnya meningkatkan profesionalismenya dibidang pertanahan khususnya pendaftaran tanah dengan jalan meningkatkan kualitas SDM. Peralatan–peralatan yang modern dalam melakukan pengukuran, pemetaan dan penyimpanan data perlu diadakan agar pendaftaran tanah dapat terlaksana sesuai dengan waktu, sehingga pelaksanaan pendaftaran tanah tidak berjalan ditempat. Pemerintah mengupayakan biaya yang serendah-rendahnya agar masyarakat berminat untuk mendaftarkan tanahnya.

Hal | 28


2. Mengingat alat bukti kepemilikan sertifikat hak milik atas tanah sangatlah penting, maka setiap instansi Badan Pertanahan di tingkat Propinsi ataupun di Kabupaten/Kotamadya perlu melaksanakan program-porgram pemerintah dalam hal pertanahan, sehingga setiap orang dapat memiliki alat bukti kepemilikan tanahnya (sertifikat). 3. Disarankan kepada oknum-oknum tertentu yang berkaitan dengan pendaftaran tanah baik yang berada di lingkungan Kantor Pertanahan maupun diluar Kantor Pertanahan untuk tidak melakukan pungutanpungutan biaya di luar yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku sehingga masyarakat tidak mengeluh untuk mendaftarkan hak milik atas tanahnya di Kantor Pertanahan

Hal | 29


DAFTAR PUSTAKA A. BUKU-BUKU Ghomzah Ali Achmad, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jakarta. Harsono Boedi, 1982, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturanperaturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta. ------------------, Revisi 2003, Hukum Agraria Indonesia (Hukum Tanah Nasional), Jilid 1, Djambatan. Siahaan MP, 2003, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, (Teori dan Praktek), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sudarsono, 2009, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Yamin Muhammad dan Abdul Rahim Lubus, 2004, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan. ----------------------, dan Abdul Rahim Lubis, 2008, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung. B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan PPAT Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. C. SITUS INTERNET http://kot-palembang.bpn.go.id/profilkantor.aspx

Hal | 30


Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) Pelaku Usaha Dalam Produk Makanan Yang Mengandung Bahan Berbahaya Oleh: Muhammad Azhar, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Sri Handayani, SH.,M.Hum dan H. Amrullah Arpan, SH.,SU

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Makanan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk pembangunan nasional. Untuk itu diperlukan makanan yang aman, bergizi, bermutu, beragam, dan tersedia secara cukup sebagai prasyarat utama yang harus dipenuhi dalam upaya terselenggaranya suatu sistem pangan yang memberikan perlindungan bagi kepentingan kesehatan serta makin berperan dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebagai komoditas dagang, makanan memerlukan dukungan sistem perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab sehingga tersedia pangan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat serta turut berperan dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Bahan makanan adalah hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin. Selain itu adanya zat yang ditambahkan baik secara sengaja maupun tidak sengaja yang akan mempengaruhi kualitas makanan itu sendiri. Penambahan tersebut dapat berbahaya bagi kesehatan manusia.Racun dalam makanan dapat membahayakan orang yang memakannya apabila kebersihan dan sanitasinya dalam mengolah bahan makanan tersebut tidak cermat.Bahan makanan yang berguna untuk sumber tenaga dapat menjadi media perantara bagi mikroorganisme dan berbagai jenis bahan kimia. Keracunan makanan erat kaitannya dengan proses produksi dan distribusinya. Dalam proses produksi terkadang terjadi kelalaian bahkan kesengajaan menggunakan bahan berbahaya yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan atau melebihi batas ambang normal sebagai zat tambahan seperti zat pewarna, zat pengawet dan sebagainya. 50 Keamanan pangan merupakan salah satu faktor penting 50

Library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-nurmaini2.pdf, diakses tanggal 7 Juni 2012, Pukul 20.06 WIB.

Hal | 31


yang harus diperhatikan dalam konsumsi sehari-hari.Dengan begitu, pangan selain harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau, juga harus memenuhi persyaratan lainnya, yaitu aman, sehat, serta halal.Jadi, sebelum pangan tersebut didistribusikan harus memenuhi persyaratan kualitas, penampilan, dan cita rasa, maka terlebih dahulu pangan tersebut harus benar-benar aman dikonsumsi.Artinya, pangan tidak boleh mengandung bahan-bahan yang berbahaya.51 Kedudukan konsumenyangterkadangawam terhadapbarangbarangyang dikonsumsinyadan adanyaketerbatasan untukmeneliti sebelumnya mengenai keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsib arang tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Dalam meningkatkan harkat dan martabat konsumen maka perlu ditingkatkan pengetahuan, kesadaran, kepedulian, kemandirian, dan kemampuan konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggungjawab. Hal ini sesuai dengan pemasyarakatan hak konsumen, antara lain hak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan, hak untuk memperoleh informasi yang benar dan jujur, hak untuk dapat memilih barang/jasa yang dibutuhkan, hak untuk didengar pendapatnya, hak untuk mendapatkan ganti rugi, dan hak untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat.52 Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan “pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 8 ayat (3) telah disebutkan juga bahwa “pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat, atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.� Pangan dan Sediaan farmasi yang dimaksud adalah yang membahayakan konsumen menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan ini diperkuat dengan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bagian keenam belas tentang pengamanan 51

Celina Tri Siwi Kristiyanti,Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, Hlm.169. 52 Zumratin K. Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, Puspa Suara, Jakarta, 1996, Hlm. 8.

Hal | 32


makanan dan minuman Pasal 111 ayat (1) yang menyatakan “makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan.” Pasal 111 ayat (2) menyatakan “makanan dan minuman hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Pasal 111 ayat (6) menyatakan “makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dicabut izin edar, dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Lebih lanjut peraturan tentang bahan makanan berbahaya diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 1 butir 5 “keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.” Pasal 75 ayat (1) menyatakan “setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan tambahan pangan yang melampaui batas ambang maksimal, dan bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan.” Makanan yang mengandung bahan berbahaya baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja oleh pelaku usaha sangatlah merugikan konsumen. Penambahan bahan berbahaya pada makanan seperti Sakarin, Siklamat, Nitrosamin, MSG, Rhodamin B, Metanyl Yellow, Formalin, Boraks, Arcylamide, Bisphenol A sangat membahayakan. 53 Hal ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi organ vital manusia jangka pendek maupun jangka panjang, bahkan tak jarang berujung pada kematian.Penambahan Bahan berbahaya pada makanan juga bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Makanan. Dalam perlindungan konsumen sesungguhnya ada prinsip yang disebut strict liability, yang berarti tanggung jawab mutlak yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.Tanggung jawab mutlak adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai 53

http://cetak.kompas.com/read/2012/07/27/04272421/makanan.pasar.mengandung.zat. bahaya, diakses tanggal 29 Juli 2012, Pukul 20.00 WIB.

Hal | 33


faktor yang menentukan. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 28 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen bahwa terhadap ada tidaknya unsur kesalahan menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Prinsip ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 19 (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan/atau diperdagangkan, dan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (1) Setiap orang yang terlibat dalam rantai pangan wajib mengendalikan resiko bahaya pada pangan, baik yang berasal dari bahan, peralatan, sarana produksi, maupun dari perseorangan hingga keamanan pangan terjamin. Kasus yang pernah menggemparkan Indonesia pada awal tahun 1990an ialah kasus biskuit beracun CV.Gabisco sebagai produsen, yang merupakan murni karena kelalaian produsen yang menyebabkan Amonium Bikarbonat (sejenis bahan pembuat renyah biskuit) sehingga tercemar Sodium Nitrit (NaNO2), akibatnya 28 orang dikabarkan meninggal dunia.54Pada April tahun 1994 terjadi kasus keracunan makanan yang terjadi di Talang Kubangan, Desa Bandarjaya, Dempo Selatan, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.5 orang meninggal dunia dan 69 dirawat di rumah sakit.Sebab keracunan adanya Asam Sianida, yang ada dalam makanan berasal dari Mie Instan.55 Kasus mengenai tanggung jawab mutlak pelaku usaha terhadap produk makanan ialah antara P. Silalahi vs pasar swalayan Macan Yohan, pembeli membeli biskuit merk Sweet Home tetapi pada tanggal kadaluarsanya diberi garismerah sehingga menimbulkan keraguan bagi konsumen terhadap barang yang dibelinya. Kasus lainnya yaitu antara Ramdhy A.B. Tambunan vs pasar swalayan Macan Yohan, gugatan diajukan karena terdapat stiker merah di atas tulisan spidol hitam mengenai masa kadaluarsa produk.56 China merupakan negara yang rawan mengenai makanan yang 54

Http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1990/02/24/HK/mbm.19900224.HK1641 4.id.html, diakses tanggal 15 Juni 2012, Pukul 21.05 WIB. 55 Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia,PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, Hal 41. 56 Inosentius Samsul,Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak. Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, Hlm. 204.

Hal | 34


mengandung bahan berbahaya. Satu diantaranya pada tahun 2008, melamin telah membuat sakit hampir 300 ribu bayi di China dan menewaskan setidaknya 6 bayi yang terkontaminasi bahan kimia industri tersebut. Hal itu terjadi untuk menambah kadar protein dalam susu sehingga seolah-olah susu itu memiliki kadar protein yang tinggi. 57 Masalah susu bermelamin ini menjadi semakin besar karena produk susu China dan produk turunannya tersebar diberbagai belahan dunia termasuk Indonesia, serta produk makanan tersebut cukup familiar dikalangan masyarakat Indonesia. Produk-produk tersebut masuk melalui jalur impor resmi tapi ada juga tak jelas prosedurnya. Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan 28 merek susu dan produk turunannya yang mengandung bahan bermelamin dan memerintahkan untuk ditarik dari peredarannya. Kasus susu formula bermelamin bukanlah satu-satunya kasus makanan yang tercemar bahan berbahaya dari China, masih ada kasus lain diantaranya kenari palsu, madu palsu, daging palsu, roti daur ulang. 58Kasus terbaru dari China adalah kasus beras palsu yang terbuat dari limbah plastik, kentang, dan ubi jalar yang direkayasa sedemikian rupa sehingga menyerupai beras. Lebih berbahaya lagi karena produsen menambahkan resin sintetik industri. Resin tersebut sangat berbahaya jika dikonsumsi karena dapat menyebabkan kanker.59 Pada tahun 2011 Indonesia juga sempat dihebohkan dengan kasus susu berbakteri Sakazaki. Isu tersebut sempat membuat ibu-ibu yang mempunyai balita menjadi khawatir. Meski sempat menunggu beberapa saat, akhirnya pemerintah mengumumkan bahwa 47 merk susu yang diteliti pada saat itu dinyatakan bebas dari bakteri Sakazaki, meskipun hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan IPB pada tahun 2003-2006 dimana 22 persennya disebut mengandung cemaran bakteri Sakazaki.60 Selain itu berdasarkan pengamatan tim reportase investigasi Trans TV banyak sekali ditemukan produk makanan yang mengandung bahan 57

http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/kimia_pangan/melamin-dalam-produk makanan/, diakses pada tanggal 17 Juni 2012, Pukul 23.17 WIB. 58 Http://pergerakan.org/pgk/index.php/berita/berita-kpri/149-hati-hati-ada-berasplastik-dari-china, diakses tanggal 17 Juni 2012, Pukul 23.35WIB. 59 Http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=b783a5fa123 afc820e33320b1f242bbd&jenis=d41d8cd98f00b204e9800998ecf8427e, diakses pada tanggal 17 Juni 2012, Pukul 23.40 WIB. 60 Http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2011/07/110708_ sakazakibacteria.shtml, diakses pada tanggal 18 Juni 2012, Pukul 19.00 WIB.

Hal | 35


berbahaya yang beredar di masyarakat. Untuk membuat ikan, cumi, udang, kerang, dan sejenisnya tetap terlihat menarik, tetap terlihat segar, kenyal, sisik udang dan ikan terlihat mengkilap, ternyata banyak penjual di pasar tradisonal sebelum menjualnya terlebih dahulu merendam dan mencampurinya dengan zat-zat kimia berbahaya yang mengandung klorin, formalin, deterjen, pemutih, dan pewarna tekstil. 61 Kue brownies dan bolu kukus yang dijual pun terkadang mengandung bahan berbahaya yang dapat meracuni perut dan otak karena mengandung bahan berbahaya seperti boraks, telur busuk, pewarna rambut, dan natrium siklamat. 62 Tidak hanya itu, sayuran yang selama ini dianggap dapat menyehatkan ternyata mengandung bahan berbahaya yang sangat merugikan kesehatan. Sayuran tersebut direndam dengan cairan boraks agar terlihat lebih segar dan dapat bersaing dengan sayuran impor.63 Berdasarkan kasus di atas, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional negara Republik Indonesia yaitu melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia (Pembukaan Undang-Undang Dasar alinea IV).Dengan demikian konsumen sebagai pihak yang sering dirugikan oleh produsen dapat memperjuangkan hak-haknya karena adanya perlindungan hukum yang pasti, sehingga penulis tertarik untuk menulis jurnal dengan judul “PENERAPAN PRINSIP TANGGUNG JAWAB MUTLAK (STRICT LIABILITY) PELAKU USAHA DALAM PRODUK MAKANAN YANG MENGANDUNG BAHAN BERBAHAYA.� 2. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi permasalahan penerapan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liabilityt) pelaku usaha dalam produk makanan yang mengandung bahan berbahaya, adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah ketentuan dan standar mutu suatu produk makanan yang digolongkan dalam produk makanan yang mengandung bahan berbahaya ? 61

Http://kesehatan.kompasiana.com/makanan/2010/12/04/jangan-jangan-selama-inianda-telah-makan-ikan-berklorin-berformalin/, diakses pada tanggal 23 Juni 2012, Pukul 21.00 WIB. 62 Reportase Investigasi Trans TV, Brownies dan Bolu Kukus Berbahaya, Sabtu 16 Juni 2012, Pukul 16.00 WIB. 63 Reportase Investigasi Trans TV, Sayuranku Berbahaya, Minggu 17 Juni 2012, Pukul 16.00 WIB.

Hal | 36


2. Bagaimanakah penerapan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) pelaku usaha dalam produk makanan yang mengandung bahan berbahaya? 3. Kerangka Teori/ Kerangka Konseptual a. Kerangka Teori Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat� pelaku usaha, khususnya produsen barang yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen.Asas tanggung jawab itu dikenal dengan product liability.Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya.Secara historis, strict liabilitylahir karena ada ketidakseimbangan tanggung jawab antara produsen dan konsumen. Ketidakseimbangan itu terjadi menurut R.C. Hoeber, biasanya terjadi karena (1) konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks; (2) diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misal dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya; (3) asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati.64 Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat/rusak sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah ataupun kematian. Produk cacat menurut Emma Suratman65 adalah: Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang. Dari batasan ini terlihat bahwa pihak yang (terutama) bertanggung jawab adalah pelaku usaha pembuat produk tersebut (produsen),

64

Celina Tri Siwi Kristiyanti,Op.Cit, Hlm. 97. Emma Suratman, Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Tanggung Jawab Produsen di bidang Farmasi terhadap Konsumen. BPHN Departemen Kehakiman RI, 1990, Hlm. 248. 65

Hal | 37


Perkembangan ini sebenarnya dipicu juga oleh tujuan yang ingin dicapai, yaitu:66 a. Menekan lebih rendah tingkat kecelakaan karena produk cacat tersebut. b. Menyediakan sarana hukum ganti rugi bagi korban produk cacat yang tidak dapat dihindari. Secara umum prinsip pertanggung jawaban dalam hukum dibedakan sebagai berikut :67 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan 2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab 3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab 4. Prinsip tanggung jawab mutlak 5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan b. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arah dalam penelitian, maka dirasa perlu untuk memberikan batasan judul penelitian, yaitu sebagai berikut: Perlindungan konsumen adalah upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Tanggung jawab adalah keadaan wajib untuk menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi sesuatu boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb) atau huk fungsi menerima pembebanan , sebagai akibat 66

Mr. K. Van Leeuwen, Juridische Aspecten van Productveiligheid, Kluwer Deventer, Entshede, 1990, p. 24 dalam Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., Hlm.103. 67 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008.Hlm. 32.

Hal | 38


sikap pihak sendiri atau pihak lain.68Tanggung jawab pelaku usaha erat kaitannya dengan tanggung jawab produk, yaitu tanggung jawab sebagai hasil suatu usaha.Tanggung jawab produk ialah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan cacat yang melekat pada produk tersebut.69 Makanan adalah “Barang yang digunakan sebagai makanan atau minuman manusia, termasuk permen karet dan sejenisnya akan tetapi bukan obat.� Bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat ataupun bentuk makanan. Bahan berbahaya adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung, yang mempunyai sifat racun (toksinasi), karsinogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi.

B. PEMBAHASAN 1. Ketentuan atau standar produk makanan yang digolongkan dalam produk makanan yang mengandung bahan berbahaya. Untuk dapat menentukan suatu produk berbahaya atau tidak diperlukan adanya standarisasi.Standarisasi merupakan ukuran atau penentuan mutu suatu barang dengan menggunakan berbagai kriteria. Menurut International Standar Organization (ISO) definisi standar mutu adalah spesifikasi teknis atau dokumen lain yang dapat digunakan untuk umum yang dibuat dengan cara kerjasama/konsensus dari pihak-pihak yang berkepentingan berdasarkan pada konsultasi hasil ilmu pengetahuan, teknologi, dan pengalaman.70 Suatu standar dapat mempunyai tingkatan sebagai standar pabrik, standar lokal, standar nasional, standar regional, maupun standar internasional, yang pada dasarnya di dalam wawasannya masing-masing 68

http://kamusbahasaindonesia.org/tanggung%20jawab, diakses tanggal 17 Juni 2012, Pukul 22.20 WIB. 69 Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya di Beberapa Negara, Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda-Indonesia, Yogyakarta, 1988, Hlm. 2. 70 Muhammad Arpah, Pengawasan Mutu Pangan, Tarsito, Bandung, 1993, Hlm. 14.

Hal | 39


merupakan standar konsesus. Masing-masing tingkatan standar tersebut belum tentu mempunyai kesesuaian atau kesamaan.Sebagai contoh, standar nasional yang telah dimiliki suatu negara seringkali mempunyai perbedaanperbedaan dengan standar regional yang merupakan standar dari gabungan beberapa negara.71 Secara ringkas tujuan dan kegunaan standarisasi adalah: a. Sebagai kesatuan bahasa atau pengertian dalam mutu bagi pihakpihak yang terlibat, b. Keseragaman mutu produk dari waktu ke waktu, c. Untuk memperlancar pemasaran, d. Untuk memberikan pedoman mutu bagi masyarakat industri. Perusahaan makanan dan minuman kemasan di Indonesia saat ini berkembang dengan pesat.Terdapatmakanan kemasan yang siap saji dan instan yang dikenal dengan istilah junk food.Junk foodadalah kata lain untuk makanan yang jumlah kandungan nutrisinya terbatas. Umumnya yang termasuk golongan junk food adalah makanan yang kandungan garam, gula, lemak, dan kalorinya tinggi,tetapi kandungan gizinya sedikit.72 Peranan bahan tambahan makanan (BTM) atau yang sering disebut pula bahan tambahan pangan (BTP) sangatlah besar untuk menghasilkan produk-produk kemasan.Keberadaan bahan tambahan makanan (BTM) bertujuan membuat makanan tampak lebih berkualitas, lebih menarik, dengan rasa dan tekstur lebih sempurna.Penggunaan bahan tambahan makanan (BTM) yang telah terbukti aman sebenarnya tidak membahayakan kesehatan. Namun demikian, penggunaan dalam dosis yang terlalu tinggi atau melebihi ambang yang diizinkan akan menimbulkan masalah kesehatan yang serius. Menurut undang-undang yang berlaku ketentuan mengenai makanan yang berbahaya adalah makanan yang menggunakan bahan tambahan pangan yang melebihi ambang batas maksimal yang diperbolehkan atau bahan tambahan pangan yang dilarang oleh undang-undang yang diatur di dalam UndangUndang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan pasal 75 ayat (1). Ketentuan mengenai makanan yang diperbolehkan atau dilarang oleh undang-undang diatur di dalam PerMenKes Nomor 33 Tahun 2012.

71

Ibid,Hlm. 14 Reni Wulan Sari, Bahaya Makanan Cepat Saji dan Gaya Hidup Sehat, O2, Yogyakarta, 2008, Hlm. 111. 72

Hal | 40


2. Tanggung jawab mutlak (strict liability) pelaku usaha yang memproduksi dan/atau menyalurkan bahan makanan yang mengandung bahan berbahaya. Tanggung jawab pelaku usaha dalam produk makanan yang mengandung bahan berbahaya adalah berdasarkan asas product liability (tanggung jawab produk). Menurut tanggung jawab produk, pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkan. Dari perkembangan product liabilitydi berbagai negara, dapat dikemukakan bahwa product liabilitymerupakan tanggung jawab yang menggunakan kontruksi hukum tort(perbuatan melawan hukum), dengan beberapa modifikasi. Modifikasi tersebut antara lain adalah:73 1. Produsen langsung dianggap bersalah jika terjadi kasus product liability, sehingga dianut prinsip praduga bersalah (presumption of fault) berbeda dengan praduga tidak bersalah (presumption of no fault) yang dianut tort. 2. Karena produsen dianggap bersalah, sebagai konsekuensi ia harus bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi secara langsung kepada pihak konsumen yang menderita kerugian. Jenis tanggung jawab (liability) semacam ini disebut no fault liability atau strict liability. 3. Karena produsen telah dianggap bersalah, maka yang menjadi korban tidak perlu membuktikan unsur kesalahan produsen. Dari sini dapat dilihat, konsumen jelas sangat diringankan dari beban untuk membuktian kesalahan produsen, yang relatif sukar seperti yang dianut tort. Dalam hal ini pembuktian justru dialihkan (shifting the burden of proof) kepada pihak produsen, untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian kepada konsumen. Hal ini sesuai dengan pasal 19 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pecemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat menkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan/atau diperdagangkan, dan Pasal 71 UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (1) Setiap orang yang terlibat dalam rantai pangan wajib mengendalikan resiko bahaya pada pangan, baik yang berasal dari bahan, peralatan, sarana produksi, maupun dari perseorangan hingga keamanan pangan terjamin. 73

Johannes Gunawan, Product Liability dalam hukum bisnis indonesia, orasi ilmiah dalam rangka dies natalis XXXIX, Unika Parahyangan, Bandung, Januari 1994.

Hal | 41


C. PENUTUP 1. Kesimpulan 1. Ketentuan mengenai produk makanan yang berbahaya di atur di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Di dalam Pasal 75 ayat (1) dapat dilihat bahwa makanan yang berbahaya ialah makanan yang menggunakan bahan tambahan pangan yang melampaui batas ambang maksimal, dan bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan. Standarmengenai ambang batas maksimal dan dilarang untuk digunakan untuk tambahan pangan diatur di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012. 2. Tanggung Jawab Mutlak (Strict liability) sebagai bentuk khusus dari tort (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggung jawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan pada kesalahan (sebagaimana pada tort umumnya). Dengan menggunakan prinsip pertanggung jawaban mutlak (strict liability) pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh produk makanan yang membahayakan konsumen. Contoh penerapan Prinsip ini dalam produk makanan yang mengandung bahan berbahaya dapat dilihat pada kasus sengketa antara P. Silalahi vs Swalayan Macan Yaohan Medan, pelaku usaha harus membayar Rp. 2.500.000. Kasus serupa antara Ramdhy A.B. Tambunan vs Swalayan Macan Yaohan, dalam sengketa yang diselesaikan melalui arbitrase tersebut pelaku usaha diwajibkan membayar Rp. 300.000 ditambah dengan pengembalian uang pembelian produk Rp. 42.000. 3. Saran Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan di atas maka penulis akan memberikan saran-saran sebagai berikut ini: 1. Pemerintah hendaknya terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar masyarakat sangat mengerti akan hak-hak mereka dan dapat lebih teliti mengenai produk makanan yang mengandung bahan berbahaya. 2. Bagi setiap pelaku usaha terutama industri rumah tangga meningkatkan kesadaran dalam melakukan kegiatan usaha agar tidak menimbulkan kerugian materiil dan immateriil bagi konsumen dan pemerintah

Hal | 42


menghukum berat bagi pelaku usaha yang memproduksi, mengedarkan produk makanan yang mengandung bahan berbahaya.

Hal | 43


DAFTAR PUSTAKA BUKU Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008. Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk, Sejarah dan Perkembangannya di Beberapa Negara, Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda-Indonesia, Yogyakarta, 1988. Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Emma Suratman, Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Tanggung Jawab Produsen di bidang Farmasi terhadap Konsumen. BPHN Departemen Kehakiman RI, 1990. Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak. Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. Johannes Gunawan, Product Liability dalam hukum bisnis indonesia, orasi ilmiah dalam rangka dies natalis XXXIX, Unika Parahyangan, Bandung, Januari 1994. Muhammad Arpah, Pengawasan Mutu Pangan, Tarsito, Bandung, 1993. Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia,PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Zumratin K. Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, Puspa Suara, Jakarta, 1996. Reni Wulan Sari, Bahaya Makanan Cepat Saji dan Gaya Hidup Sehat, O2, Yogyakarta, 2008. PERUNDANG-UNDANGAN: R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta, 2008. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Makanan

Hal | 44


INTERNET: http://bbc.co.uk/indonesia http://cetak.kompas.com http://chem-is-try.org http://health.kompas.com http://kamusbahasaindonesia.org http://kesehatan.kompasiana.com http://library.usu.ac.id http://majalah.tempointeraktif.com http://manado.tribunnews.com/ http://pergerakan.org http://surabayapost.co.id

Hal | 45


Studi Terhadap Perjanjian Kerja Antara Pekerja Harian Lepas dengan PT. Adhi Karya dan PT. Pembangunan Perumahan Oleh: Merry Anggiana, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. Zulkarnain Ibrahim, SH., M.Hum dan Henny Yuningsih, SH., MH

Abstrak: Perjanjian kerja adalah perjanjian antara buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat – syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak (Pasal 1 angka 14). Karena ada dua kemungkinan komposisi subjek hukum yang bertindak sebagai pihak di dalam perjanjian kerja, yaitu (a) buruh dan pengusaha, dan (b) buruh dan pemberi kerja. Analisis tentang perbedaan ini harus dikaitkan dengan Pasal 50 yang menegaskan, bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan buruh. Hal yang dapat disimpulkan dari pasal ini adalah bahwa hubungan kerja hanya terjadi karena perjanjian kerja antara buruh dan pengusaha.Secara a contrario dapat disimpulkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat oleh bukan buruh dan bukan pengusaha (dalam hal ini adalah pemberi kerja) tidak melahirkan hubungan kerja. Perjanjian kerja antara buruh dengan pemberi kerja melahirkan hubungan hukum, tetapi bukan hubungan kerja. Kata Kunci: Perjanjian Kerja, Analisis

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dalam perundang-undangan di Indonesia mengenal sejumlah peraturan yang bertalian dengan hukum bangunan yang tercantum dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUH Perdata), undang-undang khusus dan peraturan perundangan lainnya. Sebagian dari peraturan-peraturan tersebut telah ada sejak zaman sebelum perang, yang pada umumnya telah usang dan perlu pengaturan ataupun peninjauan kembali. Dengan meningkatnya pembangunan fisik sebagaimana yang tercantum dalam GBHN maupun dalam Repelita setiap tahap yang berujud pembangunan gedung-gedung bertingkat untuk perumahan, perhotelan, perkantoran, pabrikpabrik, perusahaan, sarana perhubungan, pengairan dan sarana produksi, semuanya memerlukan pengaturan yang mantap, mengenai segi yuridis dan segi teknisnya bangunan yang perlu dikembangkan dan di tingkatkan pelaksanaannya. Hal | 46


Disamping itu peningkatan pembangunan sebagaimana tercantum dalam Repelita tersebut telah mengintrodusir pembangunan dengan teknik modern dengan bentuk - bentuk bangunan yang corak, bentuknya, beraneka ragam yang disalurkan melalui proyek - proyek dari Pemerintah maupun dari swasta. Kesemuanya itu mengharapkan pemerintah dan perusahaan pemborongan bangunan/perusahaan jasa konstruksi dalam negeri pada berbagai macam tekhnologi baru dan persyaratan-persyaratan baru yang berasal dari berbagai Negara asing.74 Pekerja harian lepas (PHL) cenderung mengerjakan apa saja jenis pekerjaan demi memenuhi tuntutan atau kebutuhan hidupnya. Pekerja harian lepas (PHL) merupakan orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah berdasarkan hari masuk kerjanya.75 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 1 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003, Tenaga kerja adalah orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 3 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003, Pekerja/buruh ialah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat dapat meliputi setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain, atau setiap orang yang bekerja sendiri dengan tidak menerima upah atau imbalan. Tenaga kerja meliputi pekerja formal, pekerja informal, pegawai negeri, dan orang yang belum bekerja atau pengangguran. Dengan kata lain, pengertian tenaga kerja adalah lebih luas dari pada pekerja/buruh.76 Secara normatif, UUD 1945 menjamin hak setiap warga Negara untuk memperoleh pekerjaan (Pasal 27 ayat 2). Hal ini dipertegas kembali dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (hasil amandemen kedua) Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 28 A - Pasal 28 J), Pasal 28 D 74

Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan Pembangunan, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta. 1982. hal. 1. 75 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. 2001. 76 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta : Sinar Grafika, 2010. hal. 1.

Hal | 47


mengamanatkan bahwa “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja�. Selanjutnya dalam Pasal 29 huruf I ayat 4 menegaskan bahwa perlindungan (protection), pemajuan (fulfillment), hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintah.77 Di Indonesia, seperti telah dijelaskan di atas terdapat beberapa macam pekerja/buruh diantaranya Pekerja Harian Lepas (PHL). Pekerja Harian Lepas merupakan pekerja/buruh yang bekerja di bawah perintah orang lain, dengan upah harian sebagai imbalannya. Besarnya upah harian biasanya ditentukan perusahaan sesuai dengan berat ringan maupun jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja/buruh tersebut. Yang dimaksud biasanya bukan merupakan pekerja tetap pada perusahaan. Namun biasanya pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja/buruh harian lepas (PHL) ini sangatlah penting bagi kelangsungan produktivitas perusahaan. Menyadari akan pentingnya bekerja, khususnya pekerja harian lepas (PHL) maka perlu dilakukan pemikiran untuk menjaga keselamatan dan perlindungan terhadap pekerja tersebut dalam menjalankan pekerjaannya. Sehingga produktivitas pekerjapun dapat terjamin dan tidak terganggu.78

2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Bagaimana perjanjian kerja antara Pekerja Harian Lepas dengan PT. Adhi Karya dan PT. Pembangunan Perumahan? 2. Bagaimana implementasi pertanggungjawaban Pengusaha dalam menangani masalah Pekerja Harian Lepas (PHL) yang mengalami kecelakaan kerja?

77

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2012. hal. 10. 78 Zaeni Asyahadie, Aspek-Aspek Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008. hal. 95.

Hal | 48


3. Kerangka Teori A. Uraian Umum Tentang Hukum Ketenagakerjaan 1. Pengertian Hukum Ketenagakerjaan Hukum ketenagakerjaan merupakan istilah baru dalam ilmu hukum pada umumnya dan hukum perburuhan pada khususnya. Menurut Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003, pengertian ketenagakerjaan lebih luas dibandingkan dengan perburuhan sebagaimana dalam KUHPerdata. Namun demikian pelaksana peraturan perundang - undangan di bidang ketenagakerjaan masih mempergunakan beberapa undang - undang yang dikeluarkan sebelum dikeluarkan Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003.79 Hukum ketenagakerjaan adalah hukum yang mengatur tentang tenaga kerja. Hukum ketenagakerjaan semula dikenal istilah perburuhan. Setelah kemerdekaan ketenagakerjaan di Indonesia diatur dengan ketentuan Undang Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Pokok-Pokok Ketentuan Tenaga Kerja.80 Di Indonesia hukum ketenagakerjaan diatur oleh Negara pada Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Pada Pasal 1 ayat 1 Undang - Undang tersebut, dijelaskan pula mengenai pengertian hukum ketenagakerjaan, yang diawali dengan pengertian ketenagakerjaan. Ketenagakerjaan berasal dari kata dasar “tenaga kerja” yang artinya “segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu selama, sebelum, dan sesudah masa kerja”.81 2. Sumber Hukum Ketenagakerjaan 2.1 Sumber Hukum Formil a. Undang – Undang Undang - Undang adalah peraturan yang ditetapkan oleh Presiden dan dengan persetujuan (jangan berbuat salah dengan mengatakan disyahkan) Dewan Perwakilan Rakyat.

79

Ketut Markeling dan Nyoman Mudana. Hukum Ketenagakerjaan, Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar, 2009. hal. 12. 80 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta : Sinar Grafika, 2010. hal. 2. 81 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta : Djambatan, 1983. hal. 26.

Hal | 49


b. Peraturan lain Peraturan lainnya ini kedudukannya adalah lebih rendah dari undangundang dan pada umumnya merupakan peraturan pelaksana undangundang. Peraturan-peraturan adalah sebagai berikut : 1.

2.

3.

Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah ditetapkan oleh Presiden untuk mengatur lebih lanjut ketentuan dalam undang-undang. Sejajar kedudukannya dengan peraturan pemerintah ini, ialah peraturan seorang Menteri yang oleh undang-undang diberi wewenang untuk mengadakan peraturan pelaksananya. Peraturan yang berlaku sekarang adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja. Keputusan Presiden Keputusan Presiden merupakan keputusan yang ditetapkan oleh Presiden yang berisi keputusan yang bersifat khusus atau mengatur hal tertentu saja. Misalnya, Keputusan Presiden tentang pengangkatan ketua dan anggota Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Pada zaman Hindia Belanda 82 Keputusan Presiden ini disebut Regeringngaluit . Peraturan atau Keputusan Instansi Lain Suatu keistimewaan dalam hukum ketenagakerjaan ialah bahwa suatu instansi atau seorang pejabat yang tertentu diberi kekuasaan untuk mengadakan peraturan atau keputusan yang berlaku bagi umum (mengikat umum). Misalnya, Menurut Pasal 4 Arbeidsregeling - Nijverheidsbedrijven (Peraturan Perburuhan di Perusahaan Perindustrian) “Hoofd van de Afdeling Arbeid� berhak mengadakan peraturan tentang pengurusan buku pembayaran buku-buku lain yang harus dilakukan oleh majikan.

c. Kebiasaan Kebiasaan merupakan perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama, bila suatu kebiasaan tertentu telah diterima oleh masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang selalu berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum maka dengan 82

Zainal Asikin, Op. Cit., hal. 34.

Hal | 50


demikian timbullah suatu kebiasaan yang dipandang sebagai hukum.83 d. Putusan Dimana dan dimasa aturan hukum masih kurang lengkap putusan pengadilan tidak hanya memberi bentuk hukum pada kebiasaan, tetapi juga dapat dikatakan untuk sebagian besar yang menentukan, menetapkan hukum itu sendiri. Terutama putusan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang bersifat mengikat, memuat aturan-aturan yang ditetapkan atas kuasa dan tanggung jawab sendiri (zelfstandig).84 e. Perjanjian Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana pihak yang satu berjanji kepada pihak lainnya untuk melaksanakan suatu hal, akibatnya pihak-pihak yang bersangkutan terikat oleh isi perjanjian yang mereka adakan itu. Di dalam KUHPerdata, selain perjanjian kerja, juga dikenal dengan beberapa perjanjian lain yang juga mengenai kerja, yaitu perjanjian melakukan pekerja tertentu, dan perjanjian pemborongan pekerjaan (aanneming vanwerk). f. Traktat Perjanjian dalam arti kata mengenai soal Perburuhan antara Negara Indonesia dengan suatu Negara lain, tetapi belum pernah diadakan.85 2.2 Sumber Hukum Materiil Sumber hukum secara materil dengan sendirinya adalah Pancasila. Yang dimaksud dengan sumber hukum materil atau lazim disebut sumber isi hukum (karena sumber yang menentukan isi hukum) ialah kesadaran hukum masyarakat yakni kesadaran hukum yang ada dalam masyarakat mengenai sesuatu yang seyogya atau seharusnya.

83

Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008. hal. 3. 84 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta : Djambatan, 1983. hal. 30. 85 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta : Djambatan, 1983. hal. 26.

Hal | 51


3. Para Pihak dalam Hukum Ketenagakerjaan 3.1 Buruh/Pekerja Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ketenagakerjaan, selain istilah ini dipergunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) mengadakan istilah Buruh. 3.2 Pengusaha Sebagaimana halnya dengan istilah buruh, istilah majikan ini juga sangat popular karena perundang-undangan sebelum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menggunakan istilah majikan. 3.3 Organisasi Pekerja/Buruh Upah merupakan hak yang sangat mendasar bagi pekerja/buruh. Karenanya, upah harus mendapatkan perlindungan secara memadai dari Pemerintah. 3.4 Organisasi Pengusaha Eksistensi organisasi Pengusaha lebih ditekankan sebagai wadah untuk mempersatukan para Pengusaha Indonesia dalam upaya turut serta memelihara ketenangankerja dan berusaha, atau lebih pada hal-hal yang teknis menyangkut pekerjaan/kepentingannya. 3.5 Pemerintah/Penguasa Campur tangan pemerintah (Penguasa) dalam hukum perburuhan/ ketenagakerjaan dimaksudkan untuk terciptanya hubungan perburuhan/ ketenagakerjaan yang adil, karena apabila hubungan antara pekerja dan Pengusaha yang sangat berbeda secara sosialekonomi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, tujuannya adalah untuk menciptakan keadilan dalam hubungan perburuhan/ketenagakerjaan sulit dicapai, karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai yang lemah.

Hal | 52


4.

Bentuk dan Jenis Jaminan dalam Jaminan Sosial Tenaga Kerja Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1993, program jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) terdiri atas jaminan berupa uang. Ruang lingkup program jaminan sosial tenaga kerja meliputi: a. Jaminan Kecelakaan Kerja Tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan kerja berhak menerima jaminan kecelakaan kerja (Pasal 8 ayat 1). Kecelakaan kerja merupakan resiko yang dihadapi oleh tenaga kerja yang melakukan pekerjaan. b. Jaminan Kematian Pekerja yang meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, keluarganya berhak atas jaminan kematian (Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992), karena tenaga kerja meninggal dunia akibat kecelakaan kerja, termasuk santunan kematian. c. Jaminan Hari Tua Jaminan hari tua adalah program tabungan wajib yang berjangka panjang yang dapat di ambil sewaktu-waktu pada hari tua para pekerja/buruh. d. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Pemeliharaan kesehatan adalah bagian dari ilmu kesehatan yang bertujuan agar pekerja/buruh memperoleh kesehatan yang sempurna, baik mental, social, maupun fisik sehingga dapat bekerja secara optimal. Pekerja harian lepas adalah tenaga kerja yang di berikan pekerjaan pada pengusaha untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dan dapat berubah-ubah dalam waktu maupun volume pekerjaan dengan menerima upah yang didasarkan atas kehadiran pekerja secara harian Berdasarkan uraian tersebut di atas pekerja harian lepas mendapatkan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap. Tenaga kerja mempunyai hak dan kewajiban serta mendapatkan hak untuk diikutsertakan dalam Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK).86

86

www.scribd. Com/doc/56731387/skripsi-tenaga-kerja Tanggal 7 Maret 2013

Hal | 53


B. SUMEBR DATA 1. Sumber Bahan Hukum a. Bahan Hukum Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yang terdiri dari: 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang memiliki ketentuan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bahan hukum ini berupa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti berupa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Hukum Ketenagakerjaan. 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer meliputi : karya ilmiah, hasil penelitian, maupun artikel - artikel dari suatu media cetak yang erat hubungannya dengan pokok bahasan ini. 3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan sekunder. Bahan hukum tersier berupa Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, data – data internet dan website. 2. Teknik Pengumpulan Bahan Penelitian Bahan penelitian dalam penelitian ini diperoleh melalui Studi Kepustakaan, dengan mengkaji dan menelusuri sumber-sumber kepustakaan serta mempelajari bahan-bahan hukum tertulis yang ada kaitannya baik peraturan perundang-undangan, buku ilmiah, surat kabar, serta dokumen-dokumen tertulis lainnya yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. 3. Analisis Bahan Penelitian dan Penarikan Kesimpulan Bahan penelitian yang diperoleh dianalisis secara kualitatif yaitu fakta atau informasi yang diperoleh dari subjek penelitian dan tempat yang menjadi subjek penelitiannya yang bertujuan untuk memberikan uraian-uraian pada data dalam bentuk kalimat yang terstruktur dan kemudian dihubungkan

Hal | 54


secara sistematis untuk memperoleh kesimpulan guna menjawab permasalahan dalam skripsi ini.87

C. PEMBAHASAN 1. Perjanjian Kerja antara Pekerja Harian Lepas dengan PT. Adhi Karya dan PT. Pembangunan Perumahan Perjanjian kerja adalah perjanjian antara buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat – syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak (Pasal 1 angka 14). Karena ada dua kemungkinan komposisi subjek hukum yang bertindak sebagai pihak di dalam perjanjian kerja, yaitu (a) buruh dan pengusaha, dan (b) buruh dan pemberi kerja. Analisis tentang perbedaan ini harus dikaitkan dengan Pasal 50 yang menegaskan, bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan buruh. Hal yang dapat disimpulkan dari pasal ini adalah bahwa hubungan kerja hanya terjadi karena perjanjian kerja antara buruh dan pengusaha.Secara a contrario dapat disimpulkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat oleh bukan buruh dan bukan pengusaha (dalam hal ini adalah pemberi kerja) tidak melahirkan hubungan kerja. Perjanjian kerja antara buruh dengan pemberi kerja melahirkan hubungan hukum, tetapi bukan hubungan kerja.88 Sesuai dengan peraturan perundang – undangan ketenagakerjaan bahwa hubungan kerja dapat dilakukan berdasarkan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu, perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan pekerja harian lepas (ketentuan Pasal 56 Undang – Undang Nomor 13 tahun 2003 jo. Pasal 10 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kepmenakertrans Nomor Kep.100/MEN/ VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Dengan demikian sesuai dengan peraturan perundang – undangan ketenagakerjaan, tidak mengenal adanya hubungan status hubungan kerja harian, bulanan maupun borongan. Perjanjian kerja harian lepas harus memenuhi ketentuan bahwa pekerja/ buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan. Mengenai pekerja/buruh yang bekerja selama 21 hari atau lebih selama 3 bulan lebih atau berturut - turut,

87

Bahder Johan Nasution,Metode Penelitian Ilmu Hukum, 2008,Bandung :CV. Mandar Maju, 2008.hal. 62. 88 Abdul R. Budiono, Hukum Perburuhan, Jakarta : PT. Indeks, 2011. hal. 27.

Hal | 55


maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan – ketentuan sebagaimana dimaksud di atas dikecualikan dari ketentuan batasan jangka waktu PKWT pada umumnya (Pasal 11 Kep. 100/MEN/VI/2004). Maksud dikecualikan dari ketentuan batasan jangka waktu PKWT pada umunya adalah jangka waktu perjanjian kerja harian lepas tidak dibatasi oleh hanya satu kali perpanjangan dan atau satu kali pembaruan sebagaimana perjanjian kerja waktu tertentu pada umumnya.

2. Implementasi Pertanggung jawaban Pengusaha dalam menangani masalah Pekerja Harian Lepas yang mengalami kecelakaan Kecelakaan kerja merupakan risiko yang di hadapi oleh tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya. Untuk menanggulangi sebagian atau seluruh penghasilan yang diakibatkan oleh adanya risiko seperti kematian atau cacat karena kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka diperlukan adanya kecelakaan kerja. Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan tanggung jawab pengusaha sehingga pengusaha memiliki kewajiban untuk membayar iuran jaminan kecelakaan kerja melalui jamsostek. Dalam Pasal 9 Kep.150/MEN/1999, dalam hal Pengusaha memberikan pekerjaan tenaga kerja harian lepas untuk melakukan pekerjaan secara terus menerus selama 3 (tiga) bulan berturut – turut atau lebih dan setiap bulannya tidak kurang dari 20 (dua puluh) hari maka wajib mengikutsertakannya dalam program jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor Kep. 150/MEN/1999 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Borongan, Tenaga Kerja Harian Lepas dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Kep. 150/MEN/1999), Pengusaha yang telah mempekerjakan tenaga kerja perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) kurang dari 3 (tiga) bulan secara berturut – turut wajib mengikutsertakannya dalam program jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Dalam hal Pengusaha memberikan pekerjaan tenaga kerja perjanjian kerja waktu tertentu selama tiga bulan secara berturut - turut atau lebih, Pengusaha

Hal | 56


wajib mengikutsertakannya dalam program jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pemeliharaan kesehatan.

D. PENUTUP 1. Perjanjian kerja antara Pekerja Harian Lepas dengan PT. Adhi Karya dan PT. Pembangunan Perumahan adalah a. Perjanjian kerja antara Pekerja Harian Lepas dengan PT. Adhi Karya adalah secara tertulis melalui Subkontrak sehingga Perusahaan tidak berhubungan langsung dengan Pekerja Harian Lepas. b. Perjanjian kerja antara Pekerja Harian Lepas dengan PT. Pembangunan Perumahan adalah dengan secara lisan melalui subkontrak, Pekerja harian lepas hanya melaksanakan apa yang di perintahkan oleh Subkontrak. 2. Implementasi Pertanggung jawaban dalam menangani masalah Pekerja Harian Lepas yang mengalami kecelakaan adalah Perusahan telah memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada Subkontrak melalui Jamsostek apabila Pekerja Harian Lepas mengalami kecelakaan kerja dan kematian.

Hal | 57


DAFTAR PUSTAKA 1. SUMBER BUKU Ashshofa Burhan. 2010. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta Asikin Zainal. 2008. Dasar – Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Budiono Rachmad Abdul. 1999. Hukum Perburuhan di Indonesia.Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Djumadi. 2004. Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Ego. 2011. Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Internasional. Jakarta : Sinar Grafika Irsan Koespamono. 2009. Hukum dan Ham. Jakarta : Yayasan Brata Bhakti Husni Lalu. 2010. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Khakim Abdul. 2006. Aspek Hukum Pengupahan. Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti ……. 2010. Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti Madukismo Kaveling. 2012. Pedoman Terbaru Outsourcing dan Kontrak kerja.Yogyakarta : Pustaka Yudistira Marzuki Mahmud Peter. 2008. Penelitian hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media Group Mok. 1987. Hubungan Kerja antara Majikan dan Buruh. Bandung : Bina Aksara Muharam Muharram. 2006. Panduan Memahami Hukum Ketenagakerjaan serta Pelaksanaannya di Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti Muladi. 2009. Hak Asasi Manusia. Bandung : PT. Refika Aditama Nasution Johan Bahder. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung : CV. Mandar Maju Pakpahan Muchtar. 2010. Perjuangan Kebebasan Berserikat Buruh di Masa Orde Baru. Jakarta : Bumi Intitama Sejahtera Pitoyo Whimbo. 2010. Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta : Visimedia Rachmat Suliati. 1996. Upaya Peningkatan Perlindungan Hukum Wanita Pekerja di Perusahaan Swasta.Universitas Indonesia. Sofwan Masjchun Soedewi Sri. 1982. Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan Pembangunan. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta.

Hal | 58


Soepomo Imam. 1983. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta : Djambatan Widianingsih, Sapoetra karta. 1982. Pokok – Pokok Hukum Perburuhan. Bandung : Armico Widodo Hartono. 1992. Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Jakarta : Rajawali Pers Wijayanti Asri. 2010. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta : Sinar Grafika. Zaeni Asyahadie. 2008. Aspek-aspek Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. II. SUMBER PERUNDANG – UNDANGAN Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Hukum Ketenagakerjaan Kitab Undang-Undang Hukum Ketenagakerjaan Undang – Undang Nomor 13 tahun 2003 Peraturan Pemerintah Pekerja Harian Lepas Permenaker No. PER. 06/ MEN/ 198 III. SUMBER INTERNET http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_uu/UU%20No.%2013%20Th%202 003%20ttg%ketenagakerjaan.pdfTanggal, 11 Februari 2013 http://indonesia-pharmacommunity.blogspot.com/2012/09/ini-diapenjelasan-tentang-hak-hak.htmlTanggal, 11 Februari 2013 http://www.adhi.co.id/adhi2012/front/index.phpTanggal, 9 Februari 2013

Hal | 59


Hak Gugat Pekerja atau Buruh Terhadap Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang Lalai Dalam Melindungi Hak-Haknya Oleh: Ria Restu Dwi Putri, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. Zulkarnain Ibrahim, SH.,M.Hum dan H. Amrullah Arpan, SH.,SU

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Istilah buruh sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman penjajahan Belanda dalam peraturan perundang-undangan yang lama 89 ). Menurut Zainal Asikin, hukum perburuhan ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur perihal hubungan kerja yang harus diindahkan oleh semua pihak, baik pihak buruh maupun pihak majikan. Timbulnya hubungan perburuhan dimulai dari peristiwa penindasan dan perlakuan di luar batas kemanusiaan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkemampuan secara sosial ekonomi maupun organisasi pekerja. Pekerja atau buruh sebagai warga negara mempunyai persamaan kedudukan dimuka hukum, juga hak untuk mendapatkan pekerjaan serta penghidupan yang layak dan mengeluarkan pendapat, juga berkumpul dalam satu organisasi hingga mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB). Hak menjadi anggota SP/SB merupakan hak asasi pekerja/buruh yang telah dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945. Untuk mewujudkan hak dimana setiap para pekerja/buruh seharusnya diberikan kesempatan yang seluas-luasnya mendirikan dan menjadi anggota SP/SB. Serikat pekerja/serikat buruh berfungsi sebagai sarana untuk memperjuangkan dan juga melindungi serta membela segala kepentingan pekerja dan meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Dalam menggunakan hak-hak mereka, pekerja/buruh dituntut agar bertanggung jawab untuk menjamin kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan bangsa dan negara. Oleh karena itu, penggunaaan hak tersebut dilaksanakan dalam kerangka hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Masih banyak 89

Zainal Asikin, (Ed). Dasar-dasar hukum perburuhan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm 9.

Hal | 60


terjadi kasus-kasus Pemutusan Hubungan Kerja yang disebabkan oleh adanya tuntutan dari pihak buruh/pekerja untuk memperjuangkan hak-hak normatifnya, berbuntut pada pemutusan hubungan kerja, kondisi yang terjadi saat ini adalah masih banyak diantara para buruh/pekerja yang tidak berani menuntut hakhaknya meskipun belum sesuai dengan aturan yang ada90). Hak berserikat bagi pekerja/buruh yang diatur dalam Konvensi Internasional Labor Organization (ILO) No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi. Serta Konvensi Internasional Labor Organization (ILO) No. 98 menyangkut berlakunya dasar-dasar daripada Hak untuk Berorganisasi dan untuk berunding bersama sudah diratifikasi oleh Indonesia menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional. Pemberdayaan serikat buruh/pekerja khususnya ditingkat unit/organisasi pekerja perlu diberikan pemahaman terhadap aturan perburuhan/ ketenagakerjaan yang ada karena organisasi pekerja ini terletak digaris depan yang membuat kesepakatan kerja bersama (KBK) dengan pihak perusahaan/organisasi pekerja. KBK merupakan perjanjian induk yang harus diperhatikan atau dijabarkan dalam perjanjian kerja yang akan dibuat oleh pekerja perseorangan dengan pengusaha. Pemberdayaan pekerja dan pengusahapekerja sebagai anggota serikat pekerja perlu diberdayakan sehingga dapat diketahui hak dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan hukum termasuk penyadaran pekerja tentang pentingnya organisasi pekerja sebagai sarana memperjuangkan hak dan kepentingannya, karena itu tidak ada pilihan lain untuk meningkatkan bergaining position kecuali dengan memperkuat organisasi pekerja/buruh91). Hak mogok, demontrasi dan lock-out yang masing-masing merupakan senjata, baik bagi pihak buruh untuk memperjuangkan haknya maupun senjata bagi pihak pengusaha untuk mempertahankan kepentingannya, sehubungan dengan adanya tuntutan dari pihak buruh 92). Hal ini harus diatur sedemikian rupa, agar tidak menimbulkan tindakan yang cenderung anarki dari pihak buruh, dan tindakan sewenang-wenang dari pihak pengusaha. 90

Zaeni Asyhadie, 2007, Hukum Kerja (Hukum Ketenagakerjaan bidang Hubungan Kerja), Raja Grafindo Persada: Jakarta, hlm 23. 91 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm 5. 92 Zulkarnain Ibrahim, MakalahMasalah-masalah Perburuhan di Indonesia, Program Studi Ilmu Hukum Unsri, Palembang,1997, hlm 28.

Hal | 61


Upaya yang cukup dewasa yang telah dilakukan pemerintah, dalam rangka menciptakan kesejahteraan pihak buruh dan mengurangi resiko yang seharusnya ditanggung oleh pihak pengusaha, dalam hal ini dapat dilihat dari berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 yang mengatur tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja 93). Perhatian terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia, dalam beberapa kasus perburuhan menunjukkan seakan-akan pengusaha tetap menginginkan kualitas buruh yang rendah, dengan asumsi bahwa upahnya pun akan menjadi rendah. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka inti permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dalam skripsi dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Apa hak dan kewajiban Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) terhadap anggotanya ? b. Bila terjadi suatu keadaan dimana terjadi pelanggaran hak-hak pekerja/buruh oleh perusahaan/pengusaha dan dilaporkan kepada Serikat Pekerja/Serikat Buruh tapi tidak ditindaklanjuti oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh tersebut. Dalam keadaan seperti ini dapatkah Serikat Pekerja/Serikat Buruh digugat oleh pekerja/buruh untuk membayar ganti rugi ? 3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penulisan hukum melalui penelitian ini yang ingin dicapai oleh penulis adalah untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan serta pertanggungjawaban Organisasi Pekerja untuk memperjuangkan kepentingan anggota 4. Metode Penelitian Penelitian dengan menggunakan metode normatif dengan tujuan untuk mencari kejelasan pengaturan perlindungan hak-hak anggota dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh terhadap organisasi itu sendiri selain dari metode normatif, penelitian ini ditunjang pula dengan penelitian empiris/sosiologis untuk melihat kenyataannya. Untuk itu melalui metode purposif sampling penulis melakukan wawancara dengan beberapa responden yaitu Dinas Tenaga 93

Ibid, hlm 28.

Hal | 62


Kerja Kota Palembang, DPD Konfederasi Pengurus Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) SUMSEL, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang. Kemudian data dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif dan pembahasan data yang menyangkut ketentuan hukum mengenai Serikat Pekerja/Serikat Buruh seperti diatur dalam UndangUndang Nomor 21 Tahun 2000, hak-hak pekerja seperti diatur dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 serta teori-teori yang berkaitan dengan itu.

B. PEMBAHASAN 1. Hak dan Kewajiban Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) Pekerja/buruh tetap menjadi alat produksi yang tidak terlindungi, tidak jugaoleh panitia penyelesaian perselisihan daerah dan panitia pernyelesaian perselisihan pusat. Kedua badan ini menjadikan pekerja/buruh sebagai korban, seringkali kedua badan ini memenangkan pihak pekerja/buruh namun putusan mereka tidak mudah untuk dijalankan. Hubungan Perburuhan Pancasila yang dikatakan lebih melindungi pekerja/buruh ternyata masih jauh dari kenyataan. Kemudian menimbulkan persoalan sejauh mana Hubungan Perburuhan Pancasila tersebut melindungi pekerja/buruh atau senalinya merugikan pekerja/buruh. Secara umum dapat ditafsirkan bahwa Hubungan Perburuhan Pancasila tidak melihat pada realitas sebenarnya keadaan pekerja/buruh sangat tergantung pada perusahaan. Didalam Pasal 25 ayat 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 dinyatakan bahwa, 1. Serikat Pekerja/Buruh, Federasi dan Konfederasi Serikat Pekerja/Buruh berhak a. Membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha; b. Mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial; c. Mewakili pekerja/buruh dalam suatu lembaga ketenagakerjaan; d. Membentuk lembaga serta melakukan kegiatan yang berhubungan dengan usaha peningkatan kesejahteraan para anggota; e. Melakukan kegiatan lain di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Hak-hak manusia mencakup semua titik pada segi tiga perubahan, ketertiban dan keadilan. Perjuangan menentang kemiskinan dan Hal | 63


ketidaksamarataan adalah perjuangan demi hak ekonomi dan sosial serta demi masyarakat yang bebas dan demokratis, tidak akan ada artinya apabila tidak berdasarkan keamanan dan tidak dapat diganggu gugatnya pribadi manusia. Negara berkembang harus menanggulangi masalah ini dalam beberapa konteks kemiskinan, tekanan kependudukan pada sumberdaya, ancaman nyata atau sangkaan ancaman terhadap integritas nasional94). Pernyataan Umum Hak-hak Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan Perjanjian Internasional tentang hak Masyarakat dan Politik (International Covenants of Economic and Social and Cultural Rights and Civil and Political Rights) telah menjadi alat yang sangat diperlukan bagi realisasi aspirasi umat manusia di seluruh dunia95). Hak untuk mendapat pekerjaan sebagai salah satu HAM dengan menghubungkan dengan hak mendapat upah yang layak. Menyediakan pekerjaan tanpa menyediakan upah yang layak makadapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM. Upah minimun perhari yang begitu kecil menjadi tidak relevan untuk pekerja/buruh yang telah berkeluarga. Akibatnya mereka akan tetap menjadi penghuni struktur terbawa masyarakat yang jauh dari jangkauan keadilan sosial dan HAM96). Sedangkan Pasal 27 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 menyatakan bahwa Serikat Pekerja/Serikat Buruh, federasi dan konfederasi yang berkewajiban ialah : a. b. c.

2.

Melindungi, membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan kepentingan; Memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarga; Mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.

Upaya Hukum Pekerja/Buruh Tentang Kelalaian Serikat Pekerja/ Serikat Buruh Dalam Melindungi Hak-Hak Anggotanya

Dari setiap sudut kehidupan yang mengambarkan sisi pekerja/buruh dalam melakukan suatu kegiatan produksi demi melancarkan usaha dari setiap pengusaha sebagai wujud ketaatan akan pekerjaan pekerja/buruh guna 94

Soedjatmoko, Pembangunan dan Kebebasan, LP3ES : Jakarta, hlm 32. Ibid, hlm 6. 96 Lubis, T. Mulya, 1982, Op-cit, hlm 23. 95

Hal | 64


menciptakan kesejahteraan yang dicitakan. Akan tetapi, kehidupan yang universal dilihat secara manusiawi suatu kesalahan ataupun pelanggaran yang dilakukan oleh setiap pengusaha atau perusahaan tidak pernah diangkat dalam permasalahan yang utuh. Pekerja/buruh yang dinilai sebagai strata paling bawah selalu mendapatkan perhatian yang intensif dimana demo, pemogokan, serta kerusuhan menjadi wajah buruk dari setiap pekerja/buruh di Indonesia. Namun, disisi lain penulis mengangkat permasalahan yang berbeda dari kehidupan senyatanya. Kontra antara masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian bukan hanya telihat dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan pengusaha dan tidak mustahil Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) juga akan berhadapan dengan anggota sendiri. Maka di dalam pembahasan ini penulis memberikan aspek empiris dari permasalahan yang diutamakan mengenai hak gugat pelanggaran hak-hak pekerja/buruh terhadap Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang lalai dalam melindungi hak-haknyayang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Hal ini akan penulis uraikan seperti di bawah ini. a.

Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI)/Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) sebagai Organisasi dari Pekerja/Buruh.

Diungkapkan M.P. Nasution, S.H, Ketua DPD Konfederasi SPSI Sumatera Selatan mengatakan bahwa terlebih dahulu pekerja/buruh harus mengetahui apa-apa saja hak dan kewajiban mereka, dimana kewajiban pekerja/buruh tidak lain hanyalah bekerja tetapi hak mereka sendiri ialah lupa97). Apabila dihubungkan dengan hak dan kewajiban SPSI terhadap anggota, maka sesuai aturan hukum Pasal 27 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) menyatakan dari setiap anggota maka kewajiban dari SPSI untuk membela dan melindungi. Serta SPSI juga mempunyai hak untuk mewakili anggota yang terlibat permasalahan dalam menyelesaikan perselisihan perburuhan, juga di dalam Pasal 25 huruf b Undangundnag Nomor 21 Tahun 2000. Demikian dengan adanya hubungan timbal balik ini menimbulkan suatu hak dan kewajiban pekerja/buruh terhadap SPSI yang harus dipenuhi oleh setiap anggota sebagaimana AD/ART Seluruh Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) ialah membayar iuran anggota setiap bulannya98).

97

Hasil wawancara bersama Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) SUMSEL, Bapak M.P. Nasution, tanggal 5 Maret 2013. 98 Wawancara bersama Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) SUMSEL, Bapak M.P. Nasution, tanggal 5 Maret 2013.

Hal | 65


Menelaah persoalan atau permasalahan yang dibahas oleh penulis mengenai pelanggaran hak-hak anggota sendiri, maka banyaknya pengaduan yang diterima Serikat Pekerja/Serikat Buruh dari setiap anggotanya menyangkut pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan tercantum dalam berbagai macam yaitu : a. Menyangkut kepentingan pribadi pekerja/buruh dalam kaitan dengan kedudukan sebagai pekerja/buruh; b. Upah pekerja/buruh; c. Perselisihan antara Serikat Pekerja berhadapan dengan Serikat Buruh; d. sengketa perjanjian kerja99); Adapun perselisihan kepentingan merupakan perselisihan yang terjadi akibat perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, peraturan perusahaan atau pertauran perundang-undangan100). Dari pernyataan M.P Nasution, “adapun hal yang selalu menjadi masalah dalam penyelesaian perselisihan perburuhan ini berhubungan dengan pokok bipartit yang dianggap kurang mapan. Maka dianggap orang perseorangan terhadap perubahan akan Penyelesaian Pengadilan Hubungan Industrial (PPHI) ini dilakukan dengan cara murah dan cepat, akan tetapi dalam kenyataannya masih adanya kerikil-kerikil yang menghadang yang menghambat dalam penyelesaian perselisihan ini�. Dalam hal putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan peselisihan pemutusan hubungan kerja mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambatlambatnya empat belas hari101) : a. b.

bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim. Bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.

S erikat Pekerja/Serikat Buruh selalu menjadi mediator / penengah dari setiap perselisihan yang dihadapi oleh para pekerja/buruh karena SPSI bertujuan 99

Wawancara bersama Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) SUMSEL, Bapak M.P. Nasution, tanggal 5 Maret 2013. 100 Lalu Husni, 2005, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, PT. Raja Grafindo : Jakarta, hlm 83. 101 Ibid, hlm 120.

Hal | 66


memberikan perlindungan serta membela kepentingan anggotanya berdasarkan Pasal 4 ayat 1 undang-undang nomor 21 tahun 2000. Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) sendiri diartikan sebagai pelindung pekerja/buruh dimana suatu organisasi profesi dengan memperjuangkan masalah perut orang banyak dan mengedepankan kepentingan hak-hak para anggotanya maka salah atau benar pekerja/buruh terhadap suatu pelanggaran SPSI akan siap tanggapi dahulu, menurut tanggapan M.P Nasution ditemui sore hari di kantornya 102). Perselisihan ini tidak dapat diselesaikan secara perseorangan, ini menjadi catatan penting bagi SPSI guna menjadi organisasi pelindung yang memperjuangkan hak-hak pekerja/buruh. Diungkapkan Ketua DPD Konfederasi SPSI Sumatera Selatan yaitu : a. bahwa setiap tahunnya SPSI berjuang menaikkan upah demi kesejahteraan hidup dari setiap anggota; biar pekerja/buruh merasakan kenikmatan dari hasil setiap pekerjaan mereka. b. SPSI juga sebagai personal organisasi harus membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan adanya Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Tetapi apabila belum terdapat Serikat Pekerja/Serikat Buruh di dalam perusahaan maka dinamakan Peraturan Perusahaan (PP), yang dibuat oleh perusahaan dimana satu orang pekerja/buruh untuk mewakili untuk membentuk hasil kesepakatan dari Peraturan Perusahaan. Suatu sistem yang berhubungan antara pelaku produksi baik itu barang dan jasa yang meliputi pekerja/buruh, para pengusaha, dan pemerintah yang sesuai dengan nilai-nilai dasar Pancasila serta Undang-undang Dasar 1945, maka dalam hal ini terdapat delapan macam pelaksanaan hubungan industrial sebagaimana disampaikan oleh M.P Nasution sebagai pemenuhan dan keinginan dari setiap pekerja/buruh yakni103) : a. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) dan undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; b. Peraturan Perusahaan; c. Perjanjian Kerja Bersama (PKB); d. Dewan Pengupahan; 102

Wawancara bersama Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) SUMSEL, Bapak M.P. Nasution, tanggal 5 Maret 2013. 103 Wawancara bersama Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) SUMSEL, Bapak M.P. Nasution, tanggal 5 Maret 2013.

Hal | 67


e. f. g. h. b.

Bipartit dan tripartit; Penyelesaian Perburuhan; JAMSOS (Jaminan Sosial Tenaga Kerja); K3(Kesehatan, Keselamatan, Kerja)

Keberadaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Pandangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Palembang

Di Indonesia, organisasi pengusaha yang anggotanya terdiri dari para pengusaha yang secara khusus menangani bidang ketenagakerjaan adalah APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia). 104)Sebagai mitra pemerintah dalam rangka menghasilkan barang dan jasa yang berguna bagi masyarakat banyak maka organisasi ini memberikan perlindungan pada pengusaha sehubungan dengan sering terjadinya tuntutan dan keinginan pekerja/buruh yang terkait dengan penghasilan dan kepentingan pekerja/buruh.Sumantri Wiranegara mantan pengurus dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) cabang Palembang menyatakan mengenai mekanisme penentuan perusahaan berdasarkan pemilihan anggota yang memiliki waktu serta dedikasi besar untuk menjadi anggota APINDO terlebih lagi anggota harus menguasai undangundang, terakhir anggota yang dinyatakan dalam seleksi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) sebanyak 27 perusahaan105). Hak dan kewajiban dari setiap anggota kepada Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) sendiri sesuai dengan peraturan perusahaan yang mengharuskan iuran yang harus dibayar oleh setiap perusahaan sesuai produksi barang dan jasa yang dihasilkan. Sebaliknya hak dan kewajiban Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) terhadap anggota ialah ikut berperan dalam hal penyelesaian Tripartid mengenai upah minimum melalui dewan pengupahan baik itu upah borong dan status buruh yang masih outsourcing 106). Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) sendiri masih menolak sebagian tuntutan dari para pekerja/buruh yang disampaikan oleh dewan pengupahan dikarenakan perusahaan merasa belum sanggup atau tidak mampu memenuhi tersebut. 104

Soedarjadi, 2009, Hak dan Kewajiban Pekerja-Pengusaha, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, hlm 112. 105 Hasil wawancara bersama Pengusaha PT. SUNAN RUBBER sebagai perwakilan APINDO, Bapak Sumantri Wiranegara, tanggal 11 April pada pukul 10.00 WIB. 106 Outsourcing adalah pengalihan sebagian atau seluruh pekerjaan dan wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi pemakai jasa Outsourcing baik pribadi, perusahaan, divisi ataupun sebuah unit dalam perusahaan., Serikat Pekerja versus outsourcing, hlm 12.

Hal | 68


Upah minimum provinsi (UMP) sebesar Rp1.630.000 perbulan yang baru diputuskan berdasarkan SK Gubernur Sumatera Selatan No.107/KPTS/DISNAKERTRANS/2013 tentang Upah Minimum Provinsi Sumatera Selatan. Namun ini sudah memunculkan kontra bagi pengusaha, sudah banyak sekali perusahaan yang mengajukan penangguhan dengan keberatan dari UMP. Dominan yang banyak diajukan perusahaan-perusahaan besar yang mempekerjakan karyawan ratusan orang, ini berbanding terbalik dengan perusahaan kecil. Apindo menilai angka UMP senilai Rp.1.271.000 kemarin merupakan Keputusan Gubernur yang lama berdasarkan No.841/KPTS/DISNAKERTRANS/2011 tentang Upah Minimum Kota Palembang Tahun 2012 bahwa angka tersebut cukup wajar oleh sebagian Pengusaha baik itu Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). Ketika Gubernur Sumatera Selatan sepakat menetapkan kenaikan upah minimum provinsi dari Rp. 1.300.000 juta menjadi Rp. 1.630.0000 per bulan setelah melalui perundingan dengan lima perwakilan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia. Diungkapkan Dodi, bahwa puluhan tahun ia bekerja sebagai buruh di salah satu perusahaan perkebunan dan baru kali Gubernur menyepakati kenaikan upah meskipun tidak sesuai tuntutan awal. Hasil ini didasarkan pertimbangan yaitu Indek Harga Konsumen (IHK)/Inflasi, pertumbuhan ekonomi, upah yang berlaku sekarang, kebutuhan hidup layak (IHL) serta hasil musyawarah dan mufakat Dewan Pengupahan ini diharapkan tidak terjadinya kerugian dari dua belah pihak baik dari perusahaan maupun pekerja sendiri dapat sama-sama saling menguntungkan. Tuntutan awal untuk memenuhi kehidupan layak upah minimum Provinsi sebesar Rp. 1.870.000 per bulan tetapi setelah negosiasi tercapai kesepakatan Rp. 1.630.000 per bulan. Angka ini memang belum mampu memenuhi kebutuhan hidup di atas layak tetapi sudah sangat luar biasa karena dibandingkan tahun lalu upah minimum Provinsi Sumatera Selatan hanya Rp. 1.300.000 juta. Kenaikan upah ini tentunya sangat disyukuri karena perjuangan bersama ribuan buruh berbagai sektor di daerah selama ini tidak sia-sia. Diungkapkan Ipit, salah seorang buruh perusahaan mengatakan bahwa sangat bersyukur perjuangan tuntutan mereka selama ini berhasil. Tidak jarang pula ada pengusaha yang terpaksa berhenti untuk memproduksi dikarenakan tidak sanggup membayar gaji para pegawainya Hal | 69


terutama untuk perusahaan kecil dan menengah. Akibatnya perusahaan lebih tertarik menjual barang impor untuk pasar domestik dibanding memproduksi barang sendiri untuk pasar ekspor, ini juga yang menyebabkan ekspor menurun karena pengusaha lebih tertarik mengambil barang impor saja dan mengakibatkan pasar kita dibanjiri produk-produk impor. Akan tidak menutup kemungkinan usaha padat karya mengalami kerugian dan melakukan pengurangan tenaga kerja atau PHK. Uraian dari pandangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dengan keberadaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) ini membantu Asosiasi Pengusaha Indonesia dalam hal adanya perusahaan-perusahaan anggota APINDO yang bermasalah dengan karyawan/pekerja. Dengan demikian Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) ini ialah organisasi yang melindungi kepentingan pengusaha sementara Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang melindungi kepentingan pekerja/buruh. c.

Serikat Pekerja/Serikat Buruh Menurut Dinas Tenaga Kerja Kota Palembang

Kepala Bidang Syarat Ketenagakerjaan dari Dinas Tenaga Kerja Kota Palembang menjelaskan bahwa Disnaker guna membina, mendata juga mengawasi setiap perusahaan dan serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) untuk menciptakan perlindungan bagi tenaga kerja dan pembinaan hubungan industrial sesuai Misi Dinas Tenaga Kerja Kota Palembang107). Serikat Pekerja/Serikat Buruh sebagai wujud atau bentuk aspirasi masyarakat yang membantu Pemerintah khususnya Dinas Tenaga Kerja dalam menginformasikan keluhan, tuntutan, ataupun sebagai media penyalur suara kecil untuk mengangkat masalah yang rakyat hadapi sekarang ini. Selain organisasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh berperan demi melindungi kesejahteraan rakyat, Disnaker juga sebagai pihak yang mendukung seluruh aspek kegiatan pekerja/buruh baik untuk membentuk Serikat Pekerja/Serikat Buruh atau melaksanakan kegiatan yang bersifat sosial demi terciptanya kemakmuran yang adil dan beradab sesuai dengan Sila Kelima. Dinas Tenaga Kerja Kota Palembang sebagai media penengah antara pengusaha dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam menyelesaikan perselisihan perburuhan baik itu mencakup upah dan PHK melalui proses penyelesaian 107

Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Syarat Ketenagakerjaan dari Dinas Tenaga Kerja Kota Palembang, tanggal 20 Mei 2013.

Hal | 70


dengan pola tripartid. Instansi pemerintah yang siap untuk membantu melindungi hak pekerja yang tidak dipenuhi, disnaker juga banyak menerima kasus atau pengaduan mempersoalkan hak pekerja/buruh yang diabaikan oleh pihak terkait baik itu Perusahaan. Mengetahui akan sebab diperbolehkannya Serikat Pekerja/Serikat Buruh berdiri didalam satu perusahaan, pihak Disnaker menaggapi bahwa pemerintah memberikan izin untuk hal tersebut. Karena pemerintah sendiri tidak dapat ikut campur dalam pembentukan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di dalam suatu perusahaan, asalkan Serikat Pekerja/Serikat Buruh tersebut didaftarkan di Disnaker sebagai Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang sah dengan memuat AD/ART 108 ). Contoh yang sangat nyata dijelaskan oleh pihak Disnaker PT. Pusri dan Carefour merupakan perusahaan yang memiliki dua Serikat Pekerja/Serikat Buruh, ini biasanya dikarenakan adanya rasa ketidakpuasan akan kinerja dari masing-masing pihak baik itu pekerja/buruh dan perusahaan yang tidak mencapai titik temu.109) Dinas Tenaga Kerja Kota Palembang telah menerima kasus PHK sebanyak 162 orang oleh satu perusahaan (yang tidak disebutkan namanya). Selain dari kasus PHK juga perselisihan mengenai upah minimum. Selanjutnya, perkara mengenai hak gugat atau tuntutan pekerja/buruh terhadap Serikat Pekerja/Serikat Buruh selama ini belum pernah ada yang mempersoalkan gugatan pekerja terhadap Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Data menunjukkan dari pihak Dinas Tenaga Kerja Kota Palembang dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh juga berkata demikian, tetapi diungkapkan oleh narasumber ini pihak terkait kontra atau konflik internal antara pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh sering pula terjadi dengan ketidaksenangan seseorang terhadap pihak lain. Namun hal ini tidak pernah mencuat sebagai suatu konflik yang timbul di permukaan. d.

Pandangan Lembaga Bantuan Hukum Palembang terhadap Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Berdasarkan dari hasil wawancara dengan Tamsil, Kepala Internal dari Lembaga Bantuan Hukum bahwa Penyelesaian Perburuhan sudah sejak dulu menjadi pusat perhatian dari Lembaga Bantuan Hukum Palembang, seperti pada 108

Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Syarat Ketenagakerjaan dari Dinas Tenaga Kerja Kota Palembang, tanggal 20 Mei 2013. 109 Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Syarat Ketenagakerjaan dari Dinas Tenaga Kerja Kota Palembang, tanggal 20 Mei 2013.

Hal | 71


tahun 2002 yang menjadikan titik puncak dari peran penting Lembaga Bantuan Hukum Palembang menyangkut kasus perburuhan ini dikarenakan banyaknya pekerja/buruh melakukan pengaduan, sehingga kasus yang masuk pada kantor Lembaga Bantuan Hukum Palembang memberikan wajah baru bagi Lembaga Bantuan Hukum demi menjaga eksistensi untuk membela serta melindungi masyarakat yang membutuhkan bantuannya termasuk sengketa perburuhan. Dua tahun terakhir Lembaga Bantuan Hukum Palembang menerima pengaduan secara perseorangan tentenag kasus perburuhan yang harus didampingi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Dengan demikian pengaduan ini tidak mengunakan organisasi pekerja/buruh. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa organisasi ini tidak efektif dalam mendampingi pekerja/buruh yang berhadapan dengan pihak pengusaha. Keuntungan bila gugatan diajukan atau dikuasakan oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh maka putusan mengenai perselisihan itu mengikat seluruh angota Serikat Pekerja/Serikat Buruh tersebut. Tidak demikian halnya kalau diajukan oleh pekerja/buruh secara perseorangan / individual. Putusannya hanya mengikat pihak yang mengajukan gugatan, padahal persoalan yang diajukan juga merupakan persoalan secara menyeluruh anggota. Adapun yang menjadi pokok pangaduan kasus secara personal mengenai pelanggaran hak yang dilakukan oleh pihak pengusaha seperti kekurangan pembayaran upah, tidak diikutsertakan menjadi peserta JAMSOSTEK, tidak dibayarnya upah lembur. Demikian pula pekerja/buruh mengajak beserta keluarga untuk melakukan pengaduan guna memperjuangan hak kemerdekaan dan kesejahteraan pekerja/buruh110). Hal lain dikemukakan responden bahwa Lembaga Bantuan Hukum sendiri tidak dapat menjadi mediator dalam penyelesaian perburuhan dikarenakan keberadaan atau posisi Lembaga Bantuan Hukum yang sangat jelas berada di pihak pekerja/buruh atau berada di pihak klien, artinya posisi Lembaga Bantuan Hukum tidak bisa menengahi karena bukan sebagai mediator. Terkecuali apabila adanya permintaan secara khusus dari seseorang yang tidak memiliki hubungan dengan Lembaga Bantuan Hukum sebelumnya misalnya ikatan surat kuasa atau ikatan pendampingan. Tetapi selama ini apabila adanya kasus yang ditangani 110

Wawancara bersama Kepala Internal Lembaga Bantuan Hukum Palembang bapak Tamsil, tanggal 24 April 2013.

Hal | 72


oleh Lembaga Bantuan Hukum Palembang tidak bertindak sebagai mediator melainkan sebagai pendamping antara klien dengan kuasa hukum111). Secara organisatoir, maka Tamsil mengatakan lebih jelas, bahwa sanksi tersebut kembali kepada aturan internal dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh itu sendiri yang mempunyai AD/ART organisasi. Apabila Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang lalai dan tidak menjalankan tugas serta melindungi para pekerja/buruh maka dapat dimintakan pertanggungjawaban melalui mekanisme organisasi dalam Rapat Umum atau Rapat Luar Biasa112). Demikian di dalam AD/ART tersebut terdapat mekanisme penyelesaian atau pengambilan keputusan aturan dalam kelalaian Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang dihasilkan dari kongres ataupun musyawarah besar, maka disinilah dapat diambil sanksi bagi pengurus. Dalam hal ini bukan Serikat lagi yang bertindak tetapi telah kembali pada pengurus Konfederasi dan Federasi, kata Tamsil113). Para anggota Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam sebuah organisasi yaitu pekerja/buruh merupakan perwujudan tertinggi dalam organisasi, maka anggota juga berhak untuk memberikan sanksi. Sanksi terberat juga dapat dilakukan pemecatan dan pergantian pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh terkecuali di dalam AD/ART diatur untuk membayar ganti rugi114). Lembaga Bantuan Hukum Palembang disini hanya sebagai fasilitator, untuk memfasilitasi terbentuknya Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Peran Lembaga Bantuan Hukum guna memberikan masukan, usulan dan juga pemahaman mengenai persoalan kajian hukum serta dasar pengertian undang-undang nomor 21 tahun 2000 yang belum dimengerti oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan pekerja/buruh, dikatakan Tamsil

C. PENUTUP Seseorang akan menjadi anggota organisasi bilamana yang bersangkutan berkeyakinan bahwa organisasi tersebut dapat melindungi kepentingannya. 111

Wawancara bersama Kepala Internal Lembaga Bantuan Hukum Palembang bapak Tamsil, tanggal 24 April 2013. 112 Wawancara bersama Kepala Internal Lembaga Bantuan Hukum Palembang bapak Tamsil, tanggal 24 April 2013. 113 Wawancara bersama Kepala Internal Lembaga Bantuan Hukum Palembang bapak Tamsil, tanggal 24 April 2013. 114 Wawancara bersama Kepala Internal Lembaga Bantuan Hukum Palembang bapak Tamsil, tanggal 24 April 2013.

Hal | 73


Demikian halnya dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) yang dibentuk oleh para pekerja/buruh didasarkan pada kehendak untuk melindungi kepentingan pekerja/buruh. Perlindungan ini merupakan kewajiban dari organisasi, dan kewajiban ini merupakan kewajiban hukum yang artinya setiap pekerja/buruh dapat menuntut Serikat Pekerja/Serikat Buruh apabila Serikat Pekerja/Serikat Buruh melalaikan kewajibannya. Kewajiban hukum ini adalah kewajiban hukum yang didasarkan pada perjanjian antara para pekerja/buruh dan organisasi.Serikat Pekerja/Serikat Buruh (melalui pengurus inti harus melaksanakan kewajibannya untuk menangkap aspirasi atau tuntutan yang riel dari para pekerja/buruh.

Hal | 74


DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU Budiardjo, Miriam. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Umum : Jakarta Djumadi. 2005. Sejarah Keberadaan Organisasi Buruh di Indonesia. Rajawali Pers : Jakarta Fathoni, Abbdurrahmat., 2006, Organisasi dan Manajemen SDM, Rineka Cipta : Jakarta Fuady, Munir. 2002. Perbuatan Melawan Hukum. Citra Aditya Bakti : Bandung Hartono Widodo dan Judiatoro. 1992. Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. CV. Rajawali : Jakarta Husni, Lalu. 2003. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta Simanjuntak, Payaman J. Pancasila.Himpunan [HIPSMI] : Jakarta

2005. Pembina

MasalahHubungan Industrial SumberDayaManusia Indonesia

Sinungan, Muchdarsyah. 2000. Produktivitas: apa dan bagaimana. Bumi Aksara : Jakarta Soedarjadi. 2009. Hak dan Kewajiban Pekerja-Pengusaha. Pustaka Yustisia : Yogyakarta Soedjatmoko. 1984. Pembangunan dan Kebebasan. LP3ES : Jakarta Soejadi. 1999. Pancasila sebagai sumber tertib hukum Indonesia. PT. Grafindo : Yogyakarta Subekti. 1980. Pokok-pokok Hukum Perdata. PT. Intermasa : Bandung Cet.XV ............, 1992. Aspek-aspek Hukum Perikatan Nasional. Intermasa : Bandung Lubis, T. Mulya. 1982. Hak Asasi Manusia dan Kita. Sinar Harapan : Jakarta Priambada, Komang. 2008. Outsourcing versus Serikat Pekerja. Alihdaya Media Network : Jakarta Usmawadi, Et.al. 2005. Materi Pokok Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum. Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Unsri : Palembang Wijayanti, Asri. 2010. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Sinar Grafika : Jakarta

Hal | 75


Yusyanti, Diana. 2004. Himpunan Karya Tulis Bidang Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI : Jakarta ZaeniAsyhadie. 2007. (HukumKetenagakerjaanBidangHubunganKerja). GrafindoPersada : Jakarta

HukumKerja Raja

Zainal Asikin. 2002. Dasar - dasar Hukum Perburuhan. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta Zulkarnain Ibrahim. 1997. Masalah-masalah Perburuhan di Indonesia. Program Studi Hukum Unsri : Palembang PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Universal Declaration of Human Right (UDHR). Undang - Undang Dasar 1945. Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang JaminanSosialTenagakerja. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Terjemahan Soedharyo Soimin, S.H., Sinar Grafika, 2008. JURNAL DAN SUMBER LAIN Japan Labor Review. 2009. Corporate Governancee by Investors and the Role of Women. Japan Labor Review. 2009. Japan Employment Rate of Person with Disabilities and Outcome of Employment Quota System. International Union of Food and Allied Worker’s Associations Hamish Mc. Donald. Soeharto’s Indonesia. Fontana Collins. 1980 www. Sripo/UMK Palembang.com, diakses pada tanggal 21 Januari 2013. www. Wikipedia.com/BeritAnda.com, diakses pada tanggal 3 Maret 2013.

Hal | 76


Tinjauan Hukum Mengenai Transfer Atlet: Studi Cabang Olahraga Taekwondo di Sumatera Selatan Oleh: Dea Justicia Ardha, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Dr. M. Syaifuddin, SH.,M.Hum dan H. Amrullah Arpan, SH.,SU

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Olahraga pada umunya merupakan sebuah reaksi terhadap masalah khusus seperti standar kesehatan yang buruk di daerah perkotaan, kepentingan militer atau untuk menanggulangi masalah sosial sehingga olahraga (termasuk rekreasi) diakui sebagai bidang kebijakan yang berbeda dengan bidang lain yang menyebabkan sedikit diperhatikan oleh pemerintah pada tahun 1960 115 . Kegiatan olahraga adalah salah satu bentuk dari upaya peningkatan kualitas hidup manusia yang diarahkan pada pembentukan watak dan kepribadian, disiplin dan sportivitas yang tinggi, serta peningkatan prestasi yang dapat membangkitkan rasa kebanggaan nasional. Olahraga juga memberi kesempatan yang sangat baik untuk menyalurkan tenaga dengan jalan yang baik menuju kebahagiaan yang selaras, serasi dan seimbang116. Atas dasar itulah pemerintah Republik Indonesia dengan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) telah menyusun kebijakan-kebijakan yang bersifat pengaturan mengenai penatalaksanaan olahraga. Pengaturan ini dituangkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Olahraga. Cabang Taekwondo sendiri sebagai objek kajian skripsi ini, termasuk kedalam olahraga prestasi.Dengan demikian, dari kegiatan yang diikuti oleh setiap atlet cabang olahraga ini dapat memperoleh penghargaan yang dapat meningkatkan prestasi dari mereka. Menurut penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007, pada dasarnya peraturan yang ada 115

Direktorat Jendral Olahraga, Olahraga Kebijakan Dan Politik Sebuah Analisis, 2003, hlm. 33. 116 Engkos Kosasih, Pendidikan Jasmani Teori dan Praktek, Erlangga, Jakarta, 1994, hlm. 1.

Hal | 77


diarahkan untuk mencegah penyelenggaraan industri olahraga prestasi berorientasi pada bisnis yang mengabaikan arti penting dari olahraga itu sendiri. Selain itu juga memberikan kepastian dan jaminan hukum kepada setiap cabang olahraga yang ada. Permasalahan yang timbul akibat perpindahan atlet tidak diatur secara rinci dalam Undang-undang olahraga maupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang proses dan akibat hukumnya. Akan tetapi diatur pada AD (Anggaran Dasar) dan ART (Anggaran Rumah Tangga) serta peraturan petunjuk tata laksana teknis di lingkungan Taekwondo Indonesia. Dewasa ini masalah-masalah yang terjadi dalam ruang lingkup kegiatan olahraga bukan menjadi hal yang tabu lagi untuk dibicarakan dan berpengaruh secara signifikan terhadap isu-isu dimasyarakat. Secara umum tujuannya untuk dapat membawa nama baik Sumatera Selatan, akan tujuan awalnya untuk mendapatkan prestasi malah dijadikan tempat untuk mencari prestise semata. Taekwondo sebagai salah satu cabang olahraga yang cukup banyak diminati oleh masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, bahkan dewasa pun tertarik untuk ikut serta didalamnya, sebab olahraga ini tidak hanya belajar bagaimana cara untuk melindung diri sendiri, melainkan juga untuk melatih kedisiplinan, kreatifitas, sikap pantang menyerah, dan yang paling penting mengajarkan tentang etika dan moral yang baik. Kegiatan melakukan transfer atlet dari daerah lain bukan hanya soal perpindahan saja, akan tetapi menyangkut pula pendanaan, hak dan kewajiban bagi atlet itu sendiri dan hubungan antara daerah yang mengirim serta daerah yang menerima atlet, sebagai suatu hubungan tentunya memerlukan aturan hukum.Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk mengadakan kajian penelitian dengan judul “TINJAUAN HUKUM MENGENAI TRANSFER ATLIT: STUDI CABANG OLAHRAGA TAEKWONDO DISUMATERA SELATAN�.

2. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah proses transfer atlet cabang taekwondo antara daerah yang menyerahkan dan pengurus daerah Sumatera Selatan? 2. Bagaimana bentuk hubungan hukum antara pengurus daerah yang menyerahkan dan pengurus daerah Taekwondo yang menerima transfer atlet tersebut?

Hal | 78


3. Apakah ada syarat-syarat tertentu sebagai prestasi (dalam pengertian hukum perjanjian) antara pengurus daerah yang menyerahkan dan pengurus daerah yang menerima dan atlet itu sendiri?

3. Kerangka Teori Istilah transfer sering digunakan di dunia perbankan, yaitu transfer uang. Dimana pengertian transfer dalam dunia perbankan adalah suatu kegiatan jasa bank untuk memindahkan sejumlah dana tertentu sesuai dengan perintah si pemberi amanat yang ditujukan untuk keuntungan seseorang yang ditunjuk sebagai penerima transfer. Terkait dalam hal tersebut dalam Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 pada pasal 6 huruf e disebutkan bahwa “salah satu usaha bank baik bank konvensional dan bank syariah adalah memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah”. Namun cakupan dari kata transfer itu sendiri dapat diperluas untuk berbagai hal, salah satunya transfer atlet. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia Transfer memiliki pengertian yaitu pindah atau beralih tempat. 117 Kegiatan transfer atlet sendiri tidak jauh berbeda dengan transfer uang, yang membuatnya berbeda hanya objek yang ditransfer.Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia arti kata atlet adalah olahragawan 118 yang berlatih kekuatan, ketangkasan dan kecepatannya untuk diikut sertakan dalam pertandingan. 119 Atlet berasal dari bahasa Yunani yaitu athlos yang berarti “kontes” adalah orang yang ikut serta dalam suatu kompetisi olahraga Istilah lain atlet adalah atlilete yaitu orang yang terlatih untuk diadu kekuatannya agar mencapai pretasi. Pengertian yang lebih luas didefinisikan oleh Oxford Dictionaries yaitu “Athlete is a person who is profificient in sport and other forms of physical exercise”, artinya atlet adalah orang yang mahir dalam bentuk olahraga dan lainnya dari latihan fisik120.

117

W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. 1089. 118 Dimaksud dengan olahragawan beradasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang system Keolahragaan Nasional adalah pengolahraga yang mengikuti pelatihan secara teratur dan kejuaraan dengan penuh dedikasi untuk mencapai prestasi, 2007, hal. 3. 119 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. 64. 120 Hamonangan Siregar, www.analisadaily.com, diakses 13 Desember 2012.

Hal | 79


Menurut Sondakh (2009), mereka yang disebut atlet adalah pelaku olahraga121 yang berprestasi baik tingkat daerah, nasional maupun internasioanl. Sehingga dapat dikatakan atlet adalah orang yang melakukan latihan agar mendapatkan kekuatan badan, daya tahan, kecepatan, kelincahan, keseimbangan, kelenturan dan kekuatan dalam mempersiapkan diri jauh-jauh sebelum pertandingan dimulai. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indoneia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Keolahragaan pasal 1 ayat 11 “perpindahan olahragawan adalah proses kegiatan beralihnya olahragawan dari satu tempat ke tempat lainnya, antarklub atau perkumpulan, antardaerah, dan/atau antarnegara�. Menurut Anggaran Dasar Taekwondo Indonesia istilah transfer atlet yang digunakan adalah perpindahan atlet/pelatih yang diatur dalam Pasal 33 Anggaran Dasar (AD) disebutkan “perpindahan atlet adalah perpindahan atau mutasi atlet dan/atau pelatih diatur dalam Anggaran Rumah Tangga (ART)�. Dalam Angaran Rumah Tangga (ART) dimuat bahwa perpindahan angota/atlet dari satu provinsi ke provinsi diatur sebagai berikut: a. Harus berdomisili di tempat yang baru paling sedikit 1 (satu) tahun; b. Harus ada rekomendasi dari pengurus provinsi asal berdasarkan surat permohonan yang disampaikan sebelum pindah; c. Proses pemindahan dilaporkan kepada Pengurus Besar Taekwondo Indonesia. B. PEMBAHASAN 1.

Proses Transfer Atlet Antara Pengurus Daerahyang Menyerahkan Dan Pengurus Daerahyang Menerima

Atlet yang dibina secara formal ia berada dibawah bimbingan pelatih. Para pelatih ini dibawah binaan pengurus daerah, seperti yang telah dijelaskan pada Bab I analisis transfer ini hanyalah untuk atlet pada cabang taekwondo dengan fokus penelitian di Sumatera Selatan dapat menimbulkan permasalahanpermasalahan hukum seperti penulis uraikan dalam Bab ini.

121

Dimaksud dengan pelaku olahraga menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 adalah setiap orang dan/atau kelompok orang yang terlibat secara langsung dalam kegiatan olahraga yang meliputi pengolahraga, Pembina olahraga, dan tenaga keolahragaan, 2007, hal. 3.

Hal | 80


Seperti diuraikan diatas ada hubungan antara pengurus daerah, pelatih, dan atlet. Dengan perkemangan masyarakat dewasa ini hubungan antara ketiga subyek diatas bukan hanya hubungan yang bersifat moralitas akan tetapi suatu kerangka hubungan yang diatur oleh hukum. Untuk mudahnya hubungan mereka akan digambarkan sebagai berikut: Skema I Pengurus Daerah a

Atlet

b

c

Pelatih

Garis a, garis b, dan garis c ini merupakan hubungan hukum.

Dalam dunia olahraga seorang atlet dapat berpindah asuhan pelatih dan pengurus daerah. Hal ini pun merupakan suatu persoalan hukum. Skema II Pengurus Daerah B

Atlet A

Pelatih C

Pengurus Daerah D

Atlet A

Pelatih E

Pindah

Perpindahan atlet seperti digambarkan diatas (atlet A) dalam dunia olahraga disebut Transfer Atlet. Transfer ini bukan hanya persoalan hukum perdata akan tetapi secara umum diatur dalam Undang-undang tentang Sistem Keolahragaan Nasional, yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Olahraga.

Hal | 81


Pada Pasal 13 Undang-undang Olahraga Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasionaldisebutkan: 1. Pemerintah mempunyai kewenangan mengembangkan, melaksanakan, dan keolahragaan secara nasional;

untuk mengatur, membina, mengawasi penyelenggaraan

2. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur, membina, mengembangkan, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan keolahragaan di daerah. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Olahraga juga disebutkan: 1. Pemerintah menentukan kebijakan nasional keolahragaan, standar nasional keolahragaan, serta koordinasi dan pengawasan terhadap penyelenggaraan keolahragaan nasional; 2. Penentuan kebijakan nasional keolahragaan, standar nasional keolahragaan, serta koordinasi dan pengawasan terhadap penyelenggaraan keolahragaan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Menteri. Pemerintah dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk mengatur setiap kegiatan olahraga yang ada, sebab setiap organisasi membutuhkan suatu wadah untuk menaungi kegiatan mereka (termasuk cabang taekwondo). Cabang olahraga taekwondo selain termasuk dalam olahraga profesional juga masuk kedalam olahraga prestasi. Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi pun diatur dalam pasal 27 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 yang menetapkan sebagai berikut: (1) Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi dilaksanakan dan diarahkan untuk mencapai prestasi olahraga pada tingkat daerah, nasional, dan Internasional; (2) Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga, baik pada tingkat pusat maupun tingkat daerah; (3) Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh pelatih yang memiliki kualifikasi

Hal | 82


dan sertifikat kompetensi yang dapat dibantu oleh tenaga keolahragaan dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi dilaksanakan dengan memberdayakan perkumpulan olahraga, menumbuhkembangkan sentra pembinaan olahraga yang bersifat nasional dan daerah, dan menyelenggarakan kompetisi secara berjenjang dan berkelanjutan; (5) Pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melibatkan olahragawan muda potensial dari ahsil pemantauan, pemanduan, dan pengembangan bakat sebagai proses regenerasi. Ketentuan pasal ini penulis sederhanakan pada skema diatas. Pasal 66 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 menyatakan “Ketentuan lebih lanjut mengenaialih status olahragawan, Pembina olahraga Negara asing, dan tenaga keolahragaan warga Negara asing sebagaimana dimaksud dalam pasal 54, pasal 55, pasal 59, pasal 62, dan pasal 65 diatur dalamPeraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 menyangkut perpindahan atlet (transfer atlet). Pasal 58Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Olahraga sebagai berikut: (1) Dalam rangka pembinaan dan pengembangan olahragawan, dapat dilaksanakan perpindahan olahragawan antar perkumpulan/klub, antar daerah, dan antar Negara. (2) Perpindahan olahragawan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan induk organisasi cabang olahraga, ketentuan federasi olahraga internasional, dan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (3) Perpindahan olahragawan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi olahragawan yang tidak bernaung di bawah perkumpulan/klub diatur menurut federasi olahraga internasional bersangkutan dan sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. (4) Dalam hal perpindahan olahragawan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),setiap organisasi cabang olahraga dapat mengatur tentang kompensasi perpindahan.

Hal | 83


Menyangkut cabang taekwondo di Provinsi Sumatera Selatan dapat penulis jelaskan bahwa taekwondo salah satu olahraga yang telah lama menjadi cabang olahraga yang diperhitungkan untuk dapat meningkatkan prestasi di Sumatera Selatan. Organisasi yang mengurusi setiap cabang olahraga yang ada di Sumatera Selatan adalah Dinas Pemuda dan Olahraga dan Komite Olahraga Nasional (KONI) Provinsi Sumatera Selatan. Selain dari institusi atau lembaga diatas taekwondo juga dibina oleh Pengurus Taekwondo Daerah Sumatera Selatan. Disarikan dari hasil wawancara dengan Haris Fachri, SH.,M. Hum, Komisi Hukum,Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Sumatera Selatan, KONI merupakan salah satu organisasi yang menghimpun setiap cabang olahraga yang ada khususnya di Sumatera Selatan. Ada sekitar 45 Cabang Olahraga yang menggabungkan diri. KONI berkewajiban membina setiap atlet yang ada dengan baik sehingga dapat berprestasi untuk Sumatera Selatan122. Dalam masa pembinaan tersebut untuk mendapatkan prestasi yang baik, dimungkinkan untuk terjadi transfer atlet. Tujuannya untuk memperkuat pormasi yang telah ada. Dengan kata lain butuh kekuatan untuk mendapatkan medali emas. Dariwawancara dengan Johnny KTW, Ketua Harian Pengurus Provinsi Taekwondo Sumatera Selatan,untuk Sumatera Selatan terdapat dua orang atlet yang di transfer dari Jakarta yaitu Rizal Syamsir dan Macho yang saat ini di beli oleh kabupaten Banyuasin. Namun tetap di bawah naungan KONI provinsi Sumatera Selatan 123 . Dengan demikian terbukti ada transfer atlet taekwondo di Sumatera Selatan. Menurut Haris Fachri, SH.,M. Hum, secara umum proses transfer atlet tersebut harus ada persetujuan dari pengurus provinsi masing-masing, harus ada rekomendasi, kompensasi dan tentunya uang pembinaan. Namun aturan tersebut baru secara umum, berdasarkan prosedur yang ada Pasal 59 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan yang menyatakan Perpindahan olahragawan antar perkumpulan/klub sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 ayat (1) dilakukan dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:

122 123

Wawancara tanggal 8 Februari 2013, pukul 11.00-12.00 WIB. Wawancara tanggal 15 Februari 2013, pukul 15.00-16.30 WIB.

Hal | 84


a.

Perpindahan olahragawan antar perkumpulan/klub dalam satu daerah harus mempeoleh izin dari perkumpulan/klub;

b. Perpindahan olahragawan antar perkumpulan/klub antar daerah harus memperoleh izin tertulis dari perkumpulan/klub, organisasi cabang olahraga tingkat kabupaten/kota, organisasi cabang olahraga tingkat provinsi, dan pengesahan dari induk organisasi cabang olahraga; c. Perpindahan olahragawan antar perkumpulan/klub antar Negara harus memperoleh izin tertulis dari perkumpulan/klub, organisasi cabang olahraga tingkat provinsi, dan pengesahan dari induk organisasi cabang olahraga; dan d. Memenuhi ketentuan dari federasi olahraga internasional dan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Seperti telah diuraikan diatas, dalam transfer atlet perlu ada kompensasi dalam bentuk uang. Dengan demikian ada perjanjian transfer atlet sebagai suatu perjanjian khusus antara pengurus taekwondo yang menyerahkan dan pengurus daerah yang menerima atlet tersebut. Untuk atlet sendiri setiap bulannya mereka menerima uang pembinaan selam mereka berada dibawah asuhan daerah lain. Jadi ada perjanjian khusus om benamde overenskomst antara pengurus taekwondo dan antara pengurus taekwondo yang menerima dengan atlet (seperti yang digambarkan di skema II). Syarat perpindahan atlet diatur dalam Pasal 60 Perpindahan syarat sebagai berikut: a. Memperoleh izin tertulis dari pengurus perkumpulan/klub cabang olahraga; b. Memperoleh izin tertulis dari pengurus kabupaten/kota organisasi cabang olahraga; c. Memperoleh izin tertulis dari pengurus provinsi organisasi cabang olahraga; dan d. Memperoleh pengesahan dari induk organisasi cabang olahraga. Masalah kompensasi yang harus diberikan oleh pengurus olahraga penerima merupakan suatu kewajiban hukum yang diatur dalam Pasal 63 “Perpindahan olahragawan sabagaimana dimaksud dalam pasal 58 ayat (1), perkumpulan/klub tujuan olahragawan memberikan kompensasi kepada perkumpulan/klub asal olahragawan sesuai dengan ketentuan induk organisasi

Hal | 85


cabang olahraga�. Mengenai besarnya kompensasi tergantung kesepakatan masing-masing. Diatur dalam Anggaran Rumah Tangga Pasal 33 Perpindahan anggota/atlet dari satu provinsi ke provinsi lain diatur sebagai berikut: a. Harus berdomisili di tempat yang baru paling sedikit 1 (satu) tahun; b. Harus ada rekomendasi dari pengurus provinsi asal berdasarkan surat permohonan yang dismapaikan sebelum pindah; c. Proses pemindahan dilaporkan kepada Pengurus Besar Taekwondo Indonesia. Petunjuk tata laksana teknis dilingkungan Taekwondo Indonesia juga menegaskan perpindahan keanggotaan dari satu perguruan ke perguruan lain tanpa suatu sebab yang dibenarkan oleh ketentuan peraturan di lingkungan Taekwondo Indonesia tidak dibenarkan atau dilarang. Perpindahan anggota dimaksud dibenarkan apabila didasarkan atas124: a. Perpindahan domisili anggota perguruan tersebut ke daerah lain, dimana pada daerah perpindahan tidak/belum terdapat unit dari perguruan yang sama; b. Karena alasan tertentu, anggota perguruan tersebut mengajukan permohonan pindah keanggotaan dan diizinkan oleh perguruan yang bersangkutan; c. Anggota perguruan yang dipecat dari keanggotaannya namun tidak mendapat ketetapan perkuatan pemecatan dari Taekwondo Indonesia dapat melakukan Perpindahan; d. Bagi anggota yang pindah, kepadanya diwajibkan memenuhi persyaratan/prosedur perundangan yang berlaku di wilayah Republik Indonesia dan wajib melapor kepada pengurus daerah ditempat perpindahannya yang baru; e. Apabila anggota Taekwondo tersebut berstatus sebagai atlet, maka ia baru diperbolehkan membela daerahnya yang baru setelah lama berdomisili di daerah yang baru selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya Kartu Tanda Penduduk dari daerah tempat tinggalnnya yang baru; 124

Pengurus Taekwondo Indonesia, Petunjuk Tata Laksana Teknis di Lingkungan Taekwondo Indonesia.

Hal | 86


f. Perpindahan anggota Taekwondo tersebut meniadakan hak dan kewajibannya yang lama dan menimbulkan hak dan kewajiban yang baru. Namun, dalam prosedur transfer atlet sendiri dapat dimungkinkan terjadinya perjanjian yang dibuat oleh kedua pengurus daerah. Hal ini Pasal 1338 KUHPerdatasebagai berikut: (1)

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya;

(2)

Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain degan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu;

(3)

suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Tentunya agar perjanjian tersebut dianggap sah harus memenuhi ketentuan pasal 1320 KUHPerdata untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal.

2.

Hubungan Hukum Antara Pengurus Daerah yang Menyerahkan Dan Pengurus Daerah Taekwondo yang Menerima Transfer Atlet

Kesepakatan yang telah terjadi antara pengurus daerah yang menyerahkan dan pengurus daerah taekwondo yang menerima transfer atlet menimbulkan akibat hukum antara kedua pengurus daerah tersebut. Hubungan hukum yang terjadi adalah perjanjian atau yang sering disebut dengan kontrak. Dalam KUHPerdata Pasal 1313 perjanjian (dalam undangundang disebut persetujuan) menyatakan “Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih�125.

125

Subekti, R dan Tjitrosudibio R. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hlm. 338.

Hal | 87


Untuk melakukan transfer atket juga diperlukan pembinaan olahraga yang diatur dalam Pasal 60 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional sebagai berikut: (1)

Pembina olahraga meliputi Pembina perkumpulan, induk organisasi, atau lembaga olahraga pada tingkat pusat dan tingkat daerah yang telah dipilih/ditunjuk menjadi pengurus;

(2)

Pembina olahraga melakukan pembinaan dan pengembangan olahraga sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam organisasi;

(3)

Pembina olahraga berhak memperoleh peningkatan keterampilan, penghargaan, dan bantuan hukum;

(4)

Pembina olahraga berkewajiban:

pengetahuan,

a.

Melaksanakan pembinaan dan pengembangan terhadap organisasi olahraga, olahragawan, tenaga keolahragaan, dan pendanaan keolahragaan; dan

b.

Melaksanakan pembinaan dan pengembangan olahraga sesuai dengan prinsip penyelenggaraan olahraga.

Perjanjian juga merupakan suatu perbuatan, yaitu perbuatan hukum yang mempunyai akibat hukum. Perbuatan hukum dalam perjanjian merupakan perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan sesuatu,yaitu memperoleh seperangkat hak dan kewajiban yang disebut prestasi. Prestasi tersebut diatur dalam pasal 1234 KUHPerdata yang menyatakan “ Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu�.126 Dalam transfer atlet perbuatan hukum yang ada adalah menerima dan menyerahkan atlet dari satu daerah ke daerah lain. Tujuan dari perjanjian sama dengan undang-undang, yaitu mengatur hubungan hukum dan melahirkan seperangkat hak dan kewajiban. Bedanya, undang-undang mengatur masyarakat secara umum, sedangkan perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang memberikan kesepakatannya. Dengan demikian pengurus daerah pemberi dan penerima dapat dikategorikan sebagai subyek hukum perdata. Oleh karena itu masing-masing pihak ini mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang berkaitan dengan transfer atlet tersebut.

126

Subekti, R dan Tjitrosudibio R. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hlm. 323.

Hal | 88


Hak dan kewajiban dari setiap anggota dan pengurus diatur dalam Anggaran Dasar Taekwondo Indonesia. Hak dan kewajiban anggota diatur dalam Pasal 10 yang menyatakan: 1. Anggota biasa mempunyai: 

Hak bicara dan suara;



Hak memilih dan dipilih.

2. Anggota kehormatan mempunyai: 

Hak bicara.

3. Hak-hak tersebut diatas diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

Pasal 11 Anggaran Dasar tentang Kewajiban Anggota ini mengatur sebagai berikut: Setiap anggota berkewajiban: 1. Menjunjung tinggi nama dan mertabat organisasi; 2. Mentaati Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta Peraturan Organisasi; 3. Mendukung dan melaksanakan setiap program dan kegiatan organisasi; 4. Membayar iuran keanggotaan yang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.

3.

Prestasi Dalam Transfer Atlet Antara Pengurus Daerah

Pada dasarnya dalam melakukan setiap kegiatan yang telah diakui, selalu mempunyai syarat-syarat tertentu yang telah ditentukan dalam suatu aturan. Syarat-syarat yang ditentukan pun tergantung dari setiap kegiatan yang dilakukan, khususnya untuk cabang olahraga Taekwondo selain mengacu kepada aturan yang ditetapkan oleh Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Olahraga, juga mengacu kepada AD dan ART Taekwondo yang telah ada. Pasal 58 ayat (1) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Olahraga menyatakan sebagai berikut: Hal | 89


(1) Dalam rangka pembinaan dan pengembangan olahragawan, dapat dilaksanakan perpindahan olahragawan antar perkumpulan/klub, antar daerah, dan antar Negara. (2) Perpindahan olahragawan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan induk organisasi cabang olahraga, ketentuan federasi olahraga internasional, dan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (3) Perpindahan olahragawan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi olahragawan yang tidak bernaung di bawah perkumpulan/klub diatur menurut federasi olahraga internasional bersangkutan dan sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan. (4) Dalam hal perpindahan olahragawan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),setiap organisasi cabang olahraga dapat mengatur tentang kompensasi perpindahan. Pasal 63 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Olahraga menyatakan “Perpindahan olahragawan sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 ayat (1), perkumpulan/klub tujuan olahragawan memberikan kompensasi kepada perkumpulan/klub asal olahragawan sesuai dengan ketentuan induk organisasi cabang olahraga�. Disarikan dari hasil wawancara dengan Haris Fachri, SH.,M. Hum Komisi Hukum, Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Provinsi Sumatera Selatan. KONI juga memiliki persyaratan yang wajib diikuti oleh setiap daerah yang ingin melakukan transfer atlet dengan Sumatera Selatan, yaitu127: 1. Pengurus daerah yang atletnya akan melakukan transfer harus mengajukan diri terlebih dahulu ketempat asal pengurus provinsi KONI; 2. Pengurus daerah yang atletnya akan melakukan transfer harus memiliki alasan yang jelas untuk apa melakukan transfer atlet, misalnya atlet berpindah daerah karena ikut orang tua, istri yang ikut suami atau sebaliknya, pindah kerja, dan lain-lain; 3. Setelah itu ada MOU, kesepakatan antara daerah yang menyerahkan dan daerah yang menerima transfer atlet;

127

Wawancara tanggal 8 Februari 2013, pukul 11.00-12.00 WIB.

Hal | 90


4. Adanya biaya pembinaan selama atlet mewakili daerah yang ia naungi dan lain-lain. Sebab, transfer yang dilakukan setiap daerah harus mengetahui pengurus provinsi daerah yang bersangkutan. Tidak hanya mengetahui pengurus provinsi, namun pengurus cabang daerah pun harus ikut mengetahui. Kemudian hal terpenting KONI pun harus mengetahui secara jelas daerah mana yang melakukan transfer atlet. Apabila KONI tidak mengetahui secara jelas data atlet yang melakukan transfer dikhawatirkan suatu saat jika terjadi sengketa, KONI tidak dapat menyelesaikan sesuai dengan aturan yang ada. Hal ini dikarenakan kurang jelas dan lengkapnya data-data atlet yang melakukan transfer. Namun jika KONI mengetahui secara jelas maka, cara penyelesaian yang dilakukan adalah oleh Tim Keabsahan dari Pengurus Provinsi, dimana terdapat aturan yang mengatur mengenai prosedur penyelesaian sengketa mengenai transfer atlet. Salah satunya dengan melihat seluruh dokumen dari atlet, domisili atlet, nama atlet terdaftar dalam Kartu Keluarga di tempat bersangkutan atau daerah yang menerimanya sebagai atlet yang telah ditransfer, atau secara administrasi sah telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.Haris Fachri, SH.,M. Hum juga berpendapat : 1. Adanya transfer atlet merupakan hal yang sah dilakukan apabila memenuhi syarat dan aturan dari KONI; 2. Dalam melakukan kegiatan transfer atlet, agar tidak menimbulkan permasalahan harus dibatasi. Misalnya, setiap daerah yang melakukan transfer atlet hanya diperbolehkan melakukan ransfer atlet sebanyak 2-3 kali saja. Namun, hal ini tidak diatur dalam Undang-undang yang akibatnya sering terjadi jual atlet. Melalui transfer atlet pengurus daerah sudah berorientasi kepada bisnis bukan untuk memperkuat tangkai olahraga tersebut bagi daerah. Hal ini tentunya bertentangan dengan semangat pembinaan atlet atau tangkai olahraga yang berorientasi pada prestasi; 3. Atlet yang sering berpindah-pindah, kelemahannya akan memanfaatkan kemampuannya untuk mencari uang. Tujuannya bukan lagi untuk berprestasi, namun mencari keuntungan dari hal tersebut; 4. Kelemahan dari transfer atlet ini, di ibaratkan “dagang sapi�. Misalnya, A dan B bertemu dipertandingan final, dimana pimpinan B meminta kepada A untuk mengalah difinal tersebut dengan bayaran lebih besar dari yang akan ia dapat jika ia menang. Selanjutnya karena pemikiran bayaran yang lebih Hal | 91


besar A mengalah dan membiarkan B menang. Secara tidak langsung terjadi tawar menawar dalam hal merebutkan yang seharusnya menjadi prestasi. Keadaan yang sedemikian ini bertolak belakang dengan semangat keolahragaan yaitu sportivitas dan jujur.

C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian dan pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan tersebut dapat disimpulkan bahwa: 1. Transfer atlet terjadi diawali kesepakatan antara pengurus daerah yang akan menerima dan yang akan memberi transfer atlet. Dalam kesepakatan ini diatur kompensasi. Selain antara pengurus daerah juga ada persetujuan dari atlet yang akan dipindahkan tempat pembinaan. 2. Hubungan hukum yang terjadi antara daerah menerima dan daerah yang menyerahkan adalah adanya perjanjian yang menyangkut peralihan pembinaan atlet. Jadi hubungan hukum ini adalah perjanjian. Untuk melaksanakan pekerjaan yang didalamnya Ada hak dan kewajiban masingmasing pihak. 3. Dalam perjanjian ini ada syarat-syarat tertentu yang dapat dikategorikan sebagai prestasi dalam suatu perjanjian. Syarat-syarat tersebut seperti, halhal yang menyangkut kompensasi, akomodasi atlet, proses dan mekanisme pembinaan atlet. Syarat-syarat ini harus juga disetujui oleh atlet itu sendiri. 2. Saran 1. Bagi atlet diharapkan untuk lebih cermat dan cerdas lagi jika ingin melakukan kegiatan transfer atlet, agar tidak merugikan berbagai pihak, khususnya atlet itu sendiri. 2. Dalam hal akan terjadi transfer atlet harus diwujudkan dalam bentuk adanya pertemuan segitiga antara pengurus yang menyerahkan, pengurus yang akan menerima dan atlet itu sendiri sepanjang menyangkut hak dan kewajiban atlet terhadap pengurus yang lama atau pemberi dan pengurus yang baru atau penerima. Sedangkan menyangkut kompensasi yang tidak melibatkan atlet cukup antara pihak pemberi dan pihak penerima.

Hal | 92


DAFTAR PUSTAKA A. Bahan Tulisan Abdurrahman dan Soejono. 2003. Metode Penelitian Hukum. PT Asdi Mahasatya: Jakarta. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta: Jakarta. Atmasubrata, Ginanjar. 2012. Serba Tahu Dunia Olahraga. Dafa Publishing: Surabaya. Direktorat Jenderal Olahraga DPR RI bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Olahraga, Kebijakan dan Politik: Sebuah Analisis. Jakarta. ----------------------bekerjasama dengan NLSP/ The Asia Foundation. 2008. Modul Perancangan Undang-Undang. Bandung. Harahap, M. Yahya. 1986. Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni: Bandung. Harsuki, H. 2003. Perkembangan Olahraga Terkini (Kajian Para Pakar). PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. Kosasih, Engkos. 1994. Pendidikan Jasmani, Teori dan Praktek. Erlangga: Jakarta. Kurniawan, Feri. 2102. Buku Pintar Olahraga (Mens Sana In Corpore Sano). Laskar Aksara: Jakarta. Miru, Ahmadi. 2007.Hukum kontrak Perencanaan Kontrak. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta. ----------------------dan Sakka Pati. 2008. Hukum Perikatan. PT Raja Grafindso Persada: Jakarta. Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2003. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta. ----------------------2004. Perikatan Pada Umumnya. PT Raja Grafindo persada: Jakarta. Salim H.S. 2003.Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Sinar Grafika: Jakarta. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Alfabeta: Bandung. Suharnoko. 2009. Hukum Perjanjian. Prenada Media Group: Jakarta. Usmawadi. 2012. Petunjuk Penulisan Ilmiah Bidang Hukum. Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya: Palembang. Wirjasantosa, Ratal. 1984. Supervisi Pendidikan Olahraga. Universitas Indonesia: Jakarta.

Hal | 93


B. Kamus Poerwadarminta, W. J. S. 1984.Kamus Umum Bahasa Indonesia. PN Balai Pustaka: Jakarta. C. Peraturan perundang-undangan  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosudibio), Penerbit PT Pradnya Paramita Jakarta Tahun 2004.  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Olahraga  AD dan ART Taekwondo Indonesia  Petunjuk Tata Laksana Teknis di Lingkungan Taekwondo Indonesia D. Website Kelik Pramudya., “Teori Badan Hukum”, http://clickgtg.blogspot.com/2008/07/teori-badan-hukum.html, diakses 16 Mei 2013. Hamonangan Siregar, www.analisadaily.com Owie., “Hukum Perjanjian”, http://www.Owi3.Wordpress.com/2010/04/20/hukum-perjanjian/, Yanti Ramadani, <http://eprints.undip.ac.id/1314/2/YANTI_RAMADANI.pdf>, Veby, “Pengertian Perjanjian”http://www.febridian.blogspot.com/2012/06/pengertianperjanjian.html-m=1 www.betawe.blogspot.com/2011/02/berkahirnya -suatu-perjanjian.html.-m=1 www.makalah-perjanjian-perikatan.doc.

Hal | 94


Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Melalui Transaksi Elektronik (E-Commerce) Oleh: Widya Septianingsih, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. Amrullah Arpan, SH.,SU dan Hj. Yunial Laili Mutiari, SH.,M.Hum

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkembangan teknologi saat ini tidak dapat lagi dipisahkan dalam praktek kehidupan sehari-hari, pengaruhnya menyentuh setiap sisi kehidupan internal dan eksternal baik terhadap kehidupan pribadi perseorangan maupun kehidupan bernegara sekalipun. Perkembangan teknologi sekarang ini sudah berperan penting dalam pengambilan keputusan dan menyentuh semua aspek kehidupan tanpa kecuali, termasuk bidang politik terlebih bidang ekonomi. Secara etimologis, kata� teknologi� berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu “techniqos� (yang bearti keterampilan atau kesenian dan logos (yang bearti ilmu atau asas-asas utama).128 Menurut Didik J. Rachbini, teknologi informasi dan media elektronikasi dinilai sebagai pelopor yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia baik dalam aspek social, budaya, ekonomi, dan keuangan.129 Dewasa ini sangat banyak sekali para pelaku usaha yang memanfaatkan teknologi internet sebagai media untuk menawarkan atau mempromosikan produk atau barang dagangannya baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Dengan meningkatnya pengunaan internet, khususnya di indonesia maka secara tidak langsung berdampak besar bagi perkembangan dunia bisnis. Dalam bidang perdagangan, internet mulai banyak dimanfaatkan sebagai media aktivitas bisnis terutama karena kontribusinya terhadap efisiensi. Aktivitas atau transaksi perdagangan melalui media internet ini dikenal dengan istilah e-Commerce (Elektronik Commerce).

128

Periksa Indonesia, Undang-undang tentang Informasi dan transaksi eletronik, UU No.11 tahun 2008, LN Tahun 2008 Nomor 58, TLN Nomor 4843 ( selanjutnya disebut UU ITE) 129 Didik J.Rachbini dalam Didik Didik M. Arif Mansyur dan Elisatiris Gultom, Cyber law: Aspek Hukum Teknologi Iformasi, cet-2, Bandung : PT.Refika Aditama, hlm.1

Hal | 95


Kebaikan dan kemudahan praktis media elektronik yang demikian tentu nya lebih banyak memberikan nilai lebih bila dibandingkan dengan cara biasa. Maka dari itu, hingga saat ini sangat banyak sekali situs-situs internet yang dipergunakan sebagai media melakukan bisnis. Dalam melakukan transaksi bisnis melalui media internet ada pula hal yang sangat penting yang harus dan wajib diketahui yaitu syarat sahnya suatu perjanjian, karena dalam melakukan transaksi perdagangan para pelaku perdagangan mesti memenuhi syarat sahnya perjanjian tersebut dimana hal itu dilakukan agar suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, adapun syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1320 BW, yaitu sebagai berikut : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Kata “Sepakat� tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan (Dwaling) mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri para pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat, terutama mengikat diri orang tersebut. Adanya paksaan (Dwang) dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW). Adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu musihat (Bedrog) (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat�berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat dimintakan pembatalan(Vernietigbaar). 2. Cakap untuk membuat perikatan Para pihak mampu atau cakap (Bekwaam) membuat suatu perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah pengawasan karena perilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undnag dilarang membuat suatu perjanjian. Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan : a. Orang-orang yang belum dewasa b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan Fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempun tidak lagi digolongkan sebagai yang tdak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat

Hal | 96


dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Nietigbaar) (Pasal 1446 BW). 3. Suatu hal tertentu Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan, jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum (Nietigbaar). Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi objek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi ojek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas. 4. Suatu sebab atau kausa yang halal. Sahnya kuasa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa kausa yang halal memiliki akibat batal demi hukum (Nietigbaar), kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif. Terdapatnya cacat kehendak (kekeliruan, paksaan, penipuan) atau tidak cakap (Onbekwaam) untuk membuat perikatan (Verbintenisen), mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dimintakan pembatalan (Vernietigbaar). Sementara apabila syarat ketiga dan keempat mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum (Nietigbaar).130 Selain itu, Perdagangan melalui media internet memang memberikan keuntungan, kemudahan, dan kelebihan bagi para pihak, baik pengelola bisnis, konsumen maupun manajement, seperti tabel dibawah ini : Tabel Keuntungan e-commerce ( transaksi elektronik).131 Bagi Pengelola Bisnis

 

Bagi Konsumen Bagi Manajemen

  

Keuntungan Perusahaan dapat menjangkau pelanggan di seluruh dunia Efisiensi, tanpa kesalahan dan tepat waktu Harga lebih murah Belanja cukup pada satu tempat Peningkatan pendapatan dan loyalitas pelanggan.

130

Lista Kuspriatni, Aspek Hukum dan Ekonomi, Jakarta: PT Intermasa, 2008, hlm.1 http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=*kelebihan e-commerce*&source, diakses tanggal 23 Oktober 2012 131

Hal | 97


Di samping itu, perdagangan melalui e-commerce atau transaksi elektronik, juga mempunyai kelebihan, yaitu :132 1. Otomatisasi, yaitu mengantikan proses manual; 2. Integrasi, yaitu menigkatkan efisiensi dan efektitas proses perdagangan 3. Publikasi, yaitu memberikan jasa promosi dan komunikasi atas produk dan jasa yang dipasarka; 4. Interaksi, yaitu dapat melakukan pertukaran data atau informasi antar pihak, dan dapat meminimalkan “human error�. 5. Transaksi, yaitu Kesepakatan antara dua pihak untuk melakukan transaksi yang dapat melibatkan institusi lain. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahn dalam skripsi ini adalah: 1. Kapan dianggap telah terjadi perjanjian jual beli melalui transaksi elektronik? 2. Apakah mungkin pembatalan perjanjian jual beli tersebut dapat dilakukan padahal sudah di sepakati melalui e-commerce ? 3. Kalau diperkenankan untuk dibatalkan, bagaimana tanggung jawab para pihak ? 3. Kerangka Teori Tujuan Penelitian 1. Untuk menjelaskan syarat sahnya perjanjian dalam KUHPERDATA dalam praktek kapan berlaku nya perjanjian jual beli melalui transaksi eletronik itu dianggap 2. Untuk mengetahui terjaminnya barang konsumen yang telah melakukan transaksi pembelian suatu barang melalui media elektronik 3. Memberikan gagasan kepada setiap konsumen dalam melakukan transaksi melalui media eloktronik Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis Hasil penelitian dalam skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi civitas akademika mengenai hukum 132

Ibid.

Hal | 98


perjanjian bisnis internasioanl, prsetujuan khusus, hukum perikatan, dan hukum kontrak. 2. Secara praktis Hasil penelitian dalam skripsi ini diharapkan bermanfaat bagi praktisi mengenai hukum perjanjian bisnis internasional, hukum perikatan, hukum kontrak dan hukum persetujuan khusus. Metode Penelitian 1. Pendekatan penelitianPembahasan Permasalahan dalam skripsi ini mempunyai tipe pendekatan Yuridis Normatif. 133 Pendekatan yuridis nomatif selain mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang dalam masyarakat, juga melihat hubugan suatu aturan dengan aturan lainnya secara hierarki 134 , pendekatan ini pun dilakukan dengan cara menginterventarisasi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku literatur yang berkaitan dengan penelitian. Hal ini penting untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang permasalahan penelitian. Dengan digunakan tipe penelitian yuridis normatif ini maka penulis akan mempelajari dan menelaah serta menganalisis keberlakuan asas-asas hukum, teori-teori, konsep-konsep, dan peraturan perundangundangan yang berlaku, khususnya terkait dengan PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMBELI MELALUI TARNSAKSI ELEKTRONIK ( ELECTRONIC COMMERCE)�. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data yang terdiri dari:135 1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, bahan hukum tersebut terdiri dari literatur-literatur dan Undang-undang No. 11 133

Prof.Dr.Zainuddin Ali, M.A., Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Sinar Grafika, 2009, hlm. 175 134 Hierarki adalah Penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahw peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081025015622AAvYTR5 diakses tanggal 25 oktober 2012 135 Prof. Dr .Zainuddin Ali, M.A., Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 175-176

Hal | 99


Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan juga sumber hukum lainnya yang terkait. 2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mngenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil peelitian, hasil karya dari kalangan hukum yang berhubungan dengan permsalahan. 3. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer atau sekunder yang berhubungan dengan permsalahan berupa kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia, ensiklopedia, dan media cyber( Internet ).136 B. PEMBAHASAN 1. Saat Terjadinya Perjanjian Jual Beli Melalui Instrument E-Commerce Jual beli sebagai sebuah transaksi yang menimbulkan akibat hukum telah mendapatkan porsi tersendiri dalam hukum positif Indonesia. Jual beli dimaksud diatur melalui KUHPerdata khususnya dalam buku ke III, antara lain sebagaimana pasal 1457 KUHPerdata menyatakan bahwa, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan .137 Dari ketentuan pasal tersebut diketahui bahwasanya jual beli merupakan kesepakatan antara dua pihak yang mengikatkan dirinya untuk sepakat melakukan transaksi pertukaran barang dan uang. Unsur-unsur pokok perjanjian jual beli adalah barang dan harga , sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian KUHPerdata, perjanjian jual beli itu sudah ditafsirkan sejak pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga . Begitu kedua belah pihak sudah setuju tentang barang dan harga maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. 138 Sifat Konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 KUHPerdata yaitu bahwa “ Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga , meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar” . Konsensualisme berasal dari kata “konsensus” yang bearti kesepakatan, dengan kesepakatan dimaksud bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai 136

Ibid, hlm.176 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet-27, Jakarta Pradnya Paramita, 1995. 138 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, Hlm. 2. 137

Hal | 100


suatu persesuaian kehendak artinya apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain, kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat” tersebut . Tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan mengucapkan perkataan-perkataan, misalnya “setuju”. “oke”dan lainlain sebagainya ataupun dengan bersama-sama menaruh tanda tangan dibawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda bukti bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan itu. Sebagaimana diketahui, hukum perjanjian dari KUHPerdata menganut asas konsensualisme artinya ialah hukum perjanjian dari KUHPerdata itu menganut suatu asas bahwa melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja dan dengan demikian “perikatan” yang ditimbulkan karenanya sudah dilahirkan pada saat tercapainya konsensus sebagaimana dimaksudkan diatas . Pada detik tersebut perjanjian sudah jadi dan mengikat. 139 Jual beli dapat dilakukan dengan cara konvensional atau dengan melalui perjanjian tertulis, serta dapat melalui alat media elektronik seperti menggunakan bantuan internet yang dikenal dengan sebutan e-commerce. ECommerce sebagai suatu jenis transaksi jual beli modern yang menjanjikan kemudahan yang banyak diminati para pelaku bisnis. Sekalipun tidak PerUndang-undangan tertulis yang mengatur transaksi e-commerce akan tetapi Indonesia memiliki peraturan-peraturan yang dapat dijadikan acuan UU ITE No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, hukum kebiasaan yang mempuyai kekuatan sebagai suatu aturan hukum, hal ini diatur dalam pasal 1339 ayat 1 KUHPerdata. Lebih lanjut, isi perjanjian dibuat dan dilaksanakan oleh para pihak dengan itikad baik. Sehingga, dengan adanya para pihak yang mengikatkan diri dan telah tercapainya kata sepakat maka perjanjian e-commerce telah sesuai dengan apa yang diatur didalam KUHPerdata.

2. Analisis Tentang Kemungkinan Pembatalan Perjanjian Jual-Beli Melalui E-Commerce Kemungkinan Pembatalan perjanjian jual beli melalui e-commerce ini dilihat juga dari kesepakatan antara kedua pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Bila akan melakukan pembatalan dalam perjanjiannya, cukup dengan melalui email, telpon, atau berupa pesan ke website penjual untuk 139

Ibid, Hlm. 3.

Hal | 101


pemberitahuan pembatalannya, akan tetapi apabila uang sudah ditransfer tidak mungkin lagi dilakukan pembatalan. Hal ini disebabkan perjanjian telah terjadi serta pembayaran telah dilakukan, seperti yang diketahui secara normatif menurut hukum perubahan perjanjian kembali ke pihak yang melakukan perjanjian itu. Mereka dengan awalnya mempunyai kesepakatan ada yang mau melakukan pembelian dengan penyerahan uang dan sebaliknya ada yang menyerahkan barang. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Suatu kesepakatan selalu diawali dengan adanya suatu penawaran oleh suatu pihak dan dilanjutkan dengan adanya tanggapan berupa penerimaan oleh pihak lain. Jika penawaran tersebut tidak ditanggapi atau direspon oleh pihak lain maka dengan demikian tidak akan ada kesepakatan. Karena itu diperlukan dua pihak untuk melahirkan suatu kesepakatan. Pada perjanjian jual beli secara langsung, kesepakatan dapat dengan mudah diketahui. Tetapi dalam transaksi melalui e-commerce, kesepakatan dalam perjanjian tersebut tidak diberikan secara langsung melainkan melalui media elektronik dalam hal ini internet. Dalam transaksi e-commerce, pihak yang memberikan penawaran adalah pihak penjual yang dalam hal ini menawarkan barang-barang dagangannya melalui website yang dirancang agar menarik untuk disinggahi. Semua pihak pengguna internet dapat dengan bebas masuk untuk melihat-lihat barang-barang tersebut atau untuk membeli barang yang mereka butuhkan serta minati. Jika pembeli tertarik untuk membeli suatu barang maka ia hanya perlu mengklik barang yang sesuai dengan keinginannya. Biasanya setelah pesanan tersebut sampai ditempat penjual maka penjual akan mengirim e-mail atau melalui telepon untuk mengkonfirmasi pesanan tersebut kepada konsumen. Proses terciptanya penawaran dan penerimaan tersebut menimbulkan keragu-raguan kapan terciptanya suatu kesepakatan. 3. Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Hal Terjadinya Pembatalan Suatu perjanjian (termasuk perjanjian jual beli dengan istilah e-commerce) harapannya akan dapat terlaksana dengan baik hingga selesai. Selesainya perjanjian ini dibuktikan dengan diterima nya barang oleh pembeli dan diterimanya uang pembayaran oleh penjual. Namun demikian seperti diuraikan pada bab sebelumnya ada kemungkinan pihak pembeli atau penjual ingin mebatalkan. Sebagai suatu perjanjian bertimbal-bali, perjanjia jual beli dengan e-commerce hanya dapat dibatalkan atau diubah bila disepakati atau disetujui oleh para pihak. Kalau terjadi pembatalan yang sedemikian ini (disetujui pihak Hal | 102


penjual dan pembeli) maka tidak dipermasalahkan tentang tanggung jawab. Lain halnya bila pihak penjual atau pembeli tidak setuju dengan pembatalan, sebagai contoh setelah penawaran diterima oleh pembeli, pihak penjual tahu harga barang tersebut mengalami kenaikan sehingga pihak penjual merasa dirugikan. Pada sisi lain pihak pembeli (karena membutuhkan barang tersebut merasa keberatan untuk tindakan pembatalan oleh penjual). Dalam keadaan yang sedemikian ini perjanjian harus dilaksanakan (pembayaran harus dilakukan melalui transfer dan barang harus diserahkan kepada pembeli). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 bahwa perjanjian itu mengikat sebagai suatu hubungan hukum maka pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut pemenuhan prestasi atas dasar perjanjian. Contoh kemungkinan lain yang kedua; setelah terjadi kesepakatan dalam transaksi e-commerce pembeli merasa tidak perlu akan objek jual beli (barang) tersebut atau karena pembeli mengetahui bahwa barang yang sama dijual oleh pihak lain dengan harga yang relatif lebih murah, sehingga pembeli ingin membatalkan. Dalam keadaan yang sedemikian ini penjual dapat menutut pihak pembeli untuk membayar harga yang telah disepakati. Tanggung jawab pembelilah untuk membayar harga transaksi tersebut. Tanggung jawab ini dapat dituntut atas dasar wanprestasi oleh pembeli. Dari uraian-uraian diatas tanggung jawab para pihak dalam hal terjadi pembatalan transaksi e-commerce akan muncul apabila salah satu pihak tidak menyetujui pembatalan tersebut, kalau tidak terjadi kesepakatan maka tidak boleh adanya pembatalan.

C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah diuraikan pada bab sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Saat terjadinya Perjanjian Jual Beli melalui Instrument E-Commerce, adalah pada saat pembeli melakukan “klik� sebanyak 3 kali pada website atau situs yang mereka gunakan. Hal ini merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal 20 ayat 1 UU ITE yang menyatakan sepanjang tidak ditentukan lain secara khusus, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim oleh pengirim telah diterima dan disetujui oleh penerima. 2. Pembatalan Perjanjian Jual Beli melalui E-Commerce, bila akan melakukan pembatalan perjanjian dalam hal ini cukup dengan melalui email, telepon, Hal | 103


atau berupa pesan langsung ke website (situs) penjual untuk pemberitahuan pembatalannya. Akan tetapi, apabila uang pembayaran transaksi yang telah disetujui tersebut sudah ditransfer, tidak boleh lagi dilakukan pembatalan. Hal ini disebabkan perjanjian telah terjadi serta pembayaran telah dilakukan. Menurut Hukum suatu perjanjian jual beli telah terjadi sejak adanya kesepakatan. Pembayaran ataupun penyerahan barang merupakan pelaksanaan dari isi perjanjian jual beli. Oleh karena itu, seperti dikemukakan diatas bila telah dilakukan transfer uang yang pada hakekatnya merupakan pembayaran maka telah selesailah perjanjian jual beli dan kewajiban penjual dalam menyerahkan barang serta kewajiban pembeli untuk menerima penyerahan barang tersebut. 3. Tanggung Jawab para pihak dalam hal terjadinya pembatalan transaksi ecommerce akan muncul bila pembatalan itu tidak disetujui pihak lain (pihak penjual atas pembatalan yang dilakukan oleh pembeli atau pada pihak pembeli atas pembatalan oleh pihak penjual) kalau terajdi hal yang sedemikian ini perjanjian harus dilaksanakan atau dapat dituntut pemenuhan prestasinya melalui ketentuan hukum yang menyangkut wanprestasi. 2. Saran Untuk Perusahaan (penjual) yang akan menggunakan fasilitas media Internet seharusnya memberitahukan atau menginformasikan kepada para calon pembeli (pada saat melakukan penawaran melalui internet) agar mengetahui hal-hal sebagai berikut : a. Bagaimana mengoperasikan atau menggunakan website (situs) dalam melakukan transaksi tersebut b. Kapan dianggap telah terjadinya perjanjian tersebut atau kapan dianggap mulai mengikatnya perjanjian tersebut c. Kapan barang atau objek perjanjian tersebut harus dikirim d. Kapan dan bagaimana pembayaran harus dilakukan e. Kewajiban-kewajiban lain yang dibebankan kepada pembeli f. Hal-hal yang dianggap sebagai penyebab pembatalan perjanjian.

Hal | 104


DAFTAR PUSTAKA A. Sumber Buku : Ali, Zainuddin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika: Jakarta. Baum, David, 2009, Mengenal E-Commerce, Elexmedia Komputindo: Jakarta. Chairandi, Ridwan, 2003, Itikad Baik dalam kebebasan berkontrak, Pasca sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia: Jakarta. Fuady, Munir, 2001, Hukum Perbankan Modern, PT. Citra Aditiya Bakti: Bandung. ________, 2005, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra Aditiya Bakti: Bandung. Halim, Abdul, Teguh Prasetyo, 2006, Bisnis E-Commerce, Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Kuspriatni, Lista, 2008, Aspek Hukum Dan Ekonomo, PT. Intermassa: Jakarta. Meliala, A. Qirom, 1985, Pokok-pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannya, Liberty: Yogyakarta. M. Arief Mansur Dikdik, Elisatris Gultom, 2009, Aspek Hukum Teknologi Informasi, PT. Refika Aditama: Bandung. Panjaitan, Saut P, 1998, Dasar-dasar Ilmu Hukum: Asas, Pengertian, dan Sistematika, Universitas Sriwijaya: Inderalaya. Purbo, W Onno, 2000, Teknologi Warung Internet, Elexmedia Komputindo: Jakarta. ________, 2009, Mengenal E-coomerce, Elexmedia Komputindo: Jakarta. Prodjodikoro, R. Wirjono, 2001, Azas-azas Hukum Perjanjian, CV.Mandar Maju: Bandung. Salim, Peter, Yenny Salim, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, Modern English Pers: Jakarta. Salman, M. Fikri, 2006, Bahan Ajar Hukum Dagang, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya: Inderalaya. Sanusi, M. Arsyad , 2001, Hukum dan Solusinya, Mizan Grafika: Jakarta. Suparni, Niniek, 2009, Problematika dan Aspek Pengaturannya, Sinar Grafika: Jakarta. Setiawan, Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta. Subekti, R, 1990, Hukum Perjanjian, Intermassa: Jakarta. ________, 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti: Bandung. ________, 2009, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita: Jakarta.

Hal | 105


Widiono, Try, 2006, Aspek Hukum Operasionalisasi Transaksi Produk Perbankan di Indonesia: simpanan, jasa, dan kredit, Ghalia Indonesia: Bogor. Yuan, Gao, 2005, Encyclopedia Of Information Science and Technologi. B. Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Terjemahan R. Subekri, penerbit Pradnya paramita, jakarta, tahun 2009) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi elektronik ( UU ITE) C. Website http://www.a-bong.blogspot.com/2010/08/aspek-hukum-perdaganganmelalui16.html. http://www.bungasitianessya.blogspot.com/2010/05/e-commerce-sementaraitu-kalakota-dan.html. http://www.binushacker.net/definisi-e-commerce-www-kotadingin-cc.html. http://www.google.co.id/Kelebihan e-commerce. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/c14141/pembatalan-perjanjianyang-batal-demi-hukum. http://www.Ikht-Fhui.com. http://www.Marpaung.tripod.com/elektroniccommerce.doc. http://www.Reagansatyawira.Blogspot.com/2008/11/tiga-keunggulankompetitif-e-commerce. http://www. Sellonline. My/kelebihan e-dagang.

Hal | 106


Perlindungan Kreditur Kepailitan Melalui Actio Pauliana Oleh: Agustina Ria Retta Imelda Sianturi, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Putu Samawati, SH.,MH dan Sri Turatmiyah, SH.,M.Hum

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Di dalam lalu-lintas hukum (khususnya dalam hukum perjanjian) setidaktidaknya ada dua pihak yang terikat oleh hubungan hukum itu yaitu pihak kreditur dan pihak debitur. 140 Hubungan hukum tersebut di satu sisi akan memberikan hak bagi pihak kreditur untuk menuntut pemenuhan prestasi, dan di sisi lain akan membebankan kewajiban bagi kreditur untuk memenuhi prestasi tersebut. Namun di dalam praktiknya seringkali ditemukan suatu keadaan dimana debitur lalai untuk memenuhi kewajibannya. Kelalaian debitur dalam memenuhi kewajibannya tersebut dinamakan dengan wanprestasi. 141 Di dalam dunia perniagaan apabila debitur tidak mampu menjalankan kewajibannya untuk memenuhi prestasinya yaitu untuk membayar utangnya kepada kreditur (disebabkan oleh situasi ekonomi yang sulit atau keadaan terpaksa), maka telah disiapkan suatu “pintu darurat” untuk menyelesaikan persoalan tersebut, yaitu dikenal dengan nama lembaga “kepailitan” dan “penundaan pembayaran.” 142 Kepailitan itu sendiri adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa pailit yaitu suatu keadaan disaat debitur berhenti membayar (utangutangnya) tetapi bukan dalam arti bahwa si debitur berhenti sama sekali untuk membayar utang-utangnya, melainkan debitur tersebut pada waktu diajukan 140

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo, 2000, hlm. 23. 141 Wanprestasi adalah suatu istilah yang menunjuk pada ketiadaan prestasi oleh debitur. Bentuk ketiadalaksanaan ini dapat terwujud dalam beberapa bentuk, yaitu; 1. debitur sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya; 2. debitur tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya atau melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya; 3. debitur tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya; 4. debitur melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan. Dikutip dalam Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003, hlm.69. 142 Zainal Asikin, Op.Cit., hlm. 25.

Hal | 107


permohonan pailit berada dalam keadaan tidak membayar utang tersebut.143 Di Indonesia peraturan-peraturan di bidang kepailitan sebenarnya telah mengalami perkembangan dengan melewati sejarah yang cukup panjang yaitu dimulai dari sebelum tahun 1945 dimana pada saat itu ada dualisme hukum kepailitan yang berlaku, hingga sampai pada saat ini sudah ada peraturan kepailitan yang berlaku secara nasional yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hadirnya undang-undang kepailitan diharapkan akan membantu terciptanya suatu kondisi yang kondusif dalam rangka mendukung berkembangnya kegiatan perekonomian sekaligus untuk mengantisipasi agar jika suatu saat terjadi berbagai hal yang mengakibatkan dampak buruk yang besar terhadap perekonomian Indonesia seperti halnya krisis moneter pada tahun 1997, setidaknya kita sudah memiliki sarana hukum berupa undang-undang yang dapat memberikan kepastian hukum terhadap penyelesaian utang piutang tersebut, sehingga hal-hal demikian dapat segera ditanggulangi dan tidak sampai mengakibatkan dampak sistemik yang lebih parah. Selain itu, kenyataan bahwa perkembangan perekonomian menuju ke arah pasar bebas menuntut adanya suatu mekanisme penyelesaian utang piutang secara cepat, efektif, serta mampu memberikan perlindungan kepada kreditur dan debitur, membuat pembentukan dan perubahan undang-undang kepailitan menjadi sebuah kebutuhan yang harus segera dipenuhi. Namun demikian, perubahan-perubahan peraturan kepailitan yang terjadi di sisi lain justru membuktikan bahwa peraturan-peraturan kepailitan yang ada hingga saat ini dalam praktik pelaksanaannya masih mengalami berbagai hambatan dan permasalahan. Hambatan dalam praktik pelaksanaan peraturan kepailitan salah satunya datang dari pihak debitur yang memiliki itikad tidak baik dalam pelunasan utang-utangnya yaitu misalnya dengan cara melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditur. 144 Hambatan-hambatan yang datang dari pihak debitur ini pada dasarnya sudah diantisipasi oleh peraturan-peraturan kepailitan baik yang berlaku saat ini maupun yang pernah berlaku sebelumnya. Salah satunya

143

C.S.T.Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2002, hlm. 169. 144 Gunawan Widjaja, “Refleksi Sepuluh Tahun UU Kepailitan dan Antisipasi Dampak Krisis Moneter Global : Kapasitas dan Efektifitas Pengadilan Niaga�, Sumber: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/28109513.pdf, diakses pada tanggal 7 November 2012.

Hal | 108


adalah dengan menyediakan suatu instrumen yang dinamakan dengan actio pauliana. Actio pauliana di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dapat diartikan sebagai upaya hukum yang dilakukan oleh kurator untuk membatalkan perbuatan hukum si pailit yang dilakukan sebelum dinyatakan pailit untuk kepentingan si debitur pailit sendiri yang dapat merugikan kepentingan kreditur. 145 Lima belas tahun sudah sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, penerapan actio pauliana di dalam kepailitan nampaknya belum dapat berjalan dengan maksimal, padahal actio pauliana ini adalah instrumen yang penting dalam penyelesaian perkara kepailitan. Salah satu contohnya adalah dalam kasus Hj.Popy Indrajati, S.H.,M.Hum, Ketua Balai Harta Peninggalan melawan Wijiati (tergugat I), Eka Noviana Limantro (tergugat II), Ratna Indrianti (tergugat III), Liembang Priyadi Daljono,S.H., (tergugat IV), dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Blora (tergugat V).146 Apa yang diharapkan melalui kehadiran actio pauliana sebenarnya adalah adanya suatu kepastian hukum akan perlindungan kreditur khususnya terhadap harta kekayaan debitur yang kemudian akan digunakan untuk melunasi piutang mereka. Apabila ternyata actio pauliana ini dalam kenyataannya belum mampu memberikan kepastian hukum akan perlindungan kreditur, tentu akan berdampak pada kegiatan bisnis yang terus menurun aktifitasnya. Mengingat pentingnya penerapan actio pauliana sebagai instrumen yang disediakan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang untuk melindungi kreditur kepailitan dalam rangka menciptakan iklim usaha yang baik dan sehat, maka perlu untuk dilakukan kajian penelitian secara lebih mendalam yang akan dijabarkan dalam skripsi yang berjudul “Perlindungan Kreditur Kepailitan Melalui Actio Pauliana�.

145

M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan, Jakarta : Kencana Prenada Media, 2008, hlm. 348. 146 Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Putusan Nomor 018 PK/Pdt.Sus/2007�, Sumber : http://118.96.193.109/undangundang/admin/yurisprudensi/download_yurisprudensi.php?id=70, diakses pada tanggal 29 Maret 2013.

Hal | 109


2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian-uraian singkat dalam latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah sistem pembuktian terhadap suatu tindakan debitur dapat dinyatakan memenuhi syarat-syarat berlakunya actio pauliana? 2. Apa yang menjadi kelemahan-kelemahan actio pauliana dalam memberikan perlindungan hukum kepada kreditur? 3. Kerangka Teori Menurut R.Soeroso pengertian subjek hukum satu diantaranya adalah segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajiban. 147 Salah satu hak yang dipunyai oleh subyek hukum adalah hak keperdataan. Hak perdata tersebut dapat dibedakan menjadi hak absolut (ius in re) dan hak relatif (ius ad rem). 148 Terhadapsemua hak yang demikian, hukum memberikan perlindungan kepada setiap pemegang haknya, termasuk kepada pemegang hak kebendaan yang sah.149 Pada hak-hak kebendaan ini, hukum memberikan hak kepada pemegang hak kebendaan untuk melakukan berbagai macam actie jika terdapat gangguan atas haknya misalnya dengan melakukan penuntutan kembali dan gugatan tersebut dapat dilaksanakan terhadap siapapun yang menganggu haknya sementara pada hak perorangan, pemegang hak hanya dapat mengajukan haknya terhadap pihak lawannya (wederpartij).150 Dengan adanya perlindungan yang diberikan hukum kepada para pemegang hak yang sah untuk 147

R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, hlm. 227-228. Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, hlm. 105. 149 Menurut Pasal 499 KUHPerdata, kebendaan diartikan sebagai tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dikuasai oleh hak milik Berkenaan dengan konsep perlindungan hukum itu, Philipus M. Hadjon mengemukakan suatu teori yang menyatakan bahwa perlindungan hukum pada dasarnya terbagi menjadi 2 (dua) yaitu perlindungan hukum represif dan perlindungan hukum preventif. Perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa misalnya sebelum Pemerintah menetapkan suatu aturan atau keputusan, rakyat dapat mengajukan keberatan, atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut. Perlindungan hukum represif yaitu perlindungan hukum yang dilakukan dengan cara menerapkan sanksi terhadap pelaku agar dapat memulihkan hukum kepada keadaan sebenarnya yang biasanya dilakukan melalui pengadilan. Dikutip dalam Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1987, hlm. 3, dalam Anak Agung Ayu Diah Indrawati, “Perlindungan Konsumen dalam Pelabelan Produk Pangan�, Sumber :http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-37695861053-final%20tesis.pdf, diakses pada tanggal 5 Februari 2013. 150 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, Yogyakarta : Liberti, 2008,hlm. 27. 148

Hal | 110


mempertahankan haknya, lantas bukan berarti hukum memberikan legitimasi kepada para pemegang hak tersebut untuk bertindak tanpa ada batas. Tentu saja ada kewajiban-kewajiban tertentu yang melekat pada hak-hak tersebut yang harus dijalankan oleh para pemegangnya sebagai wujud dari pembatasan itu sendiri. Tujuan dari adanya pembatasan tersebut tak lain adalah untuk melindungi kepentingan pihak lain. Pembatasan kewenangan pemegang hak agar tidak merugikan hak orang lain ini juga berlaku dalam suatu perjanjian utang piutang yaitu terhadap kewenangan debitur selaku pemegang hak atas kebendaan miliknya yang menjadi jaminan akan pelunasan utang-utangnya, khususnya dalam hal debitur tersebut sedang dalam proses kepailitan. Perlindungan hukum yang diberikan oleh negara terhadap hak-hak warga negaranya, misalnya melalui ketentuan-ketentuan dalam suatu undang-undang, merupakan kewajiban dari negara yang harus dipenuhi sebagai negara yang menganut paham kesejahteraan atau yang disebut dengan negara kesejahteraan (welfare state). Ciri utama dari negara kesejahteraan adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya.151 Keterlibatan aktif negara dan pemerintah dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat untuk mencapai kesejahteraan umum salah satunya diwujudkan dengan pembentukan berbagai produk hukum yang dapat mendukung terselenggaranya aktivitas perekonomian masyarakat dengan lancar. Produk hukum tersebut harus dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum khususnya dalam penyelesaian berbagai masalah yang mungkin muncul dalam penyelenggaran aktivitas perekonomian masyarakat. Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam hal ini merupakan salah satu contoh produk hukum yang dibentuk dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum dalam penyelesaian masalah utang piutang. Melalui pembentukan undang-undang ini diharapkan penyelesaian masalah utang piutang dapat berjalan dengan lebih baik sehingga aktivitas perekonomian masyarakat Indonesia juga dapat terselenggara dengan lancar.

151

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Pers, 2008, hlm.15.

Hal | 111


B. PEMBAHASAN 1. Sistem Pembuktian Terhadap Suatu Tindakan Debitur Dapat Dinyatakan Memenuhi Syarat-Syarat Berlakunya Actio Pauliana Pembuktian mengenai syarat-syarat berlakunya actio pauliana itu sendiri merupakan suatu rangkaian panjang dan menyangkut banyak hal seperti misalnya, pihak manakah yang memiliki kewenangan untuk mengajukan pembatalan tersebut, hukum apa yang digunakan untuk memproses gugatan actio pauliana itu sendiri, bagaimana gugatan actio pauliana tersebut diproses dan lain sebagainya, atau dapat dikatakan bahwa agar perbuatan hukum debitur tersebut dapat dibatalkan maka harus melalui suatu sistem pembuktian tertentu.152 Sistem pembuktian ini diawali terlebih dahulu dengan adanya pengajuan gugatan actio pauliana oleh pihak yang diberikan kewenangan untuk itu. Dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa tuntutan hak berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 46 diajukan oleh Kurator ke Pengadilan. Adapun ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai pembatalan terhadap perbuatan hukum debitur yang dilakukan sebelum debitur dinyatakan pailit dan dapat merugikan kepentingan kreditur. Agar suatu perbuatan debitur dapat dibatalkan melalui actio pauliana, terlebih dahulu harus diajukan suatu gugatan yang menurut ketentuan UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 kewenangan tersebut diberikan kepada kurator. Mengenai ke pengadilan manakah gugatan actio pauliana tersebut semestinya diajukan, masih terdapat dualisme di antara para praktisi hukum khususnya di antara para hakim. Namun demikian, apabila permasalahan ini dikembalikan lagi ke dalam ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, maka gugatan actio pauliana dalam kepailitan tersebut harus diajukan oleh kurator ke Pengadilan Niaga. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 3 ayat (1) yang menyatakan bahwa putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan diatur dalam undang-undang ini, diputuskan oleh pengadilan yang dalam hal ini daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum dari debitur. 152

Ivo Dona Yustiva, “Pembatalan Perbuatan Hukum Debitur dalam Perkara Kepailitan PT. Fiskar Agung, Tbk.�, Sumber : http://eprints.undip.ac.id/23927/1/Ivo_Donna_Yusvita.pdf, diakses pada tanggal 19 April 2013.

Hal | 112


Adapun Hukum Acara yang dipergunakan di Pengadilan Niaga, sesuai dengan ketentuan Pasal 299 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, maka pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga pada prinsipnya menggunakan Hukum Acara Perdata yang diatur dalam HIR/RBg kecuali yang secara lain ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.153 Hukum Acara Perdata inilah juga yang diberlakukan terhadap pemeriksaan perkara actio pauliana yang merupakan bagian dari “hal-hal” lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. 154 Terkait dengan jangka waktu penyelesaian perkara actio pauliana, apabila dihubungkan dengan Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, maka terhadap perkara actio pauliana dan perkara-perkara lain sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 penyelesaiannya pada tingkat Pengadilan Niaga tetap tunduk pada jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Penyelesaian terhadap perkara actio pauliana akan melewati tahapantahapan tertentu sesuai dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi permohonan pernyataan pailit, sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Hal ini berarti, prosedur terhadap penyelesaian perkara actio pauliana menyesuaikan dengan ketentuan yang sudah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Tahapan proses penyelesaian perkara actio pauliana mulai dari pengajuan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan (eksekusi) adalah sebagai berikut : (a) Pengajuan gugatan actio pauliana yang telah memenuhi syarat-syarat gugatan kepada Ketua Pengadilan Niaga. Dalam proses kepailitan, gugatan actio pauliana baru dapat diajukan setelah debitur dinyatakan pailit. Hal ini dikarenakan kurator baru ada ketika debitur dinyatakan pailit, yaitu melalui penunjukan dari hakim Pengadilan Niaga dalam putusan pernyataan pailit. 155 Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, gugatan 153

Disriani Latifah, “Eksekusi Putusan Pailit”, Sumber :http://staff.blog..ui.ac.id/disriani.latifah/tag/pengadilan-niaga/, diakses pada tanggal 1 Mei 2013 154 Peraturan Republik Indonesia, Peraturan Republik Indonesia, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara No. 131 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara No. 4443, Penjelasan Pasal 3 ayat (1). 155 Ibid., Pasal 15 ayat (1)

Hal | 113


(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

actio pauliana ini diajukan oleh kurator ke Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum dari debitur. Gugatan actio pauliana yang diajukan oleh kurator ke Pengadilan Niaga, juga harus memenuhi syarat-syarat gugatan. Menurut Pasal 118 HIR suatu gugatan harus diajukan dengan suatu surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya, surat permintaan tersebut itulah yang dalam praktek disebut dengan surat gugatan. 156 Surat gugatan tersebut harus memuat yaitu :157 1. Tanggal gugatan tersebut diajukan dan identitas para pihak. 2. Posita atau Fundamentum Petendi yaitu dalil-dalil kongkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan. 3. Petitum (tuntutan) yaitu apa yang oleh penggugat diminta atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim. Petitum itu akan mendapatkan jawaban di dalam dictum atau amar putusan hakim. Gugatan tersebut didaftarkan pada buku pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang juga merupakan Kepaniteraan Pengadilan Niaga yang berwenang. Panitera menyampaikan/menaikkan/memberikan berkas tersebut kepada Ketua Pengadilan bahwa berkas tersebut sudah diteliti dan syarat formalnya sudah cukup atau lengkap.158 Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal perkara tersebut diajukan, Pengadilan Niaga mempelajarinya dan menetapkan hari sidang. 159 Sidang pemeriksaan atas perkara actio pauliana tersebut, sebagaimana dalam permohonan pernyataan pailit harus diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal perkara tersebut didaftarkan.160 Berdasarkan penetapan hari, tanggal, jam dan tempat persidangan tersebut, Juru Sita akan melakukan pemanggilan terhadap pihak-pihak yang berperkara. Pemeriksaan di persidangan.

156

M.Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 1995, hlm. 22. Ahmaturrahman, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Diktat, Inderalaya : Universitas Sriwijaya, 2011, hlm. 44-45. 158 Ahmaturrahman, Op.Cit., hlm. 35 159 Ibid., Pasal 6 sayat (5) 160 Ibid., Pasal 6 ayat (5) dan ayat (6) 157

Hal | 114


(g) Tahap jawab menjawab antara pihak-pihak. Pada pemeriksaan tidak dibuka sistem replik duplik sehingga penerapan asas audi alteram partem dipersempit penerapannya.161 (h) Tahap pembuktian. Mengingat bahwa Pengadilan Niaga tunduk pada Hukum Acara Perdata kecuali untuk hal-hal yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, maka ketentuan mengenai alat-alat bukti pun tunduk pada Hukum Acara Perdata. Adapun alat-alat bukti yang diakui dalam Hukum Acara Perdata diatur secara enumeratif yaitu dalam Pasal 1866 KUHPerdata, Pasal 164 HIR, Pasal 284 RBg, yang terdiri atas alat bukti berupa; bukti tulisan, bukti dengan saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. 162 Adapun yang harus dibuktikan oleh kurator adalah bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur tersebut memenuhi syaratsyarat berlakunya actio pauliana sehingga layak untuk dibatalkan. (i) Tahap penyusunan kesimpulan (konklusi) masing-masing pihak. (j) Musyarawarah majelis hakim yang bersifat rahasia dan tertutup untuk umum. Selanjutnya, dilakukan pembacaan atau pengucapan putusan hakim dalam sidang terbuka untuk umum. Setelah selesai putusan dibacakan, hakim ketua majelis akan menanyai pihak-pihak (baik tergugat maupun penggugat) apakah menerima putusan tersebut atau tidak. Bagi pihak yang tidak menerima putusan tersebut, diperkenankan untuk menggunakan upaya-upaya hukum yang disediakan.163 (k) Upaya hukum Upaya hukum yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ini berbeda dengan upaya hukum yang tersedia dalam Hukum Acara Perdata secara umum menurut HIR/Rbg. Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 hanya tersedia upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali. (l) Pelaksanaan putusan hakim (eksekusi)

161

Ivo Dona Yustiva, Loc.Cit. Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 119. 163 Ahmaturrahman, Op.Cit., hlm.36. 162

Hal | 115


2. Kelemahan-kelemahan Actio Pauliana Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Kepada Kreditur Kelemahan yang pertama dari actio pauliana ini adalah ketidakjelasan ke pengadilan manakah perkara mengenai actio pauliana akan diajukan untuk mendapatkan penyelesaian. Secara yuridis, jawaban dari pertanyaan ini memang dapat dikembalikan kepada ketentuan yang sudah diatur di dalam UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu pada Pasal 3 ayat (1) beserta penjelasannya. Dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) beserta dengan penjelasannya memang sudah ditentukan bahwa perkara actio pauliana sebagai perkara yang masih terkait dengan perkara intinya yaitu permohonan pernyataan palit dan sebagai perkara yang juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, diputuskan oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur. Hal serupa juga kembali dinyatakan dalam ketentuan Pasal 41, Pasal 43 dan Pasal 47 sebagai bagian dari ketentuan yang mengatur mengenai actio pauliana. Merujuk pada ketentuan-ketentuan tersebut, sudah jelas bahwa UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 sebagai lex specialis menghendaki bahwa perkara actio pauliana dan perkara-perkara lain yang terkait dengan pernyataan pailit dan atau diatur dalam undang-undang tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan dari debitur. Namun dalam kenyataannya, ketentuan tersebut justru malah dimentahkan pemberlakuannya oleh para hakim baik hakim Pengadilan Niaga maupun hakim Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Adapun yang menjadi alasan dari para hakim tersebut adalah bahwa pembuktian dari actio pauliana adalah bersifat tidak sederhana sehingga harus diajukan ke Pengadilan Negeri. Melalui kedua putusan tersebut terlihat bahwa selain karena pembuktian yang tidak sederhana dari actio pauliana itu sendiri, hal lain yang menjadi alasan hakim Mahkamah Agung untuk menolak gugatan tersebut yang terkait dengan kewenangan Pengadilan Niaga adalah hakim Mahkamah Agung masih berpendapat bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 280 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Pasal 300 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 kewenangan Pengadilan Niaga hanyalah meliputi permohonan pernyataan pailit dan PKPU, dan perkara lain di bidang perniagaan yang kemudian ditetapkan oleh undang-undang (HAKI). Terhadap permasalahan kewenangan pengadilan ini Bapak Yose Izral,S.H.,M.H berpendapat bahwa undang-undang kepailitan merupakan

Hal | 116


undang-undang khusus atau dengan kata lain undang-undang kepailitan merupakan lex specialis dan oleh karena itu mengacunya persoalan (kasus) kepailitan pasti ke Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. 164 Di dalam aturan undang-undang kepailitan, tindakan actio pauliana yang berkenaan dengan perkara kepailitan pasti diajukan ke Pengadilan Niaga tempat dimana perkara tersebut diputus, tetapi di lain sisi sangat disadari bahwa pembuktian dari actio pauliana ini tidak lagi sederhana dan apabila pembuktiannya tidak lagi sederhana maka harus diselesaikan ke Peradilan Umum yaitu ke Pengadilan Negeri. Jika undang-undangnya belum diubah maka hal tersebut akan sulit dan tindakan yang mungkin dapat dilakukan salah satunya dengan cara mengubah norma di dalam undang-undang kepailitan yaitu dengan mengajukan judicial review.165 Adanya perbedaan persepsi dalam menentukan pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili perkara actio pauliana ini tentu saja akan menciptakan ketidakpastian hukum dan mempersulit kurator dalam melaksanakan haknya untuk mengajukan pembatalan atas perbuatan hukum debitur pailit yang dapat merugikan kepentingan kreditur. Apabila tuntutan actio pauliana ini harus diajukan secara terpisah ke Pengadilan Negeri, maka tujuan dari peraturan-peraturan kepailitan yang ada khususnya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 agar perkara kepailitan dapat selesai secara tuntas dalam waktu yang cukup singkat (dalam arti bukan sampai putusan pernyataan pailit tetapi sampai likuidasi seluruh harta pailit) menjadi tidak tercapai. 166 Pengajuan perkara actio pauliana ke Pengadilan Negeri berakibat penyelesaian terhadap perkara tersebut harus menggunakan Hukum Acara Perdata yang berlaku secara umum dan hal ini berarti jangka waktunya pun tunduk pada Hukum Acara Perdata. Tunduknya penyelesaian perkara actio pauliana pada jangka waktu dalam Hukum Acara Perdata tentu akan berdampak pada pelaksanaan tugas kurator yang akan terhambat sampai putusan atas perkara actio pauliana tersebut inkracht.167

164

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Yose Rizal,S.H.,M.H, yang dilaksanakan di Kantor Hukum Bambang Haryanto and Partners, pada tanggal 27 Mei 2013 pukul 14.30 WIB. 165 Ibid. 166 Elijana S, dalam Rudhy A.Lontoh, et.al, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung : PT. Alumni, 2001,hlm. 20. 167 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Bahrul Ilmi Yakub,S.H.,M.H.,CGL., yang dilaksanakan di Bukit Indah Hotel, pada tanggal 18 Mei 2013 pukul 14.30 WIB.

Hal | 117


Kelemahan dari actio pauliana yang kedua yaitu adalah pembuktiannya yang tidak sederhana. Pembuktian dalam actio pauliana tidak dapat dilakukan dengan cara pembuktian sederhana sebagaimana dalam permohonan pernyataan pailit. Sebagaimana dinyatakan oleh Kartini Muljadi, pembuktian terhadap syarat-syarat actio pauliana dalam kepailitan sangat sulit untuk dilakukan terutama berkaitan dengan pembuktian bahwa debitur atau pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan merugikan kreditur. 168 Beban pembuktian kurator ini akan semakin berat pada perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur berupa perbuatan hukum banyak sisi atau perbuatan satu atau lebih orang tertentu yang tidak dilakukan dengan cuma-cuma.169 Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu di dalam ketentuan Pasal 49, dinyatakan bahwa setiap orang yang telah menerima benda yang merupakan bagian dari harta pailit debitur yang diperoleh melalui perbuatan hukum yang dibatalkan harus dikembalikan kepada kurator melalui hakim pengawas, kecuali benda tersebut diperoleh dengan itikad baik dan tidak cuma-cuma. Ketentuan ini, hendak menekankan bahwa pada dasarnya kepada para pihak yang beritikad baik dalam melakukan perbuatan hukum tersebut, undang-undang memberikan perlindungan hukum atasnya. Permasalahannya sekarang adalah dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 itu sendiri tidak ditentukan secara tegas mengenai indikator suatu perbuatan dilandasi dengan itikad baik atau tidak. Pembuktian itikad baik atau tidak baik ini akan menjadi beban yang sulit bagi kurator, mengingat bahwa itikad baik ini merupakan suatu konsep yang abstrak meskipun dapat didefinisikan secara limitatif. Beban ini bertambah terlebih untuk membuktikan itikad baik dalam pengertian subjektif yang memang bisa dinilai dari segi tindakan, tapi selebihnya pribadi masingmasing yang mengetahui. Begitu rumitnya pembuktian terhadap syarat-syarat actio pauliana terkhusus mengenai itikad baik ini juga akan menghambat langkah kurator untuk membatalkan perbuatan hukum debitur tersebut, padahal pembatalan perbuatan hukum debitur yang diikuti dengan pengembalian aset yang sudah beralih ke harta pailit tersebut sangat dibutuhkan untuk terlaksananya pelunasan piutang para kreditur khususnya kreditur konkuren yang tidak mempunyai 168

M. Hadi Subhan, Op.Cit., hlm. 178. MR. J.B. Huizink, Insolventie, Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hlm. 117. 169

Hal | 118


jaminan apa-apa. Sulitnya pembuktian actio pauliana ini bukan tidak mungkin akan berakibat timbulnya keengganan bagi kurator-kurator lainnya untuk menggunakan instumen actio pauliana dalam mengembalikan aset yang seharusnya menjadi bagian dari harta pailit. Kelemahan selanjutnya adalah dari segi konsep hukum legal standing kurator untuk mengajukan gugatan actio pauliana lemah. 170 Sebagaimana diketahui dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dinyatakan bahwa tugas kurator adalah melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit sejak putusan diucapkan terkait dengan harta pailit (boedel pailit). Sedangkan konsep dari harta pailit itu adalah harta yang ada pada saat dinyatakan pailit dan segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Jika perbuatan hukum tersebut dilakukan 1 (satu) tahun sebelum debitur dipailitkan, pertanyaannya apakah kurator berwenang untuk mengurusi harta kekayaan debitur yang dialihkan yang ada sebelum debitur dinyatakan pailit yang masih dalam bentuk sengketa tersebut mengingat bahwa kurator baru ada sejak debitur dinyatakan pailit dan konsep harta pailit itu sendiri adalah harta yang ada pada saat pernyataan pailit diucapkan dan yang diperoleh selama kepailitan.171 Di samping kelemahan-kelemahan tersebut, kelemahan actio pauliana lainnya datang dari penerapannya yang menemukan sejumlah kendala. Salah satu kendala yang sangat mungkin terjadi adalah harta debitur yang dialihkan melalui perbuatan hukum debitur tersebut sudah beralih ke tangan pihak lainnya baik pihak dilandasi oleh itikad baik maupun tidak. Kendala akan semakin bertambah karena di dewasa ini dengan perkembangan teknologi yang kian maju, pengalihan aset harta kekayaan dapat dilakukan melalui transaksi elektronik dengan hanya membutuhkan waktu yang sedikit. Dengan beralihnya harta debitur tersebut ke pihak lainnya lagi tentu berarti semakin banyak pihak yang harus terlibat dalam perkara tersebut dan semakin berat juga pembuktian yang harus dilakukan kurator. Hal ini tentu semakin memperkecil peluang gugatan actio pauliana tersebut dikabulkan dan kemungkinan untuk harta yang sudah dialihkan dapat masuk ke harta pailit juga semakin kecil.

170

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Bahrul Ilmi Yakub,S.H.,M.H.,CGL.,

171

Ibid.

Loc.Cit.

Hal | 119


C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan sebagaimana terurai dalam bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Sistem pembuktian terhadap suatu tindakan debitur dapat dinyatakan memenuhi syarat-syarat berlakunya actio pauliana adalah diawali terlebih dahulu dengan adanya gugatan yang diajukan ke Pengadilan Niaga oleh kurator sebagai pihak yang diberikan kewenangan. Hukum Acara yang digunakan dalam mengadili perkara actio pauliana adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi perkara permohonan pernyataan pailit termasuk mengenai pembatasan jangka waktu pemeriksaannya. Pembuktian pada perkara actio pauliana dibebankan kepada kurator selaku pemohon sesuai dengan ketentuan Pasal 1865 KUHPerdata. 2. Kelemahan-kelemahan Actio Pauliana dalam memberikan perlindungan hukum kepada kreditur yaitu antara lain; ketidakjelasan ke pengadilan manakah perkara actio pauliana tersebut diajukan, pembuktiannya yang tidak sederhana, lemahnya legal standing kurator untuk mengajukan gugatan actio pauliana, dan yang terakhir kemungkinan harta yang dialihkan oleh debitur tersebut sudah dialihkan ke pihak yang lain lagi sehingga ada banyak pihak yang harus dilibatkan dalam perkara ini.

2.

Saran

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka beberapa saran yang dapat penulis sampaikan adalah sebagai berikut : 1. Bagi para pembentuk undang-undang Penulis menyarankan untuk mulai melakukan evaluasi dan pembenahan terhadap Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 secara umum dan ketentuan yang terkait dengan actio pauliana dalam undang-undang tersebut secara khusus, untuk selanjutnya melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Berdasarkan analisis yang penulis lakukan, penulis menemukan bahwa terdapat banyak kelemahan-kelemahan dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Hal | 120


yang salah satunya disebabkan oleh ketentuan pasal-pasal dalam undang-undang tersebut yang tidak tegas atau multitafsir. UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004 harus segera diperbaiki mengingat bahwa perkembangan perekonomian ke arah pasar bebas menghendaki adanya suatu mekanisme penyelesaian utang piutang secara cepat, efektif, serta memberikan perlindungan kepada semua pihak khususnya kepada pihak kreditur. 2. Bagi para kurator Penulis menyarankan agar para kurator dapat menjalankan tugas dan wewenangnya dengan sebaik mungkin. Hal ini akan tercapai apabila para kurator membekali diri dengan berbagai kemampuan yang terkait dengan pemberesan terhadap harta pailit. Kurator juga harus benar-benar cermat dalam melakukan pemberesan terhadap harta pailit, sehingga proses seluruh harta pailit dari debitur dapat termanfaatkan secara maksimal untuk melunasi utang-utangnya.

Hal | 121


DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Ahmaturrahman, 2011, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Diktat, Inderalaya : Universitas Sriwijaya. C.S.T.Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2002, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan Pada Umumnya, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. M.Hadi Subhan, 2008, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan, Jakarta : Kencana Prenada Media. M.Nur Rasaid, 1995, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika MR.J.B.Huizink, 2004, Insolventie, Jakarta: Pusat Studi hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Zainal Asikin, 2000, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Jakarta : PT. RajaGrafindo. R.Soeroso, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 2008, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta : Liberti. Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Pers. Rachmadi Usman, 2004, Dimensi Hukum Kepailitan Di Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Internet Disriani

Latifah, “Eksekusi Putusan Pailit”, Sumber :http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/tag/pengadilan-niaga/, diakses pada tanggal 1 Mei 2013. Gunawan Widjaja, “Refleksi Sepuluh Tahun UU Kepailitan dan Antisipasi Dampak Krisis Moneter Global : Kapasitas dan Efektifitas Pengadilan Niaga”, Sumber: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/28109513.pdf, diakses pada tanggal 7 November 2012. Ivo Dona Yustiva, “Pembatalan Perbuatan Hukum Debitur dalam Perkara Kepailitan PT. Fiskar Agung, Tbk.”, Sumber : http://eprints.undip.ac.id/23927/1/Ivo_Donna_Yusvita.pdf, diakses pada tanggal 19 April 2013. Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1987, hlm. 3, sebagaimana dikutip dalam Anak Agung Ayu Diah Indrawati, “Perlindungan Konsumen dalam Pelabelan Produk Pangan”, Sumber :http://www.pps.unud.ac.id/ Hal | 122


thesis/pdf_thesis/unud-376-95861053-final%20tesis.pdf, pada tanggal 5 Februari 2013.

diakses

Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh Anonim, Jakarta : PT. Permata Press, 2008. Peraturan Republik Indonesia, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara No. 131 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara No. 4443. Putusan Mahkamah Agung Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Putusan Nomor 018 PK/Pdt.Sus/2007�, Sumber: http://118.96.193.109/undang-undang/admin/yurisprudensi/ download_yurisprudensi.php?id=70, diakses pada tanggal 29 Maret 2013. Wawancara Bahrul Ilmi Yakub, S.H.,M.H., CGL, yang dilaksanakan di Bukit Indah Hotel, pada tanggal 18 Mei 2013 pukul 14.30 WIB. Yose Rizal,S.H.,M.H, yang dilaksanakan di Kantor Hukum Bambang Hariyanto and Partners, pada tanggal 27 Mei 2013 pukul 14.30 WIB.

Hal | 123


Tanggung Jawab Penjamin Terhadap Utang Debitur yang Pailit Oleh: Revi Apreni, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. Amrullah Arpan, SH.,SU dan Dr. M. Syaifuddin, SH.,M.Hum

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dunia usaha adalah dunia yang terus berkembang. Setiap individu yang menjalankan usaha, senantiasa mencari jalan untuk memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya. Demikian juga dalam mendirikan bentuk-bentuk usaha perdagangan.172 Dalam dunia usaha, tidak dapat dipungkiri untuk meningkatkan hasil usahanya haruslah mempunyai mitra usaha baik itu mitra usaha dalam hal produksi dan retribusi, maupun mitra dalam hal pinjaman modal. Sektor perkreditan merupakan salah satu sarana pemupukan modal bagi masyarakat bisnis. Bagi kaum pengusaha, mengambil kredit sudah merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bisnis.Untuk melepaskan dunia bisnis tanpa pinjaman kredit sangatlah sulit. Namun setiap pemberian kredit yang disalurkan kepada pengusaha selalu mengandung risiko. Oleh karena itu diperlukan unsur pengamanan dalam pengembaliannya. Secara garis besar dikenal 2 (dua) macam bentuk jaminan, yaitu jaminan perorangan (borgtocht/personal guarantee) dan jaminan kebendaan. Pada jaminan kebendaan, debitur atau pihak yang menerima pinjaman, memberi jaminan benda kepada kreditur atau pihak yang memberi pinjaman sebagai jaminan atas utang yang dipinjam debitur. Jadi apabila debitur tidak membayar utangnya pada saat jatuh tempo maka pihak kreditur dapat menuntut eksekusi atas benda yang telah dijaminkan oleh debitur tersebut untuk melunasi utangnya.Sedangkan dalam jaminan perorangan (borgtocht/ personal guarantee) adalah jaminan yang diberikan oleh debitur bukan berupa benda melainkan berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin) yang tidak mempunyai kepentingan apapun baik terhadap debitur maupun terhadap kreditur, bahwa debitur dapat dipercaya akan menjalankan kewajiban yang diperjanjikan, dengan 172

Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 1.

Hal | 124


syarat apabila debitur tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga itu bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitur tersebut.Dengan adanya jaminan perorangan maka pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar utang debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut. Keberadaan penjamin merupakan upaya guna memperkecil risiko, dimana jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditur yaitu kepastian hukum akan pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penanggungan diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dari ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang penjamin atau penanggung adalah seorang debitur.173Mengenai penanggungan diatur dalam Pasal 1820 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang menjelaskan bahwa: “Penanggungan merupakan suatu persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si debitur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si debitur manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.� Apabila debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada kreditur, maka salah satu sarana hukum yang dapat dipergunakan bagi penyelesaian utang piutang adalah peraturan tentang kepailitan. Yang pada asasnya setiap kreditur yang tidak terpenuhi piutangnya dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan terhadap seorang debitur dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam peraturan kepailitan Stb.1095 No.217 jo Stb. 1906 No. 348 sebagimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan kemudian diubah lagi dengan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat Undang-Undang Kepailitan). 2. Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang tersebut di atas, maka dikemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1) Apa landasan hukum kewajiban penanggung melindungi kreditur dalam kaitannya dengan kepailitan? 173

Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hlm. 84.

Hal | 125


2)

Bagaimana cara pelunasan kewajiban penanggung setelah debitur dinyatakan pailit?

3. Kerangka Teori 1. Pengertian Penanggungan Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penanggungan atau borgtocht diatur dalam Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa“Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.�174 2. Unsur-unsur Penanggungan 1. Adanya perjanjian 2. Adanya kewenangan bertindak 3. Adanya kausa perjanjian penanggungan 4. Adanya para pihak 5. Penanggungan diberikan demi keuntungan kreditur 3. Bentuk perjanjian penanggungan 1. Berbentuk bebas 2. Dalam bentuk akta di bawah tangan 4. Macam-macam penanggungan 1. Penanggungan kredit (Credietborgtocht) 2. Penanggungan bank (bankborgtocht) 3. Penanggungan pembangunan (bouwborgtocht) 5. Berakhirnya perjanjian penanggungan a. Hapusnya atau berakhirnya perjanjian pokok 1. Perjanjian pokok telah dilunasi oleh debitur 2. Perjanjian pokok dinyatakan batal (nietig verklaard) atas alasan debitur tidak berwenang melakukan perjanjian. 3. Adanya homologasi accord antara kreditur dan debitur dinyatakan pailit.

174

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 145.

Hal | 126


b. Perjanjian penjaminan dapat juga hapus sekaligus perjanjian pokok masih tetap ada, yaitu: 1. Karena kreditur sendiri yang menghapuskan kewajiban penjamin, kreditur dengan sukarela membebaskan penjamin dari beban sebagai penjamin. 2. Jika terjadi suatu keadaan yang mengakibatkan bersatunya kedudukan penjamin dan debitur dalam satu pribadi yang sama. Hal ini terjadi karena adanya percampuran utang pada diri seseorang (schuld vermeging). 3. Perjanjian penjamin/personal guarantee ini berakhir jika telah membayar kepada kreditur sekalipun benda yangdibayarkan itu bukan milik debitur dan disita kembali oleh pihak ketiga (Pasal 1849 Kitab Undang-undang Hukum Perdata). 4. Penjamin dapat menuntut supaya debitur melaksanakan pembayaran utang dan menuntut pembebasan penjamin dari perjanjian personal guarantee.

B. PEMBAHASAN 1. Landasan Hukum Kewajiban Penanggung Melindungi Kreditur Dalam Kaitannya Dengan Kepailitan. Jaminan perorangan adalah jaminan seseorang dari pihak ketiga yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari debitur. Dengan perkataan lain, jaminan perseorangan itu adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang pihak ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang (debitur).175 Dalam jaminan perorangan (borgtocht) itu selalu dimaksudkan bahwa untuk pemenuhan kewajiban-kewajiban pihak debitur, yang dijamin pemenuhannya seluruhnya atau sampai suatu bagian tertentu, harta benda debitur dapat disita atau dilelang menurut ketentuan-ketentuan perihal pelaksanaan atau eksekusi putusan Pengadilan.176

175

Abdul R.Saliman dkk, Hukum Bisnis untuk Perusahaan,Kencana,Jakarta,2005,hlm17. 176 Ibid.,

Hal | 127


Ditinjau dari sifatnya jaminan penanggungan tergolong jaminan yang bersifat perorangan, yaitu adanya orang pihak ketiga (badan hukum) yang menjamin memenuhi perutangan manakala debitur wanprestasi. Pada jaminan yang bersifat perorangan demikian pemenuhan prestasi hanya dapat dipertahankan terhadap orang-orang tertentu, yaitu si debitur atau penanggungnya.177 Mengenai bentuknya perjanjian penanggungan menurut ketentuan UndangUndang bersifat bebas, tidak terikat oleh bentuk tertentu dalam arti dapat secara lisan, tertulis atau dituangkan dalam akta. Namun demi kepentingan pembuktian, dalam praktek lazim terjadi bahwa bentuk perjanjian penanggungan senantiasa dibuat dalam bentuk tertulis, baik tercantum dalam model-model tertentu dari Bank maupun akta Notaris..178 Seorang penanggung (borg/guarantor) tidak dapat mengikatkan diri untuk lebih, maupun dengan syarat-syarat yang lebih berat daripada perikatannya si berutang. Adapun penanggungan boleh diadakan untuk hanya sebagian saja dari utangnya, atau dengan syarat-syarat yang lebih berat.179 Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penanggungan atau borgtocht diatur dalam Pasal 1820 yang menyebutkan bahwa:Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.180 Berdasarkan pengertian penanggungan yang diatur dalam Pasal 1820 K.U.H Perdata yang menyebutkan bahwa penanggungan adalah adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. Maka dari pengertian pasal tersebut dapat di lihat bahwa kewajiban penanggung untuk melindungi kreditur yaitu pada saat penanggung menyatakan untuk mengikatkan dirinya dalam memenuhi utang debitur bila debitur wanprestasi. Jadi pada saat debitur dinyatakan wanprestasi maka penanggung lah yang selanjutnya berkewajiban untuk melunasi utang debitur tersebut. Kaitannya dengan kepailitan yaitu apabila debitur tidak 177

Sri Soedewi Masjchoen Sofan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum

Jamin 178

Ibid., Subekti, R, Aneka Perjanjian,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.165. 180 R.Subekti dan R.Tjitrosudibio,Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.462. 179

Hal | 128


melaksanakan kewajibannya kepada kreditur, maka salah satu sarana hukum yang dapat dipergunakan bagi penyelesaian utang piutang adalah peraturan tentang kepailitan. Yang pada asasnya setiap kreditur yang tidak terpenuhi piutangnya dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan terhadap seorang debitur dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam peraturan kepailitan yaitu Undang-undang NO.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

2. Cara Pelunasan Kewajiban Penanggung Setelah Debitur Dinyatakan Pailit. Rumusan Pasal 1820 K.U.H Perdata yang menjelaskan tentang nanggungan, maka dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa suatu penanggungan utang adalah perjanjian yang melahirkan perikatan yang bersyarat, yaitu perikatan dengan syarat tangguh sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1253 K.U.H Perdata jo. Pasal 1258 K.U.H Perdata yanng berbunyi : Pasal 1253 “suatu perikatan adalah bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau tidak terjadi nya peristiwa tersebut” Pasal 1258 “jika suatu perikatan tergantung pada suatu syarat bahwa suatu peristiwa akan terjadi di salam suatu waktu tertentu, maka syarat tersebut dianggap tidak ada, apabila waktu tersebut telah lampau dengan tidak terjadinya peristiwa tersebut” “jika waktu tidak ditentukan, maka syarat tersebut setiap waktu dapat terpenuhi, dan syarat itu tidak dianggap tidak ada sebelum ada kepastian bahwa peristiwa itu tidak terjadi” Sebagai perjanjian yang melahirkan perikatan dengan syarat tangguh, maka kewajiban dari penanggung dalam suatu penanggungan utang baru ada pada saat syarat yang disebutkan tersebut terjadi. Syarat tersebut sesuai dengan rumusan Pasal 1820 K.U.H Perdata, sebagaimana dikutip diatas adalah cidera

Hal | 129


janji atau wanprestasi dari debitur dalam perikatan pokok yang dijamin atau ditanggung oleh penanggung tersebut. Dalam Pasal 21 UU No.37 Tahun 2004 menyebutkan bahwa Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit itu diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Pasal 24 ayat (1) menyatakan bahwa debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit sejak tanggal putusan pernyataan pailit itu di ucapkan. Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator, tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitur pailit, maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap debitur pailit, penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit. (Pasal 26 UU No. 37 Tahun 2004). Putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan Pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum keppailitan, harus di hentikan seketika dan sejak itu tidak ada putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitur. Dalam Pasal 1832 K.U.H Perdata menjelaskan bahwa dalam hal debitur telah dinyatakan pailit, maka tidak mungkin lagi bagi kreditur untuk menyita dan menjual untuk kepentingan kreditur sendiri harta kekayaan debitur pailit. Harta kekayaan debitur pailit akan dijual oleh Kurator untuk dibagikan secara merata bagi seluruh kreditur konkuren. C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian analisis pada bab-bab sebelumnya, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Landasan hukum penanggung melindungi kreditur dalam kaitannya dengan kepailitan yaitu diatur dalam ketentuan Pasal 1820-1850 K.U.H.Perdatadan Undang-Undang No.4 Tahun 1998 jo Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang. Dengan ditutupnya perjanjian penanggungan, maka pihak ketiga (penanggung) harus bertanggung jawab untuk melunasi utang debitur dengan memasukkan uang pelunasan ke dalam boedel pailit. Kewajiban ini harus dipenuhi tanpa dapat menggunakan hak istimewa (hak untuk meminta kekayaan debitur disita dan dijual). Hal | 130


2. Cara pelunasan dengan melakukan pembayaran terhadap utang tertanggung (debitur) yaitu dengan menyerahkannya ke kurator. Dengan pembayaran tersebut, penanggung tidak lagi berhadapan dengan kreditur (pemohon pailit). 2. Saran Adapun saran-saran yang dapat penulis kemukakan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Dalam perjanjian penanggungan harus ditegaskan dengan jelas apa yang merupakan kewajiban penanggung terhadap kreditur agar kewajiban itu mempunyai kekuatan hukum yang kuat. Kalau tidak ada perjanjian ada kemungkinan penanggung berkelik bahwa kreditur hanya dapat menagih debitur sesuai ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bukan pihak ketiga. 2. Sebelum memberikan jaminan pribadi/Borgtocht/ Personal Guarantee seseorang hendaknya mengetahui terlebih dahulu apakah debitur yang akan dijaminkan utangnya memiliki aset yang cukup untuk membayarkan utangnya dan apakah debitur tersebut memiliki itikad baik untuk melunasi utangnya, sehingga tidak akan timbul masalah di kemudian hari dan penjamin tidak ikut dipailitkan. 3. Para pihak yang terkait dalam perjanjian pemberian jaminan pribadi/Borgtocht/ Personal Guarantee khususnya penjamin hendaknya melakukan kewajibannya sesuai dengan apa yang diperjanjikan agar tidak masalah dan konflik dikemudian hari.

Hal | 131


DAFTAR PUSTAKA

I. Buku: Amirudin , Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Asikin, Zainal. 1991. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Djumhana, Muhammad.1983. Hukum Perkreditan Kontemporer. Bandung: Alumni. Hartini, Rahayu. 2008.Hukum Kepailitan. Malang: UMM Press. Ibrahim, Jhonny. 2006. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia. Harahap,M Yahya. 1982. Segi-segi Hukum Perjanjian.Bandung: Sinar Grafika. Miru, Ahmadi dan Pati, Sakka. 2011. Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW). Jakarta: RajawalinPers. Muljadi, Kartini dan Widjaja, Gunawan. 2003. Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Nating, Imran. 2004. Peranan Dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Prodjodikoro, R wirjono. 1981. Hukum Perdata Tentang PerjanjianPerjanjian Tertentu. Bandung: Sumur. Remy Sjahdeini, Sultan. 2002. Hukum Kepailitan Memahami Failissementverordening Juncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998.Jakarta: Pusat Utama Grafiti. Saliman, Abdul R dkk. 2005. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan. Jakarta: Kencana. Sinungan, Muchdarsyah. 2000. Dasar-dasar dan Teknik Management Kredit.Jakarta: Bina Aksara. Soedewi, Sri Masjchoen Sofan. 2007. Hukum Jaminan Di Indonesia PokokPokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty Offset. Soekardono. 1960. Hukum Dagang Indonesia Jilid 1. Jakarta:Soeroenga. Subekti,R. 1995. Aneka Perjanjian. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Supramono, Gatot. 1995. Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis. Jakarta: Djambatan. Tje „Aman, Edi Putra. 1985. Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis. Yogyakarta: Liberti. Usman, Rachmadi. 2008. Hukum Jaminan Keperdataan. Jakarta: Sinar Grafika. Hal | 132


Widjaja, Gunawan.2004. Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis. Jakarta: Prenada Media. 2004. Seri Hukum Perikatan, Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung Menanggung. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Usmawadi. 2012. Teknik Penulisan Bidang Hukum(Materi Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum),No XIX (Revisi). Palembang: Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. II. Peraturan perundang-undangan 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terjemahan Subekti PT. Pradnya Paramita. 2. Undang –Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. III. Website http://www.hukumonline.com/klinik/hukum-kepailitan-modernhttp://mknunsri.blogspot.com/2009/10/kepailitan.html

Hal | 133


Kedudukan Masatraining Calon Pekerja Tetap Bank Umum Konvensional Di Kota Lubuklinggau Ditinjau Dari Hukum Ketenagakerjaan Oleh: Risfi Ananda Pratiwi, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. Zulkarnain Ibrahim, SH.,M.Hum dan Arfiana Novera, SH.,M.Hum

Abstrak: Perkembangan perekonomian mengakibatkan semakin banyaknya bank-bank umum konvensional bermunculan, sebagai tempat bagi keamanan lalu lintas pembayaran. Sebagai akibat dari itu, maka bank umum konvensional meningkatkan kinerja pekerja yang mendukung kemajuan kegiatan dari bank umum konvensional tersebut dengan cara mengadakan masa training untuk memberikan pelatihan terhadap pekerja. Selain itu, terdapat ketentuan dalam pelaksanaan masa training yang ditentukan oleh bank bahwa dalam masa training selama 2 (dua) tahun tersebut, apabila pekerja tidak menunjukkan kualitas yang baik maka pekerja tersebut dianggap tidak layak untuk dijadikan pekerja tetap dari bank tersebut. Hal ini menimbulkan persamaan dengan masa percobaan yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang KetenagakerjaanBerdasarkan hal tersebut, timbul permasalahan, yaitu bagaimana perbedaan antara masa training dengan masa percobaan yang ditentukan Undang-Undang Ketenagakerjaan, bagaimana kedudukan pekerja ditinjau dari hak-hak yang pantas diperoleh pekerja dan apa dasar legalitas dari pelaksanaan masa training tersebut. Hak-hak yang diperoleh oleh pekerja training diberikan sesuai dengan perjanjian dan tetap berdasarkan UndangUndang Ketenagakerjaan.Dasar legalitas bagi pelaksanaan training tersebut adalah perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan namun tujuannya yang berbeda yiatu untuk menyeleksi pekerja menjadi pekerja tetap bank umum konvensional. Kata Kunci : Bank Umum Konvensional, Masa Training, Masa Percobaan, Perjanjian Kerja Waktu tertentu.

Hal | 134


A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang sangat membutuhkan setiap hal yang dapat membuat negara ini maju, seperti peraturan maupun sarana dan prasarana untuk mengembangkan negara ini. Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menyatakan Negara Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum. Prof. R. Djokosutomo dalam buku Hukum Tata Negara karangan C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil mengatakan bahwa negara hukum menurut UUD 1945 adalah berdasarkan pada kedaulatan hukum, hukumlah yang berdaulat. Menurut Stahl, unsur-unsur Negara hukum (rechtsstaat) adalah:181 1) perlindungan hak-hak asasi manusia; 2) pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; 3) pemerintahan berdasarkan peraturan perundangundangan; dan 4) peradilan administrasi dalam perselisihan. Ciri dari negara hukum antara lain menjamin perlindungan hak asasi manusia bagi masyarakatnya. 182 Tujuan pembangunan Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat yang adil makmur dan sejahtera. Negara Indonesia merupakan negara kesejahteraan telah dilaksanakan oleh penyelenggara-penyelenggara negara termasuk The Founding Father Republik Indonesia yang telah merumuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 tentang model negara kesejahteraan Indonesia.183 Dalam mendukung tujuan pembangunan di Indonesia, sebenarnya, negara Indonesia memiliki banyak sekali sumber daya alam dan sumber daya manusia yang harus dimanfaatkan untuk mewujudkan semua tujuan pembangunan tersebut. Salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia dan juga berperan untuk mendukung pembangunan di negara Indonesia adalah aspek ekonomi. Bank menjadi salah satu lembaga yang mendukung adanya kegiatan tersebut. Sumber daya manusia juga menjadi salah satu faktor pendukung kemajuan aspek ekonomi untuk Bank. 181

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 3. 182 Mahfud MD, Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hlm. 86. 183 Ajaran Welfare state merupakan bentuk konkret dari peralihan prinsip staatsonthouding, yang membatasi peran Negara dan pemerintah untuk mecampuri kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, menjadi staatsbemoeienis yang menghendaki Negara dan pemerintah terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, sebagai langkah mewujudkan kesejahteraan umum, disamping menjaga ketertiban dan keamanan (rust en orde); Lihat: buku Ridwan HR, Op,Cit., hlm. 15.

Hal | 135


Pemanfaatan sumber daya alam yang ada di Indonesia harus didukung oleh sumber daya manusia yang dipekerjakan. Tenaga kerja tersebut sangat berguna bagi pembangunan bangsa Indonesia sehingga dalam pemanfaatannya harus sesuai dengan hal yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan sehingga tidak menimbulkan hal yang dapat merugikan bagi salah satu pihak. Pendapat pertama negara kesejahteraan juga mendukung perlunya pemanfaatan sumber daya manusia sebagai tenaga kerja yang mendukung kemajuan bangsa Indonesia sehingga hak dan kewajiban tenaga kerja tersebut harus sangat diperhatikan berbagai lembaga yang membutuhkan tenaga kerja tersebut berdasarkan persepsi negara kesejahteraan. Aspek ekonomi tersebut erat kaitannya dengan salah satu sektor penggeraknya sebagai tempat yang menyediakan jasa keuangan. Sebenarnya sistem moneter Indonesia terdiri dari dua yaitu sistem moneter dan sistem lembaga keuangan bukan bank.184 Dalam perkembangannya, ternyata lembaga perbankan sangat mendukung perekonomian bangsa Indonesia. Sistem keuangan memainkan peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan perkonomian suatu negara secara berkelanjutan dan seimbang. 185 Satu cara yang dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan dalam menyeleksi dan merekrut pekerja-pekerjanya adalah dengan mengadakan masa training bagi calon pekerja yang sudah melewati beberapa tes masuk perusahaan namun belum diterima sebagai pekerja tetap dari perusahaan. Masa training dalam bahasa Indonesia dapat didefinisikan sebagai masa pelatihan. William J MC Larny dan William M. Berliner memberikan definisi atau pengertian pelatihan sebagai suatu sistem yang berkesinambungan atas pengembangan semua pekerja dalam suatu organisasi sedangkan House memberikan definisi atau pengertian pelatihan sebagai usaha untuk meningkatkan hasil kerja pekerja masa sekarang atau yang akan datang dengan menambah kemampuan pekerja yang dilaksanakan melalui belajar, biasanya dengan mengubah sikap pekerja atau penambahan kemampuan dan pengetahuan pekerja dan Simamora memberikan definisi atau pengertian pelatihan atau training sebagai proses pembelajaran yang melibatkan perolehan keahlian, konsep, peraturan dan sikap untuk meningkatkan kinerja pekerja.186 Masa training dilakukan dengan tujuan untuk 184

Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.42. 185 Ibid.,hlm.41. 186 Pengertian pelatihan dalam (http://id.shvoong.com/business-management/humanresources/2186825-pengertian-pelatihan/) diakses tanggal 21 November 2012 pukul 19.00.

Hal | 136


pengenalan pekerja terhadap perusahaan dan juga meningkatkan kualitas kerja pekerja yang bersangkutan.187 Berdasarkan wawancara dengan beberapa pekerja lembaga perbankan yang pernah menjalani masa training sebelum menjadi pekerja bank, biasanya tenaga kerja tersebut harus menjalani masa training yang ditentukan oleh bank umum konvensional tersebut. Masa training biasanya ditempuh oleh calon pekerja bank umum konvensional tersebut selama dua tahun dengan syarat mereka dapat memperoleh nasabah dalam jumlah yang sudah ditentukan dalam peraturan perusahaan mengenai training yang ditetapkan oleh bank tersebut. Jika para calon pekerja bank umum konvensional tersebut tidak memenuhi persyaratan tersebut maka mereka ditolak untuk menjadi pekerja bank umum konvensional tersebut. Tentunya banyak sekali kerugian apabila melihat lamanya waktu masa training tersebut. Selain kerugian waktu yang diterima oleh calon pega tersebut dengan ketidakpastian apakah mereka diterima sebagai pekerja bank umum konvensional tersebut atau tidak, calon pekerja juga tidak diperbolehkan perusahaan untuk meninggalkan perusahaan tersebut dalam masa training. Jika hal ini dilakukan oleh calon pekerja tersebut, maka calon pekerja tersebut akan dikenakan sanksi. Hal ini tentunya dirasakan sangat tidak adil bagi calon pekerja karena mereka harus menunggu dalam jangka waktu yang lama tersebut tanpa kepastian dari lembaga perbankan. Hal tersebut memang dirasakan sangat berat bagi para calon pekerja bank umum konvensional tersebut. namun, bank umum konvensional tetap berdalih para calon pekerja bank umum konvensional membuat ketentuan tersebut berdasarkan kesepakatan para pihak walaupun dengan standart contract. Perjanjian kerja yang diadakan pihak tenaga kerja dengan pemberi kerja atau anggaran perusahaan yang disepakati oleh pihak tenaga kerja untuk melaksanakan masa training tersebut adalah dasar lahirnya hubungan kerja. Pasal 1601 KUHPerdata memberikan pengertian perjanjian kerja yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan definisi perjanjian kerja sebagai 187

Pentingnya Pelatihan Karyawan dalam (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789 /30836/5/chapter%201.pdf) diakses tanggal 26 Desember 2012 pukul 20.15.

Hal | 137


suatu perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak.188 Pengaturan masa training tidak hanya berkepentingan ketenagakerjaan tetapi juga meliputi kepentingan lembaga perbankan.

untuk

2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kedudukan perbedaan masa training dengan masa percobaan yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan? 2. Bagaimana kedudukan pekerja peserta training dikaitkan dengan perlindungan hak-hak pekerja seperti yang diatur di dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ? 3. Apabila kedudukan peserta training tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dimaksud dalam persoalan nomor 1 dan senyatanya peserta training itu bertindak untuk dan atas nama bank pelaksana training, apakah dasar legalitas yang lain bagi pelaksanaan training tersebut? 3. Kerangka Teori Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang dimaksud bank adalah badan usaha yang mengimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.189Berdasarkan pasal 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Fungsi utama perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. 190Pasal 4 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Perbankan 188

Peraturan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara , Lembaran Negara Nomor 39 Tahun 2003, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279, Pasal 1 angka 14. 189 Peraturan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Lembaran Negara Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790, Pasal 1 angka 2. 190 Peraturan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Op cit., Pasal 3.

Hal | 138


Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan rakyat banyak.191 Masa training dilakukan dengan tujuan untuk pengenalan pekerja terhadap perusahaan dan juga meningkatkan kualitas kerja pekerja yang bersangkutan.192Masa training bertujuan agar calon kayawan mengerti kode etik seorang pekerja bank sehingga akan memajukan bank tersebut dengan pelayanannya. Pentingnya peningkatan kompetensi pekerja yang terus menerus kemudian mendorong perusahaan memberikan pendidikan dan pelatihan/training yang memampukan pekerjanya untuk memahami kebutuhan nasabah secara tepat agar dapat menawarkan dan menjual produk perbankan yang sesuai. Pentingnya peran training untuk mengembangkan sektor perbankan ritel ini semakin disadari oleh kalangan perbankan Indonesia, terutama oleh bank�bank milik negara yang selama ini cenderung kurang menaruh perhatian terhadap hal tersebut. 193 Masa training menjadi cara untuk memberikan pendidikan sekaligus pelatihan kepada pekerja agar mengerti dan memahami serta melaksanakn kode etik yang terdapat dalam penjelasan diatas serta memberikan masa yang bertujuan untuk merekrut pekerja bank maka sebelum merekrut pekerja, bank umum konvensional menerapkan masa training sebagai masa dari tes terkahir untuk menentukan apakah seseorang tersebut layak menjadi pekerja atau tidak. Setelah training diberikan, tentunya perusahaan perlu mengetahui sejauhmana kontribusi training tersebut terhadap perubahan atau peningkatan kinerja pekerja maupun perusahaan secara keseluruhan. 194 Hal ini penting karena disadari bahwa belum tentu training yang diberikan kemudian selalu memberikan hasil yang efektif sesuai dengan yang diharapkan perusahaan sehingga perlu dilakukan evaluasi untuk mengukur sejauh mana efektivitas training tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai.195

191

Peraturan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, Op,Cit., Pasal 4. 192 Supra Foonote No. 13. 193 Stefan Tupamahu dan Budi Sutjipto, Op, Cit., hlm. 2. 194 Ibid., hlm. 1 195 Ibid., hlm. 2.

Hal | 139


B. PEMBAHASAN 1. Perbedaan Masa Percobaan Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Ketenagakerjaan Dengan Masa Training Pada Bank Umum Konvensional. Training diberikan sebagai pelatihan kepada beberapa tenaga kerja yang telah melewati tahap seleksi untuk menjadi pekerja.Training pada dasarnya adalah sebuah pelatihan dan pendidikan bagi pekerja yang sudah melewati tahap seleksi sehingga pekerja tersebut harus dididik dan dilatih agar mengerti tugas – tugasnya sebagai pekerja yang ditempatkan sesuai posisi masingmasing.196 Masa training pada bank umum konvensional bukan bertujuan untuk menyeleksi pekerja baru melainkan untuk memberikan pelatihan terhadap tenaga kerja yang sudah melewati dan lulus tahap seleksi pekerja bank umum konvensional, namun apabila pada saat periode masa training, para tenaga kerja tersebut tidak menunjukkan kualitas yang baik, maka tenaga kerja tersebut tidak diterima sebagai pekerja bank umum konvensional.197 Tabel 1. Perbedaan Masa Percobaan dengan Masa Training yang Diadakan Bank Umum Konvensional PERBEDAAN NO Masa Percobaan Masa Training 1. Masa percobaan bertujuan Masa training bertujuan untuk untuk menyeleksi sumber daya memberikan pendidikan dan manusia yang akan diangkat pelatihan bagi sumber daya manusia menjadi pekerja baru yang sudah lulus tahap seleksi pekerja dan menyeleksi kelayakan pekerja yang dipekerjakan berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu untuk menjadi pekerja tetap. 2. Masa percobaan diadakan Masa training diadakan dengan tanpa memberikan pendidikan memberikan pendidikan dan dan pelatihan dan setelah pelatihan terlebih dahulu. 196

Disarikan dari hasil wawancara denganAlvian Reza Azwae, karyawan bagian remedial bank muamalat syariah Palembang, Lubuklinggau Pada 22 Mei 2013 Pukul 09.00-09.20 WIB. 197 Disarikan dari hasil wawancara denganAlvian Reza Azwae, karyawan bagian remedial bank muamalat syariah Palembang, Lubuklinggau Pada 22 Mei 2013 Pukul 09.00-09.20 WIB.

Hal | 140


3.

4.

3.

4.

diadakan sumber daya manusia tersebut akan langsung mengetahui apakah layak diangkat menjadi pekerja atau tidak. Masa percobaan diadakan tanpa adanya tahapan-tahapan tertentu.

Masa percobaan diadakan selama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang 3 (tiga) bulan. Masa percobaan diadakan tidak boleh melebihi 6 (enam) bulan Masa percobaan diberlakukan pada perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan tidak diperbolehkan pada perjanjian kerja waktu tertentu

Hak-hak yang didapat oleh tenaga kerja selama masa percobaan adalah hak yang dicantumkan dalam perjanjian dan setelah diangkat menjadi pekerja, maka akan mendapat gaji yang sama dengan pekerja lainnya sesuai dengan fungsi dan jabatan masing-masing.

Masa training diakan dalam beberapa tahapan yaitu : a. Training pendidikan dan pelatihan b. On the job training c. On the service training. Masa training diadakan selama 2 (dua) tahun.

Masa training diberlakukan pada perjanjian kerja waktu tertentu. Pada saat pekerja dipekerjakan berdasarkan waktu tertentu yang ditentukan dalam perjanjian dilihat dan ditentukan kelayakan dan kemampuan pekerja dalam bekerja. Hak-hak yang didapat oleh tenaga kerja selama masa training adalah hak yang dicantumkan dalam perjanjian dan pada saat dikontrak menjadi pekerja dalam waktu 2 (dua) tahun, gaji yang diberikan biasanya sebesar 80% dari gaji yang diterima pekerja tetap.

2. Kedudukan Pekerja Peserta TrainingDikaitkan dengan Perlindungan HakHak Pekerja Seperti yang Diatur di Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Masa training merupakan masa pemberian pendidikan dan pelatihan bagi pekerja-pekerja yang sudah melewati tahap seleksi. Setelah masa training dilakukan, maka pekerja akan dikontrak selama 2 tahun. Selain sebagai pekerja yang menjalani pekerjaan berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu, pekerja Hal | 141


tersebut menjalani masa yang dikenal dengan istilah on the job training. Tentu saja, berdasarkan perjanjian tersebut, pekerja menerima hak dan juga kewajiban yang harus dilaksanakan begitu juga perusahaan menerima hak dan kewajiban yang harus dijalani Berdasarkan peraturan perusahaan yang berlaku, pekerja berhak atas fasilitas-fasilitas seperti :198 1. Bantuan uang makan berdasarkan kehadiran pekerja pada hari kerja sesuai ketentuan yang berlaku di perusahaan. 2. Jamsostek sesuai kententuan perusahaan. 3. Bantuan rawat jalan/Outpatient sesuai fasilitas untuk jenjang jabtan Asisten pada perusahaan. 4. Bantuan rawat Inap sesuai fasilitas kesehatan yang diatur di perusahaan. 5. Cuti tahunan selama 12 (dua belas) hari kerja untuk masa kontrak 12 (dua belas) bulan yang dapat diajukan setelah menjalani masa paling sedikit 6 (enam) bulan masa kontrak dan diberikan proporsional sesuai dengan masa kontrak yang telah dijalani. Pelaksanaan cuti mengau pada ketentuan yang berlaku di perusahaan. 6. Ongkos perjalanan cuti tahunan (OPCT) sebesar 1 (satu) bulan penghasilan, dibayarkan pada akhir masa kontrak 12 (dua belas) bulan yang pembayarannya mengacu pada ketentuan perusahaan. 7. Tunjangan hari raya (THR) sesuai dengan ketentuan yang berlaku di perusahaan. 8. Tunjangan pajak sesuai tarif pajak penghasilan untuk wajib pajak yang memiliki NPWP pribadi atas penghasilan dan fasilitas yang menjadi obyek pajak penghasilan. 9. Bonus atau jasa produksi atau insentif (apabila ada) sesuai ketentuan perusahaan.

198

Perjanjian Kerja Asisten Pada PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Tanggal 14 Desember 2011.

Hal | 142


3. Dasar Legalitas Bagi Pelaksanaan Masa Training. Pelaksanaan masa training terhadap setiap pekerja baru untuk memberikan pendidikan maupun pelatihan sekaligus untuk melihat apakah pekerja tersebut dapat diangkat sebagai pekerja tetap atau tidak maka pelaksanaan training harus memiliki dasar legalitas yang harus dengan tegas memastikan hak-hak pekerja dilindungi.Hal ini dikarenakan pada masa pelaksanaan training, setiap pekerja sudah berkewajiban melaksanakan pekerjaan dan mematuhi peraturan termasuk untuk tidak meninggalkan bank umum konvensional selama masa training berlangsung. Tentunya hal tersebut berakibat pekerja tersebut tidak akan mendapatkan pekerjaan selain pekerjaan yang diberikan oleh bank umum konvensional. Dasar legalitas pelaksanaan training bagi calon pekerja adalah berdasarkan pada Buku pedoman Perusahaan dimana di dalamnya mengatur mengenai masa training bagi calon pekerja. 199 Masa training dengan kontrak kerja selama 1-2 tahun tersebut sudah memiliki dasar legalitas yang pasti yaitu Pasal 52 sampai dengan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang mengatur mengeai perjanjian kerja waktu tertentu.200Hal ini dikarenakan pekerja dipekerjakan berdasarkan waktu tertentu yaitu seama 1-2 tahun.Waktu tersebut sudah diatur secara tegas dalam kontrak kerja yaitu selama 2 tahun yang tidak menyimpang dari ketentuan Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

C. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Masa training berbeda dengan masa percobaan yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Masa training dilaksanakan bagi tenaga kerja yang telah melewati dan lulus tahap seleksi menjadi pekerja. Sedangkan masa percobaan dilakukan pada tenaga 199

Disarikan dari hasil wawancara dengan Tonny abar Pribadi Sinaga Pimpinan Bank SUMSELBABEL Cabang Lubuklinggau pada 29 Mei 2013 Pukul 09.00-10.00 WIB. 200 Disarikan dari hasil wawancara dengan Agussasi Kabid Pengawasan, Hubungan Industrial dan Syarat kerja Dinas Ketengakerjaan dan Transmigrasi Kota Lubuklinggau di kantor Kabid Pengawasan, Hubungan Industrial dan Syarat Kerja Dinas Ketenagakerjaan Kota Lubuklinggau pada 29 Mei 2013 pukul 09.00-10.00 WIB.

Hal | 143


kerja, untuk menyeleksi tenaga kerja calon pekerja dalam suatu pekerjaan. Setelah masa training dilakukan, maka akan ada fase masa on the job training dan on the service training yang juga merupakan bagian dari fase training dan pada masa itu, pekerja dikontrak selama dua tahun artinya pekerja bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu. Masa percobaan tidak dapat dilakukan pada perjanjian kerja waktu tertentu, melainkan hanya dilakukan terhadap perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Masa training bukan merupakan cara untuk menyeleksi sumber daya manusia yang akan menjadi pekerja, melainkan untuk menyeleksi kelayakan pekerja yang sudah bekerja, berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu untuk diangkat menjadi pekerja tetap. Hak-hak pekerja dalam masa training diberikan sesuai dengan perjanjian kerja yang disepakati dan memperhatikan peraturan perundangundangan yang berlaku. Hak-hak pekerja pada masa training yang diberikan seperti: bantuan uang makan, Jamsostek, asuransi kesehatan, tunjangan hari raya, tunjangan pajak dan ongkos perjalanan apabila pekerja ditetapkan perusahaan untuk mengadakan pekerjaan lapangan. Namun, gaji pekerja tersebut sebesar 80% (delapan puluh persen) dari gaji pekerja tetap. 2. Masa training tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini dikarenakan tujuan masa training yang berbeda dengan masa percobaan. Masa training bertujuan untuk memberikan pendidikan dan pelatihan, sekaligus untuk menyeleksi kelayakan pekerja untuk diangkat menjadi pekerja tetap. Hal ini ditetapkan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu, masa training juga diadakan setelah perusahaan bank umum konvensional mengadakan perjanjian kerja waktu tertentu terhadap pekerja yang menjalani masa training selama 2 (dua) tahun. Ketentuan mengenai perjanjian kerja waktu tertentu juga sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Pasal 52 sampai dengan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Hal | 144


2. Saran Beberapa saran yang dapat diberikan terhadap permasalahan dalam skripsi ini antara lain: 1. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa masa training tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dikarenakan pada saat masa training, tenaga kerja tersebut sudah menjadi pekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu selama 2 (dua) tahun. Hal ini berarti tujuan perjanjian kerja waktu tertentu diadakan untuk mempekerjakan pekerja sekaligus mengadakan masa training yang bertujuan menyeleksi pekerja untuk diangkat menjadi pekerja tetap. Kemudian untuk masalah hak pekerja yang menerima gaji sebesar 80% (delapan puluh persen) dari gaji pekerja tetap yang tidak diatur dalam peraturan perundangundangan. Selain itu, Terdapat permasalahan terhadap waktu dalam pelaksanaan masa training. Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya terdapat peraturan perundang-undangan yang lebih tegas mengatur mengenai tujuan perjanjian kerja waktu tertentu, sehingga tidak terjadi ketidakjelasan mengenai perjanjian kerja waktu tertentu dan juga mengatur 2. Selain itu, sudah seharusnya Pemerintah ikut andil dalam mengawasi jalannya masa training. Hal tersebut sesuai dengan wewenang yang diberikan kepada Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ada baiknya pengawasan dilakukan dengan mengirim perwakilan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi ke setiap bank umum konvensional yang mengadakan masa training, sehingga pemerintah dapat mengawasi jalannya masa training dan mencegah adanya pelanggaran hak-hak pekerja baru. Selain itu, pengawasan terhadap isi kontrak disesuaikan dengan hak-hak yang diterima pekerja, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku juga wajib dilakukan, untuk mencegah adanya hak-hak yang tidak sesuai diberikan terhadap pekerja baru yang sedang menjalani masa training.

Hal | 145


DAFTAR PUSTAKA A. Buku dan Artikel : Abdul

Khakim. 2009. Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Adrian, Sutedi. 2009. Hukum Perburuhan. Jakarta: Sinar Grafika. Asri Wijayanti. 2010. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar Grafika. Budi Sudjonno. 2012. Pengaruh Outbound Management Training Terhadap Potensi Organisasi. Hidayat, Muharam. 2006. Hukum Ketenagakerjaan Serta Pelaksanannya di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. H.Mulady. 2007. Hak Asasi Manusia Hakekat Konsep Dan Implikasinya Dalam Presepektif Hukum Dan Mayarakat. Bandung: PT. Refika Aditama. Joni, Emirzon. 2002. Hukum Surat Berharga dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT. Prenhalindo. Kasmir. 2002. Dasar-Dasar Perbankan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Kasmir. 2000. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Lalu, Husni. 2005. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Lalu Husni. 2012. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia Edisi Revisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Munir Fuady. 2003. Hukum Perbankan Modern. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Muhammad, Djumhana. 2003. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PTCitra Aditya Bakti. S.Djoni Gazali dan Rachmadi Usman. 2010. Hukum Perbankan. Jakarta: Sinar Grafika. Siswanto, Sutojo. 2007. Analisis Kredit Bank Umum. Jakarta: PT. Damar Mulia Pustaka. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Pers. Stefan Tupamahu dan Budi W. Soetjipto. 2012. Artikel Pengukuran Return On Training Investment. Widjanarto. 2007. Hukum Dan Ketentuan Perbankan Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Zainal Asikin dkk. 2012. Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Hal | 146


B. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/33/KEP/DIR/ tentang Bank Umum tanggal 12 Mei 1999. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/KEP/DIR tanggal 30 April 1997 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank. C. Internet: I Made Winarta, Kode Etik Bankir Indonesia dalam (http://www.dki.perbarindo.org/artikel_detail.php?no=3) Jurnal Kediri, (http://jurnal.unik-kediri.ac.id/perjanjian-kerja-waktu-tertentutinjauan-dari-perspektif-juridis-sosiologi-reflektif-kritis/) Pengertian Pelatihan Pekerja, (http://id.shvoong.com/business-management/humanresources/2186825-pengertian-pelatihan/) Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu, http://www.hukumtenagakerja.com/perjanjian-kerja-untuk-waktu-tidaktertentu/, Pentingnya Pelatihan Untuk Pekerja, (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30836/5/Chapter%201.pdf) D. Dokumen-Dokumen: Perjanjian Kerja Asisten Pad PT. Bank Negara Indonesia (PERSERO) Tbk Nomor: WPL/7. 2/0282, Tanggal 14 Desember 2011.

Hal | 147


Isi Iklan Sebagai Dasar Untuk Mengajukan Gugatan Terhadap Pelaku Usaha Oleh: Sainah Anggun Kumala Sari, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. Amrullah Arpan, SH.,SU dan H. Albar Sentosa Subari, SH.,SU

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tiada hari tanpa iklan, memang inilah kenyataan yang kita hadapi dewasa ini. Ketika terbangun dari tidur dini hari hingga ketempat tidur hingga larut malam, telinga, maupun mata kita pasti akan dihadapkan pada berbagai bentuk iklan dengan warna-warni dan kalimat-kalimat yang serba menjanjikan. Aneka ragam bentuk dan gaya iklan menawarkan berbagai kemudahan, kesenangan, kenikmatan dan gaya hidup mewah dengan janji didapatkan dalam sekejap, seakan-akan menjadi menu yang mau tidak mau, suka tidak suka harus dilahap mata dan telinga kita.201 Lebih lanjut, Liliweri mengemukakan bahwa perkembangan iklan dari masa ke masa telah merefleksikan dunia kehidupan manusia. Iklan surat kabar, majalah, radio, televisi dapat menunjukkan seberapa jauh relasi sosial, ekonomi, bisnis dari media dengan pemasang iklannya dan juga hubungan media dengan masyarakat. Iklan ini sekaligus memberikan gambaran tentang hasil kebudayaan serta peradaban umat manusia yaitu budaya ekonomi, pemasaran, konsumsi, maupun persaingan dan sebagainya. Apalagi pemasang iklan berusaha mengikuti perubahan dan perkembangan teknologi suatu media. Penggunaan media yang biasanya dipilih para pemasang iklan itu biasanya dipertimbangkan media mana yang memiliki kemampuan menyampaikan informasi kepada khalayak secepat-cepatnya dengan harga yang semurah-murahnya dengan teknik dan daya penampilan iklan yang berkualitas tinggi.202 Periklanan adalah suatu alat penting yang digunakan oleh badan usaha untuk melancarkan komunikasi persuasif terhadap pembeli dan masyarakat yang menjadi sasaran. Komunikasi persuasif terhadap iklan itu sendiri bersifat tidak 201

Haryo S Martodirdjo, Dampak Periklanan Terhadap Kehidupan Masyarakat, Jakarta: CV.Bupara Nugraha, 1997., hlm 2 202 Ibid hlm 6

Hal | 148


langsung. Susanto mengemukakan bahwa iklan adalah setiap penyampaian informasi tentang barang ataupun gagasan yang menggunakan media nonpersonal yang dibayar 203 . Pengertian seperti ini menerangkan bahwa kegiatan periklanan mengandung unsur penyewaan ruang atau waktu dari suatu media massa karena ruang dan waktu memang dipergunakan oleh periklanan untuk menyebarkan informasi itu pada umumnya harus dibeli. Penyebaran informasi melalui media itulah yang membawa sifat iklan yang non personal atau tidak bertatap muka yakni dalam suatu iklan melibatkan media massa ( TV, radio, majalah, koran) yang dapat mengirimkan pesan kepada sejumlah besar kelompok individu pada saat bersamaan. Sehingga dapat disimpilkan bahwa sifat non personal dari iklan tersebut berarti pada umumnya tersedia kesempatan untuk mendapatkan umpan balik yang segara dari penerima pesan (kecuali dalam hal direct response advertising). Sebelum pesan iklan dikirimkan, pemasangan iklan harus betul-betul mempertimbangkan bagaimana audiensi akan menginterpretasikan dan memberikan respons terhadap pesan iklan yang dimaksudkan.204 Untuk mengiklankan suatu produk, kini bisa dilakukan hampir segala cara, lewat media cetak (surat kabar, majalah, tabloid, selebaran) maupun media elektronik (televisi nasional maupun swasta, radio, film layar lebar, atau dengan cara paling canggih dewasa ini yakni lewat tele-shopping yang menungkinkan terjadi transaksi jarak jauh dengan terlebih dahulu dilakukan penayangan iklan produk tertentu). 205 Sehingga untuk memasarkan produknya perusahaan akan melakukan berbagai macam cara dan salah satunya adalah lewat jalur promosi dan Promosi merupakan bagian dari suatu aktivitas pemasaran yang sebenarnya bertujuan untuk mengkomunikasikan mengenai keunggulan produk sehingga menarik minat konsumen untuk membeli sehingga lewat jalur promosi inilah perusahaan dituntut untuk kreatif sehingga produk yang dijual memiliki merek (Brand) yang kuat dibenak konsumen. Ada banyak sekali cara yang digunakan

203

Susanto S Astrid, Komunikasi dalam Teori dan Praktek, Bandung: Binacipta, 1977.,

hlm 18 204

Morissan, Periklanan: Komunikasi Pemasaran Terpadu, Jakarta:Kencana, 2010.,

hlm 18 205

Haryo S Martodirdjo, Dampak Periklanan Terhadap Kehidupan Masyarakat, Jakarta: CV.Bupara Nugraha, 1997., hlm 2

Hal | 149


dalam promosi dan salah satunya adalah periklanan karena iklan adalah bagian dari promosi.206 Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga menimbulkan berbagai dampak termasuk keadaaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad baik.Para produsen mempunyai peran melakukan aktivitas produksi. Produksi dimaknai sebagai upaya menghasilkan kekayaan melalui eksploitasi manusia terhadap berbagai sumber daya yang ada di lingkup alam sekitarnya 207 . Kita dapat pula mengartikan produksi sebagai proses untuk menghasilkan atau menambah nilai guna suatu barang atau jasa dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada. Dalam hal kualitas produk, para produsen harus dapat menjamin bahwa mutu yang dijanjikan dalam informasi atau iklan tentang produk itu memang sesuai dengan kenyataan. Produk yang sudah tidak layak dan bahkan mungkin membahayakan keselamatan, misalnya makanan, minuman, serta obat yang telah kedaluwarsa tidak boleh dijual kepada konsumen. Begitupun bahan-bahan baku yang digunakan haruslah dipilih dari materi yang tidak menimbulkan bahaya. Jika tidak mungkin akan menimpulkan suatu bahaya sehingga upaya untuk memperkecil ataupun meniadakan harus diupayakan sebisa mungkin. Dampak buruk yang lazimnya terjadi, yakini menyangkut suatu kualitas atau mutu barang, suatu informasi yang tidak jelas bahkan yang dapat dikatakan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.208 Sehingga tidak dapat disangka lagi bahwa produk (baik barang maupun jasa) dapat juga mengandung dampak negatif sebagaimana yang disebutkan di atas, baik karena perilaku produsen maupun sebagai akibat dari perilaku konsumen itu sendiri, misalnya karena perilaku dari produsen ataupun karena ketidaktahuan dari konsumen. Karena itu persoalan perlindungan konsumen bukan hanya pada pencarian siapa yang bersalah dan apa hukumannya jika terjadi hal demikian, melainkan juga menyangkut hal pendidikan terhadap konsumen dan penyadaran kepada semua pihak tentang perlunya keselamatan dan keamanan di dalam berkonsumsi,

206

Kasali,Rhenald, Manajemn Periklanan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992., hlm

10 207

Agustrijanto, Seni Mengasah Kreatifitas dan Memahami Bahasa Iklan, Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya, 2001., hlm 2 208 Sri Redjeki Hartono, makalah�Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen� dalam buku Hukum Perlindungan Konsumen, ibid., hlm 6

Hal | 150


seperti cacat, terkena penyakit, ataupun bahkan meninggal atau dari kerugian yang menimpa harta bendanya209. Dalam rangka untuk melindungi terhadap konsumen, pengawasan kualitas mutu produk yang diiklankan di media televisi baik oleh produsen atau pelaku usaha, pihak stasiun televisi ataupun pemerintah harus dilakukan secara seksama. Oleh karena itu kita harus mengetahui iklan yang baik menurut teori AIDCA yakni Menurut Kasali Terdapat beberapa pendapat mengenai iklan yang bagus. Iklan yang bagus paling tidakmemenuhikriteriarumus yang disebut AIDCA. AIDCA itumerupakansingkatandarirumusanelemen-elemen210: 1. Attention (perhatian) 2. Interest (minat) 3. Desire (kebutuhan) 4. Conviction (keinginan) 5. Action (tindakan) Berdasarkan teori di atas maka berdasarkan pengamatan penulis pada tanggal 05 Maret 2013 pada iklan acara Go Spot Jam 06.30 Wib dengan kategori Acara gosip pada siaran TV Nasional RCTI didapatkan iklan kosmetik yang yang ditayangkan di TV yakni Pon‟s Clear Solusion Anti Bakteri Facial Scrub, di dalam iklan tersebut mengatakan bahwa “ Pon’s Clear Solusion Anti Bakteri Facial Scrub 99% menghilangkan bakteri penyebab jerawat seketika, ga ada lagi jerawat, bye-bye jerawat dengan Clear Solusion Anti Bakteri Facial Scrub”. Dalam Isi iklan Ini terkesan berlebihan karena menggunakan kata “seketika”, namun dengan itulah salah satu cara untuk mempengaruhi dan membujuk para konsumen untuk membeli dan memakai produk yang diiklankan tersebut. Sehingga para konsumen lebih dituntut untuk lebih pintar dalam menggunakan produk iklan. Selain itu juga memberikan edukasi pada pengguna kosmetik untuk berhati-hati memilih kosmetik. Iklan yang baik adalah iklan yang dapat diterima oleh masyarakat, sesuai dengan nilai budaya masyarakat. Kode Etik dalam Periklanan dan Undang209

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.2006.hlm 5 210 Kasali, Rhenald. “Manajemen Periklanan”. Jakarta:Pustaka Grafiti. 1995., hlm: 83:86

Hal | 151


undang tentang perlindungan konsumen merupakan kesepakatan yang memcerminkan kepentingan seluruh masyarakat. Kode etik periklanan antara lain menyatakan : “Apabila diminta oleh konsumen, maka naik Perusahaan Periklanan, Pengiklan, maupun media harus bersedia untuk memberikan penjelasan mengenai suatu iklan tertentu�. Kode etik tersebut tampak bahwa suatu konsumen berada pada posisi yang terhormat dan memiliki hak untuk bertanya atau mempertanyakan sesuatu, baik media, produsen ataupun biro ikla dan pihak ditanya wajib memberikan jawaban.211 Hal-hal penting dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang menyatakan bahwa Perusahaan iklan dilarang memuat iklan : a. yang berakibat merendahkan suatu martabat agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama dan bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat; b. minuman keras, psikotropika, narkotika dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok. Oleh karena itu, dengan adanya hal tersebut maka para pihak produsen yang melakukan periklanan memberikan perhatian lebih kepada konsumen. Dalam hal ini para pihak periklanan haruslah jujur. Dalam pasal 8 ayat (1) huruf (f) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam, label, etiket, iklan, keterangan dan promosi penjualan barang dan/jasa tersebut.212 Atas dasar itu timbullah keinginan untuk meneliti dan mengkaji secara mendalam serta membahas dalam tulisan skripsi yang berjudul ISI IKLAN SEBAGAI DASAR UNTUK MENGAJUKAN GUGATAN TERHADAP PELAKU USAHA.

2. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas,yang menjadi permasalahan pada penulisan skripsi ini adalah 211

Kasali,Rhenald, Manajemn Periklanan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992, hlm 35 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

212

Hal | 152


1. Apakah Pelaku Usaha dapat digugat atau mempertanggungjawabkan apabila konsumen dirugikan akibat dari pemakaian benda yang tidak sesuai dengan isi iklan di media? 2. Apakah Pelaku Usaha yang demikian telah melakukan wanprestasi atau perbuatan melanggar hukum bilamana isi iklan tersebut tidak sesuai dengan yang diiklankan? 3. Kerangka Teori 1. Pengertian Iklan sarana yang sering dilakukan oleh suatu perusahaan. 213 Perusahaan itu akan membeli ruang, jam tayang ataupun korang/majalah. Tentu biaya yang digunakan sangat tergantung dari jam berapa ditayangkan, di halaman berapa ditempatkan, durasi, luas/jumlah kata, serta adanya suatu warna atau tidak. Iklan jelas membutuhkan biaya yang besar. Tidak saja dari penayangan dan pemuatannya saja, tetapi juga proses pembuatannya 2. Jenis Iklan Secara teoritis iklan terdiri atas dua jenis iklan yakni iklan layanan masyarakat dan iklan standar. Yang dimaksud dengan Iklan standar adalah iklan yang dapat ditata secara khusus untuk keperluan memperkenalkan suatu barang maupun jasa pelayanan untuk konsumen melalui sebuah media dan Iklan layanan Masyarakat yaitu suatu jenis iklan yang bersifat nonprofit, jadi iklan layanan masyarakat ini tidak mencari keuntungan akibat pemasangan suatu iklan kepada masyarakat. 3. Tujuan iklan Tujuan langsung periklanan yakni :214 a. Menarik perhatian masyarakat untuk membeli barang barang dan/atau jasa yang dijual ( Capture attention ) b. Mempertahankan perhatian yang telah ada (=hold attention ) c. Menggunakan atau memakai perhatian yang telah ada untuk menggerakkan calon konsumen agar bertindak (make useful lasting impressions)

213

Nurudin., Ibid., hlm 23 Phil Astrid S.Susanto, Komunikasi dalam teori dan praktek, jilid I, Bandung: PT Rindang Mukti, 1974, hlm 23 214

Hal | 153


B. PEMBAHASAN 1. Pertanggung Jawaban Pelaku Usaha Kepada Konsumen Terhadap Isi Iklan Yang Tidak Benar Pemasaran sangat besar peranannya dalam meningkatkan penjualan produk barang dan jasa. Apalagi dalam era perdagangan bebas, kita dituntut untuk memproduksi barang dan jasa yang kompetitif terutama di pasaran nasional. Itu berarti para pengusaha ataupun produsen sangat dituntut agar lebih bersikap kreatif dalam meningkatkan penjualan produknya baik barang maupun jasa. Dalam mewujudkan produk yang kompetitif di pasaran tersebut, peranan periklanan akan semakin besar. Menurut Yusuf Sofie, Produk yang dihasilkan perusahaan periklanan berupa iklan, diharapkan mampu memberikan kepuasaan bagi pengusaha pengiklan (produsen, distributor, supplier, retailer), sekaligus juga bagi para konsumen (akhir) suatu produk barang/jasa yang diiklankan.215 Beberapa hal penting yang berkaitan dengan tata krama periklanan di turunkan di bawah asas-asas periklanan sebagai berikut: 216 a. Iklan harus jujur, bertanggung jawab, dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku; b. Iklan tidak boleh menyinggung perasaaan dan/atau merendahkan martabat agama, tata susila, adat, budaya, suku, dan golongan; c. Iklan harus dijiwai oleh persaingan yang sehat. Perusahaan iklan maupun produsen/ pengiklan harus bertanggungjawab dengan apa yang diiklankan. Menurut M. Erwin dan Amrullah Arpan Mengutip pendapat Emmanuel Leunas ( 1906-1995) dengan ungkapan “ Respondeo Ergo Sum� (aku bertanggung jawab) yang artinya aku ada dengan adanya tanggung jawab. Dengan demikian, orang bertanggung jawab yaitu kewajiban untuk memikul akibat dari perbuatan hukumnya.217 Seperti yang dikemukan Oermar Seno Adji yang dikutip oleh Yusuf Sofie, dalam kata : “tanggung jawab� terkandung dua aspek, yaitu

215

Yusuf Sofie, Perlindungan Konsumen dan instrumen-instrumen hukumnya, Yogyakarta: PT. Citra Aditya Bakti., 2003., hlm141 216 Ibid., hlm 250 217 M. Erwin dan Amrullah Arpan. Filsafat Hukum, Renungan untuk Mencerahkan Kehidupan manusia di bawah Sinar Keadilan. Palembang: Balai Peneribitan Unsri. 2007., hlm 184

Hal | 154


aspek etik dan aspek hukum.218 Orang bertanggung jawab atas sesuatu yang disebabkan olehnya. Jadi tanggung jawab dapat diartikan sebagai metode atau prosedur agar seseorang/badan hukum tidak dapat mengelak diri dari akibat perilaku/perbuatannya. Dalam pengertian hukum, tanggung jawab menimbulkan konsekuensi pemberian kompensasi/ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan akibat perilaku tertentu. Khususnya untuk pelaku usaha periklanan, Pasal 17 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, menetapkan larangan sebagai berikut (1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang : a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa, serta ketetapan waktu penerimaan barang dan/atau jasa; b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa; d. tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan/atau jasa; e. mengeskploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa yangberwenang atau persetujuan yang bersangkutan;

seizin

f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan; (2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1). Tanggung jawab pelaku usaha sebagaimana yang diatur dalam pasalpasal di atas adalah tanggung jawab sehubungan dengan adanya hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumennya dan tanggung jawab berdasarkan hubungan hukum yang lahir kemudian. Dengan kata lain, tanggung jawab yang dimaksud di sini adalah tanggung jawab keperdataan, baik yang bersifat kontraktual maupun di luar hubungan kontraktual.

218

Yusuf Sofie., opcit.,hlm 153

Hal | 155


Dalam hukum, setiap suatu tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab. Dasar pertanggungjawaban itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setaip peristiwa hukum yang jauh berbeda di dalam pemenuhan tanggung jawab yang secara teoritis pertanggungjawaban itu terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut untuk bertanggung jawab. Dalam hal ini adanya suatu komponen dalam periklanan yaitu harus adanya pengiklan, pengusaha periklanan dan media periklanan yang masing-masing mempunyai suatu komposisi terhadap tanggungjawab yang diberikan ketika menyiarkan suatu pesan-pesan iklan, antara lain : a. Pengiklan yakni bertanggungjawab atas benarnya suatu informasi terhadap produk yang akan diberikan kepada pihak perusahaan iklan, termasuk juga memberikan suatu arahan; batasan; dan saran atas iklan tersebut sehingga tidak terjadi pesan atau janji yang berlebihan terhadap produk tersebut; b. Perusahaan periklanan yakni bertanggungjawab ketepatan unsur persuasif yang dimasukkan kedalam pesan iklan, melalui adanya suatu pemilihan suatu informasi yang diberikan pengiklan dengan menggali suatu kreativitas; c. Media periklanan yakni bertanggungjawab kesepadanan antara pesan-pesan iklan yang disiarkan dengan nilai-nilai sosial budaya yang ditujukan kepada masyarakat. Bila dilihat dari pertanggung jawaban dari ketiga komponen suatu pemasaran, maka pertanggungjawaban tersebut dilihat dari bobot keterlibatannya. Pengilan bertanggungjawab terhadap produk, barang dan/atau jasa yang ditawarkan sehingga pertanggungjawabannya itu berbentuk produk liability dan profesional liability. Jika dilihat dari perusahaan periklanan yang hanya membantu membuat suatu iklan sehingga pertanggungjawabannya hanya berbentuk profesional liability. Begitu pula jika lihat dari media periklanan yang hanya sebagai penyedia jasa untuk menayangkan iklan tersebut,sehingga tanggungjawaban media periklanan tersebut berbentuk tanggungjawab profesional liability. Tanggung jawab pelaku usaha sesuai dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 20 yang menyatakan bahwa “ Pelaku usaha Hal | 156


periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diklankan tersebut�. Bertanggung jawab disini maksudnya adalah bertanggung jawab atas isi iklan. Isis iklan ini haruslah atas dasar apa yang diminta oleh pemasang iklan. Dengan kata lain, tidak ada kewajiban bagi perusahaan yang mengiklankan untuk menilai kualitas produk. Jadi pelaku usaha periklanan itu harus bertanggung jawab atas kebenaran isi dari iklan tersebut mengenai suatu produk yang dipromosikan untuk kepada konsumen. Perusahaan iklan juga harus bertanggung jawab terhadap iklan yang telah menjadi hasil dari kreatifiatsnya itu dan media periklanan juga bertanggung atas penayangannya ke media. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik suatu analisi bahwa dalam hal ini yang bertanggungjawab atas isi iklan yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya merupakan satu tanggung jawab semua pihak yang terlibat.

2. Dasar Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Atas Iklan Yang Tidak Benar (Kemungkinan Penerapan Ketentuan Wanprestasi/ Perbuatan Melanggar Hukum) Penjual atau pengecer yang berhubungan langsung dengan pembeli adalah salah salah satu bagian dari produsen/ pelaku usaha sebab selain penjual masih ada lagi pihak-pihak yang dapat digolongkan sebagai pelaku usaha, yaitu pengusaha pabrik (pembuat), agen dan distributor-dostributornya. Sebaliknya, produk yang dibeli oleh seseorang tidak hanya semata-mata dipakai/dikonsumsi oleh pembeli itu sendiri, tetapi ada kemungkinan dipakai/dikonsumsi juga oleh orang lain yang bukan pembeli, misalnya oleh sanak saudaranya atau orang lain yang bukan pembeli. Mereka ini adalah orang-orang yang tidak ada hubungan dengan perjanjian jual beli tersebut dan tidak ada keterikatan ( hukum) dengan produsen penjual. Dalam hal ini pelaku usaha mempunyai suatu tanggung jawab terhadap produk yang dihasilkan ataupun yang diperdagangkan. Biasanya tanggung jawab itu akan timbul apabila adanya suatu kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat produk yang cacat, adanya kekurang hati-hatian dalam memproduksi suatu produk, tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan, sehingga menimbulkan suatu kesalahan yang dibuat oleh pelaku usaha itu sendiri. Dengan kata lain, pelaku usaha melakukan kesalahan ingkar janji ataupun melakukan perbuatan melawan hukum.

Hal | 157


Gambaran di atas menunjukkan bahwa dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen, khususnya mengenai tanggung jawab pelaku usaha masih banyak pihak terkait yang berada diluar hubungan perjanjian (kontrak) jual beli, bahkan sama sekali tidak terkait secara hukum, sedangkan yang diuraikan berkaitan dengan kewajiban penjual di atas merupakan salah satu bentuk pertaggungjawaban pelaku usaha (penjual) berdasarkan penanggungan/penjamin terhadap cacat tersembunyi ( sales warranty against laten defects) yang didasarkan pada hubungan kontraktual.219 Jika ditemukan adanya suatu hubungan kontraktual antara produsen dan konsumen, maka langkah berikutnya adalah mencari suatu bagian-bagian dari kontrak/perjanjian yang mungkin tidak dipenuhi sehingga menimbulkan suatu kerugian pada konsumen. Sedangkan, jika ternyata dalam hal ini tidak ada hubungan kontraktual antara produsen dan konsumen, harus dicari saluran lain, yaitu dengan mengonstruksikan fakta-fakta pada peristiwa itu ke dalam suatu aturan hukum mengenai perbuatan melawan hukum.220 Kedua kontruksi ini (Wanprestasi dan Perbuatan Melanggar Hukum) akan diulas sebagai berikut: a. Perbuatan yang Merugikan Konsumen Sebagai Wanprestasi Dalam hal ini Mencari dan menemukan ada tidaknya suatu hubungan kontraktual anatara produsen dan konsumen kadang-kadang tidak mudah untuk dilakukan. Jika dalam hal ini ternyata adanya suatu kontrak/perjanjian, naik itu dalam bentuk suatu yang sederhana sekalipun antara produsen dan konsumen, dengan mudah dapat disimpulkan bahwa mereka terikat secara kontraktual. Namun, jika dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Maka langkah berikutnya adalah mencari dan mengumpulkan suatu fakta-fakta sekitar terjadinya peristiwa yang menimbulkan suatu kerugian itu lsu merekontruksikannya menjadi sebuah perjanjian atau kontrak.221 Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestadi merupakan akibat tidak dipenuhinya suatu kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban atas prestasi utama atau

219

ibid Sidabalok, Janus., ibid., hlm 112 221 Ibid., hlm 112 220

Hal | 158


kewajiban atas prestasi utama atas kewajiban jaminan/garansi dalam perjanjian. Bentuk-bentuk wanprestasi ini dapat berupa 222 a) Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali; b) Debitur terlambat dalam memenuhi prestasi; c) Debitur berprestasi tidak sebagai mestinya.

b. Perbuatan yang Merugikan Konsumen Sebagai Melanggar Hukum Dalam kaitanya dengan perlindungan konsumen, khususnya dalam hal ini menentukan suatu tanggung jawab produsen kepada konsumen yang menderita suatu kerugian karena produk cacat, maka konsumen sebagai penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu perbuatan melanggar hukum baik itu berupa pelanggaran terhadap hakhak konsumen, atau produsen telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, melanggar kesusilaan, ataupun telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan dalam pergaulan hidup masyarakat dalam menjalankan suatu usahanya. Khususnya kepatutan hidup masyarakat dalam menjalankan usahanya, khususnya kepatutan dalam hal berproduksi dalam mengedarkan produknya. 223 Di dalam Kitap Undang- undang Hukum Perdata, ketentuan mengenai Perbuatan Melanggar Hukum ini dari pasal 1365-1380 KUHPerdata. Dalam suatu iklan banyak suatu ditemukan adanya jaminan/janji yang menyatakan bahwa konsumen akan mendapatkan kemanfaatan/kegunaan tertentu lebih dari produk yang lainnya Misalnya, iklan kecantikan, seperti sejenis cream pemutih kulit, yang menyatakan bahwa tampak putih berseri dalam enam minggu. Iklan yang berbunyi seperti ini mengandung janji atau jaminan bahwa kalau produk tersebut dalam jangka waktu yang ditentukan dan dengan cara/petunjuk yang tersedia, akan diperoleh hasil seperti yang disebutkan dalam iklan tersebut.224 Berkaitan dengan ini hendaknya produsen berhati-hati dalam memberikan suatu janji atau jaminan. Pemberian janji atau jaminan melalui 222

Ahmad Miru dan Sutarman Yodo. 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:PT.Rajagrafindo Persada., hlm 128 223 Sidabalok, Janus., Op.ciy., hlm 114 224 Ibid., hlm 249

Hal | 159


iklan juga perlu diperhatikan jangan sampai mendiskreditkan produk yang sejenis. Misalnya mengemukakan kekurangan dari produk lainnya yang sebaliknya menjadi keunggulan/kelebihan dari produk yang diiklankan. Janji seperti ini segi hukumnya mengikat sehingga harus dipenuhi. Manakala produsen tidak dapat memenuhi janjinya, dengan kata iklannya tidak sesuai dengan kenyataannya, berarti produsen telah bertindak wanprestasi (ingkar janji). Jika ternyata janji/jaminan itu hanyalah janji kosong, tidak benar, produsen dapat dituntut ganti rugi. Pasal 9 ayat (1) huruf b Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatakan bahwa:“Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti�. Penulis berkesimpulan sebagai suatu Perbuatan Melanggar Hukum karna Undang-undang, Perlindungan Konsumen melarang. Jika larangan itu dilanggar berarti melanggar Undang-undang ( hukum ).Hak untuk mendapatkan informasi yang benar adalah salah satu hak konsumen yang paling mendasar. Melalui informasi yang benar dan lengkap inilah konsumen kemudian menentukan/memilih produk untuk memenuhi kebutuhnanya. Karena itu, memberi informasi yang salah, menyesatkan, dan tidak jujur melalui iklan adalah melanggar hak konsumen. Melanggar hak konsumen lain berarti pula melakukan perbuatan melawan hukum. Jika menggunakan alasan wanprestasi , maka harus dibuktikan adanya kesepakatan ( kesesuaian antara penawaran dan penerimaan ) kepada pihak- pihak tertentu. Pihak produsen atau penjual yang menawarkan barang harus mengetahui siapa pembelinya dan harus mengetahui pembeli itu cakap. Hal ini sulit untuk dibuktikan/ dipenuhi karna produsen menawarkan pada siapa saja dan konsumen tidak harus sebagai orang yang dewasa. Karena itu, menurut penulis dengan menggunakan Perbuatan Melanggar Hukum, alasan lain Undang-undang Perlindungan Konsumen adalah Undang-Undang Khusus, sementara KUH Perdata ini Undang-undang umum. Apapun menjadi objeknya tidak menjadi masalah. Berkaitan dengan ini, adanya asas Lex Specialis de Rogan Legge Generale225

225

AsasLex Specialis de Rogan Legge Generale adalah Hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum. Atau segala undang-undang ataupun peraturan yang khusus mengabaikan atau mengesampingkan undang-undang yang umum

Hal | 160


C. PENUTUP 1. Kesimpulan 1. Pelaku usaha yang menghasilkan suatu barang yang digunakan oleh konsumen haruslah merupakan barang-barang yang tidak merugikannya, jika terjadi kerugian akibat dari penggunaan barang tersebut, maka pelaku usaha harus bertanggungjawab. Pelaku Usaha disini ialah Pengiklan, Perusahaan Periklanan dan Media Iklan. Hal ini Sesuai dengan Ketentuan Pasal 20 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 2. Pelaku Usaha dalam hal ini telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum yang diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata karena dalam hal ini uraian tentang suatu kejadian mengenai isi iklan yang tidak sesuai dengan senyatanya ini merupakan suatu penjelasan duduknya suatu perkara, hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis daripada tuntutan. Di sini konsumen sebagai penggugat menguraikan dengan jelas mengenai hubungan hukum antara produsen dan konsumen. Hubungan hukum ini dapat berupa hubungan yang timbul karena adanya suatu perjanjian( kontrak) atau dapat pula berupa hubungan hukum yang timbul karena terjadinya peristiwa melanggar hukum. Jadi, dalam hal mengenai isi iklan yang tidak sesuai dengan apa yang diiklankan tersebut merupakan peristiwa yang tanpa suatu perjanjian (kontrak) kepada pelaku usaha. Sehingga peristiwa ini dapat diajukan sebagai dasar hak konsumen untuk mengajukan dengan perbuatan melawan hukum. 2. Saran 1. Dalam hal ini, hendaknya produsen berhati-hati dalam memberikan suatu janji atau jaminan terhadap produk yang diiklan itu, jangan sampai terjadinya kerugian yang diakibatkan oleh produk yang membahayakan bagi konsumen. Karena dalam memberikan suatu informasi kepada konsumen sudah diatur dalam ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 7 huruf (b) 2. Konsumen sebagai pengguna produk dituntut untuk lebih pintar dalam menggunakan atau mengkonsumsi produk yang diiklan itu. Jangan sampai terbujuk terhadap iklan dimedia yang belum jelas kebenarannya itu.

Hal | 161


DAFTAR PUSTAKA A. Buku: Alo Liliweri, 1992, Dasar-dasar Komunikasi Periklanan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Agustrijanto, 2001, Seni Mengasah Kreatifitas dan Memahami Bahasa Iklan,Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya. Ahmadmiru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:PT.Rajagrafindo Persada, Haryo S Martodirdjo, 1997, Dampak Periklanan Terhadap Kehidupan Masyarakat, Jakarta: CV.Bupara Nugraha, 1997 M. Erwin dan Amrullah Arpan. 2007, Filsafat Hukum, Renungan untuk MencerahkanKehidupan manusia di bawah Sinar Keadilan. Palembang: Balai Penerbitan Unsri Morissan, 2010, Periklanan: Komunikasi Pemasaran Terpadu, Kencana, Jakarta. Phil Astrid S.Susanto, 1999, Komunikasi dalam teori dan praktek, jilid I, Bandung: PT.Rindang Mukti. Rhenald Kasali, 1992,Manajemen Periklanan, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Sidabalok, Janus, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti Sri Redjeki Hartono, 1997, makalah�Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen� dalam buku Hukum Perlindungan Konsumen. Yusuf Sofie, 2003, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undnag-undang Perlindungan konsumen (UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukum, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti B. Perundang-Undangan: Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers

Hal | 162


Perlindungan Hukum Atas Kerugian Kerusakan Dan/Atau Kehilangan Barang Penumpang Yang Ditempatkan Dalam Bagasi Pesawat Udara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Oleh: Meintari Purnama Sari, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Arfiana Novera, SH.,M.Hum dan Sri Turatmiyah, SH.,M.Hum

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pengangkutan (transportasi) adalah salah satu bidang kegiatan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat. Keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil serta sebagian besar lautan memungkinkan pengangkutan dilakukan melalui darat, laut, dan udara 226 . Perkembangan dan pertumbuhan industri penerbangan tersebut tidak terlepas dari peningkatan jumlah pengguna jasa transportasi udara. Beberapa alasan konsumen menggunakan jasa transportasi udara yaitu untuk kepentingan pariwisata , kepentingan bisnis serta berbagai urusan lainnya. Terlaksananya pengangkutan melalui udara karena adanya perjanjian antara pihak pengangkut dan penumpang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UUP) menyebutkan, perjanjian pengangkutan udara adalah perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo dengan pesawat udara dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa lainnya227. Perjanjian pengangkutan yang telah disepakati antara pihak pengangkut dan penumpang dibuktikan dengan tiket penumpang. Penumpang sekaligus sebagai konsumen jasa penerbangan mempunyai hak-hak yang dilindungi oleh undang-undang baik dalam Undang-Undang Penerbangan (UUP) maupun dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Penumpang yang menggunakan jasa penerbangan perlu dilindungi haknya terutama hak ganti rugi apabila penumpang mengalami kecelakaan

226

Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan darat, laut dan udara, PT. Citra Bakti. Bandung, 1994, hlm 1. 227 Pasal 1 butir 29 UURI No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UUP).

Hal | 163


(yang menyebabkan kematian, luka-luka atau cacat tetap), kerusakan dan/atau kehilangan bagasi dan keterlambatan. Jika konsumen merasa kuantitas atau kualitas barang atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, konsumen berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas228. Apabila penumpang yang menggunakan jasa penerbangan mengalami terjadinya pelanggaran hak-hak penumpang yang menimbulkan kerugian, maka pengangkut bertanggung jawab sebagaimana dimuat dalam Undang-Undang Penerbangan (UUP). Tanggung jawab itu dimulai sebelum masa penerbangan (pre-flight service), pada saat penerbangan (in-flight service), dan setelah penerbangan (past-flight service)229. Pada pengangkutan udara bagasi dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu bagasi tercatat dan bagasi kabin sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 angka 24 dan angka 25 UU Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009. Berdasarkan uraikan di atas, penulis menganggap perlu membahas bagaimana perlindungan hukum dalam pengawasan barang penumpang pesawat udara yang diletakkan di bagasi tercatat, dengan judul skripsi “PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KERUGIAN KERUSAKAN DAN/ATAU KEHILANGAN BARANG PENUMPANG YANG DITEMPATKAN DALAM BAGASI PESAWAT UDARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN� yang menurut penulis perlu untuk dibahas dan ditelaah. 2.

Rumusan Masalah Beberapa permasalahan yang dapat ditarik dari uraian latar belakang di atas sebagai bahasan dalam penulisan skripsi ini yaitu : 1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap pembatasan biaya ganti rugi bagi penumpang pesawat udara yang mengalami kerusakan dan/atau kehilangan barang yang ditempatkan dalam bagasi? 2. Bagaimana prosedur penuntutan ganti rugi bagi penumpang pesawat udara yang mengalami kerusakan dan/atau kehilangan barang yang ditempatkan dalam bagasi? 228

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grashindo, Jakarta, 2004, hlm. 28. 229 Bagasi Hilang di Penerbangan, http://protespublik.com/bagasi-hilangdipenerbangan/, diakses tanggal 6 Februari 2013 pukul 20.38 WIB.

Hal | 164


3.

3. Bagaimana hambatan-hambatan yang ditemukan dalam melakukan penuntutan ganti rugi dan besar ganti kerugian? Kerangka Teori Skripsi ini menggunakan kerangka teori sebagai berikut : 1. Asas Konsensualisme (Consensualisme) Perjanjian tersebut lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak nenerlukan suatu formalitas. 2. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda) Masing-masing pihak yang terikat dalam suatu perjanjian harus menghormati dan melaksanakan apa yang telah mereka perjanjikan dan tidak boleh melakukan perbuatan yang menyimpang/bertentangan dari perjanjian tersebut. 3. Asas Kebebasan Berkontrak (Contractsvrijheid) Semua perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

B. PEMBAHASAN 1. Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Pembatasan Biaya Ganti Rugi Bagi Penumpang Pesawat Udara Yang Mengalami Kerusakan Dan/Atau Kehilangan Barang Yang Ditempatkan Dalam Bagasi Sebelum calon penumpang pesawat udara menuju gerai pelaporan, pemeriksaan isi bagasi yang berukuran besar dilakukan oleh petugas pengamanan bandar udara melalui alat sinar-x yang berfungsi hampir sama dengan alat rontgen yang memungkinkan petugas dapat mengenali setiap benda dalam bagasi atau kotak tanpa membukanya. Apabila petugas mencurigai isi dari sebuah koper atau barang bawaan calon penumpang, maka pemeriksaan secara langsung akan dilakukan dengan membuka koper atau barang tersebut230. Setelah itu bagasi (koper-koper) penumpang ditimbang satu demi satu dan diberi label. Potongan dari setiap label bagasi diserahkan kepada penumpang pemilik bagasi untuk keperluan pengambilannya di tempat tujuan231. Pada kabin maskapai penerbangan Garuda Indonesia penumpang hanya boleh 230

Ibid. Captain Desmond Hutagaol, Pengantar Penerbangan Perspektif Profesional, Op.Cit., hlm. 239. 231

Hal | 165


membawa satu tas tangan yang berukuran maksimal 56cm x 36cm x 23cm dan beratnya tidak lebih dari 7kg. Sebagai tambahan, penumpang boleh membawa kotak peralatan kosmetik atau laptop 232 sedangkan pada kabin maskapai penerbangan Sriwijaya Air ukuran maksimal barang yang boleh dibawa ke kabin 50cm x 20cm x 30 cm dengan berat maksimal 7kg233. Penumpang Kelas Ekonomi Lion Air diperbolehkan membawa barang bawaan maksimal 7 kg dengan dimensi 40 cm x 30 cm x 20 cm di kabin Lion Air234. Pada tiket penumpang Garuda Indonesia terdapat beberapa syarat perjanjian peraturan dalam negeri yang menjelaskan mengenai penumpang pesawat udara khususnya tentang bagasi, yaitu: 1. Bagasi tercatat yang diangkut berdasarkan perjanjian ini hanya akan diserahkan kepada penumpang jika tanda pengenal bagasinya (baggage tag) dikembalikan kepada pengangkut (Nomor 4). 2. Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian-kerugian yang ditimbulkan pada penumpang dan bagasi dengan mengingat pada syarat-syarat dan batas-batas yang ditentukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan termasuk Peraturan-Peraturan pelaksana dibawahnya serta syarat-syarat umum pengangkutan dari pengangkut (Nomor 5 butir a). 3. Bila penumpang pada saat penerimaan bagasi tidak mengajukan klaim dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang berlaku maka dianggap bahwa bagasi itu telah diterima dalam keadaan lengkap dan baik (Nomor 5 butir b). 4. Semua tuntutan ganti kerugian harus dapat dibuktikan besarnya kerugian yang secara nyata diderita penumpang. Tanggung jawab terbatas untuk kehilangan dan kerusakan bagasi ditetapkan dengan jumlah sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku (Nomor 5 butir c). 5. Pengangkut tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan atau kehilangan atau barang berharga seperti uang , perhiasan , barang elektronik , obat – obatan , dokumen serta surat berharga atau sejenisnya jika dimasukkan ke dalam bagasi (Nomor 5 butir e). 232

FAQ (Frequently Asked Questions) http://www.garudaindonesia.com/id/contact/faq.page?#contentlist diakses tanggal 9 Mei 2013 pukul 13.05. 233 Hasil wawancara dengan Sirky Ristiandy petugas Lost and Found Sriwijaya Air Palembang, tanggal 7 Mei 2013 di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. 234 Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Mengenai E-Ticket http://www.lionair.co.id/assets/pdf/condition_of_carriage_id.pdf diakses tanggal 9 Mei 2013 Pukul 14.08 WIB.

Hal | 166


6.

Penumpang dilarang membawa barang-barang atau benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan ke dalam bagasi (Nomor 6). Syarat dan ketentuan mengenai bagasi juga terdapat pada tiket penumpang Penerbangan Sriwijaya Air, yang menjelaskan bahwa barang-barang berbahaya untuk alasan keselamatan penerbangan seperti gas terkompresi (benda mudah terbakar dan beracun), benda yang dapat menimbulkan karat (asam, alkalis dan aki) etiologic agents (bakteri, virus, dan lain-lain), bahan peledak (munitions, kembang api, flares) radio aktif dan oxidizing material dan material berbahaya lainnya tidak diperbolehkan dibawa dalam kabin bagasi penumpang. Penumpang kelas ekonomi diizinkan untuk membawa hingga 7 kg tas tangan pada penerbangan Lion Air, penumpang diminta untuk melihat syarat dan kondisi untuk informasi lebih lanjut mengenai aturan bagasi. Ditinjau dari UU Penerbangan, syarat dan ketentuan yang tercantum dalam ketiga tiket penumpang pesawat penerbangan tersebut sudah sesuai dengan aturan pemerintah yang berlaku saat ini. Pasal 136 ayat (3) menjelaskan mengenai klasifikasi barang berbahaya untuk penerbangan. Prinsip tanggung jawab pengangkut dalam hukum pengangkutan 235 , yaitu: 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (Liability Based on Fault Principle) Menurut prinsip ini setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam menyelenggarakan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian yang timbul akibat dari kesalahan itu. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan pengangkut itu, dengan kata lain beban pembuktian diberikan pada pihak yang dirugikan bukan kepada pengangkut. 2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga (Preasumption of Liability Principle) Berdasarkan prinsip ini pengangkut selalu dianggap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari pengangkut yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian.

235

Saefullah Wiradipradja yang dikutip dalam Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, Dan Udara, Op Cit.

Hal | 167


3.

Prinsip tanggung jawab mutlak (Absolute Liability Principle) Prinsip ini menyatakan bahwa, pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan dari pengangkut. Pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan apapun. 4. Prinsip Pembatasan Tanggung Jawab (Limitation of Liability) Pada prinsip ini tanggung jawab pengangkut atau penyelenggara pengangkutan dibatasi sampai jumlah tertentu, dengan membuat suatu ketentuan tertentu, misalnya dapat dilihat pada beberapa tiket angkutan, yang isinya terdapat perjanjian baku (standar kontrak). 5. Prinsip Praduga Bahwa Pengangkut Selalu Tidak Bertanggung Jawab (Presumpation of non Liability) Artinya pengangkut tidak bertanggung jawab terhadap barang yang dibawa sendiri oleh penumpang pada saat diselenggarakannya pengangkutan. Prinsip ini hanya diterapkan pada bagasi tangan dan beban pembuktian terletak pada penumpang dalam arti barang-barang yang dibawa penumpang menjadi pengawasan penumpang itu sendiri. Tanggung jawab ini baru ada apabila ada kesalahan dari pihak pengangkut udara. Dijelaskan pula pada Undang-Undang Penerbangan Pasal 144 bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang , musnah , atau rusak yang disebabkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut, yang dimaksud dengan dalam pengawasan pengangkutan adalah sejak barang diterima oleh pengangkut pada saat pelaporan (check in) sampai dengan barang tersebut diambil oleh penumpang di bandar udara tujuan. Pasal 2 PM No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara memberikan jaminan bahwa pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap: a. penumpang yang meninggal dunia , cacat tetap atau luka - luka; b. hilang atau rusaknya bagasi kabin; c. hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat; d. hilang, musnah, atau rusaknya kargo; e. keterlambatan angkutan udara; dan f. kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.

Hal | 168


Perlindungan hukum dapat diartikan perlindungan oleh hukum atau perlindungan dengan menggunakan pranata dan sarana hukum. Ada beberapa cara perlindungan secara hukum, antara lain sebagai berikut236: 1. Membuat peraturan (by giving regulation), yang bertujuan untuk: a. Memberikan hak dan kewajiban; b. Menjamin hak-hak para subyek hukum 2. Menegakkan peraturan (by the law enforcement) melalui: a. Hukum administrasi Negara yang berfungsi untuk mencegah (preventif) terjadinya pelanggaran hak para konsumen dengan cara perizinan dan pengawasan; b. Hukum pidana yang berfungsi untuk menanggulangi (repressive) setiap pelanggaran terhadap peraturan perundang - undangan dengan cara mengenakan sanksi hukum berupa sanksi pidana dan hukuman; c. Hukum perdata yang berfungsi untuk memulihkan hak (curative, recovery), dengan membayar kompensasi atau ganti kerugian. Salah satu unsur terpenting dalam rangka memberikan perlindungan konsumen pengguna jasa transportasi udara niaga adalah menyangkut aspek perjanjian pengangkutan. Dalam praktiknya tiket atau dokumen perjanjian pengangkutan udara telah disiapkan oleh perusahaan dalam bentuk yang telah baku atau biasa dikenal dengan perjanjian standar. Berkenaan dengan telah bakunya dokumen pengangkutan tersebut maka harus adanya jaminan bahwa adanya keseimbangan hak dan kewajiban diantara para pihak, baik pengangkut maupun penumpang237. Risiko kecelakaan yang menimbulkan kerugian bagi penumpang sering terjadi dalam kegiatan penerbangan diperlukan perlindungan konsumen bagi penumpang sehubungan dengan hal tersebut, yaitu adanya prosedur penyelesaian atau pengajuan klaim yang mudah, cepat dan memuaskan 238 . Terhadap risiko yang kemungkinan akan timbul dalam penyelenggaraan kegiatan penerbangannya maka perusahaan penerbangan pada umumnya mengasuransikan dirinya antara lain mengasuransikan risiko tanggung jawab terhadap penumpang. Di Indonesia dikenal juga asuransi wajib jasa raharja selain asuransi yang ditutup oleh perusahaan penerbangan tersebut. Perusahaan

236

Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2007, hlm 31. 237 Ahmad Zazili, Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pada Transportasi Udara Niaga Berjadwal Nasional, Semarang, 2008, hlm. 48. 238 E. Suherman, Op cit, hlm 201.

Hal | 169


penerbangan hanyalah bertindak sebagai pemungut saja dalam asuransi ini sedangkan yang membayar adalah penumpang sendiri239. Masalah pertanggungjawaban pengangkut diatur dalam Pasal 5 ayat (1) PM 77/2011, jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang mengalami musnah, kehilangan atau rusaknya bagasi tercatat, dijelaskan sebagai berikut : a. kehilangan bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat musnah diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 200.000,00 ( dua ratus ribu rupiah ) per kg dan paling banyak Rp. 4.000.000,00 ( empat juta rupiah ) per penumpang; dan b. Diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya merek, ukuran dan bentuk bagasi tercatat diberikan bagi kerusakan bagasi tercatat. Bagasi tercatat baru dianggap hilang, menurut Pasal 5 ayat (2) PM 77/2011, apabila tidak diketemukan dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal dan jam kedatangan penumpang di bandar udara kedatangan, sedangkan bagi penumpang dengan bagasi tercatat yang belum ditemukan namun belum dapat dinyatakan hilang karena belum melewati masa 14 ( empat belas ) hari, maka pengangkut wajib memberikan uang tunggu sebesar Rp. 200.000,00 ( dua ratus ribu rupiah ) per hari paling lama untuk 3 (tiga) hari kalender (Pasal 5 ayat [3] PM 77/2011). Pada bagasi tercatat, berdasarkan Pasal 144 UU Penerbangan, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat rusak, musnah, atau hilang yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut. Dalam penjelasan Pasal 144 bahwa yang dimaksud dengan dalam pengawasan pengangkut adalah sejak barang diterima oleh pengangkut pada saat pelaporan (check-in) sampai dengan barang tersebut diambil oleh penumpang di bandar udara tujuan. Besaran jumlah ganti rugi yang diberikan masing-masing maskapai sama seperti yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan maupun pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 yaitu apabila penumpang pesawat udara mengalami kerusakan pada bagasi maka penumpang akan mendapat ganti rugi berupa perbaikan terhadap barang bagasi yang mengalami kerusakan dan bagasi yang rusak dapat diganti rugi sesuai dengan ukuran, bentuk, jenis, dan merek bagasi yang tercatat. Jika dalam 14 ( empat belas ) hari bagasi tidak ditemukan maka bagasi dianggap 239

Ahmad Zazili, Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pada Transportasi Udara Niaga Berjadwal Nasional, Semarang, 2008, hlm. 53.

Hal | 170


hilang dan selama penumpang kehilangan sementara bagasi maka diberikan uang tunggu sebesar Rp.200.000,00/hari ( dua ratus ribu per hari ) maksimal tiga hari. Tanggung jawab yang diberikan oleh perusahaan penerbangan sesuai dengan berat bagasi penumpang dengan perhitungan pergantian Rp 200.000,00/kg ( dua ratus ribu rupiah per kilogram ) atau maksimal pergantian sebesar Rp 4.000.000,00 ( empat juta rupiah ). 2.

Prosedur Penuntutan Ganti Rugi Bagi Penumpang Pesawat Udara Yang Mengalami Kerusakan Dan/Atau Kehilangan Barang Yang Ditempatkan Dalam Bagasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 45 menjelaskan bahwa setiap konsumen yang menderita kerugian dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Upaya hukum yang diatur di dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut juga dapat diterapkan atau digunakan oleh konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha penerbangan. Dalam praktik penerbangan komersil kerugian yang dialami penumpang antara lain adanya keterlambatan penerbangan (delay), kehilangan barang, dan adanya kecelakaan pesawat yang berakibat kematian atau luka-luka. Timbulnya kerugian-kerugian konsumen tersebut diakibatkan oleh perbuatan-perbuatan pelaku usaha penerbangan dalam hal ini maskapai penerbangan. Beberapa kemungkinan yang sering menyebabkan penumpang pesawat udara mengalami kehilangan bagasi adalah240 : 1. Bagasi masih tertinggal di kota keberangkatan, akibat kelalaian petugas bagian pemuatan atau sebab lain; 2. Bagasi tertinggal di kota transit, karena mungkin tidak cukup waktunya, atau tulisan di label bagasi tidak jelas, sehingga petugas keliru memasukkannya ke pesawat lain; 3. Label bagasi terlepas, sehingga tidak ketahuan harus dibawa kemana; 4. Tertinggal dipesawat; 5. Tidak sengaja diambil orang lain akibat merek dan warna yang sama; 6. Masih tertinggal di Converyor-belt; 7. Sengaja diambil orang. 240

Penanganan Penumpang dan Bagasi di http://mutu999.blogspot.com/2010/02/penanganan-penumpang-dan-bagasi-di.html tanggal 2 Mei 2013 Pukul 22.00 WIB.

Darat diakses

Hal | 171


Berbagai alasan Miss Handling Baggage adalah241 : a. Short-shipped, Bagasi yang tidak terbawa dari station pemberangkatan pertama bagasi; b. Short-landed, Bagasi yang tiba bukan ditempat tujuan yang bagasi dimaksud; c. Over-carried, Bagasi yang bukan ditempat tujuan / bagasi terbawa ke station lain; d. Damage Bagage, Bagasi yang ditemukan rusak pada saat bagasi datang yang diakibatkan karena satu dalam lain hal; e. Pilfered, Bagasi yang dibongkar secara paksa dan isinya bagasi dinyatakan hilang oleh pemikiliknya; f. Lost Bagage, Bagasi yang dinyatakan hilang oleh karena sebab-sebab tertentu. Tanggung jawab maskapai penerbangan menyangkut mengenai ganti rugi bagi penumpang pesawat udara yang mengalami kerusakan dan/atau kehilangan bagasi. Segala bentuk tanggung jawab oleh maskapai penerbangan sepenuhnya diberikan ketika penumpang mengajukan klaim ke petugas Lost and Found di bandara kedatangan. Proses pengajuan klaim dapat ditindak lanjuti oleh maskapai penerbangan apabila klaim dilakukan saat penumpang masih berada di terminal kedatangan bandara. Adapun prosedur klaim pada bagasi yang hilang di bandara, yaitu242: Isi form klaim bagasi sesuai dengan ketentuan yang diberlakukan masing-masing maskapai penerbangan setelah itu fotocopy sebagai rangkap bukti cadangan. Mintalah Form PIR (Property Irregularities Report) kemudian kunjungi bagian lost and found. Persiapkan claim tag yang terdapat pada barang anda. Tindakan yang perlu dilakukan oleh petugas Lost and Found diantaranya : 1. Menimbang ulang bagasi rusak tersebut dan mencatat beratnya yang baru serta selisih beratnya bila ada; 2. Mempersilahkan kepada pemiliknya untuk memeriksa kembali barang bawaannya; 3. Mencatat benda-benda yang dinyatakan rusak oleh penumpang. 241

Penanganan Penumpang dan Bagasi di Darat http://mutu999.blogspot.com/2010/02/penanganan-penumpang-dan-bagasi-di.html diakses tanggal 2 Mei 2013 Pukul 22.30 WIB. 242 Proses claim pada bagasi yang hilang di bandara http://kumpulankaryasiswa.wordpress.com/2011/04/18/proses-claim-pada-bagasi-yang-hilangdi-bandara/ diakses tanggal 9 Mei 2013 Pukul 12.51 WIB.

Hal | 172


Kembalikan kepada petugas terkait dan catat nama petugas Lost and Found supaya benar-benar dikerjakan. Tunggu hingga dua minggu apabila tidak ada tanggapan maka ajukan klaim tersebut langsung ke airlines terkait agar proses penggantian dapat diterima oleh pelapor. Tunggu report sekaligus bukti laporan dari petugas tersebut. Penanganan Bagasi Hilang adalah: 1. Memeriksa bagasi yang dinyatakan hilang; 2. Memeriksa ulang berat yang diterima maupun yang belum diterima oleh penumpang; 3. Membuat laporan property irregularity report (PIR); 4. Melaksanakan tracing selama 2 - 14 hari. Tracing adalah pengacakan bagasi dengan menggunakan telex agar bagasi penumpang tersebut dapat ditemukan kembali secara cepat. Memberitahukan penumpang mengenai informasi tentang: 1. Keberadaan bagasinya; 2. Bagasinya sudah atau belum ditemukan; 3. Bagasi akan ditransfer; 4. Setiap memberikan informasi, perlu dicatat tanggal/jam dan inisial staff; 5. Bagasi yang hanya ada halamannya atau telepon segera dikirim surat pemberitahuan. Prosedur klaim bagasi yang disebabkan oleh kerusakan terbukanya bagasi dan didalamnya terdapat barang yang hilang, maka penanganan bagasi tersebut sebagai berikut : 1. Memeriksa label bagasi, bila perlu memakai limited release tag (kerusakan tanggung jawab penumpang); 2. Membuat laporan property irregularity report (PIR); 3. Membuka laporan damage priferage report (DPR); 4. Mengganti kerugian, kehilangan bagasi apabila bagasi yang dibawa berisi keperluan penumpang tersebut. Kerusakan Bagasi (Damage Baggage). Penyebab Terjadinya Bagasi Rusak (Damage Rusak): 1. Kerusakan bagasi akibat pemeriksaan yang kasar dan tidak beraturan; 2. Penanganan bagasi di lorong conveyor belt make-up area kasar dan dilempar; 3. Transfer baggage terlama mengendap di make-up area; 4. Bagasi tidak diberi kunci sebagai taambahan pengamanan; Hal | 173


5.

Penempatan bagasi yang ditumpuk dan dipaksa yang melebihi batas.

3.

Hambatan-Hambatan Yang Ditemukan Dalam Melakukan Penuntutan Ganti Rugi Dan Besar Ganti Kerugian a). Hambatan Dari Sudut Undang-Undang Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan Pasal 174 ayat (1) menyatakan bahwa klaim atas kerusakan bagasi tercatat harus diajukan pada saat bagasi tercatat diambil oleh penumpang. Hal ini menyulitkan karena tidak semua kerusakan yang dialami oleh penumpang berupa kerusakan luar pada koper, tetapi terkadang kerusakan terjadi pada barang-barang yang terdapat di dalam koper yang baru diketahui ketika penumpang telah meninggalkan area bandara kedatangan dan pengajuan klaim kehilangan baru dapat dilakukan ketika 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak tiba di tempat tujuan yang diatur pada Pasal 174 ayat (4). Penggunaan klausula baku berdasarkan Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen pada tiket penumpang pesawat udara yang digunakan dengan tujuan cepat, efisien, dan memiliki kepastian hukum diperbolehkan jika tidak merugikan konsumen dalam hal ini penumpang pesawat udara dan Pasal 151 ayat (2) huruf f UU Penerbangan menyebutkan bahwa tiket penumpang harus memuat pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan dalam UU Penerbangan. b).

Hambatan Dari Sudut Konsumen (Penumpang Pesawat Udara) Kurangnya sosialisasi Pemerintah kepada masyarakat terutama penumpang pesawat udara mengenai UU Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara yang berlaku saat ini membuat penumpang tidak mengerti mengenai prosedur pengajuan klaim apabila penumpang mengalami kerugian. Tidak tercantumnya proses atau informasi yang lengkap dari maskapai penerbangan kepada penumpang terkait klaim kerugian menjadi masalah tersendiri, Pasal 4 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa konsumen berhak atas informasi yang benar , jelas , dan jujur tentang kondisi serta jaminan barang dan/atau jasa, serta hak untuk mendapatkan ganti rugi, kompensasi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya sesuai dengan Hal | 174


Pasal 4 ayat (5). Prosedur yang tidak dimengerti dirasakan mempersulit bagi beberapa penumpang pesawat udara, penumpang menganggap prosedur dari maskapai penerbangan yang harus dilengkapi merupakan penghalang untuk mendapatkan ganti rugi atas klaim yang penumpang ajukan kepada maskapai penerbangan dan untuk mengulur waktu pertanggungjawaban kepada penumpang pesawat udara. Kurangnya tingkat kesadaran penumpang pesawat udara terhadap peraturan pemerintah yang berlaku saat ini membuat penumpang menjadi tidak kritis dan arif, sebab cukup banyak penumpang pesawat udara yang tidak ingin mengetahui mengenai hak mereka yang sebenarnya merupakan hak-hak dasar penumpang, seperti hak untuk mendapatkan informasi mengenai barang yang diperbolehkan dan dilarang dibawa ke dalam bagasi pesawat udara serta apabila terjadi kerusakan atau kehilangan pada barang bagasi. c). Hambatan Dari Sudut Perusahaan Maskapai Penerbangan Sikap tidak jujur yang dilakukan oleh penumpang pesawat udara kepada petugas maskapai penerbangan ketika berada di check in counter mengenai barang yang dibawanya dalam koper untuk dimasukkan dalam bagasi pesawat udara menjadi salah satu faktor penghambat bagi pihak maskapai penerbangan. Hilangnya label yang ditempelkan pada bagasi penumpang sangat menyulitkan pihak maskapai penerbangan dalam melakukan pencarian terutama bagi penumpang yang melakukan perjalanan transit243. Padatnya jadwal penerbangan yang dilakukan oleh maskapai penerbangan menyebabkan petugas check in counter mengalami kekeliruan saat mendata bagasi penumpang, seperti salah menempelkan label bagasi sehingga antara bagasi dengan baggage tag yang dimiliki penumpang berbeda.244 Menimbang ulang bagasi penumpang yang rusak merupakan tindakan awal yang perlu dilakukan oleh petugas Lost and Found maskapai penerbangan di bandara tujuan. Besaran ganti rugi yang ditentukan berdasarkan total berat bagasi, menyebabkan pihak maskapai lebih berhati-hati. Lamanya konfirmasi departemen klaim atas pengajuan klaim, menghambat penumpang untuk mendapatkan proses penyelesaian ganti rugi secara mudah , cepat , dan memuaskan. 243

Hasil wawancara dengan Sirky Ristiandy petugas Lost and Found Sriwijaya Air Palembang, tanggal 7 Mei 2013 di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. 244 Hasil wawancara dengan Fadil Petugas Lost and Found Bagage Service Lion Air Palembang, tanggal 7 Mei 2013 Di Bandara Sultan Mahmud Badarrudin II Palembang.

Hal | 175


Tidak adanya aturan yang menyatakan dengan jelas pihak yang harus bertanggung jawab apabila terjadi kerusakan dan/atau kehilangan bagasi penumpang pesawat udara. Sikap saling melempar tanggung jawab baik dari pihak maskapai penerbangan di bandara keberangkatan maupun pihak maskapai penerbangan di bandara kedatangan menyulitkan penumpang saat pembuatan laporan Property Irregularity Report (PIR). C. PENUTUP 1. Kesimpulan 1) Pengaturan perlindungan hukum terhadap pembatasan biaya ganti rugi bagi penumpang pesawat udara yang mengalami kerusakan dan/atau kehilangan barang yang ditempatkan dalam bagasi, diantaranya : a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengatur mengenai tanggung jawab pengangkut atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang , musnah , atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut, sebagaimana diatur dalam Pasal 141, Pasal 144, dan Pasal 146. b. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara menjelaskan mengenai jenis tanggung jawab pengangkut dan besaran ganti kerugian yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 5. c. Pengalihan tanggung jawab maskapai ke perusahaan asuransi sebagaimana diatur di Pasal 62 ayat (1) UU Penerbangan. Maskapai yang tidak mengasuransikan dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sertifikat, peringatan, dan atau pencabutan sertifikat (Pasal 62 ayat {2} UU Penerbangan). d. Perlindungan konsumen pengguna jasa transportasi udara niaga adalah menyangkut aspek perjanjian pengangkutan. Perusahaan penerbangan berkewajiban untuk memberikan tiket penumpang sebagai bukti terjadi perjanjian pengangkutan udara. 2) Prosedur penuntutan ganti rugi bagi penumpang pesawat udara yang mengalami kerusakan dan/atau kehilangan barang yang ditempatkan dalam bagasi sebagai berikut : Hal | 176


a.

Prosedur pengajuan klaim kehilangan ke petugas Lost and Found ketika penumpang masih berada di terminal bandara kedatangan yaitu: 1. Memeriksa bagasi yang dinyatakan hilang; 2. Memeriksa ulang berat yang diterima maupun yang belum diterima oleh penumpang; 3. Membuat laporan Property Irregularity Report (PIR); 4. Melaksanakan tracing selama 2 - 14 hari. Tracing adalah pengacakan bagasi dengan menggunakan telex agar bagasi penumpang dapat ditemukan kembali secara cepat. b. Klaim bagasi yang diakibatkan oleh kerusakan terbukanya bagasi dan didalamnya ada barang yang hilang maka penanganan bagasi tersebut adalah: 1. Memeriksa label bagasi, bila perlu memakai Limited Release Tag (kerusakan tanggung jawab penumpang); 2. Membuat laporan Property Irregularity Report (PIR); 3. Membuka laporan Damage Priferage Report (DPR); 4. Mengganti kerugian, kehilangan bagasi apabila bagasi yang dibawa berisi keperluan penumpang tersebut. c. Penumpang, pemilik bagasi tercatat, pemilik bagasi kabin, pengirim kargo, dan/atau ahli waris penumpang, yang mengalami kerugian dapat mengajukan gugatan terhadap pengangkut di pengadilan negeri di wilayah Indonesia dengan menggunakan hukum Indonesia sebagaimana Pasal 176 UU Penerbangan. 3) Hambatan-hambatan yang ditemukan dalam melakukan penuntutan ganti rugi dan besar ganti kerugian, yaitu : a. Hambatan dari sudut Undang-Undang yaitu : Aturan mengenai jangka waktu pengajuan klaim yang diatur dalam Pasal 174 UU Penerbangan dan adanya klausula baku pada tiket penumpang pesawat udara yang belum sesuai dengan UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Pasal 18. b. Hambatan dari sudut konsumen (penumpang pesawat udara), yaitu : Kurangnya sosialisasi Pemerintah kepada masyarakat terutama penumpang pesawat udara mengenai UU Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Hal | 177


Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara dan kurangnya tingkat kesadaran penumpang pesawat udara terhadap aturan yang berlaku saat ini. c. Hambatan dari sudut perusahaan maskapai penerbangan diantaranya : 1) Sikap tidak jujur yang dilakukan penumpang pesawat udara kepada petugas maskapai penerbangan di check in counter mengenai isi koper menyebabkan terhambatnya proses ganti rugi. 2) Hilangnya label yang ditempelkan pada bagasi penumpang sangat menyulitkan pihak maskapai penerbangan dalam melakukan pencarian bagasi. 3) Menimbang ulang bagasi penumpang yang rusak menyulitkan petugas Lost and Found maskapai penerbangan di bandara tujuan. 4) Lamanya konfirmasi departemen klaim atas pengajuan klaim, menghambat penumpang untuk mendapatkan proses penyelesaian ganti rugi secara mudah, cepat, dan memuaskan. 5) Tidak adanya aturan yang menyatakan dengan jelas mengenai pihak maskapai di bandara keberangkatan atau pihak maskapai di bandara kedatangan yang bertanggung jawab atas kerusakan dan/atau kehilangan bagasi penumpang pesawat udara. 2.

Saran 1) Pemerintah perlu mengadakan sosialisasi mengenai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan serta Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara kepada masyarakat dengan tujuan supaya masyarakat mengetahui secara pasti hak dan kewajibannya dalam memanfaatkan jasa transportasi udara yang ditawarkan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal. 2) Klausula baku yang terdapat pada tiket penumpang pesawat udara harus sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan dan UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 sehingga tidak merugikan salah satu pihak.

Hal | 178


3) Adanya aturan yang jelas mengenai kebijakan pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan dan/atau kehilangan bagasi penumpang pesawat udara, sehingga tidak terjadi sikap saling melempar tanggung jawab yang dapat menghambat proses pengajuan klaim oleh penumpang pesawat udara.

Hal | 179


DAFTAR PUSTAKA

A.

Buku dan Artikel

Amiruddin dan H.Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. Captain, Desmond Hutagaol .2013. Pengantar Penerbangan Perspektif Profesional. Jakarta:Penerbit Erlangga. E. Suherman. 1979. Masalah Tanggung Jawab Pada Carter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan,. Bandung:Alumni. H.M.N. Purwosutjipto. 2000. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 5. Jakarta:Penerbit Djambatan. __________, 2003. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3. Jakarta:Penerbit Djambatan. K. Martono. 1995. Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, Hukum Laut Internasional Buku Kedua. Bandung:Penerbit Mandar Maju. K. Martono dan Amad Sudiro. 2012. Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik (Public International and National Air Law). Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. Komar, Mieke Kantaatmadja. 1994. Hukum Angkasa Dan Hukum Tata Ruang. Bandung:Penerbit Mandar Maju. Majalah Trans Media. 2012. Pasar Penerbangan di Indonesia Meningkat Cepat. Edisi 05 Muhammad, Abdulkadir. 1987. Hukum Perikatan. Bandung:PT Citra Aditya Bhakti. __________, 1994. Hukum Pengangkutan Darat, Laut Dan Udara. Bandung:PT. Citra Bakti. __________, 1998. Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung:PT Citra Aditya Bakti. PNH Simanjuntak. 2000. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta:Jembatan. Rasyid, Muhammad dan Arfianna Novera. 2008. Laporan Penelitian Penerapan Tanggung Jawab Terbatas Untuk Kehilangan Dan Kerusakan Bagasi Yang Terdapat Dalam Tiket Pesawat Domestik Dan PP No. 3 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas PP No. 40 Tahun 1995 Tentang Angkutan Udara. Palembang. R. Subekti. 1995. Aneka Perjanjian. Bandung:PT Citra Aditya. Sasongko, Wahyu. 2007. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Lampung:Penerbit Universitas Lampung. Hal | 180


Shidarta. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta:PT. Grashindo. Soedjono, Wiwiho. 1998. Perkembangan Hukum Transportasi serta Pengaruh dari Konvensi-Konvensi Internasional. Yogyakarta:Penerbit Liberty. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta:Rajawali Pers. Tjakranegara, Soegijatna. 1995. Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang. Bandung:Bhineka Cipta. Usman, Sution Adji dkk. 1991. Hukum Pengangkutan di Indonesia. Jakarta:PT Rinka Cipta. Wiradipradja, E. Saefullah. 2006. Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang Menurut Hukum Udara Indonesia. Jakarta:Jurnal Hukum Bisnis Vol. 25. Zazili, Ahmad. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pada Transpotasi Udara Niaga Berjadwal Nasional. Semarang: PT Citra Aditya.

B.

Kamus

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi 3, 2002. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta:Balai Pustaka.

C.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UUP) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Peraturan Menteri No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara D.

Internet

Bagasi(http://natiket.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2b agasi&catid=58:bandara&Itemid=208) diakses tanggal 5 Maret 2013 pukul 20.41 WIB Bagasi Hilang di Penerbangan, http://protespublik.com/bagasi-hilangdipenerbangan/ diakses tanggal 6 Februari 2013 pukul 20.38 WIB Evolusi Dan Sejarah Industri Penerbangan Indonesia (PT Dirgantara Indonesia), http://aeronusantara.blogspot.com/2012/10/pt-dirgantaraHal | 181


indonesia-ptdi.html, diakses tanggal 23 Maret 2013 pukul 19.44 WIB FAQ (Frequently Asked Questions) http://www.garudaindonesia.com/id/contact/faq.page?#contentlist diakses tanggal 9 Mei 2013 pukul 13.05 Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Mengenai E-Ticket http://www.lionair.co.id/assets/pdf/condition_of_carriage_id.pdf diakses tanggal 9 Mei 2013 Pukul 14.08 Hati-Hati dengan Bagasi Saat Terbang Menggunakan Lion Air http://suarapembaca.detik.com/read/2008/06/02/170649/949118/28 3/disclamer.html diakses tanggal 9 Mei 2013 Pukul 12.36 WIB Our History, http://www.indonesianaerospace.com/aboutus.php?m=aboutus&t=aboutus8 diakses tanggal 29 Maret 2013 pukul 19.40 WIB Penanganan Penumpang dan Bagasi di Darat http://mutu999.blogspot.com/2010/02/penanganan-penumpangdan-bagasi-di.html diakses tanggal 1 Mei 2013 Pukul 20.00 WIB Persyaratan umum pengangkutan untuk penumpang dan bagasi, https://www.klm.com/travel/id_id/customer_support/booking_con ditions_carriage/article_6_to_10.htm#p5 diakses tanggal 30 Maret 2013 pukul 14.51 WIB Proses claim pada bagasi yang hilang di bandara http://kumpulankaryasiswa.wordpress.com/2011/04/18/prosesclaim-pada-bagasi-yang-hilang-di-bandara/ diakses tanggal 9 Mei 2013 Pukul 12.51 WIB Ringkasan eksklusif ( http://elibrary.mb.ipb.ac.id/download.php?id=5120 ) diakses tanggal 3 Februari 2013 pukul 09.28 WIB Sejarah Penerbangan Indonesia, http://syaheed98.blogspot.com/2012/12/sejarahpenerbangan-indonesia.html , diakses tanggal 23 Maret 2013 pukul 20.00 WIB Suara Pembaca, http://www.suarapembaca.net/report/reader/492825/-bagasihilang-di-pesawat-sriwijaya- 9 mei 2013 pukul 11.10 WIB E. Wawancara Wawancara dengan Hasymi, Station & Services Manager Garuda Indonesia Palembang, tanggal 7 Mei 2013 di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang Wawancara dengan Sirky Ristiandy petugas Lost and Found Sriwijaya Air Palembang, tanggal 7 Mei 2013 di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. Wawancara dengan Fadil Petugas Lost and Found Bagage Service Lion Air Palembang tanggal 7 Mei 2013 di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang. Hal | 182


Hambatan Pelaksanaan Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara Perdata (Studi Di Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat) Oleh: Purnamasari, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. Amrullah Arpan, SH.,SU dan Dr. H. Abdullah Gofar, SH.,MH

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Meningkatnya pertumbuhan manusia disadari atau tidak akan meningkatkan kompleksitas hubungan antar manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial, termasuk juga hubungan hukum. Menurut Muchsin, yang dimaksud dengan hubungan hukum adalah suatu hubungan diantara para subjek hukum yang diatur oleh hukum.245 Soedjono Dirdjosisworo menjelaskan bahwa dari hubungan hukum tersebut akan menimbulkan akibat hukum, karena suatu hubungan hukum memberikan hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh undang-undang, apabila dilanggar akan berakibat bahwa, orang yang melanggar dapat dituntut di muka pengadilan.246 Peradilan merupakan sarana terakhir atau “the last resort� dan peradilan bukanlah forum konfrontasi, sehingga haruslah mencerminkan suasana damai dan tentram melalui hukum acaranya.247 Victor M Situmorang mengungkapkan bahwa banyak masyarakat yang terlibat di dalam sengketa perdata memilih jalan perdamaian, baik yang diupayakan oleh hakim, kuasa hukum juga kehendak dari para pihak yang berperkara itu sendiri. 248 Dalam tulisan ini yang lebih ditekankan adalah perdamaian melalui mediasi di pengadilan. Mengenai upaya perdamaian di pengadilan ini diatur dalam Pasal 130 HIR, Pasal 154 RBg, dan Pasal 31, 33 Rv serta PERMA Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

245

Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, 2006, Jakarta: PT. Karya Intan Maksima, hlm. 30. Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, 2008, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 131. 247 I Made Sukadana, Mediasi Peradilan, 2012, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, hlm. 39. 248 Victor M Situmorang, Perdamaian dan Perwasitan, 1993, Jakarta: PT. Rineka Cipta, hlm. 1. 246

Hal | 183


Menurut Pasal 1 angka (7) PERMA Nomor 01 Tahun 2008 : “mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator�. Dalam mediasi para pihak sama-sama mengedepankan kejernihan hati untuk benar-benar memperoleh penyelesaian dengan kesepakatan, dan tidak menonjolkan argumentasi-argumentasi yang hanya berpatokan dengan peraturan perundang-undangan yang kaku, serta berdasarkan kebenarannya sendiri, sehingga dalam perdamaian para pihak dapat dikatakan sama-sama menang. Dengan perdamaian dapat diperoleh hasil yang lebih efektif, efisien, biaya ringan, tidak terjadi permusuhan, proses lebih cepat, dll.249 Mediasi juga dapat mewujudkan azas cepat, sederhana dan biaya ringan juga dapat mengurangi penumpukan jumlah perkara hingga ke Mahkamah Agung. Mediasi merupakan prosedur wajib dalam penyelesaian perkara perdata, hal ini juga dilaksanakan Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat. Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat merupakan badan peradilan yang mencakup wilayah hukum Kabupaten Bangka, Bangka Barat, Bangka Tengah juga Bangka Selatan. Sesuai dengan fungsi pokoknya sebagai peradilan umun, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, pengadilan ini bertugas menyelesaikan perkara perdata juga perkara pidana. Berdasarkan pengamatan dan data yang didapat penulis, dalam kurun waktu 4 tahun (awal 2009- 2012 akhir) Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat ini hanya mampu menyelesaiakn 6 perkara perdata dari 162 perkara perdata yang diselesaikan melalui mediasi. Melihat minimnya jumlah perkara yang mampu terselesaikan melalui mediasi di Pengadilan Negeri Sungailiat terlihat bahwa mediasi belum efektif dalam penyelesaian sengketa perdata secara damai di Pengadilan tersebut. Dan tentunya azas yang ingin dicapai dalam PERMA Nomor 01 Tahun 2008 mengenai kewajiban pelaksanaan mediasi tidak tercapai. Dari uraian di atas dan berdasarkan latar belakang tersebut penulis akan membahas lebih lanjut mengenai mediasi di pengadilan ini dan telah menentukan judul yaitu “Hambatan Pelaksanaan Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara Perdata (Studi di Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat)�. 249

R. Soeroso, Tata Cara dan Proses Persidangan, 2011, Jakarta: PT. Sinar Grafika,

hlm. 116.

Hal | 184


2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat? 2. Apa faktor penghambat sulitnya tercapai perdamaian sebagai hasil Mediasi di Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat? 3. Bagaimana pendapat para pemberi jasa hukum (advokat) terhadap keharusan Mediasi dalam proses penyelesaian perkara perdata di Pengadilan? 3. Kerangka Teori ďƒź Sengketa perdata adalah perselisihan yang terjadi antara dua pihak, karena terdapat ketidakpuasaan atau rasa dirugikan hak keperdataannya, yang kemudian diluapkan atau diutarakan dari satu pihak terhadap pihak lain dalam melaksanakan suatu hubungan hukum. ďƒź Suatu sengketa perdata dapat diselesaikan melalui pengadilan (litigasi). Dalam beracara di Pengadilan mediasi merupakan salah satu tahapan proses beracara. Dahulu berdasarkan Pasal 130 HIR/ 154 RBg, mediasi hanya merupakan himbauan. Tapi sejak diberlakukannya PERMA Nomor 01 Tahun 2008 mediasi merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. ďƒź Menurut Lawrence Meir Friedman berhasil atau tidaknya Penegakan hukum tergantung pada 3 hal, yaitu: Substansi Hukum, Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum. Substansi Hukum mencakup mengenai aturan yang dihasilkan masyarakat yang digunakan sebagai pedoman bagi mereka untuk bersikap dalam melaksanakan hubungan hukum. Struktur Hukum mencakup institusi penegakan hukum, diantaranya hakim, kepolisian, advokat, kejaksaan, dll. Selanjutnya Budaya Hukum merupakan sikap manusia dalam mentaati hukum yang dibentuk tersebut, bagaimana pengaruh sosial masyarakat dalam melaksanakan perintah hukum berdasarkan aturan yang telah dibentuk dan diberlakukan.

Hal | 185


B. PEMBAHASAN 1. Pelaksanaan Mediasi Di Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat Menurut Rachmadi Usman, pelembagaan dan pemberdayaan mediasi di pengadilan (court connected mediation) juga tidak terlepas pula dari landasan filosofis yang bersumber pada dasar negara kita, yaitu : Pancasila, terutama sila keempat yang bunyinya “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan�. Sila keempat menginginkan, upaya penyelesaian sengketa/ konflik/ perkara dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat yang diliputi oleh semangat kekeluargaan. Hal ini mengandung arti, bahwa setiap sengketa/ konflik/ perkara hendaknya diselesaikan melalui proses perundingan atau perdamaian diantara para pihak yang bersengketa untuk memperoleh kesepakatan bersama.250 Pada mulanya, mediasi bersifat fakultatif (menurut Pasal 130 HIR dan 154 RBg), namun setelah diterbitkan PERMA Nomor 01 Tahun 2008, mediasi bersifat imperatif (memaksa). Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat merupakan lembaga peradilan yang juga melaksanakan apa yang diperintahkan PERMA Nomor 01 tahun 2008 tentang kewajiban mediasi. Dari pengamatan penulis berdasarkan buku register gugatan Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat mulai dari tahun 2009 hingga 2012, bahwa di pengadilan ini mediasi pernah tercapai hingga ketika pemeriksaan saksi-saksi dilaksanakan. Ini berarti hakim-hakim di Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat selalu memberikan peluang sebesarbesarnya kepada para pihak untuk dapat menyelesaikan perkara mereka dengan jalan damai, sepanjang pada pokok perkaranya memang menurut PERMA Nomor 01 Tahun 2008 dapat diselesaikan secara mediasi. Prosedur pelaksanaan mediasi yang dilakukan para hakim di Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat pada hakikatnya sudah merujuk dan berpedoman pada PERMA Nomor 01 Tahun 2008. Adapun tahapan mediasi yang dilaksanakan hakim adalah sebagai berikut: 1) Tahap Pra Mediasi Pada tahap ini pada hari sidang yang telah ditentukan ketua majelis hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh proses mediasi. Apabila terdapat pihak yang tidak hadir, hakim akan menunda persidangan. Apabila para pihak hadir maka hakim akan memberikan kebebasan para pihak untuk memilih dan menunjuk mediator (lihat Pasal 8 PERMA No. 250

Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan, 2012, Jakarta: PT. Sinar Grafika, hlm. 26.

Hal | 186


01 Tahun 2008). Pada dasarnya, tenaga mediator dapat berasal dari hakim maupun non hakim. Menurut keterangan Ketua Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat, pada pengadilan ini belum terdapat daftar mediator non hakim.251 2) Tahap Proses Mediasi Pada tahap ini para pihak langsung berhadapan dengan mediator, karena pada Pengadilan Negeri Klas I B ini tidak ada mediator non hakim, maka mediator hakimlah yang berperan dalam proses mediasi. Hakim mediator harus menentukan hari-hari sidang mediasi lanjutan dengan kesepakatan para pihak. Para pihak dalam proses mediasi pertama harus menyerahkan resume perkara satu sama lain. Selama proses mediasi berlangsung, hakim mediator akan berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak, dengan berusaha membangun komunikasi yang baik antara para pihak. Hakim mediator akan berusaha menganalisa keterangan dari para pihak agar didapat opsi-opsi yang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa para pihak. Apabila kesepakatan tercapai maka hakim mediator dan para pihak akan merumuskan kesepakatan. Para pihak akan menghadap kembali ke majelis hakim pemeriksa perkara untuk menerbitkan akta perdamaian. Hakim mediator dapat menyatakan mediasi gagal apabila selama dua kali berturut-turut para pihak tidak hadir dalam agenda mediasi, juga apabila jangka waktu mediasi telah berakhir. Pada prakteknya Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat beserta seluruh komponen penegak-penegak hukum di dalamnya sudah berusaha untuk melaksanakan mediasi sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dan diatur dalam PERMA Nomor 01 Tahun 2008. Setiap peraturan dibentuk sesuai dengan tujuan pokoknya, begitu juga PERMA Nomor 01 Tahun 2008 dibentuk untuk mengoptimalkan mediasi itu sendiri. Namun pelaksanaannya tidak sebaik aturan yang telah dibentuk. Walaupun memang terdapat mediasi yang berhasil, namun jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan mediasi yang tidak berhasil. Pada Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat, hanya 3 % perkara yang dapat terselesaikan melalui mediasi dalam kurun waktu 4 tahun (awal 2009 hingga akhir 2012). 251

Wawancara dengan Albertina Ho., SH., MH, Ketua Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat, tanggal 7 Mei 20013.

Hal | 187


2. Faktor Penghambat Pelaksanaan Mediasi Rachmadi Usman mengatakan bahwa, pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di pengadilan bahkan hingga ke Mahkamah Agung. Selain itu, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa, selain dari proses pengadilan yang bersifat memutus (adjudikatif).252 Dari pendapat Rachmadi Usman ini secara teoritis dengan proses mediasi memungkinkan perkara di pengadilan tidak menumpuk. Melalui mediasi di pengadilan, dapat memperkuat kedudukan para pihak baik penggugat maupun tergugat untuk mematuhi putusan mediasi. Sekalipun secara teoritis tampak keuntungan-keuntungan dari pemeriksaan perkara melalui mediasi, pada kenyataannya di Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat ini jumlah perkara yang dapat diselesaikan melalui mediasi sangat minim, sebagaimana yang tertera dalam tabel berikut ini :253 Tabel 1: Penanganan Perkara Perdata Melalui Mediasi Tahun 2009 s/d 2012 Di Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat Penyelesaian No

Thn

Jumlah (Gugatan)

1.

2009

40

2.

2010

39

3.

2011

50

4.

2012

67

Mediasi Berhasil 1 perkara:Wanprestasi (No: 10/ Pdt. G/ 2009/ PN.SGT) 1 perkara: Wanprestasi (No: 27/ Pdt. G/ 2010/ PN.SGT) 2 perkara: 1. Wanprestasi (No: 27/ Pdt. G/ 2011/ PN.SGT) 2. Ganti Rugi (No: 36/ Pdt. G/ 2011/ PN.SGT) 2 perkara: 1. Perbuatan Melanggar Hukum (No: 25/ Pdt. G/ 2012/ PN.SGT) 2. Perbuatan Melanggar Hukum (No: 37/ Pdt. G/ 2012/ PN.SGT)

Prosentase Keberhasilan Mediasi

Mediasi Tidak Berhasil 39 gugatan 38 gugatan

2,5 % 2,6 %

48 gugatan

4%

65 gugatan

3%

Sumber : Arsip Kepaniteraan Bagian Perdata Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat

252 253

Rachmadi Usman, Op. cit, hlm. 61 . Arsip Kepaniteraan Bagian Perdata Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat.

Hal | 188


Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat merupakan badan peradilan yang mencakup wilayah hukum Kabupaten Bangka, Bangka Barat, Bangka Tengah juga Bangka Selatan. Dengan wilayah yang seluas itu tentunya perkara perdata yang masuk ke Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat juga banyak jumlahnya. Dari tabel tersebut, dalam kurun waktu 4 tahun (awal 2009 sampai 2012 akhir) jumlah perkara perdata (gugatan) yang masuk ke Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat, adalah sebanyak 196 perkara yang merupakan kewenangan untuk dapat diselesaikan melalui proses mediasi. Hal ini sudah terfasilitasi oleh hakim, akan tetapi dalam kenyataannya hanya terdapat 6 perkara yang dapat selesai dengan mediasi. Berarti hanya terdapat 3 % mediasi yang berhasil. Perkara yang diselesaikan melalui mediasi tersebut adalah : 1. Pada tahun 2009, terdapat 1 perkara yang dapat diselesaikan melalui mediasi, yaitu gugatan wanprestasi (Nomor Perkara: 10/Pdt.G/2009/PN.SGT). 2. Pada tahun 2010, terdapat 1 perkara yang dapat diselesaikan melalui mediasi, yaitu gugatan wanprestasi (Nomor Perkara: 27/Pdt.G/2010/PN.SGT). 3. Pada tahun 2011, terdapat 2 perkara yang dapat diselesaikan melalui mediasi, yaitu gugatan wanprestasi (Nomor Perkara: 27/Pdt.G/2011/PN.SGT) dan gugatan Ganti Rugi (Nomor Perkara: 36/Pdt.G/2011/PN.SGT). 4. Pada tahun 2012, terdapat 2 perkara yang dapat diselesaikan melalui mediasi, yaitu 2 gugatan perbuatan melanggar hukum (Nomor Perkara: 25/Pdt.G/2012/PN.SGT dan Nomor Perkara: 37/Pdt.G/2012/PN.SGT).. Dari data ini tampaknya gugatan yang masuk ke Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat terus meningkat jumlahnya, akan tetapi prosentase keberhasilan mediasi masih sedikit. Berdasarkan wawancara dengan beberapa hakim Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat dan advokat yang mendampingi klien di wilayah kerja Pengadilan Negeri tersebut, proses mediasi yang gagal dikarenakan ada faktor-faktor penghambatnya. Menurut teori Friedman, tegaknya hukum tergantung 3 hal, yaitu substansi hukum (Undang-Undang), struktur hukum (penegak hukum), dan budaya hukum, dan faktor penghambat mediasi ini juga dikarenakan 3 faktor tersebut, diantaranya: 254

254

1. Wawancara dengan hakim: Albertina Ho., SH., MH, Andalusia., SH., MH, Corpioner SH.

Hal | 189


a. Para Pihak Menurut Budiana Rachmawaty, salah satu advokat di Sungailiat sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung menuturkan, kadang yang menghambat para pihak tidak mau berdamai karena mereka tidak sepakat dengan jumlah ganti rugi yang ditawarkan dalam proses mediasi. 255 Selanjutnya menurut Taufik Koriyanto, dan Wandi, advokat di Sungailiat, mengungkapkan sulitnya tercapai mediasi dikarenakan minimnya pengetahuan para pihak mengenai keuntungan mediasi, karena kebanyakan gugatan yang masuk di Pengadilan Negeri Klas I B adalah mengenai sengketa dengan objek berupa tanah yang dominan berada di desa-desa kecil, sehingga pihak-pihaknya sedikit sekali yang paham hukum terkhusus mengenai mediasi, sehingga para pihak cenderung menginginkan putusan kalah menang.256 Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu, dengan kata lain pemahaman hukum merupakan pengertian terhadap isi tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu, serta manfaat bagi mereka yang hidupannya diatur oleh peraturan tersebut. 257 b. Keterlibatan Pihak Ketiga Menurut Budiana Rachmawaty, pihak ketiga ini dapat saja saudarasaudara jauh para pihak atau teman yang tidak ada sangkut pautnya dengan sengketa dan mengaharapkan bagian/ keuntungan dari apa yang disengketakan dengan dalih untuk membela salah satu pihak untuk mendapatkan haknya, atau alasan klasik seperti solidaritas sebagai teman.258 Kehadiran pihak ketiga ini akan memperkeruh suasana, dan seharusnya ini disadari oleh para pihak juga kuasa hukumnya sebagai suatu ancaman yang dapat saja menggagalkan proses mediasi. Untuk itu seharusnya para pihak harus lebih mandiri dan percaya diri untuk menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa harus melibatkan pihak ketiga yang belum tentu beritikad baik dan benarbenar ingin mendamaikan pihak yang bersengketa tersebut. 2. Wawancara dengan advokat: Budiana Rachmawaty., SH., MH, Taufik Koriyanto., SH., MH, dan Wandi SH. 255 Wawancara dengan Budiana Rachmawaty., SH., MH, advokat di Sungailiat sekaligus akademisi hukum, tanggal 17 April 2013. 256 Wawancara dengan Taufik Koriyanto., SH., MH dan Wandi., SH, Advokat di Sungailiat, tanggal 24 April 2013. 257 Waluyadi, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif, 2001, Jakarta: Djambatan, hlm. 106. 258 Wawancara dengan Budiana Rachmawaty., SH., MH, advokat di Sungailiat sekaligus akademisi hukum, tanggal 17 April 2013.

Hal | 190


Dari wawancara dengan tiga hakim dan tiga advokat di lingkungan Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat, ketiga hakim dan dua advokat mengungkapkan realita bahwa advokat juga memiliki andil besar terhadap gagalnya mediasi. Hal ini berkaitan dengan pemberian uang jasa. c. Keterbatasan Jumlah Hakim yang Memiliki Sertifikat Sebagai Mediator di Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat dan Ketiadaan Daftar Mediator Non Hakim Pasal 8 dan 9 PERMA Nomor 01 Tahun 2008 memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada para pihak untuk dapat memilih mediator yang nanti akan menjadi mediator proses mediasi mereka. Pada kenyataannya menurut pengamatan dan hasil wawancara dengan Ketua Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat, ternyata diantara dua belas hakim yang bertugas di Pengadilan tersebut hanya terdapat satu hakim saja yang memiliki sertifikat mediator yaitu Ketua Pengadilan Negeri itu sendiri. Bahkan menurut penuturan beliau, beliau belum pernah bertindak sebagai mediator selama bertugas di Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat ini, karena terbentur dengan jadwal yang padat mengingat beliau juga merupakan hakim ad hoc dan sering menjadi narasumber di berbagai kegiatan serta aktif mengikuti pelatihan.259 Untuk memperoleh sertifikat mediator tentunya harus mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi. Seritifikat mediator merupakan sebuah dokumen yang diberikan kepada seseorang yang telah mengikuti pelatihan dan pendidikan sebagai mediator, dan sertifikat ini dikeluarkan oleh lembaga yang telah di akreditasi oleh Mahkamah Agung.260 Menurut Gatot Soemartono, seorang mediator sangat membutuhkan kemampuan personal yang memungkinnnya berhubungan secara menyenangkan dengan masing-masing pihak. Kemampuan pribadi yang paling penting adalah sifat tidak menghakimi dan memihak, dalam kaitannya dengan pandangan masing-masing pihak, serta kesiapannya untuk memahami dengan empati pandangan para pihak. Mediator harus memberikan reaksi positif (meskipun tidak berarti setuju) atas persepsi masing-masing pihak dengan tujuan membangun hubungan baik dan kepercayaan. Jika para pihak sudah 259

Wawancara dengan Albertina Ho., SH., MH, Ketua Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat, tanggal 7 Mei 20013. (Data mengenai adanya perkara yang diselesaikan melalui mediasi seperti diuraikan dalam bab ini merupakan hasil mediasi dari mediator hakim yang belum memiliki sertifikat mediator). 260 Rachmadi Usman, Op.cit, hlm. 92.

Hal | 191


percaya kepada mediator dalam proses mediasi, mediator akan lebih mampu membawa mereka kearah konsesus.261 Kelangkaan tenaga hakim yang sudah memiliki sertifikat mediator tentunya akan berpengaruh pada hasil mediasi. Seorang hakim yang telah memiliki sertifikat mediator tentu sudah paham pengetahuan mengenai mediasi yang diperoleh melalui pelatihan khusus untuk menjadi mediator, sedangkan hakim yang belum memperoleh sertifikasi untuk menjadi mediator, pengetahuannya mengenai mediasi pasti tidak sebaik mediator hakim yang bersertifikat mediator, sehingga pola pikir dan tindakannya sebagai mediator akan berbeda. Selain minimnya jumlah hakim yang memiliki sertifikat mediator, ternyata dari penelitian penulis, untuk kota Sungailiat tidak ada mediator non hakim yang bersertifikat yang terdaftar sebagai mediator di Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat.262 Hal ini tentunya akan membatasi kebebasan para pihak untuk memilih mediator. Seharusnya mediator non hakim yang berada di daerah Sungailiat mendaftarkan diri sebagai mediator non hakim sesuai dengan peraturan. Banyak sekali profesi bukan hakim yang dapat menjadi seorang mediator, misalnya saja advokat dan akademisi hukum, yang tentunya memilki ilmu yang cukup mengenai hukum. 3. Pendapat Pemberi Jasa Hukum (Advokat) Terhadap Keharusan Mediasi Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata Di Pengadilan Menurut Ropaun Rambe, advokat memiliki tugas untuk menjaga dan mempertahankan hubungan baik dengan kliennya. Karena disamping klien merupakan sumber penghasilan, juga oleh karena profesi advokat merupakan jasa. 263 Oleh karena itu seorang advokat harus membangun hubungan baik dengan kliennya juga membangun kepercayaan terhadap kliennya. Tugas advokat dalam beracara di pengadilan adalah sebagai kuasa/wakil pencari keadilan, sehingga tindakan yang akan dilakukan para pihak dapat diwakilkan oleh kuasa hukum/ advokatnya.

261

Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, 2006, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 135. 262 Wawancara dengan Albertina Ho., SH., MH, Ketua Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat, tanggal 7 Mei 20013. 263 Ropaun Rambe, Teknik Praktek Advokat, 2001, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, hlm. 46.

Hal | 192


Menyikapi problematika hukum secara benar adalah mutlak dilakukan oleh seorang advokat. Sikap yang benar adalah memahami maksud dari pembicaraan klien atau calon klien, memahami kedudukan hukumnya, pemecahan masalah hukumnya dan upaya apa yang diperlukan. 264 Para pihak tentunya ingin hasil yang terbaik dalam penyelesaian masalah mereka. Perasaan yang demikian ini juga harus dimiliki kuasa hukum/ advokat, sehingga mereka harus paham mengenai cara yang seperti apa yang terbaik yang harus ditempuh. Upaya mediasi merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa yang baik dan wajib ditempuh oleh para pihak yang sedang berperkara di pengadilan, karena PERMA Nomor 01 Tahun 2008 mengatur mengenai kewajiban tersebut. Menurut wawancara dengan beberapa advokat di Sungailiat, bahwa pada dasarnya keharusan mediasi seperti yang telah diatur dalam PERMA Nomor 01 Tahun 2008 baik manfaatnya. Menurut mereka, secara tekstual aturan yang terdapat di PERMA Nomor 01 Tahun 2008 ini sudah baik, hanya saja dalam pelaksanaannya sering terdapat masalah/ hambatan-hambatan yang membuat usaha mendamaikan para pihak menjadi kurang maksimal. 265 Dalam ungkapannya para advokat tersebut mendukung adanya proses mediasi, karena dengan adanya proses mediasi akan mendukung azas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Menurut Taufik Koriyanto (salah satu advokat yang penulis wawancarai), bahwa terkadang terdapat kendala untuk mewujudkan azas cepat, misalnya penundaan hari sidang oleh hakim, atau ketidakhadiran para pihak.266 Selain itu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat mengatur dan menuntut advokat untuk menjunjung tinggi dan mengamalkan Pancasila, dan mediasi merupakan perwujudan dari sila ke-4 Pancasila yang harus diamalkan. Selain itu Kode Etik Advokat terutama yang termaktub dalam Pasal 7 ayat (2), mengharuskan advokat untuk mengutamakan perdamaian dalam perkara-perkara perdata. Pada dasarnya apabila advokat mengerti dan memahami tujuan pelaksanaan mediasi seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 dan Kode Etik Advokat, maka seharusnya mereka dapat memotivasi/ mempengaruhi agar kliennya dapat hadir dan mengikuti jalannya 264

Sukris Sarmadi, Advokat, 2007, Bandung: CV. Mandar Maju, hlm. 122. Wawancara dengan M. Taufik Koriyanto., SH., MH, Advokat di Sungailiat, tanggal 24 April 2013. 266 Wawancara dengan M. Taufik Koriyanto., SH., MH, Advokat di Sungailiat, tanggal 24 April 2013. 265

Hal | 193


proses mediasi. Tapi kembali lagi bahwa tidak semua advokat yang berpandangan bahwa mediasi ini baik, karena terdapat juga advokat yang berpandangan bahwa mediasi merupakan ancaman berkurangnya uang jasa yang akan mereka terima jika kasus yang mereka tangani selesai dengan mediasi, sehingga mereka menganggap bahwa mediasi ini hanya dijadikan formalitas belaka dan mereka akan tetap membela kliennya untuk memenangkan kasus tersebut. Sebaliknya menurut Victor M Situmorang apabila para advokat dapat memberikan nasehat kepada kliennya dan mengarahkan mereka untuk menempuh mediasi, sesungguhnya akan menambah dan memajukan profesinya. Hal itu disebabkan karena dengan berhasilnya ia menyelesaikan sengketa perdata dalam waktu relatif singkat dan biaya murah akan membuat mereka lebih dikenal karena mahir dalam memotivasi pihak untuk berdamai, sehingga dapat saja kliennya akan memberikan imbalan yang lebih atas jasa-jasa yang telah diberikannya, bahkan akan lebih banyak para pihak yang sedang bersengketa memilih advokat tersebut untuk membantu menyelesaikan sengketa yang mereka sedang hadapi. Dengan demikian tidaklah selamanya mata pencaharian para advokat dari membela kliennya di muka pengadilan, akan tetapi lebih daripada itu, yakni para advokat dapat menyelesaikan sengketa perdata dengan jalur perdamaian.267

C. PENUTUP 1. Kesimpulan a. Berdasarkan penelitian penulis, bahwa Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat telah melaksanakan kewajiban mediasi, namun hanya terdapat 3 % perkara perdata yang terselesaikan melalui mediasi (sejak diberlakukannya PERMA No. 01 Tahun 2008 sampai tahun 2012). Hal ini bukan semata-mata disebabkan dari pengadilan itu sendiri, tetapi terdapat faktor lain. b. Faktor penghambat mediasi a) Budaya Para Pihak yang ingin selalu menang b) Keterlibatan Pihak Ketiga c) Minimnya hakim yang bersertifikat mediator 267

Victor M Situmorang, Op.cit, hlm. 27.

Hal | 194


d) Ketiadaan mediator non hakim c. Advokat yang diwawancarai mendukung adanya proses mediasi untuk mewujudkan azas cepat, sederhana dan biaya ringan, juga untuk mengurangi penumpukan perkara hingga ke Mahkamah Agung. 2. Saran a. Mahkamah Agung beserta lembaga yang terakreditasi olehnya harus menggalakkan pelatihan/ sertifikasi mediator. b. Harus ada daftar mediator hakim maupun non hakim yang ditempelkan disekitar pengadilan untuk memudahkan para pihak memilih mediator. c. Harus ada kejelasan biaya mediator non hakim.

Hal | 195


DAFTAR PUSTAKA A. Sumber Buku : Dirdjosisworo, Soedjono. 2008 Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Muchsin. 2006. Ikhtisar Ilmu Hukum. Jakarta : PT. Karya Intan Maksima. Rambe, Ropaun. 2001. Teknik Praktek Advokat. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. R. Soeroso. 2011. Tata Cara dan Proses Persidangan. Jakarta : PT. Sinar Grafika. Sarmadi, Sukris. 2007. Advokat. Bandung : CV. Mandar Maju. Situmorang, Victor. 1993. Perdamaian dan Perwasitan Dalam Hukum Acara Perdata. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Soemartono, Gatot. 2006. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Sukadana I Made. 2012. Mediasi Peradilan. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher. Usman, Rachmadi. 2012. Mediasi di Pengadilan. Jakarta : PT. Sinar Grafika. Waluyadi. 2001. Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif. Jakarta : Djambatan. B. Perundang-undangan : Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). C. Narasumber : 1. Albertina Ho., SH., MH (Ketua Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat). 2. Andalusia., SH., MHum (Hakim di Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat). 3. Corpioner., SH (Hakim di Pengadilan Negeri Klas I B Sungailiat) 4. Budiana Rachmawaty., SH., MH (Advokat sekaligus Dosen FH UBB). 5. Taufik Koriyanto., SH., MH (Advokat di Sungailiat). 6. Wandi., SH (Advokat di Sungailiat).

Hal | 196


Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Labelisasi Halal Pada Produk Makanan Oleh: Elsy Elvarisha, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. KN. Sofyan Hasan, SH.,MH dan Sri Handayani, SH.,M.Hum

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Besarnya kuantitas umat muslim di Indonesia mengharuskan negara memberikan perhatian yang sangat besar terhadap jaminan produk halal. Sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) bahwa Negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Hal ini juga tegaskan dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.268 Pemberian label atau pelabelan produk, khususnya terhadap produk makanan, hal ini sangat penting karena berhubungan dengan nyawa manusia. Pelabelan pangan baru merupakan kewajiban jika produsen/importir menyatakan halal bagi umat Islam.269 Label halal bisa dicantumkan jika pelaku usaha sudah mendapatkan sertifikat halal yang diterbitkan oleh LPPOM MUI. Sertifikat halal adalah bukti sah tertulis yang menyatakan kehalalan suatu produksi yang dikukuhkan oleh Menteri Agama, 270 sedangkan Label halal adalah tanda pada kemasan produk, bagian tertentu dari produk, atau tempat tertentu yang menunjukkan kehalalan suatu produk. Pada tahun 2007 LPPOM MUI mendapatkan data jumlah produk yang telah didaftarkan untuk mendapatkan sertifikasi halal. Konsumen hanya bergantung pada informasi yang diberikan oleh produsen karena hal ini 268

Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 269 Ahmad Miru dan Sutarno Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 80. 270 Departemen Agama, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, Jakarta : Departemen Agama RI, 2003, hlm. 132.

Hal | 197


merupakan kewajiban produsen memberikan informasi yang jelas tentang produknya. Sehingga konsumen sukar untuk membedakan produk mana yang halal dan dapat dikonsumsi sesuai dengan ajaran Islam dengan produk yang tidak halal karena belum bersertifikat halal. Beberapa tahun ini kasus beredarnya makanan tidak halal semakin bertambah. Proses pembuatannya dengan cara-cara yang tidak halal atau makanan berasal dari bahan yang tidak halal atau mengandung bahan-bahan yang tidak halal atau haram untuk digunakan. 271 Semakin banyaknya kasus bakso yang berbahan dasar dari daging babi, penggunaan formalin atau zat kimia berbahaya lain, penggunaan minyak babi, dan lain sebagainya semakin meresahkan umat muslim. Syariat yang wajib dijalankan bagi umat muslim adalah mengkonsumsi makanan halal. Ditegaskan dalam Al-Qurâ€&#x;an surat Al Baqarah ayat (168) : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baikbaik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.â€? Hal ini menjelaskan bahwa fungsi makanan bagi kaum muslimin di samping berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok, juga berkaitan dengan keimanan dan ibadah, bahkan dengan perilaku. Dari ayat diatas, penulis menyimpulkan bahwa Allah memerintahkan umatnya memakan apa saja di dunia ini yang diciptakan-Nya, sepanjang batas-batas yang halal dan baik. Seharusnya konsumen dapat memisahkan mana yang halal dan mana yang haram dan cara memperoleh makanan itu.272 Pengaturan tentang kehalalan suatu produk di Indonesia, yakni Undangundang Nomor 7 Tahun 1996 kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan pada Pasal 97 ayat 1 yaitu setiap orang yang memproduksi Pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada kemasan Pangan, Pasal 97 ayat 2 setiap orang yang setiap orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan 271

Departemen Agama, Sistem Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal MUI, Jakarta : Departemen Agama RI, 2003, hlm. 22 272 Departemen Agama, Modal Pelatihan Auditor Internal Halal, Jakarta : Departemen Agama RI, 2003, hlm. 90

Hal | 198


label dan/atau pada kemasan Pangan pada saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pasal 97 ayat 3 yaitu pencantuman label di dalam dan/atau pada kemasan pangan sebagaimana dimaksudkan pada ayat 1 dan 2 ditulis dan dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai : nama produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih; nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor; halal bagi yang dipersyaratkan; tanggal dan kode produksi; tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa; nomor izin edar bagi Pangan Olahan; dan asal usul bahan Pangan tertentu. Jika dibandingkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tidak ditegaskan keharusan seorang pelaku usaha untuk memuat label halal pada produk makanannya hal ini tercantum dalam Pasal 3 ayat 2 Label memberikan keterangan sekurang-kurangnya: Nama produk; Daftar bahan yang digunakan; Berat bersih atau isi bersih; Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; Tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa. Akan tetapi pada pasal 10 ayat 1 menegaskan bahwa setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam, bertanggungjawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label, pasal 10 ayat 2 menyatakan bahwa pernyataan halal sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari label. Kewajiban pelaku usaha yang antara lain adalah: beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, hal ini ditegaskan dalam dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Departemen Kesehatan (Depkes) telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Ketetapan tersebut kemudian diubah menjadi Surat Keputusan Nomor: 924/Menkes/SK/VIII/ 1996 tentang perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan „‟halal” pada Label Makanan, Produsen atau importir yang akan mengajukan permohonan pencantuman tulisan „‟halal” wajib siap diperiksa oleh petugas Tim

Hal | 199


Gabungan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan yang ditunjuk Direktur Jenderal.273 Departemen Agama juga mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tatacara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal,274 dan Surat Keputusan Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal, yaitu adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI, sebagai pencetak label halal Kementrian Agama menunjuk Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) sebagai Pelaksana Pencetakan Label Halal hal ini diatur dalam Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 525 Tahun 2001.275 Produk yang banyak beredar dikalangan konsumen Muslim bukanlah produk-produk yang memiliki label halal yang dicantumkan pada kemasannya. Banyak produk-produk yang beredar dimasyarakat belum memiliki sertifikat halal yang diwakili dengan label halal yang ada pada kemasan produknya. Hal ini menyebabkan konsumen Muslim akan menemukan produk-produk halal yang diwakili dengan label halal yang ada kemasannya dan produk yang tidak memiliki label halal pada kemasannya. Sehingga diragukan kehalalan produk makanan tersebut, pemilihan untuk membeli produk-produk yang berlabel halal atau tidak sepenuhnya ada di tangan konsumen, seharusnya konsumen harus lebih memperhatikan label halal pada produk yang di belinya sehingga tetap menjalankan syariat Islam. Pemberian sertifikat halal kepada produsen/ pelaku usaha obat dan makanan secara sukarela dilakukan oleh produsen artinya tidak ada keharusan dari LPPOM MUI untuk mendaftarkan produk makanan tersebut. Majalah Jurnal Halal melakukan survei pada tahun 2007 untuk produkproduk yang mencantumkan label halal tanpa sertifikat halal. Survei tersebut menunjukkan masih banyak produk yang mencantumkan label halal tapi belum memiliki sertifikat halal. Lalu ditemukan pula ada perusahaan yang telah

273

“Produk Halal dan Perubahan Masyarakat”, source: http://jambi.kemenag.go.id/file/dokumen/PRODUKHALALDANPERUBAHANMASYARAK AT.pdf, diakses tanggal 25 Januari 2013 pukul 10.00 WIB 274 “Keputusan-keputusan Kementrian Agama”, source: http://www.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=kepmenag, diakses tanggal 29 Desember 2012 20.30 WIB 275 http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F360/Menteri%20Ag ama.htm, diakses tanggal 29 Desember 2012 pukul 20. 35 WIB

Hal | 200


mencantumkan label halal pada untuk semua produk di perusahaannya, padahal mereka baru mendapatkan sertifikat halal hanya untuk satu produk.276 Pengelola industri kecil sebagian tidak tahu bahwa produknya tersebut harus mencantumkan label halal. 277 Terdapat banyak produk yang mencantumkan label halal tapi belum mendapatkan sertifikat halal. Sehingga peraturan yang mengharuskan pencantuman label halal hanya berdasarkan inisiatif produsen. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menentukan prosedur yang berlaku dalam pemberian izin label halal ini.278 Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membahas dan mengadakan penelitian dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP LABELISASI HALAL PADA PRODUK MAKANAN”

2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka penulis memfokuskan penelitian ini dengan rumusan masalah yang akan dibahas adalah: 1. Bagaimana prosedur pencantuman label halal pada produk makanan di Indonesia? 2. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen jika produsen melakukan pemalsuan label halal pada produk makanan?

3. Kerangka Konsep a. Perlindungan Konsumen Perlindungan Konsumen adalah Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan bahwa Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. b. Halal dan Haram Halal adalah makanan atau barang gunaan yang haram untuk dimakan atau digunakan oleh orang-orang Islam. Sedangkan yang haram ialah makanan 276

“Label Halal tanpa Sertifikat”, source http://m.republika.co.id/berita/shortlink/17092, tanggal akses 2 Februari 2013, pukul 20.00 WIB 277 LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LP-POM MUI, Jakarta : LPPOM MUI, 2008, hlm. 26 278 Ibid., hlm. 18

Hal | 201


atau barang yang tidak diizinkan (dilarang) untuk dimakan atau digunakan oleh orang-orang Islam.279 c. Sertifikasi dan Labelisasi Halal Sertifikat halal adalah bukti sah tertulis yang menyatakan kehalalan suatu produksi yang dikukuhkan oleh Menteri Agama. 280 Pengertian sertifikat halal menurut Keputusan Menteri Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tata cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal adalah fatwa tertulis yang menyatakan kehalalan suatu produk pangan yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemeriksaan. Label halal adalah tanda pada bagian tertentu dari produk atau tempat tertentu yang menunjukkan kehalalan suatu produk. Perusahaan yang telah mendapatkan sertifikat halal wajib mencantumkan keterangan halal pada kemasan produknya.281 B. PEMBAHASAN 1. Prosedur pencantuman label halal pada produk makanan di Indonesia BPOM bekerja sama dengan LPPOM MUI untuk menangkal makanan tak halal, kerjasama ini mencakup pemeriksaan sarana produksi pangan, pencantuman keterangan halal dan penerapan Sistem Jaminan Halal (SJH) pada produk pangan. 282 Label halal saat ini bukan hanya untuk melindungi konsumen muslim akan tetapi sudah merupakan peluang yang mendominasi perdagangan dunia. Sehingga perdagangan produk pangan halal dunia dewasa ini sudah mencapai 629 miliar dolar atau mendekati 50 persen perdagangan pangan dunia yang mencapai 1,2 triliun dolar. Dapat diartikan perdagangan halal ini sudah menjadi perdagangan global dan tidak lagi eksklusif.283 Penerapan label halal di Indonesia dibawah naungan Badan POM kemudian melalui sebuah lembaga LPPOM MUI dan Departemen Agama

279

Departemen Agama, Sistem Prosedur Penetepan Fatwa Produk Halal MUI, Jakarta: Departemen Agama RI, 2003, hlm. 14 280 Departemen Agama. Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, Jakarta : Departemen Agama RI, 2003, hlm. 132 281 Departemen Agama, Modul Pelatihan Auditor Internal Halal, Jakarta : Depertemen Agama, 2003, hlm. 242 282 Rini Friastuti, “LPPOM MUI dan BPOM Kerjasama Tangkal Makanan Tak Halal”, source: http://www.detik.com/news/read/2013/0520/133743/2250667/10/mui-dan-bpomkerjasama-tangkal-makanan-tak-halal, diakses tanggal 28 Mei 2013 pukul 14.10 WIB 283 “Indonesia menjadi Rujukan Halal di 24 Negara”, source: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/23/mk4a86-indonesia-jadi-rujukanhalal-di-24-negara, di akses tanggal 27 Mei 2013, pukul 19.00 WIB.

Hal | 202


yang lebih memfokuskan pada halal dan haramnya bahan makanan tersebut.284 Mengenai pedoman dan tata cara pemeriksaan dan penetapan pangan halal diatur dalam Keputusan Menteri Agama No. 518 Tahun 2001, didalamnya terdapat aturan-aturan secara garis besar mengenai tata cara pemeriksaan dan penetapan pangan halal tersebut. Adapun prosedur penetapan label halal pada produk makanan di Indonesia, adalah sebagai berikut:285 1. Pemohon mengajukan permohonan dengan mengisi formulir permohonan (Lampiran 1) Permohonan dilampiri dengan : a. Spesifikasi sumber/asal usul bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong yang digunakan, dikeluarkan oleh produsen yang membuat bahan tersebut. b. Bahan yang berasal dari hewan, sertakan surat keterangan dari Rumah Pemotongan Hewan yang menjelaskan bahwa hewan tersebut dipotong sesuai dengan hukum Islam. c. Bagan alir proses d. Prosedur tetap setiap langkah produksi. e. Surat persetujuan Pendaftaran (MD/ML) yang dikeluarkan oleh Badan POM (untuk produk yang terdaftar di Badan POM) atau Sertifikat Penyuluhan (SP) yang dikeluarkan Kandep setempat untuk Industri rumah Tangga. f. Dokumen lain yang menunjang penilaian. 2. Formulir permohonan yang sudah diisi diserahkan ke Badan POM, c.q Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan, Subdit Inspeksi Produksi Berlabel Halal, masing-masing rangkap 3 (tiga). 3. Berkas permohonan diperiksa kelengkapannya: a. Berkas yang tidak lengkap dikembalikan kepada pemohon untuk dilengkapi. b. Berkas yang sudah lengkap rangkap 3 (tiga) diteruskan ke LPPOM MUI, Departemen Agama, dan Badan POM 4. Badan POM (sebagai Sekretariat untuk sertifikat dan labelisasi halal) akan membuat jadwal kunjungan yang disepakati oleh TIM dan perusahaan, kemudian melakukan audit ke sarana produksi. 284

Asrul, Kepala Bagian Sekretariat LIK, Badan POM Palembang. Wawancara dilakukan tanggal 24 Mei 2013, pukul 11.00 WIB 285 BPOM, Katalog Produksi, Unit Layanan Pengaduan Konsumen, Jakarta : BPOM, 2004, hlm. 6-9

Hal | 203


a. Pelaksanaan audit oleh Tim Gabungan (Badan POM, Majelis Ulama Indonesia, dan Departemen Agama)286 - LP POM MUI melakukan audit bahan dan proses. Badan POM melakukan audit penerapan GMP/CPMB. Departemen Agama melakukan audit pertanggungjawaban halal dan layanan karyawan muslim. b. Untuk audit tersebut perusahaan diminta mempersiapkan: - Bagan alir proses (manual proses) - Spesifikasi untuk bahan baku dan bahan tambahan - Dokumen pembelian bahan-bahan dua bulan terakhir - Pabrik sedang berproduksi produk yang diajukan untuk sertifikasi dan labelisasi halal c. Setelah melakukan audit TIM Gabungan akan membuat Berita Acara tentang: - Bahan-bahan yang digunakan harus sesuai dengan permohonan yang diajukan dan spesifikasi yang dilampirkan. - Purchehe order bahan-bahan apakah sesuai dengan bahan-bahan yang digunakan. - Pemeriksaan kartu stock di gudang (kemana saja bahan tersebut disalurkan) - Penilaian pabrik apakah sudah melakukan Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB). - Bila diperlukan TIM Gabungan akan melakukan sampling bahan dan diuji di Lab LP POM MUI. d. Biaya audit dibebankan kepada perusahaan yang diperhitungkan atas dasar kebutuhan: - Honorarium untuk auditor. - Tiket pesawat, akomodasi, transpor di daerah dan hotel diselenggarakan pemohon. - Biaya administrasi (pengurusan). e. Penjemputan auditor (bila di dalam kota) - Auditor Badan POM dan Departemen Agama dijemput di Badan POM c.q Sub Dit Inpeksi Produk Berlabel Halal, Jl. Percetakan Negara No. 23 Gedung F Lantai 2 Jakarta Pusat, telp. (021) 42875518. 286

Departemen Agama, Tanya Jawab Seputar Produksi Halal, Jakarta : Departemen Agama RI, 2003, hlm. 24

Hal | 204


-

5.

6.

7.

8.

9.

Auditor LPPOM MUI dijemput di Laboratorium Terpadu Kimia Analis FMIPA IPB, Jl. Lodaya II No. 3 Bogor, telp. (0251) 358748. Hasil audit 3 komponen tersebut diatas dapat berupa perbaikan dan kelengkapan yang disampaikan melalui pemberitahuan resmi. - Hasil audit yang tidak memenuhi syarat Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) dibahas di Badan POM untuk ditindak lanjuti. - Hasil audit mengenai kehalalan bahan dibahas oleh Tim Evaluasi LP POM MUI dan apabila memenuhi syarat akan diteruskan ke Komisi Fatwa Hasil komisi fatwa: - Memenuhi syarat akan dikeluarkan Sertifikat Halal oleh MUI - Belum memenuhi syarat dikembalikan ke pemohon untuk dilengkapi dan bila perlu akan dilakukan audit ulang. Pemohon yang telah mendapatkan sertifikat halal dari MUI segera mengirimkan foto kopi sertifikat halal ke Badan POM cq Direktorat Inspeksi dam sertifikat Pangan untuk penerbitan ijin labelisasi halal. Berdasarkan Sertifikat Halal dari MUI dan hasil pemeriksaan yang sudah memenuhi syarat Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB), Badan POM mengeluarkan ijin pencantuman tulisan halal pada label produk. Setelah memperoleh izin tersebut, produsen dapat mencantumkan tulisan/logo pada label produk yang bersangkutan.

Industri Pangan yang akan mengajukan sertifikasi halal disyaratkan telah menyusun dan mengimplementasikan Sistem Jaminan Halal (SJH).287 Sistem Jaminan Halal adalah sistem yang mencakup organisasi, tanggung jawab, prosedur, kegiatan, kemampuan, dan sumber daya yang bertujuan untuk menjamin bahwa proses produksi yang dilakukan dapat menghasilkan produk halal. 288 Pengaturan secara khusus mengenai sertifikasi halal dilakukan oleh LPPOM MUI, yaitu sebagai berikut:289

287

“Label Halal di Beberapa Negara ASEAN�, source: http://erywijaya.wordpress.com/2010/03/23/label-halal-di-negara-asean/, tanggal akses 30 Mei 2013 pukul 20.00 WIB 288 Departemen Agama, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, Op.cit., hlm. 131 289 LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal MUI, Op.cit., hlm. 10

Hal | 205


1) Sistem Sertifikasi Halal a. Proses Sertifikasi Halal Sistem Jaminan Halal merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses sertifikasi halal. Prosedur proses sertifikasi halal dapat dilihat pada. Gambar 1. Dokumen SJH (1)

Pendaftaran

Dokumen Sertifikasi Produk

Audit Produk

Evaluasi Audit

Audit Memorandum Bahan

Fatwa Ulama

Sesuai Dokumen SJH 2) Sertifikat HALAL

Gambar 1. Diagram Alir Proses Sertifikasi Halal. Sumber : Buku LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal, Jakarta : LPPOM MUI, 2008, hlm. 11

Keterangan : Pada diagram alir (Gambar 1) pengertian Dokumen SJH adalah sebagai berikut: 1. Untuk perusahaan baru yang belum memiliki Sertifikat Halal MUI, Dokumen SJH yang dibutuhkan adalah: a. Dokumen SJH1) berupa surat pernyataan di atas materai bahwa perusahaan bersedia menyerahkan Manual SJH Standard paling lambat enam bulan setelah terbitnya SH.

Hal | 206


b. Dokumen SJH2) berupa manual SJH minimum yang terdiri dari klausul kebijakan halal, struktur manajemen halal dan ruang lingkup penerapan SJH. 2. Untuk perusahaan yang telah memiliki Sertifikat Halal MUI namun audit implementasi SJH belum dilakukan, Dokumen SJH yang dibutuhkan adalah : a. Dokumen SJH1) berupa Manual SJH Minimum terdiri dari : klausul kebijakan halal, struktur manajemen halal dan ruang lingkup penerapan SJH. b. Dokumen SJH2) berupa Manual SJH Standar terdiri dari : I. Informasi Dasar Perusahaan II. Kendali Dokumen III. Tujuan Penerapan IV. Ruang Lingkup Penerapan V. Kebijakan Halal VI. Panduan Halal VII. Struktur Manajemen Halal VIII. Standard Operating Procedures (SOP)

IX. Acuan Teknis X. Sistem Administrasi XI. Sistem Dokumentasi XII. Sosialisasi XIII. Pelatihan XIV. Komunikasi Internal dan Eksternal XV. Audit Internal XVI. Tindakan Perbaikan XVII. Kaji Ulang Manajemen

3. Untuk perusahaan yang telah mendapatkan status SJH minimal B (cukup) dan akan memperpanjang masa berlaku SH-nya, Dokumen SJH yang dibutuhkan adalah : 1. Dokumen SJH1) berupa laporan berkala terkini dan Revisi Manual SJH (jika ada) atau copy status SJH minimal B atau Sertifikat SJH. 2. Dokumen SJH2) tidak diperlukan. SJH dapat diterapkan pada berbagai jenis industri seperti industri pangan, obat, kosmetik baik dalam skala besar maupun kecil serta

Hal | 207


memungkinkan untuk industri berbasis jasa seperti importir, distributor, transportasi, dan retailer. b. Siklus Operasi SJH SJH merupakan kerangka kerja yang dipantau terus menerus dan dikaji secara periodik untuk memberikan arahan yang efektif bagi pelaksanaan kegiatan proses produksi halal. 290 Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya peluang perubahan baik secara internal maupun eksternal. 2) Pemangku Kepentingan (Stakeholder) Pemangku kepentingan terhadap proses sertifikasi halal yaitu Manajemen perusahaan, Auditor Halal Internal, LPPOM MUI, dan Komisi Fatwa MUI.291 Prosedur penetapan label halal di Indonesia saat ini sudah sangat baik akan tetapi yang terjadi dilapangan banyak sekali kecurangan. Kelemahan yang ada saat ini karena label halal pada kemasan makanan dicetak sendiri oleh pelaku usaha. Hal ini umumnya dilakukan pelaku usaha yang ingin melakukan penghematan sehingga pelaku usaha mencetak pembungkus dan label halal sekaligus untuk kebutuhan lebih dari dua tahun. Padahal sertifikat halal yang sudah lulus uji oleh LPPOM MUI hanya berlaku selama dua tahun. Akibat negatifnya, usia sertifikat telah habis dan belum diperpanjang atau perusahaan mengubah bahan baku atau tambahan dengan barang yang belum tentu halal, pangan yang beredar tersebut tetap berlabel halal.292 Akibat lain dari label halal yang dicetak sendiri, label halal jadi tidak memenuhi standar baik bentuk, warna, ukuran, gaya atau jenis penulisan dan bahan, sehingga sulit diawasi dan mudah sekali dipalsukan. Karena mudahnya mencetak label halal yang tidak standar tersebut, maka sangat mudah sekali perusahaan mencetak label halal meskipun belum diperiksa. Akibatnya banyak pemalsuan label halal yang terjadi dimasyarakat saat ini.293 2. Perlindungan hukum bagi konsumen terhadap pemalsuan label halal pada produk makanan di Indonesia. Setiap konsumen memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum atas kerugian yang diterimanya. Agar pelaku usaha menyadari pentingnya 290

Departemen Agama, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, Op.cit., hlm.

159 291

LPPOM MUI, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal MUI, Op.cit., hlm. 15 Departemen Agama, Modul Pelatihan Auditor Internal Halal, Op.cit., hlm. 32 293 Ibid 292

Hal | 208


kewajibannya untuk mencantumkan label halal dan menjamin kehalalan produknya maka harus ada sanksi dari setiap kecurangan pemalsuan label halal bagi pelaku usaha. Berdasarkan Pasal 62 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), bagi setiap Pelaku usaha yang melanggar ketentuan pada Pasal 8 huruf h UUPK yaitu tidak mengikuti ketentuan produksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal� yang dicantumkan pada label maka akan di pidana dengan pidana pernjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar).294 Bagi pelaku usaha yang melanggar Pasal 105 ayat 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yaitu setiap orang yang menyatakan dalam iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan wajib bertanggung jawab atas kebenarannya, maka bagi setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda; penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; ganti rugi; dan/atau pencabutan izin hal ini ditegaskan dalam Pasal 106 ayat 2 Undangundang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. 295 C. PENUTUP 1. Perlu adanya penyempurnaan peraturan dan ketentuan penyusunan standar halal serta peningkatan koordinasi antara MUI pusat dengan MUI yang ada didaerah karena sudah saatnya ada sistem dan prosedur fatwa secara umum dan sistem dari prosedur produk fatwa produk halal yang berlaku untuk seluruh dunia khususnya untuk negara seperti Indonesia. Rancangan Undang-undang tentang Jaminan Produk Halal secepatnya diberlakukan agar pengaturan tentang keharusan bagi semua pelaku usaha untuk menjamin kehalalan pada produknya dan tentang pengaturan pencantuman label pada kemasan makanan tersebut dilakukan oleh satu lembaga saja, agar pelaku usaha tidak dapat lagi melakukan pemalsuan label halal pada produk makanan yang diperdagangkan. 2. Adanya koordinasi dengan tiga unsur utama yaitu, pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat/konsumen tentang sertifikat halal dan label halal. Pemerintah harus lebih aktif untuk mensosialisasikan dan menumbuhkan 294

Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 377 295 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5360)

Hal | 209


rasa kepedulian bagi pelaku usaha pentingnya produk halal kepada masyarakat luas dan mendorong semakin banyak pelaku usaha untuk mendapatkan sertifikat halal melalui Lembaga Pengkajian Makanan, Obatobatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI ) serta menjadi mitra untuk mempermudah masyarakat dalam memperoleh berbagai jenis produk halal. Diperlukan juga sosialisasi melalui media televisi, internet, radio, dan media cetak untuk memberikan informasi tentang produk-produk halal atau haram dan jenis-jenis produk halal tersebut dapat di akses melalui situs internet yang memiliki database produk-produk yang dinyatakan halal atau haram. Penyebaran informasi tentang halal ini harus dilakukan secara meluas dan terus menerus. Melakukan penyempurnaan peraturan yang ada tentang standar label halal resmi yang ditetapkan oleh Pemerintah sehingga tidak terjadi pemalsuan. Sebagai contoh negara-negara lain seperti Singapura, Malaysia, Amerika, dan negara lainnya yang memiliki standar label halal resmi.

Hal | 210


DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Ahmad Miru dan Sutarno Yodo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. BPOM. 2004. Katalog Produksi, Unit Layanan Pengaduan Konsumen. Jakarta: BPOM RI. Departemen Agama. 2003. Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal. Jakarta : Departemen Agama RI. Departemen Agama. 2003. Sistem Jaminan Halal. Jakarta : Depertemen Agama RI. Departemen Agama. 2003. Sistem Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal MUI. Jakarta : Departemen Agama RI. Departemen Agama. 2003. Tanya Jawab Seputar Produksi Halal. Jakarta : Departemen Agama RI. Departemen Agama. 2003. Modul Pelatihan Auditor Internal Halal. Jakarta: Departemen Agama RI. LPPOM MUI. 2008. Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LP-POM MUI. Jakarta : LPPOM MUI. Yusuf Shofie. 2003. Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. B. PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5360) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. (Lembaran Negara Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3867) Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 518 Tahun 2001 tentang Pedoman dan Tatacara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal Surat Keputusan Nomor 519 Tahun 2001 tentang Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal C. INTERNET “Produk Halal dan Perubahan Masyarakat�, source: http://jambi.kemenag.go.id/file/dokumen/PRODUKHALALDANPERUB AHANMASYARAKAT.pdf

Hal | 211


“Keputusan-keputusan Kementrian Agama”, source: http://www.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=kepmenag, http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F360/Ment eri%20Agama.htm, diakses tanggal 29 Desember 2012 pukul 20. 35 WIB Rini Friastuti. “LPPOM MUI dan BPOM Kerjasama Tangkal Makanan Tak Halal”, source: http://www.detik.com/news/read/2013/0520/133743/ 2250667/10/mui-dan-bpom-kerjasama-tangkal-makanan-tak-halal “Indonesia menjadi Rujukan Halal di 24 Negara”, source: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/03/23/mk4a86indonesia-jadi-rujukan-halal-di-24-negara “Label Halal di Beberapa Negara ASEAN”, source: http://erywijaya.wordpress.com/2010/03/23/label-halal-di-negara-asean/, D. HASIL WAWANCARA Muhammad Asrul, S.Si., A.tp, Kepala Bagian Sekretariat LIK, Badan POM Palembang. Tanggal wawancara 24 Mei 2013, pukul 11.00 WIB Sugito, S.TP., M.Si, Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan, dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Provinsi Sumatera Selatan, tanggal wawancara 30 Mei 2013 pukul 14.00 WIB

Hal | 212


Fungsi dan Akibat Hukum Penomoran Produk Pangan Oleh Badan Pemeriksa Obat dan Makanan Oleh: Mita Rachmijati, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Dr. M. Syaifuddin, SH.,M.Hum dan Sri Handayani, SH.,M.Hum

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting dalam kehidupan manusia selain kebutuhan sandang dan papan. Dimuat dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, adalah bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk pembangunan nasional.296 Untuk produk pangan ada peraturan khusus yang berlaku, yaitu UndangUndang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 91 yaitu dalam hal pengawasan keamanan, mutu, dan gizi, setiap Pangan Olahan yang dibuat didalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran, Pelaku Usaha Pangan wajib memiliki izin edar. Izin edar di Indonesia berbentuk Nomor Pendaftaran Pangan Olahan yang dikeluarkan Oleh Badan Pemeriksa Obat dan Makanan. Makadari itu dalam rangka pengawasan ini, Indonesia harus memiliki Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM) yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi, mencegah dan mengawasi produk-produk termasuk untuk melindungi keselamatan, kesehatan dan keamanan konsumennya baik di dalam maupun di luar negeri.297 Institusi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap peredaran produk pangan olahan di seluruh Indonesia adalah Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia. BPOM harus turut mengawasi dan mengatur dalam hal pemberian izin dan peredaran produk makanan agar dapat terwujudnya standarisasi produk yang baik. 296

Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004, hlm.121 297 www.pom.go.id, Profil : Latar Belakang Badan POM, diakses pada tanggal 25 november 2012

Hal | 213


Selain itu pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan keamanan pangan. Diantaranya adalah peraturan tentang kewajiban pendaftaran produk pangan olahan seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Semua produk pangan yang akan dijual di wilayah Indonesia, bagi produksi lokal maupun impor, wajib didaftarkan dan mendapatkan nomor pendaftaran dari Badan POM, sebelum boleh diedarkan ke pasar. BPOM akan menguji produk pangan melalui uji laboratorium kemudian mendapat surat persetujuan pendaftran pangan. Setelah diberikan nomor pendaftaran pangan, produk diizinkan untuk beredar. Peraturan ini berlaku bagi semua produk pangan yang dikemas dan menggunakan label sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Rumusan Permasalahan 1.

Apakah fungsi dari penomoran produk pangan oleh BPOM (Badan Pemeriksa Obat dan Makanan)?

2.

Apakah akibat hukum dari penomoran produk pangan oleh BPOM (Badan Pemeriksa Obat dan Makanan) terhadap produsen dan produk pangannya?

3.

Selain produsen, apakah BPOM (Badan Pemeriksa Obat dan Makanan) dapat dituntut pertanggungjawabannya karena terjadinya kerugian pada konsumen terhadap produk pangan yang telah diberi nomor BPOM?

3. Kerangka Teori Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.BPOM adalah sebuah lembaga di Indonesia yang bertugas mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan di Indonesia.Produk pangan olahan adalah makanan dan minuman hasil proses dengan cara atau metoda tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.Nomor pendaftaran pangan adalah nomor yang diberikan bagi pangan olahan dalam rangka peredaran pangan yang tercantum pada surat persetujuan pendaftaran.

Hal | 214


B. PEMBAHASAN 1. Fungsi Dari Penomoran Produk Pangan Oleh BPOM (Badan Pemeriksa Obat dan Makanan) Pendaftaran produk pangan merupakan tindakan preventif dalam rangka melindungi masyarakat terhadap produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu keamanan dan gizi pangan.298 Pendaftaran produk pangan juga merupakan salah satu upaya dalam pengawasan terhadap produk pangan sebelum produk tersebut dijual dipasaran (pre market approval ). Produk pangan olahan yang diproduksi oleh industri pangan sebelum diedarkan di pasaran harus di evaluasi terlebih dahulu untuk menjamin keamanan, mutu dan gizi pangan serta pelabelan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di Indonesia sistem pre market approval wajib dilaksanakan oleh setiap produsen pangan terhadap produk pangan yang diproduksinya sebelum produk tersebut dijual di pasaran. Ketentuan tersebut tercantum dalam UU RI Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 disebutkan bahwa setiap pihak yang memproduksi pangan atau memasukkan pangan ke wilayah Indonesia wajib mendaftarkan pangan yang diproduksinya atau pangan yang diimpornya ke Badan Pengawas Obat dan Makanan sebelum produk tersebut diedarkan di pasaran. Badan Pengawas Obat dan Makanan merupakan lembaga pemerintah non Departemen yang diberi wewenang mengawasi peredaran obat, kosmetika, obat tradisional, suplemen makanan dan pangan, sebelum beredar dan setelah diedarkan di pasaran.299 Pendaftaran Pangan di Indonesia bertujuan melindungi masyarakat terhadap peredaran produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan gizi pangan. Kewajiban pendaftaran produk pangan di Indonesia berlaku bagi pangan hasil produksi dalam negeri dan pangan impor ( hasil produksi luar negeri ) sesuai peraturan Permenkes RI Nomor 382/Menkes/Per/VI/89 tentang pendaftaran makanan yang telah diperbaharui menjadi Keputusan Kepala BPOM RI No.HK.00/05.1.2569 tentang Kriteria dan Tata Laksana Penilaian Produk Pangan. Penilaian produk pangan adalah proses penilaian dalam rangka pengawasan produk pangan sebelum diedarkan yang meliputi mutu, gizi, dan 298

Ratminah, Mutu Pelayanan Pendaftaran Produk Pangan Pada Direktorat Penilaian Keamanan Pangan Badan POM, Bogor: IPB, 2009, hlm 1 299 Hasil Wawancara dengan Bapak Muhammad Asrul, (Ka. Bid. Sertifikasi dan LIK Balai Besar POM Palembang ),tanggal 24 Mei 2013

Hal | 215


keamanan serta label produk pangan untuk memperoleh nomor pendaftaran pangan. Setiap produk pangan yang diedarkan di wilayah Indonesia wajib memenuhi persyaratan mutu, gizi dan keamanan serta label pangan.300 Pendaftaran produk pangan diwajibkan bagi perusahaan yang memproduksi produk pangan olahan yang terkemas dan berlabel sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. 301 Yang dimaksud pangan olahan yaitu makanan dan minuman hasil proses dengan cara atau metoda tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan. Setiap produk pangan yang didaftarkan akan dievaluasi atau dinilai, baik dari segi keamanan, mutu dan gizi serta pelabelan produk pangan yang menyesatkan. Penilaian keamanan, mutu dan gizi pangan menggunakan standar Nasional Indonesia (SNI) yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan untuk setiap produk pangan mempunyai SNI yang berbedabeda. Pangan olahan dibedakan menjadi:302 a. b. c. d.

Pangan olahan produksi sendiri Pangan Olahan Lisensi Pangan Olahan yang dikemas kembali Pangan Pangan Olahan yang diproduksi berdasarkan kontrak

Selain produk pangan yang wajib didaftarkan, ada beberapa produk pangan yang tidak wajib didaftarkan yaitu produk pangan yang mempunyai kriteria sebagai berikut :303 a. Pangan olahan yang daya tahannya tidak lebih dari 7 (tujuh) hari pada suhu kamar. b. Pangan olahan yang dimasukkan ke wilayah indonesia dalam jumlah kecil untuk keperluan penilaian produk pangan, penelitian dan konsumsi sendiri. Produk pangan olahan yang telah dinilai dan memenuhi persyaratan akan diberikan surat persetujuan pendaftaran produk pangan yang terdiri dari 12 ( dua belas ) digit diawali dengan kode MD dan ML, dalam setiap digit berisi kode dari produk pangan olahan tersebut. 300

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor :HK.00/05.1.2569 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Penilaian Produk Pangan, Pasal 2 angka (1) 301 Ratminah, Op Cit, hlm 3 302 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor :HK.03.1.5.12.11.09955 Tentang Pendaftaran Pangan Olahan 303 Ibid, hlm 4

Hal | 216


Bagi makanan dalam negeri diperlukan fotocopi izin industri dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Untuk formulir pendaftaran bisa didapatkan di Bagian Tata Usaha Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, Badan POM. Setelah formulir ini diisi dengan lengkap, kemudian diserahkan lagi bersama contoh produk dan rancangan label yang sesuai dengan yang akan diedarkan. 304 Nomor pendaftaran pangan ini diberikan oleh BPOM setelah dilakukan penilaian keamanan pangan.305 Nomor pendaftaran pangan harus dimiliki oleh suatu produk pangan olahan agar produk tersebut dapat beredar di pasaran. Produk makanan yang mempunyai nomor pendaftaran pangan peredarannya diawasi oleh BPOM. Apabila ditemukan sampel pada produk pangan yang diambil tidak memenuhi syarat, akan dilakukan penarikan pada produk tersebut.306 Bagi BPOM nomor pendaftaran pangan untuk memudahkan dalam proses mengidentifikasi jika terjadi pemalsuan pada produk pangan yang beredar di pasaran. Serta untuk memudahkan dalam menelusuri siapa yang bertanggung jawab bila terjadi masalah produk pangan olahan. Bagi konsumen nomor pendaftaran pangan juga memudahkan dalam pemilihan produk pangan yang aman untuk di konsumsi. Sebelum mengkonsumsi produk pangan olahan konsumen diwajibkan membaca label informasi ada produk, nomor pendaftaran pangan merupakan salah satu informasi yang harus diperhatikan. Konsumen dapat memastikan keaslian nomor pendaftaran pangan pada suatu produk pangan olahan secara online melalui website BPOM (http//:www.pom.go.id). Bagi produsen nomor pendaftaran pangan ini turut meringankan produsen bila terjadi kasus terhadap suatu produk pangan olahan yang menyebabkan penghentian produksi atau penarikan produk pangan dari peredaran. Sehingga apabila terjadi penghentian produksi atau penarikan produk dari pasaran, hanya dilakukan pada lokasi pabrik dan produk yang diproduksi di lokasi pabrik yang bermasalah saja.

304

Hasil Wawancara dengan Bapak Muhammad Asrul, (Ka. Bid. Sertifikasi dan LIK Balai Besar POM Palembang ),tanggal 24 Mei 2013 305 Hasil Wawancara dengan Bapak Muhammad Asrul, (Ka. Bid. Sertifikasi dan LIK Balai Besar POM Palembang),tanggal 24 Mei 2013 306 Syaifuddin Naim, Mengenal makanan Yang Memenuhi Syarat, drsyaifuddinnaim .wordpress.com/2009/11/05/mngenal-makanan-yang-memenuhi-syarat/ , 05 November 2009, diakses tanggal 08 Juni 2013

Hal | 217


2. Akibat Hukum Dari Penomoran Produk Pangan Oleh BPOM (Badan Pemeriksa Obat dan Makanan) Terhadap Produk Pangan dan Produsen Akibat hukum adalah suatu akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu hubungan hukum. Merupakan suatu hubungan hukum yang memberikan hak dan kewajiban yang telah diatur oleh undang-undang, yang bila dilanggar akan menimbulkan akibat, orang yang melanggar itu bisa dituntut di muka pengadilan. 307 Sarana produksi pangan skala menengah keatas adalah sarana yang memproduksi pangan yang wajib memiliki surat persetujuan pendaftaran produk pangan olahannya dari BPOM, sebelum diedarkan, surat persetujuan pendaftaran diterbitkan oleh kepala badan berdasarkan hasil penilaian keamanan mutu dan gizi pangan. Bagi produsen yang telah melakukan pendaftaran produk pangan olahan ke Badan POM serta mendapatkan surat persetujuan pendaftaran pangan dari BPOM, kemudian akan diberi nomor registrasi dengan kode MD untuk produk pangan olahan dalam negeri dan ML untuk produk pangan olahan impor. Masa berlaku dari Surat Persetujuan Pendaftaran hanya selama 5 (lima) tahun bagi pangan olahan yang surat persetujuan pendaftarannya telah habis masa berlakunya dinyatakan tidak berlaku lagi. Maka produsen wajib melakukan Pendaftaran Kembali pangan olahan bisa dilakukan paling cepat 6 bulan sebelum masa berlaku surat persetujuan pendaftaran berakhir 308 . Jika produk pangan tersebut tidak dilakukan pendaftaran kembali, maka pangan olahan tersebut dilarang untuk diedarkan. Telah diatur mengenai sanksi produk pangan tanpa izin edar dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan bahwa “Pelaku usaha pangan yang dengan sengaja tidak memiliki izin edar terhadap setiap pangan olahan yang dibuat didalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dipidana penjara paling lama (dua) tahun atau denda paling banyak empat milyar rupiah (Rp. 4.000.000.000,00)309 Dimuat dalam Peraturan Kepala BPOM RI No.HK.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 Tentang Pendaftaran Pangan Olahan Pasal 37 Angka (1) : 307

Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hlm 131 308 Hasil Wawancara dengan Bapak Muhammad Asrul, (Ka. Bid. Sertifikasi dan LIK), tanggal 24 Mei 2013 309 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5360

Hal | 218


“Perusahaan bertanggung jawab atas mutu, gizi, dan keamanan, serta Label Pangan Olahan yang diedarkan sesuai dengan informasi yang disetujui pada saat pendaftaran.� Tanggung jawab tersebut berlaku untuk Pangan olahan lisensi, Pangan olahan yang dikemas kembali oleh pihak produsen dan Pangan olahan produksi sendiri. Bagi produk pangan olahan yang diproduksi didalam negeri ( kode MD) tanggung jawab berada di pihak pemberi kontrak, pemberi kontrak adalah perorangan dan/atau badan usaha yang memilki izin usaha di bidang produksi pangan olahan berdasarkan kontrak dan memiliki izin usaha industri sesuai dengan jenis pangan olahan yang diproduksi. Sedangkan untuk pangan olahan yang dimasukkan kedalam wilayah Indonesia berada di pihak importir atau distributor yang melakukan pendaftaran. Selain itu BPOM juga melaksanakan sistem Post market terkait masa setelah produk memiliki ijin edar dan telah di edarkan di masyarakat. Teknik pengawasan produk pangan olahan yaitu selama peredaran produk dilakukan pengawasan terus menerus secara berkesinambungan yaitu melalui pemeriksaan/inspeksi sarana dilapangan, baik disarana produksi maupun sarana distribusi.310 Selanjutnya dilakukan sampling terhadap produk dan pemeriksaan label, kemudian dilanjutkan dengan pengujian laboratorium terhadap mutu dan keamanan produk. Jadi dalam post market ini dilakukan secara rutin oleh Badan POM dengan wujud nyata melakukan sampling ke pasar, warung, supermarket, dan toko. Petugas memeriksa labelnya, apakah baik atau tidak, apakah ada rusak/ cacat pada kemasannya, ada ijin edar atau tidak yang ditandai dengan kode MD atau ML, ada kode produksi atau tidak, dan untuk pangan impor labelnya harus bertuliskan bahasa Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam PP 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan. Waktu pengawasan oleh petugas Badan POM dilakukan secara berkala, yang pelaksanaannya bisa sekali atau lebih dalam tiap bulan. Biasanya Balai POM tiap daerah Provinsi mempunyai data/peta/daftar sarana distribusi dari toko kecil (kios) hingga ritel-ritel besar seperti Carrefour atau Hipermart, kemudian dibuat perencanaan dalam suatu skala, misalnya sarana distribusi mana saja yang menjadi target untuk pemeriksaan. Balai POM melakukan pelaporan hasil inspeksi ke Badan POM pusat selama 3 bulan sekali. Pusat 310

Irna Nurhayati, Efektifitas Pengawasan Badan Obat dan Makanan Terhadap Peredaran Produk Pangan Olahan Impor Dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen, Yogyakarta: Mimbar Hukum, Volume 21, Nomor 2, Juni 2009, hlm 210

Hal | 219


mengevaluasi laporan tersebut dan secara periodik melakukan inspeksi. Laporan terhadap adanya laporan kasus bisa dalam bermacam bentuk, inspeksi yang dilakukan Badan POM, pelaporan dari konsumen melalui ULPK (Unit Layanan Perlindungan Konsumen) Badan POM, maupun informasi dari media atau lembaga seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).311 Jika dalam suatu inspeksi hanya ditemukan label-label yang tidak memenuhi syarat sesuai yang telah didaftarkan, Badan POM memerintahkan pelaku usaha/ sarana distribusi yang menjual produk tersebut untuk menarik produknya dan memperbaiki atau menggantinya. Jika dalam kasus produk pangan olahan impor, maka perintah ini ditujukan kepada importir. Jika yang ditemukan adalah bahan-bahan berbahaya yang terkandung di dalam suatu produk pangan, Badan POM terlebih dahulu mengambil sampel pangan tersebut untuk diteliti di Laboratorium Badan POM, dan jika positif, maka Badan POM segera memberitahukan produsen melalui surat pemberitahuan berupa hasil uji laboratorium, dan memerintahkannya untuk menarik dan memusnahkan semuaa produk tersebut. Dalam hal produk pangan olahan yang benar-benar bermasalah dan membahayakan kesehatan dan konsumen, maka akan dikeluarkan public warning.312 3. Pertanggungjawaban BPOM Terhadap Terjadinya Kerugian Pada Konsumen Menurut hukum setiap tuntutan pertanggungjawaban produk harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum seseorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain itu untuk memberi pertanggungjawabannya. Diatur dalam hukum perdata dasar dari pertanggungjawaban terdiri dua macam, yaitu kesalahan dan risiko, dengan demikian, dikenal pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (liability based on fault) dan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault), yang juga dikenal dengan tanggung jawab risiko atau tanggung jawab mutlak (strict liability). Mengenai prinsip pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (liability based on fault) mengandung arti bahwa seseorang itu harus bertanggungjawab karena ia telah bersalah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Dalam prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan beban pembuktian ada pada pihak 311

Ibid, hlm 211 Hasil Wawancara dengan Bapak Muhammad Asrul, (Ka. Bid. Sertifikasi dan LIK Balai Besar POM Palembang), tanggal 24 Mei 2013 312

Hal | 220


yang menderita kerugian (burden of proof on the plaintif). 313 Apabila orang yang menderita kerugian tidak dapat membuktikan adanya unsur kesalahan pada pihak yang merugikan maka orang yang menderita kerugian tersebut tidak berhak untuk memperoleh santunan atau kompensasi.314 Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat� pelaku usaha (produsen), khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang dapat merugikan konsumen.315 Asas tanggung jawab dikenal dengan nama product liability. Bagi asas ini, produsen wajib untuk bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Dalam hal demikian terlihat bahwa adagium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab) telah ditinggalkan dan kini berlaku caveat venditor (pelaku bertanggung jawab).316 Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal:317 a. Melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya efek atau khasiat yang timbul berbeda atau tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk. b. Ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standar pembuatan produk pangan olahan yang baik. c. Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability) Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak, maka produsen telah dianggap bersalah bila terjadi kerugian kepada konsumen akibat produk yang merugikan, kecuali apabila produsen dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan disebabkan oleh produsen.318 Prinsip tanggung jawab mutlak (strict product liability) merupakan tanggung jawab yang tidak didasarkan pada aspek kesalahan (fault/negligence) dan hubungan kontrak (privity of contract), tetap didasarkan pada cacatnya produk (objective liability) dan risiko atau kerugian yang diderita konsumen. Dikatakan bahwa tujuan utama dari prinsip tanggung jawab mutlak adalah jaminan atas konsekuensi atau

313

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo, 2000, hlm 60 H.E. Saefullah, Beberapa Masalah Pokok Tentang Tanggung Jawab Pengakutan Udara, UNISBA, 1999, hlm 2 315 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Sinar Grafika, 2008, hlm 97 316 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Bogor : Ghalia Indonesia, 2008, hlm 67 317 Ibid, hlm 97 318 Adrian Sutedi, Op Cit, hlm 83 314

Hal | 221


akibat hukum dari suatu produk yang mengakibatkan kerugian bagi konsumen .319 Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen terdapat adanya hak-hak serta kewajiban dari konsumen dan hak-hak serta kewajiban dari produsen. Dengan adanya pengetahuan terhadap hak-hak serta kewajiban yang dimiliki konsumen, ditambah adanya pengetahuan terhadap-hak-hak serta kewajiban yang memadai tentang produk pangan yang akan dibeli dan dengan dibantu dengan peraturan yang ada, diharapkan konsumen mampu melidungi dirinya untuk tidak membeli atau mengkonsumsi produk pangan olahan yang tidak layak konsumsi. Produsen sebagai penghasil produk harus menjamin bahwa produk yang dihasilkan adalah cukup aman untuk dikonsumsi dan berkualitas. Oleh karena itu apabila dilain hari muncul keluhan atas kerusakan produk pangan dan mengakibatkan kerugian pada konsumen, maka pelaku usaha usaha harus bertanggungjawab penuh atas beban kerugian yang diderita konsumen.Banyak hal yang dapat merugikan konsumen, diantaranya masalah yang berkaitan dengan harga barang, mutu barang, persaingan curang, penipuan, pemalsuan, serta periklanan yang menyesatkan, dan lain lain. Hal ini tidak hanya dapat merugikan kesehatan atau harta benda, bahkan dapat terjadi kematian. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga telah mengatur tentang tanggung jawab produk secara tegas, seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 19 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini jika konsumen menderita kerugian berupa terjadinya kerusakan, pencemaran, atau kerugian finansial dan kesehatan karena mengkonsumsi produk produk yang diperdagangkan, produsen sebagai pelaku usaha wajib memberi penggantian kerugian, baik dalam bentuk penggantian barang, pengembalian uang, perawatan, maupun dengan pemberian santunan. Penggantian kerugian itu dilakukan dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Dapat diartikan ketentuan ini tidak memaksudkan supaya persoalan diselesaikan melalui pengadilan, tetapi menggunakan kewajiban mutlak bagi produsen untuk memberi ganti kerugian kepada konsumen. Tetapi dengan dengan memperhatikan Pasal 19 ayat (5) maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud adalah bila pihak produsen yang memiliki kesalahan. Tetapi bila 319

Yudha H.N dan Dwi W.P, “Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) Dalam Rangka Perlindungan Konsumen�, Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, volume 5, Nomor 2, Desember 2011, hal 183

Hal | 222


kesalahan itu ada pada konsumen maka produsen dibebaskan dari kewajiban tersebut. Dalam hal pembuktian unsur kesalahan, dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 diatur pada Pasal 28 yang menyebutkan : Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasa 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha/ produsen. Dengan demikian, dengan didasari ketentuan Pasal 28 tersebut, konsumen tidak perlu membuktikan unsur kesalahan untuk mendapatkan ganti kerugian dari pelaku usaha, tetapi pelaku usahalah yang harus membuktikan kesalahannya dalam gugatan ganti rugi. Beban pembuktian ini merupakan suatu hal yang wajar, karena konsumen tidaak mengetahui tentang proses pembuatan produk pangan serta pendistribusiannya. Karena itu sangat berat bagi konsumen untuk membuktikan suatu kesalahan atau cacat produk yang dilakukan oleh produsen dan distributornya. Kerugian yang dialami konsumen karena konsumsi produk pangan, karena produk cacat, berbahaya, hingga membuat konsumennya menjadi korban, adalah tanggung jawab mutlak produsen atau yang dipersamakan dengannya. Dengan memakai prinsip pertangungjawaban risiko, maka pembuktiannya pun berubah, yaitu bahwa kewajiban pembuktian dibebankan kepada produsen. Yang berlaku adalah sistem pembuktian terbalik, yang dalam hukum acara perdata dikenal dengan omkering van bewijslast. Bermaksud untuk meningkatkan pelayanan perlindungan bagi para konsumen sebaiknya kepada produsen dibebankan tanggung jawab atas dasar risiko (risk liability, strict liability), yang dalam pelaksanaannya dapat diterapkan secara selektif lebih dahulu, misalnya khusus bagi produsen besar. Dilihat dari undang-undang serta peraturan-peraturan yang berlaku , BPOM sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) tidak bertanggung jawab atas terjadinya kerugian pada produsen walaupun produk pangan olahan yang di konsumsinya telah memiliki nomor pendaftaran pangan. 320 Banyak pertimbangan-pertimbangan yang perlu diperhatikan terutama terhadap konsumen dan produsen. Kerugian yang diderita oleh seorang pemakai produk yang cacat atau berbahaya, juga bagi pemakai yang turut jadi korban, merupakan suatu tanggung jawab mutlak bagi pelaku usaha sebagaimana diatur dalam pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 320

Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad Asrul (Ka. Bid. Sertifikasi dan LIK Balai Besar POM Palembang) ,tanggal 23 Mei 2013

Hal | 223


Tentang Perlindungan Konsumen. 321 Maka BPOM hanya berperan dalam pemberian nomor pendaftaran pangan, mengawasi peredaran produk pangan, serta melakukan pembinaan. 322 Untuk konsumen yang dirugikan karena disebabkan mengonsumsi suatu produk pangan, hal ini merupakan tanggung jawab produk (product liability) yang diartikan sebagai suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut.323

C. PENUTUP 1. Kesimpulan Fungsi nomor pendaftaran pangan pada produk pangan olahan bagi BPOM nomor pendaftaran pangan untuk memudahkan dalam proses mengidentifikasi jika terjadi pemalsuan pada produk pangan yang beredar di pasaran. Serta untuk memudahkan dalam menelusuri siapa yang bertanggung jawab bila terjadi masalah produk pangan olahan. Bagi konsumen nomor pendaftaran pangan juga memudahkan dalam pemilihan produk pangan yang aman untuk di konsumsi. Sebelum mengkonsumsi produk pangan olahan konsumen diwajibkan membaca label informasi ada produk, nomor pendaftaran pangan merupakan salah satu informasi yang harus diperhatikan. Konsumen dapat memastikan keaslian nomor pendaftaran pangan pada suatu produk pangan olahan secara online melalui website BPOM (http//:www.pom.go.id). Bagi produsen nomor pendaftaran pangan ini turut meringankan produsen bila terjadi kasus terhadap suatu produk pangan olahan yang menyebabkan penghentian produksi atau penarikan produk pangan dari peredaran. Sehingga apabila terjadi penghentian produksi atau penarikan produk dari pasaran, hanya dilakukan pada lokasi pabrik dan produk yang diproduksi di lokasi pabrik yang bermasalah saja. Akibat hukum bagi produsen dari penomoran produk pangan oleh BPOM adalah produsen memiliki kewajiban untuk melakukan pendaftaran kembali setelah masa berlaku nomor pendaftaran pangan itu berakhir. Produsen juga bertanggung jawab atas keamanan, mutu, dan gizi serta label 321

Adrian Sutedi, Op Cit, hlm 70 Hasil wawancara dengan Bapak Taufik Husni (Ketua YLKI Provinsi Sumatera Selatan), tanggal 5 Juni 2013 323 Adrian Sutedi, Op Cit, hlm 65 322

Hal | 224


produk pangan olahan yang diedarkan sesuai dengan informasi yang disetujui pada saat pendaftaran. BPOM tidak memiliki tanggung jawab atas kerugian yang terjadi pada konsumen karena mengkonsumsi produk pangan olahan, meskipun produk pangan olahan tersebut telah memiliki nomor pendaftaran pangan dari BPOM. Yang bertanggung jawab adalah produsen, karena kerugian tersebut merupakan product liability yaitu suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk. 2. Saran Perlu ditingkatkannya kesadaran produsen terhadap pentingnya pendaftaran produk pangan olahan. Kesadaran konsumen juga perlu ditingkatkan agar konsumen tidak sungkan dalam melakukan pengaduan kepada pemerintah atau lembaga terkait bila ada produk pangan yang merugikan. BPOM juga perlu meningkatkan pengawasan pada produk pangan olahan dengan membentuk jejaring pengawasan pangan dengan instansi lain untuk memperluas lingkup pengawasan.

Hal | 225


DAFTAR PUSTAKA Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Bogor : Ghalia Indonesia, 2008 Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Sinar Grafika, 2008 H.E. Saefullah, Beberapa Masalah Pokok Tentang Tanggung Jawab Pengakutan Udara, UNISBA, 1999 Irna Nurhayati, Efektifitas Pengawasan Badan Obat dan Makanan Terhadap Peredaran Produk Pangan Olahan Impor Dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen, Yogyakarta: Mimbar Hukum, Volume 21, Nomor 2, Juni 2009 Ratminah, Mutu Pelayanan Pendaftaran Produk Pangan Pada Direktorat Penilaian Keamanan Pangan Badan POM, Bogor: IPB, 2009 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo, 2000 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001 Yudha H.N dan Dwi W.P, “Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) Dalam Rangka Perlindungan Konsumen�, Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, volume 5, Nomor 2, Desember 2011, hal 183 Yusuf Sofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: PT Citra Aditya Bandung, 2003, hlm 26 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 5360 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor :HK.00/05.1.2569 Tentang Kriteria dan Tata Laksana Penilaian Produk Pangan, Pasal 2 angka (1) Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor :HK.03.1.5.12.11.09955 Tentang Pendaftaran Pangan Olahan Syaifuddin Naim, Mengenal makanan Yang Memenuhi Syarat, drsyaifuddinnaim .wordpress.com/2009/11/05/mngenal-makanan-yangmemenuhi-syarat/ , 05 November 2009, diakses tanggal 08 Juni 2013 www.pom.go.id, Profil : Latar Belakang Badan POM, diakses pada tanggal 25 november 2012 Hasil Wawancara dengan Bapak Muhammad Asrul, (Ka. Bid. Sertifikasi dan LIK Balai Besar POM Palembang ),tanggal 24 Mei 2013

Hal | 226


Analisis Tentang Kepastian Harga Pada Label Barang yang Diperjualbelikan di Minimarket Oleh: Nurul Dwi Utari, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. Amrullah Arpan, SH.,SU dan Sri Handayani, SH.,M.Hum

A. PENDAHULUAN 1. LatarBelakangMasalah Pasal 1457 KUHPerdata “jual-beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain berkewajiban untuk membayar harga barang yang telah diperjanjikan.324 Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Bagi pihak penjual ada dua kewajiban utama, yaitu : Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan dan Menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat yang tersembunyi. Pihak pembeli juga mempunyai kewajiban yaitu membayar harga pembelian pada waktu di tempat sebagaimana ditetapkan di dalam perjanjian.326 325

Pasar merupakan tempat pertemuan antara penjual dan pembeli. Ada 2 jenis pasar yaitu pasar tradisional dan pasar modern. Pasar tradisional merupakan pasar yang sifatnya tradisional dimana para penjual dan pembeli dapat mengadakan tawar- menawar secara langsung dan barang-barang yang diperjualbelikan adalah barang yang merupakan kebutuhan pokok. Sedangkan di pasar modern, penjual dan pembeli tidak berinteraksi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum di dalam barang (barcode) berada di dalam bangunan dan pelayanan dilakukan secara mandiri (swalayan). Sebuah minimarket sebenarnya adalah semacam “toko kelontong� atau yang menjual segala macam barang-barang dan makanan, namun tidak 324

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia Cetakan Keempat Revisi, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2010) hlm. 457 325 Djaja S. Meliala, Penuntun Praktis Hukum Perjanjian Khusus, (Bandung :Nuansa Aulia, 2012) hlm. 3 326 R.Subekti, Aneka Perjanjian Cetakan Kesepuluh, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995) hlm. 12

Hal | 227


selengkap dan sebesar supermarket. Tetapi berbeda dengan toko kelontong, sistem yang diterapkan di minimarket adalah sistem swalayan, pembeli mengambil sendiri barang yang ia butuhkan dari rak-rak dagangan kemudian membayar di kasir, sistem ini membantu agar pembeli tidak berhutang. Jam buka minimarket juga berbeda dengan jam buka supermarket, contoh : jam buka minimarket circle K adalah 24 jam. Contoh minimarket di Indonenesia adalah Alfamart, Indomaret, Circle K, dan lain-lain.327 Minimarket merupakan salah satu bentuk pasar modern (pasar swalayan) dengan menggunakan konsep Store Environment, yaitu pengembangan konsep Place yang terfokus pada penjualan retil (eceran) dan langsung ke konsumen akhir (pemakai). Konsep ini dapat dikatakan sebagai suatu konsep perancangan lingkungan pasar atau toko yang nyaman dan menyenangkan bagi para pengunjung, sehingga tertarik untuk menjadi konsumen sehingga menghabiskan waktu dan berbelanja disana. Konsep ini bulai berkembang di tahun 90-an, dimana berbagai pelosok Indonesia banyak dibangun pasar modern baik berskala kecil hingga skala besar yang mengacu kepada konsep “Store Environment� yang mempunyai tiga konsep utama, yaitu : Store Image, Store Atmospheres, dan Store Theatres. perkembangan usaha minimarket hingga saat ini masih berlanjut, bukan hanya di pusat-pusat kota, namun semakin berkembang ke pinggiran kota, tetapi terus berkembang ke pinggiran kota serta ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia. Di minimarket cara penawaran tertentu oleh penjual dapat pula berupa pajangan barang di tempat yang sudah ditentukan, dengan tarif harga pada barang dimaksud, dan dengan pembayaran harga pada kasir yang sudah ditentukan pula. 328 Apabila calon pembeli setuju pada barang yang dipajang tersebut, dia mengambilnya dari tempat pajangan dan wajib membayar harga pada kasir. Pengambilan barang berarti setuju membeli, hak milik atas barang beralih kepada pembeli sejak dia mengambil barang tersebut. Konsekuensinya pembeli wajib membayar harga pada kasir dan tidak boleh mengembalikan barang (membatalkan jual-beli secara sepihak). Jika pembeli mengembalikan barang tersebut di tempatnya semula, berarti dia menitipkan barang itu, hal ini tidak mengurangi kewajibannya untuk membayar harga pada kasir. Adapun pengawas Pasar swalayan atau minimarket akan memperingatkan pembeli yang bersangkutan. Cara seperti ini lazim terjadi di supermarket (self service market). 327

http://id.wikipedia.org/wiki/Supermarketdiakses tanggal 29 April 2013 pukul 10:15 328 Abdul Kadir Muhammad, Op.cit,hlm. 458

Hal | 228


Pengawasan dilakukan secara tidak langsung melalui commercial camera television (CCTV). Di dalam perlindungan konsumen, penjual dan pembeli dinamakan pelaku usaha dan konsumen. Posisi konsumen dengan pelaku usaha tidaklah sama. Maka dibentuklah perlindungan konsumen yang merupakan upaya untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan untuk melindungi konsumen. Konsumen harus dilindungi, karena ada ketidakseimbangan antara konsumen dengan pelaku usaha sehingga kedudukan konsumen lemah. Di dalam teori, ada yang namanya “Let be buyer be ware�, kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen seimbang, pelaku usaha membutuhkan konsumen. Konsumen juga membutuhkan pelaku usaha, jadi kedudukannya seimbang. Sehingga tidak perlu ada lagi proteksi. Tetapi kenyataannya sekarang terbalik. Kedudukan komsumen selalu dirugikan. Maka, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Beberapa hal yang dinilai penting dalam hubungan konsumen dan penyedia barang dan/ atau penyelenggara jasa (pelaku usaha)329 antara lain : halhal yang berkaitan dengan informasi dianggap penting untuk melindungi konsumen dari produk-produk yang tidak aman (unsafe product) dan kebiasaan buruk dari penjual (unfair behaviour). Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan oleh konsumen, tampaknya yang sangat berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Utamanya dalam bentuk iklan atau label, tanpa mempengaruhi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya.330 Iklan adalah bentuk informasi yang umumnya bersifat sukarela saja, sekalipun akhir-akhir ini juga diatur di dalam UndangUndang tentang perlindungan konsumen (pasal 9, pasal 10, pasal 12, pasal 13, pasal 17 dan pasal 20). Label merupakan Informasi produk konsumen yang bersifat wajib, ditetapkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pengaturan tentang informasi tersebut dikenal dengan berbagai istilah seperti penandaan, label atau etiket. Label harga adalah angka-angka dalam rupiah yang dilekatkan/ ditempel pada barang-barang yang akan dijual. Dalam hal yang dibeli lebih dari 1 (satu) unit dan harganya dibayar secara keseluruhan, maka ada kemungkinan harga yang diperhitungkan oleh 329

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar , (Jakarta : Diadit Media, 2011), hlm. 73 330 Ibid,hlm. 75

Hal | 229


kasir akan lebih tinggi dari harga yang tertera pada label. Karena yang dibayar secara total maka pembeli tidak menyadari adanya kerugian akibat kecurangan ini. Praktek seperti ini telah terjadi di beberapa Indomaret yang ada di Palembang. Beberapa konsumen telah mengalaminya. Hanya saja, tidak melaporkannya. Mereka menganggap bahwa kerugian yang dialaminya tidak seberapa, sehingga cenderung membiarkan saja kecurangan ini.

2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka permasalahan yang dikaji adalah bagaimana perlindungan terhadap konsumen apabila harga yang dicantumkan pada barang yang akan dijual lebih rendah dari harga yang harus dibayar oleh pembeli di kasir dan peranan dinas perdagangan dalam mengawasi usaha perdagangan.

3. KerangkaTeori Perlindungan Konsumen merupakan upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Harga merupakan unsur essensialia dari jual beli dan harus jelas untuk disepakati besarnya. Adanya jual beli harus berdasarkan kesepakatan antara penjual dan pembeli mengenai obyek jual beli dan harga. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, artinya penjual hanya berhak atas harga yang telah disepakati, tidak boleh lebih tinggi dari itu. Jadi, jual beli di minimarket harus didasarkan pada itikad baik dari pelaku usaha kepada konsumen. Kemudian, apa yang diatur di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya di dalam hukum perlindungan konsumen harus ditaati oleh pelaku usaha maupun konsumen.

B. PEMBAHASAN Kemungkinan terjadi harga lebih tinggi berdasarkan daftar harga yang diprogramkan dalam komputer. Oleh karena harga itu kadang kala tidak ditempelkan pada barang yang akan dijual. Akan tetapi, ditempelkan pada rak,

Hal | 230


maka konsumen/ pembeli ada kemungkinan tidak ingat lagi harga benda tersebut. Pada alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945disebutkan kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.331 Dari ketentuan ini jelas menugaskan Pemerintah/ Negara untuk melindungi warganya. Perlindungan ini termasuk juga bagi warga Negara khususnya dan masyarakat lain pada umumnya yang berkedudukan sebagai konsumen. Para pelaku bisnis dalam melaksanakan etika bisnis, mereka wajib menghindari pelanggaran hukum atau norma-norma yang ada di masyarakat sehingga dapat terhindar dari citra yang buruk bagi perusahaan. Jika cerita perusahaan buruk, maka akan berdampak pada kegiatan usahanya. Problematika dalam kaitannya dengan etika bisnis beraneka ragam sifatnya, seperti adanya kepentingan pribadi yang saling berlawanan dengan kepentingan orang lainnya ataupun adanya persaingan dalam meraih keuntungan yang melahirkan konflik. Perjanjian menurut hukum adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata). 332 Perjanjian melahirkan hak dan kewajiban antara dua pihak (Pasal 1233 KUHPerdata), hak dan kewajiban tersebut dinamakan perikatanperikatan. Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak, dimana satu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban. Isi atau prestasi dari perikatan harus bisa dijabarkan dalam sejumlah uang tertentu dan menurut Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi tersebut dalam bentuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.333 Perjanjian dianggap sah dan mengikat adalah perjanjian yang memenuhi unsur-unsur dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang.

331

Pembukaan UUD 1945 Guse Prayudi, Seluk-Beluk Perjanjian yang Penting untuk Diketahui Mulai dari AZ, (Yogyakarta : Pena), 2007, hlm. 1 333 Ibid., hlm. 2. 332

Hal | 231


Perjanjian yang sah dan mengikat diakui dan memiliki akibat hukum (legally conclueded contract).334 Syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, cakap untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, maksudnya adalah unsur subjek, minimal ada dua pihak dalam perjanjian yang akan mengadakan kesepakatan antara pohak yang satu dan pihak yang lain. Kedua pihak dalam perjanjian harus memenuhi syarat-syarat kebebasan menyatakan kehendak, tidak ada paksaan, penipuan dan kekhilafan satu sama lain. Kesepakatan adalah persepakatan sela sekata antara pihak-pihak mengenai pokok (esensi) perjanjian.335 Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan itu sifatnya sudah final, tidak lagi dalam tawarmenawar. Sebelum adanya persetujuan, pihak-pihak mengadakan negoisasi, pihak yang satu mengajukan penawaran kepada pihak lain mengenai objek perjanjian dan syarat-syaratnya. Pihak yang lain menyatakan pula kehendaknya sehingga mencapai persetujuan final. Kesepakatan itu bebas tidak ada paksaan, tekanan/ paksaan dari pihak manapun, murni atas kemauan sukarela pihakpihak. Dalam pengertian kesepakatan termasuk juga tidak ada kekhilafan atau penipuan. AbdulKadir Muhammad berpendapat bahwa perjanjian itu dikatakan tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya menakut-nakuti. Dikatakan tidak ada kekhilafan atau kekeliruan atau kesesatan jika salah satu pihak tidak khilaf atau tidak keliru mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat penting objek perjanjian, atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Ketentuan Pasal 1322 KUHPerdata, kekeliruan atau kekhilafan itu tidak mengakibatkan suatu perjanjian batal, kecuali apabila kekeliruan itu terjadi mengenai hakikat benda yang menjadi pokok perjanjian atau mengenai sifat khusus/ keahlian khusus diri orang dengan siapa diadakan perjanjian. Dikatakan tidak ada penipuan apabila tindakan menipu menurut arti Undang-Undang ( Pasal 367 KUHP). Penipuan adalah dengan sengaja melakukan tipu muslihat dengan memberi keterangan palsu atau tidak benar untuk membujuk pohak lawannya supaya menyetujui objek yang ditawarkan. Ketentuan pasal 1328 KUHPerdata, jika tipu muslihat itu digunakan oleh salah 334

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti), 2010, hlm. 299 335 Ibid., hlm. 300.

Hal | 232


satu pihak sedemikian rupa sehingga terang dan nyata membuat pihak lainnya tertarik untuk membuat perjanjian. Jika tidak dilakukan tipu muslihat itu, pihak lain tidak akan membuat perjanjian. Penipuan ini merupakan alasan untuk membatalkan perjanjian. Akibat hukum tidak ada kesepakatan (karena paksaan, kekhilafan dan penipuan) adalah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan (vernietigbaar, voidable). Pasal 1454 KUHPerdata, pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang waktu lima tahun, dalam hal ada paksaan dihitung sejak hari paksaan itu berhenti, dalam hal ada kekhilafan, dan penipuan dihitung sejak hari diketahuinya kekhilafan dan penipuan tersebut. Berbeda halnya dengan yuriprudensi, tidak cukup dikatakan ada penipuan jika hanya berupa kebohongan belaka mengenai suatu hal. Baru ada penipuan jika disitu ada tipu muslihat yang memperdayakan. Misalnya, pedagang lazim memuji barang-barangnya sebagai barang yang paling baik dan hebat, padahal tidak demikian. Ini hanya kebohongan belaka, tidak termasuk penipuan, seperti dalam iklan-iklan. Cakap untuk membuat suatu perjanjian, cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun, walupun belum berumur 21 tahun penuh tetapi sudah pernah kawin, sehat akal fikiran, tidak dibawah pengampuan dan memiliki surat kuasa apabila mewakili pihak lain. Serta, tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan sautu perbuatan tertentu. 336 Akibat hukum tidak cakap membuat perjanjian, maka perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada Pengadilan. Jika pembatalan tidak dapat dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, sepanjang tidak dipungkiri oleh pihak yang berkepentingan, perjanjian itu tetap berlaku bagi para pihak. Suatu hal tertentudalam perjanjian adalah barang yang menjadi objek suatu perjanjian. Pasal 1313 KUHPerdata, barang yang menjadi obyek suatu perjanjian ini, harus tertentu, setidak-tidaknya dapat ditentukan asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan. Suatu sebab yang halal, merupakan syarat yang keempat untuk syarat sahnya perjanjian. Maksud dari sebab yang halal ini adalah apa yang hendak dicapai oleh kedua belah pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Dilarang untuk membuat perjanjian tanpa tujuan bersama, atau yang dibuat karena suatu 336

Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung : Alumni, 2000), hlm. 217

Hal | 233


sebab yang palsu atau terlarang (Pasal 1335 KUHPerdata) :perjanjian adalah tanpa sebab, jika tujuan yang dimaksud oleh para pihak pada waktu dibuat perjanjian tidak akan tercapai ;sebab/ causa palsu adalah suatu sebab yang diadakan para pihak untuk menutupi sautu sebab yang sebenarnya ;sebab terlarang adalah sebab yang bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Jika dikaitkan dengan proses jual beli di minimarket, tidak ada tawarmenawar antara penjual dengan konsumen. Karena, label harga telah dicantumkan pada barang/ pada rak-rak display. Kesepakatan yang tercermin pada jual beli di minimarket ini adalah seorang konsumen membeli barang kemudian membayarnya ke kasir. Konsumen sepakat untuk membeli barang yang diinginkannya, tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak minimarket untuk mewajibkan konsumen membeli barang-barang yang dijual. Hal ini menunjukkan bahwa telah tercapainya syarat sahnya perjanjian yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Namun, bagaimana jika dikaitkan dengan pencantuman harga yang lebih rendah dari harga yang harus dibayar di kasir. Konsumen tidak menyadari hal ini. Tetapi barang yang dibeli sudah dibayarkan. Artinya, sebelumnya telah tercapai kesepakatan karena barang sudah berpindah hak miliknya menjadi hak milik konsumen. Namun, jika konsumen ingin melakukan komplain maka penjual/ dalam hal ini pelaku usaha wajib bertanggung jawab untuk melakukan ganti rugi karena ketidaksesuaian harga tersebut. Kecakapan merupakan syarat sah perjanjian yang kedua, pembeli dikatakan cakap apabila telah berusia 21 tahun/ sudah menikah. Tetapi, pada kegiatan jual beli di minimarket, tidak semua pembeli adalah cakap hukum yaitu berusia 21 tahun/ sudah menikah. Namun, kebanyakan pembeli yang bertransaksi di minimarket adalah orang yang belum cakap dimata hukum. Misalnya: anak-anak. Mengenai hal tertentu, di dalam jual beli di minimarket terdapat objek jual beli antara pelaku usaha dan konsumen. Yaitu, berupa barang-barang yang diperjualbelikan di minimarket. Dimana, barang-barang tersebut haruslah jelas jenis, jumlah dan harganya. Barang dan harga merupakan Unsur-unsur pokok (essentialia) dalam perjanjian jual beli. Harga di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah jumlah uang atau alat tukar lain yang senilai, harus dibayarkan untuk produk atau jasa, pada waktu tertentu di pasar tertentu. Harga

Hal | 234


pada minimarket biasanya telah ditentukan dengan ditempelkan di rak-rak pajangan minimarket. Barang-barang yang menjadi obyek jual beli itu, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Contoh : Narkoba Salah satu unsur penting dalam transaksi jual beli adalah harga barang yang akan dijual. Harga barang merupakan salah satu hal yang turut menentukan ketertarikan konsumen untuk membeli dan selanjutnya bertransaksi dengan penjual. Perubahan yang terjadi berkali-kali pada suatu barang dapat menimbulkan kerugian bagi para pembelinya, terlebih lagi apabila harga yang disampaikan pada promosi berbeda dengan label harga yang tertera pada barang yang bersangkutan pada saat konsumen akan membeli barang tersebut, termasuk apabila label harga barang yang diberikan dalam bentuk elektrik (barcode). Adanya ketidaksesuaian penentuan harga suatu produk barang yang dipromosikan dengan yang tertera pada label harga di tempat pembelian dapat diindikasikan sebagai suatu tindak kecurangan yang mungkin saja mengandung unsur-unsur pidana khususnya tindak pidana penipuan, dengan modus media promosi namun mengandung rangkaian kata bohong yang disampaikan pelaku usaha kepada konsumen, baik dilakukan sepengetahuan pelaku usaha ataupun adanya oknum pegawai dari minimarket tersebut. Informasi harga barang oleh pelaku usaha kepada pembeli dapat dilakukan melalui proses pelabelan harga termasuk label harga secara elektrik (barcode). Label harga tersebut beraneka jenisnya. Ada pelaku usaha yang langsung menempelkan label harganya di produk secara langsung, namun ada yang hanya menempelkannya di rak display dan ada pula yang memanfaatkan label harga (barcode) yang disimpan pada produk tersebut. Melalui barcode pembeli dapat mengecek harganya melalui alat barcode reader yang di pasang di titik-titik tertentu di toko swalayan/minimarket tersebut.337 Jika terjadi hal mengenai ketidaksesuaian harga tersebut maka dari aspek perdata, pihak perusahaan telah melakukan perbuatan melanggar hukum yang diancam di dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Karena, penentuan harga itu dioperasikan oleh Kasir maka berdasarkan ketentuan Pasal 1367 KUHPerdata tanggung jawab tetap ada pada pemilik minimarket.

337

http://elib.unikom.ac.id/download.php?id=122707diakses pada tanggal 24 April 2013

Hal | 235


Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi kota Palembang berdasarkan Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 9 Tahun 2008, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Palembang hanya sebagai pengawasan/pembinaan saja. Tidak berwenang untuk ikut campur dalam penentuan harganya. Apabila terdapat ketidakcocokan harga pada label dengan harga di kasir maka seharusnya dicantumkan harga yang sebenarnya. Karena harga tersebut merupakan kepastian. Apabila pelaku usaha terbukti melakukan kecurangan dan konsumen merasa dirugikan maka konsumen harus segera mengadukan kecurangan tersebut di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Palembang juga tidak berwenang untuk memberikan sanksi atas tindakan curang yang dilakukan oleh pelaku usaha, karena sesungguhnya yang memberikan sanksi adalah Undang-Undang sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62 dan Pasal 63 UUPK.

C. PENUTUP 1. Kesimpulan Terhadap harga yang harus dibayar yang lebih tinggi dari harga yang tercantum dalam label, pembeli/ konsumen seharusnya dapat melakukan penolakan pembayaran. Akan tetapi, biasanya pembeli akan lupa harga yang ditempelkan di label. Kalau terjadi hal yang sedemikian ini, dari aspek perdata bahwa pihak perusahaan telah melakukan perbuatan melangar hukum yang diancam di dalam pasal 1365 KUHPerdata. Karena penentuan harga itu dioperasikan oleh Kasir maka berdasarkan ketentuan pasal 1367 KUHPerdata tanggung jawab tetap ada pada pemilik toko. Mengenai kewenangan Dinas Perindustrian,Perdagangan dan Koperasi Kota Palembang terhadap tindakan curang seperti ini, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Palembang tidak berwenang menjatuhkan sanksi terhadap perilaku perusahaan seperti itu. Karena, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Palembang berdasarkan fungsinya menurut Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2008 sebagai pengaturan, pengawasan, dan pemberian izin di bidang perindustrian, perdagangan, koperasi, usaha kecil dan menengah. Yang memberikan sanksi adalah Undang-Undang, sebagaimana yang tertera di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Menurut Penulis, Dinas Hal | 236


Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi bertindak untuk dan atas nama Negara untuk melindungi warga Negara seperti yang tertuang di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Palembang tetap berhak untuk menjatuhkan sanksi. 2. Saran 1. YLKI harusnya menggugat pelaku usaha yang menetapkan harga yang harus dibayar yang tertera dalam label lebih rendah dari harga yang ada di komputer Kasir. 2. Perluadanyakesadaran dari pelaku usaha untuk tidak merugikan konsumen, karena pada dasarnya kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen adalah seimbang dan keduanya saling membutuhkan satu sama lain. 3. Konsumen sebaiknya lebih berhati-hati dan jadilah konsumen yang cerdas. 4. Perluadanyasanksi yang tegas dari pemerintah untuk menindak kecurangan seperti ini.

Hal | 237


DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Meliala, Djaja, S., 2012, Penuntun Praktis Hukum Perjanjian Khusus,Bandung : Nuansa Aulia. Muhammad, AbdulKadir, 2010, Hukum Perusahaan Indonesia Cetakan Keempat Revisi, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. ------------------------------, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Nasution, Az. 2011, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta : Diadit Media. Prayudi, Guse. 2007, Seluk Beluk Perjanjian Yang Penting Untuk Diketahui Mulai Dari A-Z, Yogyakarta : Pena. Saliman, Abdul R, 2005, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Jakarta : Kencana Prenada Media Group Syahrani, Riduan. 2000, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung : Alumni B. PeraturanPerundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Terjemahan Prof. R. Subekti & R. Tjitrosudibio, PT. Pradnya Pramita, 2009) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Palembang C.Artikel, JurnaldanTapak Maya http://id.wikipedia.org/wiki/Supermarket http://hidayataccountant.files.wordpress.com/2010/06mini-market-bab-ii.doc

Hal | 238


Kewenangan Pengawasan Di Bidang Jasa Keuangan (Studi Terhadap Undang-Undang Bank Indonesia dan Undang-Undang No.21tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan) Oleh: Febri Murtiningtias, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan H. Amrullah Arpan, SH.,SU dan Arfiana Novera, SH.,M.Hum

Abstrak: Bank menurut UU No. 10 Tahun 1998 pasal 1 angka 2 tentang Perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dalam dunia modern sekarang ini, peranan utama perbankan dalam memajukan perekonomian suatu Negara sangatlah besar Namun dalam perkembangannya fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap bank yang dimiliki oleh Bank Indonesia akan berpindah seluruhnya kepada sebuah lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen yang bernama Otoritas Jasa Keuangan(OJK) pada akhir tahun 2013 sesuai dengan yang diamanatkan pada UU No.21 tahu 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal 55. Dikarenakan lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Kata Kunci: Bank Indonesia(Bank Sentral), Otoritas Jasa Keuangan (OJK). A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dewasa ini perekonomian suatu Negara sangat dipengaruhi oleh keberadaan lembaga perbankan. Perekonomian yang baik dapat di percepat dengan adanya system perbankan yang sehat. Bank menurut UU No. 10 Tahun 1998 pasal 1 angka 2 tentang Perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Menurut Malayu S.P Hasibuan, dalam dunia modern sekarang ini, peranan utama perbankan dalam memajukan perekonomian suatu Negara sangatlah besar. Hampir semua sektor yang berkembang dengan berbagai kegiatan keuangan selalu membutuhkan jasa bank. Oleh karena itu, pada saat ini dan pada masa yang akan mendating kita tidak akan dapat lepas dari dunia perbankan, jika hendak menjalankan aktivitas Hal | 239


keuangan, baik peroranagan maupun lembaga, baik segi sosial atau perusahaan. 338 Menurut Drs. H. Malayu S. P Hasibuan keberadaan lembaga perbankan dipengaruhi dan bergantung pada kepercayaan masyarakat. Agar rasa kepercayaan dan rasa aman masyarakat dapat terpelihara dengan baik, dan tujuan dari pembangunan serta perekonomian dapat berjalan lancar, diperlukan suatu lembaga atau institusi atau badan yang membina dan mengawasi bidang perbankan.yaitu Bank Sentral. Oleh karena itu, sangat diperlukan pengawasan dari suatu lembaga yang independen dari pengaruh pemerintah, di Indonesia lembaga tersebut bernama Bank Indonesia (BI) selaku Bank Sentral. Bank Indonesia adalah Institusi Negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 4 ayat 2 tentang Bank Indonesia. Dengan adanya Undang-Undang tentang Bank Indonesia ini pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Bank Indonesia dalam melaksanakan tugasnya wajib menolak dan mengabaikan segala bentuk campur tangan terhadap tugas Bank Indonesia, maupun Dewan Gubernur dan pejabat Bank Indonesia yang tidak menolak campur tangan pihak lain, dikenai ancaman pidana berat dan denda yang besar. Sebagai lembaga negara yang independen, Bank Indonesia mempunyai kedudukan yang khusus dalam struktur ketatanegaraan RI. Sebagai lembaga Negara, kedudukan Bank Indonesia tidak sejajar dengan DPR, MA, BPK atau Presiden yang merupakan Lembaga Tinggi Negara. Kedudukan Bank Indonesia Juga tidak sama dengan departemen karena kedudukan Bank Indonesia berada diluar pemerintah. Dalam pelaksanaannya tugasnya, Bank Indonesia mempunyai hubungan kerja dengan DPR, BPK seta Pemerintah. Esensi dari status dan kedudukan Bank Indonesia adalah agar pelaksanaan tugas Bank Indonesia dapat lebih efektif. Implikasinya, Bank Indonesia harus lebih transparan dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya untuk mencapai tujuan memelihara kestabilan nilai rupiah yang tercermin pada nilai tukar dan laju inflasi. Berbeda dengan Undang-undang No.13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral yang tidak mencantumkan secara tegas mengenai tugas Bank Indonesia, dalam Undang-undang No.23 Tahun 1999, dinyatakan secara tegas bahwa tugas Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7). Tugas ini merupakan single objective atau tujuan tunggal. Kestabilan nilai rupiah yang dimaksud adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi serta kestabilan terhadap mata 338

Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hlm.2

Hal | 240


uang Negara lain. 339 Tugas sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter, sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya, ketidakstabilan moneter secara fundamental akan mempengaruhi stabilitas sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang menjadi latar belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia. Dalam posisi Bank Sentral sekarang yang amat penting ini dan berperan sangat dominan dalam system ekonomi suatu Negara, maka Bank Sentral mempunyai fungsi sebagai lender of last resort. Fungsi sebagai lender of last resort ini adalah fungsi Bank Sentral dalam mengatasi kesulitan yang dialami oleh perbankan yang tidak sering terjadi. Pada dasarnya Bank Sentral atau Bank Indonesia diberi kebebasan untuk melakukan control terhadap system keuangan Negara, karena pada hakekatnya tujuan utamanya pendirian Bank Sentral menjaga stabilitas harga dan memelihara pertumbuhan ekonomi dan kestabilan keuangan. Selain dalam menjaga kestabilitas keuangan Bank Indonesia juga mempunyai peran dalam pengawasan dan pengaturan di sektor keuangan. Dalam hal pengawasan dan pengaturan Bank Indonesia diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi Perbankan Indonesia. Dalam hal pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terhadap dunia secara esensial tugas pokok itu antara lain menjaga inflasi agar tidak menjadi tinggi, menjaga interest ratedan, menjaga kestabilan nilai mata uang dan mengatur kredit. . Dalam amanat pembentukan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia secara jelas telah disebutkan dalam UndangUndang Bank Indonesia yang merupakan Undang-Undang Organik sebagai pelaksanaan dari Pasal 23 D UUD 1945, sehingga nampak terdapat materi sisipan untuk pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (sekarang 339

Malayu S.P. Hasibuan, Dasar-Dasar Perbankan Bab II Penggolongan Bank, Bumi Aksara, Bandung 2009, Hlm.31

Hal | 241


disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan). Hal tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dimana OJK memiliki kewenangan terhadap beberapa sektor penting penunjang perekonomian Indonesia antara lain : Lembaga perbankan; Pasar Modal; Perasuransian; dana pensiun dan lembaga pembiayaan. 340 Pada awalnya pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berawal dari adanya keresahan dari beberapa pihak dalam hal fungsi pengawasan Bank Indonesia. Ada 3 341hal yang melatar belakangi pembentukan Otoritas Jasa Keuangan 1. Perkembangan industri sektor jasa keuangan di Indonesia, 2. Permasalahan lintas sektoral industri jasa keuangan dan 3. Amanat Undang-Undang Indonesia(pasal 34).

No.3

Tahun

2004

tentang

Bank

Dalam ketentuan peralihan undang-undang Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Pasal 55. Pada ayat 1 disebutkan bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.. Sedangkan dalam ayat 2 pasal yang sama disebutkan, sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK. Salah satu wewenang yang perlu digarisbawahi adalah bahwa lembaga ini berwenang untuk menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 342 Kewenangan dan penyidikan pasar modal yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan lebih luas dibandingkan fungsi sejenis di Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Pejabat Bapepam-LK mengatakan OJK berwenang menyidik dan mengajukan gugatan hukum guna melindungi hak-hak investor dan indistri pasar modal. Beberapa hal 340

Zulfi Diane Zaini, Hubungan Hukum Bank Indonesia dengan OJK,.,http://zulfidianezaini.blogspot.com/2012/12/hubungan-hukum-bank-indonesiadengan.html, diunduh pada tanggal 7 Febuari 2013, pada pukul01.03 Wib. 341 Nurul Ariska FeraniOtoritas Jasa Keuanga,http://www.keuanganlsm.com/article/otoritas-jasa-keuangan-ojk/ diunduh pada tanggal 27 januari 2013 pada pukul 20.22 WIB. 342 http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/09/26/otoritas-jasa-keuangan-ojkdibentuk-karena-trauma-century-490381.html, diunduh pada tanggal 7 Febuari, pada pukul 01.47 Wib.

Hal | 242


yang terkait perluasan wewenang tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berwenang memberikan sanksi dalam berbagai tingkatan ke lembaga keuangan, mulai dari sanksi administratif, mencabut izin usaha, dan membekukan lembaga keuangan yang terindikasi merugikan insvestor.343

2. Rumusan Permasalahan 1. Bagaimana kedudukan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dalam kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan lembaga perbankan setelah berlakunya UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan? 2. Bagaimana kewenangan pengawasan terhadap lembaga Jasa Keuangan menurut UU No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia dan UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan?

3. Kerangka Konsep Perusahaan Jasa Keuangan adalah perusahaan yang lingkup kerjanya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk tabungan atau sejenis dengan itu dan menyalurkannya kembali dalam bentuk pinjaman dan atau pendanaan untuk pihak ke 3 sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyerahkannya kembali haruslah suatu perusahaan yang professional dan harus dapat dipercaya. Untuk meningkatkan kepercayaan itu diperlukan lembaga pengawasan. Fungsi lembaga ini dulunya diserahkan kepada Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, akan tetapi dengan berlakunya UU No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan fungsi ini dialihkan ke OJK sebagai lembaga yang independen. Sebagai lembaga baru yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan Bank Indonesia, diperkirakan akan menimbulkan beberapa hambatan dalam pelaksanaan tugas tersebut. Sekalipun sudah diambil alih oleh OJK, Bank Indonesia oleh secara serta merta mengalihkan fungsi tersebut. Dengan perkataan lain konsep dasarnya tidak memperlakukan suatu peraturan secara serta merta tanpa di persilahkan factor-faktor pendukungnya.

343

Rheza Andika Pamungkas, http://www.indonesiafinancetoday.com/read/19941/WewenangOJK-Lebih-Luas, diunduh pada tanggal 5 Febuari 2013 pada pukul 20.05 Wib.

Hal | 243


B. PEMBAHASAN 1. Kedudukan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dalam kaitannya dengan pelaksanaan kegiatan lembaga perbankan setelah berlakunya UU No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Dalam hal ini status kedudukan Bank Indonesia sebagai duatu lembaga Negara yang independen. Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dimulai ketika sebuah undang-undang baru, yaitu UU No. 23/1999 Tentang Bank Indonesia, dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999 dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 6/ 2009. Undangundang ini memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini. 344 Bank Indonesia juga mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dalam setiap melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagaimana di tentukan dalam undang-undang tersebut. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien. 345 Dalam kapasitasnya sendiri sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. 346 Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.347 Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga 344

http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Status+dan+Kedudukan/, diunduh pada tanggal 11 April 2013 pada pukul 23.03 WIB. 345 http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Status+dan+ Kedudukan/, diunduh pada tanggal 11 April 2013 pada pukul 23.03 WIB. 346 http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Tujuan+dan+ Tugas/, diunduh pada tanggal 11 April 2013 pada pukul 23.18 WIB. 347

http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Tujuan+dan+Tugas/, diundih pada tanggal 11 April 2013 pada pukul 23. 18 WIB.

Hal | 244


pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya,348 antara lain yaitu :menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga system kelancaran system pembayaran, mengatur dan mengawasi bank. Pengaturan dan pengawasan Bank bertujuan agar institusi tersebut dapat berjalan dalam koridor kehati-hatian yang muaranya melindungi kepentingan nasabah. Biasanya pengaturan dan pengawasan Bank mengikuti perkembangan produk dan layanan jasa perbankan. Ambil contoh Indonesia. Tatkala produk dan layanan perbankan di dalam negeri masih tergolong konvensional, yakni sebatas simpanan dan kredit, fungsi pengawasan Bank dalam kerangka menjaga stabilitas system keuangan (SSK) di percayakan kepada Bank Indonesia (BI).349 Namun, seiring berjalannya waktu, produk dan layanan perbankan terus mengalami perkembangan yang terintegrasi dengan produk keuangan lainnya, seperti asuransi, pasar modal hiugga dana pensiun. Akhir-akhir ini, tren konglomerat di indistri keuangan pun seperti tak terhindarkan. Ada Bank yang memiliki anak usaha di industri asuransi, lembaga keuangan nonbank, dana pensiun, dan lainnya. Untuk mengawasi industri keuangan yang menggurita ini sudah barang tentu diperlakukan pengawasan yang terintegrasi. Pengawasan terintegrasi barulah salah satu tawaran pilihan dari sekian banyak model yang bias dipakai sesuai kebutuhan, perkembangan sosial dan politik di setiap Negara. 350 Indonesia memilih model pengawasan terintegrasi dalam mengawasi system perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan non Bank dalam satu atau yang bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK).351 UU No. 21 Tahun 2011 telah membentuk Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang independen dan bebas dari campur tanggan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana diatur dalam UU tersebut. Lembaga tersebut melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (Independen-OJK). 352 Kehadiran OJK mengharuskan BI menyerahkan urusan pengawasan Bank paling lambat akhir Desember 2013. Sedangkan urusan pengawasan industri keuangan nonbank dan 348

http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Tujuan+dan+Tugas/, diundih pada tanggal 11 April 2013 pada pukul 23. 18 WIB 349 Gerai Info, News Letter Bank Indonesia, Edisi 33, Desember 2012, Tahun3. Hlm.1 350 Ibid. Hlm.1 351 Ibid. Hlm.1 352 Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, volume 10, Nomor 1, Januari-April 2012, Mencermati Celah Indenpendensi OJK dalam UU OJK.

Hal | 245


pasar modal yang dilakukan Kementrian Keuangan dan Bapepam sudah dialihkan ke OJK awal 2013.353 OJK dibentuk dan dilandasi dengan prinsip – prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi indenpedensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparasi dan kewajaran (fairness).354 Dalam info nes letter Bank Indonesia bahwa secara kelembagaan, OJK berada di luar pemerintahan, yang dimkanai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur – unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya OJK merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiscal dan moneter. Pasal 2 ayat (2) UU OJK menegaskan bahwa OJK merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU OJK. Asas indepedensi secara lebih tegas di tuangkam dalam Penjelasan Umum UU OJK yang menyatakan bahwa OJK melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan antara lain asas indenpedensi yaitu indenpenden dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai dengan UU OJK, OJK akan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di seluruh sektor jasa keuangan yaitu di perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga keuangan lainnya. Apabila di cermati lebih mendalam, hubungan atau koordinasi OJK dengan lembaga Negara lainnya dapat dilihat dari segi pelaksanaan tugas sebagai berikut 1. Tugas pengaturan dan pengawasan perbankan yang akan terkait dengan lembaga: a. Bank Indonesia b. LPS 2. Tugas Penyidik, yang terkait dengan lembaga: a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari Instansi lain b. Kejaksaan c. Kepolisian d. Pengadilan 3. Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, yang akan terkait dengan : a. Menteri Keuangan 353 354

Info, News Letter Bank Indonesia, Edisi 33, Desember 2012, Tahun3. Hlm.1 Ibid, Hlm.47 (penjelasan umum paragraph 9 UU OJK)

Hal | 246


b. Gubernur Bank Indonesia c. Ketua Dewan Komisioner LPS Hubungan dengan seluruh instansi tersebut tidak langsung diartikan bahwa OJK sebagai lembaga Negara yang tidak independen. Hubungan dan koordinasi, kerjasama dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter dan sektor jasa keuangan. Namun demikian, dalam rangka menjaga indepedensi OJK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya tersebut, sebaiknya teknis pelaksanaan hubungan antar instansi tersebut dituangkan secara tertulis dalam suatu peraturan perundang – undangan agar menjadi jelas batasan – batasannya. Dari hubungan antar instansi tersebut, terdapat dua titik rawan pada hubungan kelembagaan yang dapat mempengaruhi OJK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya secara mandiri, yang lebih lanjut di uraikan berikut ini.355 1. Tugas pengaturan dan pengawasan perbankan Pasal 39 UU OJK mengatur bahwa OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam menyusun pengaturan tertentu terkait pengawasan di bidang perbankan. Selain itu, Pasal 40 UU OJK lebih lanjut mengatur bahwa untuk melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, misalnya dalam rangka penyusunan peraturan pengawasan, Bank Indonesia tetap berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap bank dengan menyampaikan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK. Penjelasan Pasal 69 Ayat (1) huruf (a) UU OJK menegaskan bahwa tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawsi bank dialihkan ke OJK adalah tugas pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan microprudential. Sedangkan Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan perbankan terkait macroprudantial. Berkaitan dengan hal ini, jelas tegas bahwa pengaturan perbankan tidak sepenuhnya dilaksanakan secara independen oleh OJK karena pengaturan microprudential dan macroprudential akan sangat berkaitan. Dalam pengaturan tersebut, kita juga dapat melihat bahwa OJK masih memiliki “ hubungan khusus� dengan Bank Indonesia terutama dalam pengaturan dan pengawasan perbankan. Bagaimanapun Bank Indonesia sebagai bank sentral, dimana sebelum diterbitkannya UU OJK dan pengalihan akan berakhir pada akhir Desember 2013, mengemban dan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan 355

Info, News Letter Bank Indonesia, Edisi 33, Desember 2012, Tahun3. Hlm.47 s/d

49.

Hal | 247


bank dan memiliki pengalaman lebih lama dalam mengatur dan mengawasi perbankan sehingga masukan pengaturan yang disampaikan oleh Bank Indonesia akan memiliki pengaruh yang besar dalam pengaturan yang dilakukan oleh OJK. 2. Tugas Penyidikan Tugas penyidikan yang dilakukan oleh OJK diatur dalam Pasal 49 s.d Pasal 51 UU OJK. Dalam pelaksanaan tugas penyidikan tersebut, Pegawai Negeri telah diangkat menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dapat melakukan kewenangan penyidikan dalam UU OJK. Pasal 49 ayat 3 huruf I UU OJK lebih lanjut mengatur bahwa PPNS di sektor jasa keuangan berwenang meminta bantuan aparat penegak hukum lain dalam hal ini Kejaksaan, Kepolisian, dan Pengadilan. Dalam hal ini yang perlu mendapatkan perhatian adalah Pasal 51 UU OJK yang menyebutkan bahwa PPNS yang di pekerjakan di OJK hanya dapat ditarik dengan pemberitahuan paling singkat 6 (enam) bulan sebelum penarikan dan tidak sedang menangani perkara. Hal ini dapat di artikan bahwa di mungkinkan adanya PPNS yang merupakan penugasan dari instansi lain misalnya penyidik dari Kepolisian Negara RI 356 atau Badan Pengawasan Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (disingkat BapepamLK)357 yang di pekerjakan di OJK. Dengan adanya penugasan bersifat sementara dari instansi lain tersebut, tugas penyidikan menjadi tidak murni dilakukan oleh OJK karena adanya campur tangan dari instansi/lembaga lain mengingat pejabatnya di pekerjakan di OJK.358. Pasca OJK, Bank Sentral, akan fokus mengurusi kebijakan moneter dan 356

Pasal 6 KUHAP berbunyi sebagai berikut : Pasal 6 (1) Penyidik adalah: a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang di beri wewenang khusus oleh undnagundang (2) Syarat kepangkatan pejabat sebagai dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. 357 Pasal 101 UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal berbunyi sebagai berikut: Pasal 101 Ayat 2 Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Bapepam di beri wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pasar Modal berdasarkan ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 358 Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, volume 10, Nomor 1, Januari-April 2012, Mencermati Celah Indenpendensi OJK dalam UU OJK. Hlm. 51.

Hal | 248


menjaga Stabilitas System Keuangan (SSK) melalui pengawasan makroprudensial sebagaimana diamanatkan pada pasal 7 UU OJK. 359 Yang dimaksud dengan pengawsan makroprudensial adalah upaya meningkatkan ketahanan system keuangan dan memitigrasi resiko sistemik yang timbul akibat keterkaitan antarinstitusi keuangan.360 2. Kewenangan pengawasan terhadap lembaga Jasa menurut UU No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia dan UU No.21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Dalam hal kewenangan pengawasan di bidang jasa keuangan disini penulis akan membandingkan kewenangan antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dengan cara studi terhadap UU tentang Bank Indonesia ( UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, UU No. 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 dan PERPU Nomor 2 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia) dengan UU Otoritas Jasa Keuangan (UU No. 21 Tahun 2011). Diawali dengan kewenangan pengawasan di bidang jasa keuangan studi terhadap UU tentang Bank Indonesia (UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, UU No. 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 dan PERPU Nomor 2 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia), antara lain: Dalam Pasal 7 Bab III tentang Tujuan dan Tugas dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia adalah: Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Pasal 8 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, menyebutkan bahwa Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut: a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter b. Mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran c. Mengatur dan mengawasi Bank Pada Bab VI Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank dalam pasal 24, yang berbunyi sebagai berikut : Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu 359

Gerai Info : Duet Hebring BI & OJK Mengenjot Pertumbuhan Ekonomi, , Edisi 33, Desember 2012, Tahun3, Newsletter Bank Indonesia. Hlm.1 360 Ibid. Hlm.1

Hal | 249


dari Bank, melaksanakan pengawasan Bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lanjutannya pada Pasal 25 yang berbunyi sebagai berikut: (1) Dalam rangka melaksanakan tugas mengaur Bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinnsip kehati-hatian. (2) Pelaksanaan kewenangan sebgaimana dimaksudkan pada ayat (1) di tetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Pasal 26 yang berbunyi sebagai berkut : Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan sebagaimana dimaksud pada Pasal 24, Bank Indonesia : a. Memberikan dan mencabut izin usaha Bank b. Memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor Bank c. Memberikan persetujuan atas kepemilikan dari kepengurusan Bank d. Memberikan izin kepada Bank untuk menjalankan kegiatan – kegiatan usaha tertentu Pasal 27 yang berbunyi sebagai berikut : Pengawsan Bank oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 adalah pengawsan langsung dan tidak langsung. Pada Pasal 28 UU No. 23 Tahun 1999 menegaskan bahwa ; (1) Bank Indonesia mewajibkan Bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang di tetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Apabila diperlukan, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan pula terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, dan pihak terafiliasidari Bank. Pada Pasal 29 disebutkan bahwa: (1) Bank Indonesia melakukan pemeriksaan terhadap Bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila di perlukan. (2) Apabila diperlukan, pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur Bank. (3) Bank dan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib memberikan kepada pemeriksa: a. Keterangan dan data yang diminta b. Kesempatan untuk melihat semua pembukuan dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya: c. Hal-hal lain yang di perlukan Hal | 250


Pada pasal 30 juga disebutkan beberapa hal yaitu: (1) Bank Indonesia dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2). (2) Pihak lain yang melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib merahasiakan keterangan dan datayang di peroleh dalam pemeriksaan. (3) Syarat-syarat bagi pihak lain yang ditugasi oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Dalam Pasal 31 disebutkan bahwa: (1) Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tersebut apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan. (2) Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia wajib mengirim tim pemeriksa untuk meneliti kebenaran atas dugaan tersebut. (3) Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak di perboleh bukti yang cukup, Bank Indonesia pada hari itu juga mencabut perintah penghentian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pada Pasal 32 disebutkan; (1) Bank Indonesia mengatur dan mengembangkan system informasi antar Bank. (2) System informasi sebgaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diperluas dengan menyertakan lembaga lain di bidang keuangan. (3) Penyelenggaraan system informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), dapat dilakukan sendiri oleh Bank Indonesia dan atau oleh pihak lain dengan persetujuan Bank Indonesia. Dalam Pasal 33 yang berbunyi ; Dalam hal kegiatan suatu Bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dan atau membahayakan system perbankan atau terjadi kesulitan perbankan dan membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam undang – undang tentang perbankanyang berlaku. Dan yang terakhir ada dalam Pasal 34 yang berbunyi ;

Hal | 251


(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independendan di bentuk oleh Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana di maksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002. Adapun beberapa perubahan atas beberapa Pasal yang ada pada UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang kewenangan Bank Indonesia di sektor pengawasan perbankan, Ketentuan Pasal 7 diubah, dan ditambah 1(satu) ayat baru, yaitu ayat (2), sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebgaai berikut; (1) Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan rupiah. (2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Dalam Pasal 34 pun dalam UU No. 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 yaitu penjelasan Pasal 34 ayat (1) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan, dan ketentuan Pasal 34 ayat (2) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 34 berbunyi sebagai berikut; (1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan di bentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010. Dalam hal pengawasan itu dalam proses penyelidikannya, UU No.3 Tahun2004 tentang Bank Indonesia maupun UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Bank Indonesia tidak berwenang untuk melakukan penyidikan tapi menurut UU ini penyidikan tentang tindak pidana dilakukan oleh Kepolisian Republlik Indonesia dalam hal tindak pidana umum dan Kejaksaan Republik Indonesia kalau di kualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Seperti yang tercantum dalam Bab XI Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif pada Pasal 67 “Barang siapa yang melakukan campur tangan terhadap pelasanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat(1) diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2(dua) tahun dan paling lama 5(lima) tahun, serta denda sekurang-kurangnya Rp.2.000.000.000,(dua milyar rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Di atas telah penulis jabarkan kewengan Bank Indonesia pasa pengawasan di sektor keungan menurut UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, UU Hal | 252


No. 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 dan PERPU Nomor 2 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sekarang penulis akan menjabarkan juga kewenangnan Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menurut UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Dalam pembentukkan UU No.21 Tahun 2011, menimbang antara lain; a. Bahwa untuk mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, diperlukan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat; b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, diperlukan otoritas jasa keuangan yang memiliki fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen dan akuntabel; c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan; Dan juga mengingat antara lain; 1.Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Tahun 1999 Nomor 23 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); Menurut Ketentuan Umum pasal 1 Undang-Undang No.21 Tahun 2011 tentang OJK, disini dikatakan bahwa OJK adalah suatu lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Dalam Bab III juga disebutkan Tujuan, Fungsi, Tugas dan Wewenang OJK. Hal | 253


Pada pasal 4 disebutkan bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan : a. Terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; b.Mampu mewujudkan system keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan c. Mampu melindungi kpentingan konsumen dan masyarakat Begitu pula dalam pasal 5 UU No. 21 Tahun 2011, OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terinegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Lanjutan pada pasal 6 yang menyebutkan bahawa OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawsan terhadap : a. Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan b.Kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal c. Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Selanjutnya pada pasal 7 untuk menjelaskan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang : a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan Bank yang meliputi; 1. Perizinan untuk pendirian Bank, pembukaan kantor Bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepenggurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi, dan akuisisi Bank, serta pencabutan izin usaha Bank; 2. Kegiatan usaha Bank, antara lain sumber dana, produk hibrinasi, dan aktivitas di bidang jasa b.Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan Bank yang meliputi; 1. Likuidasi, rentabilitas, solvabilitas, kualitas asset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan Bank; 2. Laporan Bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja Bank; 3. Sistem informasi debitur; 4. Pengujian kredit (credit testing), dan 5. Standar akutansi Bank; c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian Bank meliputi; 1. Manajemen risiko; 2. Tata kelola Bank; 3. Prinsip mengenal nasabah dan anti pencurian uang; dan Hal | 254


4. Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; d.Pemeriksaan Bank Dalam pasal 20 UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, yang mengemukakan bahwa tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dilaksanakan oleh Dewan Komisioner. Dan lanjutan dalam pasal 21 menyebutkan bahwa dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, Dewan Komisioner menetapkan pengaturan OJK, Peraturan Dewan Komisioner, dan/atau Kepurusan Dewan Komisioner. Dalam bab X UU No. 21 Tahun 2011 dijelaskan hubungan kelembagaan dimana disini dijelaskan hubungan antara OJK dengan lembaga keuangan lainnya. Pada pasal 39 disebutkan dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia dalam membuat peraturan pengawasan di bidang perbankan antara lain; a. Kewajiban pemenuhan modal minimum Bank; b. Sistem informasi perbankan yang terpadu; c. Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri; d. Produk perbankan, tramsaksi derifatif, kegiatan usaha Bank lainnya; e. Penentuan institusi Bank yang masuk kategori systemically important bank; dan f. Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi. Lanjutan dari bab X tentang hubungan kelembagaan pada pasal 40 yang menyebutkan bahwa; (1) Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas dam wewenangnya memerlukan pemeriksaam khusus terhadap Bank tertentu. Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap Bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulum kepada OJK. (2) Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan Bank. (3) Laporan hasil pemeriksaan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan. Ada juga pada pasal 41 ayat (2), “Dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuidasi dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk. OJK akan segera menginformasikan ke Bank Indonesia untuk Hal | 255


melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia. Pada pasal 43 dijelaskan bahwa “OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintograsi”. Pada bab XIII UU No.21 Tahun 2011 disini sangat tegas dikatakan tentang ketentuan peralihan yaitu pada pasal 55, bahwa; (1) Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Keuangan Jasa Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK. (2) Sejak tanggal 31 Desember 2013 fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK. Dalam pasal 55 ayat (2) sangat jelas bahwa fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan akan beralih dari Bank Indonesia ke OJK pada tanngan 31 Desember 2013. OJK masih terus melakukan persiapan-persiapan agar pada akhir tahun 2013 fungsi dan tugas OJK dapat berjalan dengan baik. Pada awal 2014, kegiatan pengawasan Bank yang selama ini di jalankan BI akan dialihkan ke OJK. Untuk itulah, kata Endang Kussulanjari, BI melakukan persiapan proses pengalihan fungsi pengawasan Bank ke OJK sebagaimana UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK dengan membentuk dua TF. Kedua TF yakni yang menyiapkan proses Pengalihan Fungsi Pengawasan Bank ke OJK (TF OJK) dan TF yang menyiapkan bisnis proses BI kedepan setelah fungsi pengawasan beralih ke OJK. “Pada prinsipnya BI siap melaksanakan pengalihan fungsi pengawasan Bank ke OJK “, tandas Endang.361 C. PENUTUP Dari Uraian-Uraian terdahulu, maka penulis mengambil kesimpaulan sebagai berikut : 1. Dengan berlaku efektifnya UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, pada tanggal 31 Desember 2013 maka kewenangan pengawasan terhadap lembaga perbankan dilakukan oleh personalia dari 361

Gerai Info, “Menyiapkan Rumah Masa Depan Untuk Pengawasan Bank”, Edisi 33, Desember 2012, Tahun 3, Newsletter Bank Indonesia, Hlm.7

Hal | 256


lembaga independen OJK ini berasal dari Pasal 7 UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang membahas tentang Tujuan, Fungsi, Tugas dan Wewenang OJK. Sehubungan dengan itu Bank Indonesia tidak dapat secara serta merta mengundurkan diri dari pengawsan di bidang perbankan, karena Bank Indonesia sudah berpengalaman di bidang ini. Dalam kaitan dengan pengawasan itu ada kegiatan atau proses penyidikan. Dalam UU No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia maupun UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Bank Indonesia tidak berwenang melakukan penyidikan. Menurut UU ini penyidikan tentang tindak pidana dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia dalam hal tindak pidana umum dan kejaksaan Repeublik Indonesia kalau di kualifikasi sebagai tindak pidana korupsi. Dalam UU No. 21 Tahun 2011, penyidikan untuk tindak pidana perbankan sudah diserahkan kepada lembaga independen OJK.

Hal | 257


Upaya HukumBagi Pihak yang Menolak Putusan Arbitrase Ad-Hoc Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Oleh: Azzanira, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Meria Utama, SH., LL.M dan Dr. H. Abdullah Gofar, SH., MH

ABSTRAK Penyelesaian sengketa melalui jalur alternatif yaitu arbitrase dikenal sejak munculnya UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.Arbitrase ad-hoc ialah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, atau dengan kata lain, arbitrase ad-hoc bersifat insidentil.Putusan Arbitrase ad-hoc dapat dibatalkan jika diduga mengandung unsur-unsur yang ada pada Pasal 70 huruf (a),(b),(c) UU Nomor 30 Tahun 1999. Apabila dapat dibuktikan oleh salah satu pihak yang merasa dirugikan, dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan dilanjutkan pemeriksaan oleh Ketua Mahkamah Agung yang berwenang memeriksa permohonan pembatalan putusan arbitrase pada tingkat pertama dan terakhir. Upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) juga dapat digunakan dalam sengketa arbitrase yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, permohonan PK diajukan ke Mahkamah Agung, yang diajukan permohonan PK bukanlah terhadap putusan arbitrasenya, akan tetapi putusan Ketua Pengadilan Negeri terhadap permohonan pembatalan putusan arbitrase. A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya. 362Secara konvensional, penyelesaian sengketa biasanya dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek 362

Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,2006, hlm.3.

Hal | 258


pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya yang dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remindum) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.363Dengan meningkatnya hubungan bisnis maka perlu ada sistem penyelesaian sengketa yang efisien, efektif, dan cepat, sehingga dalam menghadapi liberalisasi perdagangan terdapat lembaga yang dapat diterima dunia bisnis dan memiliki kemampuan sistem untuk menyelesaikan sengketa dengan cepat dan biaya murah.Di samping penyelesaian sengketa secara litigasi, dalam praktek terdapat alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution), yaitu arbitrase.364 Sebagai tindak lanjut atas perkembangan dunia usaha dan hukum maka pada tanggal 12 Agustus 1999, pemerintah Indonesia mengundangkan UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Menurut Joni Emirzon dalam bukunya Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan (negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase) Arbitrase adalah Perjanjian perdata dimana para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa-sengketa mereka yang mungkin akan timbul dikemudian hari diputuskan seorang ketiga atau penyelesaian sengketa oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan melalui pengadilan tetapi secara musyawarah dengan menunjuk pihak ketiga, hal mana dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak.365Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga.Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan.Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.366Di dalam perselisihan tersebut, mereka sepakat untuk menyelesaikan

363

Suyud Margono,ADR & Arbitrasse Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Bogor : Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 12. 364 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia& Internasional, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, hlm.2. 365 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan (negosiasi, mediasi,konsiliasi dan arbitrase) Palembang : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 2000, hlm.44. 366 Gatot Soemartono, Op. cit, hlm. 4.

Hal | 259


perselisihan mereka dengan menunjuk satu atau beberapa orang arbiter. Ada beberapa asas-asas yang dapat dipetik dari perumusan definisi tersebut :367 1. Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan perselisihan secara damai, atau sepaham untuk menunjuk seorang atau beberapa orang arbiter. 2. Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri. 3. Asas limitatif, yaitu adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbitrase terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang bisnis dan atau hak-hak pribadi yang sepenuhnya dapat dikuasai oleh para pihak. 4. Asas final dan binding, yaitu putusan arbitrase bersifat putusan akhir yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain. Secara umum lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan karena arbitrase menjamin kerahasian sengketa para pihak, dalam arbitrase dapat dihindarkan kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedur dan administratif. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai kemampuan pengetahuan tentang latar belakang mengenai masalah yang disengketakan. Para pihak juga dapat menentukan pilihan hukum serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase, Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.368Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase. 369 Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat : a. cakap melakukan tindakan hukum; b. berumur paling rendah 35 tahun; 367

Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase, Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 2004. hlm.31. 368 Lihat Alinea Keempat Penjelasan Umum Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 369 Lihat Pasal 1 ayat (7) Undang- Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Hal | 260


c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa; d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun. Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.370 Jenis arbitrase ada 2 (dua) yaitu arbitrase ad-hoc dan arbitrase institusional.Arbitrase ad-hoc ialah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, atau dengan kata lain, arbitrase ad-hoc bersifat insidentil. 371 Arbitrase Institusional (institusional arbitration) merupakan lembaga atau badan arbitrase yang bersifat “permanen�, karena sifatnya yang permanen tersebut, maka disebut “permanent arbitral body�. Arbitrase sengaja didirikan pembentukannya ditujukan untuk menangani sengketa yang mungkin timbul bagi mereka yang menghendaki penyelesaian di luar pengadilan.Arbitrase ini merupakan wadah yang sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian.372 Sifat putusan arbitrase baik itu ad-hoc maupun institusional bersifat final (bersifat akhir) dan binding (bersifat mengikat bagi para pihak).Namun, meskipun hasil putusan arbitrase bersifat final dan binding tetapi dapat diajukan permohonan pembatalan jika salah satu pihak dapat menemukan bukti-bukti baru dimana dengan adanya bukti ini menjadi tidak sah terhadap putusan arbitrase tersebut. 2. Rumusan Masalah 1. Dalam hal apakah putusan arbitrase ad-hoc dapat dibatalkan ? 2. Dapatkah upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) digunakan dalam sengketa arbitrase ?

370

Lihat Pasal 12 ayat (1) dan (2) Undang- Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 371 Pasal 615 ayat (1) Rv. 372 Yahya Harahap,,Arbitrase, Jakarta : Sinar Grafika, 2004. hlm.106.

Hal | 261


3. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis tentang upaya hukum yang dapat diajukan bagi salah satu pihak yang menolak putusan arbitrase ad-hoc dan dimintakan permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase tersebut. 2. Menganalisis tentang upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) dalam sengketa yang diputus melalui badan arbitrase. 4. Manfaat Penelitian Hasil penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat baik bagi kepentingan akademis maupun bagi kepentingan praktisi : 1. Manfaat secara Teoritis Dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum yaitu hukum perdata dan hukum penyelesaian sengketa melalui jalur alternatif khususnya penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase. 2. Manfaat secara Praktis Untuk memberi sumbangan saran atau informasi sebagai salah satu dasar dalam penentuan kebijakan tentang penyelesaian sengketa melalui jalur alternatif, khususnya penyelesaian sengketa secara arbitrase. 5. Ruang Lingkup Ruang lingkup dalam penulisan skripsi ini hanya terbatas pada permasalahan-permasalahan yang akan dibahas, yaitu penyelesaian sengketa arbitrase ad-hoc yang bersifat sementara yang dapat menimbulkan suatu permasalahan dan upaya peradilan yang dapat diajukan dalam sengketa arbitrase. 6. Metode Penelitian Dalam penulisan menjadi suatu keharusan untuk memberikan data-data yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.Penggunaan metode penulisan merupakan sarana dalam pemecahan masalah, karena dalam metode dapat mengetahui “bagaimana� masalah-masalah terkait dalam penulisan dapat diselesaikan atau ditemukan jawaban atas permasalahan tersebut. 7. Tipe Penelitian Penelitian hukum yang digunakan untuk membahas dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, pada penelitian hukum normatif yang

Hal | 262


ditelitihanya bahan pustaka atau bahan sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.373 8. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian adalah statute aproach atau pendekatan dengan penelitian produk perundang-undangan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian. 9. Bahan dan Sumber Penelitian Secara umum, maka didalam penelitian biasanya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat (mengenai perilakunya, data empiris) dan dari bahan pustaka.374 a. Bahan Hukum Primer, adalah bahan hukum yang mengikat yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. b. Bahan Hukum Sekunder, adalah bahan yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berasal dari bahan pustaka.375 Yang berupa buku-buku yang memberi penjelasan pada penelitian ini. Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan petunjuk kepada penulis untuk melangkah, baik dalam membuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan analisis bahan hukum yang akan dibuat sebagai hasil dari penelitian. c. Bahan Hukum Tersier, bahan yang memberi penjelasan maupun petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari : 1. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2. Kamus hukum, 3. Majalah, 4. Makalah atau surat kabar, 5. Media internet.376

373

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-PRESS, 2007,hlm.50. Soerjono Soekanto, Op.cit. hlm. 51 375 Ibid, hlm.53 376 Nico Ngani, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012, hlm.71-72. 374

Hal | 263


10. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan berdasarkan studi kepustakaan atau library research.Tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya adalah menunjukkan jalan pemecahan dari suatu permasalahan penelitian. 377 Data tersebut disusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran relatif lengkap dari klasifikasi secara kualitatif.378 11. Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum yang digunakan adalah analisis data secara kualitatif yaitu data-data yang diperoleh dan dianalisis satu persatu yang kemudian disusun secara sistematis, sehingga akan dapat menjawab permasalahan yang dapat ditarik dalam sebuah kesimpulan. Data yang biasa digunakan dalam analisis secara kualitatif berupa keterangan dan bahan-bahan tertulis.379 12. Metode Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan terhadap bahan penelitian mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif untuk memperoleh jawabanjawaban atas permasalahan yang ada pada penelitian ini.Metode penarikan kesimpulan secara dedukif adalah suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.380

B. PEMBAHASAN 1. Putusan arbitrase ad-hoc dapat dibatalkan apabila: Jenis arbitrase ad-hoc disebut juga sebagai arbitrase volunter.Ketentuan dalam reglement rechtvordering mengenal lembaga arbitrase ad-hoc.Pengertian arbitrase ad-hoc ialah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu, atau dengan kata lain, arbitrase ad-hoc bersifat

377

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.112. 378 Lexi Moelong, Metode Penelitian Kualitatif, Rosdakarya, Bandung, 2000,hlm.21. 379 Usmawadi, Materi Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum (PLKH) Lihat Petunjuk Penulisan Ilmiah Bidang Hukum,Palembang : Laboratorium Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. 2012.hlm.278. 380 Bambang Sunggono, Op.Cit. hlm.120.

Hal | 264


insidentil. 381 Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, pengertian arbitrase ad-hoc diadakan dalam hal terdapat kesepakatan para pihak, dengan mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri untuk menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. 382 Untuk mengetahui dan menentukan apakah arbitrase yang disepakati para pihak adalah jenis arbitrase ad-hoc, dapat dilihat dari rumusan klausul pactum de compromittendo atau akta kompromis yang menyatakan perselisihan akan diselesaikan oleh arbitrase yang berdiri sendiri di luar arbitrase institusional.383 Pada prinsipnya arbitrase ad-hoc tidak terikat dan terkait dengan salah satu badan arbitrase. Para arbiternya ditentukan dan dipilih sendiri berdasar kesepakatan para pihak. Oleh karena jenis arbitrase ad-hoc tidak terkait dengan salah satu satu badan arbitrase, boleh dikatakan jenis arbitrase ini tidak memiliki aturan tata cara pemerikasaan sengketa. Dalam hal ini arbitrase ad-hoc tunduk sepenuhnya mengikuti aturan tata cara yang ditentukan dalam perundangundangan. Arbitrase ad-hoc ditunjuk di Indonesia tunduk mengikuti tata cara pengangkatan dan pemeriksaan sengketa yang diatur dalam ketentuan Rv. Mengenai cara penunjukkan arbiter dalam arbitrase ad-hoc dapat dilakukan sendiri atas kesepakatan para pihak. Jika arbiternya tunggal, pengangkatannya atas persetujuan bersama.Apabila arbiternya lebih dari satu orang, masingmasing pihak menunjuk seorang anggota, dan penunjukkan arbiter yang ketiga dapat dilakukan atas kesepakatan atau menyerahkan kepada kesepakatan arbiter yang telah ditunjuk para pihak. 384 Dalam hal terjadi penolakan terhadap hasil putusan arbitrase ad-hoc para pihak dapat mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung yang hanya dapat diajukan 1 (satu) kali untuk tingkat pertama dan terakhir.Permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase ad-hoc ini diatur didalam Pasal 70 huruf (a), (b), (c) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 (UU Arbitrase) a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; 381

Pasal 615 ayat (1) Rv. Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 : Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase. Dalam suatu arbitrase ad-hoc bagi setiap ketidaksepakatan dalam penunjukan seorang atau beberapa arbiter, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. 383 Suyud Margono. Op.Cit. 384 M.Yahya Harahap, Loc.Cit.hlm.105 382

Hal | 265


b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus dilakukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri.Terhadap putusan pengadilan negeri, para pihak dapat mengajukan permohonan banding ke Makhamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.385 Pasal 70 UU Arbitrase tidak mengatur alasan-alasan yang dapat digunakan oleh pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase.Pasal 70UU Arbitrase tidak dimaksudkan untuk membatasi alasan-alasan yang dapat digunakan oleh pengadilan untuk memeriksa dan mengabulkan, ataupun menolak suatu permohonan pembatalan putusan arbitrase.386

2. Upaya Hukum Peninjauan Kembali dapat diajukan dalam sengketa arbitrase Peninjauan kembali (PK) atau request civiel adalah suatu upaya hukum yang dilakukan oleh pihak yang dikalahkan dalam suatu perkara melawan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.Dalam hukum acara yang diatur Rv387, disebutkan bahwa untuk memenuhi rasa keadilan bagi para pencari keadilan, dibuka kemungkinan untuk membuka kembali perkara yang sudah diputus oleh pengadilan dan putusan tersebut sudah mempunyai hukum tetap. 388Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menerangkan masalah peninjauan 385

Pasal 72 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 72 (4) membuka kemungkinan bahwa terhadap putusan Pengadilan Neegri dapat diajukan permohonan ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung (Pasal 75 ayat 5). 386 Hari Widya Pramono (Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto), Pembatalan Putusan Arbitrase, www.pn-mojokerto.go.id. Diakses, 23 Mei 2013, pukul.15:25 WIB. 387 Rv merupakan hukum acara perdata bagi kalangan bangsa eropa dimasa penjajahan Belanda. 388 Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung, Mandar Maju, 1997, hlm.54.

Hal | 266


kembali dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) berbunyi : “ terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang.� Adapun ayat (2) berbunyi : “terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.� Dalam isitilah peradilan terdapat sebuah azas bahwa suatu putusan bahwa suatu putusan pengadilan yang sudah berkekutan hukum tetap, hendak diajukan lagi. Menurut Yahya Harahap, 389 dibukanya upaya hukum PK karena beberapa pertimbangan : 1.

2.

3.

Meskipun perkara telah diputuskan dalam tingkat pertama, banding dan kasasi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dikhawatirkan ada kekeliruan dalam pemeriksaannya sebab sifat manusia walaupun ia sebagai hakim tidak luput dari khilaf dan lalai serta serba kekurangan, Biasa terjadi pada saat perkara diputus, ternyata ada unsur-unsur yang tidak sehat seperti kebohongan, dan tipu muslihat sehingga timbul ketidakadilan pada salah satu pihak yang berperkara, Tidak layak mempertahankan putusan yang cacat yuridis dalam kehidupan masyarakat, sehingga layak diberikan kesempatan yang luar biasa kepada pihak yang dirugikan dengan cara mengajukan PK terhadap perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Terdapat syarat-syarat untuk mengajukan peninjauan kembali : 1. 2. 3. 4. 5. 6.

diajukan oleh pihak yang berperkara; putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap; membuat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasanalasannya; diajukan menurut tenggang waktu menurut undang-undang; membayar panjar biaya peninjauan kembali menghadap di kepaniteraan pengadilan negeri yang memutus perkara pada tingkat pertama.

Didalam sengketa yang telah diputus oleh arbitrase dapat diajukan upaya hukum apabila para pihak dapat menunjukkan bukti-bukti yang dapat diajukan dalam permohonan pembatalan putusan arbitrase,yang menjadi alasan pembatalan apabila putusan arbitrase tersebut diduga mengandung unsur-unsur 389

M.Yahya Harahap, Kedukan Kewenangan dan Acara Perdata, Jakarta: Pustaka Kartini,2001,hlm.4007-408.

Hal | 267


yang terkandung dalam Pasal 70 huruf (a),(b), dan (c) (yang telah disebutkan diatas). Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum tetap apabila para pihak yang bersengketa secara sukarela menerima putusan itu.Dari ketentuan ini dapat dikatakan bahwa meskipun putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatanhukum tetap dan mengikat para pihak, putusan itu sebenarnya belum memperoleh kekuatanhukum tetap selama putusan itu masih dimungkinkan untuk dibatalkan oleh Pengadilan Negeri atau Mahkamah Agung.390 Dalam hal ini yang diajukan permohonan PK bukanlah terhadap putusan arbitrasenya, akan tetapi putusan badan peradilannya yaitu putusan Pengadilan Negeri, karena permohonan pengajuan upaya hukum PK terhadap sengketa arbitrase diajuakn ke Ketua Pengadilan Negeri terhadap putusan Pengadilan Negeri para pihak dapat mengajukan PK ke Tingkat Mahkamah Agung .391

C. PENUTUP 1. Kesimpulan a) Putusan arbitrase ad-hoc dapat dibatalkan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur yang pertama, surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu. Kedua, setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan. Ketiga, putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Apabila ketiga unsur ini dapat dibuktikan oleh pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase ad-hoc kepada Ketua Pengadilan Negeri dan dilanjutkan pemeriksaan oleh Ketua Mahkamah Agung yang berwenang memeriksa permohonan pembatalan putusan arbitrase pada tingkat pertama dan terakhir. Demi mencapai suatu keadilan bagi para pihak yang merasa dirugikan terdapat alasan-alasan lain yang dapat diajukan bagi para pihak dalam mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase ad-hoc, yaitu alasan-alasan lain diluar UU Arbitrase yang dapat diajukan dan Majelis Hakim yang memeriksa dalam pertimbangannya dapat menerima atau menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase ad-hoc dari para pihak. 390

Andi Andojo Soetjipto (Mantan Hakim Agung dan sekarang menjadi Arbiter pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia), dikutip dari Indonesia Arbitration Quarterly Newsletter No.10/2010, Jakarta, Badan Arbitrase Nasional Indonesia, hlm.11, 2010. 391 Andi Andojo Soetjipto, Ibid, hlm.13.

Hal | 268


b) Upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) dapat digunakan dalam permohonan pembatalan putusan arbitrase yang telah memiliki kekuatan hukum tetapke Mahkamah Agung.Meskipun putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak, putusan itu sebenarnya belum memperolehkekuatan hukum tetap selama putusan itu masih dimungkinkan untuk dibatalkan oleh Pengadilan Negeri atau Mahkamah Agung. Putusan arbitrase dapat dikatakan mempunyai kekuatan hukum tetap apabila para pihak yang bersengketa secara sukarela menerima putusan tersebut dan tidak ada pihak lain yang meminta untuk dibatalkan. Permohonan PK yang diajukan bukanlah terhadap putusan arbitrasenya, akan tetapi putusan badan peradilannya karena permohonan pengajuan upaya hukum PK terhadap sengketa arbitrase diajuakn ke Ketua Pengadilan Negeri terhadap putusan Pengadilan Negeri para pihak dapat mengajukan PK ke Tingkat Mahkamah Agung. 2. Saran a) Majelis arbitrase ad-hoc yang telah dipercaya dan ditunjuk bagi para pihak yang bersengketa untuk diselesaikan melalui jalur arbitrase hendaknya dalam memeriksa suatu perkara dapat memberikan putusan adil menurut hukum (ex aequo et bono) bagi para pihak yang bersengketa, sehingga arbitrase dapat lebih dipercaya oleh para pihak yang ingin menyelesaikan perselisihan diantara mereka melalui jalur non litigasi (jalur diluar peradilan umum) yang bersifat efektif, cepat, dan kerahasiaan terjamin. Majelis arbitrase seharusnya lebih cermat dan teliti dalam memeriksa surat atau dokumen-dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan sehingga putusan arbitrase tersebut dapat diterima bagi para pihak, supaya pihak-pihak yang merasa dirugikan tidak dapat mengajukan upaya hukum lain. Seharusnya putusan arbitrase bisa benar-benar menjadi putusan akhir bagi para pihak yang bersengketa, dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat diajukan. Jika masih ada pihak yang mengajukan upaya hukum, tujuan arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat menjadi sia-sia.

Hal | 269


Transparansi Perizinan Usaha Perkebunan Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik Oleh: Henny Liauw, SH Lulus Tanggal 4 Juli 2013 di Bawah Bimbingan Saut Parulian Panjaitan, SH., M.Hum dan Agus Ngadino, SH., MH

Abstrak: Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berjuang untuk mewujudkan good governance sebagai konsekuensi negara hukum demokratis. Namun, keadaan yang ada saat ini menunjukkan bahwa hal tersebut masih sangat jauh dari harapan. Perkebunan sebagai komoditas utama dalam perekonomian nasional mengalami permasalahan yang serius dalam hal perizinan sebagai salah satu bentuk tindakan pemerintah. Adanya indikasi ketidaktransparan aparatur pemerintah dalam melayani publik masih menjadi problema tersendiri di negeri ini. Kesan bahwa dalam pengurusan izin itu bertele-tele, mahal dan melelahkan masih menjadi potret birokrasi perizinan utamanya dalam hal perizinan perkebunan. Hal ini yang melatarbelakangi perlunya konsep transparansi itu mengingat transparansi sebagai salah satu syarat untuk menciptakan good governance Kata kunci : Good governance, birokrasi perizinan, usaha perkebunan, UndangUndang Keterbukaan Informasi Publik, pelayanan publik.

A. PENDAHULUAN 1. Lata Belakang Transparansi merupakan konsep yang sangat penting sejalan dengan semakin kuatnya keinginan untuk mengembangkan praktik good governance. Praktik good governance mensyaratkan adanya transparansi dalam proses penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan. Pemerintah dituntut untuk terbuka dan menjamin akses stakeholders terhadap berbagai informasi mengenai proses alokasi anggaran untuk pelaksanaan kebijakan, kebijakan publik serta evakuasi dan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan. Tranparansi masih menjadi barang mewah sehingga tidak semua orang dapat menikmatinya. Padahal transparansi menjadi salah satu ukuran Hal | 270


penting dari good governance. Governance dinilai baik atau buruk, salah satunya ditentukan oleh tingkat transparansi didalam pemerintahannya. Buruknya transparansi pemerintahan di Indonesia menunjukkan bahwa good governance masih jauh dari realitas kehidupan pemerintahan sehari-hari.392 Terdapat bermacam-macam pelayanan publik dimana masyarakat harus ikut serta dan berperan dalam penyelenggaraan pemerintah yang pada prinsipnya mengatur hubungan antara masyarakat dengan pemerintah dalam hal hak dan kewajiban masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan pemerintahan yang tentunya hal ini hanya dapat tercapai apabila prinsip transparansi diterapkan sebagai salah satu unsur untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Transparansi sangat dibutuhkan karena akan menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai karena informasi merupakan suatu kebutuhan penting masyarakat untuk dapat berpartisipasi. Sulitnya warga untuk memperoleh informasi mengenai perizinan yang diberikan pemerintah serta badan usaha terhadap usaha perkebunan dan juga mengenai proses perizinan usaha perkebunan yang dalam prakteknya seringkali ditemukan ketidaksesuaian prosedur dengan apa yang tercantum dalam peraturan yang telah diatur, hal ini memberikan suatu permasalahan tersendiri dimana pemerintah harus menjalankan fungsinya sebagai penyedia informasi serta hak dari warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasonal. Hal ini tecermin dari mencuatnya isu hukum dimana kalangan pengusaha mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan persoalan perkebunan sawit di kawasan hutan produksi secara arif dan bijaksana seperti yang diungkapkan oleh perwakilan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Edi Martono, dalam diskusi yang bertema “Dampak Carut Marut Kebijakan Tata Ruang Terhadap Prospek Investasi dan Usaha� yang diselenggarakan Majalah TROPIS di Jakarta. Seperti yang dikutip dari sumber bahwa di dalam diskusi tersebut Edi Martono beranggapan bahwa apabila pengembangan perkebunan sawit itu dianggap salah, tentu kesalahan bukan pada dunia usaha. Mereka telah melengkapi semua izin resmi yang dikeluarkan pemerintah yang resmi. Terhambatnya proses perizinan pemanfaatan lahan menyebabkan rencana revitalisasi perkebunan menjadi maju mundur. Bukan hanya pengembangan 392

Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2008, hlm 226.

Hal | 271


perkebunan baru yang terhambat, revitalisasi plasma juga terpengaruh. Mereka mendesak pemerintah agar memperlancar proses perizinan”.393 Dari realitas permasalahan yang timbul di masyarakat itu menunjukkan akibat dari ketidaktransparan yang ada didalam tubuh birokrasi perizinan usaha perkebunan. Maka dari itu, penulis mencoba menelaah mengenai penerapan konsep transparansi dimana masyarakat harus mengetahui secara jelas mulai dari perencanaan, pengambilan kebijakan publik, perizinan usaha perkebunan serta bagaimana tahap pelaksanaannya apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan agar pengelolaan lahan perkebunan ini akan menjadi lebih baik sesuai dengan apa yang menjadi asas dan tujuan usaha perkebunan yang tertuang pada pasal 2 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan 394 yang menyatakan bahwa: ”Perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta keadilan”. Asas keterbukaan yang tercantum diatas memberi peluang bahwa dalam perizinan usaha perkebunan harus dilakukan secara transparan, bagaimana agar keterbukaan itu menjadi operasional pada hakekatnya tidak dijelaskan secara mendetail pada Undang-Undang perkebunan, namun dengan memahami substansi yang terkandung didalam pasal 2 UndangUndang Nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan tentu sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Publik, artinya ketentuan mengenai perizinan usaha perkebunan memang sudah diatur secara jelas didalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan namun belum mengatur secara jelas mengenai konsep transparansi dalam perizinan usaha perkebunan. Terkait dengan hal tersebut, keterbukaan informasi merupakan elemen penting dalam peran serta masyarakat. Masyarakat dapat benar-benar berperan serta apabila memiliki informasi yang lengkap dan aktual mengenai suatu kebijakan/ tindakan pemerintah. Tanpa terpenuhinya kebutuhan informasi itu, peran serta dan partisipasi dari masyarakat sulit untuk direalisasikan. Berbagai norma dan ketentuan mengenai hak masyarakat untuk berperan serta tersebut harus pula diakomodir dalam pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan yang telah mengatur beberapa bentuk peran serta masyarakat dalam perkebunan yaitu: “(1) pelaku usaha perkebunan melakukan 393

Harian Umum Pelita,“Pemerintah didesak Percepat Proses Izin Permanfaatan Lahan” http://www.pelita.or.id/baca.php?id=89639, diakses 25 Maret 2013, pukul 15.00 wib. 394 Republik Indonesia , Undang- undang Perkebunan, UU No. 18 Tahun 2004, LN No.85 Tahun 2004, TLN No. 4411, Ps. 2 ayat(1).

Hal | 272


usaha perkebunan dikoordinasikan oleh aparat keamanan dan dapat melibatkan bantuan masyarakat sekitarnya�. Namun bentuk peran serta seperti yang dijamin didalam UUD 1945 dan UU perkebunan, pengaturan tersebut hanya memberikan jaminan hukum bagi masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan usaha perkebunan tetapi tidak memberikan ketentuan yang jelas mengenai bagaimana wujud transparansi dalam tindakan pemerintah terkait dengan usaha perkebunan. Hal inilah yang kemudian menjadikan korelasi antara UndangUndang perkebunan dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 395 Konteks didalam tata kelola pemerintahan yang baik itu juga menuntut adanya transparansi, terlebih lagi bila dikaitkan dengan penyelenggaraan pemerintah yang mempunyai kewajiban untuk menerapkan keterbukaan informasi publik seperti yang tercantum didalam UU Keterbukaan Informasi Publik.

2.

Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah konsep transparansi perizinan usaha perkebunan menurut Undang-undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik? 2. Bagaimanakah implikasi adanya transparansi perizinan usaha perkebunan dalam terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik?

3. Kerangka Konseptual Dalam penulisan skripsi ini menggunakan teori good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), yaitu pengelolaan yang baik dalam sektor publik ,badan usaha maupun kegiatan organisasi masyarakat yang dilakukan atas dasar prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, dasar hukum dan prinsip keterbukaan. 396 Dalam penyelenggaraan negara, pemerintah harus bersikap terbuka terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, termasuk juga anggaran yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Asas transparansi merupakan salah satu cerminan bagaimana agar tata kelola pemerintahan yang baik dapat benar-benar terwujud karena hal itu berkaitan dengan kewajiban pemerintah dalam menyediakan informasi sebagai hak warga negara karena 395

Republik Indonesia, Undang- undang Keterbukaan Informasi Publik, UU No. 14 Tahun 2008, LN No.61 Tahun 2008, TLN No. 4846, Ps. 4 ayat(1). 396 Bintoro Tjokroamidjojo,Good Governance(Paradigma Baru Manajemen Pembangunan, Jakarta,2001, hlm.21.

Hal | 273


ketika pemerintah akan menjalankan pemerintahan maka kepada pemerintah diberi kekuasaan. Hal itu menjadikan pemerintah untuk melaksanakan pengaturan, pembangunan dan pelayanan. Agar kekuasaan ini digunakan sesuai dengan tujuan diberikannya maka diperlukan norma-norma pengatur dan pengarah.397

B. PEMBAHASAN 1. Konsep Transparansi perizinan usaha perkebunan menurut UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Dalam negara kesejahteraan (welfare state verzogingstaat), tugas pemerintah tidak hanya terbatas untuk melaksanakan undang-undang yang telah dibuat oleh lembaga legislatif. Dari sisi perspektif welfare state, pemerintah diberikan kewajiban untuk menyelenggarakan kepentingan umum (bestuurszorg) atau mengupayakan kesejahteraan sosial yang dalam menyelenggarakan kewajiban itu pemerintah diberi kewenangan untuk campur tangan (staatsbemoeinis) dalam kehidupan masyarakat dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum.398 Dalam konteks bahasan ini yang menfokuskan kepada tindakan pemerintah berupa perizinan terutama dalam usaha perkebunan. UndangUndang Nomor 18 Tahun 2004 tentang perkebunan tidak mengatur secara rinci mengenai perizinan usaha perkebunan, namun pada pasal 17 ayat(1) 399 menyebutkan bahwa: “Setiap pelaku usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengelolaan hasil perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu wajib memiliki izin usaha perkebunan�. Baik ditingkat Undang-Undang tentang Perkebunan maupun ditingkat Peraturan Menteri Pertanian ini sama-sama tidak mengatur mengenai konsep transparansi dalam perizinan usaha perkebunan. Konsep transparansi dapat kita cermati di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (selanjutnya disingkat UU KIP). Pada prinsipnya, Undang397

Ibid.,hlm.,33. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, PT. Raja Grapindo Persada, 2006,hlm.133. 399 Republik Indonesia, Undang- undang Perkebunan, UU No. 18 Tahun 2004, LN No.85 Tahun 2004, TLN No. 4411, Ps. 17ayat(1). 398

Hal | 274


Undang Perkebunan dan UU KIP ini mengatur dua hal yang berbeda. Disatu sisi Undang-Undang Perkebunan ditujukan untuk pelaksanaan usaha perkebunan dan disisi lain UU KIP itu bertujuan untuk melindungi hak warga negara dalam hal kebutuhan arus informasi. Namun demikian, kedua UU ini memiliki sasaran yang sama yaitu, sama-sama mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara. Apabila kita telaah, di dalam UU perkebunan itu juga menganut asas keterbukaan yaitu tecermin pada Pasal 2 yang menyebutkan bahwa:“Perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, keterbukaan serta keadilan�. Namun prinsip keterbukaan yang tercantum pada pasal asas ,tujuan dan fungsi ini baru sampai pada tahap asas. Seperti halnya pada undang-undang perkebunan yang tidak menjelaskan secara eksplisit bagaimana transparansi dalam perizinan usaha perkebunan. Namun dapat kita telaah dari asas keterbukaan yang tercantum pada asas dan tujuan. Sehingga konsep transparansi itu dapat diterapkan juga ke dalam perizinan usaha perkebunan. Transparansi diperlukan didalam perizinan usaha perkebunan mengingat perizinan itu merupakan salah satu instrumen pemerintah 400 yang pada prinsipnya mengatur pada aspek hubungan antara pemerintah dengan warga negara. Seperti yang kita ketahui negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya (fundamental human rights). Usaha perkebunan yang akhir-akhir ini menjadi sorotan penting mengingat kapasitasnya sebagai komoditas utama dalam menopang pembangunan perekonomian nasional. Namun pada kenyataannya, masih timbul keresahan masyarakat kepada sikap tindak pemerintah dalam hal perizinan usaha perkebunan ini. Realitas yang timbul di masyarakat yaitu dimana salah satu pengusaha Siti Hartati Cakra Murdaya Poo mengeluhkan berbelitnya sistem perizinan terutama dalam bidang perkebunan didaerah. 401 Menurut Hartati, pemerintah harus membuat suatu sistem perizinan yang ramah dengan pengusaha. Lantaran sistem perizinan di daerah yang dipersulit oleh pemerintah daerah, dirinya sebagai pengusaha merasa dirugikan. Dari keluhan publik ini 400

Instrumen pemerintah yang dimakusd dalam hal ini adalah alat-alat atau saranasarana yang digunakan oleh pemerintah atau administrasi negara dalam melaksanakan tugastugasnya, seperti peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan,peraturan kebijaksanaan, perizinan,instrumen hukum keperdataan dan sebagainya. 401 Fiddy Anggirawan, �Hartati Curhat Selalu Ditekan Bupati Buol�, http://news.okezone.com/read/2012/12/17/339/733313/hartati-curhat-selalu-ditekan-bupati-buol, diakses tanggal 21 mei 2013 pukul 14.00 wib.

Hal | 275


menunjukkan perlunya prinsip transparansi dalam perizinan usaha perkebunan. Melihat realitas dari masalah perkebunan itu maka penulis tertarik untuk mengembangkan konsep transparansi ke dalam perizinan usaha perkebunan. Dalam aspek perizinan usaha perkebunan, ternyata otonomi daerah belum secara signifikan memperbaiki kualitas pelayanan dalam perizinan usaha perkebunan. Bahkan ada kecenderungan pasca penerapan otonomi daerah jumlah biayanya meningkat. Ironisnya, tingginya biaya perizinan tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan. Banyak pelaku usaha yang mengeluh karena kekecewaan mereka terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh birokrasi perizinan, seperti, tidak adanya transparansi biaya dan prosedur, prosedur yang berbelit, tingginya biaya yang harus dikeluarkan sampai diksriminasi terhadap golongan tertentu.402 Mencermati uraian-uraian diatas, nampak jelas bahwa eksistensi UU perkebunan belum mampu melindungi hak informasi bagi masyarakat. Masih dibutuhkan Undang-Undang lain untuk menunjang terwujudnya transparansi dan keterbukaan di dalam penyelenggaraan negara. Maka memerlukan pengadopsian dari Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik guna menjamin hak warga negara dalam hal kebutuhan arus informasi. Hal inilah yang menjadikan alasan penting untuk mengkorelasikan antara UU Perkebunan dengan UU KIP sehingga konsep transparansi perizinan dalam usaha perkebunan dapat diterapkan secara baik.

2. Implikasi adanya Transparansi dalam Perizinan Usaha Perkebunan dalam Terciptanya Tata Kelola Pemerintahan yang Baik Implikasi adanya transparansi secara umum dapat dilihat berdasarkan beberapa perpektif, Pertama dari sisi kelembagaan birokrasi tentu akan mengalami perubahan sejalan dengan proses penerapan transparansi itu. Bagaimana lembaga/ institusi itu dapat menyalurkan informasi kepada publik secara baik, maka lembaga/ institusi tersebut haruslah dibangun melalui sistemsistem tertentu yang mendukung tercapainya keterbukaan dalam setiap tindakan pemerintah. Maka dengan sendirinya akan berdampak langsung terhadap pengawasan birokrasi karena tingkat kepedulian masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah cukup tinggi. Masyarakat diberdayakan sehingga sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan oleh birokrasi. 402

Adrian Sutedi, Op.Cit.,hlm.49.

Hal | 276


Kedua, apabila kita cermati dari sisi kultur atau budaya dari sumber daya aparaturnya sudah pasti mengalami perubahan karena ketika mereka dituntut perlu adanya transparansi itu, maka akan berpengaruh kepada cara kerja aparatur itu sendiri, karena tuntutan atas keterbukaan itu harus dijalankan dalam rangka pemberian layanan kepada publik yang mana hal ini akan terus diawasi oleh masyarakat sebagai pihak yang dilayani. Aparatur pemerintah sebagai penyelenggara negara sekarang ini dan akan datang semakin dihadapkan kepada kompleksitas global. Peranannya harus mampu mengantisipasi dan mengakomodasi segala bentuk perubahan. Kondisi ini sangat memungkinkan karena aparatur berada pada posisi sebagai perumus dan penentu kebijakan, serta sebagai pelaksana terdepan dari segala peraturan perundang-undangan.403 Ketiga, mengenai substansi pengaturan dan pelaksanaan kegiatan akan jauh lebih baik karena dengan adanya transparansi itu akan mendorong substansi dari pengaturan untuk menganut prinsip keterbukaan dan mengubah sistematis pengaturan menjadi lebih terbuka dalam kerangka negara hukum. Peraturan-peraturan dari tingkat pusat hingga daerah harus dapat menunjang terjadinya keterbukaan itu, yaitu dengan menempatkan asas dan tujuan berdasarkan prinsip transparansi, karena untuk dapat mewujudkan keterbukaan itu maka diperlukan aturan khusus mengenai perizinan usaha perkebunan yang menghendaki tercapainya transparansi didalam pengelolaan usaha perkebunan. Implikasi lain dari prinsip transparansi dalam perizinan usaha perkebunan ini terdiri dari dua aspek, yaitu, Pertama akan mendorong adanya keterbukaan (openess) sebagai kewajiban pemerintah untuk bersikap terbuka kepada publik yang hal ini juga merupakan hak konstitusional dari warga yang dilindungi didalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang berkonsekuensi logis yaitu apabila keterbukaan itu tidak dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat tidak dapat memperoleh informasi yang cukup, maka UU KIP itu dapat menjadi dasar gugatan bagi masyarakat untuk menuntut haknya. Kedua, implikasi yang berkaitan dengan pelayanan. Pelayanan dalam hal ini sasarannya adalah bagi warga masyarakat yang berhubungan dan berkepentingan dengan pengurusan perizinan itu sendiri. Aspek pelayanan ini bersifar konkrit dan individual yaitu dengan adanya transparansi dalam perizinan usaha perkebunan maka akan mendorong pelayanan publik yang lebih 403

Ibid.,hlm.,46.

Hal | 277


baik lagi. Dalam konteks ini menawarkan konsep transparansi terhadap tindakan pemerintah yang dibatasi pada aspek perizinannya dalam pelayanan publik, artinya pemerintah harus berbenah diri untuk menjadikan pelaksanaan kewenangannya yang nantinya berimplikasi pada terciptanya transparansi dalam perizinan usaha perkebunan. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa konsep transparansi itu sebagai instrumen pemerintah yang merupakan syarat terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik, ketika kita berbicara pada aspek dimana transparansi itu kelak dapat diterapkan dalam perizinan usaha perkebunan maka tentu akan terjadi perubahan dalam birokrasi pelayanan publik yaitu dengan adanya transparansi itu akan memudahkan masyarakat untuk mengakses informasi melalui berbagai media yang kemudian juga akan berimplikasi kepada keinginan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintah terutama apabila diukur dari prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik yang merupakan konsekuensi dari negara hukum demokratis. Dalam hal tindakan pemerintah selain berbicara mengenai transparansi sebagai syarat utama dalam penyelenggaran pemerintah yang baik, yaitu dengan adanya transparansi akan dapat mendorong terciptanya partisipasi dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Artinya ketika tindakan pemerintah itu tidak dilakukan secara tranparan, maka akan berkonsekuensi logis terhadap lemahnya partisipasi, maka ini berhubungan dengan lemahnya demokrasi dan dengan tidak adanya partisipasi dan transparansi akan berakibat pada lemahnya akuntabel dari aspek perkebunan itu sendiri, padahal hal ini merupakan tuntutan zaman dalam tata kelola pemerintahan yang baik untuk diwujudkan. Perhatian terhadap pentingnya partisipasi dalam konteks ini yaitu perizinan usaha perkebunan akan menjadi salah satu kunci untuk memadatkan nilai-nilai kebijakan yang berorientasi pada kepentingan publik. Untuk itu masyarakat sebagai elemen terbesar dalam suatu tatanan kehidupan sosial diharapkan dapat ikut serta dalam proses penentuan arah kebijakaan dalam hal perizinan usaha perkebunan. Dapat disimpulkan bahwa jaminan hak atas kebebasan memperoleh informasi publik dapat dijadikan salah satu tolak ukur dianutnya prinsip Good Governance, khususnya unsur transparansi dan keterbukaan dalam perizinan usaha perkebunan. Jaminan hak atas kebebasan memperoleh informasi di dalam konteks Good Governance memiliki dampak tidak saja pada pemenuhan unsur transparansi, keterbukaan dan pelayanan prima, melainkan juga berdampak pada akuntabilitas pemerintahan. Sebab, masyarakat memiliki instrumen untuk menilai akuntabilitas bila hak tas informasi tidak terpenuhi, disinilah masyarakat Hal | 278


dapat menggunakan UU KIP sebagai dasar gugatan apabila dirasa oleh masyarakat bahwa pemerintah di dalam melayani publik. Dengan demikian, jaminan hukum terhadap hak atas kebebasan memperoleh informasi publik menjadi tuntutan tak terelakkan sebagai implikasi dianutnya prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.404

C. PENUTUP Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan,yaitu: 1. Konsep transparansi dalam perizinan usaha perkebunan menurut UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yaitu konsep transparansi yang merupakan prasyarat dalam tata kelola pemerintahan yang baik yang dikaitkan dengan perizinan usaha perkebunan sebagai salah satu instrumen tindakan pemerintah, yang pada hakekatnya di dalam Undang-Undang Perkebunan juga menghendaki adanya keterbukaan di dalam pengelolaan perkebunan, hal ini tecermin dalam asas dan tujuan yang tercantum di dalam UU perkebunan. UU Perkebunan dan UU KIP memang mengatur dua hal yang berbeda, namun dapat dikorelasikan karena di satu sisi UU perkebunan berkaitan dengan tindakan pemerintah yang dalam hal membatasi pada perizinan usaha perkebunan yang membutuhkan adanya transparansi terutama dalam hal kebutuhan informasi, disisi lain UU KIP melindungi hak konstitusional warga negara yang menjamin ketersediaan informasi bagi publik. Melihat aspek tersebut, maka susbtansi dan kriteria didalam UU KIP juga harus bisa diterapkan didalam perizinan usaha perkebunan.Transparansi sangat dibutuhkan karena akan menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai karena informasi merupakan suatu kebutuhan penting masyarakat untuk dapat berpartisipasi. 2. Implikasi adanya tranparansi dalam perizinan usaha perkebunan paling tidak berdampak pada tiga hal, yaitu adanya Pertama, pengawasan birokrasi yang dilakukan oleh masyarakat karena dengan adanya transparansi membuat masyarakat merasa terlibat didalamnya. Kedua, meningkatkan partisipasi publik dimana warga masyarakat semakin paham akan hak dan kewajiban 404

Ibid.,hlm.,45.

Hal | 279


mereka dalam pengelolaan usaha perkebunan. Ketiga, perubahan sumber daya pelayanan publik yang akan semakin baik dengan berpatokan pada standar-standar pelayanan publik. Selain itu, implikasi adanya transparansi dalam perizinan usaha perkebunan dalam terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik yaitu apabila perizinan usaha perkebunan itu dapat dilakukan secara transparan, maka akan mampu mendorong terciptanya partisipasi oleh masyarakat dan akuntabilitas oleh pemerintah yang hal itu merupakan aspek-aspek untuk terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik. dengan adanya transparansi dalam perizinan usaha perkebunan.

Hal | 280


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.