Abdi Abdul Wahab: Pemimpin Di Dua Era

Page 1



Abdi A Wahab PEMIMPIN DI DUA ERA

Editor: Jeliteng Pribadi

Oktober 2017


Judul Buku: Abdi A Wahab: Pemimpin Di Dua Era Editor Jeliteng Pribadi Cetakan Pertama Oktober 2017 Penerbit: Syiah Kuala University Press

ŠHak Cipta dilindungi Undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit.


PANITIA PENERBITAN BUKU ABDI A WAHAB: PEMIMPIN DI DUA ERA Pelindung Rektor Universitas Syiah Kuala Tim Penyusun Saifuddin Ishak (Ketua) Mulyadi Adam (Sekretaris) Hizir Sofyan Alfiansyah Yulianur Nazamuddin Agussabti Djufri Taufiq Saidi M. Aman Yaman M. Dirhamsyah Jeliteng Pribadi Zulfurqan Dimas Aldrian Editor Jeliteng Pribadi Layout Amir Faisal Editor Foto/Desain Cover Dimas Aldrian Penerbit Syiah Kuala University Press


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

UCAPAN TERIMA KASIH

S

yukur alhamdulillah saya panjatkan kepada Allah Swt yang telah memberikan saya kehidupan, iman, kekuatan, kesehatan, dan kemudahan serta telah memberikan taufik, hidayah, rahmat, dan kasih sayang-Nya. Shalawat teriring salam tak lupa saya haturkan ke pangkuan Nabi Muhammad saw yang telah membawa umat manusia dari alam kebodohan menuju kehidupan yang berilmu pengetahuan sebagaimana yang kita rasakan saat ini. Perkenankanlah saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua saya yang telah membesarkan, mendidik, dan membekali saya dengan ajaran agama dan prinsip-prinsip utama dalam menjalani kehidupan ini. Juga terima kasih saya untuk abang-abang dan adik-adik beserta keluarga mereka yang telah memberikan perhatian khusus kepada diri saya. Terima kasih dengan sepenuh hati saya ucapkan kepada istri saya tercinta, Suharni Daud, yang dengan setia selalu mendampingi saya dan telah banyak memberikan motivasi dalam hidup dan karier saya. Demikian juga kepada anak-anak dan menantu yang saya cintai dan sayangi, Ian iv


Rizkian, Sri Dianova, Ivian Trimaghribi, Iman Rakhmadika, Cut Dwi Rafika, dan Hendra Gunawan yang selalu memberikan inspirasi dalam kehidupan saya. Terima kasih kepada Bapak (alm) Prof. Soemarmo yang mengarahkan saya untuk meniti karir sebagai dosen di Unsyiah. Juga kepada Major Professor saya di University of Kentucky, yang telah banyak mengajar saya bagaimana kita menghargai nilai-nilai dan kebenaran yang menjadi filosofi dalam dunia akademik. Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak (alm) Prof. Dr. Abdullah Ali yang sudah saya anggap bukan saja sebagai guru tetapi juga sebagai orang tua dan abang, yang telah banyak mewarnai gaya hidup saya. Tak lupa saya ucapkan terima kasih yang tulus kepada guru-guru dan dosen-dosen saya semua yang tidak dapat saya sebut namanya satu per satu, yang telah mendidik dan membentuk diri saya. Juga untuk teman-teman semua yang telah memberikan kontribusi dalam hidup saya, saya ucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih saya tujukan juga kepada Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng., yang telah menginisiasi dan memberikan dukungan penuh dalam penulisan buku ini. Secara khusus terima kasih saya kepada panitia dan tim penulis buku ini yang dengan semangat dan ikhlas telah bekerja keras dalam waktu yang relatif singkat. Akhirnya, kepada semua pihak yang telah bersedia membantu dan memberikan dukungan terhadap penulisan buku ini, saya ucapkan terima kasih.

Banda Aceh, 23 Oktober 2017

Prof. Dr. Ir. Abdi Abdul Wahab, M.Sc

v


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

KATA PENGANTAR GUBERNUR ACEH

S

egala puji syukur kehadirat Allah Swt, kita berba足 hagia menyambut terbitnya buku Abdi Abdul Wahab Pemim足pin di Dua Era. Shalawat dan salam juga kita sampai足 kan kepada kekasih Allah, Nabi Muhammad saw. Karena kehadirannya, yang telah mengubah prilaku manusia untuk senantiasa berusaha menjadi yang terbaik. Nabi Muhammad saw adalah sosok yang patut menjadi contoh bagi seluruh pemimpin. Dalam perjalanan hidup, terkadang kita sering me足 rasa sudah mengenal tokoh tertentu yang karena akrab mendengar namanya namun sebenarnya hanya sekelumit kecil yang kita ketahui. Berbahagia sekali, buku mengenai sosok pemimpin yang pernah menjadi Rektor Universitas Syiah Kuala ini ditulis. Secara pribadi saya sudah lama mengenal beliau baik sebagai seorang guru dan sahabat semenjak saya belum bergabung ke dalam sebuah kelompok oposisi pemerintah. Guru saya, sahabat saya Abdi Abdul Wahab telah memposisikan dirinya bagaimana menjadi vi


seorang pemimpin di dua era, masa konflik dan tsunami. Sosoknya yang rendah hati, gigih, sederhana, namun kuat dalam pendirian tercermin dalam perjalanan hidupnya sejak kecil, telah mengantarkan kariernya menjadi pemimpin universitas tertua di Aceh. Ia kaya dengan ide-ide cemerlang, ide tersebut beliau tuangkan dalam buku saku program untuk mensejahterakan rakyat Aceh saat saya menjabat gubernur periode pertama tahun 2007. Dia adalah pendengar yang baik namun objektif. Bagi Prof Abdi, pintar kita bukanlah karena kita memiliki sederetan gelar. Pintar kita itu adalah bagaimana kita bermanfaat untuk orang lain. Tentunya banyak sekali yang bisa diteladani dari orang yang sangat menjaga kesetian sebuah persahabatan. Buku ini adalah bagian dari perjalanan seorang anak dari Desa Paya Tumpi, Takengon. Banyak hal yang bisa kita ambil sebagai panutan. Sebuah perjalanan hidup yang memerlukan pengorbanan dan kerja keras, perjalanan dalam berbangsa dan bernegara. Saya sangat mengapresiasi penerbitan buku ini. Semoga bermanfaat dan selamat membaca.

Banda Aceh, 22 Oktober 2017 Gubernur Aceh drh. Irwandi Yusuf, M.Sc

vii


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

KATA PENGANTAR REKTOR UNIVERSITAS SYIAH KUALA

S

egala puji kita panjatkan kehadirat Allah Swt. Tuhan pencipta alam semesta yang menjadikan bumi dan isinya dengan begitu sempurna. Tuhan yang menjadikan setiap apa yang ada di bumi sebagai pelajaran bagi kaum yang berfikir. Shalawat beserta salam kita kirimkan kepada Nabi Muhammad saw, tokoh akhir zaman yang membawa perubahan bagi seluruh umat manusia. Prof Abdi begitu saya memanggilnya, merupakan seorang yang sederhana. Kegigihannya dalam menapaki tangga kehidupan sejak kecil telah menghantarkan beliau sebagai seorang yang berdedikasi dan menjadi sosok yang sangat dikenal di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Unsyiah berbangga telah memiliki orang seperti beliau. Prof Abdi telah berhasil membawa Unsyiah ke era yang baik pada masanya. Terobosan-terobosan yang dilakukan semasa men­ jabat sebagai Rektor Unsyiah telah memberikan manfaat hingga sekarang. Sifatnya yang ramah dan mau berkawan membuatnya mudah dikenal dan sampai saat ini beliau viii


kadang disapa sebagai Pak Rektor walaupun beliau sudah memasuki masa pensiun. Saya mengagumi sosok Prof Abdi, maka saya menyam­ but baik penerbitan buku ini. Banyak hal yang bisa diteladani dari beliau, di dalam buku ini, bagaimana gaya kepemimpinan beliau diungkapkan secara ringan, diselingi seloroh dan tentu saja ada kritik. Saya berharap buku ini dapat menjadi referensi yang positif dan pembelajaran yang bermakna bagi kita. Banda Aceh, 23 Oktober 2017 Rektor Universitas Syiah Kuala Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng

ix


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

KATA PENGANTAR DEKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

P

rof Dr. Ir. Abdi A Wahab, M.Sc merupakan sosok yang memiliki karakter kepemimpinan yang kuat di jajaran kepemimpinan Unsyiah. Beliau memulai karier sebagai Dekan Fakultas Pertanian yang dikenal fleksibel, tapi tegas dan memiliki prinsip yang kuat, tidak mudah dipengaruhi ketika beliau meyakini sesuatu kebenaran atas keputusan yang diambilnya. Sehari-hari beliau tampil sederhana dan mudah diajak diskusi, terutama terkait dengan ide-ide inovatif untuk memajukan Universitas Syiah Kuala. Pertahanan diri yang kuat terhadap godaan materi selama menjadi pejabat dibuktikannya, bukan hanya ketika menjadi Dekan Fakutas Pertanian, tetapi kesederhanaan ini juga tampak ketika beliau menjabat sebagai Pembantu Rektor I Bidang Akademik, bahkan sampai beliau menjadi Rektor Universitas Syiah Kuala. Bagi kami sendiri yang sekarang masih dipercayakan sebagai Dekan Fakultas Pertanian periode 2011-2015 dan 2015-2019, beliau merupakan salah satu sosok teladan yang Kami jadikan rujukan, baik dari sisi perilaku kreatif maupun x


pemikiran inovatifnya dalam memajukan Fakultas Pertanian. Di berbagai kesempatan, kami sering berdiskusi meminta pemikiran beliau dalam memajukan Fakultas Pertanian. Kehadiran buku ini merupakan kebahagian besar bagi kami semuanya, karena dapat dengan mudah mengenal pemikiran dan hampir seluruh kehidupan sosok Prof. Dr. Ir. Abdi A Wahab, M.Sc, mulai dari perjuangan masa mudanya hingga beliau dipercaya menjadi orang nomor satu di Universitas Syiah Kuala, yang merupakan universitas terbaik di Aceh dan “jantong hatee rakyat Aceh”. Kami secara pribadi dan seluruh civitas akademika Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala mengucapkan selamat atas peluncuran buku “Abdi Abdul Wahab Pemimpin Di Dua Era”. Semoga buku ini dapat menjadi rujukan generasi muda dalam berjuang membangun bangsa, negara dan agama, khususnya Universitas Syiah Kuala tercinta di masa yang akan datang.

Banda Aceh, 22 Oktober 2017 Dekan Fakultas Pertanian Unsyiah, Dr. Ir. Agussabti, M.Si

xi


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

KATA PENGANTAR KETUA TIM

A

lhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Swt, atas izin-Nya, buku ini dapat kami sele­ saikan secara bersama-sama dari tim Universitas Syiah Kuala. Buku ini adalah sebuah catatan perjalanan sejarah hidup, perjuangan, tatanan kehidupan, kiprah, dan ide-ide cemerlang Abdi A Wahab, Rektor Unsyiah. Semoga bisa bermanfaat bagi generasi berikutnya, khususnya para dosen muda di lingkungan Universitas Syiah Kuala dan seluruh masyarakat Aceh pada umumnya. Kami menyadari, bahwa buku ini memiliki banyak keterbatasan, baik dalam hal substansi maupun gaya bahasa dan penulisannya. Namun demikian, kami tetap berharap bisa menjadi rujukan bagi pembaca tentang perjuangan untuk memperoleh pendidikan, kiprah dan ide-ide cemerlang dari seorang tokoh pemimpin Unsyiah di dua era yakni era konflik dan era tsunami.

xii


Akhirnya, kami dari tim penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada para narasumber yang telah bersedia diwawancarai serta memberikan artikel bagi penyempurnaan buku ini. Darussalam, 20 Oktober 2017 Ketua, drg. Saifuddin Ishak, M. Kes., PKK.

xiii


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

DAFTAR ISI

Ucapan Terima Kasih ............................................................. iv Kata Pengantar Gubernur Aceh............................................. vi Kata Pengantar Rektor Unsyiah............................................ viii Kata Pengantar Dekan Fakultas Pertanian Unsyiah........... x Kata Pengantar Ketua Tim...................................................... xii Daftar Isi.................................................................................... xiv BAB I

PARADOKSI SEORANG ANAK BUPATI.......... 1 Anak Ibu ................................................................... 13 Masuk SMA di Medan............................................ 18 Pergi ke Ibukota ...................................................... 19 Jadi Mahasiswa Pendengar ................................... 20 Lulus Jadi Mahasiswa............................................. 22 Kuliah Sambil Kerja ................................................ 25 Perjalanan Menjadi Dosen ..................................... 32 Sekolah ke Amerika ................................................ 38 Meraih Asa ............................................................... 46

BAB II

ABDI SANG PENGABDI ....................................... 51 Mulai Bersinar ......................................................... 58 Memberdayakan yang Muda ................................ 65 Darussalam Berduka .............................................. 74 Menjadi Rektor ........................................................ 75 Meletakkan Pondasi Mutu Akademik ................. 82

xiv


BAB III TSUNAMI, ACEH, DAN UNSYIAH.................... 91 Duka Menjelang Pesta ............................................ 95 Tsunami, Ujian Bagi Kepemimpinan Abdi ......... 101 Pembentukan Task Force dan UAR ..................... 106 Menjadi Anggota Dewan Pengarah BRR NAD – Nias ..................................................... 112 Pembentukan Pusat Riset Tsunami Unsyiah ...... 116 Mengelola Bantuan, Merawat Kepercayaan ....... 120 Melanjutkan Program Yang Tertunda ................. 124 Merintis Fakultas Kedokteran Gigi Unsyiah ...... 128 Gagasan “Aneh” Abdi Yang Tersimpan ............. 131 Testimoni .................................................................................. 135 Galeri Foto ................................................................................ 163

xv




“Saya pikir tidak perlulah orang tahu. Bupati itu kan jabatan ayah saya. Dan kenyataannya kami tidak pernah merasakan hidup mewah dan dimanja sebagaimana anak Bupati yang dibayangkan banyak orang,� ungkap Abdi A. Wahab lirih.


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

DEMIKIANLAH SOSOK Abdi A. Wahab yang banyak dikenang keluarga, sahabat, kolega dan teman-temannya. Doktor jebolan University of Kentucky, Amerika Serikat tahun 1986 ini selalu merendah. Meski pernah menjadi orang nomor satu di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), kepribadiannya tidak berubah. Tutur bahasanya lemah lembut. Penampilannya sangat seder­ hana. Sikap rendah hati dan keakrabannya kepada teman dan kolega telah menyamarkan statusnya. Sifat inilah yang selalu dikenang teman-temannya. Prof. Dr. Yusny Saby, mantan rektor IAIN Ar-Raniry mengatakan bahwa Abdi A. Wahab adalah sosok pemimpin yang cerdas. Dalam berbagai rapat kerja di BRR Aceh-Nias1 dulu, Yusny Saby mengaku kalau Abdi selalu datang dengan ide-ide brilian yang belum pernah terpikirkan orang lain. Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias adalah lembaga ad-hock yang dibentuk pemerintah untuk melaksanakan rehab rekon Aceh dan Nias pasca gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Di lembaga setingkat Kementerian ini, Prof. Dr. Yusny Saby dan Prof. Dr. Abdi A. Wahab duduk sebagai anggota Dewan Pengarah sejak April 2005 hingga berakhirnya masa kerja BRR Aceh Nias pada April 2009. 1

3


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

“Beliau itu sangat disiplin, pekerja keras dan cerdas. Salah satu idenya adalah mendirikan pusat studi tsunami (Tsunami Disaster Mitigation Research Center – red) yang di Ulee Lheue itu,” jelas Yusny. Namun sesekali, sifat ‘idealis’ dalam dirinya berontak. Abdi bisa sontak emosi bila melihat ketidakpedulian atau ketidakpatuhan seseorang dalam suatu pekerjaan. Nova, anak kedua Abdi mengaku ayahnya bisa ‘meledak’ bila anakanaknya tidak mengerjakan sesuatu sesuai perintahnya. Sebaliknya, aku Nova, marahnya juga bisa cepat reda dan dia segera melupakan kejadian tersebut. Hal senada juga diungkapkan oleh Dr. Aman Yaman, Dosen Fakultas Pertanian Unsyiah yang juga pernah menjadi mahasiswa Abdi. Menurut Aman, sebagai dosen, Abdi sangat perha­ tian dan dekat dengan mahasiswanya. Ia sangat ingin mahasiswanya menguasai semua ilmu yang diajarkannya di kelas. Namun, masih Menurut Aman, kepeduliannya yang tinggi sering memicu emosinya karena mahasiswa tidak serta merta mengerjakan sesuai instruksinya. Abdi – demikian panggilannya, merupakan anak bungsu dari empat bersaudara yang semuanya lelaki. Ia lahir di Desa Paya Tumpi, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah pada 9 April 1944. Di dalam nadinya, mengalir darah raja-raja Gayo tempo dulu. Ayahnya bernama Abdul Wahab bin T. Johan. Ibunya bernama Sri Kala binti Aman Arun2. Kakek dari pihak ayahnya, Johan, adalah seorang Reje Gunung (Raja – red). Reje Gunung adalah salah seorang raja dari sebuah kerajaan kecil di kawasan gunung. Sekarang Budaya masyarakat Gayo pada umumnya tidak biasa memanggil nama orang tua, melainkan memanggil mereka dengan sebutan Aman fulan (Aman berarti ayah si fulan, biasanya nama anak yang pertama). Anak pertama Kakek Abdi dari pihak ibunya bernama Harun. Oleh sebab itu, ia dipanggil Aman Arun. 2

4


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

masuk Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah. Kerajaannya tunduk di bawah Raja Bukit. Menurut AR Latief dalam buku Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas3, Kerajaan Bukit merupakan satu dari 9 Kerajaan otonom yang berkuasa di Aceh pada masa itu. Di kalangan masyarakat Gayo, Abdul Wahab, ayah Abdi, sangat dihormati. Meskipun secara pribadi ia menolak diangkat sebagai raja, namun masyarakat tetap mendaulatnya. Kedudukannya sebagai Raja juga diakui oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan Jepang. Pria kelahiran Kebayakan, 3 Maret 1909 ini dikukuhkan oleh Pemerintah Belanda sebagai Stamhoofd Landschap (Raja) Bukit pada 1 November 1927, pada usia 18 tahun. Waktu itu ia baru saja lulus dari HollandschInlandsche School (HIS) di Lhokseumawe. Dalam Bahasa Belanda, Stamhoofd berarti Raja. Landschap adalah wilayah administratif setingkat distrik atau kabupaten. Ketika pasukan Jepang masuk ke Aceh pada 12 Maret 4 1942 dan menguasainya dua minggu kemudian, semua sistem pemerintahan Belanda tetap dipertahankan. Namun penyebutannya memakai istilah Jepang. Pemerintah Jepang di Aceh tetap mengakui keberadaan kerajaan-kerajaan lokal. Panggilan raja diganti dengan istilah Jepang yaitu dengan sebutan Syuco.Â

H. AR Latief. (1995) Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas. http://kampung-bukit. blogspot.co.id/2015/04/kerajaan-reje-bukit.html. 4 Ibrahim, M; Arifin, M; Sulaiman, Nasruddin; Sufi, Rusdi, Ahmad, Zakaria; Alfian, T. Ibrahim. 1991. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Jakarta. 3

5


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era Kerajaan Reje Bukit *) Kerajaan Bukit didirikan oleh Sengeda pada abad XV, tepatnya pada 1610 M. Sengeda merupakan salah seorang putra Reje Linge XIII yang menikahi Puteri Kerajaan Johor Baru. Kerajaan Linge yang berdiri tahun 1025 M tercatat sebagai pusat kekuatan di Aceh masa itu. Anak keturunan Reje Linge, Adi Genali, tercatat sebagai raja di berbagai wilayah di Aceh seperti Meurah Johan (Pendiri dan Raja Kerajaan Aceh Darussalam), Meurah Mersa (Pendiri dan Raja Kerajaan Islam Perlak), Meurah Silu (Pendiri dan Raja Kerajaan Pasai), Meurah Dua (Raja Kerajaan Samalanga), Meurah Jernang (Pendiri dan Raja Kerajaan Daya di Aceh Jaya), Meurah Bacang (Pendiri dan Raja Kerajaan Nagan Raya), dan Sibayak Lingga (Pendiri dan Raja di Kerajaan Tanah Karo). Kerajaan Bukit terletak di Kebayakan, di atas sebuah bukit yang datar sekitar 2 Kilometer dari Kota Takengon. Sekarang bernama Kampung Bebesen. Wilayah kekuasaan Reje Bukit tersebar dari hingga ke Blangkejeren di Gayo Lues. Kerajaan Bukit merupakan satu dari sembilan Kerajaan yang berkuasa di Aceh pada abad ke-15 (AR Latief, 1995). Hal ini ditandai dengan adanya Cap Sikureung yang berikan oleh Kesultanan Aceh. Untuk mengkoordinir wilayah yang luas, Kerajaan Bukit didukung oleh tiga kerajaan kecil yakni: Reje Gunung, Reje Bukit Lah dan Reje Bukit Iwih. *) Dari berbagai sumber

Abdul Wahab diang足 kat sebagai Fuku Syuco Bukit pada 1 Maret 1943 hingga 30 Juni 1945. Dalam Bahasa Jepang, Fuku berarti wilayah, Syuco adalah raja pribumi sebagai pemimpin suatu wilayah/keresidenan. Ke足 mu足足 dian, pada 1 Juli 1945 sampai 30 April 1946, Abdul Wahab diangkat sebagai Djodjaku (asisten resmi) tentara pendudukan Jepang. 6

Abdul Wahab bersama Istri ketiganya Agnes Manoppo.


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

“Semasa penjajahan Jepang, ayah ikut menjadi tentara Heiho ,” kenang Abdi. “Tapi tidak banyak yang saya ingat tentang riwayatnya. Kelemahan saya adalah tidak mencatat apa yang telah ayah lakukan untuk republik ini,” sambung Abdi perlahan. Meskipun memiliki jabatan penting dalam struktur Pemerintahan Jepang, Abdul Wahab selalu memikirkan rakyatnya. Ketika mengetahui Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Amerika dan sekutunya, Abdul Wahab memimpin relawan dan pasukan berani mati6 untuk melucuti senjata pasukan Jepang dan memimpin pengibaran Bendera Merah Putih untuk pertama kalinya di Takengon. Dalam pidato singkatnya Abdul Wahab berkata, ”Kita bertekad bulat dari pada hidup dijajah, lebih baik mati berkalang tanah.” Pidato tersebut spontan disambut massa dengan pekikan, “Merdeka” dan “Allahu Akbar.”7 Di era kemerdekaan, tepatnya pada 1 Mei 1946, Abdul Wahab ditetapkan sebagai Bupati Kabupaten Aceh Tengah yang pertama. Jabatan ini berlangsung selama lima tahun hingga 25 April 1951. Selanjutnya, Abdul Wahab diangkat sebagai Bupati Aceh Besar sejak 26 April 1951 hingga 10 Mei 1955. Pada saat yang bersamaan, ia juga menjabat sebagai Walikota Kutaraja (Banda Aceh). Kemudian ia ditugaskan menjadi Bupati Aceh Barat sejak 1 Juli 1955 sampai 1 Juni 5

Heiho adalah pasukan yang terdiri dari prajurit Indonesia yang langsung ditem­ patkan dalam struktur militer Jepang. Pasukan ini dibentuk oleh tentara pendudukan Jepang di Indonesia pada masa Perang Dunia II. Pasukan ini dibentuk untuk membantu pekerjaan kasar militer seperti membangun kubu dan parit pertahanan, menjaga tahanan, dll. 6 Pasukan berani mati terdiri dari pemuda-pemuda bekas Heiho, Gyugun, Toko Bitsu, Saiden dan Kai Bodan. 7 Yoga, Salman S. 2014. Hengkangnya Jepang dan Proklamasi Kemerdekaan RI di Takengon. http://lintasgayo.co/2014/08/16/hengkangnya-jepang-dan-proklamasikemerdekaan-ri-di-takengon. 5

7


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era Masa Penjajahan Jepang *) Jepang masuk ke Aceh pada 12 Maret 1942. Kedatangan Jepang ke Aceh atas permintaan rakyat Aceh untuk mengusir penjajah Belanda. Waktu itu, Pengurus Besar PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) mengirim dua orang utusannya ke Singapura menjemput Bala Tentara Jepang datang ke Aceh yaitu: Sayeed Aboe Bakar dari Aceh Besar dan Tgk.Abdoel Hamid (ayah Hamid) dari Aceh Utara. Setelah Jepang mendarat, mereka langsung menyerang pusat-pusat pertahanan Belanda. Takengon menjadi basis pertahanan utama Belanda saat itu. Tekanan demi tekanan yang dilancarkan pasukan Jepang telah memaksa Belanda menyerah kepada Jepang di Blangkejeren pada 28 Maret 1942. Dan pada tanggal itulah, berakhirnya kekuasaan Belanda secara resmi di tanah Aceh. Pada awal kekuasaannya, Pemerintahan Jepang didukung oleh mayoritas rakyat Aceh. Jepang masih menerapkan sistem Pemerintahan Belanda, hanya diganti nama. Para pemimpin lokal, raja-raja, uleebalang dirangkul dan diberi jabatan Gunco, Sunco maupun Gyugun (Kepala Distrik, Subdistrik, dan Tentara Sukarela). Namun kemudian, pasukan Jepang mulai bertindak biadab. Mereka mulai mengutip paksa hasil padi rakyat. Kaum pria dipaksa kerja rodi (Romusha), dan kaum wanita serta anak-anak diculik dan direndahkan kehormatannya (jugun ianfu). Semua ini memicu kemarahan rakyat. Maka, pemberontakan terhadap Jepang pun mulai menggelora. Pemberontakan pertama terjadi di Bayu, Lhokseumawe pada 10 November 1942 yang dipimpin Teungku Abdul Jalil. Kemudian di Pandrah, Jeunieb pada tahun 1944 yang dipimpin Tgk. Abdul Hamid yang merupakan perwira Gyugun. Di Takengon, pemberontakan terhadap Jepang juga tak terhin­ darkan. Ketika mendengar berita proklamasi, Raja Abdul Wahab me­mim­ pin Barisan Berani Mati. Pasukan yang terdiri dari pemuda-pemuda bekas Heiho, Gyugun, Toko Bitsu, Saiden dan Kai Bodan ini menyerbu Asrama Militer Jepang dan melucuti senjatanya. Pada 23 Agustus 1945 sekitar pukul 10.45, Bendera Merah Putih untuk pertama kalinya secara resmi berkibar di angkasa Tanah Gayo. Ali Jauhari dan Ibnu Yogya bertindak sebagai penggerek bendera. Teks Proklamasi Kemerdekaan RI dibacakan oleh Raja Mukmin. Raja Abdul Wahab memberikan amanat singkat. “Saudara-saudara sekalian, kemerdekaan Negara Kesatuan Repu­blik Indonesia wajib kita pertahankan dengan perjuangan dan pengorbanan sampai titik darah penghabisan. Kita bertekad bulat dari pada hidup dijajah, lebih baik mati berkalang tanah,” ujarnya. Pidato dan sambutan tersebut spontan disambut massa dengan pekikan “Merdeka” dan “Allahu Akbar”. *) Dari berbagai sumber

8


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

Para residen berserta bupati se-Aceh berpose bersama Presiden R.I pertama Ir. Soekarno di depan Pendopo Gubernur Aceh. (o: Abdul Wahab, dan Zaini Bakri (kirinya) yang merupakan kakeknya Illiza Saadudin Djamal (mantan walikota Banda Aceh)).

1957. Enam tahun menjabat di luar daerah, Abdul Wahab kembali diangkat sebagai bupati Aceh Tengah sejak 1 Mei 1957 sampai 30 September 1959. “Dulu bupati ditetapkan, bukan di­pilih oleh rakyat seperti sekarang ini. Pada masa DI/TII, beliau ditunjuk sebagai penguasa Aceh, karena semua kawan-kawannya sudah masuk DI,” jelas Abdi sambil tersenyum. Layaknya seorang pejabat tinggi, Abdul Wahab sangat sibuk. Maklum, wilayah kerjanya sangat luas, meliputi Bener Meriah, Aceh Tenggara, dan juga Gayo Lues. Sehingga, Abdul Wahab hampir tidak memiliki waktu untuk bercengkrama bersama anak dan keluarganya. Abdi dan ketiga abangnya lebih banyak ditemani Sri Kala, ibu kandungnya. Sebagaimana budaya tradisional Gayo, ibu lebih banyak berperan di rumah. Demikian pula Abdi dan abang-abang­ nya, lebih banyak berinteraksi dengan ibu. Mereka jarang berbicara apalagi ngobrol-ngobrol dengan ayah. Selain sibuk di kantor, ayahnya sering ke luar daerah. “Ayah saya punya tiga istri. Istri per­tama, Sri Kala, ibu 9


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Usai menikah, Abdul Wahab mengajak istrinya Sri Kala (duduk di belakang nomor dua dari kanan pakai Sanggul Gempong ala Gayo) jalan-jalan naik mobil Willys Knight tipe 70A keluaran 1927-1929.

kandung saya, berasal dari daerah Simpang Tiga, Kabupaten Bener Meriah sekarang. Selama bertugas di Aceh Barat Abdul Wahab mengambil istri kedua dari Jeuram. Beberapa waktu kemudian, ayah saya menikah dengan istri keduanya, Cut Aja, berasal dari Jeuram namun tinggal di Desa Pepalang, Aceh Tengah. Sedangkan istri ketiga ayah berasal dari Kutacane yang dulu masih bagian dari Kabupaten Aceh Tengah, sekarang Kabupaten Aceh Tenggara. Dia seorang janda asal Manado, mempunyai dua orang anak,� ungkap Abdi. Bagaimana Abdul Wahab memimpin keluarganya dengan tiga orang istri dan dua belas orang anak tentulah luar biasa. Uniknya, ketiga istrinya dapat hidup rukun, demikian pula anak-anaknya. Dari istri pertama, Sri Kala, ada empat bersaudara semuanya laki-laki. Yang sulung Syarifuddin Wahab, nomor dua Suwardi Wahab, ketiga Ramli Wahab, dan terakhir Abdi Wahab. Dari istri kedua, Cut Aja, ada 10


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

empat anak juga, dua laki laki Abdul Muthalib dan Mahmud, serta dua perempuan, Wan Ani dan Rohani. Demikian juga dari istri ketiga, Agnes Manoppo, ada empat orang, satu lakilaki tiga perempuan masing-masing Johny, Aidifco, Hariyeti, dan Dahliana. “Dari istri pertama tinggal saya sen­diri yang masih hidup. Dari istri kedua hanya tersisa satu adik perempuan Rohani. Sedangkan dari istri ketiga alhamdulillah masih lengkap,” jelas Abdi. Dalam perjalanan hidupnya, Abdi dan abang-abang­­ nya tidak pernah merasakan sebagai anak bupati. Didikan ayahnya sangat keras. Abdi dan saudara-saudara lainnya hampir tidak pernah merasakan kemewahan. Mereka tidak merasa seperti anak seorang bupati. Bahkan dia lupa kapan terakhir dibelikan baju baru oleh ayahnya. Yang sering, celana ayahnya dikecilkan untuk diberikan kepadanya. Mereka hidup biasa-biasa saja seperti masya­ rakat kebanyakan. Namun dibalik itu, Abdi kini menyadari, bahwa sikap dan pola didikan ayahnya yang keras inilah yang membentuk karakternya sehingga tidak mudah me­ nye­rah dengan keadaan. Selain itu, menurut Abdi, sikap inilah yang mungkin membuat semua anak dari ketiga ibunya selalu rukun dalam hubungan silaturahim, termasuk ketiga ibunya yang akur dan damai. Didikan yang paling keras yang dirasakan Abdi dari ayahnya adalah mengenai kejujuran dan disiplin. Terlihat Abdi sedikit menghela nafas. Ia melanjutkan kenangan tentang ayahnya. "Suatu hari, saya datang ke kantor ayah. Setelah mengucap Assalamualaikum, saya berdiri di depan meja. "Ada apa?" tanya ayah. 11


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

"Yah, saya mau beli buku." “Berapa harga bukunya?” tanyanya dengan melotot sambil menurunkan kacamata, saya menjawab pelan, “Belum tahu, yah." “Sekarang kau cari tahu, nanti kembali lagi,” tegasnya. Kemudian Abdi pun berlari ke toko buku di kota. Kebetulan lokasinya tak jauh dari kantor bupati. Setelah mendapatkan harga buku dimaksud, ia kembali menjum­ pai ayahnya. Kemudian tanpa banyak tanya lagi, ia pun mendapatkan uangnya. Malah dikasih lebih. Selalu demi­kian. Abdul Wahab selalu memberi lebih apabila anak-anaknya meminta untuk membeli sesuatu. Tapi lebihnya itu harus dikembalikan. Sekarang Abdi baru menyadari, bahwa ayah­ nya sedang menguji kejujuran mereka. Pernah suatu hari, ia tidak mengembalikan kelebihan uangnya, maka ia pun kena marah habis-habisan. Ketegasan dan disiplin Abdul Wahab dalam bekerja dan mendidik keluarga telah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat Gayo. Ia dikenal sebagai bupati yang tidak mau menggunakan fasilitas negara untuk keluarga. “Mobil dinasnya saja hampir tidak pernah kami nikmati. Pernah abang-abang saya melihat-lihat ke dalam mobilnya yang terparkir di depan garasi melalui kaca jendelanya. Beliau melihat, dia hanya bilang, apa, kepingin? Itu saja, tetap mereka tidak dikasih naik,” kenang Abdi lirih. Sifat ini sedikit banyak menurun kepada Abdi. Pada saat menjabat sebagai Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), tidak ada anak bahkan istrinya yang bisa menggunakan mobil negara. “Saya berprinsip bahwa jabatan itu bukanlah segala­ nya, dan itu yang saya dapat dari ayah saya,” tegasnya. 12


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

Sri Kala bersama empat anak lelakinya, Syarifuddin Wahab, Suwardi Wahab, Ramli Wahab, dan Abdi Wahab.

Anak Ibu Masa kecil Abdi dihabiskan di kampungnya, Paya Tumpi, sebuah desa kecil di dataran tinggi Aceh Tengah yang dingin. Di sana dulu, hanya ada 10-15 rumah tetangga yang tersembunyi di antara rimbunan kebun kopi. Rumahnya terletak di pinggir jalan raya Bireuen – Takengon. Jarak dari rumah ke Kota Takengon hanya 3,6 kilometer. Namun, karena minim sarana transportasi, warga di sana biasanya hanya berjalan kaki bila hendak ke kota untuk menjual hasil kebun ataupun berbelanja. Bahkan, ibu Abdi pun sampai tuanya biasa hanya berjalan kaki ke Takengon. Meskipun tinggal di kawasan yang dipenuhi kebun kopi, tapi keluarga Abdi tidak memiliki kebun. Maklum, 13


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

sebagai pejabat negara, ayah­ nya tidak ada waktu untuk merawat kebun. Menurut Abdi, ada tanah kebun wari­ san dari kakeknya seluas ham­­ pir dua hektar dan sa­ wah hampir satu hektar. “Sedikit saja. Namun itu pun saat ini sudah tidak ada lagi. Semua sudah habis dibagibagi,” papar Abdi. Di kampung, Abdi dan ketiga abang­nya diasuh sendiri oleh ibu kandung­nya Sri Kala, ibu kandung Abdi berpose di depan rumah di kampung Paya Tumpi. dengan penuh kasih sayang. Sri Kala, ibunya, adalah tipe ibu rumah tangga kebanyakan. Karena di rumah tidak ada pembantu, ia selalu mengerjakan semua pekerjaan di rumah sendiri. “Di antara semua anak, saya yang paling dekat dengan ibu. Kebetulan waktu saya kecil, abang-abang sudah besar dan sekolah di luar. Ada yang kuliah di Jogja, di Banda Aceh, dan ada yang di Medan,” ujar Abdi sambil menyodorkan foto keluarga. “Kadang kalau saya ingat-ingat ibu, saya merasa banyak menyusahkannya. Apa namanya, perancut gitulah. Kalau dia shalat, saya suka minta gendong. Kalau dia pergi, saya suka minta ikut. Satu hal yang saya paling terkenang, ibu pandai sekali memasak. Gulai kepala ikan bandengnya paling saya suka. Saya suka minta istri untuk memasak seperti masakan ibu, tapi rasanya tidak bisa persis seperti masakan ibu saya,” kenangnya lirih. 14


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

Abdi bukanlah tipe anak kutu buku. Seperti anakanak lainnya, Abdi lebih banyak bermain sepulang sekolah daripada belajar. Maklum, tinggal di kampung. Tidak ada les privat, apalagi kursus piano. Setiap hari setelah pulang sekolah langsung makan. Siap makan langsung bermain. “Main bola kaki, main semprot-semprotan di sawah, menggembala kerbau orang, naik kerbau. Pulang sore dimarahi di rumah sama ibu,” kenangnya sambil tertawa riang. Abdi merasa sangat beruntung tinggal bersama ibu yang penuh kasih sayang. Meski tidak bisa membantu membuat PR, namun Abdi memperoleh motivasi belajar yang sangat besar dari ibunya. Selain itu, Abdi banyak belajar dari sifat ibunya yang terkenal murah hati, sosial, dan juga hemat. “Ibu saya buta huruf. Ia tidak pernah sekolah formal, hanya mengaji saja. Mungkin karena itu juga, dia sangat mendorong kami untuk bersekolah,” kisah Abdi yang pernah dapat rangking 1 waktu SD dan rangking 2 di SMP. “Selain itu, ibu juga sangat selektif. Beliau itu selektif dalam segala hal. Misalnya mengenai selera makanan, piring makan, tidak sembarangan,” kenangnya tentang ibu yang sangat dicintainya. Meski terlahir di desa terpencil, Abdi tumbuh sebagai anak yang cerdas di sekolah. Tinggal jauh di pedalaman, tak menyurutkan semangat belajarnya seperti anak-anak yang tinggal di kota besar. Meski hanya pakai lampu minyak, Abdi yang gemar membaca ini tetap bergairah. Biasanya mereka belajar bersama teman-teman, berkelompok.

15


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era Kampung Halaman Paya Tumpi merupakan salah satu desa dari 20 desa yang ada di Kecamatan Kebayakan Kabupaten Aceh Tengah, Provinsi Aceh. Menurut riwayat, nama Paya Tumpi diambil dari nama pohon Tumpi besar yang tumbuh di ujung jalan. Pohon Tumpi memiliki buah seperti buah mangga yang manis. Pada era desentralisasi tahun 2001, Desa Paya Tumpi dimekarkan menjadi tiga desa yakni: Paya Tumpi, Paya Tumpi Baru dan Paya Tumpi Satu. Paya Tumpi memiliki luas 3,75 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 727 jiwa (183 KK). Terdiri atas beberapa suku, yaitu suku Gayo, Jawa, Aceh, dan Batak. Masyarakat Paya Tumpi mayoritas bekerja sebagai petani atau pekebun kopi. Suku Gayo terkenal haus akan ilmu pengetahuan. Mereka suka belajar. Paya Tumpi terkenal sebagai salah satu penghasil kopi terbaik di Aceh. Varietas Kopi Gayo Arabika (Coffea Arabica L) yang banyak tersebar di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah awalnya dibudidayakan di Paya Tumpi sekitar tahun 1924. Bibitnya dibawa oleh orang Belanda setelah jalan raya Bireuen - Takengon selesai dibangun tahun 1913. Selanjutnya kebun kopi menyebar ke daerah Blang Gele, Burni Bius, Redines, dan Bergendal. Iklim yang dingin dan tanahnya yang subur menjadikan daerah ini cocok ditanami berbagai jenis tanaman, baik tanaman tahunan seperti kopi, alpukat, jeruk keprok, maupun tanaman holtikultura. Pada 26 Juli 2017, Perpustakaan Paya Tumpi Baru keluar sebagai Juara 1 Lomba Perpustakaan se-Aceh dan terbaik ke-5 Nasional. Tokoh nasional yang lahir di Desa Paya Tumpi seperti Iwan Gayo, penulis Buku Pintar.

Tidak seperti di kota, sekolah di kampung terbatas jumlahnya. Abdi harus berjalan kaki 1,2 kilometer setiap hari untuk sampai ke sekolah. Ini sekolah yang terdekat. Sekolah Rakyat, namanya. Hal ini dijalaninya sampai kelas 3. Memasuki kelas 4, Abdi harus pindah ke sekolah yang lebih besar di Kebayakan. Namun ia harus menempuh dua kilometer lebih setiap harinya dengan berjalan kaki. Sekolah yang lama tidak ada guru untuk kelas 4 ke atas. Kemudian, memasuki kelas 6, Abdi pindah sekolah lagi ke SD 3 di Kota Takengon. Di sekolah inilah Abdi kemudian menamatkan SD-nya pada tahun 1957. 16


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

Memasuki SMP, sekolahnya lebih jauh lagi. Jaraknya 3,5 kilometer dari rumah. Untungnya, Abdi sudah punya sepeda. Setelah merengek kepada ibu beberapa kali, akhirnya bisa juga punya sepeda baru. "Entah bagaimana komunikasi antara ibu kepada ayah yang waktu itu masih tugas di Kuta Raja, rupanya waktu pulang sekolah, sepeda baru sudah ada di rumah." Kenangan masa kecil Abdi di Paya Tumpi masih terngiang hingga kini. Tinggal berdua dengan ibu, berjalan kaki ke sekolah, bermain di sawah, semuanya dilalui dengan penuh suka. Tinggal jauh dari ayah justru menjadi ajang wisata baginya. Sesekali liburannya diisi dengan mengunjungi ayahnya di Banda Aceh. Tidur di Pendopo bupati8 yang megah. Kini, hampir tidak ada yang tersisa di Paya Tumpi. Teman-temannya pun sudah tidak ada lagi. Tidak dapat dipungkiri, kenangan indah di masa sekolah turut mengan­ tarnya terjun ke dunia akademik. “Dulu saya ingat di sana, terutama guru ilmu pasti, Pak Sahidin alm. yang terakhir jadi dosen di FKIP. Kemudian ada guru aljabar, Pak Semali yang juga paman saya adalah Kepala SMP pada waktu itu. Saya sangat terkesan. Mereka itu hebat-hebat. Meski waktu itu saya tidak ada cita-cita, tapi saya mengagumi mereka. Intelek, pakaian parlente, dan berwibawa. Karena itu, Pak Sahidin salah satu guru SMP saya dan ibu Maryam sebagai salah satu guru SD, saya undang pada waktu pengukuhan Guru Besar saya,â€? kisahnya dengan mata berkaca-kaca. Pendopo Bupati Aceh Besar dulu berada di sebelah SMA 1 yang sekarang sudah jadi Rumah Sakit Gigi dan Mulut yang dikelola Unsyiah. 8

17


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Masuk SMA di Medan Tahun 1960 menjadi tonggak penting bagi Abdi. Tahun ini, ia tamat SMP. Pada tahun ini pula, untuk pertama kalinya, ia harus berpisah dengan ibu tercinta. “Ayah menyuruh saya sekolah di Medan,” ujarnya lirih. “Sebenarnya saya berat meninggalkan ibu sendirian. Tapi karena disuruh ayah, saya menurut saja. Saya tanya sama ibu, ibu setuju.” “Ya pergi saja, kan untuk sekolah,” kata ibunya. Maka dengan berat hati, Abdi pun berangkat. Untung­ nya, ada saudara yang menemani ibu di rumah. Abdi merasa sedikit lega. Berbekal secarik kertas berisi alamat, Ia pergi sendiri. Meninggalkan kampung halaman, ibu tercinta, teman-teman, dan seluruh kenangannya. Di Medan, Abdi tinggal bersama Agnes Manoppo, istri ketiga ayahnya, di kawasan Medan Baru. Pada waktu itu, Abangnya yang sedang kuliah di Fakultas Kedokteran USU juga tinggal di sana. Ia didaftarkan di SMA Negeri IV Kampung Lalang. Tinggal untuk pertama kalinya di Kota besar membuatnya grogi. Beruntung Abdi punya abang dan saudara yang kompak di Medan. Mereka selalu setia menemani Abdi. “Awalnya saya merasa kecut juga waktu sekolah di Medan. Saya kan dari kampung, belum pernah ke kota, apalagi ke Medan. Untung ada adik-adik anak ibu Agnes. Mereka selalu menemani saya naik bus kota ‘Kobun’9 ke mana-mana,” kenangnya sambil tertawa kecil. Tinggal di kota tentu berbeda dengan tinggal di kampung. Karena itulah, meskipun tinggal di tengah keramaian Kobun adalah nama salah satu angkutan kota di Medan berjenis bus atau mini bus yang beroperasi waktu itu. 9

18


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

kota, Abdi selalu merasa kesepian. Ia selalu teringat ibu dan kampungnya. Ia merasa tak bisa jauh dari ibu. Maka, setiap ada kesempatan libur, Abdi selalu menyempatkan diri pulang ke kampung. “Setiap ada hari libur, saya selalu pulang ke Takengon untuk melihat ibu. Tapi ayah kurang suka. Pernah saat saya pulang ke Takengon, ayah tidak mau berbicara dengan saya. Dia menduga kepulangan saya ke Takengon karena saya tidak betah tinggal dengan ibu yang ketiga, dan saya harus minta maaf. Apa yang saya tangkap dari tindakan ayah adalah dia tidak ingin ada clash di antara hubungan kami sebagai anak dengan semua istri ayah,” kisahnya. Akhirnya, tahun berikutnya Abdi dipindahkan ke Banda Aceh. Ia tinggal bersama saudara sepupunya di Lamprit. Awalnya ia hendak didaftarkan ke SMA Negeri. Namun karena sudah lewat tahun ajaran baru, Abdi tidak diterima di sekolah negeri. Maka, Ia pun didaftarkan di SMA Muhammadiyah, Merduati, Banda Aceh. Tinggal di Banda Aceh ternyata juga tak membuatnya betah. Kerinduannya kepada ibu tak kunjung reda. Ia tidak bisa jauh dari ibunya. Tetap saja ia mencari cara untuk dapat pulang ke kampung. Teman-teman menyuruhnya pindah. Ayah­nya pun menyerah. Akhirnya Abdi kembali ke kam­ pung. Ia didaftarkan di SMA Negeri 1 Takengon. Pergi ke Ibukota Tahun 1964, setelah berpindah-pindah sekolah, akhir­ nya Abdi tamat SMA juga. Setahun lebih lama dari temantemannya. Tak ingin lalai lagi, Abdi menyurati abang dari ibu keduanya yang sudah kuliah di Akademi Ilmu Pelayaran (AIP), Jakarta. Setelah minta izin ayah-ibunya, Abdi langsung 19


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

berangkat ke Jakarta. Niatnya ingin masuk taruna Akademi Militer Negara (AMN). Namun, tak direstui ayahnya. Buyarlah impiannya untuk jadi tentara. Ia pun memutuskan masuk Akademi Pertanian di Ciawi, Bogor. Namun, kalah seleksi. Jadilah Abdi pengangguran di Jakarta. Untung abangnya sangat pengertian. Abdi dimotivasi untuk terus belajar. Abdi menumpang di rumah kost abangnya, melakukan persiapan untuk seleksi tahun berikutnya. Namun, belum genap setahun, pecahlah peristiwa Gerakan 30 September (G30S PKI 1965). Entah bagaimana, ayahnya langsung tahu peristiwa itu. Segera ia memerintahkan Abdi pulang ke Banda Aceh. Pupus sudah impian Abdi untuk bisa kuliah di ibukota. Namun, karena pertimbangan situasi dan permintaan orang tua, Abdi pun menurut. “Memang situasinya saat itu sangat mencekam. Bah­ kan di Takengon pun sudah terasa. Namun karena itulah saya bisa naik pesawat. Itu pengalaman pertama saya. Berang­ katnya dari Bandara Halim Jakarta ke Polonia Medan, hehehe,” kenangnya sedikit lucu mengingat peristiwa itu. “Dari Medan langsung naik bus ke Banda Aceh karena mau mendaftar kuliah,” tambahnya lagi. Jadi Mahasiswa Pendengar Sekembalinya ke Aceh, Abdi sedikit merasa kecewa. Mimpinya untuk bisa kuliah di Jakarta buyar. Ia galau. Tidak tahu harus berbuat apa. Namun teman-teman SMA-nya yang sudah duluan kuliah di Unsyiah menyemangati.

20


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

“Sudah, kuliah di Unsyiah (Universitas Syiah Kuala red) saja,� ajak mereka. Sebagai universitas baru, Unsyiah cukup populer di Aceh. Maklum, ini adalah perguruan tinggi negeri pertama di Aceh. Banyak anak-anak Aceh yang sudah merantau, kembali lagi ke Aceh untuk bisa kuliah di sini. Pada tahun itu, Unsyiah malah sudah berhasil meluluskan sarjana muda yang pertama dari Fakultas Ekonomi. Akhirnya Abdi pun mendaftar ke Unsyiah. Lagi-lagi, ia ditolak karena masa pendaftaran sudah lewat. Namun, 10

Abdi saat masih menempuh pendidikan sarjana berpose di depan Gedung Rektorat Unsyiah Lama.

atas bantuan Ir. Sudarsono Tjokroseputro, Dekan Fakultas Teknik waktu itu yang kebetulan kenalan baik ayahnya, Abdi diterima menjadi mahasiswa pendengar di Fakultas Teknik. Oleh ayahnya, Abdi diminta tinggal di rumah milik Alm. T. Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) merupakan perguruan tinggi negeri tertua di Aceh. Didirikan pada 2 September 1961 berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Nomor 11 tahun 1961, tertanggal 21 Juli 1961 serta Keputusan Presiden Republik Indonesia, nomor 161 tahun 1962, tanggal 24 April 1962 di Darussalam, Banda Aceh. Hingga hari ini, 2 September diperingati sebagai Hari Kebangkitan Pendidikan Daerah Aceh (Hardikda). 10

21


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Nyak Arief11 di Darussalam yang tidak ditempati pada saat itu. Ayah Abdi memang kenal dengan keluarga T. Nyak Arif. Namun, ia hanya tahan tinggal beberapa minggu di situ. “Itu di gedung tua di samping Masjid Rukoh Darus­ salam. Tidak ada orang yang berani tidur di situ. Mana ada, semalam saja saya tinggal di situ, selebihnya saya tidur di rumah kost teman-teman di seberang jalan. Di kebun kelapa, di rumah-rumah gubuk itu. Lebih enak di situ saya tidur,” kenangnya lucu. Kisah yang tidak pernah dilupakan Abdi waktu tinggal di kebun kelapa bersama teman-temannya adalah mengenang masa-masa kejahilan mereka. Suatu malam, Abdi diajak teman-temannya mencuri kelapa. Teman-teman tidak ada yang mau memanjat, selain Abdi. “Maka saya pun naik. Setiba di atas, saya tanya, apa sudah bisa dijatuhkan kelapanya?” Teman-teman mereka melihat ke kiri dan ke kanan dalam kegelapan. Lalu berkata, “Sudah. Lemparkan,” ujar mereka pelan. Bruuk. Abdi menjatuhkan kelapa mengenai seorang teman di bawah. “Kenapa tidak ditangkap?” tanya Abdi setelah turun. “Aku sudah siap menangkap, tapi tidak bisa melihat kelapanya,” ujarnya kesakitan. Lulus Jadi Mahasiswa Lebih kurang setahun Abdi menjadi mahasiswa pen­dengar. Akhirnya, kesabarannya terbayar. Pada seleksi T. Nyak Arif adalah Gubernur Aceh pertama yang menjabat pada tahun 1945 – 1946. Posisi rumahnya tepat di sebelah Masjid Rukoh di ujung jembatan Lamnyong sekarang. 11

22


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

berikutnya di tahun 1966, Abdi diterima menjadi mahasiswa tetap di Fakultas Teknik Unsyiah. Ia terdaftar dengan nomor mahasiswa 146. Kegembiraan menjadi mahasiswa tak berlangsung lama. Justru kini ia merasa galau. Maklum, sebagai fakultas baru, dosen dan fasilitas fisik di Fakultas Teknik masih terbatas. Abdi merasa khawatir akan lama tamatnya. Seorang sahabat lama, Rizal, mempengaruhinya untuk pindah ke Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FKHP). Sebagai fakultas tertua kedua di Unsyiah, dosen di FKHP sudah lengkap dan mempunyai laboratorium yang memadai. “Mau sampai kapan selesai di sana? Pindah saja ke tempat kami,” ajak Rizal. Tanpa banyak pertimbangan, akhirnya Abdi memutuskan pindah ke FKHP. Menjadi mahasiswa pindahan dan masuk terlambat bukanlah hal yang mudah. Abdi harus bisa mengejar kuliah yang tertinggal. Ia pun berjuang keras mengumpulkan bahan-bahan kuliah dari teman-temannya. Tidak cukup sampai di situ, ia juga meminta bantuan teman-temannya untuk menya­ lin bahan-bahan tersebut. Namun Abdi tidak merasa berat melalui masa-masa awalnya kuliah. Terutama ketika menyalin dan mempelajari bahan praktikum Osteologi. “Dosen-dosen, terutama pelajaran Osteologi semua­ nya dari Sumatera Utara. Logat mereka asing di telinga kita. Bahasa Indonesia pun kita sangka bahasa latin. Jadi ketika dosen tersebut mengucapkan ‘lekuk’, saya kira itu bahasa latin. Karena diucapkan dengan logat batak – ‘lékuk’, rupanya ‘lekuk’ Bahasa Indonesia,” kenangnya sambil tertawa lepas. Saking kalutnya tertinggal pelajaran, Abdi per­ nah menginap di Laboratorium Osteologi. Rizal yang mene­ maninya malah tidur duluan sementara Abdi sibuk belajar 23


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Abdi berfoto bersama teman satu jurusan saat masih menjadi mahasiswa S1 FKHP.

dan menghafal nama-nama latin tulang hewan. Mereka harus belajar menggunakan lilin. Maklum, aliran listrik di Darussalam waktu itu hanya sampai pukul 23.00 WIB. Padahal waktu itu, suasana di Darussalam masih mencekam. Di Aceh sedang merebak gerakan anti PKI. Banyak aktivis PKI yang ditangkap dan dibantai waktu itu. Abdi yang juga menjadi anggota resimen mahasiswa (Menwa) sering ditugaskan menjaga keamanan apabila ada acara di kampus atau di kota di Gedung Perbasi. “Kami sering disuruh jaga kalau ada acara. Kami dulu diberikan senjata,” kenangnya. Dengan segala keterbatasan dan kondisi yang dialami­ nya, Abdi berusaha untuk bisa terus kuliah. Ia bertekad, kali ini tidak boleh gagal lagi. Ia tak gentar. Tekad­nya sudah bulat. “Ayah kan sudah pensiun. Ia hanya memberi uang saku seadanya,” jelasnya prihatin. “Oleh sebab itu, saya harus bisa memutar otak. Kalau pulang ke Takengon, saya numpang sambil kerja menjadi kernet bus. Menaikkan dan menurunkan barang-barang penumpang. Tapi kalau 24


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

ban pecah, nah itu sangat hajab. Memompa ban, itu yang paling berat menurut saya. Wah itu bukan kerja namanya. Jalan dulu tidak seperti sekarang,� kisahnya seru. “Tetapi yang menyenangkan adalah waktu istirahat makan. Kita orang bus mendapat pelayanan khusus dari warung, disediakan makanan satu meja penuh,� tambahnya dengan bersemangat. Kuliah sambil Kerja Keterbatasan keuangan memaksa Abdi untuk bekerja. Sebelum ayahnya meninggal, Abdi sempat dikenalkan dan dititipkan pada Pak T. Sulaiman Efendi, mantan bupati Pidie yang mengurus Pesanggrahan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh. Pesanggrahan ini berada di sisi Utara Lapangan Blang Padang. Tepatnya di lokasi rumah dinas Wakil Wali Kota Banda Aceh sekarang. Maka, jadilah Abdi tinggal dengan keluarga Pak T. Sulaiman dan bekerja di pesanggrahan. Karena Pak T. Sulaiman kenal dengan ayahnya, maka tidak ada daftar pekerjaan khusus buat Abdi. Apalagi jam kerja yang dimilikinya harus dibagi dengan jadwal kuliah. Namun, dasar Abdi orang yang tidak bisa diam, ia melakukan apa saja. Jadilah Abdi sebagai pembantu umum (Office Boy – red) di pesanggrahan. Keseharian Abdi selain kuliah adalah bertugas merawat tanaman, membersihkan kamar, menyiapkan meja makan, mengepel, dan mencuci piring. Semua pekerjaan itu dikerjakannya dengan senang hati karena biasa dilakukannya di kampung. Malah, Abdi merasa beruntung karena bisa dapat tempat tinggal gratis. Dan yang paling membuatnya senang, ia dapat uang saku sekitar Rp 75 per bulan. Demikianlah rutinitas kuliah sambil bekerja dijalani Abdi dengan gembira. Setiap hari mengayuh sepeda dari Blang 25


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Padang ke Darussalam bersama teman-teman12. Sebe­lum berangkat ke kampus, ia membersihkan ruangan, menyiap­ kan, meja makan, menyapu, mengepel, dll. Pekerjaan yang agak berat seperti memangkas pohon dan pagar tanaman dikerjakannya setelah pulang kuliah. Namun suatu hari, ia mengalami perlakuan dari tamu yang sangat menyentuh egonya. Kejadian ini tak pernah bisa ia lupakan seumur hidup. Kejadian ini pulalah yang memicu tekadnya untuk sukses. “Suatu hari ada tamu yang datang ke pesanggrahan. Saya sedang bersih-bersih di lobi. Bapak tersebut memanggil saya ke kamarnya. Seketika, sampai di depan pintu kamar, ia melemparkan sepatunya ke arah saya.” “Kau bersihkan ini!” katanya. “Saya terhenyak. Batin saya meronta, dada berge­ muruh. Sedih rasanya. Perlakuan Bapak itu sungguh tidak bisa saya terima. Meski saya hanya pelayan, tapi saya ini bukan budak. Dalam hati kecil saya berbisik, biar beginibegini, saya ini anak seorang bupati. Namun saya sadar, sebagai pekerja di pesanggrahan, saya ‘harus bisa’ menerima perlakuan seperti itu dari tamu yang saya layani. Akhirnya hal itu saya terima dengan lapang dada dan malahan menjadi pemicu untuk belajar lebih giat agar cepat selesai kuliah,” kenangnya sedih. Menceritakan kisah ini, tampak mata Abdi berkacakaca. Sungguh peristiwa yang sangat berat untuk bisa diterima oleh siapa saja. Sejak kejadian itu, Abdi bertekad untuk sukses. Beberapa teman Abdi yang biasa mengayuh sepeda bersama-sama antara lain, Syarifuddin (terakhir pensiunan dosen Fakultas Teknik Sipil Unsyiah), Thantawi Jauhari (terakhir mantan dekan Fakultas Teknik Unsyiah), Edward (terakhir bekerja di PT SAI, Lhoknga), Ngajari Bangun (terakhir pensiunan dosen Fakultas Teknik Unsyiah), dan beberapa lainnya yang juga sudah pensiun. 12

26


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

Penghinaan yang dirasakannya justru menjadi pemicu semangatnya dalam bekerja dan kuliah. Tanpa terasa, hampir tiga tahun Abdi tinggal dan bekerja di Pesanggrahan. Hingga suatu hari, kesabaran dan kegigihannya dibalas oleh Allah Swt. Abdi dipertemukan dengan Prof. Dr. H. Abdullah Ali, M.Sc. Ia mampir ke pesanggrahan untuk suatu keperluan. Abdullah Ali kala itu menjabat sebagai Dekan FKHP. Pertemuan sekilas namun sangat membekas dihatinya. Pertemuan itu menjadi awal dari perubahan perjalanan hidup Abdi selanjutnya. Bagi Abdi, Abdullah Ali adalah orang yang sangat dikaguminya. Di matanya, Abdullah Ali bukan hanya sebagai seorang pimpinan. Namun lebih dari itu, sebagai orang tua sekaligus abang baginya. Ia merasakan, banyak sifat dan kepribadian Abdullah Ali yang mempengaruhi sikap dan tindakannya hingga kini. Suatu sore, Abdullah Ali berkunjung ke pesanggrahan ditemani Fachruddin Hamid13, mahasiswa FKHP yang tinggal di rumahnya. Kebetulan, Fachruddin adalah teman satu angkatan (classmate) Abdi di kampus. “Kalau saya tidak salah, Abdullah Ali datang bersa­ ma Fachruddin setelah shalat Ashar. Waktu itu, beliau ingin berjumpa dengan anak Abu Beureueh yang datang dari Jakarta. Sedangkan saya lagi di luar membersihkan taman. Beliau turun dari mobil Jeep Willys dan masuk ke dalam. Sedangkan saya dengan Fachruddin mengobrol di taman. Tidak berapa lama, Abdullah Ali pulang. Dia memperhatikan saya dan saya pun mengangguk. Itulah awal perkenalan kami,â€? kenangnya dengan penuh haru. Fachruddin Hamid adalah anak Tgk. Abdul Hamid (ayah Hamid), abang Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Guru Besar Fakultas Pertanian Unsyiah. 13

27


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Abdi sedikit menahan nafas. Kemudian melanjutkan kisahnya. Keesokan harinya, Fachruddin menjumpai Abdi di Kampus. “Kau disuruh menghadap dekan,” ujar Fachruddin singkat. “Kapalo,” Abdi setengah terperanjat, antara percaya atau tidak. Ia panik. Tak bisa bisa dilukiskannya perasaannya kala itu. Rasa takut, sungkan, bercampur jadi satu. “Ada apa? Apa ini lelucon?” tanya Abdi. “Tidak, serius, Bapak menyuruhku untuk memang­ gilmu,” jelas Fachruddin dengan mimik serius. Kemudian Fachruddin pun menjelaskan bahwa kemarin, dalam perjalanan pulang, Abdullah Ali bertanya kepadanya. “Siapa anak tadi? “Ooo... itu mahasiswa Bapak juga, kuliah di FKHP,” jelas Fachruddin. “Kalau begitu suruh dia menghadap saya besok,” pinta Abdullah Ali. Mendengar cerita itu, Abdi pun merasa lega. Ketaku­ tannya sedikit reda. Dengan diantar Fachruddin, mereka menjumpai sekretaris, ibu Mardiah untuk menghadap dekan. “Siapa nama you,? dari mana you berasal?” tanya Abdullah Ali. Abdi menjawab,” Nama saya Abdi, Pak. Saya berasal dari Takengon.” Itulah dialog pertama antara Abdi dan Abdullah Ali. Menurut Fachruddin, sebenarnya Prof. Abdullah Ali sudah tahu detail tentang asal usul Abdi. Dalam dialog itu, Abdullah Ali menjelaskan panjang lebar tentang kegiatan mahasiswa di Amerika yang produktif. Mereka kuliah sambil bekerja, 28


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

terutama di saat masa liburan. Misalnya, mencuci piring di restoran, membersihkan kaca kantor. Inti pembicaraan pada saat itu adalah Abdullah Ali senang melihat mahasiswa yang bekerja. Kemudian Abdullah Ali meminta Abdi untuk tinggal bersamanya di Darussalam. “Saya tidak langsung menjawab iya saat itu, na­ mun akan mendiskusikan dengan Adik, Aidifco, yang tinggal di Banda Aceh. Abdullah Ali mengiyakan dan menunggu berita dari saya,” kenang Abdi. Keesokan harinya, Abdi mengambil keputusan untuk tinggal bersama Abdullah Ali dan sejak saat itu, hubungannya dengan Kedekatan Abdi dengan Abdullah Ali. Dekan FKHP Unsyiah itu semakin dekat. Di rumah Abdullah Ali, Abdi sudah seperti keluarga. Selain membantu membersihkan rumah, merawat tanaman di halaman, dan mengurus mobil. Tidak hanya itu, sesekali bila tidak ada kuliah, Abdi juga mengantar istri Abdullah Ali, belanja ke pasar. Kedekatan Abdi dengan Abdullah Ali semakin erat karena Abdi mengerti tentang mobil Jeep Wyllis dan bisa menyetir. “Setiap pagi Saya dengan sigap memanaskan mobil. Pada saat itu, mobilnya harus di engkol untuk menghidupkannya. Dalam hati saya, pernah timbul satu guyonan. Mungkin saya diperlukan untuk mengengkol mobil Jeep ini setiap pagi...,” guraunya. 29


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Setiap ada perkerjaan lapangan atau survei peter­ nakan, Abdi selalu menjadi sopir yang setia ke daerah tingkat dua di seluruh Aceh. Biasanya, selain Abdullah Ali, beberapa dosen senior juga ikut serta seperti Pak Noerjanto dan Pak Nasir. Abdullah Ali sangat mengandalkan Abdi, karena selain bisa menyetir, Abdi juga mekanik mobil yang terampil. Satu hal yang Abdi tidak bisa lupakan selama menyo­ piri Jeep Wyllis kesayangan Abdullah Ali adalah, ketika harus mengantar ayah beliau yang hendak pulang ke kampung dan harus berada di terminal bus pukul 7 pagi. “Yang membuat kacau adalah, kunci Jeep ada di kamar tidur Abdullah Ali. Waktu kian mendesak, namun satu orang pun tak ada yang berani membangunkan Abdullah Ali yang masih tidur. Saat itulah, Abdi menggunakan pengalamannya menghidupkan mobil tanpa kunci. Akhirnya ayah Abdullah Ali pun bisa diantar sampai ke terminal bus,” kenangnya bangga. Namun, pada saat pulang, Abdi merasa ketakutan luar biasa. Apalagi ketika dilihatnya Abdullah Ali sudah berdiri tegak di depan rumah dengan kain sarungnya. “Mati saya,” gumamku dalam hati. Namun begitu mobil Jeep memasuki halaman, Abdullah Ali geleng-geleng kepala sambil tertawa. “Bagaimana bisa kunci sama saya, kamu bisa bawa mobilnya?” tanyanya. “Ini darurat, Pak. Kalau tidak di antar ke terminal, Abu (sebutan untuk ayah Abdullah Ali) akan ketinggalan bus,” jawabnya terbata-bata. Akhirnya Abdi merasa lega karena rupanya Abdullah Ali tidak marah. Justru ia merasa kagum dengan keahliannya. Demikianlah masa-masa kuliah dilalui Abdi dari satu 30


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

semester ke semester berikutnya. Semua mengalir seperti air. Berbagai kisah sedih dan senang silih berganti. Semua ini semakin membuatnya matang dan bijaksana. Ada satu cerita ketika Abdi mendapat tugas prak­ tik lapangan di kawasan Saree, Aceh Besar. Bersama se­ orang teman sekelasnya, Abdi harus tinggal di perusahaan

Saat Abdi dan teman satu kuliahnya melakukan praktik lapangan ke Saree, Aceh Besar.

peternakan tersebut selama sebulan. Setiap hari mereka mengurus sapi-sapi, memberi makan, melepas ke pangonan dan mengawasinya, serta memasukkan ke dalam koral. Membuat catatan tentang jumlah, kondisi sapi, dan jumlah konsentrat yang diberikan setiap harinya. Di siang hari mereka bekerja dengan riang. Namun di malam hari, semua berubah menjadi kesedihan. Keadaan sepi, dingin menusuk tulang, serta suasana gelap mencekam tanpa ada penerangan apalagi hiburan. Tidak ada radio, apalagi televisi. Mereka hanya mendengar suara jangkrik dan kendaraan yang mem­ belah kesunyian malam. Sesekali tampak bintang jatuh di cakrawala memberi sedikit hiburan. 31


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Perjalanan Menjadi Dosen Tahun 1972, enam tahun sudah di bangku kuliah. Tanpa terasa, semua mata kuliah sudah tuntas. Hanya tersisa skripsi dan ujian sarjana. Sekilas melihat ke belakang, mengenang perjalanan hidupnya. Sejak SMA hingga kuliah, dilaluinya dengan susah payah. Sekolah berpindah-pindah, tak jelas tujuan dan arah. Namun semua dilaluinya dengan tabah. Abdi tak sedikit pun merasa terbebani. Kini di akhir masa kuliah, seakan semua berubah. Sebagai anak lajang, Abdi cukup mapan. Maklum, ia sudah bekerja di Dinas Peternakan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Institusi yang menjadi mitra utama kampusnya. Meski cuma honorer, yang penting sudah bergaji. Apalagi dapat motor pelat merah. Memiliki relasi di Pemda dan pergaulan yang luas di kampus. Teman-temannya merasa Abdi akan lulus dengan mudah. Namun, bukan Abdi namanya, kalau hidup terasa mudah. Skripsi dengan judul Pengaruh Pembatasan Protein pada Masa Pertumbuhan Ayam White Leghorn sukses dipertahankannya. Namun setelah semua pertanyaan tentang skripsi dijawab dengan baik, Abdi tidak mampu menjawab dengan baik pertanyaan-pertanyaan tambahan dari penguji. Maka, sarjananya pun tertunda. “Saya mendapat penguji yang lengkap pada saat ujian waktu itu. Di antaranya pembimbing Pak Noerjanto dengan para penguji Pak Abdullah Ali, Soemarmo, Pak Rusli Jusuf, Pak Zaini Umar, Pak Hartojo, dan ibu Suhartini. Sedih rasanya mengecewakan pembimbing Saya, Pak Noerjanto. Saat itu beliau sudah mempersiapkan kamera, namun saya tidak lulus dan harus mengulang dua minggu kemudian,â€? akunya sedih. Dalam ujian sidang, Abdi tidak mampu menjawab pertanyaan Soemarmo tentang prediksi pertumbuhan popu­ 32


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

lasi ayam di Indonesia. Demikian pula dengan pertanyaan Abdullah Ali yang bertanya tentang masa bunting (gestation period) beberapa hewan liar seperti harimau, gajah, badak, dll. Kegagalan ini menjadi pelajaran penting bagi Abdi. Ia pun mempersiapkan diri dengan baik. Membaca lebih banyak lagi. Memperluas ilmunya. Pada ujian kedua, Soemarmo mengajukan pertanyaan yang sama sedangkan Abdullah Ali tidak bertanya. Abdi pun kemudian dinyatakan lulus dengan nilai memuaskan. Sebagai tanda syukur atas kelulusannya, Abdi men­ dapat undangan makan malam khusus dari Abdullah Ali di rumahnya. “Seperti yang diminta, malam harinya saya datang dengan setelan jas rapi. Sesampai di rumah, Abdullah Ali hanya pakai kain sarung dan kaos oblong. Tidak hanya itu, saya ditertawakan Abdullah Ali dan ibu. Rupanya saya diplonco,â€? kenangnya lugu mengenang masa-masa terakhir bersama Abdullah Ali sebelum ia berangkat mengambil Doktor ke Amerika.

Abdi Wahab diwisuda sebagai Sarjana Peternakan Unsyiah yang pertama oleh Rektor Unsyiah Drs. A. Madjid Ibrahim di Aula Fakultas Ekonomi.

33


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Setelah lulus, Abdi segera memberitahukan kepada ibunya di kampung. Namun, ia tak bisa segera pulang. Kesibu­ kannya sebagai staf perencana di Kantor Dinas Peternakan tak bisa ia tinggalkan. Apalagi, waktu itu Abdi sudah mengajar di Sekolah Peternakan Menengah Atas (SNAKMA) di Saree. Kedua pekerjaan ini dilakoninya hingga mendapat panggilan menjadi dosen pada tahun 1973. Perjalanan Abdi menjadi dosen di FKHP boleh dikatakan tanpa hambatan. Hal ini didukung oleh hubungan baiknya dengan Dinas Peternakan. Kedekatannya dengan mitra kerja utama FKHP ini menjadi nilai tambah baginya. Waktu itu, Soemarmo memanggilnya. Dengan suara berat dan perlahan, Soemarmo berkata, “Saya senang you sudah lulus dan sekarang bekerja di Dinas Peternakan. Namun saya memberikan pandangan bahwa kalau ingin cepat kaya you boleh mencari kerja di dinas. Tapi saya menawarkan you bekerja di fakultas. Memang kalau kerja di fakultas kita tidak menjadi kaya. Akan tetapi kita kaya ilmu dan dengan ilmu you bisa ke mana-mana keliling dunia.” Seperti kebiasaannya, Abdi tidak langsung memberi­ kan jawaban pada saat itu. Namun setelah beberapa hari mempertimbangkan, akhirnya ia memutuskan untuk menjadi dosen di FKHP. “Perkataan Soemarmo itu terus terngiang di telinga saya,” kenang Abdi mengawali kariernya sebagai dosen di Unsyiah. Maka, sejak tahun 1973, Abdi tercatat sebagai salah satu tenaga pengajar di FKHP Unsyiah. Sejak saat itu pula, perjalanan hidup Abdi seakan menjadi mudah. Sebagai salah seorang dosen muda di FKHP, Abdi sangat aktif mengikuti workshop dan short course. Kiprahnya di fakultas terus mengalir 34


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

Abdi sebagai dosen muda berbaur dengan dosen yang lebih senior di Lab. Osteologi Unsyiah.

bagai air. Setahun kemudian, Abdi ditunjuk sebagai Kepala Bagian Kebun Percobaan FKHP Unsyiah. Sejak saat itu, Abdi terus menunjukkan bakat kepemimpinannya. Pada tahun 1975, Abdi diminta menjadi Kasubbag Produksi di Bappeda Aceh. Jabatan di Bappeda ini pun kemudian dilakoninya tanpa mengurangi tanggung jawab di Kebun Percobaan FKHP Unsyiah. Status dosen merangkap Kasubbag Produksi di Bappeda menjadikan Abdi semakin percaya diri. Pada tahun itu pula, Abdi berkenalan dengan seorang dara yang menawan hatinya. Suharni Daud, sang wanita idaman, masih kuliah di Fakultas Pertanian Unsyiah kala itu. Ia tinggal di mess Kedokteran Hewan, di kawasan Simpang Lima Banda Aceh. Keanggunan, kelembutan dan halus budi bahasanya segera membuat Abdi jatuh cinta. Menjelang akhir tahun, tepatnya tanggal 1 Desember 1975, Abdi pun menikahinya. Sejak berkeluarga, kehidupan Abdi menjadi lebih teratur. Watak Abdi yang keras dapat dilunakkan oleh kelem­ butan Suharni. Ibarat sekeping uang, Abdi dan Suharni tampak 35


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

saling melengkapi. Dari pernikahannya ini, mereka dikarunia empat orang anak-anak yang cerdas yakni: Ian Rizkian, Sri Dianova, Ivian Trimaghribi, dan Iman Rakhmadika. Abdi sangat perhatian kepada keluarga. Ia rela mengurus hal-hal yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri oleh anak-anaknya.

Abdi dan Suharni beserta keempat anaknya Ivian, Iman, Nova dan Ian (ki-ka).

Tahun 1977, Abdi masih menjabat di Bappeda. Tiba-tiba, ia dipanggil Abdullah Ali yang kembali memimpin FKHP periode 1977-1979 usai kembali dari studi Doktoral di Amerika. “You bagaimana, mau di Bappeda atau mengabdi di Unsyiah?” tanya Abdullah Ali dengan nada kecewa. Dengan berkilah bahwa dia diminta Pak Ibrahim Hasan di Bappeda, Abdi berusaha membela diri. “You bilang sama Pak Ibrahim Hasan untuk kembali ke kampus,” tambahnya lagi. 36


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati Abdi di Mata Suharni, Sang Istri Suharni Daud dinikahi Abdi pada 1 Desember 1975. Sosok ibu rumah tangga yang lembut dan perhatian ini tampak jelas di kesehariannya. Sifat inilah yang mampu meluluhkan watak Abdi yang keras. Ibarat yin dan yang, sifat dan karakter pasangan ini tampak saling melengkapi satu sama lain. Yal, demikian ia disapa Abdi, memandang suaminya sebagai sosok yang tegas, baik, dan sangat disiplin waktu. Di balik ketegasannya, Abdi sangat dekat dan peduli dengan anak-anak dan keluarga. Semua ini menjadikan Yal sangat mencintai Abdi. Demi mengurus suami dan anak-anaknya, ia rela tidak melanjutkan pendidikannya dan berhenti pada level sarjana muda di Fakultas Pertanian Unsyiah. Abdi tak bosan-bosan memotivasi anaknya untuk terus sekolah yang tinggi guna meraih cita-cita. Anak keduanya, Nova, panggilan akrab Sri Dianova, hampir menyerah sebelum menamatkan pendidikan dokter spesialis di Universitas Indonesia. Abdi tampil sebagai ayah, teman, sekaligus pembimbing yang selalu memberinya semangat, sehingga Nova berhasil melewati rintangan. Mengenai kedisiplinan, Yal mencontohkan kebiasaan Abdi saat hendak bepergian dengan menggunakan pesawat. Abdi biasa datang ke bandara dua jam lebih awal sebelum waktu boarding. Saking lamanya menunggu boarding, Abdi bahkan pernah tertidur di ruang tunggu. Setelah dibangunkan, petugas bandara terpaksa mengantar Abdi seorang diri menggunakan ground car menuju pesawat. Watak Abdi terbilang keras dan tegas. Pegawai Abdi pernah merasa seolah ingin mengundurkan diri karena sifatnya ini. Dalam gembiranya pun ia bisa marah jika ada hal yang tidak disukainya. Tetapi Abdi bukan pendendam. Kalaupun marah cepat reda. Usai marah sekitar beberapa menit, sikapnya akan kembali seperti biasa. Seolah kemarahan itu tidak pernah ada. Untuk menjaga kebugaran tubuh, ia disiplin berolahraga. Misalnya dengan mengelilingi komplek empat kali putaran selama satu jam. Ia juga sudah berhenti merokok sejak 20 tahun lalu. Mulanya ia berhenti merokok tatkala beberapa kali keluar negeri, seperti Jerman. Kondisi negara tujuannya membatasi ruang bagi perokok. Kesehatannya pernah drop setelah mencoba memutuskan untuk tidak merokok sekaligus. Dokter menyarankannya berhenti secara perlahan. Sebelum operasi jantung pada tahun 2009, Bapak sangat aktif di Tenis. Bahkan tim Tenis FKHP selalu menjadi juara dalam setiap event Dies Unsyiah. Sewaktu menjabat Rektor, Bapak menjadi Pembina Tim Tenis Unsyiah bersama Alfian Ibrahim, Azhar Puteh, Munawar Khalil, dll. Dampak positif berolahraga rutin, ketika dirontgen, ternyata paru-parunya dalam kondisi baik. Tapi pada 2010, jantungnya harus dioperasi akibat bermasalah. Penyebabnya berasal dari makanan yang dikonsumsi dan pengaruh merokok dulu. Pecinta tenis ini sudah menggeluti dunia golf. Olahrga tidak memaksa pemainnya lari mendadak mengejar bola, berbeda dengan permainan tenis. Sebelum beberapa temannya meninggal di lapangan tenis, ia menggilai olahraga ini. Sebagai pasangan suami-istri, Abdi dan Suharni telah membangun keperca­yaan satu sama lain. Suharni tidak pernah khawatir tatkala suaminya ke luar kota. Ia percaya suaminya pergi semata-mata karena pekerjaan. Kepercayaan membuat hubungan mereka tetap harmonis. Layaknya manusia biasa, mereka juga pernah mengalami suka duka. Suharni selalu mencoba menenteramkan hati suaminya jika ada sesuatu yang mengganjal atau tengah dilanda masalah. Satu hal lagi yang positif adalah, Abdi tidak pernah membawa persoalan kampus ke rumah. Segala kegiatan di kampus ia selesaikan di sana. Abdi memandang rumah sebagai tempat menikmati kebersamaan dengan keluarga. Terlebih pada Sabtu dan Minggu. Salah satu kesenangannya adalah makan bersama keluarga di rumah. Pukul 08.00 wib ia pergi ke kantor. Pukul 14.00 wib ia tetap pulang ke rumah sebentar untuk makan siang. Sangat teratur, sangat disiplin. Semua sifat dan karakter Abdi yang unik, dari kekurangan dan kelebihannya, menjadikan Suharni bangga memiliki suami seperti Abdi.

37


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Tak lama setelah pembicaraan itu, Abdi dikukuhkan menjadi Pembantu Dekan II Bidang Administrasi Keuangan. Sejak saat itu, jabatan di Bappeda terpaksa ditinggalkannya untuk bisa berkonsentrasi di FKHP Unsyiah. Setahun berselang, pada 1978, Abdullah Ali kembali menunjuk Abdi sebagai Kepala Bagian Perencanaan Pengem­ bangan Fakultas. Setahu Abdi, bagian perencanaan ini belum pernah ada di Unsyiah, apalagi di tingkat fakultas pada saat itu. Mungkin, pengalaman Abdi selama bekerja di Bappeda menjadi inspirasi bagi Abdullah Ali. Sejak saat itu, Abdi terpaksa rangkap jabatan. “Namun honornya tidak rangkap,” timpalnya berseloroh. Pendirian lembaga tersebut menjadi momentum bagi peningkatan mutu akademik di FKHP dan juga Unsyiah. Kebetulan dalam beberapa tahun terakhir, Unsyiah banyak mengirimkan dosen-dosennya belajar ke luar negeri14. Sehing­ ga, program Bagian Perencanaan yang dipimpin Abdi sangat relevan untuk dikembangkan. Sembari menjalankan tugas sebagai Pembantu Dekan dan Kepala Bagian Perencanaan FKHP, Abdi masih menyempatkan diri untuk terus belajar. Puncaknya, pada tahun 1981, ia lulus seleksi beasiswa pasca­ sarjana dari USAID mewakili Unsyiah bersama Teuku Mahmud dari Fakultas Pertanian. Rencananya, Abdi akan berangkat ke University of Kentucky, AS mengambil master dalam bidang Pasture Agronomy. Sekolah ke Amerika Abdi masih menjabat PD II ketika hendak ke Amerika. Namun tekadnya sudah bulat, ia harus berangkat. Bagai­mana­ Unsyiah mengadakan kerjasama peningkatan mutu akademik dengan Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Wilayah Indonesia Bagian Barat (BKS Barat) yang disponsori oleh USAID, Jakarta. 14

38


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

pun, baginya, melanjutkan sekolah juga meru­pakan amanat. Pada tanggal 6 Oktober 1981 dini hari, pesawat Singapore Airline membawanya terbang meninggalkan Jakarta dari Bandara Halim Perdana Kesuma. Selama penerbangan, Abdi kerap memalingkan wajahnya ke jendela pesawat berbadan lebar tersebut. Pikirannya melayang-layang di udara. Ter­ ingat akan masa kecilnya di kampung, teringat ibu, adikadik, teman-teman, teringat kampus. Batinnya membenarkan ucapan Soemarmo tempo hari. Ia sekarang bisa pergi ke luar negeri. Hari masih pagi ketika Abdi menginjakkan kaki di Amerika. Padahal, ia sudah melayang di udara hampir 24

Abdi sedang mengamati kebiasaan dari sapi-sapi ketika mengunyah dalam studi penelitiannya dari jarak jauh menggunakan teropong.

jam. Anehnya lagi, hari itu masih tetap tanggal 6 Oktober. Dengan kepala sedikit pusing (jet lag), Abdi mulai mengalami guncangan budaya (culture shock). Butuh waktu cukup lama bagi Abdi untuk menyesuaikan diri. Ia sering salah naik bus dari sebelah kiri, karena ternyata pintunya di sebelah kanan. Selain itu, ia sering juga bertubrukan ketika berpapasan dengan orang-orang di trotoar atau di kantor. Ia juga harus 39


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

membiasakan perutnya dengan makanan yang serba roti, mentega, dan mayonais. Tidak ada gulai ikan bandeng di sana, apalagi masakan ibu! Menjadi mahasiswa di Amerika menuntut Abdi untuk kreatif. Maklum, uang beasiswa tidak mencukupi. Apalagi harus menghidupi istri dan tiga orang anaknya. Maka, Abdi pun mulai mencari peluang. Di luar waktu belajar yang begitu ketat Abdi masih sempat menyalurkan hobinya sebagai mekanik pada akhir pekan untuk membantu memperbaiki mobil teman-teman yang mogok atau rusak. “Memperbaiki mobil di Amerika lebih mudah, karena hanya mengganti spare part yang rusak. Jadi tinggal beli, lalu pasang,� timpalnya. “Kalau mobil teman-teman Indonesia, saya sering tidak kutip biaya. Tapi kalau teman-teman bule, orang Amerika, India, dll. Saya ambil ongkos. Kalau dengan mahasiswa India payah, mereka pelit-pelit,� kisahnya.

Saat Abdi mengambil data kebiasaan sapi-sapi di lapangan dari jauh dengan fasilitas dan mobil yang disediakan oleh universitas.

Pernah suatu hari, Abdi dipanggil teman orang Indonesia untuk memperbaiki mobilnya di Cincinatti, Ohio. Maka, berangkatlah ia dari Lexington, Kentucky. Setelah 40


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

menempuh perjalanan lebih kurang selama 1,5 jam, tibalah ia di Cincinatti. Waktu itu musim dingin. Dengan sigap, Abdi segera memperbaiki mobil temannya tersebut. Dalam kondisi dingin bersalju, Abdi masuk ke kolong mobil. Bisabisanya, temannya tersebut malah masuk ke dalam rumah, meninggalkan ia sendiri di bawah mobil. Profesi Abdi sebagai montir hanya dilakoninya pada akhir pekan. Biasanya teman-teman datang ke rumah untuk memperbaiki mobilnya. Sering kemudian, sembari menunggu mobil diperbaiki, mereka makan di rumah Abdi. Sehingga Prof. Dr. Burhanuddin Salim, mantan Pembantu Rektor IV Unsyiah pernah berseloroh. “Kau ini lucu, sudah kau perbaiki mobilnya, kau kasih makan lagi mereka,” ujar Burhanuddin. Mendengar ini, Abdi berbisik dalam hati, padahal Pak Bur juga melakukan hal yang sama. Selain menjadi montir, Abdi juga berbisnis jual beli mobil bekas. Awalnya ia membeli mobil Torino besar yang penyok pintunya dengan harga sangat murah, sekitar USD 200 - 300. Setelah ia perbaiki, teman-temannya suka. Ia pun menjualnya. Setelah itu, Abdi ketagihan membeli mobil rusak, memperbaiki, dan menjualnya kembali. Tidak hanya itu, untuk mendapatkan uang tambahan, Abdi juga menggunakan keahliannya memangkas. Pada hari libur ada saja teman yang minta tolong dipangkaskan rambutnya. “Saya kira hobi sebagai mekanik dan keahlian saya memangkas rambut membawa berkah dalam menghidupi keluarga saya dan anak-anak di Amerika. Kalau kita hanya berharap dari beasiswa tentu tidak cukup,” paparnya senang. Satu lagi hobinya yang ‘menghasilkan’ adalah me­ man­ cing. Apabila di rumah tidak ada lauk, Abdi sering memancing di danau Jacobson Park, di Lexington Park, 41


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Abdi bersama teman-teman saat melanjutkan studi di University of Kentucky, Amerika Serikat, antara lain Muhajir Utomo (rambut gondrong) yang terakhir menjadi Rektor Universitas Lampung.

Kentucky. Ada banyak jenis ikan di sana, ikan blue hill, bawal, bass, kakap putih dan hitam, ikan mas dan gurami, ikan lele, dan berbagai ikan drum yang bertulang keras. Di antara teman-teman mahasiswa Indonesia yang sedang sekolah di sana, Abdi termasuk jagoan memancing, sehingga dijuluki Pawang Aceh, Raja Mancing. Teman-temannya memancing waktu itu antara lain: Burhanuddin Salim (FKH Unsyiah), Fahrurrazi dari Palembang, Sahala dari Lampung, dan Ridwan dari Bandung. Ada satu cerita lucu ketika Abdi memancing di Sungai Kentucky. Waktu itu mereka pergi memancing ber­ empat. Duduk berjajar di pinggir sungai dengan jarak masingmasing sekitar empat hingga lima meter. Tiba-tiba, sebuah mobil patroli polisi mendekat. Dengan ramah sang polisi basa-basi bertanya kepada salah seorang teman Abdi yang duduk paling ujung dekat mobil patroli berhenti. Apa kabar, dari mana dan sebagainya. 42


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

Kemudian ia bertanya ,”Ada dapat ikan? Boleh saya lihat?” Dengan lugu teman tersebut menjawab ada dan memperlihatkan ikannya. Polisi tersebut kemudian menje­ laskan bahwa menurut Undang-undang Negara Bagian Kentucky, dalam ukuran kurang 12 inchi, ikan bass, tidak boleh ditangkap. Oleh sebab itu, ia harus membayar denda US$ 40. Selanjutnya teman kedua, kemudian teman ketiga. Sebelum sampai giliran Abdi, tanpa sepengetahuan sang Polisi, ia membuang kembali semua ikan yang berhasil ditangkapnya ke sungai. Maka, Abdi pun terbebas dari denda. Teman-temannya menjadi keki. “Dasar Abdi curang,” teriak mereka. Selama sekolah di Kentucky, Abdi terkenal sangat akrab dan peduli kepada teman-temannya dari Indonesia. Selain ringan tangan, keahlian montirnya sangat dibutuhkan. Dengan mobil bekas yang dibelinya sangat murah, Abdi sering mengajak teman-temannya belanja atau hanya sekadar berjalan-jalan. Sering pula, ketika memperoleh banyak ikan waktu memancing, ia bagi kepada teman-temannya, terutama kepada mereka yang membawa keluarga. Karena sifatnya yang murah hati dan peduli, temantemannya sangat setia kepadanya. Maka wajar, ketika istri dan ketiga anaknya menyusul ke Amerika usai S2 tahun 198315, semua teman-teman Indonesia yang ada di Kentucky datang menjemput ke bandara. Sungguh mengharukan. Namun Pada awalnya Abdi mengikuti Program Master. Dalam perjalanannya, ia mendapat peluang untuk melanjutkan ke Program Ph.D. setelah mendapat persetujuan dari Major Professornya. Alhamdulillah, dengan kerja keras, prestasi Abdi tak mengecewakan. Sebelum tamat S2, Abdi sudah mengantongi izin dari sponsor untuk melanjutkan ke Program Ph.D. Setelah tamat S2 dan memperoleh kepastian untuk melanjutkan S3, istri Abdi dan ketiga anaknya datang dan kemudian tinggal di Lexington, Kentucky bersamanya. 15

43


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Abdi membawa istri dan anaknya melihat-lihat sekelompok sapi yang ditelitinya.

selanjutnya, Abdi harus memutar otak untuk membiayai kebu­ tuhan keluarganya yang semakin tinggi. Akhirnya, Abdi mem­ be­ranikan diri meminjam uang kepada adiknya yang saat itu tinggal bersama suaminya di Australia sebesar US$ 1.000. Selain untuk menambah keperluan keluarga, ia mempersiapkan uang ini apabila ada keperluan yang mendadak. Bahkan untuk menambah pendapatan keluarga, Suharni, istri Abdi terpaksa bekerja di restoran atau menjadi baby sitter kala itu. Selama di Amerika, kerinduan Abdi kepada ibu­nya masih terus mem­buncah. Ia ingin segera pulang kam­pung dan bertemu ibun­danya. Ia ingin segera me­nye­lesaikan studinya mengi­ngat usia ibundanya yang sudah lanjut. Mungkin karena kerin­duan ini pula, Abdi bisa menamatkan studinya lebih awal. Di transkrip nilainya tertera tiga buah B, namun yang lainnya semua A. Prestasi ini sangat membanggakan mengingat kesibukannya memancing, montir, pangkas dan jual beli kenderaan. Tidak hanya itu, belum lagi tamat S2, Abdi sudah ditawari dosen pembimbingnya untuk me­lan­ jutkan S3. Tawaran ini ia terima. Lalu, ia ngebut agar cepat 44


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

Abdi berpose bersama dosen pembimbingnya ketika mengambil jenjang PhD di University of Kentucky.

selesai. Studi master ditun­taskannya kurang da­ri dua tahun. Tiga tahun kemu­dian, gelar Ph.D pun diraihnya. “Alhamdulillah saya dapat menyelesaikan program Master kurang dari dua tahun dan selesai Ph.D tiga tahun kemudian pada tahun 1986. Meski sibuk, saya bisa membagi waktu. Waktu belajar, belajar,” ujarnya memberi tips.

Abdi saat wisuda PhD-nya di University of Kentucky, Amerika Serikat.

45


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Meraih Asa 4 Juni 1986, Abdi kembali ke tanah air. Namun Abdi tidak segera ke Banda Aceh. Dari Jakarta, Abdi dan keluarga terbang ke Medan. Dengan sisa dolar yang ada plus pinjaman dari abang ipar, Abdi membeli mobil 'second' Mitsubishi Colt - jenis mobil van berbadan lebar. Pertimbangannya karena anak-anak bisa tiduran di belakang. Dengan mobil inilah mereka pergi ke Takengon untuk segera berjumpa dengan ibundanya tercinta beserta seluruh keluarga. Setelah dua pekan melepas rindu di kampung, Abdi dan keluarga berangkat ke Banda Aceh. Meski pulang ke Darussalam, Abdi tidak segera melapor ke Rektor atas kepulangannya, melainkan langsung melanjutkan 'tour'nya ke kampung istri di Tapak Tuan. Dalam banyak kesempatan, Abdi sering berguyon kepada koleganya, inilah contoh yang tidak efisien kalau memilih lokasi tempat tinggal istri yang jauh dari kampung halaman.

Abdi bersama ibunda, Sri Kala, di rumah Paya Tumpi selepas pendidikan S3-nya di Amerika Serikat.

46


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

Rektor dijabat oleh Abdullah Ali sejak tahun 1983. Unsyiah masih belum banyak berubah. Namun, status akademik Abdi berpindah. Ia tidak lagi bertugas di Fakultas Kedokteran Hewan, melainkan di Fakultas Pertanian. Sudah sejak tahun 1985, Jurusan Peternakan FKHP diintegrasikan menjadi Jurusan Peternakan pada Fakultas Pertanian Unsyiah. Perpindahan ini tidak berpengaruh baginya. Pepatah mengatakan bahwa sebuah berlian akan tetap bersinar, meski di dalam lumpur sekalipun. Demikianlah Abdi. Kegigihan dan kerja kerasnya seakan tak pernah berhenti. Kepulangannya justru sangat berarti bagi pengembangan Fakultas Pertanian hingga saat ini. Pada tahun 1987, Abdi dipercaya menjadi Kepala Laboratorium Pasture Agronomi Fakultas Pertanian Unsyiah. Tak lama berselang, rektor menunjuknya sebagai Sekretaris Pusat Penelitian Unsyiah mendampingi Prof. Drs. Soegyarto Mangkuatmodjo sebagai Ketua periode 1987 - 1990. Momen ini menjadi peluang baginya untuk membangun universitas ‘Jantong Hate Rakyat Aceh’. Rangkap jabatan sebagai Ketua Laboratorium sekaligus Sekretaris Pusat Penelitian semakin memperkaya wawasannya dalam hal birokrasi dan administrasi pemerintah. Berbekal pengalaman sekolah di Amerika, tekadnya membangun nuansa akademik di Unsyiah semakin kuat. Ia menyadari bahwa tuntutan publikasi ilmiah sangat menentukan ‘nilai’ sebuah perguruan tinggi. Untuk itu, ia merasa perlu membangun kesadaran akademik di kalangan dosen. Melakukan kajian, penelitian serta penulisan karya ilmiah. Atas dasar inilah, pada tahun 1987, Abdi dan Abdullah Ali kemudian menggagas penerbitan Majalah Ilmiah di Universitas Syiah Kuala yang diberi nama Mon Mata. 47


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Nama ini diberikan oleh Abdullah Ali, yang mengibaratkan Unsyiah itu seperti sumur ilmu yang terus mengalir. Abdi pun didaulat menjadi Pemimpin Redaksinya. Pada tahun itu pula, Abdi , utusan Fakultas Pertanian terpilih sebagai dosen teladan Unsyiah. Mendapat kepercayaan sebagai dosen teladan tidak lantas membuatnya berbangga diri. Abdi terus berbakti. Prestasi demi prestasi terus diukirnya. Di samping menjadi Ketua Laboratorium, Abdi terlibat dalam berbagai program kerja sama luar negeri Unsyiah. Termasuk mengelola dana bantuan Jerman Barat yang menghasilkan banyak doktor waktu itu. Pada tahun, 1991 Abdi terpilih menjadi Dekan Fakultas Pertanian Unsyiah. Dapat dikatakan, masa kepemimpinan Abdi merupakan tonggak kebangkitan Fakultas Pertanian Unsyiah hingga meraih masa kejayaan hingga kini. Pada masa kepemimpinannya, bersama tim taskforce/working group yang terdiri dari para master dan doktor muda lulusan luar negeri,

Usai mengikuti upacara 17 Agustus di Istana Negara, sebagian dosen teladan yang diundang presiden berpose di depan Gedung Keong Mas, Taman Mini Indonesia Indah.

48


Bab I Paradoksi Seorang Anak Bupati

Fakultas Pertanian berhasil mendapat kepercayaan mengelola bantuan Overseas Economic Cooperation Fund (OECF)16 Jepang untuk pembangunan Fakultas Pertanian. “Saya mengumpulkan para doktor muda yang baru pulang dan membiarkan ruangan saya dipakai untuk bekerja. Saat itu mereka mempersiapkan pemanfaatan Loan OECF Jepang. Walaupun ada yang protes, saya biarkan saja mereka pakai ruangan dekan. Toh, yang mereka kerjakan untuk Fakultas Pertanian juga. Mereka inilah yang bekerja siang malam untuk menyiapkan data pendukung dan rencana pengembangan fisik dan akademik Fakultas Pertanian,� kisahnya. Prestasi Abdi dalam memimpin Fakultas Pertanian mendapat apresiasi dari banyak kalangan. Hal ini kemudian membawanya menjadi Pembantu Rektor Bidang Akademik pada periode 1996-2001. Pada waktu yang bersamaan, didirikan pula Lembaga Koordinator Program Pascasarjana di Unsyiah. Abdi ditunjuk Rektor merangkap tugas untuk memimpin lembaga ini. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Konflik bersenjata yang memuncak di Aceh turut berimbas ke Unsyiah. Rektor Prof. Dr. Dayan Dawood tewas di tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Kemudian, secara otomatis Abdi menjadi pejabat rektor hingga akhir masa jabatan rektor awal tahun 2002. Pada pemilihan rektor periode 2002 – 2006, Abdi terpilih secara demokratis. OECF merupakan sebuah lembaga keuangan di Jepang. Lembaga ini memberikan bantuan pinjaman dengan suku bunga rendah untuk mendukung swadaya negaranegara berkembang. Penerima manfaat utama dari kegiatan pembiayaan OECF meliputi proyek-proyek pembangunan (di industri seperti pertanian, kehutanan dan perikanan, dan pertambangan), survei eksperimental dan persiapan untuk proyek pembangunan, dan pengaturan pembiayaan langsung untuk pemerintah daerah. 16

49




“Memang kalau kerja di fakultas kita tidak menjadi kaya. Akan tetapi kita kaya ilmu dan dengan ilmu you bisa ke mana-mana keliling dunia,� ujar Soemarmo, Dekan FKHP kepada Abdi ketika memintanya menjadi dosen pada tahun 1974.


Bab II Abdi Sang Pengabdi

NASIHAT SOEMARMO ini selalu terngiang di telinga Abdi. Kalimat demi kalimat yang mengalir dari bibir dosen senior FKHP tersebut menancap di benaknya. Dengan perlahan dan suara berat, Pak Marmo – demikian ia biasa disapa, mengutarakan pendapatnya. Momen inilah yang kemudian mempengaruhi perjalanan hidup seorang Abdi A. Wahab hingga kini. Padahal, Abdi sudah bekerja sebagai pegawai bagian perencanaan di Dinas Peternakan Aceh kala itu. Meski baru berstatus honor, namun ia sudah diberi sepeda motor. Sebagai anak lajang, gajinya sangat memadai. Apalagi, Abdi juga sudah mengajar di sekolah peternakan SNAKMA, Saree. Gaya ‘parlente’ yang kerap dibayangkannya ketika kecil pun sudah dapat dilakoninya. Namun, pernyataan Pak Marmo seakan menyihirnya. Tak butuh waktu lama, Abdi pun memutuskan menerima tawaran untuk menjadi dosen. Kini, sedikit banyak pernyataan Pak Marmo telah terbukti. Profesi sebagai akademisi telah membawa anak Paya Tumpi ini berkeliling dunia. 53


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Mengubah Tradisi Dosen Sepulang sekolah dari Amerika, Abdi langsung aktif mengajar.Waktu itu, Jurusan Peternakan FKHP sudah pindah menjadi salah satu jurusan di Fakultas Pertanian Unsyiah. Namun Abdi segera dapat menyesuaikan diri. Berbekal pengalaman di Amerika, Abdi mulai mem­ bangun pola hubungan yang harmonis dengan mahasiswa. Abdi yakin, interaksi harmonis antara dosen dan mahasiswa akan mampu melahirkan kondisi belajar mengajar yang kondusif. Menurutnya, mahasiswa perlu diberi ruang untuk mengembangkan kemampuannya sendiri. Pemikiran ini didasarkan atas pengamatannya waktu belajar di Amerika. Dosen-dosen di sana memiliki interaksi hangat dengan mahasiswanya. Gelar professor tidak menghalangi para dosen menjalin hubungan yang harmonis dengan mahasiswa. Paling tidak, ini yang dirasakan Abdi ketika kuliah di University of Kentucky. “Pembimbing saya tidak segan-segan mengajak ber­ dis­ kusi dan mengizinkan saya menggunakan fasilitas di ruangannya,” kenang Abdi. Di kelas, Abdi dikenal sebagai dosen yang humoris. Metode ini diakui membuat mahasiswa lebih mudah menyerap materi. Abdi banyak belajar dari Abdullah Ali, sosok panutannnya. Gaya Abdullah Ali yang nyentrik dengan kaos oblong dan celana jeans telah menginspirasinya. Dengan kombinasi humor, gaya, dan keakrabannya, Abdi segera menjadi populer di kalangan mahasiswa. Tidak hanya itu, Abdi kerap menerapkan kuis di sela-sela kuliah. Mencontoh dosennya di Amerika, kuis-kuis yang diberikan Abdi kadang tidak berkaitan dengan topik kuliah. Misalnya tentang skor pertandingan sepak bola. 54


Bab II Abdi Sang Pengabdi

Abdi sedang mengikuti briefing bersama Rektor Prof. Dayan Dawood, Prof. Gunawan, dan Prof. Abdullah Ali (ki-ka) di Ruang Rektor.

Setelah kuis Abdi langsung membahas jawabannya, sehingga tidak membuat mahasiswa penasaran. “Dengan pendekatan seperti ini, justru, mahasiswa ketagihan untuk kuis,” akunya sambil tertawa. Dalam hal penilaian, Abdi selalu menerapkan prinsip yang adil kepada mahasiswanya. Namun, prinsip kejujuran dan tidak mengobral nilai tetap ia pertahankan. Sejak awal menjadi dosen di FKH, Abdi berusaha merombak sikap dosen yang sulit memberikan nilai kepada mahasiswa. Ketika menjabat sebagai Pembantu Rektor I Unsyiah, Abdi melihat fenomena penilaian yang menurutnya ‘aneh’ di salah satu fakultas. “Masak nilai yang paling tinggi hanya C. Tidak ada yang A, tidak ada yang B. Apa dosennya yang tidak bisa mengajar? Sebagai dosen kan prinsipnya tugas kita mentransfer ilmu. Bagaimana ilmu itu bisa dipindahkan sama dia. Jadi kalau mahasiswa tidak ada yang dapat A, itu berarti mahasiswa yang bodoh, atau kita yang tidak mampu,” 55


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

jelasnya berapi-api. “Persis seperti saat saya kuliah dulu, nilai paling tinggi adalah C. Sehingga sulit sekali untuk lulus,” kenangnya. Abdi menjelaskan kondisi ini sangat jauh berbeda dengan di Amerika. Di sana, jelasnya, menggunakan sistem absolut. Di awal kuliah, major professor bilang bahwa nilai A hanya diberikan untuk mahasiswa yang memiliki skor 91 – 100. Meskipun Abdi sangat akrab dengan profesornya, ia tetap saja dikasih B, karena skornya hanya 90,5. “Saya tidak merasa sedih, justru saya ambil hikmah­ nya. Begitulah ilmu penge­tahuan, tidak bisa ditawar-tawar. Ilmu pengetahuan tidak ada hubungannya dengan kedekatan seseorang,” tambahnya memberi alasan. Abdi bercerita suatu hari pernah ada orang tua maha­ siswa datang ke rumahnya meminta untuk memperbaiki nilai anaknya yang tidak lulus. Bapak tersebut berkata, “Semua mata kuliah anak saya lulus, hanya dengan Bapak saja yang tidak lulus.” Abdi sangat kesal mendapati sikap orang tua maha­ siswa seperti ini. Dengan enteng, ia menjawab, “Boleh, saya akan meluluskan anak Bapak. Tapi Saya minta Rp 100 juta. Karena setelah saya luluskan dia, saya akan berhenti jadi dosen, kemudian buka usaha dengan modal Rp 100 juta tersebut,” ujarnya. Sontak wajah Bapak tersebut memerah menahan malu. Sejak saat itu, tidak ada lagi yang datang minta nilai kepadanya. Gaya dan pendekatan yang dilakukan Abdi segera menuai hasil. Ia menjadi dosen favorit versi mahasiswa Fakultas Pertanian Unsyiah. Hampir seluruh mahasiswa mengenalnya sebagai dosen yang mampu mentransfer 56


Bab II Abdi Sang Pengabdi

ilmu dan penge­ tahuan melalui pendekatan yang humoris dan humanis, namun disiplin, dan tegas. Ia berhasil mengkondisikan suasana belajar yang interaktif. Berbeda dengan perkuliahan konvesional yang banyak diterapkan pada era 1985-1990-an, mahasiswa cenderung menjadi pendengar dan pencatat. Sementara, Abdi memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapat. Metode pembelajaran seperti ini disebutnya seba­ gai “learning and evaluation by yourself” atau belajar dan mengevaluasi sendiri. Ia menekankan supaya maha­ sis­ wa memiliki kemampuan di lapangan, baik secara men­­tal, fisik, dan pengetahuan. Model perkuliahan ini diteruskan dari generasi ke generasi oleh dosen muda binaan­ nya. Metode ini berkembang menjadi model per­ kulihan dengan istilah Student Learning Centre (SCL)17 yang kemudian berlaku umum di Unsyiah. Hingga kini, Abdi terus membangun hubungan yang harmonis dengan mahasiswanya. Hampir tidak ada celah yang menghalangi hubungannya dengan mahasiswa. Para mahasiswa pun banyak mengenalnya. Sikapnya ini mengalir begitu saja tanpa dibuat-buat. Bak kata pepatah, setiap hubungan harmonis harus dilandasi keikhlasan dan kejujuran. Abdi memiliki keduanya. Nilai bonus juga dimiliki Abdi. Belajar dari mentornya, Abdullah Ali, Abdi dikenal sebagai sosok yang sangat jujur. Begitu jujurnya, sehingga teman-temannya pernah tidak menyukai Abdi yang dianggap “terlalu polos”. Ketika SLC merupakan sistem belajar di mana mahasiswa menjadi pusat proses pem­be­ lajaran (students centered), dosen berperan sebagai fasilitator. Mahasiswa didorong terlibat aktif mengembangkan pengetahuan, sikap, dan perilakunya. 17

57


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

itu sedang ada proyek survei di bawah naungan Fakultas Ekonomi bekerjasama dengan instansi terkait. Lokasi survei Abdi berada di Aceh Selatan. Setiap tim dibantu beberapa mahasiswa. Biaya transportasi dan konsumsi ditanggung penyelenggara survei. Setelah semua kebutuhan terpenuhi, ternyata di kelompok Abdi masih ada uang tersisa. Uang tersebut dibagikan secara merata kepada mahasiswa dalam timnya. Sementara itu, dosen-dosen di kelompok lain mengam­bil uang lebih untuk diri sendiri. Sehingga muncul “kegaduhan” antara mahasiswa yang memancing perhatian dosen yang terlibat survei. “Itu kan uang mereka, hak mereka. Makanya saya bagikan. Meski sudah dibagi-bagi pun, dari hasil uang survei itu, saya mampu membeli vespa,” kenang Abdi sambil tertawa. Mulai Bersinar Segera usai sekolah, Abdi langsung tancap gas. Awalnya, ia dipercaya sebagai Kepala Pasture Agronomi Fakultas Pertanian Unsyiah untuk periode 1987 - 1990. Selang beberapa waktu kemudian, Abdi diminta pula menjadi Sekretaris Pusat Penelitian Unsyiah. Di Pusat Penelitian inilah Abdi menerbitkan majalah ilmiah Unsyiah untuk pertama kalinya, Mon Mata. Ia pun didaulat menjadi Pemimpin Redaksinya. Tak cukup sampai di situ, masih pada tahun yang sama, 1987, beban kerjanya ditambah lagi. Kali ini, Abdi ditunjuk menjadi salah satu anggota Tim Peningkatan Kerja Sama Luar Negeri Unsyiah. Selain itu, Abdi pun kembali ditunjuk sebagai Pendamping Penggunaan Dana Bantuan Jerman Barat hingga tahun 1991. Belum cukup, Abdi juga didaulat menjadi Anggota Penilai Angka Kredit Staf Pengajar 58


Bab II Abdi Sang Pengabdi

Unsyiah untuk periode 1987 – 1991. Bertubi-tubi jabatan dan pekerjaan dibebankan di pundaknya. Namun Abdi tak merasa berat karenanya. Meskipun, Abdi mengaku, rangkap jabatan tidak paralel dengan rangkap pendapatan. “Saya pun heran juga. Bagaimana bisa? Kenapa saya mau saja waktu itu ya?” tanyanya pada dirinya sendiri. Popularitas Abdi terus meroket. Sebagai ahli penge­ lolaan lahan penggembalaan dari Amerika, kepa­ karannya cepat tersebar. Suatu hari di tahun 1989, ia ditelepon Prof. Dr. Ibrahim Hasan yang menjabat Gubernur kala itu. Ia diminta datang secepatnya ke mess Aceh Asean Fertilizer (AAF) di Batuphat, Lhokseumawe. Tanpa berpikir panjang dan bertanya ada apa, Abdi pun segera memacu mobil Hi-Ace yang dibelinya dari sisa uang tabungan selama sekolah di Amerika plus tambahan dari abang istrinya. Waktu itu masih pukul 10.00 pagi. Abdi melaju dengan kecepatan sedang. Setelah berkendara lebih kurang 7 jam, sekitar pukul 5 sore, sampailah Abdi di pintu gerbang mess AAF. Ketika sampai di pos satpam, ia dihadang. “Mau kemana?” tanya petugas keamanan. “Mau masuk. Saya dipanggil Pak Ibrahim Hasan,” jawab Abdi lugas. Petugas keamanan memperhatikan Abdi dari ujung kepala hingga ujung kaki. Abdi hanya mengenakan sandal, kaos oblong, dan blue jeans. Petugas keamanan tak percaya. “Begini saja, mungkin kamu tidak kenal Pak Ibrahim Hasan. Coba kamu telepon Pak Usman, Direktur Keuangan AAF,” pinta Abdi. Kemudian petugas pun mengikuti arahannya. Di ujung telepon, terdengar perintah. Abdi adalah orang ‘penting’ yang 59


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

sudah ditunggu-tunggu sejak dari pagi tadi. Sontak petugas keamanan tersebut membungkuk-bungkuk dan mengantar Abdi hingga ke gedung pertemuan. Di dalam, sudah menunggu Gubernur Ibrahim Hasan, Menteri Bulog Bustanil Arifin, Pak Usman dan petinggi-petinggi lainnya. Selanjutnya, tanpa basa-basi, Ibrahim Hasan memerintahkan Abdi untuk menjadi Direktur Produksi PT. Aceh Agro Bisnis (AAB) di Blang Rakal, Bener Meriah. Perusahaan penggemukan sapi terpadu ini didanai sepenuhnya oleh AAF sebesar Rp 1,5 milyar sebagai modal awal. Sementara Direktur Keuangan AAF, Usman ditunjuk untuk merangkap menjadi Direktur Keuangan PT. AAB. Untuk mendukung operasionalnya, Abdi dibelikan mobil baru, namun tanpa sopir. Sejak saat itu, Abdi harus bolak balik Banda Aceh – Bener Meriah. Hari Senin hingga Kamis mengajar di Banda Aceh. Jumat berangkat ke Blang Rakal, Bener Meriah sendirian. Minggu sore kembali lagi ke Banda Aceh. Begitu seterusnya setiap minggu. Sementara, PT. AAB tidak menyediakan biaya perjalanan dinas dan dana operasional. Semuanya dimasukkan ke dalam gajinya yang sangat kecil, hanya Rp 250.000 saja. “Masih jauh lebih enak menjadi konsultan seperti Humam (Prof. Dr. A. Humam Hamid - red). Dia dibayar mahal oleh AAF,” kenang Abdi. Selama bekerja di Blang Rakal, seperti biasa, Abdi menerapkan prinsip kerja yang disiplin dan transparan. Namun sikapnya ini diremehkan oleh salah seorang pegawai AAF. “Saya pernah mengembalikan pembuatan kandang dan pembelian konsentrat ke perusahaan, tapi diejek kenapa dikembalikan? Itukan harus dihabiskan,” kata mereka. Pengabdian Abdi di PT. AAB dila­ koninya hingga 60


Bab II Abdi Sang Pengabdi

tahun 1990. Dua tahun bolak-balik Banda Aceh – Blang Rakal (sekarang Bener Meriah) menjadi pengalaman yang cukup berat untuk dijalaninya. Waktu itu sudah mulai muncul gejala ketegangan politik. Sudah mulai ada pembakaran pos-pos polisi di beberapa lokasi di Aceh Utara dan Aceh Timur. Pada masa itu pula, dr. Ramli, abang kandung Abdi meninggal di Sigli dalam perjalanan pulang dari Takengon melihat ibunya. Setahun kemudian ibunda tercintanya, Sri Kala, meninggal di Paya Tumpi. Konflik yang semakin tinggi memicu keprihatinan Abdullah Ali. Ia memberi pertimbangan kepada Abdi. “Ini kondisinya sudah mulai tidak sehat. Kalau terjadi apa-apa, tidak ada yang tahu. Kamu bisa saja hilang di perjalanan,” ujar Abdulah Ali menasehatinya. Atas pertimbangan ini, Abdi pun mengun­durkan diri. Menanggapi persoalan ini, Ibrahim marah karena Abdi tidak datang langsung mene­muinya. “Saya minta berhenti dari Blang Rakal dengan surat,” ujarnya pelan. Namun setelah dijelaskan kemudian hari, Ibrahim akhirnya bisa memahami kondisi Abdi. Hubungan mereka pun baik kembali. Tidak hanya itu, dalam bukunya yang berjudul ‘Namaku Ibrahim Hasan,’ Abdi dimasukkan sebagai salah satu tokoh dari delapan pemimpin Unsyiah. Padahal waktu penulisan buku itu, Abdi belum menjadi pimpinan Unsyiah. Mendorong Dosen Sekolah Kisah sekolah Abdi memang unik. Berpindah-pindah waktu SMA, kepayahan di masa sarjana. Namun, bersinar di pascasarjana. Pengalaman belajar di Amerika telah membuka 61


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Dalam buku Namaku Ibrahim Hasan, Abdi diceritakan bersama M. Jasin, Marzuki Nyakman, A. Madjid Ibrahim, Ibrahim, Abdullah Ali, M. Alibasyah Amin, dan Dayan Dawood sebagai petinggi Unsyiah yang melanjutkan kepemimpinan untuk kejayaan pendidikan tinggi di Aceh.

wawasannya. Pendidikan sangat teramat penting, demikian filosofinya. Apalagi bagi yang berprofesi dosen. “Sekolah sangat dibutuhkan. Ketika kita mengklaim sebagai dosen, berarti kita harus sekolah sampai level tertinggi. Dan kalau ingin mendapatkan kualitas terbaik, ya harus sekolah ke luar negeri,� jelasnya. Hal ini dialami sendiri oleh Abdi. Ia adalah tipe orang kebanyakan. Tidak sangat cerdas apalagi jenius. Berangkat ke Amerika pun dengan TOEFL18 pas-pasan. Namun, berkat disiplin membagi waktu dan tekun, Abdi mampu melewati TOEFL singkatan dari Test of English as a Foreign Language, merupakan test kemampuan bahasa Inggris yang diperlukan untuk masuk ke Universitas di Amerika dan negara-negara lainnya. Skor TOEFL berkisar antara 310 (minimum) s.d. 677 (maksimum) 18

62


Bab II Abdi Sang Pengabdi

berbagai ujian. Apalagi, ia memiliki pembimbing yang arif dan bijaksana. Motivasi dan keteladanan sang pembimbing membuat Abdi menemukan potensinya. Semua ini menjadi bingkai bagi persahabatan mereka yang tak akan hilang dari ingatannya. Abdi belajar banyak hal di sana. Tidak hanya tentang ilmu peternakan, juga tentang kearifan dan kepemimpinan. Itulah sebabnya ia selalu giat mendorong dosen-dosen muda untuk melanjutkan studinya. Ia berharap, mereka dapat menyerap hal-hal positif di luar negeri. Selain itu, kemampuan mereka juga akan berharga bagi pengembangan universitas ke depan. Upaya mendorong dosen untuk sekolah dilakukan Abdi secara informal. Baik kepada individu maupun dalam kelompok-kelompok kecil. Ketika ketemu dengan dosen-dosen muda di mana saja, ia langsung menyapa dan menanyakan studinya. Setelah menjadi pimpinan, Abdi lebih leluasa dan tambah semangat saja. Dalam berbagai forum pertemuan pimpinan dan rapat kerja, Ia selalu mendorong para dosen muda untuk terus kuliah. Ia berharap, generasi penerus Unsyiah akan lebih baik lagi di masa mendatang. Apalagi, menurut Abdi, untuk memperoleh beasiswa ke luar negeri sekarang ini malah lebih mudah. Dosen tidak perlu lagi menunggu program beasiswa S2. Sekarang mereka sudah bisa mencari sendiri sponsor yang mau membiayai studinya. Pada tahun 1994, Abdi masih menggenjot supaya mahasiswanya melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Bahkan, ia membebaskan dosen-dosen muda dari tugas mengajar agar mereka fokus mendalami bahasa Inggris. Kemampuan bahasa Inggris merupakan salah satu syarat utama memperoleh beasiswa kuliah ke luar negeri. 63


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Kemampuannya diukur melalui tes TOEFL. Samadi, dosen muda ketika itu berhasil tembus kuliah ke Australia berkat dorongan Abdi melalui kebijakan dan rekomendasinya. “Nasihat sebagai orang tua yang bijaksana diberi­kan kepada para mahasiswa, sehingga sebagian besar mahasiswa dapat menyelesaikan pendidikan tepat waktu dan lebih dari 50% sudah mengikuti pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,” ujar Samadi, profesor muda dan juga Wakil Dekan I Bidang Akademik di Fakultas Pertanian saat ini. Abdi berharap suatu saat nanti, Unsyiah akan dipenuhi orang-orang berilmu pengetahuan dari berbagai latar belakang ilmu, dari lulusan universitas seluruh dunia. Sehingga, mereka mampu berkontribusi untuk mengatasi berbagai masalah sosial kemasyarakatan. Persiapan Kuliah di Luar Negeri Di masa Rektor Prof. Dr. Ibrahim Hasan, dosen-dosen muda diberikan kursus bahasa Inggris di Laboratorium Bahasa. Les diberikan dari pukul 07.00 – 08.00 setiap hari. Abdi mengikuti kursus ini selama lebih kurang 2 tahun. Waktu itu, ada seorang dosen native speaker, Roger, namanya. Kalau mereka ketemu di mana-mana, di lapangan bola, dll. selalu menggunakan bahasa Inggris. Program intensif bahasa Inggris bagi dosen-dosen muda ini terus berlanjut hingga kepemimpinan Prof. Dr. Abdullah Ali, Prof. Dr. Ali Basyah Amin, dan seterusnya hingga kini. Sebelum ke Amerika, pada tahun 1979, Abdi lulus seleksi untuk sekolah ke Australia. Ia pun berangkat ke Jakarta untuk mengikuti kursus intensif selama 3 bulan di Wijoyo Center. Di Jakarta, ia dan teman-teman a.l. Tabrani dari Fakultas Ekonomi menyewa rumah di sekitar kawasan Semanggi. Ketika hendak berangkat, semua persyaratan sudah disiapkan, pecah konflik Indonesia-Australia. Abdi dan teman-temannya pun gagal berangkat. Pada tahun 1981, Abdi lulus seleksi ke Amerika Serikat. Waktu itu diminta nilai TOEFL 475. Abdi lulus dengan TOEFL 485, sedikit di atas persyaratan. Pada 4 Oktober 1981, Abdi pun berangkat ke AS. Sesampai di Kentucky, ia dilatih lagi Bahasa inggris secara intensif, baru masuk kuliah. 64


Bab II Abdi Sang Pengabdi

Memberdayakan yang Muda Pada tahun 1991, Abdi terpilih sebagai Dekan Fakul­ tas Pertanian Unsyiah untuk masa jabatan 1991-1995. Kesem­ patan ini ia manfaatkan untuk membangkitkan suasana akademik dan keilmiahan di lingkungan Fakultas Pertanian. Ia merangkul dan memberikan kesempatan kepada semua dosen untuk mengembangkan fakultas. Kebetulan pada masa itu, Unsyiah mendapatkan banyak dukungan sponsorship dari OECF-Jepang dan Jerman. Kesempatan ini tidak disia-siakannya. Abdi mem­ bentuk tim kecil untuk menyusun rencana tindak (action plan) pengembangan institusi dan infrastruktur Fakultas Pertanian. Tim ini terdiri dari dosen-dosen muda yang baru pulang master dan doktor dari luar negeri. Mereka antara lain: Dr. Darussaman (Kansas State University, USA, 1994), Dr. Anshar Patria (Universite Nantes, France, 1994), Dr. Heru Prono Widayat (MA University of Kentucky, 1993, PhD Michigan State University, 2002), Dr. Humam Hamid (Kansas State University, USA, 1996) dan Dr. Fajri, M.Sc (University of Illinois - Urbana Champaign,1990, Kyoto University, 2002). Selain memberi kepercayaan penuh, Abdi juga menyiapkan kantornya dua puluh empat jam untuk mereka. Ia siap menahan badan dari berbagai kritikan dosen senior. “Mereka belum berpengalaman,” sindir mereka. “Masak ruang dekan dijadikan ruang kerja dosendosen muda,” kritik yang lainnya. Namun Abdi bergeming. Dan ternyata, pilihan Abdi terbukti. Para dosen muda ini sangat berdedikasi dan tang­ guh. Bak banteng rodeo, mereka sangat kuat bertenaga, be­ kerja siang malam. Namun akhirnya, semua terbayar. Pada tahun 1992, 65


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Prof. Abdi mengunjungi mahasiswa Unsyiah penerima beasiswa OECF di Toyohashi University of Technology, Jepang, a.l. T. Alaidinsyah dan kawan-kawan. Samsul Rizal (Rektor Unsyiah sekarang) yang menerima beasiswa Monbusho G2G kebetulan juga sedang kuliah di sana.

Fakultas Pertanian Unsyiah menjadi salah satu penerima manfaat terbesar dari OECF, Jepang bersama dengan Fakul­ tas Teknik. Di samping memperoleh bantuan beasiswa S2 dan S3 untuk para dosen, Fakultas Pertanian memperoleh hibah pembangunan empat buah gedung berlantai tiga yang berdiri megah hingga saat ini. Sedangkan Fakultas Teknik memperoleh tiga buah gedung dengan kualitas yang sama. Pada tahun itu, 20 staf Unsyiah termasuk dari Fakultas Pertanian diberangkatkan ke Jepang melanjutkan studi S2 dan S3. Tahun berikutnya dikirm kembali sebanyak 21 orang yang kemudian meraih gelar S3 lima tahun kemudian. Beberapa alumni program OECF ini antara lain: Dr. Yusdar Zakaria (Kyoto Univerity, 1998), Prof. Dr. Amhar Abubakar (Tohoku University, 1999), Dr. Aman Yaman (Nagoya University, 2000), Prof. Dr. Sabaruddin (Tokyo University of Agriculture & 66


Bab II Abdi Sang Pengabdi

Technology, 2001), Dr. M. Yunus (Kyushu University, 2001), Dr. Husni (University of Tsukuba, 2001), Dr. Helmy (Nagoya University, 2002), dan Dr. Fajri (Kyoto University, 2002). Inilah tonggak kebangkitan SDM muda yang kini menjadi motor peningkatan mutu di Fakultas Pertanian pada khususnya dan Unsyiah pada umumnya. Keberhasilan ini mengantar Abdi meraih sukses dalam pemilihan dekan untuk periode kedua tahun 1994-1998. Namun, belum lagi tuntas jabatannya sebagai Dekan Fakultas Pertanian, pada tahun 1996, Abdi diminta Rektor Prof. Dr. Dayan Dawood menjadi Pembantu Rektor Bidang Akademik (PR I). Kesempatan ini semakin memberikan Abdi peluang yang lebih besar untuk berkarya. Ia mengutarakan idenya kepada Rektor untuk membangun hubungan harmonis antar generasi senior dan junior, fakultas/jurusan dengan Biro Rektor. Selain itu, dalam banyak kesempatan, Abdi tetap berupaya memberdayakan tenaga-tenaga muda di lingkungan Unsyiah. Ada tiga kebijakan ‘radikal’ yang diterapkan Abdi ketika menjabat PR I. Pertama, penerapan semester pendek. Idenya adalah, bagaimana mempercepat masa studi mahasiswa yang cerdascerdas. Ide ini berangkat dari pengalaman Abdi di Amerika. Di sana, anak-anak yang ingin cepat tamat bisa mengambil summer course, kuliah di musim panas pada saat mahasiswa lain pada liburan. Abdi melapor ke Dayan, beliau setuju. “Coba you bawa ke Senat,” perintahnya. Setelah disetujui Senat, jadilah semester pendek diterapkan di Unsyiah hingga kini. Namun, Abdi melihat pelaksanaan semester pendek tidak berjalan seperti ide awalnya. Semester pendek tidak hanya diikuti oleh mahasiswa yang cerdas, banyak 67


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

mahasiswa yang tidak lulus memanfaatkan kesempatan ini untuk memperbaiki nilainya. Kedua, menerapkan kebijakan TOEFL 450 kepada mahasiswa yang akan ujian sidang. Idenya adalah mening­ katkan kemampuan bahasa Inggris di kalangan mahasiswa sehingga dapat melanjutkan pendidikannya ke luar negeri ataupun berkompetisi di tingkat nasional dan internasional. Lagi-lagi, Abdi menilai pelaksanaannya masih belum ideal. Ada kesan, apabila nilai test TOEFL belum mencapai 450, maka pada test ketiga, Lembaga Bahasa pasti akan mengeluarkan keterangan lulus. Ketiga, menghapus Kuliah Kerja Nyata (KKN). Idenya adalah mengurangi beban mahasiswa sehingga masa studi tidak terlalu lama. “Beban SKS mahasiswa sudah 150, tambah lagi KKN, bagaimana bisa cepat tamat?” dalihnya. Selain tiga kebijakan di atas, Abdi masih memiliki banyak ide-ide untuk meningkatkan kualitas Unsyiah setara dengan perguruan tinggi lainnya di Indonesia. Namun bukan hanya sekadar hambatan, Abdi juga merasa banyak memperoleh cibiran dan penolakan. Namun ia tetap bersikukuh. “Itu yang mau saya terobos, tapi tidak berhasil sepe­ nuh­nya. Mungkin dari dulu begitu, tapi sekarang kayak­nya lebih bagus,” jelasnya dengan sedikit kecewa. Pendapat Abdi ada benarnya. Namun situasi politik yang memburuk saat itu tidak dapat dipungkiri. Sejarah mencatat tahun 1997 sebagai tahun krisis di Indonesia. Pada masa itu, terjadi demo besar-besaran di Jakarta yang mengakibatkan lengsernya Presiden Soeharto. Memburuknya situasi politik nasional segera merambat ke daerah. Di Aceh, demo-demo anti kekerasan dan militerisasi berujung pada tuntutan Referendum pada tahun 1999. 68


Bab II Abdi Sang Pengabdi

Suasana politik sedikit banyak berimbas ke kampus. Namun, eskalasinya masih terkendali. Abdi merasa usaha­nya be­lum maksimal. Harmonisasi internal, peningkatan akademik dan pember­ dayaan tenaga muda dirasanya masih belum op­timal. Untuk itu, Abdi berniat untuk meningkatkannya. Maka, Ketika pemilihan rektor berlangsung pada tahun 2000, Abdi mohon izin kepada rektor untuk maju sebagai kandidat. Abdi yang kebetulan juga teman dekat Dayan semasa maha­ siswa S1 dulu, menemui Dayan di ruang kerjanya. "Yan, saya maju ya," ujar Abdi kepada Dayan. "Biar ramai saja. Nanti pun kamu juga yang akan menang," ujarnya sambil tertawa akrab. Dayan hanya tertawa, "Ya sudah, maju saja," katanya datar. Kebetulan, sebagian anggota senat mendukung niatnya. Namun, Dayan rupanya juga berkeinginan untuk kembali maju. Kandidat ketiga yang menjadi kuda hitam pada pemilihan waktu itu adalah Ir. Yusuf Nyak Pha dari Fakultas Pertanian. Dengan sistem one man two vote yang ditetapkan panitia kala itu, Abdi harus

Pelantikan Bersama Para Pembantu Rektor dan Ketua Lembaga Unsyiah Periode 2000-2004.

69


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

mengakui keunggulan Dayan, seniornya. Dengan besar hati, Abdi menjadi orang pertama yang menyalami Dayan dan memeluknya usai penghitungan suara. "Congratulation, you are the best," ungkapnya kepada Dayan. Namun, Abdi tidak kecewa. Ia masih terus bekerja di kantornya hingga masa jabatannya berakhir. Masuk pagi pukul 8, pulang pukul 4 sore hari. Banyak juga yang memandang sinis mengenai sikap Abdi ini. “Sudah kalah, kok masih mau sibuk-sibuk kerja?” bisik mereka. Lagi-lagi Abdi bergeming. “Saya bekerja untuk uni­ ver­ sitas, bukan untuk rektor, bukan pula untuk individu Dayan Dawood,” batinnya. Prinsip ini selalu ditularkannya kepada junior-junior­nya. “Kalau bekerja, bekerjalah untuk lembaga, untuk universitas. Tidak untuk pejabatnya, atau individu. Jika itu kalian kerjakan, siapapun rektor, kalian akan diajak,” pesannya. Mungkin karena prinsip kerjanya seperti ini pulalah, Dayan tetap mempertahankan Abdi sebagai PR I. Ceritanya, beberapa waktu usai pemilihan, PR IV, Prof. Dr. Utju Alibasyah datang ke ruangannya. Utju menyampaikan amanat Dayan untuk mengajak Abdi kembali bergabung di kabinetnya, di posisi yang sama, sebagai PR I. Demi menghalau rasa penasarannya, Abdi langsung mendatangi kamar rektor, menayakan perihal ini. Dayan pun membenarkan Utju dan meminta kesediaan Abdi untuk tetap membantunya di bidang akademik. Demi melihat kepentingan yang lebih besar, yakni Unsyiah, dengan besar hati Abdi pun akhirnya menerima tawaran ini. Jadilah ia sebagai PR I untuk periode kedua kepemimpinan Dayan tahun 1998-2001. Sementara PR II dijabat oleh Drs. 70


Bab II Abdi Sang Pengabdi

Fachrurrazi, MBA dari Fakultas Ekonomi, PR III dipercayakan kepada Dr. Ir. Haidar Panji Indra, M.Eng (alm), sedangkan PR IV dipercayakan kepada Prof. Drs. Utju Alibasyah, MA (alm). Selama menjabat, koleganya memandang Abdi sangat fleksibel dan rendah hati. Mulyadi Adam, Dosen FKH Unsyiah mengatakan Abdi banyak menerobos birokrasi. Ia bisa dijumpai oleh mahasiswa dan dosen-dosen di mana saja. “Bahkan di halaman parkirpun beliau mau melayani tanda tangan untuk skripsi mahasiswa,” jelas Mulyadi. Ir. Munawar Khalil, MS, dosen pertanian Unsyiah mengatakan bahwa Abdi sangat rendah hati. "Waktu baru pulang sekolah, Pak Abdi pakai vespa ke kampus. Waktu jadi pejabat, bahkan sopirnya pernah disuruh duduk di samping, dia yang menyetir mobilnya. Abdi dikenal akrab dengan kalangan dosen muda dan koleganya. Tidak sulit bagi mereka untuk menemuinya, seperti yang dirasakan oleh Dr. Ir. Agussabti, M.Si yang kini menjabat sebagai Dekan Fakultas Pertanian Unsyiah. Ketika itu Abdi nampak buru-buru. Langkah kakinya cepat mengejar waktu. Menuju mobil hardtop merah yang terparkir di depan gedung fakultas. Dari dalam mobil ia melihat gelagat seorang dosen muda yang terus memandang ke arahnya. “Mau ketemu saya?” tanya Abdi sembari membuka jen­­dela mobil dengan wajah penasaran. Lelaki itu mengang­ guk pelan. “Mau tanda tangan surat ini, Pak” jawabnya segan sambil menunjukkan surat yang harus ditandatangani Abdi. Tanpa terduga langsung saja Abdi keluar dari mobilnya dan menandatangani surat tersebut di atas kap mobil. “Simpel banget bapak ini. Suatu saat beliau pasti akan menjadi pemim­ pin yang lebih besar pada jenjang yang lebih tinggi di masa depan,” bisik si lelaki dalam hati yang kelak menjadi Dekan 71


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Fakultas Pertanian itu. Saat itulah Agussabti sudah mengagumi Abdi sebagai pemimpin yang fleksibel, memberikan pela­yanan terbaik meskipun kepada orang yang masih jauh lebih muda. Ketika dipercayakan sebagai Kepala Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, ia berhasil menggali beragam prestasi. Ia menciptakan soliditas tim untuk menca­ pai prestasi tersebut. Ia sangat memperhatikan bawa­ hanbawahannya. Tidak segan-segan ia melakukan pekerjaan yang mungkin di mata sebagian orang aneh jika pekerjaan tersebut dilakukan oleh seorang pemimpin. “Seorang pemimpin yang sangat rendah hati,” ungkap Yunasri Usman, salah seorang kolega Abdi. Pernah suatu ketika sekitar tahun 1986, Abdi meng­­ gem­ bleng mahasiswanya, Mira Delima, dalam pembuatan makalah ilmiah untuk dipresentasikan. Saat itu Abdi baru saja kembali dari studi lanjut di Amerika Serikat. Kebetulan saat itu Mira sedang mempersiapkan diri untuk melaksanakan salah satu kegiatan perkuliahan, yaitu Seminar Reguler. Bidang minat yang akan dibahas dalam Seminar Reguler mengenai bidang minat Hijauan Makanan Ternak. Sementara itu, Abdi ahli di bidang tersebut. Sehingga Abdi pun ditunjuk oleh Ketua Jurusan agar menjadi pembimbing Mira. "Tau apa kamu tentang rhizobium, sehingga beraniberaninya kamu ingin menulis tentang itu!" tantang Abdi keras saat Mira menemuinya untuk meminta kesediaan bimbingan. Jantung Mira serasa berhenti berdetak. Untung saja sebelumnya ia sudah membaca sedikit tentang rhizobium. Dengan terbata-bata ia menjelaskannya. Setelah peristiwa tersebut, tidak tahu mengapa sikap Abdi. “Saya dapat merasakan bahwa Beliau sangat baik kepada saya, terlebih 72


Bab II Abdi Sang Pengabdi

lagi kegiatan Seminar Reguler dapat saya selesaikan dengan lancar,” tutur Mira di kemudian hari. Hubungan akademis mereka berdua terus berlanjut. Setelah menjadi pembimbing Seminar Reguler, Abdi pula yang kemudian menjadi Pembimbing Utama Mira dalam penelitian dan penulisan skripsi. Di balik ketegasannya, ternyata Abdi sering kikuk saat berhadapan dengan orang yang ketagihan minta dihormati atau terlalu banyak bicara basa basi yang kurang penting. Urusan yang sifatnya seremonial juga kurang ia sukai. Beberapa kali ia terjun ke lapangan membantu pene­litian skripsi Mira. Ia datang langsung, memeriksa, dan mem­bantu Mira mencari solusi masalah yang diha­ dapi. Tidak jarang ia duduk di kantin sederhana di sekitaran kampus. Saling bertukar pikiran dengan lawan bicaranya. Abdi jauh dari perilaku yang terlalu menjaga citra. Kesan kepribadian beliau yang akrab dengan siapa saja itulah yang kemudian menjadi pesona dan teladan bagi mahasiswanya. Sebagai bentuk penghargaan kepada mahasiswanya, tidak jarang Abdi memberikan kenang-kenangan berharga, seperti pulpen yang khusus dibelinya di luar negeri. Satu dari ketiga pulpen miliknya diberikan kepada Mira. Kata Abdi, satu pulpen digunakan untuknya menandatangani, satunya lagi sebagai cadangan. Sisanya diberikan kepada Mira. “Saya tidak pernah menggunakan pulpen tersebut, saking sayangnya. Namun akhirnya, sayang sekali, pulpen tersebut hilang terbawa tsunami. Intinya adalah bahwa beliau pandai sekali membuat saya merasa istimewa. Semoga Allah berikan kesehatan dan keselamatan dunia akhirat, serta diberikan keberkahan pada sisa usianya.” 73


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Darussalam Berduka Situasi politik dan keamanan di Aceh masih membara. Para pejabat di daerah tak ada yang bisa tenang bekerja. Tibatiba, di Sabtu pagi yang tenang, terdengar kabar duka. Pada 16 September 2000, Rektor IAIN Ar-Raniry Prof. Dr. Safwan Idris tewas ditembak orang tak dikenal di pintu depan rumahnya di komplek dosen IAIN Darussalam. Langit Aceh mendadak mendung, hujan mengiringi kepergian ulama, tokoh panutan, pemimpin Darussalam. Di luar kampus, suasana politik semakin tak menentu. Kondisi keamanan di Aceh semakin genting. Pada 6 September 2001, genap setahun kurang 10 hari dari kematian Rektor IAIN Ar-Raniry, Rektor Unsyiah dieksekusi di dalam mobil dinasnya di atas jembatan dekat masjid Agung Al Makmur (Masjid Oman), Lamprit. Aceh kehilangan dua orang putra terbaiknya. Kampus Darussalam kembali berduka. Aceh bersimbah air mata. Memburuknya Situasi Politik di Aceh Demo reformasi di Jakarta pada tahun 1997 telah memaksa Presiden Soeharto turun tahta. Situasi ini turut berimbas ke daerah. Di Aceh, tekanan anti kekerasan dan militerisasi merebak di mana-mana. Demo masyarakat terjadi di sepanjang pesisir. Jam malam mulai diberlakukan. Kegiatan kampus hanya dibolehkan sampai pukul 6 sore. Mahasiswa menjadi lebih sulit dikendalikan. Puncak kekisruhan di Aceh terjadi pada tahun 1999. Demo besarbesaran di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh menuntut referendum. Pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mulai leluasa masuk kota dengan senjata. Perang terbuka antara TNI/Polri dan GAM tak terhindarkan. Kantor-kantor pemerintah dan pejabat negara mulai diteror. Dari pinjam paksa kenderaan, uang sumbangan, hingga pembakaran, dan pembunuhan. Bagi dunia pendidikan di Aceh, peristiwa kakacauan politik ini dibayar dengan harga yang sangat mahal. Rektor UIN Ar-Raniry Prof. Dr. Safwan Idris dan Rektor Unsyiah Prof. Dr. Dayan Dawood tewas di ujung peluru pada 16/9/2000 dan 6/9/2001. Aceh berduka. 74


Bab II Abdi Sang Pengabdi

Pada saat penembakan terjadi, Abdi sedang mengikuti rapat Badan Kerja Sama Pengembangan Pendidikan Kawasan Barat (BKS Barat) di Medan. Abdi bergegas pulang ke Banda Aceh. Sepeninggal Dayan, Abdi otomatis menjadi Pejabat (Pj) Rektor hingga masa jabatan berakhir pada awal tahun 2002. Menjadi orang pertama di Unsyiah, Abdi berusaha menuntaskan program kerja Dayan sembari mewujudkan ide-idenya yang belum sepenuhnya berjalan. Namun, kali ini Ia lebih fokus kepada peningkatan mutu akademik. Seperti biasa, ia melibatkan para doktor muda. Dr. Aman Aman yang waktu itu baru pulang dari Jepang mendapat tugas berat kali ini. Kisahnya, waktu itu di bulan Januari 2001. Abdi memanggil Aman untuk menyiapkan dokumen evaluasi diri (Self Evaluation) Unsyiah. Merasa ini bukan hal ringan, Aman mengajak Dr. Endang Suhendrayatna, temannya waktu di Jepang. Berdua mereka ikut pelatihan Program Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi Berkelanjutan di Bandung. Sepulang training, mereka pun diminta menyusun dokumen Evaluasi Diri Unsyiah berbasis Peningkatan Mutu Berkelanjutan. Tanpa Surat Keputusan (SK), Aman dan Endang bekerja dalam Tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) Internal Unsyiah yang waktu itu diketuai Dr. Thantawi dari Fakultas Teknik. Namun, karena tim ini kurang produktif, maka ditunjuklah Endang dan Yaman sebagai Ketua dan Sekretaris Tim Monev yang baru. Menjadi Rektor Pada akhir tahun 2001, Abdi memenangkan pemilihan Rektor Unsyiah periode 2002-2006 yang dilaksanakan secara demokratis. Ia menyisihkan dua kandidat lainnya, Prof. Dr. Masud D. Hilliry, MA dari Fakultas Ekonomi dan Prof. Dr. M. Hakim Nyak Pha dari Fakultas Hukum. Pelantikannya 75


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

dilakukan oleh Menteri Pen­ didikan dan Kebudayaan pada 30 April 2002 di Jakarta. Mengenai kemena­ ngan­nya ini, dengan rendah hati Abdi berkomentar bah­ wa tidak ada yang mau men­­jadi rektor pada waktu itu. Dalam masa konflik, mengemban jabatan rektor19 rasanya seperti memegang bara api. Dipegang terbakar, dilepaskan tak mungkin ka­ Abdi saat menjabat menjadi rektor Unsyiah. rena ini adalah amanah. Unsyiah tengah berada dalam pusaran badai konflik. Siapapun rektor saat itu pasti akan merasakannya. Didatangi oleh pejuang GAM, dipanggil oleh TNI/Polri. Abdi sudah pernah berada pada situasi ini ketika menjabat PR I. Namun bukan Abdi namanya kalau tak mampu tegar. Ia tetap teguh berdiri di anjungan utama Unsyiah. Dalam memimpin Unsyiah, Abdi suka merujuk filosofi kapal yang diterapkan Abdullah Ali. Ibarat se­buah kapal, rektor adalah pemilik kapal. PR I sebagai nakhoda, PR II masinis, dan PR III sebagai pasasi yang mengurus keperluan penumpang (mahasiswa). Re­ktor menentukan arah dan tindakan yang diperlukan agar kapal tetap eksis bisa berlayar. Nakhoda Abdi merupakan Rektor ke-6 Unsyiah. Pada awal berdirinya 2 September 1961, Unsyiah dipimpin oleh Kolonel M. Jasin dalam kedudukan sebagai Pj Presiden. Berikutnya, Unsyiah dipimpin oleh Drs Marzuki Nyakman dalam kedudukan sebagai Ketua Presidium. Baru kemudian Unsyiah memasuki era Rektorat, berturut-turut: Drs A Madjid Ibrahim, Prof Dr Ibrahim Hasan MBA, Prof Dr Abdullah Ali MSc, Dr M Ali Basyah Amin MA, Prof Dr Dayan Dawood, MA, Prof Dr Ir Abdi A. Wahab MSc, Prof Dr Darni M Daud MA, dan sekarang ini Prof Dr Samsul Rizal M Eng. 19

76


Bab II Abdi Sang Pengabdi

menentukan berapa kecepatan kapal bila ingin sampai ke tujuan tepat waktu. Kemudian, PR II menyiapkan kebutuhan yang diperlukan agar kapal bisa berlayar dengan kecepatan tetap. Selanjutnya, PR III memastikan semua penumpang merasa nyaman di kapal. Secara panjang lebar, Abdi menje­las­kan metode yang diterapkannya da­lam memimpin Unsyiah, yakni MMT. Di manajemen ada istilah MMT, Manajemen Mutu Terpadu. Kita di dalam satu organisasi, sebenarnya adalah satu. Jadi, rektor dan tukang antar surat itu sebenarnya memiliki fungsi yang sama. Karena rektor tidak bisa bekerja maksimal kalau tidak didukung staf yang antar surat. “Saya sudah mencoba konsep ini dulu. Rektor itu sebenarnya kan pelayan juga, sama seperti petugas antar surat. Rektorat adalah pelayan bagi fakultas. Jangan sampai orang datang dari fakultas tertunda-tunda urusannya. Dulu saya perintahkan kalau bisa dibuat desk-desk fakultas. Jangan sampai kalau ada orang perlu, staf di Biro sedang pergi antar anak, kenduri, dll, sehingga tertunda urusannya. Saya fikir di tingkat kementrian juga harus begitu. Kita sudah datang jauh-jauh dari daerah ke Jakarta, jangan sampai tertunda urusannya,” papar Abdi serius. Dalam hal keuangan, Abdi berupaya maksimal untuk mengikut sunah Rasulullah saw. “Bayarlah upah buruh sebelum kering keringatnya. Kalau bisa ada uang di fakultas yang disiapkan untuk membiayai rapat-rapat, agar Ketua Jurusan tidak perlu mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri. Ada pemikiran ke arah itu, namun tidak bisa saya kontrol sejauh itu,” tambahnya. Para koleganya menilai, kepemimpinan Abdi sangat tegas, keras, dan lurus. Namun, ketegasannya sering bentrok 77


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

dengan kepentingan banyak pihak. Mantan sekretaris Rektor Unsyiah, Mulyana, menilai bahwa ketegasan Abdi sebenarnya didasari oleh sifat taat peraturan yang sangat dijunjung tinggi. Ketika suatu hal bertentangan dengan aturan, serta merta Abdi minta dikembalikan ke aturan yang ada. Disinilah letak ketegasan Abdi yang terkadang banyak disalahartikan orang dengan kekakuan. “Sebenarnya bukan kaku, tapi taat aturan,â€? jelas wa­ nita yang biasa disapa Nana ini. Lebih jauh, Nana menilai bahwa Abdi juga sangat tegas bila menerapkan hukuman atas kesalahan yang dilakukan oleh siapapun. Ketika seseorang melakukan kesalahan, Abdi tidak langsung menerima argumen dari orang lain tapi langsung memanggil yang bersangkutan untuk mendengar langsung apa yang sebenarnya terjadi. “Ini saya pikir adalah sifat yang patut kita kagumi

Rektor Unsyiah, Abdi Wahab berfoto bersama dengan Saifuddin Ishak (PR IV), Darni Daud (PR I), Alfian Ibrahim (PR II), dan Azhar Puteh (PR III) (ki-ka).

78


Bab II Abdi Sang Pengabdi

karena selama ini banyak terjadi seseorang harus menerima keputusan sepihak tanpa melibatkan yang bersangkutan dalam pengambilan keputusan,” pungkasnya berfilosofi. Mantan PR IV periode Abdi, drg. Saifuddin Ishak, MKes bercerita bahwa Abdi bisa sangat keras memegang prinsip bila dihadapkan pada sesuatu yang tidak ia sukai. “Dulu, Pak Abdi pernah tidak mau memproses dan menandatangani surat pengunduran diri Ir. Nova Iriansyah, MT yang hendak maju sebagai calon anggota DPR RI. Capek saya bujuk-bujuk, Pak Abdi tetap tidak mau memprosesnya,” ungkap Saifuddin dengan perasaan tidak enak karena Nova meminta melalui dia. Akhirnya setelah terpilih sebagai anggota DPR-RI, barulah Abdi menandatangani surat pengunduran diri tersebut. Terakhir Saifuddin baru mengetahui bahwa Abdi tidak mau menandatangani surat pengunduran diri tersebut sebelum jelas apakah Nova bisa terpilih sebagai anggota DPR atau tidak. "Kalau ia terpilih, kalau tidak, bagaimana? Kan sayang status dosennya sudah dilepaskan," ungkap Abdi kemudian hari. Dr. Alfiansyah Yulianur BC, Pembantu Rektor III Unsyiah saat ini, juga pernah mengalami hal yang sama. Ketika itu ia meminta izin untuk menjadi pengurus sebuah partai politik. Abdi tidak mengizinkannya. Dalam pandangannya, Alfiansyah adalah sosok pemuda yang pintar, akademis dan memiliki bakat sebagai pemimpin Unsyiah di masa depan. Abdi tidak mau melepaskannya. "Mungkin sikap saya dulu dipandang keras, tetapi sekarang terbukti, Alfiansyah menjadi salah seorang pimpinan di Unsyiah saat ini," bela Abdi. Lebih jauh Saifuddin mengisahkan bahwa Abdi beru­ saha menyelesaikan masalah dengan segera. Sehingga banyak orang yang gemetar dan bahkan menangis karena tak siap 79


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

mental. Kalau kita melaporkan hal-hal yang tidak beres, Abdi langsung ingin menyelesaikan permasalahan tersebut pada saat itu juga. “Pernah saya melaporkan ketidakberesan pengelolaan AAC waktu itu. Pungutan sewa gedung diambil di atas harga yang sudah ditetapkan. Kamar mandi jorok, lantai jorok, pohon-pohon mati," jelas Saifuddin. “Eeh, tiba-tiba Pak Abdi langsung memanggil Pak Rusli, pengelola Gedung AAC waktu itu ke ruangannya dan mempertemukannya dengan saya. Kami duduk bertiga dengan Pak Rektor, baru Pak Rusli menjelaskan perihal pungutan di atas sewa, serta menjelaskan pohon yang mati. Akhirnya semuanya jelas dan tidak seseorang yang tersudutkan." Drh. Mulyadi Adam, MSc menambahkan bahwa dalam memimpin, Abdi sangat transparan. Ia tidak mau ada selentingan atau isu-isu negatif seputar pengelolaan asset negara. Hal ini pernah dialami Ahmad Ridyan, mantan Kepala Bagian Keuangan. Waktu itu, sudah lebih seminggu, toilet dan WC di Gedung Biro Rektor tidak ada air. Semua pegawai Biro Rektor mengeluh. Tetapi petugas yang bertanggung jawab tidak peduli. Padahal, biaya perawatan pompa air dan kebersihan kamar mandi selalu dicairkan setiap tahun. Anehnya, bak air di toilet Rektor dan para Pembantu Rektor di lantai 2 selalu penuh. Rupanya, petugas kebersihan mengisi secara manual dengan ember seluruh bak air toilet rektor setiap malam. Akhirnya, sampailah keluhan ini ke telinga Abdi. Dilakukanlah inspeksi mendadak, mulai dari rektor, Pembantu Rektor II, Kabag BAU dan Keuangan, ketika bertemu dengan Ahmad Ridyan, Abdi memulai dialog dengan lucu. “Dimana kencing?” tanya Abdi dengan sedikit ber­ 80


Bab II Abdi Sang Pengabdi

nada tinggi. “Di kamar mandi, Pak,” jawab Ridyan lugu. “Cuci nggak?” tanya Abdi lagi yang dijawab lemah oleh Ridyan. “Cuci Pak.” “Berarti Ada air?” “Ada, Pak,” jawab Ridyan. “Kenapa di bawah tidak ada air? Anggaran pompa air dan kebersihan toilet kan selalu dikeluarkan tiap tahun,” cecar Abdi. Ridyan terdiam. Ia tak berkutik. Akhirnya, masalah air ini kemudian selesai dalam waktu kurang dari seminggu. Maya, Dekan Fakultas Perta­ nian waktu itu, juga pernah mengalami hal yang sama. Abdi memanggilnya untuk meluruskan isu miring seputar mobil bantuan tsunami dari Universitas Indonesia (UI). Mobil bantuan UI dipakai oleh Munawar Khalil, Pimpinan Proyek APBA-NAD. Maya mengeluhkan masalah ini. “Masa kita Dekan tidak dikasih, justru Pimpro yang dikasih,” keluhnya. Mendengar ini, Abdi langsung memanggil Maya dan memberi penjelasan. “Jadi Maya, saya menyediakan mobil itu untuk Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan. Tapi SK-nya belum siap. Jadi bukan untuk si Munawar,” ungkap Abdi. Abdi ingin setiap isu diselesaikan dengan baik agar tidak ada pihak yang dirugikan. Cara yang biasa ia lakukan adalah bertemu secara langsung dengan pihak terkait dan meminta kejelasan yang pasti, agar semua jelas . 81


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Meletakkan Pondasi Mutu Akademik Selama masa kepemimpinannya, Abdi berusaha mening­ katkan sistem tatakelola berbasis mutu, baik dari sisi adminis­ trasi maupun akademik. Dapat dikatakan, periode ini menja­di basis pembenahan mutu akademik di Unsyiah secara siste­matis. Upaya peningkatan mutu Unsyiah sebenarnya sudah diawalinya ketika masih menjabat Dekan Fakultas Pertanian dan PR I pada dua periode yang lalu. Jadi, apa yang dilakukan Abdi semasa menjadi rektor kini bukanlah hal yang baru. Usai dilantik, Abdi langsung tancap gas. Dr. Aman Yaman bercerita waktu itu ia diminta datang ke kantor rektor. Abdi memintanya untuk menghidupkan kembali Blang Rakal. “Man, kamu bantu saya, ya,” kata Abdi. “Saya siap membantu Pak, tetapi tidak usah di dalam struktur,” timpal Aman. “Apa kamu tidak mau bantu saya, ya?” bentak Abdi. Tak tanggung-tanggung, Abdi memberikannya cek senilai Rp 350 juta. Awalnya Aman sempat mengambil dan hendak menguangkan cek tersebut. Namun, di jalan menuju bank, Aman khawatir, keselamatannya. Maklum, waktu itu masih dalam suasana konflik. Akhirnya Aman kembali ke ruang rektor dan mengembalikan cek tersebut. Dengan nada kesal, Abdi menerima kembali cek tersebut. “Jadi apa yang kau mau sekarang?” katanya. Setelah bernegosiasi sebentar, akhirnya Abdi mem­ berikan Aman Rp 8 juta sebagaimana yang diminta untuk mengembangkan standard mutu Unsyiah. Itulah sekelumit kisah pengembangan mutu yang dirintis Unsyiah. Tugas ini jelas merupakan amanah yang berat bagi Tim Monev yang baru Dr. Endang Suhendrayatna 82


Bab II Abdi Sang Pengabdi

dan Aman diberikan tugas yang berat. Tim ini kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Badan Penjaminan Mutu (BJM) di Unsyiah. Selanjutnya, Abdi mengajak seluruh komponen untuk mendukung pengajuan akreditasi institusi/universitas. Atas perintah rektor, Aman bersama Endang Suhendrayatna mulai menyiapkan konsep Monev Mutu Unsyiah. Di sela-sela waktu mengajarnya, Aman dan Endang bolak-balik Banda Aceh – Jakarta – Jogja – Bali mengikuti berbagai pelatihan dan workshop. Tim ini selanjutnya berkembang menjadi Badan Jaminan Mutu (BJM)20 pada tahun 2006. Di samping meningkatkan mutu akademik, Abdi juga berupaya menciptakan kader pemimpin Unsyiah ke depan21. Dalam memberi tugas, Abdi berupaya untuk selalu objektif. Belajar dari ‘gurunya’ - Abdullah Ali, Abdi selalu mengedepankan kemampuan/kapasitas seseorang dibandingkan kedekatan emosional. Selama menjabat rektor, ia menempatkan orang-orang pada posisi sesuai kemam­puannya. Anehnya, Abdi seperti memiliki ‘kompas penun­juk arah’ dalam memilih orang. Sampai sekarang banyak orang-orang yang ditempatkan Abdi pada posisi penting di Unsyiah masih terus dipakai dan telah berkontribusi nyata. Menurutnya, dosen-dosen muda lulusan doktor lebih energik. Mereka memiliki ide-ide baru dengan semangat kerja masih membara. Ia mendorong setiap orang supaya bekerja lebih baik serta tidak ragu memberdayakan Pada tahun 2016, BJM Unsyiah bertransformasi menjadi Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penjaminan Mutu (LP3M) yang kemudian berhasil mengantar Unsyiah memperoleh akreditasi A, yang pertama di Sumatera dan ketiga di luar Pulau Jawa. 21 Saat ada program pelestarian plasma nutfah ternak Aceh. Abdi yang berasal dari dataran tinggi Gayo memberikan ragam informasi bermanfaat tentang kuda Gayo dan kerbau Gayo. Ia juga memiliki ide-ide cemerlang untuk melestarikan sapi Aceh. 20

83


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

doktor muda22. “Ketika saya meng-higher seseorang saya menggunakan feeling saya. Memang orang-orang yang saya higher ternyata masih dipakai sampai sekarang. Mereka bukan hanya berasal dari Pertanian, ada juga MIPA, Teknik,” papar Abdi. Pembantu Rektor I Unsyiah Hizir Sofyan menyebutkan, Abdi bergaul hangat dengan siapa saja. Sikapnya kepada yang lebih muda terkesan seperti seorang ayah. Tidak heran bila banyak pihak menjadikannya panutan. Menurut Hizir, Abdi tidak pernah bersikap seperti orang yang sudah hebat. “Sikapnya sederhana, dibalik ketegasannya, sebenarnya ia berhati lembut.” ungkap Hizir. Filosofi kepemimpinan yang diucapkan dan diterap­ kan Prof. Dr. Abdullah Ali, dosen, senior, sekaligus ayah angkat dan abang bagi Abdi, selalu menjadi rujukannya dalam memimpin Unsyiah. Untuk memastikan ‘kapalnya’ tetap eksis dan semua penumpang merasa nyaman, Abdi berusaha sekuat tenaga memastikan setiap kru berada pada posisinya. Rasa tanggung jawab yang besar terhadap ‘kapalnya’ inilah yang membuat Abdi kerap bersikap tegas, disiplin dan berusaha adil dalam memimpin. Ia tak ingin ‘kapalnya’ oleng atau kru dan penumpangnya merasa tak nyaman. Sikapnya tidak hanya sekadar diucapkan, namun diterapkan. Tidak hanya untuk orang lain, namun juga untuk diri sendiri dan keluarga. Aman Yaman dan Mulyadi Adam mencontohkan sikap Abdi yang fair. Misalnya tentang penggunaan mobil Salah satu buktinya ketika ia memilih Alfiansyah Yulianur menjadi bagian Tim Pengembangan Unsyiah. Alfi, panggilan akrabnya, waktu itu baru menyelesaikan pendidikan S3 di Jepang. Usianya relatif muda, 34 tahun. “Saya merasa begitu dihargai ketika ditunjuk menjadi bagian Tim Pengembangan Unsyiah,” papar Alfi. 22

84


Bab II Abdi Sang Pengabdi

dinas. Abdi tidak pernah memakai mobil dinas untuk urusan keluarga. Baik untuk mengantar istrinya berbelanja, atau mengantar anaknya ke sekolah. “Waktu menjadi Dekan Fakultas Pertanian pun beliau sudah menerapkan seperti itu. Malah, kalau kita sedang ada proyek, dan tidak bisa ke lapangan karena tidak ada mobil, Pak Abdi memberikan mobil Dinasnya untuk kita pakai,” jelas Aman. “Kita kan jadi nggak enak. Maksud kita, kalau ada mobil lain untuk bisa digunakan ke lapangan, bukan mobil dinas beliau,” tambah Aman sambil tersipu malu. Mulyadi menjelaskan bahwa sikap ini mungkin didorong dari pengalaman dengan orang tuanya dulu. “Juga waktu di Amerika, mahasiswa di sana diberikan fasilitas mobil untuk melakukan risetnya di lapangan. Demikian pula fasilitas lab dan sebagainya,” jelas Mulyadi. “Sewaktu masih menjadi dosen muda dulu, Irwandi (drh. Irwandi Yusuf, MSc, Gubernur Aceh sekarang – red) hampir setiap hari berada di ruang Abdi yang waktu itu menjabat PR I. Ia bekerja menggunakan fasilitas komputer dan internet di ruangnya. Abdi tidak marah, bahkan senang melihat dosen muda yang aktif dan produktif,” kenang Mulyadi yang juga sahabat Irwandi. Menanggapi cerita ini, Abdi dengan ringan menjawab, “Mobil dinas kan bukan milik pribadi, ya digunakan untuk menunjang urusan dinas. Maka saya tak izinkan keluarga menggunakan fasilitas negara untuk urusan pribadi. Kalau mau pakai untuk urusan keluarga, kan kita ada mobil sendiri,” jelasnya. “Saya melihat apa yang diterapkan ayah saya dulu ada benarnya. Itu mau saya terapkan. Walaupun tidak semua sikap dan disiplin di zaman dulu bisa diterapkan di masa kini. Saya mencoba menerapkan untuk anak-anak 85


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

saya, tetapi tidak bisa, ada penolakan. Sehingga akhirnya saya berusaha mengalah. Membuat adaptasi sedikit-sedikit,” tambahnya lagi. Abdi menyukai anak-anak muda yang produktif, salah satunya Irwandi. Maka, ketika melihat Irwandi asyik bekerja di kantornya, ia justru senang. Lantas ia meminta Irwandi membuat beberapa bahan, tapi tidak terlalu sering, seperti membuat profil Unsyiah. “Dia (Irwandi) sangat cepat dan bagus mengerjakannya. Maka saya biarkan saja dia menggunakan fasilitas di ruangan saya. Entah apa lagi yang ia kerjakan waktu itu, saya pun tidak terlalu peduli,” tutur Abdi. Sampai suatu hari mereka bertemu kembali di lapangan tenis Unsyiah. Lengkap dengan kaca mata hitamnya, Irwandi menghampiri Abdi. “Pak, ini kita harus bantu perjuangan,” pinta Irwandi. “Perjuangan apa?” tanya Abdi sambil mencerna maksud permintaan Irwandi. Rupanya Irwandi sudah bergabung dengan kelompok oposisi pemerintah yang ada di Aceh. “Ini kita harus bantu dana perjuangan dengan memo­ tong gaji dosen dan pegawai,” katanya. “Di Unsyiah sangat sulit untuk memotong gaji dosen dan pegawai. Dipotong untuk zakat aja susah, apalagi dipotong untuk dana perjuangan,” sambung Abdi. Irwandi diam, tersenyum. Itulah perbincangan terakhir mereka berdua sebelum akhirnya Irwandi menghilang dan konflik memuncak tahun 1999. Mereka kembali bertemu pada awal pemerintahan Irwandi sebagai Gubernur Aceh pada 2007 di kediaman Abdi. Irwandi meminta Abdi, gurunya, untuk menyusun 86


Bab II Abdi Sang Pengabdi

pokok-pokok pikiran rencana pembangunan lima tahun mendatang. Abdi menyanggupinya meskipun tidak menerima dan tanpa mengharapkan imbalan. Ia mengajak para doktor muda Unsyiah sehingga melahirkan 14 pokok pikiran yakni, sektor pemerintahan, keamanan, sosial kemasyarakatan, pemukiman, pendidikan, kesehatan, pertanian, ekonomi dan perdagangan, transportasi, sumber daya air, bencana alam, kehutanan, riset dan teknologi, pertambangan dan energi. Beberapa di antara pokok pikiran tersebut ternyata dilaksanakan seperti, beasiswa pendidikan ke luar negeri kepada puta-putri Aceh, pelayanan kesehatan gratis, transportasi, Aceh green, membantu kaum duafa, dan merencanakan pembangunan jalan tol Aceh hingga perbatasan. Sikap disiplin dan kepedulian Abdi terhadap ‘awak kapalnya’ juga ditunjukkan dengan nyata. Ia tak segan-segan menegur bawahan yang melalaikan pekerjaannya. Suatu hari, ia menegur PR I karena tidak segera memproses usulan kenaikan pangkat dosen-dosen yang sudah bertumpuk di meja kerjanya. “Setiap hari pulang jam 5 sore, tapi tidak sempat memaraf usulan kenaikan pangkat dosen. Apa saja yang dikerjakannya? Kalau di meja PR I saja sudah mengendap sekian hari, nanti sama saya tambah beberapa hari, kemudian tertahan di Jakarta entah berapa lama. Kan kasihan para dosen. Sudah kita tidak bisa memberi apa-apa, masak harus menahan pangkat mereka,” ujar Abdi kepada Dr. Darni M. Daud yang menjabat PR I saat itu. Mantan PR I IAIN Ar-Raniry Prof. Dr. Alyasa' Abu Bakar, MA. menambahkan, Abdi orangnya sangat seder­ hana, punya integritas diri yang kuat. Orang yang tidak suka 87


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

mencampuradukkan urusan dinas dan keluarga. "Pernah ada satu keluarga yang meminta saya untuk menyampaikan secara khusus ke beliau, tapi tidak saya sampaikan. Mengingat beliau orangnya memegang prinsip," ungkapnya. Namun apabila ada yang meminta tolong namun tidak menyalahi peraturan, maka Abdi akan senantiasa membantu. "Di samping integritas juga beliau sangat peduli dengan pembangunan Aceh," tambah Aliyasa. Abdi yang kini dalam masa pensiun seharusnya sudah bisa menikmati istirahatnya, namun begitu, masih ada yang meminta pendapat dan pandangan Abdi tentang arah pembangunan Aceh. "Beliau memberi masukan dan menyampaikan pandangan serta hadir secara langsung," jelasnya lagi. Aliyasa menjelaskan pandangan terakhirnya tentang Abdi adalah sosok dengan kesederhanaan dan percaya diri. "Kita sering menemukan orang yang tidak datang ke sebuah acara hanya karena tidak memakai jas, tapi beliau ini hanya tampil dengan memakai batik. Contoh lainnya, kalau ada orang takut datang ke acara sebagai seorang pejabat karena tidak memiliki sopir, beliau ini datang menyetir sendiri mobilnya. Jadi kesimpulan saya, beliau menjalankan tugas dengan ikhlas dan penuh integritas," ungkapnya dengan decak kagum. Hal senada juga dungkapkan Mulyana yang pernah menjadi sekretaris Abdi. Meskipun Abdi orang nomor 1 di Unsyiah, namun sosoknya jauh dari kesan sombong. “Beliau memiliki banyak teman dimana-mana. Sebagai pemimpin, ia mudah ditemui oleh siapapun dan senang diajak berdiskusi. Siapa saja yang datang ke kantor untuk menemuinya, asalkan jelas identitasnya, pasti akan temui,� ujarnya. 88


Bab II Abdi Sang Pengabdi

Jarang sekali ditemukan sosok seperti Abdi. Ia tak kenal lelah mempersiapkan kader-kader muda potensial sebagai penerus. Ia tidak menyangkal jika banyak orang yang mengatakannya demikian. Hampir semua dosen muda di lingkungan FKH dan Peternakan ia bina untuk menjadi dosen yang handal. Tidak sedikit kader binaannya menjadi dosen, akhirnya sukses melanjutkan studi di universitas ternama di luar negeri untuk meraih gelar master maupun doktor. Seiring dengan meningkatnya jumlah dosen ke luar negeri, ia merasakan Unsyiah berubah. Dosen-dosen di Unsyiah mulai membuka ruang untuk bisa berinteraksi dengan mahasiswanya dengan sikap tetap saling menghormati. “Terus terang saya sudah merasa bahagia sekarang karena sudah banyak mafia Jepang, Amerika, Australia, Eropa,â€? tuturnya sambil tertawa. Kata mafia yang dimaksud­ kan Abdi adalah lulusan.

89




“Ibarat sebuah kapal, rektor adalah pemilik kapal…. Rektor menentukan arah dan tindakan yang diperlukan agar kapal tetap eksis bisa berlayar. Nakhoda menentukan berapa kecepatan kapal bila ingin sampai ke tujuan tepat waktu.…selanjutnya memastikan semua penumpang merasa nyaman di kapal.” (Prof. Dr. Abdullah Ali, MSc)


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

MATAHARI BANGKIT dengan lembut pagi itu. Diiringi

angin sepoi-sepoi. Hari Minggu terakhir tahun 2004 mena­ war­kan keceriaan bagi warga Aceh. Seperti biasa menjelang tutup tahun, pantai-pantai indah di sekitar Banda Aceh, Ulee Lheue, Pantai Cemara Lhoknga, Lampuuk, dan Ujong Batee disesaki warga sejak malam sebelumnya. Sebagian lainnya menyesaki lapangan Blang Padang untuk berolahraga. Bahkan, ada dua perlombaan jalan santai di seputar kota yang digelar kala itu. Yang satu dibuat dalam rangka ulang tahun Kodam Iskandar Muda, satunya lagi dalam rangka ulang tahun Bank BRI. Kota Banda Aceh terlihat mulai menggeliat. Maklum, Aceh baru saja bangkit dari kemurungan akibat konflik politik yang pelik. Darurat Sipil yang diterapkan sejak Mei membuat masyarakat sedikit leluasa dibandingkan masa Darurat Militer tahun lalu. Tak ada yang pernah menduga ketika keceriaan pagi itu tiba-tiba berubah menjadi kepanikan. Pukul 08.05 WIB, tanah Aceh diguncang gempa dahsyat sekitar tujuh menit. Gedung-gedung bertingkat berayun-ayun 93


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

bak nyiur melambai. Rumah-rumah berderak gemeretak. Mobil-mobil berguncang hebat laksana kapal di tengah lautan. Pengendara sepeda motor tercampak berserak di jalanan. Peserta jalan santai kocar-kacir, berjongkok, dan berpegangan tangan. Wajah-wajah pucat seketika. Tujuh menit saja, suasana berubah duka. Beberapa gedung megah di pusat kota runtuh. Hotel Kuala Tripa ambruk, masuk ke basemen. Sebagian gedung pusat perbelanjaan serba ada Pante Pirak di Simpang Lima roboh. Usai digoyang gempa 9,2 skala richter23, situasi mereda untuk sementara. Namun sekitar pukul 08.35, warga kembali dikejutkan dengan bencana susulan. Semua berhamburan menyelamatkan diri menjauhi pantai. “Air… air…air naik…,” pekik mereka. Batang-batang asam di sepanjang jalan Ulee Lheue menjadi saksi bisu puluhan jiwa melayang tersenggol mobil dan motor pengendara yang saling berlomba menyelamatkan diri. Ratusan kendaraan lainnya terjebak disapu tsunami di Jalan Syiah Kuala, Simpang Lima, Peunayong, dan di beberapa tempat lainnya di Aceh. Ketinggian air antara 5 - 8 meter menyapu sebagian tanah Aceh, dan bahkan hingga ke Khao Lak, Thailand, sebagian Sri Lanka, dan Chennai, India turut merasakan dampaknya. Gempa dan tsunami 26 Desember 2004 bisa dikatakan sebagai bencana terbesar sepanjang sejarah manusia di abad 21. Jumlah korban jiwa di Aceh mencapai sekitar 170.000 orang24 . Unsyiah sendiri kehilangan 111 dosen, 105 staf administrasi, dan 522 mahasiswa. KOMPAS.com (http://nasional.kompas.com/read/2012/04/14/04025654/catatan. tentang.gempa.aceh). 24 BBC Indonesia (http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2010/12/ 121226_tsunamiaceh) 23

94


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

Tidak berselang lama usai terjadinya tsunami, Kapal induk Amerika Serikat UUS Abraham Lincoln pun memasuki perairan Sumatera. Mereka membantu mengevakuasi korban serta menyalurkan bantuan dengan mengerahkan helikopter. Tidak berselang lama, relawan kemanusiaan dari seluruh dunia berdatangan. Duka Menjelang Pesta Bagi Abdi dan segenap keluarga besarnya, gempa dahsyat dan tsunami yang terjadi minggu pukul 08.05 pagi itu memberi hikmah tersendiri. Musibah itu tidak akan pernah bisa dilupakan. Terutama bagi Sri Dianova, anak keduanya. Bagaimana tidak, hari itu, Minggu, 26 Desember 2004 bertepatan dengan pesta pernikahan Sri Dianova dengan Hendra Gunawan yang berlokasi di AAC Dayan Dawood Unsyiah. Acara yang sudah disiapkan jauh-jauh hari itu, buyar seketika. Hari itu, pagi-pagi sekali Nova – demikian ia biasa disapa, sudah pergi ke Blower, Banda Aceh untuk berhias. Dengan kijang kapsul dongker terang, Nova diantar abang kandung dan kakak iparnya, Ian Rizkian dan Cut Dwi Rafika. Usai gempa terjadi, Abdi sangat khawatir mengenai kondisi mereka. Abdi segera meraih ponsel menelepon Nova. Telepon diangkat. Perbincangan berlangsung beberapa menit. Mereka saling bertanya mengenai kondisi. Ternyata Nova baik-baik saja. Abdi pun lega. Namun, keadaan ini tak berlangsung lama. Selang tiga puluh menit kemudian, terjadi kepanikan luar biasa. Ratusan bahkan ribuan orang berlarian menjauhi kawasan pesisir. Berlari tunggang lang­ gang, berteriak bak orang kesurupan. Wajah-wajah mere­ka menampakkan rasa ketakutan yang luar biasa. 95


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

“Air laut naik, air laut naik,â€? pekik orang-orang yang berlari di kejauhan di sekitar rumah Abdi. Ibu-ibu yang sedang memasak makanan pesta di dapur tampak kebingungan. Bagaimana mungkin air laut bisa naik ke daratan. Abdi dan Suharni, istrinya terpana, tak tahu berbuat apa. Abdi mengaku tahu peristiwa ini ketika di luar negeri dulu. Ia sudah menduga ini adalah tsunami. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya cemas memikirkan nasib Nova, anaknya yang tengah pergi ke kota. Abdi kembali menelepon Nova. Tidak tersambung. Ia coba menelepon sekali lagi, juga tidak tersambung. Ia sadar, kini jaringan komunikasi benar-benar terputus. Hati Abdi semakin tak karuan. Dengan sigap Abdi memanggil Ivian, anak ketiganya untuk menyiapkan kendaraan. Bersama Ivian, Abdi pergi mengendarai mobil hardtop. Mobilnya melaju melewati jem­batan Lamnyong. Mereka terbelalak melihat jasad-jasad manusia bercampur dengan sampah-sampah di dalam sungai yang berwarna hitam pekat. Airnya melebihi batas normal. Air yang naik itu benar-benar air laut. Ia tak menyangka kondisinya begitu mengerikan. Mobilnya terus melaju melewati jembatan. Ia berini­ siatif mengambil jalan memutar, mengarah ke Ulee Kareng, Simpang Surabaya, kemudian belok kanan menuju ke arah Kota Banda Aceh. Setiba di Simpang Kodim, ia harus belok ke kiri, karena di depan Masjid Raya sudah tidak bisa dilalui lagi. Lewat Pendopo Gubernur, belok kanan menuju Simpang Jam. Di sinilah Abdi dan Ivian menyaksikan kekuatan alam yang mahadahsyat. Taman Sari dipenuhi oleh puing-puing rumah dan gedung yang luluh lantak. Mobil-mobil berserakan. Sejengkal air masih menggenangi 96


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

jalanan. Sepanjang jalan menuju Seutui, banyak orang berjalan mencari perlindungan. Ada yang pakaiannya penuh lumpur, ada juga yang tidak berpakaian. Semua wajah tampak lesu dengan tatapan mata hampa. Abdi sangat galau memikirkan nasib Nova, Ian, dan Dwi. Mobil hardtop melaju pelan mengarah ke Seutui. “Itu, itu mobilnya, Yah” teriak Ivian. Dari jauh, Abdi melihat mobil kijang kapsul yang ditumpangi Nova terparkir di depan terminal Seutui (Suzuya Mall sekarang – red). “Ya ini mobilnya, alhamdulillah dalam keadaan normal,” batinnya. Hatinya agak sedikit lega. Instingnya me­­­­­­­­ng­ ata­kan Nova baik-baik saja. Abdi meminta Ivian memeriksa kondisi dalam mobil. Tak ada penumpang. Ivian berusaha masuk ke mobil untuk membawanya. Namun, seorang polisi melarang. Ia khawatir jika Ivian bukan pemilik sebenarnya. “Penumpang mobil selamat, Pak. Mereka berkumpul di Masjid Teuku Umar (Masjid Kupiah Meukeutop – red),” jelas polisi tersebut.

Suasana di daerah Blower pascatsunami sekitar tempat persiapan Nova sebelum pesta pernikahannya (3/1/2005).

97


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Segera Abdi memerintahkan Ivian mencari kakaknya di masjid. Kepada sejumlah orang Ivian menanyai apakah ada yang melihat Nova. Ternyata beberapa di antara mereka mengenal Nova. Informasi yang diperoleh Ivian membuat Abdi lega. Nova masih hidup. Ia sedang menuju ke rumah suaminya di Lamlagang. Abdi dan Ivian pun segera pulang diliputi rasa senang dan haru yang mendalam. Setiba di rumah Darussalam, ternyata Nova sudah tiba duluan. Keluarga ini pun larut dalam pelukan mengharu biru. Gedung AAC Dayan Dawood masih terlihat sepi. Pelaminan nan anggun sudah berharap kehadiran pengantin sedari tadi. Panitia dan karib kerabat Abdi masih setia menanti. Aneka makanan yang sebagian besar dimasak di rumah Abdi pun sudah terhidang rapi. Gedung AAC telah disulap sedemikian rupa indahnya. Sebanyak 3.000 tamu undangan hanya tinggal menikmati kemurahan hati sang tuan rumah. Mereka tidak perlu datang dengan berbagai hadiah. Yang diharapkan hanya kesediaan melangkahkan kaki, bersilaturahmi, dan memberikan doa restunya. Sayangnya, pelaminan nan megah itu tetap terlihat sepi. Nova dan sang ‘linto baro’ Hendra tak pernah bertahta di atasnya. Kemegahannya terasa hampa. Hiasan indah yang dikerjakan sejak beberapa hari lalu tampak kelu. Hidangan makanan dan minuman tak ada yang menyentuh. Tak ada tamu undangan yang datang mencicipi. Namun hebatnya, meski diguncang gempa dahsyat, piring, gelas, dan pernakpernik pesta tidak ada yang rusak. Semuanya masih utuh, menjadi saksi bisu kesedihan panitia dan sang tuan rumah. Para keluarga, kolega, dosen, pegawai, kerabat, yang sudah siap meyambut tamu di AAC sedari pagi hanya bisa terdiam. Duka membungkam senyuman mereka. 98


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah Ketika Nova Melepas Sanggul Pengantin Jumat, 24 Desember 2016. Nova tampak serius mendengar Hendra Gunawan mengucapkan akad nikah dengan lancar. Ia duduk bersimpuh. Pakaiannya putih, serasi dengan mempelai pria. Pagi itu, di Masjid Raya Baiturrahman, resmilah ia menjadi seorang istri. Segenap keluarga dan karib kerabat dari Takengon, Medan, Jakarta, dan berbagai daerah lainnya turut hadir berbagi kebahagiaan. Wisma Tamu Unsyiah telah disiapkan khusus untuk mereka hingga pesta pernikahan dua hari kemudian. Pesta pernikahan digelar hari Minggu, 26 Desember 2004. Hari itu, pagi-pagi sekali Nova sudah pergi ke Blower untuk berhias diri. Pukul 8 kurang, ia pun selesai dirias. Nova terlihat cantik dengan sileuweu meutunjong merah dilapisi songket, baju kurung merah, lengkap dengan sanggul khas Aceh. Ketika hendak pulang, rasa haus menjalari kerongkongan Cut Dwi Rafika, kakak ipar yang menemaninya. Mobil yang disopiri Ian Rizkian, abang kandung Nova bergerak mencari penjual minuman di Punge. Usai membeli minuman, tiba-tiba bumi berguncang. Panik membuncah di dalam mobil. Mobil yang mukanya sudah mengarah ke Jalan Teuku Umar langsung tancap gas. Tak lama berselang, ribuan orang berlarian dan berteriak ketakutan dari arah belakang terminal Seutui (Suzuya Mall sekarang – red). “Air naik.air naik,” pekik mereka. Ian tak tahu mengapa, tetapi instingnya berkata mereka harus segera meninggalkan mobil! Ia melompat, menarik istri dan adiknya. Nova yang tengah dalam pakaian pengantin pun ikut melompat meninggalkan mobil dan berlari menuju Masjid Kupiah Meukutop bersama ratusan warga lainnya. Sesaat kemudian, tsunami menghantam ratusan mobil yang sudah terjebak macet di jalanan. Penampilan Nova masih bak pengantin. Kondisi tersebut tidak membuatnya leluasa di tengah bencana. Masyarakat membantunya melepaskan sanggul. Rambutnya acak-acakan. Pernak-pernik sanggul dimasukkan ke dalam kantong plastik. Sandal khas pengantin dilepas­ kan. Tersisa baju kurung pesta dan sileuweu meutunjong di tubuh Nova. Dari Seutui, mereka menuju ke rumah suaminya, Hendra Gunawan, di Lamlagang, berjalan kaki. Warga yang merasa sedih melihat Nova, memberikan sandalnya. Perasaan Nova tidak menentu. Keringat bercu­ curan di keningnya. Riasan di wajahnya meluntur. Rumah Hendra ternyata sudah sepi. Kabarnya mereka sudah menyelamatkan diri ke Mata Ie, Aceh Besar. Mereka pun melanjutkan perjalanan ke Darussalam. Kebetulan, di jalan mereka berjumpa famili dan sudi mengantarkan pulang. Tak berapa lama kemudian, Ayah dan adiknya tiba di rumah setelah mencari mereka ke Seutui. Keluarga ini pun berpelukan dalam isak tangis haru bercampur bahagia.

99


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era Siang itu dilalui dengan hampa. Pelaminan yang sudah disiapkan di Gedung AAC dibiarkan kosong. Sore cepat merambat berganti malam. Suasana hening mencekam menerpa dalam kegelapan malam. Kota Banda Aceh gelap total. Tidak ada suara gelak tawa. Malam itu, perangkat desa Sektor Timur Darussalam menjemput Hendra ke Lamlagang yang juga gelap gulita. Mereka hanya mengandalkan sorotan lampu mobil. Sekitar pukul 9:00 malam, Hendra tiba di Darussalam. Untunglah ada genset yang membantu penerangan rumah Abdi. Mereka saling beramah tamah. Kondisi bencana masih melintas kuat di dalam benak. Untungnya, semua keluarga dan karib kerabat yang menginap di Wisma Tamu dalam keadaan selamat. Tsunami hanya menjangkau sektor Utara di depan gedung D3 Sekretaris (PDPK). Pada malam Minggu itu, ia bersama sepupu Abdi memilih menginap di rumah keluarga di dekat Blang Padang. Di sisi lain, Allah menyelematkan beberapa orang melalui pesta pernikahan Nova. Salah satunya Aman Yaman, dosen Fakultas Pertanian Unsyiah. Jika tidak karena hendak dating lebih awal ke pesta Nova, mungkin Aman dan keluarga sudah habis tersapu tsunami. Rumah Aman yang terletak di Keudah, Banda Aceh, hancur diterjang tsunami. Namun, sehari sebelum hari naas tersebut, Aman bersama keluarganya memilih menginap di rumah yang baru dibelinya di Komplek Villa Citra, Gampong Pineung, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Kawasan ini aman dari tsunami. Tujuannya supaya bisa datang ke penyelenggaraan pesta lebih cepat keesokannya sesuai permintaan Abdi. “Kamu besok jangan datang seperti tamu,� kata Aman mengenang permintaan Abdi. Pihak kampus mengira ia sudah tidak ada lagi karena tinggal di kawasan yang cukup parah diterjang tsunami, di Keudah. Namanya tercantum di list pertama dosen Unsyiah yang menjadi korban.

Sekitar pukul 10 pagi Abdi ke AAC Dayan Dawood, memanggil Saifuddin, Abdullah Ali, dan Azmunir yang menjadi panitia pesta untuk mencari piring atau daun pisang atau yang apa bisa untuk membagikan kepada tamu Allah (korban tsunami sekitar kampus) yang telah tiba di kawasan kampus Unsyiah. Akhirnya panitia mencari wadah plastik sekadarnya untuk dibagikan kepada para pengungsi di sekitar Unsyiah. “Itu tamu Allah sudah datang. Tolong bagikan 100


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

Panggung pelaminan di AAC Dayan Dawood yang kosong tanpa kehadiran Nova dan Hendra.

makanan kepada mereka,” pinta Abdi. “Baik, Pak,” jawab Saifuddin. “Pat tamita man oen pisang? (Di mana kita cari daun pisang?)” sambungnya dalam hati. Entah bagaimana, pada akhirnya makanan tersebut bisa dibagikan juga. Tsunami, Ujian Bagi Kepemimpinan Abdi Hari-hari pascatsunami terasa berjalan lamban. Banda Aceh bagaikan kota tak bertuan. Raung sirene mobil ambulans saling bersahutan. Disusul deru truk-truk tentara yang ikut dikerahkan. Debu sisa lumpur tsunami beterbangan. Ribuan relawan nasional dan internasional mulai berdatangan. Ratu­ san ne­gara dari seluruh dunia beserta tentaranya tak mau ketinggalan. Hari-hari masih dikejutkan oleh gempa susulan. Malam di Banda Aceh seakan mati karena sambungan listrik tak berfungsi. Melihat kondisi ini, Abdi meminta anak-anaknya pergi ke Medan untuk menenangkan diri. Sementara ia bersama Suharni tetap di Darussalam. Ia sadar, kewajibannya 101


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

tidak hanya terhadap keluarga. Ada banyak persoalan yang membutuhkan kehadirannya di Unsyiah pada saat-saat genting seperti ini. Beberapa hari setelah tsunami, Abdi menggelar rapat terbatas bersama Pembantu Rektor IV drg. Saifuddin Ishak, M. Kes. PKK, dan para pegawai biro di Universitas Syiah Kuala. Kebetulan hari itu hanya mereka yang bisa mengikuti rapat. Sedangkan beberapa pembantu rektor lain ada yang pulang ke kampung halaman untuk melihat kondisi keluarga. Dalam rapat tanggap darurat, Abdi mengambil kebijakan untuk dapat membayar gaji dosen dan pegawai, membebaskan SPP mahasiswa selama satu semester, serta membentuk empat taskforce pascabencana alam, serta meliburkan mahasiswa. “Saya minta kepada bagian keuangan untuk membayar gaji dosen dan pegawai, saya gak mau tahu uangnya darimana,� ujar Abdi mengingat peristiwa itu. Sementara itu, surat keputusan pembentukan tim task force sendiri keluar tanggal 2 Januari 2005 dan berlaku hingga 31 Desember 2005. Karena tindakan cepat tanggap inilah, denyut nadi Unsyiah tidak berhenti. Dapat dikatakan Unsyiah merupakan salah satu institusi negara yang mampu bertahan dan terus aktif bekerja meski diterpa bencana yang teramat dahsyat. Sedangkan layanan Pemerintah Daerah waktu itu tidak dapat berfungsi secara optimal. Tindakan tanggap darurat tsunami dikomandoi oleh Kodam Iskandar Muda. Kemudian, melalui Aman Yaman, Abdi meminta bantuan tim Metro TV mengumumkan bahwa kegiatan akademik di Unsyiah diliburkan sementara. Pengumuman itu ditampilkan di running text media nasional tersebut. Instruksi meliburkan mahasiswa dikeluarkan mengingat kondisi fisik sebagian kampus yang masih tergenang, 102


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

banyak dosen dan pegawai yang menjadi korban, mahasiswa pun demikian. Sebagian besar dosen dan mahasiswa yang selamat, sudah tidak punya apa-apa lagi karena rumahnya sudah rata dengan tanah. Mahasiswa perantauan, umumnya mereka lebih memilih pulang ke kampung halaman masingmasing untuk berkumpul dengan keluarga. Kondisi kota Banda Aceh kurang kondusif, harga-harga membumbung tinggi, listrik, dan jaringan telepon juga belum berfungsi. Gempa susulan pun masih terus terjadi. Meski demikian, Abdi bertekad semester genap harus tetap bisa dijalankan sesuai jadwal. Kegiatan akademik akan mulai diaktifkan kembali pada 1 Februari 2005. Namun, unitunit dan fakultas yang tidak bisa mengikuti sesuai jadwal ditolerir, baik karena kondisi sarana fisik, keterbatasan tenaga pengajar, maupun staf pendukungnya. Untuk itu, Abdi terus berkonsolidasi dengan para pembantu rektor, dekan, ketua jurusan, dan dosen senior menyangkut kegiatan akademis di kampus. Di sisi lain, pendataan mahasiswa, staf, dan dosen yang selamat masih terus dilakukan. Melalui Pembantu Rektor I Darni M. Daud, Abdi mengimbau kepada seluruh mahasiswa untuk segera mendaftar ulang sebelum kegiatan akademik dimulai. Himbauan disampaikan dengan berbagai cara, termasuk melalui media massa. Dengan pendaftaran ulang mahasiswa, secara otomatis diharapkan akan diperoleh data konkret mahasiswa yang selamat maupun yang tidak dari tsunami. Demi meringankan derita mahasiswa setelah tsunami, atas instruksi Abdi, Unsyiah membebaskan SPP selama satu semester. Kebijakan ini tentu saja berdampak pada penerimaan Unsyiah. Oleh karena itu, Abdi berupaya untuk memperoleh dana dari Dikti agar tetap bisa menggaji 103


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Pihak Unsyiah memberi keputusan untuk membebaskan SPP selama satu semester kepada para mahasiswa.

pegawai dan dosennya. Kebijakan yang diambil ini bukan tanpa hambatan. Sejumlah dosen dan pegawai ada memprotes dan mengancam akan mogok kerja karena uang dari Dikti terlambat masuk. “Kalau begini terus, kami akan mogok kerja,” ujar salah satu dosen kecewa. “Kenapa you tidak minta berhenti saja sekalian. Biar saya tandatangani suratnya,” balas Abdi mendiamkan dosen bersangkutan. Kemudian Abdi menjelaskan baik-baik bahwa ada proses administrasi yang harus ditempuh sehingga uangnya terlambat cair. “Persoalan mencairkan uang perlu melewati proses agar tidak bermasalah di kemudian hari,” jelas Abdi. Selain itu, Abdi mengeluarkan kebijakan mengirim­ kan mahasiswa kepaniteraan klinik senior (Co-as) Fakultas Kedokteran ke lima universitas di Indonesia yakni, Univer­ sitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Andalas (Unand), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gajah Mada (UGM). Mereka berstatus titipan 104


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

dengan masa maksimal dua semester. Penanggungjawabnya Pembantu Dekan I Fakultas Kedokteran, dr. M. Yani, M. Kes. Rumah Sakit Zainal Abidin (RSUZA) yang biasanya dijadikan sebagai lokasi Co-as sudah tidak dapat berfungsi lagi. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) suatu hari pernah bertanya langsung kepadanya. Kenapa ada mahasiswa Unsyiah kuliah di Unhas? Waktu itu JK tengah menghadiri sebuah acara di sana. “Assalamualaikum, Pak Abdi,” sapa Rektor Unhas Prof. Dr. Ir. Radi A Gany di telepon genggam Abdi. “Waalaikumsalam, ada apa, Pak?” jawab Abdi. Ia tidak tahu bahwa JK yang menyuruh Radi meneleponnya. “Ini ada Pak Wakil Presiden mau ngomong dengan Bapak,” tutur Radi sembari menyerahkan ponselnya ke JK. Sontak Abdi terkejut. “Ada apa?” tanyanya dalam hati. Namun ia berusaha untuk tetap tenang. “Assalamualaikum, Pak Abdi. Ini saya mau tanya, kok ada mahasiswa Bapak di Unhas?” tanya JK. “Begini Pak, Unsyiah kan sedang mengalami bencana. Jadi kami minta bantu universitas lain untuk menampung beberapa mahasiswa Unsyiah yang sedang Co-as,” jelas Abdi. Percakapan mereka berlangsung beberapa saat. JK belum bisa memahami mengapa mahasiswa Co-as dikirim ke luar Unsyiah. Menurut JK, mahasiswa Unsyiah sangat dibutuhkan untuk membantu korban tsunami. Alasan Abdi mengirim mereka ke luar karena tidak mungkin mahasiswa menjalani Co-as di Unsyiah. Peralatannya rusak. Di sisi lain, pelaksanaan Co-as memiliki prosedurnya tersendiri. Namun Abdi tidak menjelaskan hal itu secara rinci kepada JK. Ia tidak ingin terkesan membantah. Meskipun JK tidak bisa memahami secara logis, 105


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

mahasiswa titipan tersebut tidak mengalami persoalan apaapa. Mereka berada di sana hingga masa titipan berakhir. Pembentukan Task Force dan UAR Sejak dibentuk pada 2 Januari 2005, tim task force terus melakukan konsolidasi yang dianggap penting dan mendesak untuk dikerjakan. Dalam kondisi duka serta gempa susulan yang masih terus terjadi, Abdi berpikir keras bagaimana dapat melakukan suatu tindakan penyelamatan dan rehabilitasi. “Akibat tsunami banyak masyarakat yang stress, trauma dan semacamnya. Sebagai universitas, kita perlu memberikan pelayanan dan membantu mereka sekaligus memulihkan mereka,� kenang Abdi dengan pandangan duka. Pernyataan Abdi ini dapat dikatakan sebagai latar belakang pembentukan taskforce tsunami waktu itu. “Selain taskforce bekerja untuk mengumpulkan data, kita ingin juga memberikan pelayanan dan informasi kepada masyarakat karena bisa dibayangkan orang/masyarakat sedang galau, panik, dan duka yang teramat dalam pada saat itu,� kenangnya lagi. Keinginan Abdi pada waktu itu, dengan adanya taskforce - taskforce ini, pimpinan universitas dapat mengetahui data dengan cepat dan benar tentang rencana rehabilitasi daerah yang kena tsunami. Tentu bekerja sama dengan Pemda Aceh yang pada saat itu juga sedang colaps. Misalnya, data tentang dosen dan pegawai yang menjadi korban tsunami baik itu meninggal, hilang, atau mengungsi; data tentang rumah dosen dan pegawai yang hancur, rusak dan terendam; juga tentang gedung, alat-alat lab, mobil, motor serta sarana dan prasarana milik universitas yang hancur dan rusak karena tsunami. 106


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

Ada empat task force yang dibentuk yakni, task force Trauma Centre di bawah koordinasi Pembantu Rektor I Dr Darni M. Daud; task force Pemberdayaan Dosen dan Karyawan di bawah koordinasi Pembantu Rektor II Drs. Alfian Ibrahim, MS; task force Pemberdayaan Mahasiswa di bawah koordinasi Pembantu Rektor III Drs. Azhar Puteh, MSi; dan Task Force Blueprint Aceh Pasca Tsunami di bawah koordinasi Pembantu Rektor IV drg. Saifuddin Ishak, M. Kes. PKK. Task Force Blueprint berhasil menyusun dokumen Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh yang kemudian dipakai sebagai blueprint (Cetak Biru) oleh Bappenas. Sementara itu, task force yang lain berhasil mengumpulkan data korban tsunami yang trauma, jumlah mahasiswa, dosen, dan pegawai yang kehilangan harta, jumlah rumah dosen dan pegawai yang rusak, serta jumlah peralatan laboratorium. “Padahal waktu itu keempat task fore

Setelah terbentuknya UAR melalui SK (Surat Keputusan) Rektor, Prof. Abdi menjabarkan rangkaian pokja Task Force kepada Kepala BAPPENAS saat itu Sri Mulyani Indrawati dan Menteri PU Djoko Kirmanto di Balai Senat Unsyiah.

107


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

sama-sama bekerja dengan segala keterbatasan, baik sumber daya dana, maupun fasilitas listrik, bahkan banyak anggota tim bekerja menggunakan uang pribadi. Di antara anggota tim, ada beberapa yang berasal dari IAIN (UIN - red) ArRaniry seperti, Prof. Dr. Yusni Saby, MA., Prof. Dr. Alyasa’ Abubakar, MA. Meskipun dalam kondisi yang serba terbatas, namun sama sekali tidak menyurutkan semangat tim UAR untuk bekerja maksimal. Bahkan, di tengah keterbatasan itu, UAR berhasil menyusun blueprint rehabilitasi dan rekonstruki Aceh. Kemudian, blueprint yang dihasilkan Unsyiah, Pemda Aceh, dan Bappenas dikonsinyasikan di Cikampek, Jawa Barat, dan pada saat itu juga ikut hadir LSM Aceh Recovery Forum (ARF) yang dipimpin oleh Dr. Ahmad Humam Hamid, yang juga Dosen Fakultas Pertanian Unsyiah. Kedua usulan ini kemudian digodok oleh Bappenas dan jadilah blueprint rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh yang kemudian

Pertemuan di Plaza Hotel, Cikampek, pada Maret 2005, di mana blueprint dari Unsyiah, Pemda Aceh, dan Bappenas dikonsinyasikan bersama dan menjadi blueprint nasional sebagai pedoman rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh.

108


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

dijalankan oleh BRR NAD-Nias. Di dalam mandatnya, tim ini bertugas menyusun konsep perencanaan, rekonstruksi, dan rehabilitasi pembangunan Aceh ke depan pascagempa dan tsunami. Rektor duduk sebagai penanggung jawab. Saifuddin dipercaya sebagai koordinator tim. Kemudian, kendali operasional sehari-hari dipercayakan kepada Dr. Ir. Taufiq Saidi M. Eng sebagai ketua dan Dr. Hizir Sofyan sebagai sekretaris. Sementara anggota diisi oleh Dr. Islahuddin M. Ec, Dr. Nazamuddin, MA, Dr. Ir. Alfiansyah Yulianur, BC, Dr. Ir. M. Aman Yaman, M. Agric, dan Dr. Ir. Heru P Widayat, M.Sc. Seluruh anggota tim taskforce Unsyiah berjumlah sekitar 27 orang. Kekuatan tim yang berasal dari multidisiplin ini merupakan gambaran keharmonisan dan keterpaduan Unsyiah di bawah kepemimpinan Abdi. Susunan kelompok kerja (Pokja) tim task force terdiri dari 11, yakni Tata Ruang dan Pertanahan, Lingkungan dan Sumber Daya Alam, Prasarana dan Sarana Umum, Ekonomi dan Ketenagakerjaan, Sistem Kelembagaan, Pendidikan, Kesehatan, Sosial Budaya dan SDM, Hukum, Ketertiban, Keamanan dan Rekonsiliasi, Akuntabilitas dan Governance, Pendanaan, dan Syariat Islam. Tim ini mampu melaksanakan tugasnya karena ada fleksibilitas dalam perekrutan tim, dan itulah gaya kepemimpinan Abdi. Pembentukan tim task force rehabilitasi dan rekons­ truksi ini menjadi cikal bakal lahirnya Unsyiah for Aceh Reconstruction (UAR). Pembentukan UAR dilatarbelakangi oleh kerusakan fisik akibat gempa dan tsunami, trauma masyarakat. Kondisi ini diperkirakan akan berdampak pada kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat tidak hanya pada saat terjadinya tsunami, tetapi juga dalam jangka 109


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Pertemuan antara Prof. Abdi dengan Wagub Aceh Azwar Abubakar, dan Direktur Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Agus Prabowo yang mewakili Sri Mulyani dalam menandatangani MoU di Gedung Bidakara, Jakarta Selatan (7/2/2005).

panjang. Unsyiah merasa berkewajiban untuk membantu pemerintah memikirkan langkah-langkah pemulihan Aceh, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Awalnya, UAR berperan aktif dalam membuat desain program rekonstruksi jangka pendek maupun jangka pan­ jang. Kemudian, menjadi mediator antara Pemda dan masya­ rakat Aceh dengan masyarakat dari luar. Abdi berharap UAR harus berperan aktif dalam sistem monitoring dan evaluasi pelaksanaan program sebagai bahan masukan pemerintah untuk penajaman dan perbaikan rekonstruksi Aceh berkelanjutan, tapi hal tersebut tidak terlaksana karena hampir semua tim UAR diberdayakan oleh BRR. Proses finalisasi blueprint rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh digagas oleh Bappenas di Cikampek. Selain dihadiri tim Unsyiah, tim Pemda Aceh, turut hadir lembaga swadaya masyarakat (LSM) Aceh Recovery Forum (ARF). Penandatangan 110


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

MoU antara Unsyiah dengan Bappenas berlangsung di Hotel Marcopolo, Jakarta. Peristiwa penandatanganan MoU ini bisa terwujud setelah Abdi dan Saifuddin menunggu Sri Mulyani selesai rapat dengan DPR RI di Senayan. Mereka berdua sudah menunggunya selama dua hari satu malam di hotel tersebut. Usai penandatanganan pada 7 Februari 2005 itu, Abdi dan Saifuddin merasa gembira. Niat tulus Unsyiah membantu Aceh akhirnya terwujud. Tim UAR pun bekerja secara maksimal di tengah berbagai keterbatasan. Blueprint yang sudah disusun oleh Unsyiah, Pemerintah Aceh, dan Bappenas, kemudian disatukan (merger) menjadi blueprint nasional sebagai pedoman rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. “Memang Unsyiah dijanjikan sejumlah dana oleh Bappenas untuk biaya operasional penyusunan blueprint. Tapi dana tersebut belum pernah diterima oleh Unsyiah. Jadi dari mana uang operasional kita, masing-masing kita cari sendiri,� ujar Saifuddin yang juga pernah menjabat penghubung rektor di Dewan Pengarah BRR NAD-Nias ini. 4 April 2005, UAR melalui Taufiq Saidi menjalin hubungan dengan Japan International Corporation Agency (JICA). Organisasi asal Jepang itu menyumbang dana Rp 300 juta. Uang tersebut dimanfaatkan untuk mengganti uang anggota tim yang digunakan untuk operasional UAR seperti melakukan melakukan survei, rapat-rapat, dan dana transportasi. JICA juga menyumbang sejumlah fasilitas: GIS, printer, untuk melancarkan pekerjaan-pekerjaan UAR. Pemberian JICA merupakan buah manis dari kesabaran seluruh anggota. Sebelumnya, Tim UAR tidak menyangka akan memperoleh uang pengganti dari JICA. 111


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Untuk mengoptimalkan pekerjaannya, UAR bekerj­ sama dengan U-Care (University Collaboration for Aceh Reconstruction) yang dibentuk atas kerja sama Unsyiah dan sejumlah universitas seperti UI, IPB, ITB, UGM, dan USU. Lembaga donor dan agensi resmi yakni, JICA, Barkeley Alumni, dan Food and Agriculture Organization (FAO) ikut bergabung. U-Care bertugas membantu UAR memperoleh data, informasi, tenaga ahli, perencanaan program, model implementasi dan evaluasi, serta penyempurnaan fasilitas kantor.

Penandatanganan MoU U-Care, yaitu kolaborasi antara Universitas Sumatera Utara (Prof. Dr. Bustami Syam), Universitas Indonesia (Prof. Dr. Ascobat Gani), Universitas Syiah Kuala (Dr. Taufiq Saidi M.Eng), Universitas Pertanian Bogor (Prof. Dr. Hadi Alikodra), dan Institut Teknologi Bandung (Dr. Ir. Krishna S. Pribadi) pada 5 Februari 2005.

Menjadi Anggota Dewan Pengarah BRR NAD – Nias Pada April 2005, Presiden Indonesia menetapkan pembentukan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias. Badan setingkat kementerian ini terdiri dari tiga bagian: Dewan Pengarah, Badan Pelaksana, dan Dewan 112


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

Pengawas. Dengan terbentuknya BRR NAD-Nias ini, peranan Unsyiah dalam upaya rehab-rekon Aceh semakin menonjol. Apalagi, sebagai Rektor Unsyiah, Abdi dipercaya sebagai salah satu anggota Dewan Pengarah bersama Rektor IAIN Ar-Raniry, Kapolda Aceh, Ketua MPU Aceh, dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya termasuk mantan Menteri Pangan/Kabulog Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA dan Dr. Ir Ahmad Humam Hamid, MA yang mewakili komponen masyarakat sipil. “Saya menjadi anggota pada waktu itu karena kebe­ tulan sedang menjabat sebagai Rektor Unsyiah. Demikian juga Rektor IAIN Ar-Raniry, Ketua MPU, Kapolda, Ketua DPRA, dan Ketua MAA. Jadi bukan karena Abdi-nya, melainkan karena jabatannya,” kilah Abdi merendah. Menurut Abdi, rapat-rapat BRR bersama para men­ teri berlangsung biasa-biasa saja, tidak ada yang spesial, sangat umum. Masing-masing anggota dibahani programprogram dari kementerian terkait dan larut mendengarkan paparan rencana para menteri tersebut. Pada setiap rapat yang dilakukan rata-rata sebulan sekali itu, para anggota hanya membahas bahan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang sebelumnya sudah disiapkan oleh tim Sekretariat Dewan Pengarah. Tim sekretariat terdiri dari para pejabat penghubung setingkat Dirjen, Direkur dan juga para anggota sekretariat. Setiap anggota Dewan Pengarah berhak mengangkat satu orang pejabat penghubungnya dan satu orang staf sekretariat. “Namun biasanya selesai rapat baru meriah. Saya biasanya sering guyon dengan Pak Kapolda Aceh Komisaris Jenderal Polisi Bahrumsyah Kasman. Selalu diawali dengan pertanyaan, “Bagaimana Pak Kapolda, atau sebaliknya, 113


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

bagaimana Pak Rektor? Apa pun masalah yang ditanyakan selalu dijawab dengan jawaban yang sama yaitu beres atau gampang, bisa diatur dan dilanjutkan dengan ketawa dan diskusi ringan,” kenangnya sambil tertawa. Momentum ini sering dijadikan ajang lobi bagi Abdi untuk memperoleh dukungan yang lebih besar terhadap Unsyiah. Ketika rapat dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), Abdi memberanikan diri untuk meminta bantuan mobil. “Pak Wapres, saya dengar Bapak memberikan bantuan mobil kepada Pemda Aceh, kami di Unsyiah juga memerlukan mobil, Pak Wapres,” kisah Abdi. Sontak JK memanggil ajudannya dan mengatakan, “Ini untuk Unsyiah supaya diberikan dua unit mobil,” kenang Abdi tanpa lupa mengucapkan terima kasih kepada JK. Begitulah yang dilakukan Abdi. Ia tak malu-malu meminta bantuan kepada siapa saja untuk Unsyiah. Di tengah hiruk pikuk rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami dan rapat-rapat di Jakarta, Abdi tidak pernah melupakan Unsyiah. Pada masa rehab-rekon tsunami waktu itu, banyak tenaga pengajar Unsyiah yang merangkap sebagai konsultan dan memiliki posisi penting di berbagai lembaga Donor dan NGO Internasional. Ada yang di Bank Dunia, di USAID, AUSAID, UNDP, WFP, GTZ, FAO, dan banyak lembaga lainnya. Demikian pula di BRR, baik di Dewan Pengarah, di Badan Pelaksana, maupun di Dewan Pengawas. Bahkan, mantan Rektor Unsyiah, Prof. Dr. Abdullah Ali, MSc ditunjuk Presiden RI sebagai Ketua Dewan Pengawas. Menurut Abdi, hal ini menunjukkan bahwa peran Unsyiah dalam rehabrekon Aceh pasca tsunami sangat nyata. “Peran Unsyiah waktu itu adalah berupa konsep, 114


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

pemikiran dan juga memberdayakan para Doktor dan Master dalam proses pembangunan itu sendiri. Atau dengan kata lain, Unsyiah menyediakan SDM yang berkualitas dan profesional untuk membangun Aceh,” jelasnya. Bagi Abdi, seorang dosen memiliki tugas yang luas sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Seorang dosen dituntut untuk tidak hanya mengajar di kelas, melainkan dapat melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Apalagi masa-masa itu memang Aceh sedang sangat membutuhkan ahli-ahli dalam berbagai bidang. “Pada prinsipnya saya kurang setuju apalagi kalau sampai mengganggu tugas pokok dosen yang bersangkutan. Namun pada waktu itu, keadaan Aceh memang sedang memerlukan SDM yang handal untuk membantu pem­ bangunan Aceh, sehingga saya kira tidak masalah. Apalagi kalau tugas pokoknya masih bisa berjalan,” jelas Abdi. Meski masa tugas Abdi sebagai rektor tidak sampai akhir masa BRR NAD-Nias, secara umum Abdi melihat BRR NAD-Nias telah berhasil melaksanakan tugastugasnya dengan baik. Hanya saja, Abdi menyayangkan pembangunan kawasan-kawasan yang terkena tsunami, baik di kota maupun di desa masih seperti keadaannya pada waktu sebelum tsunami. Padahal, ia berharap pemukiman tersebut dapat lebih tertata menjadi kawasan yang baru, modern dan lebih humanis. “Tidak ada perbedaan yang menyolok, kecuali bangunanbangunan yang baru seperti, rumah sakit, jalan, fasilitas umum, dan rumah-rumah bantuan bagi korban tsunami. Sedangkan situasi dan lingkungannya tidak banyak yang berbeda,” jelas Abdi dengan lesu. “Hal ini menurut saya mungkin disebabkan karena BRR tidak mempunyai cukup 115


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

waktu dan dana yang cukup untuk membangun kawasan baru. Sementara itu situasi korban dan keadaan korban tsunami yang diungsikan ke tempat penampungan sementara sudah sangat mendesak untuk segera dipindahkan,� timpal Abdi mencari jawabannya sendiri. Pembentukan Pusat Riset Tsunami Unsyiah Bagi Abdi, musibah tsunami yang sangat dahsyat di Aceh memberikan hikmah yang sangat besar. Oleh karena itu, ia merasa perlu untuk mempelajari banyak hal terkait tsunami. Ia ingin agar Lembaga Penelitian Unsyiah dapat membuat satu unit khusus untuk Riset Tsunami. Di sisi lain, ia juga ingin membentuk Pusat Mitigasi yang langsung berada di bawah koordinasi rektor.

Kunjungan Prof. Dr. Yasuo Tanaka dan dari Kobe University, Jepang di Ruang Rektor, Biro Rektor Universitas Syiah Kuala.

Kebetulan, pada 4 Agustus 2005, Prof. Dr. Yasuo Tanaka dari Research Center for Urban Safety and Security (RCUSS) Universitas Kobe datang ke Aceh. Salah seorang mahasiswa Prof. Tanaka di Kobe University, Mustafa 116


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

(37), adalah dosen Unsyiah yang tewas pada musibah ini. Maka, dijalinlah kerjasama antara Unsyiah dan Kobe University untuk membangun pusat studi mitigasi bencana tsunami atau Tsunami Disaster Mitigation Research Center (TDMRC). Disamping membantu pembangunan gedung, Kobe University juga membantu alat-alat penelitian dari Jepang dan negara lainnya. Namun, Unsyiah masih harus menghadapi masalah serius terkait kekurangan tenaga pengajar. Untuk menindaklanjuti kebutuhan ini, pada Oktober 2005, Unsyiah mengirimkan tiga mahasiswa pasca sarjana untuk belajar ke Kobe University selama tiga tahun. Diharap­ kan, kerjasama penelitian kedua universitas ini dapat terus berlanjut untuk mengembangkan penelitian di bidang miti­ gasi bencana tsunami. Dalam suatu wawancara kepada pers ketika berkunjung ke Kobe University, Abdi mengutarakan keinginan­nya untuk belajar lebih banyak dari Universitas Kobe. “Para mahasiswa tidak hanya mengalami persoalan di sisi pendidikan saja, tetapi juga dari sisi psikis. Bersamaan dengan kerjasama penelitian mitigasi bencana ini, kami juga harus melibatkan langkahlangkah penanganan psikis majasiswa dengan berkaca dari pengalaman Kobe University” ujarnya. Di sisi lain, Dekan Fakultas Teknik Kobe University menyatakan, “Dengan terciptanya kerjasama antara dua universitas yang sama-sama pernah mengalami bencana tsunami, saya juga ingin melibatkan dukungan internasional antara kedua belah pihak.” Dr. Ir. M. Dirhamsyah, MT, Ketua TDMRC yang per­ tama tahun 2006-2013, mengaku bahwa pendirian pusat riset tsunami atau Tsunami Disaster Mitigation Research Center 117


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

(TDMRC) merupakan salah satu sumbangsih Unsyiah yang cukup penting bagi rekonstruksi Aceh. Melalui fasilitas ini, Unsyiah telah mampu menjembatani kordinasi lintas instansi baik dalam negeri hingga luar negeri ketika masa rehab rekon berlangsung. “Hingga saat ini pun, banyak peneliti dan mahasiswa asing yang datang ke sini untuk mempelajari tsunami,â€? ujar lelaki yang akrab disapa Dirham ini. Menurut Dirham, demikian panggilannya, Abdi banyak memberi inisiasi dan prestasi yang cemerlang selama memimpin. Selama kepemimpinannya, Unsyiah memiliki interaksi yang cukup baik dengan berbagai mitra di tingkat nasional maupun di mancanegara. Hal ini menjadi daya tarik khusus bagi para mitra dalam masa rehab-rekon dan berbagai permasalahan di Aceh. Intensitas kesibukan Abdi yang sangat tinggi pada waktu itu tidak mengurangi perhatiannya terhadap masa­lah pembelajaran tsunami. Abdi terus memantau dan mem­berikan

Menerima TDMRC at a Glance dari Ketua TDMRC, Dr. Ir. M. Dirhamsyah, M.T. pada 23 Desember 2008.

118


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

Mendapat penghargaan khusus dari Rektor Unsyiah pada acara “The 10th Aceh International Workshop and Expo on Sustainable Tsunami Disaster Recovery – AIWEST-DR 2016” Banda Aceh, 22 November 2016 bersama Prof. Dr. Yasuo Tanaka dan Soesmarjanto Soesmoko.

gagasannya untuk membangun TDMRC yang lebih baik lagi. “Pak Abdi memberikan kepercayaan penuh kepada saya untuk mewakili Rektor pada pertemuan-pertemuan di tingkat nasional dan internasional. Kebetulan, waktu itu TDMRC didukung penuh oleh Bapak Kuntoro Mangkusubroto dan jajarannya di BRR NAD-Nias,” ujar Dirham. Dirham menambahkan, kepercayaan Abdi yang sangat tinggi ini merupakan awal pergerakan cepat dalam menumbuhkan suatu tim kerja profesional yang kompak untuk membangun TDMRC. Hal ini menjadi pondasi bagi terwujudnya kepercayaan mitra yang cukup tinggi terhadap TDMRC. Saat ini TDMRC sudah menjadi Pusat Unggulan IPTEK Perguruan Tinggi untuk Mitigasi Bencana Tsunami dan memperoleh dukungan penuh dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti). 119


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Mengelola Bantuan, Merawat Kepercayaan Dalam berbagai kesempatan, Abdi terus berupaya untuk mengembangkan Unsyiah serta berusaha untuk memenuhi kebutuhan dosen dan para pegawainya, terutama masalah rumah. Bencana tsunami telah mengakibatkan ratusan dosen dan pegawai kehilangan tempat tinggal. Maka, Abdi terus berfikir bagaimana bisa memperoleh bantuan rumah. Pucuk dicinta ulam tiba. Ketika sedang mengikuti kegiatan golf di Royal Golf Club, Medan, Abdi berbincangbincang dengan salah seorang golfer. Dia bilang BI sedang membangun 1.000 unit rumah bantuan untuk korban tsunami di kawasan Prada-Lingke. Abdi nyeletuk “Pak, Unsyiah juga sangat memerlukan rumah untuk dosen dan pegawai.” Tanpa diduga, lawan bicara Abdi ternyata orang BI dari Jakarta, ia menjawab, “Kalau Pak Rektor membutuhkan, buat saja surat yang ditujukan kepada Direksi di Jakarta.” “Spontan saya call Purek IV untuk menyiapkan surat memohon 100 unit rumah. Alhamdulillah disetujui 100 unit,” kenangnya sambil merasa tidak percaya bisa begitu mudah dan cepat prosesnya. Menyusul bantuan ini, Unsyiah pun mulai menyiap­ kan lahan di Sektor Timur. Ketika menetapkan lahan untuk bantuan rumah ini, Abdi agak keras untuk menetapkan luasan yang harus disediakan walaupun ukuran rumah bantuan sudah ditetapkan yaitu tipe 45. “Saya minta pada PR II dan timnya mengkapling luas minimal 150 meter persegi. Karena saya membayangkan kalau dosen dan pegawai ada rezeki di kemudian hari, mereka bisa membangun rumahnya sendiri menjadi lebih besar,” kilah Abdi yang sampai saat ini justru belum 120


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

mempunyai rumah pribadi. Apa yang diperkirakan Abdi tidak meleset. “Rumah bantuan BI di Sektor Timur ini kini berkembang layaknya real estate mewah dengan bangunan yang serba wah. Karena tanahnya cukup luas,” pungkas Abdi. Abdi merasa sangat berterima kasih terhadap bantuan perumahan ini. Bagaimana tidak, salah seorang Direksi BI waktu itu, Miranda Goeltom, mengatakan kepadanya bahwa 100 unit rumah yang mereka sumbangkan ini dananya berasal dari pemotongan gaji mereka mulai dari direksi sampai karyawan yang paling rendah. “Begitulah orang berbagi dan menyumbangkan uangnya untuk kita. Eeee, saya tidak habis pikir masih ada dosen Unsyiah yang protes ‘masak untuk dosen diberikan rumah tipe 45 dan ada lagi yang minta untuk suaminya karena mereka duaduanya dosen,” jelasnya sambil tersenyum. Mendengar itu, Abdi langsung bertanya, “Apa kalian mau pisah rumah?” tanyanya dengan nada kesal. Selain bantuan dari Pemerintah Pusat, Unsyiah juga memperoleh banyak bantuan dari lembaga-lembaga donor dan organisasi kemanusiaan nasional dan internasional. Salah satu yang cukup besar dan memang sangat dibutuhkan waktu itu adalah bantuan peningkatan kapasitas dan kualitas tenaga pengajar FKIP Unsyiah dalam mendidik guru-guru sekolah dasar dan menengah. Selama ini Unsyiah merupakan salah satu lembaga pendidikan penyumbang tenaga pengajar terbanyak di Aceh. Musibah tsunami telah mengakibatkan Aceh kehilangan 2.500 guru dan 2.000 bangunan sekolah telah hancur. Dalam menerima bantuan, Abdi selalu mengarahkan agar diberikan tidak dalam bentuk uang. Ia lebih meminta 121


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Abdi yang memakai batik menyambut kedatangan perwakilan dari USAID di depan Gedung AAC Dayan Dawood Unsyiah.

dalam bentuk barang atau fasilitas jadi, seperti gedung dan rumah, misalnya. Ketika USAID memberikan hibah kepada Unsyiah USD 14 juta, Abdi langsung mengarahkannya untuk membangun gedung FKIP Unsyiah, lengkap dengan furniturnya, peralatan teaching learning, laboratorium, serta sejumlah buku dan software untuk perpustakaan. USAID juga merehab gedung lama FKIP agar menyatu dengan gedung FKIP yang baru. Selain itu, USAID mengirim dua orang staf mengajar Unsyiah untuk mengikuti Program Master Degree bidang Manajemen Pendidikan. Sedangkan kegiatan soft component seperti penguatan manajemen FKIP dan pelatihan dosen oleh Decentralized Basic Education 2 (DBE2) dananya juga berasal dari USAID. DBE2 turut membantu FKIP membuat rencana strategis untuk setiap program studi dan fakultas. Setelah DBE2 berakhir, USAID masih membantu Unsyiah melalui proyek prioritas untuk penguatan dosen 122


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

FKIP dan menghubungkan FKIP dengan sekolah. “Apabila fasilitasnya baik, maka diharapkan bisa mendukung lahirnya tenaga pengajar yang baik. Kalau tenaga pengajarnya baik, otomatis akan dapat meningkatkan kualitas murid dan lingkungan akademik,� ujar Abdi sedikit berfilosofi. Pembangunan Gedung FKIP ditargetkan selesai pada akhir tahun 2009. Namun, pembangunan fasilitas baru FKIP Unsyiah yang terdiri dari 29 ruang kelas tambahan, empat laboratorium modern Jurusan Biologi, Kimia, Fisika, dan Matematika, serta perpustakaan multimedia, ruang kantor,

Gedung FKIP Unsyiah Baru yang telah setelah dibangun dengan bantuan dari USAID.

ruang utilitas dan auditorium dengan kapasitas 300 tempat duduk ini baru bisa dituntaskan pada tahun 2010, setelah empat tahun masa jabatan Abdi berakhir. Dalam sambutannya saat peresmian gedung pada 12 Mei 2010, Direktur USAID, Walter North mengaku sangat senang melihat pembangunan gedung yang dilengkapi 123


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

sistem keamanan dan keselamatan ini. “USAID memberikan bantuan hibah kepada Unsyiah untuk merehabilitasi dan membangun fasilitas baru tempat pelatihan guru, termasuk bantuan teknik kepada guru-guru di Aceh untuk mencapai standar kualifikasi akademis,” ujarnya. Beberapa bantuan lainnya yang diterima Unsyiah dalam kurun waktu 2004 hingga 2008 antara lain pem­ bangunan Sekolah SMA Labschool Unsyiah dari USINDO (The United Stated-Indonesia Society). Selain itu, Unsyiah juga memperoleh bantuan asrama (KOMPAS), Teaching Laboratory, bantuan bus dari SCTV, perumahan dosen dan mobil dari PT. Arun Lhokseumawe, perumahan dosen di Blang Krueng. Unsyiah juga bekerjasama dengan Indosiar untuk merehabilitasi menara utama Masjid Raya Baiturrahman. Melanjutkan Program yang Tertunda Seiring dengan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi, bantuan Pemerintah Jakarta, negara-negara donor, dan berbagai lembaga internasional terus berdatangan ke Aceh. Abdi melihat, musibah tsunami yang melanda Aceh justru memberikan peluang yang besar bagi Unsyiah untuk terus berkembang. Melihat besarnya dukungan ini, Abdi bertekad untuk melanjutkan kembali program- programnya yang sempat tertunda. dr. Syahrul SpS (K), Dekan Fakultas Kedokteran periode 2004-2008 dan 2008-2012 mengungkapkan bahwa Abdi, yang dikenal murah senyum ini tak mudah menyerah. Bencana alam mahadahsyat yang sempat menghambat program-program yang digagas Abdi bertahun-tahun sebelumnya perlahan mulai ia lanjutkan. “Bukan Abdi namanya kalau kehabisan ide dan 124


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

semangat untuk mengembangkan Unsyiah,� ujar Syahrul sambil tersenyum. Lebih jauh Syahrul menjelaskan bahwa pada awal tahun 2000-an, Abdi sudah menyuarakan agar Unsyiah berperan aktif dalam mempersiapkan pembukaan PPDS25 di Fakultas Kedokteran yang sudah berusia lebih 20 tahun. Saat itu jumlah dokter spesialis di Aceh sangat sedikit. Distribusinya sangat tidak merata. Jumlah dokter spesialis dasar yang meliputi Bedah, Obsgyn, Anak, Ilmu Penyakit Dalam, dan Anestesiologi sangat kurang. Apalagi jenis pelayanan lainnya, seperti Neurologi, Mata, THT, Radiologi, Kesehatan Jiwa, Paru, Jantung, dan Kesehatan Kulit, jumlahnya sangat minimal. Dokter spesialis pada umumnya hanya berada di Banda Aceh sebagai Dosen di Fakultas Kedokteran/RSUD dr. Zainoel Abidin. Pelayanan medis spesialistik sangat sulit dirasakan oleh masyarakat luas. Semangat percepatan pemerataan dokter spesialis di Aceh inilah yang selalu memberi inspirasi, motivasi, dan kerja keras yang setiap saat ditanamkan oleh Abdi. Targetnya, tahun 2004 pendidikan dokter spesialis di Unsyiah sudah dimulai. Sepanjang tahun 2002 sampai 2004, tim dari Unsyiah melakukan pertemuan-pertemuan dengan pihak terkait dalam rangka persiapan pembukaan program dokter spesialis. Pertemuan dilakukan di Banda Aceh, Medan, dan Jakarta. Gubernur Aceh mulai dari Ir. Abdullah Puteh hingga kemudian digantikan Ir. Azwar Abubakar sangat mendukung lahirnya program tersebut. Abdi melakukan komunikasi Saat PPDS mulai dirintis, dr. Istanul Badiri, MS, Sp.PA menjabat sebagai Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Unsyiah periode 2000-2004. Sebelum PPDS diresmikan, posisi Istanul digantikan oleh dr. Syahrul, SpS(K) yang sebelumnya menjabat Pembantu Dekan I FK. Syahrul menjabat Dekan FK selama dua periode, yakni 2004-2008 dan 2008-2012. PPDS resmi terbentuk pada masa Syahrul. Kedua orang ini sangat berperan mewujudkan program yang digagas Abdi. 25

125


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

yang sangat harmonis dengan Pemerintah Aceh. Pertemuan dengan tokoh-tokoh pendidikan juga dilakukan di Medan khususnya dengan para guru besar USU Medan dalam rangka menggali pengalaman USU khususnya Fakultas Kedokteran dalam pelaksanaan PPDS. Pertemuan yang sangat fantastis terjadi di Jakarta. Abdi bersama tim pergi ke sana untuk mengikuti sebuah pertemuan di Departemen Kesehatan RI. Pertemuan tersebut difasilitasi oleh Prof. Achmad Djoyosugito sebagai Dirjen Yan Medik Depkes RI dan Prof. Satrio Soemantri Brojonegoro sebagai Dirjen Dikti. Hadir dalam pertemuan tersebut 12 Dekan Fakultas Kedokteran dan 12 Direktur RS Pendidikan yang telah berpengalaman dalam mendidik dokter spesialis dari seluruh Indonesia. Mulai dari FK USU/RS Adam Malik Medan, FK Unand/RSUP M. Jamil Padang, FK Unsri/RSUD Palembang, FKUI/RSCM Jakarta, FK Unpad/RS Hasan Sadikin Bandung, FK UGM/RSUP Sarjito Yogyakarta, FK Undip/RS Kariadi Semarang, FK UNS/RSUD Solo, FK Unair/ RS Soetomo Surabaya, FK UB/RSUD Dr. Saiful Malang, FK Udayana/RSUD Denpasar, dan FK Unhas/RSUD Makasar. Hadir juga dalam pertemuan tersebut tujuh Ketua Kolegium Bidang Ilmu Spesialis yang akan dikembangkan di Unsyiah yaitu Ketua Kolegium Bedah, Obsgyn, Anak, Ilmu Penyakit Dalam, Anestesiologi, Neurologi, dan Orthopedi. Saat itu, lahirlah Perjanjian Kerjasama antara Rektor Unsyiah dengan Dirjen Yanmed serta Dirjen Dikti. Disusul kemudian Perjanjian Kerjasama antara Dekan FK Unsyiah, Kadinkes Aceh, dan Direktur RSUD dr. Zainoel Abidin dengan 12 Dekan FK, dan 12 Direktur RS Pendidikan dan tujuh Ketua Kolegium. 126


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

Setelah pertemuan tersebut, Menteri Kesehatan yang saat itu dijabat oleh dr. Sujudi, SpB dan Menteri Pendidikan Nasional Prof. Malik Fajar menerima Abdi bersama rombongan dan menyampaikan bahwa mendukung penuh rencana pembukaan PPDS di Unsyiah. Dalam dunia kedokteran terdapat beragam istilah. Abdi mencoba memahami beberapa istilah kedokteran supaya memudahkan komunikasi dengan tenaga ahli dan menteri dalam rangka membuka PPDS. Bahkan Abdi rela menjalani berbagai pertemuan dengan perasaan kikuk saat berhadapan dengan Menteri Kesehatan, para Dekan Kedokteran, serta Kolegium Kedokteran. “Saya sebagai orang pertanian merasa kikuk juga untuk berhadapan dengan Menteri Kesehatan, dan para Dekan Kedokteran serta Kolegium Kedokteran. Tapi dengan niat dan tekad yang bulat dari teman-teman kedokteran Unsyiah, pertemuan demi pertemuan saya lalui dengan perasaan kikuk. Alhamdulillah, akhirnya Unsyiah bisa membuka PPDS,� seloroh Abdi sambil tertawa dengan gaya khasnya. Upaya kerja keras PPDS sempat terhenti sejenak karena musibah tsunami pada 26 Desember 2004. Pascatsunami, gagasan, ide, inovasi dan semangat juang yang dipelopori oleh Abdi dilanjutkan secara sistematis termasuk pengembangan Sumber Daya Manusia dengan kualifikasi Doktor (S3) dan pengembangan RSUD dr. Zainoel Abidin sebagai RS Pendidikan Utama dari FK Unsyiah. Pengembangan SDM dan RS Pendidikan pada tahun 20082012 didukung penuh oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Alhamdulillah, peran besar, perjuangan tanpa mengenal lelah dari Abdi dalam inisiasi lahirnya Program 127


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Pendidikan Dokter Spesilalis Unsyiah, sudah membuahkan hasil yang telah dapat dirasakan oleh peserta didik dan masyarakat luas. Saat ini sudah terdapat delapan Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis di Unsyiah yaitu Program Studi Bedah, Ilmu Penyakit Dalam, Ilmu Kesehatan Anak, Obsgyn, Neurologi, Pulmonologi, THT-KL, dan Anestesiologi. Diharapkan dalam waktu dekat akan lahir Kardiologi, Psikiatri, dan beberapa program studi spesialis lainnya. Setelah sukses membuka Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) pada Januari 2003, Abdi bermaksud membuka jurusan Kedokteran Gigi. Fakultas Kedokteran Unsyiah sudah berhasil membuka PPDS beberapa bidang ilmu seperti Penyakit Dalam, Ilmu Kesehatan Anak, Ilmu Penyakit Saraf, Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Ilmu Bedah, Ilmu Bedah Ortopedi dan Anestesiologi. “Namun kita belum punya Prodi Kedokteran Gigi,” ujar Abdi. Merintis Fakultas Kedokteran Gigi Unsyiah Sekitar tahun 2003, keinginan Abdi mengembangkan Unsyiah terus ia wujudkan dalam setiap tindakannya selama menjabat rektor. Pada masanya menjabat ia merintis berdirinya Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Unsyiah. Ia mencoba agar Unsyiah terus berkontribusi kepada masyarakat Aceh dengan melahirkan para dokter gigi. Suatu hari, Abdi bertanya kepada drg. Zaki Mubarak, 26 MS . “Pak Zaki, berapa banyak dokter gigi?” tanya Abdi. “Ada 60 orang,” jawabnya. Ketika itu Zaki adalah Kepala Bagian Mikrobiologi di Fakultas Kedokteran (FK) Unsyiah, merangkap sebagai Pembantu Dekan II di FK, dan juga Kepala Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) cabang Provinsi Aceh. 26

128


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

“Bagaimana kalau di Unsyiah kita dirikan Fakultas Kedokteran Gigi”. “Bisa. Kalau Bapak mau kita siapkan proposalnya”. Zaki pun mengajak beberapa orang pengurus Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) cabang Aceh untuk membuat konsep dan merampungkan proposal tersebut pada rapat pleno PDGI Aceh. Awal Tahun 2004, proposal tersebut diusul oleh Dekan FK Unsyiah kepada Rektor Unsyiah dan diserahkan kepada Gubernur Aceh melalui wakil gubernur saat itu. Mereka menjelaskan kepada Gubernur bahwa Unsyiah akan mendirikan program studi tersebut karena kebutuhan dokter gigi tingkat nasional serta daerah Aceh yang sangat kurang. Berkat kerja sama tim meyakinkan gubernur, mereka memperoleh biaya sekitar Rp 2 miliar. Dokter-dokter di PDGI dipanggil, ditanyakan, siapa saja yang ingin menjalani pendidikan S2 /Spesialis Kedokteran Gigi dalam berbagai disiplin ilmu. Selesai pendidikan mereka diharapkan kembali ke Unsyiah untuk menjadi staf pengajar nantinya. Pada tahun yang sama mereka menggelar seminar kurikulum FKG. Selanjutnya, tim membuat borang pendirian program studi dan dikirim kepada Dikti oleh Rektor Unsyiah untuk mendapat persetujuan membuka Program Studi Kedokteran Gigi (PSKG) di bawah Fakultas Kedokteran Unsyiah sebagai awal berdirinya FKG. September 2004, para staf dikirim untuk mengikuti pendidikan spesialis di Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjajaran (Unpad), dan Universitas Sumatera Utara (USU). Unsyiah dan ketiga universitas tersebut menjalin kerja sama supaya pendidikan para staf di sana berjalan dengan lancar. 129


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Rektor USU Prof. Chairuddin P. Lubis pernah memberikan pandangan saat Rektor Unsyiah Abdi bersama PR IV Saifuddin menemuinya di Medan untuk meminta USU menjalin kerja sama membantu Unsyiah mendirikan FKG. “Wah, Pak Abdi. Kalau kedokteran gigi gak usah bukalah. Mahal,” ujar Chairuddin. “Nggak masalah Pak Rektor, yang kami perlukan dukungan dari USU. Kami sudah siap berapa pun mahalnya,” terang Abdi optimis. Meskipun sempat memberikan pandangan demikian, USU tetap bersedia membantu mendirikan FKG di Unsyiah. USU mengirimkan beberapa tenaga pengajarnya walaupun berlangsung singkat. Sekitar April 2006, Menteri Pendidikan mengeluarkan surat keputusan tentang terbentuknya PSKG di bawah naungan Fakultas Kedokteran Unsyiah sebagai awal berdirinya FKG. September 2006, Unsyiah resmi menerima mahasiswa baru untuk prodi tersebut. Abdi memudahkan semua urusan administrasi dalam prosesnya. Mahasiswa diterima tanpa perlu mengikuti SNMPTN, melainkan hanya ujian lokal saja. Keputusan Abdi tersebut dinilai berani. Persoalan lain menghampiri. PSKG kekurangan tenaga pengajar. Abdi meminta bantuan UI untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Setiap minggu UI mengirimkan dosen untuk mengajar di Unsyiah. UI cukup maksimal membantu Unsyiah kala itu. Mereka memenuhi kebutuhan tenaga pengajar di PSKG sampai masa pendidikan dokter yang mengikuti pendidikan spesialis di luar Aceh selesai. Bahkan, penandatanganan kerja sama UI dan Unsyiah sendiri berlangsung di lapangan 130


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

golf. Waktu itu ada kegiatan di salah satu golf course di Jakarta. Abdi meminta Zaki membawakan naskah-naskah yang perlu ditandatangani kedua belah pihak ke lapangan golf. Inilah salah satu personal approach Abdi yang sedikit unik dan membuahkan hasil. Seiring berjalannya waktu, dosen-dosen luar yang mengajar di PSKG pelan-pelan dikurangi. Tahun 2010, PSKG sudah bisa mandiri. Selama proses pembentukan PSKG, Abdi sangat memudahkan segala persoalan administrasi dengan tujuan program studi tersebut segera lahir. PSKG terus mengalami perkembangan. Pada tahun 2014, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nomor: 1227/E. E1/ KL/2013 tanggal 18 Desember 2013, PSKG diresmikan sebagai Fakultas Kedokteran Gigi Unsyiah. Zaki merupakan Dekan pertamanya. Gagasan “Aneh� Abdi yang Tersimpan Abdi selalu kaya dengan ide-idenya. Sebagian besar idenya terwujud. Sementara itu, ada tiga idenya yang sampai sekarang masih tersimpan erat dalam benaknya. Ideide tersebut adalah pembangunan jalan lurus dari Masjid Raya Baiturrahman menuju Unsyiah, pembangunan jalan bawah laut Ulee Lheue, Banda Aceh – Balohan, Sabang, dan tsunami memorial park. Ketika posisi Abdi sebagai Kasubbag Fisik dan Prasarana Bappeda Aceh, ia mengusulkan kepada atasannya Kepala Bagian Fisik dan Prasarana, untuk membangun jalan lurus dari Masjid Raya Baiturrahman menuju Unsyiah. Pada kala itu, ide Abdi terbilang realistis bisa dikerjakan. Pemukiman-pemukiman di Banda Aceh belum sepadat seperti sekarang. Jalan lurus Masjid Raya-Unsyiah, akan 131


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

menjadi simbol bahwa Unsyiah merupakan kampus jantong hatee rakyat Aceh. Abdi merasa sedikit kecewa idenya tidak terwujud. Dalam sebuah pertemuan dengan tim OECF di Ruang Rektor Unsyiah, Abdi yang menjabat Dekan Fakultas Pertanian Unsyiah ketika itu, menanyakan kepada tim OECF apakah bisa dibangun jalan di bawah laut Ulee Lheue - Balohan. Sehingga, kita bisa menikmati pemandangan bawah laut layaknya akuarium raksasa. “Bisa kata salah seorang di tim OECF, tapi sangatsangat mahal,” terang Abdi mengingat idenya di masa lalu. Beberapa waktu setelah gempa dan tsunami di Aceh, dalam sebuah rapat dengan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana Negara, Jakarta, Abdi memberikan usulan yang sedikit agak ‘aneh’ kedengarannya. “Pak Presiden, saya berpendapat kawasan yang terkena tsunami seperti Calang, Ulee Lheue, dan Peunayong, sebaiknya dikuasai oleh negara. Kemudian dibangun sema­cam memorial park,” usul Abdi. SBY menyimak serius, mencatat setiap gagasan yang muncul dari peserta pertemuan tersebut. Turut hadir dalam pertemuan tersebut Plt Gubernur Aceh, Rektor IAIN Ar-Raniry, MPU Aceh, ulama, dan tokoh masyarakat lainnya. Di hadapan presiden Abdi memaparkan pentingnya tsunami memorial park. Menurut Abdi, tsunami memorial park sebagai pengingat bahwa Allah benar-benar kuasa untuk melakukan segala sesuatu. Di samping itu, dunia akan lebih mengenal Indonesia, khususnya Aceh karena ada bukti konkret gempa dan tsunami. Peninggalan-peninggalan musibah itu tentunya akan menjadi pelajaran berharga bagi generasi masa depan dan para ahli. Mereka bisa menjadikan 132


Bab III Tsunami, Aceh, dan Unsyiah

peninggalan gempa dan tsunami sebagai bahan penelitian. Dengan banyaknya orang yang akan mengunjungi tsunami memorial park, maka perekonomian masyarakat sekitarnya bisa berkembang. “Saran itu sangat bagus. Tapi sekarang, mana yang harus lebih kita pentingkan, pengungsi atau memorial park. Sedangkan pengungsi sudah membutuhkan tempat tinggal,� SBY merespon. Abdi tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dalam hatinya ia bebisik, seharusnya tsunami memorial park bisa dibangun kapan saja. Yang penting kawasan yang hancur akibat tsunami sudah dilindungi negara. Sudah satu dekade lebih kejadian gempa dan tsunami berlalu. Bangunan kembali berdiri kokoh. Suasana kota diperindah dengan segala macam rupa. Masyarakat Aceh sudah sembuh dari pilu. Menurut Abdi, tidak ada bedanya antara Banda Aceh sekarang dengan Banda Aceh sebelum tsunami. Abdi kecewa gagasan berdirinya tsunami memorial park tidak bisa terwujud. Padahal ia sudah mencoba meyakinkan Presiden SBY. Melihat Banda Aceh sekarang, menurut Abdi tidak ada bedanya. “Bila saja Peunayong, misalnya, dijadikan kawasan tsunami memorial park, pasti generasi sekarang akan melihat bukti nyata nan alami dampak bencana alam,� terang Abdi sembari membayangkan idenya terwujud. Abdi sudah melalui berbagai macam proses kehidupan. Ia sudah merasakan kepahitan hidup, berikut dengan kesenangannya. Sampai sekarang ia masih berkontribusi terhadap Unsyiah, kampus jantung hati rakyat Aceh. Sebagai Ketua Tim Penasihat Rektor, Abdi masih tetap memberikan masukan untuk pengembangan Unsyiah. Namun, ia mengaku lebih bahagia saat ini, lebih 133


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

banyak waktu berkumpul bersama keluarga dan para cucu tercinta. Mereka inilah yang menjadi mentari paginya. Meski tidak selalu bersama, tetapi Abdi dan Suharni selalu menyempatkan untuk bertemu dengan keempat cucunya yang lucu, Mutiara Az Zahra, di Banda Aceh, Rafa Maghoji di Palembang, serta M. Hatta Rezki dan Ratu Malika di Yogyakarta. Melalui catatan singkat ini, Abdi berpesan pada kita semua kita, para generasi muda, “Gapailah cita-cita, berprinsip, disiplin dan jujur. Selalu ikhlas atas cobaan, bersyukur dan selalu berdoa kepada Allah Swt. Tidak ada kata selesai dan rasa puas kalau kita ingin sukses. Bekerjalah berdasarkan kemampuan, bertanggung jawab, jangan sampai over, santai dan menikmati pekerjaan. Berusaha menghargai orang lain, mendengar, memberikan pendapat bila diperlukan dan atau diminta. Hiduplah sederhana, nikmati, dan syukuri apa yang telah kita peroleh dan miliki.�

134


TESTIMONI



Testimoni

Sosok Ayah Yang Mengajarkan Kami Cara Bersyukur Riz, Nova, Win, Iman, Hendra, dan Cut Dwi (Keluarga) Ayah adalah sosok yang sangat idealis, jujur, tegas, bertanggung jawab, dan disiplin, terutama dalam hal waktu. Ayah mengajarkan kami bagaimana mensyukuri hidup dengan apa yang kami miliki. Banyak keteladanan yang dapat kami ambil dari keseharian ayah. Ayah selalu ingin tahu apa yang sedang kami kerjakan, keberadaan kami, dan keadaan kami. Kami sadari itu semua adalah salah satu bentuk kecil dari perhatian ayah terhadap kami. Namun begitu ayah juga tak luput dari kekurangan yang dimilikinya. Contohnya, sifatnya yang mudah marah. Ayah sangat gampang tersulut emosi hanya karena urusan yang sepele, akan tetapi marahnya ayah sifatnya hanya sesaat saja. Kami sebagai anak-anaknya sangat bersyukur mendapatkan seorang ayah yang sangat menyayangi keluarga. Mudah-mudahan beliau akan selalu menjadi panutan dan seorang ayah yang kami banggakan.

137


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Prof. Abdi A. Wahab; Sahabat Sejati Yang Penuh Toleransi Prof. Dr. Radi A Gany Rektor Unhas (1997-2001 dan 2001-2006) | Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI (2007-2010) Saya mengenal beliau relatif sudah puluhan tahun yang lalu. Ketika itu ada rapat rektor PTN se Indonesia di Surabaya. Saya bersebelahan kamar dengan beliau di satu Hotel Antik yang menjadi ikon Kota Surabaya. Saya ingat petang itu saya bertemu di gang hotel lantai 3. Beliau mengenakan sarung plekat seperti halnya saya sendiri. Kita saling menegur. Ramah dan sederhana, seperti kita sudah saling mengenal bertahun-tahun. Sejak itu pertemanan saya dengan Pak Abdi kian menjadi kental. Tahun-tahun berikutnya, pertemanan itu bahkan ber­ kem­bang bagai rhizomat yang keterikatannya semakin tak mungkin terpisahkan, karena kami memiliki kegemaran yang sama, yakni bermain golf. Kegemaran main golf inilah yang selalu memberi peluang di antara kami beberapa mantan rektor yang kebetulan seangkatan: Usman Chatib Warsa, UI; Sucipto, UNJ; M. Fakry Gaffar, UPI; dan Ahmad Anshori Mattjik, IPB bertemu dan bermain golf paling tidak sebulan sekali. Kami berempat— A Wahab, A A Mattjik, dan M Fakry Gaffar kadang-kadang dicandai oleh teman-teman golfer lain yang tergabung dalam PGIC (Persatuan Golf Insan Cita) sebagai ‘pairing abadi’ karena tidak pernah turun terpisah ke lapangan golf setiap ada event Monthly Medal di Rancamaya. 138


Testimoni

Kesetiakawanan Pak Abdi selalu ditandai dengan keikutsertaan beliau setiap bulannya. Terbang jauh-jauh dari NAD ke Jakarta hanya untuk bermain golf dua sampai tiga kali, lalu terbang balik. Pak Fakry Gaffar selalu memberi semangat dengan kalimat impulsivenya: �Buat apa datang jauh-jauh menyeberang tujuh lautan kalau hanya untuk bermain golf sehari saja.� Boleh dikata keikutsertaan beliau sangat jarang tidak hadir, selama lebih kurang 10 tahun terakhir ini. Sulit diterima oleh nalar sehat, namun hal itulah yang telah terjadi di antara kami semua. Sebuah persahabatan sejati di antara orang-orang yang saling memahami. Memang di kalangan golfer, terkenal suatu motto bahwa: Kalau anda ingin mengenal seorang teman secara mendalam, maka bermain golf-lah dengannya. Dan ini telah kami lakukan selama 10 tahun lebih. Rasanya tidak cukup satu edisi kalau kami diminta untuk saling menceriterakan. Di antara sekian banyak dan sekian lama berinteraksi dengan Pak Abdi A. Wahab, yang selalu kami panggil dengan sapaan akrab ‘Panglima�, ada beberapa hal yang selalu saya ingat tentang dirinya adalah: humble, santun dan rendah hati; setiap ucapan, langkah dan perbuatan selalu cermat; sangat supel; semangat berbaginya (sharing) sangat tinggi; bisa mengendalikan diri dalam emosi; kesetiakawanan, simpati dan empatinya luar biasa; sangat disiplin; dan selalu tampil degan sederhana. Dan sangat banyak lagi, sehingga saya selalu bercanda bahwa Pak Abdi A. Wahab itu adalah sosok yang sangat sempurna, super. Satu-satunya kekurangan beliau adalah karena tidak memiliki kekurangan, yang spontan diresponnya dengan ketawa datar yang sangat khas dari Takengon. Sungguh beruntung Unsyiah (Universitas Syiah Kua139


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

la) memiliki SDM Putra terbaik seperti Prof. Abdi A. Wahab, dan sungguh berbahagia keluarga dan rumpun famili beliau memiliki sosok panutan seperti Prof. Abdi A. Wahab. Dan tentu saja adalah karunia Allah yang luar biasa terhadap kami, khususnya saya pribadi karena disempatkan berinteraksi dan berkawan dengan beliau selama bertahun-tahun. Semoga persahabatan di antara kami ini lestari adanya sampai penggal perjalanan akhir kami. Semoga rakhmat, hidayah, dan perlindungan Allah Swt senantiasa hadir di antara kita. Tuhan merakhmati dan melindungimu “Panglima�. Amin. Jakarta, 18 Februari 2017 Bermukim di Jakarta/Makassar

140


Testimoni

Abdi Sebagai Contoh Membangun Jaringan Prof. Dr. Sutjipto Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Periode 1996 – 2000 dan 2001-2005 Pak Abdi, begitu biasanya saya memanggil Prof. Dr. Abdi Wahab, M.Sc, Rektor Unsyiah periode 2001-2006. Pak Abdi merupakan sosok ilmuwan dan birokrat yang tidak banyak bicara yang tidak perlu, namun tegas serta pekerja keras. Beliau disukai teman-teman, seorang sahabat yang dapat diandalkan. Saya mengenal beliau pada periode masa jabatan rektor saya yang kedua di Universitas Negeri Jakarta, 2001- 2005. UNJ menjadi anggota Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat (biasanya disingkat menjadi BKS PTN-B), dan masing- masing anggota pernah mendapat giliran sebagai ketua. Waktu itu giliran saya sebagai ketua. Pertemuan rektor-rektor diadakan minimal setahun sekali, dan tempat pertemuannya bergantian di kampus anggota. Kami sering juga bertemu dalam berbagai kegiatan nasional. Dalam banyak kesempatan kami sering berdiskusi membicarakan berbagai usaha yang dapat dilakukan bersama dalam pengembangan universitas. Pada saat itu masalah kesenjangan antara kualitas perguruan tinggi negeri di Jawa dan luar Jawa masih sering menjadi topik diskusi. Berbagai usaha pengembangan mutu dilakukan secara bersama atau paling tidak dengan pemanfataan sumberdaya secara bersama. BKS PTN-B juga bersama-sama menanamkan virus perubahan kualitas, yang difasilitasi oleh proyek HEDS 141


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

(Higher Education Development Support). Kami melakukan berbagai kegiatan bersama, antara lain dalam rapat tahunan BKS PTN-B, kerjasama antar program studi anggota BKS PTN-B, membedah berbagai buku tentang Manajemen Pendidikan Tinggi dan dokumen hasil berbagai Komisi Pembaharuan Pendidikan Tinggi di negara-negara maju, kunjungan anggota BKS PTN ke luar negeri serta berbagai seminar internasional pendidikan tinggi. Perlu dicatat bahwa cikal bakal kerjasama dalam BKS PTN-B ini adalah proyek pengembangan pendidikan pada Fakultas Pertanian di Unversitas Indonesia Bagian Barat (WUAE-Project) tahun 90-an, yang kemudian diperluas menjadi kerjasama seluruh PTN di Indonesia Bagian Barat, termasuk Kalimantan Barat dan Palangka Raya. Saya ingat pada waktu itu bagaimana Pak Abdi selalu memberikan berbagai pikiran yang positif, realistik yang dapat kami pergunakan dalam konsep dan praktis pengembangan pendidikan tinggi baik secara bersama maupun sendiri-sendiri. Beliau sangat supportive dalam menyukseskan kegiatan terutama pada saat project HEDS dilanjutkan dalam kegiatan yang diwadahi dalam kelompok yang dinamakan Forum HEDS, di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Margono Slamet, yang sebelumnya beliau adalah Rektor Universitas Lampung. Dalam fungsi kerektorannya, Pak Abdi, menurut kesan saya, banyak memberikan contoh bagaimana membangun network secara pribadi dan organisasi. Beliau menantang banyak kawan dalam merealisasikan visi perguruan tinggi yang dipimpinnya. Saya mengamati, sifat asli seseorang dapat dilihat dari bagaimana perilaku pada saat berolah raga kelompok. Kesantunan, ketaatan terhadap aturan, toleransi, kesabaran, kejujuran, kesenangan untuk membantu orang lain, semuanya 142


Testimoni

kelihatan pada saat seseorang bermain dalam olah raga. Dan Pak Abdi, sepanjang pengalaman saya bermain dengan beliau, selalu menunjukkan semua sifat positif ini dalam permainan olah raga yang memang menuntut sifat-sifat itu. Saya merasa beruntung mengenal Pak Abdi, karena saya banyak belajar dari beliau. Sebagai sahabat, saya mendoakan mudah-mudahan Allah Swt selalu memberikan lindungan dan rahmatNya serta dikaruniai panjang umur. Amin‌. Jakarta 25 Februari 2017

143


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Abdi A. Wahab : Mitra, Sahabat, dan Saudara Prof. Dr. Yusny Saby, MA Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh (2005 – 2009) Ada tiga “momentum� yang membuat saya terkesan pada Bapak Prof. Abdi A. Wahab: perhatian pada kampus, kesatuan Aceh dan ekspresi persahabatan yang berkualitas persaudaraan yang tidak pernah luntur. Ketiga hal tersebut tentu dapat diuraikan berlapis-lapis. Semasa beliau masih pada periode awal memimpin Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), sekitar tahun 2005 dibentuklah satu tim atau task force yang diharapkan dapat memperhatikan suasana kampus untuk lebih tertib, bersih dan teratur. Tim itu tentu saja atas nama otoritas Universitas Syiah Kuala di bawah koordinasi Rektor dengan memasukkan sejumlah anggota dari luarnya. Yang dari Syiah Kuala yang masih saya ingat adalah Bapak Bahren T. Sugihen (Prof), Bapak Nadir Abdul Kadir (Prof) dan lain-lain. Dari selingkar kampus tentu saja diikutsertakan Keuchik-keuchik dan tokoh masyarakat yang peduli. Dari IAIN (UIN) Ar-Raniry diikutsertakan saya dan Pak Muslim Ibrahim (Prof.). Sejumlah pertemuan, yang umumnya sempat saya ikuti, selalu diadakan di ruang Rektor. Apa yang ingin dicapai dengan task force itu adalah terbangunnya kampus Darussalam yang aman, nyaman, bersih, teratur, rapi. Misalnya antara lain, sapi tidak lagi berkeliaran dan orang jualan tidak centang perenang. Lebih dari itu diharapkan juga agar pergerakan manusia di dalamnya baik yang jalan kaki, bersepeda, dengan mobil dapat beredar dengan nyaman, normal tanpa ada kebut-kebutan dan ugal-uga144


Testimoni

lan. Betapa ide yang cemerlang. Namun untuk terciptanya suasana demikian tentu tidak sanggup dilaksanakan hanya oleh Unsyiah saja, tapi harus melibatkan berbagai pihak yang terkait. Seharusnya siapapun yang ada di dalam dan di luar kampus merasa memiliki bahwa Kampus Darussalam sebagai jantung hati Rakyat Aceh adalah milik bersama. Tentu saja usaha itu ada dampaknya. Sebelumnya, ‘armada sapi yang cerdas’ itu dapat leluasa berkeliaran di dalam kampus, bahkan ikut berbagai upacara dan rombongan wisudawan. Sesudah ide itu diluncurkan, nampak sudah ada perubahan. Makanya orang berjualanpun waktu itu ada penertibannya, tidak di sembarangan lapak, apalagi di simpang-simpang jalan yang sangat mengganggu bahkan membahayakan nyawa manusia. Ide pak Abdi A. Wahab yang cemerlang itu kalau dapat kita teruskan (lagi) dengan setulus hati, tentu akan sangat bermanfaat buat kita sekarang dan masa-masa yang akan datang. Darussalam, akan menjadi kampus yang aman, nyaman, tertib, rapi dan bermartabat - pantas terakredasi A, dan jauh berbeda dengan Pasar Lamnyong, tetangga setia. Momentum kedua ketika kami, sesudah musibah tsunami, dipercayakan sebagai anggota Dewan Pengarah BRR Aceh & Nias berada dalam sebuah Rapat Lengkap di Aula Menkopolhukam, Jakarta, yang dihadiri oleh beberapa orang menteri terkait, termasuk Menteri Dalam Negeri, yang waktu itu dijabat Bapak Muhammad Ma‘aruf. Kegiatan rapat tentu berjalan dinamis, tanya jawab, sanggah menyanggah dengan segala basa-basinya, termasuk isu pengembangan ALA – ABAS, yang masa itu sedang musimnya. Ketika rapat usai, kami sepakat menjumpai Mendagri khusus membicarakan masalah pengembangan wilayah itu. Ide yang digagas oleh Pak Abdi adalah apa dan bagaimana sebaiknya pengemban145


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

gan wilayah di Indonesia. Apa yang harus kita prioritaskan. Dengan tidak menolak pengembangan provinsi atau kabupaten yang baru maka kami mengusulkan agar kebijakan difokuskan pada pengembangan kecamatan. Mengapa kecamatan? Itulah ujung tombak republik ini yang bisa langsung menangani masyarakat. Bentuklah Kecamatan yang camatnya professional, lulusan Akademi Pemerintahan, misalnya. Dimana sang camat paham bagaimana menyiapkan datadata lengkap tentang aset negara, aset masyarakat, kemiskinan, potensi daerah, kelahiran, kematian, dsb. Kantor Kecamatan-lah yang sanggup menangani ini, karena merekalah yang dekat dan bisa langsung berurusan dengan lurah atau keuchik di wilayahnya. Memahami kondisi dan potensi yang sebenarnya yang bersumber dari masyarakat langsung akan lebih terarah dalam mengatur kebijakan dalam mensejahterakan rakyat jelata. Sedangkan menambah provinsi baru dan kabupaten baru akan lebih kepada usaha melayani ke atas (gubernur dengan perangkatnya, dewan dengan perangkatnya), militer, polisi, kejakasaan, kehakiman, yang semua itu dengan perangkat masing-masing. Sang menteri mengakui memang ada daerah yang baru dikembangkan, yang seluruh dana dari pusat dan daerah terserap untuk membiayai perangkat dan pejabat pemerintahan, tidak ada rupiah yang mengalir ke bawah. Diskusi singkat kami sambil berdiri nampaknya menggembirakan sang menteri. Apa yang dapat saya rasakan dari ide Bapak Abdi tadi adalah bagaimana supaya dana kita, baik bersumber dari APBN maupu APBD, yang memang masih serba terbatas, dapat sebanyak-banyaknya kita manfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, tidak hanya terserap untuk melayani elit birokrat dan politik. Tentu ini ide yang cemerlang. Namun, di 146


Testimoni

balik itu lagi, saya juga merasakan bahwa pak Abdi ingin agar Provinsi Aceh jangan lagi dipecah-pecahkan. Dana yang ada focus saja untuk pemakmuran masyarakat. Kita harus merasa sudah aman, nyaman, tentram, yang paling penting bagaimana rakyat secara keseluruhan terlayani, terutama dengan memaksimalkan fungsi Kecamatan yang dipimpin oleh seorang Camat yang kompeten dan profesional. Dengan diketahuinya kondisi riel Gampong, pembangunan akan lebih terarah dan tidak (lagi) ada yang sia-sia saja. Berkaitan dengan “persahabatan yang berkualitas persaudaraan� kedengarannya seperti klisye saja. Bukan, itu ada benarnya. Mungkin juga ada dasarnya bahwa keluarga saya sempat bertetangga lama dengan abang kandung Pak Abdi A. Wahab yang namanya (dokter) Ramli A. Wahab (sekarang alm). Rumah kami saling berhadapan di Gampong Blang Pineung. Dengan keluarga almarhum kami sangat dekat, konon pula dengan para ananda almarhum. Di balik itu adalah juga kenyataan bahwa Pak Abdi dan saya hanya berkomunikasi di kantor, di ruang sidang, arena seminar, di forum-forum, dan di kenduri-kenduri. Hampir dapat dikategokan semacam komunikasi fungsional, tidak ada nuansa primordial. Ketika kami masih sama-sama berdinas aktif lebih sering bertemu, dan kini, pelan-pelan, mulai men-jarang, namun tidak pernah men-jarak. Kami merasakan ada sejumlah kesamaan pandangan dalam melihat kehidupan ini: bagaimana menghasilkan kebaikan, dan kemanfaatan, untuk masyarakat dan bangsa ini. Do‘a kami, semoga Pak Abdi A. Wahab sekeluarga selalu dianugerahi hidup sehat dan hidup bermanfaat. Wassalam, Yusny Saby 147


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Sosok Yang Inovatif Dr. Jamal Gawi, M.Sc Konsultan Internasional Kekaguman saya pada Pak Abdi A. Wahab dimulai ketika masih kuliah di Jurusan Peternakan, Universitas Syiah Kuala dan saya masih tetap kagum kepada beliau sampai saat saya menulis testemoni ini. Ketika sekitar tahun 1985-1986 saya mendengar kepulangan beliau dari mengambil S3 di Amerika dan akan menjadi dosen pengasuh mata kuliah yang terkait dengan Pengelolaan Padang Pengembalaan Ternak, terbuncah harapan akan adanya nuansa ilmu baru di Jurusan Peternakan. Ternyata hal ini tidak salah. Beliau mengajar dengan gaya yang tidak lazim: menyiapkan semua bahan kuliah dalam bentuk bahan presentasi dengan memakai OHP. Sesuatu yang tidak lazim pada waktu itu. Bahan kuliahnya juga sangat menarik dan menantang intelektualitas mahasiswa terutama melalui pemecahan kasus-kasus yang memerlukan pemahaman tinggi. Hal ini juga dilanjutkan dengan bahan ujian yang juga terdiri dari kasus-kasus yang memerlukan pemecahan secara keilmuan. Hal ini tentu saja akan sulit bagi mahasiswa yang terbiasa menghapal bahan pelajaran. Dalam sebuah pertemuan di kantor rektor untuk menjamu tamu penting dari Amerika, pada saat itu Prof. Dr. Abdullah Ali (alm) selaku Rektor Unsyiah memperkenalkan beliau sebagai salah satu doktor muda di Unsyiah yang berpotensi. Terlihat jelas bahwa Pak Abdi tidak terlalu nyaman 148


Testimoni

dengan pujian tersebut. Hal ini menunjukkan pribadi beliau yang tidak suka disanjung. Pak Abdi dan saya juga terlibat di Yayasan Leuser Internasional. Sebagai salah satu anggota Pembina Yayasan, beliau selalu hadir dalam setiap rapat dan konsisten memperjuangkan kesejahteraan masyarakat di sekitar Leuser. Hal ini sangat saya hormati mengingat banyak rakyat di sekitar Leuser yang masih memerlukan dukungan dari seorang intelektual Aceh seperti Pak Abdi.

149


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Profesor Abdi A.Wahab yang Saya Kenal Prof. Darwis A. Soelaiman, M.A., Ph.D Guru Besar FKIP Unsyiah Menurut saya, Prof. Abdi adalah seorang humanis. Beliau tidak tinggi hati, malah terkesan sangat humble, dan manusiawi. Karena itu tidak heran kalau Pak Abdi banyak teman dan disenangi oleh mantan pegawainya setelah beliau tidak lagi menjadi Rektor Unsyiah. Dalam banyak tindakan dan perilakunya faktor manusia selalu menjadi titik perhatiannya. Sejalan dengan sikap hidupnya yang humanis dan humble itu maka beliau tidak mementingkan diri sendiri dan cenderung tidak materialistis dalam keberadaannya sehari-hari. Dalam bekerjasama, saya terkesan dengan sikap Pak Abdi yang demokratis, dan selalu komit dengan apa yang menjadi tujuan kerjasama itu. Beliau disiplin dalam waktu, misalnya beliau selalu hadir sebelum atau tepat waktunya kalau mengikuti rapat. Sikap dan kebiasaan disiplin yang demikian itu terlihat juga dalam pergaulan sehari-hari dengan masyarakat dimana beliau tinggal. Banda Aceh, 22 Februari 2017

150


Testimoni

Bijak Untuk Kepentingan Yang Lebih Besar Dr. Mawardi Ismail, S.H., M.Hum Dekan Fakultas Hukum Unsyiah Periode 2005-2009 | Tenaga Ahli Rektor Unsyiah Sebagai seorang akademisi, karir Abdi relatif sempurna. Menyandang gelar dan jabatan akademik tertinggi, Ph.D dan Profesor, serta sejumlah jabatan struktural, terakhir sebagai Rektor. Di lingkungan Unsyiah, tidak banyak akademisi yang menyandang gelar dan jabatan sepertinya. Fakta ini mempertegas Abdi sudah berhasil menjadi sosok intektual dan birokrat yang mumpuni. Saya mengenal Abdi sejak ia menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (sekarang Fakultas Kedokteran Hewan karena jurusan peternakan telah menjadi salah satu jurusan pada Fakultas Pertanian dan Abdi pun pindah ke Fakultas Pertanian). Kiprah Abdi di lingkungan Universitas Syiah Kuala menjadi lebih terasa ketika ia menjadi Dekan Fakultas Pertanian dan kemudian berlanjut sebagai Pembantu Rektor Bidang Akademik dan selanjutnya menjadi Rektor. Perkenalan dan juga pergaulan Saya dengan Abdi secara lebih intens terjadi ketika Saya menjadi Dekan Fakultas Hukum Unsyiah periode 2005-2009. Sedangkan Abdi pada waktu itu menjabat sebagai rektor. Secara struktural birokratis, hubungan kami sebagai bawahan dan atasan. Namun dalam perlakuan nyata hal tersebut seperti tidak terasa, bahkan nuansa hubungan kolegial lebih menonjol. Abdi menyadari melalui hubungan kolegial, misi kepemimpinannya menjadi lebih efektif. 151


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Hal yang paling menarik dari sosok Abdi adalah kebijakan dan ketegasannya. Ia mendahulukan kepentingan yang lebih besar. Misalnya, saat tindak lanjut dari MoU Helsinki, Pemerintah dan DPR RI membahas Rancangan UndangUndang Tentang Pemerintahan Aceh sejak awal tahun 2006. Draf awal RUUPA disiapkan oleh DPRD Aceh (waktu itu bernama DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Maka DPRD Aceh membentuk tim yang melakukan advokasi dan pengawalan terhadap pembahasan RUU tersebut di DPR RI. Pada bulan Juni tahun 2006 itu, saya mendampingi Tim DPRD Aceh sebagai Ketua Tim Tenaga Ahli dalam mengadvokasi dan mengawal pembahasan RUUPA di DPR RI. Ketika pembahasan memasuki tahap-tahap akhir (pembahasan hari itu berlangsung di Hotel Mulia), Saya pamit pada pimpinan Tim DPRD (Drs. Adriman Kimat) untuk kembali ke Banda Aceh, karena besoknya akan berlangsung Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) Unsyiah. Selaku Dekan, Saya harus hadir pada kegiatan tersebut. Waktu itu Saya sudah check out dari hotel dan sorenya rencana kembali ke Banda Aceh. Tetapi Adriman memintanya membatalkan rencana itu, karena pembahasan RUUPA memasuki tahap akhir dan kritis. Saya diminta untuk tetap mendampingi Tim DPRD Aceh. Saya bersikeras untuk pulang. Tiket pesawat Garuda pun sudah dipesan. Sementara Adriman ngotot supaya Saya tidak pulang. Tiba-tiba Adriman mengatakan, ”Ini ada yang mau bicara,” sambil menyodorkan ponselnya. Ternyata yang berbicara adalah Abdi. Tanpa banyak mukadimah, Abdi tegas mengatakan, “Pak Mawardi jangan pulang, tetap dampingi Tim DPRD karena ini untuk kepentingan Aceh.” Saya berusaha menjelaskan alasan mengapa harus pulang, sebab besoknya akan berlangsung UMPTN. 152


Testimoni

“Ya, untuk UMPTN itu tanggung jawab saya, Bapak cukup diwakili oleh Pembantu Dekan 1, keberadaan Bapak untuk pembahasan RUUPA lebih penting, dan ini penugasan dari Unsyiah,� terang Abdi lagi. Karena pesannya sangat jelas dan tegas, maka tidak ada pilihan bagi Saya waktu itu kecuali membatalkan rencana kepulangan ke Banda Aceh dan tetap mendamping Tim DPRD Aceh dalam rapat-rapat pembahasan RUUPA di Jakarta. Perintah Abdi ini memperlihatkan bahwa sebagai Rektor, Abdi tidak ragu mengambil keputusan yang mengutamakan kepentingan yang lebih besar. Walaupun kehadiran Dekan pada hari pelaksanaan UMPTN penting, tetapi Abdi lebih mendahulukan kepentingan yang lebih besar. Di sisi lain menunjukkan besarnya perhatian Abdi terhadap pembahasan RUUPA, yang kemudian disahkan pada 1 Agustus 2006 sebagai Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Bahkan 10 dari 14 Tenaga Ahli yang membantu DPRD Aceh dalam mempersiapkan draf awal dan mengawal pembahasan RUUPA berasal dari Unsyiah. Hal ini membuktikan Unsyiah berperan besar dalam pembahasan RUUPA. Saat menggelar rapat-rapat Tim Ahli Rektor (Abdi adalah Ketua Tim), suasana rapat menyenangkan. Tidak jarang isu-isu serius dibahas secara santai. Suasana santai bukan halangan untuk membahas persoalan yang serius. Keberadaan Abdi sebagai Ketua Tim Ahli Rektor Unsyiah sampai sekarang (padahal sudah lama memasuki era purna bakti) menegaskan purna bakti atau pensiun dari PNS, bukan halangan untuk mengabdi. 153


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Pak Abdi; Rektor, Atasan, dan Guru bagi Saya Mulyana, SE (Nana) Sekretaris Rektor Unsyiah (1999 – 2009) Mengawali dunia kerja dengan menjadi tenaga honorer pada bagian Warta Unsyiah adalah hal yang paling menggembirakan dalam hidup saya. Alhamdulillah tanpa harus menunggu lama setelah beberapa minggu menyelesaikan kuliah di Program Studi D-III Sekretari Unsyiah, saya diterima bekerja dan yang lebih mengesankan lagi adalah saya bekerja di kampus jantoeng hate rakyat Aceh. Impian yang selama ini banyak didambakan oleh para lulusan. Warta Unsyiah yang kala itu dibawah binaan Bapak Yarmen Dinamika selaku pemimpin redaksi menjadi bagian dalam kehidupan kerja saya selama 6 bulan, karena setelah itu saya diperbantukan di Ruang Sekretaris Rektor. Kala itu, Rektor Unsyiah dijabat oleh Prof. Dr. Dayan Dawood, MA. Menjadi bagian terpenting di Rektorat Unsyiah bukanlah tanpa perjuangan. Seorang sekretaris Rektor dituntut untuk memiliki kepribadian yang baik, etika yang baik karena harus meninggalkan kesan yang baik bagi siapapun, dapat beradaptasi dengan siapapun, punya wawasan yang tinggi dan up to date, mengerti teknologi dan banyak lagi yang lainnya. Beruntungnya saya membekali diri dengan beberapa kriteria tersebut yang saya dapat dari kampus. Prinsip saya “practice by learning� sangatlah tepat jika dikaitkan dengan dunia kerja yang saya tekuni, karena pada posisi ini saya juga belajar bagaimana beradaptasi dengan lingkungan dan manusia dengan berbagai karakter. Menjadi sekretaris Rektor adalah bagian terpenting 154


Testimoni

dalam hidup saya karena atasan saya, Dayan Dawood adalah seorang atasan dan juga guru bagi saya. Saya belajar banyak hal dari beliau tentang dunia kerja dan lain-lain sampai akhirnya pada tahun 2000 saya diangkat menjadi PNS. Namun keadaan ini tidak berlangsung lama karena ternyata Allah Swt berkehendak lain. Tak lama kemudian, Prof. Dr. Dayan Dawood, MA tewas ditembak. Sore itu ketika beliau meninggalkan kantor setelah selesai pertemuan dengan tamu dari negara asing, beliau sempat berpamitan pada saya dan seorang teman saya yang juga sekretaris beliau. Namun tanpa diduga kira-kira sekitar 7 menit kemudian saya mengangkat telpon yang berdering dan mendengar suara sopir beliau mengatakan bahwa Bapak sekarang ada di RSUZA. Dan ternyata hari itu adalah pertemuan terakhir dengan Prof. Dr. Dayan Dawood, MA. Beberapa bulan kepergian beliau, jabatan Rektor Unsyiah dijabat oleh Prof. Dr. Ir. Abdi A. Wahab, M. Sc yang pada masa itu adalah Pembantu Rektor Bidang Akademik. Sampai akhirnya beliau dilantik menjadi Rektor Unsyiah Periode 2002-2006. Dan dimasa kepemimpinan beliau saya juga masih dipercayakan sebagai Sekretaris Rektor bersama dengan seorang teman saya. Seorang Prof. Dr. Ir. Abdi A. Wahab, M. Sc bagi saya bukan hanya seorang pimpinan namun sudah menjadi orangtua bagi saya. Dari beliau saya belajar banyak hal tentang kehidupan. Meskipun beliau orang nomor 1 di kampus tercinta ini, namun beliau adalah sosok yang jauh dari kesan sombong. Beliau memiliki banyak teman dimana-mana. Beliau pemimpin yang mudah ditemui oleh siapapun dan senang diajak berdiskusi. Siapa saja yang datang ke kantor untuk menemui beliau asalkan jelas identitasnya pasti beliau temui. 155


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Satu hal yang sampai saat ini masih saya kagumi dari beliau adalah keahliannya membaca cepat. Mungkin membaca sebuah buku dalam hitungan menit dapat terselesaikan. Bahkan dalam mengoreksi surat, ketika ada yang salah dengan cepat beliau menemukannya. Hal lain dalam diri beliau adalah ketegasannya. Beliau sangat taat terhadap peraturan, ketika suatu hal bertentangan dengan aturan, serta merta beliau minta dikembalikan ke aturan yang ada. Disinilah letak ketegasan beliau yang terkadang banyak orang menyalahartikan dengan kekakuan, sebenarnya bukan kaku tapi taat aturan. Beliau juga sangat tegas dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh siapapun. Ketika seseorang melakukan kesalahan, beliau tidak langsung menerima argumen dari oranglain tapi langsung memanggil yang bersangkutan untuk mendengar langsung apa yang sebenarnya terjadi. Dan ini saya pikir adalah sifat yang patut kita kagumi karena selama ini banyak terjadi seseorang harus menerima keputusan sepihak tanpa melibatkan yang bersangkutan dalam pengambilan keputusan. Cara beliau berpikir juga selalu up to date dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Saya belajar banyak hal dari beliau, tidak hanya tentang dunia kerja tapi juga tentang kehidupan. Bagi saya beliau adalah guru bagi saya. Alhamdulillah sampai saat inipun saya masih terus berkomunikasi dengan beliau dan keluarganya. Banda Aceh, Agustus 2017

156


Testimoni

Abdi A. Wahab, Pemimpin Yang Mau Mendengar dr. Istanul Badiri, MS, Sp.PA Dekan Fakultas Kedokteran tahun 2000-2004 Pak Abdi merupakan orang kooperatif. Beliau menguasai berbagai persoalan di tingkat fakultas. Bahkan ketika kita menyampaikan persoalan fakultas, beliau mampu memberikan umpan bali. Pada masa kepemimpinannya, Unsyiah melakukan berbagai terobosan baru meskipun di tengah kemelut konflik. Seharusnya, orang-orang Unsyiah yang pernah berprestasi memajukan kampus di masa konflik memperoleh penghargaan dari pemerintah. Pak Abdi juga tidak segan-segan mengkritik bawahannya. Ia orang yang berjalan di atas aturan, tidak pilih kasih. Beliau tidak suka memanfaatkan jabatannya pada masa menjadi Rektor Unsyiah untuk kepentingan pribadi. Ia adalah sosok yang sangat jujur, bukan tipe orang yang ingin terima uang untuk bantu-bantu dalam artian negatif, misalkan meluluskan seseorang ketika ingin masuk ke Unsyiah. Mereka wajib mengikuti tes kalau ingin menjadi mahasiswa Unsyiah. Gaya kepemimpinan beliau bagus, supel. Saya tidak tahu, belum pernah melihat beliau marah berapi-api. Tapi saya pikir beliau tidak akan marah seperti itu. Hidupnya sederhana. Sekali-lagi, menurut saya, Pemerintah RI harus memberikan penghargaan kepada Pak Abdi A Wahab atas kiprahnya selama menjabat Rektor Unsyiah. Beliau mampu berkarya di tengah kemelut konflik yang melanda Aceh. Setidaknya penghargaan dalam bentuk plakat, atau piagam. Bila perlu Pemerintah Daerah mengusulkannya kepada Pemer157


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

intah RI. Selain di kampus pihak-pihak lain, seperti keuchik yang berprestasi selama masa konflik turut memperoleh penghargaan. Untuk berprestasi di tengah konflik tidak akan mudah dibandingkan dengan masa damai sekarang.

158


Testimoni

Cerita ‘DNA Serius’ Abdi A Wahab Prof. Dr. Ir. Ahmad Humam Hamid, M.A. Saya mulai mengenal Abdi A Wahab tidak melalui pertemuan fisik. Saya hanya mendengar dari cerita temantemannya tentang seorang mahasiswa tekun kesayangan Prof. Abdullah Ali, mantan Rektor Universitas Syiah Kuala. Saya mendengar cerita tentang sosok yang cerdas dan rajin, anak seorang pemimpin dan tokoh dari tanah Gayo yang mengambil kuliah jurusan peternakan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Informasi itu saya dapatkan dari teman-teman Pak Abdi yang kebetulan menjadi senior dan juga kolega saya sebagai pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala. Dari cerita teman-temannya, saya merasakan ada rasa kagum dan respek dari mereka. Tidak hanya itu, sebagian kecil teman Abdi juga bercerita dengan nada “cemburu”, tentang Abdi yang sedang kuliah di Universitas Kentucky, Amerika Serikat, yang setelah tamat S2 langsung melanjutkan kuliah Doktoralnya. Kecemburuan itu sesungguhnya beralasan, karena nyaris tidak ada seorang pun dari kolega angkatan Abdi dari jurusan peternakan yang mampu menembus sekolah ke luar negeri pada masa itu, kecuali beberapa seniornya yang memang punya kemampuan istimewa. Ketika saya memutuskan pilihan untuk mengajar di Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, maka mencari “role model” dosen ideal adalah sesuatu yang sangat saya cari. Saya selalu mencari tahu tentang cerita sukses Ibrahim Hasan, Abdullah Ali, M. Nazir, Ali Basyah Amin, dan be159


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

berapa dosen lain yang barangkali dapat memberi inspirasi kepada saya dalam meniti karier kelak. Kesimpulan pengamatan saya hanya satu. Semua mereka memang pandai dan cerdas dalam bidangnya, dan yang paling penting, mereka sangat tekun dalam meniti jenjang kariernya. Hal itu pula yang mulai membuat saya respek kepada Abdi A Wahab. Bayangkan saja pada masa itu, nyaris tak ada staf lain dari angkatan Abdi di jurusan peternakan dan FKHP yang sekolah ke Amerika. Di lingkungan Universitas Syiah Kuala pun, tidak habis satu jari tangan menghitung mereka yang sekolah ke Universitas Kentucky. Dari cerita teman-temannya, saya mulai ingin tahu lebih banyak tentang Abdi. Diam-diam saya mulai menempatkan Abdi dalam barisan “role model� kelompok pemberi inspirasi. Saya mulai membuat kesimpulan awal “pasti Abdi A Wahab orangnya pandai, cerdas, fokus, dan pekerja keras.� Ia bekerja dengan tekun dan sangat hati-hati. Siapapun yang memimpin Universitas besar di Aceh pada masa itu, terutama Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry pastilah seperti menjadi kapten kapal di tengah badai Samudra yang ganas. Situasi konflik Aceh pada masa itu mempunyai logikalogika tertentu yang tidak akan pernah berlaku pada masamasa normal. Tidak dapat dipungkiri kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk memimpin Universitas bagi Abdi adalah sebuah amanah yang mesti dipegang teguh olehnya. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa kampus Unsyiah adalah symbol paku besar nasional yang mengikat rakyat Aceh dengan Republik. Di sisi lain, suasana pemisahan diri oleh Gerakan Aceh Merdeka di dalam situasi musim semi demokrasi nasional yang tengah mekar memberi ruang 160


Testimoni

kepada mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi mereka, dan bukan tidak mungkin pula, akan selalu ada peluang untuk kelompok yang ingin menumpang. Dengan segala kelemahan dan kelebihannya, Abdi akhirnya mampu berjuang membawa Unsyiah selamat dalam kemelut konflik terparah dalam fase Aceh modern. Ia menjadi seperti orang yang berenang dalam gelombang besar di antara karang-karang tajam, namun akhirnya ia sampai ke tepian. Saya menjadi intens berhubungan dengan Abdi ketika kami bersama sama menjadi anggota Dewan pengarah Badan Rehabilitasi dan dan Rekonstruksi Aceh, sebuah lembaga yang bentuk oleh Presiden Republik Indonesia untuk menangani pembangunan kembali Aceh setelah dilanda gempa dan tsunami. Ia sancta dalam pertemuan rutin bulanan Dewan Pengarah BRR yang dipimpin oleh Menkopolhukam RI. Evaluasi kritis dana gagasan-gagasan strategis sering disampaikannya sebagai masukan yang kemudian di sampaikan oleh Dewan Pengarah kepada Pelaksana BRR. Di masa pensiunnya kini, Abdi diminta oleh Rektor Samsul Rizal untuk menjadi ketua Tim penasihat Rektor bersama-sama dengan Profesor Darwis, Profesor Sayed Muhammad, Mawardi Ismail, dan saya. Saya dan Mawardi menyebut Tim ini sebagai tim inkonstitusi, karena memang tidak ada nomenklaturnya dalam struktur managemen universitas. Tidak hanya rapat rutin yang diadakan, tidak jarang ada rapat-rapat ekstra yang diprakarsai oleh Abdi tentang keadaan terakhir Universitas. Apakah ini kebutuhan ataukah kreativitas Rektor Samsul Rizal, yang pasti Abdi tetap cukup serius dan sungguh-sungguh, karena barangkali memang itulah DNA yang dimilikinya. 161



GALERI FOTO



BERSAMA KELUARGA


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Abdi bersama keluarga besarnya berfoto bersama saat lebaran Idul Fitri di depan Pendopo Kota Takengon.

Abdi bersanding dengan Suharni di pelaminan saat intat linto di rumah Aceh Selatan dengan pakaian adat Aceh, 30 Januari 1976. 166


Galeri Foto Bersama Keluarga

Malam resepsi pernikahan Abdi dan Suharni saat pesta pernikahan mereka di Tapaktuan, Aceh Selatan. 167


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Sri Kala (ibunda Abdi) berfoto bersama Abdi dan Suharni di rumah Paya Tumpi.

Berdua dengan Suharni menaiki kereta cepat (Shinkansen) di Kobe, Jepang. 168


Galeri Foto Bersama Keluarga

Abdi berpose dengan istrinya Suharni di Jembatan Pont Alexandre III, Paris.

Abdi berkumpul bersama keluarganya di rumah Paya Tumpi, Februari 1998. 169


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Abdi terlihat harmonis dengan Suharni ketika ulang tahun anak ke-3 (Ivian) pada tahun 1998. 170


Galeri Foto Bersama Keluarga

Abdi dan Suharni memakai baju adat Aceh dalam menyambut Pekan Kebudayaan Aceh yang juga berdekatan dengan datangnya Presiden RI ke Unsyiah tahun 2003.

Saat Abdi me-wisuda sarjana anak pertamanya, Ian Rizkian pada tahun 2002. 171


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Abdi me-wisuda anak keduanya, Sri Dianova menjadi Sarjana Kedokteran pada tahun 2006.

Abdi ketika mengucap ijab kabul dalam pernikahan anak keduanya Sri Dianova dengan Hendra, Jumat 24 Desember 2004 di Masjid Raya Baiturrahman. 172


Galeri Foto Bersama Keluarga

Abdi dan Suharni berfoto bersama dengan Sri dan Hendra yang baru saja melangsungkan pernikahan, Jumat 24 Desember 2004 di Masjid Raya Baiturrahman.

Ketika pulang dari Takengon, Abdi dan Suharni menyempatkan berpose di samping mobilnya dengan latar belakang tebing Cot Panglima, Kab. Bireuen pada tahun 2017. 173


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Abdi saat berada di depan Ka’bah, Mekkah, ketika melaksanakan ibadah umrah tahun 2010.

Suharni saat berada di depan Ka’bah, Mekkah, ketika melaksanakan ibadah umrah tahun 2010. 174


Galeri Foto Bersama Keluarga

Abdi dan Suharni melakukan foto selfie ketika menjalani umrah tahun 2010.

Abdi bersama Suharni tampak harmonis dengan latar belakang tebing Cot Panglima, Kab. Bireuen tahun 2017. 175


Senyum Abdi dan Suharni bersama anak-anak, menantu, dan cucu-cucunya saat ini.

Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

176


ASA DALAM PENDIDIKAN


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Abdi sangat dekat dengan dosen, Abdi (berdiri, ke-2 dari kanan) dengan kacamata hitamnya bergaya serupa drh. Noerjanto Wignjosusastro (samping kanannya, Dosen Pembimbingnya pada saat itu) di pelabuhan Bintang, Takengon.

Saat Abdi dan teman satu kuliahnya beristirahat saat praktik lapangan di Saree, Aceh Besar. 178


Galeri Foto Asa Dalam Pendidikan

Abdi berfoto bersama teman satu jurusan saat masih menjadi mahasiswa FKHP.

Abdi berfoto bersama teman-teman satu kelas sesaat sebelum pergi praktik lapangan ke Saree, Aceh Besar. 179


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Abdi ketika berkunjung ke Cooperstown, 746.3 mil dari tempat tinggalnya di Lexington.

Abdi menikmati pemandangan di air terjun Niagara, perbatasan Ontario, Canada dan New York, Amerika Serikat. Ia kesini dengan menyewa mobil bersama teman-temannya dari Lexington. 180


Galeri Foto Asa Dalam Pendidikan

Abdi mengambil Summer Course tenis sebagai mata kuliah pilihan saat di University of Kentucky ketika libur musim panas.

Abdi beristirahat di depan kampus University of Kentucky sambil menikmati minuman ringan. 181


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Abdi tampak menikmati menonton pertandingan bola (tidak tampak dalam frame) di sekitar kampusnya.

Apel yang tumbuh di kebun kampusnya di University of Kentucky membuat Abdi takjub. 182


Galeri Foto Asa Dalam Pendidikan

Berpose disamping tugu James Kennedy Patterson selepas upacara wisuda PhD-nya. 183



TAPAK TILAS DI UNSYIAH


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Abdi sebagai dosen muda berbaur dengan dosen yang lebih senior di Lab. Osteologi Unsyiah.

Foto bersama staf Unsyiah ketika Abdi sudah menjadi dosen dan staff di Unsyiah. 186


Galeri Foto Tapak Tilas Di Unsyiah

Abdi berpose bersama Penguasa Darurat Militer Daerah Mayor Jenderal Endang Suwaryo, Presiden Megawati Soekarnoputri, dan Gubernur Aceh Abdullah Puteh (ki-ka) usai peresmian tujuh proyek pembangunan di Aceh tahun 2004.

Presiden Megawati Soekarnoputri disambut oleh Abdi yang menjabat sebagai Rektor Unsyiah kala itu dan Gubernur Aceh Abdullah Puteh saat tiba di kampus Unsyiah. 187


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Presiden Megawati Soekarnoputri disambut oleh Abdi yang menjabat sebagai Rektor Unsyiah kala itu dan Gubernur Aceh Abdullah Puteh saat tiba di kampus Unsyiah.

Pertemuan dengan Rektor Kobe University dalam membahas kelanjutan kerjasamanya dengan Unsyiah. 188


Galeri Foto Tapak Tilas Di Unsyiah

Pertemuan dengan Ketua BRR dan BAPPEDA Aceh dalam rangka membicarakan pembangunan Aceh pascatsunami.

Prof. Abdi menjadi pembicara di Lokakarya Managing Successful University yang bertempat di Kota Batu, Jawa Timur pada bulan Juli tahun 2005. 189


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Malik Fadjar, Menteri Pendidikan Nasional memberikan selamat kepada Abdi saat dilantik menjadi Rektor Universitas Syiah Kuala periode 2002-2006 di Gedung Dikti, Jakarta, tahun 2002.

Prof. Abdi duduk satu meja dengan Menteri Pendidikan dan KeÂŹbudayaan Indonesia, Muhammad Nuh saat pelantikan Pj. Rektor Unsyiah yang bertempat di Jakarta tahun 2012. 190


Galeri Foto Tapak Tilas Di Unsyiah

Suasana coffee break ketika pelantikan Pj. Rektor Unsyiah tahun 2012. Prof. Abdi tampak sedang mengobrol satu meja dengan Prof. Dr. Zulkifli Husin, Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, dan Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud (ki-ka), dan yang berdiri dibelakangnya Prof. Abubakar Hamzah, Prof. Raja Masbar, Mohd. Daud Yoesoef, Mulyadi Adam, Prof. Husni Jalil (ki-ka).

Prof. Abdi berpose bersama Mantan Gubernur Aceh Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud, Dekan Fakultas Hukum Mohd. Daud Yoesoef , S.H, M.H, dan Dosen Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Yuswar Yunus, MS (ki-ka) ketika pelantikan Pj. Rektor Unsyiah di Jakarta tahun 2012. 191


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Mendapat penghargaan khusus dari Rektor Unsyiah pada acara “The 10th Aceh International Workshop and Expo on Sustainable Tsunami Disaster Recovery – AIWEST-DR 2016” Banda Aceh, 22 November 2016 bersama Prof. Dr. Yasuo Tanaka dan Soesmarjanto.

Abdi dijamu oleh Nasaruddin, Bupati Aceh Tengah kala itu, dalam rangkaian menghadiri Musrenbang Kab. Aceh Tengah tahun 2012-2017. 192


Galeri Foto Tapak Tilas Di Unsyiah

Abdi menikmati jamuan kopi arabika oleh Bappeda Aceh Tengah di Oro Coffee, Takengon, tahun 2013.

Berfoto bersama Prof. Aliyasa. (dua dari kiri) dan staf Bappeda Aceh Tengah saat Musrenbang RPJM Kab. Aceh Tengah tahun 2012-2017. 193


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era “KOBE UNIVERSITY JALIN KERJASAMA AKADEMIK DENGAN UNIVERSITAS DI INDONESIA MELALUI PENGALAMAN BENCANA TSUNAMI” -Motivasi untuk Penelitian Mitigasi BencanaDalam rangka pemulihan pasca bencana, Kobe University bekerjasama dengan Universitas Syiah Kuala, Aceh melalui program penerimaan mahasiswa asing. Rektor Universitas Syiah Kuala, Dr. Abdi A. Wahab beserta dengan tiga orang staffnya mengunjungi Kobe untuk pertama kalinya. Pada kunjungannya, rombongan mempersembahkan bunga di monumen peringatan untuk para mahasiswa yang meninggal akibat bencana gempa bumi Awaji. Melalui prosesi ini, kedua universitas sepakat untuk berusaha mengembangkan penelitian di bidang mitigasi bencana. 1,420 orang mahasiswa serta 110 orang tenaga pengajar Universitas Syiah Kuala meninggal pada bencana tsunami tahun 2004 silam. Selain itu, universitas ini juga banyak kehilangan alatalat penelitian.

Kliping koran, Monumen Peringatan Para Mahasiswa yang meninggal akibat gempa bumi Awaji di Kobe Terjemahan oleh Shabrina Hazimai, Graduate student, Tokyo University of Foreign Studies (The Indonesian translator of Global Risk Solutions Center, Osaka University) Bantuan komunikasi dengan bu Shabrina oleh Professor Stefano Toshiya Tsukamoto (Doctoral Program for Multicultural Innovation, Institute for Academic Initiative, Osaka University)

Meski kemudian mendapatkan bantuan alatalat penelitian dari Jepang dan negara lainnya, Universitas Syiah Kuala masih harus menghadapi masalah serius terkait kekurangan tenaga pengajar. Mustafa (37), dosen Universitas Syiah Kuala yang pernah mengenyam pendidikan di Kobe University sampai dengan tahun 2004 juga meninggal dunia dalam bencana tersebut. Universitas Syiah Kuala meminta bantuan terkait pelatihan untuk para calon tenaga pengajar baru. Pada bulan Agustus tahun 2005, kerjasama kedua universitas telah resmi terjalin. Mulai bulan Oktober, 3 orang mahasiswa pascasarjana Universitas Syiah Kuala dikirim belajar ke Kobe University selama 3 tahun. Melalui program ini kerjasama penelitian kedua universitas diharapkan dapat terus berlanjut. “Para mahasiswa tidak hanya mengalami persoalan di sisi pendidikan saja, tetapi juga dari sisi psikis. Bersamaan dengan kerjasama penelitian mitigasi bencana ini, kami juga harus melibatkan langkah-langkah penanganan psikis majasiswa dengan berkaca dari pengalaman Kobe University” ujar Dr. Abdi A. Wahab. Dekan Fakultas Teknik Kobe University menyatakan, “dengan terciptanya kerjasama antara dua universitas yang sama-sama pernah mengalami bencana, saya juga ingin melibatkan dukungan internasional antara kedua belah pihak.”

Rektor Universitas Syiah Kuala, Dr. Abdi A. Wahab mengunjungi Kobe University di Kobe, Jepang. 194


GOLF, SAHABAT, DAN KOLEGA


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Abdi yang hobi bermain golf sedang melakukan pukulan tee box saat Tournament Golf PANGDAM CUP I tanggal 22 Juni 2014. 196


Galeri Foto Golf, Sahabat, dan Kolega

Bersama Mahdi, Adnan Ganto, dan Sofyan yang tergabung dari Arun Gold Club Jakarta saat bermain golf ke Kunming, Cina.

Abdi dan teman-teman satu hobinya ketika mengikuti turnamen golf di Merapi Golf Yogyakarta & Borobudur Golf Course Magelang tanggal 12-13 September 2017. 197


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Berpose bersama rektor UNHAS, UNJ, dan UI (ki-ka) ketika UNJ Golf Tournament di Imperial Golf Klub, Lippo Karawaci Tangerang tahun 2005. 198


Galeri Foto Golf, Sahabat, dan Kolega

Abdi berpose ketika usai bermain golf bersama di Sentul Highlands Golf Club, Sentul, Bogor, pada 1 Maret 2010. 199


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Abdi berpose bersama teman-temannya dari Jeumpa Golf Club di Medan pada tahun tanggal 11 Maret 2005.

Abdi bersama dosen dan staf Unsyiah usai bermain tenis di lapangan tenis Unsyiah. 200


Galeri Foto Golf, Sahabat, dan Kolega

Hole in one di Bukit Barisan Country Club, Tuntungan Medan, 26 September 2004 201


Abdi A Wahab Pemimpin Di Dua Era

Setelah mengikuti Indonesia Senior Amateur Open Golf Championship Tournament pada bulan November 2014.

Hole in one di Klub Golf Bogor Raya, Bogor, 21 Mei 2011. 202



RIWAYAT SINGKAT EDITOR

J

eliteng Pribadi adalah mantan Pembantu Dekan Bidang Kerjasama Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unsyiah (2013-2017). Lahir di Medan pada 9 Oktober 1971. Anak dari pasangan Sugono Ahmad Sayuti dan Rosida ini tadinya ingin menjadi pengusaha seperti ayahnya. Untuk itu, ia memilih kuliah di Jurusan Manajemen FEB Unsyiah pada tahun 1990. Namun, takdir Allah Swt menuntun ia menjadi dosen di almamaternya sejak Maret 1999 hingga sekarang. Gelar S2 Manajemen diraih­ nya dari Program MM Unsyiah tahun 2000 atas beasiswa Karyasiswa Dikti-Bank Dunia. Gelar S2 Kebijakan Publik diperolehnya dari Andrew Young School of Public Policy Study, Georgia State University, Atlanta, USA tahun 2002 atas beasiswa USAID Jakarta. Jeliteng menikah dengan Nur Elvi Sarah, SE.Ak pada 3 September 2000 dan dikaruniai tiga orang anak, Rahmi Atika Sarah (16), Ahmad Haris (14), dan Ahmad Zaky (7). Saat kuliah, ia pernah menjadi Pemimpin Umum majalah mahasiswa Perspektif tahun 1993-1995. Ia juga pernah memimpin penerbitan Aceh Magazine (2006) untuk mendukung pembangunan tsunami dan perdamaian di Aceh atas dukungan USAID. Sejak tahun 2011 hingga kini, ia menjadi koordinator penerbitan Buletin Aceh Economic Review terbitan Biro Perekonomian Setda Aceh. Selama masa rekonstruksi Aceh (2005 - 2010), ia turut membantu melakukan penelitian dan menyusun laporan kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh untuk beberapa lembaga donor sepeti USAID, The World Bank, BRR NAD-Nias, UNDP, UNFAO, AUSAID, IOM. dan Save the Children. Sebelumnya, ia sempat menulis Buku 49 tahun Fekon Unsyiah Mewarnai Aceh pada tahun 2009. Buku ini kemudian diperbaharui kembali pada tahun 2015 untuk menyambut 55 Tahun FEB Unsyiah dengan judul Fajar Menyingsing di Tanah Aceh. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan PhD atas beasiswa dari I-Shou University, Kaohsiung, Taiwan.




Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.