
4 minute read
Memorabi-Liar Tentang“Menanam Padi Di Langit”
MEMORABI-LIAR TENTANG “MENANAM PADI DI LANGIT”
Menanam Padi di Langit adalah sebuah buku biografi tokoh seni rupa yang tumbuh di yogya dengan mengambil latar waktu pra reformasi sampai dengan pasca reformasi terlebih geliat dunia seni rupa yang kian tumbuh dari sisi ekonomi, politik, dan budayanya. Tak luput ketika reformasi meletup pun di ulas secara beringas dalam buku ini beserta tetek bengek perlawanan nya yang nyentrik a la seniman yogya,.
Advertisement
Puthut EA sang penulis yang juga kepala suku situs web Mojok.co ini berhasil secara paripurna menguraikan perjalanan tokoh ikonik perupa asal yogya yaitu Bob ‘Sick’ Yudhita Agung, Yustoni Volunteero dan S Teddy Dermawan. Dengan pendekatan jurnalisme sastrawi yang cenderung mudah di pahami dengan gaya bahasa yang sederhana dan cukup detail tanpa mengurangi keseriusan, Puthut berhasil menyita perhatian pembaca untuk larut dalam tulisannya, maka tak pelak pembaca tak perlu waktu lama untuk mengkhatamkan buku yang berisi 313 halaman ini. Terlebih ia pun turut menjadi pelaku dan saksi dari beberapa peristiwa yang di tulis.
Kampus ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta menjadi gelanggang pertemuan semua tokoh yang ada dalam buku ini dan lagi-lagi Seni rupa menjadi medium pertemanan yang begitu solid antara Bob, Toni dan Teddy yang juga menjadi gerbang atas prestasi dan ke-gila-an (secara harfiah ataupun konotasi) hidup ketiga pemuda ini. Meskipun pada awalawal setelah mereka lulus SMA keinginan untuk berkuliah di ISI Yogya ini sempat mendapat penolakan yang cukup serius dari keluarganya.
34
Kehidupan masing-masing ketiga tokoh dengan apik di tuturkan satu persatu oleh penulis yang di bagi ke dalam beberapa bagian di awal. Sedari kenakalan ketika duduk di bangku SMP sampai dengan masuk periode milenial yang dimana para tokoh sudah tidak lagi menjadi pemuda yang konyol namun telah berhasil menjadi perupa yang cukup di perhitungkan dalam segi karya dan gerakan. Bahkan Bob Sick yang di juluki presiden tattoo Indonesia ini telah berhasil meletakan kakinya di tanah suci –bahkan sempat viral di media sosial-. yang sebelumnya sempat mendapat penolakan dari beberapa agency umroh tak lain karena tattoo yang memenuhi sekujur tubuh dan mukanya
Sebagai pembuka kepada wacana yang lebih serius pada bagian Mozaik Eksterior Puthut EA turut menguraikan beberapa keganjilan yang terjadi pada tahun 1965 yang sering kita kenal dengan istilah Gestok atau G 30 S dan bagaimana keterkaitannya dengan kreatifitas dan dinamika pergerakan para seniman di yogya pada saat itu yang kemudian di uraikan secara gamblang pada bagian Mozaik Interior dimana bagian ini lebih fokus kepada gerakan-gerakan mahasiswa Pra dan Pasca peristiwa Malari (Peristiwa 15 Januari) yang dimana gelagat diktatorian Soeharto telah terendus oleh para aktivis mahasiswa di beberapa kota khususnya Jakarta dan Yogya.
Sampai dengan generasi selanjutnya, puncak dari kemarahan mahasiswa dan massa rakyat kepada rezim orde baru meletup pada tahun 1998. Koletif seniman Taring Padi menjadi salah satu wadah yang cukup vokal dalam menggelorakan semangat perlawanan, tentu melalui corong seni yang dimana mereka aktif membuat karya-karya visual yang cenderung bernuansa propaganda dan agitasi. Pergolakan dalam gerakan menumbangkan rezim orde baru di yogya menunjukan bahwa seni memiliki perananan penting dalam hal tersebut. Gerakan-gerakan radikal yang menghiasi panggung perlawanan ini tidak lain menggunakan seni sebagai panglima –meminjam kalimat Njoto- dalam melawan dan menggerakan massa. Dalam bagian ini pembaca akan berjumpa dengan beberapa istilah yang sudah tidak asing lagi ketika sering membaca perihal 1998, seperti misal PRD (Persatuan Rakyat Demokratik), SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi), Pusat Perjuangan
35
Buruh Indonesia (PPBI), Serikat Tani Nasioal (STN), dan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker) juga tokoh-tokoh kunci seperti Widji Thukul, Budiman Sudjatmiko, Megawati, dll.
Kembali lagi kepada ketiga tokoh sekawan bohemian Bob, Teddy dan Toni beserta kekonyolan yang di tuliskan secara terbuka di dalam buku ini, maka jangan heran dari mulai halaman pertama sampai dengan akhir pembaca akan sering menjumpai kata mabuk, pil, alkohol, seks, dan kekonyolan lainnya yang di selingi dengan perjalanan personal sang tokoh dalam urusan cinta, keluarga, pertemanan yang begitu emosional.
Tak luput perihal musik pun yang terjadi pada pada pertengahan tahun 1990’an turut di bicarakan dalam bagian Steak Daging Kacang Ijo yang tidak lain SDKI adalah nama band kuartet eksperimental –karena dalam band hanya Edo Pillu (drum) saja yang bisa bermain musik?- Bob (gitar), Toni (bass) , Teddy (vocal) dan Edo (drum). Demam musik grunge sedang merajai skena musik di seluruh negeri, maka hambar rasanya membicarakan periode tersebut tanpa ada nama Kurt Cobain yang mati bunuh diri –dengan gaya yang khas Puthut pun mengulas kematian Kurt Cobain.
Peristiwa dalam buku ini di bagi ke dalam 20 bagian. Dari awal sampai akhir saya tidak menemui korelasi antara isi dan judul buku Menanam Padi di Langit yang terdengar begitu surealis, sampai pada bagian halaman akhir pertanyaan saya pun terjawab. Ternyata judul Menanam Padi di Langit di ambil dari sepenggal lirik lagu yang di buat oleh Steak Daging Kacang ijo yang dinyanyikan dalam bahasa jawa yaitu Nandur pari neng awang-awang. Hanya lirik itu saja yang dinyanyikan oleh Teddy dari awal sampai dengan akhir lagu diiringi dengan aransemen musik yang (barangkali) tidak karuan tapi berhasil menorehkan kenangan kepada generasi yang mereka wakili khususnya para seniman muda di yogya pada saat itu.
36