












Ali Mas’ud menikah beberapa kali. Hal ini dikarenakan setelah menikah, bercerai dan ada yang ditinggal meninggal oleh istrinya. Berikut adalah nama-nama istri dari beliau:
1. Menikah dengan putri Madura di Pasuruan yang tidak diketahui secara pasti nama serta tempat tinggalnya. Pada perkawinannya ini tidak berlangsung lama karena mereka bercerai.
2. Dengan Nyai Sarah dari Kedung Cangkring. Perkawinan yang kedua ini hanya berlangsung beberapa tahun saja kemudian bercerai lagi.
3. Dengan Nyai Syatiah dari Desa Kauman Mojoagung. Perkawinan ketiga ini hanya berlangsung selama tiga tahun, kemudian bercerai lagi.
4. Kembali menikah lagi dengan istri keduanya yaitu Nyai Sarah. Bersama Nyai Sarah ini beliau pergi menunaikan ibadah Haji ke Tanah suci
Makkah. Sepulang dari Makkah beliau pindah ke Pagerwojo kemudion mendirikan sebuah rumah disana, dan pada akhirnya bercerai lagi.
5. Kemudion nikah lagi dengan Bu Ning Qomariah dari Kedung Cangkring yang masih memiliki hubungan saudara dari pihak ibunya. Pernikahan ini bertahan selama 10 tahun dan pada akhirnyo istrinya meninggal.
6. Setelah Bu Ning meninggal dunia, Mbah Ali Mas’ud menikah lagi dengan Nyai Dewi Mariam yong berasal dari Daleman Sidoorjo. Pernikahan dengan Nyai Dewi hanya berlangsung selama 8 bulan dikarenakan Ali Mas’ud meninggal dunia.






Menyukai uang tapi tidak mengerti uang
Mbah Ud apabila bertemu dengan seseorang sering merogoh saku pakaian siapapun, bila ada uang di saku tersebut maka ia akan memintanya. tetapi dalam pandangan bashirohnya, beliau bisa membedakan uang yang ada di saku siapa pun. jika uang itu milik jamaah, kas masjid atau seienisnya yang bukan merupakan kepemilikan pribadi, maka beliau tidak akan memintanya. tetapi apabila itu uang pribadi, maka Mbah Ud akan meminta uang tersebut.
Menurut K.H Abu Na’im, bagi siapa Saja yang uangnya diminta Oleh Mbah Ud maka diganti oleh Allah Berkali kali lipat dan keberkahan ini juga turut dirasakan oleh anak cucunya. K.H Abu Na’im pernah mendapatkan cerita dari Bu Nyai Abdul Karim, bahwasannya K.H Abdul Karim bersama Nyai Karim Hasyim pernah berhutang untuk suatu kebutuhan, tidak lama kemudian mereka bertemu dengan Mbah Ud dan secara spontan dikarenakan takut uang tersebut diminta oleh Mbah Ud, Maka Bu Nyai Karim menyembunyikan uang tersebut dengan cara didudukinya. Mbah Ud pun menyadari hal tersebut dan spontan berkata ‘Mboten-mboten Bu Nyai, kulo mboten nyuwun dhuwit njenengan, wong niku dhuwit utangan ae’ (tidak-tidak Bu Nyai, saya tidak minta uang anda, itu uang hasil hutang aja). Sontak mereka berdua kaget dengan perkataan beliau karena dapat mengetahui hal tersebut.

K.H Asrori Al Ishaqiy
Kali ini cerita bersumber dari pengalaman K.H Asrori Al Ishaqiy pengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah, Kedinding Lor Surabaya. ia per nah bertamu di kediaman Mbah Ud di Sidoarjo. Begitu ada tamu yang datang, Mbah Ud pun menyuruh Nyai Dewi untuk membuatkan jamuan walau hanya sekedar
teh hangat. Namun setelah sekian lama menunggu, jamuan untuk K.H Asrori tak kunjung datang, karena itulah Mbah Ud tidak Sabar dan menuju ke dapur untuk membuat minuman sendiri. Beliau kemudian merebus air ditungku dengan membakar segebok uang yang diambil dari kamar beliau sendiri, hingga akhirnya tersajilah segelas minuman teh hangat. terkait dengan kejadian ini K.H asrori pernah mengatakan, ‘Wa badi’ karomatihi nopo? Seneng dhuwek, tapi mboten ngerti dhuwek. Ngeten Ioh, nek seneng dhuwek ngerti dhuwekniku mboten seneng jenenge, tapi doyan. Niki mboten, seneng dhuwek tapi mboten ngerti dhuwek’. (Dan setengah dari koromahnya Mbah Ud apa? Suka uang, tapi tidak mengerti uang. Begini, kalau Suka uang dan dan mengerti uang itu buka suka namanya, tetapi doyan uang. Mbah Ud tidak, Suka uang tetapi tidak mengerti uang).
Pada suatu hari terdapat suatu acara hajatan dirumah seseorang, ketika orang orang telah berkumpul dirumah yang mempunyai hajatan tersebut, tiba tiba Mbah Ud nyelonong masuk dan langsung Saja merogoh saku para tamu undangan satu persatu. Para tamu undangan yang hadir tersebut tidak heran dan kaget dengan tingkah laku Mbah yang satu ini, karena sudah kenal siapa Mbah Ud itu. Salah satu orang diantara tamu undangan tersebut tidak biasa melihat tingkah Mbah itu dan merasa ada yang kurang pas bergumam dalam hatinya ‘ Jarene tingkahe kok ngunu ?’ (Katanya wali, tapi tingkahnya kok begitu?). Mbah Ud pun tidak merogoh saku orang yang bergumam terhadapnya itu, dan ketika berada persis didepan orang tersebut, Mbah Ud pun berkata dengan menirukan apa yang ada didalam hati orang itu dengan kalimat yang diulang ulang. Maka terkejutlah orang tersebut karena isi hatinya dibaca oleh Mbah Ud, orang itu langsung meminta maaf kepada Mbah Ud atas sikap buruk sangkanya kepada Mbah Ud, ‘ Gus, kulo nyuwun ngapunten, kulo sampun Su’udzon ’ (Gus, saya minta maaf, saya telah berburuk sangka). Mbah Ud pun hanya menjawab, ‘lyo.. iyo.. gak opo opo’ (Iya.. iya.. tidak apa apa).

Air Kencing yang sirna
K.H Jamaludin Ahmad pengasuh Pondok Pesantren Al Muhibbin Tambak Beras, Jombang menceritakan kejadian saat ia bertemu dengan Mbah Ud pada peresmian ISHARI Saat masih menjadi santri dahulu. Seperti biasa, Mbah Ud datang dengan tanpa alas kaki alias nyeker, beliau berjalan nyelonong begitu saja melewati kerumunan jamaah hadrah yang memadati disekitar Masjid Jami’ Tambak Beras tempat acara digelar. Namun bukan Mbah Ud namanya kalau tidak aneh. beliau dengan enaknya tiba tiba kencing di teras masjid, para jamaah yang hadir hanya bisa melongo melihat kelakuan Mbah Ud itu karena bekas air kencing beliau itu tidak ada seolah tidak terjadi apa apa di teras tersebut, bahkan baunya juga tidak ada. Setelah kencing, Mbah Ud memasuki masjid Tambak Beras dan berkumpul bersama para Kiai yang sudah berada di dalam masjid.
Meraung raung ditengah jalan
Cerita ini diceritakan oleh Cak Nun (Emha Ainun Naiib) diberbagai forum, baik itu acara Maiyah, Bangbangwetan, Kenduri Cinta maupun
Padhang Mbulan. Cerita ini berawal dari Mbah ud yang pada suatu hari tiba tiba menangis dan meraung raung, berteriak dengan keras sambil terlentang di jalan raya Mojoagung Jombang. akibat Mbah Ud ini membuat jalanan menjadi macet, datanglah polisi dan bertanya kepada Mbah Ud, ‘Wonten nopo gus?, njenengan kok nangis kale bengak bengok’ (Ada apa gus?, anda kok nangis sambil teriak teriak). Dengan sambil terisak Mbah Ud menjawab, ‘Kaet maeng Kanjeng Nabi sliwar sliwer ndek kene, gaonok sing nyopo, gak onok sing atine sholawatan, la opo maneh cangkeme’ (Dari tadi Baginda Nabi mondar mandir disini, tidak ada yang menyapa, tidak ada yang hatinya bersholawat, apalagi lisannya). Dengan agak bingung pak polisi berkata kepada Mbah Ud, ‘La pripun gus, ingkang saget mirsani Kanieng Nabi rawuh namun panjenengan’ (La bagaimana gus, yang bisa melihat Baginda Nabi datang hanya anda), Mbah Ud membalas ‘Kabeh menungso iki urusane dhuwik, dhuwik, dhuwik, bathi, bathi, bathi, ndunyo, ndunyo, ndunyo... Tak deleh ndi raiku, isin pol aku nang Kanjeng Nabi’.

Cerita ini didapatkan melalui Cak Nun yang beliau tulis dalam caknun.com dengan judul ‘Kiai Sudrun dapat Lailatul Qadar’. Entah mendapat kabar dari mana kalau Mbah Ud mendapatkan malam Lailatul Qadar, Para sesepuh masyarakat, Pak Lurah, Pak Kamituwo dan beberapa warga berbondong bondong mendatangi Mbah Ud di langgar/surau yang kecil. Langgar/surau itu terletak di sudut desa, setelah mereka mendatangi Langgarnya, mereka mendapati Mbah Ud yang masih dalam posisi bersujud dengan sebuah bungkusan kain putih dibawahnya. Rupanya Mbah Ud sudah sujud semenjak tadi malam dan belum bangun, hingga masyarakat penasaran dan menimbulkan pertanyaan dengan apa yang beliau lakukan itu.
Karena masih tetap saja dalam posisi sujud, maka pak Kamituwo sebagai orang tertua yang ikut mendatangi langgarnya berusaha dengan keras agar Mbah Ud bangun dari posisi sujudnya itu dan diajak mengobrol, dengan usaha kerasnya akhirnya Mbah Ud pun bangun dari posisi sujudnya itu dengan duduk sambil cengengesan .
Para warga yang hadir sangat penasaran dengan bungkusan kain putih itu, mereka melontar kan berbagai pertanyaan dan pernyataan kepada Mbah Ud, tetapi beliau tetap Saja diam tidak berkata apapun. Karena rasa penasaran warga telah memuncak, mereka akhirnya mengambil paksa bungkusan tersebut dari Mbah Ud dan setelah dibuka ternyata isinya sebuah Al Quran yang telah lusuh dan beberapa bagian yang telah robek. Melihat isinya tersebut, para warga kecewa karena mereka berharap sekali isinya sebongkah emas, segebok uang ataupun apa saja yang bernilai ekonomis.
Keributan pun semakin menjadi jadi, ‘Loh kok Al Quran?’ ‘La endi Lailatul Qadar e?’ , celoteh warga yang mendatangi Langgar tersebut. Melihat kondisi seperti itu akhirnya Pak Kamituwo menertibkan warganya lantas mengajak untuk tertib, kemudian setelah kondisi tertib maka Mbah Ud pun berkenan untuk memberikan penjelasan, ‘Inna anzalna Qur’ana fi lailatil qodr’ Mbah Ud membaca ayat ini dan mengulanginya beberapa kali. ‘Duduk inna anzalna Iailatil qodr’.
‘Gusti Allah iku ngedunno Al Quran ing ndalem Lailatul Qodar, Allah ora ngedunno Lailatul Qodar sing awak dhewe enten enteni, opo maneh kelawan mbayangno Lailatul Qodar iku rejeki wujud barang Ian bondo ndunyo’.
Allah menurunkan Al Quran pada malam Lailatul
Qadar, Allah tidak menurunkan Lailatul Qadar seperti yang kita nanti nantikan, apa lagi dengan membayangkan Lailatul Qadar itu rezeki berupa barang dan keduniawian.
‘Kapan ae awakmu ngrasakno Ian nemokno Al Quran mudun madangi sukmamu, mesti iku sing nglantarno tanazzalul malaikatu warruhu fiha, yoiku poro malaikait Ian gustine ruh kang ngedum qodare Allah marang awakmu, Hatta matla il fajr’
Kapan saja engkau merasakan dan menemukan Al Quran turun mencahayai jiwamu, pasti yang mengantarkannya adalah tanazzalul malaikatu warruhu fiha, yakni para malaikat dan paduka Ruh yang menaburkan qadarnya Allah kepadamu, Hatta matla il fajr’



‘Umpamane Lailatul Qodar iku kok gadang gadang wujud rezeki bondo dunyo, apik nggo njangkepi butuhe keluargamu, mulyane bongso Ian negoromu, utowo kekarepan sugih bondo dunyo, mongko iku wis diringkes ono njerone makna maknane Al Qur’an’
Andaikanpun, kau gadang-gadang Lailatul Qadar adalah rezeki dunia, baik untuk memenuhi kebutuhan keluargamu, keajaiban bagi bangsa dan negaramu, atau karena semangat ingin kaya raya harta Benda, maka insyaAllah itu semua terkandung di dalam informasi nilai Al Qur’an.
‘Opo maksud e pitakonmu kabeh mau, Loh kok Qur’an? , Untung ae ukarane ora dadi puniul, Loh kok mung Qur’an? aku duduhono sawiji wiji kejobo ahsanu taqwim sing luwih larang ugo dhuwur maknane tinimbang Qur’an’
Apa maksud pertanyaan kalian tadi ‘Kok Qur’an? Untung kalimatnya tidak lebih menjadi ‘Kok hanya Qur’an? Tuniukkan kepadaku sesuatu yang Iain, kecuali ahsanu taqwim’ yang lebih mahal dan tinggi nilainya dibanding Qur’an.
‘duduhono opo sing luwih Qodar tinimbang Qur’an?
Aku sujud nang ngersane Gusti karo ndekep Qur’ane sing luwih larang Ian mulyo tinimbang sak kabehe bondo dunyo’
Ungkapkan kepadaku apa yang lebih malam seribu bulan dibanding Qur’an? Aku bersujud kepadaNya, aku mendekap Qur’an-Nya, yang jauh lebih mahal dan mulia dibandingkan seluruh kekayaan dunia. ‘Utowo umpamane, bondo dunyo iku penting sanget mungguhe manungso, mlebuo Qur’an, silepono, sesepen ilmune, lakonono nggo minterno ndunyo supoyo metu rojo bronone’
Atau andaikan kekayaan dunia begitu pentingnya bagi manusia, masukilah Qur’an, selamilah, hiruplah ilmunya, terapkan untuk mencerdasi dunia agar tergali kekayaannya.
‘Mungguhku sing wis tuwo ngene iki, gak ono rahmat Ian berkahe Allah kang gak nduweni aji Lailatul Qodar. Nggur aku isih biso sujud, driji drijiku jek jangkep, sikilku jek iso mlaku, sabendinane aku gak keluwen. Sak kabehe, opo kang digelar, srengenge kang ajeg nggone metu, mbulan kang mayungi’
Bagi aku yang sudah tua ini, tidak ada rahmat dan berkah Allah yang tidak bernilai Lailatul Qadar. Aku masih bisa bersuiud, jari-jariku masih lengkap, kakiku masih bisa berialan, sehari hari aku tak sampai kelaparan. Semuanya, apa saja, alam yang menghampar, matahari yang setia terbit, rembulan yang memayungi.

‘Gorokanku isih iso ngeleg panganan Ian ngunjuk minuman, kabeh iku tak syukuri minongko Lailatul Qodar, Aku sing wis tuwo ngene iki gak dibendu Gusti Allah ae iku wis Lailatul Qodar, utangku marang Allah gak iso dibayar, umpamane aku ping satus aku urip, mati, urip maneh, mati maneh, tak isi njerone Ian wakiuku kabeh kanggo matur suwun Ian nyuwun ngapuro terus terusan nang Gusti Allah’
Tenggorokanku masih bisa menelan makanan dan mereguk minuman-semua itu kusyukuri sebagai Lailatul Qadar, aku
yang tua renta ini tidak di adzab Allah saja sudah Lailatul Qadar. Utangku kepada-Nya tak terbayarkan, meskipun andaikan seratus kali aku hidup mati hidup mati, ku isi ruang dan waktuku hanya dengan terima kasih dan memohon ampun terus menerus kepada-Nya.
1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar | 2. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? | 3. Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan | 4. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan | 5. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar
QS : Al-Qadr 1-5














































Penulis buku ini dilahirkan di Ampel Surabaya. Menempuh pendidikan di MIN Buduran Sidoarjo, SMP IT Misyikat Al-Anwar Jombang, SMK Plus NU Sidoarjo dan terakhir menjadi salah satu mahasiswa di Universitas NU Sidoarjo.



