
5 minute read
Mixtape Lagu Memorial 65
MIXTAPE LAGU MEMORIAL 65
Tulisan kali ini saya akan sedikit basa-basi untuk membuka narasi menjelang 30-S mendatang. Tentang beberapa lagu yang beririsan dengan tragedi kemanusiaan pasca 65.
Advertisement
Mixtape ini barangkali bisa dijadikan sebagai playlist dipemutar musik-mu tatkala resah, ketika lini medsos dipenuhi dengan muatan yang menggiring isu kuminisme ke wilayah tertentu –wilayah asmara misalkan, ketika kamu diputusin pacar gara-gara …………. kiri.
Indonesia memang cukup kaya dengan lagu protes yang berbau politis. Maklum, 30 tahun masyarakat kita hidup dibalik tirai tirani. Untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat pun akhirnya di kontrol dengan berbagai macam cara, apalagi meletupkan gagasan yang dianggap bersebrangan, bisa saja besok atau lusa kamu dilenyapkan atawa di karungan sama “Bapak” -si konduktor paduan suara bernama Orde Baru itu.
Alih-alih menciptakan peradaban, musik memang bukan suatu medium yang kuat untuk merubah satu narasi sejarah apalagi peradaban. Namun di lain sisi, musik mampu merekam peristiwa yang menjadikannya abadi 57
dikemudian hari. Musik akhirnya akan menjadi salah satu cara alternatif untuk menandai zaman. Tentu, dengan tetek bengek tragedi dan romantika-nya sampai pada generasi terakhir umat manusia.
Jika era Klasik ditandai dengan kemunculan musikus seperti Mozart dan Beethoven yang musiknya terus menggema. Lalu siapa yang menandai atau setidaknya mengingatkan kita untuk mengenang pogrom dan penahanan tanpa peradilan pasca tahun 1965 itu?
Disini saya mencoba merangkum beberapa lagu yang barang kali bisa membuatmu kembali tenggelam untuk mendedah ulang buku pelajaran sejarah di sekolah bikinan rezim Orde Baru (sampai sekarang?), yang secara gemilang menjadikan Korban dan para Penyintas 65 sebagai penjahat. Senafas dengan apa yang dikatakan oleh Gus Dur: “Sejarah lama kita sebagai bangsa memang sangat menarik. Rasa tertarik itu timbul dari kenyataan bahwa yang ditulis sering tidak sama dengan yang terjadi”.
Langsung saja:
1. Evil War (Sharkmove)
Ditulis tahun 1972. Benny Soebardja telah menggunakan jam malam dengan baik saat itu. Ia membuat lirik lagu yang begitu bernas dan bernyali, mengingat tahun-tahun itu rezim dan para milisi anti-kuminis sedang gencar-gencarnya menggedor rumah orang-orang yang (konon) berkaitan dengan PKI.
Secara diam-diam Sharkmove melayangkan kepal tangan seraya melafalkan lirik:
“Evil come, Evil come. Evil War is come again soon be there. See they dies one by one. See those bodies on the ground…on the ground”.
Sangat masuk akal jika akhirnya Benny Soebardja memilih bahasa Inggris dalam pembuatan lirik. Barangkali ini adalah sensor yang dilakukan saat itu untuk menghindari daftar merah di koramil dan cap pembela kuminis dari para tetangga.
58
Lagu ini bagian dari album Ghede Chokra’s yang dirilis secara mandiri (tanpa major label) oleh Sharkmove, sekaligus menandai lahirnya gerakan musik Indie di Indonesia –indie dalam artian sepenuhnya.
2. In 1965 (Benny Soebardja and The Lizzad)
Ditulis tahun 1975. Dari judul lagunya saja kita akan dengan mudah menebakkemana tema musik ini bermuara.
“The world today its always strange Those people try hard to get a dime And in my land some people always poor! Cos the leader thinks The land belong to them You better go.. go out from my land.. Before we find you one by one! Listen for the people say to them..its a warning. Patience people will the end.. at least you will die..as a traitor! Aaaaaaa. Very sad.. Cos my peoples they are not satisfy! Waiting forever dan ever! You better go!! Go out from my land before we find you one by one.. Coda: What are you goin to do today my people?”
Benny Soebardja and The Lizzard adalah project music teranyar Benny setelah Sharkmove bubar ditahun 1973 . Untuk barang sejenak, mari kita angkat topi setinggi-tingginya kepada Benny Soebardja atas independensi, keberanian dan konsistensi-nya dalam bermusik. Terlebih di era Soeharto yang otoriterian dan menggemaskan itu.
3. Ujian (Dialita)
“ Dari balik jeruji besi/hatiku diuji/apa aku emas sejati/atau imitasi… ” -Dialita.
Saya tak pernah serius mendengarkan kelompok paduan suara, apalagi dulu saban hari senin tiap kali upacara bendera di sekolah. Sampai suatu 59
malam seorang teman mengabarkan Dialita akan merilis album penuh. Dengan polos saya bertanya “Dialita itu siapa?”, dan seketika obrolan pun larut sampai berkali-kali habis kopi.
Dari 10 lagu yang ada di album Dunia Milik Kita, saya memilih lagu “Ujian” untuk mewakilinya. Betapa kuatnya hati para Ibu-ibu lanjut usia ini, tatkala mereka harus mendekam di dalam penjara sebagai tahanan politik tanpa tahu kesalahannya apa. Atau betapa tabahnya seorang ibu dengan anak yang kerap bertanya “kapan bapak pulang?” setelah diambil paksa sampai akhirnya tak kunjung jumpa.
Lagu ini diiringi suara piano yang dimainkan Frau. Begitu minimalis namun berhasil menghadirkan suasana yang begitu sendu, cukup mewakili hati para Dialita yang bertahun-tahun menahan derita itu.
Mendengar semua lagu yang ada di album ini, seperti mengeja ulang sejarah yang semestinya dituliskan.
4. Sembojan (Tiga Pagi)
Diawali dengan siulan, disusul suara biola pada intro musik yang cukup panjang. Tigapagi seperti memberikan ruang tunggu yang begitu hening sebelum akhirnya bergeming mendengar kabar: “wajah yang hilang berkisar di angka 500.000 jiwa, perkaranyapun praduga gugurkan 7 sekawan”.
Sembojan adalah wujud sempurna dari penggalan sejarah yang diangat ke permukaan melalui musik. Dengan cerdas Tigapagi meramu instrument musik yang begitu menyayat lalu dibubuhi lirik yang syarat akan sejarah.
Sembojan dirilis tepat setengah abad pasca peristiwa itu terjadi. 30 S (1965) -30 S (2015).
5. Sekeping Kenangan (Prison Song: Nyanyian Yang Dibungkam)
Lagu ini terhimpun dalam kompilasi berjudul Prison Song: Nyanyian yang Dibungkam. Diterbitkan bersama buku dengan judul yang sama, oleh
60
Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KPKK) dan Taman 65.
Sekeping kenangan diciptakan oleh Amirudin Tjiptaprawira, orang yang secara langsung merasakan dinginnya kurungan penjara dan kekejaman rezim saat itu.
Dinyanyikan oleh Dankie a.k.a Dadang Pranoto (DDH & Navicula). Dikemas dengan musik a la folk melankolis, Dankie berhasil melucuti hati pendengar sekaligus memberikan imajinasi tentang apa yang pernah terjadi di masa lampau.
6. Tini dan Yanti (Banda Neira)
Sama seperti Sekeping Kenangan, lagu ini masuk kedalam kompilasi Prison Song: Nyanyian yang Dibungkam, dengan pembuat lirik yang sama: Amirudin Tjiptaprawira.
Namun lagu ini masuk juga kedalam album “Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti” milik Banda Neira yang dirilis tahun 2016 silam sekaligus menjadi album terakhirnya.
“Tini dan Yanti, kepergianku buat kehadiran di hari esok yang gemilang. Jangan kecewa, meski derita menantang, itu adalah mulia. Tiada bingkisan, hanya kecintaan akan kebebasan mendatang. La historia me absolvera, La historia me absolvera.”
7. Bahaya Komunis (Jason Ranti)
Paranoia adalah gejala yang mendadak serius disekitar tanggal 30 September saban tahun semenjak 1965, dan lagu ini adalah ode bagi mereka yang kronis mengidapnya. Terimakasih JeJe boys
61