
4 minute read
Indonesia Dalam Lingkar Literasi Dunia
INDONESIA DALAM LINGKAR LITERASI DUNIA
Di tengah gegap gempita perayaan Hari Literasi Internasional atau biasa disebut Hari Aksara Sedunia atau juga Hari Buku Internasional tepat hari ini, jika dibandingkan dengan negara lain dalam lingkar masyarakat yang melek-huruf -sebelum masyarakat kita terbiasa dekat dengan bukuagaknya Indonesia masih dan akan tertinggal jauh.
Advertisement
Hari Literasi Internasional diperingati setiap tanggal 8 Sepember sejak dari tahun 1966. Di cetuskan pertama kali dalam konferensi UNESCO tanggal 17 November 1965 di Iran.3
Sebelum masuk pada wacana selanjutnya, perlu disepakati terlebih dahulu bahwasanya literasi tidak hanya dipahami di wilayah kemampuan membaca saja, tetapi meliputi juga pemahaman akan bacaan dan minat untuk menulis.
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)4 sekurangnya kata Literasi dikategorikan pada 3 definisi yaitu:
1.n kemampuan menulis dan membaca
3 www.unesco.org 4 KBBI Edisi V
48
2. n pengetahuan atau keterampilan pada bidang tertetu: --literasi digital, literasi sains, dll
3. n kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup
Namun, hal yang menjadi benang merah dalam tulisan ini adalah tentang minat untuk membaca (saja dulu), khusunya di Indonesia.
Kita dan Minat Baca Hari ini
Konon minat baca (membaca Buku ya. bukan membaca chat di Whatsapp atau membaca cuitan Fadli zon dan Fahri hamzah di twitter apalagi caption Lambe Turah di Instagram) masyarakat kita masih rendah. Menurut data statistik yang dikeluarkan oleh UNESCO pada tahun 2012 indeks minat baca masyarakat kita berada pada angka babak belur yaitu 0,0001% artinya dari 1000 penduduk hanya 1 warga saja yang memiliki minat untuk membaca buku. Sedangkan hasil penelitian dari PISA (Programme International Student Assesment) yang dipublikasikan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) pada tanggal 14 Desember 2012, kemampuan membaca masyarakat Indonesia berada pada ranking bontot yaitu menduduki peringkat ke-64 dari 65 negara yang disurvey5 .
Pada tahun 2015, PERPUSNAS (Perpustakaan Nasional) membuat kajian tentang minat baca di masyarakat, hasil dari kajian tersebut menunjukan angka 25,1 atau masih rendah6.
Kajian dilakukan pada 28 kota/kabupaten di 12 provinsi dengan 3.360 responden. Indikator utama kajian ini yaitu frekuensi membaca per minggu, lama membaca per hari, jumlah halaman dibaca per minggu, dan alokasi dana untuk belanja buku per tahun.
Dari sisi lama membaca, hasilnya:
5 Kompas, 5 Desember 2013 6 Bisnis.com, 21 Mei 2016
49
63% membaca 0-2 jam per hari 31% membaca 2-4 jam 4% membaca 4-6 jam 2% membaca lebih dari 6 jam. Selain itu dari sisi jumlah halaman dibaca: 62% membaca 0-100 halaman per minggu 32% membaca 101-500 halaman 5% membaca 501-1.500 halaman 1% membaca lebih dari 1.500 halaman. Adapun, frekuensi membaca: 26% 0-2 kali per minggu 44% 2-4 kali per minggu 16% 4-6 kali per minggu 14% lebih dari 6 kali per minggu. Sedangkan dari alokasi dana untuk belanja buku: 44% mengalokasikan dana 0-Rp100.000 per tahun, 29% mengalokasikan dana Rp101.000 -Rp200.000 17% mengalokasikan dana Rp201.000 -Rp500.000 10% yang mengalokasikan dana lebih dari Rp500.000.
Melihat angka-angka tersebut agaknya persoalan minat baca di Indonesia harus menjadi perkerjaan rumah bersama. Tentu, untuk mematahkan persoalan tersebut harus dengan terobosan-terobosan yang segar dan tidak monoton, entah itu dari pemerintah ataupun masyarkatnnya itu sendiri.
Perpustakaan Alternatif dan Upaya Mematahkan Stigma
Dengan semakin membiak dan massif-nya perpustakaan alternatif diseluruh Indonesia -dari sabang sampai merauke-, nyatanya ini adalah sebuah harapan yang harus terus dibaru-kan dan semangat yang harus tetap digelora-kan. Rendahnya minat baca adalah dampak dari sulitnya akses buku yang bisa didapat dan dibaca. Dengan kehadiran para pegiat literasi dari berbagai lapisan masyarakat dan ragam profesi ini, stigma Indonesia rendah minat baca sepertinya akan terpatahkan.
50
Perpustakaan alternatif, entah itu Perpustakaan Jalanan, TBM (Taman Baca Masyakat), Pustaka Bergerak,dll memberikan peluang dan kontribusi yang cukup besar menuju masyarakat Indonesia yang melek-huruf. Mereka tidak hanya bergerak untuk memantik minat baca saja, tetapi juga melakukan aktifitas-aktifitas lain untuk menunjang pengembangan SDM yang tetap ber-irisan dengan literasi.
Seperti contoh Noken Pustaka yang berbasis di Papua, selain rutin berkeliling dari daerah satu ke daerah lain merka pun kerap melakukan Pelatihan Jurnalistik untuk anak-anak di papua dan pengadaan pojok baca di tempat-tempat publik7. Tidak hanya di papua, di berbagai belahan daerah pun kegiatan semacam itu rutin di lakukan, dari mulai diskusi, pelatihan, seminar, dll. Terlebih tiap Komunitas literasi ataupun TBM memiliki agendanya masing-masing.
Meskipun terkadang kegiatan-kegiatan yang lakukan kurang mendapat respon yang baik dari pemerintah. Kasus-kasus semacam persekusi ataupun pembubaran lapakan baca teman-teman perpustakaan jalanan agaknya tidak perlu saya jelaskan disini.
Penulis dan Wartawan senior Mochtar Loebis mengatakan: “Buku: Senjata yang Kukuh dan Berdaya Hebat untuk Melakukan Serangan maupun Pertahanan terhadap Perubahan Sosial, termasuk Perubahan dalam Nilainilai Manusia dan Kemasyarakatan”
Agaknya tidak berlebihan jika kita meng-Amini apa yang ditulis tersebut. Zaman pasti terus berubah dan peran buku akan tetap sama, setidaknya yaitu untuk mempertajam kepekaan hati, memperluas wawasan ataupun membakar semangat seperti para pendiri bangsa(Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Tirto Adhi Soerjo, dll) negara kita dulu, menjadi muda dan besar bersama buku. Meskipun akhirnya mereka tenggelam juga dalam buku yang dibakar ataupun dilarang terbit pasca 65.
7 Buku Noken Pustaka 2017
51