LEAFLET
Edisi 01/III/2016
MAHKAMAH Jalan Socio Justicia No.1 Bulaksumur, Sleman
www.mahkamahnews.org |
@mahkamahnews |
BPPM Mahkamah |
@EGS7125U
KATAKANLAH, IDEALISME ADALAH...
“S
Pikiran bukan penjara. –M Aan Mansyur
ebelum dikatakan, dipikir dulu!” sergah seorang dosen karena pertanyaan yang ia lontarkan ditanggapi ngawur oleh mahasiswa-mahasiswanya. Betapa mulia hati dosen yang berpesan agar mahasiswanya berpikir. Era internet ini semakin gencar memanjakan pelajar. Asalkan hal yang perlu dipikirkan itu sudah pernah dipikirkan sebelumnya, berpikir dapat digantikan dengan ketukan jari tangan. Hal yang acap dilupakan adalah bahwa penghayatan tentang berpikir oleh generasi yang satu dengan yang lain akan berbeda. Berpikir sudah tidak bisa lagi dengan kecerdasan, tetapi dengan ingatan atas kecerdasan yang dibakukan. Mungkin inilah maksud perkataan bahwa mahasiswa harus berusaha keras—berusaha keras menyamakan
laju inteligensi dengan romantisme sistem. katanya aku bodoh/ kalau tidak bisa menjawab/ pertanyaan guru/ yang diatur kurikulum/ –Wiji Thukul Begitu banyak yang harus disinggahi dalam waktu yang begitu singkat, tetapi yang paling penting adalah tujuan, bukan persinggahan. Tidak ada salahnya mencari pintasan. Bahkan aplikasi navigasi Sistem Pemosisi Global kini telah menyediakan rute-rute jalan pintas. Andaikan memang benar tujuan akademis mahasiswa adalah lulus tepat waktu dengan nilai yang baik, rute jalan pintas tinggal dilewati saja. Separuh semester kini menjadi beberapa menit saja di tempat fotokopian, seperti bertumpuktumpuk buku dan studi yang menjadi
beberapa ratus kilobita halaman presentasi. Sesederhana itu dunia akademis mahasiswa, sesederhana perjalanan mencari tempat nongkrong gaul di pinggir kota. Dua tahun ini, harapan mahasiswa FH UGM dipertaruhkan untuk satu lagi hal sederhana, yang entah mengapa menjadi begitu pelik: Kuliah Antarsemester. Data-data, mahasiswa yang lulus per tahunnya, momen liburan keagamaan, bahkan mungkin apa saja, siap menjadi tumbal. Namun, tentunya setiap tumbal dilahirkan dari suatu sumber. Katakanlah, sumber itu adalah idealisme dunia pendidikan. Maka, katakanlah, idealisme adalah realitas yang membenci diri sendiri. (Olivia P - Pemimpin Redaksi BPPM Mahkamah)
“Aku penjarakan pikiranku” –M Aan Mansyur
SEBUAH HARAPAN MEMANEN NILAI FH UGM -- Jumat (11/3) pukul 13.30-16.00 WIB bertempat di Ruang VII.2.3, BPPM Mahkamah mengadakan diskusi internal terkait Kuliah Antarsemester (KAS).
B
71 Peraturan Dekan FH UGM Nomor 3232/J01.H4.Fh/I/2008 tentang Penyelenggaraan Akademik Jenjang Strata 1 ������������������������ Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Perdek Penyelenggaraan Akademik). Pasal tersebut terdiri dari tiga ayat. Poin pertama dan ketiga pada peraturan terkait menjelaskan, pada intinya, kuliah antarsemester dapat diselenggarakan berdasarkan kesepakatan antara mahasiswa, dosen pemegang mimbar, dan Dekan. Namun, penyelenggaraan tersebut ditetapkan dengan keputusan dekan dan berpedoman pada peraturan Universitas yang
eberapa poin yang dibahas yakni mengenai tujuan, urgensi, dan relevansi KAS bagi mahasiswa FH UGM. Latar belakang penyelenggaraan diskusi berhubungan dengan disebarnya kuisioner KAS oleh Dewan Mahasiswa Justicia FH UGM (Dema Justicia) pada awal bulan Maret 2016. Isu diadakannya KAS sudah merebak sejak 2015 dan diusulkan di forum hearing dekanat tahun lalu, yang kemudian dihadirkan kembali tahun ini. Diskusi dibuka oleh moderator dengan menampilkan isi Pasal 2
berlaku. Apabila menyinggung perihal tujuan diselenggarakannya KAS, sebenarnya sudah jelas tercantum dalam Pasal 71 ayat (2) bahwa “Penyelenggaraan kuliah antarsemester bertujuan untuk memperbaiki IPK dan mempercepat masa studi mahasiswa.” Namun, yang menjadi pertanyaan apakah tujuan tersebut masih relevan pada zaman sekarang? Pada Senin, 25 Mei 2015, dalam forum hearing dekanat (selanjutnya disebut hearing dekanat 2015), Ketua Program Studi Sarjana FH UGM Heribertus Jaka Triyana menuturkan bahwa dekanat telah melakukan mini research yang berhubungan dengan jangka waktu studi mahasiswa serta kesediaan dosen di tiap departemen dalam menanggapi usulan mahasiswa tentang KAS. Hasilnya ialah jangka studi mahasiswa FH UGM kurang lebih mencapai 3,8 tahun. Para dosen pun mengatakan bahwa mereka memerlukan rehat sejenak dari rutinitas mengajar di kampus. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa sebenarnya kebijakan KAS oleh dekanat sudah mencapai tujuan. Mahasiswa saat ini cenderung mampu lulus dengan jangka waktu lebih cepat. Permohonan mahasiswa diadakannya KAS sudah tidak relevan lagi dengan kondisi yang terjadi sekarang. Walaupun KAS diganti dengan sistem remedi,
. K
materi atau istilah remedi tidak ada dalam Perdek Penyelenggaraan Akademik�������������������������� . Jika diadakan, maka peraturan tersebut harus diamandemen. Menurut Ketua Senat FH UGM Djoko Sukisno dalam wawancara kami pada Jumat, 5 Juni 2015, sejarah KAS dimulai sejak tahun 1990-an. Pada saat itu, baik persentase maupun jangka waktu kelulusan mahasiswa FH UGM rendah. Dari hearing dekanat 2015, diketahui bahwa mulanya terminologi yang digunakan untuk kegiatan ini ialah Semester Pendek (SP). Kala periode pertama Dekan FH UGM Marsudi Triatmodjo, ada larangan untuk penyelenggaraan SP dari Rektor UGM Sudjarwadi yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan (SK). Wakil Dekan Bidang Kerja Sama dan Alumni FH UGM Andi Sandi juga menceritakan bahwa saat itu diajukan permohonan diadakannya KAS dan diterima. Menurutnya, sebenarnya ini hanyalah “akal-akalan orang hukum saja” untuk menggunakan terminologi berbeda padahal dengan maksud yang sama. Namun, KAS tersebut sifatnya opsional karena telah ada peraturan yang melarang SP. Argumen tidak diperbolehkannya SP yaitu universitas mendeteksi ada beberapa fakultas yang kemudian menjual dan mempermurah nilai. (Rully Faradhilla Ariani, Hamida Amri Safarina)
S . A
icon by :Thenonunproject.org
3 4
Opini
SEJENGKAL DARI TUBIR
Pengembanan hukum di negeri ini berada sejengkal dari tubir kegagalan. Bentangan empiris menunjukkan potret buram dalam pengapresiasian fungsi-fungsinya. (Oleh: Umar Mubdi - Mahasiswa FH UGM 2014)
S
ebut saja, isu deparpolisasi yang membuncah pertanda kader partai politik (parpol) tak maksimal memainkan perannya (Kompas, 14/3). Kemudian, keteledoran Kepolisian Negara Republik Indonesia terkait prosedur standar operasi dalam pemeriksaan yang dilakukan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri terhadap terduga teroris Siyono (Kompas, 15/3). Di sisi yang lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Budi Supriyanto, tersangka kasus dugaan suap proyek jalan di Maluku (15/3). Tak lama sebelum itu, KPK menetapkan tiga tersangka kasus dugaan suap terkait penundaan salinan putusan kasasi perkara korupsi pembangunan pelabuhan di Nusa Tenggara Barat tahun 2007-2008. Seorang pejabat Mahkamah Agung adalah salah satu tersangkanya. Selanjutnya, ratusan jaksa
terkena sanksi indisipliner akibat penyalahgunaan wewenang dalam menjalankan tugas pada periode 2013-2015 (16/3). Sejumlah advokat pun tidak luput dari jeratan kasus suap. Rentetan kabar yang tak mengenakkan itu, dalam perspektif sistem, merupakan produk (emergent) abnormal pengembanan hukum kita. M. Husni Muadz (2012) mendefinisikan emergent sebagai produk yang lahir dari pola interaksi antar komponen yang terdapat dalam sebuah sistem. Jika corak interaksi antar komponen tersebut baik, maka produknya akan baik. Begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, fenomena-fenomena hukum tersebut dapat dilihat sebagai suatu produk abnormal dari sistem hukum. Produk yang lahir akibat serangkaian aktivitas antar pengemban hukum yang juga abnormal. Pengemban hukum praktis merupakan aktivitas yang ditujukan 4
5 4
untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan dan kehidupan seharihari secara nyata, meliputi pembentukan, penemuan, dan bantuan hukum (Meuwissen, 1979). Atas dasar itu, dapat dicermati bahwa aktor pengemban hukum terdiri dari beragam profesi, mulai dari hakim, jaksa, advokat, polisi, legislatif, serta eksekutif. Apabila fenomena hukum terkini merupakan produk abnormal, berarti betapa rendahnya kualitas dasar dan corak interaksi profesi-profesi dalam sistem pengembanan hukum di Indonesia. Hal ini disebabkan, pertama, aktor pengemban hukum kita hanya mengemban tugas-tugas keprofesiannya secara individual tanpa mengindahkan visi kolektifnya (Hayyan ul Haq, 2006). Visi untuk menghasilkan produk pengembanan hukum yang berkeadilan, berkemanfaatan, dan berkepastian hukum. Jika diuruturut, pengembanan ini tidak mengandung validitas nilai sehingga berujung sporadis. Padahal, menurut Jurgen Habermas, untuk melakukan suatu perubahan yang menyeluruh dibu-
tuhkan sebuah kerja kolektif. Kerja kolektif ini harus berlandaskan makna bersama. Interaksi yang dibangun antar komponen sistem hukum guna menghidupkan makna bersama tersebut mensyaratkan tiga validitas. Pertama, semua hal yang disampaikan dalam interaksi mesti merupakan sebuah kebenaran. Kedua, penyampaian kebenaran tersebut didasari dengan kejujuran. Ketiga, kebenaran yang disampaikan secara jujur itu harus memiliki nilai manfaat bagi pihak lain. Nampaknya, fondasi nilai inilah yang kini keropos dan tidak berkelindan erat dalam praktik pengembanan hukum kita. Penyebab kedua, lemahnya kultur hukum berupa legitimasi yang merupakan salah satu akar munculnya perilaku patuh terhadap hukum (Lawrance M. Friedman, 2013: 217). Dalam teori-teori modern, legitimasi yang berlaku adalah rasionalitas. Karena hukum modern bersifat instrumental, ia harus menggunakan sarana rasional untuk mencapai tujuannya. Sehingga pendidikan atau konsep ilmu pengetahuan saat ini menjadi dasar validitas kepatuhan terhadap hukum modern.
Berbagai fenomena pengembanan hukum di Indonesia sudah memperlihatkan kerapuhan basis pengetahuan pengembannya. Kecenderungannya ialah hukum digunakan secara permisif-pragmatis demi kepentingan sebagian golongan atau kelompok. Alih-alih mewujudkan
keadilan dan ketertiban umum dengan hukum yang demikian, yang terjadi malah keriuhan dan kegaduhan. Semoga pengembanan hukum di Indonesia yang bersih dan profesional guna menciptakan ketertiban bagi masyarakat, bukan sebuah utopia.
Seputar Kampus
BENCANA IKLIM KEMBALI MENERPA KAMPUS BIRU SLEMAN - Sebagai imbas El-Nino pada penghujung tahun 2015 lalu, musim penghujan yang terjadi pada awal tahun 2016 ini tergolong ekstrem. Dikutip dari situs resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (bmkg. go.id) pada kolom “Prospek Cuaca Mingguan� edisi Februari lalu, beberapa wilayah di Indonesia berpotensi hujan lebat.
S
eperti di seluruh wilayah selatan Jawa, sebagian wilayah Sumatera, dan Kepulauan Bangka Belitung. Hujan lebat tersebut mengakibatkan bencana iklim berupa banjir, tanah longsor, dan angin ribut. Sesuai dengan rilis informasi cuaca tersebut, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya tak luput dari hujan deras dan angin kencang pada Rabu (17/2). Hujan yang berlangsung satu jam mengakibatkan genangan di beberapa titik. Tiupan angin yang kuat menyebabkan tumbangnya beberapa
pohon di Bulaksumur, Kecamatan Depok, Sleman, Provinsi DIY. Dampak terparah dari peristiwa hujan deras dan angin kencang terjadi di kawasan kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), ditandai tumbangnya beberapa pohon besar. Sekitar pukul 14:00 WIB, pohon tumbang menimpa area parkir milik Fakultas Filsafat UGM. Tepatnya, di sebelah utara gedung Fakultas Filsafat yang bersebelahan dengan area parkir Fakultas Hukum. Akibatnya, tiga mobil minibus dan empat sepeda motor rusak parah. Ketiga mobil tersebut merupakan 6
7 4
Keterangan foto: Area parkir Fakultas Filsafat yang porak poranda. (dok: Reno) milik civitas akademika Fakultas gan dan Hasil Pertanian. Sejumlah Filsafat. Dibantu oleh petugas Sat- sepeda motor rusak ringan. uan Keamanan Kampus Keliling Menurut penuturan salah satu (SKKK) dan beberapa sukarelawan, petugas SKKK yang turut memberakhirnya pohon dapat diangkat dan sihkan sisa reruntuhan di area parkir seluruh kendaraan Fakultas Filsafat, dapat dievakuasi bertumbangannya dalam waktu 1,5 jam. pepohonan tersebut Akibatnya, tiga A d a p u n bukan karena tidak mobil minibus kanopi yang memadiantisipasi oleh pi& empat sepeda yungi jalur pejalan hak kampus. Pihak kaki di dalam area motor rusak parah. universitas mengaku Fakultas Filsafat sudah memberikan juga runtuh setelah tertimpa pohon upaya antisipasi dengan memoyang sama. Beruntung musibah tong beberapa pohon yang diangtersebut tidak menimbulkan korban gap mengkhawatirkan. Upaya itu jiwa maupun luka. Selain itu, peris- direalisasikan dengan mengerahkan tiwa pohon tumbang juga terjadi di kendaraan truk khusus yang memiarea parkir Fakultas Teknologi Pan- liki lifter sebagai pemangkas pohon.
Meski begitu, nyatanya tetap terjadi peristiwa pohon roboh. Keberadaan pohon-pohon besar yang rimbun di lingkungan kampus menjadi sangat dilematik. Apabila dipangkas habis seluruhnya, lingkungan kampus menjadi gersang dan tidak ramah lingkungan. Akan tetapi, keberadaannya sekaligus menjadi ancaman ketika musim penghujan tiba. Sebagai upaya tanggap darurat sekaligus mencegah peristiwa terulang, seluruh pohon yang ada di area parkir Fakultas Filsafat dipangkas habis dua hari pasca kejadian tersebut. Peristiwa tersebut meng-
ingatkan kita pada meninggalnya Ircham Darmasta Gumilang, mahasiswa Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian UGM, yang tertimpa pohon roboh di utara Balairung pada 5 Februari 2014 silam. Mahasiswa angkatan 2013 tersebut tidak tertolong nyawanya karena mengalami luka di kepala. Untuk itu, sebagai pencegahan agar peristiwa memilukan tersebut tidak terulang, diharapkan bagi setiap warga pengguna jalan, khususnya civitas akademika UGM, untuk meningkatkan kewaspadaan dan juga tanggap terhadap upaya mitigasi bencana. (Reno Surya Rindiatama)
KAMI HADIR LEBIH DEKAT Kini BPPM MAHKAMAH FH UGM hadir di LINE Add official account kami untuk mendapat update mengenai produk terbaru MAHKAMAH di line kalian, ya! WWW.MAHKAMAHNEWS.ORG |
@MAHKAMAHNEWS |
8
BPPM MAHKAMAH