SANUSI PANE: PENGGERAK BAHASA PERSATUAN INDONESIA

LAPORAN TINDAK LANJUT HASIL PENGUSULAN CALON PAHLAWAN NASIONAL TAHUN 2021 ATAS NAMA SANUSI PANE: PENGGERAK BAHASA PERSATUAN INDONESIA

U

BALAI BAHASA PROVINSI SUMATERA UTARA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI

2022 Jalan Kolam (Ujung) Nomor 7, Medan Estate, Medan Telepon/Faksimile (061) 7332076

PENGANTAR LAPORAN Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan YME, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya. Hanya karena kehendak-Nya, semua ikhtiar masyarakat dan pemerintah—baik pusat maupun daerah, terutama di Provinsi Sumatera Utara—dalam mengusung Sanusi Pane (Penggerak Bahasa Persatuan Indonesia) dapat terlaksana untuk menjadikan tokoh pergerakan nasional ini sebagai calon pahlawan nasional (CPN). Laporan tindak lanjut hasil pengusulan CPN 2021 atas nama Sanusi Pane ini dapat disusun juga hanya karena karunia-Nya. Bagi makhluk yang beriman pada Tuhan YME, kehadiran manusia merupakan kehendakNya sebagai wakil atau khalifah Allah SWT di muka bumi. Sebagaimana kisah Nabi Adam a.s. yang tercatat di dalam kitab suci, ketika manusia pertama ini hendak diciptakan sebagai khalifah Tuhan itu, peristiwa Ketuhanan terjadi pada Adam, yang mampu menyebutkan namanama benda dengan bahasa yang telah diajarkan-Nya. Kemampuan berbahasa itulah yang membuat makhluk lain bersujud salut kepada Adam, kecuali makhluk setan yang tidak mau bersujud kepada manusia karena kesombongannya.

Dalam hal penciptaan insan manusia Indonesia pun terjadi peristiwa Ketuhanan. Tanpa kehendak Allah SWT, tidak akan terbit bahasa yang mempersatukan manusia yang beragam ini menjadi satu bangsa dalam kesatuan wilayah tanah air: bahasa (persatuan) Indonesia.

Persatuan atau proses bersatunya manusia yang menjadi berbangsa satu dan bertanah air satu Indonesia ini dapat dikatakan sebagai wujud konkret atas kehendak Tuhan. Tidak hanya konkret ciptaan Tuhan yang berupa manusia yang dijadikan khalifah-Nya di muka bumi Nusantara yang berkeindonesiaan ini, tetapi wujud kesatuan dari persatuan Indonesia juga kekal dalam keabadian.

“Marilah kita berjanji: Indonesia abadi.” Demikianlah W.R. Supratman menyatakannya dalam lirik lagu Indonesia Raya. Lirik Lagu Kebangsaan pada stanza ke-3 itu didahului dengan ungkapan “Marilah kita mendoa: Indonesia bahagia.” Ungkapan doa pengharapan akan kebahagiaan pada stanza ke-2 itu terlebih dahulu berlandaskan seruan pada stanza ke-1 “Marilah kita berseru: Indonesia bersatu.” Ternyata, begitu mendasar seruan persatuan Indonesia ini, yakni bersatunya sebuah bangsa besar dengan atribut bahasa persatuan Indonesia, tidak dengan atribut kemanusiaan yang lainnya (butir ke-3 dalam teks Sumpah Pemuda 1928).

Persatuan Indonesia merupakan poros penggerak atau titik sentral cara pandang berkeindonesiaan yang telah dirumuskan sebagai Sila Ketiga dalam teks Lambang Negara: Burung Garuda Pancasila. Rumusan Sila Ketiga itu menyiratkan betapa pentingnya bahasa persatuan Indonesia, pada satu sisi, sebagai penggerak atas terselenggaranya negara demokrasi kerakyatan (Sila Keempat) demi ketercapaian tujuan bernegara secara paripurna, yakni keadilan sosial, yang telah dirumuskan sebagai Sila Kelima dalam teks Pancasila. Pada sisi lain, bahasa persatuan adalah sebuah penggerak atas kemanusiaan yang adil dan beradab (Sila Kedua) dan—sebagaimana telah disebutkan di atas—gerakan kebahasaan juga merupakan gerakan atas Ketuhanan YME (Sila Kesatu).

Sebagai sebuah simbol gerakan sosial, gerakan kebahasaan tersebut memiliki keunikan i

tersendiri—bagi umat manusia Indonesia, tentunya, sebagai pemilik atau penutur bahasa Indonesia—apabila dibandingkan dengan simbol gerakan sosial yang lain. Misalnya, ketika simbol bendara Merah Putih berkibar dinaikkan pada tiangnya, akan terlihat bahwa simbol bendera tampak jelas berjarak dengan manusia sebagai pemilik simbol itu. Tidak demikian halnya dengan simbol bahasa Indonesia yang tidak akan berjarak dan—bahkan—akan selalu melekat dengan diri manusia Indonesia sebagai pemilik atau penutur bahasa itu.

Oleh karena itulah, berbagai ikhtiar pembinaan bahasa Indonesia dilakukan dengan harapan bahwa dampak hasilnya akan dapat meningkatkan sikap positif warga masyarakat Indonesia dalam hal berbangsa terhadap penggunaan bahasa Indonesia sebagai cermin sifat patriotisme, kepahlawanan, dan nasionalisme yang tinggi. Asas pembinaan bahasa Indonesia itu telah dicantumkan dalam Pasal 2 beserta Penjelasannya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang, Negara, serta Lagu Kebangsaan. Cerminan sifat-sifat positif bagi masyarakat Indonesia tersebut—sejauh pengetahuan setakat ini—terdapat pada tokoh pergerakan nasional, Sanusi Pane.

Atas terselesaikannya laporan tindak lanjut hasil pengusulan CPN 2021 atas nama Sanusi Pane ini, ungkapan terima kasih disampaikan kepada Gubernur Provinsi Sumatera Utara beserta jajaran Pemerintah Daerah Sumatera Utara, yang berkenan menindaklanjuti hasil seminar nasional pada tanggal 23 Februari 2021 dengan tema untuk mengusung Sanusi Pane (Penggerak Bahasa Persatuan Indonesia) menjadi pahlawan nasional. Pengusulan tokoh Sanusi Pane (tokoh nasional yang lahir di Muara Sipongi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara) merupakan bagian pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pengutamaan Bahasa Indonesia dan Pelestarian Bahasa dan Sastra Daerah, sebagaimana terlihat pada Pasal 2 beserta Penjelasan Pasal 2.

Dengan terbitnya surat Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara Nomor 464/114/II/ 2022 tertanggal 18 Februari 2022—yang meneruskan perihal surat Kementerian Sosial RI Nomor 44/5/P.05.01/01/2022 tertanggal 26 Januari 2022 mengenai penyampaian hasil pengusulan Calon Pahlawan Nasional (CPN) 2021, antara lain, atas nama Sanusi Pane—Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara sangat berterima kasih atas kepercayaan untuk menindaklanjuti hasil pengusulan CPN tersebut. Untuk itu, ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Menteri Sosial Republik Indonesia, yang telah memberikan tiga butir arahan khusus terkait dengan pengusulan tokoh Sanusi Pane sebagai berikut.

(1) Perlu kelengkapan data hasil reviu literatur yang membandingkan tokoh Sanusi Pane dengan tokoh sastrawan lain yang hidup semasa dengannya.

(2) Perlu penggalian lebih lanjut jejak perjuangan tokoh Sanusi Pane dalam pengusulan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan hubungannya dengan M.Tabrani.

(3) Perlu sorotan yang lebih banyak terhadap kehidupan Sanusi Pane setelah tahun1945.

Untuk menindaklanjuti tiga butir arahan tersebut, telah dilakukan konsultasi pendalaman materi dengan pemakalah seminar nasional pada tanggal 23 Februari 2021 tersebut. Untuk itu pula, ungkapan terima kasih tidak lupa disampaikan kepada para pemateri/pemakalah seminar, secara khusus kepada Saudara A’ang Pambudi Nugroho (Ketua Komunitas Jawa Kuno) dan Saudara Priantono Oemar (Penelaah Sejarah Pergerakan Bahasa Indonesia di Harian Republika), yang telah berkenan menuliskan kembali materi/makalahnya masing-masing. ii

Tulisan tindak lanjut pengusulan tokoh Sanusi Pane telah diperkaya dengan bahan khusus yang disumbangkan oleh Saudara Imma Dwi Minggar Nastiti (pengkaji Pemikiran Sanusi Pane dalam Menumbuhkan Kesadaran Nasional). Atas sumbangan tulisan ringkas hasil kajian itu, kami sampaikan terima kasih kepada yang bersangkutan. Kepada semua pihak keluarga Sanusi Pane yang turut memperkaya bahan tulisan laporan ini, ungkapan terima kasih juga disampaikan.

Kepada Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, ungkapan terima kasih disampaikan atas arahan dan bimbingan beliau sejak direncanakan pelaksanaan seminar nasional pada tanggal 23 Februari 2021 tersebut. Kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi beserta seluruh jajaran Kementerian ini baik di pusat maupun di UPT-nya, kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan amanah tugas untuk melaksanakan pemajuan dan pelestarian bahasa dan sastra dari wilayah Provinsi Sumatera Utara.

Pengusulan CPN atas nama Sanusi Pane tersebut merupakan salah satu ikhtiar penting untuk meraih dampak besar dari hasil pelaksanaan program kegiatan Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara: memuliakan bahasa memajukan bangsa! Sebagai sebuah ikhtiar, penyusunan laporan tindak lanjut hasil pengusulan CPN 2021 atas nama Sanusi Pane ini tidak luput dari kekeliruann dan kekurangan. Untuk itu, arahan dan bimbingan serta kritik dan saran perbaikan sangat diharapkan demi keberhasilan pengusulan tokoh Sanusi Pane sebagai Pahlawan Nasional dalam bidang pergerakan bahasa persatuan Indonesia.

Medan, Februari 2022 Dr. Maryanto, M.Hum. Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi

iii

DAFTAR ISI Pengantar Laporan .......................................................................................................... i Daftar Isi ........................................................................................................................... iv Permintaan Tindak Lanjut ............................................................................................. v Ringkasan Eksekutif ........................................................................................................ vi Paparan Pengusul ............................................................................................................ xi BAGIAN 1 Sanusi Pane dan Sastrawan Sezamannya: Gerakan Sastra Romantik dalam Nasionalisme Berkeindonesiaan ...................................................................................... 1 

Sastrawan Pujangga Baru: Romantik-Sufistik .......................................... 1



Estetika Sufi yang Berkesinambungan ................................... 7



Sintesis Barat dan Timur bagi Indonesia ................................ 12

BAGIAN 2 Pergerakan Nasional Pengusulan Bahasa Indonesia: Hubungan Sanusi Pane dengan Muhammad Tabrani “Sebab Sanusi Pane Menyetujui Saya” ........................ 24 

Pergerakan Perjuangan Politik Kebahasaan .............................................. 25



Pembelaan Sanusi Pane untuk Bahasa Persatuan Indonesia ..................... 33



Polemik Kebudayaan sebagai Politik Kebahasaan .................................... 39

BAGIAN 3 Sanusi Pane Pasca-Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia: Patriot Sejati Tanpa Pamrih .................................................................................................................. 46 

Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan RI ........................................ 46



Prensip Merdeka Sejak Hati ...................................................................... 51

DAFTAR RUJUKAN ....................................................................................................... 53 LAMPIRAN

iv

PERMINTAAN TINDAK LANJUT Surat Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara kepada Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara

v

Surat Kementerian Sosial RI kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara

vi

vii

viii

RINGKASAN EKSEKUTIF Sebagaimana telah disebutkan di dalam surat Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, Kementerian Sosial Republik Indonesia Nomor 44/5/PB.05.01/01/2022 tanggal 26 Januari 2022, terdapat tiga arahan tindak lanjut atas hasil pengusulan calon pahlawan nasional (CPN) pada tahun 2021 atas nama Sanusi Pane: Penggerakan Bahasa Persatuan Indonesia. Jawaban ringkas atas arahan tindak lanjut itu adalah sebagai berikut.

ARAHAN 1: Perlu kelengkapan data hasil reviu literatur yang membandingkan tokoh Sanusi Pane dengan tokoh sastrawan lain yang hidup semasa dengannya.

JAWABAN 1: Sanusi Pane merupakan tokoh teras di antara sastrawan sezaman dalam angkatan Pujangga Baru. Pujangga Baru adalah gerakan budaya berbahasa atau gerakan sukma dalam indah kata yang lahir pada tahun 1930 dengan empat tokoh utamanya: Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Amir Hamzah, dan Armijn Pane. Perbandingan antar-sastrawan pada zaman Pujangga Baru itu tidak mungkin dilakukan tanpa melihat orientasi budaya dan semangatnya dalam bersastra. Dalam hal itu, sebagai gerakan sastra, karya Sanusi Pane sering dihubungkan lebih erat dengan adanya pengaruh romantisme demi Indonesia yang dicita-citakan. Sebagaimana pembahasan oleh para kritikus, Sanusi Pane memiliki kecenderungan sufistik atau mistikal yang sangat kuat dalam penulisan puisi. Kecenderungan ini merupakan titik tolak penting dalam membicarakan hubungan kepenyairan Sanusi Pane dan kawan-kawan sezamannya dengan tradisi sastra Melayu yang telah digemakan oleh seorang penyair sufi Melayu terkemuka abad ke-16 M: Hamzah Fansuri. (Jawaban lebih lanjut pada Bagian 1) ARAHAN 2 Perlu penggalian lebih lanjut jejak perjuangan tokoh Sanusi Pane dalam pengusulan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan hubungannya dengan M.Tabrani.

JAWABAN 2 Muhammad Tabrani menyatakan sikap tegasnya untuk terus bergerak mengusulkan penerbitan atau pelahiran bahasa persatuan, bahasa Indonesia. “Sebab Sanusi Pane menyetujui saya,” kata M. Tabrani sebagaimana dicatat dalam karya Sebuah Otobiografi M. Tabrani (1978:43) yang telah membukukan peristiwa penting berupa perdebatan dalam perumusan resolusi Kongres Pemuda Indonesia Pertama pada tanggal 2 Mei 1926.

Perumus resolusi kongres itu adalah Djamaloedin, M. Yamin, M. Tabrani, dan Sanusi Pane. Persetujuan Sanusi Pane tersebut memiliki jangkauan luas dan dampak nasional dalam pergerakan mewujudkan benang pengikat yang memungkinkan penyatuan bangsa Indonesia dari berbagai komunitas/suku bangsa. Pembelaan terhadap bahasa persatuan Indonesia oleh Sanusi Pane menunjukkan konsistensi dan semangat kebangsaan yang amat tinggi serta hampir sepanjang hayatnya untuk memperjuangkan pengusulan bahasa Indonesia. (Jawaban lebih lanjut pada Bagian 2)

ix

ARAHAN 3 Perlu sorotan yang lebih banyak terhadap kehidupan Sanusi Pane setelah tahun1945 JAWABAN 3 Sanusi Pane merupakan sosok patriot, seorang saksi, dan pelaku sejarah perjuangan bangsa Indonesia: baik dalam perjuangan merebut kemerdekaan maupun mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Sosok patriot ini terbukti dengan kecintaannya pada Indonesia tanpa berharap suatu pamrih apa pun"Indonesia telah memberikan segala-galanya bagiku. Akan tetapi, aku merasa belum pernah menyumbangkan sesuatu yang berharga baginya. Aku tidak berhak menerima tanda jasa apa pun untuk apa-apa yang sudah kukerjakan. Karena itu, adalah semata-mata kewajibanku sebagai putera bangsa."

Demikian pernyataan Sanusi Pane yang ditulis dalam laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/node/239). “… Bangsa kita ini sudah terlalu banyak masalah, telah dijajah ratusan tahun, kita perlu orang-orang muda yang maju supaya tidak dijajah terus. Bukan anak muda yang minta diurus dan tidak mampu mandiri,’ kata Bang Sanusi.”

Demikian pula sebuah gambaran dari A. Fauzi (2019: 70): penulis novel Merdeka Sejak Hati. Penulis novel itu sedang menggambarkan pertemuan Lafran Pane dengan abangnya, Sanusi Pane. Lafran Pane memang bukanlah seorang sastrawan atau pegiat kebudayaan seperti Sanusi Pane. Namun, perjuangannya memperakarsai dan mendirikan organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam itu tidak terlepas dari peran keluarga Pane yang berpegang prinsip Merdeka Sejak Hati. (Jawaban lebih lanjut pada Bagian 3)

x

PAPARAN PENGUSUNG PADA SIDANG TP2GD TANGGAL 15 MARET 2022 DI AULA DINAS SOSIAL SUMATERA UTARA

xi

xii

xiii

BAGIAN 1 SANUSI PANE DAN SASTRAWAN SEZAMANNYA JAWABAN LENGKAP ATAS ARAHAN 1

Perlu kelengkapan data hasil reviu literatur yang membandingkan tokoh Sanusi Pane dengan tokoh sastrawan lain yang hidup semasa dengannya.

SANUSI PANE DAN SASTRAWAN SEZAMANNYA: GERAKAN SASTRA ROMANTIK DALAM NASIONALISME BERKEINDONESIAAN Sanusi Pane merupakan tokoh teras—antara lain dalam pandangan pakar sastra, Abdul Hadi W.M.—di antara sastrawan sezaman dalam angkatan Pujangga Baru. Pujangga Baru adalah gerakan budaya berbahasa atau gerakan sukma dalam indah kata (dalam istilah Teeuw, 1994) yang lahir pada tahun 1930 dengan empat tokoh utamanya: Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Amir Hamzah, dan Armijn Pane. Perbandingan antar-sastrawan pada zaman Pujangga Baru itu tidak mungkin dilakukan tanpa melihat orientasi budaya dan semangatnya dalam bersastra.

Sebagai gerakan sastra, karya Sanusi Pane sering dihubungkan lebih erat dengan adanya pengaruh romantisme demi Indonesia yang dicita-citakan. Sebagaimana pembahasan oleh para kritikus, Sanusi Pane memiliki kecenderungan sufistik atau mistikal yang sangat kuat dalam penulisan puisi. Kecenderungan ini merupakan titik tolak penting dalam membicarakan hubungan kepenyairan Sanusi Pane dan kawan-kawan sezamannya dengan tradisi sastra Melayu sebagaimana digemakan oleh seorang penyair sufi Melayu terkemuka abad ke-16 M: Hamzah Fansuri.

Sastrawan Pujangga Baru: Romantik-Sufistik Secara umum, karya penulis sufi berupa ungkapan jenis-jenis pengalaman kerohanian seorang sufi dalam perjalanan mereka mencari kebenaran atau keadaan-keadaan jiwa yang mereka alami dalam menempuh jalan kerohanian di jalan tasawuf atau cinta Ilahi.

Dalam setiap tahapan perjalanan rohani atau pencariannya itu seorang penulis berikhtiar menafsirkan makna keadaan jiwa dan peristiwa-peristiwa batin yang mereka alami, kemudian berusaha mengungkapkan pemahaman dan penafsirannya dalam ungkapan estetik sastra.

Tamsil-tamsil yang dijadikan sarana untuk mengungkapkan gagasan atau pengalaman kesufian ada yang diambil dari kitab suci, sejarah dan mitos; juga dari budaya lokal dan peristiwa semasa yang penting. Ada pula yang diangkat dari alam lingkungan sekitarnya dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Ilham penulisan sastrawan sufi dan bangunan estetikanya didasarkan pada kandungan falsafah perenial Islam yang universal–terutama gagasan cinta (`isyq dan mahabbah), makrifat, iman, penglihatan rohani, hakikat manusia sebagai khalifah Allah di bumi dan hamba-Nya, akibat-akibat buruk cinta berlebihan pada dunia dan gagasan lain. Karena itulah, tidak mengherankan apabila pesan moral dan kerohanian penulis sufi senantiasa relevan dan melampaui zamannya.

1

Kehampaan rohani manusia modern di bawah hegemoni peradaban materialistik, yang kerap disamakan dengan kebudayaan oleh sarjana-sarjana mutakhir, telah menjadikan tasawuf dan sastra sufi kian relevan sebagaimana bentuk-bentuk spiritualitas dari peradaban lain. Dengan itu sebenarnya sastra sufistik merupakan suatu fenomena universal juga. Akan tetapi, sangat sedikit dijumpai buku karangan sarjana Indonesia yang menguraikan secara jelas dan memadai tentang aliran kesusastraan modern yang penting ini. Khususnya mengenai latar belakang kelahirannya, wawasan estetika, dan hubunganya dengan perkembangan filsafat di Eropa pada abad ke-19 M. Yang paling banyak diketahui hanyalah bahwa sastrawan Pujangga Baru tersebut dipengaruhi oleh Angkatan 1880 (Tachtigers): suatu gerakan sastra beraliran romantik yang muncul di negeri Belanda dan menandai lahirnya semangat individualistik yang kuat dalam penciptaan puisi.

Aliran romantisme dalam hubungan dengan gerakan mistisisme jarang sekali dikemukakan. Padahal, jika kita meneliti sejarah kemunculan dan perkembangannya di Eropa dengan cermat--khususnya Jerman dan Inggris--hubungan tersebut tampak jelas.

Misalnya, dalam karya penyair Inggris Wordworth dan karya penyair Jerman Goethe.

Romantisme di Eropa muncul sebagai reaksi terhadap perkembangan kebudayaan Barat yang mulai dikuasai oleh pemikiran rasionalistik dan positivistik. Akibat perkembangan rasionalisme dan sainsisme, sain dan filsafat lebih diagungkan jika dibanding dengan seni, agama, dan bentuk- bentuk spiritualitas yang sebelumnya berkembang subur. Sebagai tindak balasnya, para penyair mulai menekankan pentingnya imajinasi dan perasaan yang dicampakkan oleh sain dan filsafat.

Di Jerman gerakan ini diawali dengan lahirnya gerakan Sturm und Drang.

Pelopornya, antara lain ialah Goethe, seorang yang akrab dengan karya-karya penulis klasik Timur seperti Kalidasa, Li Po, dan Hafiz. Di Inggris, lahirnya romantisme diawali dengan munculnya William Blake, penyair mistikus akhir abad ke-18 M yang tidak sedikit memberikan inspirasi bagi tokoh-tokoh romantisme seperti Coleridge, Wordworth, dan Shelley. Pada masa ini pulalah Fitzgerald, penyair romantik Scotlandia, menerbitkan gubahan rubayat Umar al- Khayyami dalam bahasa Inggris. Memang pada saat itu di Eropa kajian kebudayaan Timur atau orientalisme sangat subur. Karya penulis Timur seperti Sa`di, Rumi, Li Po, Kalidasa, Hafiz, dan lain-lain mulai gencar diterjemahkan ke dalam bahasabahasa Eropa.

Pengaruh karya-karya Timur yang cenderung mistikal itu sangat besar bagi penyairpenyair romantik Jerman dan Inggris. Seperti kaum transendentalis dan mistik, kaum 2

romantik percaya kepada pengaruh alam supernatural terhadap kehidupan manusia dan mereka berusaha mendapatkan ilham penciptaan dari kekuatan supernatural melalui sarana intuisi dan imajinasi. Di Indonesia gerakan romantik itu muncul bersamaan dengan bangkitnya semangat kebangsaan dan hasrat memadukan semangat kebudayaan Barat modern yang individualistis dan semangat kebudayaan Timur yang religius dan spiritualistis. Romantisme modern itu bertemu dengan tradisi sastra mistik dan sastra sufi yang telah berakar lama dalam budaya masyarakat Nusantara. Bukan pula suatu kebetulan apabila pertemuan Timur-Barat tersebut tampak dalam karya dua penulis Pujangga Baru terkemuka, Sanusi Pane dan AmirHamzah.

Sanusi Pane adalah penyair kelahiran Muara Sipongi (sekarang termasuk dalam Kabupaten Mandailing Natal) di Sumatera Utara pada tahun 1908. Ia adalah seorang ahli sejarah dan falsafah Timur. Dalam karangan-karangannya Sanusi Pane mengakui bahwa pengaruh romantisme Belanda (Tachtigers) baru terjadi kemudian setelah dia membaca karya-karya Rumi dan ahli-ahli mistik India. Beberapa sajaknya dan wawasan estetik yang melatari sajak-sajaknya, misalnya pendapatnya yang menyatakan bahwa puisi merupakan ―Gerakan sukma yang mengalir ke indah kata‖, ternyata memiliki hubungan batin yang erat dengan pemikiran estetik penyair sufi seperti Hamzah Fansuri.

Sebagaimana dikatakan Teeuw (1994) pernyataan tersebut merupakan awal dari munculnya gerakan sastra yang mengutamakan individualitas dalam penciptaan. Pernyataan kemudian lebih ditegaskan lagi oleh Chairil Anwar pada tahun 1940-an. Namun, Teeuw juga menegaskan bahwa pernyataan semacam itu telah didahului oleh Hamzah Fansuri tiga abad sebelumnya pada abad ke-16 M. Dalam setiap bait penutup ikat-ikatan syairnya, Hamzah Fansuri senantiasa menekankan bahwa semua yang diungkapkan dalam syairnya merupakan pengalaman pribadinya: misalnya, sebagaimana dalam beberapa bait penutup sajaknya berikut.

Hamzah miskin hina dan karam Bermain mata dengan Rabb al`alam Selamnya sangat terlalu karam Seperti mayat sudah tertanam (Ikat-ikatan III Ms. Jak. Mal. 83) Hamzah Fansuri anak dagang Melenyapkan dirinya tiada sayang Jika berenang tidak berbatang Jika berlabuh pada tempat tiada berkarang 3

(Ikat-ikatan VII Ms. Jak. Mal. 83) Hamzah `uzlat di dalam tubuh Ronanya habis sekalian luruh Zahir dan batin menjadi suluh Olehnya itu tiada bermusuh (Ikat-ikatan XVIII Ms. Jak. Mal. 83) Bagi penulis sufi, puisi merupakan tangga naik menuju pengalaman transendental.

Agar tangga itu tercapai, peralatan-peralatan dari ungkapan puitik seperti citraan, tamsil, dan metafora dijadikan simbol yang memuat gagasan kerohanian melalui cara tertentu, misalnya dengan meletakkan penanda kesufian tertentu seperti ‘anak dagang‘ atau istilah teknis tasawuf atau agama seperti Rabb al-Alam dan lain-lain. Di antara alat pengungkapan itu, salah satu tema yang disukai penyair sufi ialah tema ‘pencarian hakikat diri yang batin, universal dan tidak berjejak di mana pun selain dalam wujud diri manusia yang terdalam‘.

Sajak Sanusi Pane ‖Mencari‖ menunjukkan kepada kita bahwa puisi merupakan sarana atau tangga naik menuju pengalaman transendental walaupun menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari perjalanan lahir. Sajak tersebut juga memiliki kaitan dengan tema ‘pencarian hakikat diri batin manusia‘ yang digemari para penulis sufi. Sanusi Pane menulis:

Aku mencari Di kebun India Aku pesiar Di taman Yunani Aku berjalan Di tanah Roma Aku mengembara Di benua Barat Segala buku Perpustakaan dunia Sudah kubaca Segala filsafat Sudah kuperiksa Akhirnya `kusampai Ke dalam aman Hati sendiri Di sana 4

Bahagia Sudah lama Menanti daku (Madah Kelana 45).

Pencarian dalam sajak Sanusi Pane tersebut ditemukan tidak berbeda dengan yang diungkapkan Jalaluddin Rumi dalam sebuah sajaknya yang terkenal. Dikatakan dalam sajak itu bahwa Rumi mengembara ke bukitt Qaf, mencari di palang salib dan pagoda-pagoda Buddhis, agar menjumpai hakikat dirinya yang batin dan asal-usul kerohaniannya. Akan tetapi, yang dicari itu dijumpai dalam taman kalbunya sendiri. Citraan simbolik taman yang digunakan Sanusi Pane itu juga sudah lazim digunakan oleh penulis-penulis muslim, terutama penulis sufistiknya.

Bandingkan pula sajak Sanusi Pane tersebut dengan bait syair Hamzah Fansuri berikut.

Hamzah Fansuri di dalam Mekkah Mencari Tuhan di Bait al-Ka`bah Di Barus ke Quds terlalu payah Akhirnya dapat di dalam rumah (Ikat-ikatan XXI Ms. Leiden Cod. Or. 2016) Gema puisi sufi Melayu tersebut tidak hanya terasa gaungnya dalam wawasan estetik, tetapi juga dalam puitika atau sistem persajakan. Salah satu sajak Sanusi Pane yang terkenal ‖Dibawa Gelombang‖ (Madah Kelana) memperlihatkan keterikatan penulis Pujangga Baru yang diwakili oleh Sanusi Pane pada sistem persajakan klasik Melayu sebagai berikut.

Alun membawa bidukku pelahan Dalam kesunyian malam waktu Tidak berpawang tidak berkawan Entah ke mana aku taktahu Jauh di atas bintang kemilau Seperti sudah berabad-abad Dengan damai mereka meninjau Kehidupan bumi yang kecil amat Aku bernyanyi dengan suara Seperti bisikan angin di daun Suaraku hilang dalam udara Dalam laut yang beralun-alun Alun membawa bidukku perlahan 5

Dalam kesunyian malam waktu Tidak berpawang tidak berkawan Entah ke mana aku tak tahu Walaupun pola sajak yang digunakan dalam ‖Dibawa Gelombang‖ ialah a.b.a.b. sebagaimana lazim dalam pantun, sajak tersebut lebih mirip syair. Selain tidak tersirat adanya sampiran dan isi atau pembayang dan maksud pada setiap baitnya, seperti halnya syair pada umumnya, sajak ‖Dibawa Gelombang‖ itu berkecenderungan naratif; menceritakan, tidak sekadar melukiskan sesuatu. Cerita yang disajikan adalah serupa dengan cerita dalam syair- syair sufi yang berupa pengalaman atau perjalanan rohani penyair dan keadaan jiwa yang dialaminya dalam perjalanan mencapai persatuan mistik (unio-mystica) dengan jiwa alam semesta, yang tak lain adalah keluasan tak bertepi.

Hubungan sajak sastrawan Pujangga Baru tersebut dengan syair-syair Hamzah Fansuri dapat dilihat pula pada motif penggunaan tamsil laut dan perahu. Di antara sajak Hamzah Fansuri yang dapat dirujuk ialah bait-bait dalam ikat-ikatan XVIII Ms. Jak. Mal. 83: Jika hendak engkau menjeling sawang Ingat-ingat akan ujung karang Jabat kemudi jangan aumamang Supaya betul ke bandar datang Anak mu`alim tahu akan jalan Da’im (senantiasa) berlayar di laut nyaman Markabmu (geladak kapal) tiada berpapan Olehnya itu tiada berlawan Indah-indahkan Abu al-Qasim (Nabi Muhammad s.a.w.)

Di dalam markab da’im ia qa`im (mendirikan salat) Lagi tukang (piawai) lagi iamu`alim Ke bandar tauhid markabnya salim (selamat) Bait syair Hamzah Fansuri lain yang menggunakan tamsil laut dan mengandung gagasan tentang fana atau persatuan mistik menurut pandangan sufi ialah bait dalam ikatikatan XXIII Ms. Jak. Mal. 83:

Di laut `ulya (maha tinggi) yogya berhanyut Dengan hidup suwari (khayali) jangan berkabut Katakan Ana al-Haqq jangan kautakut 6

Itulah ombak kembali ke laut Laut `ulya yang dimaksud dalam sajak tersebut ialah lautan wujud atau kewujudan yang tinggi, yaitu alam ketuhanan (`alam lahut). Di sini hakikat atau asal-usul kerohanian diri manusia yang sebenarnya. Untuk mencapai hakikat tersebut manusia tidak boleh dikacaukan oleh kehidupan serba duniawi (hedonisme material) yang bersifat khayali karena kesenangan yang didapatkan itu bersifat sementara dan cepat berlalu. Dalam dua bait berikutnya tergambar gagasan sufi tentang unio-mystica, yaitu persatuan kembali diri (secara batin) dengan hakikat atau asal-usul kejadiannya, yaitu sebagai sarana kreativitas Tuhan.

Estetika Sufi yang Berkesinambungan Pada zaman sastrawan Pujangga Baru, kesinambungan estetika sufi Melayu tersebut lebih kentara lagi dalam sajak-sajak Amir Hamzah. Bahkan, melalui sajak-sajaknya seorang penafsir dapat menemukan rujukan tentang bangunan estetika sufistik modern. Estetika sufi itu dapat dikatakan kembali, kaitan eratnya dengan ajaran ahli tasawuf tentang tatanan berperingkat wujud dari yang tertinggi sampai terendah, yaitu dari alam lahut (alam ketuhanan) yang bersifat tanzih (trasendental), lantas alam jabarut dan alam malakut (kerohanian) yang merupakan perantara alam atas dan alam bawah, hingga alam nasut (alam kemanusiaan, dunia jasmani) atau alam syahadah (alam inderawi). Namun, apabila metafisika atau ontologi menekankan pada tatanan alam kewujudan yang di atas serta hakikat dan isyarat kehadirannya di alam yang lebih rendah, estetika itu menekankan pembicaraan pada tatanan alam zahir yang lebih rendah sebagai ide-ide citraan atau bentukbentuk simbolik dari alam kewujudan di atasnya yang bersifat batin dan tanzih.

Dengan demikian estetika sufi sebenarnya merupakan sistem pengetahuan bagaimana menjadikan fenomena-fenomena alam kemanusiaan dan inderawi sebagai tangga naik menuju alam kewujudan yang lebih tinggi. Agar bisa dijadikan sarana atau tangga naik, fenomena- fenomena kehidupan atau alam itu diubah menjadi ide-ide citraan yang simbolik.

Dengan cara demikian, ide-ide citraan itu akan menjelma ungkapan estetik yang berperan membawa pembaca pergi dari alam dunia ke alam rohani. Yang dikemukakan para penyair sufi itu sebenarnya ialah perjalanan batin mereka menuju alam hakikat. Karena perjalanan tersebut perjalanan naik dari alam bawah menuju alam atas, atau dari alam zahir menuju alam batin, ia sering diungkapkan sebagai perjalanan dari tempat yang rendah menuju tempat yang tinggi (puncak bukit atau gunung) atau dinyatakan secara simbolik dalam ungkapan penyelaman ke dalam lautan mahadalam.

Di antara sajak-sajak Amir Hamzah, yang kentara ciri sufistiknya ialah ‖Berdiri Aku‖ 7

dan ‖Hanya Satu‖. Dalam sajak itu perjalanan naik ke alam rohani digambarkan dengan naiknya Nabi Nuh a.s. ke dalam kapal yang dibuat atas perintah Tuhan untuk menyelamatkan kaum beriman. Jadi, kapal dilambangkan sebagai keimanan yang dapat menyelamatkan manusia di tengah bencana dan malapetaka.

Penyair sufi juga menggunakan tamsil-tamsil dari Al-Qur`an, yaitu kisah Nabi Ibrahim a.s. dengan dua putranya tercinta yang berbeda ibu, yaitu Nabi Ismail a.s. dan Nabi Ishaq a.s. yang masing-masing menurunkan Nabi Muhammad s.a.w. dan Nabi Isa a.s.

Terapung naik jung bertudung Tempat berteduh nuh kekasihmu Bebas lepas lelang lapang Di tengah gelisah, swara sentosa Bersemayam sempana di jemala gembala Juriat julita bapaku ibrahim Keturunan intan dua cahaya Pancaran putera berlainan bunda Kini kami bertikai pangkai Di antara dua, mana mutiara Jauhari ahli lalai menilai Lengah lengang melewat abad Aduh kekasihku Padaku semua tiada berguna Hanya satu kutunggu hasrat Merasa dikau dekat rapat Serupa musa di puncak tursina (Nyanyi Sunyi 4-5) Ungkapan yang berkenaan pertikaian dua umat beragama pengikut Nabi Isa a.s. dan Nabi Muhammad s.a.w., sebenarnya memiliki konteks sejarah yang jelas. Pada masa Amir Hamzah itu benih persengketaan Islam dan Kristen memang sudah mulai terasa, hal yang kembali diungkapkan oleh Umar Kayam dalam novelnya Para Priyayi yang tempat cerita berlangsung antara lain ialah Solo pada tahun 1930-an tempat Amir Hamzah belajar pada waktu muda.

Tiga abad sebelum angkatan Pujangga Baru, Hamzah Fansuri telah menulis sajak menggunakan tamsil yang sama, khususnya mengenai pengalaman mistikal yang dijumpai Nabi Musa a.s. di puncak Bukit Sinai atau Tursina sebagai berikut.

8

Kunhi-Nya itu bukannya diya’ (cahaya zahir) Jangan kauantarkan di atas Tursina Sungguhpun Musa di sana liqa’ (berjumpa dengan-Nya) Bukan bukit itu tempatnya lena (Ikat-ikatan XIII Ms. Jak. Mal. 83) Penyair menyatakan di dalam sajaknya bahwa walaupun Nabi Musa a.s. dapat berjumpa dengan-Nya di Tursina, yaitu dengan mendengar suara-Nya, perjumpaan sebenarnya dengan Tuhan itu terjadi dalam kalbu atau penglihatan rohaninya karena telah mencapai makrifat dan memperoleh penyingkapan rohani (kasyf). Bukit Sinai—walaupun dialami secara jasmani—tetap merupakan tamsil dan misal dari pencapaian rohaninya yang tinggi di jalan tauhid dan makrifat, semata-mata sarana bagi perjumpaannya. Dari kisah Nabi Musa a.s. ini penulis-penulis sufi mengambil tamsil puncak bukit atau gunung sebagai maqam tertinggi dalam tasawuf, yaitu qurb atau kedekatan diri seseorang secara batin dengan Tuhannya.

Fakta bahwa Amir Hamzah sangat dekat dengan tradisi sastra sufi Melayu dan juga Jawa dapat dilihat pada sajaknya ‖Sebab Dikau‖ yang menggunakan tamsil wayang. Pada abad ke-16 M di Jawa Sunan Bonang telah menggunakan tamsil wayang secara intensif dalam Suluk Wujil; begitu pula pada abad ke-17 M dengan seorang murid Hamzah Fansuri yang bernama Abdul Jamal dalam syair tasawufnya. Dalam syairnya itu Abdul Jamal menulis sebagai berikut.

Wahdat itulah bernama bayang-bayang Di sana nyata wayang dan dalang Muhitnya lengkap pada sekalian padang Musyahadah di sana jangan kepalang (Doorenbos 1933:71) Syair Abdul Jamal itu dapat dibandingkan dengan puisi Amir Hamzah ‖Sebab Dikau‖ sebagai berikut,

Maka merupa di datar layar Wayang warna menayang asa Kalbu rindu turut menurut Dua sukma esa – mesra– Aku boneka engkau boneka Penghibur dalang mengatur embang Di layar kembang bertukar pandang Hanya 9

selagu, sepajang dendang Golek gemilang ditukarnya pula Aku engkau di kotak terletak Aku boneka engkau boneka Penyenang dalang mengarang sajak (Nyanyi Sunyi 14) Teeuw (1979:99) mengatakan bahwa sajak tersebut mengungkapkan hubungan manusia dengan Tuhan. Sementara itu, A. H. Johns (1964) mengatakan bahwa pengaruh kebudayaan Jawa sangat jelas dalam sajak tersebut. Namun, dengan membandingkan sajak tersebut dengan syair Abdul Jamal, akan menjadi lebih jelas lagi hubungan Amir Hamzah pada zaman angkatan Pujangga Baru dengan tradisi sastra sufi Melayu dan tidak hanya dengan tradisi sastra Jawa. Bahkan, hubungan eratnya juga dengan tradisi sastra sufi Arab dan Persia yang tidak jarang menggunaan ide-ide citraan wayang dalam sajak-sajak mereka sebagaimana yang tampak dalam karya Umar Khayyam, Ibn Farid, Fariduddin Attar, dan Jalaluddin Rumi.

Dalam salah satu ruba‘inya, misalnya, Umar Khayam menulis seperti berikut.

Kita adalah wayang dan langit dalangnya Ini bukan kiasan tetapi kenyataan Sesaat kita diberi peran di layar ini Lalu kembali ke kotak satu persatu dan dilupakan (Abdul Hadi W. M. 1999:150) Telah dikemukakan bahwa salah satu tema penting sastra sufi ialah pengenalan diri batin yang hakiki di jalan cinta Ilahi (`isyq). Karena pencarian tersebut bersifat vertikal, karya sufistik itu sering digambarkan dengan perjalanan mendaki dan penerbangan ke puncak gunung atau bukit, seperti penerbangan burung-burung dalam Mantiq al-Thayr karya Fariduddin al-`Attar. Di situ burung-burung, yang merupakan tamsil kalbu atau jiwa manusia yang merindukan Yang Haqq, melakukan penerbangan ke puncak bukit Qaf– tempat Simurgh, raja diraja burung bersemayam, yang merupakan lambang hakikat ketuhanan dan sekaligus lambang hakikat diri manusia. Pendakian ke atas gunung atau bukit juga menemukan perumpamaan dalam kisah nabi-nabi. Misalnya Nabi Nuh a.s. setelah melakukan pelayaran panjang tak tahu tujuan dengan bahteranya, pada akhirnya tiba dengan selamat di atas bukit Ararat; Nabi Musa a.s. mendengar seruan Tuhan di puncak Tursina.

Tidak jarang perjalanan naik atau penerbangan ke puncak bukit dipadankan dengan 10

gejala-gejala alam pada saat terjadinya perubahan, misalnya perubahan waktu dari siang ke malam hari. Di sini angin, hujan, perubahan cuaca dan udara, dan munculnya bintangbintang, berperan sebagai sarana untuk melukiskan keadaan jiwa atau rohani penulis dalam menempuh perjalanankerohanian.

Di sini dapat diambil contoh sajak Amir Hamzah ‖Berdiri Aku‖. Dalam sajak itu pencapaian rohani dan keadaan jiwa dalam perjalanannya menuju alam transenden digambarkan melalui citraan ide (idea image) seperti camar yang melayang ‖menepis buih‖ (mungkin maksudnya melepaskan diri dari yang zahir atau yang formal), pohon bakau yang ‖mengurai puncak‖, ‖ubur terkembang‖ (setelah berjulang datang); angin yang ‖memuncak sunyi‖ dan seterusnya. Inilah keadaan leka, hapus atau fana‘ dalam lukisan puisi, suatu tahapan yang dalam tasawuf sering dikatakan terjadi setelah tahapan kemabukan mistikal dan ketakjuban pada keindahan ilahi. Selain keindahan (jamal) atau keelokan, gagasan tentang ketakjuban (haybah, ajib) merupakan hal penting dalam estetika sufi. Hanya melalui tahapan-tahapan kerohanian (maqam) semacam itu dapat mengenal dirinya atau tempat dirinya dalam dunia ciptaan, dan hanya setelah melalui tahapan-tahapan tersebut seseorang dapat melakukan transformasi diri.

Demikianlah, seperti elang yang leka setelah dimabuk warna berarak-arak (yakni mabuk dalam rasa takjub menyaksikan keindahan Yang Maha Indah), seseorang mengalami transformasi diri. Oleh Amir Hamzah dilukiskan sebagai jiwa yang dirasuk kerinduan mendalam sebagai berikut.

Dalam rupa maha sempurna Rindu sendu mengharu kalbu Ingin datang merasa sentosa Mencecap hidup bertentu tuju Dalam ‗Syair Burung Pingai‗ (Ikat-ikatan XIV Ms. Jak. Mal. 83) Hamzah Fansuri melukiskan bentuk transformasi diri yang dicapai oleh seorang yang menempuh jalan kerohanian sebagai berikut.

Sufinya bukannya kain Fi al-Makkah da’im bermain Ilmunya zahir dan batin Menyembah Allah terlalu rajin ...

Suluhnya terlalu terang Harinya tiada berpetang Jalannya terlalu henang Barang mendapat dia terlalu menang 11

Pada akhir buku Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) Fariduddin al-`Attar menggambarkan lebih kurang keadaan burung-burung yang telah mencapai tujuan perjalanannya menjumpai Smurgh sebagai berikut.

Melalui kesukaran dan kehinaan jiwa burung-burung itu menyusut Ke dalam kefanaan, sedangkan tubuh mereka menjadi debu.

Setelah dimurnikan mereka menerima hidup bari dari Cahaya Hadirat-Nya. Laku dan diam mereka di masa lalu enyah dan lenyap dari lubuk dada mereka.

Matahari Kehampiran bersinar terang dari diri mereka, jiwa mereka diterangi oleh cahayanya.

Dalam pantulan wajah tigapuluh burung (si-murgh) dunia, mereka lantas menyaksikan wajah Simurgh Jika mereka memandang, itulah Simurgh: Tak diragukan Simurgh adalah tiga puluh (si-murgh) burung Semua bingung penuh takjub, tak tahu siapa diri mereka sebenarnya Mereka memandang diri mereka tak lain adalah Simurgh.

Sintesis Barat dan Timur bagi Indonesia Sastrawan angkatan Pujangga Baru melakukan gerakan sastra yang banyak mendapatkan ilham dari romantisme Eropa dan sastra sufi atau mistikal Timur. Dalam tulisan-tulisannya Sanusi Pane mengatakan bahwa dia mencita-citakan sintesis Barat dan Timur bagi Indonesia. Dalam hal sintesis itu Barat diwakili oleh tokoh Faust dan Timur diwakili semangatnya dalam pribadi Arjuna dalam Mahabharata. Pujangga Baru sebagai gerakan budaya berbahasa dan bersastra lahir pada tahun 1930 dengan empat tokoh utama: Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Amir Hamzah, dan Armijn Pane. Sebagai perbandingan, di antara empat tokoh pergerakan itu, gerakan sastra Sanusi Pane lebih sering dihubungkan dengan pengaruh romantisme-mistikal/sufistik demi pencapaian atau transformasi berupa sintesis Barat dan Timur bagi Indonesia.

Kesusastraan Indonesia tumbuh mewarnai momentum sejarah sastra Indonesia, seiring dengan munculnya sastrawan-sastrawan unggul. Pemikirannya mengenai kesadaran nasional tersirat di dalam karya-karya sastra mereka. Jauh sebelum tahun berdirinya gagasan Pujangga Baru, pemikiran kesadaran nasional telah ada dan tumbuh pada Angkatan sebelum Pujangga Baru, yakni Angkatan Balai Pustaka.

12

Para sastrawan yang sudah terlebih dahulu muncul sezaman dengan Balai Pustaka, antara lain, adalah Mohammad Yamin merupakan sastrawan yang menitikberatkan perhatiannya pada puisi seperti dalam sajaknya yang berjudul Tanah Air. Diatas batasan Bukit Barisan Memandang beta ke bawah memandang Tampaklah hutan rimba dan ngarai Lagipun sawah, telaga nan permai Serta gerangan lihatlah pula Langit yang hijau bertukar warna Oleh pucuk daun kelapa.

Sajak yang berjudul Tanah Air di atas termuat di dalam majalah Jong Sumatra tahun 1921. Tanah air yang dimaksud ialah Sumatra. Sumatralah yang menjadi sanjungannya.

Namun, dalam salah satu sajaknya tersebut, kesadaran nasional (nasionalisme) begitu tampak meskipun masih bersifat kedaerahan. Sajak yang berjudul Tanah Air itu bertemakan cinta dan pujaan terhadap tanah air dan bangsa sebagai sesuatu yang belum terjadi sebelumnya dalam sastra Melayu.

Tokoh penyair kedua sesudah Moh. Yamin yang juga mempunyai kesadaran besar dan berjuang untuk kemerdekaan bangsanya ialah Rustam Effendi. Rustam Effendi menulis dua buku. Buku pertama berjudul Bebasari dengan cerita tentang perjuangan seorang pemuda untuk membebaskan kekasihnya dari belenggu keserakahan raksasa. Drama tersebut merupakan lambang dari cita-cita Rustam Effendi untuk bebas. Kekasih yang digambarkan dalam drama tersebut merupakan tanah airnya yang telah dibelenggu oleh penjajah. Buku kedua berjudul Percikan Permenungan, yang merupakan kumpulan sajak. Kemudian, tokoh ketiga pemula puisi ialah Sanusi Pane. Muhammad Yamin, Rustam Effendi, dan Sanusi Pane memiliki minat yang sama terhadap sastra sebagai gerakan mengungkapkan kesadaran nasional.

Peran Sanusi Pane dalam perkembangan sastra di Indonesia tidak dapat dipungkiri lagi dengan pemikirannya yang lebih mengutamakan ketenangan dan kedamaian dalam hampir semua hasil karyanya, baik yang berupa puisi maupun drama. Oleh sebab itulah, sebagaimana telah dijelaskan di atas, Sanusi Pane dikenal sebagai pengarang romantik. Sanusi Pane merenungi kejayaan dan kemegahan serta kedamaian masa lampau. Sanusi Pane merenungi kedamaian yang didendangkan alam sekitar. Alam tidak hanya sebagai lambang, tetapi juga sebagai objek pengubahan sajak-sajaknya yang mendendangkan alam, misalnya, Sawah, Teja, Menumbuk Padi, dan Puspa Mega.

13

Sanusi Pane melihat alam dengan penuh gembira. Alam yang merupakan sumber yang tak kering-keringnya untuk dinikmati secara terus-menerus. Terkadang jiwa Sanusi Pane mengembara jauh ke masa silam, Sanusi mendambakan kejayaan masa lampau yang gemilang.

Ia mencari ke zaman Indonesia purba dan ke arah Nirwana kebudayaan Hindu.Bukan hanya itu, Sanusi pane berpendapat bahwa keindonesiaan itu sudah ada sejak sekian abad yang silam dalam adat dan seni. Yang belum terbentuk adalah natie atau bangsa Indonesia, tetapi perasaan kebangsaan itu sebenarnya sudah ada.

Nasionalisme masih tetap mengalir dalam jiwa Sanusi Pane. Dalam buku kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Madah Kelana, jiwa nasionalisme itu masih tetap mewarnainya.

Banyak dijumpai sajak-sajak percintaan yang cukup romantis, Angin, Rindu, Bagi kekasih, Kemuning, dan Bercinta. Sajak yang terbesar yang terdapat dalam Madah Kelana yakni Syiwa Nataraja yaitu sajak yang melukiskan keinginan pengarang untuk bersatu dalam alam tanah airnya. Tampak ketika Sanusi Pane menciptakan sajak tersebut dia mengeluarkan segala kekuatannya sehingga menghasilkan sajak yang sebesar itu. Di samping itu, masih banyak lagi dijumpai sajak-sajaknya yang senafas dengan itu. MisalnyaAwan,Penyanyi. Pagi, Damai, dan Bersila. Hal itu membuktikan keyakinan Sanusi Pane bahwa manusia harus bersatu dengan alam tanah airnya. Hal itu masih tetap mewarnai karya-karya puisinya yang terkumpul dalam Madah Kelana. Dengan adanya kumpulan puisi Madah Kelana kita dapat memahami posisi Sanusi Pane ketika ―Polemik Kebudayaan‖ yang dipicu Sutan takdir Alisjahbana melebar ke persoalan Timur dan Barat (Nasution dan Maman, 2021:382) Sanusi Pane di samping sebagai penyair juga sebagai penulis drama. Sebagai penulis drama, dia adalah penulis terbesar pada masanya. Dia telah menulis dua drama dalam bahasa Belanda yang berjudul Air Langga dan Enzame Garoedavlucht dan tiga buah dramanya dalam bahasa Indonesia yang berjudul Kertajaya, Sandyakala Ning Majapahit dan Manusia Baru.

Drama Sanusi Pane yang berjudul Kertajaya merupakan cerita tragedi yang mengingatkan pada cerita Romeo and Juliet karya pujangga Inggris Shakespeare. Dalam kesusastraan Jawa dijumpai tragedi semacam itu pula, yakni cerita Pranacitra dan Roro Mendut, di Bali juga dijumpai cerita Jayaprana dan Layonsari. Drama itu ditutup dengan matinya dua tokoh utama, Dandang Gendis (Kertajaya) dan Dewi Amisani dengan cara bunuh diri. Suatu penyelesaian yang sangat berbeda kalau dibandingkan dengan fakta sejarah.

Memang, ada pula perbedaan fakta yang dikemukakan oleh ahli sejarah tentang nasib Kertajaya sebagai raja Kediri. Stutterheim, misalnya, menyatakan bahwa Kertajaya pergi mengasingkan diri sebagai petapa. Lain halnya dengan Krom, yang mengatakan bahwa setelah 14

Kertajaya kalah dalam pertempuran di Garner, dia hilang, tidak jelas ke mana, mungkin mati atau melarikan diri.

Sastrawan mempunyai kebebasan dalam menafsirkan suatu peristiwa alam. Sastrawan bukan pencatat peristiwa-peristiwa sejarah. Sebagaimana sastrawan, Sanusi Pane memberi tafsiran yang berbeda dengan kedua ahli sejarah di atas. Dia memilih jalan sendiri untuk mengakhiri cerita itu dengan mematikan tokoh utamanya. Kedua tokoh utama dalam cerita itu mati dengan cara bunuh diri. Apa yang diceritakan oleh Sanusi Pane dapat dimaklumi karena Sanusi Pane adalah pengarang yang berjiwa romantik dan nasionalistik. Fantasinya mendorong pengarang untuk mengakhiri ceritanya dengan tetesan air mata.

Adegan pertama dalam drama Sanusi Pane yang berjudul Kertajaya sudah menunjukkan kekhasan Sanusi Pane sebagai pengarang romantik-nasionalistik. Dialog-dialog antara kedua tokoh utama cerita itu merupakan wujud lahir jiwa sang pengarang. Pengambilan latar di lereng gunung Wilis, dihiasi kicauan burung, suara angin yang berhembus, ayam yang berkokok sangat mendukung suasana romantis-nasionalistik yang diingini pengarang. Dari jawaban Dandang Gendis (Kertajaya) atas pertanyaan Dewi Amisani itu diketahui bahwa lukisan tentang cinta seperti itu terlalu dilebih-lebihkan pengarang. Orang bersusah payah mencari nirwana melalui buku atau guru yang sampai mati pun sering tidak menemukannya.

Akan tetapi, Dandang Gendis menemukan nirwana itu di mata kekasihnya, Dewi Amisani.

Dandang Gendis menyamakan nirwana dengan kekakasihnya. Meskipun drama itu ditulis tahun 1938 (drama ini dimuat pertama kali di majalah Poedjangga Baroe, tahun VI, No. 3, bulan Desember 1938) lukisan semacam itu tetap terasa berlebihan. Hal ini justru membuktikan pengaruh romantik-nasionalistik sangat kuat dalam diri Sanusi Pane.

Dorongan hati untuk menciptakan cerita yang mengharukan dan dapat mencucurkan air mata bagi pembaca atau penonton masih terlihat dalam drama Sanusi Pane yang berjudul Sandyakala Ning Majapahit. Akhir cerita drama ini lain sama sekali dengan buku yang dijadikan dasar pembuatan cerita, yakni Serat Damarwulan. Sanusi Pane mengatakan bahwa sebagai dasar pembuatan drama Sandyakala Ning Majapahit adalah Serat Damarwulan dan cerita Raden Gajah yang terdapat dalam Pararaton.

Cerita Damar Wulan diakhiri dengan kegembiraan. Keberhasilan Damar Wulan membawa kepala Menak Jingga ke Majapahit menyebabkan dia menduduki tahta kerajaan serta dinikahkan dengan sang ratu. Damar Wulan bergelar Prabu Brawijaya serta hidup dengan kejayaannya. Sebaliknya, Sandyakala Ning Majapahit diakhiri dengan peristiwa yang tragis.

Di samping Damar Wulan tidak dinikahkan dengan ratu Majapahit, dia juga dituduh sebagai 15

pengkhianat. Tuduhan itu begitu hebatnya sehingga hukuman mati bagi Damar Wulan tak terelakkan lagi. Sepeninggal Damar Wulan, kerajaan Majapahit diporak-porandakan balatentara dari kerajaan Bintara.

Drama Sanusi Pane yang terakhir berjudul Manusia Baru. Drama ini dimuat pertama kali dalam majalah Poedjangga Baroe, tahun VIII, No. 5. November 1940. Tujuh tahun setelah dramanya yang berjudul Sandhyakala Ning Majapahit, Sanusi Pane menghasilkan dramanya Manusia Baru itu. Masa kurang lebih tujuh tahun sudah cukup bagi Sanusi Pane untuk menghasilkan ide-ide baru yang berbeda dengan ide-ide yang dituangkannya dalam puisi dan drama sebelumnya. Dalam kurun waktu itu pula Sanusi Pane berhasil mengungkapkan konsep ―manusia barunya‖. Manusia dimaksud adalah manusia yang dapat mencapai kebahagiaan lahir batin, kebahagiaan dunia akhirat atau ―insan kamil‖.

Manusia semacam itu, menurut Sanusi Pane, tidak hanya mementingkan hal-hal yang bersifat rohani belaka. Dunia tidak lagi dianggap ―jahat‖ yang perlu dijauhi dan dihindari sebab dengan menghindari dunia, hidup tidak bisa dipertahankan. Manusia hidup pada zaman modern ini harus bekerja keras dan mau menaklukkan dunia seperti tokoh Faust ciptaan Gothe. Akan tetapi, manusia modern harus tetap memiliki budi yang luhur, religius, dan cinta sesama manusia sebagaimana dimiliki oleh Arjuna ciptaan Empu Kanwa. Jika manusia belum dapat memadukan dua pribadi itu dalam dirinya dia bukan manusia modern yang diidealkan Sanusi Pane.

Faust ialah seorang yang pandai bergaul. Dia ahli dalam segala bidang ilmu pengetahuan. Akan tetapi, Faust belum puas dengan pengalaman dan pengetahuannya. Faust ingin mengetahui rahasia kehidupan sampai pada dasarnya. Sanusi Pane melihat Arjuna sebagai satu tokoh yang saleh, yang tunduk pada agama. Lebih mengutamakan rohani dan cinta sesama manusia Timur yang menganggap tujuan manusia adalah melepaskan jiwanya dari ikatan pancaindra atau ikatan keinginan.

Sanusi Pane berpendapat bahwa hanya persatuan kebudayaan Timur dan Barat, serta persatuan Arjuna dan Faust yang dapat menyelamatkan dunia dan hanya manusia yang menyatukan asas Faust itulah yang sanggup mencapai kebahagiaan yang sempurna. Di dalam Manusia Baru yang merupakan karangan drama terakhirnya, Sanusi Pane tidak lagi tenggelam ke dalam kejayaan dan kemegahan pada masa silam. Dia tidak lagi mengagungkan apa yang telah dicapai oleh nenek moyang sementara dirinya tidak berprestasi. Hal itu bukan berarti mengabaikan dan tidak mencintai karya agung warisan leluhur bangsa Indonesia yang lama tetap agung dan berharga. Akan tetapi, manusia sekarang harus hidup pada masa sekarang serta 16

mampu memandang kehidupan jauh ke depan.

Dari yang lama, manusia sekarang dapat mengambil manfaatnya selama dapat dimanfaatkan. Manusia sekarang harus pandai menyaring pengaruh-pengaruh dari warisan lama termasuk budaya dari asing. Inilah ―Manusia baru‖ yang diidealkan oleh Sanusi Pane dalam dramanya yang berjudul Manusia Baru. Tokoh Rama atau Rama Rao adalah simbol seniman pada umumnya yang masih terpesona keagungan masa silam. Dia berhasil disadarkan oleh Das atau Surendranath Das untuk bangkit sebagai manusia baru, seniman baru yang harus hidup penuh semangat memandang jauh ke masa depan. Surendranath Das adalah seorang pemimpin kaum buruh yang hendak mempertinggi kedudukan kaum buruh. Ia datang ke Madras karena di situ terjadi perselisihan antara kaum majikan dan kaum buruh pabrik tenun.

Ide manusia yang ditampilkan Sanusi Pane dalam drama ini mencakup pula emansipasi wanita. Emansipasi ini tampak pada akhir ceritanya. Tokoh Saraswati atau Saraswati Wadia anak ketua Perkumpulan Industri Tenun Madras bangkit dari kungkungan adat lama. Adat lama mengatur bahwa anak gadis harus ditunangkan sejak kecil. Demikian juga Saraswati, dia ditunangkan sejak masih balita, sejak masih berumur empat tahun, peristiwa yang sama sekali tidak dikehendaki oleh Saraswati. Dia tidak mau hidup bagaikan dalam sangkar, sebentar dilepaskan kemudian dimasukkan kembali. Dia memberontak semua itu. bertemulah Saraswati dengan seorang penganjur pemogokan kaum buruh. Awalnya Saraswati mempunyai anggapan yang rendah terhadap Surendranath Das. Saraswati menyangka Surendranath Das seorang yang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri saja, seorang yang tak sanggup berusaha sendiri dan suka dendam dengan orang yang lebih baik kedudukannya.

Namun, setelah Saraswati mengenal Surendranath Das lebih dekat, Saraswati mengetahui bahwa Surendranath Das sebenarnya seorang yang tinggi budinya, suka berkorban untuk kaum rendah. Saraswati jua mengetahui bahwa Das sebenarnya bukan benci kepada kebudayaan India lama. Sebenarnya Das menggemari kesusastraan lama, tetapi ia tidak ingin orang sekarang mengarang seperti orang dahulu kala.

Surendranath Das menyadarkan jiwanya untuk ikut bangkit sebagai manusia baru.

Saraswati mengagumi watak dan pemikiran Surendranath Das. Bahkan, dia mencintai Das dan harus meninggalkan tunangan lamanya. Sudah barang tentu keluarganya tidak menyetujui hubungan itu karena dalam peristiwa pemogokan kaum buruh itu Das adalah musuh keluarga Saraswati. Ketika Das akan pergi meninggalkan Madras, Saraswati bertekat akan tetap mengikuti ke mana Das pergi. Dia meningalkan adat lama, dia meninggalkan keluarga, ayah dan ibunya tersayang. Dia melakukan semua itu demi cintanya kepada Das, demi kemajuan 17

bangsanya, demi kemajuan manusia, manusia baru. ‖Saya melihat India bersatu sesungguhnya, saya melihat rakyat India berbahagia, tani, buruh, modal, kaum terpelajar bekerja bersama-sama dalam masyarakat baru. Indah yang bergerak, yang hidup, yang subur, India Manusia Baru‖.

Dari keseluruhan karyanya dapat disimpulkan bahwa Sanusi Pane tidak hanya menganut satu aliran. Karya-karyanya, sebelum Manusia Baru, terwarnai aliran romantik yang sangat kuat. Dramanya yang berjudul Manusia Baru ini sudah mencerminkan sifat realistis pengarang. Pengarang benar-benar telah menemukan dirinya sebagai manusia baru, yang harus hidup pada masa sekarang. Untuk menemukan manusia baru itu diperlukan perenungan yang cukup panjang. Hal ini tercermin pada esai tentang Timur dan Barat sebagai berikut. ―Pengembaraan kami dalam berbagai-bagai kebudayaan membentuk semangat yang tertentu dalam diri kami. Semangat itu minta bahasa dan kesusastraan baru untuk wujudnya… Bukan, bukan kami gila ―Barat‖ dan benci ―Timur‖! tidak sekali-kali kami semata-mata hendak mengubah oleh karena gila mengubah! dan jauh beribu-beribu kali jauh kami menghendaki yang baru, semata-mata oleh hendak yang baru dan tak-hendak menghargai yang lama!‖ Sanusi Pane menuangkan perasaan dan pemikirannya tentang Indonesia dalam berbagai bentuk, yakni berupa puisi, naskah drama, dan tulisan esei yang dimuat di majalah. Meskipun Sanusi Pane banyak menulis sajak-sajak pelukisan alam, sajak-sajak duka dan gembira, kesadaran nasional terdapat juga di kumpulan sajaknya yang pertama, yakni Puspa Mega.

Nasionalisme pada tahun tiga puluhan dibuat suaranya lebih lantang daripada tahun-tahun dua puluhan. Sajak Sanusi Pane telah memperlihatkan suara yang lantang.

Apa gerangan masa dimuka Djadi bangsa yang kutjinta ini Adakah tanda megah kembali.

(Sanusi Pane, Tjandi) Kesadaran nasional (nasionalisme) atau paham kebangsaan yang ditunjukkan oleh Sanusi Pane terlihat juga dalam puisinya sebagai berikut : Terdengar suara kepada kami, Melayang diatas gempar dunia : “Percaya datang zamannya nanti Kaum marhaen jadi mulia.

Akan sama pembahagi harta, Orang semua mendapat nasi, Sehingga bumi jadi perbantahan lagi.”

Kami bersorak gegap gempita 18

Merasa diri kuat kembali Mata bercaya : intan juwita Bagai memandang tanah dicari.

Semenjak itu kami berjuang Penuh harapan, gagah berani.

Biar terlempar ke dalam jurang Teringat juga sumpah yang sakti (Sanusi Pane, Sumpah Sakti, 1933) MARHAEN Kami berjalan berabad-abad Dalam jurang yang gelap gulita Tidak berharap tidak berhajat Tidak berfikir tidak bercinta Dewata lupa kepada kami Kaum marhaen anak sengsara Kami bekerja setengah mati Orang bersenang tertawa-tawa Kalau engkau sesungguhnya ada O, Dewata, mengapa kiranya Kami diikat dalam penjara ?

Biarpun kami tidak berdosa ?

(Sanusi Pane, Marhaen) Sumpah Sakti merupakan derum hati manusia yang melihat cahaya kepastian. Dalam sajak Sumpah Sakti di atas termaktub lagu perjuangan yang menunjukkan kekuatan batin dan semangat nasionalisme yang menggelora. Ada juga sajak lain Sanusi Pane setelah Madah Kelana yang bernapaskan kebangsaan itu berjudul Bertemu.

Ditepi pantai laut kami bersua Dan kami memandang kedalam mata masing-masing Jang penuh sengsara, penuh duka Karena negeri digenggam bangsa asing (Bertemu, teks B, 2 I-III) Sajak Sanusi Pane mempunyai pribadi sendiri dalam keindonesiaannya dengan bentuk tersendiri. Di dalam kumpulan sajak Madah Kalana, telah dijumpai sajak-sajak kebangsaan.

19

Kesadaran nasional bagi Sanusi Pane datang dalam berbagai rupa, baik yang bersifat kenangan pada masa silam maupun yang diperuntukkan kepada orang yang berjuang untuk bangsanya.

Sajak ini berjudul Teratai, yang diperuntukkan kepada Ki Hajar Dewantara, salah satu pelopor kemerdekaan dan seorang yang banyak berjuang dilapangan pendidikan untuk menaikkan derajat bangsa.

TERATAI Dalam kebun di tanah airku Tumbuh sekuntum bunga teratai; Tersembunyi kembang indah permai.

Tidak terlihat orang yang lalu.

Akarnya tumbuh di hati dunia Daun berseri Laksmi mengarang.

Biarpun ia diabaikan orang, Seroja kembang gemilang mulia.

Teruslah, o Teratai Bahagia Berseri di kebun Indonesia Biar sedikit penjaga taman.

Biarpun engkau tidak dilihat Biarpun engkau tidak diminat, Engkau pun turut menjaga Zaman.

(Sanusi Pane, Teratai) Penggunaan lambang teratai oleh Sanusi Pane merupakan penghormatan Sanusi Pane terhadap Ki Hajar Dewantara yakni kepada pejuang nasional. Ada pula sajak-sajak Sanusi Pane yang terangkum dalam Madah Kelana yang bernapaskan nasionalisme. Adapun sajak-sajak tersebut ialah Majapahit, Rindu Dendam, dan Bimbang. Pandangan Sanusi Pane dalam sajaksajak tersebut jauh dari alam sekitarnya menembus ke masa yang telah silam yakni ke zaman kejayaan tanah airnya. Sanusi Pane mencoba menumbuhkan cinta tanah air melalui kenangan kepada sejarah di masa lalu. Dengan cara demikian, Sanusi Pane menyadarkan bangsa Indonesia untuk mencintai tanah airnya, menumbuhkan kesadaran nasional, dan agar selalu mengingatkan kita akan sifat-sifat kaum romantik di Eropa yang selalu terkenang kepada sejarah bangsanya di masa silam.

Maman Mahayana menyatakan bahwa Sanusi Pane juga seorang penerjemah yang dapat memberikan gambaran toleransi dalam masyarakat dalam karyanya ―Arjuna Wiwaha‖.

Jika pada akhirnya pembaca menemukan banyak hal , seperti etika dan kultur asing, yang tidak sesuai dengan etika dan kultur pembaca sasaran atau masyarakat setempat, ya, itu bukanlah 20

salah si penerjemah. Justru dengan begitu, kita jadi tahu, bahwa masyarakat asing dengan kultur dan etika yang juga asing, adalah fakta yang mesti dihormati. Di situlah penerjemah karya-karya asing berfungsi membangun kesadaran keberagaman dan perbedaan. Dari situlah lahir toleransi dan sikap saling menghormati. ( Nasution dan Maman, 2021:382) Unsur-unsur nasionalisme yang dimiliki oleh Sanusi Pane juga tersirat dalam artikelnya yang termuat dalam majalah Djawa Baroe, yang berjudul Mengembalikan Keboedajaan Timoer. Tulisan ini berisikan imbauan Sanusi Pane agar bangsa Indonesia kembali kepada kebudayaan Timur dan jangan mau lagi diperbudak oleh imperialisme Barat (Belanda).

Imperialisme yang dibawa oleh bangsa Belanda telah memorak-porandakan kebudayaan asli bangsa Timur, khususnya budaya Indonesia dalam hal tolong-menolong dan bergotong royong yang pada masa itu telah pudar.

Asas gotong royong harus ditumbuhkan kembali di desa-desa yang dahulu merupakan ciri khas dari kebudayaan Timur agar tercapai kemakmuran dan ketentraman seperti pada masa lampau. Sikap kebarat-baratan dapat sangat jelas dilihat pada sikap kaum pelajar. Sikap tersebut dapat membuat Indonesia jauh dari rakyat dan dari bangsanya sendiri. Pemerintahan Belanda bersih kukuh dalam menipu muslihat baik dari segi pembelajaran, aturan gaji, dan sebagainya. Oleh karena itu, upaya mengembalikan kebudayaan Timur di Indonesia merupakan kewajiban yang sangat penting untuk membebaskan keterbelengguan imperialisme Barat di ranah Timur (Indonesia) seperti yang tertulis dalam esei berikut. ―Salah satoe asas keboedajaan kita jang terpenting ialah tolong menolong atau gotong rojong… kita harus kembali kedasar asli, dasar Indonesia dan Timoer. ke-Indonesiaan dan ke –Timoeran haroes memantjar lagi dalam masjarakat dan kesenian kita, sehingga kita dapat makmoer sebagai doeloe lahir dan batin. Hanja dengan demikian poela kita sanggoep berdiri dalam taufan hebat jang bermaeadjalela sekarang diseloeroeh doenia. Hanja dengan demikian kita dapat toeroet mentjapai kemenangan achir dalam Perang Soetji merobohkan imperialis Sekoetoe oentoek selama-lamanja… karena itoe mengembalikan keboedajaan Timoer di Indonesia ialah keperloean dan pekerdjaan jang amat sangat pentingnja‖.

Dari himbauan di atas dapat ditilik bahwa Sanusi Pane sangat memperjuangkan nasib bangsa Indonesia dengan melalui kebudayaan. Indonesia memiliki kebudayaan Timur yang khas dan tak sepatutnya imperialisme Barat menggantikan asas gotong royong. Imperialisme itu tampak telah menggerogoti masyarakat baik di desa-desa maupun di kota-kota. Pada karyakaryanya, Sanusi Pane menginginkan kejayaan pada masa lampau (kerajaan), yang hidup 21

dalam ketentraman, kedamaian, dan kemakmuran.

Jiwa nasionalismenya juga terlihat antara lain dari pernyataan Sanusi Pane tentang akan dibentuknya perhimpunan pemuda-pemuda Batak yang kemudian disepakati bernama Jong Bataks Bond. Sanusi Pane menyatakan: ―Tiada satu pun di antara kedua pihak berhak mencaci maki pihak lainnya oleh karena dengan demikian berarti bahwa kita menghormati jiwa suatu bangsa yang sedang menunjukkan sikapnya.‖ Dalam naskah itu, Sanusi Pane menyampaikan gagasannya bahwa perhimpunan bagi pemuda-pemuda Batak tidak berarti upaya pembongkaran terhadap Jong Sumateranen Bond (JSB), tetapi menumbuhkan persaudaraan dan persatuan orang-orang Sumatera. Karena itu, Sanusi Pane mengingatkan agar tak ada caci maki antara kedua belah pihak. Semua harus saling menghargai dan menghormati sebagai sesama bangsa, lebih-lebih sebagai sesama Sumatera. Seperti yang ada di tulisan Sanusi Pane yang berjudul ―JSB – JBB‖, Jong Batak, Januari 1926 antara lain sebagai berikut : ― Hubungan antara JSB dan JBB telah merupakan suatu masalah yang sukar untuk diselesaikan. Dalam usaha untuk menyelesaikan persengketaan yang semakin meruncing di antara para pemuda Sumatra ini telah lama terbentur kepada kesukaran-kesukaran yang timbul karena tiadanya saling pengertian dan penghargaan di antara sesamanya. Secara pribadi, baik secara resmi maupun tidak resmi, kami telah bekerja tanpa mencapai hasil yang dibanggakan‖.

Selain hal tersebut, kesadaran nasional Sanusi Pane juga terlihat dalam buku-buku sejarahnya, yakni Sejarah Indonesia I dan Sejarah Indonesia II. Kecintaannya akan kejayaan masa lampau Indonesia terangkum apik dalam buku-buku sejarah. ―Umumnya ilmu membawa kita dari soal jang satu kepada jang lain.

Dalam melakukan ilmu, jaitu dalam mempergunakan ilmu untuk keperluan kentara, pengiraan dapat diwudjudkan djadi penentuan.

Demikian pula halnja dengan ilmu sedjarah. Karena itu buku ilmu sedjarah senantiasa penuntun kepada soal-soal ilmu sedjarah‖.

Dengan buku sejarah yang ditulis Sanusi Pane, Sanusi menginginkan agar para pembaca berjuang mewujudkan kesadaran akan pentingnya menghargai ilmu sejarah karena ilmu sejarah sendiri merupakan ikhtisar mengetahui kehendak Tuhan itu, yang berwujud dalam kumpulan hal-hal alam, jenis, semangat dan masyarakat. Sejarah merupakan perjalanan wujud kehendak Tuhan bagi manusia dalam dunia yang relatif seperti pernyataan Sanusi Pane berikut. ―...bahwa ilmu sedjarah selamanja relatief, berbatas harganja, terikat kepada semangat 22

zaman, sebab kita tidak dapat keluar dari zaman kita sendiri. Dengan begitu sedjarah ialah pemandangan jang silam terus menerus berobah dari masa kemasa‖. -110. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya.

23

BAGIAN 2

PERGERAKAN NASIONAL PENGUSULAN BAHASA INDONESIA: HUBUNGAN SANUSI PANE DENGAN MUHAMMAD TABRANI JAWABAN LENGKAP ATAS ARAHAN 2 Perlu penggalian lebih lanjut jejak perjuangan tokoh Sanusi Pane dalam pengusulan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan hubungannya dengan M.Tabrani.

PERGERAKAN NASIONAL PENGUSULAN BAHASA INDONESIA: HUBUNGAN SANUSI PANE DENGAN MUHAMMAD TABRANI “SEBAB SANUSI PANE MENYETUJUI SAYA” Muhammad Tabrani menyatakan sikap tegasnya untuk terus bergerak mengusulkan penerbitan atau pelahiran bahasa persatuan, bahasa Indonesia. ―Sebab Sanusi Pane menyetujui saya,‖ kata M. Tabrani sebagaimana dicatat dalam karya Sebuah Otobiografi M. Tabrani (1979: 43) yang telah membukukan peristiwa penting berupa perdebatan dalam perumusan resolusi Kongres Pemuda Indonesia Pertama pada tanggal 2 Mei 1926. Perumus resolusi kongres itu adalah Djamaloedin, M. Yamin, M. Tabrani, dan Sanusi Pane.

Persetujuan Sanusi Pane tersebut memiliki jangkauan luas dan dampak nasional dalam pergerakan mewujudkan benang pengikat yang memungkinkan penyatuan bangsa Indonesia dari berbagai komunitas/suku bangsa. Pembelaan terhadap bahasa persatuan Indonesia oleh Sanusi Pane—putra Indonesia kelahiran Sumatera Utara (Muara Sipongi, Tapanuli Bagian Selatan pada tanggal 14 November 1905)—menunjukkan konsistensi dan semangat kebangsaan yang amat tinggi serta hampir sepanjang hayatnya untuk memperjuangkan pengusulan bahasa Indonesia.

Bagi bangsa Indonesia, benang atau tali pengikat itu bukanlah ras seperti kebijakan yang berlaku dalam politik Apartheid di Afrika Selatan dan pengikat itu pun bukan pula agama tertentu sebagaimana kebijakan nasional pada Republik Islam Iran. Dalam kaitan itu, terdapat tiga unsur potensial pembentuk negara bangsa: bahasa, ras, dan agama. Dalam hal memilih bahasa, bukan agama dan/atau ras, negara Indonesia menjadi contoh praktik terbaik membangun nasionalisme warga negara (Mahsun, 2015). Pilihan bahasa untuk mengikat persatuan Indonesia merupakan ikrar dengan kebulatan tekad dalam semangat Sumpah Pemuda 1928. Ungkapan ―Kebulatan Tekad Pemuda‖ itu adalah istilah usulan dari Sanusi Pane (baca M. Tabrani, 1978: 43; Muh. Nur, 1981: 25) untuk cita-cita satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa (persatuan) Indonesia.

Ihwal bersatunya bangsa Indonesia tersebut merupakan modal dasar pembangunan nasional yang perolehannya memerlukan pergerakan sosial (social movement). Pergerakan sosial itu terlihat, antara lain dalam perdebatan empat tokoh perumus resolusi Kongres Pemuda Indonesia Pertama pada tanggal 2 Mei 1926. Dalam hubungan itu, Sanusi Pane merupakan tokoh penggerak gagasan M. Tabrani dari kebuntuan dalam perdebatan arah pembangunan.

24

Pergerakan Perjuangan Politik Kebahasaan Memang, bukan perjuangan dengan senjata, melainkan perjuangan dengan politik kebahasaan untuk mewujudkan bangsa Indonesia bersatu di dalam wilayah NKRI. Pergerakan perjuangan melahirkan bahasa Indonesia dari induk bahasanya (1926) sebelum peristiwa ikrar akbar Sumpah Pemuda 1928 (butir ikrar ketiga: menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia) merupakan satu hal pergerakan Sanusi Pane. Tidak hanya pergerakan melahirkan bahasa persatuan, tetapi Sanusi Pane juga bergerak melembagakan bahasa Indonesia: baik sebelum maupun setelah penetepan bahasa negara dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 36: bahasa negara ialah bahasa Indonesia).

Perjuangan berikutnya ialah gerakan Sanusi Pane dalam kepeloporan penggunaan bahasa Indonesia untuk terus berjuang menggalang persatuan Indonesia melalui dunia kesusastraan Indonesia atau—dalam kritik sastra (A. Teeuw, 1994)—gerakan sukma dalam indah kata. Termasuk dalam gerakan sukma kepeloporan Sanusi Pane itu adalah karya besar berbentuk prosa sejarah Indonesia. Dalam buku Kesusastraan Indonesia: Kitab Peladjaran bagi Murid2 S.M.A. (Nursinah Supardo, 1957: 11), kepeloporan Sanusi Pane dicatat secara khusus sebagai berikut. ―Baru dalam kesusastra-baru kita mendapat kitab-kitab jang benarbenar kitab sedjarah. Tjontoh: Sedjarah Melaju—Tun Sri Lanang Dt. Bandahara; Sedjarah Indonesia— Sanusi Pane.” Pada intinya, pergerakan sastra Sanusi Pane itu berisi gagasan pokok tentang cita-cita sintesis peradaban Barat dan Timur bagi manusia Indonesia (Abdul Hadi W.M., 2021) yang berhaluan menyatukan materialisme dengan spiritualisme supaya hidup berharkat dan bermartabat sebagai bangsa.

Sebelum diikrarkannya bahasa persatuan Indonesia melalui peristiwa Kongres Pemuda Indonesia I (30 April—2 Mei 1926), terdapat perjuangan politik kebahasaan dengan adanya bahasa Belanda dan bahasa Melayu yang masing-masing dimunculkan dalam pergerakan pemuda sebelumnya. Pada kesempatan kongres di Yogyakarta pada tanggal 3—5 Oktober 1908, misalnya, organsisai Budi Utomo memunculkan tuntutan pentingnya pengajaran bahasa Belanda. Namun, pada satu sisi, bahasa Belanda diakui tidak akan mampu menjadi perekat seluruh lapisan masyarakat di wilayah jajahan Hindia Belanda.

Pada sisi lain, ada kebutuhan akan identitas kolektif demi persatuan menentang penjajahan yang membutuhkan tenaga yang besar dari seluruh lapisan masyarakat. Pada saat itu, gagasan persatuan Indonesia masih mengalami pembenihan (gestation) dan belum terjadi 25

pembentukan (formation) bahasa persatuan Indonesia. Pada awal penggagasan bahasa persatuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, pandangan mengenai bahasa apa yang cocok digunakan di seluruh Hindia juga pernah diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara.

Pada tanggal 28 Agustus 1916 digelar Kongres Pengajaran Kolonial di Den Haag Negeri Belanda. Pada kesempatan itu Ki Hadjar Dewantara memberikan prasaran dalam bahasa Belanda yang artinya sebagai berikut. ―Bahasa Melayu, yang untuk mempelajarinya sedikit mempersyaratkan kemampuan filologis dan yang sejak lama menjadi bahasa pengantar di antara penutur asli dan juga di antara penutur pribumi dari pelbagai bagian Insulinde, pada masa yang akan datang akan menjadi bahasa yang cocok untuk seluruh Hindia.‖ (Kridalaksana, 2010: 13—14) Senada dengan pernyataan Ki Hadjar Dewantara itu adalah pendapat M. Yamin pada kesempatan Kongres Pemuda Indonesia I pada tahun 1926 tersebut. Berikut adalah pernyataan M. Yamin yang dicatat dalam buku sejarah karya B. Sularto (1986:24). ―Menurut keyakinanku, maka bahasa Melayu lambat-laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan bagi rakyat Indonesia. Dan bahwa kebudayaan Indonesia pada masa depan, akan diungkapkan dalam bahasa itu.‖ Atas keyakinan itu, pada kesempatan Kongres Pemuda Indonesia I tersebut, diajukan usul resolusi yang disebut M. Yamin dengan istilah Ikrar Pemuda (M. Tabrani, 1978: 42--43) sebagai berikut.

1) Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

2) Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

3) Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Melajoe.

M. Yamin begitu yakin akan ketiadaan bahasa Indonesia pada waktu itu sehingga menolak gagasan M. Tabrani (Ketua Kongres Pemuda Indonesia Pertama) untuk melahirkan/menerbitkan bahasa persatuan ini. Bahkan, M. Tabrani dianggapnya sebagai tukang ngelamun. Berikut adalah catatan Tabrani mengenai penolakan Yamin tersebut. ―Yamin naik pitam dengan alasan: ‗Tabrani menyetujui seluruh pidato saya, tetapi kenapa menolak konsep usul resolusi saya. Lagi pula yang ada bahasa Melayu, sedangkan bahasa Indonesia tidak ada.

Tabrani tukang ngelamun‘.‖ 26

Dalam perdebatan dengan M. Yamin itu, pendirian Tabrani dinyatakan tetap tegas sebagai berikut. ‖Saya tetap pada pendirian. Nama bahasa persatuan hendaknya bukan bahasa Melayu, tetapi bahasa Indonesia. Kalau belum ada, harus dilahirkan melalui Kongres Pemuda Indonesia Pertama ini.‖ Kebuntuan jalan betul-betul terjadi dalam pelahiran bahasa persatuan Indonesia.

Perdebatan sengit pada tanggal 2 Mei 1926 itu dicatat oleh Tabrani (1978:43) secara lengkap.

Tabrani mencatat: Djamaloedin condong pada pemikiran Yamin sehingga ibarat pertandingan sepakbola sebelum turun minum skornya 2-1 untuk kemenangan Yamin. Dalam catatannya, Tabrani menegaskan bahwa skor itu berubah menjadi 2-2. ―Sebab Sanusi Pane menyetujui saya,‖ tegas Tabrani.

Persetujuan Sanusi Pane dengan jangkauan luas dan dampak nasional itu telah menyelesaikan persoalan kebuntuan dalam kemacetan perdebatan para tokoh pejuang nasional itu pada Kongres Pemuda Indonesia Pertama. Atas persetujuan Sanusi Pane itulah, pembentukan bahasa persatuan Indonesia dapat diproses lebih lanjut dengan adanya konsolidasi gagasan persatuan Indonesia ini dalam Kongres Pemuda Indonesia II pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada saat itu, rumusan resolusi telah diubah oleh M. Yamin, dari semula bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, sesuai dengan usulan M. Tabrani atas persetujuan Sanusi Pane pada tanggal 2 Mei 1926 dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa sebagai berikut.

Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe berbangsa yang satoe, bangsa Indonesia.

Kami poetera dan poeteri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Teks ikrar Sumpah Pemuda atau—sekali lagi kebulatan tekad pemuda dalam istilah Sanusi Pane—sekarang tertulis pada Monumen Persatuan Pemuda 1928 di lokasi Museum Sumpah Pemuda pada Jalan Kramat Raya Nomor 106, Jakarta Pusat. Rumusan teks tersebut dibacakan oleh Ketua Panitia Kongres Pemuda Indonesia II, Sugondo Joyopuspito, pada tanggal 28 Oktober 1928 dengan persetujuan semua peserta kongres sebagai puncak pergerakan nasional, tonggak persatuan bangsa Indonesia.

Sanusi Pane tidak hanya berada dalam pergerakan menuju puncak tersebut. Akan tetapi, 27

Sanusi Pane juga terus bergerak memperluas jangkauan secara nasional tanpa menyerah untuk melakukan perjuangan politik kebahasaan melalui pelembagaan bahasa persatuan Indonesia, baik sebelum maupun setelah Republik Indonesia meraih kemerdekaan.

Di tengah beratnya perjuangan mengembangkan bahasa persatuan, antara lain karena pemerintah kolonial Belanda yang tidak menghendaki adanya kebulatan persatuan bangsa untuk meraih kemerdekaan, Sanusi Pane hadir sebagai salah satu penulis Pujangga Baru dalam Kongres Bahasa Indonesia pada tanggal 25—28 Juni 1938 di Solo. Rapat kongres itu dibuka pada hari Minggu, tanggal 26 Juni 1938 dan dihadiri Sanusi Pane dengan prasaran ―Sedjarah Bahasa Indonesia‖. Rapat kembali dibuka pada hari Senin, tanggal 27 Juni 1938 dan dihadiri Sanusi Pane dengan prasaran ―Instituut Bahasa Indonesia‖ (Kridalaksana, 1991:237; Sudaryanto, 2018: 2—3).

Dengan kehadiran Sanusi Pane itu telah lahir gagasan atau pemikiran besar yang menunjang pembangunan Indonesia sebagai negara bangsa yang terbentuk penyatuannya dengan landasan bahasa (bukan ras dan/agama). Sangat luas jangkauan dan dampaknya pun secara nasional sangat besar hingga sekarang dengan terbentuknya lembaga kebahasaan, sebagaimana perintah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Gagasan atau pemikiran besar Sanusi Pane itu merupakan cikal bakal kelembagaan bahasa Indonesia (Asvi Warman Adam,2021).

Pengabdian dan perjuangan Sanusi Pane dalam pergerakan bahasa persatuan Indonesia berlangsung hampir sepanjang hayatnya tanpa pamrih apa pun. Setelah wafatnya Sanusi Pane pada tanggal 2 Januari 1968, barulah ada penghargaan atas hasil karya besarnya seperti penghargaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 17 Agustus 1969 karena jasanya terhadap negara sebagai sastrawan Indonesia utama dengan karya ―Madah Kelana‖.

Diberikan juga penghargaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 22 September 1987 karena jasanya merintis perkembangan Balai Pustaka dengan karyanya di bidang kesusastraan. Sikap konsisten hingga akhir hayatnya ditunjukkan oleh Sanusi Pane tanpa menonjolkan kelebihannya dengan selalu mengatakan, ―Saya bukan apa-apa. Saya bukan apaapa.‖ Bahkan, ketika masih hidup, Sanusi Pane pernah menolak tanda jasa Satya Lencana Kebudayaan yang hendak diberikan oleh Presiden Sukarno.

Sebagaimana catatan

Nasution

(1963) 28

yang

dapat

dibaca

pada

laman

http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/node/239,konsistensi jiwa dan semangat kebangsaannya yang amat tinggi dari Sanusi Pane terlihat dari istrinya, Ny. Siti Zaenab, yang terkejut mengetahui penolakan sang suami terhadap tanda jasa Satya Lencana Kebudayaan tersebut. Atas rencana penghargaan yang hendak diberikan oleh Presiden Sukarno itu, Sanusi Pane memberikan jawaban sebagai berikut: "Indonesia telah memberikan segala-galanya bagiku. Akan tetapi, aku merasa belum pernah menyumbangkan sesuatu yang berharga baginya. Aku tidak berhak menerima tanda jasa apa pun untuk apa-apa yang sudah kukerjakan. Karena itu, adalah semata-mata kewajibanku sebagai putera bangsa." Dalam catatan lain, atas jasa Sanusi Pane terhadap negara sebagai anggota Komite

Nasional

Indonesia Pusat (KNIP), Ny. Siti Zaenab dinyatakan berhak memperoleh tunjangan kehormatan oleh Badan Administrasi Kepegawaian Negara dengan surat keputusan Nomor 261/BPN/KNIP/J/184 tertanggal 3 Agustus1984.

Konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang amat tinggi dari Sanusi Pane tersebut telah dikonfirmasi dari catatan riwayat hidup pada kurun waktu 1941—1968 yang dilewati dalam kepeloporannya untuk memanfaatkan bahasa Indonesia guna menggalang persatuan Indonesia melalui Balai Pustaka. Riwayat hidup Sanusi Pane itu telah diberikan konfirmasi pada tanggal 23 Februari 2021 oleh Dr. Ir. Achmad Fachrodji (Direktur Utama Balai Pustaka).

Berikut adalah konfirmasinya: Pada waktu Sanusi Pane bekerja di Balai Pustaka dia menolak untuk diantar jemput dan memilih berjalan kaki. Sering Sanusi Pane membiarkan jatah berasnya membusuk di gudang karena tidak diambil. Bahkan, selama bekerja—meskipun pada tahun 1947 telah diangkat sebagai kepala pengarang pada Sidang Pengarang Balai Pustaka—Sanusi Pane tidak pernah mengurus kenaikan pangkatnya sehingga sampai dengan waktu pensiun pangkatnya pun tetap sama.

Banyak sekali aksi gerakan Sanusi Pane yang menunjukkan konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang amat tinggi melalui kepeloporan penggunaan bahasa persatuan Indonesia.

Sanusi Pane turut serta memelopori pendirian Kantor Berita ―Antara‖ sebagaimana pemberitahuan hasil Rapat Direksi ―Antara‖ pada tanggal 29 Mei 1951 untuk memberikan kepada Sanusi Pane satu buah andil Rp1.000 dengan tidak dipungut pembayaran. Surat pemberitahuan itu ditandatangai oleh A. Rachmad Nasution atas nama ―Antara‖. Dalam hal kepeloporan penggunaan bahasa persatuan Indonesia di ranah pemberitaan pers, ketika menjadi 29

pemimpin majalah Timboel pada tahun 1932 dengan kebijakan yang dilakukannya, Sanusi Pane telah menunjukkan konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan itu dengan tidak gentar dan berani mengubah bahasa penerbitan yang pada awalnya tahun 1927 menggunakan bahasa Belanda menjadi menggunakan bahasa Indonesia.

Kepeloporan penggunaan bahasa persatuan Indonesia diketahui dari salah satu karya terjemahan Sanusi Pane dalam bahasa Indonesia pertama kali, Ardjuna Wiwaha, yang sepanjang riwayat penyaduran dan penerjemahannya lebih banyak menggunakan bahasa daerah Jawa Baru dan Sunda serta penerjemahannya ke dalam bahasa Belanda. Ke dalam bahasa Indonesia, karya terjemahan Ardjuna Wiwaha disusun oleh Sanusi Pane (1940) untuk memuat nilai-nilai perjuangan menjalin rasa persatuan dan kesatuan guna melawan penjajahan (A‘ang Pambudi Nugroho, 2021).

Selain melakukan penerjemahan pada karya sastra berbahasa Jawa Kuno, Sanusi Pane juga menulis karya kesejarahan pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Penulisan karya Sejarah Indonesia (Historiografi Indonesia) tersebut dimulai dari periodisasi ―Kerajaan HinduBuddha di Nusantara hingga Akhir Kekuasaan Majapahit‖ dan ―Kerajaan Islam di Nusantara hingga Akhir Masa Kompeni‖. Sejarah yang disusun oleh Sanusi Pane itu merekonstruksi memori kolektif tentang Indonesia yang dibayangkan maujud komunitasnya dan—dalam pandangan sejarawan Ichwan Azhari pada tanggal 23 Februari 2021—Sanusi Pane adalah orang yang paling jenius mengonstruksi komunitas Indonesia yang dibayangkan.

Karya besar Sanusi Pane tersebut merupakan pekerjaan cukup rumit dan berbagai kesulitan dialami oleh Sanusi Pane dalam berhadapan dan memahami sumber-sumber data sejarah yang cukup banyak dari setiap periodisasi kesejarahan di wilayah tanah air Indonesia yang terlebih dahulu dikenal dengan istilah Nusantara. Dalam hal penggunaan bahasa Indonesia ini, sangat berbeda jauh penulisan sejarah dari penulisan karya-karya sastra seperti pantun, puisi, naskah drama, dan prosa yang juga biasa dilakukan oleh Sanusi Pane dengan membuka tidak sebanyak sumber data atau arsip kesejarahan dari berbagai periode kesejarahan.

Dengan demikian, terbitnya buku Sejarah Indonesia Sepanjang Masa (1932) dan Sejarah Indonesia (1942) (empat jilid, lalu diringkas menjadi dua jilid) membuktikan bahwa Sanusi Pane telah mampu melakukan tindakan kepeloporan penggunaan bahasa persatuan Indonesia secara maksimal berdasarkan pengetahuan sejarah tanah air yang telah dipahami 30

demi terwujudnya persatuan dan kesatuan Indonesia.

Perjuangan hampir sepanjang hayatnya terbukti dari kenyaataan bahwa Sanusi pane merupakan sastrawan yang produktif dan karya sastra Sanusi Pane merupakan sumber inspirasi bagi masyarakat luas. Karya Sanusi Pane yang pertama dikenal masyarakat luas itu ialah sajak yang berjudul Tanah Airku dalam majalah Jong Sumatra tahun 1921. Kumpulan sajaknya yang bersifat prosa berima (prosa-lirik), yakni Pancaran Cinta yang diterbitkan tahun 1926. Setahun kemudian karya lain menyusul, kumpulan soneta Puspa Mega. Karangankarangannya yang berupa sajak dan drama dimuat dalam majalah Timbul tahun 1928.

Pandangan Sanusi Pane mengenai politik, kebudayaan, dan kesan-kesannya dari kunjungannya ke India banyak dimuat dalam majalah Pudjangga Baru, termasuk tulisan tentang sejarah dan ilmu bahasa. Pandangannya tentang politik dan ekonomi juga dimuat dalam surat kabar Kebangunan. Karya Sanusi Pane masih berbentuk esai-esai diterbitkan di majalah Djawa Baroe, majalah Timbul, dan majalah Pujangga Baru.

Pemikiran-pemikiran Sanusi pane yang sangat inspiratif tersebut banyak diolah dalam karya-karya sastranya adalah tentang kenegaraan, peradaban manusia ―baru‖ Indonesia.

Karya-karyanya yang terkenal di antaranya sebagai berikut.

1) Pancaran Cinta (1926) 2) Prosa Berirama (1926) 3) Kumpulan Sajak (1927) 4) Puspa Mega (1927) 5) Teratai (1929) 6) Eenzame Caroedalueht (drama dalam bahasa Belanda,1929) 7) Madah Kelana (kumpulan sajak yang diterbitkan oleh Balai Pustaka,1931) 8) Kertajaya (Sandiwara, 1932) 9) Sandhyakala Ning Majapahit (Sandiwara,1933) 10) Manusia Baru ( Sandiwara,1940) 11) Airlangga (sandiwara dalam bahasa Belanda,1942) 12) Sejarah Indonesia (1942) 13) Arjuna Wiwaha (1960) 14) Sejarah Nusantara Kerajaan Islam di Nusantara hingga Akhir Masa Kompeni 15) Dari Hikayat Lama Bunga Rampai (1946) 16) Indonesia Sepanjang Masa (1952) 17) Burung Garuda Terbang Sendiri (1987)

Untuk mengembangkan bahasa Indonesia, kata Sanusi dalam koran Pemandangan 31

(2— 6/4/1940) dalam catatan Priyantono Oemar, 23 Februari 2021), perlu dukungan budaya yang dekat dengan masyarakat Indonesia. Kebudayaan Indonesia baru harus berdasarkan humanisme Timur. Namun, Sanusi juga tidak menutup diri akan pentingnya humanisme Barat sebagai unsur pemerkaya akal budi keindonesiaan.

Dalam sebuah polemik kebudayaan, garis tengah sebagai sintesis antara Barat dan Timur itu dipilih, antara lain dengan mengidolakan tokoh Barat yang diwakili oleh Faust dan tokoh Timur yang terwakili semangatnya dalam pribadi tokoh Arjuna tersebut. Sanusi menyatakan bahwa kebudayaan Indonesia harus ditarik seluas mungkin termasuk budaya Barat. Dengan demikian pembagiannya berada di antara pencampuran yang seimbang antara kebudayaan Timur dan kebudayaan Barat, yang dikontraskan dengan model budaya sepihak yang mengistimewakan salah satu saja, Timur dan barat. Sanusi berpendapat bahwa Indonesia selalu memiliki satu kesatuan budaya yang mendasari dan bahwa mengejar ―provinsialisme‖ yang hanya akan menarik dari kebudayaan daerah sebelumnya akan membatasi perkembangan kebudayaan Indonesia. Berikut adalah pola kebudayaan dalam pemikiran Sanusi Pane.(Jones, 2015:63-66).

Tabel 1. Pembagian antara Kebudayaan Timur –Barat yang Seimbang dan Kebudayaan Timur saja atau Barat saja.

Timur-Barat yang Seimbang Timur Barat Harmoni

Harmoni

Kompetisi

Satu dengan Alam

Satu dengan Alam

Menundukkan Alam

Teknologi

Terbelakang

Teknologi

Ilmu Pengetahuan

Terbelakang

Ilmu pengetahuan

Ekonomi

Terbelakang

Ekonomi

Spiritual dan Material

Spiritual

Material

Perbedaan penting antara Balai Pustaka dan nasionalis budaya bukanlah dalam cara kerja mereka, tetapi cara kerja mendefinisikan orang-orang yang menjadi target mereka.

Berbeda dengan rezim kolonial, kaum nasionalis budaya melihat audiens mereka sebagai orang-orang yang sedang mengalami modernisasi, penduduk nasional yang perlahan tapi pasti menuju kemerdekaan- dengan kata lain, mereka menolak model kebijakan budaya otoritarian.

Tidak seperti Balai pustaka, kaum Nasionalis budaya tidak memiliki dukungan keuangan atau logistik dari negara dan argumen mereka tetap sangat abstrak dan teoretis meskipun mereka 32

telah memperoleh pengaruh yang jauh lebih luas selama pendudukan Jepang.

Jones

(2015:196) juga menyatakan bahwa kaum Nasionalis juga bergerak dalam kebahasaan yaitu menyatukan kelompok sosial dan etnik yang beragam dalam satu bangsa, menyederhanakan administrasi, dan mengusahakan bahasa yang ―termodernisasi‖untuk membangun warga negara Indonesia. Garis haluan Sanusi dalam hal melembagakan bahasa ini dapat dibaca lebih lanjut dari buku Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (E. Ulrich Kratz, 1999) yang memuat empat esainya: Mengembalikan Kebudajaan Timoer; Kewadjiban Kita; Djagat Besar dan Djagat Ketjil; Persatuan Indonesia.

Pentingnya pelembagaan bahasa persatuan Indonesia merupakan salah satu usulan yang diputuskan dalam Kongres Bahasa Indonesia Pertama (Solo, 1938). Sebagai tindak lanjut kongres itu, dibentuklah komisi yang menangani pendirian ―Instituut Bahasa Indonesia‖ yang digagas oleh Sanusi Pane. Gagasan itu masih hidup hingga sekarang bermaujud lembaga kebahasaan dengan nama Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sanusi Pane telah melakukan tiga langkah gerakan berkeindonesiaan dengan paripurna dan tulus serta ikhlas tanpa pamrih untuk suatu penghargaan. Keikhlasan mengabdi itu patut diteladani demi kemajuan Indonesia.

Pembelaan Sanusi Pane untuk Bahasa Persatuan Indonesia Untuk membantu pengembangan bahasa Indonesia, sepulang dari India, Sanusi Pane bergabung dengan majalah Timboel yang didirikan oleh Radjiman Wediodiningrat. Majalah yang terbit sejak 1927 itu menggunakan bahasa Belanda karena sasarannya memang orang-orang yang berbahasa Belanda. Oleh karena itu, Sanusi Pane mengupayakan halaman bahasa Indonesia untuk menampilkan karya-karya sastra.

Menurut AA Fokker di Bataviaasch Nieuwsblad edisi 8 Februari 1941, kehadiran sastrawan membantu bahasa Indonesia berkembang. Para sastrawan/penyair harus menempa kata-kata agar dapat mengekspresikan konsep-konsep baru ketika bahasa Indonesia masih belum mampu menafsirkan ide-ide yang benar-benar baru. Kata Fokker, inovasi dan adaptasi yang dilakukan terus-menerus oleh para sastrawan akan membantu bahasa Indonesia dapat memenuhi kebutuhan kehidupan modern.

Sejak 1932, Sanusi Pane memunculkan halaman khusus berbahasa Indonesia di Timboel, tetapi hanya bertahan beberapa edisi karena Timboel kemudian tidak terbit lagi. ―Terpaksa 33

dihentikan karena alasan yang tak ada sangkut-pautnya dengan sastra,‖ tulis De Vrije Pers edisi 8 November1950. Radjiman Wediodiningrat menerbitkan Timboel dalam bahasa Belanda mulai Januari 1927: Mengapa Radjiman menerbitkan dalam bahasa Belanda, tidak memakai bahasa Jawa yang lebih komunikatif ke rakyat biasa.

Tentunya dari sudut ini pun Radjiman dapat dibaca bahwa sasaran penerbitannya ternyata lebih ke menekankan ‗teras atas‘ sebagai pembacanya dibanding ‗teras bawah‘ atau rakyat (Mangunwidodo di buku Dr KRT Radjiman Wediodiningrat.

Atas kondisi politik 1933 –pelarangan berkumpul sehingga membuat MH Thamrin melayangkan interpelasi di Volksraad, mendorong Sanusi Pane dan kawan-kawan pun memutuskan untuk menghentikan penerbitan majalah Timboel pada Mei 1933. Sanusi Pane bergabung dengan Timboel sejak 1931, sepulangnya dari India.

Penutupan itu dilakukan sebagai protes terhadap pemerintah yang telah mengecewakan kalangan pendukung politik kooperasi, tetapi ada pihak yang membantah: ―Penutupan karena kekurangan modal,‖ tulis Bataviaasch Nieuwsblad edisi 26 Mei1933.

Kantor berita Aneta, seperti dikutip Algemeen Handelsblad edisi 24 Mei 1933, menurunkan naskah pengumuman pengelola Timboel bahwa penghentian penerbitan lebih karena sikap politik: Sekarang setiap upaya informasi publik, yang juga ditujukan kepada pihak sana, berkurang gunanya atau tidak berguna sama sekali, karena kerja sama politik tidak dapat dilakukan di masa depan. Kebebasan berekspresi yang sangat diperlukan dalam berbicara dan menulis tampaknya sepenuhnya ilusi, maka tak ada gunanya menyampaikan ekspresi gerakan nasional dalam bahasa asing ke pihak sana.

Halaman bahasa Indonesia pada majalah Timboel memang tak berumur lama. Setidaknya upaya Sanusi Pane itu mewarnai pengembangan bahasa Indonesia sebelum Pudjangga Baru muncul pada 1933. Pudjangga Baru dengan motor Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Amir Hamzah memunculkan sastra baru yang berkiblat ke Barat. Menurut Sutan Takdir, manusia Indonesia harus diputus hubungannya dengan budaya lama. Ini berbeda dengan titik berdiri Sanusi Pane yang menegaskan manusia Indonesia harus tumbuh berdasarkan budaya lama.

Agar bangsa Indonesia tidak putus hubungan dengan masa lalunya, Sanusi Pane lantas melanjutkan menulis karya-karya berdasar sastra Jawa, baik dalam bahasa Indonesia maupun 34

Belanda. Pada 1928 ia sudah menerbitkan Airlangga, lalu pada 1930 Kertadjaja, dan pada 1933 menerbitkan Sandhyakala ning Madjapahit. Di kemudian hari, kata Teeuw (1957: 124), Sandhyakala ning Madjapahit menimbulkan ilham pada STA untuk menuliskan sebuah bab dalam Lajar Terkembang.

Jeda menerbitkan penerjemahan sastra Jawa, pada 1942 ia menerbitkan Sedjarah Indonesia. Pada 1946 ia muncul dengan Bunga Rampai dari Hikajat Lama dan 1948 Ardjuna Wiwaha. Pada 1940 ia menerbitkan Manusia Baru berlatar budaya India.

Bagi Sanusi Pane, memunculkan kebudayaan persatuan tak bisa hanya mengandalkan satu kebudayaan saja. Apalagi, sastra Melayu yang semula maju, ia nilai sudah mati memasuki pertengahan abad ke-19 dengan pujangga terakhir Abdoellah bin Abdoelkadir Munsji yang meninggal pada 1854. ―Sebab pengaruh Barat, maka berhentilah kemajuan tadi,‖ ujar Sanusi Pane, seperti dikutip dokter Soetomo saat membuka Kongres Indonesia Raya di Surabaya pada 1 Januari1932.

Hal yang juga diakui Sutan Takdir pada 1934 bahwa puisi-puisi Melayu lama sudah mati inisiatif, mati perasaan, dan pikiran. Ia menyebut bahwa setiap syair memperlihatkan sikap merendah diri sampai seperti tiarap ke tanah, seakan tiada kuasa. Hal itu sering dipakai penyair dalam karyanya untuk memenuhi syarat kebiasaan yang saat itu sudah dianggap mengikat setiap orang.

Menurut Sutan Takdir yang dikutip Bintang Timoer edisi 5 Desember 1934, dalam lingkungan penghambaan kepada kebiasaan serupa itu tak mungkin lahir perkataan, kiasan, dan sajak yang berjiwa, yang terpancar dari kehidupan batin. Ia layu dan kering seperti daun tiruan yang tidak mengalirkan getah hidup dalam uratnya.

Ketika Sutan Takdir menulis “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru Indonesia” di Pudjangga Baru edisi Agustus 1935, Sanusi Pane-lah orang yang merespons pertama kali.

Sanusi menulisnya di Soeara Oemoem edisi 4 September 1935 dengan judul “Persatuan Indonesia”. Sanusi Pane tak sepakat masyarakat Indonesia baru harus memutus hubungan dengan kebuadayaan lamanya, seperti ide Sutan Takdir.

Menurut Sanusi Pane, kebudayaan persatuan Indonesia belum pasti bentuknya karena juga masih sedang bertumbuh. Kebudayaan daerah tetap mempunyai hak untuk tumbuh bersama kebudayaan persatuan. Kebudayaan persatuan Indonesia itu perlu dilatari kebudayaan di masa lalu. ―Sebelum ada sepatu baru, sebagai kata orang Belanda, jangan 35

dibuang sepatu lama,‖ ujar Sanusi saat berbicara mengenai kebudayaan dan bahasa Indonesia di Taman Siswa pada 30 Maret 1940, seperti dikutip Pemandangan, 3 April1940.

Suatu ketika, Edgar du Perron --sastrawan Belanda kelahiran Jatinegara, sahabat EFE Douwes Dekker—pada 1939 mengkritik sastrawan muda Indonesia dan itu membuat ―panas‖ Sutan Takdir. Perron menyebut sastrawan muda Indonesia tidak mengenal tradisi budayanya sendiri. Maka, ketika Sutan Takdir harus membantah pernyataan Perron itu, nama Sanusi Pane termasuk yang disebutnya selain Muh Yamin, Poerwadarminta, Dajoh, dan Amir Hamzah, seperti dikutip Kees Snoek di buku E du Perron, Het Leven van Een Smalle Mens, yang terbit pada tahun 2005: Atas dasar apa Du Perron menyimpulkan bahwa pemuda Indonesia tidak mengenal budaya lamanya. Apakah beliau mengenal Sanusi Pane, M Yamin, Amir Hamzah, Dajoh, Poerwadarminta, apakah beliau pernah membaca lakon, puisi, dan esai mereka? (Snoek, 2005:900).

Pada saat berbicara di Taman Siswa itu, Sanusi Pane juga menyingung ihwal bahasa Indonesia yang sering disalahpahami banyak orang. Sanusi Pane adalah orang yang mendukung Tabrani saat berdebat di panitia kecil Kongres Pemuda Indonesia Pertama ketika membahas bahasa persatuan dalam ikrar pemuda yang disusun Yamin. Djamaluddin Adinegoro mendukung Yamin memilih bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Sanusi Pane yang datang belakangan memihak kepada Tabrani. ―Setelah Sanusi Pane muncul stand berobah menjadi 2-2. Sebab Sanusi Pane menyetujui saya,‖ tulis Tabrani di Anak Nakal Banyak Akal.

Sanusi Pane merasa berkewajiban membela bahasa Indonesia yang disalahpahami itu.

Dalam catatan Sanusi Pane pada saat berbicara tentang kebudayaan dan bahasa Indonesia di Taman Siswa itu, ada enam pandangan yang muncul mengenai pemahaman tentang bahasa Indonesia yang dijadikan sebagai bahasa persatuan: Ada jang mengatakan, bahwa basa Indonesia ialah basa Melajoe, tjoema namanja jang beroebah. Jang lain berpendapatan, bahwa basa Indonesia ialah bahasa Melaju modern, jaitoe bahasa Melajoe jang soedah mentjernakan zat2 yang baroe. Jang ketiga menganggap bahasa Melajoe Riau jang jadi dasar. Jang keempat memandang soal dari djoeroesan bahasa Melajoe sekolah. Jang kelima menjangkal adanja bahasa Indonesia. Jang keenam memakai nama Melajoe Oemuoem (Pane, 36

Pemandangan, 4 April1940).

Tetapi Sanusi Pane menegaskan bahwa bahasa persatuan tidak tumbuh karena pengaruh kesusastraan Melayu atau karena kuasa salah satu daerah Melayu. ―Munculnya bahasa persatuan terjadi di luar lingkungan kesusastraan Melayu dan kuasa daerah Melayu,‖ kata Sanusi Pane.

Pada titik ini, linguis spesialis pijin RA Hall Jr pada 1972 menyebut asal-usul bahasa Indonesia termasuk sebagai bahasa pijin., yang dibantah oleh Harimurti Kridalaksana pada 1974 dalam Berita LIPI, No 18: ―Mitos tentang Terjadinya Bahasa Indonesia dari Sebuah Kreol‖ (Masa Lampau Bahasa Indonesia; Sebuah Bunga Rampai, 1991: 175-179). Harimurti perlu menjelaskan terlebih dulu makna pijin dan kreol: Untuk para pembaca yang tidak berkecimpung dalam dunia bahasa, beberapa keterangan sebaiknya disajikan di sini. Yang dimaksudkan dengan pijin ialah alat komunikasi sosial yang dipergunakan dalam kontak singkat (misalnya dalam perdagangan) di antara orangorang yang berlainan bahasanya. Alat komunikasi sosial ini tidak merupakan bahasa ibu dari para pemakainya; ada pijin yang memiliki struktur (tata bahasa) dan leksikon (perbendaharaan kata) yang diambil dari bahasa-bahasa yang berlainan itu, jadi sifatnya "campur aduk"; ada pula pijin yang mengambil salah sebuah bahasa sebagai dasar dengan sangat menyederhanakan struktur dan leksikonnya. Bahasa Melayu Pasar yang dipakai orang Tionghoa dan orang Belanda adalah contoh sebuah pijin.

Yang dimaksud dengan kreol ialah sebuah pijin yang dalam perkembangannya menjadi bahasa ibu dari suatu masyarakat bahasa. Jika pijin hanya dipergunakan untuk keperluan tertentu saja, maka kreol diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Bahasajawayang diper gunakan oleh masyarakat keturunan Tionghoa di Semarang adalah contoh bahasa Jawa yang dikreolkan; bahasa Jawa ini tidak mengandung variasi "basa", tidak ada kata-kata "krama" dan banyak terdapat kata-kata Melayu (Kridalaksana, 1991:176).

Dengan memakai pengertian ini, Harimurti lalu membahas fakta bahwa bahasa Indonesia tidak berasal dari bahasa pijin. Bahasa Indonesia ia sebut berasal dari bahasa Melayu, yang sudah menjadi bahasa ibu di daerah Sumatra. Pun sudah mengalami standardisasi dalam sistem pendidikan kolonial Belanda.

Masyarakat bukan Melayu di Indonesia sudah mengenal bahasa Melayu, baik yang berupa bahasa Melayu Pasar maupun yang berupa bahasa 37

Melayu Tinggi (=standar) yang diajarkan di sekolah-sekolah; tetapi yang diterima sebagai bahasa nasional bukan bahasa Melayu Pasar, melainkan bahasa Melayu Tinggi itu (Kridalaksana, 1991: 177).

Melayu-pasar yang memenuhi syarat sebagai bahasa pijin menurut Harimurti hanyalah yang dipakai Tionghoa dan Belanda. Melayu-pasar yang juga digunakan di pers Melayu-Cina itu perkembangannya telah membuat gusar Soedarjo Tjokrowisworo sehingga terdorong untuk mengadakan Kongres Bahasa Indonesia. Di sisi lain, Sanusi Pane sejak 1936 merintis kerja sama dengan pengusaha pers Cina pemilik Siang Po, menerbitkan Kebangoenan, yang disebut sebagai edisi murah Keng Po dan tentunya bahasa Indonesianya berbeda dengan bahasa yang digunakan di Siang Po (De Koerier, 28 Oktober 1936).

Parada Harahap mengkritik Sanusi Pane yang bergabung dengan pengusaha Cina untuk membangun pers. Ini dianggap sebagai kolaborasi yang tidak nasionalis. Padahal, di dalamnya ada juga Muh Yamin dan Amir Sjarifuddin (Bataviaasch Nieuwsblad, 4 Juni 1936). Karena dimiliki pengusaha Cina, Kebangoenan dalam istilah Parada Harahap bukan koran ―benarbenar‖ pribumi, melainkan ―akan menjadi‖ pribumi (De Koerier, 28 Oktober 1936).

Akantetapi di sini terlihat sikap Sanusi Pane yang bersinergi dengan orang Tionghoa dalam mengelola media sejalan dengan sikap Tabrani sewaktu mendirikan Partai Rakyat Indonesia (PRI). Perlu diciptakan kesetaraan kewarganegaraan. Pada 1931, PRI yang dipimpin Tabrani menerbitkan brosur ―Menoedjoe Kemerdekaan Indonesia‖. Memilih jalan parlementer, PRI mengaku sebagai partai reformis yang menginginkan pencapaian kemerdekaan dan menjadi anggota Liga Bangsa-Bangsa. Menyeru ―satu kehendak nasional‖ dan ―satu tindakan untuk kemerdekaan‖ lewat brosur itu, PRI menawarkan konsep kewarganegaraan yang sederajat untuk semua orang yang tinggal di Hindia Belanda: … selain orang Indonesia, semua elemen penduduk yang hadir di sini (Belanda, Indo- Eropa, Indo-Cina, Indo-Arab, dan lain-lain) akan dapat mempengaruhi urusan negara sebagai warga negara yang memiliki hak yang sama. Kewarganegaraan Indonesia dapat diperoleh dengan cara naturalisasi bagi orang non-Indonesia (Bataviaasch Nieuwsblad, 28 September 1931) Pada Kongres Bahasa Indonesia Juni 1938, Sanusi Pane menjadi satu-satunya pemrasaran yang tampil dalam dua kesempatan, membawakan dua prasaran. Pertama ―Sejarah Bahasa Indonesia‖ pada 26 Juni 1938, kedua ―Tentang Instituut Bahasa Indonesia‖ pada 27 Juni 1938. Kendati Kongres ini serius membahas bahasa Indonesia, kongres juga bermuatan 38

politik. Dan gaung yang lebih kuat adalah gaung politik. Dukungan dari Fraksi Nasional Volksraad terhadap Kongres itu yang kemudian diwujudkan dalam penggunaan bahasa Indonesia di sidang Volksraad merupakan aksi politik bahasa Indonesia yang menggema.

Materi yang disampaikan Sanusi Pane di Kongres itu juga cenderung mengarah kepada politik bahasa, hal yang sejak awal digunakan oleh Tabrani untuk pemunculan bahasa Indonesia.

Diskusi-dikusi awal pemunculan bahasa Indonesia yang terbit di Hindia Baroe pada awal 1926 yang lebih mengemuka juga politik bahasa dibanding soal mudahnya bahasa Indonesia dipelajari. Pada titik inilah, Tabrani dan Sanusi Pane memiliki titik berdiri yang sama: Tidak boleh ada salah satu bahasa yang ada di Indonesia yang mendominasi bahasa yang lain.

Dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama, Sanusi Pane dan Tabrani menjadi panitia sekaligus juga yang menelaah makalah-makalah dari para pembaca. Ketika Muh Yamin menolak menyiapkan makalah tertulis, Tabrani segera mengatakan bahwa Sanusi Pane akan dipilih untuk menyiapkan makalah, menggantikan Yamin sebagai pembicara. Yamin keberatan, sehingga akhirnya bersedia membuat makalah tertulis.

Pada masa itu, Sanusi yang aktif di Jong Sumatranenbond sudah aktif juga sebagai penyair. Sedangkan,

Tabrani aktif di Jong Java. Setelah Kongres Pemuda Indonesia

Pertama, organisasi-organiasi pemuda memang memiliki dorongan politik yang kuat memakai bahasa Indonesia dalam pertemuan-pertemuan mereka yang sebelumnya selalu menggunakan bahasa Belanda. Sebagai aktivis Jong Sumatranenbond sekaligus bekas panitia Kongres Pemuda Indonesia Pertama, Sanusi Pane tentu saja terlibat di dalam gerakan politik bahasa ini. ―Mereka melihat ini sebagai kontradiksi dengan cita-cita nasionalis mereka. Alih-alih bahasa Belanda, bahasa Indonesia harus dipilih…,‖ tulis Nieuwe Rotterdamsche Courant edisi 9 Februari 1928 dalam laporan berjudul ―Bahasa Indonesia‖. Koran itu terlebih dulu mengulas semangat persatuan Indonesia yang muncul setelah Kongres Pemuda Indonesia Pertama: setelah Sanusi Pane melakukan pembelaan terhadap gagasan M. Tabrani untuk menerbitkan bahasa (persatuan) Indonesia.

Polemik Kebudayaan sebagai Politik Kebahasaan Meskipun dirumuskan pertama kali pada tahun 1975 (Halim 1976) dalam dokumen bertajuk Politik Bahasa Nasional, kebijakan bahasa di Indonesia—dengan sponsor Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, kemudian diperbaharui pada tahun 2000 dengan tajuk 39

Politik Bahasa (Alwi dan Sugono 1999)—merupakan bagian dari kebijakan kebudayaan yang sebelumnya telah dirancang oleh Sanusi Pane melalui polemik Kebudayaan. Baik dokumen Politik Bahasa Nasional maupun dokumen Politik Bahasa mengatur alokasi fungsi bahasa yang digunakan di Indonesia.

Terdapat tiga kategori: bahasa nasional/negara, bahasa daerah negara, dan bahasa asing.

Berdasarkan kebijakan politik bahasa itulah program pembinaan dan pengembangan bahasa dilaksanakan sampai saat ini dalam hal pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia. Politik kebahasaan ini merupakan kelanjutan dari polemik kebudayaan yang melibatkan Sanusi Pane.

Berikut adalah kutipan tulisan Sanusi Pane dalam keteribatannya berpolemik kebudayaan.

Dalam karangan ―Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru‖ dalam Pujangga Baru, yang dikutip juga dalam Suara Umum ini, Tuan Sutan Takdir Alisjahbana membagi sejarah kita dalam dua bagian, zaman pra-Indonesia, sampai akhir Abad ke-19, dan zaman Indonesia, yakni setelah masa itu. Zaman Indonesia tidak dapat dianggap kelanjutan atau terusan zaman praIndonesia. Tuan Sutan Takdir Alisjahbana rupanya tidak cukup menunjukkan kenyataan bahwa sejarah adalah rangkaian waktu yang timbul dari waktu sebelumnya. Zaman sekarang ialah kelanjutan dari zaman sebelumnya. Manusia tidak mampu menciptakan kekinian yang baru sama sekali. Hal yang demikian itu sama dengan mengadakan barang dari yang tidak ada.

Dalil di atas itu berlaku dalam semua bidang kehidupan, dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam bidang ekonomi kita tidak usah pergi kepada Karl Marx untuk mengetahui bahwa susunan ekonomi senantiasa merupakan kelanjutan atau terusan yang sebelumnya.

Kelanjutan itu tampak dalam banyak hal, bahkan dalam lawan yang menggantikannya. Namun, kita tidak usah menganut Hegel supaya tahu bahwa antara antitesis dengan tesis ada hubungan sejarah sehingga boleh dipakai kata kelanjutan.

Demikian pula halnya dalam ranah sosial.

Dalam ranah budaya, ambil saja Pujangga Baru sebagai contoh. Kalau tidak ada Pujangga Lama, tidak mungkin timbul Pujangga Baru. Memang Pujangga Baru bertentangan dalam banyak hal, tetapi pertentangan itu membuahkan kelanjutan. Antara anak pedati yang berpantun di dalam hati dengan Sutan Takdir Alisjahbana ada pertalian sejarah.

Bentuk jiwa kita sekarang bukan baru dalam segala-galanya. Kita tidak perlu pergi kepada Jung untuk mengetahui bahwa kita mewarisi pengalaman nenek moyang kita. Tuan Sutan Takdir Alisjahbana menyebut bahwa dalam zaman Majapahit, Diponegoro, dan Teuku Umar, 40

belum ada keindonesiaan. Pikiran ini kurang benar menurut pendapat kami. Keindonesiaan pada waktu itu pun sudah ada, keindonesiaan dalam adat, dalam seni. Hanya bangsa Indonesia belum muncul, orang Indonesia belum sadar bahwa mereka sebangsa. Sungguh boleh disebut ada imperialisme Sriwijaya, Majapahit, Mataram, tetapi hal itu tidak bertentangan dengan keindonesiaan. Di Belanda pun ada pertentangan, ada hegemoni daerah (lebih) dulu, tetapi siapa dapat menyangkal bahwa kebangsaan Belanda yang sekarang pada waktu itu sudah ada dan hanya menanti pengakuan yang wujud?

Kebangsaan Indonesia sudah ada semenjak dahulu kala. Sekarang dirasakan dan diwujudkan. Dengan demikian, nyata kesalahan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana dalam caranya mengemukakan masalah. Sebaliknya, ia seharusnya berkata: Bagaimanakah kita harus memperbarui kebudayaan kita sehingga sesuai dengan perasaan kebangsaan sekarang?

Tentu kita harus mengakui bahwa setiap daerah berbeda kemajuannya dalam lembaga, adat, seni, dan sebagainya. Walaupun pada dasarnya sama, tetapi kita tidak pernah mengatakan bahwa kita sanggup membangun kebudayaan yang baru sama sekali, yang tidak berhubungan dengan masa silam. Kebudayaan yang ―baru‖ itu bersendikan kebudayaan ―lama‖.

Tentang bentuk kebudayaan baru dan cara membangunnya itulah yang dapat menimbulkan perselisihan paham. Dan di sinilah letak soal yang harus diperbincangkan.

Kita harus berdiri pada sendi ini, supaya pembicaraan tidak kisruh, supaya kita saling mengerti.

Singkatnya, kita menolak visi sejarah Tuan Sutan Takdir Alisjahbana, pandangannya tentang sejarah. Sekarang kita membicarakan kebudayaan baru. Dasar pendapat Tuan Sutan Takdir Alisjahbana ialah kita harus belajar pada Barat.

Di Benua Barat, orang terpaksa berjuang menaklukkan kekuatan alam untuk mempertahankan diri. Di sana agaknya harus demikian sehingga orang harus menggunakan dan menambah kekuatannya. Dengan demikian, timbul materialisme, yakni orang mengutamakan jasmani, dan lahir intelektualisme dan pengetahuan praktis karena orang terpaksa menyempurnakan akal.

Dalam susunan yang mementingkan keselamatan tubuh jasmani itu tumbuh dengan sendirinya individualisme: orang mementingkan diri sendiri.

Kebudayaan

Barat

berkembang atas dasar materialisme, intelektualisme, dan

individualisme itu. Ekonominya berkembang, melahirkan industri, perdagangan, dan imperialisme dalam bentuk modern. Pengetahuannya kian hari kian maju. Individualisme 41

menimbulkan persaingan yang tidak terbatas dalam sektor ekonomi dan sosial. Dalam seni berwujud l’art pour l’art, seni untuk seni.

Setelah Benua Barat menyempurnakan ketiga senjata itu, kenyataan menuntut perlu diwujudkan asas yang baru, organisasi yang menjaga agar dalam lingkup kebudayaan berlaku keadilan dalam segala lapangan kehidupan. Barat telah sanggup mempertahankan diri, menyelamatkan tubuh jasmani. Ia hanya belum berusaha, agar tiap orang selamat sejahtera.

Ibarat orang yang mencari makanan. Makanan sudah cukup, tetapi membagikannya belum adil sehingga ada orang yang berlebihan dan ada yang kelaparan. Begitulah keadaan Benua Barat pada masa sekarang. Bagaimana di Timur?

Di Timur, lebih baik: India Raya, orang tidak usah berusaha keras mempertahankan diri, mencari jalan menaklukan alam sebab alam tidak begitu ganas seperti di Barat. Materialisme, intelektualisme, dan individualisme boleh dikatakan tidak terlalu penting. Orang tidak terpaksa benar menceraikan dirinya dari alam yang harus dilawan. Manusia justru merasa dirinya menyatu dengan alam sekelilingnya. Pengetahuan praktis tidak muncul. Teknik tak seberapa maju. Begitu pula ekonomi. Di atas kita mengatakan: tidak terlalu penting, tidak terlalu terpaksa benar, dan sebagainya.

Keperluan dan paksaan mempertahankan diri serta menentang alam memang ada. Karena itulah, mungkin kemajuan dalam budaya di Timur perbedaannya bertingkat-tingkat. Namun, meskipun ada tingkatan itu, semua bangsa di Timur mampu mencapai tingkat yang setinggitingginya, kalau seandainya mengikuti jalannya sendiri. Tingkat tertinggi itu ada di lapisan teratas dalam kebudayaan di India dan di Indonesia, yaitu lapisan yang berpusatkan kesunyatan, mistik, manusia bersatu dengan alam harus meniadakan keinginan jasmaninya dan membersihkan jiwanya.

Sampai di sini kita membicarakan sejarah yang diikuti oleh Barat dan Timur secara sendiri-sendiri dan kini muncul pertanyaan: adakah garis yang harus dan dapat diikuti oleh seluruh dunia? Manusia mempunyai tubuh dan jiwa. Karena itu keperluannya pun dua macam, yaitu lahir dan batin. Kewajibannya dua pula, yaitu memelihara dan menyempurnakan kehidupan tubuh jiwanya. Agar mampu melakukan kewajiban itu, ia harus memakai dan menyempurnakan akal. Barat, sebagaimana kita lihat, mengutamakan jasmani, akibatnya lupa pada jiwa. Akalnya dipakai untuk menaklukkan kekuatan alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe), yang mengorbankan jiwa asalkan menguasai jasmani. Timur lebih mementingkan ruhani sehingga 42

lupa pada jasmani. Akal dipakainya untuk mencari jalan menyatukan diri dengan alam. Ia bersifat Arjuna yang bertapa di Indrakila.

Haluan yang sempurna ialah menyatukan Faust dengan Arjuna. Memadukan materialisme, intelektualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan, dan kolektivisme. Asas dan persatuan itu harus kelihatan dalam segala sendi kehidupan, dalam bidang ekonomi, sosial, seni, dan pengetahuan. Maka tidak boleh tidak perbedaan bentuk antara semua bangsa tentu tetap ada karena pengaruh masalah hawa nafsu dan tempat, meskipun pada dasarnya sama. Ke arah itulah kita di Indonesia ini harus menuju, jadi memperkaya (bukan mengubah) dasar kebudayaan kita. Hal itu perlu, bukan saja karena hendak mengikuti ukuran yang lepas dari perbedaan daerah dan zaman, yang absolut, tetapi karena paksaan kekinian juga.

Dengan demikian, sudah jelas arti kebudayaan Barat bagi kita. Sekarang perlu dijelaskan landasan Indonesia yang harus diperluas itu. Tuan Sutan Takdir Alisjahbana terus melihat perbedaan daerah dan isme kesukuan. Di atas telah diuraikan bahwa asas kebudayaan di sini satu. Atas asas yang satu itu daerah-daerah di Indonesia memiliki sejarahnya masing-masing.

Adakalanya terjadi pertukaran unsur, karena ada kerajaan yang meluaskan kekuasaannya atau karena hal lain. Ada negeri yang erat dengan negeri lain, ada daerah yang tidak seberapa hubungannya dengan daerah asing. Ringkasnya: pada asas yang satu itu tidak sama kemajuannya dan pesatnya (tempo) kebudayaan berkembang di masing-masing daerah sehingga sekarang ada perbedaan daerah.

Kewajiban kita ialah memetik manfaat yang sebaik-baiknya yang sesuai dengan zaman sekarang dan masa yang akan datang, dari semua hasil kemajuan yang tersebut itu dan membuatnya jadi dasar Indonesia Raya (yang harus diperluas dengan asas Barat).

Dasar dalam kalimat itu tidak bertentangan dengan asas yang disebut sebelumnya karena unsur yang dimaksud itu ialah hasil kemajuan asas yang terdahulu sehingga tidak bisa dikatakan dasarnya berubah. Dalam mengambil unsur itu perlu pengetahuan yang luas tentang Indonesia keseluruhan dan perasaan yang terdalam tentang kebudayaan. Harus jauh dari semua rasa kedaerahan, yaitu perasaan yang timbul dari kepicikan pengetahuan tentang kebudayaan yang ada di sini dahulu dan sekarang, serta harus bisa memahami tuntutan zaman.

Maka, tidak dapat disangkal, tidak banyak orang yang sanggup melakukan pekerjaan itu sebagaimana mestinya. Masih banyak yang bersemangat kedaerahan dalam menjalankan kewajiban itu. Oleh karena itu, karangan Tuan Sutan Takdir Alisjahbana itu besar nilainya, 43

karena menyuluhinya dengan terang. Makna karangan itu berjasa sebagai penentang semangat kedaerahan. Suara Umum, Nomor 276, 4 September 1935.

Poin penting dari polemik kebudayaan tersebut ialah bahwa Indonesia harus menuju ke arah perbedaan bentuk yang pada dasarnya adalah sama sehingga harus memperkaya (bukan mengubah) dasar kebudayaan Indonesia. Atas dasar kebudayaan Indonesia itu—dengan mengacu pada Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan--rencana politik kebahasaan disusun untuk memecahkan masalah kebahasaan yang dapat diimplemetasikan dalam tiga program kebahasaan: pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa. `Perencanaan politik bahasa secara luas dikenal dua jenis perencanaan, yaitu perencanaan status dan perencanaan korpus. Keduanya tidak dapat dijalankan secara terpisah. Status bahasa setidak-tidaknya dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu status legal dan status fungsional.

Status legal yang disandang oleh bahasa Indonesia diperoleh dari penetapan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu sebagai bahasa negara, dan dari pernyataan Sumpah Pemuda 1928, yaitu sebagai bahasa persatuan. Status fungsional diperoleh dari tingkat pemakaian bahasa untuk berbagai keperluan. Status legal bersifat lebih statis, sedangkan status fungsional bersifat sangat dinamis.

Perencanaan status di Indonesia dimanifestasikan dalam program pembinaan bahasa.

Pembinaan bahasa adalah upaya untuk meningkatkan mutu dan jumlah penutur. Walaupun hampir semua penduduk Indonesia sekarang ini dapat berbahasa Indonesia, mutu pemakaian bahasanya belum tentu memadai untuk keperluan komunikasi yang sesuai dengan kedudukan dan pekerjaannya. Oleh sebab itu, peningkatan mutu berbahasa tetap perlu dilakukan pada penutur asli. Namun, karena pembinaan bahasa juga bertujuan meningkatkan jumlah penutur bahasa yang bermutu, pengajaran bahasa untuk penutur asing juga merupakan bagian dari pembinaan bahasa dan menjadi salah satu jalur penginternasionalan bahasa.

Perencanaan korpus diwujudkan dalam program pengembangan bahasa, yaitu upaya untuk meningkatkan kemampuan bahasa agar dapat berfungsi sesuai dengan statusnya. Dalam era yang semakin mengglobal masyarakat bahasa di Indonesia diperkenalkan pada aspek-aspek kehidupan yang baru yang tentu saja juga memerlukan dukungan bahasa. Dalam aspek-aspek baru itu, bahasa Indonesia dapat dikatakan ―muda‖, dalam arti memiliki ―difabilitas.‖ Istilah difabel diambil dari dunia pendidikan kaum yang selama ini disebut penyandang cacat. Para 44

penyandang cacat disebut kaum difabel untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan (ability) yang berbeda (different). Dalam konteks bahasa, sesungguhnya setiap bahasa memiliki kemampuan yang berbeda dalam menjalankan fungsinya.

Dalam upaya itu, korpus bahasa Indonesia dimodernkan agar dapat digunakan untuk mengungkapkan gagasan modern pula. Untuk itu, dalam perkembangan modern sebagaimana diatur melalui Keputusan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaa, Riset, dan Teknologi Nomor 0321/I/BS.00.00/2021 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, bahasa Indonesia menyerap unsur dari berbagai bahasa--baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa asing—seperti bahasa Sanskerta, Arab, Poortugis, Belanda, Cina, dan Inggris. Ada unsur asing yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia sehingga pengucapan dan penulisannya masih mengikuti cara asing seperti de facto dan de jure. Ada pula unsur asing yang penulisan dan pengucapannya telah disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia.

Kebijakan politik kebahasaan itu telah memenuhi kewajiban sebagiamana telah dikatakan Sanusi Pane untuk ―memetik manfaat yang sebaik-baiknya yang sesuai dengan zaman sekarang dan masa yang akan datang, dari semua hasil kemajuan yang tersebut itu dan membuatnya jadi dasar Indonesia Raya (yang harus diperluas dengan asas Barat)‖. Sanusi Pane menegaskan, Dasar dalam kalimat itu tidak bertentangan dengan asas yang disebut sebelumnya, karena unsur yang dimaksud itu ialah hasil kemajuan asas yang terdahulu sehingga tidak bisa dikatakan dasarnya berubah.‖

45

BAGIAN 3 SANUSI PANE PASCA-PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA JAWABAN LENGKAP ATAS ARAHAN 3 Perlu sorotan yang lebih banyak terhadap kehidupan Sanusi Pane setelah tahun1945.

SANUSI PANE PASCA PROKLAMASI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA: PATRIOT SEJATI TANPA PAMRIH

Sanusi Pane merupakan sosok patriot, seorang saksi, dan pelaku sejarah perjuangan bangsa Indonesia, baik dalam perjuangan merebut kemerdekaan maupun mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Sosok patriot ini terbukti dengan kecintaannya pada Indonesia tanpa berharap suatu pamrih apa pun.

"Indonesia telah memberikan segala-galanya bagiku. Akan tetapi, aku merasa belum pernah menyumbangkan sesuatu yang berharga baginya. Aku tidak berhak menerima tanda jasa apa pun untuk apa-apa yang sudah kukerjakan. Karena itu, adalah semata-mata kewajibanku sebagai putera bangsa." Demikian pernyataan Sanusi Pane yang ditulis dalam laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (https: //badanbahasa. kemdikbud.go.id/ lamanbahasa /node/239).

Pernyataan Sanusi Pane tersebut disampaikan dalam kaitan dengan penghargaan Satya Lencana Kebudayaan yang akan diberikan oleh Presiden Soekarno kepadanya. Penghargaan itu ditolak oleh Sanusi Pane. Penolakan itu mengambarkan konfirmasi sosok Sanusi Pane seorang patriot sejati tanpa pamrih. Konfirmasi sosok tokoh Sanusi Pane juga dinyatakan oleh Direktur Utama Balai Pustaka (Achmad Fachrodji, 2021). Pada kurun waktu 1941--1968 Sanusi Pane melewati masa pengabdiannnya di Balai Pustaka.

Dinyatakan oleh Fcchrodji Direktur bahwa pada waktu Sanusi Pane bekerja di Balai Pustaka dia menolak untuk diantar jemput. Dia memilih berjalan kaki. Segala tawaran yang diberikan kepadanya dibiarkan begitu saja tanpa jawaban. Sering dia membiarkan jatah berasnya membusuk di gudang karena tidak diambil. Bahkan, selama bekerja dia tidak pernah mengurus kenaikan pangkatnya sehingga sampai pensiun pangkatnya tetap sama.

Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan RI Kehidupan Sanusi Pane selalu diwarnai oleh perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Perjuangan tersebut bagi Sanusi Pane membuat sastra tidak hanya suatu rangkaian kata dan kalimat yang mengandung keindahan semata. Namun, sastra merupakan sebuah ―pusaka‖ atau ―senjata‖ ampuh dalam mengomunikasikan ide-ide atau gagasan perjuangan kepada bangsa Indonesia, tanpa dengan mudah diketahui oleh pihak penjajah (berkamuflase dalam sastra).

46

Kecerdasan dan keahlian intelektual yang dimiliki oleh Sanusi Pane tersebut, pada masa revolusi fisik tahun 1945--1949, juga membawanya sebagai salah satu tokoh yang diburu oleh tentara NICA (Netherland Indies Civil Administration). Pasukan NICA tersebut datang kembali bersama tentara sekutu ke Indonesia setelah terjadinya peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Tokoh-tokoh nasional yang sangat diburu oleh NICA adalah mereka yang memiliki keahlian dalam provokasi perjuangan bangsa Indonesia (Kahin, 2003).

Hal datangnya pasukan NICA tersebut membuat Jakarta sebagai ibukota Negara Indonesia dalam kondisi berstatus darurat. Sanusi Pane, melalui keahliannya menulis karya sastra beserta esai perjuangan, sudah lama mampu memprovokasi perjuangan bangsa Indonesia sehingga ikut terdaftar sebagai tokoh yang diburu oleh tentara NICA pada periode tersebut.

Pada akhirnya di awal tahun 1946, Sanusi Pane bersama para tokoh-tokoh nasional Indonesia lainnya ikut berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Meskipun berada dalam masa pengungsian sebagai

seorang

sastrawan

yang

ikut

berjuang,

semangat

perjuangannya

untuk

mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tidak pernah padam dan beliau masih aktif menulis karyanya.

Aktivitas perjuangannya dibuktikan dengan terbitan karya sastra gubahannya pada tahun 1946 yang berjudul ―Bunga Rampai dari Hikayat Lama‖. Karya sastra tersebut merupakan salah satu tulisan dari Sanusi Pane yang terbit pascakemerdekaan Republik Indonesia. Selain itu, terdapat karya yang berjudul ―Indonesia Sepanjang Masa‖ yang terbit tahun 1952.

Penerbitan karya sastra perjuangan ―Bunga Rampai Hikayat Lama‖ pada tahun 1946 tersebut, membuktikan bahwa Sanusi Pane masih terus eksis dalam memberikan inspirasi perjuangan kepada bangsa Indonesia meskipun pada saat itu beliau masih dalam masa pengungsian bersama para tokoh nasional lainnya di Yogyakarta. Penelitian terhadap karya sastra itu menjadi suatu kajian atau telaah yang sangat penting untuk mengetahui konsepkonsep pemikiran Sanusi Pane dalam memberikan inspirasi perjuangan pasca-proklamasi kemerdekaan Indonesia (1945--1949).

Kajian atau telaah penelitian tentang konsep pemikiran Sanusi Pane dalam karya sastranya pada tahun 1946 ini mendasarkan diri atas hasil-hasil penelitian terdahulu terhadap pemikirannya yang tertuang di dalam dua karya sebelumnya: (1) naskah drama ―Airlangga‖; (2) karya terjemahan ―Ardjuna Wiwaha‖. Naskah drama ―Airlangga‖ terbit pada bulan Januari 47

1928, bertepatan dengan perdebatan sengit dari tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Karya sastra tersebut pada intinya berisi tentang pertentangan batin yang dialami oleh Raja Airlangga dalam membagi kekuasaannya kepada kedua anaknya untuk menghentikan terjadinya konflik yang terus-menerus berkepanjangan.

Berdasarkan konteks zamannya pada awal tahun 1928, sebenarnya peristiwa yang digambarkan dalam karya drama ―Airlangga‖ tersebut tidak lain merepresentasikan adanya pertentangan batin yang dialami oleh para pemuda Indonesia setelah terjadinya Kongres Pemuda I (1926) dan II (Sumpah Pemuda) pada bulan Oktober 1928. Sanusi Pane menjadi salah satu pemuda Indonesia yang ikut terlibat dalam kedua konggres tersebut. Melalui naskah drama ―Airlangga‖ , Sanusi Pane merepresentasikan pikirannya bahwa siapakah nantinya yang akan menjaga dan melanjutkan cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia apabila para tokoh Pergerakan Nasional masih saling berdebat tentang ide-ide atau gagasannya masingmasing, tanpa menemukan solusi yang tepat dan membawanya dalam konsep persatuan ide atau gagasan bersama (Nugroho dkk, 2021).

Selanjutnya, adalah karya terjemahan ―Ardjuna Wiwaha‖ yang terbit pada tahun 1940, bertepatan dengan tiga tahun menjelang kekalahan Belanda. Berdasarkan hasil penelitian dengan pendekatan Strukturalisme Lévi Strauss terhadap mitos ―Ardjuna Wiwaha‖ dalam pemikiran Sanusi Pane, ternyata berkaitan dengan pembuktian teori Sanusi Pane yang menyatakan bahwa keindonesiaan sudah ada dalam adat dan seni. Sementara itu, yang belum ada adalah kesadaran akan kebangsaan (Pane, 2000a). Pada sisi lain, secara implisit melalui terjemahan karya sastra Jawa Kuno tersebut, Sanusi Pane ingin memberikan inspirasi perjuangan terhadap bangsa Indonesia berkaitan dengan persatuan antara kekuatan politik dan militer dalam mengalahkan penjajah yang sangat kuat. Pada karya terjemahan tersebut, raja raksasa bernama Niwatakawaca beserta pasukannya sebagai pihak yang berhasil dikalahkan, merupakan representasi dari bangsa Barat (penjajah). Sementara itu, Arjuna beserta pasukan para dewa dan penghuni Suralaya (Kahyangan) sebagai pihak yang menang merupakan representasi dari bangsa Indonesia yang telah mencapai karakter keindonesiaan (Nugroho dkk, 2021).

Kedua karya sastra Sanusi Pane yang terbit dalam periode sebelum peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia masih sangat berhubungan dengan pertentangan dan persatuan ide atau gagasan bangsa Indonesia di dalam menghadapi bangsa penjajah guna 48

mengalahkannya untuk tercapainya kemerdekaan yang hakiki. Namun,pertanyaan bagaimana dengan konsep perjuangan bangsa Indonesia dalam gagasan pemikiran Sanusi Pane setelah tercapainya proklamasi kemerdekaan tahun 1945, terjawab setelah dilakukan kajian atau telaah terhadap karya sastra ―Bunga Rampai dari Hikayat Lama‖ dari Sanusi Pane yang terbit tahun 1946.

Karya sastra tersebut merupakan kumpulan dari cerita-cerita lama (bunga rampai) yang dipilih oleh Sanusi Pane selaku pengarang atau penulisnya. Cerita lama yang berhasil dikumpulkan atau dipilih seluruhnya berjumlah 21 (dua puluh satu); diambil dari cerita-cerita hikayat yang berbeda-beda. Dalam kaitan itu, identifikasi gagasan pemikiran Sanusi Pane tentang perjuangan bangsa Indonesia pasca-proklamasi kemerdekaan dilakukan dengan menggunakan pendekatan Strukturalisme Lévi Strauss. Identifikasi tersebut berdasarkan analisis struktural terhadap unsur-unsur cerita (mitos), yaitu miteme dan ceriteme dari 21 (dua puluh satu) hikayat lama yang terpilih di dalam karya sastra tersebut. Selanjutnya dalam interpretasi penelitian, analisis struktural tersebut dibingkai dengan peristiwa-peristiwa sejarah nasional Indonesia pasca-kemerdekaan(1945--1949).

Penelitian seperti ini juga pernah dilakukan oleh Ahimsa-Putra (2006) dalam menganalisis secara struktural tiga karya sastra dari Umar Kayam, berjudul ―Sri Sumarah‖, ―Bawuk‖, dan ―Para Priyayi‖. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui gagasan pemikiran atau nalar dari penulisnya dalam menginterpretasikan atau memahami dunia di sekitarnya. Kondisi yang dialami oleh Umar Kayam sebagai penulis karya sastra, sama seperti yang dialami Sanusi Pane dalam memahami segala peristiwa sejarah dalam masa-masa perjuangan demi mencapai dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Kemudian Sanusi Pane menuangkan ide atau gagasan pemikiran serta pandangan–pandangan tentang perjuangannya secara implisit di dalam karya-karya sastra gubahannya.

Pemikiran Sanusi Pane sebagai seorang sastrawan pejuang kemerdekaan dituangkan secara tidak langsung di dalam karya sastranya. Kerumitan karena ketidaklangsungan penuangan pemikiran ini terlihat dalam segi pembuatan alur cerita oleh penulisnya pada karya sastra tersebut. Berdasarkan tinjauan terhadap dua puluh satu hikayat lama yang dipilih oleh Sanusi Pane, ternyata seluruhnya berupa ikhtisar (rangkuman) dari bagian cerita asli yang sangat panjang dalam bentuk karya sastra kuna (manuskrip) maupun tradisi lisan. Fenomena seperti ini sebelumnya juga pernah dilakukan Sanusi Pane dalam karya terjemahan ―Ardjuna 49

Wiwaha‖, yaitu tidak mengambil seluruh sarga (pupuḥ), bait, dan baris dari naskah asli yang berbahasa Jawa Kuno. Sanusi Pane dalam karya terjemahan tersebut hanya mengambil bagian-bagian yang dianggap penting saja (Pane, 1960).

Berdasarkan hasil analisis struktural ala Lévi Strauss, ternyata, perangkuman tersebut dilakukan untuk mengimplementasikan pemikiran Sanusi Pane tentang pentingnya membangun karakter keindonesiaan dari berbagai bidang serta lapisan sosial dalam perjuangan merebut kemerdekaan serta pentingnya landasan bagi bangsa Indonesia di masa mendatang (Nugroho dkk, 2021). Lebih lanjut, sangat dimungkinkan karya sastra ―Bunga Rampai dari Hikayat Lama‖ sebagai representasi keberlanjutan pemikiran perjuangan Sanusi Pane dalam situasi dan kondisi di Indonesia pasca-peristiwa proklamasi 1945 dan sebagai bentuk pemikiran Sanusi Pane tersebut.

Karya sastra ―Bunga Rampai dalam Hikayat Lama‖ terdiri atas dua puluh satu bab cerita lama. Berikut adalah di antara cerita itu: (I) Indera Bangsawan membunuh buraksa, (II) Diangkat kembali jadi raja, (III) Mendirikan Langkasuka, (IV) Hikayat pengajaran bagi rajaraja, (V) Johar Manikam dilarikan zenggi, (VI) Pelanduk jenaka menundukkan raja gajah, (VII) Cerita Raja Kilan Syah serta putranya, (VIII) Kalah perang, (IX) Amir Hamzah berperang dengan Landahur, (X) Serangga Bayu dan Putri Bungsu di Pulau Buram Dewa, (XI) Samba dinobatkan, (XII) Perkara si Bungkuk dan si Panjang, (XIII) Indera Bumaya dan Putri Mandu Ratna, (XIV) Dosa dan Pahala, (XV) Sri Rama mencari Sita Dewi, (XVI) Dua orang raja berperang, (XVII) Cendera Kirana menyamar jadi kelana, (XVIII) Hang Tuah diutus ke Majapahit, (XIX) Nabi Khidir datang kepada Iskandar, (XX) Sang Sapurba turun di bukit Siguntang Mahameru, (XXI) Awang Sulong melindungi Dayang Sri Jawa.

Sanusi Pane memiliki hubungan dengan Poerbatjaraka dalam hal sastra kuno. Beliau banyak mengutip karya-karya Poerbatjaraka terutama yang berkaitan dengan karya sastra kuno (manuskrip). Pada karya sastra Bunga Rampai dalam Hikayat Lama, Sanusi Pane mengambil adegan dari Panji Kuda Semirang dari buku Cerita Pandji dalam Perbandingan karya Porbatjaraka dan memberikan judul ―Candera Kirana menyamar jadi kelana‖. Menurut hasil wawancara dengan Ibu Nina Pane (putri bungsu Sanusi Pane), Poerbatjaraka merupakan seorang filolog sastra Jawa Kuno yang memiliki hubungan cukup dekat dengan Sanusi Pane.

Kedekatan hubungan antara Poerbatjaraka dan Sanusi Pane tersebut sangat terlihat dalam foto-foto kebersamaannya dalam acara Kongres Bahasa. Namun, kedua tokoh tersebut 50

memiliki perbedaan. Poerbatjaraka merupakan seorang filolog sastra Jawa Kuno tulen dalam arti sebagai penerjemah dan peneliti manuskrip kuno secara akademis tanpa melakukan perubahan atau peringkasan tertentu di dalam penelitiannya. Sementara itu, Sanusi Pane merupakan sastrawan yang memanfaatkan cerita-cerita kuno sebagai ―alat‖ atau ―senjata‖ dalam perjuangan tanpa pamrih.

Prinsip Merdeka Sejak Hati Novel karya A. Fuadi (2019) yang berjudul Merdeka Sejak Hati memang menceritakan kisah keteladanan dari kehidupan Lafran Pane. Sosok Lafran Pane menyegarkan ingatan akan dua orang sastrawan besar, Sanusi Pane dan Arjmin Pane, yang telah sering disebut sebagai Angkatan Pujangga Baru. Lafran Pane bukanlah seorang sastrawan atau pegiat kebudayaan seperti kedua kakaknya tersebut. Lafran Pane adalah seorang aktivis Islam, pemerakarsa, dan pendiri organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia, yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). ―… Bangsa kita ini sudah terlalu banyak masalah, telah dijajah ratusan tahun, kita perlu orang-orang muda yang maju supaya tidak dijajah terus. Bukan anak muda yang minta diurus dan tidak mampu mandiri,‖ kata Bang Sanusi.

Demikian sepenggal gambaran dari A. Fauzi (2019: 70): penulis novel Merdeka Sejak Hati. Penulis novel itu sedang menggambarkan sebuah pertemuan Lafran Pane dengan abangnya: Sanusi Pane. Pertemuan itu menggambarkan peran pentingnya Sanusi Pane dalam pembentukan sikap patriotik Lafran Pane sebagaimana gambaran novel itu. Bagi kalangan HMI, boleh jadi yang menarik adalah gagasan Lafran untuk mengawinkan keislaman dan keindonesiaan dalam satu organisasi, yang pada masa itu memang belum ada organisasi serupa pada tahun 1947 di awal-awal Indonesia merdeka. Gagasan mendirikan organisasi tersebut lahir dari pengamatan Lafran dalam tiga hal (1) adanya mahasiswa Islam yang tidak bangga dengan identitas keislamannya; (2) adanya kesulitan untuk mengaktualisasikan ibadah pada ruang-ruang kampus; (3) adanya kesadaran bahwa ancaman oleh penjajah Belanda dan sekutu masih terjadi setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.

Sosok Sanusi Pane tergambarkan melalui Lafran Pane sebagai pribadi yang punya prinsip dan berpikir sederhana. Mereka selalu gelisah melihat situasi sosial dan selalu mengedepankan kemajuan bersama dan tidak ambisius mengejar jabatan. Setelah novel Merdeka Sejak Hati itu 51

dibaca, dari sosok Lafran Pane, muncul kebanggaan bahwa ketika berdiri, Republik Indonesia mempunyai banyak tauladan, yang di dalamnya pikiran dan tindakannya menjadi oase di padang tandus. Lafran Pane dan Sanusi Pane adalah orang-orang yang telah memilih jalan kesunyian dalam hidupnya karena teguh dengan prinsip dan keyakinan.

Sebagai pembuka cerita dalam novel Merdeka Sejak Hati itu, anak pertama Lafran Pane—Iqbal—menceritakan peritiwa bulan Desember di awal-awal suatu kampanye Pemilu.

Kemuidan,

Iqbal

berfikir

tentang

pemilihan

untuk

memperebutkan

jabatan

dan

kedudukan. Orang terlihat berlomba-lomba bersaing demi jabatan-jabatan penting. Pada sisi yang lain, Iqbal teringat sosok ayahnya—Lafran Pane—yang dalam banyak kesempatan punya peluang untuk menjadi orang penting; menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; bahkan, menjadi menteri. Namun, semua itu ditolak oleh Lafran Pane seperti halnya penolakan oleh Sanusi Pane atas penghargaan yang hendak diberikan oleh Presiden Sukarno. Penolakan seperti itu mengonfirmasi prinsip sikap patriotik tanpa pamrih. Prinsip hidup itu tercermin dalam novel Merdeka Sejak Hati.

52

DAFTAR RUJUKAN

Ahimsa-Putra, H.S. 2006. Strukturalisme Lèvi Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press.

Abdul-Hadi. 2021. ―Gema Sufi dalam Sastra Indonesia: Dari Sanusi Pane sampai Sutardji‖ dalam Prosiding Seminar Nasional Mengusung Sanusi Pane sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 23 Februari 2021.

Djamhari, S.A., Santoso, R., Imran, A., Ardhiati, Y., Wulan, A., Ferdinandus, P., Mahayana, M.S. 2010. Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik. (S.A. Djamhari, Ed.). Jakarta: Balai Pustaka.

Faudi, A. 2019. Merdeka Sejak hati. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.

Fachrodji, Achmad. 2021. ―Sanoesi Pane Mewarnai Balai Pustaka‖ dalam Prosiding Seminar Nasional Mengusung Sanusi Pane sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 23 Februari 2021.

Jones, Tod. 2015. Kebudayaan dan kekuasaan dai Indonesia: Kebijakan Budaya Selama abad Ke-20 Hingga Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia Kahin, G.M. 2003. Nasionalism and Revolution in Indonesia. New York: Cornell University Press.

Kridalaksana, Harimurti (ed). 1991. Masa Lampau Bahasa Indonesia; Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Kridalaksana, Harimurti. 1991. ―Mitos tentang Terjadinya Bahasa Indonesia dari Sebuah Kreol‖. Dimuat di Berita LIPI No 8 Tahun 1974. Dalam Masa Lampau Bahasa Indonesia; Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Latif, Yudi. 2020.Pendidikan yang Berkebudayaan.Jakarta: PT Gramedia.

Leirissa, R.Z., Hitipeuw, F., Sutjiatiningsih, S., Anhar, R., Ohorella, G.A., Kuswiah, W., Sumardi, S., Haryono, P.S., Wulandari, T., Masjkuri, Said, J., Ibrahim, M. 1994. Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan (S. Sutjiatiningsih, Ed.). Jakarta proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Mahsun. 2015. Indonesia dalam Perspektif Politik Kebahasaan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

53

Mangunwidodo, Soebaryo. 1994. Dr KRT Radjiman Wediodiningrat. Jakarta: Yayasan Dr KRT Radjiman Wediodiningrat.

Nastiti, Imma Dwi Minggar. 2013. ―Pemikiran Sanusi Pane dalam Menumbuhkan Kesadaran Nasional‖ dalam laporan Skripsi Universitas Negeri Surabaya.

Nugroho, A.P., Savitri, M., Harahap, S.Z., Imran, Yolferi, Rosliani. 2021. Pemikiran Keindonesiaan Tokoh Sanusi Pane dalam Karya Terjemahan Ardjuna Wiwaha (A. Hutasuhut & Suyadi, Eds). Medan: Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara.

Nasution, Ikhwanuddin dan Maman Mahayana. 2021. Dagang dan Meudagang: Bunga Rampai Kritik Sastra. Jakarta: Badan pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Oemar, Priyantono. 2021. ―Jejak Pergerakan Sanusi Pane pada Masa Awal Bahasa Indonesia‖ dalam Prosiding Seminar Nasional Mengusung Sanusi Pane sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 23 Februari 2021.

Pane, S. 1928. Airlangga: Drama dalam Tiga Babak. Terj. D. Chall. 2010. Jakarta: Balai Pustaka.

Pane, S. 1946. Bunga Rampai dari Hikayat Lama. Jakarta: Balai Pustaka.

Pane, S. 1960. Ardjuna Wiwaha: Disalin dari Bahasa Djawa Kuno. Djakarta: Balai Pustaka.

Pane, S. 2000a. ―Persatuan Indonesia‖ dalam P. Benedanto (Ed.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. pp. 43-49. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Pane, S. 2000b. ―Kewadjiban Kita‖ dalam P. Benedanto (Ed.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. pp. 114-116. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Pane, S. 2000c. ―Mengembalikan Keboedajaan Timoer‖ dalam P. Benedanto (Ed.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. pp. 117-119. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Pane, S. 2000d. ―Djagat Besar dan Ketjil‖ dalam P. Benedanto (Ed.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. pp. 117-119. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Soeyono, N.N., Suharto, Tangkilisan, Y.B., & Yusmar, B. 2010. Sejarah Nasional Indonesia V: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Akhir Hindia-Belanda (±19001942) (N.N. Soeyono, Ed.). Jakarta: Balai Pustaka.

54

Snoek, Kees. 2005. E du Perron, Het Leven van Een Smalle Mens. Amsterdam: Nijgh & Van Ditmar.

Sudaryanto. 2018. Historitas Kongres Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Tabrani, M. 1979. Anak Nakal Banyak Akal. Bandung: Penerbit Aqua Press.

Teeuw, Prof Dr A. 1957 (Cetakan Keempat). Pokok dan Tokoh dalam Kesusasteraan Indonesia Baru I. Djakarta: PT Pembangunan.

Wulan, G.A & Gunawan, R. 2013. ―Kesadaran Berorganisasi sebagai Simbol Kemajuan‖, dalam T.Abdullah (ed.), Sejarah Pemikiran Indonesia Modern. pp.55

55

LAMPIRAN LAPORAN TINDAK LANJUT HASIL PENGUSULAN CALON PAHLAWAN NASIONAL TAHUN 2021 ATAS NAMA SANUSI PANE: PENGGERAK BAHASA PERSATUAN INDONESIA

BALAI BAHASA PROVINSI SUMATERA UTARA BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN Jalan Kolam (Ujung) Nomor 7, Medan Estate, Medan Telepon/Faksimile (061) 7332076

DAFTAR ISI LAMPIRAN I. Sanusi Pane Bersama dengan Tokoh Sastrawan Lain pada Masa Kehidupannya .......... 1 1. FotoSanusi Pane dan Sastrawan, Bahasawan, serta Budayawan Lainnya pada Kongres Bahasa Indonesia di Solo tahun 1938 .......................................................... 1 2. Foto Sampul Buku Polemik Kebudayaan dengan Sanusi Pane sebagai Salah Satu Nama Pemikir Besar (terbitan Balai Pustaka, 1948) ……. ........................................ 1 II. Gerakan Pengusungan Bahasa Indonesia dalam Hubungan Sanusi Pane dengan M. Tabrani .................................................................................................................... 2 1. Foto Sanusi Pane dan M. Tabrani dalam suasana saling akrab selama perjalanan kereta api di Sumut bersama dengan Parada Harahap................................................ 2 2. Foto Sanusi Pane dan peserta Kongres Bahasa Indonesia I di Solo .......................... 2 III. Kehidupan Sanusi Pane SetelahTahun1945.................................................................. 3 1. Tanda Penghargaan atas Jasa Sanusi Pane Merintis Perkembangan Balai Pustaka 3 2. Tanda Penghargaan atas Jasa Sanusi Pane kepada Negara sebagai Sastrawan Indonesia Utama ...................................................................................................... 4 3. Surat Pernyataan Ibu Siti Zaenab (Istri Sanusi Pane) sebagai Janda Mantan Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) ................................................ 5 4. Surat Drs. S.K. Trimurti kepada Kepala BKKN di Jakarta tentang bantuan Untuk Mantan Anggota KNIP atas nama Sanusi Pane ........................................... 7 5. Surat Sudiro kepada BAKN di Jakarta untuk menyampaikan catatan bahwa Sanusi Pane adalah benar Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) ...... 8 6. Bukti Data Janda Mantan Pejabat Negara di Badan Administrasi Kepegawaian Negara atas nama Ny. Siti Zaenab (Istri Sanusi Pane) ............................................ 9 7. Surat KeputusanKepala BAKN tentang Tunjangan Kehormatan kepada Ny. Siti 11 Zaenab sebagai Janda Mantan Anggotan KNIP ......................................................

8. Bukti pembayaran Tunjangan Kehormatan kepada Ny. Siti Zaenab sebagai Janda Mantan Anggotan KNIP................................................................................ 12 9. Buku KNIP Komite Nasional Indonesia Pusat (Parlemen Indonesia: 1945—1950): keanggotaan Sanusi Pane Nomor 196 .......... 12 10. Dokumen Sanusi Pane sebagai pelopor berdirinya Kantor Berita Antara .............. 13 11. Bukti kehidupan Sanusi Pane melalui novel Merdeka sejak Hati ......................... 14

I. Sanusi Pane Bersama denganTokoh Sastrawan Lain pada Masa kehidupannya 1. Foto Sanusi Pane dan Sastrawan, Bahasawan, serta Budayawan Lainnya pada Kongres Bahasa Bahasa Indonesia I di Solo (Juni 1938)

Sanusi Pane berdiri (kelima dari kiri) bersama dengan M. Tabrani, Sutan Takdir Alisjahbana, M. Yamin, Armjn Pane, dan peserta Kongres lainnya (Sumber: dokumenpribadi Nina Pane).

2. Foto Sampul Buku Polemik Kebudayaan dengan Sanusi Pane sebagai Salah Satu Nama Pemikir Besar (terbitan Balai Pustaka, 1948)

Buku Polemik Kebudayaan berisi pokok pikiran STA, Sanusi Pane, Sutomo, M. Amir, dan lain-lain dalam pergulatan pemikiran terbesar di sepanjang sejarah kebangsaan Indonesia.

1

II. Gerakan Pengusungan Bahasa Indonesia dalam Hubungan Sanusi Pane dengan M. Tabrani 1. Foto Sanusi Pane dan M. Tabrani dalam suasana saling akrab selama perjalanan kereta api di Sumut bersama dengan Parada Harahap

Tampak hubungan akrab antara Sanusi Pane dan M. Tabrani dalam perjalanan Kereta api di Sumut bersama dengan Parada Harahap 2. Foto Sanusi Pane dan Peserta Kongres Bahasa Indonesia I di Solo

Foto Sanusi Pane dan peserta Kongres Bahasa Indonesia I di Solo dalam tangkapan layar dari buku Soebagijo; Aadinegoro, pelopor jurnalistik Indonesia 2

III. Kehidupan Sanusi Pane Setelah Tahun1945 1. Tanda Penghargaan atas Jasanya Merintis Perkembangan Balai Pustaka dengan Karyanya di Bidang Kesusatraan

3

2. Tanda Penghargaan atas Jasanya kepada Negara sebagai Sastrawan Indonesia Utama

4

3. Surat Pernyataan Ibu Siti Zaenab (Istri Sanusi Pane) sebagai Janda Mantan Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)

5

6

4. Surat Drs. S.K. Trimurti kepada Kepala BKKN di Jakarta tentang bantuan untuk mantan Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) atas nama Sanusi Pane

7

5. Surat Sudiro kepada BAKN di Jakarta untuk menyampaikan catatan bahwa Sanusi Pane adalah benar Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)

8

6. Bukti Data Janda Mantan Pejabat Negara di Badan Administrasi Kepegawaian Negara Atas nama Ny. Siti Zaenab (Istri Sanusi Pane)

9

10

7. Surat Keputusan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara tentang Tunjangan Kehormatan kepada Ny. Siti Zaenab sebagai Janda Mantan Anggotan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)

11

8. Bukti pembayaran Tunjangan Kehormatan kepada Ny. Siti Zaenab sebagai Janda Mantan Anggotan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)

9. Buku KNIP Komite Nasional Indonesia Pusat (Parlemen Indonesia: 1945—1950): keanggotaan Sanusi Pane Nomor 196

12

10.Dokumen Sanusi Pane sebagai pelopor berdirinya Kantor Berita Antara

13

11. Bukti kehidupan Sanusi Pane melalui novel Merdeka sejak Hati

14