4 minute read

Resensi Film

Next Article
Puisi

Puisi

- UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA -

Little Women (2019) : Perempuan Juga Punya Pilihan.

Advertisement

Little Women merupakan sebuah film yang diangkat dari novel karya Louisa May Alcott yang diterbitkan pada tahun 1868. Novel ini merupakan novel Alcott yang paling laris di antara novel-novel yang lainnya. Little Women sendiri sebelumnya sudah pernah diangkat menjadi film pada tahun 1994, sampai akhirnya dibuat ulang pada tahun 2019 dengan Greta Gerwig sebagai sutradara. Alasan Gerwig ingin membuat ulang film ini karena ia ingin memberikan sesuatu yang berbeda dari film sebelumnya. Film ini menceritakan tentang kisah March bersaudara, Meg (Emma Watson),

Jo (Saoirse Ronan), Beth (Eliza Scanlen), dan Amy (Florence Pugh). Mereka hidup bersama ibu mereka, Marmee (Laura Dem). Sementara itu, ayah mereka sedang bertempur di medan perang. Keluarga March menjalin hubungan baik dengan tetangga mereka, Mr. Lawrence seorang lansia kaya dengan satu cucu, Laurie (Timothèe Chalamet) yang menjadi teman baik empat saudari ini.

Empat saudari yang hidup bersama dengan kepribadian unik dengan mimpi yang berbeda. Meg si sulung yang lembut tapi tegas suka berakting dan bercita-cita menjadi aktris, Jo yang berambisi dan idealis dan bermimpi menjadi seorang penulis terkenal, Beth si pemalu dan suka bermain piano, dan Amy si bungsu cerewet yang bermimpi menjadi seorang pelukis. Film ini menceritakan seluk-beluk kehidupan mereka hingga perjuangan menggapai mimpi sebagai perempuan pada abad ke-18.

Ketika telah menginjak usia dewasa, si sulung Meg memutuskan untuk menikah. Setelah Meg menikah, lambat laun kebersamaan mereka mulai berkurang. Amy berhasil bekerja sebagai seorang seniman dan menjalin hubungan romansa dengan seorang laki-laki kaya, Beth didiagnosis mengidap demam berdarah hingga ia harus terbaring di rumah sepanjang hari, dan Jo yang sibuk mengejar karier kepenulisannya di New York jauh dari keluarganya.

Bertahun-tahun menjalin persahabatan. Muncul perasaan antara Laurie dan Jo. Akan tetapi, hingga mereka

berdua dewasa Jo merasa masih belum mau menikah dan selalu berpikiran bahwa ia tidak akan pernah menikah. Jo lebih memilih untuk lebih fokus terhadap kariernya sebagai penulis dan menganggap bahwa perempuan tetap bisa sukses tanpa harus menikah. Hingga suatu hari, Laurie melamar Jo dan Jo menolaknya. Tentu saja hal ini menjadi sesuatu yang tabu pada abad 18, zaman saat pencapaian tertinggi perempuan adalah menikah dan berkeluarga.

Film ini menerapkan alur bolak-balik, bagian awal yang menceritakan bagaimana kehidupan Jo sebagai perempuan dewasa yang idealis, setelah itu kita akan dibawa ke masa kecil Jo dan ketiga saudarinya. Perbedaan warna tone dan style yang berbeda dari kedua timeline membuat penonton tidak akan merasa bingung tentang perbedaan waktu di tiap adegan.

Little Women sendiri merupakan contoh nyata dari perjuangan feminisme. Saat itu perempuan masih tabu untuk menyuarakan pendapat, memotong rambut, apalagi memutuskan untuk tidak menikah. Saat itu, perempuan hanya dianggap ‘sukses’ jika telah menjadi seorang istri dan ibu. Seolah-olah perempuan tidak mempunyai ambisi lain selain menikah dan berkeluarga. Little Women benar-benar menekankan isu ketimpangan antara laki-laki dan perempuan.

Sutradara film ini, Greta Gerwig benar-benar memasukkan pesan bahwa perempuan juga punya pilihan dalam menentukan kehidupannya sendiri. Perempuan tidak harus menikah untuk membuktikan bahwa dirinya berhasil dalam kehidupan. Seperti yang Jo katakan kepada ibunya,

“Women have minds and they have souls as well as just hearts. They’ve got ambition and they’ve got talents as well as just beauty. I am so sick of people saying that love is just all a woman fit for. I’m so sick of it!” – Jo March

Film ini juga menunjukkan bahwa konflik yang dialami oleh para tokoh tidak berbeda jauh dengan perempuan masa kini. Di mana perempuan masih harus selalu memilih. Harus memilih antara karier atau keluarga. Padahal keduanya bisa dijalani secara bersamaan. Bahkan, perempuan yang lebih memilih untuk berkarier dan tidak mau menikah masih mendapat stigma negatif dari beberapa kalangan. Belum lagi jika sudah berkeluarga perempuan masih saja dituntut untuk bersikap lembut, selalu terlihat cantik, harus selalu ‘menjaga’ nama baik keluarga, dan lain-lain. Seolah-olah perempuan dilahirkan hanya untuk ‘mengabdi’ kepada suami dan keluarga.

“I’m just a woman. And as a woman there’s no way for me to make my own money, not enough to earn a living or to support my family. And if I had my own money, which I don’t, that money would belong to my husband the moment we got married. And if we had children, they would be his not mine. They would be his property. So, don’t sit there and tell me that marriage isn’t an economic proposition, because it is. It may not be for you but it most certainly is for me” – Amy March

Dialog di atas merupakan dialog yang diucapkan si bungsu Amy kepada Laurie. Secara tersirat ia mengungkapkan bahwa perempuan yang sudah menikah harus selalu ‘mengabdi’ kepada keluarga. Semua yang ia punya akan menjadi milik ‘keluarga’. Dan Amy menganggap bahwa pernikahan merupakan strategi ekonomi. Hal ini sejalan stigma masyarakat terhadap perempuan. Perempuan tidak punya pilihan selain menikah dan ‘mengabdi’.

Little Women jelas mengangkat isu kesetaraan gender di dalamnya. Setiap individu berhak atas pilihan hidupnya tanpa dipaksa orang lain. Jo March dan ketiga saudarinya merepresentasikan arti dari individu yang merdeka. Bebas memilih apa yang dicita-citakan, bebas memilih jalan mana yang ingin ditempuh.

Karena perempuan juga punya hak untuk memilih. Jika memilih jalan seperti Jo yang memutuskan untuk tidak menikah, bukan berati tidak laku, jual mahal, ataupun sombong. Keputusan yang diambil Jo hanyalah contoh nyata bahwa perempuan sebagai individu yang merdeka dapat memilih apa yang terbaik menurut dirinya. Jika memilih jalan seperti Meg yang memutuskan untuk menikah atas dasar cinta, bukan berati ia tidak bisa berdiri di atas kaki sendiri, tetapi sebagai media untuk membagikan perasaan manusiawi.

Penulis: Varda Aqeela Alaia Editor: Ihsan Dwirahman

This article is from: