Media Aesculapius Surat Kabar
Kedokteran dan Kesehatan Nasional Terbit Sejak 1970
No. 04 l XLIX l September-Oktober 2018 ISSN No. 0216-4966 Artikel Bebas
Konsultasi
Semakin Canggih, Semakin Kecanduan
Mencermati Fenomena Babyled Weaning dari Kacamata WHO halaman 3
Rubrik Daerah Pengabdian di Kabupaten Kepulauan
halaman 6
Kontak Kami @MedAesculapius beranisehat.com 0896-70-2255-62
halaman 11
Pembatasan Layanan BPJS: Siapa yang Diuntungkan? Peraturan baru BPJS Kesehatan disambut dengan kritik dari banyak pihak. Kembali, hak sehat masyarakat berhadapan dengan terbatasnya dana negara.
B
adan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merumuskan tiga kebijakan yang membatasi pelayanan kesehatan. Pembatasan tersebut mencakup pembiayaan bayi lahir sehat, penggunaan kriteria visus dalam operasi katarak, dan pembatasan pembiayaan rehabilitasi medis menjadi dua kali per minggu. Selain menurunkan angka defisit BPJS Kesehatan, kebijakan ini juga diharapkan dapat meningkatkan mutu layanan. Namun, peluncuran kebijakan ini menimbulkan kontroversi di masyarakat dan kalangan tenaga kesehatan. Masyarakat merasa dirugikan akan pembatasan ini karena tingginya biaya dari ketiga pelayanan tersebut. Tenaga kesehatan yang menjalankan kebijakan tersebut juga merasa terbebani karena kinerjanya semakin dibatasi oleh biaya.
menjamin biaya persalinan bayi lahir sehat dengan metode normal maupun bedah caesar yang ditanggung satu paket dengan ibu. Namun, klaim pembayaran bayi yang membutuhkan pelayanan khusus akan ditagihkan di luar paket ibu. Perdirjampelkes Nomor 5 Tahun 2018 menjelaskan bahwa frekuensi maksimal untuk menjalani rehabilitasi medis adalah dua kali seminggu dan delapan kali dalam sebulan. Pembuatan dan perubahan peraturan ini sudah didiskusikan
Demi Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan Dikutip dari laman resmi BPJS, Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan, Budi Mohammad Arief, menjelaskan bahwa BPJS tetap menanggung ketiga pelayanan tersebut. “Apabila ada yang menyebut BPJS Kesehatan mencabut tiga layanan kesehatan tersebut, berita itu adalah hoax,” ujar Budi. Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) Nomor 2 Tahun 2018 menjelaskan bahwa BPJS Kesehatan menjamin pasien katarak dengan kriteria visus atau lapang pandang penglihatan tertentu apabila disertai indikasi medis dan perlu mendapatkan operasi. Sementara itu, Perdirjampelkes Nomor 3 Tahun 2018
bersama dengan perhimpunan profesi terkait, seperti Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (PERDOSRI). BPJS Kesehatan mengklaim bahwa perubahan peraturan ini merupakan amanah undang-undang yang mewajibkan pengembangan sistem pembayaran menjadi semakin efektif dan efisien. Kepala Humas BPJS Kesehatan, Muhammad Iqbal, menjelaskan bahwa ketiga peraturan tersebut diubah untuk memperjelas kriteria-kriteria pasien katarak, persalinan, dan rehabilitasi medis yang mendapat jaminan. “Muara
perubahan aturan ini tidak hanya sekadar efisiensi, tetapi juga peningkatan mutu pelayanan kesehatan di lapangan,” ujar Iqbal. Mengenai tidak setujunya Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), BPJS Kesehatan saat ini sedang berkoordinasi dengan pihak terkait untuk mengatasi pertentangan ini. “Hal yang lebih esensial adalah jaminan kesehatan itu dibutuhkan oleh masyarakat,” terangnya. Masyarakat Merasa Dirugikan Di sisi lain, pihak IDI menyatakan bahwa peraturan baru yang telah dikeluarkan oleh pihak BPJS Kesehatan akan merugikan fiona/MA masyarakat. Perubahan peraturan ini dinilai dapat membatasi dokter dalam menangani pasien dan menurunkan standar operasional dokter dalam berpraktik. Pihak IDI juga sangat menyayangkan bahwa kebijakan baru BPJS hanya memandang efisiensi tanpa mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat. Pembatasan operasi katarak berdasarkan nilai visus diprediksi akan menyebabkan pasien dengan visus rendah memiliki kualitas hidup yang buruk. Selain itu, katarak
yang tidak segera ditangani juga akan bertambah parah hingga mengakibatkan kebutaan. Sementara itu, peraturan mengenai pembatasan bayi lahir yang ditanggung BPJS dapat memicu penurunan kualitas pelayanan perinatal dan maternal di Indonesia yang berujung pada peningkatan angka kematian ibu serta anak yang hingga saat ini masih tinggi di Indonesia. Reduksi penanggungan biaya rehabilitasi medis dinilai dapat meningkatkan lama rawat inap pasien. Kondisi ini dipikirkan justru akan menambah beban tanggungan BPJS Kesehatan dan berbuah stagnansi kualitas pelayanan rawat inap di rumah sakit. Evaluasi Bersama Menaikkan Tingkat Keberhasilan Kebijakan Kebijakan ini awalnya adalah sebuah hasil evaluasi bersama antara BPJS Kesehatan dengan pihak-pihak terkait seperti Kementerian Kesehatan dan IDI mengenai peraturan yang selama ini telah berjalan. Pembuatan kebijakan ini diharapkan mampu membenahi sistem lama sehingga bukan hanya menyelamatkan kondisi keuangan BPJS Kesehatan, melainkan juga membuat pelayanan kesehatan lebih merata. Polemik perubahan aturan seperti ini akan terus terjadi karena sulitnya integrasi tujuan BPJS Kesehatan dan tenaga kesehatan sebagai eksekutor. Di satu sisi, BPJS Kesehatan menginginkan efisiensi biaya dengan penambahan kriteria pasien yang ditanggung. Sementara itu, tenaga kesehatan menginginkan pelayanan terbaik untuk pasien yang tentunya membutuhkan biaya bersambung ke halaman 11
Menilik Pembuatan Kebijakan oleh BPJS Kesehatan
SKMA untuk Anda
Bukan sekadar kebijakan, tapi sebuah penyelesaian masalah. Tidak cukup hanya bermaksud baik, tetapi juga adil di mata semua pihak terkait.
Mari bersama membuat SKMA menjadi lebih baik.
D
alam membuat sebuah kebijakan, tentunya terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum disepakati dan diluncurkan. Tahapan tersebut antara lain mengidentifikasi masalah yang ada, merumuskan kebijakan, mengimplementasikan kebijakan tersebut, dan mengevaluasi dampak sementara dari implementasinya. Ide kebijakan harus muncul dari masalah yang tampak jelas di masyarakat. Setelah itu, kebijakan akan disusun bersama dengan pihak-pihak pemegang kekuasaan terkait untuk mencari solusi yang sesuai bagi masalah tersebut. Misalnya saja pada kebijakan mengenai pembiayaan bayi lahir sehat, pihak-pihak
yang akan ikut membahas kebijakan tersebut adalah mereka yang berkecimpung di bidang ini, salah satunya Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Dengan diikutsertakannya pihak-pihak tersebut, seharusnya keputusan pembuatan peraturan baru sudah disetujui bersama. Jika dilihat dari teori pembuatan kebijakan, model sinopsis atau rasionalis menjelaskan bahwa para pembuat kebijakan yang menghadapi sebuah permasalahan tersebut akan melihat tujuan dan sasaran dari solusi yang dibuat. Kemudian, beberapa alternatif akan dipertimbangkan hingga akhirnya terpilih satu alternatif yang paling sesuai. Ketika rumusan kebijakan sudah tersusun, harus dilakukan pemaparan
kepada anggota-anggota yang akan menjalankannya. Kesepakatan yang didapat dari sini menjadi dasar peluncuran peraturan ke masyarakat. “Dalam pembuatan kebijakan, seharusnya dilibatkan lebih banyak pihak dan lebih banyak kesempatan timbal balik untuk evaluasi sebelum kebijakan diluncurkan,” terang Dr. dr. Herqutanto MPH, MARS. Sikap tersebut bertujuan agar kebijakan lebih diterima oleh banyak pihak, termasuk para pasien pengguna jaminan kesehatan. Evaluasi juga wajib dilakukan saat kebijakan telah dijalankan untuk melihat sejauh mana implementasi kebijakan tersebut bermanfaat bagi masyarakat. farah, ilham, dina
1. Apakah konten SKMA bermanfaat/ relevan dengan kondisi kesehatan saat ini? 2. Apakah anda masih membutuhkan SKMA edisi selanjutnya?
!
Jawab dengan format: Nama-Umur_Kota/Kabupaten_Unit Kerja_Jawaban 1_Jawaban 2
Contoh: Rudiyanto_43_Jakarta Pusat_RSCM_Ya_ Ya Kirim melalui WhatsApp/SMS ke 0822 229 229 362 atau mengisi formulir pada bit.ly/surveyskma Lima orang pengisi survei yang beruntung akan mendapatkan cenderamata dari Media Aesculapius