Buletin Kinasih #9

Page 1

Edisi IX | 24 Halaman


LENSA KINASIH

Kesempatan Emas Mahasiswa Mahasiswa adalah pionir cendekia, haus pengetahuan, kritis menanggapi persoalan bangsa dan punya faktualitas yang tinggi. Predikat mahasiswa menuntut kepekaan dan kejelian sesuai dengan konsentrasi bidang masing-masing. Mahasiswa adalah sebuah tahap proses sebelum akhirnya lulus dan punya kebutuhan mengejar pemenuhan biaya hidup. Kesempatan emas bagi para mahasiswa adalah keleluasaan mengelola kegelisahan tanpa terbentur materi. Termasuk keleluasaan mengasah sikap kritis yang akhir-akhir ini jarang terjamah karena tergerus apatisme dan kemalasan menanggapi arus media yang menyetir pemahaman dan opini. Arus media menerpa setiap segmentasi dan lapisan dan sulit dihindari. Beragam tingkah polah media kadang membuat kita gamang, apa yang benar-benar berguna untuk kehidupan kita? Bayangkan jika arus media terus menerus bergaung tanpa henti, dan kita tidak punya perisai atau setidaknya alternatif mengonsumsi media. Memilih untuk diam saja berarti menyianyiakan kesempatan. Sebelum lulus dan tercebur jerat lingkaran industri, mahasiswa menjadi pihak yang paling kompeten sebagai kaum intelektual untuk menyuarakan kepentingan rakyat, juga untuk berontak pada deintelektualisasi media. (RED)

Pemimpin Umum/ Penanggung Jawab: Nurcahyo Triatmojo

Pemimpin Redaksi: Maria Natasha Poetridjaman

Editor:

Ridwan Sobar, Dian Ihsan Siregar

Staf Redaksi:

Sherly Febrina, Nanda Fitri

Kontributor: May Rahmadi

Tata Letak: Bayu Adji P

Alamat Redaksi:

Jl. Raya Lenteng Agung No. 32, Jakarta Selatan

E-mail:

buletin.kinasih@yahoo. com

Blog:

bulletinkinasih.blogspot. com

Twitter:

@TeaterKinasih


KLIMAKS

Deintelektualisasi Media

Televisi hanya melodrama-hiperbola. Penuh kosmetika yang cepat luntur. Laris manis bak kerupuk; renyah namun tak bergizi. Mengalir terus dua puluh empat jam sehari. Coba ingat-ingat lagi, kita semua pasti pernah mengalami, konten program TV melekat lebih erat di kepala daripada materi kuliah. Televisi adalah alat hipnotis terbesar zaman ini, karena prinsip kerjanya masuk ke alam bawah sadar. Khalayak televisi sebagian besar tidak sadar bahwa mereka meniru, menerapkan ataupun mempercayai apa yang mereka lihat di TV. Ahli komunikasi massa Harold Laswell dan Charles Wright menetapkan empat fungsi sosial media massa. Yang pertama, pengamat sosial. Berdasarkan fungsi ini televisi seharusnya mempertahankan objektivitas dan mengedukasi masyarakat dengan nilai-nilai yang berguna untuk pembentukan karakter masyarakat. Fungsi kedua, korelasi sosial. Menuntut televisi menjadi media penyebaran informasi antar kelompok. Fungsi ketiga, sosialisasi. Merujuk pada


KLIMAKS pewarisan nilai-nilai luhur dari tiap pihak pencari keuntungan. Peran generasi. Fungsi keempat, hiburan. media sebagai pemicu intelektualisasi makin pudar, makin tenggelam dengan Fungsi hiburan sudah terlalu dominan perang rebutan kekuasaan dan perang dibandingkan ketiga fungsi lainnya. rating. Hal ini menyebabkan khalayak mudah larut dalam pola pikir, gaya hidup dan Jelas bahwa kita sekarang tidak bisa lain-lain yang akhirnya menyesatkan hanya mengandalkan televisi sebagai kita pada konsumerisme, hedonisme, sumber informasi dan hiburan. narsisisme dan sampah lain yang Apalah gunanya terhibur jika tidak menurunkan kualitas hidup karena cerdas. Daripada melulu terhipnosis deintelektualisasi. Ini lingkaran kita bisa mencari sumber informasi setan. Program-program tinggi rating dan hiburan lain yang menyadarkan terkadang tidak mempetimbangkan kita akan eksistensi sebagai manusia kontribusi konten mereka pada maupun sebagai warga negara yang intelektualitas masyarakat, sebaliknya medianya kalangkabut membodohi masyarakat juga tidak selalu kritis kita dengan pencitraan tokoh politik, untuk menanggapi konten-konten mengejar rating, mengeksploitasi payah itu. golongan tertentu dan menjadi antek kapitalisme yang semakin jelas Bagaimanapun, media adalah memetakan posisi kaya dan miskin. cerminan intelektualitas masyarakat. Asal mau membuka mata, masih ada Pada zaman Orba, media ditekan yang peduli dan mau berkarya serta sedemikian rupa demi kelanggengan tidak begitu saja mengikuti arus, kalah penguasa. Maka ketika reformasi dengan keadaan. berkumandang, media mengalami euforia luar biasa sehingga Setelah berpikir kritis, sekarang bermunculanlah media-media baru. saatnya untuk berpikir pragmatis. Sayangnya, peningkatan kuantitas Sebagai warga negara kita punya hak tidak sejalan dengan kualitas. Media intelektualisasi, salah satunya dengan yang memiliki penyokong dana kuat literasi media, agar kita tidak langsung bisa bertahan. Sisanya harus rela menerima mentah-mentah apa yang gulung tikar atau dibeli perusahaan lain disajikan media, tapi tahu akses media, demi keberlangsungan hidupnya dan mengerti kepentingan industrinya, dan akhirnya takluk pada pemilik modal, mampu menganalisanya agar tidak pihak tertentu yang memanfaatkan terjebak dalam monopoli kepentingan. media sebagai pilar keempat Asal mau mencari sumber yang benar, demokrasi. Ini berarti kekuatan media kita selalu punya pilihan untuk hidup untuk menggerakkan rakyat ke arah lebih baik. (BuKin/MNP) yang lebih baik didomplengi oleh


SPOTLIGHT

Manusia, Makhluk Paling Cerdas

Sebagai makhluk paling sempurna, manusia diberikan kecerdasan. Dalam ilmu teater, kecerdasan tersebut sangat penting untuk dapat menjadi aktor yang baik. Karena seni peran yang baik adalah menghayati suatu peran, menjadikan karakter tokoh menjadi bagian dari diri aktor, sehingga muncul permainan yang natural, tidak dibuat-buat. Olah rasa melatih kecerdasan khususnya kecerdasan emosional dan spiritual. Bagaimana merasakan perasaan sedih, gembira, atau marah dengan berimajinasi dalam konsentrasi. Memfokuskan sesuatu hal sehingga kepekaan aktor dapat mengalir bebas menuju satu titik tertentu. Memang tidak mudah memiliki fokus yang tidak mudah terganggu, tapi juga tidak sulit karena sebenarnya yang perlu dilakukan hanyalah melihat dan mengamati. Dari melihat sebuah objek secara tajam dan terus-menerus, memusatkan perhatian pada objek, disadari atau tidak seluruh kesadaran tubuh memusat membentuk konsentrasi. Dan, mengutarakan detaildetail yang dilihat pada objek itu mengasah kepekaan. Ketika berkonsentrasi pada emosi tertentu, maka akan muncul dorongan-dorongan dalam diri untuk meluapkan emosi itu. Dalam olah rasa, kepekaan yang sudah sangat runcing harus memiliki motivasi yang jelas. Artinya harus selalu ada tujuan ketika mengasah kepekaan rasa. Untuk dapat mencapai hal itu juga dibutuhkan kecerdasan emosional untuk memahami makna dari latihan teater dan menyerahkan diri seutuhnya pada latihan. Latihan tidak akan maksimal jika hanya tubuh yang bekerja, sementara pikiran tidak dipusatkan untuk memetik ilmu yang berharga. Jika kecerdasan emosional ini tercapai, niscaya akan ditemukan manfaat dari latihan teater yang bisa diterapkan pada aspek kehidupan lain di luar teater. Rasa yang telah terlatih akan membantu dalam mengelola emosi agar terkendali dan dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan terutama yang terkait dengan hubungan antar manusia. Selain itu juga akan mampu memotivasi diri, tidak melebih-lebihkan emosi, juga berempati. Perasaan membuat manusia meraih kualitas terbaiknya, namun kadang manusia luput dan hanya mementingkan apa yang tampak, karena itu perlu diingatkan kembali. Manusia yang cerdas adalah manusia yang bisa mebedakan kedekatan antar manusia dan kedekatan dengan Tuhan. (Bukin/NTA)


VOKAL Ekspresi Pemberontakan dalam Musik Sering kita melihat dandanan jeans ketat robek, kaus sempit, atau fashion kulit dan rantai-rantai, serta aksesoris paku ala punk dikenakan anak muda, lengkap dengan rajah tubuh dan tindikan tidak hanya di kuping. Lalu sikap slengean serasa rockstar. Meski ketika bersentuhan dengan realita, kehidupan bermasyarakat yang sarat dengan nilai dan norma dan kaum mayoritas, mereka diberi label negatif. Tapi justru mereka semakin melawan dominasi, memberontak kemapanan. Menapaki jejaknya, subkultur lahir dari keberadaan kekuasaan dominan yang dianggap mempunyai kepentingan dan tidak manusiawi. Subkultur tersebut tetap ada sebagai oposisi kemapanan bahkan ada role model-nya. Kaum muda identik dengan proses pencarian jati diri. Mereka mengidentifikasikan diri demi eksistensi dan tujuan mereka. Musik dan segala pernak-pernik seperti fashion dan attitude-nya adalah salah satu medianya. Musik menjadi media komunikasi massa yang kuat dan berpengaruh (selain televisi dan internet) untuk menyampaikan sesuatu bagi kaum muda, baik dari karya maupun attitude musisinya. Mereka yang kritis cenderung mempertanyakan hal-hal di sekitarnya, termasuk ketimpangan-ketimpangan, kesenjangan sosial, dominasi kapitalisme, hingga membuat mereka mencari pandangan yang sejalan dengan mereka. Musik dengan segala ideologi didalamnya menjadi wadah yang tepat bagi eksplorasi ekspresi kaum muda. Anak muda cenderung akan mengidentifikasi bahkan mengimitasikan karya musik, baik secara mentah-mentah maupun kritis. Hal itu berpengaruh pada pandangan hidup, ideologi, attitude, bahkan memacu kreativitas kaum muda dalam berkarya. Tidak ada yang salah dengan itu, jika memang itulah alasan atau bahkan pemicu untuk berkarya dan menjadi kritis. Semua label negatif bisa dianggap hanya pepesan kosong yang tidak mau menerima sesuatu yang baru, yang beda, yang berontak karena kritis. Sikap konvensional hanya menang karena memang mayoritas dengan standar yang sempit. (Bukin/NTA) Sumber: KULTUR UNDERGROUND: Yang Pekak dan Berteriak di Bawah Tanah, Taufik Adi Susilo, Jogjakarta: Garasi, 2009


NASKAH

Drama, Harga Diri dan Perempuan Oleh: Sunarsih Saladina

Seorang perempuan, apakah cantik ataukah seksi. Di suatu kota bernama Anta, pada suatu waktu yang tak seorangpun mau dan mampu mengingatnya, ada cerita tentang seorang perempuan yang menghabiskan sepanjang siangnya di balkon kamar kontrakrannya, duduk bersandar di tembok abu-abu pada suatu siang sumuk nan gerah sambil mengepulkan asap tembakau favoritnya dan mencuri dengar lagu jazz dari bilik tetangganya. Begitu waktu dia habiskan hingga senja menjelang dan teleponnya berdering lalu setelah dia mengangkatnya dan cuap-cuap disana ia akan pergi mandi dan berdandan. Lalu pergi kemana, tak semua orang ingin tahu. Kota yang hampir seluruh temboknya abu-abu. Begitulah kota Anta kala itu dengan hilir mudiknya. Sang perempuan, yang tak semua orang memedulikannya berbelok ke gang sempit dan berjalan memutar ke belakang sebuah gedung bekas gedung teater yang sekarang disulap jadi tempat judi tinju oleh seorang bandar tinju merangkap germo terkaya di kota Anta. Rafollo namanya. Ia sedang merencanakan suatu skenario kekalahan bagi seorang pedagang tembakan yang meraup sepuluh juta minggu lalu dari kemenangan yang juga dibuluskan bersamanya, dengan sekertaris walikota yang ingin terhibur dengan melihat kekalahan sepupunya. “Gascar, kujamin kau paling sedikit dapat lima belas juta. Semua orang menjagokan Edmundo, tapi tenang saja, sudah kusiapkan “amunisi” untuk petinjumu, Rhoin. Edmundo pun sudah tahu apa yang harus dia lakukan.” Rafollo, yang meskipun selalu memakai baju hawaii berwarna cerah, ditakuti preman seantero kota, meyakinkan Gascar sang sekretaris ibukota. Gascar mengangguk-angguk membayangkan kekalahan Rojas, si pedagang tembakau. “Aku benar-benar ingin melihat Rojas tampak bodoh nanti malam.” Seketika itu, percakapan berakhir dan pintu yang membuka pelan meruakkan sosok si perempuan yang mereka anggap cantik dan seksi. Seakan sudah biasa dengan suasan seperti ini, sang perempuan langsung mengambil tempat di sofa beludru hijau dan duduk menyilangkan kakinya sambil tak lupa menyulut lintingan tembakau favoritnya. Gascar tak bisa melepaskan pandangannya dari bibir, leher hingga belahan dada si perempuan. Jakunnya naik turun dan ia berbisik pada Rafollo, “ia lebih cantik dari primadona yang dibanggakan Rojas!” Rafollo berpikir,


NASKAH tepat sekali menyuruh si perempuan datang di saat seperti ini. Benar perkiraannya, Gascar pasti akan tertarik pada si perempuan. Seringai liciknya berlanjut, “kalau kau mau ia jadi gadis pembawa keberuntunganmu malam ini, kuberi harga yang pantas untuk perempuan sekelas dia. Ia memang kesayanganku.” Sang perempuan mendengar dan mengerti semua pembicaraan yang terjadi di ruangan itu. Namun ia tetap acuh dan kini mengeluarkan ganja kering dan papir dari dalam tasnya. Seketika lintingannya membara dan asap wangi mengepul, mengalun irama swing di seantero ruangan. Ia suka lagu jazz.

adrenalinnya karena pasang-surutnya Edmundo, Rafollo sibuk menghitunghitung uang taruhan dan Gascar sibuk mencumbui gadis pembawa keberuntungannya. Seperti Skenario Gascar dan Rafollo, Edmundo jatuh KO berlumuran darah di pelipis dan lubang hidung, dan lucutlah harga dirinya sebagai petinju di hadapan gemuruh sasana. Ketika ia digotong keluar ring, si perempuan memandanginya lekat-lekat. Matanya nanar. Sasana tinju masih bergemuruh ketika Rafollo, Gascar dan sang perempuan kembali ke ruang kerja Rafollo untuk bagi hasil.

Darah yang mengucur demi uang, drama di bekas gedung teater malam itu, Gascar duduk berdampingan dengan si perempuan, dan ia tak hentihenti memeluk pinggang dan menciumi lehernya. Sang perempuan cekikikan bukan karena senang berada di pelukan Gascar di tempat duduk paling bergengsi di ‘sasana’ tinju itu. Ia masih dalam pengaruh marijuana. Tapi semua orang di sasana tinju malam itu melihat Gascar bersama pelacur tercantik di kota Anta yang tertawa-tawa di pelukannya.

“Rafollo, saudaraku, kau sutradara yang brilian!”

memang

Sementara itu di ring sedang ada pertunjukan yang menarik sekali bagi semua orang yang memasang taruhan yang tidak memasang taruhan pun ikut teriak-teriak menjagokan siapa yang mereka suka, antara Rhoin dan Edmundo. Padahal bagi Rafollo dan Gascar semua terlalu mudah ditebak. Di saat-saat Rojas terombang-ambing

Selintas sang perempuan lewat di sasana tinju di tepi kerumunan orang yang berteriak-teriak meminta bagian taruhan mereka. Beberapa anak buah Rafollo dijejali pendukung Rhoin dari berbagai sisi hingga nyaris kewalahan. Padahal bagian kemenangan mereka tak seberapa dibanding yang diperoleh Gascar, apalagi Rafollo.

“Apapun julukannya, uang yang berbicara. Ini yang kujanjikan padamu, Gascar. Dan kau lihat,Rojas tak berani lagi petantang-petenteng di hadapanmu.” Sibuklah mereka menghitung untung taruhan. Sementara itu si perempuan acuh saja meninggalkan ruangan itu. Tebalnya riasan tak sanggup bicara apaapa


NASKAH Pun tak ada yang melihat ketika si perempuan melintas ia sibuk menhapus riasan wajahnya dengan saputangan, hingga lepas pulasan merah di bibirnya, coklat di matanya dan terracota di pipinya. Wajah cantik yang tadinya terlihat menantang kini menyisa sendu. Tapi mungkin justru malah terlihat sensual. Suara tak-tok sepatu tingginya nyaris tak terdengar ketika sampai di ruang ganti pemain. Pelan-pelan ia masuk, bersembunyi di balik loker, dan memasang telinganya tajam-tajam. Dari situ ia bisa mendengar air mengusur dari pancuran. Ia berpikir, perihkah terasa lukanya saat mandi? Lalu matanya tertumbuk pada tumpukan barang-barang di bangku. Jubah dan celana tinju, sarung tinju, sepatu tinju dan handuk penuh darah menyembul dari sebuah tas hitam besar. Dan, hei, apa itu yang bersampul kulit warna coklat? Pelan-pelan sang perempuan mendekati tumpukan barangbarang itu, dan meraih buku bersampul kulit itu. Dibukanya dan terbaca tulisan yang tertulis pada halaman pertama. Angel no es la solo existir en los cielos*. Dilanjutkannya membuka halaman-halaman selanjutnya. Penuh tulisan tangan bait-bait doa dan puisi. Ia tidak tahu seorang petinju bisa jadi seorang religius. Mungkin itu yang membuat matanya nanar tiap kali menatap laki-laki itu. Tiba-tiba ditemukannya selembar foto di selipan halaman-halaman itu. Foto seorang lelaki muda belasan tahun tersenyum lebar sekali sambil memeluk piala dengan lengannya karena tangannya masih terbungkus sarung tinju. Dipandanginya lelaki muda yang tersenyum lebar itu. Seperti seluruh dunia bangga padanya kala itu. Seprti senyumnya yang lebar siap menyambut gerbang yang terbuka lebar di depannya. Gerbang menuju selaksa impian yang sudah dipilih dan dimulainya. Ingin dilanjutkannya membaca halaman-halaman buku itu. Tapi suara pancuran air tiba-tiba berhenti. Ia buru-buru meletakkan buku tadi di tempatnya semula lalu hendak beranjak keluar. Tapi pintu kamar mandi keburu terbuka. Dan laki-laki itu keburu memandang punggungnya yang terhenyak kaku. “Aku bukan bermaksud untuk berkata tidak sopan, nona, tapi apa yang kau cari disini?” Tanpa punya keberanian untuk berbalik, sang perempuan bermaksud untuk cepatcepat pergi dari situ. “Tunggu nona, kumohon.” Barulah si perempuan merasa punya alasan untuk berbalik dan memandang wajah yang selalu membuatnya menatap nanar semua lakon yang terjadi di atas ring. Lukanya sungguhan. Pun memarnya. Baru kali itu si perempuan merasa, tak satupun memori tentang merayu dan menantang laki-laki muncul di pikirannya. “Nona jauh terlihat lebih cantik tanpa riasan.” *malaikat tak hanya ada di surga.


NASKAH

Takut. Hanyut. Mentok. Oleh: Sunarsih Saladina

Jiwamu bobrok, bobrok sampai ke akar-akarnya! Tak mampu kau pilih makanan bagi jiwamu yang kerontang Karena hanyut oleh rasa lapar yang hanya mampu kau Kenyangkan dengan limbah kapitalis dan kerak industri lagi ampas peradaban yang menyisakan tempurung modernisasi Jiwamu bobrok karena ketakutan Takut berdiri di atas kaki sendiri, takut tak mampu bangkit jika nanti jatuh, takut menanggung malu karena permulaan belajar adalah tidak bisa Takut memilih yang benar karena tak tahu lagi apa yang benar Takut berkata tidak karena malas mencari tahu bagaimana seharusnya mengisi otakmu Jiwamu bobrok karena kewajaran-kewajaran yang dipaksakan Pikiran yang diproduksi di bangku sekolahan Tak lagi mampu memperbaiki mentalmu yang haus titel tapi tak haus ilmu Karena buat jiwa yang bobrok hidup hanya mengejar nama dan pangkat Serta berapa penghasilanmu untuk menyokong gayamu yang selangit Padahal pantatmu dan pantatku sama-sama perlu jamban Jiwamu bobrok karena pikiranmu yang buntu Mentok pada definisi kenikmatan dan kesenangaan yang picik Yang melulu berarti melahap mentah-mentah semua yang dianggap hiclass, semua yang dianggap hip, dan happening Kosmetika yang dipulas berulang kali untuk menutupi jiwamu yang bobrok! Jangan coba-coba kritik pemerintah Jangan dulu pikir soal siapa yang cocok jadi pemimpin Jangan protes soal sistem birokrasi Jangan khawatir soal ekonomi global Omong kosong kalau kau gundah soal masa depan bangsa Kalau belum tahu bagaimana caranya berguna bagi oran lain 2012


NASKAH

Para Pecundang Oleh: Sunarsih Saladina

Ini tahun dua ribu dua belas, wahai sobat sejawat! Saat tak ada lagi orang yang mau pakai converse robek-robek. Dan celana jeansmu berteriak berapa uang yang ada di dompetmu. Beli dong Nike KW, harga murah tapi bisa gaya. Jangan sering-sering dipake, nanti cepat rusak ketauan abalnya. Ini tahun dua ribu dua belas wahai sobat sejawat! Tahun dimana para perempuan sibuk cari tas hermes KW sekian Dan krim pemutih korea yang pasti bikin cantik Juga kalo ngga punya black berry, ngga layak dihubungin! Ini tahun dua ribu dua belas, kawan Kemanapun kau menoleh iklan-iklan menjanjikan kesuksesan Kalau ingin bahagia kau tinggal nonton tivi. Angkat telepon lalu barang datang. Kebahagiaan. Di tahun dua ribu dua belas bertaburan kebahagiaan semu yang bisa dibeli. Dan televisi mengajarimu bahwa uang adalah kebebasan. Terlalu banyak ruang untuk memoles diri sendiri Sampai tak ada lagi waktu memperhatikan sekitar. Terlalu betah mengawasi yang tak nyata Hingga tak lagi tahu apa yang nyata. Lupa bahwa menjadi muda hanya sekali dan lupa menjadi akut Hingga tua menjadi pecundang Dipecundangi media Dipecundangi penguasa Dipecundangi westernisasi Dipecundangi industri Dan lupa untuk menjadi agen perubahan Lupa untuk menajamkan pikiran Lupa untuk melawan Lupa untuk menjadi kritis Ini tahun dua ribu dua belas, kawan. Lebih baik miskin tapi kritis daripada kaya tapi pecundang! 2012


HALAMAN FOTO

ALJABAR

Teater Cinta Lakon dalam FTJ Jakarta Timur membawakan lakon yang mengisahkan tentang dua orang pelukis yang mencapai titik frustasi. Melukis merupakan simbol kehidupan dan segala kegelisahannya. Kedua tokoh ini menggambarkan kehidupannya melalui lukisan-lukisan yang dibuatnya.


HALAMAN FOTO

Konflik mulai terjadi ketika si pelukis perempuan ingin meniduri pelukis laki-laki namun terus ditolak. Sampai pada akhinya terbuka bahwa mereka mempunyai hubungan darah, yaitu ayah dan anak. Sang perempuan merasa terpukul dan ingin mencoba bunuh diri, namun selalu gagal.

Mereka menghancurkan semua lukisan yang pernah dibuat lalu mulai melukis potret diri sendiri. Namun selalu gagal. Potret diri mereka ketika sudah terlukiskan ternyata tak seperti yang selama ini mereka kenal. Semakin mereka berusaha semakin kabur pula lukisan yang terbentuk. Sampai pada akhirnya mereka sadar bahwa mereka tak pernah mengerti dan memahami drinya sendiri. (BuKin/BAP)


PANGGUNG

Mati Suri di Jakarta

“Apakah kamu pernah bermimpi tentang mati? Mati tenang di padang rumput. Dimakan belalang dan dihirup langit. Debu dari abu tanahmu menjadi satu dengan tanah. Apakah kamu pernah merasakan mati? Aku sedang mengalaminya.� Seperti itu monolog yang dibawakan oleh Desi, seorang biasa yang meninggi derajatnya setelah dipaksa oleh ibunya untuk menjadi simpanan seorang pengusaha kaya, James. Desi yang tidak tahan hidup sebagai gundik akhirnya memutuskan untuk berpisah dengan James dan menikah dengan Sam, seorang lelaki yang telah memiliki istri. Nahas, Sam tak pernah pernah mencintai Desi seutuhnya. Kehidupan Desi bersama Sam jauh lebih mengenaskan daripada saat masih bersama James.


PANGGUNG Setiap pulang ke rumah ibunya, wajah Desi selalu terlihat memar. Namun Desi tetap mengatakan seribu alasan kepada ibunya untuk menutupi perlakuan kasar Sam. Karena Desi mecintai Sam, dengan segala kekurangannya. Sam yang memang tak pernah mencintai Desi semakin menjadi-jadi. Ia hanya ingin mendapatkan harta milik Desi, yang diwariskan dari James, mantan suaminya. Diam-diam, Sam bersama istri pertamanya merencanakan sebuah pembunuhan untuk Desi. Sam rela menyewa jasa seorang pembunuh bayaran dengan biaya mahal untuk menghabisi nyawa Desi. Ketika Sam dan Desi sedang berjalan bersama di pasar malam, suasana tiba-tiba menjadi kacau, dan Desi pun terpisah dari Sam. Desi yang sedang sendirian dan kebingungan terus berteriak saat pembunuh itu datang. Tiba saatnya untuk pembunuh bayaran itu malaksanakan tugasnya. Ia membunuh Desi dengan sebuah pisau panjang yang dicabut dari sela pinggangnya. Dalam kematiannya itu, arwah Desi bermonolog ria tentang kehidupan, yang tak pernah mendapatkan cinta dan kebahagiaan, dan tentang kematian. Dan, sebagai perempuan yang menjadi korban, Desi dan Nyai Dasima senang untuk menyambut kematian, karena menurutnya mati itu lebih menyenangkan daripada hidup dengan keadaan tak memiliki hati nurani. Menurut Ari “Harjay� Wibowo, sutradara pementasan Teater Pagupon yang berjudul Mati Suri di Jakarta, kisah ini merupakan reailta yang terjadi saat ini, khususnya di Jakarta, di mana hati nurani telah mati. Serorang suami yang tega menyuruh pembunuh bayaran untuk “membunuh� istrinya sendiri untuk mendapatkan harta kekayaan, merupakan hal yang biasa terjadi di Jakarta. Lakon Mati Suri di Jakarta merupakan adaptasi dari karya sastra karangan G. Francis, Nyai Dasima, yang menceritakan tentang seorang gadis desa yang dipaksa oleh orang tuanya untuk menjadi gundik seorang pria berkebangsaan Inggris. Hal itu dilakukan oleh orang tua Nyai Dasima untuk meningkatkan derajat keluarganya. Pementasan Mati Suri di Jakarta merupakan sindiransindiran terhadap keadaan yang memaksa untuk mematikan hati nurani masyarakat. Sebagai sutradara, Harjay hanya berharap agar penonton dapat terhibur oleh pemantasan Mati Suri di Jakarta. Karena menurutnya, teater itu haruslah merupakan hiburan. Perihal ada pesan yang ingin disampaikan oleh pementasan tersebut, itu diserahkan kembali kepada masing-masing penonton untuk bebas menginterpretasikannya. (BuKin/BAP)


GAYA HIDUP

Menghibur dengan (Tidak) Cerdas

Wajar bila orang mencari hiburan. Ketika media menanggapi kebutuhan itu, maka hal itu akan jadi gaya konsumsi masyarakat. Pilihan acara dan stasiun televisi memang beragam. Tapi belum tentu kontennya menawarkan pilihan yang cerdas. Ketika satu stasiun televisi meraih rating yang tinggi dengan konten tertentu, maka stasiun yang lain mengikutinya tanpa mengeksplor kemungkinankemungkinan baru. Jelas bahwa masyarakat menjadi korban dari miskinnya ide media. Mengutip kata-kata filsuf Perancis Rene Descartes, “any community that gets its laugh by pretending to be idiots will eventually flooded by actual idiots who mistakenly believe that they’re in good company.� Apa itu sesuatu yang lucu? Apa yang bisa ditertawakan? Kenapa tertawa karenanya? Pertanyaan-pertanyaan ini dijawab oleh acara-


GAYA HIDUP acara hiburan (baca:komedi) di televisi dengan memproduksi program serupa Opera Van Java, Tahan Tawa, Canda Bule, Teater Komedi dan lain sebagainya. Masyarakat kita sangat mudah dipancing tawanya. Adegan mencelakai orang, memukul, mendorong, memasukkan sesuatu ke mulut orang lain, menimpuk wajah orang dengan sesuatu, ditertawakan. Genre komedi demikian disebut slapstick. Ada orang yang tampak sedikit tidak wajar sehingga mengundang komentarkomentar yang mengarah pada pelecehan, variasi kondisi fisik misalnya bentuk anatomi wajah, warna kulit, tinggi badan, berpurapura gagu atau terbelakang mental, dianggap lucu. Dalam genre komedi ini disebut insult comedy. Berlaku seperti waria, konteks seksual yang terselubung atau terang-terangan, menakut-nakuti dengan binatang, merendahkan kelompok atau suku tertentu, sering dipakai karena memancing tawa penonton. Ini disebut blue comedy. Jenis-jenis komedi yang telah dijabarkan di atas menjamur di televisi kita. Padahal, tiga genre komedi itu adalah yang paling rendah kedudukannya. Masih banyak genre-genre komedi lain yang belum terjamah. Bukan karena tidak mampu untuk membuat, tapi lebih karena takut khalayak tidak mengerti dan tidak ditonton (baca: tidak memperoleh rating). Jika terus berkutat disitu masyarakat tidak akan cerdas dan fungsi edukasi media tak akan pernah menetas dari textbook. Menyerah pada pasar hanya akan menyebabkan pembodohan. Komedi bisa diaggap sebagai hal sepele, hal yang dinikmati orang sekali lewat dan tidak menimbulkan akibat berkepanjangan. Benarkah seperti itu? Komedi, dan seni pertunjukan apapun sebenarnya adalah akibat dari aspek-aspek kehidupan diluarnya. Ketika urusan perut jadi yang utama dan semua orang mengejar pemenuhan kebutuhan di tengah deraan kapitalisme, tidak ada lagi waktu untuk mencerdaskan batin. Sekolah pun hanya untuk cari gelar tinggi supaya kelak bergaji tinggi. Maka ketika tuntutan perut sudah sebegitu tinggi, ketika menoleh ke media tak ada lagi kesadaran untuk meningkatkan kualitas hidup dengan tayangan yang berbobot. Padahal tak sulit untuk mengerti tayangan yang cerdas. Kata seorang Pandji Pragiwaksana, mulailah dengan menangkap apa yang dimaksud, bukan apa yang diucap. (BuKin/MNP)


TENTANG RUPA

Kampung Segart: Pamer Pameran

Kampung Segart, salah satu UKM seni di kampus IISIP Jakarta, kembali mengadakan pameran yang bertajuk Pamer Pameran pada tanggal 25 – 27 Oktober 2012, kemarin. Dalam pameran ini, Kampung Segart menghadirkan 32 karya dalam bentuk dan gaya yang berbeda-beda. Kamseg (sebutan umum Kampung Segart) memamerkan segala keahlian para anggotanya dalam berseni rupa. Kaseg dalam hal ini hanya bertindak sebagai media dari hobby masing-masing artist yang menampilkan karya-karyanya. Pamer Pameran secara keseluruhan mambebaskan para artist untuk membuat karyanya. Konsep utama dari Pamer Pameren adalah memamerkan karya itu sendiri, yang bebas dan bisa dipertanggungjawabkan. “Asal presentasinya jelas,” kata Hanif, seorang anggota aktif Kamseg. Para artist, yang semuanya merupakan anggota Kamseg, dalam pameran ini diajak untuk mengkomunikasikan sesuatu lewat karya seni rupa. Mereka mencoba merespon apa saja yang ada di kenyataan melalui karya mereka. Dengan cara yang fun, Kamseg memamerkan karya-karya yang tidak melulu serius, namun bersifat eksperimental. Terlihat dari salah satu karya, ‘Kucing Nyiram Orang’, yang menggambarkan adanya seorang kucing yang sedang menyiram seekor orang dengan air panas. Nampak sebuah irasionalitas yang tak dapat ditemui di kenyataan. Angga Aditya menggunakan aklirik yang bermediakan kayu, hendak menghadirkan


TENTANG RUPA

sebuah kejenakaan yang sarat dengan sindiran. Sebuah parodi yang menghibur tanpa mengurangi kedalaman pesan yang ia sampaikan. Sejalan dengan Angga, Karina Dwi Febria memamerkan ‘Angel’, sebuah gambar perempuan yang didekonstruksi dengan gambar-gambar lainnya, seperti kolase. Hidung perempuan itu diganti dengan hidung babi, memiliki sayap layaknya malaikat, namun tidak berkulit pada bagian dada hingga perut, sehingga menjadi bentuk baru dan tentu saja, makna baru. Karina seperti menawarkan sosok perempuan dengan “wajah baru”. Bukan hanya itu, hal yang sangat irasional banyak hadir di pameran ini. Nampak seperti respon atas kenyataan yang rasional, sistematis, dan logis, yang justru selalu gagal menunjukkan kenyataan. Kampung Segart hendak menawarkan kenyataan yang lain, yang irasional, yang tak jelas, dan absurd. Indra, anggota kamseg, mengaku tidak pernah diberikan pendidikan secara formal tentang karya seni. Semua belajar secara otodidak dan mereka menampilkan karya mereka apa adanya. “Di sini kan bukan kampus seni, semuanya pada belajar sendirisendiri,” ujarnya. Hanif, salah satu artist dalam pameran ini, mengatakan bahwa karya seni itu tidak hanya milik mereka yang mempunyai skill atau keterampilan, tapi milik semua orang. Skill is Dead. Seni bukan hanya milik orang-orang spesialis seni. Kesenian adalah milik semua orang dan semua orang bebas untuk menciptakan sebuah karya seni. Meski bagaimana pun, seni tak pernah berdiri sendiri. Ia selalu terkait dengan dunia luar. Terlalu banyak kenyataan yang dapat dicerap, dikonstruksi, direkonstruksi, bahkan didekonstruksi untuk mendekati kenyataan yang sesungguhnya, yang memungkinkan eksperimen baru dalam berkesenian. Hal tersebut, yang dilakukan kamseg, merupakan perlawanan terhadap estetika populer yang mainstream, yang justru membuat Kamseg nampak eksklusif. (BuKin/BAP/MR)


NUSANTARA

Budaya Menulis Nusantara Menulis sudah dibudayakan oleh para leluhur kita di nusantara dari ratusan tahun yang lalu. Pendahulu kita sudah mengerti akan pentingnya karya tulis ataupun karya sastra sebagai dokumen atau rekaman sejarah agar dapat dimanfaatkan sebagai pembelajaran bagi generasi yang akan datang, dan pengetahuan-pengetahuan tersebut tidak hilang. Diantara karya sastra kuno itu, adalah Suluk Tembangraras atau yang lebih sering dikenal sebagai Serat Centhini, hasil rekaman pengelanaan tiga pujangga keraton Surakarta, yaitu Ranggasutrasna, Yasadipura II (Ranggawarsita I), dan Sastradipura atas perintah Sunan Paku Buwana V. Pengelanaan tersebut dimaksudkan untuk menghimpun tidak hanya kearifan lokal dari sepanjang tanah Jawa, namun juga penyimpangannya. Penulisan Serat Centhini berbentuk tembang macapat. Pertemuanpertemuan umum di luar keraton menjadi sarana publikasi pada zaman itu sehingga berbagai kalangan mudah menyerapnya. Proses penulisan Serat Centhini dilakukan dengan matang. Segala yang tertulis merupakan hasil observasi langsung, pencarian jati diri, pembelajaran dari tokoh-tokoh Jawa kuno, perjalanan spiritual, sampai perjalanan haji. Proses ini dapat menjadi pembelajaran bagi generasi sekarang. Menulis tidak hanya sebatas curhat, pamer aktivitas atau tanggapan sepihak. Menulis adalah proses penemuan saripati kehidupan. Dengan menulis, kita akan terbiasa untuk merekam dan mengendapkan hal-hal yang kita alami sehingga terbentuk kedewasaan yang makin matang. Seperti pada kisah pencarian jati diri tokoh Cebolang yang bak Cassanova, begitu liar menuruti nafsu biologis, akhirnya sampai juga pada pertobatan dan penemuan hakikat kehidupannya. Betapapun luhurnya suatu pemikiran dan berharganya suatu pengalaman, bisa saja luruh jika tak didokumentasikan. Kesadaran menulis adalah bekal berharga menuju kedewasaan, namun jangan lupa, di tingkat Taman Kanak-kanak pun, sebelum menulis diajarkan membaca. (BuKin/NFS)


ANGKRINGAN

Mikir Lagi... Mikir Lagi... Setiap Hari Mikir Melulu... Sudah enam bulan saya, Mbah Jarwo yang berkarisma, ndak menulis di rubrik Angkringan, tiba-tiba Bu pemred datang ke rumah minta saya nulis. “Mbah, nulis buat Angkringan edisi November ya!!??� begitu katanya. Ya, saya sih nurut saja, walaupun ndak tahu mau nulis apa. Yang penting kan bikin Bu pemred yang sedang gelisah itu tenang dulu. Seharian merenung di rumah, inspirasi ndak muncul juga. Kopi sudah habis tiga gelas, berpikir sudah keras, yang ada malah jadi mengantuk. Saya putuskan untuk mandi agar air yang jernih bisa membawa pikiran yang jernih pula. Ternyata sugesti kepada air yang jernih kali ini tidak menghasilkan pikiran yang jernih. Saya jadi frustasi sendiri gara-gara mikirin tulisan buat nanti. Saat senja tiba, saya jalan-jalan keliling kampung. Niatnya mau mencari inspirasi untuk bahan tulisan Angkringan, tapi malah bertemu pemuda setengah baya yang ndak jelas asal-usulnya, si Suman. Saya ajak ngobrol panjang lebar tapi malah ndak ketemu pencerahan untuk bahan tulisan. Suman malahan mengajak saya nongkrong di pos ronda buat main catur. Melihat antusias Suman, saya ndak enak kalau ndak meladeninya main catur. Lama bermain dengan Suman, tak terasa azan magrib sudah berkumandang.


ANGKRINGAN Saya pulang meninggalkan Suman yang pergi ke langgar (musholah). Pikiran saya terasa segar setelah berbincang dan bermain dengan Suman. Kehidupannya yang sederhana, polos, dan seperti tak ada yang dipikirkan membuat saya iri melihatnya. Suman memang hanya tamatan sekolah dasar, pantas ndak banyak yang dipikirkannya. Yang dia tahu dalam hidup itu yang penting makan dan sembayang. “Yang penting itu proses, Mbah. Apapun nanti hasilnya, yang penting kita sudah berusaha semaksimal mungkin.� begitu kata si Suman saat saya tanya tujuan hidupnya yang ndak jelas itu. Lain ceritanya dengan Sal, pengusaha warung tegal (warteg) yang bergelar sarjana dan mempunyai anak satu ini. “Kalo usaha saya sudah sukses, saya sekolahin anak saya ke luar negeri, Mbah, biar jadi orang cerdas.� begitu kata Sal saat saya makan di warteg miliknya. Sal mengerti bahwa sistem pendidikan di negara kita ini amburadul, oleh karena itu dia ingin menyekolahkan anaknya ke luar negeri agar menjadi orang cerdas. Saya kagum padanya, dia memiliki tujuan yang sangat mulia. Sepulang ke rumah, ada Popskii lagi bengong di depan komputer. Setiap ditanya, jawabnya lagi menambah wawasan biar kadar intelektualitasnya meningkat. Sudah sering dibilang kalau ketergantungan dengan dunia maya itu ndak baik, membuat susah waktu berhadapan dengan yang nyata. Tetap saja ngeyel. Memang kalau anak muda itu susah dibilangin, selalu menganggap dirinya benar. Ampun deh!! Ketiga orang yang saya saya ajak ngobrol tadi memiliki latar belakang yang berbeda-beda, begitu pula dengan tujuan hidupnya. Tapi menurut saya, sebagai orang yang sudah makan asam garam, proses untuk mencapai tujuan hidup seseorang adalah hal yang sebenarnya menentukan kadar intelektual orang itu, bukan latar belakang ataupun tujuannya. Latar belakang hanyalah modal, sedangkan tujuan adalah masa depan yang harus dicapai dengan proses yang panjang. Tinggal bagaimana orang itu memanfaatkan proses itu sebagai sarana untuk meningkatkan kadar intelektualnya, mengembangkan kecerdasannya. Lah ini tulisan ternyata sudah jadi. Ternyata bertemu dengan orang-orang ndak jelas seperti Suman, Sal dan Popskii juga bisa jadi bahan tulisan toh. Saya terlalu meremehkan perbincangan ringan, ternyata. (BuKin/BAP)


RESENSI

Lokasi Tidak Ditemukan:

Mencari Rock and Roll Sampai 15.000 Kilometer

Rock and Roll secara tidak sengaja membawa Taufiq Rahman berkelana mengunjungi tempat-tempat di mana musik ini pernah menjadi besar. Taufiq memilih untuk menuliskan tentang rock and roll, karena dia mencintainya. Ia tidak mencari kebenaran dalam buku ini, karena menurutnya mencari kebenaran merupakan tugas para Nabi dan filsuf.

menjadi lebih sulit lagi karena seiring dengan kemajuan negara-bangsa pasca revolusi industri, musik menjadi sesuatu yang politis.

Buku ini akan memberi nuansa berbeda karena sekaligus berbicara mengenai rock and roll, dan hidup manusia. Di luar pembahasan itu Taufiq tetap ingin menjadi hip dengan memberi musik dari piringan “Lokasi Tidak Ditemukan� adalah hitam/vinyl, yang sekaligus mungkin kumpulan esai musik yang ditulis oleh dekat dengan gejala konsumerisme, Taufiq ketika melakukan perjalanan ke sesuatu yang kadang di luar kuasa Taufiq Amerika Serikat, sambil menyelesaikan sebagai penulis. (BuKin/BAP) sekolah pasca sarjana. Esai-esai musik bagaikan buku panduan untuk mereka yang ingin melakukan perjalanan mencari rock and roll. Esai-esai yang dituliskan pun tentu saja tak lepas dari subjektifitas selera musik sang penulis. Dalam banyak hal, Taufiq dapat menjaga independensinya. Independensi itu, misalnya, telah menyingkirkan selera dan antusiasme Taufiq dalam isinya, meskipun subjektifitas mustahil untuk dihilangkan. Dalam buku ini Taufiq juga menceritakan kesulitan untuk menulis tentang musik. Menulis musik menjadi sulit bukan karena keharusan untuk mengiterpretasikan warna suara atau harmoni dari beberapa instrumen berbeda. Namun menulis tentang musik menjadi sulit karena menulis musik pada akhirnya menulis tentang manusia. menulis tentang musik


Tanah Surga …Katanya

Ilustrasi: Adelina MK

RESENSI

SEBARKEN KARYAMU!! MOSO’ IYO DISIMPEN NGONO TOK?


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.