DENPOST
www.denpostnews.com
l HALAMAN 6
minggu, 6 JULI 2014
DenPost/sri wiadnyana
PALEBON - Prosesi palebon mautama jenazah Ida I Dewa Agung Istri Putra, istri dari Raja Klungkung terakhir almarhum Ida I Dewa Agung Oka Geg yang digelar pada Minggu (29/6) lalu, menyedot perhatian warga.
“Pelebon Bade Tumpang” Sebelas
Terakhir dan Spektakuler di Klungkung
UPACARA palebon jenazah Ida I Dewa Agung Istri Putra (88), istri dari Raja Klungkung terakhir almarhum Ida I Dewa Agung Oka Geg, yang digelar pada Minggu (29/6) lalu, bisa dibilang spektakuler. Pasalnya, palebon yang menggunakan naga banda dan bade tumpang sebelas setinggi 28 meter ini, menyedot perhatian masyarakat Klungkung. Ribuan warga membanjiri jalannya prosesi palebon yang dipusatkan di Catus Pata Klungkung. Upacara palebon permaisuri ketiga Raja Klungkung terakhir ini bisa dibilang terunik dan terlangka. Proses palebon almarhumah merupakan pengabenan terakhir yang menggunakan bade tumpang sebelas di Puri Agung Klungkung, setelah palebon raja terakhir Ida I Dewa Agung Oka Gek pada 1964. Setelah ini
tidak ada lagi yang menggunakan tumpang setinggi itu. Sebab, sudah tidak ada lagi di Puri Klungkung yang abiseka raja dengan gelar Ida I Dewa. Bade untuk palebon almarhumah yang meninggal dunia pada 28 Desember lalu di Puri Saraswati itu juga dibuat khusus, termegah dan tertinggi di Bali, yakni tumpang sebelas.
C. 1894
Pembuatan bade palebon memakan waktu lama. Persiapan pembuatan bade mulai 14 Februari 2014. Bahan bade yang digunakan, di antaranya juga menggunakan kayu langka seperti kayu tawas untuk taring naga banda dan bambu petung yang berukuran besar. Sedangkan arsitek bade dan naga banda adalah
Mangku Ketut Alit Astika Yasa, adik ipar Mangku Made Kasta, Wabup Klungkung sekarang. Selaian itu, penggarapan bade juga dilakukan beberapa orang undagi, salah satunya IB Wisnaya asal Gria Cucukan, Klungkung. Wisnaya adalah keponakan dari arsitektur Bali yang ternama, Gus Tugur, yang juga arsitek Art Center Bali. Semua pembuat bade kali ini para undagi asal Klungkung. Bahkan, ada 44 undagi yang dilibatkan untuk mengerjakan. Setiap hari sekitar 14 undagi dan warga yang bekerja membuat bade dan peralatan lainya. Sementara nama bade yang dibuat para undagi diberi nama bade padma sari tumpang sebelas. Nama ini sesuai dengan apa yang dibaca dalam rujukan,
C. 1753
yakni Lontar Asta Kosala. Bade ini hanya bisa digunakan raja dan permaisuri. Bahkan, bade jenis ini khusus digunakan raja-raja dari Puri Klungkung yang merupakan raja Bali. Bade ini menggunakan sebelas tingkatan dengan enam palih. Pelalihan yang ada dalam bade tersebut juga dibuat sedemikian rupa dengan urutan binatang. Adapun susunan depan pepalihan bade adalah mulai dari atas sanang adalah sekar taji paling bawah, kemudian togog kala, benawang nala, naga basuki barak bebarongan, sae gading, macan gading, bomo dipatinuraga bebarongan, dan pelayah. Di bagian belakang, di antaranya mulai dari karang gajah, bomo putih dua kali, macan gading, lembu ireng, angsa putih, kampig, dan gandewari, serta saka 10 X 10. Adapun tinggi bade tersebut sekitar 28 meter, dengan berat sekitar enam ton. Tinggi bade yang dibuat lebih rendah dari bade saat digunakan raja, yakni 35 meter. Raja Ida I Dewa Agung Oka Geg sudah dipalebon pada 1964. Saat itu juga menggunakan bade tumpang 11. Tingginya sudah termasuk penagkal petir yang paling atas. Di sisi lain, prosesi ngetep pengawak bade atau memasang bagian tumpang sebelas pada Jumat (26/6) lalu, juga berbau niskala. Beberapa kalangan menilai ada bantuan secara niskala, sehingga potongan bade tersebut bisa terpasang. Terlebih pemasangan bade tersebut baru berhasil dilakukan tepat pukul 12.00, saat matahari di atas kepala. Padahal, proses memasang bagian tumpang sebelas ini melibatkan puluhan anggota Polres Klungkung dan Kodim 1610/Klungkung. Seperti yang disampiakan Jro Tapakan, Dwi Persangga, yang kebetulan di Polres Klungkung sedang melakukan upacara prayatista. Tapakan asal Batuan, Sukawati, Gianyar ini, sebelumnya mengaku sempat melihat dari mata batinnya
ada ribuan wong samar yang membantu mengangkat bade tersebut, sehingga berhasil terpasang di bagian bawahnya. Jro Tapakan menilai, awalnya pemasangan tumpang sebelas belum bisa terpasang karena p a r a wong samar y a n g merupakan anak buah di palinggih Jro Nyoman di Tukad Cangkung, di selatan Polres Klungkung, masih berpesta, sehingga belum bisa membantu. Tapi setelah pesta, mereka langsung membantu, sehingga proses pemasangan tumpeng sebelas bisa dilakukan setelah pukul 12.00. Menariknya, selain upacara palebon ada tradisi mesatya yang dilakukan kalangan internal puri. Banyak keluarga puri yang kepalanya dicukur gundul. Salah satu tokoh Puri Klungkung, Tjokorda Gde Agung, mengakui ada tradisi mesatya setiap ada palebon agung di Puri Klungkung. Menurut dia, hal ini juga terjadi saat palebon Raja Klungkung terakhir, Ida I Dewa Agung Oka Geg atau yang lebih dikenal dengan Ida Betara Mampeh pada 1964. Saat itu, warga Klungkung banyak mesatya dengan memotong rambut sampai plontos. Hal ini dilakukan sebagai wujud bakti dan hormat kepada raja dan permaisuri. Almarhum tidak memiliki putra kandung. Palebon akbar atau agung ini dilakukan karena statusnya sebagai permaisuri. Selain itu, yang bersangkutan juga sangat berjasa kepada Puri Klungkung, karena kerap tampil sebagai pengrajeg karya di puri. Salah satunya, sebelum meninggal sempat menjadi pengrajeg karya saat upacara meligia, beberapa tahun lalu. “Palebon agung ini untuk menghormati jasa beliau. Selain sebagai permaisuri, beliau juga berjasa, karena kerap sebagai pengrajeg karya di puri,” ujar salah satu keluarga puri, Tjokorda Bagus Oka yang juga seksi wewagunan pada karya palebon ini.
Dewa Agung Geg adalah Raja Klungkung terakhir, setelah terjadi Puputan Klungkung. Yang bersangkutan sempat di-selong (dibuang) Belanda ke Lombok. Namun, Belanda ingin menggunakan pengaruh puri lagi di Bali, sehingga yang bersangkutan dikambalikan ke Klungkung dan dinobatkan sebagai raja atau regen di Klungkung, dan bertahta di Puri Agung Klungkung. Puri Klungkung sebelumnya berlokasi di Kerta Gosa, yang sudah dalam kondisi hancur diserang Belanda. Raja ini memiliki 45 istri dan tiga permaisuri. Salah satu permaisurinya adalah almarhum, yang di-palebon pada Minggu (29/6) lalu. Prosesi palebon jenazah almarhumah menyedot perhatian ribuan warga. Sedikitnya ada dua ribuan tenaga penyunggi yang disiapkan untuk mengarak bade dan sarana palebon lainnya. Ribuan tenaga penyunggi yang disiapkan ini dari 13 banjar wawengkon Desa Pakraman Semarapura, dibantu krama pengayah dari berbagai banjar dari desa lainnya di Kabupaten Klungkung. Warga yang mengarak bade palebon ini juga terbagi beberapa bagian, dan melakukannya secara estafet. Sekali estafet, bade pasmasari di-sunggi sedikitnya 300 orang. Sedangkan naga banda, petuloangan lembu ireng, dan tragtag, masing-masing di-sunggi 150 orang. Mereka yang nyunggi ini menggunakan kain penutup kepala berbeda. Ada yang menggunakan warna kuning, merah, hitam, dan putih. Pengusungan bade padmasari dan sarana lainnya dilakukan dalam empat kali estafet. Prosesnya diawali di Catus Pata Klungkung. Paling depan yang di-sunggi petuloangan lembu ireng. Di belakangnya menyusul naga banda dan bade padmasari, serta terakhir tragtag. Prosesi palebon jenasah almrahumah berlangsung di kuburan wilayah Tegal Linggah. (wia)