
3 minute read
“Tigapagi” Dan Ingatan-Ingatan Lain
Malam yang cukup temaram, di sebuah taman yang di sulap menjadi panggung pertunjukan. Akhirnya saya menyaksikan Tigapagi secara langsung. Diluar ekspektasi, ternyata bulu kuduk saya lebih merinding ketimbang mendengarkan lagunya di dalam CD ataupun di pelbagai platform digital.
Advertisement
Malam itu (4 November), panggung setinggi lutut kaki tidak banyak binar cahaya lampu. Disepanjang lagu hanya lampu merah yang menyorot dengan latar panggung bertulis TIGAPAGI yang muncul dari infocus. Warna hijau, biru, ungu dan kuning hanya beberapa kali nampak, seperti sebuah transisi untuk kembali ke lampu merah yang panjang. Tidak perlu waktu lama untuk saya memutuskan duduk di saf paling depan, diantara kerumanan penonton yang duduk sama rendah. Khusuk melapalkan lirik dan mendengarkan petikan gitar akustik dengan ritme pantatonik musik sunda yang dimainkan oleh Sigit Agung Pramudita, Prima Dian Febrianto dan Eko Sakti Oktavianto.
Lagu-lagu di album Roekmana’s Repertoire hampir setengahnya dibawakan. Lagu “S(m)unda” menjadi pembuka narasi sejarah yang dilagukan oleh Tigapagi malam itu. “satu persatu hilang dari hidupku, seiring waktu. Satu persatu tiada lagi beranjak pasti, menghantuiku…”. Bayang-bayang sanak keluarga yang hilang dan rasa takut berlebih
79
menjelang malam mungkin lazim dirasakan setelah September 65. Seperti didalam cerpen Candik Ala karya GM Sudarta. Menjelang malam adalah sebuah kengerian, orang-orang diburu tanpa surat dan perintah yang jelas, semua orang dicurigai “….bagaikan sang waktu membenciku, pisahkan aku dari batinku. Seakan masa lalu yang tak pernah punya hati, lalu kita lupakan kenangan biarkan semua ditelan waktu”
Kemudian lagu Alang-alang berturur mengikuti. Saya hanya tercenung, Tigapagi mempertegas kenyataan yang terjadi“…. anak ku yang hilang tak kembali” Sekali-kali saya ikut bernyanyi pelan, sambil dada agak tersedak oleh lirik lagu yang begitu sakit itu. Seketika saya ingat film “Senyap” bagaimana seorang ibu merindukan anaknya yang hilang tanpa kabar, sepotong angan seorang ibu telah direnggut oleh kebiadaban persepsi kabur dan dendam kesumat.
Suasana sendu kembali tergaris di lagu “Tangan Hampa Kaki Telanjang” kepala saya dibenturkan pada harapan-harapan yang fana.
Setelah Sigit sedikit bercakap dan memperkenalkan satu persatu personil yang cukup mengejutkan ternyata Sigit keturunan Garut-
‘…urang ge orang garut, orang Samarang’ sambil sedikit terkekeh.
Lalu suara petikan gitar yang dituntun oleh Eko pun bersambut. Suasana magis nan melankolis pun kembali hadir lewat lagu “Batu Tua”. Setelah penonton di hipnotis dengan intro, akhirnya sebagian dari mereka ikut bernyanyi. “Hei Batu Tua. jangan pernah mengukir mimpi menjadi seindah, seelok permata”, lagu ini seperti sebuah keyakinan yang membatu, meskipun waktu terus bergerak dan berubah agaknya bentuk utuh kita tetaplah akan sama dan memang harus tetap sama. Seketika saya teringat dengan penggalan syair Chairil Anwar “Ada yang berubah, ada yang bertahan. Karena zaman tak bisa dilawan. Yang pasti kepercayaan harus diperjuangkan”.
Usai “Batu Tua”, Sigit kembali bicara sedikit “di tahun 1990-an sedang musim apa ya?”(karena tema acara Bring back the 90’s) refleks beberapa teman sayapun teriak “Orang Hilang!”. Tak banyak lagi bicara untuk 80
penutup pertunjukannya malam itu Tigapagi membawakan lagu”Sembojan”. Dari awal sayapun sudah menebak lagu ini pasti dibawakan terakhir. Salah satu lagu yang masuk di (masukan link Mixtape lagu 65). Untuk yang mengerti konteks lagu ini mungkin pulang ke rumah akan dengan keadaan gelisah dan kemballi mengobrak-ngabrik buku sejarah, seperti dulu saya pertama kali mendengarkan lagu ini. Alih-alih hanya menjadi sebuah lagu, Tigapagi secara sempurna membangun Sembojan secara apik dan bernas di dalam lirik.
Mendengarkan keseluruhan lagu Tigapagi adalah seperti membaca cerpen-cerpen yang di bikin oleh Martin Aleida ataupun sehimpun cerpen didalam “Bunga Tabur Terakhir-nya” GM. Sudarta. Ada perasaan sakit dan marah disana. Seperti mesin waktu, kembali ke masa dimana tragedi sepanjang hari terjadi. Otak saya tak henti mencari perbandingan antara lirik-lirik lagu Tigapagi dan beberapa buku yang pernah saya baca ataupun ingatan-ingatan lain yang selalu payah saya temukan dan mengartikannya.
Malam itu, lokasi pertunjukan hanya berjarak 20 meter dari kantor koramil. Di era Soeharto, bisa saja tigapagi tiba-tiba digiring ke kantor untuk di introgasi. Tapi ah hanya khayalan saja, mana mungkin aparatur negara punya selera musik sebagus itu. Palingan juga dangdut dan disko remix ala poco poco.
81