EDITORIAL KETIKA MEDIA MASSA MELIPUT KASUS ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM
A
nak-anak sebagai generasi penerus bangsa perlu mendapatkan perlindungan akan hak-hak yang dimilikinya. Perlindungan dan perlakuan khusus kepada anak merupakan suatu bentuk perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia. Indonesia sendiri telah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang bertujuan menciptakan peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan terbaik pada anak yang berhadapan dengan hukum. Salah satu perlindungan yang diberikan oleh UU SPPA adalah kewajiban merahasiakan identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi dalam pemberitaan di media cetak maupun elektronik. Produk jurnalistik yang membuat informasi mengenai anak harus menciptakan iklim positif agar tidak memberikan dampak negatif kepada anak di masa depan. Kenyataannya, hingga saat ini produk jurnalistik seringkali melanggar ketentuan perlindungan anak dalam UU SPPA dan Kode Etik Jurnalistik. Beberapa pelanggaran Kode Etik Jurnalistik yang sering terjadi adalah pengungkapan identitas anak sebagai pelaku atau sebagai korban dan juga penyajian informasi secara cabul dan vulgar. Mari kita kembali pada tahun 2016 dimana publik dikejutkan dengan berita kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang menimpa gadis berinisial Y (16 tahun) di Bengkulu. Berita tersebut sontak menjadi headline di beberapa media massa, sebab beberapa pelaku dan korban
4| MAJALAH MAHKAMAH
masih remaja. Alih-alih merahasiakan identitas, beberapa media malah mengungkap identitas korban dan pelaku. Informasi mengenai penyebab kematian korban disajikan dengan kalimat yang terkesan sadis dan terlalu eksplisit. Beberapa media tanpa ragu mengekspos foto masa kecil korban dan foto keluarga korban. Kasus lain adalah peristiwa pemerkosaan siswi MTs di Jawa Barat oleh kepala sekolah. Dilansir dari Tirto, salah satu televisi swasta ikut mewartakan peristiwa tersebut. Sekilas tidak ada yang salah dalam tayangan berita tersebut. Wajah korban dan keluarganya telah dikaburkan. Nama korban dan kakaknya juga tampil dalam inisial. Sayangnya, ketika korban menyebutkan namanya dan menjelaskan ancaman yang diterimanya, bagian tersebut tidak disamarkan. Dalam berita yang sama juga menyorot gambar laporan ke polisi yang memuat sejumlah identitas. Pertanyaannya, apakah rasa ingin tahu masyarakat Indonesia sampai pada tahap yang begitu tinggi sehingga media dengan kerja kerasnya mewartakan suatu peristiwa dengan sangat detail? Atau media massa terlalu bebas sehingga tidak ada penyaringnya sama sekali? Apakah tidak ada rasa sedikit perhatian kepada keluarga korban maupun pelaku ketika gambar korban dan pelaku yang masih anak-anak berceceran di media sosial dan menjadi sasaran empuk untuk dilakukan penyalahgunaan atau peretasan? Menyimak kejadian yang telah disebutkan di atas, perlakuan media massa baik melalui media cetak maupun daring
masih absen dalam melindungi anak pada pemberitaan. Pemberitaan tentang anak yang berhadapan dengan hukum menjadi ladang eksploitasi isu anak bagi media massa. Alhasil banyak media yang abai terhadap kode etik demi eksistensinya. Padahal, sejumlah aturan hukum telah dibuat supaya produk jurnalistik melindungi anak yang berhadapan dengan hukum. Pemerintah sudah menerbitkan regulasi tentang perlindungan anak dalam pemberitaan, diantaranya adalah Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi tentang Hak-Hak Anak, UU SPPA, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Kode Etik Jurnalistik secara tegas menyatakan bahwa wartawan dilarang menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Sayangnya Kode Etik Jurnalistik tidak memberikan prinsip memadai untuk liputan yang spesifik membahas anak. Ketentuan detail mengenai pemberitaan anak terdapat dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Ketentuan tersebut antara lain mengenai larangan menayangkan identitas dan keluarga korban, larangan tayangan rekonstruksi yang rinci oleh kepolisian, dan menghindari wawancara anak. Hal serupa ditemukan pula pada UU SPPA yang melarang pengungkapan nama Anak