MAJALAH NUANSA EDISI 01 2019 "JANGGALNYA TRAGEDI TAMBAKREJO"

Page 1

SENI MUSIK PERTUNJUKAN BAHASA POTRET

OPINI

SURAT PEMBACA

OPINI

TESA

KELANA KULINER

TEMPAT

RESENSI PUSTAKA

SINEMA

SASTRA

PUISI

CERPEN

RANAH

KESEHATAN

LINGKUNGAN

SOSOK

PUCUK

TESA

Media Dan Politik (Bernuansa) Peraduan

Pemilu, dalam masyarakat yang berkomunikasi melalui—dan dikepung oleh—media berasas bisnis, menurut mereka, menjadi sangat lekat dengan hiburan. Dan hiburan punya watak karnaval. Kita akan tersesat di antara informasi-informasi bernuansa pengubuan yang lebih merenggut perhatian.

Tambakrejo

Tergusurnya hunian warga Tambakrejo meninggalkan luka. Meskipun solusi telah tercapai antara warga dan pihak pemerintah, hal ini tetap menunjukan ketidakhati-hatian pemerintah dalam mengambil keputusan. Warga Tambakrejo sempat mengalami massa sulit pascapenggusuran pada Kamis 9 Mei 2019.

Bagi Cak Mahfud, penting untuk melihat desa atau kampung halaman sendiri dengan lebih adil. Kita perlu mencerna teori-teori yang telah didapat selama di perantauan, dan menyesuaikannya dengan kondisi faktual yang dialami di desa.

3 EDISI 1 2019 | NUANSA |

Membagi Sastra dan Linguistik, Memisah Pemaknaan dan Pragmatik

Sastra adalah perpaduan ilmiah dengan seni. Melupakan nilai ilmiah karya sastra memunculkan anggapan bahwa sastra bukan lagi ilmu pengetahuan. Ia hanya dianggap seni yang proses kreatifnya terjadi setelah adanya wangsit atau ilham. Penciptaanya tidak bisa dipelajari, hanya berdasar pada bakat alamiah semata. Jelas itu adalah anggapan yang salah. Selain mengandung nilai keindahan, sastra seharusnya tidak terlepas dari konteks dan nilai kebermanfaatan. Bahkan, sastra memungkinkan pula mengacu pada data dan fakta. Sastra tidak bisa hidup dalam kesunyian teks.

Sebagai ilmu pengetahuan, sastra sudah sepantasnya mendapat ruang di perguruan tinggi sebagai jurusan atau bahkan fakultas. Namun sebagai seni, ia perlu membuka beberapa ruang lagi untuk bertahan.Di Universitas Negeri Semarang terdapat program studi Sastra Indonesia. Namun prodi ini tidak hanya mempelajari teori kesusastraan dan penciptaan karya sastra. Ilmu telaah kebahasaan secara ilmiah, atau linguistik juga dipelajari di sini. Dua ilmu tersebut diklasifikasikan

menjadi dua pilihan konsentrasi, yakni konsentrasi Sastra dan konsentrasi Linguistik.

Namun perlu

kita tinjau kembali, apakah pembagian tersebut sudah tepat dan mangkus.

Menurut saya, pembagian konsentrasi Sastra dan Linguistik seolah memisahkan dunia pemaknaan dan dunia pragmatik. Seharusnya kedua konsentrasi tersebut mampu berjalan beriringan, mengingat keduanya sama-sama lekat dengan bahasa. Konsentrasi Sastra perlu penguasaan aspek-aspek bahasa secara ilmiah dan sistematis sebelum beranjak ke aspek imaji dan ekspresi. Begitu juga dengan konsentrasi Linguistik yang seharusnya perlu berkunjung ke buku-buku dan karya sastra untuk mengetahui, bagaimana bahasa bekerja di dunia sastra. Dan bagaimana sastra bermakna dan memiliki pengaruh di masyarakat.

Kenyataannya, dewasa ini dapat kita temui bahwa kedua konsentrasi itu justru asyik sendiri. Keduanya seolah belum mau bahu-membahu menciptakan gairah ilmiah dan kesenian di kampus. Konsentrasi Sastra masih enggan untuk mengulik bahasa secara ilmiah. Dan konsentrasi Linguistik masih malu untuk mengapresiasi dan menghadiri ruang-ruang diskusi sastra. Krisis apresiasi pun tak terelakkan.

Semangat bahu-membahu pun agaknya hilang. Kedua konsentrasi itu berjalan saling memunggungi dan salah satunya mendominasi. Sejak beberapa tahun belakangan, konsentrasi sastra telah kalah dengan konsentrasi linguistik. Hal ini dapat dilihat dari peminat konsentrasi sastra yang menyusut dan tak pernah lebih banyak dari konsentrasi linguistik. Kurangnya gairah berkarya mengakibatkan banyak mahasiswa yang lebih nyaman meneliti bahasa dan tuturan dibanding

sastra dianggap lebih sulit karena masih ada anggapan perlunya bakat untuk menekuni konsentrasi ini dan tidak seilmiah dan sesistematis penelitian bahasa.

Hal tersebut memang bukan hal yang salah. Namun semakin menyusutnya peminat konsentrasi sastra tidak menutup kemungkinan suatu saat konsentrasi ini akan mati. Seperti konsentrasi Filologi yang telah mati pada tahun 2012. Barangkali beberapa tahun lagi bukan hanya konsentrasi sastra yang akan mati. Mungkin juga akan ada pergantian program studi Sastra Indonesia, mungkin menjadi program studi Linguistik Indonesia. Mungkin. Dan jika gejala ini terus berlangsung, maka kasihan betul sastra Indonesia. Sudah tidak diperhatikan dan digarap serius oleh negara, panggung dan apresiasi di masyarakat juga relatif berkurang, dianak-tirikan oleh prodi yang menggunakan namanya pula.

Kedua Konsentrasi Sudah Seharusnya

Bekerjasama

Harusnya konsentrasi sastra dan linguistik mampu membangun kerja sama. Bukan malah menimbulkan ketimpangan yang justru kian kentara. Jika ingin menjadi sastrawan yang mumpuni, porsi kemampuan telaah linguistik harus seimbang dengan kepekaan seni. Sastrawan tidak bias jika tidak memerhatikan fungsi sintaksis dalam prosa, atau sama sekali tidak memiliki pemahaman terkait hubungan sintagmatis dan paradigmatis, atau kesulitan mengudar makna leksikal dan gramatikal suatu kata, misalnya. Penguasaan ilmu linguistik menjadi penting bagi mahasiswa

4 | NUANSA | EDISI 1 2019
Abi Fathe* SURAT PEMBACA

sastra, sebab akan berpengaruh pada kelihaian menganggit ide-ide yang dimiliki yang kemudian menjadi sebuah karya. Sebelum menyiapkan bahasa sebagai piranti kerjanya, sastrawan harus tahu betul seluk-beluk bahasa. Hal ini menjadi dasar. Sastrawan yang tidak mengenal intim Bahasa (kata-kata) seperti pengertian, pemerolehan, fungsi, dan sebagainya menandakan ia tidak menghargai apa yang menjadi senjata berpikir dan ekspresinya. Karena prinsip Licentia Poetica sewajarnya digunakan sastrawan untuk mencapai tujuan tertentu (keindahan dan sebagainya) dengan kesadaran laku dan makna yang akan timbul. Bukan digunakan untuk dalih ketidaktahuan sastrawan akan kaidah bahasa.

Disiplin Ilmu Linguistik yang memperhatikan perkembangan bahasa, perlulah menengok, bagaimana sastrawan, penyair, esais, dan prosais mengolah bahasa mereka. Banyak kata-kata baru ciptaan sastrawan yang belum dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Hal ini sudah selayaknya mendapat perhatian dari mahasiswa konsentrasi Linguistik. Selain itu, kita perlu mengingat kembali bahwa konsentrasi Sastra dan Linguistik

berada di progran studi yang sama: Sastra Indonesia. Jika mahasiswa konsentrasi Sastra harus memiliki penguasaan dasar Ilmu Linguistik, maka ada baiknya pula jika mahasiswa konsentrasi Linguistik mengetahui perkembangan (bahasa) sastra dewasa ini.

Meninjau waktu penentuan konsentrasi Sebenarnya, memang tidak ada orientasi yang jelas dari pihak Prodi Sastra Indonesia dan Jurusan BSI terkait kedua konsentrasi tersebut sebelum mahasiswa menentukan konsentrasi yang akan dipilih. Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia hanya mendapat penjelasan sekilas dari pihak jurusan. Belum mendetail. Belum lagi penentuan konsentrasi yang dipilih mahasiswa Sastra Indonesia dilakukan pada semester ke-4. Jadi pemberian mata kuliah yang belum terfokus pada Ilmu-ilmu Linguistik atau Sastra hanya pada tiga semester awal. Selebihnya, mahasiswa Sastra Indonesia akan menempuh mata kuliah sesuai dengan konsentrasi yang dipilih.

Waktu tiga semester untuk mempelajari dan menentukan konsentrasi apa yang akan dipilih bagi saya masih kurang. Hal itu berbeda dengan apa yang berlaku di

Universitas Diponegoro (Undip). Di Program

Studi Sastra Indonesia FIB Undip, pemilihan konsentrasi dilakukan pada semester ke6. Selama lima semester awal mahasiswa Sastra Indonesia Undip diberikan mata kuliah yang memadukan Ilmu Sastra dan Linguistik. Pemilihan konsentrasi pada semester ke-6 bisa dibilang sudah masuk di separuh lebih masa kuliah. Sehingga pemilihan konsentrasi di sana berkait pada pemilihan topik skripsi masing-masing mahasiswa. Bukan pada konsep berpikir dan karakter antara mahasiswa konsentrasi Sastra dan Linguistik.

Tidak ada salahnya jika prodi Sastra Indonesia Unnes mencontoh prodi Sastra Indonesia Undip. Dengan memberikan pilihan konsentrasi di semester ke-6, pemahaman akan bahasa dan sastra akan lebih mendalam. Sastra akan bisa lebih bergairah, dan linguistik akan lebih asyik untuk dipelajari. Atau jika perlu, sebaiknya prodi Sastra Indonesia Unnes meninjau kembali. Haruskah ada pembagian konsentrasi Sastra dan Linguistik?

*) Pegiat Asosiasi Lintas Angkatan Sastra (Alas) dan Jurnal Lakuna

Bangku Biru

Istiqbalul F. Asteja*

Seperti harapan dan angan- angan, barangkali gelar sarjana kini menjadi medium untuk tetap hidup dan berjalan.

MALAM itu saya memesan ojek online untuk pergi ke suatu pameran film keliling dari teman-teman pegiat sinema Jakarta. Di tengah perjalanan, sebuah pertanyaan basa-basi pun terlontar dari abang ojol. “Kuliah, Mbak? Semester berapa?” Aku menjawab seadanya, “Semester delapan.” Setelah reda dari rasa kagum (atau mungkin kaget?) abang ojol memberiku semangat sekaligus peringatan dalam bahasa Jawa: Lekas lulus, Mbak. Lekas kerja, punya duit lalu menikah dan punya keluarga.

Apakah arti kelulusan yang sebenarnya?

Selebrasi memakai toga necis, mungkin. Gelar sarjana yang beken, barangkali. Berakhirnya status menjadi siswa yang maha? Atau awal mula dianggap dewasa setelah masuk dunia kerja?

Kelulusan, bagi saya, bukan hanya kebahagiaan sekaligus kecemasan ala mahasiswa akhir. Kelulusan ialah sesuatu yang lain: sebuah taking priority, hingga lahir suatu asumsi (atau jangan- jangan hanya sebuah ilusi) optimisme lulus cepat atau lulus tepat, hingga pesimistis lulus lambat.

Ada sebuah pertanyaan (yang mungkin pernah Anda dengar) tentang kelulusan: “Akan lebih baik mana, lulus tepat waktu, atau lulus di waktu yang tepat?” Mari kita sebut mahasiswa yang memilih jawaban “lulus tepat waktu” sebagai “Bangku Merah”, dan “di waktu yang tepat” dengan “Bangku Biru”.

Awal kuliah, suara Bangku Merah terdengar cukup keras, bahkan mendominasi. Hampir semua mahasiswa baru memiliki angan-angan lulus tepat waktu dengan IPK cumlaude dan jadi mahasiswa berprestasi. Menjelang semester akhir, banyak yang sadar kuliah tidak melulu soal keberhasilan akademik, melainkan juga keberhasilan branding diri

sendiri. Saat itulah muncul Bangku Biru. Memang, segalanya tampak menjadi relatif, karena setiap orang memiliki skala prioritasnya masing-masing. Namun, akan menjadi tidak adil, jika kampus ikut andil. Kampus ikut mendorong mahasiswanya untuk lulus cepat dengan mengesampingkan kompetensi, skill di luar akademik. Alih-alih menjadi kelanjutan agent of change, malah jadi beban karena menjadi pengangguran pasca kelulusan. Terlebih jika semua itu dilakukan hanya semata mengejar akreditasi. Apalagi ini memang zaman kemenangan “imagologi”, seperti yang dikatakan Milan Kundera: zaman ketika ideologi telah kalah oleh realitas dan realitas kalah oleh citra.

Bangku Biru muncul dari persepsi ini. Lulus dengan hanya bermodalkan kecerdasan akademik tidak menjamin selamat dari belenggu dunia yang oleh Sapardi dikatakan fana ini, dan oleh kita (tentu saja saya, Anda dan semuanya) dikatakan kejam.

Banyak hal tak terduga terjadi. Banyak hal yang diduga akan terjadi, ternyata tidak. Banyak hal yang sulit dimengerti. Bangku biru mempersiapkan itu semua dengan terus berproses di luar kampus, melebarkan sayap-sayap jaringan, membangun kepercayaan, menumbuhkan keberanian, memupuk kedewasaan, hingga membranding diri dengan macam-macam cara. Mereka dengan segala wawasannya (atau kebodohannya) kemudian meraih kelulusannya di waktu yang “tepat”. Waktu ketika semua dirasa sudah matang. Waktu ketika semua dirasa sudah siap.

Lalu, tiba-tiba, Bangku Biru lupa. Segudang kenyamanan saat berproses di luar, membuat tugas akhir (baca: skripsi) berakhir sebagai kesunyian masing-

masing. Semakin lama, semakin hilang niat untuk menyelesaikan. Pengetahuan yang didapat dari luar berkamuflase menjadi beban moral. Kelulusan menjadi sesuatu hal yang jauh. Dan “sarjana” berubah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak harus diraih. Bangku Merah bertepuk tangan.

Bangku

Merah, kita ingat, menganggap bahwa lebih baik lulus dulu, baru kemudian mulai membranding diri setelah lulus. Toh, belajar tidak harus di bangku perkuliahan. Mereka dengan segala wawasannya (atau kebodohannya) mulai memfokuskan diri di akademik, kemudian lulus tepat, bahkan cepat waktu. Sebelum akhirnya mereka sadar tentang kecemasankecemasan pasca kelulusan, seperti bayangbayang pengangguran. Bangku Biru bersorak sorai.

Jadi, lebih baik mana, lulus tepat waktu, atau lulus di waktu yang tepat? Tidak perlu dijawab. Bahkan, Bangku Merah dan Bangku Biru pun masih belum bisa menjawab. Kini banyak orang yang memang sedang bingung. Maka cukup simpan saja pertanyaan itu, lalu buat prioritas, dan mari mulai berproses! Yang pasti, ketika kita tidak punya prioritas, tidak berproses, dan tidak melakukan apaapa, tapi memilih menunda kelulusan, itu jauh lebih menyedihkan.

Terakhir, meminjam pernyataan salah satu penulis favorit saya Dea Anugrah; Hidup Begitu Indah, dan Hanya Itu yang Kita Punya. Lulus cepat, lulus tepat, apalagi lulus lambat hingga tidak lulus, semuanya tidak ada yang ideal. Dunia ideal, bagi saya adalah selaput tipis di kaki langit yang terus menjauh saban kita mendekatinya. Yang ada hanyalah dunia ini beserta hidup yang terus bergulir, terus, terus mengalir. Toh kita juga tidak pernah benar-benar mencapai sesuatu. Yang ada hanya berhenti di kata “hampir”. Jadi, bahagia itu sederhana. Bukan hanya lulus cepat dan tepat saja yang indah; lulus lambat juga bisa jadi indah. Lagi-lagi ini hanya soal prioritas.

6 | NUANSA | EDISI 1 2019 SURAT PEMBACA
*) Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang 2015

Narasi Jeritan Warga Tambakrejo

Kota Semarang, baru-baru ini, mendapatkan Peringkat satu Penghargaan Pembangunan

Daerah Tingkat Provinsi di bawah kepemimpinan Hendrar

Prihadi. Bahkan dalam forum Perencanaan

Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas), Semarang mendapatkan dua penghargaan sekaligus. Pertama, Kota Semarang menjadi satu-satunya wilayah yang memperoleh Penghargaan Khusus Pembangunan Infrastruktur

Daerah Skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU). Kedua, juara pertama Kategori Perencanaan dan Pencapaian Terbaik Tingkat Kota, mengalahkan Denpasar dan Makasar.

Namun di balik penghargaan tersebut, ada peristiwa yang tidak banyak diketahui publik; jeritan para korban penggusuran yang diklaim sebagai bentuk upaya pembangunan. Fenomena penggusuran sempat dialami oleh warga di kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang.

Beberapa pembangunan oleh Pemkot Semarang saya temui diwarnai tindakan penggusuran. Dengan dalih kepentingan umum dan pembangunan, penggusuran dilegitimasi menjadi suatu tindakan yang harus dilakukan. Selain itu penggusuran kampung yang banyak terjadi belakangan ini terlihat semakin menyudutkan kampung sebagai permukiman yang tidak layak untuk bersanding dengan modernitas kota. Rentetan penggusuran ini dapat kita lihat mulai dari penggusuran Kampung Serayu yang sekarang menjadi Mal Paragon, Kebonharjo, PKL Taman KB, PKL Mlatiharjo dan terakhir kasus penggusuran Tambakrejo.

Morat-Marit Mekanisme Penggusuran

Forum Keprihatinan Akademisi pada tahun 2003 menyatakan, kian eskalatifnya penggusuran tempat tinggal dan tempat usaha kaum miskin ini merupakan penegasan strategi dan pola pembangunan. Hal yang tampak nyata dari strategi tersebut adalah perlakuan diskriminatif oleh aparat negara terhadap warga miskin yang tidak memiliki akses terhadap sumber daya.

Penggusuran dengan dalih penegakan hukum, tak lain adalah strategi untuk mengusir paksa kaum miskin. Mekanisme penggusuran paksa kian menjadi kebiasaan pemerintah. SP 1-Sosialisasi-SP 2 dan SP 3-Penggusuran-Mediasi. Padahal menurut saya mekanisme atau etika yang lebih baik dilakukan jika sosialisasi dan mediasi terlebih dahulu. Setelah menemukan kesepakatan, baru penggusuran bisa dilakukan.

Nyatanya mekanisme pemaksaan selalu dilakukan. Tambakrejo menjadi salah satu contoh konkret. Tanpa sosialisasi dan mediasi, warga mendapatkan SP 1 Penggusuran. Hingga SP 3 belum ada kanal penyelesaian. Hingga Komnas HAM mempertemukan Walikota Semarang, BBWS Pemali-Juana, Warga Tambakrejo pada 13 Desember 2018. Dari sinilah lahir 10 kesepakatan yang ditandatangi oleh masing-masing pihak.

Persoalan Warga

Salah satu kesepakatan itu adalah warga bersedia pindah dan membongkar rumahnya sendiri ketika sudah dilakukan pengurukan dan pemadatan serta dibangunkan hunian sementara di daerah Kali Mati (samping Tambakrejo). Namun faktanya sampai dilaksanakannya penggusuran, kesepakatan itu belum dipenuhi. Tindakan kesewenangan dari penggusuran secara paksa ini menjadi strategi mendesak warga agar tetap pindah ke Rusun Kudu dan mempercepat proyek BKT.

Selain hilangnya hak atas tempat tinggal, persoalan yang penting adalah hilangnya profesi warga Tambakrejo yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan kecil. Inti penolakan dari warga Tambakrejo adalah tidak dijauhkannya mereka dari laut. Efek penggusuran selalu berbicara mengenai persoalan fisik, tetapi tidak menyentuh persoalan sosial, budaya hingga ekonomi. Jelas dalam Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang

menegaskan bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Relokasi yang ditawarkan Pemkot Semarang yaitu Rumah Susun Kudu menjadi bukti persoalan sosial, budaya dan ekonomi tidak ada dalam pertimbangan penggusuran.

Penggusuran menjadi persoalan dalam pembangunan ketika pembangunan tidak mempertimbangkan sisi kemanusian. Mekanisme demokrasi yang mengedepankan mufakat menjadi solusi menghilangkan stigma negatif pada tindakan penggusuran. Tindakan penggusuran Tambakrejo menjadi contoh bentuk kesewenangan dan tidak adanya pendekatan humanis.

Beberapa point yang dapat menjadi contoh antara lain: Pertama, kampung tambakrejo menjadi satu-satunya kasus penggusuran di jawa tengah yang dilaksanakan pada bulan puasa. Hal ini menyebabkan terganggunya ibadah puasa dan pelaksanaan sholat idul fitri harus dilaksanakan di atas reruntuhan bekas penggusuran. Kedua, Pemkot Semarang dan BBWS Juana-Pemali ingkar janji atas kesepakatan yang telah ditandatangi bersama dalam mediasi yang diadakan oleh Komnas HAM pada 13 desember 2018. Jika kesewenangan seperti yang dilakukan oleh Pemkot Semarang dan BBWS Pemali-juana ini tidak dihentikan, bukan tidak mungkin kasus penggusuran yang dialami oleh Tambakerejo akan juga dialami oleh kampung-kampung lainnya di Semarang bahkan di Indonesia.

7 EDISI 1 2019 | NUANSA | SURAT PEMBACA
Iqbal Alma Ghosan Altofani* *) Menteri Agraria BEMKM Universitas Negeri Semarang 2019

Janggalnya Tragedi Tambakrejo

Tata kelola ruang kota menjadi tujuan kebijakan dan strategi pemerintah yang perlu diperhatikan, termasuk oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang. Belakangan ini Kota Semarang sedang gencar melakukan pembangunan. Rupanya, hal itu pula yang membuat Semarang dinobatkan sebagai kota dengan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (PPD) terbaik 2019, mengungguli Denpasar dan Makasar. Selain itu, berbagai prestasi lain juga diraih Kota Semarang di bawah kepemimpinan Hendrar Prihadi. Sayangnya, prestasi tersebut masih menyisakan berbagai catatan. Penertiban Tambakrejo di Kecamatan Tanjungmas salah satunya.

Kasus penertiban Tambakrejo menyita banyak perhatian. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang Tahun 2011-2013, kasus tersebut menunjukkan bahwa proses pengendalian dalam tata kelola ruang kota masih lemah. Apabila proyek normalisasi Banjir Kanal Timur (BKT) yang dimiliki Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana ini direncanakan dengan matang, penertiban tersebut tidak perlu dilakukan secara paksa. Sebenarnya, Pemkot dan warga telah membuat kesepakatan. Warga telah setuju untuk pindah apabila kesepakatan tersebut telah dipenuhi. Sayangnya, pemerintah terkesan buru-buru. Mereka meruntuhkan hunian warga sebelum lahan untuk hunian baru yang disepakati selesai dikerjakan.

Warga di bantaran sungai telah menghuni Tambakrejo sejak tahun 1998. Lahan itu dulunya tak ada yang menempati, hanya diisi oleh tambak-tambak warga. Tahun demi tahun Tambakrejo berkembang menjadi pemukiman yang besar. Di RT 05 RW 16 Tambakrejo ini juga telah dibangun fasilitas lengkap, seperti masjid, TPQ, pesantren, dan fasilitas lain. Mereka telah menjadi komunitas yang memiliki kehidupan dan budaya sendiri.

Warga memang tidak bisa menunjukan sertifikat tanah, tetapi pemerintah sipil setempat telah melegalkan mereka dalam Kartu

Tanda Penduduk (KTP). Mereka juga menyuplai ketersedian listrik, akses jalan, dan fasilitas lainnya. Inilah bukti pengendalian oleh pemerintah kota yang lemah. Kerjasama antar sektor kurang terencana. Apabila lahan tersebut tidak boleh dihuni, pemerintah seharusnya menindak tegas mereka sejak awal. Sosialisasi yang dilakukan beberapa saat sebelum pembangunan akan dilaksanakan jelas sudah terlambat. Banyak aspek yang harus dipertimbangkan untuk meminta warga pindah. Sebab Tambakrejo sudah menjadi tempat hidup banyak warga selama bertahun-tahun.

Dengan alasan jatuh tempo, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) merobohkan hunian warga. Artinya, warga dipaksa pergi, padahal kesepakatan yang telah disetujui kedua belah pihak belum dipenuhi. Warga akhirnya terluntalunta di atas reruntuhan rumah mereka. Mereka bertahan, sebab lahan yang telah disetujui sebagai ganti, belum siap untuk dihuni. Sebenarnya, semua warga bersedia pindah, asalkan pengurukan Kalimati telah selesai dikerjakan. Hal itu juga telah disepakati oleh pemerintah kota pada tanggal 13 Desember 2018 lalu. Maka dari itu, tragedi penggusuran ini menjadi hal yang janggal.

Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah kota tentu ditujukan demi kepentingan masyarakat. Termasuk pula normalisasi BKT sebagai upaya penanggulangan terhadap air rob di Semarang. Akan tetapi, hal baik itu tidak bisa dijadikan alasan untuk bertindak sewenang-wenang. Dalam melancarkan iktikad baik tersebut, pemerintah perlu melakukan perencanaan dan kerjasama dengan berbagai sektor secara matang. Pemerintah kota juga harus memegang kontrol dalam mengendalikan pembangunan yang sudah direncanakan. Masyarakat dalam hal ini perlu dilibatkan dalam mengambil kebijakan. Sebab, pemerintah bekerja untuk menyejahterakan rakyat, maka pembangunan harus direncanakan dengan matang, agar tak ada rakyat yang dirugikan. (Tim Redaksi).

NuansA

PEMIMPIN REDAKSI: Lala Nilawanti

REDAKTUR PELAKSANA LIPUTAN: Idhea Pryas Islami / NON-LIPUTAN: Doni Darmawan

PELINDUNG: Rektor Universitas Negeri Semarang PENASIHAT: Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan PEMBINA: Dhoni Zustiyantoro

PENANGGUNG JAWAB: Pemimpin Umum BP2M Unnes, PEMIMPIN UMUM: Muhammad Khoirul Humam REDAKTUR TAMU: Achiar M Permana SEKRETARIS REDAKSI: Siti Badriyah BENDAHARA REDAKSI: SIti Zummaroh LITBANG: Ahmad Abu Rifai PEMIMPIN PERUSAHAAN: Fiskal Purbawan EDITOR: Siti Badriyah, Ahmad Abu Rifai TIM ARTISTIK: Fiskal

Purbawan, Nur Setyo, Doni Darmawan, Muhammad Khoirul Humam, FOTOGRAFER: Muhammad Lalu Jazidi

REPORTER: Siti Zummaroh, Dwi Indah Indriani, Fitriana Silva, Fitriyatun Na’imah, Laeli Nur Azizah, Royan Fais, Wifqul LailI.

KONTRIBUTOR ILUSTRASI COVER: Edo Fushilat Lazuardo I ILUSTRASI ISI: Chabibulloh Akbar, Renanto Adi Putro I DOKUMENTASI: Tris Sutrisno.

8 | NUANSA | EDISI 1 2019 EDITORIAL

TRAGEDI TERGUSURNYA TAMBAKREJO

Warga mengalami kesulitan setelah tragedi penggusuran Tambakrejo pada Kamis 9 Mei 2019. Meskipun pemerintah telah menjanjikan banyak hal, warga masih harus tetap menunggu.

Perahu berukuran kecil di tepi bantaran sungai menjadi tempat salat

zuhur Abdullah Ahmad

Marzuki dan adiknya

Muhammad Safi Salimi pada Rabu, 22 Mei 2019.

Usai salat mereka duduk bersebelahan di bawah jembatan Jalan Arteri Yos Sudarso, Kampung Tambakrejo, Kelurahan Tanjungmas, Semarang Utara, Kota Semarang. Mereka asyik mengobrol bernostalgia saat rumah mereka masih kokoh. “Maaf ya, Mbak, kondisinya ya begini, berisik di bawah kolong jembatan. Kondisinya juga kotor dan berantakan,” kata Marzuki, laki-laki 30 tahun itu kepada Nuansa sambil melemparkan senyum dengan wajah layu yang tampak kelelahan.

Kampung Tambakrejo berada di antara aliran sungai mati Kalibanger dan aliran air Sungai Banjir Kanal Timur. Kampung ini terletak di bawah jembatan yang tampak dari atas Jalan Arteri Yos Sudarso. Butuh sekitar satu jam mengendarai motor dari pusat Kota Semarang untuk menjangkau kampung itu. Barang-barang rumah tangga dan puing-puing bangunan berserakan menjadi hal biasa di Tambakrejo. “Tempat yang ada di sini bisa untuk salat semua, karena kondisinya memang begini. Bagaimana lagi? Yang penting bersih,” ujar Salimi, laki-laki 28 tahun itu sambil menyilakan kaki.

Marzuki dan Salimi bekerja sebagai nelayan di laut dekat muara Sungai Banjir Kanal Timur. Profesinya menjadi nelayan sudah ia jalani sejak kecil. Ada 97 kepala keluarga yang bertahan di Kampung Tambakrejo, sebagian besar dari mereka bekerja sebagai nelayan kecil. Pascapenggusuran pada Kamis 9 Mei 2019, ada delapan perahu warga yang tak bisa digunakan. Sebagian perahu rusak di bagian mesin dan jaringnya. Beberapa peralatan lain untuk melaut juga hilang. Akibatnya, pekerjaan terganggu, mereka tak bisa bekerja seperti biasanya.

Pemerintah Kota Semarang menetapkan Tambakrejo sebagai hunian liar karena menempati wilayah bantaran yang sedang dalam proyek normalisasi Sungai Banjir Kanal Timur (BKT) oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana. Kampung Tambakrejo menjadi hunian terakhir yang dinormalisasi sepanjang bantaran Sungai Banjir Kanal Timur, 6,7 kilometer dari daerah Majapahit sampai muara. Proses normalisasi ini masih akan dilanjutkan ke wilayah Barito, di sana, masih ada banyak ruko dengan bangunan permanen dan juga para pedagang kaki lima.

10 | NUANSA | EDISI 1 2019
***
LAPORAN UTAMA
11 EDISI 1 2019 | NUANSA |
Traktor buldoser yang sedang merobohkan rumah warga di Tambakrejo pada Kamis (9/5). (Dok. BP2M/ Adam Khatamy)

Surat Peringatan (SP) pertama diterima warga sejak Februari 2018.

Warga diminta segera mengosongkan lahan dalam jangka waktu 7x24 jam. Marzuki menganggap, pemerintah kurang melibatkan masyarakat dalam mempertimbangkan keputusan. Hingga pada 2 Maret 2018, warga meminta bantuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang dan Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) Semarang, untuk mendampingi diskusi dengan pemerintah. Hasilnya, pemkot membatalkan penggusuran pada 5 Maret 2018. Namun, dalam diskusi yang dilakukan di Kelurahan Rejosari tersebut, tidak ada solusi yang disepakati. Padahal, warga yang bermata pencaharian sebagai nelayan keberatan jika harus pindah ke rumah susun sederhana sewa (Rusunawa)

Kudu dan Rusunawa Karangroto. Selain

itu, belum disepakati pula ada tidaknya kompensasi untuk warga yang digusur, sebab pemerintah menganggap tanah yang ditempati warga bukan resmi milik warga dan tidak bersertifikat.

Kecemasan warga terus berlangsung hingga November 2018 dan mendapat SP untuk kali kedua. Padahal, mediasi yang pernah dilakukan belum mencapai kesepakatan. Marzuki bersama satu warga lainnya meminta bantuan Komnas

HAM untuk melakukan mediasi pada 13 Desember 2018. Pertemuan tersebut menghasilkan 10 kesepakatan. Di antaranya, warga setuju di relokasi jika tempatnya tidak jauh dari laut, Kalibanger akan dijadikan tempat tinggal sementara warga dan harus sudah selesai diuruk, listrik yang disediakan di rusun kurang dari 1.300 Watt, warga diberi kompensasi

Rp. 1,5 juta, perairan dan segala urusan perpindahan sekolah juga dipermudah.

Warga pun tetap bertahan, menunggu kesepakatan dipenuhi. Sayangnya, hingga waktu penggusuran tiba, kesepakatan belum juga dipenuhi. Mereka akhirnya menghadang Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Semarang yang sudah siap meratakan hunian mereka. Sebelum penggusuran benar-benar dilakukan pada Kamis (9/5) lalu, upaya penggusuran pernah dilakukan Satpol PP, pada Senin (6/5) Hasil mediasi dengan Komnas HAM inilah yang memukul mundur Satpol PP untuk tidak jadi menggusur. Sayangnya, hari keempat bulan Puasa, mereka kembali datang untuk menertibkan hunian. Lengkap dengan buldoser di belakangnya, mereka menekankan jika tugas mereka sudah jauh tempo dan harus segera

12 | NUANSA | EDISI 1 2019

dilaksanakan. Teriakan bapak-bapak, jeritan ibu-ibu, tangisan anak-anak, dan pembelaan mahasiswa bercampur di tanah Kampung Tambakrejo saat Sapol PP mulai menghancurkan hunian warga. Baku dorong di antara mereka pun tak terhindarkan.

Atas tragedi ini, Marzuki menganggap Pemerintah Kota Semarang tidak mengindahkan kesepakatan dengan warga Tambakrejo. Adiknya, Salimi juga mengamini hal tersebut. “Lha maksudnya gimana. Mereka tidak mau diajak rembugan

kemarin, lha kok trima digusur seperti ini. Awalnya kita sudah sepakat menunggu urukan Kalibanger, warga juga mau pindah, uang satu setengah juta nanti warga juga mau jika ini sudah jadi. Ini uangnya juga belum dapat, rumahnya sudah diobrakabrik, urukan Kalibanger juga belum jadi,” seru Salimi

Warga yang tergusur mendirikan hunian sementara untuk menampung alat-alat masak, macam wajan, panci, kompor, gelas, dan piring. Tanah yang kini berfungsi menjadi dapur bersama warga Tambakrejo, dulu adalah halaman rumah Fadilah. Istri Rahmadi, Ketua RT Kampung Tambakrejo itu selalu menyiapkan menu sahur dan buka puasa di sini. “Dulu ini halaman belakang rumah ibu, Mbak. Ini juga sempat mau dirobohkan tapi ibu meminta untuk jangan dulu karena masih untuk keperluan warga,” kata perempuan 60 tahun itu seusai menyiapkan makanan untuk para balita di Kampung Tambakrejo, Kamis 23 Mei 2019.

Barang-barang hasil donasi para relawan menumpuk di bawah tenda. Bermacam-macam barang seperti mi instan, pakaian anak-anak, popok bayi, dan peralatan sekolah berjejal di sana. Fadilah merasa bersyukur, masih banyak orang peduli atas musibah yang menimpa warganya. Biasanya, mereka mendapat takjil dan makanan dari relawan ketika buka puasa. Mereka akan masak bersama untuk makan sahur dan konsumsi balita serta anak-anak. Mereka mendapat banyak stok mi instan. Sayang, tak banyak sayursayuran yang bisa mereka masak untuk anak-anak dan balita. Pascapenggusuran, Dinas Sosial Kota Semarang sempat memberikan bantuan berupa nasi bungkus, tetapi setelah tiga hari berlalu bantuan itu disetop. Pasokan air juga sempat dihentikan.

“Kami dapat stok nasi bungkus satu hari tiga kali (pagi, siang, sore) karena sudah tiga hari kami disuruh pindah lagi, tidak boleh mendirikan tenda di sini. Kami tetap ngeyel, lha kami mau ke mana. Kami sudah terlalu lelah pindah-pindah. Waktu itu kami meminta supaya tidak diusir dulu. Pikiran kami juga masih ruwet. Waktu itu Pak Camat bilang kepada warga apabila hari ini barang-barang dan bekas gusuran

tidak dibersihkan bantuan dari pemerintah akan dicut. Benar saja malam harinya untuk sahur kami sudah tidak dapat kiriman. PMI juga mengaku sudah tidak diizinkan lagi stok air di sini,” kata Fadilah yang dulu aktif mengajar di TPQ.

Terhitung sudah 18 hari warga Tamabakrejo tinggal di bawah tenda pengungsian. Tiga tenda bantuan dari relawan Yogyakarta ini menjadi tempat istirahat siang dan malam hari. Pada siang hari hawanya seperti diungkep, jika malam hari rasa dinginnya sampai ke tulang.

Zaskia, siswa kelas empat SD ini sedang asyik bermain di dalam tenda meski sudah pukul sepuluh malam. Ia masih terjaga dengan steker mainannya. “Enggak bisa tidur Mbak, di sini banyak nyamuk kalau malam,” ujar bocah perempuan ini sambil sesekali menggaruk kaki dan tangannya.

Sukawanah juga bercerita pernah mendapati seekor ular masuk dalam tenda. Ibu rumah tangga berusia 40 tahun ini juga sempat khawatir dengan anak balitanya. Ia seringkali mengalah tidak tidur saat malam hari, demi menjaga anaknya.

Warga Tambakrejo yang dalam kesulitan membuat Nico Wauran, advokat LBH Semarang menganggap pemerintah telah mengingkari dan membiarkan warga. Menurutnya, warga Tambakrejo seharusnya diperhatikan pemerintah terkait hak atas perumahan yang layak. “Pemerintah tidak boleh membiarkan warganya terlunta-lunta tidak punya rumah. Perumahan yang layak itu termasuk akses terhadap pekerjaan, budaya, dan pendidikan, sosial dan fasilitas umum yang terpenuhi,” ungkap Nico, Jumat (24/5).

Hukum Perdata Tata Ruang Kota Semarang, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) telah menunjukan bahwa lahan Tambakrejo merupakan lahan ilegal yang tidak diperuntukkan sebagai pemukiman. Dari sinilah Nico menilai bahwa pemerintah kota lalai dalam mengatur tata kelola kota. Hal ini berkaitan dengan perencanaan dan pemanfaatan lahan kosong yang ada di kota Semarang. Pemerintah Kota gagal mengendalikan ruang daerahnya hingga terjadi komunitas yang besar di lahan liar tersebut. Warga Tambakrejo sudah memiliki Kartu Tanda Penduduk resmi secara administrasi sipil tetapi ilegal secara kepemilikan lahan, sehingga langkah penggusuran oleh Pemkot Semarang

13 EDISI 1 2019 | NUANSA |
***
Aliansi Peduli Tambakrejo mengawal mediasi oleh Pemerintah Provinsi antara pemkot dan warga di Balaikota (12/5). (Dok. BP2M/ Adam Khatamy)

bukanlah hal yang tepat karena Tambakrejo telah memiliki budaya komunitas yang perlu dipertimbangkan sesuai Hak Asasi Manusia (HAM).

Banyak pihak menyayangkan penggusuran Tambakrejo. Rahmadi, pria berumur 51 tahun ini salah

satunya. Ia merasa banyak hal yang ia peroleh dari tragedi ini. Kesulitan tentu bertubi-tubi ia alami bersama warga Tambakrejo lainnya, tetapi tak bisa dipungkiri, ia merasa banyak memiliki keluarga baru yang datang mengunjungi mereka. Meski sekadar saling silaturahmi dan menguatkan satu sama lain.

“Saya bersyukur Mbak, sejak awal banyak orang yang datang berkunjung, jadi menambah keluarga. Saya merasa tidak sendiri. Sekarang tindak lanjut pemerintah juga sudah jelas, tinggal kita bersabar dan terus mengawal saja,” ungkap ayah dua anak ini kepada Nuansa saat ditemui seusai acara halalbihalal (25/6) di huntara Tambakrejo. Solusi yang diberikan pemerintah terhadap penggusuran ini terjawab dengan dibuatnya Hunian Sementara (Huntara) berukuran 20x10 persegi Sementara bantaran Kalibanger saat ini masih dalam proses pengurukan dan pengerasan tanah untuk nantinya

dijadikan rumah deret bagi warga

Tambakrejo. Konsep pemukiman menjadi “Kampung Nelayan” dan pembangunan taman juga dijanjikan oleh Wali Kota Semarang, Hendar Prihadi. Huntara yang kini penuh dengan warna-warni mural itu dihuni oleh 50 KK warga Tambakrejo. Bangunan yang lebih layak dibanding tenda pengungsian sebelumnya membuat masyarakat lebih nyaman. Konsep hunian baru yang disampaikan pemerintah juga membuat warga lebih lega. Mereka tinggal menunggu, kapan janji tersebut diwujudkan. Mereka tentu tak berharap pemerintah kembali ingkar janji. Mereka sudah cukup menderita usai kesepakatan yang sempat diingkari.

Lala Nilawanti, Idhea Pryas Islami

***
Kondisi Tambakrejo pasca Penggusuran pada Kamis, (9/5). Doc.BP2M/Adam Khatamy) Ganjar Pranowo hadir di Tambakrejo untuk melihat proyek relokasi pada Senin (12/5). (Doc. BP2M/Adam Khatamy)

JOEMAT SENYOEM

Edo Fushilat Lazuardo, mahasiswa lulusan Jurusan Bahasa Indonesia mengatakan bahwa terbentuknya kegiatan Joemat Senyoem ini berawal dari keisengan. Edo bersama teman satu kos membersihkan kos (gang Kantil, Wisma Pesona Mandiri No. 35 Rt4/4 Bandaran, Gunungpati) pada awal semester genap 2019, tepatnya pada awal Maret. Mereka menemukan beberapa barang, mulai dari buku hingga pekakas rumah tangga yang masih berfungsi. Dari sanalah tercetus ide kegiatan Joemat Senyoem ini.

Ada keikutsertaan masyarakat menaruh barang seperti makanan hingga detergen. Dari pihak mahasiswa, seperti dari Fakultas MIPA, Jurusan Bahasa Indonesia juga

ikut berpartisipasi dengan menaruh barang seperti pakaian, buku, bahkan sepatu.

Dari segi religi, Jumat dianggap sebagai hari baik, termasuk untuk bersedekah. Kegiatan Joemat Senyoem dengan motto “Kegiatan non Profit, Bebas Ambil, Bebas Isi, Semua Gratis” ini dilaksanakan setiap Jumat pagi hingga menjelang waktu salat jumat. Namun ketika ramadan, dilaksanakan pada sore pukul 16.00 hingga menjelang waktu berbuka puasa. Salah satu alasannya yaitu agar di gang Kantil terjalin hubungan kekeluargaan antar mahasiswa dengan masyarakat sekitar.

Hubungan kekeluargaan tersebut tercermin dari Edo dan teman-temannya yang saling bahu membahu menata lapak, berbincang ringan satu sama lain, dan menerima pengunjung dengan senyuman di wajah mereka. Begitu pula selama perbincangan antara kami dengan Edo berlangsung, dua orang dari mereka tengah asyik memotret dan merekam. Nampaknya mereka senang sekali kami datangi.

Edo, pemuda asal Pati ini kembali mengutarakan perihal ketersediaan ba-

rang di lapak. Barang yang diterima dalam kegiatan Joemat Senyoem tidak mematok ketentuan apapun dalam arti sifatnya swadaya, mahasiswa Unnes dan masyarakat yang menjadi target pun kena sasaran. Tidak peduli barang apapun itu, bagaimana pun bentuknya, asal masih memiliki esensi utama yaitu fungsi. Apabila berupa uang, alangkah baiknya diganti menjadi barang terlebih dahulu. Hal ini akan mempermudah Edo dan teman-teman dalam membagikannya.

Berbeda dengan kegiatan lainnya, kegiatan Joemat Senyoem tidak memiliki sistem pengelolaan khusus. Edo dan teman-temannya dianataranya adalah Saeful, Rio, Falah, Imron, Galih hanya melaksanakan kegiatan ini bersama dengan temannya, tidak berstruktur, sesuai yang diamanahkan. Sifat legowo dan ikhlas perihal banyak sedikitnya barang yang diamanahkan mereka terapkan. Karena tujuan dari kegiatan ini simpel, menunjukkan bahwa sedekah itu tidak harus berupa uang.

Sejauh ini Edo dan temanteman belum memiliki rencana untuk membuat akun di media sosial dan menjalin kerja sama. Selama kegiatan langgeng, akun di media sosial tidak diperlukan. Hal utamanya adalah esensi dan amanah tersampaikan.

Sumber: LINIKAMPUS.COM

15 EDISI 1 2019 | NUANSA |
ADVERTORIAL

SENGKARUT PEMBEBASAN LAHAN

Sederet prestasi mewarnai semester pertama Kota Semarang tahun 2019. Di antaranya adalah Penghargaan Kategori Perencanaan dan Pencapaian Terbaik Tingkat Kota 9 Mei 2019, Penghargaan Khusus Pembangunan Infrastruktur Daerah Skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) 9 Mei 2019, juara satu Pembangunan Daerah Tingkat Provinsi 10 April 2019, Kota Terpopuler di Media dalam PR Indonesia Award 29 Maret 2019, dan menjadi kota dengan Indeks Pembangunan Manusia tertinggi di Jawa Tengah.

Penghargaan-penghargaan tersebut tentu menjadi kabar baik. Tahun sebelumnya, Kota Semarang memiliki tren positif dilihat dari berbagai raihan. Kota Lumpia itu mendapatkan 47 penghargaan, salah satunya yakni Kota Wisata Terbaik ke-4 di Indonesia pada ajang Yokatta Wonderful Indonesia Tourism Award 2018. Artinya, kemajuan pariwisata menandai keteraturan berbagai infrastruktur. Mulai dari akses jalan, penginapan, dan sebagainya.

Semarang di bawah kepemimpinan Hendrar Prihadi, memang sedang giat membangun infrastruktur. Hal ini bisa dilihat dari tiga proyek besar seperti proyek revitalisasi Kota Lama, normalisasi Banjir Kanal Timur (BKT), dan proyek pembangunan Pasar Johar. Meski banyak melaksanakan proyek dan meraih pelbagai penghargaan, pembangunan-

pembangunan di Semarang bukan tanpa catatan. Kota Lama, misalnya, baru selesai pada Mei 2019. Sementara target paling awal rampung bulan Desember 2018, kemudian Maret, dan terakhir April.

Sengkarut Eksekusi Tambakrejo

Eksekusi proyek BKT juga memantik persengketaan. Belakangan, penggusuran di Tambakrejo menjadi isu hangat yang memicu pro dan kontra. Menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, penggusuran yang terjadi tanggal 9 Mei ini sangat disayangkan. Nico Wauran, kuasa hukum warga Tambakrejo mengatakan, penggusuran itu sesungguhnya tidak perlu. Sudah ada kesepakatan dalam mediasi yang dilaksanakan tanggal 13 Desember 2018.

Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan: apakah pembangunan proyek BKT dan bahkan proyek-proyek lain di Kota Semarang mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan ekonomi?

Wakil Wali Kota Semarang Hevearita G Rahayu menuturkan, pembangunan Semarang diarahkan pada sektor perdagangan dan jasa dengan titik berat pariwisata. Soal Tambakrejo, perencanaan pembangunan mempertimbangkan berbagai aspek. “Dalam perencanaannya memerhatikan aspek-aspek seperti potensi, topografi, dan wilayah geografinya. Untuk aspek sosialnya tentu saja diperhatikan, seperti pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kesehatan, dan lain-lain,” jelasnya saat ditemui di Taman Indonesia

Berkas perjanjian kesepakatan antara warga Tambakrejo, mas, kecamatan Semarang BBWS. (Dok. Pribadi/Iqbal

Kaya (28/6). Saat ditanya mengapa pemerintah membiarkan pemukiman liar seperti Tambakrejo hingga bisa bertahan sampai beberapa waktu lalu, dia menjawab bahwa awalnya memang dimaklumi. Namun ketika pemerintah memerlukan lahan tersebut, masyarakat harus mau digusur.

Selain melakukan perencanaan, pihakpihak yang menangani proyek BKT juga mengaku melakukan sosialisasi. Baik Wali

Kota, Badan Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana, hingga Satuan Polisi Pamong Praja telah bekerja sama melakukan penyuluhan di Tambakrejo. Mereka bahkan pernah bermediasi dengan warga. Dari sepuluh butir kesepakatan, salah satu isinya

16 | NUANSA | EDISI 1 2019
LAPORAN UTAMA

kesepakatan perdamaian Tambakrejo, kelurahan TanjungSemarang Utara, Pemkot dan Pribadi/Iqbal Al Ghofani)

adalah: warga akan pindah sendiri ke lahan Kalibanger jika pembangunan di depan Tambakrejo yang dijanjikan pemerintah telah selesai dan layak huni. Sebagian besar warga Tambakrejo berprofesi sebagai nelayan, maka mereka tak bisa tinggal jauh dari laut.

Inilah yang menjadi titik permasalahan di Tambakrejo. Pemerintah dianggap melanggar kesepakatan. Saat penggusuran dilakukan, pembangunan Kalibanger baru 30 persen. Warga pun menolak pindah. Kericuhan antara Satpol PP dan warga yang juga melibatkan mahasiswa itu pecah. Perencanaan dan sosialisasi akhirnya tampak sia-sia.

Usai kericuhan itu, mediasi kembali

dilakukan pada 12 Mei. Dihadiri Gubernur Ganjar Pranowo, warga sempat menolak usulan untuk pindah ke rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) Kudu dan Karangroto. Ekonomi jadi faktor terpenting. Jarak Rusunawa terlalu jauh dari laut. Mereka akan kesulitan bekerja. Daripada ke sana, warga lebih memilih menempati daerah Kalimati yang lebih dekat dengan laut meski baru 30 persen. Itu dirasa cukup untuk menampung 97 Kepala Keluarga. Dilansir dari Serat.id, warga Tambakrejo sudah mulai pindah pada 28 Mei 2019. Hendrar Prihadi berjanji rusunawa baru akan mulai dibangun dan selesai akhir 2020.

Bagian Penting BKT

Proyek BKT termasuk dalam tiga Program Paket Pembangunan yang dimiliki BBWS Pemali Juana, dua di antaranya yang sudah terselesaikan yakni Pembangunan Sungai Sringin dan Pembangunan Sungai Tenggang. BKT menjadi bagian terakhir. BBWS mengeksekusinya dalam dari pembendungan tanggul laut antara Kanal Banjir Timur sampai Kali Babon.

“Pada Proyek Paket III ini, ada dua kontruksi yang akan dilaksanakan, yakni Tanggul Laut dan Jalan Tol guna mengamankan Semarang Bagian Timur sampai Tuntang sepanjang 13 km. Ini akan menjadi solusi tuntas dalam rangka menangani rob di antara Banjir Kanal

Timur sampai Demak, terutama Sayung,” Ujar Teguh, Kepala Tata Usaha BBWS

Pemali Juana. Sejalan dengan hal itu, Kepala BBWS Pemali Juwana Ruhban Ruzziyatno mengatakan, “Dengan debit banjir yang ada, Kanal sudah tidak bisa menampung lagi. Untuk itu perlu adanya normalisasi Banjir Kanal Timur. Karena penganggarannya tidak bisa maksimal, sementara dikerjakan dulu yang 6,7 kilo dari Majapahit sampai muara.”

Waktu pelaksanaan proyek BKT yaitu mulai akhir tahun 2017 sampai akhir tahun 2019. Sempat ada rencana untuk percepatan, yaitu selesai pada akhir tahun 2018. Namun karena adanya masalah sosial, target percepatan tersebut tidak terpenuhi. Ruhban mengatakan, yang menjadi masalah utama dalam menjalankan program BBWS yakni kesiapan lahan. Masyarakat yang tinggal di bantaran sungai belum sadar jika yang mereka tempati itu bukan haknya, melainkan tanah yang diperuntukkan sebagai bantaran sungai yang merupakan pertahanan terakhir untuk penanggulangan banjir.

Dilihat dari situasi ini, proyek normalisasi BKT—termasuk Tambakrejo— memang penting demi kemaslahatan masyarakat lebih luas. Namun, eksekusinya masih silang sengkarut. Kota Semarang boleh saja menyabet berbagai penghargaan, tetapi “catatan-catatan” gelap pembangunan juga tak kalah banyak.

17 EDISI 1 2019 | NUANSA |
Ahmad Abu Rifai, Siti Zummaroh Kondisi aliran Kali Banger di Citarum, Semarang (6/6). (Dok.BP2M/Doni Darmawan)

EFEK DOMINO PEMBANGUNAN KOTA SEMARANG

Suasana di luar rumah Saratri Wilonoyudho nampak sepi. Ada pohon yang cukup banyak di halaman depan rumahnya. Dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes) ini bercerita, lingkungan di halaman rumah ia biarkan tetap asri tanpa bangunan lain. Sebab semua itu bisa dijadikan sebagai AC alami. Saratri adalah dosen Teknik Sipil yang mengampu mata kuliah Tata Kota. Sore itu (24/5) tim Nuansa mendatanginya untuk berbincang tentang pembangunan di Kota Semarang.

Meninjau Pembangunan di Semarang Akhir-akhir ini Kota Semarang sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan. Saratri menyayangkan arah pembangunan di Semarang yang tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan. Menurutnya, perencanaan

kota itu harus memperhatikan dua aspek, yaitu aspek usaha dan ekologi. Usaha diartikan sebagai pusat aktivitas dari masyarakat, lalu ekologi sebagai pendukung supaya aktivitas tersebut tetap bisa berjalan. Aspek terakhirlah yang sering dilalaikan oleh pemerintah kota. Ia juga meresahkan dampak dari urbanisasi berlebih Kota Semarang, dan hal itu pernah ia tuangkan dalam artikelnya tahun 2011 dengan judul Determinan dan Dampak Urbanisasi Berlebih di Kota Semarang.

Saratri mengajak kami menilik dataran tinggi yang seharusnya digunakan sebagai tanah resapan namun malah digunakan sebagai tempat-tempat aktivitas bisnis yang tidak mempertimbangkan sisi ekologinya. Trangkil, Gunungpati, dan Mijen diambil sebagai contoh. Menurutnya, tak ada batas dalam pembangunan di Semarang. Sebab, tumbuhan-tumbuhan banyak ditebang

dan digantikan dengan tempat bisnis atau pemukiman. Dampaknya dataran yang lebih rendah dari jadi mudah terkena banjir karena resapan di dataran tinggi berkurang.

Sementara itu, Satya Budi Nugraha, dosen Geografi Unnes juga pernah melakukan penelitian terhadap pembangunan berlebih di dataran tinggi Semarang. Pembangunan tersebut menyebabkan kenaikan suhu rata-rata dari 20.75 Celcius menjadi 22.75 Celcius. Hal ini mengindikasikan bahwa Semarang dalam sistem pembangunan menggunakan sistem kutub pertumbuhan. Artinya, Semarang tidak terfokus dalam satu titik daerah saja dalam melakukan pembangunan.

Selain itu, dalam kurun waktu 2003 sampai 2015, Semarang kehilangan lahan hijau yang awalnya 15,28% menjadi 9,91%. Walaupun lahan hijau ini makin menciut, menurutnya pemerintah sudah melakukan upaya-upaya untuk menyiasati dampak yang akan ditimbulkan, seperti banjir atau tanah longsor. Upaya yang dimaksud adalah dengan pembuatan Waduk Jatibarang, Banjir Kanal, maupun polder-polder.

18 | NUANSA | EDISI 1 2019 LAPORAN UTAMA
KONDISI peratanaan tanah usai penggusuran Tambakrejo, Semarang (10/5). (Dok.BP2M/Adam Khatamy)

Meski begitu, sejurus dengan Saratri, masih ada hal yang menurut Satya perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam pembangunan berkutub tersebut, yaitu pengelolaan atau pengendalian pertumbuhan. Dalam hal ini, Satya mengambil contoh normalisasi yang terjadi di Banjir Kanal Timur, khususnya di Desa Tambakrejo. Satya mengajak kami menilik kasus tersebut dengan kacamata teori Geografi Permukiman. Dalam teori tersebut, kawasan Tambakrejo bisa masuk dalam kawasan kumuh dan ilegal atau biasa disebut liar. “Liar yang artinya di situ seharusnya tidak untuk pemukiman, tapi kemudian tumbuh banyak. Nah, harusnya itu dalam pengelolaan tidak masalah, dalam artian tidak masalah untuk lalu dipindahkan ke tempat yang seharusnya,” terang Satya.

Kisah Tambakrejo

Warga Tambakrejo sendiri sebenarnya tidak masalah ketika kawasan mereka akan dikelola demi pengurangan banjir di Semarang. Hanya saja, mereka tak mungkin meninggalkan tempat itu tanpa tujuan yang pasti. Maka dibuatlah kesepakatan dengan pemerintah. Sayangnya, kesepakatan

tersebut tak dipenuhi oleh pemerintah sampai rumah mereka dirobohkan. Nico Wauran, salah satu anggota dari Lembaga Bantuan Hukum Semarang mengatakan, yang menjadi permasalahan adalah kesepakatan mengenai tempat perpindahan warga yang dilanggar oleh pemerintah kota.

Nico yang saat itu kami temui di bilik musola darurat warga menjelaskan, dalam pelanggaran kesepakatan tersebut, pemerintah, sebagai pihak yang melanggar, telah merampas hak asasi manusia milik warga Tambakrejo. Hak asasi yang dimaksud adalah hak perumahan yang layak, meliputi akses menuju pekerjaan itu dekat, akses terhadap budaya itu dekat, dan akses terhadap aktivitas umum atau sosial terpenuhi.

Sebagai dosen lulusan jurusan Perencanaan Wilayah Kota, Satya juga berpendapat bahwa langkah pemerintah dalam melakukan penertiban masih kurang tepat. Satya membandingkan penertiban warga Tambakrejo dengan kasus penggusuran yang pernah terjadi di Belanda. Penggusuran tersebut dilakukan guna melindungi Belanda dari banjir akibat air pasang dari aliran sungai Rhein dari Pegunungan Alpen, Swiss. Studi yang dilakukan oleh Departemen Pekerjaan

Umum milik Belanda pada tahun 1937 menunjukkan bahwa keamanan di sebagian besar wilayah Belanda tidak dapat dijamin saat terjadi badai dan naiknya permukaan air laut. Maka, mau tidak mau pemerintah Belanda harus melakukan penggusuran demi normalisasi sungai Rhein yang berada di kawasan Belanda. Studi tersebut menghasilkan rencana untuk memindahkan warga dari bantaran sungai.

Saat pemeirntah Belanda akan menjalankan rencananya, tak sedikit warga yang menolak. Akan tetapi, pemerintah Belanda bersabar dan terus menerus mendekati warga dengan memberi informasi terkait rencana mereka. Meski membutuhkan waktu yang tidak sebentar, masyarakat akhirnya mau dipindahkan. Bagi Satya, hal itu memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar, tetapi penting untuk diperhatikan. Rencana semacam itu perlu dilakukan agar tak ada pihak yang merasa dirugikan. Ia juga mengatakan, kasus di Tambakrejo mungkin akan sama baiknya, jika saja alur komunikasi pemerintah dan masyarakat bagus.

19 EDISI 1 2019 | NUANSA |
Doni Darmawan, Fitriyatun Na’imah BRIDGE Fountain di Banjir Kanal Barat, Semarang (7/7). (Dok. BP2M/Siti Zummaroh)

BERBAGI KEBAHAGIAAN DI ATAS RERUNTUHAN

Bantuan untuk warga datang dari berbagai kalangan. Para mahasiswa turut hadir, membersamai warga dan menghibur anak-anak.

Siang menjelang sore, 23

Mei 2019 reporter Nuansa

melakukan perjalanan ke

Tambakrejo, RT 05 RW 16, Desa Tanjungmas, Kecamatan

Semarang Utara. Penggusuran

Tambakrejo pada Kamis (9/5)

lalu nampaknya masih menyisakan duka

mendalam bagi warga. Di sana masih ada

97 Kepala Keluarga. Mereka bertahan di tenda-tenda pengungsian. Beberapa di antara mereka masih berusia kanakkanak, jumlahnya 85 anak berusia 12 tahun ke bawah. Pascadigusur, warga tak

bisa menjalankan aktivitas seperti sedia kala. Rumah yang dulu dibangun warga dengan hasil kerjanya kini telah rata dengan tanah. Tenda-tenda darurat lantas didirikan di atas reruntuhan bangunan. Orang tua, anak-anak, dan balita tidur seatap di dalam tenda. Tumpukan barang rumah tangga di dalam tenda membuat hawa siang hari berkali lipat lebih panas. Terpal sebagai dinding tenda juga tak bisa menghalau dinginnya malam. Para balita pun menjadi rentan sakit. “Pascakejadian belum semuanya maksimal beraktivitas karena trauma dan banyak masalah.

Untungnya, anak-anak untuk saat ini sudah bisa menyesuaikan karena dulu rumah kami juga tidak bagus, bolongbolong,” ujar Fadilah, istri Pak RT.

Jarum jam menunjukkan pukul 22.27, tetapi anak-anak Tambakrejo masih asyik bermain layangan sembari tertawa. Orang tua mereka saat itu sedang menyaksikan penampilan saxophone milik Romo Budi, permainan kecapi milik Kang Ujang, dan juga sholawatan dari Kang Putu, Guspar Wong, dan Rahmadi, Ketua RT Tambakrejo. Pada Jumat malam itu (24/5), di Tambakrejo sedang berlangsung acara Gugah, Gregah. Warga menikmati acara malam itu ditemani air mineral dan jajanan seperti biskuit, kacang, dan kurma. Tak jauh di belakang panggung belangsungnya acara, tenda berderet yang dibangun guna menggantikan

20 | NUANSA | EDISI 1 2019 LAPORAN UTAMA

hunian mereka yang sudah digusur nampak sepi.

Ketika malam sudah semakin larut, beberapa warga beranjak ke tenda dan menyalakan api unggun, entah untuk menghangatkan tubuh atau untuk mengusir nyamuk, atau untuk keduanya. Anak-anak yang tadi bermain layangan sedang larilarian mengejar kelinci, dan setelahnya mereka tidur pulas berselimut sarung di dalam mushola darurat. Selarut itu, masih ada juga yang asyik berkaraoke di panggung bawah jembatan tersebut. Aktivitas warga Tambak Rejo berubah drastis pascapenggusuran. Namun ada satu hal yang diharapkan oleh ketua RT untuk seluruh warga Tambakrejo. “Puncak dari kesedihan telah kami lewati. Sempitnya tenda, panasnya matahari, gelapnya malam sudah kami jalani, semoga tinggal harapan yang menanti,” begitu doanya.

Kemanusiaan di Tambakrejo

Penggusuran di Tambakrejo beberapa waktu lalu menggugah solidaritas banyak orang. Bahkan ada pula yang sudah bersama warga Tambakrejo sebelum Surat Peringatan 1 diterima. Saat penggusuran dilakukan oleh Satpol PP, mahasiswa dan aktivis LSM yang tergabung dalam Aliansi Peduli Tambakrejo membantu warga melakukan aksi penolakan. Meski akhirnya, bangunan tetap dirobohkan. Mahasiswa Universitas Negeri Semarang menjadi salah satu dari mereka.

Setelah penggusuran, bantuan kemanusiaan terus berdatangan. Mulai dari bantuan kesehatan, infrastruktur, makanan, peralatan sekolah untuk anakanak, dan bantuan kemanusiaan lainnya. Bantuan sandang bahkan sampai harus dihentikan oleh Fadilah, sebab tak ada tempat untuk menampung. Relawan dari berbagai perguruan tinggi juga membuat jadwal untuk berjaga dan membantu warga jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Mereka ialah mahasiswa dari Universitas Negeri Semarang (Unnes), Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Universitas Diponegoro (Undip), , Universitas Katolik Soegijapranata (Unika), Universitas Islam Negeri Walisongo (UIN Wali Songo), Universitas Wahid Hasyim (Unwahas), Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus). Selain Universitas ada pula Hysteria, DT Peduli, dan APS (Aliansi

Pelajar Semarang).

Kegiatan para relawan di sana pun cukup beragam. Sebagian besar menyasar anak-anak. Mereka mengajak anak-anak untuk melukis, mendongeng, belajar, dan bermain bersama-sama. Panggung solidaritas digelar untuk menghibur warga. Tak lupa, penggalangan dana juga dilakukan di berbagai tempat.

Mendongeng untuk Anak-anak

Sore itu (23/5) seorang lelaki berambut panjang dengan celana ripped jeans sedang mengggelar karpet di atas reruntuhan bangunan. Ia adalah Pijar Arip, pendiri komunitas Taman Belajar. Ia bersama teman-teman punk Patung Kuda mengadakan workshop melukis dan

“Dari setahun yang lalu saya sering di sini dan saya tahu perkembangannya. Kalau kita bisa bantu kenapa tidak,” ujar Pijar. Pijar mengajak temanteman punk yang sering mengamen di pinggir jalan untuk ikut berbagi takjil dan kebahagiaan bersama anak-anak Tambak Rejo. Pijar tentu paham betul, tak mudah bagi anak-anak melupakan tragedi yang menimpa rumah mereka. Apalagi, mereka harus menyaksikan hal tersebut secara langsung. Maka mereka butuh sesuatu yang baru, setidaknya agar mereka tak kehilangan masa kecilnya yang bahagia.

“Pasca kejadian belum semuanya maksimal beraktivitas, karena trauma dan banyak masalah. Untungnya, anak-anak untuk saat ini sudah bisa menyesuaikan karena dulu rumah kita juga tidak bagus, bolong-bolong,” ujar Fadilah

Malam harinya, mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo juga turut memberi hiburan pada anakanak dengan bermain bersama. Anakanak mulai menebak jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan seorang mahasiswa. Suasana tampak riuh saat permainan cerdas cermat tersebut berlangsung. Tak hanya itu, anak-anak juga diundang oleh BEM Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) dalam acara closing kegiatan Ramadan, program kerja mereka yang dilangsungkan di auditorium kampus 4 UPGRIS. Yahya, salah satu pengurus BEM Upgris mengatakan, ia turut prihatin atas kejadian tersebut, sehingga ia menggerakkan temanteman mahasiswa untuk membantu sebisanya.

mendongeng. Anak-anak kecil lantas berhamburan duduk di atas karpet yang sudah ia gelar. Pijar lalu mulai memainkan gitar, mengiringi salah satu anak yang sedang membacakan dongeng untuk teman-temannya. Beberapa anak memperhatikan dengan saksama, sembari mendengarkan cerita. Ada pula yang sibuk melukis, sambil sesekali mencoretcoret gambar kawan sebelahnya dengan jail. Menjelang buka puasa, sembari melihat teman-teman punk Patung Kuda berdatangan menggotong beras donasi mereka, Pijar mengajak anakanak bermain alat musik dan bernyanyi bersama. Ia bersama teman-teman punk Patung Kuda lalu membagikan takjil untuk mereka.

Menteri Agraria Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Unnes (BEM KM), Iqbal Alma juga menyampaikan keresahannya. Sembari menyalakan satu batang rokok, ia mulai bercerita. Ia adalah relawan yang telah membersamai Tambakrejo sejak tahun lalu. Ia mengaku tersentuh warga Tambakrejo bercerita dan membayangkan bagaimana kehidupan mereka kelak. Dan ketika ia datang ke sana, mereka selalu menanyakan perkembangan penggusuran. “Saya tersentuh ketika warga atau bapakbapak bicara tentang kehidupan ke depannya akan seperti apa. Ketika makan di kos pun tidak tenang, karena warga di sini saja tidur tidak nyaman,” kata Iqbal. Ia menyayangkan kebijakan pemerintah yang menggusur warga Tambakrejo, termasuk langkah pemkot yang membangun kota dengan cara menghilangkan hak-hak orang lain.

21 EDISI 1 2019 | NUANSA |

Opini

Manusia dan Autentisitas

Pukul 07.15, alarm berbunyi. Tokoh utama terbangun dan mematikannya. Ia diam sesaat, duduk di pinggiran kasur. Setelah beranjak dari kasur, ia menyalakan lampu. Ia memandangi bayangan sendiri di cermin kamar mandi, dan beberapa detik kembali terdiam. Masih tanpa kata, ia mulai bercukur.

Runtutan adegan yang biasa saja. Namun, perlu diketahui, yang menjadi lampu di adegan tersebut sesosok lelaki yang berdiri diam dengan payung lampu menutupi kepala. Saat adegan tokoh utama memandang bayangan di cermin, terlihat sepasang tangan memegangi cermin dari belakang. Runtutan adegan ini kemudian jadi tidak biasa saja.

Adegan di atas merupakan penggalan animasi pendek garapan Santiago Bou Grasso, El Empleo (Opusbou, 2008). Film ini menawarkan realitas tak manusiawi yang mungkin kelak kita hadapi akibat terlampau terjebaknya kita dalam kapitalisme global. Manusia menganggap liyan hanya sebagai alat, benda yang bisa berguna baginya. Sebuah kritik sekaligus peringatan.

Tulisan ini takkan membahas kapitalisme global. Yang akan saya bahas adalah: autentisitas.

Setelah ganti pakaian, tokoh utama menyiapkan sarapan. Ia duduk di salah satu kursi di ruang tamu. Meja di adegan ini sesosok manusia. Kursi-kursi yang mengelilinginya pun begitu.

Tanpa emosi. Ia bukan hanya belum mengatakan apa pun; ia bahkan belum terlihat memiliki emosi. Sama belaka dengan manusia-manusia lain yang memosisikan diri—atau diposisikan— sebagai benda. Mereka sama sekali tak berkomunikasi dengan kata-kata atau tatapan mata. Terlihat sekali ada relasi kuasa di sana; yang satu alat, yang satu lagi penggunanya.

Ketiadaan emosi ini sesungguhnya terlihat juga dari bagaimana sosok-

sosok manusia itu digambarkan secara visual. Mereka, kendati dibubuhi warna yang tak membuat mereka hanya sosoksosok hitam-putih belaka, sama sekali tak dibubuhi tekstur; tidak ada garis atau gradasi warna baik itu di wajah maupun di pakaian mereka. Ini kontras sekali dengan hal-hal selain mereka. Dinding, misalnya, kentara sekali memiliki tekstur; ada garis-garis dan gradasi warna di sana, yang sepintas saja kita melihatnya kita pastilah akan menemukan emosi di sana, sesuatu yang tak terlihat ada di sosok-sosok manusia itu. Hal yang sama kita dapati pada pintu, foto diri, jam weker, jalan raya, tiang lampu lalu-lintas, gedung, lift, kasur, meja, kursi, dan benda-benda bukan manusia lainnya. Ini menarik, sekaligus problematis, sebab kita bisa menafsirkannya seperti ini: benda-benda itu justru terlihat dan terasa lebih hidup ketimbang manusia-manusia itu sendiri.

Dengan mengatakan bahwa bendabenda itu terlihat dan terasa lebih, secara tak langsung kita mengatakan manusiamanusia tersebut telah kehilangan. Emosi, pada dasarnya, adalah apa yang ada pada manusia sebagai sesosok organisme kompleks yang terbentuk dari evolusi sangat lama, menjalani hidup dalam relasi dengan hal-hal di sekitarnya di sebuah ruang-gerak tak bebas nilai, yang sewaktu-waktu akan mendorongnya untuk melakukan penilaian atas apa yang tengah menimpanya, yang dengan itulah emosi itu kemudian muncul—ini dijelaskan oleh judgement theories. Kita bisa saja mengatakan manusia menyalurkan emosinya ke dalam bendabenda yang ia ciptakan, yang karena itulah kemudian benda-benda itu jadi terlihat dan terasa hidup. Namun keliru saya kira jika itu berarti si manusia, setelah melakukannya, tak lagi memiliki emosi sama sekali. Sebab selama manusia diperlengkapi dengan dorongan untuk membuat persepsi dan menilai sesuatu maka selama itu pula emosi itu ada. Manusia juga secara alamiah memberikan respons fisiologis atas apaapa yang terjadi padanya atau menimpanya, yang setelah dialami dan dicoba-pahami akan memberikan andil dalam munculnya emosi—ini dijelaskan oleh somatic feedback theories. Maka, mengatakan bahwa emosi telah tak ada pada diri manusia, dengan demikian, hampir seperti mengatakan bahwa si manusia itu pun telah tak ada. Sesuatu yang sulit sekali diterima, tentu saja.

Bagaimana situasi manusia-tanpaemosi ini bisa sampai terbentuk, tentu perlu dipertanyakan. Sepanjang film, emosi

manusia tidak benar-benar hilang. Tokoh utama yang awalnya terlihat superior akhirnya jadi inferior di adegan terakhir. Di sini, dia menghela napas panjang dan berat—wujud dari ketidakbahagiaan si tokoh utama, bahwa ia sebenarnya tidak ingin berada di dalam situasi manusiatanpa-emosi, juga relasi kuasa yang mendiskreditkannya.

Dalam eksistensialisme, sosok-sosok manusia seperti itu dilihat sebagai sosoksosok yang tak autentik. Eksistensialisme pada dasarnya meyakini bahwa seorang manusia terlahir dengan kehendak bebas, sebagai sosok yang sesungguhnya bebas. Dengan kata lain ia berhak menentukan jalan hidupnya sendiri sesuai dengan apa yang ia kehendaki. Namun tentu saja, seiring waktu berjalan, si manusia ini menyadari bahwa kebebasannya itu berbenturan dengan faktisitas, yakni sekian banyak hal yang telah ada lebih dulu sebelum ia terlahir ke dunia dan cenderung superior atasnya dan sulit sekali untuk diubah.. Antara kehendak bebas dan faktisitas, dengan demikian, terjadi tarik-menarik terus-menerus, bisa jadi tanpa henti. Dan di sinilah si manusia itu diuji apakah ia akan menuju dirinya yang autentik atau sebaliknya: menyerah pada faktisitas demi hidup yang relatif lebih mudah.

Dalam upaya menuju diri yang autentik, salah satu hal krusial perlu dilakukan seseorang adalah memahami apa yang sesungguhnya ia inginkan. Ia harus mengenali lebih dulu siapa dirinya dan hidup seperti apa yang kira-kira cocok untuknya. Dan kita tidak melihat hal ini pada manusia-manusia di El Empleo tadi. Mereka, dalam arti tertentu, berusaha meyakinkan diri bahwa situasi manusia-

22 | NUANSA | EDISI 1 2019
***

tanpa-emosi dan relasi kuasa yang mendiskreditkan mereka itu memanglah apa yang selayaknya mereka alami, bahwa keduanya alamiah. Tak perlu mereka bantah atau lawan; mereka menolak dorongan memberontak. Dalam kacamata eksistensialisme, mereka terjebak dalam iman buruk (bad faith). Mereka semakin menjauh dari menuju diri yang autentik.

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa mereka, manusia-manusia di El Empleo itu, terjebak pada iman yang buruk tersebut, dan seperti menafikan kehendak bebas yang mereka miliki. Untuk menjawab ini, kita bisa mencoba mengaitkannya dengan teori the selfish gene, sebuah teori yang diperkenalkan oleh biolog Richard Dawkins dalam bukunya yang kontroversial, The Selfish Gene (Oxford University Press, 2006; 30th Anniversary Edition).

Menurut the selfish gene, di dalam diri kita ada gen-gen yang sifatnya egois dan manipulatif. Hanya satu keinginan, yakni mereka bisa terus hidup kendatipun kita, yang di matanya adalah inangnya, kelak mati. Agar terwujud, mereka memanipulasi kita dengan sangat subtil untuk melakukan apa pun untuk terus hidup. Mencoba meleburkan diri ke dalam sistem, menjadi bagian dari sistem dan turut andil dalam melanggengkannya.

Tentu saja kita tidak menyadarinya. Gen-gen itu melakukannya dengan sangat halus dan mereka dibekali pengalaman ratusan bahkan ribuan juta tahun; mereka telah ada bahkan ketika kita masih sesosok organisme sederhana. Pilihan seseorang untuk menuju diri yang tak autentik, demi kemudahan dalam menjalani hidup, dengan demikian adalah sebentuk pembiaran atas manipulasi gen-gen di dalam dirinya. Ini

juga menandakan seseorang tersebut menempatkan gen-gen di dalam dirinya sebagai sosok yang superior dan dominan atasnya. Dan hal ini, jika kita bertolak pada teori the selfish gene, adalah sebuah fenomena yang sifatnya natural.

Akan tetapi jika kita bertolak pada eksistensialisme, kehendak bebas yang ada pada manusia tadi itulah justru yang natural. Kalau begitu, keduanya natural. Jadi kita bisa mengatakan bahwa di dalam diri kita selain ada gen-gen yang sifatnya egois dan manipulatif dan cenderung mendorong kita menjadi diri yang tak autentik, ada juga kehendak bebas yang justru mendorong kita ke arah yang sebaliknya. Dan kedua hal ini bertarung, saling tarik-menarik tiada henti, dan kita sayangnya tak bisa menyaksikan pertarungan tersebut sehingga kita seakanakan tak bisa ikut campur di dalamnya.

Eksistensialisme meyakini eksistensi mendahului esensi. Segala hal esensial di realitas ini ada karena kita ada; kita lebih dulu ada barulah hal-hal esensial tersebut ada. Dengan begini terlihat betapa nyata dan kuatnya kehendak bebas yang ada di dalam diri kita. Bukti konkretnya ada. Kita, misalnya, sewaktu-waktu bisa sangat impulsif, melakukan sesuatu yang tak menguntungkan gen-gen di dalam tubuh kita dan membuat kita berjarak dari sistem, seperti melontarkan caci-maki kepada seorang pejabat di media sosial atau mengacungkan jari tengah kepada seseorang yang kita benci.

Menariknya, hal ini justru relatif sejalan dengan teori the selfish gene. Dawkins mengatakan cara kerja gen-gen dalam memanipulasi kita adalah seperti sebuah program yang ditanamkan ke dalam game catur di komputer. Mereka berusaha mengendalikan kita berdasarkan algoritma yang ditetapkan di awal dan mereka tidak bisa menginterupsi ketika algoritma tengah berlangsung, ketika kita tengah menjalani hidup kita. Ada celah, dengan kata lain. Dan di celah inilah kehendak bebas itu bisa diberdayakan. Kita barangkali memang berada di dalam kendali gen-gen di dalam tubuh kita yang egois dan manipulatif itu sejak kita terlahir ke dunia, atau bahkan sejak kita terbentuk di dalam rahim ibu kita, tetapi saat kita tengah menjalani hidup kita ada sebuah pergeseran signifikan di mana kita juga akhirnya jadi punya kendali atas diri kita, bahwa kita memiliki kehendak bebas sehingga kita bisa memilih untuk melakukan sesuatu yang bahkan bertentangan dengan apa yang dikehendaki gen-gen di dalam tubuh kita itu. Yang kita perlukan, pertama-tama, adalah menyadari hal ini.

*** Kembali ke manusia-manusia di El Empleo tadi, sekali lagi kita bisa mengatakan bahwa mereka cenderung menuju diri yang tak autentik, yang berarti kesadaran akan celah tersebut, juga kesadaran akan kuat dan nyatanya kehendak bebas itu, belum cukup kuat di dalam diri mereka. Akibatnya kita lihat sendiri: mereka bukan saja berkompromi dengan situasi manusia-tanpa-emosi dan relasi kuasa yang mendiskreditkan mereka, mereka pun kehilangan dorongan untuk berkata-kata; kata-kata seperti telah tercerabut sejak lama dari diri mereka dari lidah mereka, seolah-olah untuk semakin meneguhkan profesionalitas mereka sebagai alat dan benda tadi. Menyedihkan sekali, tentu, jika itu kelak benar-benar terjadi kepada kita. Dan supaya sesuatu menyedihkan ini tidak terjadi, satu hal yang mulai dari sekarang bisa kita upayakan adalah membangkitkan kesadaran tadi; kesadaran akan adanya kehendak bebas yang nyata dan kuat di dalam diri kita, juga kesadaran akan tidak sempurnanya cara kerja gengen dalam memanipulasi kita, dalam mengendalikan kita untuk kepentingan mereka. Kita perlu mencoba mendengarkan diri kita sendiri, memahami apa yang kita inginkan dan apa yang tak kita inginkan, lantas mengambil tindakan sebagai awal dari menuju diri yang autentik itu. Tentunya, dalam melakukannya, kita pun menyertakan faktisitas yang membatasi kita tadi ke dalam perhitungan kita.

Di El Empleo, dorongan ke arah sana itu sebenarnya ada. Sebelum film benarbenar berakhir, dalam latar hitam dengan bentuk yang tanpa tekstur dan seakanakan transparan, sesosok manusia yang di awal film berperan sebagai lampu melemparkan keras-keras ke lantai payung lampu yang semula terpasang di kepalanya, kemudian berjalan ke arah yang berlawanan, meninggalkan payung lampu tersebut yang telah penyok; dan ia pun setelahnya meninggalkan layar, keluar dari cerita. Ini tak pelak lagi sebuah simbol bahwa situasi manusia-tanpa-emosi itu bisa dilawan, begitu juga untuk relasi kuasa yang mendiskreditkan mereka, dan si tokoh utama sudah mulai melawannya. Sebuah langkah awal yang baik untuk menuju diri yang autentik.(*)

Ardy Kresna Crenata, Menulis cerpen, esai, dan puisi di berbagai media nasional seperti Koran Tempo, Lakon Hidup dan Basabasi

23 EDISI 1 2019 | NUANSA |

Opini

Mengawal Isu Lewat Lagu

Melalui musik, musisi tak hanya bisa menuangkan kritik. Tetapi mereka juga bisa mengajak para pendengar untuk sadar dan kritis terhadap isu lingkungan, sosial, dan juga politik.

“The Times They Are a-Changin” adalah salah satu lagu protes yang cukup terkenal di era 60-an. Lagu tersebut dinyanyikan oleh musikus ternama asal Amerika, Bob Dylan. Setelah rilis, lagu ini memengaruhi cara pandang masyarakat terhadap kritik sosial. Selain itu, lagu tersebut juga menginspirasi anak muda dalam memberikan suara untuk gerakan perubahan sosial di seluruh dunia. Tahun 1960-an, Bob mulai dikenal sebagai musikus yang mengusung musik protes. Penyanyi sekaligus pencipta lagu tersebut menggunakan musik sebagai sarana protes terhadap fenomena sosial dan politik.

Mengkritik lewat musik banyak digunakan oleh musisi barat seperti di Amerika Serikat dan Inggris. Musik tak hanya menjadi sarana berkreasi atau hiburan, namun juga menyampaikan aspirasi dan opini. Hal tersebut didukung oleh festival musik yang cukup terkenal pada era 1969 di New York, yaitu Woodstock Music and Art Fair. Sekarang, festival tersebut dikenal sebagai Festival Musik Woodstock.

Kaum Hipie dan anak muda lain menjadikan festival ini sebagai ajang kampanye tentang sosial, politik dan perdamaian. Saat itu, mereka juga menolak pengiriman tentara Amerika ke Vietnam. Festival ini diawali dengan salah satu momen bersejarah pada 1969 di Bethel, New York. Sekitar 400.000 orang Amerika membuktikan bahwa musik dapat menggerakkan suatu masyarakat agar peka terhadap isu-isu yang sedang berkembang.

Musik dan Demokrasi di Indonesia

Rakyat diberi kebebasan untuk berpendapat dan berkarya, tak terkecuali musisi. Mereka mengemas kritik terhadap isu sosial dan para penguasa dengan karya. Tak semua pihak dapat menerima pendapat kita. Terlebih, pendapat yang dikemas lewat musik. Banyak orang yang gemar mendengarkan musik, maka semakin banyak yang

mendengarkan, semakin banyak pula pro kontra yang bermunculan.

Salah satu band yang mengkritik lewat musik adalah bandrock Slank yang lagunya sempat dipermasalahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 2008 lalu berjudul “Gossip Jalanan” dirasa menyinggung. Penggalan liriknya, “Mau tau gak mafia di Senayan, kerjanya tukang buat peraturan, bikin UUD ujung-ujungnya duit.” Barangkali lirik tersebut dibuat atas keresahan mereka akan isu politik yang berkembang. Di dalam liriknya, Slank tak hanya memasukkan orang-orang yang bekerja membuat UUD, tapi juga polisi, tentara, dan yang lain.

Bermusik bukan hanya sebagai hiburan atau menambah keterampilan dalam bidang seni, melainkan sebagai alat kontrol sosial. Tak heran jika sebagian musisi menyuarakan pendapat mereka lewat lirik-lirik pedasnya. Iwan Fals juga menjadi salah satunya, memasukkan kritik terhadap isu sosial, politik, maupun lingkungan dalam lagunya. Seperti “Surat Buat Wakil Rakyat”, Iwan Fals mengkritik kinerja wakil rakyat yang tidak memuaskan. Anggota parlemen yang banyak menciptakan sensasi daripada prestasi juga menjadi sorotannya. Lagu berisu lingkungan berjudul “Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi”, ternyata, musisi legendaris tersebut telah lama menggunakan karyanya sebagai media untuk mengawal isu lingkungan.

Musik Sebagai Media Kritik

Salah satu contoh band indie yang dikenal sebagai band dengan lirik yang cerdas adalah Efek Rumah Kaca. Belum lama ini, lagunya yang berjudul “Sebelah Mata” populer di masyarakat Indonesia. Lagu ini dibuat untuk mengingatkan masyarakat dengan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. Dengan tagar kami bersama Novel, lagu ini mengiringi kasus tersebut, yang hingga saat ini tidak kunjung selesai. Najwa Shihab, jurnalis

sekaligus pembawa acara Mata Najwa juga ikut memopulerkan lagu ini.

Sisir Tanah, musisi asal Bantul, Yogyakarta juga membawakan lagu-lagu bertema budaya, lingkungan dan sosial. Menurut mereka, musik merupakan suatu media yang dapat dengan mudah diterima oleh siapa saja. Oleh karena itu, Sisir Tanah menggunakan musik sebagai media dalam menggapai suatu tujuan. Salah satu lagunya yang berjudul “Bebal”, mereka menyebarkan pesan kepada masyarakat agar senantiasa menjaga alam.

Sisir Tanah juga menggunakan musik untuk memberikan semangat kepada mereka yang sedang berjuang. Ia mencoba menggerakkan pendengar supaya peduli dengan mereka yang sedang membutuhkan. Benang merah dari lagu-lagu mereka memiliki tema cenderung luas yaitu cinta dan damai.

Mengawal isu lewat lagu barangkali akan mudah diterima oleh generasi milenial, karena musik sudah menjadi bagian hidup mereka. Berdasarkan penelitian Centre For Strategic And Internal Studies (CSIS), mendengarkan musik menjadi kegiatan yang paling disukai oleh generasi milenial. Oleh karena itu, musik dengan muatan isu-isu lingkungan, sosial ataupun politik akan memantik nalar kritis anak muda dan membuat industri musik lebih berwarna.

Saat lagu bertema cinta atau asmara lebih banyak diputar, musik indie menjadi hal baru. Liriknya menjadi pengingat bagi para pendengar akan berbagai hal di sekitarnya. Dengan bermusik kita dapat menuangkan kritik, dan menuangkan opini publik dalam lirik, menjadi hal baru yang asyik dan ciamik.

24 | NUANSA | EDISI 1 2019

Opini

Pendidikan dan Revolusi 4.0

Seorang kawan membuka diskusi dengan sebuah pertanyaan “Apa guna bersekolah?” Pendidikan dan sekolah merupakan dua hal yang berbeda, namun dalam suatu waktu dapat digunakan secara bersama-sama. Kemudian pertanyaan berlanjut hingga beda antara pendidikan dan pengajaran.

Selain pertanyaan tersebut, permasalahan diawali dengan banyaknya kawan yang melakukan penelitian sebagai tugas akhir dengan mengambil tema “Blended Learning”. Apakah ini merupakan salah satu upaya dalam menyongsong revolusi 4.0? Kemudian, sesuaikah praktiknya dengan pendidikan yang diharapkan?

Pendidikan, Pengajaran, dan Sekolah Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Sedangkan pengajaran merupakan proses memberikan petunjuk kepada orang supaya diketahui (diturut). Berbeda halnya dengan sekolah yang merupakan lembaga untuk belajar dan mengajar. Pendidikan seseorang seringkali diukur dari seberapa lama ia bersekolah atau seberapa tinggi tingkatan sekolah yang ia lalui. Biasanya dibuktikan dengan ijazah atau sertifikat yang di dalamnya tertera angka atau huruf yang mewakili nilai yang diperoleh dan tulisan “LULUS”. Lalu, apa guna bersekolah?

Apabila nilai yang anda cari melalui sekolah adalah angka yang biasanya maksimal sebesar 100, atau berupa huruf yang direpresentasikan dengan A atau A+ sebagai nilai maksimal, hanya angka atau huruf itu yang anda dapatkan. Hal tersebut tidak bisa dijadikan tolok ukur anda berpendidikan tinggi, karena sesuai pengertiannya, pendidikan itu tercapai apabila terjadi proses pendewasaan.

Kedewasaan menurut Mortimer R. Feinberg, ditandai dengan menerima diri sendiri, mampu menghargai orang lain, bertanggung jawab, percaya diri, dan sabar. Selain itu, kedewasaan tidak selalu berkaitan dengan intelegensi. Seperti halnya seseorang yang sekolahnya sampai tingkatan

perguruan tinggi pun belum menjamin dia berpendidikan.

Membicarakan pendidikan, pengajaran, dan sekolah mengingatkan kepada anakanak sekolah dasar di Mantigola yang diceritakan oleh Roem Topatimasang dalam kumpulan esai “Sekolah itu Candu” tentang “Sekolah Anak-anak Laut”. Diceritakan bahwa mereka menjalani hukuman tersebut dengan gembira.

Kasus tersebut membuat Roem mempertanyakan makna sekolah bagi mereka, apakah hanya sebagai tempat mereka pernah belajar membaca, menulis, dan berhitung? Atau justru hukuman itu adalah sekolah yang sesungguhnya. Hal tersebut yang terkadang tidak dipahami oleh para perencana, pembuat kebijakan, pakar, dan pengelola pendidikan selama ini, sehingga membuat kurikulum sering tidak membumi, sementara penyajiannya sangat membosankan.

Pendidikan dalam Revolusi 4.0

Revolusi 4.0 mengacu pada revolusi industri 4.0, merupakan perubahan tren dalam perindustrian yang menggabungkan teknologi otomisasi dengan teknologi cyber. Hal tersebut mencakup sistem cyber-fisik, internet of things (IoT), komputasi awan, dan komputasi kognitif. Tren ini telah mengubah banyak bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan, yang mana menyiapkan sumber daya manusia sebelum memasuki dunia kerja.

Untuk menyesuaikan dengan revolusi 4.0, beberapa guru hingga mahasiswa tingkat akhir melakukan penelitian dan menerapkan sistem pembelajaran blended learning di kelas. Pembelajaran blended learning menggabungkan antara pembelajaran secara offline (tatap muka) dengan online (dalam jaringan) dengan memanfaatkan e-learning.

Menghadapi revolusi 4.0, negara perlu mengubah tiga hal dalam pendidikan. Hal yang paling dasar adalah mengubah sifat dan pola pikir anak-anak zaman sekarang, mengasah dan mengembangkan bakat mereka, serta mengubah model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Adapun kompetensi yang harus dimiliki dan

tersistem dalam pendidikan, diantaranya: critical thinking, problem solving, communication, creative, character, dan collaboration. Jadi tidak hanya sekadar pembelajaran online-offline yang dikembangkan, tetapi lebih banyak ke arah kompetensi yang harus dimiliki.

Kurikulum 2013 yang berlaku sekarang secara kualitas bisa dikatakan tepat untuk menjawab tantangan revolusi 4.0. Kebijakan kurikulum 2013 mampu mengelaborasi kemampuan siswa pada dimensi pedagogik, kecakapan hidup, kolaborasi, serta berpikir kritis dan kreatif jika diimplementasikan sesuai konteks. Namun banyak kajian mengemukakan implementasi kurikulum 2013 mengalami degradasi yang keluar konteks dan tidak lagi berorientasi pada pencapaian kemampuan siswa pada pemahaman ilmu dalam konteks hidup dan keseharian, namun hanya target kompetensi siswa yang digambarkan pada nilai-nilai akademik semata.

Supaya mampu bersaing di era revolusi 4.0, penting untuk memiliki pendidikan yang tinggi dan bersekolah. Pendidikan yang tinggi dimaksud adalah memiliki skill dan manner sesuai kompetensi yang dibutuhkan dalam persaingan. Sedangkan bersekolah dalam artian menuntun kepandaian dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, manusia yang notabenenya dianugerahi kemampuan berpikir tidak kalah oleh robot yang menjadi ciri revolusi 4.0, serta tidak mudah terbawa arus, justru menaklukkan arus tersebut.

25 EDISI 1 2019 | NUANSA |
Wifqul Laeli, Pemimpin Redaksi Majalah Kompas Mahasiswa 2018

Opini

Masa Depan Petani, Masa Depan Kita

Untuk rakyat Indonesia yang belum kenyang jika belum makan nasi, mau jadi apa kalian jika di masa depan tak ada lagi petani yang menanam padi?

Di zaman yang serba modern ini, anak-anak bangsa yang bercitacita menjadi petani semakin sedikit, mungkin hampir tak ada. Memang bukan profesi yang trendi, tapi petani adalah profesi yang paling berjasa bagi negeri.

Sungguh menyedihkan, ketika negara agraris jumlah petaninya menurun setiap tahun. Pada umumnya, orang tua akan mendidik anaknya agar menjadi seseorang yang sukses sejak mereka kecil. Bagi mereka, petani bukanlah pekerjaan yang ideal bagi masa depan anak-anak. Petani adalah pekerjaan yang dianggap berat dan tidak begitu menjanjikan kesuksesan.

Waktu kecil, Sekolah Dasar (SD) menjadi tempat di mana guru selalu menanyakan cita-cita siswanya. Saat itu, mereka dengan lantang menyebut TNI, pilot, polisi, dokter, bahkan astronot sebagai profesi yang diidamidamkan. Sedangkan petani umumnya berada di posisi yang paling jarang dicita-citakan. Tak ada yang salah memang. Toh, anak yang bercita-cita menjadi dokter belum tentu benar-benar menjadi seorang dokter ketika dewasa. Artinya, masih ada kemungkinankemungkinan lain yang dapat menggubah itu semua.

Di Indonesia perguruan tinggi dengan jurusan pertanian masih cukup banyak, apalagi jumlah sarjananya. Tapi sebagian besar dari sarjana pertanian, justru berkarir di sektor nonpertanian. Masalah perspektif kesejahteraan masih menjadi faktor utama. Bekerja panaspanasan, kotor-kotoran di lumpur barangkali menjadi pertimbangan anak muda untuk lebih memilih bekerja di sektor lain.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tahun 2017 sebesar 29,68%, sedangkan per-Agustus 2018 sebesar 28,79%. Lebih parahnya penyusutan ini sudah terjadi sejak lama, selama 2003-2013 terjadi penurunan angka tenaga kerja pertanian, dari

sebelumnya sekitar 50% menjadi 38%. Hal ini tentu mengkhawatirkan. Bagaimana jika beberapa tahun ke depan, penyusutan tenaga kerja sektor pertanian masih terus terjadi?

Oleh karena itu, pembentukan citra petani amatlah penting dilakukan sejak dini, baik dalam institusi pendidikan maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Semua elemen harus ikut berperan dalam merubah mindset yang merendahkan petani. Sehingga tumbuh nilai-nilai penghargaan atas jasa-jasa yang dilakukan petani. Hingga pada akhirnya seorang petani memiliki derajat yang setara dengan pekerja-pekerja lainnya yang berjuang untuk memenuhi kebutuan negara.

Jumlah petani terus berkurang

Setiap tahun petani terus berkurang. Penyusutan lahan juga sering terjadi. Alih fungsi lahan produktif secara agresif juga demikian. Lahan besar dimiliki oleh sebagian kaum pemodal, akhirnya jumlah buruh tani lebih meningkat pesat ketimbang petani yang menggarap tanahnya sendiri.

Para petani seperti kehilangan harga diri. Setelah kehilangan tanah, penghasilannya menurun, bisa jadi petani ikut kehilangan keahlian. Banyak pula di antaranya beralih menjadi pekerja industri. Petani sudah tidak lagi berlomba-lomba untuk memproduksi hasil bumi terbaik.

Indonesia memiliki julukan sebagai negara agraris, maka sudah sepatutnya kita mempertahankan keagrarisannya. Meregenerasi petani adalah salah satu yang bisa dilakukan. Namun hal itu tentu sangat sulit dilakukan. Apalagi ketika para petani saat ini, hidupnya masih melarat dan jauh dari kata sejahtera. Sebab tak jarang harga komoditas pertanian mengalami masalah, dan daya beli rendah.

Demi menjaga stabilitas pertanian, persoalan-persoalan seperti itu harus segera ditindak oleh pemerintah. Bukan justru menambah masalah dengan membiarkan lahan-lahan dikelola oleh swasta secara besar-besaran, mengeluarkan kebijakankebijakan pemerintah pro-pengembang dan menindas petani. Harga-harga hasil pertanian perkebunan pun tak berubah, sedangkan harga bahan bakar minyak terus melonjak. Andai keadaannya seperti itu, tentu kita patut khawatir, tak akan ada lagi yang akan memiliki anak, cucu, atau cicit berpofesi petani di kemudian hari.

26 | NUANSA | EDISI 1 2019

Petani di Ranah PBB

Tahun 2018 merupakan tahun bersejarah bagi petani dan perjuangan agraria Indonesia.

Setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi argumen tersebut. Pertama, Presiden Indonesia

telah menandatangani Peraturan Presiden

No. 86 tentang Reforma Agraria pada 24

September 2018 yang akan menjadi instrumen penyelesaian konflik agraria di Indonesia.

Kedua, sidang umum PBB telah mengesahkan

Deklarasi Hak Asasi Petani yang cikal bakal

perjuangannya lahir dari Indonesia.

Beberapa waktu lalu, Komite Ketiga

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) Bidang Sosial, Hak Asasi Manusia dan

Budaya menyetujui resolusi tentang Deklarasi

PBB tentang Hak Asasi Petani (HAP) dan

Masyarakat yang bekerja di pedesaan.

Deklarasi ini disepakati dalam sidang umum

PBB di New York, Amerika Serikat, Senin 19 November 2018.

Indonesia menjadi co-sponsor resolusi

Dewan HAM PBB yang mengesahkan

Deklarasi HAP. Dari total 174 negara, ada 117 negara yang setuju, 50 abstain, dan 7 negara yang menolak yakni Australia, Hungaria, Israel, Selandia Baru, Swedia, Inggris Raya,

dan tentu saja Amerika Serikat.

Deklarasi HAP PBB bisa menjadi acuan dasar hukum internasional untuk memperjuangkan dan mempertahankan lahan oleh petani di Indonesia. Hak-hak kaum petani akan lebih diakui secara internasional melalui mekanisme Majelis HAM PBB. Mulai dari hak atas tanah, hak atas benih, hak atas keanekaragaman hayati dan prinsip nondiskriminasi terutama untuk petani perempuan dan perempuan pedesaan. Ini harus menjadi titik balik bagi petani untuk meraih kesejahteraan.

Bung Karno pernah menuliskan sebuah artikel berjudul “Swadeshi dan Massa Aksi di Indonesia”. Kala itu tulisannya dimuat dalam koran Suluh Indonesia Muda (1932). Saya sempat membacanya ketika sudah dimuat dalam buku berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi” tahun 2005. Berikut kutipan dari buku tersebut:

“Makin lama makin menjadi kocarkacir, makin lama makin tak cukup manfaat memberikan sesuap nasi. Rakyat India yang celaka! Herankah kita, kalau matinya industri dan kocar-kacirnya pertanian yang demikian ini lalu menjadi sebabnya India itu saban-saban kali kejangkitan oleh bahaya

kekurangan makan, yakni kejangkitan bahaya kelaparan, kejangkitan oleh ‘paceklik’.”

Biar bagaimana pun, urusan perut lebih penting dari segala hal dan harus menjadi fokus pemerintah. Maka Indonesia harus menghindarkan rakyatnya dari perut lapar. Baik rakyat yang hidup di kolong jembatan hingga rakyat yang hidup di jalanan. Semua harus terhindar dari kelaparan. Maka secara mendesak saya katakan kesejahteraan petani haruslah segera dilaksanakan.

Caranya menghindari kelaparan tentu dengan cukupnya pasokan pangan. Begitu besar sumbangsih petani dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun, pasokan pangan yang kita miliki haruslah berasal dari buminya negeri kita sendiri. Bahaya saja jika ketahanan pangan kita bergantung dari negeri luaran sana. Mau tidak mau, petanilah yang menjadi tombak pertahanan bangsa, yang wajib kita jaga keberadaannya bersama. Ketahanan pangan nasioanl ialah hal yang utama.

Moehamad Dheny Permana. Wartawan Lembaga Pers Mahasiswa Marhaen Universitas Bung Karno, Jakarta

Tesa

Media dan Politik (Bernuansa) Peraduan

BARANGKALI, polarisasi

masyarakat kita bukan salah

Prabowo atau Jokowi. Ia juga bukan salah tim hore-hore mereka per se yang norak, bebal, bahkan tak peduli akal sehat. Mungkin—mungkin saja—media lebih bersalah ketimbang merekamereka ini.

Debat calon presiden adalah tontonan yang digemari di Dusun Parigi, Seram Utara, tempat saya melakukan etnografi. Temanteman saya di sana getol, bahkan, untuk menonton ulang debat yang sudah silam. Apa yang mereka cari? Sepenangkapan saya: laga. Laga dalam perdebatan tersebut.

“Sedap!” demikian kata seorang teman mendapati kedua calon presiden saling menyerang dan menyanggah. Prabowo, kala itu, mulai lepas menunjukkan kemarahannya dengan pemerintahan Jokowi yang abai dengan kedaulatan negara. Jokowi menganggap Prabowo pesimistis, tidak terbuka dengan kemitraan dan kemajuan. Teman saya secara sengaja melompati bagianbagian sebelumnya untuk langsung menonton ke sesi perdebatan dua arah ini.

Pada berbagai kesempatan, Jokowi menyampaikan pandangannya dengan rumit dan berbelit-belit. Beberapa kenalan saya di kota mengomentari bahwa

Joko Widodo, capres nomor urut pertama, kurang lihai dalam meracik retorika. Namun, di antara teman-teman saya di dusun, ketidakmampuan Jokowi tersebut dipahami sebagai gelagat kesederhanaan di hadapan Prabowo yang lebih tertata. Jokowi juga digemari karena terkesan tenang menanggapi Prabowo yang nampak

emosional.

Yang Tampak

Ada sejumlah isu, jelas, yang bergulir dalam perdebatan tempo hari. Kendati

Tentu saja, hal ini tak sekadar terjadi di Dusun Parigi. Reaksi warga di situs penelitian saya adalah reaksi jujur belaka. Reaksi kita, boleh jadi, lebih kompleks dan bertele-tele. Akan tetapi, di balik keruwetan tersebut dukungan politik kita jangan-jangan juga keberpihakan empatik atau emosional terhadap satu di antara dua manusia yang berlaga dalam kontestasi politik.

Dan, apa yang fatal dalam dukungan yang demikian ialah kemenangan pemilu tak dianggap sebagai langkah untuk mengantar satu pihak merealisasikan kerja politik yang lebih paripurna. Kemenangan pemilu itu sendiri adalah segala-galanya. Semua kerja dianggap rampung seusai kemenangan bersangkutan.

Perbandingan di ajangajang pemilu lain menunjukkan kecenderungan serupa sebenarnya. Bukan tanpa alasan, misalnya, Kira Hall, Donna M. Goldstein, dan Matthew Bruce Ingram dalam artikelnya “The hands of Donald Trump” menampik analisis kelas yang vulgar dalam menjelaskan kemenangan pemilu sosok yang menjadi presiden AS saat ini.

demikian, apa yang paling pertama tampak di mata penontonnya, sebagaimana sempat saya perhatikan, bukanlah isu-isu itu sendiri, melainkan wajah-wajah penuturnya yang saling beradu. Sebut saja, kemarahan, kebersahajaan, kepenatan, kesabaran, yang diiringi pertarungan di antara kedua figur bersangkutan.

Pemilu, dalam masyarakat yang berkomunikasi melalui—dan dikepung oleh—media berasas bisnis, menurut mereka, menjadi sangat lekat dengan hiburan. Dan hiburan punya watak karnaval. Di sana mengemuka pentas dengan dunia dan hukum semestanya sendiri. Trump, terlepas dirinya merupakan taipan yang jelasjelas tak mewakili kelas pekerja, memikat pemilih pekerja lantaran kecakapannya menghibur mereka.

Perawakan dan mimik Trump dalam

28 | NUANSA | EDISI 1 2019
Geger Riyanto Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di Universitas Indonesia

berkampanye dianggap tidak berkelas. Pesan-pesan yang dibawakannya dipandang tidak pantas. Namun, justru karena dirinya awam di dunia politik dan tak terkekang norma-norma yang berkembang lama di dunia ini, ia menghadirkan ke mata awam pertunjukan mengisap yang melucuti keunggulan dari lawan politiknya. Komunikasi politiknya yang ekspresif dan menggebu-gebu lebih ampuh dalam menghadirkan batasan kawan dan lawan di media dibandingkan penjelasan abstrak.

Membingkai Politik

Media berasas bisnis pun, kita tahu, adalah kenyataan kita yang tak bisa dikesampingkan saat ini. Dan, memang, di media, politik paling menyita perhatian kala ia dihadirkan sebagai laga pertarungan antara dua kubu alih-alih proses artikulasi dan representasi kepentingan yang berlapis-lapis.

Pemilu adalah puncak dari laga ini. Akan tetapi, jauh sebelum pemilu pun kita mendapati bagaimana media sosial maupun media konvensional tak kunjung habis membingkai politik kita sebagai laga dengan avatar dua kandidat pejabat yang berdiri berseberangan satu sama lain. Tayangan yang mengadu dua kubu memperoleh peringkat tinggi. Unggahan-unggahan di media sosial yang memolarisasi menjadi unggahan yang diutamakan algoritmanya.

Watak kita sebagai homo ludens, insan yang bermain, menyebabkan segenap

kesadaran kita mudah terpikat ketika mendapati dua insan manusia saling bergulat untuk memperoleh kemenangan terhadap yang lain. Lebih-lebih, ketika apa yang seolah dipertaruhkan dalam pergulatan tersebut adalah nasib kita sendiri—sang penontonnya. Sementara itu, bisnis media sangat peka menerka apa yang memantik banyak orang mencurahkan perhatiannya kepada suguhan informasi tertentu.

Ajang politik, alhasil, menjadi fenomena yang ditangkap media untuk disajikan sebagai peraduan dua insan di mana kemenangan dan kekalahan mereka adalah segala-galanya. Akhirnya, kita tak sekadar mendapati bagaimana bisnis ditunggangi oleh politik untuk mereproduksi kekuasaan. Politik juga ditunggangi bisnis. Bisnis media membutuhkan penonton setia, dan para pelakunya menemukan kontestasi politik sebagai bahan komodifikasi yang paling tepat.

Yang Terkorbankan

Mama angkat saya di Dusun Parigi belum lama ini menyatakan ketakjubannya dengan pemilu 2019. “Sebelum-sebelumnya, pemilu tak pernah seperti ini,” ujarnya. Hari-hari ini, menurutnya, kandidat capres berdebat sengit satu sama lain. Ia tak pernah menjumpai situasi ini pada ajangajang pemilu yang lalu.

Ajang-ajang pemilu selepas Reformasi, seingat saya, tak pernah lupa menyertakan

debat antara kandidat. Kendati demikian, memang, ada nuansa peraduan antarkubu yang tak bisa disangkal pada pemilu kali ini. Kenyataan bahwa persepsi ini mengental di antara warga dusun saya menunjukkan bahwa, memang, bisnis media sukses dalam membingkai sekaligus mengapitalisasi politik sebagai pertarungan belaka. Dan bukankah akhir-akhir ini kita sendiri pun mengeluhkan bagaimana perhatian kita terisap secara tidak sehat ke media sosial dan konvensional kala mereka menayangkan pertarungan kubu-kubu politik?

Sayangnya, akibat hal-hal ini pula, dinamika politik di balik pemilu menjadi redup. Kita tersilaukan dengan gegap gempita pertempuran yang tersuguh ke hadapan mata dan kehilangan gambaran apa yang sesungguhnya terjadi.

Siapa yang sebetulnya akan diuntungkan ketika satu kandidat membicarakan tentang kerja sama teknologi antarnegara? Apa yang akan terjadi dengan sektorsektor lain saat kita menggiatkan satu sektor yang, menurut kandidat lainnya, diperlukan untuk menegakkan kedaulatan? Kita, mungkin, tak akan pernah mendapat klarifikasi-klarifikasi terang untuk pertanyaan-pertanyaan semacam. Mereka akan tersesat di antara informasiinformasi bernuansa pengubuan yang lebih merenggut perhatian.

29 EDISI 1 2019 | NUANSA |
POTRET

PUING-PUING KAMI. Warga sedang beribadah di rumahnya yang telah digusur. Banyak kesulitan yang warga alami pasca penggusuran pada Kamis 9 Mei 2019. Warga harus tetap melakukan aktivitasnya di tengah musibah yang menimpanya. (Doc.Pribadi/Tris Sutrisno (10/5))

POTRET

WARGA sedang mengambil hasil tangkapan udangnya di area dekat Kampung Rawa menggunakan prahu dan alat bernama Kicir yang terbuat dari botol yang dilubangi. Selasa (2/7) (Dok. BP2M/Lalu Muhammad Jazidi)

Geliat Rumah Musik Lokananta

Warna kuning tembok dengan hiasan gambar sebuah retakan itu sudah mengusam. Ditambah rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar gedung, sepertinya akan membuat orang berpikir gedung itu sebagai sebuah gedung tua yang tak terawat. Nyatanya, gedung itu pernah berjaya dan menjadi lakon utama dalam perekaman musik. Gedung itu bernama studio Lokananta atau Lokananta Records yang merupakan studio musik pertama di Indonesia, bukti representasi dari seriusnya pemerintah Orde Lama. Keseriusan itu ditandai dengan alat-alat produksi yang telah dibelinya, bahkan Glenn Fredly menyamakannya dengan studio Abbey Road, studio legendaris yang tak pernah lepas dari sosok The Beatles. Hal itu juga

didukung oleh adanya Mixer Trident London Series 80 B, sebuah mixer recording yang saat ini hanya ada dua di dunia yang aktif dipergunakan, yaitu di Lokananta dan BBC, Inggris.

Ketika berada di Lokananta, Sriyono Ali Maskhuri menemani berkeliling di Museum Lokananta. Museum Lokananta sendiri ada selain dimaksudkan untuk pemasukan, tetapi juga guna memamerkan koleksi-koleksi bersejarah yang dimiliki oleh Lokananta. Album-album Waldjinah, Bing Slamet, serta Gesang dulu sempat dirilis oleh Lokananta, lalu juga musikmusik tradisional, serta lagu-lagu atau rekaman suara untuk kepentingan tertentu, seperti souvenir Asian Games 1962, Pidato Presiden Soekarno pada pembukaan Konferensi Wartawan Asia Afrika pada tahun 1963, bahkan ada pula lagu yang

dilarang beredar, seperti Genjer-Genjer. Lokananta dulu menjadi tempat percetakan piringan hitam untuk musikmusik yang akan diputar di Radio RRI. Studio yang terletak di Jalan Ahmad Yani No. 379 A, Surakarta, ini sudah tidak berkecimpung di bidang produksi piringan hitam, karena rusaknya alat-alat produksi sejak berada di bawah naungan Kementrian Departemen Penerangan. Lokananta sempat tidak terurus pasca ambruknya Orde Baru, bahkan sempat dinyatakan bangkrut di tahun 2001 sebelum akhirnya dinaungi oleh Percetakan Negara RI (PNRI) pada tahun 2004.

Perjuangan hidup Lokananta Sebanyak 40.000-an piringan hitam tersimpan di dalam gedung sebelah kanan komplek Lokananta. Beberapa ada yang terbilang langka karena hanya tinggal beberapa copies saja, ada juga yang tidak terdeteksi lagu itu milik siapa karena piringan hitamnya sudah tidak memiliki cover dan informasi pada bagian tengah piringan hitamnya sudah termakan rayap. Ketika memasuki ruangan-ruangan museum Lokananta, piringan hitam yang

34 | NUANSA | EDISI 1 2019
SENI MUSIK Sempat berjaya, juga bangkrut, Lokananta mengambil langkah yang logis untuk tetap hidup dan bermanfaat. Doc. Nuansa/ Doni Darmawan BEBERAPA koleksi kaset dan betamax yang ada di museum musik Lokananta yang dipajang di atas Meja. (Doc. Nuansa/ Doni Darmawan)

masih ada beberapa hanya dibungkus cover polos dan tertata di rak-rak besi tanpa adanya pelindung kaca, sehingga debu-debu masih bisa menempel. Sriyono mengaku sempat kesulitan untuk merawat koleksi Lokananta karena kurangnya modal dan sumber daya manusia. Setelah dinaungi oleh PNRI, Lokananta dinyatakan menjadi BUMN dan mau tak mau harus mencari biaya operasional sendiri setelah mengalami kekosongan pemasukan.

Saat terjadi konflik dengan Malaysia terkait lagu Rasa Sayange, Lokananta muncul sebagai kunci kemenangan. Rekaman audio souvenir Asian Games tahun 1962 yang dicetak oleh Lokananta membuat Indonesia menang dalam konflik tersebut. Mulai tahun 2004, dilakukan penyortiran piringan hitam untuk mencari yang masih bagus. Bahkan pada tahun 2005, mulai ada inisiasi untuk digitalisasi guna mengamankan barang-barang yang mudah rapuh seperti cover dan sarung piringan hitam, serta kertas-kertas seperti nota, kwitansi, dan kontrak kerjasama supaya tetap diketahui.

Digitalisasi Lokananta

Bemby Ananto masuk sebagai pegawai di Lokananta pada tahun 2007. Sejak saat itu, Bemby langsung diberi tugas untuk melanjutkan proses digitalisasi yang

sudah mulai dilakukan dari tahun 2005. Bemby hanya sendirian mengurusi proses digitalisasi Lokananta pada saat itu karena sedikitnya tenaga kerja di Lokananta. Proses digitalisasinya rekaman audio yang ada dilakukan secara bertahap. Proses digitalisasi itu selesai pada tahun 2009.

“Pemerintah sangat berterima kasih kepada Lokananta yang sudah menyelamatkan aset audio dari analog ke digital,” begitu kata Bemby. Pria asal Gawok, sebuah desa di Sukoharjo ini melanjutkan bahwa hanya sekedar

itu bentuk apresiasi dari pemerintah, “Paling pusat jakarta mas.” Hanya itu apresiasi pemerintah ketika

Lokananta mengamankan aset budaya ini.

Bemby berhasil menyelesaikan 90% proses digitalisasi dan mendapatkan bantuan ketika ada anak magang. Lokananta juga menemukan sendiri permasalahan terkait digitalisasi karya, yaitu terkait hak cipta. Lagi-lagi Lokananta harus berjuang sendiri untuk menemukan solusi tersebut. Lokananta akhirnya menjalin hubungan dengan JK Record guna menyelesaikan proses digitalisasi dan masalah hak cipta.

Beberapa pemuda-pemudi pun turut membantu pengolahan arsip di Lokananta, contohnya Lokananta Projects (LP). Kelompok ini membantu keterbukaan koleksi yang ada di Lokananta dengan membuatkan buku berjudul Lokananta dan website digital library untuk Lokananta.

Fakhri Zakaria, salah satu penulis pada buku itu mengatakan motivasi LP membantu Lokananta karena akses masyarakat ke arsip-arsip musik Indonesia masih susah. Ia pernah melakukan liputan terkait Lokananta untuk majalah Rolling Stone Indonesia (RSI) edisi Mei 2010. Menurutnya, LP mencoba untuk membuat mekanisme yang mudah bagi publik untuk mengakses arsip-arsip musik Indonesia, “Minimal koleksi-koleksi Lokananta dulu,” ujar pemuda yang dikenal dengan mas Jaki.

Wendi Putranto, manager bandSeringai dan mantan Editor RSI menganggap Lokananta telah mengambil langkah paling logis untuk membenahi sektor pengarsipan musik Indonesia dengan cara digitalisasi. Digitalisasi, selain mempermudah aksesibilitas masyarakat dengan musik Indonesia, menurut Bemby juga bisa

membantu finansial dari Lokananta sendiri yang sedari dulu hanya mengandalkan pemasukan dari pengunjung museum dan penyewaan studio rekaman untuk menutupi biaya operasional sebanyak 200 jt rupiah per bulan .

Sriyono merasa kesulitan jika hanya mengandalkan dua sektor itu untuk menutupi biaya operasional. Maka dari itu, Lokananta mulai menjual souvenir seperti kaos, totebag, serta stiker. Setelah melihat pasar yang ada saat ini, Lokananta juga membuka jasa percetakan kaset, salah satu penggunanya adalah band duo dari Semarang, Figura Renata.

Bima Sinatrya, satu dari duo Figura Renata, tertarik mencetak di Lokananta karena Lokananta memiliki nilai sendiri sebagai studio rekaman tertua di Indonesia. “Kualitas dan vintage vibes-nya yang bikin aku dan Devia tertarik untuk mencetak di Lokananta,” begitu terangnya.

Selepas melakukan perjalanan di Lokananta, Sriyono akan selalu meminta satu hal kepada para pengunjung di Lokananta, “Tolong jangan pernah lupakan Lokananta dan bawa Lokananta pada topik obrolan kalian, dari situ kami tetap bisa berjalan.”

35 EDISI 1 2019 | NUANSA |
Doni Darmawan
Doc.
Nuansa/ Doni Darmawan

Bedhaya Ketawang, Tarian Pusaka Keraton Solo

Setiap kali diselenggarakan acara

Tingalan Dalem Jumenengan atau

kenaikan tahta raja Kasunanan Surakarta, tari Bedhaya Ketawang pasti ditampilkan. Prosesinya diawali oleh pasukan yang menuju ke alun-alun keraton. Raja akan muncul dari Dalem Ageng atau aula besar, kemudian duduk di atas Dampar Kencana, singgasana yang dikeluarkan hanya saat acara ini berlangsung. Semua bangsawan, tamu dan abdi dalem duduk menghadap Raja. Setelah itu, muncullah sembilan penari gadis dari Dalem Ageng menuju ke pendapa, berurutan satu per satu, lalu mengintari Sinuhun (Raja) yang duduk di sebelah kanannya.

Kesembilan penari tersebut mengenakan dodot bangun talak, kain panjang berwarna dasar biru tua dengan warna putih di bagian tengah. Sedangkan lapisan bawahnya menggunakan cindhe kembang, berwarna ungu lengkap dengan perhiasan pending bermata dan buntal. Wajah mereka dirias layaknya pengantin putri dengan sanggul bokor mungkurep lengkap dengan perhiasannya yang terdiri dari centhung, garudha mungkur, sisir jeram sejajar, cundhuk menthol serta mengunakan bunga tiba dhadha di bagian kanan. Tarian Bedhaya Ketawang ini merupakan tari sakral bagi Kasunanan Solo yang hanya dapat ditampilkan pada acara ini saja.

Kesakralan tarian inilah yang membuat tim Nuansa tertarik. Kami lantas bertemu dengan seorang abdi dalem keraton yang akrab disapa Pak Trimbil. Ia yang memandhegani kebudayaan di Keraton Surakarta. Kami disambut dengan ramah saat menyambangi rumahnya yang jaraknya sekitar 300 meter dari keraton. Saat kami hendak wawancara, ia sedang menggarap musik tarian. Setelah selesai dengan musiknya, kami pun memulai pembicaraan. Tari Bedhaya Ketawang sendiri sudah menjadi pusaka bagi Keraton

Solo, dan tarian ini hanya boleh dimainkan saat acara jumenengan dan saat latihan di keraton pada malam anggoro kasih, begitu katanya. Kesakralan tarian ini, membuat banyak syarat harus dipenuhi sebelum ditarikan.

“Syarat menarikan tari Bedhaya ketawang ini harus dalam keadaan suci, tapi jika tiba-tiba penari berhalangan maka akan diadakan chaos dhahar ke Ratu Kidul sebagai permohonan ijin untuk menarikan tarian tersebut,” tambahnya. Selain itu, sebelum mulai menari, para penarinya pun harus dipingit di dalam keraton selama tiga hari. Hal tersebut diungkapkan oleh Widya, siswi SMK N 8 Surakarta yang pernah mementaskan tari Bedhaya Ketawang saat Jumenengan Raja Pakubuwono ke-14. Mulai hari kedua pingitan, penari diberi rias pada bagian kepala dengan warna hijau.

“Jadi hari pertama itu masih biasa, hari kedua sore sudah mulai paes yang kerangkanya itu lho, Mbak, terus malemnya diisi warna hijau terus besoknya dihapus dan dipaes lagi,” tutur Widya dengan logat Jawa yang khas. Selain dipingit, ia pun harus berpuasa sehari sebelum acara. Tujuannya agar diberi kelancaran saat menari. Keesokan harinya riasan tersebut dihapus dan diganti lagi dengan riasan yang sama untuk melakukan gladi bersih.

Sebelum acara jumenengan, penari chaos dhahar sebanyak lima kali, yaitu menghadap ke selatan untuk Ratu Kidul, ke utara bhatari durga, menghadap ke barat Ratu Sekar kedhaton, dan ke selatan lagi untuk berpamitan dengan Ratu Kidul.

Mitos dan Makna Tari Bedhaya Ketawang

Menurut kitab Wedhapradangga, tarian ini merupakan karya dari Sultan Agung (1613-1645). Trimbil menceritakan bahwa awal mula tarian ini yaitu pada saat Sultan Agung bersemedi, kemudian ia mendengar suara senandung. Sultan Agung pun sangat terkesima dengan suara itu dan akhirnya ia

susun menjadi Bedhaya Ketawang. Tarian ini disakralkan sebagai bentuk pelestarian hubungan mistis antara keturunan panembahan senopati dengan penguasa laut selatan yaitu Ratu Kidul. Wujud dari hubungan ini dalam kehidupan seharihari dinyatakan bahwa Kanjeng Ratu Kidul bersama bala tentaranya akan selalu membantu dan dilanjutkan dengan saling menjalin percintaan.

Menurut Sinuhun Paku Buwana X, Bedhaya Ketawang melambangkan cinta birahi Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senapati. Semua pergerakan pada tarian ini melukiskan bujuk rayu dan cumbu birahi, tetapi selalu dapat dielakkan oleh Sinuhun. Sehingga Ratu Kidul pun memohon supaya Sinuhun tidak pulang, melainkan menetap di samudera dan menetap di Sakadhomas Bale Kencana, yaitu singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar Lautan.

Sinuhun pun tidak mau menuruti keninginan Ratu Kidul, karena masih ingin mencapai “sangkan paran”. Meskipun begitu, beliau masih ingin memperistri Ratu Kidul, turun temurun. Siapa pun keturunannya di tanah Jawa akan mengikat janji dengan Ratu Kidul pada detik saat peresmian kenaikan tahtanya. Sebaliknya Kanjeng Ratu Kidul pun diminta datang di daratan untuk mengajarkan tarian Bedhaya ketawang kepada penari-penari. Hal ini pun terlaksana sampai saat ini, yaitu pada hari Anggorokasih. Hari diadaknnya latihan tarian ini di keraton. Konon, pada saat tersebut Kanjeng Ratu Kidul akan hadir. Hal ini dirasakan oleh Widya saat acara berlangsung. “Aku ngrasanya malah pas tampil Mbak, kaya nari itu bisa enak banget gitu lho, tapi pas udah selesai kayak terasa berat,” ungkapnya.

Perubahan Tari Bedhaya Ketawang

Tuti hariyani, (2007, 49-51) mengemukakan dalam skripsinya yang berjudul “Pergeseran Makna Tari Bedhaya Ketawang di Keraton Surakarta Tahun 1920-2005” bahwa seiring zaman yang semakin modern, perkembangan Tari Bedhaya Ketawang sangat dipengaruhi kehidupan manusia. Hal ini sebagai bukti bahwa sifat kebudayaan akan senantiasa berubah setiap kurun waktu walaupun unsur aslinya akan tetap bertahan.

Pada awalnya tari Bedhaya Ketawang

36 | NUANSA | EDISI 1 2019 SENI PERTUNJUKAN

hanya boleh disaksikan kerabat keraton saja. Namun, sejak tahun 1920 mulailah diundang para tamu untuk menyaksikan acara jumenengan. Mereka diundang untuk memberikan ucapan selamat kepada Sri Susuhunan dan meminta izin untuk menarikan tarian tersebut. Seperti saat acara Jumenengan Raja Paku Buwana XIII. Acaranya dihadiri oleh para pejabat seperti Menteri Koordinator Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, Kapolda Jateng, Irjen Pol dan lain-lain. Selain itu, pengambilan gambar dahulu dianggap tabu, karena dianggap akan mengurangi kesakralan yang terkandung dalam Tari bedhaya Ketawang. Namun, sekarang diperbolehkan dalam mengambil gambar untuk keperluan dokumentasi.

Selain itu, ada pula perubahan dalam pemilihan penari. Awalnya, Tari Bedhaya ketawang hanya boleh ditarikan oleh abdi dalem keraton saja. Sementara sekarang, siapa pun boleh menarikan, selama diizinkan oleh keraton. Hal tersebut dilakukan karena pada saat ini banyak kerabat keraton yang tinggal di luar keraton, sehingga dibolehkan agar tarian tersebut tetap bisa dilestarikan. Contohnya adalah Widya, yang ditunjuk sekolahnya untuk mengikuti pemilihan penari Bedhaya Ketawang yang dilakukan oleh Gusti Menul (kerabat keraton). Padahal ia bukanlah seorang abdi dalem

keraton. Sebenarnya, hal ini menimbulkan pro dan kontra antara kerabat-kerabat keraton. Sebagian kerabat keraton yang kental dengan tradisi menyuruhnya untuk tidak menarikan tarian tersebut karena ia bukan abdi dalem. “Ada pro dan kontra, yang kubu kontra itu kaya ngojok-ngojoki, kamu jangan narikan ini nanti kena kualat.” ucap gadis asal Bojonegoro tersebut saat kami wawancarai di Taman Balekambang Surakarta. Selain itu, pada zaman dahulu para penari yang sedang dalam keadaan haid tidak diperbolehkan menarikan tarian ini. Tapi sekarang diperbolehkan, dengan syarat meminta ijin ke Kanjeng Ratu Kidul dengan melakukan chaos dhahar.

Perubahan lain pada tarian ini yaitu pada lama pementasanya. Sebelum masa pemerintahan Paku Buwana X, durasi pementasan Tari Bedhaya Ketawang adalah dua setengah jam. Namun, setelah masa Paku Buwana X, durasi tarian dipersingkat menjadi satu setengah jam dengan memotong bagian tarian yang diulangulang. Selain itu, pementasan tari Bedhaya Ketawang pun pernah dipersingkat lagi menjadi setengah jam saja, yaitu pada saat Tingalan Jumenengan ke-14 Raja Pakubuwana XIII. Hal tersebut dilakukan karena Raja sedang sakit.

Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan menyebabkan pergeseran

makna Tari Bedhaya Ketawang itu sendiri. Hal ini diungkapkan oleh Supriyanto dengan jurnalnya yang berjudul Eksistensi Tari Bedhaya Ketawang. Makna yang bergeser tersebut antara lain makna kebesaran dan kekhusukan tari bedhaya ketawang yang disebabkan oleh berubahnya fungsi dan kedudukan keraton dalam ketatanegaraan dan Politik di Indonesia. Selain itu, pergeseran makna kekhusukan pada saat pegelaran tarian ini pun terlihat ketika hadirin dengan bebas makan dan merokok pada saat tarian berlangsung. Menurut Supriyanto, pergeseran yang dialami tari Bedhaya Ketawang ternyata membawa perkembangan, tarian itu, menjadi lebih dikenal oleh masyarakat sehingga dapat dipelajari dan dijadikan aset budaya.

37 EDISI 1 2019 | NUANSA |
Idhea Pryas Islami FOTO bersama penari Bedhaya dengan Sultan usai acara Jumenengan di keraton. (Doc. Pribadi/Widya)

Bahasa Kejujuran, Bahasa Perlawanan Samin

Sabtu masih diselimuti dingin saat saya menyiapkan motor. “Kita janjian pukul delapan. Cukup, kan?” tanya rekan saya, Lala Nilawanti usai melihat jam ponsel menunjukkan pukul 05.20. Kami bergegas melewati jalan Pantura dari Semarang hingga Demak, kemudian masuk jalan alternatif kecamatan Gajah, kecamatan Undaan (Kudus), hingga sampai di Sukolilo, Pati.

Kampung yang kami tuju adalah Dukuh Bacem, Desa Baturejo, sebuah tempat yang berada di dekat pegunungan Kendeng Utara. Akses ke sana tidak sulit, sama seperti kebanyakan desa di Pati dengan tipikal jalan cukup sempit dan banyak lubang. Pukul 08.00 kami sampai di tujuan.

Rumah-rumah di wilayah masyarakat Samin relatif tak berbeda. Sebagian masih berdindingkan kayu, sebagian sudah bertembok. Saya baru merasakan nuansa adat saat masuk rumah Gunretno, salah

satu tokoh Sedulur Sikep di Sukolilo.

“Bapak nembe siram. Mangga pinarak (Bapak sedang mandi. Silakan duduk),” kata putrinya. Di ruang tamu, terpajang beberapa gambar; Samin Surosentiko, Sedulur Sikep, dan foto-foto keluarga. Ada tumpukan kecil gabah di sisi kiri.

Sekitar sepuluh menit kami menunggu di kursi pojok ruangan. Begitu di ruang tamu, Gunretno lantas duduk di bawah potret Samin Surosentiko. Ia lalu meminta kami mendekat. Dari sudut ini, saya bisa melihat mobil di garasi samping kanan rumah dan sapi di kandang. “Saya baru dari sawah,” katanya dalam bahasa Jawa ngoko, bahasa yang dominan ia gunakan selama mengobrol. Menurutnya, orang Samin dekat dengan sawah. Mereka petani sejati. Meski sekarang ada sebagian yang merantau dan berdagang, sawah tetap ibarat napas bagi Sedulur Sikep; benar-benar dekat.

Suku Samin memang memegang banyak nilai, termasuk keapaadaan dan kejujuran.

Gunretno mengatakan, berbohong adalah pantangan. Orang Samin harus berucap apa adanya. Jika ada pertanyaan yang tidak dipahami, mereka akan bertanya balik hingga paham agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Tabiat jujur masyarakat Samin bermula pada zaman kolonialisme Belanda. Harry J. Benda dan Lance Castles mencatat dalam bukunya yang berjudul The Samin Movement (1960). Dalam buku ini disebutkan, ajaran Samin mulai tumbuh tahun 1890-an di Randublatung, sebuah kecamatan di sebelah tenggara Blora. Pendiri gerakan tersebut Samin Surosentiko, pria kelahiran 1859 bernama asli Raden Kohar.

Persekutuan Belanda dan (sebagian) pribumi membuatnya berang. Samin menghimpun kekuatan dari akar rumput. Pelan-pelan, ia mengumpulkan para petani yang jadi korban penarikan pajak tinggi. Di samping untuk penyamaran, inilah alasannya memilih nama Samin alih-alih Raden Kohar. Nama Samin lebih mencirikan kaum wong cilik

Samin dan para pengikutnya melawan secara halus, sama seperti Gandhi dengan Ahimsa-nya. Kepada para pengikutnya— yang selalu menyebut kalangan sendiri Sedulur Sikep, Samin mengajak untuk melawan segala bentuk kesewenang-

38 | NUANSA | EDISI 1 2019
SENI BAHASA FOTO sedulur Sikep yang ada di tembok rumah Gunretno. (Doc.BP2M/Lala Nilawanti)

wenangan dengan bahasa. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka menggunakan bahasa Jawa ngoko kepada siapa pun karena menganggap semua orang tak ada bedanya. Baik itu priyayi maupun petani. Maka dari itu, penjajahan tak pantas dilakukan karena sejatinya semua sama.

Paulus Widiyanto merekam satu cerita perlawanan dari seorang wartawan yang berkunjung ke Rembang. Dalam artikel berjudul “Samin Surosentiko dan Konteksnya” di jurnal Prisma (8/8/1983), ia menulis kisah seorang patih utusan pemerintah kolonial yang berdebat dengan seorang petani. Si patih kesal karena petani yang ia tagih tak mau membayar pajak meski sudah dijelaskan panjang lebar.

“Saya tak punya utang kepada negara. Wong Sikep tak kenal pajak!” bantah si petani. Gunretno menambahkan cerita lain tentang bahasa yang jadi senjata melawan Belanda.

“Dulu saat ditanya petugas pajak dari Belanda soal hewan ternak seperti sapi, Sedulur Sikep akan jawab satu meski jumlah sapinya ada tiga. Bagi kami, sapi ya sapi. Itu satu hakikatnya. Kalau dua, itu jantan dan betina,” terang Gunretno dengan kolor hitam khas Samin. Pemikiran Sedulur Sikep memang cenderung berbeda. Keunikan itu tercermin dari bentuk bahasa. Jika masyarakat Jawa umumnya menyebut sawah dengan “sawah” atau “sabin”, maka orang Samin menyebutnya “garapan”. Menurut Hari Bakti Mardikantoro (3/5), peneliti sekaligus dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang, perbedaan kata tersebut mencerminkan etos kerja tinggi masyarakat Samin. Contoh lain adalah jika ditanya usia, orang Samin akan menjawab umur mereka satu untuk selamanya. Tak peduli anak-anak, muda, atau tua.

Pada awal kemunculannya, pemerintah kolonial belum menganggap kaum Samin sebagai ancaman. Barulah tahun 1905, pemerintah kolonial Belanda dan kroonikroninya mulai pusing. Perlawanan orang-orang Samin bukan hanya lewat kata-kata, melainkan juga tindakan. Mereka sama sekali tidak mau membayar pajak. Pengikutnya pun mencapai 5000 orang. Tahun 1907 para pengikut Samin Surosentiko mengangkatnya sebagai

Ratu Adil dengan gelar Prabu Pangeran Suryangalam. Akhirnya, atas perintah

Belanda, Raden Pragola, Asisten Wedana

di Randublatung segera menangkapnya tanggal 18 Desember untuk kemudian diperiksa di Rembang dan dibuang di Padang. Samin Surosentiko menghabiskan sisa hidupnya di pembuangan hingga napas penghabisan (1914).

Dari Belanda ke Pabrik Semen

Nilai kejujuran dalam tindak-tutur masyarakat Samin terus berusaha dipertahankan dari waktu ke waktu. Menurut Gunretno, kejujuran adalah ruh Sedulur Sikep. Maka dari itu, sama halnya pendahulunya yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan, ia berusaha menanamkannya pada anak-cucu. Alasan inilah yang membuatnya vokal menuntut penutupan pabrik semen di wilayah pegunungan Kendeng.

Persengketaan ini bermula pada 2006. Dalam catatan Watchdoc, PT. Semen Gresik (sekarang bernama Semen Indonesia) mencoba mendirikan pertambangan di Sukolilo. Masyarakat sekitar menolak karena merasa keberadaan pabrik akan mengancam keberlangsung mata air. Jika mata air rusak, sawah akan kering. Mata pencaharian akan hilang seiring dengan musnahnya kelestarian alam. Pabrik pun digugat. Pada tahun 2009, mereka memenangkan gugatan di PTUN bahkan MA. Namun masalah tak berakhir karena pabrik pindah di sisi Pegunungan Kendeng lain (Rembang). Kini, bahkan para aktivis juga berjuang melawan PT. Indocement di Pati.

Kekhawatiran kehancuran sawah menjadi akar perlawanan Gunretno. Suaranya memang bukan suara Samin keseluruhan, tetapi ajarannya tentang bahasa kejujuran membuatnya harus menyatakan kebenaran. “Kami diajari jujur dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Soal pabrik semen, jika kehadirannya merusak alam sekitar, maka kami akan menyuarakan perlawanan,” terangnya. Bersama beberapa sedulurnya, ia aktif di Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK), sebuah komunitas antisemen yang tak hanya terdiri atas orang Samin.

Sikap Samin soal semen memang sempat menjadi kontroversi. Beberapa media menyatakan Samin menolak semen, sedangkan sebagian media mewartakan tidak. Poso, tokoh Samin dari Blora mengungkapkan Sedulur Sikep netral soal

pabrik semen. Mereka hanya berharap, jika pabrik semen dibangun maka harus memberikan manfaat bagi sekitar. Hal ini diamini Budi Santoso, tokoh Samin asal Kudus. Menurutnya, bahkan orang Samin tidak patut berdemo. “Nyuoro mawon ora entuk, nopo meneh demo (Bersuara saja tidak boleh, apalagi demo),” ucapnya. Budi menyatakan demonstrasi tidak cocok dengan ajaran Samin, bahkan melenceng. Jika pada kemudian hari pabrik semen merusak lingkungan, maka biar alam membalas.

Polemik perbedaan sikap ini memang terjadi di kalangan Sedulur Sikep. Dalam aksinya, Gunretno mengaku tidak mengatasnamakan Samin. Terkait dengan ajaran, ia tetap beda pendapat. Menurutnya, ada tokoh Samin bernama Mbah Tarno yang lantang menolak pendirian pabrik. Samin berhak melawan dengan bersuara. Maka ia tetap berjuang. Ia menciptakan tembang yang kini populer di kalangan penolak pabrik semen: Ibu bumi wis maringi. Ibu bumi dilarani Ibu bumi kang ngadili

Terlepas dari perbedaan pandangan ini, kejujuran Samin memang menjadi momok bagi penindas, terutama pada masa pemerintah kolonial. Paulus mencatat, sebutan Samin menjadi olok-olok yang secara politis diciptakan oleh pemerintah. Orang-orang Samin dicitrakan sebagai orang bodoh, tak berpendidikan, dan pembangkang.

Sekarang pandangan tersebut mulai berubah. Seiring dengan kemudahan akses pemikiran Samin, kaum yang dulu dianggap rendah itu kini dipuja-puja. Kejujuran Samin memberikan teladan bagi banyak orang. Sebagai penerus, Gunretno berkomitmen menjaga nilai ini agar tetap lestari. Menurutnya, para pemuda Samin juga masih memegang kejujuran dengan baik.

Gunretno tersenyum. Sekitar pukul 11.00 kami pamit. Ada banyak tamu di rumahnya. Sebelum meninggalkan rumah, ia berpesan, “Jujur iku ya dilakoni wae.” Jujur itu cukup dilakukan saja.

39 EDISI 1 2019 | NUANSA |
Ahmad Abu Rifai

Stunting (Masih) Perlu Diperhatikan

Data terakhir dari Dinas Kesehatan Kota Semarang

menunjukkan angka stunting hasil Pemantauan Status

Gizi (PSG) tahun 2017 yaitu 16.89%, lebih rendah dari target , yaitu 17.00%. Meski begitu, stunting masih perlu diperhatikan oleh masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki anak di bawah usia 2 tahun.

Akmal Nanda, balita laki-laki ini tampak sehat dan normal seperti anak seusianya. Hanya saja, ukuran tubuhnya terlihat lebih pendek dari teman seusianya. Ia mengalami stunting

Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia menunjukkan angka stunting di Indonesia masih di atas 30%, yakni 30.8% pada tahun 2018. Angka tersebut masuk dalam kategori tinggi yang melebihi batas prevalensi angka stunting yang ditetapkan oleh WHO, yaitu sebesar 20%.

Setiap dinas kesehatan di wilayah kabupaten/kota memiliki target masingmasing dalam membantu upaya pemerintah untuk menurunkan angka stunting. Di Kota Semarang, upaya penurunan angka stunting salah satunya dilakukan dengan menurunkan target anak-anak yang mengalami stunting dari 20.00% pada tahun 2016 menjadi 17.00% pada tahun berikutnya. Upaya yang sudah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang di antaranya adalah dengan cakupan ASI Eksklusif, pemberian suplemen sirup Zinc pada bayi baru lahir, pemberian vitamin A pada bayi, balita, dan ibu nifas, serta melakukan orientasi stunting pada tim penggerak PKK, ahli gizi, dan dokter umum.

Stunting bukan gizi buruk

Arif Rahmat, dosen Prodi Gizi Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas

Negeri Semarang (Unnes) mengungkapkan, secara definisi stunting dapat dimaknai sebagai manifestasi dari malnutrisi yang terjadi dalam jangka waktu yang lama. Hal tersebut dipengaruhi oleh pola asuh dan pola makan manusia sejak bayi. Arif menyarankan supaya orang tua senantiasa mencukupi kebutuhan nutrisi karbohidrat, protein, dan lemak secara seimbang sejak dini.

Menurut Arif, meski hampir mirip, dampak yang ditimbulkan dari stunting berbeda dengan gizi buruk. Stunting berpengaruh langsung pada kemampuan kognitif. Orang yang mengalami stunting biasanya memiliki IQ yang lebih rendah dari normal. “Dari sebuah penelitian yang pernah saya baca, stunting juga mungkin diturunkan secara genetis meski dengan presentase yang amat kecil berkisar 10%15%,” jelasnya.

Bukti bahwa stunting sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor genetik bisa ditemukan pada Akmal Nanda. Anisatun, ibu dari Akmal menuturkan penyebab stunting yang dialami oleh Akmal adalah karena kelahirannya yang prematur. Akmal lahir saat usia kandungan Anisatun masih 7 bulan. Bobot Akmal saat itu 1.3 kg saja, jauh dari ukuran normal yang biasanya di atas 3.0 kg. Hal tersebut membuat Akmal mendapat penanganan khusus dengan dimasukkan ke dalam terlebih dahulu setelah lahir.

“Ini bukan pertama kali saya melahirkan bayi prematur, kakaknya, Alma juga dulu prematur namun tidak separah Akmal,” ujar Anisatun. Tetapi tubuh Alma kini sudah tumbuh normal dan akan segera masuk Sekolah Dasar. Anisatun berharap hal itu juga terjadi pada Akmal. “Sebenarnya dulu saya juga dilahirkan prematur oleh ibu,” kata Anisatun.

Menurut dokter, saat kelahirannya, Akmal termasuk bayi yang normal, hanya saja ukuran tubuhnya kecil. Oleh karena itu, bahkan sejak Akmal lahir, tiap bulan Anisatun mengusahakan rutin untuk membawa Akmal ke Puskesmas Sekaran. Ketika ditanya mengenai peran pihak pemerintah dalam melihat kondisi Akmal, Anisatun mengatakan dokter pernah sekali berkunjung ke rumah saat usia Akmal masih beberapa minggu. Selanjutnya Anisatun hanya berusaha untuk rutin memeriksakan putranya di puskesmas. Setiap kali periksa,

40 | NUANSA | EDISI 1 2019 KESEHATAN

Akmal akan mendapatkan sirup Zink, Biskuit, dan Vitamin.

Sejauh ini Anisatun mengaku tidak mengalami kesulitan dalam mengasuh Akmal. Dari perkembangannya, Akmal termasuk bayi normal yang bisa merangkak, berdiri, dan belajar berbicara. Nafsu makan pun tidak bermasalah. Tetapi hal yang disayangkan adalah ukuran tubuhnya yang memang dikategorikan ‘pendek’.

Ciri lain gizi buruk dengan stunting dapat dilihat dari metode pengukuran deteksi stunting yang berbeda dengan gizi buruk. Stunting hanya berfokus pada pengukuran Tinggi Badan (TB)/umur, sedangkan gizi buruk memiliki beberapa kategori untuk berat badan (BB)/ tinggi dan berat badan (BB)/ umur. “Untuk mengetahui ambang normalnya, acuan baku yang dapat digunakan salah satunya bisa dilihat dari tabel WHO Antro,” tutup

Arif.

Kegiatan yang memiliki pengaruh cukup dominan dalam mendeteksi stunting salah satunya adalah posyandu. Kegiatan tersebut turut andil mencegah peningkatan angka stunting. Salah satunya adalah dengan dilaksanakannya operasi timbang tiap tahun. Operasi ini biasanya dilaksanakan pada Agustus–September, dan wajib diikuti oleh balita usia 0–59 bulan. Dalam operasi ini balita akan ditimbang berat badan dan diukur tinggi badannya. Stunting akan terjadi apabila perhitungan berat badan (BB)/tinggi badan (TB) menghasilkan standar deviasi kurang dari 2.

Putri Prihati, petugas gizi Puskesmas Sekaran mengemukakan, kendala yang biasanya dijumpai dalam pelaksanaan operasi timbang ini adalah sedikitnya jumlah balita yang ikut berpartisipasi meski sosialisasi telah dilakukan dari jauh-

KEADAAN anak stunting. (Ilustrasi :Amilia) jauh hari. “Padahal, apabila seorang balita baru ketahuan stunting di atas usia 2 tahun, maka penanganan untuk pemulihannya lebih sulit dibanding pada balita yang sudah terdeteksi sejak dini,” tuturnya.

Endah Emayanti, kepala bidang kesehatan masyarakat Dinas Kesehatan Kota Semarang mengatakan, walau sudah dilakukan berbagai macam upaya untuk mencegah stunting, sayangnya peran masyarakat di posyandu masih minim. Sarana prasarana yang disediakan oleh posyandu terutama untuk antropometri juga belum sesuai dengan standar.

41 EDISI 1 2019 | NUANSA |
Royyan Fais

Catatan Menemukan Museum Anak Kolong Tangga

Museum Anak Kolong Tangga telah tutup sejak Juli 2017. Kini ia sedang berjuang untuk hidup kembali.

Ini mungkin bukan sebuah reportase yang pernah dibayangkan, lebih-lebih disiapkan—karena itulah saya menyebutnya sebagai catatan. Saya menulisnya beberapa hari setelah perjalanan dari Jogja-Solo-Semarang. Banyak hal-hal menyesakkan bahkan mengejutkan, yang saya lihat dan alami saat menjelang, selama, dan setelah perjalanan ini.

Untuk banyak alasan, beberapa hal memang dilakukan; menghabiskan waktu lebih kurang enam jam di motor untuk sampai ke Yogyakarta, berjejal di dalam kereta, dan nyaris berdiri sepanjang perjalanan dari Solo menuju Jogja. Semua itu dilakukan sambil menahan dahaga dan lapar di siang hari, bermodalkan semangkuk mi instan goreng saat sahur di kafe Basabasi Jogja. Catatan ini menarasikan liputan di Yogyakarta-Solo saat bulan Ramadan 1440 H.

Skema Perjalanan

Nama Museum Anak Kolong Tangga saya dapat dari hasil pencarian data di Twitter—saat kami beristirahat di salah satu mini market di Magelang. Karena sudah hampir waktu buka puasa, akhirnya kami terfokus mencari tempat untuk melepas dahaga dan lapar. Sepanjang Senin di Jogja, kami tidak melakukan liputan apaapa.

Kami bermalam di kafe Basabasi sambil menikmati secangkir kopi dan menyantap semangkuk mi instan saat sahur. Agar hemat waktu dan bisa mewujudkan keinginan besar saya untuk naik kereta, usai makan sahur kami liputan di Solo terlebih dahulu. Liputan di Museum Lokananta selesai (7/5). Kami bergegas ke stasiun Purwosari untuk melakukan perjalanan lagi ke Yogyakarta. Sekitar pukul 12 siang kereta

kami berangkat. Dengan sedikit menahan lapar dan dahaga, antusiasme saya tidak berkurang sama sekali untuk menemukan banyak mainan anak tradisional di Museum Anak Kolong Tangga.

Alamat tersebut menunjukan Kesekretariatan Museum Anak Kolong Tangga, tetapi yang kami dapati di sana adalah galery art RC Studion. Rumah Joglo beratap genteng dengan halaman yang luas ada di hadapan kami. Kami dipersilakan masuk tanpa harus membayar tiket. Ada banyak barang seni di sana. Barang-barang unik macam topeng, lukisan, miniatur mainan dan sebagainya terpajang di atas meja dan ada pula di dalam lemari kaca lengkap dengan bandrol harga di badan barang seni tersebut. Saya sempat bertanya pada penjaga perempuan tempat tersebut, Widya Handayaniati Soehardjo. Katanya, harga topeng di sana sekitar 2 juta. Widya tidak berkenan mengomentari banyak soal tempat tersebut, “Saya tidak berani berkomentar banyak, Mbak. Di sini ada pihak khusus untuk informasi soal RC Studion, dan kebetululan beliau baru saja pergi.” Kami diminta menunggu orang tersebut jika ingin

wawancara. Namun karena pertimbangan keberangkatan kereta pukul 5 sore, kami memutuskan pergi.

Catatan yang saya dapat soal Museum Anak Kolong Tangga memang hanya bersumber dari portal yang saya akses lewat gawai. Kami berbekal alamat dari portal daring itu, Jalan Tirtodipuran No.26, Mantrijeron, Kota Yogyakarta. Alamat ini lalu kami telusuri dengan mengakses Google Maps . Sesampainya di Stasiun Tugu Yogakarta kami memesan Go-Car untuk sampai ke alamat tujuan. “Selama kurang lebih 3 tahun sebagai sopir online, saya tidak pernah mendengar Museum Anak Kolong Tangga, Mbak,” ujar sopir Go-Car tersebut sambil terus mengamati gawainya. “Bapak asli sini?” tanya saya. “Iya, saya orang asli sini, Mbak.”

Atas kejanggalan itu, setelah keluar kami terus mengok kanan-kiri dan memeriksa gawai barangkali salah alamat. Rupanya kami tidak salah alamat. Faktanya Museum Anak Kolong Tangga memang sudah tidak ada. Mesin pencarian Google saya menunjukkan artikel yang menyatakan “Selamat Tinggal Museum Anak Kolong

42 | NUANSA | EDISI 1 2019
TEMPAT KELANA

Tangga” bertanggal 4 Juli 2017. Sontak saya mengumpat karena artikel ini. Rupanya RC Stadion merupakan sebuah studio dengan hasil karya seni dekorasi, mainan, dan pernak-pernik perhiasan. Tepat di belakang bangunan tradisional RC Studion ini, gudang tempat mainan Kolong Tangga disimpan. Di sinilah para relawan Museum Anak Kolong Tangga mengumpulkan dana dari hasil penjualan di RC Studio untuk membeli gedung yang nantinya akan digunakan sebagai segala aktivitas program museum.

Sebelumnya Museum Anak Kolong Tangga ada di bawah tangga concert hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY) sejak tahun 2008. Koleksi museum tersebut awalnya berjumlah 4.000 objek, hingga tahun 2017 tercatat ada 18.000 objek koleksi. Konon, Museum Anak Kolong Tangga adalah museum anak pertama di Indonesia. Itu artinya ketidakjelasan hidup museum ini sekarang telah menelantarkan 18.000 harta karun bagi anak-anak Indonesia.

Narasi Nostalgia yang Gagal

Hal ini tidak mengejutkan di satu sisi, tetapi mengejutkan di sisi lain. Tidak

SALAH satu koleksi barang seni yang dipajang di atas meja RC Studion untuk dijual. (Doc. Nuansa/ Lala Nilawanti)

mengejutkan, sebab saya tahu hal memacam ini sering terjadi jika mudah percaya terhadap satu artikel di internet. Saya juga tidak getun harus bolak-balik Solo-Jogja karena saya penasaran dengan aroma kereta dan bisingnya stasiun. Tapi, sekaligus mengejutkan, karena pada dasarnya saya menduga telah banyak hal berubah dengan persepsi saya terhadap sebuah museum mainan tradisional.

Dan, saya ternyata benar. Museum mainan tradisional tersebut ditutup dengan alasan renovasi gedung. Namun sampai tahun ini Museum Anak Kolong Tangga wujudnya belum lahir kembali. Kenyataan ini lah yang membuat saya memaafkan kecerobohan saya sebagai seorang jurnalis. Saya merasa liputan saya soal Museum Anak Kolong Tangga gagal karena tidak berhasil mendatangi museum. Tetapi sayang rasanya jika catatan saya ini tidak dinarasikan, bahwa Museum Anak Kolong Tangga sebenarnya belum benar-benar hilang. Hanya saja saat ini mereka sedang berjuang untuk mendapatkan gedung. Museum ini kehilangan ruang kecilnya di bawah tangga gedung TBY. Direnovasinya TBY rupanya akhir dari Museum Anak Kolon Tangga, sebab setelah renovasi dilakukan bukan justru memberbaiki museum milik Yayasan Anak Dunia Damai, tetapi justru dijadikan loket penjualan tiket TBY. Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga akhirnya mati suri.

Ironisnya hingga kini Museum ini belum juga memiliki gedung. Para relawan Museum Anak Kolong Tangga terus melakukan upaya mencari donasi untuk mendapatkan gedung. Melalui RC Studio, Kolong Tangga menaruh harapan terhadap masyarakat Indonesia dan dunia untuk melihat mereka. Akun Instagram milik RC Studio, @doldolanan terus mengajak melihat dan berdonasi terhadap Kolong Tangga melalui #gedunguntukKOLONGTANGGA. Rudi Corens, Founder Museum Anak Kolong Tangga dan kurator ini dalam akun instagram tersebut berkomentar bahwa Kolong Tangga

sedang dalam keadaan tidak baik karena ketidakpercayaan, ketidaktertarikan, dan sebagainya. Dan ia tetap berharap gedung untuk Kolong Tangga.

Kartika Affandi, seorang seniman perempuan juga ikut mengapresiasi adanya museum anak ini. “Saya menganggap Kolong Tangga ini sangat diperlukan, karena anak-anak butuh pengetahuan. Jika Museum ini tutup dan tidak bisa memiliki gedung, sangat disayangkan karena koleksi Kolong Tangga akan rusak. Ini untuk anakcucu-buyut kita sendiri,” ujar Kartika Affandi dalam video yang berdurasi 30 detik di akun instagram Museum Anak Kolong Tangga, @kolongtangga 22 April 2019. Dimas Anggoro Saputro dalam tulisnnya yang berjudul Museum Anak Kolong Tangga, Riwayatmu Kini juga menuliskan bahwa pemerintah dalam hal ini tidak dapat membantu, sebab yayasan tidak mempunyai tanah untuk membangun museum. Masa iya, pemerintah tidak bisa berupaya apaapa untuk Kolong Tangga? Selasa (11/6) lalu saya mendapat kabar melalui akun @ doldolanan bahwa ada beberapa syarat yang tidak di setujui pihak Kolong Tangga atas upaya yang diajukan dinas.

Saya merasa sedikit beruntung tidak sampai di alamat yang tepat (TBY). Paling tidak sakit hati saya tidak terlalu, harus melihat tempat yang saya ingin singgahi sudah tidak lagi beroperasi. Sudah hilang. Paling tidak beberapa barang-brang di RC Studio memanjakan mata saya yang sebenarnya merindukan mainan anak tradisional. Kini saya meyakini untuk menemukan atau bahkan ingin kembali lagi bermain dengan mainan tradisional macam dulu, memang perlu kembali lagi ke kampung halaman. Di desa, saya akan lebih mudah menemukan mainan tradisonal meski tidak semudah masa kecil saya dulu. Narasi masa kecil saya dulu akan mudah saya temukan di sana, meskipun entah ditemukan atau tidak oleh anak-anak zaman sekarang.

43 EDISI 1 2019 | NUANSA |

Mengenal Kue Favorit Tempo

Dulu: Ganjel Rel

Peminat ganjel rel sudah tak banyak. Para penjualnya juga sudah tak sebanyak dulu.

Setidaknya, tidak lebih banyak dari orang-orang dulu, yang menjadikan kue ini sebagai favoritnya.

Namun ia tetap ada, sebagai bukti bahwa makanan

Indonesia terus berkembang dari waktu ke waktu.

Sore itu (29/04) Kota Semarang diguyur hujan deras. Tim Nuansa nekad menerjang hujan yang semakin deras. Sore itu kami sudah membuat janji temu dengan Aunil Marjuki, pembuat kue ganjel rel. Dalam perjalanan menuju Kelurahan Bringharjo, kediaman Aunil, lalu lintas sangat padat. Di beberapa titik, kami mengalami kemacetan karena air banjir menggenangi jalanan. Beberapa kendaraan bahkan sampai mogok karena banjir yang cukup tinggi. Sayangnya, banjir yang menghambat perjalanan, membuat kami tidak bisa melihat langsung proses pembuatan kue ganjel rel. Aunil telah menyudahi pembuatan ganjel relnya pukul 16.00. Di saat yang bersamaan, kami masih bergulat dengan banjir dan kemacetan.

Sebenarnya kami hendak putar balik dan kembali lagi esok hari begitu mendapat kabar tersebut. Namun mengingat perjalanan jauh yang sudah ditempuh, kami pun memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan. Singkat cerita, kami sampai di rumah Aunil. Rumahnya ada di kompleks sekitar Masjid Agung Jawa Tengah. Sesampainya di sana, hujan sudah reda.

Aunil segera menyilakan kami masuk ke dalam rumah. Di situlah kami dapat melihat beberapa kue ganjel rel sedang dipotong-potong dan dikemas dalam plastik kecil. Setelah menyilakan kami duduk, anak perempuannya membawakan kami teh hangat dan kue ganjel rel.

Begitu Aunil membuka cerita tentang pembuatan ganjel relnya, kami lantas teringat seorang pembuat ganjel rel legendaris di sekitar Kauman yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Sayang, tak ada yang mewarisi resep dan keahlian membuat ganjel rel tersebut. Beda dengan Aunil yang menurunkan resepnya pada sang anak, sehingga kue ganjel rel bisa terus diproduksi.

Ganjel Rel akan lebih banyak diproduksi menjelang puasa. Kue ini menjadi salah satu yang dinanti-natikan warga saat Dugderan. Biasanya mereka rela berhimpitan demi memperoleh kue ini. Kue ini akan dibagikan secara gratis. Ketika menjelang puasa, Aunil menjadi salah satu yang beruntung. Sebab selama sepuluh tahun ia dipercaya memproduksi ganjel rel untuk acara Dugderan. Setidaknya ia bisa membuat masyarakat bernostalgia dengan masa lalu. Dan membuat anak-anak muda mengingat kue favorit para pendahulunya.

Menengok Ganjel Rel di Masa Lampau

Nama ganjel rel terdengar asing, bahkan bagi anak muda asli Semarang sekalipun. Tak banyak yang tahu nama kue ini. Padahal, dulu, kue ini menjadi jajanan favorit

masyarakat. Mulai dari anak kecil, remaja, sampai orang tua, semua menyukai kue ini, begitu kata Aunil. Dengan uang Rp. 200,-, kue ini sudah bisa dinikmati, biasanya disajikan dengan secangkir teh hangat. Aunil kecil dulu membelinya dari gerobag kue yang sering lewat di depan rumahnya. Sayangnya, ganjel rel sudah sulit ditemukan. Bahkan di pasar-pasar tradisional seperti Johar sekalipun.

Ganjel Rel ini terbuat dari gaplek, singkong yang sudah dikupas lalu dikeringkan di bawah sinar matahari. Karena terbuat dari gaplek, teksturnya menjadi keras dan bantat. Warnanya coklat, seperti besi yang menjadi ganjalan rel kereta api. Warna itu didapatkan dari campuran gula jawa. Konon, masyarakat membuat roti ini sebagai tiruan roti yang sering dimakan oleh noni-noni Belanda.

Penjajahan di zaman Belanda tentu saja membuat masyarakat mengalami kesulitan ekonomi. Sehingga mereka belum mampu menjangkau bahan-bahan kue yang mahal saat itu. Apalagi untuk membeli roti itu dari orang Belanda. Mereka kemudian membuatnya dari gaplek dengan citarasa rempah-rempah yang saat ini menjadi ciri khas kue ganjel rel. Meski teksturnya keras, roti ini tetap menjadi favorit masyarakat.

44 | NUANSA | EDISI 1 2019 KELANA
KULINER

Beberapa waktu lalu, kami mencoba bertanya pada para pedagang di sekitar pasar Johar. Beberapa dari mereka nampaknya bingung harus menjawab apa saat ditanya mengenai keberadaan ganjel rel. Setelah cukup lama diam, mereka hanya menjawab tidak tahu. Namun ada pula yang meminta kami mencari di tempat lain. Kami kemudian beranjak ke sebuah toko legendaris di Semarang, Toko Oen. Toko roti yang sudah berdiri sejak tahun 1936 di Semarang ini ternyata masih menjual kue ganjel rel. Dengan uang Rp. 6.000 kita bisa mendapatkan sepotong kue berukuran sekitar 10x5 cm. Toko ini menjual kue Ganjel Rel setiap hari.

Selain namanya yang unik, kue ini juga memiliki filosofi yang mendalam. Nama ganjel rel diberikan lantaran bentuknya menyerupai ganjalan rel kereta api, memanjang dan berwarna coklat. Ganjel rel akan dibagikan secara gratis di acara tahunan Kota Semarang menjelang puasa. Kue ini mulai dibagikan sepuluh tahun lalu, atas perintah dari Walikota. Kue ini dijadikan sebagai pengingat sekaligus harapan. Pengingat agar ganjalan-ganjalan dari dalam diri supaya disingkirkan, dan bulan suci dapat berjalan dengan lancar, sehingga sampai kepada tujuan, yaitu hari raya Idul Fitri.

Aunil, sebagai pembuat roti ini memili-

ki filosofi tersendiri. Ganjel rel ibarat ganjalan rel kereta. Jika tertata, sesuai jalurnya, maka kereta akan sampai tujuan dengan selamat. Dengan ganjel rel, ada harapan agar diberikan keteguhan hati. Tetap dijaga dari jalur selama bulan suci berlangsung. Sehingga nantinya, sampai kepada hari, di mana semua orang menjadi fitri kembali dengan selamat.

Bertahan Melintas Zaman

Di tangan Aunil ganjel rel dibuat lebih bersahabat dengan kaum muda. Bahan yang dulu dari gaplek ia ganti dengan tepung. Telur dan pengembang menjadi tambahannya. Barangkali dulu pembuat ganjel rel belum mengenal telur dan lain-lainnya sebagai bahan roti. Sehingga rasanya masih bantat. Kini ganjel rel dibuat tetap keras, namun lebih lembut, dan tentu tidak bantat seperti dari gaplek. Cita rasanya tetap dipertahankan. Rasa rempah tetap dibuat dari kayu manis, cengkeh, dan rempah lainnya. Warnanya pun masih sama, yaitu coklat tua. Warna ini berasal dari gula aren atau gula palm. Kemudian di atasnya tetap bertabur wijen.

Ganjel rel menjadi salah satu bukti bahwa Belanda pernah datang ke Indonesia.

Dan saat itu, Indonesia berlimpah rempah serta palawija-bukankah itu alasan para penjajah datang ke Indonesia?. Masyarakat zaman dulu memanfaatkan apa yang ada untuk memenuhi kebutuhannya. Dan dengan kreativitas yang sederhana, terciptalah ganjel rel, kue khas Semarang yang menjadi favorit warganya. Kue warisan zaman dulu ini sering disebut sebagai Koewih Tempoe Doloe. Kita masih bisa menemukannya di beberapa toko oleh-oleh khas Semarang. Kepedulian segelintir orang, seperti Aunil dan Toko Oen, yang masih konsisten memproduksi kue ini tentu patut kita apresiasi. Jika tak ada yang melestarikan, maka generasi mendatang tak akan tahu seperti apa kue ini. Dengan Ganjel Rel, setidaknya kita bisa mengingat, Indonesia adalah negara yang kaya akan rempah-rempah. Kreativitas masyarakat zaman dulu pun menjadi contoh agar kita mampu memanfaatkan apa yang tersedia di bumi pertiwi demi kelangsungan hidup masyarakat. Kita juga perlu belajar, untuk tetap menjaga kelestarian budaya Indonesia, setidaknya dengan menjaga kelestarian makanan khasnya. Anak-anak muda diharapkan tetap ingat pada pendahulunya. Orang-orang tua yang masih hidup sampai sekarang pun bisa bernostalgia. Mengingat kenangan masa lalu, yang meski kadang menyakitkan, namun sarat akan perjuangan.

Kue ini barangkali memang tak seenak nastar, brownis, atau kue -kue lain yang lebih banyak peminatnya. Namun cita rasa rempahnya menjadikan kue ini berbeda dari yang lain, terlebih mengingat eksistensi ganjel rel melintas zaman, dari masa kolonial hingga sekarang.

45 EDISI 1 2019 | NUANSA |
ROTI Ganjel Rel. (Doc. Nuansa/ Siti Badriyah)

Dilema Pembersihan Eceng

Gondok Rawa Pening

RRawa berarti raga dan nyawa. Sementara pening artinya, pen=lahir dan ning=batin. “Sebagai manusia, hendaknya berserah diri jiwa raga, lahir batin untuk mengharap rida dari sang pencipta,” ungkap Padiman, juru reksa (juru rawat) Rawa Pening. Selain sebagai situs sejarah yang asal-usulnya menjadi legenda, Rawa Pening juga memiliki peran penting bagi sumber ekonomi masyarakat. Mata pencaharian masyarakat sekitar rawa sebagian besar adalah nelayan, petani gambut, dan petani eceng gondok. Aktivitas kerja di danau dilakukan petani dari pagi hingga sore, sementara nelayan bekerja dari pagi hingga malam. “Manfaat di wilayah Rawa Pening itu banyak. Semua ada harganya,” ujar Siyamto, Ketua Kelompok Nelayan Rawa Pening.

Sayang, saat ini Rawa Pening masuk ke dalam daftar 15 danau kritis di Indonesia. Hal ini tentu akan berdampak pula

bagi perekonomian masyarakat. Setiap tahunnya, terjadi pendangkalan setinggi 42 cm akibat sedimentasi. Hal tersebut menjadikan upaya revitalisasi Rawa Pening menjadi program penting di tahun ini. Tjaturahono Budi Sanjoto, Dosen Geografi Unnes mengungkapkan bahwa sedimentasi pada Rawa Pening disebabkan oleh 2 hal: kerapatan vegetasi di daerah hulu, dan tanaman gulma atau eceng gondok.

Penelitian mahasiswa Geografi Universitas Negeri Semarang di Rawa Pening menunjukkan bahwa persebaran eceng gondok semakin meluas dari tahun 2001 hingga 2017. Akibatnya, laju sedimentasi pun meningkat. Apabila penanganan terhadap eceng gondok tersebut tidak dilakukan secara efektif, tahun 2020, diprediksi kedalaman Rawa Pening rata-rata sekitar 5-8 m2, dan apabila tidak dilakukan penanganan sama sekali, kedalamannya hanya sekitar 2-5 m2(Indrayati & Hikmah, 2018).

Dampak Adanya Eceng Gondok

Saat ini, seluas 30% permukaan air danau telah tertutupi eceng gondok. Tanaman tersebut memiliki pertumbuhan yang sangat cepat. Tumbuhan tersebut juga kerap menyulitkan para nelayan. Banyaknya eceng gondok akan menghalangi laju perahu, sehingga tidak dapat bergerak leluasa. Seringkali, mereka terpaksa bermalam di tengah danau dan pulang saat pagi. “Kalau tidak bisa disingkirkan karena sangat berat, ya terpaksa harus tidur di perahu, di tengah danau,” ungkap Siyamto. Keberadaan petani eceng gondok di sekitar rawa tentu saja membantu mengurangi populasi eceng gondok. Selain itu, mereka juga mendapat penghasilan dari hasil panen eceng gondok. Sayangnya, petani eceng gondok di sana masih bekerja sendiri-sendiri. Belum ada tengkulak yang membantu petani menjual hasil. Sehingga mereka tak bisa berbuat lebih banyak. Selain itu, belum banyak pula yang menjadikan eceng gondok sebagai bahan kerajinan.

Meski bermanfaat dari sisi ekonomi, namun eceng gondok adalah salah satu penyebab munculnya sedimentasi. Eceng gondok memiliki akar serabut, kecepatan tumbuhnya tergolong tinggi. Akhirnya menyebabkan pengendapan material erosi, laju sedimentasi pun menjadi semakin tinggi. Hasil pelapukan eceng gondok yang mengendap di rawa juga menyebabkan sedimentasi gambut dan pendangkalan rawa.

Sedimentasi di Rawa Pening dari tahun 1991 hingga tahun 2011 disebabkan oleh pelapukan eceng gondok. Tahun 1991, pelapukan sebesar 66.892,3 ton meningkat menjadi 153.745,3 ton di tahun 2011, dan meningkat lagi menjadi 171. 349,9 ton di tahun 2011. Banyaknya eceng gondok juga menyumbang tingginya bahan organik

46 | NUANSA | EDISI 1 2019 LINGKUNGAN
ECENG gondok kering yang sedang di jemur dipinggiran Rawa Pening yang selanjutnya akan dijadikan kerajinan. (Dok. BP2M/Lala Nilawanti (5/5)).

di rawa. Hal ini terjadi karena adanya pembusukan dari tanaman tersebut. Selain itu juga dari limbah rumah tangga dan limbah pakan ikan. Bahan organik yang semakin subur akan memiliki dampak negatif bagi biota. Populasi ikan di Rawa Pening bisa saja menurun, sebab eceng gondok menyerap oksigen, sehingga lebih sedikit oksigen yang dapat diserap ikan.

Upaya Pembersihan Eceng Gondok

Pemerintah berupaya membersihkan eceng gondok dengan mengirimkan sejumlah alat berat. Alat itu beroperasi setiap hari Senin hingga Sabtu. “Sekarang difokuskan untuk pembersihan eceng gondok dengan menggunakan mesin dari pemerintah,” ungkap Penyuluh Pertanian Lapangan, Yuliana Purwaningsih. Upaya lain adalah menghimbau petani eceng gondok untuk mengambil tanaman dengan mengikutsertakan akarnya. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalisir adanya akar eceng gondok yang jatuh ke dasar.

Namun, tata cara pengambilan eceng

gondok tersebut masih dalam bentuk himbauan, belum ada aturan secara tertulis untuk petani. Sapi’i, salah satu petani eceng gondok mengatakan bahwa ia mengambil eceng gondok dengan menebang sampai batangnya saja. “Lebih mudah mengambil hanya sampai batang, daripada sampai akar,” katanya. “Wong akare ndak kangge kok, kita hanya menjual batangnya saja,” ujar Gito, yang juga petani eceng gondok. Ia juga menyatakan kurang setuju dengan adanya alat berat yang digunakan untuk membersihkan eceng gondok. Karena hal tersebut menyebabkan sisa penggilingan akan menimbulkan pembusukan.

Menurut Sanjoto, upaya pembersihan eceng gondok menimbulkan pro dan kontra, karena bagaimanapun eceng gondok merupakan sumber kehidupan masyarakat. “Jika dihilangkan, masyarakat tidak ada pekerjaan lagi,” tuturnya. Selain dimaanfaatkan batangnya untuk dijual dan endapannya menjadi gambut, Rawa Pening rupanya menjadi daya tarik wisatawan serta para peneliti. Ia juga menambahkan,

“Pemerintah boleh saja melakukan upaya pembersihan, namun harus dipertahankan populasi eceng gondok karena merupakan salah satu bagian ekosistem.”

Rawa pening memiliki luas sebesar 2.670 ha. Danau ini terletak 32 km ke arah selatan dari Kota Semarang, dan 10 km ke arah utara dari Kota Salatiga. Rawa ini berada di beberapa kecamatan, yaitu Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Artinya, tak sedikit yang menggantungkan kehidupan ekonominya pada Rawa Pening. Eceng gondok memang menjadi salah satu penyebab pendangkalan, namun pembersihan eceng gondok tak bisa dilakukan sendiri oleh pemerintah. Pemerintah perlu mempertimbangkan kelangsungan hidup masyarakat sekitar. Mereka, para petani eceng gondok dan petani gambut, jelas perlu dilibatkan. Mereka perlu bekerja sama, agar tak ada yang dirugikan.

47 EDISI 1 2019 | NUANSA |
PETANI menepikan sampan selepas mencari enceng gondok di Desa Kebondowo, Rawa Pening pada (1/5). (Doc. Nuansa/Siti Zummaroh) Fitriyatun Na’imah

Tata Kelola Sampah di Kota Semarang S

ore itu (27/6) cuaca cerah dan senja mulai mencurat. Sampah yang menggunung memenuhi salah satu Tempat Penampungan

Akhir (TPA) di Kota Semarang. Terlihat gerombolan sapi yang mencari makanan di sana. Menurut salah satu pemilik sapi, Adi Arif, sapi-sapi tersebut dibebas-liarkan pada pagi hari untuk mencari makanan. Biasanya mereka memakan sampah organik dari pasar yang diletakkan di salah satu sisi TPA. Namun ternyata, masih banyak pula sapi-sapi yang mencari makanan di tumpukan sampah yang tidak dipilah. Hal ini tentu bisa saja membahayakan para sapi apabila mereka menelan sampah plastik atau sampah berbahaya lainnya. Fenomena ini menjadi awal bagi saya untuk mencari tahu lebih jauh mengenai pengelolaan sampah di Kota Semarang.

Menurut data Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah timbulan sampah secara nasional sebesar

175.000 ton/hari atau setara 64 juta ton/ tahun jika menggunakan asumsi sampah yang dihasilkan setiap orang per hari sebesar 0,7 kg (Bisnis.com, 21 Februari 2019). Sedangkan data Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tertanggal 5 Juli 2018, Kota Semarang dengan jumlah penduduk 1.658.552 jiwa dan luas wilayah administrasi 373,69 km² menghasilkan sampah yang ditimbun di TPA sebanyak 850 ton/hari dan sebanyak 100 ton/hari sampah yang tidak terkelola (sipsn.menlhk.go.id).

Saat ini, produksi sampah di Kota Semarang mencapai 1.200 ton/hari. Artinya, dalam kurun waktu setahun, sampah di Kota Semarang mengalami peningkatan sebesar lebih dari dua puluh persen. Kepala

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Muthohar mengatakan, pertumbuhan penduduk yang tinggi serta urbanisasi menjadi penyebab banyaknya jumlah sampah di Kota Semarang (beritajateng.net pada 7 April 2019).

Peran Pemerintah Semarang dalam Mengelola Sampah

Staf Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Semarang Khoirul Huda menuturkan, sampah yang berasal dari masyarakat diangkut oleh truk DLH untuk kemudian dibawa ke TPA. Di Semarang terdapat TPA Jatibarang yang digunakan sebagai tempat penampungan akhir sampah yang terkumpul. Namun, Huda juga menambahkan bahwa sampah di Kota Semarang belum tertangani secara maksimal.

“Pemilahan sampah idealnya dilakukan oleh sumber sampah, selama ini masyarakat belum sadar. Namun sudah menjadi amanat pemerintah dan perda bahwa penanganan sampah menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat,” jelas Huda. Sementara itu DLH hanya menangani sampah yang berasal dari Tempat Penampungan Sementara (TPS) ke TPA. Seharusnya sampah yang berasal dari rumah tangga sampai ke TPS menjadi

tanggung jawab masyarakat, mengingat sumber daya manusia DLH tidak memadai untuk menjangkau ke rumah-rumah warga.

Terkait dengan pengelolaan sampah yang dapat didaur ulang, Abdul Ghofar, anggota Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah menjelaskan, di Semarang terdapat beberapa bank sampah yang memanfaatkan sampah daur ulang untuk dijadkan barang-barang yang bernilai jual. Namun, banyak bank sampah yang vakum karena kesulitan memasarkan produk.

“Masyarakat diminta untuk bikin bank sampah, proyeksinya ekonomi. Tetapi ketika sudah dipilah dan diolah mereka kesulitan untuk menjualnya, sehingga barang yang dihasilkan tidak bisa dijual kembali,” kata Ghofar. Selama ini bank sampah berbasis relawan, maka lama kelamaan operasionalnya tidak bisa berjalan. Meski banyak didirikan, umur mereka tidak lama. Setelah vakum, bank sampah itu kemudian berdiri lagi di tempat lain. Namun setelah satu atau dua tahun vakum lagi, seperti

48 | NUANSA | EDISI 1 2019 LINGKUNGAN

SEEKOR sapi yang sedang mengais isi makanan di dalam sampah yang ada di TPA Jatibarang pada kamis (27/6). (Doc. Nuansa/ Fitriana Silvi)

itulah tren bank sampah di Kota Semarang.”

Menurut Ghofar, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menangani sampah di Kota Semarang. Pertama, Pemerintah Kota Semarang berani megeluarkan kebijakan tentang pembatasan penggunaan single use plastic. Kedua, masyarakat memiliki kesadaran untuk mengurangi penggunaan produk berkemasan plastik. Perubahan perilaku konsumen (masyarakat) akan mampu mendorong perubahan produsen yang market based oriented. Ketiga, industri dapat menyesuaikan diri dengan regulasi dan pola konsumsi konsumen yang mulai menerapkan gaya hidup ramah lingkungan.

Sampah bertambah setiap hari, namun tempat untuk menampungnya sudah tak cukup, hal ini kemudian menjadi suatu masalah. Oleh sebab itu, Pemerintah

Kota Semarang menerapkan metode pengelolaan sampah dengan sistem sanitary landfill dengan cara membuang dan menumpuk sampah di lokasi cekung, memadatkannya, dan kemudian menimbunnya dengan tanah. Pemilihan metode sanitary landfill tersebut ditrapkan sebab caranya yang mudah dan persiapannya pun membutuhkan waktu yang singkat, walaupun biayanya cukup mahal.

“Sanitary landfill itu sampah datang dalam satu sel, kemudian dibuat petakpetak sampai TPA penuh, setelah itu ditutup tanah. Idealnya dilakukan setiap hari, tetapi biaya tutup tanahnya mahal, jadi TPA Jatibarang belum ideal karena dilakukan dua minggu atau satu bulan sekali,” jelas Huda. Ia juga menambahkan bahwa gas metana yang dihasilkan oleh sampah-sampah tersebut juga dapat dijadikan bahan bakar penggerak turbin dan dirubah menjadi penghasil energi listrik.

TPA Jatibarang merupakan salah satu lokasi yang dipilih sebagai tempat untuk menerapkan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). “Semarang adalah satu dari dua belas kota di Indonesia yang didorong oleh Pusat untuk menerapkan PLTSa, rencananya kerjasama dengan swasta,” ungkap Huda. Namun penerapan PLTSa masih menjadi pro-kontra terkait dengan sistem pengelolaannya yaitu teknologi insinerator.

Dikutip dari beritasatu.com, Muthohar, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Semarang mengatakan bahwa teknologi insinerator bisa mengurangi sampah secara signifikan karena mampu mereduksi hingga 90 persen. Akan tetapi, pengelolaan dengan menggunakan teknologi tersebut masih ditentang oleh aktivis lingkungan karena hasil pembakaran sampah akan menghasilkan gas beracun, sehingga berbahaya bagi siapapun yang menghirupnya. Namun, menurut keterangan Huda, PLTSa tersebut tetap aman karena terdapat fasilitas alat yang mampu menyaring udaranya supaya tidak berbahaya jika dihirup. Walaupun direncanakan akan beroperasi pada April 2019, namun sampai saat ini masih perlu dilakukan riset dan studi kelayakan sebelum PLTSa benar-benar bisa dioperasikan.

Penegakan Perda Pengelolaan Sampah di Kota Semarang

Pemerintah Kota Semarang telah membuat Peraturan Daerah (Perda) No 6 tahun 2012 tentang pengelolaan sampah, meliputi sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah rumah tangga, dan sampah spesifik. Pasal 52 menyebutkan berbagai larangan, seperti larangan memasukkan sampah ke dalam wilayah Kota Semarang, mengimpor sampah, mencampur sampah dengan limbah berbahaya dan beracun, mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan.

Pasal 71 Perda No 12 tahun 2012 menyebutkan, sanksi bagi pelanggarnya akan diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000. Satuan polisi pamong praja (Satpol PP) bersama DLH juga sudah melakukan operasi yustisi dengan menangkap dan mencatat nama pelanggarnya untuk kemudian disidang dan diadili. Namun, pemberlakuan Perda bagi pelaku pembuang sampah sembarangan tersebut dirasa kurang efektif, pasalnya selama ini pelanggar hanya dikenai sanksi membayar denda sekitar Rp 50.000 atau Rp 100.000, cukup jauh dari denda maksimalnya yaitu sebesar Rp 50.000.000, sehingga tidak menimbulkan efek jera.

“Kami (DLH) bersama satpol PP melakukan operasi yustisi guna menangkap pelaku yang membuang sampah sembarangan kemudian pelaku akan dipanggil oleh pengadilan, yang memutuskan besarnya denda adalah hakim. Biasanya hanya sebesar Rp 50.000 atau Rp 100.000, sehingga tidak menimbulkan efek jera.” jelas Huda. Setiap kebijakan yang diterapkan seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat. Dengan begitu, peraturan yang sudah dibuat dapat sesuai dengan tujuannya. Kerja sama di antara mereka perlu ditingkatkan, agar pengelolaan sampah berjalan dengan efektif.

49 EDISI 1 2019 | NUANSA |
Fitriana Silva

Humor Sarkas dan Satire Politik

Widyanuari Eko

Putra

Penggiat Kelab Buku Semarang

SUDAH berulang kali prosais

AS Laksana menjelaskan pentingnya daya pikat paragraf pembuka dalam sebuah cerita. Dari kalimat pembuka itulah, pembaca bisa mengambil keputusan untuk lanjut menyelesaikan cerita atau mengakhirinya segera. Beruntunglah novel yang belum lama ini saya selesaikan berhasil menyajikan kalimat pembuka yang cukup merangsang rasa penasaran saya. Novel pertama Sir Vidiadhar Surajprasad Naipaul alias V.S. Naipaul yang berjudul The Mystic Masseur, diterjemahkan ke bahasa

Indonesia oleh David Setiawan menjadi Tabib Sakti, lalu diterbitkan Basabasi, Juni 2017. Kalimat pembukanya membuat saya terus membaca novel ini, sampai tuntas.

Memperhatikan paragaraf pembukanya, tahulah pembaca bahwa yang akan kita hadapi ialah kisah seorang warga Trinidad yang memulai karir dengan menjadi tukang pijit lantas menjadi pahlawan rakyat. Artinya, pembaca sudah terlebih dahulu disuguhi kerangka utama cerita yang akan mereka baca. Ganes adalah seorang India berkewarganegaraan Trinidad. Meski miskin sejak kecil, ia berhasil kuliah di universitas dengan pelbagai bantuan beasiswa. Gelar sarjana yang ia peroleh mengantarkannya menjadi lelaki berwibawa pujaan para orangtua, terutama mereka yang punya anak perempuan. Adalah Ramlogan, juragan kaya yang

akhirnya meminang Ganesh agar menikahi putrinya, Leela—ada di tradisi India pihak perempuanlah yang meminang lelaki. Pernikahan dengan Leela memungkinkan Ganesh menjadi pembaca yang tekun serta pelahap buku yang rakus. Harta mertuanya berlimpah sehingga ia tak usah cemas tak bisa makan.

Saya memang belum terlalu mengenal kesusastraan Trinidad. Bahkan karena ketidaktahuan saya terhadap negara ini, sempat saya berpikir Trinidad bertetangga dengan India. Setelah menengok beberapa artikel pendek di Wikipedia, barulah saya tahu Trinidad berada di kepulauan Karibia, dekat dengan Kuba dan Tobago, dan di masa lalu banyak warga India menjadi imigran di sana. Keterangan ini memperjelas gambaran dalam imajinasi saya perihal situasi kehidupan Ganesh dan orang-orang di sekitarnya.

Dari keterbukaan dan ceplas-ceplos tokohnya, kesan humor kasar muncul, nyaris di sepanjang halaman demi halaman. Barangkali Naipaul memang menerapkan watak itu sebagai sesuatu yang normal bagi kalangan orang India imigran. Dialog itu menjadi terasa natural dan bersesuaian dengan konteks keadaan orang-orang India di Trinidad yang tak akur, kerap terlibat perselisihan politik dan bisnis, serta gampang bersikap jemawa.

Laku Membaca Harus Berjejak

Yang juga tak bisa dikesampingkan dari novel ini ialah cara Naipaul membentangkan fase Ganesh saat menjadi pembaca yang rakus sekaligus (calon) penulis buku. Di rumah Ganesh, sudah ada 1500 buku—bagi sebuah desa kecil di Trinidad pertengahan tahun 1950an, jumlah ini bisa bikin tiap orang di sana geleng-geleng kepala lalu kebingungan: apa buku-buku itu bisa bikin kenyang? Bahkan kebiasaan membaca Ganesh pun bukan tipikal pembaca sepintas lalu. Saat membaca, ia akan mencoreti baris, kalimat, atau keseluruhan paragraf. Lalu membuat catatan.

Catatan-catatan itu modal bagi Ganesh menulis bukunya kelak. Dalam prosesnya menjadi penulis, Ganesh menganggap menulis buku adalah sebuah laku agung. Segalanya mesti dipertimbangkan betulbetul, dari judul, ide, dan gagasan. Ini saya kira wajar bagi siapa pun yang hendak

menulis buku. Tetapi tak banyak penulis sadar dan paham betapa pentingnya jenis huruf alias font untuk buku yang ia tulis. Pembaca berhak menutup sebuah buku ketika menjumpai buku dengan font yang tak sedap dipandang. Buku tak hanya dibaca. Sebagai karya seni buku juga berurusan dengan isi dan bentuk. Nyawa buku ada pada kekuatan kata-kata dan keelokan rupanya. Membaca fase hidup Ganesh, membuat kita semakin mengimani membaca dan mencintai buku sepenuh hati.

Namun pengisahan tentang etos membaca Ganesh dan kepeduliannya pada renik-renik urusan buku justru jadi kesempatan bagi Naipaul menebar sindiran. Kedua hal itu terutama mengarah kepada para pembaca sekalian yang pada masa mendatang hendak berurusan dengan dunia kepenulisan, baik sebagai penulis maupun hidup berpasangan dengan seorang penulis.

Naipaul menyindir ulah pembaca buku yang tekun namun tak peduli kewajiban, terkhusus untuk urusan dapur—tentu saja bagi mereka yang telah berkeluarga. Ganesh adalah seorang suami, dan kewajiban utamanya adalah menafkahi istri. Kita membaca adegan ini dengan dilema dan galau. Akankah nasib pembaca sekaligus penulis akan selalu berdekatan dengan kemiskinan? Dalih Ganesh, “Leela, itulah yang harus dihadapi semua orang yang mau menulis. Kemiskinan dan kesakitanlah yang harus diderita setiap penulis.” Pernyataan itu tentu tak hendak dimanfaatkan untuk menakut-nakuti.

Barangkali Ganesh hanya ingin menegaskan betapa untuk urusan menulis seseorang mesti fokus dan berani berupaya dengan total.

50 | NUANSA | EDISI 1 2019
PUSTAKA

Sementara itu, Naipaul juga menceritakan Ganesh sebagai sosok terpelajar ketika hendak tampil sebagai politisi. Bekal menjadi politisi tak melulu duit dan duit. Otak mesti diisi dengan bacaan bermutu, agar pada kemudian hari tidak membuat kebijakan ngawur. Untuk hal ini, Ganesh sangat terbantu oleh hobinya membaca dan menulis. Tulis Naipaul, “buku-buku yang ditulisnya pada masa ini membantunya memapankan reputasinya…” Bahkan ketika Ganesh mesti berpolemik dengan musuh lewat tulisan di koran, pengetahuannya dari buku-buku turut membentuk gagasannya. Berpolitik jadi ajang tarung gagasan, bukan omong

kosong. Menjelang masa pemilihan umum, buku ini seharusnya jadi pengingat bagi publik sebelum masuk ke bilik suara dan memilih calon pejabat negara. Memilih pemimpin tak boleh sama dengan membili buku obralan: asal tebal dan cover ciamik langsung dibeli.

Judul : Tabib Sakti

Penulis : V.S. Naipaul

Penerjemah: David Setiawan

Penerbit : Penerbit Basabasi

Cetakan : 2017

Satu hal yang sangat disayangkan dari buku ini ialah Naipaul tak mendapati keinginannya terwujud. Penerbit Basabasi tentu tahu Naipaul mengidamkan buku tercetak dengan font Fournier, seperti dijelaskan di buku ini. Sayangnya, penerbit lebih setia dengan font yang biasa mereka pakai. Beruntunglah hasil terjemahan buku ini terasa memuaskan. Saya tak tahu apakah Naipaul dalam versi asli bukunya memang punya gaya bercerita yang ceplas-ceplos seperti termuat di buku ini. Satu yang pasti, munculnya diksi-diksi seperti kampleng, kereng, mumbul, renyuk, dan celurut, membuat novel ini punya cita rasa yang khas, apalagi bagi pembaca yang mafhum bahasa Jawa. Apalagi dulu Naipaul memang pernah singgah ke Indonesia, tepatnya ke Jogja. Untuk ini, kita patut berterima kasih pada David Setiawan selaku penerjemah, dan Naipaul yang telah menulis debutnya dengan renyah dan menghibur.

Undangan menulis Resensi Buku

-Panjang resensi buku 8000 karekter dengan spasi.

-Buku dianjurkan terbit tidak lebih dari satu tahun

-sertakan cover buku dan identitas buku.

-Tulisan dikirim ke email: nuansaunnes@gmail.com dengan subjek RESENSI BUKU

-Sertakan data diri; nama, alamat lengkap (untuk pengiriman gift), akun media sosial, foto pribadi, dan keterangan lain yang dirasa perlu.

-Karya belum pernah

dipublikasikan dalam bentuk apa pun (cetak atau digital).

51 EDISI 1 2019 | NUANSA |
Tabib Sakti

Perjalanan Melebur Batas Maskulin dan Feminin

RETORIKA tentang gender sepertinya tak akan pernah cukup menampung kompleksitas perempuan dan laki-laki semata. Ia juga turut serta berbicara kepada yang tidak resmi, kepada yang masih gamang bagaimana memperlakukan diri ketika harus pulang pada pilihan: menjadi yang lembut atau tahan banting. Kurang lebih begitulah bentuk konstruksi sosial; selain terikat ruang dan waktu, kehadirannya menciptakan tempat baru bagi gagasan dan pemikiran terhadap diskusi gender.

Seperti halnya perempuan yang sering diasosiasikan dengan gaya kemayu nan lemah lembut, laki-laki punya wajah sendiri dalam konstruksi gender; pemberani, tidak cengeng, dan tahan pukul. Berangkat dari kondisi tersebut, salah apabila laki-laki memiliki gaya yang feminin, begitu pula sebaliknya. Namun dalam dimensi film perihal menjadi benar atau salah adalah kesadaran yang harus terwakilkan. Terlepas dari itu semua, film membawa bahasa dan tafsirnya sendiri.

Singkat kata, pemaknaan kontruksi gender amatlah kontekstual. Oleh karenanya, wajar bila kemudian diskusi gender memantik banyak wacana. Entah itu terkait identitas diri, seksualitas, moralitas, sosial maupun budaya. Kemungkinan-kemungk-

inan tentang hakikat gender itulah yang Garin Nugroho telusuri dalam Kucumbu Tubuh Indahku—selanjutnya akan disebut Kucumbu, film terbarunya.

Kucumbu bercerita tentang perjalanan Juno kecil hingga remaja. Pengembaraan dan pencarian makna tentang identitas tubuhnya tidaklah mudah. Dia harus pindah dari satu tempat ke tempat lain karena begitu banyak peristiwa traumatis. Kondisi ini membuat Juno merasa makin terasing di tengah kesenyapan yang berusaha dia lumat dalam-dalam di bawah kolong meja.

Kurusetra dalam Tubuh

Tubuh adalah hasrat yang menyimpan trauma sendiri. Setiap gerak dan setiap jeluk tubuh mengisyaratkan metafora liyan yang ornamental mengenai realitas kehidupan. Dalam Kucumbu, Garin berusaha mempertontonkan bahasa tubuh secara lantang. Tubuh yang selama ini secara simplistis dimaknai sebagai pembungkus raga, lewat Juno ditampilkan sebagai semesta cerita, luka, memoar dan trauma.

Film ini sejatinya merupakan genre semi-biopik. Mengambil pondasi riwayat kisah perjalanan koreografer bernama Rianto, Kucumbu bertutur dalam beberapa babak: Juno kecil (Raditya Evandra) dan Juno saat remaja (Muhammad Khan). Meskipun di setiap sela perjalanan disisipi adegan monolog dari Juno dewasa (Rianto) sebagai bentuk ruang refleksi dari apa yang sesungguhnya terjadi. Sosok Juno sebagai narator menjanjikan bahwa kemunculannya adalah nyata sebagai peristiwa.

Apabila tubuh merupakan rumah dari cerita, Garin sukses menggiring ruang ketubuhan dari yang paling luar hingga yang paling intim. Dapur bahkan juga dihadirkan sebagai bagian dari identitas tubuh Juno yang dapat membebaskan sembari mengenal anatomi tubuh sendiri. Kobaran api memberinya tempat bernaung—dia menari di tengah api yang membara. Api menjadi proyeksi konflik batin yang berkelindan dalam diri Juno.

Tubuh yang menari, waktu berlari, serta keadaan yang berubah tak pasti. Narasi

52 | NUANSA | EDISI 1 2019
SINEMA
Kresna Adetea Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang ADEGAN Juno melepas baju hasil jahitannya.

batin yang harus dicicip walau pahit ialah usaha peleburan ruh maskulin dan feminin dalam diri Juno. Kita tak lagi dapat membedakan kapan Juno menggunakan tubuhnya yang biasa, tubuh lembut, tubuh kasar, tubuh maskulin, tubuh feminin, tubuh tari, ataupun tubuh yang lain. Semuanya lebur dalam konsekuensi atas kegamangan identitas. Garin membawa Juno lepas dari hakikat kediaman tubuh: kasar dan lembut hanyalah konteks sosial.

Dialog Maskulin dan Feminin

Petanda yang dimunculkan Garin merupakan wujud bineritas dalam perangkat yang esensial, bahkan dalam dimensi batin karakternya sendiri. Kekuatan film

Kucumbu harus dipahami dengan menempatkan makna yang saling bersinggungan. Bineritas dalam petinju “yang merusak” dan penjahit “yang menjalin” hanyalah satu dari beberapa reka simbol yang direkam

Garin dengan cara yang subtil.

Secara wujud, tubuh Juno adalah sebagaimana laki-laki. Dia memiliki apa saja

Kucumbu Tubuh Indahku

Sutradara : Garin Nugroho

Skenario : Garin Nugroho

Pemain : Muhammad Khan, Raditya Evandra, Rianto

Produksi : Fourcolours Films dan Go-Studio

yang dikatakan sebagai indikator bahwa dia bukan perempuan. Dalam definisi secara normatif sudah sepantasnya tubuh Juno harus memiliki sifat yang maskulin. Namun Garin menerjemahkan tubuh milik

Juno tak bisa betah pada bentuk normatif itu: ruh Juno disemayami sifat feminin.

Sejak Juno mulai penasaran dan mengenal tari lengger, dia tersadar tubuh ternyata menyimpan banyak sekali misteri. Sang guru tari, Sudjiwo Tejo, mengatakan istilah “lengger” memang merupakan penggambaran realita. Leng yang dalam bahasa Jawa berarti lubang dan ger berarti jengger, mengungkapkan yang sebetulnya dikira “berlubang” ternyata “bertiang”. Juno kecil kemudian menerimanya sebagai karunia yang alami dengan kegiatan lengger sebagai bahasanya untuk menyalurkan kompleksitas ketubuhannya.

Melalui tangan subversif Garin, Kucumbu meletakkan problematika dasar kepada kasus bineritas yang kontradiktif. Ia membawa ketimpangan sosial-budaya yang selama ini langgeng dibangun dalam pakem yang ajeg. Dalam film ini Garin berusaha mengajak kita untuk membuka diri dan membangun dialog komprehensif di antara peran maskulin dan feminin. Kiranya Kucumbu berhasil melenturkan persepsi tentang pemaknaan wacana dialogis. Hal-hal yang bersinggungan dan bertolak belakang kenyataannya mampu dilebur Juno dalam tubuhnya, dalam kegamangannya.

Undangan menulis Resensi Film

-Panjang resensi film 8000 karekter dengan spasi.

-Film dianjurkan tayang tidak lebih dari satu tahun

-sertakan cover film dan identitas film.

-Tulisan dikirim ke email: nuansaunnes@gmail.com

dengan

subjek RESENSI FILM

-Sertakan data diri; nama, alamat lengkap (untuk pengiriman gift), akun media sosial, foto pribadi, dan keterangan lain yang dirasa perlu.

-Karya belum pernah

dipublikasikan dalam bentuk apa pun (cetak atau digital).

53 EDISI 1 2019 | NUANSA |
54 | NUANSA | EDISI 1 2019

MUNGKIN KAU PERLU MENGINGAT

mungkin kau perlu mengingat

namaku sekali lagi

sebelum kabut hari esok menelan

tubuhku

dan bentang waktu yang pernah

kita isi

dengan segenap rindu bercampur pilu

mungkin kau perlu menyebut lagi

namaku

kendati langkah cinta telah terbatabata

dan ciuman hanyalah sekuntum

bunga di masa lalu

yang gugur lebih cepat dari dugaan kita

mungkin kita perlu mengingat muasal kisah

perihal diriku dan dirimu sebagai

ranting kering

sebelum perjumpaan sebabkan

rentetan basah dan resah

pada suatu senja, ingatkah kau sebuah kecupan di kening?

mungkin kau tak perlu mengingat

apa-apa

mungkin kau berhak melupakan

segalanya

seperti seekor burung dewasa melesat pergi

dari sebatang pohon yang telah

mencintainya dengan keji*

BERJALAN SENDIRI DI TANAH YANG BASAH

berjalan sendiri di tanah yang basah

kupungut helai-helai kisah kata-kata yang patah luka penuh nanah

semakin ke depan kesunyian kian subur hal-hal indah mengabur seperti terkubur ke suatu sumur

jauh, jauh, semakin jauh aku berjalan tanpa memerlukan setitik pun tujuan

dalam, dalam, semakin dalam kesedihan

melembabkan lembar dada bagai hujan

pada langkah-langkah berikut akankah kujumpai sehelai selimut, sebingkai wajah, dan alasan untuk berhenti takut?

berjalan sendiri di tanah yang basah

kubuang helai-helai kisah kata-kata yang patah luka penuh nanah dan darah*

56 | NUANSA | EDISI 1 2019 SASTRA
PUISI

APA LAGI SETELAH INI?

“Tetapi tak pernah ada penderitaan terakhir. Bukankah aku tahu itu?”

—Dea Anugrah

Sebab takdir bukan sebuah taksi Di rembang petang. Melainkan kincir api Yang menggelincir dan membakarmu Berulang-ulang seperti sebuah upacara.

Malam nanti mungkin kau berjanji Tidak akan lagi menguras lautan di matamu. Tetapi hari esok selalu punya dalih Memilihkan tisu terlembut untukmu.

Pagi akan datang dengan embun Daun-daun dan siul burung. Matahari benderang serupa sayap kalkun. Semacam isyarat pelepasan murung.

Kau melangkah gagah seperti harihari biasa

Cuaca baik-baik saja, anak-anak tertawa; Mungkin hari ini waktunya, pikirmu Menggariskan batas akhir perjalanan luka.

Di dalam bus gemuk yang berlari serupa kuda

Kau baca buku, membuka sebuah penutup cerita: Tetapi tak pernah ada penderitaan terakhir. Bukankah aku tahu itu?*

Undangan Menulis Puisi

-Kirim minimal 3 puisi.

-Genre dan tema puisi bebas

-Tulisan dikirim ke email: nuansaunnes@gmail.com dengan subjek PUISI

-Sertakan data diri; nama, alamat lengkap (untuk pengiriman gift), akun media sosial, foto pribadi, dan keterangan lain yang dirasa perlu.

-Karya belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apa pun (cetak atau digital).

Erwin Setia,

lahir tahun 1998. Penikmat puisi dan prosa. Kini menempuh pendidikan di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di berbagai media seperti Koran Tempo, Media

Indonesia, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Solopos, Haluan, Koran Merapi, Padang Ekspres, dan Detik. com. Cerpennya terhimpun dalam Dosa di Hutan Terlarang (2018).

57 EDISI 1 2019 | NUANSA |

Tanjung Harapan

Lahir pada 25 April 1987. Sempat menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada. Mulai menulis fiksi sejak 2009. Di antara bukunya yang telah terbit adalah Sarelgaz (Indie Book Corner) dan Reruntuhan Musim Dingin (Diva Press). Penulis Apeirophobia (2018). Saat ini tinggal di Tangerang, Banten.

BAGI masyarakat kepulauan, tempat-tempat di pinggiran pantai ibarat rumah kedua. Laut telah mengajarkan mereka bagaimana cara bertahan hidup, menjalani hidup, hingga meratapinya— semua berpusat di sana. Tempat semacam pelabuhan, pengalengan ikan, industri kepiting dan cumi-cumi, menjadi tumpuan bagi sebagian besar penduduknya.

Itulah yang terlihat di Tanjung Harapan. Di antara yang hidup dari hasil laut adalah Salem dan istrinya, Nalea. Salem dikenal sebagai nelayar senior yang ramah di darat tapi buas di laut. Ia begitu cekatan dalam menjaring ikan.

Kecakapannya dalam melaut telah dikenal hingga ke pulau seberang. Salem dikenal sangat berani mendatangi

Teluk Bono, yang seringkali menjadi mimpi buruk para nelayan karena arus derasnya yang tiba-tiba. Di teluk itu biasanya ikan-ikan besar berkumpul, sehingga tak butuh waktu delapan puluh hari bagi Salem untuk sekadar membawa ikan yang jauh lebih besar dari perahunya.

Namun kini

sudah hampir

seminggu Salem

tak terdengar

kabarnya. Konon, pada tengah malam ia pamit

kepada istrinya

untuk melaut, setelah bermimpi ada ikan emas besar yang bisa berbicara layaknya manusia.

“Itu cuma mimpi,” kata Nalea.

“Aku merasa itu bukan ikan emas biasa.

Mungkin ini seperti panggilan dari Tuhan, mungkin aku akan jadi Nabi bagi ikan-ikan.” Salem mengecup kening istrinya. Sang istri hanya mengantar sampai ke pantai, menyaksikan bagaimana perahu Salem menjauh dan mengecil ditelan kegelapan.

Sejak saat itu Salem tak pernah kembali, dan tak ada nelayan lain yang melihatnya. Padahal biasanya, Salem hanya melaut paling lama dua hari dua malam. Ia suka berada di sekitar teluk dan akan pulang dengan perahu yang berat penuh ikan berbagai macam jenisnya. Namun hari-hari terus berlalu, waktu demi waktu ditunggu, senja demi senja meredup, Salem tak juga muncul. Para nelayan mulai bersepakat Salem pasti mati ditelan arus Teluk Bono, sebagaimana nelayan-nelayan lain yang nekat ke sana dan tak pernah kembali.

Nalea mencoba tegar. Ia seorang wanita yang masih tampak menarik di usia menjelang kepala tiga. Ia belum mempunyai anak—dan desas-desus mengatakan karena Salem tak bisa memberinya anak. Ia tak terlalu peduli omongan warga. Kesibukannya memotong cumi-cumi dan menjemur ikanikan membuatnya tak punya waktu untuk memikirkan hal lain. Hanya pada malammalam ketika angin laut menderas ke arah daratan, saat terdengar suara layar berkibar dari perahu yang ditambatkan, juga suara kaleng-kaleng yang digantung di dermaga, Nalea seringkali menangis karena teringat suaminya.

“Apa benar ia mati di teluk?” batinnya. Ia tahu suaminya tangguh, tapi ia juga tahu, nasib seringkali berkata

Setiap hari Nalea bertanya pada nelayan yang pulang dari melaut, apakah melihat Salem, tapi tak ada jawaban berarti, kecuali nelayan itu memintanya ikhlas bahwa

58 | NUANSA | EDISI 1 2019 SASTRA
CERPEN

Salem sudah mati. Nalea tidak percaya— setidaknya hatinya memaksa untuk tidak percaya. Ia masih terus berharap suaminya kembali. Ia masih merapal doa-doa pada awal malam, menebar harapan di akhir malam. Sampai pada suatu tengah malam, ketika Nalea sedang tertidur lelap, tiba-tiba ia terjaga dan merasa bulu kuduknya berdiri. Angin bertiup lebih kencang dari biasanya, hingga membuat pintu rumahnya tiba-tiba terbuka dengan keras. Di kejauhan pantai, ia melihat pusaran air kecil berwarna keemasan. Segera ia mengambil sandal dan menyelimuti tubuhnya, berjalan ke arah pantai. Kakinya mulai menjejak di atas air. Ia terus berjalan mendekati pusaran itu. Ia tidak sadar bahwa pergelangan kakinya sudah terendam di air. Ia terus berjalan mengikut ke mana sesuatu itu bergerak. Tubuhnya seperti ringan, ombak-ombak terpecah di kakinya, dan seperti mendorongnya berjalan lebih cepat. Ia terus berjalan sementara garis pantai sudah tak terlihat. Langkahnya semakin cepat, bahkan wali yang katanya bisa berjalan di atas air pun tidak secepat ini.

Nalea akhirnya berhenti ketika pusaran itu tiba di sebuah perahu yang juga berwarna keemasan. Nalea mendekati perahu. Dan tampaklah sosok lelaki yang sangat dikenalnya. Nalea mengangkat kainnya ketika melangkah ke dalam perahu. Dan hatinya seperti dihantam ombak pasang kenangan.

“Kau datang juga...,” kata sosok tersebut.

Nalea meraba wajah lelaki itu; memang terasa di kulit, artinya ia bukan sedang bermimpi atau melihat makhluk halus. Tapi tetap saja Nalea tidak mengerti. “Mengapa kamu tidak pernah kembali?”

Lelaki itu tersenyum. “Aku merasa tenang di sini, di tempat ikan-ikan mas berkumpul.”

Nalea melihat ke permukaan air. Perahu itu seakan dikelilingi serombongan besar ikan berwarna keemasan. Mereka berlompatan dan membentuk pusaran yang kencang sehingga air pun memercik ke dalam lambung perahu yang bergerak-gerak.

“Pulanglah. Orang-orang mengiramu sudah mati.”

“Tidak, Nalea, aku telah dipanggil untuk menjaga Teluk Bono.”

Nalea terkejut. Ada amarah kecil terbe-

tik. “Bahkan kau lebih mementingkan teluk dan ikan-ikan ini daripada keselamatan istrimu?”

“Keselamatan?”

“Wardiyo, Anak pemilik pabrik sarden itu, makin sering menggodaku. Katanya kau sudah tenggelam... Ia datang hampir setiap sore ke rumah untuk mengajakku menikah.”

“Oh keparat itu...”

“Pulanglah.”

Selanjutnya tak ada jawaban. Sosok itu justru memeluk Nalea dengan erat. Ada kehangatan bercampur kerinduan yang telah menggumpal, dan dengan seketika pecah di atas perahu.

Seiring dengan makin kencangnya pusaran air hingga membentuk benteng imajiner, mereka pun bercinta dengan dahsyat di tengah lautan. Semakin banyak ikan berlompatan di sekelilingnya, seakan sebuah atraksi akuatik paling indah yang pernah ada. Tak seorang nelayan pun yang melihat perahu dan ikan-ikan bercahaya keemasan itu. Kecuali beberapa orang di daratan, yang kebetulan belum tidur, dan menyaksikan titik-titik cahaya kecil di balik jendela rumahnya. Namun seperti ada kekuatan ghaib yang melindungi, sehingga orang-orang itu tak berminat menyelidiki lebih lanjut tentang titik-titik cahaya tersebut.

“Itu cuma lampu nelayan yang kemalaman.”

“Mungkin nelayan yang sedang bertarung melawan ikan besar.”

Maka pergumulan dahsyat sepasang manusia yang dimabuk rindu itu pun terjadi di bawah langit luas, sampai pada akhirnya malam pun menyingkir, dan Nalea tertidur karena kelelahan.

Pagi harinya, sebuah perahu terdampar di pinggir pantai. Tampak sesosok perempuan masih terlelap. Para nelayan, ibu-ibu pedagang ikan, terkejut karena perempuan itu adalah Nalea. Mereka panik, salah seorang segera memegang pergelangan tangan untuk memeriksa detak jantungnya.

“Masih berdenyut. Sepertinya cuma pingsan.”

Nalea terjaga dalam keadaan telah dikelilingi banyak orang. Mereka bertanya tentang banyak hal, tapi ia bungkam. Ia hanya berterima kasih dan selebihnya tak

berkata apa-apa, termasuk ketika ada yang bertanya apakah ia bertemu Salem.

Sebagian orang lantas berspekulasi, Nalea mungkin hendak mencari Salem, tapi tak bisa melaut sehingga perahunya kembali ke pantai. Sebagian lagi berkata Nalea diculik oleh Wardiyo, tapi malam itu Wardiyo sedang ada di Pekanbaru, mengikuti konferensi pengusaha ikan, sehingga dia punya alibi. Pada akhirnya, tidak ada jawaban yang memuaskan. Dan kejadian itu berlalu begitu saja.

Nalea masih melakukan pekerjaannya sehari-hari di tempat pemotongan cumi-cumi, tempat yang menghabiskan sebagian besar waktu dan tenaganya. Ia akan pulang menjelang petang, mendapati rumahnya yang masih saja kosong, merebahkan diri, terjaga dini hari, lalu beranjak keluar rumah menuju tepian pantai...

Tak seorang pun mengerti, hampir setiap tengah malam, Nalea suka menghabiskan beberapa saat untuk berdiri di pasir pantai Tanjung Harapan. Ia tersenyum ke laut luas, sambil sesekali mengusap perutnya yang terus membesar.

Akan tetapi, jauh dalam hatinya, sesungguhnya Nalea belum terlalu yakin. Apakah memang Salem yang ia temui di tengah lautan malam itu.

Undangan menulis Cerpen

-Panjang Cerpen 8000 karakter dengan spasi.

-Tema, gaya bercerita, aliran, eksplorasi, dan panjang cerpen bebas.

-Tulisan dikirim ke email: nuansaunnes@gmail.com dengan subjek

CERPEN

-Sertakan data diri; nama, alamat lengkap (untuk pengiriman gift) , akun media sosial, foto pribadi, dan keterangan lain yang dirasa perlu.

-Karya belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apa pun (cetak atau digital).

59 EDISI 1 2019 | NUANSA |

Mahfud Ikhwan

Kacamata Desa dan Sastra Pembual

Mahfud Ikhwan sempat

datang ke Kedai Kang Putu pada Kamis malam (9/4).

Penulis yang memenangi sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2014 ini duduk sejajar bersama peserta diskusi di atas ambalan kayu. Saat itu, ia mengenakan kaos hitam dan celana berwarna pudar. Sederet judul buku seperti Ulid Tak Ingin Ke Malaysia, Ulid: Sebuah Novel, Lari,Gung!, Lari!, Kambing dan Hujan, Belajar Mencintai Kambing, dan Dawuk yang berhasil ia ciptakan, ternyata tak menbuat dirinya tinggi hati.

“Persepsi yang dimiliki banyak orang tentang sastra adalah Sastra Barat. Dan buruknya, saat kita mengenali bentuk sastra-sastra baru tersebut kita melupakan khasanah yang hidup dengan kita.” Begitu kiranya ucapan Cak Mahfud dengan tenang, membuka diskusi sambil sesekali ia menepuk–nepuk pahanya yang disilakan.

Diskusi malam itu dilanjut dengan cerita asal mula motivasi Cak Mahfud menulis dan alasannya memilih tema -yang ndesani-. Baginya menulis adalah sebuah keterpaksaan, meski ia dengan lebih positif menyebut keterpaksaan tersebut dengan istilah takdir. Rasa kantuk saya sempat tertahan dengan kisah takdir seorang anak desa yang bernasib baik dapat bersekolah di kota besar Yogyakarta, lalu menjadi penulis dengan sederet karyanya.

Melihat Desa

Hidup dan menuntut ilmu selama bertahun-tahun di rantau, banyak membawa perubahan bagi diri Cak Mahfud. Ketika kembali ke tempat asalnya, ilmu dan semua pengetahuan yang ia dapat, diibaratkan seperti senter di kepala. Sinarnya hanya mampu menerangi wilayah yang jangkauannya terbatas. “Sebagian besar saya pakai (ilmu) untuk melihat desa itu sendiri. Sebagian mungkin baik, sebagian sebenarnya tidak fair. Saya jadi

semacam anak durhaka yang pulang melihat orang tuanya tidak lagi sama dengan dulu, entah karena malu atau bener-bener tidak mengenali kampungnya,” ungkapnya.

Kaanya, dulu, ia memiliki cara pandang yang sama dengan para penulis (sarjana sastra) lainnya. Ia sama-sama melihat desa dengan sangat suram dan penuh pengadilan. Hingga muncul tuduhantuduhan yang hanya didasarkan pada teori tanpa melihat kondisi faktual di desa. Bagi Cak Mahfud, penting untuk melihat desa atau kampung halaman sendiri dengan lebih adil. Kita perlu mencerna teori-teori yang telah didapat selama di perantauan, dan menyesuaikannya dengan kondisi faktual yang dialami di desa. Sebab kekeliruan cara pandang itu membuat kita gagal melihat kampung, melihat desa dengan segala hiruk-pikuk didalamnya.

“Datang dari kota dengan kepala tercerahkan dan kemudian dia pulang

ke tempatnya, kebanyakan para penulis melakukan kesalahan melihat kampungnya sebagai sesuatu yang gelap dan hanya setengah-setengah dan dengan cara pandang baru yang kebanyakan negatif,” ucap pria berusia 39 tahun itu sambil sedikit melempar senyum.

Bersama pemikiran itu, Mahfud mendapati banyak hal yang berubah ketika ia kembali ke desa asal. Ia merasa, kemampuan bertahan hidupnya sudah dipreteli begitu pulang dari perantauan dan kembali bersinggungan dengan desanya. Kemampuannya sebagai anak desa serasa dilucuti dan mulai hilang. Ia merasa terputus dari lingkungan sekitar. “Saya mungkin akan ikut teman-teman saya ke Malaysia dan menjadi migran disana. Beruntungnya saya tidak bisa lagi pegang cetok, saya bisa saja menyiangi jagung tapi kalau ngaduk pasir, ampun itu tidak bisa,” Kata pria lulusan Sastra Indonesia

60 | NUANSA | EDISI 1 2019 SOSOK

Universitas Gadjah Mada ini dengan jujur. Keberuntungan Cak Mahfud rupanya tak hanya itu. Ia merasa beruntung memiliki kemampuan baru, yaitu menulis. Sayangnya, ia merasa celaka. Sebab itulah kemampuan satu-satunya. Dunia tulis menulis dekat dengan jurnalistik, barangkali itu yang melatarbelakangi Cak Mahfud sempat mendaftar menjadi reporter, meski ia tak pernah menjadi reporter. “Bukannya tidak mau menjadi reporter, tapi saya daftar berkali-kali dan ditolak berkali-kali,” kata Cak Mahfud sambil terkekeh. Baginya, ‘bisa menulis’ tanpa menguasai gagasan secara akademis dan sitematis, hanya membuat ia menjadi pengarang—seseorang yang ia samakan seperti para pembual di warung kopi.

Satra Pembual

Mahfud pernah mengatakan bahwa desa adalah ladang inspirasi. Desa memiliki kemewahan untuk untuk ditulis tanpa harus membuatnya dramatis. Itulah kutipan yang saya ambil dari sajadah.co Dan rupanya, apa yang ia katakan tidak berubah ketika sebuah pertanyaan untuk hal senada diajukan. Ia dengan tegas kembali menyebutkan bahwa apa yang ia tulis adalah aktivitas biasa yang dilakukan orang-orang desa sehari-hari. Ia tidak

pernah memberikan sesuatu atas dasar apa yang ia punya. Secara diam-diam, ia mencuri pembicaraan warga desa di warung kopi. Pembicaraan itulah yang ia jadikan bahan untuk menulis. “Jika temen- temen yang baca Dawuk pasti tahu kalau saya benerbener mencuri suasana di warung kopi. Itulah yang membuatku nyaman dengan warung-warung seperti ini,” katanya.

Di tengah dinginnya malam—sebab kedai Kang Putu ada di ruang terbuka—Cak Mahfud kembali melanjutkan ceritanya. Katanya, sebenarnya ia menganggap ceritacerita tersebut sebagai hal yang rendah. Hingga kemudian, ia menyadari bahwa ada daya ungkap luar biasa dari orangorang yang kesehariannya sebagai petani. Hal ini bahkan lebih bernilai daripada sekedar lelucon, guyonan atau banyolan yang diciptakan oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan bercerita untuk menarik perhatian dengan tahayul, mitis, gosip, atau cerita cabul yang diceritakan laki-laki ke laki-laki. “Bahkan di suatu titik saya percaya bahwa itu adalah sastra yang hidup di antara masyarakat kita,” ungkap penulis yang banyak mengambil inspirasi dari Putu Wijaya dan Kunto Wijoyo ini.

Bagi Cak Mahfud, membual tak sama berbohong. Membual hanya istilah yang ia gunakan untuk menambah-nambahkan

atau melebih-lebihkan sesuatu. Sastra yang selama ini dikenal adalah sastra yang terlalu utopis. Hingga orang-orang yang mengenal sastra menyebut dirinya seorang begawan. “Saya ingin coba menurunkan level sok tinggi dari sastra, maka kemudian saya menyamakannya dengan para pembual.”

Ia juga mengungkapkan kecemasannya terhadap sastra. Sastra dari barat, ternyata lebih banyak dikenal. Dan buruknya, saat kita mengenali bentuk sastra-sastra baru tersebut kita melupakan khasanah yang hidup dengan kita. “Makanya kadang apa yang disebut sebagai satra lisan itu adalah ungkapan merendahkan untuk sastra yang tidak kita tulis. Jangan-jangan sebenarnya sastra yang benar-benar hidup adalah sastra yang itu, kalau di Jawa Timur disebut parikan, julad-julid, cerita-cerita yang beredar di warung kopi tadi,” kata pria kelahiran lamongan tujuh Mei 1980 itu.

“Jangan -jangan itu adalah sastra yang hidup di kita dan kita tinggalkan garagara bentuk sastra baru dari apa yang kita sebut sekarang dari sastra. Sedikit upaya saya lakukan. Saya ingin menulis itu karena yang saya bisa hanya menulis,” pungkasnya sembari kembali menepuk -nepuk paha yang dia silakan.

Nur Setyo

Tulisan ini berisi kisah tentang seorang mahasiswa di salah satu kampus eks Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) di Semarang. Karena majalah ini akan turun ke tangan mahasiswa, semoga sempat dibuka dan terbaca. Jadi begini, Ada satu mahasiswa yang melakukan protes keras di grup Whatsapp mengenai keputusan angkatannya yang memilih ploting Program Pengalaman Lapangan (PPL) secara individu.

Karena kasihan melihat teman-temannya yang belum siap terjun mengajar di sekolah dia membayangkan, apa jadinya apabila teman-temannya yang masih grogi, malu-malu dan bertindak tidak wajar ketika microteaching mendapatkan sekolah yang berkualitas. Apa yang akan terjadi? Apa dia akan dicaci maki, dibandingkan dengan PPL sebelumnya, dicap sebagai kegagalan kampus atau selanjutnya sekolah akan menolak mahasiswa dari kampus?

Suaranya terlambat dan tidak sesuai keputusan yang penetapannya hanya 2 jam secara online. Cemoohan langsung datang bermunculan satu per satu, termasuk dari cewek cantik yang biasa dia goda. Selain itu temannya yang menjadi ukhti di rohis dan teman yang ingin ia jadikan pacar turut mencibir. “apa sih?”, “kan tadi sudah di voting”, “kalau memang itu terjadi, ya takdir”, katanya.

Waktu itu, di lobi depan gedung kuliah, saya menemukannya merokok sambil merengut melihat gawainya. “Menjadi minoritas memang tidak mudah. Semangat! Perjuanganmu hebat Cuk!” tegas saya mengejutkannya.

Apa yang dialami teman saya ini mengingatkan saya kepada film 12 Angry Man. Film tersebut bercerita tentang 12 orang yang berdiskusi di dalam ruangan sebagai juri pengadilan sebuah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh anak kecil. Mereka harus membuat keputusan apakah anak kecil tersebut bersalah atau tidak. Dari 12 orang tersebut, sebelas orang menyuarakan

Mahasiswa

pendapat yang sama bahwa anak kecil itu bersalah dan akan dihukum mati, sedangkan 1 orang menyuarakan pendapat yang berbeda. Ia berpendapat bahwa anak tersebut tidak bersalah.

Melalui proses yang lama dan alot, pendapat 1 orang tersebut akhirnya disetujui oleh semua juri. Dengan diskusi yang panjang mereka saling beradu argumen hingga akhirnya semua fakta dan data dari pendapat orang tersebut diterima dan disetujui.

Dapat dibayangkan apabila diskusi atau voting dilakukan di media sosial. Tentu saja mrdia sosial mengurangi kesempatan bersuara, seperti peristiwa ploting PPL itu. Lalu bagaimana jika pendapat teman saya yang berbeda itu ternyata lebih logis dan benar?

Kesedihan teman saya ini ada pada mahasiswa yang hanya berserah diri kepada takdir. Hal itu tentunya bukan implementasi intelektualnya pola pikir mahasiswa. Kata AS Laksana, pencapaian itu adalah bukti keberanian berpikir sendiri ketimbang tunduk kepada dogma. Sikap mengedepankan kelogisan dan keilmiahan seharusnya menjadi dapat diterapkan dalam kehidupan sosial, tidak hanya untuk menyelesaikan tugas mendapatkan gelar sarjana. Praktek kuliah dapat diterapkan dalam pengambilan keputusan masalah seperti di atas, lebih rasional dan ilmiah, bukan beradu-adu egoisme dan diakhiri dengan mengadu “takdir”.

Selain itu, setiap agama memiliki ilmu untuk menafsirkan masing-masing kitab sucinya. Hal itu dilakukan untuk menjelaskan aturan hidup sesuai realita. Apabila muncul kata ‘takdir’ setelah kitab suci turun, tidak akan muncul masa kejayaan Islam, tidak akan muncul pula abad pencerahan. Manusia hanya akan terkungkung kepada dogma.

Saya jadi ingat dengan obrolan di warung burjo pada suatu malam dengan seorang seniman. Dalam obrolan tersebut, dia mengatakan, sebenarnya kampus telah mencegah mahasiswanya untuk bisa ber-

pikir kritis. Hal ini ditandai dengan penghapusan mata kuliah filsafat ilmu di beberapa prodi dan fakultas.

Filsafat ilmu ditujukan agar mahasiswa memahami proses lahirnya ilmu pengetahuan. Sehingga dapat muncul pemikiran-pemikiran baru untuk memberikan kritik dan mengembangkan pemikian-pemikiran yang sudah ada, karena tidak ada frasa absolut dalam ilmu pengetahuan.

Akibat ketetapan kampus ini, hal itu mulai terasa dampaknya. Misal, Organisasi Mahasiswa (Ormawa) yang menyibukkan diri menyelenggarakan acara untuk memenuhi kebutuhan hiburan mahasiswa. Advokasi mahasiswa yang selalu mengungkit masalah keberatan membayar uang kuliah, dan diulang-ulang dengan cara yang sama padahal tidak merubah keadaan. Sampai lembaga pers mahasiswa yang tidak kritis terhadap masalah-masalah kampusnya sendiri.

Hal-hal ini tentunya terkait iklim intelektual yang kurang bergairah. Mahasiswa ditundukkan dengan pemikiran harus kuliah dengan semestinya, tanpa mendapat proses belajar yang optimal, kecuali menerapkan prinsip asal bapak senang (ABS) seperti yang dicontohkan dosen agar memiliki karir yang melejit.

Masalah yang dapat diperjuangkan mahasiswa tentunya bukan hanya persoalan kesulitan membayar biaya kuliah. Saya meyakini masalah ekonomi adalah kesulitan yang akan membuat mahasiswa mampu melampaui batasnya. Kesadaran dan sikap untuk berjuang di bawah tekanan menjadi modal menciptakan hal-hal yang kreatif untuk mengatasinya. Itu anugrah lho bro....

62 | NUANSA | EDISI 1 2019 PUCUK
Emka Humam

“ ”

Harga diri memang bukan hal yang sederhana. Ia perkara serius, yang bahkan bagi banyak orang, jauh lebih berarti ketimbang nyawa yang melekat. Harga diri adalah kemewahan. Pada harga diri-lah, seorang manusia masih tetap bisa bangga hidup sebagai manusia.

Agus Mulyadi

HARGA DIRI MEMANG BUKAN PERKARA SEDERHANA

- Mojok.co 14 Juli 2019

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.