Jakarta Biennale 2015: Neither Forward Nor Back: Acting in the Present

Page 1



Katalog Pameran Exhibition Catalogue


Jakarta Biennale 2015, dengan tema “Maju Kena, Mundur Kena: Bertindak Sekarang”, meninjau masa kini tanpa terjebak nostalgia masa lalu dan utopia masa mendatang. Para seniman membahas kondisi ekonomi, sosial, dan emosional masyarakat di Indonesia sekarang lewat tiga isu besar: air, sejarah, dan gender. Melalui karya-karya ini, Jakarta Biennale 2015 ingin menyorot pencapaian warga di tengah kondisi hidup yang kian pelik.

2

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

With the theme “Neither Back nor Forward: Acting in the Present”, Jakarta Biennale 2015 seeks to concentrate on the present while refusing to indulge in past nostalgia and future utopia. The artists explore the economic, social, and emotional realities of the current society through three main themes: water, history, and gender. Throughout its programs, Jakarta Biennale 2015 aims to highlight the small victories that people experience in daily life despite the difficulties.


Pembukaan 3 Opening JAKARTA BIENNALE 2015

Sabtu / Saturday 14 November 2015 16.00 – 22.00 PAMERAN EXHIBITION

15 November 2015 – 17 Januari 2016

10.00 – 18.00 GUDANG SARINAH Jalan Pancoran Timur II No. 4 Jakarta Selatan

Performans para seniman Jakarta Biennale 2015 Performances by Jakarta Biennale 2015 artists Agung Kurniawan (Indonesia) Arahmaiani (Indonesia) Etcétera (Argentina, Chile) Fuady Kelayu (Indonesia) Jonas Sestakresna (Indonesia) Kolatt (Myanmar) Tisna Sanjaya (Indonesia)

Lagu-lagu pilihan Songs selected by DJ Irama Nusantara

Pertunjukan musik Live music performance White Shoes and the Couples Company X Sentimental Moods


Sambutan / Forewords

JB 2015 4

4

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

Artists

5


YAYASAN JAKARTA BIENNALE

Pengantar Jakarta Biennale 2015

Untuk menciptakan sebuah bienial yang dapat menjadi lembaga dan wadah yang memiliki kontribusi relevan terhadap perubahan sosialbudaya kontemporer, baik dalam skala lokal maupun global, dibutuhkan lembaga yang mandiri. Lembaga ini secara berkesinambungan memetakan dan memaknai fenomena seni, budaya, sosial, dan politik, lalu merancang dan mengelola strategi artistik.

Setelah penyelenggaraan Jakarta Biennale ke-15 pada 2013, Yayasan Jakarta Biennale pun dirancang sebagai lembaga mandiri yang akan mencoba menjawab tantangan tersebut. Pendirian Yayasan Jakarta Biennale mengubah tradisi penyelenggaraan Jakarta Biennale. Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang biasanya mengelola penyelenggaraan bienial, kini bergeser peran. DKJ tak hanya turut membentuk pendirian Yayasan Jakarta Biennale, namun juga berperan sebagai konsultan, pembina, dan pengawas lembaga baru tersebut. Sebagai perkembangan lanjut dari seri diskusi yang melibatkan banyak pihak pada 2012-2013, Yayasan Jakarta Biennale akhirnya terbentuk pada 2014 melalui tangan sejumlah anggota DKJ, seniman, kurator, serta praktisi dan akademisi multidisiplin yang memiliki pengalaman panjang mengelola organisasi seni di Indonesia. Yayasan Jakarta Biennale berusaha menjadi lembaga yang mampu berkontribusi secara signifikan terhadap perkembangan ide-ide artistik kritis di tengah masyarakat melalui program-programnya, dan akan selalu berkolaborasi dengan berbagai pihak yang telah muncul di Jakarta serta mewarnai lanskap praktik seni-budaya Jakarta—misalnya komunitas maupun warga. Diharapkan jaringan yang mutual dan berkesinambungan dengan berbagai pihak itu akan menjadi pilar pendukung yang juga akan menentukan model dan karakter Jakarta Biennale. Pola kerjasama yang mengakar ini menjadi prinsip Jakarta Biennale (JB) yang akan terus dijaga dan dikembangkan.

6

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Dalam konteks Indonesia, di mana yang dihadapi adalah kekurangan dan ketimpangan infrastruktur seni rupa, kita harus berhenti berilusi tentang kondisi-kondisi ideal yang kita bayangkan terjadi di tempat lain. Keterbukaan dan kesempatan untuk bereksperimentasi serta berspekulasi dengan strategi dan model harus terus dicoba dan dikembangkan. Di tengah temuan-temuan model praktik seni rupa oleh banyak komunitas dan oganisasi, sebuah platform bienial bisa menjadi wadah bagi pencanggihan atau forum untuk praktikpraktik warga tersebut. Bienial juga bisa menjadi sebuah platform bagi bertemunya kepentingan-kepentingan Negara dan warga. Dilihat sebagai sebuah bagian dari ekosistem seni-budaya, bienial pun harus dapat berperan lebih jauh lagi ketimbang sebuah perhelatan seni rupa; ia harus bisa berperan sebagai salah satu pilar pendukung dalam membawa seni ke tengah publik. Hal ini akan memperluas dampaknya di tengah masyarakat dan seni di beragam kota di Indonesia. Memusatnya medan seni rupa Indonesia di Pulau Jawa, khususnya hanya pada tiga kota, yaitu Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, membuat JB melihat pentingnya memperluas jaringan praktik dan pengetahuan seni rupa ke berbagai kota di belahan Indonesia. Melibatkan kurator dan seniman dari beberapa kota menjadi sangat relevan untuk menciptakan dialog. Diharapkan keterlibatan praktisi seni rupa—kurator, seniman, komunitas—dari berbagai kota di Indonesia dapat menawarkan ekspresi dan pengetahuan tentang praktik lokal


di berbagai daerah untuk dapat ditawarkan lebih lanjut kepada masyarakat yang lebih luas, selain membuka peluang untuk saling berbagi. Tentu saja, JB juga ingin menunjukkan kondisi sosial budaya kontemporer di daerah lain di Indonesia, melalui karya-karya seni rupa dalam bienial ini. Paling tidak ada tiga fokus yang dieksplorasi dan coba dikembangkan dalam JB 2015 sebagai tawaran baru yang akan dibangun dan dipertahankan untuk penyelenggaraan JB seterusnya ke depan, yaitu publik seni rupa, pelaku artistik, dan distribusi pengetahuan. Apa yang akan kami lakukan adalah membangun dan merawat ketiganya lewat program-program berikut ini. Laboratorium kurator. Pada 2015, Jakarta Biennale mengembangkan Curators Lab, program jangka panjang yang mengundang kurator muda dari berbagai kota di Indonesia. Dalam Jakarta Biennale, Curators Lab berperan sebagai wahana pembelajaran dan kolaborasi antara kurator muda dan kurator yang lebih berpengalaman. Sepanjang program, para kurator terpilih bekerja bersama seniman dan komunitas di kota masing-masing, untuk memantik terjadinya pertukaran dan perkembangan pengetahuan di antara mereka. Melalui program ini, Jakarta Biennale hendak mendukung peran kurator sebagai salah satu aktor budaya di berbagai kota di Indonesia. Edukasi Publik. Jakarta Biennale mengadakan pendidikan seni rupa kepada publik secara berkesinambungan melalui program Seni Rupa Kita, yang meliputi penyelenggaraan lokakarya, pengangkatan duta seni, dan penerbitan buku. Selain untuk merawat pemahaman mengenai seni rupa, program yang bekerjasama dengan pemerhati dan praktisi pendidikan seni rupa ini hendak menunjukkan kepada generasi muda, beserta orangtua dan guru mereka, tentang pentingnya seni rupa dan apa yang mampu dilakukan oleh seni rupa dalam kehidupan seharihari. Sementara itu, penerbitan buku pendidikan seni rupa bagi siswa SMA dilaksanakan dengan melibatkan guru, yang mengevaluasi bahan ajar, memberi masukan tentang sejarah seni dalam konteks Indonesia, dan memulai cara

JAKARTA BIENNALE 2015 baru dalam mengajar siswa SMA. Penerbitan buku ini bekerjasama dengan sejumlah siswa duta seni, komunitas, dan asosiasi guru dalam penyusunan dan pendistribusiannya.

Simposium dan Akademi Maju Kena Mundur Kena (MKMK) adalah sebuah usaha untuk mengolah potensi pendidikan dari sebuah acara akbar dua tahunan seperti Jakarta Biennale. Diselenggarakan pada 16-30 November 2015, Akademi ini adalah hasil kerjasama Jakarta Biennale dan Institut ruangrupa (Ir.). Akademi MKMK mengusung perspektif pendidikan dan kebersamaan (collectivism) sebagai cara untuk mengembangkan keadaan di mana pertukaran dan pembelajaran bisa terjadi secara spontan. Topik-topik yang akan dibicarakan meninjau lebih dalam hal-hal yang juga tersorot dalam pameran Jakarta Biennale 2015: sejarah kebersamaan kosmopolitan, politik air sebagai jalan masuk aktivisme kota, dan perempuan dalam hubungan antara gender, iman, dan perjuangan kelas; di negara-negara dunia bagian Selatan. Simposium ini sekaligus juga ingin mempertanyakan kembali arti kebersamaan—yang perayaannya bisa kita lihat dari maraknya pola berkumpul untuk membentuk kolektif-kolektif kesenian di Indonesia dalam dua dekade terakhir. Dari uraian di atas, Jakarta Biennale akan berkembang lebih jauh sebagai salah satu sistem pendukung ekosistem seni rupa di Indonesia, yang memainkan peran penting dalam pengembangan seni dan ekosistem budaya di Indonesia dengan memperluas jaringan kolaborasi, mengembangkan kapasitas organisasi dan keterlibatan publik, serta melakukan produksi dan penyebaran pengetahuan. Terima kasih untuk seluruh kerja keras, kerjasama, serta dukungan seluruh pihak yang terlibat. Juga bagi seluruh gagasan, semangat, dan persahabatan yang diberikan, yang telah memperkaya Jakarta Biennale 2015 ini.

ADE DARMAWAN

Direktur Eksekutif Jakarta Biennale 2015

7


YAYASAN JAKARTA BIENNALE

Introduction Jakarta Biennale 2015

Creating a biennale that can become a venue with relevant contributions for contemporary socio-cultural transformation, both at a local and a global scale, requires an independent institution. This institution will sustainably map and interpret arts, culture, social and political phenomenon, before it will design and manage artistic strategies. Following the 15th Jakarta Biennale in 2013, Jakarta Biennale Foundation was set up as an independent body that would strive to meet the challenges.

The establishment of the Jakarta Biennale Foundation changed the tradition of organizing the Jakarta Biennale. The Jakarta Arts Council (DKJ), which previously ran the event, has switched roles. DKJ did not only help establish the Jakarta Biennale Foundation, but also served as consultant and mentor while monitoring the new institution. As the continuation of a series of discussions with many parties in 2012-2013, the Biennale Jakarta Foundation was finally formed in 2014 through the hands of DKJ members, artists, curators and multi-disciplinary practitioners and academics with years of experience in managing arts organizations in the country. The Biennale Jakarta Foundation strives to become an institution with significant contributions for the development of critical artistic ideas in society through its programs, and will continue to collaborate with various parties in Jakarta while giving colors to the arts and cultural landscape in the capital, such as with the communities or the residents. The mutual and sustainable network with various parties will become the supporting pillar in determining the model and character of the Jakarta Biennale. The entrenched pattern of collaboration is the principle of the Jakarta Biennale (JB) to be maintained and expanded.

8

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

In the context of Indonesia, where art infrastructure is lacking and imbalanced, we need to stop having the illusion about ideal conditions we imagine existing in other places. The openness and opportunity to experiment and speculate with strategies and models must continue to be tested and developed. Amid the findings of an art practice model by a lot of communities and organizations, a biennale platform can become an improvement forum for community practices while at the same time a platform to gather the interests of the state and the people. As a part of the arts and cultural ecosystem, this biennale must play a role as one of the supporting pillar in bringing art to the public. It can then widen the impact in society and the arts in various cities in Indonesia. The centralization of the Indonesian art scene in Java, particularly in cities of Jakarta, Bandung and Yogyakarta, prompted JB to see the importance of expanding its network of art practice and knowledge in many cities in the country. Involving curators and artists from different cities is highly relevant to create dialog. The involvement of art practitioners— curators, artists, and communities—from various cities in Indonesia can provide expression and knowledge for wider communities, and open up the opportunity to share. Of course,


JB also wants to show the contemporary socio-cultural condition in other areas in Indonesia, through artworks in this biennale. There are at least three focuses to explore and develop in JB 2015 as new proposition to be built and maintained in the next JB: an art public, artistic players and knowledge distribution. What we are going to do is to build and nurture the three through the following programs: Curators Lab. In 2015, the Jakarta Biennale launched Curators Lab, a long-term program that invites young curators from various cities in the country. The Lab works as a learning and collaboration space between young curators and more experienced ones. Throughout the program, the selected curators work with artists and communities in their respective city to trigger knowledge transfer and development among them. The Jakarta Biennale is eager to support the role of curators as one of the cultural actors in various cities in the country with this program. Public Education. The Jakarta Biennale carries out sustainable art education for public through the program Our Art, which includes workshops, art ambassadors selection and book publishing. Aside from maintaining the understanding about art, the program, a collaborative effort from art observers and educators, aims to show the young generation and their parents and teachers about the importance of art and what art can do in daily lives. Meanwhile, the publication of art education books for senior high school students involved the teachers, who evaluate the teaching materials, give feedback about Indonesian art history, and start a new way of teaching senior high school students. The publication was conducted with a number of art ambassadors, communities, and teachers associations in terms of writing and distribution.

JAKARTA BIENNALE 2015 Symposium and Academy of ‘Neither Forward nor Back’ (MKMK) is an attempt to work on education potential of a massive biannual event such as the Jakarta Biennale. Held on Nov. 1630, 2015, the Academy is a collaborative effort of the Jakarta Biennale and Institut ruangrupa (Ir.). MKMK Academy carries the perspectives of education and collectivism as a way to develop the condition in which exchanges and learning can happen spontaneously. The topics discussed dig deeper into the issues highlighted in the Jakarta Biennale 2015 exhibition: the history of cosmopolitan togetherness; politics of water as an access toward urban activism; and women in the relations between gender, faith and class struggle, in the countries of the Southern Hemisphere. The symposium also aims to question the meaning of togetherness—whose celebration is apparent from the burgeoning patterns of gathering to form arts collectives in Indonesia in the past two decades.

The Jakarta Biennale will grow further as a supporting system of the art’s ecosystem in Indonesia, playing a crucial role in art development and cultural ecosystem in the country by expanding a collaboration network, developing organization capacity and public involvement, and carrying out knowledge production and distribution. Thank you for all the parties involved—for all the hard work, collaborations, supports, ideas, passion, and friendship during this whole process. All these contribute to the realization of Jakarta Biennale 2015.

ADE DARMAWAN

Executive Director of Jakarta Biennale 2015

9


Sambutan / Forewords

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera bagi kita semua, Jakarta adalah sebuah ibukota multikultural tempat semua suku bangsa berbaur dan hidup bersama, saling menyumbang, menghidupi, dan membentuk wajah ibukota tercinta ini. Jakarta adalah juga ibukota bagi beragam budaya dan seni di Indonesia, baik budaya dan seni tradisional maupun budaya dan seni modern. Lebih dari itu, di Jakartalah budaya kontemporer Indonesia dilahirkan dan dikembangkan. Oleh karena itu, pada 2015 ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta, kembali menggelar Jakarta Biennale, sebuah perhelatan akbar dua tahunan seni rupa kontemporer berskala internasional. Dengan mengusung tema “Maju Kena, Mundur Kena: Bertindak Sekarang�, yang mengacu pada gagasan untuk berkonsentrasi pada masa kini sembari menolak memanjakan diri dalam nostalgia atau melarikan diri menuju masa depan yang utopis, Jakarta Biennale 2015 mengajak kita semua untuk mengubah segala sesuatu menjadi lebih baik. Kita jangan lagi hanya duduk terdiam tanpa berbuat apa-apa sambil mengenang masa-masa kejayaan dulu kala. Oleh Jakarta Biennale, kita diajak pula untuk belajar merangkai pelajaran dari masa lalu dan kemungkinan masa depan demi memahami masa kini, termasuk menjelajahi kemungkinan-kemungkinan lain masa kini.

10

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Seni dalam implementasinya mampu menggerakkan kehidupan menjadi lebih hidup dan berbudaya. Oleh karena itu, saya berharap Jakarta Biennale 2015 ini dapat memberikan kontribusi signifikan dalam menghadirkan wajah Jakarta yang semakin indah, sedap dipandang mata, sekaligus mengangkat citra Jakarta sebagai Kota Budaya. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada para peserta yang berpartisipasi dan seluruh pendukung kegiatan ini sehingga Jakarta Biennale 2015 dapat berjalan dengan baik. Semoga penyelenggaraan Jakarta Biennale 2015 dapat meraih sukses, dinikmati, dan diapresiasi oleh seluruh masyarakat.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Jakarta, 26 Oktober 2015 PURBA HUTAPEA Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta


JAKARTA BIENNALE 2015

11

Greetings from the Jakarta Tourism and Culture Office Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Peace be unto you. Jakarta is a multicultural capital where all ethnic groups assimilate and live in harmony, supporting each other while breathing life in and shaping the face of the beloved city. Jakarta is also the country’s capital of arts and culture, both traditional and modern ones. It is where the contemporary culture is being born and nurtured. Therefore in 2015, the Jakarta Administration, through the Tourism and Culture Office, worked together with the Jakarta Arts Council to again organize the Jakarta Biennale, a grand biannual event of contemporary art at an international scale. With the theme of ‘Neither Forward nor Back: Acting in the Present’, referring to the idea to focus on the now and the refusal to wallow in the nostalgia or to escape in a utopic future, the Jakarta Biennale 2015 invites all of us to change things for the better. We cannot afford to just sit idly while reminiscing the good ol’ days. The Jakarta Biennale urges us to learn from the lessons in the past and the probabilities of the future to understand the present and explore other current possibilities.

Arts in its implementations can lead us into a more vigorous and cultured life. I hope the Jakarta Biennale can contribute a great deal in showcasing a more beautiful face of Jakarta, a city that is lovely to look at, and raising its image of a cultured city. My deepest gratitude and appreciation are extended to all participants and supporters of the event, who have done a great job in organizing Jakarta Biennale. It is hoped that the Jakarta Biennale 2015 will be a success, enjoyed and appreciated by the entire communities.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Jakarta, 26 October 2015 PURBA HUTAPEA Head of the Jakarta Tourism and Culture Office Special Capital Region of Jakarta


Sambutan / Forewords

Dewan Kesenian Jakarta

Tahun ini Jakarta Biennale hadir kembali. Sebagai salah satu perhelatan akbar seni rupa di negeri ini, Jakarta Biennale bukan sekadar selebrasi dan pesta yang mengedepankan aspek artistik belaka. Lebih dari itu, Jakarta Biennale mengupas berbagai persoalan kekinian dalam bidang sosial-kebudayaan secara kreatif dan imajinatif serta didukung oleh data ilmiah.

Untuk sampai pada posisinya saat ini, Jakarta Biennale telah melalui perjalanan yang panjang. Berawal sebagai Pameran Seni Lukis Indonesia pada 1974, perhelatan ini baru menyandang kata “biennale” pada 1982. Kala itu namanya Pameran Biennale V. Penggunaan istilah “biennale” kemudian diteruskan. Pada 1984, pameran berikutnya bertajuk Biennale Seni Lukis Indonesia VI. Pada 1993, kerangka karya “seni lukis” ditanggalkan dan diganti dengan “seni rupa” sebagai respons atas dinamika perkembangan medium seni. Hingga kemudian pada 2009, di bawah tajuk Jakarta Biennale XIII, untuk pertama kalinya tema ditetapkan. Saat itu dipilih tema “ARENA”, untuk membaca Jakarta sebagai tempat pertarungan tanpa henti. Sejak saat itu pula bienial ini mencuat dengan skala internasional. Pada 2015 ini, Jakarta Biennale memasuki gelaran ke-16 dengan segala perbaikan kualitas dan kemajuan di dalamnya. Inilah himpunan karya unggulan dan kebanggaan untuk mencerminkan kota Jakarta yang berbudaya dengan masyarakat yang beradab. Tak kurang, Jakarta Biennale hadir sekaligus untuk menjadi ajang silaturahmi warga dunia. Mengusung tema “Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang”, Jakarta Biennale kali ini mengajak kita menengok masa lalu, untuk masa kini yang baik, dan masa depan yang lebih baik. Tema ini terasa sangat relevan dengan situasi Indonesia saat ini, kala muncul kegamangan untuk melanjutkan reformasi 1998 dan mencari kemungkinan-kemungkinan kehidupan yang lebih baik melalui penguatan demokrasi, kebebasan berpikir, keterbukaan, dan kesetaraan. Keraguan itu terasa sekali. Indikatornya adalah menurunnya semangat dan merebaknya nilai-nilai masyarakat yang mencerminkan sikap konservatif, absolut, dan takut meninggalkan “zona aman berpikir”. Hal ini merupakan sesuatu yang dikondisikan secara luas pada masa rezim Orde Baru. Munculnya perlawanan terhadap

12

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

semangat rekonsiliasi 1965, radikalisme atas nama keyakinan/agama, dan perlawanan terhadap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah sebagian kecil dari contoh kegamangan bangsa ini. Kondisi kita saat ini: mundur sudah tak bisa tapi maju pun ragu. Istimewanya lagi, Jakarta Biennale kali ini menggandeng Charles Esche, yang telah malang-melintang di berbagai bienial dunia, untuk menjadi kurator yang berkolaborasi dengan enam kurator muda Indonesia dari berbagai daerah: Aceh, Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Pengembangan gagasan lebih jauh lagi juga tercermin dari program-program susuran Jakarta Biennale 2015. Sebut saja Curators Lab, Roadshow Art on the Spot, dan program Edukasi Publik. Ini semua adalah tekad kita bersama untuk memposisikan Jakarta Biennale sebagai karya budaya yang berkualitas dunia dan patut menjadi kebanggaan warga Jakarta serta Indonesia. Dengan tulus saya ucapkan terima kasih kepada seluruh panitia, seniman, dan kurator yang turut mewujudkan Jakarta Biennale 2015. Mereka telah membantu kita menyikapi persoalan-persoalan secara kreatif dan mengajari kita memanfaatkan bentuk-bentuk kesenian sebagai strategi untuk memahami dunia sekeliling. Saya juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua mitra kerja Dewan Kesenian Jakarta dan Yayasan Jakarta Biennale yang telah mendukung penuh program andalan kami ini, khususnya Gubernur DKI Jakarta, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, sponsor-sponsor, institusi-institusi pendidikan, dan komunitas-komunitas yang terlibat. Jakarta, 9 Oktober 2015 IRAWAN KARSENO Ketua Umum Dewan Kesenian Jakarta Periode 2013-2015


The Jakarta Biennale returns again this year. As one of the biggest fine arts events in the country, the Jakarta Biennale is not merely a celebration and a party that emphasizes artistic aspects. It also dissects the current socio-cultural issues in creative and imaginative ways, backed by scientific data. The Jakarta Biennale has gone through a long journey to reach its position today. Started as Indonesia’s Painting Exhibition in 1974, the name ‘Biennale’ was not used until 1982 with the Biennale V Exhibition, and has remained so since. The next exhibition was named Indonesian Painting Biennale VI in 1984. In 1993, the word ‘painting’ was replaced by ‘fine arts’, to respond to the development in the arts. It was only in 2009 that the event was called Jakarta Biennale XIII. The theme was ‘ARENA’, depicting the capital of Jakarta as the ground of an everlasting battle. The biennale has since emerged as an event of international scale. This year’s event is the 16th ever held, with improved quality and progresses in it. It is a collection of superior works, a source of pride for Jakartans as it projects a cultured city and a civilized society. Jakarta Biennale is also a venue for citizens of the world to get to know each other. With the theme of Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang (‘Neither Forward nor Back: Learning in the Present’), the Jakarta Biennale invites us to examine past events for a better present and a better future. It is deemed relevant with the current situation in Indonesia, as anxiety looms over the continuation of the 1998 reform era and the efforts to find better life possibilities by strengthening democracy, freedom of thinking, openness and equality. Uncertainty hangs thick in the air, indicated by the declining spirit and the growing conservatism, the sense of absolutism and the fear of leaving ‘the comfort zone’; a stance that was widely planted during the New Order regime. The refusal to accept the reconciliation with victims of 1965’s failed coup,

JAKARTA BIENNALE 2015

13

Greetings from Jakarta Arts Council

religious radicalism and the resistance to the Corruption Eradication Commission (KPK) are a few examples of the nation’s anxiety. Here we are: unable to go back but hesitant to move forward. This year’s Jakarta Biennale is more exceptional with the presence of Charles Esche, seasoned world-class curator who works with six young Indonesian curators from Aceh, Jakarta, Surabaya and Makassar. The further expansion of the idea is also reflected in the programs of the Jakarta Biennale 2015, such as Curators Lab, Roadshow Art on the Spot and Public Education. These programs aim at establishing the Jakarta Biennale on the global map as a cultural work that can become the source of pride for Jakartans and Indonesians. I sincerely thank the entire committee, artists and curators that helped to materialize the Jakarta Biennale 2015, assist us in responding to the issues in creative way and teach us to take advantage of art forms as a strategy to understand the surrounding environment. I also extend the biggest gratitude to every partner of the Jakarta Arts Council and the Jakarta Biennale Foundation for their full support of our programs, particularly the Jakarta Governor, the Jakarta Tourism and Culture Office, the sponsors, educational institutes and the communities. Jakarta, 9 Oktober 2015 IRAWAN KARSENO Chairman of Jakarta Arts Council, 2013-2015


Sambutan / Forewords

Salam dari Sarinah

Seni telah menjadi inti utama kehidupan Sarinah. Didirikan oleh Presiden Sukarno pada 1962, Sarinah memiliki misi-misi, di antaranya untuk menjadi sebuah saluran distribusi produk-produk Indonesia berkualitas. Kini pada 2015, semangat yang sama masih berlanjut. Hari ini, Sarinah, terutama toko utamanya di Jalan Thamrin, Jakarta, masih menjadi tujuan utama produkproduk seni dan warisan budaya Indonesia.

Ketika Ade Darmawan, Direktur Eksekutif Jakarta Biennale 2015, pertama kali mendatangi kami untuk menjajaki kemungkinan kerja sama, kami tidak ragu untuk segera menyepakatinya. Meski Sarinah adalah sebuah badan usaha dan Biennale merupakan organisasi nirlaba, kami berbagi gairah yang sama tentang seni. Jadi kolaborasi dengan Jakarta Biennale 2015 ini hampir merupakan suatu kewajaran. Setelah bekerja sama lebih dekat dengan Jakarta Biennale 2015, kami menemukan lebih banyak keselarasan dalam fokus eksplorasi, terutama terkait dimensi-dimensi sejarah dan gender. Toko utama Sarinah dan kantor pusatnya di Jakarta adalah bangunan bersejarah karena merupakan gedung bertingkat pertama di negara ini. Keterlibatan pribadi Presiden Sukarno merupakan nilai yang sangat penting dalam sejarah Sarinah.

Sarinah adalah nama pengasuh Presiden Sukarno yang paling disayanginya. Menurut sang presiden, perempuan tersebut memberi pengaruh besar dalam membentuk pemahaman dan kepekaannya terhadap kehidupan wong cilik. Pengaruh itu kemudian terbukti menjadi ideologi yang mengejawantah sebagai fondasi selama karier politik presiden pertama Republik Indonesia tersebut. Kami sangat bangga, berangkat dari sejarah Sarinah sang pengasuh, saat ini Sarinah bermitra dengan lebih dari 350 usaha kecil dan menengah, dengan 80 persen di antaranya dipimpin oleh perempuan. Sebagai penutup, saya ingin menekankan sekali lagi rasa terima kasih Sarinah atas kesempatan berkolaborasi dengan Jakarta Biennale 2015, dalam acara luar biasa yang memberikan stimulasi dan pengalaman yang memperkaya.

IRA PUSPADEWI Presiden Direktur Sarinah

14

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


Art has been at the very core of Sarinah’s life. Established by President Sukarno in 1962, one of Sarinah’s missions was to be a distribution channel for quality Indonesian products. Fast forward, in 2015, the same spirit carries on. Today, Sarinah—especially its flagship store on Jalan Thamrin Jakarta remains the main destination for Indonesian art and heritage products.

When Ade Darmawan, the Executive Director of the Jakarta Biennale 2015, first approached us for a potential collaboration, it did not take us too long to agree with him. While Sarinah is a business entity and the Biennale is a not-for-profit organization, we share the same passion for the arts. Hence our collaboration on the Jakarta Biennale 2015 is almost a matter of natural coincidence. As we worked more closely on the Jakarta Biennale 2015, we found more alignments in its exploration focus, especially the history and gender dimensions of it. Sarinah’s flagship store and headquarter in Jakarta is a historical building since it was the first high rise built in the country. The personal involvement of President Sukarno was of paramount importance in Sarinah’s history.

JAKARTA BIENNALE 2015

15

Greetings from Sarinah

Sarinah was named after President Sukarno’s most beloved governess. According to President Sukarno, she played a major influence in shaping his understanding and sensitivity towards the lives of ‘small’ folks. This exposure was later proven to be the ideology that became the foundation throughout his political career. From the history of Sarinah, the Governess, we take it with a great sense of pride that today Sarinah partners with more than 350 small medium enterprises of whom about 80% are led by women. Let me conclude this remark by reinforcing on how grateful Sarinah is to have the opportunity to collaborate with the Jakarta Biennale 2015. We look forward to stimulating and enriching experiences in this extraordinary event.

IRA PUSPADEWI President Director of Sarinah


CURATORS LAB KURATORIAL Maju Kena Mundur Kena 20 Neither Forward nor Back 20 Charles Esche

CURATORS LAB Makna Baru 26 The New Meaning 26 Putra Hidayatullah Tumbuh di Barisan Belakang 34 Growing in the Back Row 34 Anwar ‘Jimpe’ Rachman Bekerja di Sebuah Laboratorium Kuratorial: Perjalanan yang Penuh Eksperimen dan Petualangan 48 Working in a Curatorial Laboratory:A Journey Filled with Experiments and Adventures 48 Riksa Afiaty Seni dan Kurator 56 Art and Curator 56 Benny Wicaksono Memulai Laboratorium Dinamis 66 Initiating Dynamic Laboratory 66 Asep Topan Pengantar Jakarta Biennale 2015 6 Introduction from Jakarta Biennale 2015 8 Sambutan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta 10 Greetings from the Jakarta Tourism and Culture Office 11 Sambutan Dewan Kesenian Jakarta 12 Greetings from Jakarta Arts Council 13

Tentang Hidup dan Kesenian 72 About Life and Art 72 Irma Chantily CURATORS LAB: BANDA ACEH 30 MAKASSAR 40 YOGYAKARTA 54 SURABAYA 60 BANDUNG 70 JAKARTA 76 PARA KURATOR 82 THE CURATORS 82

Salam dari Sarinah 14 Greetings from Sarinah 15

16

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

SENIMAN 90 ARTISTS 90 PROGRAM PUBLIK PUBLIC PROGRAMS Seni Rupa Kita 246 EDUKASI PUBLIK JAKARTA BIENNALE 2015

Akademi Maju Kena Mundur Kena & Simposium Makan Nggak Makan Asal Kumpul 254 RAOS 260 ART ON THE SPOT ROADSHOW JAKARTA BIENNALE 2015

creative weekend market 268


PROGRAM PENDUKUNG SUPPORTING PROGRAMS PAMERAN / EXHIBITION

Visual Jalanan: Bebas Tapi Sopan 272 Street Visual: Free But Proper 272 PAMERAN / EXHIBITION

herman de vries 276 PAMERAN / EXHIBITION

Comic on The Street 280 PAMERAN / EXHIBITION

Kisah Masa Depan Sanitasi dan Air Minum Indonesia 282 The Future of Indonesian Tap Water and Sanitation 282 PROYEK SENI RUPA PUBLIK / PUBLIC ART PROJECT

Market Share 284 SEMINAR

The Contribution of Art and Culture in Peace and Reconciliation Processes in Asia 288 Sumbangsih Seni dan Budaya dalam Proses Perdamaian dan Rekonsiliasi di Asia 288 FEMART Gathering 292 Skartefak 294 Street Dealin 298 Keep the Field 300 PROYEK SENI RUPA / ART PROJECTS

Kepang Kampung Baru 302 Braids of Kampung Baru 302 Ucapan Terima Kasih 304 Acknowledgments 304 Jakarta Biennale 2015 Team 310

Daftar isi Contents

JAKARTA BIENNALE 2015

17



Curators Lab


KURATORIAL CURATORIAL

Maju Kena Mundur Kena

Neither Forward nor Back

CH AR LES ES CHE

Tema Jakarta Biennale 2015, “Maju Kena Mundur Kena,” yang diambil dari judul film komedi Indonesia 1980-an, turut mengacu pada ekspresi lokal untuk suatu situasi yang khas Indonesia. Kami menerjemahkan situasi itu dengan mengartikannya bahwa kita harus berfokus pada saat ini dan pada situasi mutakhir di sekitar kita. Kami menolak mengenang nostalgia masa lalu yang tak terjangkau, atau maju menuju utopia yang tak dapat dicapai. Pameran ini, sebaliknya, berfokus pada situasi di sini dan saat ini, serta respons para seniman terhadap kondisi sosial, politik, dan ekonomi di sekitar mereka. Sejarah dan memori perkotaan sangat relevan dalam pameran ini, namun hanya sebagai isu-isu keprihatinan saat ini.

20

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

The 2015 edition of the Jakarta Biennale is called ‘Neither Forward nor Back’. This title comes from an Indonesian comedy film of the 1980s but refers to a local expression for a typical Indonesian situation. We have interpreted this situation to mean that we must focus on the moment and on the contemporary situation around us. We refuse to look back with nostalgia at a past that is out of reach, or forward to an unachievable utopia. Instead the exhibition focuses on the here and now and the responses of artists to the social, political and economic conditions in which they find themselves. Urban history and memory are very relevant to the exhibition but only as issues of current concern in the sense of how they impact the possibilities of thinking and doing today.


JAKARTA BIENNALE 2015

21

Artinya, bagaimana hal-hal itu berdampak pada kemungkinan-kemungkinan berpikir dan bertindak pada hari ini. Masalah lingkungan juga kuat mengemuka, terutama terkait dengan penggunaan dan penyalahgunaan air. Selain itu, perbedaan sosial dan seksual, terutama tentang peran perempuan serta homoseksualitas, merupakan arus pengaruh ketiga dalam Biennale ini Isu-isu ini: kota dan sejarah; air dan lingkungan; dan hak untuk berperilaku berbeda, merupakan tema berulang dalam Biennale Jakarta. Ide-ide tersebut menghubungkan karya-karya dan mengalir sepanjang pameran. Masing-masing isu mengakar pada apa yang para kurator anggap sebagai keprihatinan yang nyata dan terus berlangsung di Indonesia. Sebagai tim, kami juga menggunakan pengetahuan dan pengalaman kami untuk mengundang para seniman dari kota-kota dan benua-benua lain, yang tampak relevan dengan situasi di sini. Beberapa dari seniman-seniman ini membuat karya baru di Indonesia. Selain itu, mereka juga membawa pengetahuan dan wawasan dari tempat lain, yang dapat menawarkan perspektif-perspektif yang bermanfaat tentang apa yang terjadi di sini.

The environment features strongly too, particularly through the use and abuse of water. Finally, social and sexual difference, particularly in regard to the role of women and queerness, forms the third principle stream of influence on this Biennale. These issues: the city and history; water and the environment; and the right to behave differently became the leitmotifs for the biennale. They are ideas that link works together and run throughout the exhibition. Each one of these issues is grounded in what the curators perceive as vivid and on-going concerns here in Indonesia. As a team, we have also used our collective knowledge and experience to invite artists from other cities and continents who appear to be relevant to the situation here. These artists have sometimes made new work in Indonesia but they also bring reports and insights from elsewhere that can offer useful perspectives on what is happening here.

Kemenangan-kemenangan Kecil – Catatan Pembuatan Jakarta Biennale 2015

Small Victories – an account of making the 2015 Jakarta Biennale

“Maksudmu seperti kemenangan-kemenangan kecil,” ujar Irma Chantily tanpa mengarah kepada siapa pun. Ketujuh kurator Jakarta Biennale saat itu sedang membahas ide-ide mendasar mengenai proyek mereka. “Ya,” kata saya. “Semacam kemenangankemenangan kecil. Saya kira itu sebabnya mengapa kita terus melakukan sesuatu, mengapa para seniman mengembangkan proyek mereka, mengapa orang-orang melihat karya-karya itu... kita terus berharap akan kemenangan-kemenangan kecil.” Proyek itu dimulai pada Januari 2015 dalam pertemuan pertama kami bersama, sekaligus awal mula perjalanan saya ke Jakarta dan daerahdaerah lain di Indonesia. Mengunjungi LSM-LSM dan kelompok-kelompok aktif lainnya di kota ini, saya terhenyak saat menyadari bahwa isu air terus kembali ke dalam percakapan kami. Selain topik agama, peristiwa 1965, dan pemerintahan saat ini, air merupakan topik yang kurang terdefinisikan

“You mean like small victories,” Irma said to no one in particular. The seven curators of the 2015 Jakarta Biennale were discussing the basic ideas that should inform their project. “Yes,” I said. “Kind of like small victories, I suppose. I guess that’s why we keep doing things, why artists develop their projects, why people go to see them… we keep hoping for small victories.” The project began in January 2015 with a first meeting together and the beginnings of my own travels around Jakarta and Indonesia. Visiting NGOs and other active groups in the city, I was struck by the way the issue of water regularly returned in our conversations. Along with religion, 1965 and the current government; water was a less pre-defined topic that seemed to resonate with everyone. In the first meetings with the curatorial group, I brought up the question of water and the conversation turned to flooding and pollution, ranging over the state of


KURATORIAL CURATORIAL

yang kelihatannya bergaung pada setiap orang. Dalam pertemuan-pertemuan pertama dengan kelompok kurator tersebut, saya mengangkat isu air ini dan pembahasan pun mengarah pada banjir dan polusi. Topik berkisar mulai dari kondisi Sungai Ciliwung sampai ke komunitas yang tinggal—baik secara legal maupun ilegal—di bantaran sungainya dan bahaya kurangnya ketersediaan air bersih. Pengalaman soal air ini muncul kembali bersama Lifepatch di Yogyakarta, komunitas Strenkali di Surabaya, dan Kampung Pisang di Makassar. Kemudian kami melihat Sanggar Anak Akar, rumah singgah bagi anak-anak jalanan di Sungai Ciliwung, dan Peta Jakarta, inisiatif media sosial penting untuk menghindari banjir. Semua pengalaman ini mengukuhkan pentingnya air bersih bagi kehidupan yang baik, sekaligus mengukuhkan bagaimana penyalahgunaan air dapat menjadi contoh sempurna dari perusakan lingkungan secara umum dan bagaimana mengabaikan kebergantungan manusia pada Bumi sungguh mengurangi peluang kita untuk bertahan hidup. Lingkungan hidup kemudian menjadi motif utama, yang dipahami sebagai subjek yang hadir bersama seluruh umat manusia, sebuah subjek yang membutuhkan kepedulian dan pemeliharaan yang sama seperti individu mana pun. Pengaruh air mengalir sepanjang bienial ini, tapi tidak berdiri sendiri sebagai subjek utama. Keprihatinan terkait atas kota Jakarta dan sejarahnya,

22

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

the Ciliwung River to the communities that lived— legally and illegally—on its banks and the dangers from a lack of clean water. This experience of water was repeated with Lifepatch in Yogyakarta; the Strenkali community in Surabaya and the Kampung Pisang in Makassar. Later, we looked at the Sanggar Anak Akar, a place of street children living by the Ciliwung River and at Peta Jakarta, an important social media initiative to avoid flooding. All these experiences confirmed the centrality of clean water to a good life, but also how the abuse of water could stand as a perfect example of the despoliation of the environment in general and how ignoring human dependency on the earth seriously reduces our chances of survival. The environment became then a key motif, understood as a subject that exists alongside all the humans in the world, a subject that needs care and sustenance as much as any individual. The influence of water flows throughout this biennale, but it is not alone as a key subject. The related concern for the city of Jakarta and its histories, especially how much urban communities are able to define ways of living together themselves, is a reference for many of the artworks. New murals by six Indonesian women artists commissioned for a number of locations throughout the city are grounded in their responses to particular issues within the urban fabric, such as space for children,


JAKARTA BIENNALE 2015

terutama seberapa jauh masyarakat perkotaan dapat mendefinisikan sendiri cara untuk hidup bersama, merupakan referensi bagi banyak karya seni. Muralmural baru, dari enam seniman perempuan Indonesia yang diminta untuk menggambar di sejumlah lokasi di seluruh kota, berakar pada respons mereka terhadap isu-isu tertentu dalam struktur perkotaan, seperti ruang untuk anak-anak, pengaruh migrasi, atau signifikansi warisan budaya lokal di tengah maraknya pembangunan. Topik-topik ini muncul di pameran utama, dengan peran kota sebagai teater publik terus muncul dalam beragam karya. Seniman-seniman lain mengangkat hubungan kontemporer dengan sejarah dan ingatan, terutama saat memori melawan narasi arus utama yang dikisahkan pemerintah dan korporasi. Kebutuhan akan ruang ritual dalam masyarakat madani dengan menggunakan monumen dan mengklaim tempattempat untuk demonstrasi serta pertunjukan publik juga menjadi benang merah selama pameran. Terakhir, rancangan arsitektur Gudang Sarinah didasarkan secara langsung pada pengalaman kota dengan zonazona seperti kampung yang rapat dan intim, dengan halaman terbuka yang lebih formal di tengahnya. Gagasan ketiga mengalir ke dalam Biennale melalui tradisi feminisme, kajian gender, dan dialog antarbudaya. Menemukan ruang dan legitimasi untuk menjadi berbeda dari tatanan perilaku yang disepakati secara sosial merupakan hal yang penting bagi sebagian besar individu. Sedikit dari kita yang manut pada setiap harapan masyarakat, toh tekanan untuk patuh terkadang membuat kita kewalahan. Para seniman seringkali dapat menjadi pembuka jalan, menelusuri kemungkinan-kemungkinan dalam situasisituasi yang mustahil. Banyak karya dalam bienial ini mempresentasikan pilihan-pilihan lain dari jalur sosial yang seringkali ditempuh sebagian besar orang. Kondisi yang berbeda atau homoseksualitas menyiratkan adanya mayoritas kelompok dalam masyarakat yang ingin menjadi agen-agen aktif dalam masyarakat mereka; individu-individu yang membuat pilihan-pilihan seksual lain; komunitas-komunitas dengan kepercayaan berbeda dari mayoritas di sekitar mereka. Adalah salah satu tugas penting masyarakat yang terbuka untuk memungkinkan perbedaan-perbedaan ini berkembang, dan seni adalah salah satu cara fundamental di mana

23

the influence of migration or the significance of local cultural heritage amidst rapid development. These topics are also taken up in the main exhibition with the city’s role as a public theatre returning constantly in various works. Other artists tackle the contemporary relationship with history and remembering, especially as those memories counter the mainstream narratives told by governments and corporations. The need for spaces of ritual in civic society both by using monuments and claiming space for demonstrations and public performance is also a red thread through the exhibition. Finally, the architectural design of Gudang Sarinah draws directly on the experience of the city with its closed and intimate Kampung-like zones contrasting with the more formal open courtyard in the centre. A third stream of ideas came into the biennale through the traditions of feminism, gender studies and inter-cultural dialogues. Finding room and legitimacy to deviate from a socially approved set of behaviours is crucial for most individuals. Few of us conform precisely to what our society expects, yet the pressures to comply are sometimes overwhelming. Artists can often be pathfinders in squeezing out possibilities in unlikely situations, and many works in the biennale present other options to the social path most often taken. This condition of deviance or queerness implicates a majority of groups in society who seek to be active agents in their societies, individuals who make other sexual choices, communities that have other beliefs from the surrounding majority. It is one of the crucial tasks of an open society to allow these differences to flourish, and art is one of the fundamental ways in which they can be expressed. In the biennale, you will encounter works that question common norms and values in order to create room for other ways of thinking about society, gender, sex and living together. We decided as we were constructing the exhibition not to divide it into three sections but to run each one of the three issues in and around the others. This was because we saw so many relationships between the themes and chose many works and artists that touched on two or three of them at the same time. Instead we planned the exhibition based on what the works themselves needed in terms of space and levels of attention


KURATORIAL CURATORIAL

perbedaan-perbedaan itu dapat diekspresikan. Dalam bienial ini, Anda akan mendapati karya-karya yang mempertanyakan norma-norma dan nilai-nilai umum demi menciptakan ruang bagi cara berpikir lain tentang masyarakat, gender, seks dan hidup bersama. Saat membangun konstruksi pameran, kami memutuskan untuk tidak membagi ke dalam tiga bagian tapi menjadikan setiap dari tiga isu itu berada di dalam dan sekitar yang lainnya. Ini karena kami melihat ada begitu banyak hubungan di antara tema-tema tersebut dan kami memilih banyak karya dan seniman yang menyentuh dua atau tiga di antaranya pada saat yang sama. Sebaliknya, kami merencanakan pameran berdasarkan apa yang dibutuhkan oleh karya-karya itu sendiri terkait ruang dan tingkat perhatian dari pengunjung. Kami juga menghapus pembagian yang ada dalam Jakarta Biennale sebelumnya antara seniman-seniman baru dan yang sudah mapan. Kami merasa lebih baik menggabungkan semuanya bersamasama dalam sebuah pengalaman bersinambungan yang menyebar di seluruh tempat pameran. “Maju Kena, Mundur Kena” merupakan judul yang sudah jelas. Pameran ini ingin hadir secara tegas di masa kini, di mana isu-isu dan kemenangankemenangan kecil di dunia sekarang ini dapat bersamasama disandingkan satu sama lain. Dengan demikian, dapat terlihat jalan keluar dari apa yang hari ini terlihat suram dan mustahil serta membuat kita bertindak tanpa kesadaran—tanpa makna. Lewat terbitan ini, Anda akan dapat mengetahui lebih banyak mengenai masing-masing seniman individu dan kelompok serta menarik sendiri hubungan antara mereka. Saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua kurator kolega saya atas kedermawanan mereka, perbincangan yang kaya dan menginspirasi, dan semua pertukaran pikiran mengenai seni, nilai sejarah dan tradisi, serta dunia saat ini, yang telah berlangsung dalam rangka mewujudkan proyek ini. Saya harap kami menyelenggarakan Biennale yang dapat dibanggakan, yang dibangkitkan untuk Jakarta dan akan menyebarkan pengaruhnya di seluruh kota, Indonesia, dan seterusnya dalam beberapa bulan dan tahun mendatang.

24

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

from the visitors. We also removed the usual division in previous Jakarta biennales between emerging and established artists. We felt it better to mix everything together in a continuous experience spread throughout a single exhibition venue. ‘Neither Forward nor Back’ was an obvious title. The exhibition wants to exist firmly in the present, where the issues and the small victories in the world today can be stacked up one beside the other to point out ways out of what can often seem like a contemporary gloom and impossibility to act with conscience and meaning for today. In this publication, you will be able to learn more about the individual artists and groups and to make your own lines of connection between them. I would like to thank all my colleague curators greatly for their generosity; rich, inspiring conversations; and all the exchange of thoughts about art, Indonesian society, the value of history and tradition and the world today that went into producing this project. I hope we have made a Biennale to be proud of, one that has been generated for Jakarta and that will spread out its influence across the city, Indonesia and beyond over the next months and years.


JAKARTA BIENNALE 2015

25


CURATORS LAB

Makna Baru

The New Meaning

PUTRA H IDAYATU LLA H

Seni pada awalnya adalah sesuatu yang dekat sekaligus jauh dengan diri saya. Kenyataan yang saling bertolak belakang ini sebelumnya tidak muncul dalam ranah kesadaran saya. Seni menjadi jauh dari saya sebab saya tidak pernah merenungkan bagaimana kesenian dapat hadir dalam kehidupan sehari-hari; bagaimana musik masuk ke dalam telinga saya dan memompa adrenalin untuk bergerak; bagaimana film yang saya tonton mengubah cara pandang saya, mengantar saya ke dunia lain, dan merenggangkan saya dari kenyataan sehari-hari yang terkadang monoton; juga bagaimana sebuah karya mural dapat bermain-main dengan memori saya.

26

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Art was something that was both close and distant for myself. Such contradiction had never appeared before within my consciousness. Art was distant because I never pondered its existence in my daily life; how music entered my ears and pumped the adrenaline; how films shifted my point of view, transported me to a whole new world, and escaped me from the monotonous daily routine; and how murals could play with my memories.


JAKARTA BIENNALE 2015

Saya bertanya kepada diri sendiri, mengapa ini terjadi? Barangkali ada kaitannya dengan bagaimana bangunan sudut pandang saya terkonstruksi selama ini; bagaimana sikap dan anggapan-anggapan orang di sekitar turut saya jadikan acuan. Selain itu, selama bertahun-tahun menuntut ilmu di sekolah, saya mendapati seni sebagai muatan lokal yang nyaris tidak pernah menduduki posisi terhormat. Pembagian kasta telah dimulai semenjak pertama kali saya melihat jadwal mata pelajaran setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah. Mereka yang jago menggambar dianggap tidak ada apa-apanya dibanding mereka yang jago matematika. Mereka yang pandai bermain musik dianggap tidak sehebat mereka yang pandai berdebat bahasa Inggris. Anggapan-anggapan di atas terus terpupuk dalam diri saya. Pada akhirnya saya menjadi beku dengan nilai-nilai yang beranjak dari anggapan rendah terhadap seni. Nilai-nilai ini membentuk pola yang mengkotak-kotakkan pikiran dan memunculkan distorsi dalam memutuskan mana yang penting dan mana yang yang tidak penting dari setiap realitas yang ditangkap panca indra. Pada saat bersamaan pula terbentuk logika pragmatis dalam menarik kesimpulan. Untuk apa buang-buang waktu untuk seni? Memang bisa makan apa dengan seni? Hingga pada suatu titik saya menyadari makna lain dari kesenian. Bermula dari karyakarya sastra yang saya baca; kemudian mural dan gambar yang saya lihat. Pengalaman-pengalaman ini kemudian mengantarkan saya pada senimanseniman yang kemudian kerap saya temui. Di antara momen lain yang paling berharga kemudian adalah bertatap muka dan berbagi dengan Charles Esche sebagai kurator senior serta rekanrekan kurator muda di Jakarta Biennale 2015. Dalam proyek ini, saya semakin mendapati bahwa kesenian tidak semata-mata soal keindahan. Ada proses berpikir mendalam; ada perenunganperenungan untuk melahirkan makna baru dari objek yang hadir dalam kenyataan, yang kebaruannya menjauh bahkan melawan definisi kultural yang terkadang sudah aus makna; juga ada narasi-narasi yang direkam dari peristiwaperistiwa sekitar atau bahkan yang belum pernah terungkap dari dalam diri invidu.

27

I asked myself, how could this happen? Perhaps it is related to how my perspectives have been constructed so far; how the attitudes and perceptions of people around me became my references. Moreover, after years of schooling, I found how the academic world almost never puts art in an honorable place. The discrimination started every morning when I looked at the class schedule before I went to school. Those who were good at drawing were considered lacking compared to the math whizzes. The musical talents were not deemed as good as those with English debating skills. The perceptions were entrenched within myself that values denigrating arts were stuck with me. Such values formed patterns that segmented the mind and created distortion in deciding which one was important and which one was not from every reality caught by my senses. At the same time, the pragmatic logic in drawing conclusion is formed. Why waste time on the arts? Can we even make money from it? At one point, I finally recognized another meaning of the arts. It started with reading literary works, and seeing paintings and murals. These experiences brought me to artists that I often encountered later on. Among other valuable moments was when I first met and shared experience with senior curator Charles Esche and fellow young curators at theJakarta Biennale 2015. In this project, I came to realize that art is not merely about beauty. It involves deep thought processes; contemplation that produces new meaning of the objects that appear in our reality, whose newness is further away or even against cultural definitions that are sometimes devoid of meaning; and narrations recorded from the surrounding events or even something that has not been disclosed from within the individual. Several months ago, I saw a drawing of military boots with the top part in the form of the muzzle of a firearm, by Idrus bin Harun. The caption was ‘Illegal fee instrument’ (Perkakas Pungli). For me, the artwork is not just a sight for sore eyes and aesthetic, but it brought back the memory about illegal fees (pungli) nearly every time I went to and came home from school 13 years ago. Military men, the state apparatus, were taking illegal fees from people. The drawing


CURATORS LAB

Beberapa bulan yang lalu saya melihat sebuah gambar sepatu tentara yang pangkalnya berbentuk moncong senjata karya Idrus bin Harun. Di bawah gambar itu terdapat tulisan “Perkakas Pungli�. Bagi saya, karya itu tidak hanya sekadar hiburan mata yang didapat sepintas lalu. Gambar itu tidak hanya sekadar estetika tetapi memantik kembali memori saya yang hampir padam tentang pungutan liar yang saya lihat hampir setiap kali saya berangkat atau pulang sekolah tiga belas tahun yang lalu. Waktu itu, pungutan liar tersebut dilakukan oleh aparat militer yang notabene adalah aparat Negara. Melalui gambar itu, hari ini saya dapat melihat kembali apa yang terjadi pada masa lampau dengan cara pandang yang lebih luas. Ada cerita di sana. Ada pola hubungan antara yang kuat dan yang lemah, antara penindas dan yang ditindas. Ada ironi. Seni bisa memainkan peran sebagai lorong untuk melihat apa yang terjadi pada masa lampau, untuk menyelam ke dalam sejarah. Bertemu dan berdiskusi dengan kurator senior, kurator muda, seniman, peneliti, dan para ahli telah mengantarkan saya pada sebuah kesadaran baru. Kesadaran tentang betapa seni itu tidak hanya sekadar apa yang terlihat seolah sebagai mainan. Seni bahkan bisa melampaui teks-teks sejarah maupun jurnal ilmiah. Seni tak hanya bisa berdialektika dalam kerangka pikiran logis tetapi juga mampu menembus emosi, salah satu daya hidup terbesar yang menggerakkan kita.

28

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

transported me back to that time with widened perspective. There is a story in there; a relationship pattern between David and Goliath, between the oppressor and the oppressed. There is an irony. Art can play a role as a time tunnel, to dive into history. Getting to meet and discuss with senior and young curators, artists, researchers and experts brought me to a new realm of awareness. It is the understanding that art is not like what it seems, a mere toy. Art can go beyond historical texts or scientific journals. Not only can it be dialectical within a logical framework of the mind, it can also penetrate emotions, one of the biggest life powers that move us.


JAKARTA BIENNALE 2015

29


Curators Lab Banda Aceh

CURATORS LAB

Suasana diskusi P3KI.

30

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


Kunjungan tim kurator Jakarta Biennale 2015 ke Banda Aceh dilakukan pada 21-25 Juni 2015. Dalam kesempatan tersebut, Asep Topan dan Putra Hidayatullah mengunjungi Pusat Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Islam (P3KI) di Darussalam, Banda Aceh. Di sana, mereka berdiskusi tentang sejarah konflik, juga persoalan sosial dan agama, dengan akademisi senior Yusny Sabi yang mengelola lembaga itu. Selanjutnya, Asep dan Putra mengunjungi Museum HAM Aceh yang dikelola Komunitas Tikar Pandan. Di dalamnya terdapat banyak koran, majalah, dan buku sejarah langka mengenai kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah Indonesia. Setelah itu, Asep Topan dan Putra Hidayatullah berdiskusi dengan semua seniman peserta pameran Jakarta Biennale yang berasal dari Aceh, mengenai cikal-bakal karya mereka nanti di ajang pameran. Mereka adalah Fuady Keulayu, Idrus bin Harun, Cut Putri Ayasofia, dan Iswadi Basri. Selain itu, mereka, sebagai tim kurator Jakarta Biennale 2015, diundang dalam sebuah diskusi publik berjudul “Rupa Membongkar Kepurapuraan” yang diselenggarakan oleh Komunitas Kanot Bu pada 24 Juni, sebagai bagian dari diskusi bulanan bernama Teras Sore. Pada diskusi ini, Asep dan Putra membicarakan kapasitas seni dalam membahasakan realitas. Acara ini dihadiri oleh beberapa anggota komunitas seni di Aceh seperti komunitas Komik Panyoet, Tikar Pandan, Akar Imaji, dan Apotik Wareuna. Hadir pula jurnalis, sineas, musisi, serta sejumlah pekerja lembaga swadaya masyarakat dalam acara ini. Berdasarkan catatan Asep Topan dan Putra Hidayatullah

JAKARTA BIENNALE The Jakarta Biennale 20152015 curators 31 team went to Banda Aceh on 21-25 June 2015, during which curators Asep Topan and Putra Hidayatullah visited the Center of Islamic Cultural Research and Studies (P3KI) in Darussalam. They had a discussion there about the history of conflict and social and religion issues with senior scholar Yusny Sabi who runs the institution.

Both curators then dropped by the Aceh Human Rights Museum that is organized by the Tikar Pandan Community. The museum holds plenty of newspapers, magazines and rare history books on human rights abuses and violations occurred during the period of armed conflict between the Free Aceh Movement and the government of Indonesia. Afterward, Asep and Putra met and discussed with Acehnese artists participating in the Jakarta Biennale exhibition about the conception of their works. The artists are Fuady Keulayu, Idrus bin Harun, Cut Putri Ayasofia and Iswadi Basri. The curators were also invited to a public discussion titled ‘How Art Dismantles Pretense’ organized by the Kanot Bu Community on June 24, as part of a monthly discussion called Afternoon Terrace. Asep and Putra talked about the capacity of the arts in articulating reality. Also in attendance were members of the arts community in Aceh, such as Komik Panyoet, Tikar Pandan, Akar Imaji and Apotek Wareuna, as well as journalists, filmmakers, musicians and a number of NGO workers.

Based on Asep Topan and Putra Hidayatullah’s notes


CURATORS LAB

32

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

33


CURATORS LAB

Tumbuh di Barisan Belakang

Growing in the Back Row

ANWAR ‘JIMPE’ RACHMAN

Dalam satu kesempatan pada pertengahan dasawarsa 1990an, saya masuk ke sebuah pameran seni lukis di Makassar. Sambil melihat-lihat, muncul satu pertanyaan di kepala saya ketika itu, “Mungkinkah ada jalan masuk ke dunia seni rupa tanpa harus punya keterampilan menggambar, melukis, atau semacam itu?” Pertanyaan itu tertimbun dalam benak saya selama sekitar dua dekade, dan baru muncul lagi pada September 2015, setelah dipicu satu pertanyaan lain dalam suatu sesi wawancara dengan sebuah media. Tanya-jawab itu sehubungan dengan tugas saya sebagai salah seorang dari enam kurator yang bekerja untuk Jakarta Biennale (JB) 2015.

34

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

In the mid 1990s, I went to a painting exhibition in Makassar, which prompted a question in my head: “Can we access the world of art without having the skill to draw, paint, and such?” The question was pushed to the backburner for about two decades, and only reappeared in September 2015, after another question popped up in a media interview, which was part of my duty as one of the six curators working for theJakarta Biennale (JB) 2015.


JAKARTA BIENNALE 2015

Kuratorial JB 2015 menerapkan sistem yang berbeda dibanding yang sebelumnya. Selain saya dari Makassar, manajemen JB 2015 mengundang kurator dari tiga kota lainnya: Asep Topan (Jakarta), Benny Wicaksono (Surabaya), Irma Chantily (Jakarta), Putra Hidayatullah (Banda Aceh), dan Riksa Afiaty (Jakarta, Bandung). Kami, tim yang kemudian disebut “kurator muda”, sejak Januari 2015 bekerja sambil belajar dalam program Curators Lab yang digawangi oleh Charles Esche, kurator Van Abbemuseum di Eindhoven, Belanda. Menurut proyeksi manajemen JB, cara ini bakal memudahkan transfer pengetahuan karena Charles, sebagai kurator, telah memiliki pengalaman terjun di sejumlah bienial yang berwibawa seperti São Paolo Biennale dan Istanbul Biennale. Pada praktiknya, memang Curators Lab menjadi model belajar yang langsung menceburkan kami sebagai kurator muda ke dalam lautan manajemen sebuah bienial. Kata “muda” sebenarnya menjelaskan tentang betapa hijaunya kami dalam menyusuri rimba seni rupa Indonesia. Tapi sebagian orang—terutama teman-teman saya—menanggapinya dari segi “usia”. Sehingga, sudah jelas, kata itu kemudian menjadi “word of the year” bagi manusia yang sudah empat kali ganti KTP seperti saya. Sepanjang proses kerja kami hingga menjelang pembukaan JB 2015, saya menggarisbawahi beberapa hal penting sehubungan dengan pengalaman saya dalam Curators Lab. Pertama, seni tidak bisa berdiri sendirian— sebagaimana kata Charles, “Hanya seni tidaklah cukup.” Saya kian yakin bahwa dibutuhkan perspektif dari banyak disiplin pengetahuan lainnya dalam menanggapi atau memecahkan persoalanpersoalan manusia lewat dunia seni rupa. Latar para anggota tim kurator sendiri sudah cukup mencerminkan keberagaman tersebut. Dari kami, hanya Benny yang seniman. Saya lebih banyak bekerja di dunia literatur, Asep sedang menempuh pascasarjana kekuratoran, Irma bekerja di sebuah lembaga budaya asing, Riksa menangani manajemen laboratorium seni bernama ArtLab di ruangrupa, Putra tipikal “anak sekolahan” yang pendiam dan rajin—ia baru mendapat beasiswa pascasarjana ke luar negeri—dan Charles, dari yang

35

The JB 2015 curatorial team implements a different system from previous editions of the biennale. Apart from myself, the JB 2015 management invited curators from three other cities: Asep Topan (Jakarta), Benny Wicaksono (Surabaya), Irma Chantily (Jakarta), Putra Hidayatullah (Banda Aceh) and Riksa Afiaty (Jakarta, Bandung). We, the team is called ‘the young curators’, have been working since January 2015 while learning a thing or two in the Curators Lab program led by Charles Esche, the curator of the Van Abbemuseum in Eindhoven, the Netherlands. Based on the JB management’s projection, the system would ease the transfer of knowledge because Charles has the experience of working in respected biennales, such as the São Paolo Biennale and the Istanbul Biennale. In practice, the Curators Lab is a learning method that pushes us young curators to jump into the ocean of managing a biennale. The adjective ‘young’ serves as an indication of how green we are in the process of walking through the thick forest of Indonesian art. But some people, particularly my friends, see it as an issue of age. And thus, ‘young’ became the ‘word of the year’ for me who have renewed my ID card for four times. Throughout our working process toward the opening of the JB 2015, I underline several important points related to my experience in the Curators Lab. First, art cannot stand on its own, as pointed out by Charles, how “Art alone is not enough.” I have become more convinced that we need more perspectives from many other disciplines to respond to or to solve human problems through the world of art. The background of the curators’ team is quite diverse. Of the team members, only Benny is an artist. I work mostly in the field of literature, Asep is a post-graduate student on curatorship, Irma works at a foreign cultural center, Riksa manages an art laboratory called ArtLab at ruangrupa, Putra is a typical quiet and diligent ‘student’ – he just received a post-graduate scholarship from another country – and Charles, from what I heard, studied political science. Second, the management system. I became a member of a working group that consists of so many people who prepare an international-scale event that involves about 70 artists from inside and


CURATORS LAB

saya dengar, malah berlatar pendidikan politik. Kedua, sistem manajemen. Saya menjadi anggota dari sebuah kelompok kerja berisi sedemikian banyak orang yang mempersiapkan acara berskala internasional yang melibatkan tujuh puluhan seniman dari dalam dan luar negeri—belum lagi pihak-pihak yang menyokong pendanaan acara ini. Estimasi kasar saya, demi JB 2015 yang digelar selama dua bulan, dibutuhkan waktu kuranglebih setahun bagi para kurator untuk belajar “merapatkan shaf” di belakang imam Charles Esche. Tatkala masuk separuh akhir masa persiapan, oleh manajemen, saya diperkenalkan ke beberapa orang yang baru saya kenal tapi sebenarnya sudah lama bekerja untuk Jakarta Biennale 2015, semisal Shera Rindra M. Pringgodigdo di bagian komunikasi, Bagasworo Aryaningtyas alias Komeng yang bertanggungjawab soal lokasi proyek komunitas, dan Adi Setiawan alias Digel yang mengurus lokasi mural. Saya juga berkorespondensi dengan dua atau tiga orang lain yang rupanya merupakan awak redaksi situs jakartabiennale.net. Memang, awalnya saya punya secuil gambaran tentang kerja kuratorial berdasarkan sekurangkurangnya dua hal: (1) pengalaman singkat yang berkaitan dengan inisiatif penulisan dan beberapa peristiwa seni rupa mutakhir Makassar bersama kawan-kawan di sana dalam satu dekade terakhir; (2) perkiraan pola dan model kerja berdasarkan gambaran yang saya peroleh dari lokakarya kuratorial di ruangrupa, Jakarta, pada 2009 silam. Namun, Jakarta Biennale 2015 yang berskala kolosal mengharuskan saya berkonsentrasi penuh serta menghemat tenaga agar daya tahan tetap tinggi dan daya jelajah tetap luas. Mungkin yang

36

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

outside the country, not to mention the sponsors funding this event. Based on my rough estimation, for a two-month event, it requires at least one year for the curators to learn to ‘straighten the rows’ behind the leader Charles Esche. Halfway through the end of the preparation, I was introduced by the management to several other people who have actually worked for a long time for the Jakarta Biennale 2015. They include Shera Rindra M. Pringgodigdo from the communication department, Bagasworo Aryaningtyas or Komeng who is responsible for community project locations, and Adi Setiawan a.k.a. Digel who takes care of the locations of murals. I also correspond with two or three other people in charge with the editorial of the website www.jakartabiennale.net. At first, I only had a little grasp of what curatorial work entails, based on two things: (1) a short stint related to writing initiatives and several art events in Makassar with my friends in the past decade; (2) working pattern and model estimation based on the curatorial workshop at ruangrupa, Jakarta, in 2009. The magnitude of the Jakarta Biennale 2015, however, forced me to fully concentrate and reserve my energy to maintain my endurance and exploration power. The closest thing to it that I have ever experienced is probably curating and editing manuscripts for the Ininnawa Community and Tanahindie publishers in the past ten years. Third, I have the opportunity to compare the dynamics of the art scene in Makassar with those in Banda Aceh, Jakarta and Surabaya. The comparison is based on the practitioners’ network, discourse dynamics, and the growth of the art scene enabled


JAKARTA BIENNALE 2015

paling mirip dengan tugas semacam ini adalah pekerjaan memilah dan menyunting naskah yang sudah sepuluh tahunan saya lakoni di lini penerbitan Komunitas Ininnawa dan Tanahindie. Ketiga, saya jadi memiliki peluang mempersandingkan dinamika seni rupa di Makassar dengan di Banda Aceh, Jakarta, dan Surabaya. Dari sini, saya melihat bahwa perbandingan itu bisa dilakukan pada jaringan antarpelaku, dinamika wacana, dan geliat seni rupa yang dimungkinkan oleh ruang publikasi serta dukungan dari pihak lain. Jelasnya, tampak bahwa Curators Lab membuka peluang saling belajar antarkota (asal kurator) perihal melihat dan merespons persoalan-persoalan di masing-masing kota. Satu hal yang tak kalah penting juga bagi saya adalah soal keempat: merayakan kemenangankemenangan kecil warga. Mereka sejak lama dikalahkan melalui struktur politik dan sosial. Hanya seni dan sastra yang memberi peluang sangat besar untuk menyuarakan harapan mereka, dalam usaha mereka merebut kedaulatan hidup. Seni dan sastra bisa menjadi tenaga yang mendaur daya warga dalam setiap upaya keras mereka menjaga kehidupan lingkungan dan manusia yang ada di dalamnya. Kami dapat merasakan hal di atas saat mendampingi Charles bertemu dengan segelintir warga dan segala ragam siasat mereka untuk menghadapi kenyataan hidup, tepatnya warga Kampung Pisang yang tinggal di permukiman padat di Kelurahan Maccini Sombala, Kecamatan Tamalate, Makassar bagian selatan. Kampung itu rentan akan penggusuran dari tahun ke tahun dan nasibnya bergantung pada dialog antara pemerintah kota dan warga. Wilayahnya, yang terbentuk dari buangan tanah urukan pembuatan danau di wilayah GMTDC (Gowa Makassar Tourism Development Corporation), kini makin menyempit. Warga lantas berbagi dan menata ulang permukiman, termasuk bersiasat membangun rumah dengan bahan baku campuran—baik baru maupun bekas. Bagi saya, kreativitas seperti itu patut dirayakan sebagai kemenangan kecil di tengah-tengah keterbatasan. Bagaimanapun, percayalah, dari penjelasan yang saya tulis sampai di sini, mohon jangan membayangkan bahwa saya dan teman-teman kurator menjalani kewajiban yang kaku dan

37

by publication space and support from other parties. Clearly, Curators Lab provides the opportunity for the curators to learn from each other’s city in order to observe and respond to the issues in their own place. Last but not least, fourth: celebrating locals’ small victories. People have been defeated by the political and social structures for so long. Only art and literature give a huge opportunity to voice their hopes, in their attempts for sovereignty. Art and literature can become the energy to boost people’s power to maintain the environment and the humans in it. We recognize this situation when accompanying Charles to meet a number of locals and find out their strategies to face the reality of life. They are the residents of densely populated Kampung Pisang in Maccini Sombala, Tamalate district, southern Makassar. The kampong is prone to eviction from time to time and its fate depends on the dialog between the city administration and the residents. The area, which is formed from the mound dumped from a lake construction in GMTDC (Gowa-Makassar Tourism Development Corporation), is getting narrower. People share and rearrange the settlement, including by building houses with a combination of new and used materials. For me, such creativity needs to be celebrated as a small victory amid the limitations. Nevertheless, as you read my explanation so far, don’t imagine that my fellow curators and I carried out rigid and lengthy assignments, or stuck in a confined space while exchanging ideas. We actually laughed a lot. Learning with Charles is so much fun for me because he has a gesture of an ‘old friend’. (Or maybe since we know next to nothing, it was easier for Charles to direct us?) Charles really taught us to open up to so many possibilities, perspectives and opportunities. In a conversation with Charles and Irma, on the way back from Kampung Pisang, I asked him, “Why did you look so relaxed (with us and the others)?” to which he replied, “Why not?” and laughed. It showed just how rich the life experience of the Scottish man is. Once our task is completed in the first quarter of 2016, it would be time for each of us to go back to our habitat. I believe the way that Charles has shown us, ‘the fledglings’, is the horizon to pursue.


CURATORS LAB

suntuk, atau berkutat dengan pertukaran gagasan di dalam ruangan melulu. Justru saya mampu menggambarkannya dengan terang lantaran kami melewatinya dengan banyak tertawa. Belajar bersama Charles mengasyikkan karena—bagi saya—bahasa tubuhnya lebih terasa seperti bahasa tubuh “teman lama”. (Atau karena kami tidak tahu apa-apa, Charles pun menjadi lebih mudah mengarahkan kami?) Charles telah benar-benar mengajari bagaimana cara membuka diri terhadap banyak kemungkinan perspektif dan peluang bekerja. Dalam suatu percakapan kami bertiga, saya, Irma, dan Charles, dalam perjalanan pulang dari Kampung Pisang, saya sampai bertanya “Mengapa kamu kelihatan begitu santai (selama bersama kami dan ketika bertemu dengan yang lainnya)?” Ia hanya menjawab singkat “Why not?” lalu tertawa. Jawaban itu saya kira mencerminkan betapa kayanya pengalaman hidup lelaki kelahiran Skotlandia ini. Begitu tugas terkait JB 2015 selesai pada triwulan pertama 2016, tentu waktunya pula bagi kami untuk kembali ke habitat kami masing-masing. Saya percaya, apa yang ditunjukkan Charles melalui caranya bekerja kepada kami yang “lucu-lucu” ini bagaikan garis horizon yang harus dikejar. Setidaknya, kami dan Charles adalah pemandangan yang serasi. Serupa beberapa pohon yang tumbuh berderet. Mungkin kami barulah pohon tanpa buah yang berdaun rimbun semata. Sementara Charles adalah pohon berdedaunan hijau yang penuh kilauan buah yang kuning meranum di ujung tangkai. Begitu JB 2015 usai, buah-buah tersebut akan menjatuhkan diri ke tanah. Lalu tiba giliran kami belajar untuk menjulurkan akar sendiri ke segala penjuru, agar pohon kami dapat berbuah ranum di tengah iklim yang keras. Dengan begitu, apa yang saya dan temanteman di Makassar lakukan selama ini (semoga sampai di kemudian hari) membuat kami lebih baik dalam mengelola hal-hal yang kami hadapi kelak.

38

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

At least Charles and us were a sight to behold, like a row of neatly arranged trees. Maybe we are the shady trees that have yet to bear fruits, while Charles is a lush green tree with dangling, ripe produce. Once the JB 2015 is over, the fruits would fall on the ground. It would be our turn to learn to expand our roots into various directions, to enable our trees to produce fruits amid such harsh climate. Therefore, whatever my friends and I in Makassar do so far (and hopefully in the years to come), it will make us grow to be better in managing what we will face later on.


JAKARTA BIENNALE 2015

39


Curators Lab Makassar

CURATORS LAB

40

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


Dalam perjalanannya untuk hadir dalam seminar “Art, Society, and the World Now”, 5 Juni 2015, di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, Charles Esche sempat mampir ke sejumlah lokasi. Beberapa jam sebelum seminar dimulai, saya dan Irma Chantily mengantar Charles ke Kampung Pisang, Kelurahan Maccini Sombala, Kecamatan Tamalate, permukiman di Makassar bagian selatan. Perkampungan ini mulai dihuni awal 2000 ketika tanah urukan pembuatan danau di wilayah GMTDC (Gowa-Makassar Tourism Development Corporation) dibuang ke situ.

Arkom Makassar, komunitas arsitek muda yang mendampingi warga Kampung Pisang, memperkirakan ada seratusan rumah di kampung itu. “Di Makassar,” tambah M. Cora, Koordinator Arkom Makassar, “ada dua ratusan kampung sejenis ini.” Beberapa tahun terakhir, warga Kampung Pisang selalu nyaris digusur. Dialog antara Pemkot dan warga kemudian menunda rencana itu. Warga lantas berbagi ruang hidup dan menata ulang permukiman, termasuk bersiasat membangun rumah dengan mencampur bahan bekas dan baru. Keesokan harinya, ditemani pegiat Tanahindie, komunitas peneliti kebudayaan kota, kami berangkat ke Kampung Berua, Rammang-Rammang, Maros, sekitar 40 kilometer di utara Makassar. Mudah menandai daerah ini lantaran barisan gunung karst mendominasi. Pada 2014, kawasan ini menggemparkan dunia tatkala ditemukan karya seni tertua di dunia dalam salah satu gua pegunungan batu gampingnya, hasil penelitian Pusat Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Makassar, Balai Peninggalan Cagar Budaya Makassar, University of Wollongong, dan Universitas Griffith dari 2011 sampai 2013. Sayangnya, Charles dan rombongan tak diizinkan masuk ke dalam gua tersebut. Demi melindunginya dari polusi, izin masuk gua diperketat. Kami hanya bisa ke Gua Leang-Leang, tiga kilometer dari Rammang-Rammang. Di sini, kami saksikan gambar tangan dan sketsa babirusa berusia 5.000 tahun SM. Inilah gambar yang kerap menghiasi pelajaran buku sejarah Indonesia di sekolah-sekolah. Benda cagar budaya semacam itu bisa punah karena polusi. Kecemasan patut dipancangkan lantaran tak jauh dari gua tersebut terdapat pabrik semen. Usai mengunjungi Gua Leang-Leang, rombongan kembali ke Makassar. Charles pun bertemu QuiQui, komunitas perajut yang diundang sebagai seniman di Jakarta Biennale 2015. —Anwar ‘Jimpe’ Rachman

BIENNALE the 2015 41 On his wayJAKARTA to attend seminar “Art, Society, and the World Now” at the University of Hasanuddin’s Faculty of Cultural Studies in Makassar, June 5, 2015, Charles Esche dropped by at some places.

A few hours before the seminar began, Irma Chantily and I brought Charles to Kampung Pisang, Maccini Sombala Subdistrict in Tamalate, a settlement area in southern Makassar. It was not inhabited until early 2000, when the mound from a lake construction in GMTDC (Gowa-Makassar Tourism Development Corporation) area was dumped there. Arkom Makassar, a community of young architects facilitating Kampung Pisang residents, estimated that there are about 100 houses in the area. “In Makassar, there are about 200 of such kampungs,” M. Cora, Arkom Makassar Coordinator, said. In the last few years, Kampung Pisang residents have always been nearly evicted. But the dialog between the local administration and the residents has delayed the plan. People then shared the living space and rearranged the area, including by building houses made of a combination of new and used materials. The next day, with members of the Tanahindie community of urban culture researchers, we went to Kampung Berua, Rammang-Rammang, in Maros, some 40 kilometers north of Makassar. It was easy to mark the kampung due to the line of karst mountain. This area made global headlines in 2014 when scientists discovered what could be the world’s oldest figurative art inside one of the limestone caves. The discovery was based on research by the National Archeology Center, Makassar Archeology Center, Makassar Cultural Heritage Center and Australia’s University of Wollongong and University of Griffith in 2011-2013. Unfortunately, we weren’t allowed to enter the cave. The number of visitors has been strictly limited to protect the site from pollution. We could only go to Leang-Leang Cave, about three kilometers away, where we saw paintings of human hands and babirusa (Babyrousa celebensis) dated back to 5,000 BC. These paintings often appear in Indonesian history schools books. Such cultural heritage could become extinct because of pollution, which has raised more concerns with the existence of a cement factory nearby the cave. After touring the cave, we all went back to Makassar. Charles then met QuiQui, the knitting community invited to participate in the 2015 Jakarta Biennale. — Anwar ‘Jimpe’ Rachman


CURATORS LAB

42

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

43


CURATORS LAB

44

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

45


CURATORS LAB

46

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

47


CURATORS LAB

Bekerja di Sebuah Laboratorium Kuratorial Perjalanan yang Penuh Eksperimen dan Petualangan

Working in a Curatorial Laboratory A Journey Filled with Experiments and Adventures

R IKS A AF IAT Y

Sore itu, pada Februari 2015, saya diminta Ade Darmawan, Ketua Yayasan Jakarta Biennale, untuk menjemput Charles Esche di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Charles Esche adalah seorang pendiri Afterall, jurnal seni rupa yang sering menjadi referensi saya. Jadi hari itu rasanya ibarat berjumpa idola—sebelumnya saya hanya mengenalnya lewat tulisan.

48

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

That afternoon in February 2015, Ade Darmawan, chairman of the Jakarta Biennale Foundation, asked me to pick up Charles Esche at the Soekarno-Hatta International Airport in Cengkareng. Esche is a co-founder of Afterall, an art journal that frequently became my source of reference. So that day felt like I was meeting my idol, whom I had previously known only from his writings.


JAKARTA BIENNALE 2015

Beberapa hari setelah itu, kami sempat makan malam bersama sehabis menonton peluncuran RURUradio di Kemang, Jakarta Selatan. Di sana, dengan santai Charles bertanya apakah saya bersedia untuk menjadi bagian dari tim kuratorial Jakarta Biennale 2015. Saya pikir saya salah dengar, dalam hati saya bertanya-tanya, apakah mungkin maksudnya mengajak saya untuk berkontribusi dalam tim artistik seperti pada bienial sebelumnya? Namun, rupanya tidak. Setelah memastikan ajakan tersebut, tanpa pikir panjang (dan, tentu saja, untuk apa saya berpikir panjang?) saya langsung mengiyakannya untuk bergabung bersama tim kurator muda Jakarta Biennale 2015. Di tengah banyaknya kurator muda di Indonesia, menjadi salah satu dari enam kurator muda dalam Curators Lab Jakarta Biennale 2015 adalah hal yang tidak pernah terduga. Dalam Jakarta Biennale 2013, saya tergabung sebagai salah seorang anggota tim artistik, dan pengalaman ini kurang-lebih memberikan saya banyak gambaran mengenai bagaimana menjadi kurator, atau setidaknya bagaimana mengurus sebuah pameran berskala besar. Tugas saya waktu itu mengerjakan hal-hal yang sifatnya teknis di arena pameran, tepatnya mengurusi display dan perawatan saat pameran berlangsung. Kini, dalam Curators Lab, yang saya kerjakan sekaligus pelajari adalah proses negosiasi dan penggodokan konsep menjadi sebuah presentasi. Dulu, jika saya harus membuat deskripsi pekerjaan seorang kurator, mungkin jawaban termudah adalah membuat pameran, menulis, dan mengundang seniman. Kenyataannya, ketiga elemen tersebut bisa berkembang menjadi sangat detail dan spesifik. Saya masih ingat bagaimana proses saya hingga menjadi kurator ditempa lewat lokakarya penulisan, forum, proyek, dan penyelenggaraan festival. Tanpa mengenyam pendidikan seni, dengan bagasi yang ala kadarnya tentang apa itu seni dan bagaimana cara mewujudkan pameran beserta wacana yang akan diangkat, saya percaya bahwa “kenekatan” adalah kata yang mewakili, untuk terus menempa diri dan menimba pengalaman di ranah seni rupa. Hari-hari kami sebagai tim kuratorial kemudian disibukkan dengan diskusi dan perumusan gagasan kuratorial. Kami juga mulai mengendus siapa saja seniman yang sekiranya bisa bekerjasama dan

49

A few days afterwards, we had dinner after the launch of RURUradio in Kemang, South Jakarta. Charles casually asked me if I would mind joining the curatorial team of the Jakarta Biennale 2015. I thought I misheard him, thinking that maybe he wanted me to be involved with the artistic team like during the previous biennale. But as it turned out, he didn’t. After making sure that I didn’t misunderstand him, it didn’t take long for me (who am I anyway to take time to consider the offer?) to accept the invitation to join the young curators team for the Jakarta Biennale 2015. There are plenty of young curators in Indonesia, so being one of the six members of the Jakarta Biennale 2015’s Curators Lab was not something I expected. I was among the artistic team during Jakarta Biennale 2013, and the experience more or less provided me with glimpses of how to become a curator, or at least how to take care of a big-scale exhibition. My duty had included technical matters at the exhibition arena, as in taking care of the display and treatment during the exhibition. Now, with the Curators Lab, I did and learned the negotiation processes and how to formulate a concept into a presentation. Before that, if I had to describe the job of a curator, the easiest answer would be creating an exhibition, writing, and inviting artists. In reality, the three elements could develop into detailed and specific components. I still remember how a writing workshop, a forum, a project and running a festival have forged me into a curator. Without any background in art education, with just enough knowledge about what art is and how to create an exhibition and the discourse to be picked, I believe the accurate word to describe my decision to join the Jakarta Biennale is recklessness. The recklessness to improve myself and to gain as many experiences as I could in the field of art. Our days as a curatorial team were filled with discussions and formulating ideas. We mapped which artist to work with, who could respond to the Jakarta Biennale’s ideas. I met some of my fellow young curators for the first time at the Lab, although I had heard about their works and achievements. Irma Chantily is a woman with concern and care about gender equality and who works in the


CURATORS LAB

merespons ide Jakarta Biennale. Teman-teman kurator muda itu sendiri sebagian baru saya jumpai pertama kali dalam Curators Lab, walaupun sepak terjang dan prestasinya sudah saya dengar sebelum itu. Irma Chantily adalah seorang perempuan dengan kepedulian dan kesadaran akan kesetaraan gender yang menggeluti dunia fotografi; kali terakhir saya melihatnya adalah saat ia bekerja sebagai kurator festival ‘OK. Video Flesh’ pada 2011. Asep Topan adalah seorang teman yang kini dengan segala kebolehannya bisa membuat saya iri sekaligus bangga; ia mungkin sedang menikmati musim semi di de Appel, lembaga seni rupa kontemporer di Belanda, tempat ia akan belajar banyak tentang kuratorial selama dua tahun ke depan. Dengan dirinyalah saya banyak belajar seni rupa dan berdiskusi—maklum, kami sama-sama besar di ruangrupa, Jakarta. Anwar ‘Jimpe’ Rahman dan Putra Hidayatullah adalah teman-teman dari jejaring Gerobak Bioskop, sebuah program pemutaran yang saya kerjakan di ruangrupa. Bersama mereka, saya selalu menggodok program dan lokakarya tentang peran gambar bergerak dalam rangka menyediakan pengetahuan alternatif bagi masyarakat. Jimpe juga merupakan pegiat komunitas Tanah Indie di Makassar, sedangkan Putra seorang pria keturunan Aceh yang bergabung dengan komunitas Tikar Pandan. Yang terakhir dari tim kurator muda adalah seorang seniman multimedia yang agak nyentrik dengan “kemampuan puitisnya”, Benny Wicaksono, yang juga bekerja di Dewan Kesenian Jawa Timur. Kami semua datang dengan berbagai macam latar belakang dan pemikiran yang justru saling mengisi kekosongan dalam pengetahuan yang kami miliki sebelumnya. Belakangan, seiring dengan laju perdebatan, dan berkat latar belakang kami yang kebanyakan bukan dari seni (sebenarnya ini yang paling menarik!), kami pun memahami potensi dan posisi seniman serta kurator sebagai produsen wacana di ranah seni rupa dan sosial. Salah satu temuan awal yang paling saya ingat adalah bahwa seniman dan kurator terlibat dalam sebuah konstelasi yang mewadahi konten pameran, artikulasi politik yang sedang berlangsung, dan relasi seniman serta kurator dalam upaya bersama untuk mewujudkan ide-ide menjadi presentasi rupa. Dengan demikian, saya belajar untuk beradaptasi demi memahami cita-cita artistik seniman yang (harus) sejalan dengan konstruksi ide yang diangkat. Kami

50

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

photography scene; the last time I had seen her was when she curated the festival OK. Video Flesh in 2011. Asep Topan is a friend whose talents make me both envious and proud. He is probably enjoying spring right now at de Appel, a contemporary art institute in the Netherlands, where he will get to learn a lot more about curatorship in the next two years. He is my art teacher and discussion partner as we both grew together at ruangrupa, Jakarta. Anwar ‘Jimpe’ Rahman and Putra Hidayatullah are friends from the network Gerobak Bioskop (Bioscoop Cart), a film-screening program that I ran at ruangrupa. I worked with them to create programs and workshops about the role of moving pictures in providing alternative knowledge for people. Jimpe is also active in the Tanah Indie (Indie Land) community in Makassar, while Putra, who is of Aceh descent, is involved with the Tikar Pandan (Pandanus Mat) community. Last but not least in the young curator team is an eccentric multimedia artist with the ‘poetic prowess’, Benny Wicaksono, who also works at the East Java Arts Council. We all come from different backgrounds and disciplines, which fill in the gaps in our knowledge. Later on, as the debates went on, and because most of us do not have an art background (which is actually the most fascinating thing!), we got to understand the potentials and positions of artists, as curators and discourse producers in the arts and social fields. Among the early findings that I remember the most were how artists and curators exist in a constellation that groups exhibition content, ongoing political articulation, and the relations between artists and curators in realizing the ideas into a physical presentation. I had to adapt to understand the artistic goal of the artists that (has to be) in line with the construction of the idea. We engaged in debates about what is art and what is the importance of art for the wider public. The role of the curator as ‘a cultural producer’ makes more and more sense. Our work here is to find the space and relations within art that can involve the public. Not physically involve as in touching or participating in producing artworks, but be encouraged to read and understand the discourse offered by artists. From their part, artists cannot block the possibility of appreciation, but they must make themselves part of society so


JAKARTA BIENNALE 2015

tentu saja banyak terlibat dalam perdebatan tentang apa itu seni dan apa pentingnya seni bagi publik luas. Pikir punya pikir, istilah kurator sebagai “produsen budaya” menjadi masuk akal. Sebab, tugas kami di sini, dengan ragam pengetahuan yang berbedabeda, adalah mencari celah dan relasi dalam seni yang bisa membuat publik pada akhirnya menjadi terlibat. Terlibat, tentu saja, bukan dalam artian secara fisik, dengan menyentuh atau ikut berpartisipasi dalam memproduksi karya, melainkan dengan terdorong untuk membaca dan memahami wacana yang seniman sodorkan. Begitu pula sebaliknya, seniman juga tidak perlu semena-mena menutup kemungkinan apresiasi, justru ia perlu menjadikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat sehingga ketika melempar ide tidak terlalu melambung dan susah untuk ditangkap. Hal ini menjadi penting karena kecenderungan seni yang mudah dijadikan komoditas dapat ditangkal, dengan menjadikan seni lebih berperan intens terhadap manusia di sekitarnya. Dalam hal ini, posisi publik bukan lagi sebagai penonton yang pasif, melainkan turut berperan aktif dalam memproduksi makna. Sebagai kurator, tugas kami berarti menciptakan platform interpretasi, diskusi, dan negosiasi terkait pemahaman seniman dan penonton atas wacana yang sedang diangkat. Selanjutnya, kami menentukan kriteria seniman muda dan seniman mapan, yaitu yang sudah berpengalaman dan memiliki banyak jam terbang pameran. Kriteria seniman muda kami tentukan agar kami bisa mendorong seniman muda berkarier dan memiliki tempat di Jakarta Biennale, yang biasanya hanya mengundang seniman yang sudah punya nama. Pelibatan seniman muda ini mengharuskan kami untuk benar-benar pergi ke lapangan dan melihat banyak karya mereka. Adalah hal yang menyenangkan untuk bisa bekerjasama dengan seniman pendatang baru. Beberapa karya mereka masih terlihat mentah dan coba-coba (kadang mereka sendiri belum bisa mengetahui apa yang mereka kerjakan), dan belum sepenuhnya terbentuk karena mereka masih muda dan sedang berada di tahap eksperimentasi. Toh, justru merekalah yang membawa semangat besar ke dalam ruangan pameran. Kami belajar hal-hal baru dan terkadang merasa sangat tua karena baru pertama kali mendengarkan ide dan isu yang sedang berkembang di kalangan mereka.

51

that their ideas remain grounded and accessible. It becomes more important to avoid art as commodity by increasing its role for the humans around it. In this sense, the public is no longer a passive audience, but is actively involved in creating meaning. As curators, our job is to come up with the platform for interpretation, discussion and negotiation for artists’ and public understanding over the discourse. Next, we determined the criteria of young artists and established artists, or those with experience and high numbers of exhibitions. We wanted to encourage young artists to have a career and a place at the Jakarta Biennale, which usually invited renowned ones. To find these young artists, we went out to the field and see numerous works. It was fun working with newcomers. Some of their works were still raw and experimental (sometimes they don’t know what they are doing), and have yet to find any shape. But they brought huge spirit to the exhibition arena. We learned new things and sometimes we felt old as we listened to the ideas and issues sprouting among them. Being with young artists took a lot of energy, especially when dealing with talented but highly inexperienced ones. We had to make sure that we didn’t come off patronizing and remained in the collaborative corridor. Working with senior artists was not any less a valuable process. It enriched our experience and a part of our learning curve. There is always a risk of failure in producing something. But there is always wisdom and explanation behind it. Problems can arise from tactical things, related to lack of funding or how the artist does not spend enough time to do his or her ‘homework’, namely finding references. It can also derive from technical issues: how to build a sensible work that can be materialized with a feasible formula and model. Finding location or space can also be a problem. Sometimes failure leaves us with a question, did we not spend enough time to assist the artist? Could it be the unequal relationship and understanding and weak resonance between us? The existing variables eventually bring us to a conclusion: it is better to work more closely but with fewer artists in the future. There were times when we felt that the work of an artist would not be strong enough. Initially,


CURATORS LAB

Pengalaman bersama seniman muda memang banyak menyita perhatian, khususnya karena berurusan dengan sejumlah seniman yang kurang berpengalaman namun bertalenta membuat kami salah tingkah; jangan sampai melewati batasan agar tidak meninggalkan kesan menggurui, harus tetap dalam koridor kolaborasi. Proses yang tak kalah berharga tentu saja adalah saat berdiskusi dengan seniman yang lebih senior. Dengan mengundang mereka, kami terpapar pada pengalaman yang lebih kaya, yang menjadi bagian dari proses pembelajaran kami. Produksi kekaryaan tentu diiringi oleh risiko kegagalan. Namun, di balik kegagalan selalu ada hikmah positif dan penjelasan. Sumber masalah bisa datang dari hal taktis, berhubungan dengan kekurangan dana atau seniman tidak menghabiskan cukup waktu untuk mengerjakan “pekerjaan rumahnya”, yaitu mencari referensi. Bisa juga masalahnya bersifat teknis: bagaimana membangun sebuah karya agar masuk akal dan bisa dikerjakan serta diwujudkan dengan rumusan dan model yang bisa dihitung atau feasible. Ketidakcocokan dalam pemilihan situs atau ruang juga kadang menjadi masalah. Adakalanya kegagalan menyisakan pertanyaan, apakah kami tidak banyak meluangkan waktu untuk membantu seniman? Mungkinkah hubungan dan pemahaman yang tidak setara serta resonansi yang tidak cukup kuat di antara kami tidak berhasil menciptakan “klik”? Semua variabel yang ada pada akhirnya membuat kami berpikir secara taktis, yakni lebih baik bekerja lebih erat dengan jumlah seniman yang lebih sedikit di masa depan. Ada kalanya kami menghadapi situasi di mana kami memiliki perasaan bahwa karya seorang seniman tidak akan kuat. Awalnya mungkin kami sangat yakin bahwa karya tersebut bisa membuat dampak yang signifikan, tetapi perkembangannya mengatakan yang sebaliknya. Proses kerja dan diskusi yang sangat memakan waktu kemudian membawa kami pada sebuah keputusan akhir. Saat karya itu tiba di suatu titik tanpa bisa kembali, kami harus bisa merelakannya dengan penuh kesadaran bahwa memang karya tersebut benar-benar tidak bekerja. Sesungguhnya adalah pilihan yang mengerikan untuk menghentikan produksi sebuah karya dan mengakhiri diskusi bersama seniman. Namun, itu semua kami lakukan supaya tidak merugikan seniman dan pihak manajemen yang telah sama-sama bekerja keras guna mewujudkan

52

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

we were convinced that the work would have significant impact, but the reality showed otherwise. Time-consuming work and discussion led us to a final decision. When the artwork came to the point of no return, we have to let go off the fact that it was really not working. It was a horrifying choice to stop the production of an artwork and to halt the discussion with an artist. But we had to do it for the sake of the artist and the management who had worked really hard to create an event with all their might, including by finding finances and negotiating with numerous parties amid complicated red tape. I believe the cancellation process is not a responsibility of an individual, but a collective one. It is a matter of how we position ourselves and hold on to the principles to work better. There are several artists whose works we really admire because of their simplicity. At the end of the day an artwork cannot be determined by the complexity and intricacy of the installation technique, which creates a cutting-edge look, or making it look like it has a wide reach. Art can be ‘perfect’ when the artist works with the awareness over the medium and the content. In practice, we did not work in such a specific way or a process to create certain end results. Our intuitions helped us a lot in intertwining all of the artworks so that they are connected with one another. Sometimes everything went smoothly, before pivoting and returning to the starting point with better ideas, or stuck in the way back that we had to open a new way to see the ideas materialized. During my stint with the Jakarta Biennale, I worked closely with the artists to develop a new project or artwork. It was the process that I enjoyed the most, especially when I had a good team. It was always a delight to provide enough space, time and capital for the artists to create a new work. I liked the experiments that were going on, even though nothing is perfect. Time and logistics often restrained us, but for me, there is nothing more valuable than digging deep into the artistic discourse and model and presenting the findings in the form of exhibition. It is obvious that we learned a great deal from the Curators Lab. Hopefully, we contributed something not only to each other, but to the world of art curatorship in the country.


JAKARTA BIENNALE 2015

sebuah perhelatan dengan segala daya dan upaya, termasuk mencari dana dan bernegosiasi dengan berbagai pihak melalui birokrasi yang sedemikian pelik. Saya percaya, proses pembatalan tersebut bukanlah milik seseorang saja, melainkan milik kami semua bersama-sama. Ini adalah soal bagaimana kami semua sama-sama menempatkan diri dan menekankan prinsip untuk bekerja dengan lebih baik. Ada pula beberapa seniman yang karyanya benar-benar kami sukai karena kesederhanaannya. Melihat sebuah karya pada akhirnya memang tidak ditentukan oleh seberapa pelik dan njelimet-nya masalah teknis pemasangan sehingga karya seolah terlihat cutting edge, atau seolah jangkauan isu yang diangkatnya luas. Seni rupa bisa menjadi “sempurna� saat seniman berkarya dengan kesadaran atas medium yang bertemu dengan kesadaran atas konten. Pada praktiknya, kami tidak bekerja dengan cara yang spesifik atau menjalani proses yang berorientasi pada akhir yang telah ditetapkan. Intuisi banyak membantu kami dalam menjalin semua karya sehingga berelasi antara satu sama lain. Luwes mengalir, semua berjalan berputar, kembali ke awal dengan gagasan yang lebih baik, atau tak menjumpai jalan kembali sehingga harus membuka jalan baru untuk melihat ide yang lebih bisa diwujudkan. Selama bekerja dalam Jakarta Biennale, saya bekerja secara langsung dengan seniman dalam mengembangkan proyek atau karya baru. Ini selalu menjadi proses yang paling saya nikmati, terutama ketika saya memiliki tim yang baik. Selalu menyenangkan untuk bisa memberikan ruang, waktu, serta modal yang cukup kepada seniman untuk mengembangkan karya baru. Saya menyukai eksperimen yang terjadi, walaupun tidak ada yang sempurna. Keterbatasan waktu dan pertimbangan logistik memang kerap menjadi tantangan dan kendala. Namun, bagi saya, tidak ada yang lebih berharga daripada menggali wacana dan model presentasi artistik secara mendalam serta menyajikan temuan penggalian tersebut dalam bentuk pameran. Jelas, kami belajar banyak dari Curators Lab ini. Semoga kami dapat menyumbangkan sesuatu yang tak hanya untuk melengkapi ilmu kami satu sama lain, tapi juga memberi sumbangan bagi ranah kuratorial seni rupa di Indonesia.

53


Curators Lab Yogyakarta CURATORS LAB

54

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Riksa Afiaty dan Charles Esche mengunjungi pasar seni ART|JOG 2015 dan rumah Setu Legi, salah satu seniman Jakarta Biennale 2015; keduanya di Yogyakarta. Sempat pula Charles bertemu Wok The Rock, kurator ‘Biennale Jogja XIII Equator #3’—dan saling berpose dalam sebuah foto.

Riksa Afiaty and Charles Esche visited the ART|JOG 2015, an art market in Yogyakarta; also visited the house of Setu Legi, one of Jakarta Biennale 2015 artist. Charles also met Wok The Rock, the curator of 'Biennale Jogja XIII Equator #3'— and both of them posed for the photograph.


55


CURATORS LAB

Seni dan Kurator

Art and Curator

BENNY W ICAKSO NO

Bagi saya, menjadi kurator adalah pekerjaan yang berbahaya. Maksud saya, bukan berbahaya dalam arti risiko bermain-main dengan senjata atau barang lain yang mudah menyebabkan celaka, melainkan bagaimana bertanggung jawab dengan narasi yang dibangunnya. Seorang kurator harus melakukan pembacaan terhadap seniman sekaligus merepresentasikan situasi terkini dalam bentuk yang khusus, yaitu pameran seni rupa. Ini adalah tanggung jawab yang besar. Maka, menjadi salah seorang dari enam kurator muda yang dipilih untuk menggarap Jakarta Biennale 2015 tidaklah mudah. Perdebatan seru selalu terjadi sepanjang proses kerja, mengingat kami semua berbeda latar dan pengalaman. Latar geografis kami saja berbeda, sebut saja ujung Indonesia yang diwakili Putra Hidayatullah (Banda Aceh), kemudian berurutan Irma Chantily (Jakarta), Asep Topan (Jakarta), Riksa Afiaty (Jakarta, Bandung), Anwar ‘Jimpe’ Rachman (Makassar), dan saya sendiri dari Surabaya.

56

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

For me, curator is a dangerous occupation. It doesn’t have the same risk of playing with weapons or other accidental-prone materials, but it is dangerous in the sense of having the responsibility over the narration it builds. A curator must study artists and represent the latest situations in a specific form, namely art exhibition. This is such a huge responsibility. Being one of the six young curators selected to run Jakarta Biennale 2015 is not an easy task. Heated debate was a routine throughout the working process, as all of us come from different background and experience. We even come from different geographical places: the westernmost part is represented by Putra Hidayatullah from Banda Aceh, Irma Chantily and Asep Topan are from Jakarta, Riksa Afiaty is based in Jakarta and Bandung, while Anwar ‘Jimpe’ Rachman comes from Makassar and I’m from Surabaya, East Java.


JAKARTA BIENNALE 2015

Seperti yang kita ketahui bersama, Jakarta Biennale adalah salah satu acara seni rupa tertua di Indonesia yang masih berlangsung hingga saat ini. Diawali sebagai Pameran Seni Lukis Indonesia pada 1974, yang dilaksanakan di Pusat Kesenian Jakarta - Taman Ismail Marzuki, acara ini sempat diprotes banyak seniman, terutama seniman muda dari Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung—hingga protes tersebut kemudian dikenal sebagai peristiwa “Desember Hitam”. Para seniman muda menolak keputusan yang dinilai sepihak, yang memenangkan beberapa seniman dalam kompetisi yang diadakan oleh panitia. Selanjutnya muncullah Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia, gerakan yang menentang dan menolak tatanan seni rupa yang ada pada waktu itu dan melahirkan apa yang dipercayai sebagai cikalbakal lahirnya karya-karya seni rupa kontemporer— sebelum istilah ini mengemuka seperti sekarang. Dengan demikian, beban sejarah sekaligus beban wacana yang disandang oleh kurator muda Jakarta Biennale 2015 bisa dikatakan berat. Tugas utama memilih seniman yang sanggup merepresentasikan zamannya adalah tantangan tersendiri. Seniman yang dipilih mesti sanggup menunjukkan dirinya dengan kekuatan penuh lewat karya-karyanya sekaligus piawai mengungkapkan gagasan-gagasannya, dan untuk menentukan seniman yang seperti itu diperlukan kejelian, teropong dengan lensa makro, dan argumentasi yang kuat, tentunya. Saya percaya perkembangan seni rupa tidak terletak pada pundak seorang seniman semata, tetapi juga bergantung pada berbagai aktivitas yang ada di sekitarnya. Seniman tidak berdiri sendiri tetapi didukung, bahkan ditentukan, oleh medan sosial yang terdiri atas berbagai komponen yang melakukan transaksi kepentingan. Menurut saya, seniman yang baik adalah mereka yang menggunakan kebebasan, kelenturan, ekspresi, dan otonomi mereka. Dalam berkarya, mereka tidak lagi menekankan atribut fisik atau sesuatu yang materialistik, misalnya sesuatu yang melulu indah seperti hasil keterampilan tangan. Hal-hal yang terakhir ini seringkali menyiratkan posisi suatu karya dalam logika ekonomi semata, yang berlaku dalam hubungan antara seniman dengan galeri, seniman dengan kolektor, atau seniman dengan pemodal.

Jakarta Biennale is one of the oldest art events in Indonesia that still exists until now. It started as the Indonesian Painting Exhibition in 1974 that was held at Jakarta Arts Center in Taman Ismail Marzuki. The event was rejected by many artists, particularly the young ones from Yogyakarta, Jakarta and Bandung, and the protest was later known as “Black December.” These artists objected the naming of several artists as the winners of a competition held by a group of committee, which they said was a one-sided decision. The protest gave birth to the Indonesian New Art Movement, which protested against and rejected the art system at that time, and led to what is believed to be the inception of contemporary art works, before the phrase was even popular. Therefore, young curators of Jakarta Biennale 2015 carry heavy historical and discourse burdens. The main job of choosing artists who can represent their time is a Herculean task. The selected artists must be able to demonstrate themselves in full capacity through their works, and at the same time be eloquent in presenting their ideas. Finding such artists required carefulness, a ‘binocular’ with macro lens and strong arguments. I believe that art development is not just a responsibility of artists, but also depends on the activities around them. Artists cannot stand on their own as they are sustained, or even dictated, by the social fields that consist of various components with diverse interests. I think good artists are those who take advantage of their freedom, agility, expression and autonomy. Their working process no longer emphasizes on physical attribution or materialism, such as beautiful things crafted by hands. These things often imply how artworks are only placed within economic logic, applied in the relationship between artists and galleries, artists and collectors, or artists and investors. All of them then move art further away from metaphysical attributes, like the emphasis of the main object on the expression and immaterial things. Art indeed finds its function and values particularly due to its ability to expose unspoken experiences. Art also opens up creative horizons that continue to create new possibilities in appreciating and perceiving

57


CURATORS LAB

Semua ini kemudian menjauhkan seni dari hal-hal yang sifatnya metafisik, misalnya penekanan objek utama pada ekspresi dan sesuatu yang imaterial. Seni sendiri, menemukan fungsinya dan bernilai, terutama karena kemampuannya mengungkapkan hal-hal yang dialami namun tak terpikirkan. Seni juga membuka cakrawala pemikiran kreatif yang terusmenerus menciptakan kemungkinan baru dalam menghayati dan memandang kenyataan. Indonesia, dengan pengalaman sejarahnya, membutuhkan seni, terutama untuk mengubah sesuatu yang berada di alam bawah sadar publik terkait kekerasan demi kekerasan yang terjadi pada masa lalu. Dengan seni, alam bawah sadar bisa ditransformasikan untuk mewujudkan energi kreatif yang tidak merusak. Sebuah acara sekelas Jakarta Biennale sangat mungkin untuk menjadi simpul penting bagi terwujudnya energi kreatif itu sekaligus menjadi wahana untuk membaca gejala dan praktik seni rupa mutakhir dalam konteks wacana dan kebudayaan yang melingkupinya. Dengan kata lain, peristiwa bienial ini tidak hanya dipahami dan dimaknai dalam ruang lingkup seni rupa saja, tapi lebih luas daripada itu, yaitu lingkup kebudayaan. Pada praktiknya, tak seperti di negara-negara maju dengan infrastruktur dan dinamika ruang sosial serta ruang seni yang sudah mapan, bienial di Indonesia memang tidak sekadar menjadi pameran, tetapi juga ruang negosiasi dan transaksi kebudayaan. Negosiasi dan transaksi di sini bukan hanya soal nilai, gagasan, ekspresi, atau medium, maupun hal-hal yang terkait dengan urusan estetika semata, tetapi, lebih jauh dari itu, juga soal ekonomi dan implikasi sosial lainnya. Dengan demikian, kehadiran seni dapat menjadi cara untuk mentransformasikan dan menarasikan kembali secara simbolis apa yang ada dalam benak masyarakat menjadi bentuk yang bisa diterima masyarakat luas.

58

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

reality. Indonesia, with its historical experience, needs art, especially to change the course of public subconscious related to past violence. With art, the subconscious can be transformed into creative energy that is not destructive. An event with Jakarta Biennale’s caliber can become an important node to manifest the creative energy and a venue to study the latest art symptoms and practices within the contexts of discourse and culture surrounding it. In other words, the biennale cannot only be understood within the scope of arts, but also the cultural one. In practice, unlike in developed countries with their established infrastructure, social space dynamics and art space, a biennale in Indonesia does not only serve as an exhibition, but also a place for negotiation and cultural transaction. The negotiation and transaction go beyond values, concepts, expression, medium, and other things related to aesthetics. They also touch the economy and other social implications. Therefore, art can emerge as a way to transform and symbolically narrate what is inside the public mind into a form that can be accepted by the public itself.


JAKARTA BIENNALE 2015

59


Curators Lab Surabaya

CURATORS LAB

60

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


Sedari awal wacana kuratorial Jakarta Biennale 2015 digulirkan, yang turut meliputi isu sejarah dan gender, isu lingkungan adalah yang paling sering diangkat. Dalam konteks Jakarta, sungai dan segala permasalahan di sekitarnya adalah hal yang menarik untuk dibicarakan—terutama karena masalah hak pemanfaatan air dan kasus penggusuran hunian pinggir sungai yang belakangan ramai di media-media. Perkara-perkara ini tentunya tidak unik di Jakarta saja. Surabaya juga punya masalah serupa. Lewat sungai, kedua kota dipertemukan dalam Jakarta Biennale 2015. Titik temunya adalah Paguyuban Warga Strenkali Surabaya (PWSS). Perkumpulan ini merupakan wadah perjuangan warga hunian pinggir kali, yang dianggap ilegal oleh pemerintah setempat dan terpinggirkan dalam skema pembangunan kota. Hunian mereka sendiri tidak jauh tidak dari PDAM, yang peliknya tidak mengalirkan air ke tanah mereka. Padahal PWSS selama ini aktif mengadakan program untuk membina warga dan menjaga kebersihan sungai di Surabaya. Juni lalu Charles Esche, kurator Jakarta Biennale 2015, mengadakan kunjungan singkat ke Surabaya. Bersama, kami mendatangi lokasi hunian pinggir kali untuk melihat langsung kondisi masyarakat setempat. Kami juga bertemu dengan para pengurus dan anggota PWSS, yang membawa kami survei ke sejumlah titik strategis, tempat program-program warga pinggir kali dilaksanakan. Wawasan yang terkumpul selama kunjungan ini menjadi dasar bagi proyek seni dua kelompok seniman pilihan— Lifepatch dan Bik Van der Pol —Jakarta Biennale 2015 yang akan berkarya di wilayah strenkali. —Benny Wicaksono

JAKARTA BIENNALE 2015 61 From the moment the Jakarta Biennale 2015 curatorial discourse rolled out, the environmental issue emerged most frequently, aside from history and gender. In the context of Jakarta, the rivers and the problems shrouding it is an interesting topic to be discussed, particularly related to the rights of water usage and the eviction of the riverside settlement, which has created headlines.

These issues are not unique to Jakarta, as Surabaya faces the same problems. Through the rivers, the two cities met at the Jakarta Biennale 2015. The meeting point is Surabaya Strenkali Residents Community (PWSS). It is an association that accommodates the struggle of people living on the riverside, who are considered squatters by local administration and are marginalized in an urban development scheme. They live not far from the state tapwater company of PDAM (state water company), which refuses to draw water to the area despite the active work of PWSS in carrying out programs to educate people and keep rivers clean. Last June, the Jakarta Biennale 2015 curator Charles Esche made a brief visit to Surabaya. We came to the riverside settlement to see the condition of the people, and met with the committee and members of PWSS, who took us to a number of strategic points where the programs for locals are conducted. The insights from the visit became the basis of the art project of two artists groups—Lifepatch and Bik Van der Pol—selected by Jakarta Biennale 2015, who did some works at the area.

—Benny Wicaksono


CURATORS LAB

62

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


63


CURATORS LAB

64

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


65


CURATORS CURATORS LAB LAB BANDA ACEH

Memulai Laboratorium Dinamis

Initiating Dynamic Laboratory

AS EP TOPAN

Bagi saya, sebagai kurator muda yang belum berpengalaman, bergabung dengan tim kuratorial Jakarta Biennale ialah sebuah kehormatan sekaligus tantangan. Pada awal 2015, Ade Darmawan, Ketua Yayasan Jakarta Biennale, menghubungi saya dan menjelaskan gagasan Curators Lab yang ingin ia kembangkan dalam Jakarta Biennale 2015. Percakapan itu memulai kerjasama saya dengan Jakarta Biennale bersama lima kurator muda lainnya: Anwar ‘Jimpe’ Rahman (Makassar), Benny Wicaksono (Surabaya), Irma Chantily (Jakarta), Putra Hidayatullah (Banda Aceh), dan Riksa Afiaty (Jakarta, Bandung).

66

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

For a young and inexperienced curator like myself, joining the curatorial team of the Jakarta Biennale is both an honor and a challenge. In early 2015, Ade Darmawan, the chairman of the Jakarta Biennale Foundation, contacted me and laid out the concept of the Curators Lab that he would like to have as part of the 2015 Jakarta Biennale 2015. The discussion propelled my partnership with Jakarta Biennale and five fellow young curators: Anwar ‘Jimpe’ Rahman (Makassar), Benny Wicaksono (Surabaya), Irma Chantily (Jakarta), Putra Hidayatullah (Banda Aceh) and Riksa Afiaty (Jakarta, Bandung).


JAKARTA BIENNALE 2015

Saya menangkap gagasan Curators Lab sebagai upaya untuk melebarkan perspektif seni rupa Indonesia yang selama ini masih didominasi oleh kota-kota di Pulau Jawa. Dengan pemilihan kurator muda yang tersebar di beberapa kota berbeda, seleksi seniman Indonesia yang dilakukan pun berdasarkan jaringan dan pengalaman kurator tersebut. Gagasan tersebut saya sambut dengan sangat antusias. Di tengah mulai aktifnya inisiatif para kurator muda Indonesia yang bergerak secara independen, akhirnya ada sebuah wadah yang bisa menyatukan para pelaku seni itu dalam sebuah kerja kolektif. Dapat dibayangkan, pelaksanaannya kemudian memberikan banyak pengetahuan bagi kami tentang bagaimana mengorganisasikan pameran besar berskala internasional secara kolektif. Selain itu, sudah sejak awal pula kami diberi tahu bahwa Charles Esche akan menjadi salah satu kurator untuk Jakarta Biennale 2015, dan bahwa kami akan bekerja bersama dengannya dalam sebuah tim kuratorial. Artinya, Jakarta Biennale secara langsung memberikan pengalaman kepada para kurator muda untuk bekerjasama dengan Charles Esche dalam penyelenggaraan pameran internasional. Esche mengibaratkan praktik persiapan penyelenggaraan pameran yang selama ini ia lakukan sebagai “memasak”. Bagi saya, itu menarik sekali. Sebelum mengenalnya secara personal, saya mengenal nama Charles Esche sebagai kurator seni rupa kontemporer yang berani mengambil risiko dan memiliki perspektif sejarah yang kuat. Keberadaannya dalam bienial ini menguatkan potensi-potensi Jakarta sebagai kota dan Jakarta Biennale sebagai institusi, yang bisa dihadirkan dalam konteks hari ini. Selain Charles, penting kiranya saya menyebut nama Galit Eilat di sini sebagai kurator asal Israel yang juga menemani kami dalam hampir setiap proses diskusi kuratorial Jakarta Biennale. Didukung sistem kerja yang tanpa hierarki, setiap keputusan dilakukan bersama dan ini adalah hal yang luar biasa bagi saya. Terlebih, Charles tidak memandang kami sebagai asistennya. Sebagaimana layaknya pameran besar, penyelenggaraan Jakarta Biennale 2015

67

Curators Lab is an attempt to expand the perspective of Indonesian art that has so far been dominated by the cities on Java. Young curators from different cities across the country were then selected based on their network and experience. I welcomed the idea wholeheartedly. Amid the growing initiative of young Indonesian curators, there is finally a forum that unites arts practitioners in a collective work. As I had imagined, the implementation provided numerous insights on how to organize an internationalscale exhibition in a collective manner. We were told from early on that Charles Esche would become one of the curators of the Jakarta Biennale 2015, which meant that we would be working together in the same curatorial team. It opened up a whole new experience for young curators to work alongside someone of his caliber in organizing an international exhibition. Esche likened the preparation as ‘cooking’, which I found charming. Before getting to know him personally, I identified Esche as a contemporary art curator that dares to take risks and has a solid historical perspective. His presence at the Biennale has strengthened the potentials of Jakarta as a city and the Jakarta Biennale as an institution that is relevant in today’s context. Aside from Charles, we also have Galit Eilat, an Israeli curator who accompanied us in every curatorial discussion at the Jakarta Biennale. I found the non-hierarchical system incredible, as each decision was made collectively and Charles never considered us as his assistants. As with any big exhibition, the Jakarta Biennale 2015 does not only feature art exhibitions. The symposium and other public programs enrich public knowledge. Many of the programs held prior to the main event are aimed to introduce the Jakarta Biennale to a wider audience. Learning from all the processes so far, I am convinced that a curator is expected to understand the management system in its entirety. S/he must think about how artistic ideas can be materialized with the available funding, for example, or how to work with the production team and carry out other administrative matters. I feel very fortunate to work with the Jakarta Biennale’s management team that is highly experienced and patient, particularly


CURATORS LAB

tidak hanya menampilkan pameran seni rupa sebagai acara utama. Hadirnya simposium dan program publik lainnya semakin memperkaya pengetahuan yang didistribusikan oleh bienial ini kepada khalayak luas. Banyak di antara program-program tersebut yang telah dijalankan sebelum pameran dibuka demi memperkenalkan Jakarta Biennale kepada masyarakat luas. Dengan segala proses yang telah berjalan sejauh ini, saya percaya seorang kurator juga diharapkan memahami sistem manajemen secara keseluruhan. Ia harus memikirkan tentang bagaimana gagasan artistik bisa direalisasikan dengan pendanaan yang tersedia, misalnya, atau bagaimana berhubungan dengan tim produksi dan melakukan hal yang lebih bersifat administratif lainnya. Saya merasa beruntung bekerja bersama tim manajemen Jakarta Biennale yang berpengalaman dan sabar—terutama dalam menghadapi para kurator muda seperti saya. Semuanya memang terlihat tidak mudah, ada tanggung jawab besar dari apa yang sedang kami kerjakan di sini. Namun, metode yang ditawarkan oleh Charles dalam praktik kuratorialnya mempermudah proses yang kami bayangkan sebelumnya lebih rumit. Baginya, kami harus membiarkan sebuah gagasan berkembang dan berubah sesuai proses diskusi yang kami lakukan. Mungkin saja gagasan yang awalnya kami pakai akan berbeda dengan hasil diskusi yang sedang berjalan, atau bisa jadi setelah melalui proses yang panjang kami akan kembali ke pokok awal yang kami diskusikan. Singkatnya, cairnya proses kreatif seperti ini berhasil memperluas cakrawala gagasan kami terkait setiap aspek dan tahap dalam persiapan Jakarta Biennale.

68

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

in dealing with young curators such as myself. The whole experience has not been easy as we carry huge responsibilities. But the curatorial method offered by Charles eased the process that we had previously thought would be more complicated. He said that we needed to let an idea grow and change with the discussion process. An initial idea may transform with the ongoing discussion, or we can return to the initial idea after a long process of scrutiny. In short, such flexible creative process managed to expand our horizons of ideas related to every aspect and stage in the preparation of Jakarta Biennale. I believe that the rare opportunity is one of the most important stages in my creative process so far. The collaboration with Jimpe, Benny, Irma, Putra and Riksa gave me a lot of insights and new experience that would be very useful for my ongoing creative process. Working with Charles and Galit exposed me to their curatorial process: how to communicate with artists and how to critically discuss an artwork. I regret that Galit Eilat could not be with us in person in Jakarta as our country does not have diplomatic relations with Israel. His presence through Skype connection, though, was very significant in our curatorial work and evoked numerous inspirations on how a curator works with artists in drawing up an idea. I am certain that Curators Lab will continue to be developed by the Jakarta Biennale. To me, its existence is essential for the Biennale and the future of curatorship in Indonesia. My sincerest gratitude to my friends for their excellent and persistence works, and hopefully, this can be the start of our partnership in the future.


JAKARTA BIENNALE 2015

Saya percaya kesempatan langka ini adalah salah satu tahapan terpenting dalam proses berkesenian saya selama ini. Bekerja bersama Jimpe, Benny, Irma, Putra, dan Riksa memberikan banyak pengetahuan dan pengalaman baru yang akan sangat berguna bagi proses berkesenian saya selanjutnya. Bekerja bersama Charles dan Galit memberikan gambaran langsung kepada saya tentang praktik kekuratoran yang mereka jalani selama ini; bagaimana berkomunikasi dengan seniman; bagaimana membahas sebuah karya dengan sangat kritis. Oleh karena itu, satu hal yang saya sesali adalah tidak hadirnya Galit Eilat di Jakarta sebagai dampak kebijakan pemerintah yang tidak memiliki hubungan diplomasi dengan Israel. Kehadiran Galit dalam setiap diskusi melalui Skype sangat signifikan dalam kerja kuratorial kami dan memberikan banyak inspirasi tentang bagaimana seorang kurator bekerja dengan seniman dalam menyusun suatu gagasan. Saya optimistis bahwa Curators Lab akan terus dikembangkan oleh Jakarta Biennale di masa depan. Bagi saya, keberadaannya sangat penting bagi Jakarta Biennale itu sendiri dan masa depan kekuratorialan di Indonesia. Akhir kata, terima kasih untuk teman-teman yang telah bekerja dengan gigih dan sangat baik, semoga ini bisa menjadi awal untuk kerjasama kita di masa yang akan datang.

69


Curators Lab Bandung

CURATORS LAB

70

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Charles Esche dan Putra Hidayatullah mengunjungi studio Tisna Sanjaya di Cigondewah, Bandung.

Charles Esche and Putra Hidayatullah visited Tisna Sanjaya's studio in Cigondewah, Bandung.


JAKARTA BIENNALE 2015

71


CURATORS LAB

Tentang Hidup dan Kesenian

About Life and Art

IR MA CH AN TI LY

Fotografi adalah zona nyaman saya. Medium itulah yang pertama kali saya geluti secara profesional sejak tujuh tahun lalu, ketika saya mulai terjun dalam bidang kesenian dan kebudayaan. Tapi, bukan sebagai fotografer. Eksplorasi semasa di bangku kuliah menyadarkan saya bahwa saya lebih tertarik membaca karya foto daripada membuat foto itu sendiri. Maka, apa yang saya kerjakan pada awal karier saya adalah melibatkan diri dalam penyelenggaraan pameran fotografi, khususnya dalam bidang manajemen dan artistik. Kegiatannya, misalnya, bersama kurator berdiskusi dengan seniman dalam mengembangkan konsep karya, berkoordinasi langsung dengan fotografer soal logistik persiapan dan display karya, juga mempersiapkan acara sepanjang pameran berlangsung. Saya pun biasa terlibat dalam kapasitas sebagai penulis atau editor katalog pameran—kedua posisi yang sesungguhnya menjadi bahan bakar saya untuk terus mengembangkan diri. Singkatnya, bagi saya lebih asyik mendiskusikan konten dan konteks sebuah karya foto, serta simbolsimbol dan representasi beragam hal dalam sebidang gambar. 72

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Photography is my comfort zone. It was my first professional medium since I started to work in the arts and cultural field seven years ago, although not as a photographer. An exploration during college made me realize that I was more interested in analyzing photographs than creating ones myself. Early in my career I was involved in organizing a photography exhibition, joining the management and artistic teams. The job included curatorial discussions with artists in developing the concepts of their works, coordination with photographers on the logistics of the preparation and photo display, and running the show throughout the event. I was usually in charge of writing and editing exhibition catalogs as well, the two jobs that served as my fuel to improve myself. In short, I enjoy discussing photographs’ content or the context, as well as the symbols and representations in a picture.


JAKARTA BIENNALE 2015

Bayangkan saja, kita bisa belajar dan berdiskusi soal sejarah dan bagaimana masyarakat hidup pada masa lalu, serta bagaimana pengaruhnya terhadap masa sekarang, lewat foto-foto klasik. Kita juga bisa menemukan pemahaman soal perspektif sejarah, feminisme, kesetaraan gender, identitas dan preferensi seksual, hak asasi manusia, ekologi dan lingkungan, filosofi hidup, psikologi, serta beragam faham serta ideologi yang muncul sepanjang peradaban manusia. Lebih jauh lagi, kita bisa melihat perkembangan zaman dengan mempelajari beragam fotografer sezaman dan bagaimana mereka bergelut dengan perkembangan teknologi. Betapa saya belajar banyak tentang hidup dari fotografi. Tentu, karena ingin bisa berinteraksi dengan fotografi dengan lebih baik dan mendalam, saya perlu memperluas wawasan, termasuk mengakrabkan diri dengan medium seni yang lain; seni visual dalam konteks yang lebih luas, seni pertunjukan, dan lain sebagainya. Itulah yang selama ini saya lakukan: memupuk pemahaman soal kesenian, beragam medium dan praktiknya, serta konteks yang melingkupinya. Namun, di luar fotografi, interaksi saya dengan karya seni lain hampir selalu saya jalani sebagai penikmat atau pembaca. Saya sering datang ke pameran-pameran dan menonton seni pertunjukan, serta berdiskusi dengan kurator, koreografer, penari, dan aktor soal karya mereka. Tapi saya merasa tak cukup percaya diri untuk berinteraksi langsung dengan medium lain sebagai penulis, apalagi kurator, karena saya tahu pemahaman saya pun terbatas. Jadi, ketika saya terpilih untuk terlibat dalam program Curators Lab di Jakarta Biennale 2015 ini, perasaan saya tentu campur-aduk. Di satu sisi, jelas saya merasa terhormat, tersanjung, dan senang karena dianggap sudah mampu bekerja dalam perhelatan internasional sekelas Jakarta Biennale. Atau, paling tidak, saya dianggap siap menghadapi tantangan sebesar dan seberat ini; saya, si anak kemarin sore, yang biasanya “cuma main di fotografi”. Di sisi lain, saya tentu khawatir dan takut sejadi-jadinya karena merasa pengalaman dan referensi saya tidak cukup untuk menangani perhelatan ini. Saya tak ingin menjadi pihak yang menggagalkan Jakarta Biennale. Tak ingin jadi nila setitik. Jakarta Biennale terlalu

Imagine how we can learn about and discuss history from vintage photographs, how people lived in the past and how they influence our lives in the present. We can also understand the perspectives of history, feminism, gender equality, sexual identity and preferences, human rights, ecology and environment, philosophy, psychology, and various schools and ideologies that emerge throughout human civilization. Moreover, we can see the progress of an era by analyzing different photographers in that period and how they struggled with technological advancement. I learn so much about life through photography. To improve and deepen my interaction with photography, I certainly need to expand my horizons, getting in touch with other art media— visual art in a wider context, performing arts, and so on. That is exactly what I have been doing: fostering the understanding of art, the various media and practices, and the context shrouding it. However, beyond photography, I mostly interacted with other forms of art only as a viewer or reader. I frequented exhibitions and art performances, and had discussions with curators, choreographers, dancers and actors about their works. But I never had enough confidence to have a direct interaction with other media as a writer, let alone as a curator, fully knowing how limited my capacity is. So when I was selected for the Curators Lab at the Jakarta Biennale 2015, I had mixed feelings. On the one hand, I felt honored, flattered and ecstatic to be deemed capable to work in an event of international scale such as the Jakarta Biennale. At least I was considered ready to face such a huge and mounting challenge—me, the kid born yesterday, who only has ‘played around with photography’. On the other hand, I was worried and terrified that I did not have enough experience and references to handle the event with such magnitude. I didn’t want to be the one who ruined the Jakarta Biennale. I didn’t want to be the rotten apple that spoils the whole barrel. The Jakarta Biennale is far too important for the art constellation of Indonesia. But above all else, I realized that the Curators Lab is a good and challenging program. It is good because it aims to nurture a new generation of

73


CURATORS LAB

penting dalam konstelasi seni rupa Indonesia. Namun, di atas itu semua, saya sadar bahwa program Curators Lab ini adalah program yang baik dan menantang. Baik, karena hendak memupuk generasi baru kurator Indonesia dengan menyediakan ruang diskusi dan pertukaran ide antarkurator muda dari seluruh penjuru Indonesia, sekaligus ruang belajar kurator muda bersama kurator berpengalaman, Charles Esche. Menantang, karena, berarti kami, tim kurator muda, harus bisa belajar dengan cepat sembari mencari solusi untuk hambatan yang kami alami—apa pun itu. Sebab, bagaimanapun proses yang kami alami, Biennale ini harus berjalan! Merasa ingin mendorong diri keluar dari zona nyaman, saya lantas mengajukan diri untuk bekerjasama dengan seniman yang menggunakan medium paling asing bagi saya; misalnya, seniman yang menggunakan instalasi, melakukan performans, atau membuat karya-karya yang interaktif. Tentunya, dengan bekerja dan berdiskusi intens dengan seniman-seniman ini soal karya mereka, saya akan lebih bisa memahami seperti apa proses kerja dengan medium tersebut, mengapa mereka memilih medium itu, dan apa konsekuensinya bagi pengunjung pameran serta konsep pameran secara keseluruhan. Pilihan saya tepat. Dengan konsekuensi berlipat ganda. Sebab, artinya saya tak hanya berdiskusi dengan para seniman soal konsep karya, pilihan medium, serta cara representasi di ruang pamer, tapi juga harus memikirkan persiapan logistik yang sebelumnya tak pernah saya alami. Logistik persiapan pameran fotografi sudah biasa saya lakoni: ada proses pemilihan karya, cetak, bingkai, dan display. Tapi menyiapkan logistik untuk karya instalasi dengan melibatkan pengiriman barang (dari luar negeri, lengkap dengan segala urusan birokrasi bea cukai, dokumen, elemen pembiayaan, dan lainnya) adalah hal yang sungguh berbeda. Belum lagi urusan koordinasi dan negosiasi dengan kawan-kawan di divisi lain. Sebab, keputusan apa pun mengenai karya seorang seniman akan memiliki konsekuensi bagi, misalnya, divisi keuangan, divisi komunikasi, divisi produksi, dan lain sebagainya. Proses yang saya alami dengan tiap seniman tentu berbeda. Yang terasa agak berat tentu

74

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Indonesian curators by providing the venue for young curators from across the country to discuss and exchange ideas, as well as to learn from a seasoned curator, Charles Esche. It is challenging because that means to us, the young curators, that we must learn quickly while finding solutions for the obstacles we face, whatever they are. Because whatever it may be, the Biennale must go on! Wishing to drive myself out of my comfort zone, I offered to work with artists who use media I was most unfamiliar with, such as installation art, performing art or interactive medium. By working and having intense discussions with the artists about their works, I could understand more about their process with their medium, why they choose it, and what the consequences are for visitors and the exhibition. I made the right choice. But with multiples consequences. I was not only able to discuss with the artists about the concept of their works, the medium choice, and the representation in the exhibition space, but I also had to think about logistics, something that I had never faced before. I know the logistics of a photography exhibition: choosing the works, printing them, putting them inside the frames and showcasing them. But the logistics of installation works (which involves shipping from overseas, accompanied by issues of custom red tape, documents, financing, etc.) is a whole different animal. Not to mention the coordination and negotiation with other divisions, as every decision about an artwork would have an implication for financial department, communication department, production department, and so on. The collaboration process was different with each artist. I struggled to understand the unfamiliar media they used, which felt like jumping from the cliff of a waterfall to grasp the concept and the discourse, and then drowned in the rolling waves, diving through the tug-of-war of different interests, before I finally found the way to emerge to the surface, gasping for air to swim through the embodiment of the concept of the works to be exhibited. Toward the end of the journey, I have now become more comfortable in dealing with nonphotography works. They no longer feel foreign to me. I’ve grown to understand why an artwork that has interactive components with visitors becomes one of


JAKARTA BIENNALE 2015

proses kerja terkait medium yang tak begitu saya akrabi. Di sinilah saya bergulat. Rasanya seperti melompat dari puncak air terjun untuk memahami konsep dan wacana yang hendak diangkat oleh seniman, tergulung-gulung dan menyelam ke dalam arena tarik-menarik kepentingan, hingga akhirnya menemukan cara untuk berenang ke permukaan sambil termegapmegap demi memahami pengejawantahan konsep ke dalam karya yang akan dipamerkan. Mendekati ujung perjalanan, saya kini merasa lebih nyaman dalam berinteraksi dengan karya yang bukan fotografi. Karya-karya itu tak lagi terasa asing. Saya pun lebih memahami mengapa karya seni yang mengandung unsur interaksi dengan pengunjung pameran menjadi salah satu karya yang penting dalam pameran; bagaimana karya itu berhubungan dengan konteks seni rupa dan sosial—seperti yang dilakukan oleh Peter Robinson. Saya juga mendapatkan pengalaman dan pemahaman baru tentang peran kurator dalam bekerjasama dengan seniman sepanjang proses penciptaan karya dari awal, seperti pengalaman saya dengan Yee I-Lann dan Evelyn Pritt. Pepatah lama, “Tak kenal maka tak sayang,” terasa begitu relevan untuk proses belajar dan bekerja kali ini. Tentu, setelah ini tak berarti serta-merta saya langsung bisa berinteraksi dengan karya lain yang tak saya kenal. Saya tetap harus memupuk lebih banyak pengalaman dan pengatahuan—agar bisa melakukan interaksi dengan lebih luwes. Saya ingat percakapan pada suatu sore dengan Charles, di sela-sela rapat kuratorial yang selalu intens. Charles berkata bahwa kerja kuratorial adalah pekerjaan yang berfungsi sebagai penjembatan bagi banyak pihak yang terlibat dalam pembuatan pameran; baik dengan seniman, dengan manajemen, dengan publik, dengan sponsor, dan pihak-pihak lain yang terlibat secara langsung dan tak langsung dalam penyelenggaraan pameran. Dengan menjadi kurator, kita dengan sadar menempatkan diri di tengah semua arus kepentingan dan tarik-menarik tersebut. Tidak selalu mudah menghadapi intensitas yang terjadi; tapi justru situasi itulah cerminan kehidupan.

75

the most important pieces in an exhibition; and how artworks are related with art and social elements, for example what Peter Robinson does in his work. I gained new knowledge of and insights in the role of the curator in collaborating with artists throughout the creation of artworks, such as the experience of working with Yee I-Lann and Evelyn Pritt. The old proverb “You cannot love what you don’t know” was highly relevant during my learning curve. It does not mean that I can immediately interact with unfamiliar works; I still need to keep gaining experience and knowledge to make the interaction smoother. I remember a conversation with Charles one afternoon, in between the meetings that had always been intense. Charles said a curator works to bridge many people involved in producing an exhibition—artists, management, public, sponsors and other parties. By being a curator, we consciously place ourselves in the middle of the interests and tug-of-war. It will not always be easy to face the intensity, but it is the exact mirror of life.


Curators Lab Jakarta

CURATORS LAB

76

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


Di Jakarta, para kurator muda dari berbagai kota berdiskusi dan sesekali menginap di kantor Yayasan Jakarta Biennale. Selain meriset di berbagai tempat, mereka berkunjung ke sejumlah komunitas dan situs di Jakarta, seperti TROTOArt di Penjaringan dan Sanggar Anak Akar di Kalimalang, Mereka juga merencanakan penataan ruang pameran, langsung di Gudang Sarinah, ruang pameran utama Jakarta Biennale 2015.

JAKARTA BIENNALE 2015 In Jakarta, the curators 77 from different cities used the Jakarta Biennale Foundation's office as a workplace and a homestay. Apart from doing research in various places, they visited a number of communities and sites in Jakarta, such as TROTOARt in Penjaringan, South Jakarta; and Sanggar Anak Akar in Kalimalang, East Jakarta. For several times they also planned the exhibition on the spot in Gudang Sarinah, the main exhibition space of Jakarta Biennale 2015.


CURATORS LAB

78

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

79


CURATORS LAB

80

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

81


PARA KURATOR THE CURATORS

Charles Esche adalah penulis dan kurator seni rupa asal Skotlandia. Sebagai penulis, ia merupakan salah satu pendiri Afterall, lembaga penerbitan buku dan jurnal tentang seni rupa kontemporer. Salah satu buku terbitannya adalah Art and Social Change, yang Charles sunting bersama Will Bradley pada 2008. Sebagai kurator, namanya telah tercatat di berbagai bienial internasional, dari Gwangju Biennale 2002, Istanbul Biennale 2009, São Paulo Biennale 2014, dan kini Jakarta Biennale 2015. Charles juga dikenal sebagai direktur Van Abbemuseum di Eindhoven, Belanda, posisi yang sudah ia lakoni sejak 2004. Charles Esche is a curator and writer from Scotland. As a writer, he co-founded Afterall, a publishing house specializing in books and journals on contemporary art. One of the books it published is Art and Social Change, which he co-edited with Will Bradley in 2008. As a curator, he has made his mark in various international biennales, including the 2002 Gwangju Biennale, the 2009 Istanbul Biennale, the 2014 São Paulo Biennale, and now the 2015 Jakarta Biennale. Heis also known as the director of the Van Abbemuseum in Eindhoven, the Netherlands, since 2004.

82

Anwar ‘Jimpe’ Rachman, lahir di Balikpapan pada 1975, akrab dengan dunia aksara. Pada 1999, Jimpe turut mendirikan Tanahindie, lembaga nirlaba di Makassar yang berfokus pada penelitian dan penerbitan literatur-literatur tentang kebudayaan kota. Di kota yang sama, ia turut mengelola rumah penerbitan Ininnawa, perpustakaan Kampung Buku, dan situs jurnalisme warga makassarnolkm.com. Pada 2013, ia menulis buku pertamanya, Chambers: Makassar Urban Culture Identity. Jimpe juga aktif berkegiatan sebagai fasilitator dan kurator sejumlah pameran seni rupa di Makassar; beberapa di antaranya adalah pameran ‘Bom Benang Makassar’ dari 2012 sampai 2014 dan ‘Lembaran Halaman yang Hilang’ pada 2014. Anwar ‘Jimpe’ Rachman (born in Balikpapan, 1975) is a prominent presence in Indonesia’s literary scene. In 1999, he co-founded Tanahindie, a Makassar-based non-profit organization focusing on researches and publications on urban cultures. He also ran the Ininnawa publishing house, the Kampung Buku library, and the citizen journalism website makassarnolkm.com. In 2013, he wrote his first book, Chambers: Makassar Urban Culture Identity. Jimpe has also been actively involved as a facilitator and curator in various art exhibitions in Makassar; among which are a series of exhibitions entitled ‘Bom Benang Makassar’ (The Makassar Yarn Bombing, 2012-2014) and ‘Lembaran Halaman yang Hilang’ (The Lost Pages, 2014).

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Asep Topan sudah dua kali menempuh studi: pertama kuliah Seni Grafis di Institut Kesenian Jakarta dari 2007 sampai 2011, lalu Studi Kuratorial di Institut Teknologi Bandung. Lelaki yang lahir di Majalengka pada 1989 ini aktif terlibat sebagai kurator di berbagai pameran. Debutnya sebagai kurator adalah pameran Print: Process (2013) di ruangrupa, dan paling anyar adalah ‘Sidewalk Warfare’ (2015) di Japan Foundation Jakarta. Asep juga aktif menulis tentang seni rupa. Pada 2014, ia meluncurkan buku perdananya, Sketsa dan Sebuah Kesalahan, berisi esai-esai seni rupa dan ulasan berbagai pameran. Asep Topan (born in Majalengka, 1989) pursued a degree in Graphic Art at the Jakarta Institute of the Arts (IKJ, 2007-2011), and is now continuing his education on Curatorial Studies at the Bandung Institute of Technology (ITB). He has been actively involved as a curator for various exhibitions. His curatorial debut was for Print: Process (2013) in ruangrupa, and most recently for ‘Sidewalk Warfare’ (2015) at the Japan Foundation Jakarta. Asep also writes about art, and published his first book of art essays and exhibition reviews, Sketsa dan Sebuah Kesalahan (Sketches and a Mistake), in 2014.

Benny Wicaksono, lahir di Sukapura pada 1973, saat ini adalah salah satu anggota Komite Seni Rupa di Dewan Kesenian Jawa Timur. Kariernya sendiri bermula pada 1999, ketika ia mengadakan pameran tunggal seni media baru di auditorium Universitas Kristen Petra, Surabaya, tempat ia menempuh studi Desain Grafis. Pada 2009, ia bersama sejumlah kawan memulai sebuah kolektif kreatif bernama WAFT-Lab. Salah satu program mereka adalah Video:wrk, festival video dua tahunan yang berfokus pada peran teknologi dalam perkembangan seni. Pada tahun yang sama pula, Benny menerima penghargaan Innovator in Media Art dari Surabaya Biennale. Benny Wicaksono (born in Sukapura, 1973) is currently a member of the Art Committee in the East Java Arts Council. He started his career in 1999, with a solo exhibition of new media art at Surabaya’s Universitas Kristen Petra, where he was pursuing a degree in Graphic Design. In 2009, he initiated a creative collective called WAFT-Lab. One of their programs is Video:wrk, a biannual video festival, focusing on the role of technology in art development. In the same year, Benny received the Innovator in Media Art award from the Surabaya Biennale.


JAKARTA BIENNALE 2015

Irma Chantily adalah penikmat fotografi, meski sama sekali bukan fotografer. Perempuan yang lahir di Jakarta pada 1985 ini aktif menulis tentang fotografi di media massa cetak dan online, serta terlibat dalam produksi pameran foto atau seni rupa. Irma juga gemar melibatkan diri pada beberapa proyek penelitian fotografi Indonesia dan turut mendirikan sejarahfoto.com untuk mendukung pengarsipan sejarah fotografi Indonesia. Saat ini ia bekerja sebagai manajer program bidang seni visual dan ekonomi kreatif di suatu lembaga nirlaba untuk hubungan kebudayaan, sembari memenuhi panggilan untuk menjadi pengajar lepas di Departemen Fotografi, Institut Kesenian Jakarta. Irma Chantily (born in Jakarta, 1985) is a photography enthusiast, despite not being a photographer. She has been writing about photography for print and online media, and has been actively involved in photography and art exhibitions. Irma has also taken part in research projects on photography in Indonesia, and co-founded sejarahfoto. com, a website dedicated to the archiving of Indonesia’s history of photography. She is currently a program manageron art and creative economy for a nonprofit organization specializing in cultural relations, and also a freelance lecturer at the Jakarta Institute of the Arts’ Department of Photography.

Putra Hidayatullah, lahir di Pidie pada 1988, adalah salah satu pegiat Komunitas Tikar Pandan di Banda Aceh. Kerja-kerja kuratorial Putra kerap berfokus pada isu-isu kesejarahan. Pada 2014, ia mengadakan pameran ‘Puing Perang’ di Taman Ismail Marzuki, berkolaborasi dengan ruangrupa dan Dewan Kesenian Jakarta. Dalam pameran itu, Putra mengangkat kembali kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama konflik politik di Aceh dari 1976 sampai 2005. Pada tahun yang sama, ia menjadi salah satu kurator dalam acara Peringatan 10 Tahun Tsunami Aceh. Putra juga berperan sebagai salah satu kurator ‘Cang Pilem’, festival film tahunan di Episentrum Ulee Kareng sejak 2013.

Riksa Afiaty sudah terlibat di Jakarta Biennale sejak 2013, sebagai koordinator artsitik dan pameran. Sebelumnya perempuan yang lahir di Bandung pada 1986 ini menimba pengalaman dan mengasah ilmu di OK. Video Festival pada 2011 dan 2013. Riksa juga banyak belajar dari residensi di Rumah Seni Cemeti pada 2013 dan lokakarya kurator di Japan Foundation Jakarta pada 2014. Sebagai kurator dan ko-kurator, ia sudah terlibat di sejumlah pameran di Jakarta dan Yogyakarta dari 2011; beberapa di antaranya ‘Regeneration, Ayatana: On Mobility’, dan ‘Lukisan yang Baik: 40 Tahun Desember Hitam’. Saat ini Riksa aktif berkegiatan di ruangrupa sebagai koordinator Art Lab.

Putra Hidayatullah (born in Pidie, 1988) is an active member of Komunitas Tikar Pandan in Banda Aceh. His curatorial works tends to focus on historical issues. In 2014, he held an exhibition entitled ‘Puing Perang’ (The Remnants of War) at Taman Ismail Marzuki, collaborating with ruangrupa and the Jakarta Arts Council. In the exhibition, Putra put the spotlight back on the cases of human rights violation during the political conflicts in Aceh, from 1976 to 2005. In the same year, he served as a curator for the 10th Anniversary Memorial of the Aceh Tsunami. Putra has also been a curator for ‘Cang Pilem’, an annual film festival at the Episentrum Ulee Kareng since 2013.

Riksa Afiaty (born in Bandung, 1986) has been an artistic and exhibition coordinator for the Jakarta Biennale since 2013. She honed her skills working for the OK. Video Festival in 2011 and 2013, also during her residency at Cemeti Art House (2013) and in the curatorial workshop at the Japan Foundation Jakarta (2014). As a curator and co-curator, she has been involved in various exhibitions in Jakarta and Yogyakarta since 2011, which include ‘Regeneration, Ayatana: On Mobility’, and ‘Lukisan yang Baik: 40 Tahun Desember Hitam’ (The Good Painting: 40 Years of the Black December). Today, Riksa is working as an Art Lab coordinator at ruangrupa.

83


84

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


Seniman Artists Gudang Sarinah Jakarta Biennale 2015

RUANG PAMER UTAMA MAIN VENUE

85


L O K A S I / L O C AT I O N

GUDANG SARINAH Jalan Pancoran Timur II No. 4 Jakarta Selatan

92

Direction to Panduan Menuju Gudang Gudang Sarinah Sarinah Gudang Sarinah berada tidak jauh dari mulut Jalan Pancoran Timur II. Ujung jalan tersebut berada di antara gedung LPDB KUMKM RI (Kantor Kementerian Koperasi dan UKM) dan BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) yang berada di Jalan Letjen M.T. Haryono. Posisi mulut Jalan Pancoran Timur II berada di seberang jalan Supermarket Gelael, sisi Timur dari perempatan Tugu Pancoran, Jakarta Selatan.

Gudang Sarinah is located near the mouth of Jalan Pancoran Timur II. The mouth of the road is situated in between LPDB KUMKM RI (Kantor Kementerian Koperasi dan UKM) and BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) on Jalan Letjen M.T. Haryono. The mouth of the road is also located across the Gelael Supermarket, on the east side of Tugu Pancoran intersection, Jakarta Selatan.

Dengan angkutan umum

By bus or microbus

Jika Anda dari arah Pasar Minggu, naik bus Metromini S62 atau S640 yang mengarah ke Manggarai. Katakan kepada kondektur bahwa Anda ingin turun tepat sebelum perempatan Tugu Pancoran. Setibanya di lampu merah perempatan Tugu Pancoran, lalu belok kanan dan jalan menyusuri Jalan Letjen M.T. Haryono. Jalan Pancoran Timur II ada di sebelah kanan jalan, di antara gedung LPDB KUMKM RI (Kantor Kementerian Koperasi dan UKM) dan BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia). Masuk jalan itu, Gudang Sarinah ada di sebelah kiri Anda.

If you are coming from Pasar Minggu, take Metromini S62 or S640 bus that is heading to Manggarai. Please inform the bus conductor that you want to get off right before the Tugu Pancoran intersection. Once you get off at the Tugu Pancoran intersection, turn right and walk along Jalan Letjen M.T. Haryono. Jalan Pancoran Timur II is on the right side of the road, in between LPDB KUMKM RI (Kantor Kementerian Koperasi dan UKM) and BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) buildings. Enter Jalan Pancoran Timur II. Gudang Sarinah will be on the left side of the road.

Jika Anda dari arah Semanggi, naiklah bus apa saja yang menuju Cawang (salah satunya bus APTB 10). Katakan kepada kondektur bahwa Anda ingin turun di Supermarket Gelael di M.T. Haryono. Siap-siaplah begitu Anda sampai di lampu merah perempatan Tugu Pancoran. Setelah lampu merah itu, bus akan jalan terus memasuki Jalan Letjen M.T. Haryono. Turunlah di depan Supermarket Gelael, yang ada di sebelah kiri Anda. Lalu naik jembatan penyeberangan ke seberang jalan. Setelah itu lihat ke kanan

If you are coming from Semanggi, take any bus that is heading to Cawang (one of them is APTB 10). Please inform the bus conductor that you want to get off at the Gelael Supermarket. Upon reaching the Tugu Pancoran intersection, get ready. After the intersection, the bus will enter Jalan Letjen M.T. Haryono. Get off the bus at the Gelael Supermarket, that is on the left side of the road. Then cross the street using a pedestrian bridge nearby. Look to your right and look for Jalan Pancoran Timur II,

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


Anda dan cari Jalan Pancoran Timur II, yang berada di antara gedung LPDB KUMKM RI (Kantor Kementerian Koperasi dan UKM) dan BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) di dekat jembatan tersebut. Masuk jalan itu, Gudang Sarinah ada di sebelah kiri Anda. Jika Anda dari arah Cawang, naik bus apa saja yang melewati Jalan M.T. Haryono (salah satunya bus Mayasari PAC06). Bilang kepada kondektur Anda akan turun sebelum perempatan Tugu Pancoran (Supermarket Gelael tampak ada di seberang jalan, di sebelah kanan Anda). Anda dapat turun persis di ujung Jalan Pancoran Timur II. Masuk jalan itu, Gudang Sarinah ada di sebelah kiri Anda. Dengan ojek maupun taksi Selain alamat, informasikan sopir ojek atau taksi bahwa Jalan Pancoran Timur II terletak tidak jauh dari perempatan Tugu Pancoran, di seberang Gelael, dan di antara gedung LPDB KUMKM RI dan BNP2TKI. Jika Anda menuju Jalan Letjen M.T. Haryono dari arah Semanggi, Manggarai, atau Tebet, Anda harus putar balik melewati underpass, lewat jalan kecil di sebelah kiri jalan tidak jauh setelah pom bensin Shell. Jika Anda menuju Jalan Letjen M.T. Haryono dari arah Pasar Minggu, Anda juga harus putar balik melewati underpass, lewat jalan kecil di sebelah kiri jalan tidak jauh setelah pom bensin Shell. Jika Anda menuju Jalan Letjen M.T. Haryono dari arah Cawang, Anda tidak perlu putar balik. Jalan Pancoran Timur II ada di sebelah kiri Anda sebelum lampu merah perempatan Tugu Pancoran, di antara gedung LPDB KUMKM RI (Kantor Kementerian Koperasi dan UKM) dan BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia). Masuk jalan itu, Gudang Sarinah ada di sebelah kiri Anda.

that is situated in between LPDB KUMKM RI (Kantor Kementerian Koperasi dan UKM) and BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia), not far from the pedestrian bridge. Enter Jalan Pancoran Timur II. Gudang Sarinah will be on the left side of the road. If you are coming from Cawang, take any bus that is heading to Jalan Letjen M.T. Haryono (one of them is Mayasari PAC06). Please inform the conductor that you want to get off before the Tugu Pancoran intersection (Gelael Supermarket could be seen from across the road, on your right). You could get off right in front of Jalan Pancoran Timur II. Enter the road. Gudang Sarinah will be on the left side of the road. By ojek or taxi Besides the address, please inform the driver that Jalan Pancoran Timur II is located not far from the Tugu Pancoran intersection, across Gelael shopping center, and in between LPDB KUMKM RI and BNP2TKI buildings. If you enter Jalan MT Haryono from Semanggi, Manggarai, or Tebet, you need to make a u-turn through an underpass, accessible through a small road on the left side of the road not far from a Shell gas station. If you enter Jalan MT Haryono from Pasar Minggu, you also need to make a u-turn througn an underpass, accessible through a small road on the left side of the road not far from a Shell gas station. If you enter Jalan MT Haryono from Cawang, you don’t need to make a u-turn. Jalan Pancoran Timur II will be on the left side of the road, before the Tugu Pancoran intersection, in between LPDB KUMKM RI (Kantor Kementerian Koperasi dan UKM) and BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia). Enter Jalan Pancoran Timur II. Gudang Sarinah is on the left side of the road.

JAKARTA BIENNALE 2015

93


L O K A S I / L O C AT I O N

Dengan Transjakarta

By Transjakarta

Naik Transjakarta Koridor 9 (Pinang Ranti – Cililitan) atau 9A (Cililitan – Grogol 2), turun di Halte Pancoran Tugu. Dari halte tersebut, Jalan Pancoran Timur II bisa ditempuh dengan cara:

Get on the Transjakarta route 9 (Pinang Ranti – Cililitan) or 9A (Cililitan – Grogol 2), and get off at Pancoran Tugu shelter. Jalan Pancoran Timur II could be reached:

Jalan kaki menyusuri Jalan M.T. Haryono di sisi Selatan (sisi yang mengarah ke Pasar Minggu, bukan sisi yang mengarah ke Tebet). Sebagai panduan, lihatlah patung Tugu Pancoran—patung tersebut menunjuk ke arah Utara. Jalan Pancoran Timur II ada di sebelah kanan jalan, di antara gedung LPDB KUMKM RI (Kantor Kementerian Koperasi dan UKM) dan BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia). Masuk jalan itu, Gudang Sarinah ada di sebelah kiri Anda. Naik ojek/bajaj dengan harga sekitar Rp 7.000-10.000 atau taksi sekitar Rp 15.000-25.000. Anda harus putar balik melewati underpass, lewat jalan kecil di sebelah kiri jalan tidak jauh setelah pom bensin Shell. Anda akan menemukan Jalan Pancoran Timur II yang berada di sebelah kiri Anda, sebelum lampu merah perempatan Tugu Pancoran, di antara gedung LPDB KUMKM RI (Kantor Kementerian Koperasi dan UKM) dan BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia). Masuk jalan itu, Gudang Sarinah ada di sebelah kiri Anda. Dengan kereta Commuter Line Stasiun terdekat adalah Stasiun Cawang, yang dilewati empat jalur Commuter Line: Bogor – Jakarta Kota, Depok – Jakarta Kota, Bogor – Jatinegara, dan Depok – Jatinegara. Dari Stasiun Cawang, Gudang Sarinah bisa dicapai dengan naik angkutan umum, ojek/bajaj, atau taksi.

94

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

On foot, by walking along on the south side of Jalan M.T. Haryono (the side that is facing Pasar Minggu, not the one that is facing Tebet). For further guidance, look at the statue of Tugu Pancoran—it points to the north. Jalan Pancoran Timur II is on the right side of the road, in between LPDB KUMKM RI (Kantor Kementerian Koperasi dan UKM) and BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) buildings. Enter Jalan Pancoran Timur II. Gudang Sarinah is on the left side of the road. By ojek/bajaj with the fares ranging from Rp 7.000-10.000 or taxi with the fares ranging from Rp 15.000-25.000. You’ll need to make a u-turn through an underpass, accessible through a small road on the left side of the road not far from a Shell gas station. You’ll find Jalan Pancoran Timur II on the left side of the road, before the Tugu Pancoran intersection, in between LPDB KUMKM RI (Kantor Kementerian Koperasi dan UKM) and BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) buildings. Enter Jalan Pancoran Timur II. Gudang Sarinah is on the left side of the road. By train/Commuter Line The nearest station is Stasiun Cawang, which is part of four Commuter Line routes: Bogor – Jakarta Kota, Depok – Jakarta Kota, Bogor – Jatinegara, and Depok – Jatinegara. Jalan Pancoran Timur II is on the left side of the road, could be reached by bus, ojek/bajaj, or taxi.


Jl. Te bet B arat D ala

m

JAKARTA BIENNALE 2015

Jl. Pro f. D r.So epo

mo

U

KFC Gelael

TIS Square Jl. M. T. Haryono Tol Dalam Kota

LPDB KUMKM RI (Kantor Kementerian Koperasi dan UKM)

BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia)

Gedung ASKES

Jl. Pancoran Timur II

Jl. Raya Pasar Minggu

Gudang Sarinah Jl. Pancoran Timur II No.4 Jakarta Selatan

Jl. Pancoran Timur Raya

95


Agung Kurniawan (Yogyakarta) 192

Köken Ergun (Istanbul) 214

Setu Legi (Yogyakarta) 132

Annisa Rizkiana Rahmasari (Semarang) 230

Kolatt (Yangon) 108

SUPERFLEX (Copenhagen) 232

Komunitas Quiqui (Makassar) 148

Surya Wirawan (Yogyakarta) 210

Lab Laba Laba (Jakarta) 158

The Youngrrr (Jakarta) 142

Leonardiansyah Allenda (Banyuwangi) 136

Tisna Sanjaya (Bandung) 94

Aprilia Apsari (Jakarta) 220 Arahmaiani (Yogyakarta) 194 Araya Rasdjarmrearnsook (Chiang Mai) 178 Ariani Darmawan (Bandung) 172 Bamboo Curtain Studio (New Taipei, Yunlin) 112 Bik Van der Pol (Rotterdam) 114 Bron Zelani (Jakarta) 102 Clara Ianni & Débora Maria da Silva (São Paulo) 204 Cooperativa Cráter Invertido (Mexico City) 242

Lifepatch (Yogyakarta) 118 M. Cora (Makassar) 218 Maddie Leach (Wellington) 186 Maika Elan (Hanoi) 182 Marishka Soekarna (Depok) 150 Mark Salvatus (Manila) 130 Maryanto (Yogyakarta) 110 Meiro Koizumi (Yokohama) 176

Cut Putri (Banda Aceh) 238

Melawan Kebisingan Kota (Surabaya) 106

Dan Perjovschi (Bucharest) 154

Merv Espina (Manila) 98

Dea Widya (Bandung) 122

Miebi Sikoki (Jakarta) 162

Dieneke Jansen (Auckland) 224

Ng Swan Ti (Jakarta) 196

Dwi ‘Ube’ Wicaksono Suryasumirat (Jakarta) 140

Nobodycorp. Internationale Unlimited (Yogyakarta) 212

Etcétera (Buenos Aires, Valparaiso) 124

NUR (Jakarta) 166

Evelyn Pritt (Jakarta) 234 Firman Djamil (Makassar) 100 Fuady Keulayu (Banda Aceh) 206 Idrus bin Harun (Banda Aceh) 138 Iswadi Basri (Banda Aceh) 208 Jakarta Wasted Artists (Jakarta) 120 Jeremy Millar (London) 174 Jonas Sestakresna (Denpasar) 92 Juan Pérez Agirregoikoa (San Sebastián, Paris) 156

96

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Octora (Bandung) 128 Oscar Muñoz (Cali) 188 Peter Robinson (Auckland) 96 Post-Museum (Singapore) 226 Pratchaya Phinthong (Bangkok) 216 Renzo Martens (Amsterdam) 236 Reza Afisina (Depok) 198 Reza Enem (Makassar) 152 Richard Bell (Brisbane) 126 Sanchia T. Hamidjaja (Jakarta) 170

Tita Salina (Jakarta) 200 Tom Nicholson (Melbourne) dengan/with Grace Samboh (Yogyakarta) 184 Tromarama (Bandung) 160 Wiyoga Muhardanto (Bandung) 144 Wonderyash (Jakarta) 228 Yee I-Lann (Kuala Lumpur) 190 Yongseok Jeon (Seoul) 134 Yoppy Pieter (Jakarta) 202 Zeyno Pekünlü (Istanbul) 180 Zulhiczar Arie (Yogyakarta) 104


97

Seniman Artists JAKARTA BIENNALE 2015


SENIMAN / ARTIST

Jonas Sestakresna Denpasar

Human is Alien Manusia Asing Instalasi bambu dan pertunjukan multimedia Bamboo installation and multimedia performance 2015

BUMI KIAN TERASA ASING. Eksploitasi alam atas nama pembangunan dan kesejahteraan bersama menjadikan planet ini tak lagi layak huni. Manusia tak ubahnya seperti alien di tanah sendiri, yang tidak kenal akan bumi beserta isi dan sifat alaminya. Keterasingan ini Jonas amati turut terjadi di Indonesia. Pencemaran lingkungan terjadi begitu masif, sehingga mengancam ekosistem alami di berbagai wilayah nusantara. Salah satu kasus yang cukup fatal adalah pencemaran sungai. Sekarang ini masyarakat kita semakin terbiasa memperlakukan sungai sebagai tempat pembuangan akhir. Padahal tidak sedikit juga kebutuhan sehari-hari kita yang bergantung pada kesehatan air sungai di sekitar kita. Menanggapi ini, Jonas menyusun instalasi berbentuk menara yang terbuat dari bambu—yang akan dipamerkan di Gudang Sarinah dan di Condet, Jakarta Timur, di pinggir Sungai Ciliwung. Menara ini bisa dinaiki pengunjung pameran, untuk mendapat pandangan yang lebih menyeluruh akan sekitarnya. Menara ini juga akan ditutup kain, yang akan diproyeksikan permainan cahaya dan animasi, yang bercerita tentang umat manusia dari zaman prasejarah sampai era teknologi. Melalui karya ini, Jonas ingin mengajak kita untuk berkaca kembali ke zaman asal mula manusia—ketika kita hanya mengambil seperlunya saja dari alam, sekadar untuk memenuhi kebutuhan dasar kita.

Jonas Sestakresna lahir di Malang pada 1974.Setelah tamat studi Antropologi di Universitas Udayana, ia memutuskan untuk menetap di Bali. Jonas dikenal karena pengalamannya menciptakan bermacam pertunjukan multimedia dengan instalasi bambu kokoh, yang menyuarakan tema lingkungan hidup. Karyakaryanya membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat, untuk berinteraksi dengan ruang, benda, dan alam di sekitarnya.

92

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

THE EARTH IS GROWING more foreign than ever. Exploitations of natural resources, in the name of development and collective welfare, have made the planet impossible to live on. Humans are like aliens on their own turf, who barely know the earth, its natural characteristics and what it has to offer. This state of self-inflicted estrangement, as Jonas observed, is also happening in Indonesia. The environment has been contaminated in a massive way, threatening natural ecosystems in various parts of the archipelago. One of the most fatal cases is that of polluted rivers. Today, people has become used to dump waste in the rivers, while, in fact, a great deal of our daily necessities rely on the well-being of the rivers around us. In response to this, Jonas built installations in the form of bamboo towers—which are be exhibited at Gudang Sarinah and in Condet, East Jakarta, on the side of the Ciliwung river. Visitors can actually climb the tower, to get a more complete overview of the surroundings. The towers are covered with a piece of cloth, animation and lighting works are projected on it to chronicle the story of mankind from the prehistoric era to the era of modern technology. With this work, Jonas is inviting us to reflect on the dawn of mankind—when we only took what was needed from nature for our basic needs.

Jonas Sestakresna was born in Malang in 1974. After completing his studies in Anthropology at Udayana University, he decided to reside in Bali. Jonas is known for his experience in creating various multimedia shows with bamboo installations, expressing environmental issues. His works are open for people to get involved in and interact with the spaces, things and nature in their surroundings.


JAKARTA BIENNALE 2015

93


SENIMAN / ARTIST

Tisna Sanjaya Bandung

Rumah IBU (Imah Budaya) The House of Mother; the House of Culture Performans, instalasi Performance, installation 2015

94

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

BEBERAPA TAHUN SILAM, Tisna Sanjaya menukar sejumlah karyanya dengan sebidang tanah di Cigondewah, Kecamatan Bandung Kulon, Bandung. Tanah yang dulunya tempat pembuangan sampah tersebut berada di tengah kawasan industri tekstil di Cigondewah. Pada 2008, di lokasi tersebut, Tisna mendirikan Pusat Kebudayaan Cigondewah—sebuah tempat berbagi, bermain, dan berkegiatan kreatif secara independen. Untuk Jakarta Biennale 2015, Tisna menghadirkan sebuah karya instalasi dan performans di Gudang Sarinah. Beberapa hari selama pameran, Tisna akan mencetak tubuhnya sebanyak 33 kali di atas permukaan kanvas— menggunakan hasil panen rempah yang ia tanam bersama petani lokal, serta bahan-bahan organik yang ia temukan, di Cigondewah. Jumlah cetakan di tubuh Tisna setara dengan jumlah penyebutan nama Allah saat dzikir—penanda akan tema spiritualitas yang hendak ia jelajahi dalam karyanya. Ritual tersebut dilakukan dalam ruangan berukuran 7x6 meter, yang setiap sisinya dituliskan sejumlah doa dan harapan. Ruangan ini mewakili individualitas Tisna sebagai seorang seniman, juga kritiknya terhadap praktik seni yang ‘seolah-olah’ berkolaborasi dengan dunia luar. Bagi Tisna, seni adalah sebuah pengalaman spiritual dan terkadang seniman hanya bekerja sendirian.

95

A FEW YEARS AGO, Tisna Sanjaya traded a number of his works for a piece of land in Cigondewah, Bandung Kulon, Bandung. This land, located in the textile industry district, used to be a wasteland. In 2008, on the very same land, Tisna established the Cigondewah Cultural Center—an independent space to share, play, and organize creative activities. For the 2015 Jakarta Biennale, Tisna presents an installation and a performance in Gudang Sarinah. For a few days during the exhibtion, Tisna will print his own body 33 times on a canvas— using spices planted by him and local farmers, and other organic materials that he found, in Cigondewah. The number of prints in Tisna’s body is equivalent to the number of recitations of God’s names during a dhikr—a ritual prayer in Islam—as a way to communicate the spirtual themes he is exploring in this work. The ritual will be performed in 7x6 meter room, with prayers and statements of hope scribbled on its walls. This room represents Tisna’s individuality as an artist, also his criticism of art pratices that “pretends” to collaborate with the outside world. For Tisna, art is a spiritual experience and sometimes an artist works alone.

Tisna Sanjaya merupakan salah satu seniman terkemuka di dunia seni rupa Indonesia. Ia berkarya dengan berbagai medium, seperti lukisan, intalasi, pertunjukan, dan gambar. Setelah lulus dari Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung pada 1986, ia melanjutkan studi pascasarjana dengan beasiswa dari Deutscher Akademischer Austauschdienst—lembaga pemberi beasiswa dari Jerman pada 1998. Tahun-tahun terakhir, Tisna banyak berkarya mengenai lingkungan hidup di Pusat Kebudayaan Cigondewah, termasuk menyoroti berbagai persoalan di kota Bandung. Pada 2014, Tisna menerima penghargaan Anugerah Adhikarya Seni Rupa dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Republik Indonesia. Pada 2015, proyek seninya ditampilkan pada pameran ‘SECRET ARCHIPELAGO’ di Palais de Tokyo, Paris. Pada tahun yang sama, bukunya berjudul Cigondewah diterbitkan oleh NUS Museum, Singapura.

Tisna Sanjaya is one of the prominent figures in the Indonesian art scene. He uses various media, such as painting, installation, performance and drawing. After graduating from the Bandung Institute of Technology’s Faculty of Art and Design in 1986, he continued his study with a DAAD (Deutscher Akademischer Austauschdienst) Stipendium in Braunschweig, Germany, in 1998. In recent years, Tisna has been producing many works about the environment at the Cigondewah Cultural Center, and shedding light on various problems in Bandung. In 2014 , Tisna received the Anugerah Adhikarya Seni Rupa, an award from the Ministry of Tourism and Creative Economy, the Republic of Indonesia. In 2015 , his art project was exhibited in the ‘SECRET ARCHIPELAGO’ exhibition at Palais de Tokyo, Paris. In the same year, his book entitled Cigondewah was published by NUS Museum, Singapore.


SENIMAN / ARTIST

Peter Robinson Auckland

Syntax System Sistem Sintaks Kain felt 1.000 x 1.000 x 30 cm Die cut felt 1.000 x 1.000 x 30 cm 2015

96

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

BATAS ANTARA MANA YANG ‘SENI’ dan mana yang bukan ditentukan oleh otoritas tertentu, seperti kurator, kritikus, kolektor, dan sejenisnya. Pengunjung pameran atau publik dianggap—dan tak jarang diperlakukan—sebagai penikmat karya yang pasif. Peter Robinson ingin mengubah relasi kuasa yang lumrah terjadi ini. Melalui Syntax System, seniman asal Selandia baru ini mengundang pengunjung pameran dan publik untuk terlibat dalam proses penciptaan karya seni—menjadi penentu apa itu ‘seni’.

THE LINE BETWEEN WHAT IS ‘ART’ and what is not art is determined by certain authorities, such as curators, critics, collectors and so on. Those who attend exhibitions, or the public, is considered— and often treated—as a passive audience. Peter Robinson would like to change this common power relation. Through the work Syntax System, the New Zealand artist invites the public to be involved in the creation process of an artwork, which automatically gives people the power to determine what is ‘art’.

Karya Robinson bermodalkan ratusan potong kain felt—sejenis flanel dengan tekstur yang lebih kasar—yang terbagi dalam sejumlah bentuk sederhana, seperti garis, bujur sangkar, dan lingkaran. Potongan-potongan kain felt ini terbuka untuk diolah menjadi apapun—huruf, gambar, simbol, serta produk-produk visual lainnya. Batasnya adalah imajinasi para pengunjung pameran.

Robinson works with hundreds of felt cloth pieces—a kind of flannel cloth with more rugged textures—in different basic forms; lines, squares, and circles. Anyone can create anything with the felt pieces, whether letters, images, symbols or other visual products. Their imagination is the limit.

Permainannya sendiri juga terbuka. Seorang pengunjung boleh meneruskan permainan yang sudah dimulai oleh pengunjung lainnya—menjadikan karya ini terus berproses, dari satu pelaku ke pelaku lainnya, sebagaimana seni itu sendiri yang terus berkembang ragamnya dari masa ke masa. Melalui kegiatan kolektif ini, Robinson ingin membuka ruang sebebasbebasnya bagi eksperimentasi bentuk, medium, dan logika dalam berkarya—yang pada perkembangannya dapat menjadi kesempatan bagi publik untuk memahami dan menjelajahi berbagai kemungkinan dalam seni.

97

The game itself is open for anything. An exhibition visitor can continue what another visitor has started—that way, the work undergoes a continuous process, from one creator to another, just as art itself evolves from time to time. With this collective activity, Robinson wants to create a space as open as possible for experimentation in form, medium and logic in creating a work—which, in turn, are an opportunity for the public to understand and explore the various possibilities of art.

Peter Robinson belajar seni patung di Ilam School of Fine Arts di University of Canterbury, Selandia Baru, Karyanya sendiri tidak terbatas pada patung—ia gemar menggunakan berbagai medium dan pendekatan dalam berkarya. Kiprahnya berpameran, baik tunggal maupun berkelompok, membentang dari ‘La Biennale de Lyon’ pada 2000, ‘49 th Venice Biennale’ pada 2001, ‘8 th Baltic Triennial of International Art’ di Vilnius pada 2002, hingga ‘18 th Biennale of Sydney’ pada 2012. Sepanjang kariernya, ia sudah dua kali menerima Walters Prize—penghargaan paling bergengsi untuk bidang seni di Selandia Baru—pada 2006 dan 2008.

Peter Robinson studied sculpture at the University of Canterbury Ilam School of Fine Arts, New Zealand. His work is not limited to sculpture as he is fond of using various media and approaches. His exhibitions, both solo and group shows, span from the ‘Lyon Biennale’ in 2000, ‘the 49 th Venice Biennale’ in 2001, ‘the 8 th Baltic Triennale of International Art’ di Vilnius in 2002, to ‘the 18 th Biennale of Sydney’ in 2012. Throughout his career, he has received two Walters Prizes—the most prestigious art award in New Zealand—in 2006 and 2008.


SENIMAN / ARTIST

Merv Espina Manila

Manila By Jakarta Manila oleh Jakarta Video, parfum Video, perfume 2015

98

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

APA YANG TERJADI ketika sebuah kota kehilangan asal usul penamaannya? Apa makna simbolis dari fenomena ini dan bagaimana kaitannya dengan orangorang dan juga lingkungan?

WHAT WOULD HAPPEN if a city lost the origin of its name? What would be the symbolic implication of this phenomenon, and how would it affect the people and the environment?

Manila By Jakarta adalah sebuah proyek seni yang berangkat dari sebuah produk berupa parfum. Parfum ini terbuat dari tumbuhan bernama Manila, sejenis bakau (Scyphiphora hydrophyllacea), yang sayangnya telah punah di Filipina dan justru saat ini lebih banyak ditemukan di Jakarta. Konon pembangunan kota Manila berperan atas punahnya tumbuhan ini. Kata ‘nila’ pada nama Manila sendiri bermakna ‘milik mereka’ dalam bahasa Tagalog—kian menekankan ironi dalam judul karya Manila By Jakarta.

Manila by Jakarta is an art project that springs from a perfume. The perfume is made of a plant called Manila, a type of mangrove (Scyphiphora hydrophyllacea), which unfortunately has gone extinct in the Philippines and found a home in Jakarta. It is believed that the development of the city of Manila contributed to the demise of the plant there. The word nila in Manila means ‘theirs’ in Tagalog—a further irony in the title Manila by Jakarta.

Karya parfum ini ditampilkan dalam sebuah ruang serupa kedai. Di dalamnya terdapat sebuah monitor yang menayangkan video mirip iklan, tentang pengetahuan orang-orang di Philipina hari ini soal asal-usul nama Manila. Selain itu terdapat literatur dan gambar tentang proyek ini yang dipresentasikan kepada para pengunjung—mereka diperlakukan seolah-olah sebagai klien. Melalui sebuah produk komersil, Manila By Jakarta menelusuri gejolak sejarah dan geliat ekonomi Filipina, dan dampaknya terhadap kebudayaan hari ini.

99

The work is displayed in a café-like environment. There is a monitor in it playing a video that looks like a TV commercial, about the Filipinos’ knowledge of where the name Manila comes from. In addition, visitors are presented with documents and images of the project—like a presentation to a client. Using a commercial product, Manila by Jakarta explores the historical and economic development in the Philippines, and what it does to the country’s current culture.

.

Mervin Joseph S. Espina, yang kerap disapa Merv Espina, adalah seniman dari Manila. Lahir di kota Pasay pada 1982, Merv menyelesaikan studinya pada jurusan filsafat dengan fokus pada film dan sastra. Proyek terakhirnya adalah karya kolaborasi dengan Shireen Seno berjudul The Kalampag Tracking Agency, yang telah berlangsung sejak 2014. Merv juga ikut mendirikan The Institute of Lower Learning, kelompok seni eksperimental Manila dan Saigon. Pada 2011, Merv terpilih mengikuti residensi di Echo Park Film Center, Los Angeles, Amerika Serikat.

Mervin Joseph S. Espina, or Merv Espina, is an artist living in Manila. Born in Pasay in 1982, Merv finished his studies in philosophy with a focus on film and literature. His latest project is a collaboration with Shireen Seno, entitled The Kalampag Tracking Agency, which has been going on since 2014. Merv also co-founded The Institute of Lower Learning, an experimental art collective in Manila and Saigon. In 2011, Merv was selected to do a residency at Echo Park Film Center, Los Angeles, the US.


SENIMAN / ARTIST

Firman Djamil Makassar

KETIKA PEMBANGUNAN DIGIATKAN tanpa kesadaran lingkungan, warga yang jadi korban. Buktinya bisa dilihat di Jakarta, yang permukaan tanahnya turun hingga 60-80 cm selama periode 1982-1997 akibat penyedotan air tanah berlebih. Belum lagi banyak bukaan tanah yang ditimpa beton, yang kian menghambat penyerapan air ke tanah.

WHEN DEVELOPMENT IS CONDUCTED without environmental awareness, the people become the victim. It is the case of Jakarta, where during 1982-1997 the ground level decreased by up to 60 to 80cm due to excessive ground water exploitation. In addition, previously open spaces were covered by concrete, which further inhibited water absorption to the ground.

Gegarnya kota-kota di Indonesia dalam menangani air, membuat Firman Djamil teringat akan kehidupan di desa. Hasilnya adalah instalasi Menggantung Air, yang terwujud dalam seratus wadah air dari kelapa muda, yang ditopang oleh seutas kawat dan dua bilah pasak di seratus tongkat bambu. Bentuk instalasi ini menyerupai pose orang-orang desa saat membawa air dari sumur, atau sumber air manapun, yang jauh dari rumah.

Water mismanagement by Indonesian cities makes Firman think of life in rural areas. The result is Menggantung Air (‘Hanging Water’), an installation piece using one-hundred water containers made of coconut shells, supported by a wire and two pegs on a hundred bamboo sticks. The installation mirrors the pose of villagers when they are carrying water from a well, or any water source miles from where they live.

Tongkat-tongkat bambu itu terpancang tegak di tanah, memungkinkan beragam serangga dan burung singgah di kelapa— dan barangkali mencicipi air yang terwadahi. Penggunaan bambu dan kelapa, selain karena kedua tumbuhan punya daya tampung air yang tinggi, diniatkan sebagai simbol kemakmuran dan kebudayaan masyarakat tropis.

The bamboo sticks stand erect, enabling all kinds of insects and birds to perch on the coconut shells and take a sip of the water in them. The use of bamboo and coconut shells, aside from the fact that they can contain water effectively, is also a symbol of culture and prosperity for people in the tropics.

Firman Djamil lahir di Bukaka, Bone, Sulawesi Selatan pada 5 Februari 1964. Usai mendapat gelar magister seni dari Institut Seni Indonesia di Yogyakarta, ia aktif berkarya dengan instalasi patung bertema lingkungan hidup dalam sejumlah forum seni internasional. Kiprahnya berpameran membentang dari ‘Geumgang Nature Art Biennale’ di Korea Selatan pada 2014, hingga National Museum of Marine Science and Technology di Keelung, Taiwan pada 2015. Zero Chimney, karyanya di Guandu Park Taipei pada 2008, menjadi satu dari dua ratus karya yang dibahas dalam buku Sculpture Now karya Anna Moszynska pada 2013.

100

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Firman Djamil was born in Bukaka, Bone, South Sulawesi, February 5, 1964. After obtaining his master’s degree from the Indonesian Institute of the Arts in Yogyakarta, he produced sculpture installation works with environmental themes for a number of international art forums. He has participated in many exhibitions, from ‘Geumgang Nature Art Biennale’ in South Korea in 2014, to National Museum of Marine Science and Technology in Keelung, Taiwan in 2015. Zero Chimney, his work in Guandu Park Taipei in 2008, became one of the two hundred works discussed in the book Sculpture Now by Anna Moszynska in 2013.


JAKARTA BIENNALE 2015

101

Menggantung Air Hanging Water Instalasi Dimensi bervariasi Installation Various dimensions 2015


SENIMAN / ARTIST

Bron Zelani Jakarta

Bertingkah Seperti Pria Dewasa Act Like A Man Gambar di atas kertas Drawing on paper 2015

PENCARIAN IDENTITAS SESEORANG seringkali menyerupai pertumbuhan budaya suatu masyarakat: penuh gejolak, memakan waktu, dan tak jarang mendapat inspirasi dari hal-hal di luar sana. Bron Zelani mengalaminya ketika ia dan kawan-kawannya membentuk band rockabilly bernama The Gokillbillies pada 2006. Mengklaim sebagai band rockabilly pertama di Jakarta, The Gokillbillies mempromosikan dirinya via MySpace. Hal ini mempertemukan Bron dengan sesama pelaku rocakbilly lainnya di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Melalui sejumlah percakapan dan penongkrongan, Bron mendapati bahwa aliran musik yang ia tekuni punya sejarah panjang, tidak saja di Indonesia tapi juga mancanegara. Seorang teman kampus

102

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

memperkenalkannya pada musik The Tielman Brothers—sekelompok orang Indonesia, tepatnya Maluku, di Belanda yang bermain rockabilly sejak 1950-an. Konon, Elvis Presley terinspirasi menjadi musisi setelah menyaksikan penampilan The Tielman Brothers. Proses pencarian jati diri inilah yang akan Bron tuangkan dalam medium komik. Sang seniman memajang komiknya secara horizontal, menyerupai garis waktu, berisikan cerita-cerita tentang tokoh dan peristiwa sejarah yang mewarnai subkultur rockabilly. Karya ini secara khusus akan mewadahi observasi Bron terhadap era 2000 dan setelahnya, ketika musik rockabilly mulai bersemi di Indonesia dan bertumbuh hingga sekarang.


JAKARTA BIENNALE 2015

ONE’S QUEST for self identity often resembles a nation’s cultural growth: tumultuous, slow, and at times inspired by things outside of the borders. That is what Bron Zelani experienced when he and a group of friends formed a rockabilly band called The Gokilbillies in 2006. Proclaiming themselves as the first rockabilly band in Jakarta, The Gokilbillies promoted their music through MySpace and that is how Bron became connected with other rockabilly musicians in Jakarta, Yogyakarta and Surabaya. Through conversations in countless hang-out sessions, Bron discovered that the music he has been so passionate about has a long history, not only in Indonesia, but around the world. A Bron Zelani, lahir pada 1985 dengan nama lengkap Moch Rizqi Zaelani, merupakan seniman multitalenta yang menempuh studi seni grafis di Institut Kesenian Jakarta. Ia kerap menggunakan medium gambar, mural, komik, serta video, untuk menjelajahi fenomena budaya urban, anak muda, dan musik punk serta rockabilly. Pada 2013, ia mempresentasikan proyek solonya yang berjudul Wawancara Dengan Mister Kosasih di De Kongkow Food & Coffee, Yogyakarta. Di luar kesibukan sebagai seniman, Bron juga bermusik, baik secara solo dengan alias DJ Abzeurd, Bron Zenglot Ultrasonic, ataupun Zelani Cats, maupun bersama band The Gokillbillies, Vicky Drunk & Trash, dan Bronzebois.

103

friend from college introduced him to the music of The Tielman Brothers—a group of Indonesians from Maluku in the Netherlands who has been playing rockabilly since the 1950s. It is believed that Elvis Presley was inspired to become a musician after seeing their performance. Bron chronicles a process of selfdiscovery in comic drawings. The artist exhibits his comic works horizontally, resembling a timeline in which we can see stories of historical figures and events in the rockabilly subculture. This work specifically reflects Bron’s observation of the 2000s and onwards, when rockabilly started to blossom in Indonesia and has been growing until today.

Bron Zelani, born Moch Rizqi Zaelani in 1985, is a multitalented artist who completed his study in graphic design at the Jakarta Arts Institute. He likes to use drawing, mural, comics and video to explore urban, youth, and punk cultural phenomena, as well as rockabilly. In 2013, he presented his solo project entitled Interview with Mister Kosasih at De Kongkow Food & Coffee, Yogyakarta. Not only working with visual artistry, Bron also performs as a musician, both as a solo act with aliases DJ Abzeurd, Bron Zenglot Ultrasonic or Zelani Cats, or with the bands The Gokillbillies, Vicky Drunk & Trash and Bronzebois.


SENIMAN / ARTIST

Zulhiczar Arie Yogyakarta

SEDARI DULU INDONESIA adalah pelanggan setia tren kebudayaan global— dari musik, film, kuliner, busana, bahkan gaya hidup. Banyak yang tidak bertahan, sejalan dengan minat masyarakat dan persaingan pasar. Banyak juga yang bertahan, dan tren-tren yang bertahan itu seiring berjalannya waktu mengalami adaptasi atau modifikasi lokal—baik karena kendala teknis, perbedaan budaya, keragaman pelaku, hingga penerapan pengetahuan. Salah satunya skateboarding—papan luncur—yang sempat marak di Indonesia pada 1980-an. Tren ini bertahan—bahkan berkembang—sampai saat ini meski banyak menghadapi kendala, dari dalam maupun luar pelakunya. Zulhiczar Arie adalah salah satu pegiat, yang aktif bermain papan luncur sejak awal 2000-an.

Zulhiczar Arie lahir dan tinggal di Yogyakarta. Lulusan Sarjana Jurusan Televisi Institut Seni Indonesia di Yogyakarta ini gemar berkarya seputar seni dan budaya anak muda. Ia mulai menggeluti bidang produksi film dokumenter dan seni video sejak 2009. Zulhiczar telah beberapa kali mengikuti festival, pameran, dan pemutaran film—di antaranya ‘ARTE Indonesia’ dan ‘OK. Video Festival’ di Jakarta, serta ‘SPOT ART’ di Singapura. Sebelumnya ia pernah menjadi pengajar produksi multimedia di SMKN 2 Sewon dan juga aktif memberikan pengajaran dan pendampingan pembuatan video bersama remaja di berbagai daerah dari Kalimantan, Jawa Timur, Jawa Barat sampai Flores, Nusa Tenggara Timur.

104

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Ia menjadi saksi mata bagaimana kegiatan skateboarding menemukan kekhasannya dalam beragam komunitas, meski tidak mendapat dukungan infrastruktur yang memadai di berbagai daerah—plus tekanan dari pihak keamanan, stigma dari masyarakat sekitar, hingga kekangan dari aturan pemerintah. Melalui sebuah karya video, berisikan montase para skateboarder Indonesia beraksi di lingkungannya masing-masing, Zul ingin menampilkan bagaimana fenomena global ini diterjemahkan secara lokal di Indonesia. Dari keragaman penyikapan ini, terpetakan kemudian betapa pembangunan negeri ini begitu Jawa-sentris—yang terwujud lewat instalasi sebuah papan luncur berbentuk Pulau Jawa.

Zulhiczar Arie was born and resides in Yogyakarta. He graduated from the Indonesian Institute of the Arts’ Department of Television in Yogyakarta, and he has been producing works about youth culture and art. He started focusing on documentary filmmaking and video art in 2009. Zulhiczar has participated in numerous festivals, exhibitions and film screenings—including ‘ARTE Indonesia’ and ‘OK. Video Festival’ in Jakarta, and ‘SPOT ART’ in Singapore. He previously taught multimedia production in SMKN 2 Sewon, also taught and facilitated video production with teenagers in various areas in Kalimantan, East Java, West Java and Flores, East Nusa Tenggara.


JAKARTA BIENNALE 2015

INDONESIA HAS LONG BEEN an avid follower of global trends—from music, film, food, fashion, to lifestyle. Most of the trends do not last very long due to the evolving public demand and market competition. Trends that do last undergo some local adaptations or modifications through time—due to technical obstacles, cultural differences, variety of human behaviors or knowledge applications. One of the trends in question is skateboarding, which was very popular in Indonesia in the 1980s. It has stood the test of time and evolved to a certain extent despite obstacles both human-related and others. Zulhiczar Arie has been an avid skateboarder since the early 2000s. He

witnessed how skateboarding finds unique characteristics in various communities notwithstanding the lack of support for proper infrastructures, persecution from authorities, stigma from the locals and limitations by government regulations. With a video containing a montage of Indonesian skateboarders in action in their respective areas, Zul would like to present how this global phenomenon is being translated locally in Indonesia. From the various ways of dealing with the trend, it has mapped out that the development in this country is very Javacentric—which is shown through in an installation of a skateboard in the shape of the island of Java.

105

Visually Gap Celah yang Terlihat Video kanal tunggal dan instalasi objek 7 menit Single channel video dan object installation 7 minutes 2015


SENIMAN / ARTIST

Melawan Kebisingan Kota Surabaya

SETIAP HARINYA WARGA PERKOTAAN akrab dengan kebisingan yang ditimbulkan kemacetan dan kesemrawutan jalan raya. Akibat skema pembangunan yang kurang padu, kota-kota di Indonesia tumbuh cepat namun abai terhadap dinamika dan kenyamanan penghuninya. Tanpa transportasi publik yang memadai, warga memilih untuk berpergian naik kendaraan pribadi. Jalanan jadi penuh sesak. Melawan Kebisingan Kota, kelompok seniman audiovisual asal Surabaya, percaya bahwa kebisingan kota harus dilawan dengan kebisingan pula—tentu dalam bentuk yang kreatif. Hanya dengan cara itu, warga kota bisa tersadarkan akan kebisingan di sekitar mereka, serta kontribusi mereka terhadapnya. Setiap jengkal jalan raya praktis menjadi panggung mereka—karena menampilkan musik di trotoar, misalnya, akan sama mengesalkannya dengan menggunakan trotoar sebagai jalur kendaraan.

Kebisingan adalah Sarapan Noises for Breakfast Instalasi multimedia Multimedia installation 2015

106

Jakarta Biennale 2015 membawa Melawan Kebisingan Kota ke panggung yang teramat menantang: jalanan ibukota, yang langganan masuk ke daftar sepuluh besar jalan raya termacet di dunia. Sebagai persiapan karya, para anggota Melawan Kebisingan Kota akan menyusuri berbagai pasar loak di Jakarta, mengumpulkan bermacam-macam barang bekas dan rongsokan. Produk-produk sisa tersebut kemudian diolah menjadi instalasi penghasil bising, yang akan dimainkan di pusat-pusat kebisingan Jakarta—satir terhadap kejemuan yang tak terelakkan. Instalasi tersebut mereka tampilkan kembali di Gudang Sarinah, arena pameran utama Jakarta Biennale 2015.

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

DUE TO SCRAMBLED DEVELOPMENT schemes, Indonesian cities grow rapidly without paying attention to the dynamics and comfort of the residents. As a result, every day city people live with the chaos and noises from bad traffic. Proper public transportation is absent everywhere so that people prefer to use private vehicles. Hence, traffic becomes unbearable. Melawan Kebisingan Kota (‘fighting noises of the city’), a collective of audiovisual artists from Surabaya, believes that city noises should be countered by noises as well, in a creative fashion. Only that way will the people be made aware of the noises around them and of their contributions to those noises. To Melawan Kebisingan Kota, every inch of the street is practically a stage—because staging a performance on a sidewalk, for example, will be just as irritating as riding your vehicle on it. The 2015 Jakarta Biennale takes Melawan Kebisingan Kota to a very challenging stage: the streets of Jakarta, a regular in top ten lists of the world’s worst traffic. To prepare for the work, the artists collect used items and trash from flea markets in Jakarta. The items are then turned into noise-producing installations, which they play at the noisiest spots in the city—a satire for the inevitable fatigue. They presented the installations in Gudang Sarinah, the main exhibition venue of Jakarta Biennale 2015.


JAKARTA BIENNALE 2015

Melawan Kebisingan Kota adalah kelompok seniman audiovisual asal Surabaya. Para pendirinya berasal dari beragam latar belakang—dari “musisi bawah tanah”, sarjana teknik, desainer grafis, bahkan pengangguran profesional. Mereka aktif membuat kebisingan di jalan raya yang ramai, sebagai sarana penyadaran publik, juga sebagai cara mereka bersenang-senang. Aksi mereka seringkali tak terduga, tak bisa ditebak jadwalnya.

107

Melawan Kebisingan Kota is a collective of audiovisual artists from Surabaya, founded by people from different backgrounds— from ‘underground musicians’, engineering university graduates, graphic designers, to ‘professional slackers’. They actively create noises in busy streets to generate public awareness, which is also a way for them to have fun. Their acts often go unexpected and with unpredictable timing.


SENIMAN / ARTIST

Kolatt Yangon

DI MYANMAR, laki-laki dan perempuan homoseksual dianggap kriminal. Mereka kerap menjadi korban pelecehan seksual serta kekerasan verbal, mental, dan fisik. Sementara itu, kesadaran soal identitas dan preferensi seksual belum tersebar luas di masyarakat. Banyak yang belum teredukasi, atau lebih memilih untuk menjalani hidup dalam kepurapuraan untuk menjamin keamanan dirinya. Akibatnya, perjuangan untuk persamaan hak, atau sekurangkurangnya jaminan keamanan sebagai homoseksual, masih tersendat. Kolatt, sebagai seorang homoseksual yang tinggal di negara yang menghujat homoseksualitas, tak ingin tinggal diam. Melalui video Apple, ia ingin mengajak publik untuk tidak terpaku pada satu perspektif. Ia suguhkan beragam cara untuk menikmati sebuah apel—dari yang paling mudah sampai yang paling mustahil. Beda orang, beda cara, beda pula kenikmatan yang dicari. Budaya manusia jelas memuat lebih banyak rasa ketimbang sebuah apel. Artinya, ia pun juga bisa—dan butuh— diapresiasi dengan berbagai cara. Bagi Kolatt, sebuah kebudayaan tidak berakar pada kebenaran tunggal, tapi pada berbagai kepercayaan orang-orang yang menghidupinya. Seiring musim berganti, suatu kepercayaan bisa saja dipertanyakan bahkan dirumuskan ulang—dan budaya manusia akan beradaptasi mengikutinya. Tawaran perspektif dalam Apple ini lantas akan Kolatt perkaya dengan mengulik isu HAM dan LGBTQ di Jakarta. Pengalamannya berproses di ibukota akan ia tuangkan dalam video Switch On.

108

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

IN MYANMAR, homosexual men and women are criminalized. They are often subjected to sexual harassment as well as to verbal, mental and physical violence. Meanwhile, awareness of sexual identity and preference is still low within society. Many are yet to be educated or choose to live under false pretenses to guarantee their security. Consequently, the fight for equality in rights, or at least to guarantee the safety of homosexuals, is still facing significant obstacles. As a homosexual living in a country that condemns homosexuality, Kolatt refuses to stay silent. With the video Apple, he would like to encourage the public to break free from the shackles of one single perspective. He presents various ways to enjoy an apple—from the easiest to the most impossible way. Different people, different ways, different enjoyment. Obviously, human culture has more dimensions than an apple. It means that it can be—requires, indeed—to be appreciated in various ways. To Kolatt, culture is not derived from one single truth, but from various beliefs from people that nurture it. As time goes by, a belief can be questioned and even revised—and human culture will adapt to it. Kolatt enriches the perspectives offered by Apple by exploring human rights and LGBTQ issues in Jakarta. He documents his creative process in Jakarta in the video Switch On.


JAKARTA BIENNALE 2015

Apple Apel 5 menit 45 detik 5 minutes 45 seconds 2013

Switch On Nyalakan 10 menit 10 minutes 2015

Kolatt, atau Kyaw Zay Ya, adalah seniman muda asal Yangon, Myanmar. Ia mendapatkan gelar Master of Fine Arts di Zurich dan sempat bekerja di New Zero Art Space, sebuah ruang alternatif bagi kesenian, di Myanmar. Karya-karyanya pernah dipamerkan di ‘Nippon International Performance Art Festival‘, Tokyo (2011); ‘Open 2 Media and Performance’, Lyon (2012); dan di ‘Cencorship: The 7 th Move on Asia’, Seoul (2013).

Kolatt, or Kyaw Zay Ya, is a young artist from Yangon, Myanmar. He obtained a Master of Fine Arts in Zurich, and worked at New Zero Art Space, an alternative space for art in Myanmar. His works were exhibited at ‘Nippon International Performance Art Festival‘, Tokyo (2011); ‘Open 2 Media and Performance’, Lyon (2012); and ‘Cencorship: The 7 th Move on Asia’, Seoul (2013).

109


SENIMAN / ARTIST

Maryanto Yogyakarta

NEGARA DENGAN SUMBER DAYA ALAM yang besar punya potensi konflik yang besar pula—salah duanya, separatisme dan perebutan lahan. Ini terlihat lewat sepotong kisah tentang tambang minyak tertua di Wonocolo, Bojonegoro, Jawa Timur. Penambangan minyak di Wonocolo sudah dimulai sejak 1893, ketika Adrian Stoop mendirikan Dordtsche Petroleum Maatschappij (DPM), perusahaan asing pengelola minyak pertama di Indonesia. Pendirian DPM turut menandai titik awal pertambangan minyak di Jawa. DPM berhenti ketika Belanda kalah perang, tetapi bukan berarti produksi minyak berhenti. Pengelolaan sumur minyak tua di Wonocolo masih berjalan, kini dilakukan oleh masyarakat secara kolektif di sekitar 500 titik. Beberapa pihak menyebutnya penambangan ilegal. Beberapa konsekuensi dari praktik penambangan ilegal tersebut adalah tak terukurnya kerusakan lingkungan akibat eksploitasi alam, serta masuknya investor-investor asing, seperti dari Malaysia dan Singapura, tanpa prosedur dan regulasi yang jelas.

Tumpah Ruah di Wonocolo Brimming in Wonocolo Instalasi Installation 2015

110

Maryanto mencoba mengangkat masalah tersebut lewat karya instalasi dan lanskap mural. Beberapa barel menampilkan atraksi berupa minyak yang mengalir berirama. Barel-barel tersebut menggambarkan betapa banyak sumber daya mineral di Indonesia yang dieksploitasi pihak asing, dan bagaimana hal tersebut berdampak langsung terhadap kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

A COUNTRY, rich in natural resources, could potentially induce a great deal of conflicts, e.g. separatism and disputes over land. This is reflected in the story about the oldest oil mine in Wonocolo, Bojonegoro, East Java. Oil mining started in Wonocolo in 1893, when Adrian Stoop founded the Dordtsche Petroleum Maatschappij (DPM), Indonesia’s first foreign petroleum company. DPM marked the start of oil mining in Java. DPM stopped its operation when the Dutch lost the war, but oil production continued. Locals have been collectively managing old oil wells on approximately 500 spots in Wonocolo. Some call it illegal mining. And the practices have brought some consequences, which include the non-measurable environmental damages from the exploitation. In addition, foreign investors came in without clear procedures and regulations, for example from Malaysia and Singapore. Maryanto attempted to highlight the issues with his installation work and mural landscape, displaying barrels with oil flowing rhythmically. These objects illustrate how Indonesia’s mineral resources have been greatly exploited by foreign parties, and how it has a direct impact on the people’s economic and social situation.


JAKARTA BIENNALE 2015

Maryanto menetap di Yogyakarta setelah menyelesaikan kuliah di Institut Seni Indonesia, jurusan Seni Murni. Ia pernah bekerja sebagai fasilitator Anak Wayang Indonesia, lembaga swadaya masyarakat untuk perlindungan dan pendidikan anak. Pada 2001, ia turut mendirikan studio grafis Minggiran. Setelah menyelesaikan proyek Rawalelatu pada 2012, Maryanto mengikuti program residensi di Rijksakademie van beeldende kunsten, Belanda, selama dua tahun. Belakangan, ia terlibat dalam beberapa proyek, seperti Monumenta pada 2014, dan pameran tunggal ‘Space of Exception’ di Yeo Workshop, Gillman Barracks, dan ‘After Utopia: Revisiting The Ideal in Asian Contemporary Art’ di Singapore Art Museum—keduanya pada 2015 di Singapura.

111

Maryanto resides in Yogyakarta after completing his study in Fine Arts at Indonesian Institute of the Arts (ISI). He worked as a facilitator for Anak Wayang Indonesia, a non-governmental organization for child protection and education. In 2001, he cofounded Grafis Minggiran, a graphic art studio. After completing his Rawalelatu project in 2012, Maryanto joined a residency program at the Rijksakademie van beeldende kunsten in the Netherlands for two years. Recently, he was involved in several projects, including Monumenta in 2014, and the solo exhibition ‘Space of Exception’ at Yeo Workshop in Gillman Barracks and ‘After Utopia: Revisiting the Ideal in Asian Contemporary Art’ at Singapore Art Museum—both in Singapore in 2015.


SENIMAN / ARTIST

Bamboo Curtain Studio New Taipei, Yunlin

Creative Collaboration as Catalyst for Change Kolaborasi Kreatif sebagai Katalis Perubahan Instalasi arsip dan dokumentasi Archive and documentation installation 2015

DI TAIWAN, banyak sungai yang tidak diketahui keberadaannya oleh masyarakat, padahal lokasinya dekat dengan permukiman. Berangkat dari abainya manusia terhadap sungai dan ekosistemnya, Bamboo Curtain Studio (BCS) mengajak sejumlah praktisi multidisplin dan masyarakat setempat untuk ikut serta dalam proyek Plum Tree Creek. Plum Tree Creek berlangsung dalam berbagai jenis kegiatan, seperti sarapan pagi bersama, diskusi terbuka, trekking di sekitar sungai, pentas teater, instalasi seni, hingga lokakarya. Melalui programprogram yang diselenggarakan BCS dan para kolaboratornya, Plum Tree Creek menjadi semacam forum bersama para praktisi dan masyarakat, untuk belajar dan merumuskan solusi bersama atas masalah di lingkungan sekitar. Semua kegiatan terdokumentasikan dalam video, diagram, katalog, dan poster—yang kemudian disebar ke praktisi dan masyarakat di wilayah lain yang memiliki masalah serupa. Melalui Plum Tree Creek, BCS ingin membuktikan potensi seni sebagai pemicu dialog dalam masyarakat. Ketika seni semakin dekat dengan kehidupan sehari-hari, interaksi yang terjadi dapat berkontribusi dalam mempertajam perspektif masyarakat tentang isu di sekitarnya.

112

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

IN TAIWAN, many rivers are unknown to people despite being located near residence areas. Having observed people’s ignorance to rivers and the ecosystem, Bamboo Curtain Studio (BCS) is inspired to invite multidisciplinary practitioners and the locals to participate in the project Plum Tree Creek. Plum Tree Creek consists of various events, such as breakfast gathering, open discussion, trekking around the river, theatrical performance, art installation exhibition, and workshop. Through the programs held by BCS and its collaborators, Plum Tree Creek becomes a collective forum for practitioners and the public to learn and discuss solutions regarding problems in their environment. All of the events are documented in videos, diagrams, catalogues, and posters—which are then distributed to practitioners and the people in other areas with similar problems. With Plum Tree Creek, BCS would like to prove art’s potential as an instigator of dialogue in society. When art is familiar to daily life, the interaction resulted can contribute to sharpen the public’s perspectives on issues in their surroundings.


JAKARTA BIENNALE 2015

113

BCS exhibition plan Wall B

Table for the workshop only Chair

Wall C

Wall A Table Digital photo frame Desk for the printed matters

Blackboard paint

Traffic flow

Bamboo Curtain Studio (BCS) didirikan di Taiwan oleh Margaret Shiu, seniman keramik dan kurator asal Hong Kong, pada 1997. BCS mempromosikan pertukaran budaya dengan mempertemukan seniman dari berbagai bidang seni, baik nasional dan internasional, untuk berkarya dalam proyek seni yang mempromosikan kesadaran lingkungan dan kehidupan yang berkelanjutan. Proyek-proyek seni BCS antara lain Landscape between Art Veranda Project dan Plum Tree Creek Environmental Art Action. Sepanjang 2015, mereka menggelar pameran retrospektif dan serangkaian acara dengan slogan ‘Share, Connect, and Co-create’. Pada tahun mendatang, mereka akan menjelajahi tema perubahan sosial lewat program ‘Creative Collaboration as Catalyst for Change’.

Bamboo Curtain Studio (BCS) was founded in Taiwan by Margaret Shiu, a ceramic artists and curator from Hong Kong, in 1997. BCS promotes cultural exchange by connecting national and international artists from various art branches to work together in art projects promoting environmental awareness and sustainable living. BCS’ art projects include Landscape between Art Veranda Project and Plum Tree Creek Environmental Art Action. Throughout 2015, they are holding retrospective exhibitions and a series of events entitled ‘Share, Connect, and Co-create’. In the upcoming year, they will explore the theme of social change through the program ‘Creative Collaboration as Catalyst for Change’.


SENIMAN / ARTIST

Bik Van der Pol Rotterdam Rotterdam

Jogokali Guarding the River Video, materi cetak, artefak Dimensi bervariasi video, prints, artifacts Various dimensions 2015

Bik Van der Pol, terdiri dari Liesbeth Bik dan Jos van der Pol, tinggal dan bekerja di Rotterdam, Belanda. Sejak 1994, Bik Van der Pol berkarya lewat praktik-praktik produksi pengetahuan serta penelitian dan program interaktif bersama publik. Bik Van der Pol seringkali bekerja langsung di lokasi dengan memakai dan menggunakan kembali karya orang lain, baik itu dari dunia seni, jurnalis, media, atau fakta sejarah.Pada 2014, Bik Van der Pol menerima Hendrik Chabot Award untuk karyakarya seni mereka.

114

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Bik Van der Pol, which consists of Liesbeth Bik and Jos van der Pol, lives and works in Rotterdam, the Netherlands. Since 1994 , Bik Van der Pol’s works have been about knowledge producing practices, researches and interactive programs with the public. They often work on location by using and reusing other people’s works—from artists, journalists, the media or historical facts. In 2014 , Bik Van der Pol received the Hendrik Chabot Award for their works in art.


JAKARTA BIENNALE 2015

INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT PERKAMPUNGAN jauh lebih lekat ketimbang masyarakat kota. Kedekatan warga di sana hampir menyerupai keluarga. Warga dari berbagai kelompok saling membantu dengan penuh kesungguhan, sebagai upaya untuk menanggung dan memecahkan masalah bersama—wujud nyata dari gotong royong.

PEOPLE IN RURAL AREAS have a higher level of social interaction compared to their urban counterparts. What they have in rural areas is almost a familial bond. People from all walks of life help each other wholeheartedly, facing and solving problems together—the real manifestation of the spirit of gotong royong, or working together and helping each other.

Masyarakat pinggir kali Surabaya menyadari hal itu sepenuhnya. Dianggap sebagai penduduk ilegal dan terancam digusur karena mendiami bantaran sungai, para warga pinggir kali mendirikan Paguyuban Warga Strenkali Surabaya—sebagai wadah perjuangan dan negosiasi politik. Dengan semangat gotong royong, mereka menjaga lingkungan sekitar sungai serta mengadakan program pemberdayaan warga setempat. Kontras dengan stigma-stigma masyarakat akan hunian pinggir kali, paguyuban ini adalah bukti bahwa warga pinggir kali bisa mengelola diri secara mandiri.

The residents of riverside areas in Surabaya are fully aware of the fact. Having been considered as illegal residents, and facing threats of eviction from populating the riverside areas, the people there founded Paguyuban Warga Strenkali Surabaya (the Surabaya Riverside Residents Association) to facilitate their political struggle and negotiations. Always working as one entity, they protect the environment around the river, and organize programs to empower the locals. Contrary to the common perception of ‘riverside people’, the association is proof that these people can manage themselves independently.

Kebersamaan dan ketersejarahan warga pinggir kali Surabaya ini yang akan digali oleh Bik Van der Pol. Dua seniman dari Belanda ini percaya, lewat riset dan kerja-kerja kolaborasi, bahwa warga dan ruang publik bisa menjadi wahana berkesenian. Selama tiga minggu, mereka berinteraksi dengan warga pinggir kali Surabaya lewat sejumlah program interaktif—meliputi lokakarya, forum terbuka, dan kegiatan-kegiatan bersama lainnya—untuk menggali informasi dari warga terkait kondisi, harapan, dan tantangan hidup mereka.

Bik Van der Pol explored this togetherness and history of the Surabaya riverside residents. This duo from the Netherlands believes, through research and collaborative works, that people and public space can facilitate art. For three weeks, they interacted with the residents in the area through a number of interactive programs—workshops, open forums and other activities—to dig up information from the locals in relation to their condition, aspiration and challenges.

Beragam data dan rekaman wawancara yang terkumpul kemudian dioleh menjadi sebuah instalasi video, diagram kerja, skema pergerakan warga, dan objek-objek lainnya. Lewat cara ini, Bik Van der Pol hendak memetakan interaksi-interaksi manusia di balik sebuah ketegangan sosial, yang seringkali luput dari narasi dan amatan publik.

The artists processed the data and interview footages into a video installation, a working diagram, a people movement scheme and other objects. This way, Bik Van der Pol maps out the human interactions behind social tensions which often escape public narratives and observations.

115


L O K A S I / L O C AT I O N

Paguyuban Warga Strenkali Surabaya PAGUYUBAN WARGA STRENKALI SURABAYA (PWSS) merupakan organisasi rakyat yang beranggotakan warga permukiman pinggir kali di Surabaya. Didirikan pada 24 April 2004, PWSS berpedoman pada prinsip “jogokali” atau “menjaga kali”. Sebagai warga yang hidup di perkotaan dan terpinggirkan dalam skema pembangunan pemerintah, PWSS berfungsi sebagai wadah perjuangan warga strenkali Surabaya untuk menata diri, konsolidasi sumber daya, dan bekerja sama dengan berbagai pihak, demi terciptanya kehidupan sosial yang adil dan berlandaskan pada nilai-nilai yang disepakati bersama. Informasi lebih lengkap mengenai PWSS dapat diakses di situs strenkalisurabaya.blogspot.co.id.

116

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Kepengurusan PWSS ditentukan oleh kongres yang diadakan tiga tahun sekali. Program pokok mereka adalah penataan kampung, mulai dari penyediaan septic tank untuk mencegah pembuangan limbah ke sungai, sampai menata ulang rumah-rumah supaya menghadap sungai, sehingga memungkinkan untuk membuat jalan inspeksi—selebar tiga sampai lima meter—di pinggir sungai. Program-program pendukung PWSS meliputi tabungan kelompok, kelompok usaha bersama, kelompok belajar anak, lokakarya siaga bencana, dan festival larung sungai—yang diselenggarakan tiap awal Oktober.


JAKARTA BIENNALE 2015

PAGUYUBAN WARGA STRENKALI SURABAYA (PWSS), or the Surabaya Riverside Residents Association, is an organization that consists of people living on the riverside in Surabaya. Founded on 24 April 2004, the principle of PWSS is jogokali, or guarding the river. As a group of people living in the city and being marginalized in the government’s development scheme, PWSS functions as the means of the Surabaya riverside residents to self-organize, consolidate resources and collaborate with other parties for a just social life based on mutually agreed values. Further information on PWSS can be accessed through the website strenkalisurabaya.blogspot.co.id.

The committee of PWSS is settled by a congress held once every three years. Their main program is village planning, such as providing septic tanks to prevent waste from going into the river and reorganizing houses to face the direction of the river—enabling the construction of an inspection path, three to five meters wide alongside the river. PWSS’ supporting programs include collective financial saving, joint enterprises, study group for children, disaster anticipation workshops and a floating festival—held in early October each year.

117


SENIMAN / ARTIST

Lifepatch Yogyakarta

6m

Mbanyu Mili Flowing Water Instalasi Multimedia Multimedia installation 2015

Monitor 27”

Ayunan Pohon Kelor tinggi minimal 5m Kolam air bersih hasil filtrasi, kedalaman 0.5m

6m

Kolam air kotor hasil filtrasi, kedalaman 0.5m

Instalasi FIltrasi

Rumput diatas tanah

Lifepatch adalah sebuah organisasi lintas-disiplin berbasis komunitas yang terbentuk pada 2012. Berpijak pada inisiatif warga dalam seni, sains, dan teknologi, Lifepatch mengajak para anggota dan siapapun yang terlibat dalam aktivitasnya untuk meneliti, menggali, dan mengembangkan kehadiran teknologi, serta sumber daya alam dan manusia di daerah sekitarnya. Inisiatif warga dipilih untuk memberi ruang lebih luas bagi keragaman praktik anggotanya, untuk memacu kreativitas masing-masing anggota dalam berperan dalam sebuah aktivitas kolaborasi. Prinsip yang diusung Lifepatch: Do It Yourself (DIY) dan Do It With Others (DIWO).

118

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Lifepatch is a community-based interdisciplinary organization founded in 2012. Based on the principle of citizen’s initiatives in art, science, and technology, Lifepatch invites its members and participants to research, explore and develop technology, as well as natural and human resources in their surroundings. The citizen’s initiative is the preferred method to give a wider space for the members’ various practices; to encourage each member’s creativity in playing a role in a collaborative activity. Lifepatch upholds the principles of Do It Yourself (DIY) and Do It With Others (DIWO).


JAKARTA BIENNALE 2015

PENGADAAN AIR BERSIH merupakan kewajiban negara yang ditunaikan lewat Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Tetapi, mengingat pentingnya air bagi kelangsungan hidup manusia, ke mana PDAM mengalirkan airnya? Nyatanya, saat ini ada ratusan kepala keluarga di beberapa RT dan RW sepanjang area strenkali—pinggir kali—Surabaya yang tidak mendapat suplai air bersih dari PDAM. Padahal tempat tinggal mereka tidak jauh, bahkan hanya berbatasan tembok, dari PDAM setempat. Selama lebih dari satu dekade, masyarakat penghuni area strenkali Surabaya mengambil air dari sungai di depan tempat tinggal mereka. Air sungai ini, setelah disaring dengan larutan kaporit, mereka gunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi, cuci dan lain-lain. Sayangnya, sebagai saringan air, larutan kaporit mengundang banyak risiko—apabila pengolahannya tidak tepat, bisa berdampak buruk bagi kesehatan. Untuk memecahkan masalah ini, Lifepatch berkolaborasi dengan Paguyuban Warga Strenkali Surabaya, juga Rizka Putri Novitasari dan Lailatus Sa’diyah—dua ahli di bidang teknologi penjernihan air dan mikrobiologi. Bersama, mereka berkampanye tentang nilai strategis pohon kelor atau merunggai (Moringa oleifera) bagi kemaslahatan khalayak. Biji dari pohon kelor—yang telah dikeringkan, ditumbuk halus, dicampur dengan air, dan dikombinasikan dengan teknik penyaringan sederhana—dihadirkan sebagai solusi kebutuhan air warga strenkali. Hasilnya adalah air bersih yang lebih alami daripada air hasil larutan kaporit. Purwarupa instalasi penjernih air tersebut, mereka bangun ulang secara artistik di Gudang Sarinah, ruang pamer utama Jakarta Biennale 2015.

PROVISION OF CLEAN WATER is one of the State’s obligations, conducted by the Regional Water Company (PDAM). However, given the importance of water for human lives, how does PDAM distribute water? The fact is that today hundreds of families in some neighborhoods along a riverbank in Surabaya are deprived from clean water supply from PDAM. Ironically, their location is only separated by a wall from the local PDAM. For more than a decade, the people in the area have been using water from the river in front of their homes. After filtering the water with chlorine, they use it for daily needs such as bathing, laundry and others chores. Unfortunately, as a water-filtering solution, chlorine poses many risks—if not processed properly, it can be health threatening. To solve the problem, Lifepatch collaborated with Paguyuban Warga Strenkali Surabaya (the Surabaya Riverside Society Association), as well as Rizka Putri Novitasari and Lailatus Sa’diyah—two experts in water refinement technology and microbiology. Together, they created a campaign about the strategic value of Moringa oleifera or horseradish leaves—locally known as daun kelor—for public benefits. The moringa seeds—dried, mashed, mixed with water, and combined with a simple refining technique—came as a solution for water problems in the area. The result was clean water that is more natural than the chlorine solution. The artists then rebuilt an artistic prototype of the water refiner and displayed it at Gudang Sarinah, the main exhibition room for the 2015 Jakarta Biennale.

119


SENIMAN / ARTIST

Jakarta Wasted Artists Jakarta

Graphic Exchange Pertukaran Grafis Instalasi objek Installation 2015

DATANG TAK DIUNDANG, segerombol pemuda yang tergabung dalam Jakarta Wasted Artists (JWA) menyambangi berbagai tempat usaha di Tebet, Jakarta Selatan, dari skala kecil sampai besar. Mereka menawarkan jasa desain dan produksi plang secara cuma-cuma, dengan syarat plang baru buatan mereka ditukar dengan plang lawas pemilik usaha. Alasan JWA sederhana saja: plang yang unik adalah modal penting dalam persaingan bisnis. Sebagai kolektif yang kerap melakukan pekerjaan desain, JWA melihat keunikan dari masing-masing desain plang nama tidak saja sebagai penanda identitas, tapi juga keberadaan dari sebuah tempat usaha. Dalam membuat plang baru, JWA berkolaborasi dengan pemilik usaha, menampung dan mengolah aspirasi mereka menjadi sebuah desain plang. Pertukaran plang sendiri dimaksudkan JWA sebagai upaya pengarsipan. Banyak UNINVITED, a group of young people united in Jakarta Wasted Artists (JWA) approached some small and big business enterprises in the Tebet area, Jakarta. They came to offer design services and signage production for free, and in return they asked for the enterprises’ old signs. They have a simple reason: a unique sign is an important asset in business competition. As a collective that does design works, JWA believes that a unique sign of business unit marks not only identity, but also existence. In creating new signs, JWA collaborated with the business owners, listening to and processing their aspirations into a sign design. Therefore, the exchange of new signs with the old ones is JWA’s attempt at archiving. Many of the signs they found

120

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

dari plang yang JWA temukan sudah dalam kondisi lusuh atau hampir hancur digerus waktu. Beberapa plang lainnya tak lagi dipakai karena tergantikan dengan papan penanda digital, beberapa lagi terabaikan karena penggusuran dan bangkrutnya tempat usaha. Plang-plang tempat usaha ini praktis menjadi penanda akan dinamika sosial dan ekonomi kota. Dengan mengarsipkannya, JWA hendak memetakan sejarah visual perkotaan— khususnya untuk daerah Tebet. Daerah ini aslinya merupakan permukiman yang dibangun bagi warga Senayan, yang harus pindah akibat pembangunan Gelanggang Olahraga Bung Karno pada 1960. Sebagai tempat hunian baru yang terpencil, Tebet direncanakan dengan baik. Berbagai fasilitas publik dan zona niaga dibangun, mengitari jalan raya dan jalan permukiman. Berbagai tempat usaha pun tumbuh bak jamur pada musim hujan.

were in weathered conditions. Some signs were no longer used, replaced by digital ones, and some others practically became trash because the enterprises have been out of business. The signs are signifiers in urban economy and social dynamics. By archiving them, JWA would like to map out the city’s visual history—especially in the Tebet area. The area was originally a residential area for people in Senayan who had to move when the Gelora Bung Karno Stadium was built in 1960. As a new residential area far from the center of the city, Tebet was well planned. Public facilities and business zones were built around the streets and residential pathways, and various business units burgeoned.


JAKARTA BIENNALE 2015

Jakarta Wasted Artists (JWA) terdiri dari Hauritsa, Henry Foundation, Mateus Bondan, dan Mushowir Bing. Mereka adalah kolektif seni visual yang gemar mengolah isu-isu yang terbuang dan terpinggirkan dalam konteks perkotaan menjadi karya atau proyek seni. Pada 2010, tahun kolektif ini pertama kali dicetuskan, JWA mengadakan pameran tunggal di AOD Art Space. Beberapa pameran lainnya yang pernah mereka ikuti: ‘OK. Video FLESH’ di Galeri Nasional Indonesia pada 2011, ‘Celebrating Art of Today’ di Jakarta Convention Center Jakarta pada 2013, dan ‘OK. Video: ORDE BARU’ di Galeri Nasional Indonesia pada 2015.

Jakarta Wasted Artists (JWA) consists of Hauritsa, Henry Foundation, Mateus Bondan and Mushowir Bing. They are a visual art collective with a passion for marginalized issues in urban contexts, turning them into artworks and projects. In 2010, the year the collective was initiated, JWA held a solo exhibition at AOD Art Space. They have participated in other exhibitions as well such as ‘OK. Video FLESH’ at the National Gallery of Indonesia in 2011, ‘Celebrating Art of Today’ at the Jakarta Convention Center in 2013, and ‘OK. Video: ORDE BARU’ at the National Gallery of Indonesia in 2015.

121


SENIMAN / ARTIST

Dea Widya Bandung

Sembarang Kota A City of Anywhere Tanah liat dalam kolam air Dimensi bervariasi Unfired clay in water pond Various dimensions 2015

122

FENOMENA “KOTA ANONIM” mulai mewabah di sejumlah metropolitan Indonesia. Kota-kota itu hanya memiliki bangunan fungsional, tanpa makna dan tanpa ciri khas yang bisa menjadi identitas. Wajah bangunan cenderung kotak, dengan geometri tegas, repetitif, dan monoton. Manusia digiring untuk beraktivitas dari satu interior ke interior lain, dan abai untuk berinteraksi di ruang luar.

THE ‘ANONYMOUS CITY’ phenomenon has started to hit Indonesian metropolitan cities. The anonymous city only has functional buildings, without meaningful or identity-defining characteristics. The buildings tend to take boxy shapes, with bold, repetitive, and monotonous geometry. People are led to do their activities from one indoor space to another and not to care for outdoor interactions.

Modernitas kota belum tentu hal yang salah. Pemaknaan geometri bangunan, pembangunan modular, serta gedung pencakar langit merupakan sebuah utopia yang diinisiasi Le Corbusier pasca Perang Dunia II. Dasar pemikirannya, desain yang logis nan fungsional akan membuat lahan kota mudah diatur dan efisien. Harapannya, akan ada lebih banyak ruang hijau dan akses pejalan kaki yang manusiawi.

Urban modernity is not necessarily a bad thing. Geometrical meanings in buildings, modular development, and skyscrapers are utopian elements initiated by Le Corbusier post-World War II. They are based on the thinking that logical and functional designs will make efficient and manageable city spaces. He aspired for more green spaces and decent accesses for pedestrians.

Bagaimanapun, adaptasi modernitas yang tidak tuntas berpotensi menyebabkan distopia, akibat gagalnya penyelarasan antara fungsi dan makna ruang hidup. Hal itu banyak terjadi di negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

Dalam karya ini, Dea Widya, yang juga seorang arsitek, menyajikan sekumpulan purwarupa bangunan modern, seperti mal, ruko, gedung pencakar langit, juga apartemen. Bangunan-bangunan tersebut menandai awal dari modernisasi. Peluruhan miniatur kota pada latar kolam hitam, di sisi lain, seolah menggambarkan keinginan utopis yang delusional. Air hitam yang merambat, menyerap, dan menghancurkan bangunan seakan menunjukkan bahaya laten air laut akibat pembangunan besar-besaran.

123

However, incomplete modernity adaptations could lead to dystopia, where functions and meanings in living spaces fail to be in sync. This happens a lot in Third World countries, including Indonesia. In her work, Dea Widya, who is also an architect, presents a group of modern building prototypes, such as malls, shop houses, skyscrapers, and apartment buildings. The buildings indicate the start of modernization. The demolition of a miniature city with a black pool in the background, on the other hand, illustrates a delusional utopian wish. The seeping, absorbing, and destructive black water on the buildings represent the latent danger of sea water from excessive development.

Dea Widya lahir di Surabaya pada 1987. Pada umur 16 tahun, ia ikut pertukaran pelajar di Amerika Serikat selama setahun. Sepulangnya dari sana, ia mulai berkesenian lagi seperti menggambar, melukis, dan medesain baju. Semuanya berhenti ketika ia mulai masuk jurusan Arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB), sekalipun ia tidak pernah meninggalkan gairah terbesarnya: vokal klasik dan paduan suara. Setelah lulus lalu bekerja di kantor konsultan desain selama dua tahun, ia kemudian menyelesaikan master seninya di ITB. Kini, ia mulai aktif berkarya dan mengajar di desain interior di sebuah universitas swasta di Bandung.

Dea Widya was born in Surabaya in 1987. At the age of 16, she went on a student exchange program to the United States for a year. When she returned, she revisited her artistic endeavors, like drawing, painting, and designing clothes. These were put on hold when she studied architecture at the Bandung Institute of Technology (ITB) while pursuing her greatest passion: classical singing in a vocal group. After graduation, she worked in a design consultancy firm for two years and completed her Master in Fine Arts at ITB. Today, she actively produces works and teaches interior design at a private university in Bandung.


SENIMAN / ARTIST

Etcétera Buenos Aires, Valparaiso

PEREKENOMIAN NEGARA-NEGARA AMERIKA LATIN hidup dari siklus ketergantungan. Pendapatan utama mereka bergantung pada ekspor minyak bumi dan hasil tambang, yang harganya bergantung pada fluktuasi harga dan kebutuhan pasar dunia. Apabila produk ekspor belum terserap pasar, negara meminjam uang dari bank dan lembaga finansial internasional, sebagai modal penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan negara. Skenario serupa terjadi apabila harga minyak bumi dan hasil tambang anjlok di pasaran. Praktik ekonomi ini kerap disebut extractivism, yang turut terjadi di negara-negara Dunia Ketiga yang kaya akan sumber daya alam—tidak terkecuali Indonesia. Peliknya, industri-industri ekstraktif membutuhkan teknologi dan teknisi yang seringkali tidak tersedia di negara pemilik sumber daya alam. Jadilah negara bertumpu pada sejumlah korporat multinasional—fungsi ekonomi mereka diakomodir secara hukum oleh negara.

Etcétera didirikan Loreto Garin Guzman dan Federico Zukerfeld di Buenos Aires, Argentina, pada 1997. Anggotanya mencakup seniman visual, penyair, dan aktor—sebagian berusia di bawah 20 tahun. Kelompok seniman ini biasa berkesenian dengan terjun langsung ke situs konflik sosial, menjadikannya arena produksi budaya. Pada 2005, Etcétera terlibat dalam pencetusan sebuah gerakan bernama Errorist International, sebuah gerakan internasional yang mengklaim kesalahan sebagai filsafat hidup. Sebelum Jakarta Biennale 2015, karya-karya mereka pernah singgah di Cologne, Taiwan, Istanbul, dan Amsterdam.

124

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Perkembangan terbaru dari praktik ekonomi ini, kerap disebut neoextractivism, adalah penyerahan tanggungjawab sosial negara ke korporatkorporat ini. Mereka membangun sekolah, rumah sakit, saluran air, dan berbagai fasilitas sosial lainnya di lingkungan bisnis mereka. Para korporat juga secara aktif membangun kesadaran, lewat programprogram sosial, akan peran dan kontribusi mereka bagi masyarakat setempat. Negara titip absen. Karya Etcétera adalah tanggapan terhadap fenomena yang kian mendunia ini. Kelompok seniman asal Argentina ini mengajak anak-anak dan remaja, untuk berdiskusi dan berkarya tentang dampak sosial dari ekonomi ekstraktif. Para peserta ditantang untuk memeriksa kembali asumsi-asumsi mereka seputar keberadaan korporat multinasional di lingkungan mereka. Cerita dan karya yang terbentuk ditampilkan dalam sebuah instalasi, yang menyerupai museum, dalam ruang pamer Jakarta Biennale 2015.

Etcétera was founded by Loreto Garin Guzman and Federico Zukerfeld in Buenos Aires, Argentina, in 1997. Its members include visual artists, poets and actors—some are below 20 years old. The collective usually works by visiting social conflict sites and turning them into cultural productions. In 2005, Etcétera was involved in the start of a movement called Errorist International, a global movement claiming errors as a life philosophy. Before the 2015 Jakarta Biennale, their works were exhibited in Cologne, Taiwan, Istanbul and Amsterdam.


JAKARTA BIENNALE 2015

THE ECONOMY OF Latin American countries is based on a cycle of dependency. Their main source of income depends on oil and mining exports of which the prices depend on fluctuations of the prices and demands in the global market. If the market has not absorbed the exports, the countries borrow money from international banks and financial institutions in order to run the country. This scenario is likely to happen when the prices of oil and mining exports plunge in the market. This economic practice is often called ‘extractivism’, which also happens in Third World countries rich in natural resources—including Indonesia. The problem is that extractive industries need technology and technicians, which are often not available in the countries with the natural resources. So the countries rely on multinational corporations—their economic function is legally accommodated by the state.

The latest development of this economic practice, often called ‘neo-extractivism’, is the handover of a country’s social responsibility to these corporations. They build schools, hospitals, waterways and other social facilities within their business environments. The corporations also actively raise awareness, through social programs, of their role and contribution to the locals. The state is no more than a silent partner. Etcétera’s work is a response to this global phenomenon. The Argentinian collective has invited children and teenagers to discuss and produce works on the social impact of extractive economy. They challenged participants to reexamine their assumptions on the presence of multinational corporations around them. The stories and artworks are exhibited in an installation piece resembling a museum in the 2015 Jakarta Biennale exhibition space.

Museum of NeoExtractivism Museum NeoEkstraktivisme Instalasi Installation 2015

125


SENIMAN / ARTIST

Richard Bell Brisbane

PADA FEBRUARI 2013, pemerintah Australia mengesahkan undangundang pengakuan masyarakat asli Australia—meliputi suku Aborigin dan warga Selat Tores. Pengesahan undang-undang barulah langkah awal, yang harus diikuti dengan iktikad baik dan tindakan konkrit dari pemerintah terhadap masyarakat asli Australia. Nyatanya, sebelum undang-undang tersebut disahkan, suku Aborigin tak ubahnya orang asing di tanah sendiri— terpinggirkan oleh kelompok-kelompok pendatang, yang lantas berkuasa atas mereka. Diskriminasi itu pun masih terus berlangsung. Embassy, instalasi karya Richard Bell, berdasarkan kejadian nyata pada 1972. Kala itu, empat orang perwakilan warga Aborigin mendirikan Tenda Kedutaan Besar Aboriginal di halaman depan gedung Parlemen Australia, di Canberra—sebagai bentuk protes terhadap keputusan Mahkamah Agung Australia yang berpihak pada perusahaan tambang, yang mengeksploitasi kekayaan tanah orang Aborigin. Protes ini berujung kecewa— Hakim Agung menyatakan bahwa hukum Australia tidak mengakui adanya hak-hak penduduk asli atas tanah.

Richard Bell adalah seniman Australia, juga seorang aktivis politik, yang kerap mengangkat isu emansipasi orang Aborigin. Bell berkarya menggunakan beragam media, seperti lukisan, instalasi, pertunjukkan dan video. Karya-karyanya pernah dipamerkan di ‘5 th Moscow Biennale of Contemporary Art’ di Russia dan National Gallery of Canada di Ottowa pada 2013 hingga Milani Gallery di Brisbane, Australia, pada 2015. Beberapa penghargaan yang ia terima adalah Telstra National Aboriginal Art Award pada 2003, dan Creative Fellowship dari Australia Council for the Arts pada 2013.

126

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

In February 2013, the Australian government passed a law to acknowledge the rights of indigenous Australians—the Aboriginal and Torres Strait islanders. The passing of the law is just an initial step that needs to be followed by good intention and concrete actions of the government toward indigenous Australians. The fact is, before the law was passed, Aboriginals were like aliens in their own land—marginalized by the immigrants who took control over them. Discriminations still continue. Embassy, an installation work by Richard Bell, is based on a real event in 1972. At the time, four Aboriginal representatives erected the Aboriginal Embassy Tent on the front lawn of the Australian parliament in Canberra—as a protest against the Australian Supreme Court’s decision in favor of mining companies which exploited their lands. This protest led to disappointment—the Supreme Justice declared that the Australian law did not acknowledge the rights of the indigenous people over their lands. For his work, Richard Bell replicated the Aboriginal Embassy Tent. In the 5x6 meter military tent, visitors can sit and watch a video by the artist called Broken English—about issues around political empowerment of indigenous Australians.

Richard Bell is an Australian artist as well as political activist who often highlights issues of emancipation for the Aboriginals. Bell works with various media, such as painting, installation, performance and video. His works were exhibited at the ‘5 th Moscow Biennale of Contemporary Art’ in Russia and the National Gallery of Canada in Ottawa in 2013, also Milani Gallery in Brisbane, Australia, in 2015. He received the Telstra National Aboriginal Art Award in 2003, and Creative Fellowship from the Australia Council for the Arts in 2013.


JAKARTA BIENNALE 2015

Untuk karyanya, Richard Bell mereplikasi Tenda Kedutaan Besar Aboriginal. Dalam tenda militer berukuran 5x6 meter itu, pengunjung pameran dapat duduk dan menyaksikan karya video sang seniman yang berjudul Broken English—tentang isu-isu seputar pemberdayaan politik warga Aborigin di Australia. Di bagian luar tenda, Bell memasang spanduk berisikan seruan tentang demokrasi, hak asasi manusia, dan ketidakpuasan masyarakat Aborigin atas proses asimilasi yang terjadi di Australia pada masa itu. Karya ini memberi kesempatan bagi publik untuk menilik rekam jejak diskriminasi dan kondisi hidup masyarakat Aborigin di Australia sejak 1972. Lebih luas lagi, karya ini menyajikan konteks yang universal untuk diskusi-diskusi soal masyarakat terjajah dan tertindas—di manapun, kapanpun.

Outside the tent, Bell put up banners with slogans for democracy, human rights and the Aboriginals’ disappointment concerning the assimilation process in Australia at the time. This work gives an opportunity for the public to examine the track record of the discrimination against, and the living condition of, the Aboriginals in Australia since 1972. In a wider scope, the work presents a universal context for discussions on colonized and oppressed nations—wherever they are, in whatever period.

Embassy Kedutaan Besar Instalasi Installation 2015

Broken English Bahasa Inggris yang Tak Sempurna 13 menit 8 detik 13 minutes 8 seconds 2011

127


SENIMAN / ARTIST

Octora Bandung

KETIKA MENDENGAR CERITA dari seorang teman bahwa emas puncak Monumen Nasional (Monas) di Jakarta itu berasal dari sumbangan orang Aceh, Octora langsung terpikat. Seniman muda dari Bandung itu pun menelisik lebih jauh, yang mengantarkannya pada sejarah konflik politik di Aceh yang penuh kekerasan.

WHEN SHE HEARD from a friend that the gold on the top of the National Monument in Jakarta was a contribution from the people of Aceh, Octora was fascinated by this fact. The young artist from Bandung then explored the subject further, entering the violent history of the political conflicts in Aceh.

Kekerasan memang selalu hadir dalam sejarah. Pasalnya, dalam diri manusia, potensi untuk berbuat baik hadir berdampingan dengan potensi untuk melakukan kejahatan. Terkadang, manusia bisa lebih kejam dari binatang. Sisi itulah yang menarik perhatian Octora.

Indeed, violence is always a part of history. The rule of thumb in the history of humanity is that the potential to do good things always goes hand in hand with the potential to do otherwise. Sometimes, human beings can be more vicious than animals. It is this side that captivates Octora.

Di Aceh, Octora mewawancarai beberapa pelaku sejarah dan korban kekerasan yang dilakukan oleh Negara. Perjalanan menuju Cot Keng, salah satu desa yang dilanda konflik di Aceh, menyadarkannya betapa Aceh begitu terputus dengan pusat. Kenyataan itulah yang Octora coba terjemahkan secara visual, lewat instalasi kaca transparan berbentuk rumah yang digabung dengan sisi berlawanan. Di tengah-tengah, terdapat beberapa senjata tradisional berupa parang yang mengisyaratkan kekerasan. Karya ini menjadi representasi dari sebuah hubungan yang rapuh antara Aceh dengan Jakarta.

In Aceh, Octora interviewed some historical figures and victims of violence by the State. Her journey to Cot Keng, one of the conflict villages in Aceh, made her realize how detached Aceh is from the central government. She tried to interpret these realities visually with transparent glasses in the shape of a house of which the opposite sides are combined. Displayed at the center are some traditional machetes, which represent violence. The piece is a representation of a frail relationship between Aceh and Jakarta.

Octora lahir di Bandung pada 6 Oktober 1982. Ia menamatkan studi jurusan Seni Murni, dengan minat utama Seni Patung, di Fakultas Seni Visual dan Desain Institut Teknologi Bandung. Pada 2012, ia terlibat dalam pameran ‘Manis’ di Centre Intermonde, La Rochelle, Prancis. Pada 2013, Octora mendapatkan predikat runner up dalam Three-Dimensional Artworks Competition yang diselenggarakan oleh Komunitas Salihara dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

128

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Octora was born in Bandung on 6 October 1982. She finished her study in Fine Art, majoring in Sculpture, at the Bandung Institute of Technology’s Faculty of Art and Design. In 2012, she was involved in the ‘Manis’ exhibition at Centre Intermonde, La Rochelle, France. In 2013, Octora was a runner up at the Three-Dimensional Artworks Competition held by Komunitas Salihara and the Ministry of Culture and Tourism.


JAKARTA BIENNALE 2015

129

Rajah Tattoo Patung tergantung (Kaca, besi, sarung tepas, beras, rantai) 60 x 50 x 270 cm Hanging sculpture (Glass, iron, sarong cloth, rice, chain) 60 x 50 x 270 cm 2015


SENIMAN / ARTIST

Mark Salvatus Manila

KONON, SATU DARI LIMA PELAUT di dunia adalah orang Filipina. Nyatanya, diperkirakan ada sekitar 460.000 pelaut Filipina tersebar—melebihi jumlah pelaut dari kewarganegaraan manapun. Reynaldo Nanez, paman Mark Salvatus, adalah salah satu pelaut Filipina itu—yang sudah mengarungi berbagai samudra dunia selama 25 tahun. Perjalanan terakhirnya sebelum pensiun: perjalanan pulang ke Filipina pada 2012. Setahun setelahnya, Mark membeli laptop bekas pamannya dan menemukan foto-foto semasa ia melaut—tertanda 2008 sampai 2012. Sebagai seorang seniman, Mark gemar mengolah hal-hal di sekitarnya, serta kebetulan-kebetulan dalam kesehariannya, menjadi karya seni. Jadilah, dengan seizin pamannya, Mark menampilkan ulang foto-foto tersebut. Ada lebih dari seratus foto, yang akan disusun memanjang di dinding. Souvenirs Cenderamata Fotografi Photography 2013

130

Mark dengan sengaja memilih foto yang tidak menampilkan diri pamannya, tidak juga orang lain. Steril dari pengalamanpengalaman personal, rangkaian foto ini lantas menjelma jadi sebuah abstraksi visual dari hidup seorang Filipina— siapapun, di manapun—yang hidupnya begitu dekat dengan air, laut, dan negara kepulauan.

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

IT IS BELIEVED that one out of five sailors in the world is a Filipino. In fact there are an estimate of 460,000 Filipino sailors around the world—more than any other nationality. Reynaldo Nanez, Mark Salvatus’ uncle, was one of those Filipino sailors—having sailed across various oceans in the course of 25 years. His last journey before he retired: a voyage back to the Philippines in 2012. A year later, Mark bought his uncle’s used laptop and found photographs of his uncle’s days at sea—marked from 2008 to 2012. As an artist, Mark likes to turn the things around him, and coincidences in his daily life, into works of art. With his uncle’s permission, Mark presents the photographs for the public. There are more than a hundred photographs, which are displayed in long horizontal lines on a wall. Mark intentionally chose photographs without his uncle in them—without any other human being, for that matter. Detached from personal experiences, this series of photographs become a visual abstraction of a Filipino—whoever, wherever—whose life is never far from oceans and archipelagos.


JAKARTA BIENNALE 2015

Mark Salvatus lahir pada 1980, tinggal di Manila dan Osaka. Seniman asal Filipina ini lulus dengan predikat cum laude untuk jurusan Advertising Art dari University of Santo Tomas College of Fine Arts and Design, Manila. Karya-karyanya pernah singgah di ‘3 rd Singapore Biennale’ dan ‘4 th Guangzhou Triennial’ pada 2011, hingga ‘Asia Society’ di New York pada 2015. Pada 2012, Mark menerima penghargaan The Thirteen Artists Awards (TAA) dari Cultural Center of the Philippines. Ia adalah salah satu pendiri Pilipinas Street Plan, sebuah komunitas seniman jalanan di Manila, dan 98B COLLABoratory, tempat untuk berbagi, berdiskusi, dan berkolaborasi dalam bidang kreatif.

131

Mark Salvatus was born in 1980, and resides in Manila and Osaka. The Filipino artist graduated with honors (cum laude) in Advertising Art from the University of Santo Tomas College of Fine Arts and Design, Manila. His works were exhibited at ‘the3 rd Singapore Biennale’ and ‘the 4 th Guangzhou Triennale’ in 2011, as well as ‘the Asia Society’ in New York in 2015. In 2012, Mark received the Thirteen Artists Awards (TAA) from the Cultural Center of the Philippines. He co-founded Pilipinas Street Plan, a community of street artists in Manila, and 98B COLLABoratory, a space for people in the creative industry to share, discuss and collaborate.


SENIMAN / ARTIST

Setu Legi Yogyakarta

POLA KONSUMSI ENERGI KITA masih bergantung pada materi yang tak terbarukan, seperti minyak bumi dan batu bara. Konsekuensinya: eksploitasi sumber-sumber yang sudah ada, serta eksplorasi untuk mencari sumbersumber lain. Imbasnya adalah kerusakan lingkungan alam, yang pada waktunya nanti akan berimbas pada manusia juga. Setu Legi ingin mengajak kita untuk memikirkan ulang perspektif kita. Kita perlu memandang alam sebagai sokoguru peradaban manusia—kesehatan lingkungan alam kita jauh lebih penting ketimbang eksplorasi hasil alam itu sendiri. Tanpa tanah dan air, peradaban manusia sudah pasti bakal bubar. Untuk karya instalasinya, Setu Legi mengumpulkan sejumlah unsur alam, seperti pasir, minyak, serta ranting dan batang pohon—yang kemudiaan ia tempatkan di atas drum-drum minyak bumi. Instalasi ini turut dilengkapi sejumlah ilustrasi, yang menarasikan apa-apa saja yang akan terjadi jika alam tidak lagi berpihak kepada manusia.

Setu Legi adalah seorang pekerja seni yang tinggal dan bekerja di Jogjakarta. Ia menimba ilmu di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Yogyakarta dari 1992 sampai 2000. Pada 1998, Setu Legi dan beberapa perupa lainnya mendirikan Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi Yogyakarta. Dalam karya-karya individualnya, ia lebih fokus dengan tema-tema sosial dan lingkungan hidup, khususnya menyorot praktik kolonialisasi, globalisasi, dan konsumerisme dalam masyarakat. Selain dengan desain grafis, ia juga sering berkarya dengan media campuran patung dan instalasi.

132

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

OUR ENERGY CONSUMPTION behavior still depends on non-renewable materials, such as oil and coals. Consequently, our existing resources are exploited, and we keep on exploring for other resources. The impact is an environmental meltdown, which eventually will affect human beings. Setu Legi invites us to rethink our perspective. We need to see nature as the pillar of human civilization—ensuring the wellbeing of nature is far more important than exploring what it can give to us. Without land and water, there will be no civilization. For his installation work, Setu Legi collected some elements of nature, like sand, oil, tree trunks and branches— which he placed on top of oil drums. This installation comes with illustration drawings about what would happen if nature turned against humans.

Setu Legi is an artist living and working in Yogyakarta. He studied at the Faculty of Art and Design, Indonesian Institute of the Arts, Yogyakarta, from 1992 to 2000. In 1998, Setu Legi and several other artists founded the cultural institution Taring Padi in Yogyakarta. For his own work, Setu Legi focuses on social and environmental issues, particularly the practices of colonization, globalization, and consumerism in society. In addition to graphic design, he also works with mixed media of sculpture and installation.


JAKARTA BIENNALE 2015

133

Masa Depan Tenggelam dalam Masa Silam The Drowning Future in the Past Lukisan dan instalasi Dimensi bervariasi Painting and installation Various dimensions 2015


SENIMAN / ARTIST

Yongseok Jeon Seoul

Yongseok Jeon lahir di Gwangju pada 1968. Alumni Seoul National University ini banyak berkarya dengan nama “flyingCity”, kelompok riset fenomena urban yang berdiri di Seoul pada 2001. Lewat flyingCity, Jeon banyak menyoroti transformasi masyarakat perkotaan di Korea Selatan, terkait perencanaan dan pertumbuhan kota serta kepadatan penduduk, lewat konsep-konsep radikal dalam seni. Sejumlah pameran yang pernah ia ikuti: ‘Public Commotions: 1998-2012‘ di Art Space POOL, Seoul, pada 2013; ‘Weak Signals, Wild Cards’ di Tolhustuin Art Center, Amsterdam, pada 2009; dan ‘On Cities: maps, cars, people, and narratives in the urban environment’ di The Swedish Museum of Architecture, Stockholm, pada 2006.

134

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Yongseok Jeon was born in Gwangju in 1968. The Seoul National University graduate works often with ‘flyingCity’, a research group specializing in urban phenomena, founded in Seoul in 2001. With flyingCity, Jeon has been highlighting the transformations of urban society in South Korea, in relation to city planning and development, and also population, through radical concepts in art. He has participated in several exhibitions: ‘Public Commotions: 1998-2012’ at Art Space POOL, Seoul, in 2013; ‘Weak Signals, Wild Cards at Tolhuistuin Art Center, Amsterdam, in 2009; and On Cities: maps, cars, people, and narratives in the urban environment’ at The Swedish Museum of Architecture, Stockholm, in 2006.


JAKARTA BIENNALE 2015

YONGSEOK JEON TELAH BERKARYA di Seoul sebagai bagian dari kelompok kolaboratif Flying City selama 15 tahun. Kelompok ini menelusuri konsekuensi praktik gentrifikasi dan pembangunan di kota itu bagi kemanusiaan, dengan menilik bagaimana pengetahuan dan keahlian lokal dapat diterapkan pada dunia yang semakin terstandarisasi di tengah arus globalisasi. Penelusuran ini membuatnya berpikir lebih jauh tentang situasi dan pengetahuan lain yang ada di luar Korea. Dalam setahun terakhir, Jeon mengamati pola perubahan di Bali. Ia tercengang oleh pergerakan dan kemampuan adaptasi budaya dan masyarakat di sana; sesuatu yang juga didapatinya di seluruh Asia Tenggara. Sembari menerjemahkan sikap ini ke dalam suatu bentuk materi, ia sampai pada gagasan tentang fleksibilitas dan rotan, sebuah spesies tanaman palem yang dipakai untuk berbagai kegunaan, termasuk membuat rumah, perabotan, pakaian, perahu, dan senjata. Segala kegunaan ini dipadukan dalam imaji seorang laki-laki di sebuah pantai di Canggu, Bali. Sosok ini sedang memandang ke arah laut, mungkin sedang bersiap untuk berlayar atau membangun rumah. Pakaian dan aksesorisnya yang terbuat dari rotan dapat diartikan sebagai pertahanan diri atau sarana untuk mengarungi lepas pantai. Ambivalensi dalam raut wajah dan tujuannya adalah cerminan akurat tentang gagasan mengenai fleksibilitas yang disaksikan Jeon dalam masyarakat Asia Tenggara.

135

YONGSEOK JEON HAS BEEN WORKING in Seoul as part of the collaborative group Flying City for some 15 years. The group has explored the human consequences of gentrification and development in the city, looking at how local skills and knowledge can be applied in an increasingly standardised and globalised world. This work led him to think more about other situations and knowledge that existed outwith Korea. In the past year, he has been observing the patterns of change in Bali. He was struck by the mobility and adaptability of the culture and people there, something he also sees across Southeast Asia. Translating this attitude into a material form led him to the idea of versatility and to rattan, a species of palm tree that is used for diverse purposes including shelter, furniture, clothing, boat-making and weapons. All these uses are combined together in the image of a man on the beach at Canggu, Bali. The character is looking out to sea, perhaps about to set sail or to build a home. His rattan clothes and accessories could be understood as defensive or the means to go exploring beyond the beach. The ambivalence of his expression and his purpose conjure up precisely the ideas of flexibility and versatility that Jeon sees in the Southeast Asian peoples. Oranglaut in Rattan Seaman in rattan Cetak Digital Struktur rotan Cetak foto: 53 x 30 cm Dimensi bervariasi Digital print Rattan structure Photo print: 53 x 30 cm Various dimensions 2015


SENIMAN / ARTIST

Leonardiansyah Allenda Banyuwangi

EKOWISATA TIDAK SESEDERHANA label “hijau” dan “ramah lingkungan”. Penerapannya pun perlu diimbangi dengan kesadaran akan keberlangsungan dan keberlanjutan siklus hidup di lokasi tujuan wisata. Di Indonesia, proyek-proyek ekowisata seringkali hanya sebatas kemasan, tak lebih dari pembangunan fasilitasfasilitas di tengah lanskap alam. Dampaknya bagi lingkungan sekitar malah luput dipertimbangkan, dan baru disorot ketika kerusakan alam sudah kepalang terjadi. Salah kaprah ekowisata ini juga terjadi di Banyuwangi, kota kelahiran Leonardiansyah Allenda. Melalui berita di berbagai surat kabar, pemerintah setempat mengklaim akan membangun kawasan ekowisata untuk menarik wisatawan asing. Titik beratnya lagilagi ada pada infrastruktur, seperti perbaikan akses jalan, pembangunan tempat tinggal sementara di sekitar area wisata, dan pengelolaan moda transportasi yang terintegrasi dengan sarana wisata.

Home Rumah Instalasi objek Dimensi bervariasi Object installation Various dimensions 2015

136

Leo menanggapi fenomena ini dengan instalasi berbagai bongkah kayu sisa hunian—ekses dari proyek pembangunan—yang akan digantung dari langit-langit. Melalui karya ini, Leo ingin menghadirkan sebuah kemasan tanpa isi, penggambaran akan kota yang keindahan bangunannya menutupi segala kerusakan alam di dalamnya.

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

ECOTOURISM IS NOT AS SIMPLE as being ‘green’ and ‘environmentally friendly’. Its implementation needs to go with the awareness of life sustainability at the locations of destination. In Indonesia, ecotourism projects are more about packaging, which is nothing more than building facilities in natural landscapes. The impacts on the surrounding environment are often overlooked and become an issue only when damage has been done. This misconception on ecotourism also happens in Banyuwangi, the hometown of Leonardiansyah Allenda. In the press, the local government has announced their plan to build an ecotourism area to attract international tourists. Again, the focus is on infrastructure, such as better access to the locations, accommodation around the area and integrated transportation modes with the destinations’ facilities. Leo responded to this phenomenon with an installation consisting of wooden remains of residential houses—excess from development projects—hanging from the ceiling. With this work, Leo would like to present a package without substance, an illustration of cities whose beautiful buildings disguise the damaged nature.


JAKARTA BIENNALE 2015

Leonardiansyah Allenda, lahir di Banyuwangi pada 1984, menyelesaikan studi Seni Patung di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, pada 2008. Pada 2014, ia mengadakan pameran tunggal ‘Bertimbang Taruh’ di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta. Leo juga sempat berpartisipasi di pameran ‘HotWave’ di Erasmus Huis Jakarta pada 2014, dan ‘High Water’ Fukutake House—Asia Art Platform’ di Jepang pada 2015. Pada 2013, Leo meraih penghargaan Best Work dari ‘Bandung Contemporary Art Awards #3’. Kini, ia sedang bersiap untuk residensi Rijksakademie di Belanda, yang akan berlangsung pada 2016.

137

Leonardiansyah Allenda, born in Banyuwangi in 1984, finished his study in sculpture at the Bandung Institute of Technology’s Faculty of Art and Design in 2008. In 2014, he held a solo exhibition, ‘Bertimbang Taruh’, at Cemeti Art House, Yogyakarta. He also participated in the exhibition ‘HotWave’ at Erasmus Huis, Jakarta in 2014, and ‘High Water’ at Fukutake House—Asia Art Platform in Japan in 2015. In 2013, Leo won Best Work from ‘Bandung Contemporary Art Award #3’. Today, he is preparing for the Rijksakademie residency in the Netherlands in 2016.


SENIMAN / ARTIST

Idrus bin Harun Banda Aceh

Bhoneka Tinggal Luka Mural 2015

“MENOLAK JAWAI” adalah kalimat yang kerap menjadi acuan berkarya Idrus bin Harun. Dalam bahasa Aceh, jawai digunakan untuk menjelaskan penyakit lupa yang kerap dialami para lansia—yang sering kita sebut dengan istilah ‘pikun’. Sebagai seniman mural, karya-karya Idrus kerap mengusik ingatan masa lalu, tidak sedikit di antaranya yang bersumber dari pengalaman hidupnya dalam konflik di lingkungannya. Lewat karya-karyanya, Idrus ingin membawa kita menyelami pola relasi Aceh dan Jakarta pada tahun-tahun lampau. Penggunaan ikon-ikon, seperti

Idrus Bin Harun lahir pada 11 Oktober 1981 di Pidie Jaya, Aceh. Pendidikan formal terakhirnya adalah Diploma II Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Idrus Bin Harun adalah salah satu pendiri Komunitas Kanot Bu, komunitas seni di Banda Aceh. Pada 2011, Idrus mendapat penghargaan Juara I lomba karikatur Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, serta Juara II dalam lomba poster Hak Asasi Manusia Yap Thiam Hien pada 2015.

138

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Monumen Nasional, burung garuda, rencong, atau kupiah meukeutop—topi khas Aceh—kerap menjadi bahasa yang menggambarkan pola tersebut. Mural Idrus berjudul Bhoneka Tinggal Luka ini menjadi semacam cerita perjalanan politik Aceh sejak era 1980an. Idrus mengutak-atik gambar burung garuda dengan menambahkan beberapa objek lain, juga mempelesetkan kalimat “Bhinneka Tunggal Ika” menjadi “Bhoneka Tinggal Luka”. Menurut Idrus, “Bhoneka” adalah metafora untuk Aceh yang tidak mempunyai ruh untuk bergerak sesuai keinginan sendiri.

Idrus Bin Harun was born on October 11, 1981, in Pidie Jaya, Aceh. His last formal education was Diploma II of Secondary School Teacher Education (PGSD) at the Syiah Kuala University in Banda Aceh. Idrus is a co-founder of Komunitas Kanot Bu, an art community in Banda Aceh. In 2011, Idrus finished first place in a caricature competition held by the University of Indonesia’s Faculty of Humanities; and second place in the Yap Thiam Hien Human Rights poster competition in 2015.


JAKARTA BIENNALE 2015

‘MENOLAK JAWAI’, or rejecting jawai, is a phrase that Idrus bin Harun often uses as a reference in his work. In Acehnese language, jawai is used to explain a condition of forgetfulness, senility, or absent-mindedness, which often happens to older people. As a mural artist, Idrus’ works often invoke memories of the past. Many of his works are derived from his experience regarding conflicts in his surroundings. Through his works, Idrus would like his audience to explore the pattern of relations between Aceh and Jakarta in the past years. Icons such as the National Monument, the garuda bird, rencong (Acehnese traditional machete), or

kupiah meukeutop (Acehnese traditional hat) are often used as part of the language to illustrate the pattern. His mural, entitled Bhoneka Tinggal Luka, becomes a tale of a political journey in Aceh since the 1980s. Idrus reconstructed an image of the garuda bird (Indonesia’s national symbol) by adding other objects. He also made a pun on ‘Bhinneka Tunggal Ika’ (the nation’s official motto, which means ‘unity in diversity‘). ‘Bhoneka Tinggal Luka’ means a wounded puppet. Idrus said, ‘Bhoneka’, or puppet, is a metaphor for Aceh, of which the soul to move on its own accord has been taken away.

139


SENIMAN / ARTIST

Dwi ‘Ube’ Wicaksono Suryasumirat Jakarta

Hai Jembatan Panus, Hai Kampong Pulo Hello, Panus Bridge, Hello, Kampung Pulo Lukisan dan gambar di atas kanvas Painting and drawing on canvas 2015

SUNGAI, BAGI MASYARAKAT INDONESIA, tidak sebatas jalur air yang mengalir dari hulu ke hilir. Sungai juga bagian dari hidup manusia itu sendiri, sebagai jalur sosial bahkan jalur komunikasi dalam upaya manusia membangun peradaban. Tidak sedikit cerita dan mitos yang lahir dari pertemuan manusia dengan sungaisungai di sekitarnya. Dwi ‘Ube’ Wicaksono Suryasumirat tertarik dengan cerita-cerita manusia seputar Sungai Ciliwung. Tentunya, sungai ini sudah kepalang basah mengarungi zaman—dari desa-desa bersahaja pada masa lampau sampai kota-kota yang tersedak modernitasnya sendiri pada masa sekarang. Sungai Ciliwung juga sudah kenyang menelan sisa-sisa peradaban manusia. Sampai abad ke-18, air sungai ini digunakan sebagai air minum oleh warga ibukota dan imigran Belanda— sampai akhirnya dinyatakan tidak bersih pada 1740, karena segala sampah dan buangan limbah rumah sakit dialirkan ke sungai. Sekarang, entah berapa banyak jenis sampah lainnya yang bersemayam dalam aliran Sungai Ciliwung. Meski tak lagi jernih, Sungai Ciliwung tetaplah menjadi tempat berkegiatan banyak warga Jakarta. Dwi ‘Ube’ Wicaksono mendapati anak-anak masih sering main di tengah kali, dan ibu-ibu mencuci baju di tepian. Ia juga tertarik dengan ritual sesajen yang dilakukan oleh warga bantaran kali dekat Jembatan Panus di Depok. Ritual serupa ia temukan juga di wilayah Kampung Pulo. Realitas-realitas inilah yang ingin sang seniman abadikan di atas kanvas.

140

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

FOR INDONESIANS, a river is not just a water path. It constitutes a part of life, creating a way to socialize and communicate with others in an endeavor to build a civilization. Many tales and myths are built around the encounter of human beings and the rivers in their surroundings. Dwi ‘Ube’ Wicaksono Suryasumirat is drawn to the stories around the Ciliwung river. The river, of course, has been witness to the evolution of time and what it does to the land bordering the river— from modest villages in the past to cities drowning in its own modernity today. The Ciliwung river has had its own share of human civilization. Up to the 18 th century, the water from the river was consumed as drinking water by the people of the capital and Dutch immigrants— until it was declared unsanitary in 1740, due to the waste and trash from a hospital. Today, many other types of waste flow down along the Ciliwung river. Although far from being a clear river, Ciliwung is still very much the center of activities for many Jakartans. Dwi Wicaksono has observed that children still play in the river and housewives do their laundry there. He is also fascinated by the ritual of the people by the Panus Bridge in Depok, in which they give offerings to the river. He found a similar ritual in the Kampung Pulo area. The artist presents these realities onto canvas.


JAKARTA BIENNALE 2015

Dwi Wicaksono Suryasumirat lebih akrab dipanggil Ube. Seniman kelahiran 1987 ini menyelesaikan studi seni lukis di Institut Kesenian Jakarta pada 2010. Dalam berkarya, ia selalu tertarik mengeksplorasi medium apa saja. Ia tergabung dalam kelompok Stuluk Berwarna yang didirikan sejak masa kuliah. Selain aktif membuat karya di komunitas Gambar Selaw, ia tergabung juga di kelompok musik dengan nama Karang Taruna Pemuja Setan (KTPS).

141

Dwi Wicaksono Suryasumirat, also known as Ube, was born in 1987, and completed his study in painting at the Jakarta Arts Institute in 2010. In his works, he likes to explore various media. He joined the Stuluk Berwarna collective in college. In addition to producing artworks with the Gambar Selaw community, he also has a band called Kelompok Karang Taruna Pemuja Setan—literally translated as Satanist Youth Group.


SENIMAN / ARTIST

The Youngrrr Jakarta

Does the Body Rule the Mind or Does the Mind Rule the Body Tubuh Memerintah Pikiran atau Pikiran Memerintah Tubuh? Video satu-kanal dan instalasi objek Single channel video and object installation 2015

REZIM ORDE BARU gemar menyuarakan slogan-slogan pembangunan manusia. Salah satu yang cukup populer: “Mengolahragakan Masyarakat, Memasyarakatkan Olahraga”—sebagai bentuk penyadaran publik bahwa kondisi fisik suatu bangsa turut berkontribusi pada laju pembangunan bangsa tersebut. Rezim berganti, pembangunan tidak berhenti. Fokusnya saja yang berbeda. Pada masa kampanye pemilihan presiden lalu, Jokowi menekankan pentingnya “Revolusi Mental” bagi bangsa Indonesia. Slogan tersebut menandakan bahwa pembangunan bangsa sekarang ini tidak saja membutuhkan raga yang kuat, tapi juga jiwa yang sehat. Konsep-konsep pembangunan manusia ini mengusik nalar duo seniman The Youngrrr. Seberapa pentingkah pembangunan manusia dan kemajuan suatu bangsa ketika hal-hal tersebut hanya digunakan untuk kepentingan yang berkuasa? Lebih penting lagi: seberapa relevan konsep-konsep pembangunan manusia yang diajukan para penguasa dengan kebutuhan warga di Indonesia?

The Youngrrr adalah sebuah kolaborasi antara Yovista Ahtajida dan Dyantini Adeline—keduanya menyelesaikan studi di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. The Youngrrr awalnya aktif merekam kegiatan musik independen di Jakarta, sebelum akhirnya berkarya lewat medium film eksperimental dan seni video pada 2012. Karya-karya mereka sempat singgah di ‘64 th Berlin International Film Festival’ dan ‘European Media Art Festival di Osnaruck’ pada 2014. Mereka kini bergabung dengan Lab Laba Laba, kelompok seniman di Jakarta yang berfokus pada eksperimentasi serta pengarsipan film analog dan seluloid.

142

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

The Youngrrr mengolah pertanyaanpertanyaan ini dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan tahun 1985-2015—dokumen fiktif berisikan strategi Soeharto untuk melanggengkan rezimnya di Indonesia, bahkan setelah ia turun takhta. Mereka menandai setiap tahapan kerjanya dengan instalasi dari berbagai artefak, seperti dokumen rapat dan video propaganda, yang berdasar pada peristiwa-peristiwa nyata dalam sejarah kita—mulai dari penculikan aktivis, kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan), P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila), program SKJ (Senam Kesegaran Jasmani), rekonsiliasi dengan kelompok-kelompok Islam lewat pendirian ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) dan BAZIS (Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah), surat keputusan kebebasan memakai jilbab, hingga rencana pembangunan mental bangsa melalui program-program motivasional.

The Youngrrr is a collaboration between Yovista Ahtajida and Dyantini Adeline—both finished their studies at the University of Indonesia’s Department of Communications. At first The Youngrrr actively documented the independent music scene in Jakarta before working with experimental films and video art in 2012. Their works have been exhibited at the ‘64 th Berlin International Film Festival’ and ‘European Media Art Festival’ in Osnaruck in 2014. Now they have joined Lab Laba Laba, an art collective in Jakarta, specializing in the experimentation and archiving of analog and celluloid films.


JAKARTA BIENNALE 2015

THE NEW ORDER regime is known for its slogans on human development. One of the most popular was: ‘Mengolahragakan Masyarakat, Memasyarakatkan Olahraga’ (i.e. having people to do sports, bringing sports to the people)—to raise awareness that a nation’s physical condition contributes to the advancement of the nation’s development. The regime changed but the development continued, with different focuses. During the 2014 presidential campaign, Joko Widodo emphasized on the importance of ‘Mental Revolution’ for Indonesians. The slogan implies that today’s development not only calls for the citizens’ physical endurance, but also their mental fortitude. These concepts of human development provoke the minds of The Youngrrr. How important are human development and advancement of a nation when they only serve the interests of those in power? More importantly, how relevant are these concepts, proposed by those in power, to the needs of the citizens of Indonesia?

The Youngrrr translated these questions into Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan 1985-2015 (i.e. Long Term Development Plan by the Coordinating Ministry for Security and Politics 1985-2015)—a fictional documentation containing the former president Soeharto’s strategy to perpetuate his regime in the country, even after his fall from power. The Youngrrr created a timeline marked with installations from various artifacts, such as meeting documents and propaganda videos based on factual historical events: from the kidnapping of activists; the NKK/ BKK (Campus Normalization policy, to subjugate student movements); P4 (compulsory Pancasila indoctrination course, for students of all levels); reconciliation with Muslim communities through the establishments of Islamic organizations, such as ICMI (Indonesian Association of Muslim Intellectuals) and BAZIS (Muslim Charity and Donations Board); Letter of Decision concerning the freedom to wear the veil; to motivational programs to build the nation’s mentality.

143


SENIMAN / ARTIST

Wiyoga Muhardanto Bandung

Kesempatan dalam Kesempitan A Sporting Chance 800 x 600 cm Bunyi dan instalasi 800 x 600 cm Sound and installation 2015

HANYA KARENA TAK PUNYA UNDANGAN, bukan berarti kita tak bisa menikmati sebuah kondangan. Cukup kenakan baju serapi mungkin, siapkan amplop kosong atau minimal selembar Imam Bonjol, dan terbukalah akses kita untuk makan-minum sepuasnya. Masyarakat kita menyebut perilaku semacam ini sebagai “aji mumpung”, siasat untuk mengambil untung dari sebuah kesempatan. “Aji mumpung” sendiri beragam skalanya—dari hajatan rakyat sampai hajat hidup rakyat—dan tanpa disadari kita kerap melakukannya, bahkan membenarkannya dengan berkilah, “Ah, kan cuma ambil sedikit. Nggak bakal rugi kok.” Wiyoga ingin menyentil perkara ‘aji mumpung’ ini lewat sebuah tenda hajatan di teras depan pelataran Gudang Sarinah. Tinggi tendanya sendiri cuma sekitar 60 cm—jauh lebih rendah ketimbang tenda hajatan pada umumnya. Saking rendahnya, tenda ini bahkan juga tak bisa digunakan sebagai pelindung dari hujan atau panas. Dari dalam tenda, samar-samar terdengar suara—seolah ada keriaan yang sedang berlangsung, yang tak bisa kita susupi untuk kita nikmati. Melalui instalasi ini, Wiyoga ingin memprovokasi memori dan harapan penonton, akan perilaku-perilaku “aji mumpung” yang kita telah terima sebagai normalitas dalam keseharian kita, sembari menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi di depan Gudang Sarinah.

144

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

IN INDONESIA, a wedding reception is never a closed event. There are always ways to get in, even when the host does not invite you. All we have to do is dress up, prepare a closed envelope—can be empty or with just a 5 ,000 rupiahs bill—and we will get access to an allyou-can-eat buffet. Indonesians call this kind of attitude aji mumpung, a strategy to profit from any opportunity. Aji mumpung has various scales—from taking advantage from a small group of people to a whole nation— and, whether we realize it or not, we often do it too. We even try to justify our actions by saying, “I only took a little. It won’t cost them much.” Wiyoga takes a poke at this aji mumpung mentality with a faux wedding reception tent at Gudang Sarinah. The tent is only 60cm in height—much shorter than your usual reception tent. In fact, it is so low that you cannot really use it to take shelter from the rain or the sun. From inside the tent, we hear noises—a festivity that we cannot enjoy because the tent is too low to enter. With this installation, Wiyoga provokes memories and hopes from his audience, of the aji mumpung mentality that we have come to take for granted in our daily lives, while taking guesses what is really going on inside that tent at Gudang Sarinah.


JAKARTA BIENNALE 2015

Wiyoga Muhardanto lahir di Jakarta pada 1984. Ia belajar seni patung di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Karya-karyanya sering berkutat dengan praktik konsumerisme dan materialisme pada masyarakat perkotaan, khususnya sosialita. Karya-karya Wiyogo sempat singgah di “Jogja Biennale XI—Equator #1” pada 2011 dan “Shanghai Biennale pada 2012”. Ia juga pernah singgah untuk residensi di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, pada 2009, dan 3331 Arts Chiyoda di Jepang pada 2011. Selain berkarya, ia turut mengelola PLATFORM3, sebuah ruang seni di Bandung.

145

Wiyoga Muhardanto was born in 1984. He studied sculpture at the Bandung Institute of Technology’s Faculty of Art and Design. His work deals with practices of consumerism and materialism in urban societies, especially among socialites. His works were exhibited at the ‘Jogja Biennale XI—Equator #1’ in 2011 and ‘Shanghai Biennale in 2012’. He also did a residency program at Cemeti Art House, Yogyakarta, in 2009, and 3331 Arts Chiyoda in Japan in 2011. In addition to producing works, he also runs PLATFORM3, an art space in Bandung.


L O K A S I / L O C AT I O N

Penjaringan, Jakarta Utara Berbatasan dengan Laut Jawa, Penjaringan merupakan kawasan padat penduduk yang terletak di Jakarta Utara. Dulunya lahan gambut dan empang, daerah ini dikembangkan sebagai area perdagangan sejak era kolonial Belanda sampai sekarang—dengan Pelabuhan Muara Angke dan Sunda Kelapa sebagai gerbangnya. Kawasan ini juga padat dengan zona-zona industri. Dapat ditemukan beberapa pabrik logam, tekstil, plastik, sampai percetakan. Banyak juga industri rumahan yang memperkerjakan ibu-ibu rumah tangga di rumahnya sendiri. Pemenuhan kebutuhan warga sehari-hari bertumpu pada warung-warung kecil di sekitar jalan, serta pasar tradisional di seberang jalan tol Soekarno-Hatta.

146

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Kepadatan daerah ini menghadirkan sejumlah tantangan perkotaan. Ruang huni warga sempit dan tak banyak lahan yang tersisa untuk membuka permukiman baru, sementara itu laju pertambahan penduduk kian deras akibat urbanisasi. Daerah ini terhitung rentan kebakaran—akibat tata letak bangunan yang berdempetan—dan, ironisnya, langganan banjir setiap musim hujan—akibat saluran air yang tak mampu menangani volume air dalam jumlah besar. Di tengah hiruk-pikuk ruang kota ini, Jakarta Biennale 2015 hadir dengan sejumlah kegiatan dan karya seni. Seniman yang berkarya di Penjaringan adalah Marishka Soekarna dan Komunitas Quiqui.


JAKARTA BIENNALE 2015

Located just off the Java Sea, Penjaringan is a heavily populated area in North Jakarta. It used to be an area of turfs and ponds until it became developed into a business district during the Dutch colonial era, which survives until today—with the Muara Angke and Sunda Kelapa ports serving as the gateways. The area is also divided into industrial zones. We can find factories that specialize in metal, textile, plastic and printing products. We can also find a high quantity of home industries, employing housewives to work from home. For their daily needs, the residents rely on small stalls by the roadsides and a traditional market opposite the SoekarnoHatta toll road.

The densely populated area brings about some urban challenges. The living spaces are small, and there is not much space left to start new residential areas, while the population increases rapidly due to urbanization. The area is also prone to fires—due to the dense layout of the houses— and, ironically, to floods as well in wet season—because the waterways fail to handle large volumes of water. Amidst this chaotic urban space, the 2015 Jakarta Biennale offered a number of artworks and activities. The artists who participated in Penjaringan were Marishka Soekarna and Komunitas Quiqui.

147


SENIMAN / ARTIST

Komunitas Quiqui Makassar

KUNANG-KUNANG SEJATINYA makhluk indah yang melayang di malam hari, biasa ditemukan di lingkungan hutan basah. Namun, dapatkah kunang-kunang hadir di hutan beton Jakarta? Tantangan itulah yang dijawab oleh Quiqui, kelompok perajut dari Makassar.

FIREFLIES ARE BEAUTIFUL nocturnal creatures, floating around in wet forest environments. However, can fireflies dwell within the concrete jungle of Jakarta? Quiqui, a knitting group from Makassar, attempted to answer this challenging question.

Quiqui membawa karya rajut mereka ke kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, wilayah yang dikenal sebagai daerah permukiman padat. Karya instalasi berjudul Kunang-Kunang tersebut dipasang di beberapa tempat, seperti di ruang terbuka yang redup dan di ruang yang terabaikan. Dengan penyinaran yang berasal dari lampu ultraviolet, benang-benang rajut yang berbalur fosfor akan berpendar dalam kegelapan. Lewat karya tersebut, para seniman ingin mengingatkan publik tentang banyaknya keindahankeindahan yang hilang, baik akibat pengabaian ataupun karena rusaknya lingkungan di sekitar kita.

Quiqui brought their knitting work to Penjaringan, a heavily populated area in North Jakarta. Their installation pieces entitled Kunang-Kunang (Fireflies) are installed in several spots, such as dimly-lit and abandoned spaces. With ultraviolet lighting, the knitted pieces of thread, which have been applied with phosphor, glow in the dark. Through their work, the artists would like to remind the public of lost beauties, due to both human neglect and environmental damage around us.

P E N AJ RA IN GAN

Quiqui adalah komunitas perajut yang didirikan pada 2011 di Makassar. Anggotanya didominasi kalangan ibu muda dan perempuan belia. Pada awalnya, Quiqui merupakan grup konseling sesama anggota. Belakangan, pembicaraan berkembang ke ranah seni—terutama seni serat, kekriyaan, dan grafiti. Selama tiga tahun berturut-turut, Quiqui telah menggelar aksi Bom Benang (Yarn Bombing) (2012–2014) sebagai respons terhadap isu-isu seputar ruang kota, penguatan komunitas dan warga, serta isu sosial lain yang mereka alami sehari-hari. Quiqui juga membuka kursus atau kelas kerajinan gratis di Kampung Buku, Makassar.

148

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Quiqui is a knitting community in Makassar founded in 2011. The members are predominantly young women and mothers. Initially, Quiqui served as a counseling group for its members. Later on their discussions expanded to art issues—especially fiber art, handicraft, and graffiti. For three years, Quiqui organized the event Yarn Bombing (2012-2014) as a response to issues in urban spaces, community and citizen empowerment, as well as other social issues they face daily. Quiqui also opens free courses in handicraft in Kampung Buku, Makassar.


JAKARTA BIENNALE 2015

149

Kunang-Kunang Fireflies Seni serat, instalasi, dan media campuran Dimensi bervariasi Fiber art, installation, and mixed media Various dimensions 2015


SENIMAN / ARTIST

Marishka Soekarna

P E N AJ RAIN GAN

Depok

Rumah adalah Kondisi House is A Condition Mural dimensi bervariasi Various dimension 2015

Bukan Jemuran Mimpi Not A Clothesline of Dream Mural dimensi bervariasi Various dimension 2015

150

ANAK-ANAK ADALAH ETALASE keluarga. Dalam diri seorang anak, tercermin bagaimana ia dididik dan diasuh, juga situasi rumah tempat ia bertumbuh. Dalam konteks yang lebih luas, anak-anak adalah gambaran masa depan suatu komunitas atau kelompok warga. Perlakuan sebuah komunitas terhadap anak-anaknya adalah investasi untuk hari-hari mendatang, kompensasi untuk hal-hal yang belum tercapai pada masa sekarang. Dengan begitu keluarga dan lingkungan rumah berperan penting dalam membentuk karakter seorang anak. Keduanya adalah paket yang tak terpisahkan. Amatan inilah yang mendorong Marishka untuk mengerjakan proyek mural di dua tempat di kawasan hunian padat di Penjaringan, yakni di TK Gelora Bangsa Penjaringan dan kolong jembatan tol Tanjung Priok yang berhadapan dengan gedung TK tersebut. Untuk proyek ini, Marishka menggelar

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

CHILDREN ARE LIKE a display case of a family. Through a child, we have an idea of how they are brought up and of the environment they grow up in. In a larger context, children carry the future of a community. How a community treats their children is an investment for the future, a compensation for things yet to be achieved in the present. Therefore, family and the domestic environment play an important role in shaping a child’s character. Those two elements are the two sides of a coin. Observing them, Marishka is inspired to work on a mural project at two spots in Penjaringan, a densely populated area, i.e. Gelora Bangsa Penjaringan kindergarten and the lot under Tanjung Priok highway right across the street from the kindergarten. For this project, Marishka held a discussion forum and a workshop with the local residents to facilitate and explore the themes that the locals proposed.


JAKARTA BIENNALE 2015

forum diskusi dan lokakarya dengan warga setempat, untuk mewadahi dan mendalami tema-tema usulan warga. Untuk gedung TK, Marishka membuat mural bertema keluarga—sebagai tanggapan terhadap gambar-gambar di TK, yang cenderung seragam menampilkan tokoh-tokoh kartun populer. Sementara, di tempat parkir di kolong jembatan tol Tanjung Priok, Marishka memberi warna-warna cerah serta mural bertema rumah, tempat segala penat dipulangkan.

In the kindergarten, Marishka created a family-themed mural—as a response to the common drawings in kindergarten environments which tend to revolve around popular cartoon characters. Meanwhile, at the parking lot under the Tanjung Priok highway, Marishka played with bright colors and house-themed objects to represent a place where all weariness should be taken off.

Marishka Soekarna lahir di Bandung, 12 Januari 1983. Kesukaannya menggambar mendorongnya mengambil sekolah seni Jurusan Seni Murni (Cetak Grafis) Fakultas Seni Rupa dan Desain di Institut Teknologi Bandung. Setelah lulus dan mencoba bekerja kantoran selama tiga tahun, Marishka mencapai titik kesimpulan bahwa ia bukan tipe pekerja kantoran. Sejak itu, ia kembali menggambar dan mempublikasi karya-karya di blog yang menjadi galeri pribadinya. Dari situ, tawaran kerja sebagai ilustrator lepas berdatangan. Pameran pertamanya diadakan di ruangrupa, Jakarta, pada 2010 silam.

Marishka Soekarna was born in Bandung on 12 January 1983. Her passion for drawing led her to study at the Bandung Institute of Technology’s Faculty of Art and Design, majoring in Fine Arts (Graphic Print). Following graduation, she took an attempt at a corporate career for three years and found that it was not the right path for her. Since then, she has returned to her drawing and published her works on her blog, her personal gallery. This has led to job offers as a freelance illustrator. Her first exhibition was held at ruangrupa, Jakarta, in 2010.

151


SENIMAN / ARTIST

Reza Enem Makassar

PENERBANGAN VOYAGER PADA 1977 tercatat sebagai peristiwa unik dalam sejarah eksplorasi manusia di luar angkasa. Pasalnya, selain perangkat riset dan pengolah data, pesawat antariksa nirawak milik Amerika Serikat tersebut turut mengangkut Voyager Golden Record (VGR)—rekaman fonograf berisikan suara dan gambar pilihan. Harapannya, dokumen ini dapat menjadi panduan bagi manusia masa depan dan makhluk luar angkasa, siapapun atau apapun itu, untuk mengenal aneka ragam kehidupan di Bumi pada waktu itu. The Local Audio Satellite Room merupakan sebuah karya yang terinspirasi dari VGR. Perhatian sang seniman terfokus pada reklamasi pesisir Makassar—salah satunya Pantai Losari— selama lima tahun terakhir ini. Pesisir Makassar yang membentang seluas empat ribu hektar itu menjadi lokasi berbagai proyek pembangunan, dari perluasan pelabuhan hingga pendirian hotel dan pusat hiburan. Konsekuensinya: para penghuni perkampungan nelayan harus angkat kaki. Reza lantas mewawancarai para warga yang menjadi korban reklamasi. Ia juga mengumpulkan pernyataan para aktivis, akademisi, dan pejabat Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan terkait dampak reklamasi tersebut. Beragam data audio ini kemudian diolah hingga menyerupai hasil tangkapan gelombang suara dari satelit—yang disiarkan melalui delapan pengeras suara dalam ruang kedap suara. Ruang ini berperan sebagai ruang monitor atas gelombang pernyataan masyarakat terhadap dampak reklamasi Pantai Losari. Data ini juga diarsipkan dalam bentuk cakram padat, sebagai rujukan untuk generasi mendatang.

152

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

THE VOYAGER EXPEDITION IN 1977 is a unique event in the history of human exploration in space. In addition to research and data processing equipment, the unmanned US space shuttle also carried the Voyager Golden Record (VGR)—a phonographic recording containing selected images and sounds. The document is expected to be a guide for beings from outer space or the future, whoever or whatever it may be, to get an idea of life on Earth at the time. The Local Audio Satellite Room is a work inspired by the VGR. The artist focuses on the reclamation of the Makassar coastline—one of which is the Losari beach—in the past five years. The Makassar coastline, spanning at four thousand hectares, has been the location of various construction projects, from port expansion to development of hotels and entertainment centers. Consequently, people living in the fishing villages have to move. Reza interviewed the people who fell victim to the reclamation. He also collected statements from activists, academics and South Sulawesi government officials about the impact of the reclamation. The audio data is then processed to resemble a satellite feed—broadcast through eight speakers in a soundproof room. The room functions as a monitor room for the statement from the people about the impact of the reclamation of Losari beach. The data is also archived into a disc, as a reference for future generations.


JAKARTA BIENNALE 2015

153

Another Voyager Golden Record Mission: The Local Audio Satellite Room Sebuah Misi Lain Voyager dengan Rekaman Emas: Ruang Satelit Audio Lokal Seni bunyi Dimensi bervariasi Sound art Various dimensions 2015

Setelah menyelesaikan kuliah di Universitas Fajar, Makassar, pada 2010 lalu, Reza Enem alias Muhammad Reza lebih banyak bermain musik dengan Theory of Discoustic, band yang mengusung musik progressive Indonesian folk. Pada 2012, ia bekerja sebagai jurnalis foto dan redaktur foto untuk koran Jakarta Biz Daily. Ia mulai tertarik dengan sound art sejak 2013, dan telah mendapat kesempatan untuk mengikuti residensi seni di Gwangju, Korea Selatan, pada 2015.

Reza Enem, or Muhammad Reza has dedicated himself to play music in his progressive Indonesian folk band Theory of Discoustic after completing his study at Fajar University, Makassar, 2010. In 2012, he worked as a photojournalist and photo editor for Jakarta Biz Daily. He began to show interest in sound art in 2013, and participated in an art residency in Gwangju, South Korea, 2015.


SENIMAN / ARTIST

Dan Perjovschi Bucharest

Libertate Freedom Libertate Kebebasan Kapur putih di atas dinding hitam White chalk on black wall 2015

Dan Perjovschi lahir di Rumania pada 1961. Alumni George Enescu University of the Arts ini dikenal sering menggambar secara spontan di berbagai ruang pamer, menarasikan berbagai situasi politik maupun isu identitas. Karya-karyanya sudah melanglang buana ke berbagai bienial: ‘52 nd Venice Biennial’ pada 2007, ‘16 th Biennale of Sydney’ pada 2008, ‘10 th Biennale de Lyon’ pada 2009, ‘Dublin Contemporary’ pada 2001, dan ‘Bienal de São Paulo’ pada 2014. Pada 2013, ia dan Lia Perjovschi menerima Princess Margriet Awards for Culture dari European Cultural Foundation, untuk karya-karya mereka yang banyak berkontribusi bagi budaya dan komunitas di Rumania.

154

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Dan Perjovschi was born in Romania in 1961. The George Enescu University of the Arts graduate is known for his spontaneous drawings in various exhibition spaces, presenting narratives about political situations and identity issues. His works have been around various biennales: ‘the 52 nd Venice Biennial’ in 2007, ‘the 16 th Biennale of Sydney’ in 2008, ‘the 10 th Biennale de Lyon’ in 2009, ‘Dublin Contemporary’ in 2001, and ‘Bienal de São Paulo’ in 2014. In 2013, he and Lia Perjovschi received the Princess Margriet Awards for Culture from the European Cultural Foundation, for their works, which have contributed greatly to Romanian culture and communities.


JAKARTA BIENNALE 2015

IDE-IDE RUMIT MENEMUKAN bentuk yang sederhana dalam karya Dan Perjovschi. Kartun-kartunnya secara humoris menyibak topeng kemunafikan yang merasuk ke dalam semua aspek interaksi manusia—dari geopolitik sampai ekonomi transnasional dan kehidupan sehari-hari. Gambar-gambar itu menuntut untuk dibaca, disalin, dan disebarkan secara luas lewat cara-cara yang meremehkan otoritas lingkaran seni biasa. Karya-karya itu memberikan bentuk visual yang transparan atas tabu-tabu sosial dan politik. Ekspresi gambar Perjovschi yang sederhana memungkinkannya mengambil banyak bentuk, sebagai gambar dinding, instalasi, gambar di jendela, pertunjukan langsung, buku, koran, dan majalah gratis, termasuk majalah mingguan Rumania Revista 22, tempat ia menjadi kontributor sejak 1991. Penolakan Perjovschi terhadap bentukbentuk seni tradisional berawal dari pengalamannya di tengah akademia seni Rumania pada 1970-an dan 1980-an. Ia merasa frustrasi dengan batasanbatasan seni yang resmi, yang seperti negara itu pula, berada di bawah cengkeraman rezim Nicolae Ceau ş escu. Perjovschi kemudian mengadopsi gambar sebagai alat untuk menyalurkan pandangan ironis dan kritisnya tentang masyarakat dan politik, yang dulu di bawah kekuasaan komunis dan sekarang kekuasaan neo-liberal. Pendekatan kritis itu selalu diwarnai humor dan menyasar hal-hal yang absurd dalam kehidupan dan pergulatan kita sehari-hari, dengan adanya agenda-agenda menggelikan pemerintah, pengiklan, dan produkproduk yang ingin mengontrol kita.

155

COMPLEX IDEAS FIND SIMPLE form in Dan Perjovschi’s drawings. His cartoons humorously unmask the hypocrisy that pervades all aspects of human interaction—from geopolitics to transnational economics and everyday life. His drawings demand to be read, copied and widely circulated in ways that undermine the authority of the usual art circuits. They give an apparently transparent visual form to social and political taboos. Perjovschi’s simple pictorial expression allows it to take many forms, as wall drawings and installations, window drawings, live performances, books, free newspapers and magazines, including the Romanian magazine Revista 22, to which he has contributed weekly since 1991. Perjovschi’s disavowal of traditional art forms is rooted in his experience of Romanian art academia in the 1970s and 80s. Frustrated by the constraints of official art, which, like the country, was then under the tight grip of Nicolae Ceauce ş cu’s regime, Perjovschi adopted drawing as a means of channelling his ironic and critical take on society and politics, first under communist and now under neo-liberal control. That critical approach is always laced with humour and targeted at the everyday absurdities of life and our daily struggles with the laughable agendas of the governments, advertisers and products that seek to control us.


SENIMAN / ARTIST

Juan Pérez Agirregoikoa San Sebastián, Paris

PADA 8 SEPTEMBER 2015, mediamedia di seluruh dunia geger. Petra László, wartawan sebuah stasiun televisi Hungaria, menjegal langkah seorang lelaki Suriah, yang sedang lari menggendong putranya ke Eropa Timur. Peristiwa ini terabadikan dalam video, lalu mendunia lewat Internet. Melalui surat terbuka yang terbit di Magyar Nemzet, sebuah koran Hungaria, sang wartawan menjelaskan, “Kamera sedang menyorot, ratusan imigran berlari menerobos kepungan polisi, salah satunya lari ke arah saya dan saya takut. Lalu saya tersentak... Saya kira saya sedang diserang, saya harus melindungi diri.” Ketakutan akan pendatang ini bukannya milik Petra seorang. Sentimen serupa kerap dihembuskan kelompok nasionalis dan ultra-kanan di negara-negara Eropa, salah satunya Hungaria, yang menjadi tujuan pengungsian warga Suriah dari perang sipil di negeri mereka. Nasionalisme, apabila diartikan secara sempit, akan berujung pada penyederhanaan segala perkara di muka bumi ini jadi soal “kami” dan “pihak luar”, polemik antara “siapa yang tinggal duluan’ dan “siapa yang datang belakangan”. Konstruksi nasionalisme macam itulah yang Juan Perez ingin telaah dalam karya instalasinya. Ia membangun sebuah kontruksi segi empat berdinding kawat besi. Di tengahnya adalah sebuah taman bermain—ruang bersama untuk melempar dan mendiskusikan gagasan. Sementara itu, keempat sisi dinding akan digantung sejumlah spanduk berhiaskan slogan-slogan—tentang mitos dan ilusi yang didesain dan ditata demi menyokong nasionalisme ekstrem dan tatanan kapitalisme dunia.

156

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

ON SEPTEMBER 8, 2015, a footage shocked the international media. Petra László, a journalist from a Hungarian TV station, tripped a Syrian man who was running while carrying his son to Eastern Europe. The incident was captured on video and went viral. Through an open letter published in the Hungarian newspaper Magyar Nemzet, the journalist explained, “The camera was shooting, hundreds of migrants broke through the police cordon, one of them rushed to me and I was scared. Then something snapped in me… I just thought that I was attacked and I had to protect myself.” Petra is not the only one with fear of migrants. Similar sentiments are often voiced by nationalist and far-right groups in European countries, including Hungary, a destination of Syrian refugees after escaping from the civil war in their country. Nationalism, in a certain strict interpretation, will lead to a simplification of everything into a matter of ‘us and ‘the outsiders’, a polemy between those ‘who came first’ and ‘who came after’. Such a construction of nationalism is explored by Juan Perez in his installation work. He built a rectangular construction with metal-wired walls. At the center is a playground—a common area to throw and discuss ideas. Meanwhile, on all four sides of the walls posters with slogans are pasted—speaking of myths and illusions designed and organized to support extreme nationalism and capitalism in the world.


JAKARTA BIENNALE 2015

157

The Natural Rights Hak-hak Natural Instalasi, video 700 x 400 x 600 cm Installation, video 700x400x600cm 2015

Juan Pérez Agirregoikoa adalah seniman kelahiran 11 Oktober 1963 di San Sebastián, Donostia. Beberapa pameran tunggalnya antara lain ‘CONCERT FOR A RAISED FIST’ (2008) di Lonely at the top Klankeffecten MuHKA Antwerp, Belgia; ‘Do you want a master? You will have it!’ di Museo Nacional Centro de arte reina Sofía, Madrid (2012); dan “Culture is what is done to us” (2014) di Gallery Clages, Köln.

Juan Pérez Agirregoikoa is an artist born on October 11, 1963, in San Sebastián, Donostia. His solo exhibitions include ‘CONCERT FOR A RAISED FIST’ (2008) at Lonely at the top Klankeffecten MuHKA Antwerp, Belgium; ‘Do you want a master? You will have it!’ at Museo Nacional Centro de arte reina Sofía, Madrid (2012); and ‘Culture is what is done to us’ (2014) at Gallery Clages, Cologne.


SENIMAN / ARTIST

Lab Laba Laba Jakarta

LAB LABA LABA MELIHAT seluloid film sebagai materi berkarya. Sayangnya, pandangan serupa tak sejalan dengan pandangan pemerintah kita, yang memperlakukan arsip sebatas referensi historis. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2009 Tentang Kearsipan Pasal 73 Ayat 1 Huruf (a), disebutkan bahwa fungsi dari arsip statis—termasuk seluloid film—adalah untuk menjadi khasanah lembaga kearsipan dan sebagai memori kolektif untuk dimanfaatkan bagi kepentingan publik.

Antik-Antik Tetap aja Dongkrak An Antique, Ordinary Jack Instalasi objek Dimensi bervariasi Object installation Various dimensions 2015

158

Perkara regulasi ini berujung pada birokrasi yang berbelit. Lab Laba Laba jadi kesulitan mengakses koleksi Lembaga Sensor Film, Arsip Nasional Indonesia, Sinematek Indonesia, dan Perusahaan Film Negara. Lembagalembaga tersebut adalah tempat-tempat penyimpanan terakhir seluloid film— yang tak lagi dipakai semenjak jaringan bioskop memberlakukan media rekam digital sebagai standar pemutaran film pada 2009—di Indonesia.

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

LAB LABA LABA SEES celluloid film as a creative material. Unfortunately, the government doesn’t share that view, treating archives only as historical reference. In Law no.43/2009 on Archiving, article 73 point 1(a), it is stated that the function of static archives— including film celluloid—is to serve as the property of archiving institutions and collective memories to be used for the public interest. The regulation leads to complicated bureaucracy and creates troubles for Lab Laba Laba in accessing the collections of the Film Censorship Board, the National Archive of Indonesia, Sinematek Indonesia and the State Film Company. These institutions are the last storage spaces of celluloid films in Indonesia — celluloid is no longer used since the network of film exhibitors started using digital recording medium as the standard for film screening in 2009.


JAKARTA BIENNALE 2015

Melalui karya ini, Lab Laba Laba hendak menawarkan perspektif yang lebih luas terkait pemanfaatan seluloid. Sejumlah materi arsip yang sebelumnya sulit diakses, kini dapat digunakan sebagai materi produk baru. Setelah dikonversi ke format digital, materi tersebut dapat digunakan sebagai footage, bahkan dibongkar sebagai bahan eksperimen atau komposisi visual baru.

With this work, Lab Laba Laba would like to offer a wider perspective on the use of celluloid. Some archive materials, which were previously difficult to access, can now be used as new product materials. After being converted to digital format, the materials can be used as footages and can even be deconstructed as materials for experiments or new visual compositions.

Di Gudang Sarinah, Lab Laba Laba menyediakan kamar gelap berisikan perangkat-perangkat yang biasa mereka pakai untuk mengolah seluloid—meja potong film, proyektor, mesin cetak seluloid. Pengunjung pameran bisa berinteraksi langsung dengan anggota Lab Laba Laba, belajar bersama untuk menggandakan arsip dan mengolahnya menjadi karya. Praktik ini membuka kemungkinan penggunaan arsip secara lebih bebas.

At Gudang Sarinah, Lab Laba Laba provides a dark room with equipment to process celluloid—a film cutting table, projectors and celluloid printing machines. Visitors can directly interact with the members of Lab Laba Laba, learn to copy archives and turn them into artworks. This practice opens the possibility of the use of archives with more freedom.

Lab Laba Laba adalah kelompok kerja para seniman dan praktisi audiovisual di Indonesia, yang bertujuan membagi dan mengarsipkan pengetahuan yang terancam hilang akibat pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang terlalu cepat. Pada April 2015, kelompok ini menyelenggarakan pameran bersama bertajuk ‘Mengalami Kemanusiaan’. Mereka terus aktif membuat pemutaran karya, diskusi, lokakarya, dan pameran.

159

Lab Laba Laba is a collective of audiovisual artists and practitioners in Indonesia who aim to share and archive knowledge that is on the brink of extinction due to the all too rapid growth and development of technology. In April 2015, the group held a collective exhibition entitled ‘Mengalami Kemanusiaan’ (‘Experiencing Humanity’). They continue to actively organize screenings, discussions, workshops and exhibitions.


SENIMAN / ARTIST

Tromarama Bandung

REALITAS BISA JADI SEBENARNYA tidak ada—yang ada hanyalah beragam perspektif yang membentuk keseharian kita. Teks dan gambar, yang berperan penting dalam membentuk persepsi kita akan realitas, setiap saat selalu direproduksi menjadi pemaknaan baru. Perkembangan teknologi membuka peluang bagi setiap manusia untuk menjadi produsen, konsumen, sekaligus distributor informasi pada saat bersamaan. Ditambah lagi dengan kecepatan perputaran informasi yang dibawa oleh arus globalisasi, pemaknaan kita akan ruang dan waktu menjadi semakin cair, ahistoris, dan cenderung homogen. Kini, semakin sulit memisahkan antara yang nyata dan yang ilusi.

Realer Video dua kanal, bunyi loop two channel video, Loop sound 2015

Berangkat dari premis tersebut, Tromarama mencoba menafsir karut-marut antara teks dan gambar dari berbagai macam konten yang kita konsumsi di layar perangkatperangkat elektronik. Mereka mencoba mencari tautan antara realitas di balik layar monitor dan realitas di luar sana— yang pada perkembangannya menjadi pertanyaan terhadap definisi realitas itu sendiri.

Tromarama terdiri dari Febie Babyrose, Herbert Hans Maruli, dan Ruddy Hatumena. Ketiganya tinggal dan bekerja di Bandung, serta menyelesaikan studi di Departemen Seni dan Desain Institut Teknologi Bandung. Sejak 2006, Tromarama banyak berkarya lewat animasi video dan instalasi obyek. Pada 2015, Tromarama mengadakan pameran tunggal di Stedelijk Museum Amsterdam dan National Gallery of Victoria, Melbourne, Australia (2015). Mereka sempat berpartisipasi dalam ‘Singapore Biennale’ pada 2008, dan mengambil bagian dalam sejumlah festival pemutaran video—di antaranya ‘Roppongi Art Night’ di Tokyo pada 2012 dan ‘Animasivo - Festival de Animación Contemporánea’ di Mexico City pada 2013.

160

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

THERE MIGHT BE no such thing as reality—there are only various perspectives shaping our daily lives. Texts and images, playing a key role in shaping our perception of reality, are reproduced perpetually into new meanings. Technological advances open up opportunities for everyone to produce, consume and distribute information at the same time. Add to this the rapid circulation of information due to globalization, which makes our interpretation of space and time more fluid, ahistorical and homogenous. Today, it is getting more difficult to separate reality from illusion. Based on the premise above, Tromarama attempts to interpret the cacophony of texts and images from various kinds of content that we consume on the screen of our electronic devices. They try to find the link between the reality behind the monitor and the reality out there— eventually questioning the definition of reality itself.

Tromarama is Febie Babyrose, Herbert Hans Maruli and Ruddy Hatumena. The three of them reside in Bandung, having completed their study at Bandung Institute of Technology’s Faculty of Art and Design. Since 2006, Tromarama has been producing works in video animation and installations. In 2015, they held a solo exhibition at Stedelijk Museum Amsterdam and National Gallery of Victoria, Melbourne, Australia. They participated in ‘the 2008 Singapore Biennale’ and they took part in a number of video screening festivals—among which are ‘Roppongi Art Night’, Tokyo, 2012, and ‘Animasivo - Festival de Animación Contemporánea’, Mexico City, 2013.


JAKARTA BIENNALE 2015

161


SENIMAN / ARTIST

Miebi Sikoki Jakarta

DI DUNIA MAYA, waktu tidak berlangsung secara linier. Internet memungkinkan konten dari masa lalu dan masa kini tersaji dalam satu halaman yang sama. Kita berada di mana-mana, tanpa harus ke mana-mana. Kita hadir di berbagai masa, tanpa harus terikat usia. Bisa dibilang, semenjak kehadiran Internet, kita tidak pernah sepenuhnya mengalami masa kini. Hanya sebagian kecilnya saja. Pengalaman waktu inilah yang Miebi Sikoki terjemahkan dalam Time Wrap— kubus yang sebagian permukaannya dilapisi sederet panel berukuran 8x8 pixel. Panel-panel ini terhubung pada sebuah sistem berisikan data informasi visual, yang akan menghasilkan bermacam pola cahaya pada permukaan panel. Pola-pola cahaya itu dirancang untuk terus bergerak, memaksa penonton untuk selalu mencari fokus— gambaran akan aliran waktu yang larut dalam proses dan peristiwa.

TIME IS NEVER LINEAR in the virtual world. The Internet enables contents from the past and the present to be displayed on the same page. Freed from the space-time continuum, we can be everywhere and move between eras as much as we like on the Internet. This also means that we never fully experience the present—only tiny fragments of it. Miebi Sikoki tries to replicate similar temporal experiences in Time Wrap—a cube whose surface is coated with 8x8 pixel panels. These panels are connected to a system that stores visual information data, which will produce various light patterns on the panels’ surfaces. The light patterns are designed to be constantly moving, forcing the audience to always look for focus—an illustration of how time dissolves into various events in history.

Time Warp Lengkung Waktu Kayu dan akrilik 90 x 90 cm Wood and acrylic 90 x 90 cm 2015

Miebi Sikoki lulus dari jurusan Desain Komunikasi Visual di Universitas Pelita Harapan pada 2007. Berbekal kemampuan grafis komputer dan pemrograman perangkat lunak, Miebi meniatkan karya-karyanya sebagai penjelajahan kemungkinankemungkinan baru dalam desain dan proses penciptaan produk. Pada 2014, ia mendirikan DIGITALNATIV—studio fabrikasi digital—yang aktif mengolah bahan digital menjadi produk yang memberikan pengalaman interaktif bagi penggunanya.

162

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Miebi Sikoki graduated from the Pelita Harapan University’s School of Visual Communication Design in 2007. As a trained professional in computer graphics and software programming, Miebi aims to explore new possibilities in product designs and creative processes. In 2014, he founded DIGITALNATIV—a digital fabrication studio—which actively processes digital materials into products that offer interactive experiences to users.


JAKARTA BIENNALE 2015

163


L O K A S I / L O C AT I O N

Pejagalan, Jakarta Utara DAERAH PEJAGALAN AKRAB DENGAN DIASPORA. Nama daerahnya berasal dari kebiasaan pemukim keturunan Arab dan Pakistan menjagal kambing, sebagai bahan utama nasi kebuli—makanan favorit mereka. Pejagalan sendiri aslinya dihuni orang Betawi, yang seiring berjalannya waktu, kedatangan banyak penghuni baru. Ada pendatang dari Banten, yang menetap di Pejagalan pasca penyerangan Fatahillah ke Sunda Kelapa

164

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

pada 1527. Ada juga orang-orang India, Cina, Jawa, Sunda, dan Madura—yang datang untuk berdagang dan bekerja seiring meningkatnya aktivitas ekonomi di kawasan Jakarta Utara. Keragaman warga di daerah Pejagalan ini terus terlanggengkan sampai sekarang. Keharmonisan ini diterjemahkan NUR, salah satu seniman Jakarta Biennale 2015, lewat sebuah karya mural di Pejagalan.


JAKARTA BIENNALE 2015

PEJAGALAN IS NO STRANGER TO DIVERSITY. The name of the area originated from goat slaughterings done by Arab and Pakistani settlers in the area, in order to cook nasi kebuli—their favorite dish. ‘Jagal’ in English means ‘slaughter’. Originally lived by Betawi people, Pejagalan has attracted various settlers. There are people from Banten, who settled after Fatahillah’s attack on Sunda Kelapa in 1527. There are also traders and workers that came

from India, China, Java, Sunda land, and Madura—as the economic activities in Jakarta Utara escalated. The people of Pejagalan remains diverse to this very day. In respond to this, NUR, one of the artists in Jakarta Biennale 2015, drew a mural in Pejagalan.

165


SENIMAN / ARTIST

NUR Jakarta

Aku, dia, kamu, apa bedanya? Kita semua sama di mata alam You, him, her, me, what’s the difference? We are all equal in the face of nature Mural 2015

166

DAERAH PEJAGALAN, sebagaimana dengan daerah-daerah lain di Jakarta Utara, tidak saja dikenal sebagai kawasan padat penduduk, tapi juga zona industri padat karya dan padat modal. Banyak tempat usaha yang bermukim di sana, dari tingkat rumahan sampai skala besar, yang tentunya membutuhkan pekerja dalam jumlah yang banyak pula. Jakarta Utara praktis menjadi tujuan banyak pendatang yang ingin beradu nasib di ibukota.

THE PEJAGALAN AREA, like other areas in North Jakarta, is not only known as a densely populated area, but also as a labor-intensive and capitalintensive industrial zone. It is home to many businesses, from home business to large enterprises, which require a large number of human resources. North Jakarta becomes a destination of many people who come to Jakarta in search of a better living.

Tidak mengherankan, seiring berjalannya waktu, warga Pejagalan jadi begitu beragam—meliputi warga keturunan Cina, Jawa, Betawi, Sunda, hingga Madura. Kekayaan etnis ini terus terjaga sampai sekarang—salah satunya karena kerukunan antarwarga yang terbina dengan baik. Nurhasna, diundang oleh Jakarta Biennale 2015 ke Pejagalan, tersentuh ketika menyaksikan hal itu. Kebersamaan inilah yang ia tuangkan dalam karya muralnya, bahwa di tengah daerah yang rentan banjir dan kebakaran ini, warga Pejagalan masih memiliki satu sama lain.

No wonder, with time, Pejagalan is inhabited by all kinds of people— Chinese, Javanese, Betawi, Sundanese and Madurese. This eclectic melting pot of ethnicities is well preserved until today—one of the reasons being the good relationship among the residents. The 2015 Jakarta Biennale invited NUR to Pejagalan, and she was touched by what she saw. She translated this togetherness into her mural, conveying the message that in the face of constant threats of floods and fires, the people of Pejagalan still have each other.

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

NUR, atau Nurhasnah Nusyirwan, adalah seorang mahasiswi tingkat akhir Desain Komunikasi Visual di Universitas Trisakti. Baginya, proses berkarya adalah media belajar akan berbagai macam pengetahuan. Karya-karyanya berdasar pada pandangannya akan dunia di sekitarnya, tentang perasaan dan temuan-temuan di lingkungannya. Ia aktif membuat mural di jalanan ibukota.

167

NUR, or Nurhasnah Nusyirwan, is finishing her final year at Trisakti University. To her, a creative process is a learning means toward all kinds of knowledge. Her works are based on observation of the world around her, about what she feels and discovers in her surroundings. She is a prolific mural artist and her works are spread around the streets of Jakarta.


P E TAMB URAN

S I T U S D A N K O M U N I TA S

Petamburan, Jakarta Pusat

168

PETAMBURAN TIDAK PERNAH SEPI. Terletak di bilangan Tanah Abang, pusat grosir dan transportasi ibukota, daerah ini terhitung strategis alias dekat dengan banyak kesempatan kerja. Tidak heran apabila kawasan ini menjadi tujuan utama kaum migran dan warga ibukota, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Konsekuensinya: kepadatan bangunan cukup tinggi, mayoritas adalah rumah semi-permanen.

Pada 2012 , pemerintah membongkar banyak hunian warga di sepanjang bantaran sungai, juga rumah-rumah yang dibangun di atas saluran air permukiman—untuk perbaikan pintu dan pompa air, juga untuk pelebaran saluran supaya bisa mengalirkan air ke Kanal Banjir Barat. Sebagian warga protes, sebagian lainnya ikut membantu pembongkaran.

Akibat banjir yang getol melanda Jakarta, pemerintah merencanakan sejumlah proyek normalisasi saluran air, terutama di daerah-daerah pinggir kali yang padat penduduk. Salah satunya Petamburan, yang berbatasan dengan Kali Ciliwung.

Kondisi hidup di Petamburan ini tidak luput dari Jakarta Biennale 2015, yang ditanggapi melalui karya mural Sanchia T. Hamidjaja di tembok bantaran kali setempat.

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

PETAMBURAN IS NEVER QUIET. Located in the Tanah Abang area, the city’s center of wholesale trade and transportation, Petamburan is strategically connected to job opportunities. The area becomes the main destination for both Jakartans and migrants, especially those with low income. Consequently, this leads to a high level of density, with people largely living in semi-permanent buildings.

riverside areas. One of the areas is Petamburan, which is adjacent to the Ciliwung River. In 2012, the government relocated many housing areas along the riverside and also the houses built on residential waterways—to improve sluices and water pumps, and also to enlarge the waterways to improve water flow to Kanal Banjir Barat. Some people protested and some other helped the relocation.

Due to the floods, which have become a constant problem for Jakarta, the government planned a number of waterway normalization projects, especially in the densely populated

The living condition in Petamburan is not overlooked by the 2015 Jakarta Biennale, which responded through the mural work by Sanchia T. Hamidjaja on local riverside walls.

169


SENIMAN / ARTIST

Sanchia T. Hamidjaja

PE TAMP URAN

Jakarta

170

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

SEBAGAI KAMPUNG yang padat penduduk, Petamburan sebenarnya bukan daerah hunian yang ideal. Wilayah ini langganan banjir—setiap jelang musim hujan, warga bersiap mengemas dan memindahkan barang agar terlindung dari terjangan banjir. Wilayah ini juga tak banyak memiliki ruang publik, terutama untuk anak-anak. Hanya ada satu taman kecil di pinggir sungai, yang selalu ramai dengan anak-anak. Sanchia terinspirasi oleh anak-anak di Petamburan. Di balik berbagai masalah yang ada di kampung padat penduduk itu, anak-anak setempat tetap bisa riang dan optimis menjalani hidup sehari-hari. Semangat ini yang Sanchia ingin bagikan ke warga lewat karya muralnya. Melalui visual yang sambungmenyambung layaknya komik, Sanchia menggambarkan sebuah metamorfosa. Protagonisnya adalah sepasang anak yang sedang bermain batu. Lambat laun batu tersebut menjelma menjadi sebuah bantal—sesuatu yang tadinya keras dan bisa membahayakan, kini jadi sesuatu yang lunak dan menyenangkan. Sanchia juga membuat mural di Gudang Sarinah, area utama pameran Jakarta Biennale 2015.

171

AS A DENSELY POPULATED AREA, Petamburan is by no means an ideal residential area. The area is consistently prone to floods—when the wet season nears, people start packing and moving their belongings to keep them dry. Petamburan also doesn’t have many public spaces, especially for children. It only has a tiny park by the river, always teeming with children. Sanchia was inspired by the children of Petamburan. Despite the various structural problems in the area, the local children are always happy and optimistic every day. Sanchia would like to spread this spirit with her mural work. Through a sequence of images, Sanchia is illustrating a metamorphosis. The protagonists are two kids playing with a stone. Gradually, the stone turns into a pillow—something that was hard and potentially dangerous now becomes soft and pleasant. Sanchia also made a mural at Gudang Sarinah, the main exhibition area of the 2015 Jakarta Biennale.

The Pillow Makers Pembuat Bantal Mural 2015

Sanchia T. Hamidjaja adalah seniman visual dan ilustrator. Ia menempuh studi Communication Design di Swinburne University of Technology, Melbourne, Australia, pada 2004. Sanchia sempat bekerja di industri iklan selama hampir tujuh tahun, sampai akhirnya memutuskan untuk menggeluti dunia seni dan bekerja sebagai seorang ilustrator lepas, termasuk untuk kebutuhan berbagai hotel dan restoran di Jakarta. Karya-karya Sanchia cenderung terinspirasi dari kartun bahkan komik. Pada 2011, ia berkesempatan menggelar pameran tunggalnya di Inkubator Gallery.

Sanchia T. Hamidjaja is a visual artist and illustrator. She studied Communication Design at the Swinburne University of Technology, Melbourne, Australia, in 2004. Sanchia worked in the advertising industry for seven years, before deciding to focus on art and freelance illustrating. Her clients include hotels and restaurants in Jakarta. Sanchia’s works are often inspired by cartoons and comic drawings. In 2011, she held a solo exhibition at Inkubator Gallery.


SENIMAN / ARTIST

Ariani Darmawan Bandung

Sugiharti Halim Instalasi video Video Installation 2015

Silenced Bisu Film 6 menit Film 6 minutes 2004

Ariani Darmawan adalah seniman video dan pembuat film yang menetap dan bekerja di Bandung. Setelah lulus kuliah arsitek di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Ariani melanjutkan pendidikan di School of the Art Institute of Chicago. Latar belakang arsitektur dan seni murni yang dimiliki membawa Ariani ke dunia penulisan dan gambar bergerak. Ariani telah berpartisipasi dalam sejumlah festival seni dan film di Eropa, Amerika Serikat, Asia, dan Australia. Karyanya beragam dari film pendek, dokumenter, video instalasi, hingga karya teatrikal.

172

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Ariani Darmawan is a filmmaker and video artist, residing and working in Bandung. After finishing her study in architecture at Parahyangan Catholic University, Bandung, Ariani went to the School of the Art Institute of Chicago. Her background in architecture and fine art led her to writing and moving images. She has participated in several art and film festivals in Europe, the US, Asia and Australia. Her various works range from short films, documentary works, installation videos to theater.


JAKARTA BIENNALE 2015

SEBAGIAN BESAR KARYA Ariani Darmawan bicara soal identitas di hadapan sebuah struktur kuasa—salah duanya adalah Sugiharti Halim dan Silenced.

MOST OF ARIANI DARMAWAN’S works are concerned with identity in the face of a power structure—two of which are Sugiharti Halim and Silenced.

Dalam Sugiharti Halim, kuasa itu bernama negara. Indonesia, lewat Keppres nomor 127/U/Kep/12/1966, sempat mewajibkan WNI etnis Cina untuk mengadopsi nama ‘bernada Indonesia’. Itu sebabnya, Sugiharti Halim, seorang wanita keturunan Cina, selalu mempertanyakan makna namanya.

In Sugiharti Halim, the power in question is the State. Indonesia, through the Presidential Decree no. 12/U/Kep/12/1966, instructed Chinese-Indonesians to adopt ‘Indonesian-sounding names’. That is why, Sugiharti Halim, a woman of Chinese descent, constantly questions the meaning of her name.

Dalam kencan dengan beberapa teman pria, Sugiharti mengeluhkan segala kerepotan yang ia alami dari namanya— dari bunyinya yang kurang estetis, sampai syarat birokrasi yang harus ia lalui saat mengurus paspor. Sugiharti Halim menawarkan sebuah cara pandang yang jenaka, terkadang membuat terenyuh, tentang nama—yang kadang merekatkan, yang kadang menjadi sekat.

In her dates with some male acquaintances, Sugiharti complains about the hassle she endures because of her name—from the aesthetically awkward sound of it, to the bureaucratic nightmare she has to go through when creating a passport. Sugiharti Halim offers a funny and at times poignant take on a name—something that brings people together and at other times sets them apart in separate boxes.

Berbeda dengan Sugiharti Halim yang jelas antagonisnya, Silenced lebih metaforik. Selama enam menit, penonton menyaksikan seorang perempuan asyik membaca buku Inner Experience. Sesekali ia berpaling dari pandangan kamera, sesekali wajahnya terhalang rambutnya sendiri yang diterpa angin laut, sesekali pula ia terpukul keluar dari pandangan kamera, entah oleh apa atau siapa. Lalu ada suara ombak, dan ia pun tersenyum. Ia pun didorong pergi lagi, dan kali ini ia tak kembali. Pada akhir video, tertulis kalimat ‘Untuk mereka yang dilumpuhkan’. Lewat kalimat ini, Silenced seolah meminta penonton untuk memeriksa kembali kepingan-kepingan adegan sepanjang video, dan mereka-reka kenapa perempuan ini harus dihilangkan. Apakah karena matanya yang sipit? Atau hanya karena ia perempuan? Atau ada alasan lain lagi?

Unlike Sugiharti Halim, whose antagonist is obvious, Silenced takes a more metaphoric route. For six minutes, we see a woman immersed in a book she is reading, called Inner Experience. Sometimes she averts the camera, sometimes her wind-blown hair covers her face, and sometimes she gets knocked out of the camera’s view, and we can’t see by what or by whom. Then we hear the sound of waves and she smiles. Again, she gets pushed away from our view and this time she never returns. At the end of the video, a caption appears that reads ‘For those who are put to silence’. From this, Silenced seems to ask viewers to reexamine the bits of the scenes in the video and interpret why the woman needs to be put out of sight. Is it because of her ethnically-specific shaped eyes? Or some other reasons?

173


SENIMAN / ARTIST

Jeremy Millar London

Abdo Rinbo (Je est un autre) Sayalah yang Liyan Instalasi video Video Installation 2015

Jeremy Millar tinggal dan berkarya di London, Inggris. Ia merupakan pengajar kritik seni di Royal College of Art, London. Karya-karyanya, baik yang ditampilkan dalam pameran tunggal maupun kelompok, pernah singgah di Inggris, Irlandia, Skotlandia, Belgia, dan Belanda. Millar juga merupakan kurator beragam pameran di berbagai negara, dan aktif menulis tentang seni untuk sejumlah penerbitan internasional. Saat ini ia sedang mengerjakan sebuah proyek film tentang John Dee, ilmuwan serba-bisa pada era Ratu Elizabeth, serta mengembangkan karya pertunjukan bersama Siobhan Davies Dance yang akan dipentaskan pada 2016.

174

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Jeremy Millar lives and works in London, England. He teaches art criticism at Royal College of Art, London. His works, as part of solo or collective exhibitions, have been exhibited in London, Ireland, Scotland, Belgium and the Netherlands. Millar also curates exhibitions in various countries and writes about art for several international publications. Currently, he is working on a film project about John Dee, a multitalented scientist in the era of Queen Elizabeth, as well as developing a performance piece with Siobhan Davies Dance, slated for 2016.


JAKARTA BIENNALE 2015

BAK KOMET YANG MELINTASI CAKRAWALA, karier Arthur Rimbaud bergelora begitu cepat, terlalu cepat bahkan. Kumpulan puisinya, yang ia tulis waktu masih berusia belasan tahun, begitu memukau masyarakat Eropa, dan menjadi inspirasi para penulis, seniman, dan musisi besar abad ke-20. Sebelum menginjak usia 21 tahun, Rimbaud berhenti menulis dan berkelana ke tiga benua. Rimbaud sempat menjadi tentara Belanda dan ditugaskan di Pulau Jawa. Ia juga pernah menetap di Afrika dengan menjadi pedagang kopi. Pada usia 37 tahun, Rimbaud meninggal karena kanker. Kini, Rimbaud dikenang sebagai pelopor surealisme Prancis. Ia sendiri percaya bahwa seorang penyair harus merambah teritori fisik, jiwa, dan mental yang tak terjamah sebelumnya. Inilah kredo Rimbaud dalam berkarya. Baginya, hanya dengan mengeksploitasi seluruh panca indera, seorang penyair bisa menciptakan dirinya yang lain—Je est un autre, atau I is someone else. Melalui filmnya, Millar menyusuri sudut-sudut kota yang pernah dijelajahi Rimbaud: dari London, Paris, Jakarta, Tuntang, Salatiga, hingga Semarang. Ia mencoba menguak jejak Rimbaud dalam membuat dirinya yang lain, dan bagaimana perjalanan penyair Prancis itu terkait dengan gejolak zaman yang berlangsung di ruang-ruang yang ia singgahi. Dalam upaya tersebut, Millar menggunakan simbol-simbol dalam puisi dan surat-surat Rimbaud—yang kadang liris dan putis, lantas seketika kasar dan sugestif—yang banyak menyorot pergerakan orang serta barang dari satu tempat ke tempat lain. Beberapa di antaranya adalah biji kopi yang diperdagangkan Rimbaud di Yemen, dan dirinya sendiri yang melanglang buana— entah sebagai anak yang hilang, penyair, pedagang, atau sebagai tentara—seperti para pengungsi di Eropa.

LIKE A COMET SHOOTING THROUGH THE SPACE, Arthur Rimbaud’s career glared so rapidly and passed by so fast. His collection of poems, which he wrote in his teenage years, dazzled Europe and inspired great writers, artists and musicians in the 20th century. Before he was even 21, Rimbaud stopped writing and travelled three continents. He joined the Dutch army and was sent to Java. He also lived in Africa, working as a coffee merchant. At the age of 37, Rimbaud died of cancer. Today, Rimbaud is remembered as the pioneer of French surrealism. He believed that a poet has to explore uncharted physical, psychological and mental territories. This became Rimbaud’s working credo. According to him, it is only by utilizing all the senses that a poet can reinvent themselves—Je est un autre or I is someone else. With his film, Millar explores corners of the cities Rimbaud had been to: from London, Paris, Jakarta, Tuntang, Salatiga to Semarang. He attempted to uncover Rimbaud’s journey in reinventing himself, and how the journey was related to the zeitgeist of the era in the places he visited. In his endeavor, Millar uses symbols taken from Rimbaud’s poems and letters—lyrical and poetic at some points, rough and suggestive at others—which often highlight the movement of people and objects from one place to another. Some of those are the coffee beans that Rimbaud sold in Yemen, and his own self as a traveller, whether in a role as a rogue boy, a poet, a merchant or a soldier—like the European migrants.

175


SENIMAN / ARTIST

Meiro Koizumi Yokohama

Where the Silence Fails Di Mana Kebisuan Kandas Dua video instalasi 15 menit 43 detik Two video installation 15 minutes 43 seconds 2013

WHERE THE SILENCE FAILS adalah bagian terakhir dari Double Projection, seri video instalasi karya Meiro Koizumi yang berkutat dengan isu kamikaze— serangan bunuh diri tentara Jepang. Dalam Where the Silence Fails, Koizumi bekerjasama dengan Tadamasa Itazu, mantan pilot kamikaze yang gagal menjalankan misinya. Itazu mengajukan diri menjadi pilot kamikaze pada 1945 ketika ia baru berusia 19 tahun. Saat akan menyerang kapal Amerika Serikat di Okinawa, mesin pesawatnya mengalami gangguan dan Itazu jatuh di sebuah pulau—misinya gagal namun ia selamat. Mati demi negara, bagi pilot kamikaze, adalah bentuk kehormatan dan penghargaan tertinggi—dan karenanya kegagalan dianggap aib paling utama. Itazu melanjutkan hidup dengan martabat yang ternoda serta rasa bersalah terhadap rekan-rekan seperjuangan yang sukses mengorbankan hidup dalam misi yang sama. Itazu adalah pilot kamikaze terakhir yang berhasil selamat dan merupakan satu dari sedikit pilot kamikaze yang mau menceritakan pengalamannya kepada publik setelah perang. Ia meninggal dunia pada 6 April 2015. Dalam karya ini, Koizumi merancang sebuah percakapan imajiner. Ia meminta Itazu mengungkapkan hal-hal yang ingin ia ungkapkan kepada sahabatnya, Ashida, yang gugur sebagai pilot kamikaze. Di sisi lain, Koizumi juga meminta Itazu memerankan Ashida, membayangkan bagaimana sahabatnya itu akan memberi tanggapan. Where the Silence Fails memperlihatkan kompleksitas manusia, peran nilai-nilai dalam mengarungi kehidupan, serta peliknya berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu. Bagi Koizumi, manusia dan kehidupan adalah dua hal yang tidak pernah sederhana dan selalu penuh kontradiksi.

176

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

WHERE THE SILENCE FAILS is the final installment of Double Projection, an installation video series by Meiro Koizumi that deals with kamikaze—the Japanese military suicide attack. In Where the Silence Fails, Koizumi worked together with Tadamasa Itazu, a former kamikaze fighter pilot who failed to execute his mission. Itazu volunteered to become a kamikaze fighter pilot in 1945 at the age of 19. When he was about to attack a US ship in Okinawa, his plane’s engine malfunctioned and he was stranded on an island—his mission failed, but he survived. To die for your country, to a kamikaze pilot, is the highest honor and reward— and therefore, failing is considered as the worst shame. Itazu carried on living with damaged dignity, dealing with guilt from being compared to his peers who succeeded in sacrificing their lives on such missions. Itazu is the last surviving kamikaze pilot, and one of the few of those pilots willing to disclose his experience to the public after the war. He died on 6 April 2015. In this work, Koizumi designed an imaginary conversation. He asked Itazu to say whatever he wanted to say to his best friend, Ashida, who died as a kamikaze pilot. On the other hand, Koizumi also asked Itazu to play the role of Ashida and imagine how his best friend would respond. Where the Silence Fails shows the complexity of human beings, the role of values in navigating through life, and the difficulty to make peace with oneself and one’s past. To Koizumi, humanity and life are two things that are never simple and always full of contradictions.


JAKARTA BIENNALE 2015

Meiro Koizumi adalah seniman Jepang yang banyak berkarya melalui video dan pertunjukan. Ia pernah menjadi Juara Pertama dari Beck’s Future Students Film and Video Award di London (2001); mendapat penghargaan dari Japanese Government Overseas Study Programme for Artists, Agency for Cultural Affairs (2005); mendapatkan Grand Prize dari 15th Asian Art Biennale Bangladesh (2012); dan Future Generation Art Prize dari PinchukArtCenter (2013). Karya-karyanya juga dipamerkan dalam berbagai pameran kelompok, seperti di ‘Bloomberg New Contemporaries’, Barbican Center, London (2002), ‘Art Summer University’, Tate Modern, London (2007), dan di ‘Liverpool Biennial’ (2010). Pada 2009, ia mengadakan pameran tunggal di Mori Art Museum, Tokyo.

177

Meiro Koizumi is a Japanese artist who works with video and performance. He came in first place at Beck’s Future Students Film and Video Award in London (2001); won an award from the Japanese Government Overseas Study Programme for Artists, Agency for Cultural Affairs (2005); won Grand Prize from the 15th Asian Art Biennale Bangladesh (2012); and won Future Generation Art Prize from PinchukArtCenter (2013). His works have been exhibited in various collective exhibitions, such as the ‘Bloomberg New Contemporaries’, Barbican Center, London (2002), ‘Art Summer University’, Tate Modern, London (2007), and the ‘Liverpool Biennial’ (2010). In 2009, he held a solo exhibition at Mori Art Museum, Tokyo.


SENIMAN / ARTIST

Araya Rasdjarmrearnsook Chiang Mai

The Treachery of the Moon Pengkhianatan Bulan Video 12 menit Video 12 minutes 2012

178

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

SEBAGAI SEORANG SENIMAN, Araya Rasdjarmrearnsook gemar mempertemukan dua hal yang tampak bertolak belakang, untuk menggelitik persepsi dan kesadaran publik. Dalam Treachery of the Moon, Araya mempertemukan sinetron Thailand dan situasi politik setempat, dalam sebuah cerita tentang kehidupan tragis seekor anjing liar. Dalam karya video ini, Araya beserta anjing-anjingnya duduk di hadapan televisi, seolah bermeditasi. Di layar kaca, tersaji adegan-adegan dari sinetron Thailand dan rekaman nyata situasi kerusuhan dan kekerasan. Sayup-sayup terdengar alunan lagu lama, kontras dengan imaji yang tertangkap mata. Fiksi dan realita pun berbaur. Adegan sinetron adalah buah imajinasi manusia, yang bertujuan menarik masyarakat keluar sejenak dari persoalan seharihari mereka. Adegan kedua merupakan dokumentasi realitas politik Thailand, yang sarat konflik dan kekerasan. Araya dan anjing-anjingnya duduk tenang memperhatikan adegan demi adegan, yang lama-kelamaan kian kabur batasnya. Ritual mereka di hadapan televisi menggambarkan interaksi antara dua dimensi berbeda: antara yang mati dan yang hidup, antara binatang dan manusia, antara karya seni rupa ikonik dari Barat dengan penduduk desa Thailand. Melalui percakapan mereka, perbedaan budaya bisa terdedahkan.

179

AS AN ARTIST, Araya Rasdjarmrearnsook likes to combine two seemingly contradictory elements to stimulate public perception and awareness. In Treachery of the Moon, Araya combines Thai soap opera and local political situations in a story of a stray dog’s tragic life. In her video work, Araya and her dogs sit in front of a television set as if meditating. On the screen, we see scenes from a Thai soap opera and real footages of riots and violence. An old song is heard softly, a total contrast from the images we see. Fiction and reality blur into each other. The soap opera scenes are a product of human imagination that offers a temporary escapism for the people from their daily problems. The other scenes are documentation of Thailand’s political reality, full of conflicts and violence. Araya and her dogs sit silently, observing scene by scene as the line between fiction and reality becomes increasingly thinner. Their ritual in front of the television set illustrates an interaction between two different dimensions: the living and the dead, animals and human beings, iconic Western art and rural Thai locals. Through their conversation, cultural differences are uncovered.

Araya Rasdjarmrearnsook adalah seniman video asal Thailand. Karya-karyanya telah dipamerkan di berbagai belahan dunia, termasuk di ‘Biennale of Sydney’ (1996 dan 2010), ‘dOCUMENTA (13)’ (2012) dan ‘INSIDE Palais de Tokyo’ (2015). Ia juga pernah berpameran tunggal di SculptureCenter, New York City (2015), Kyoto Art Center, Jepang (2015), dan di Denver Art Museum, Colorado (2014). Araya mendapatkan beasiswa dan hibah dari DAAD, Jerman (1988), Konrad Adenauer Stiftung, Jerman (1994), serta dari Asian Cultural Council, Amerika (1996). Saat ini Araya masih aktif berkarya dan menjadi profesor seni rupa di Chiang Mai University.

Araya Rasdjarmrearnsook is a video artist from Thailand. Her works had been exhibited in various parts of the world, including at ‘Biennale of Sydney’ (1996 and 2010), ‘dOCUMENTA (13)’ (2012) and ‘INSIDE Palais de Tokyo’ (2015). She also held solo exhibitions at SculptureCenter, New York City (2015), Kyoto Art Center, Japan (2015), and Denver Art Museum, Colorado (2014). Araya got scholarship and grant from DAAD, Germany (1988), Konrad Adenauer Stiftung, Germany (1994), and Asian Cultural Council, USA (1996). Today, Araya is still actively producing works, as well as working as an art professor at Chiang Mai University.


SENIMAN / ARTIST

Zeyno Pekünlü Istanbul

SEPANJANG DEKADE LALU di Turki, jumlah kekerasan terhadap perempuan dan pembunuhan demi ‘kehormatan keluarga’ meningkat drastis. Statistik menyebutkan bahwa lima perempuan dibunuh setiap harinya. Orang-orang yang membunuh perempuan mendapat potongan masa tahanan, dan bisa bebas keluar tahanan setelah beberapa tahun menghabiskan waktu di penjara. Di sisi lain, perempuan yang membela diri atau membunuh pelaku kekerasan terhadap mereka mendapatkan hukuman yang keras —lebih keras daripada pria. Untuk melawan ketidakadilan, para perempuan di Turki akhir-akhir ini memulai perjuangan baru—mereka

Zeyno Pekünlü lahir di Izmir pada 1980. Ia menamatkan studi di Departemen Lukisan Universitas Seni Rupa Mimar Sinan, Istanbul dan melanjutkan pendidikan Master dan PhD di universitas yang sama. Zeyno juga telah menyelesaikan Master kedua, Produksi dan Penelitian Artistik, di University of Barcelona. Saat ini bekerja sebagai dosen di Universitas Kültür, Istanbul. Karya-karyanya kerap mempermasalahkan kekuasaan teknologi, membalikkan fungsi sosial melalui deformasi, melucuti hal-hal yang bersifat kontekstual, juga kategorisasi teks dan gambar. Perspektif yang ditawarkan mengajak penonton masuk ke dalam keadaan yang membingungkan, yang menyebabkan disorientasi dan ketidakmampuan dalam mengidentifikasi. Zeyno tinggal dan bekerja di Istanbul.

180

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

mendorong sesamanya untuk membela diri dan merebut kembali hak hukumnya. Fenomena tersebut memantik ide seniman Zeyno Pekünlü. Selama tiga minggu, sang seniman mempelajari seni bela diri tradisional agar dapat membela diri. Proses pembelajaran itu kemudian dituturkan ulang dalam serangkaian poster film ala B movies—film berbiaya murah, dengan cerita klise yang meniru film atau cerita populer, yang biasanya diproduksi untuk menyasar penonton jam tayang tengah malam di bioskopbioskop. Film jadi-jadiannya sendiri bercerita tentang kisah seorang wanita Turki yang meninggalkan negaranya untuk belajar bagaimana cara melawan, lalu kembali untuk membalaskan dendamnya.

Zeyno Pekünlü was born in Izmir in 1980. She finished her study at Mimar Sinan Fine Arts University in Istanbul. She continued to pursue a Master and PhD degree at the same university. Zeyno has also finished her second Master in Production and Artistic Research at the University of Barcelona. Today, she works as a professor at Kültür University, Istanbul. Her works often deal with technological power issues, reversing social functions through deformation and deconstructing contextualities as well as text and image categorization. The perspectives she offers bring viewers into confusing situations, resulting in disorientation and failure to identify. Zeyno resides and works in Istanbul.


JAKARTA BIENNALE 2015

IN THE PAST DECADE in Turkey, violence against women and murders for ‘honor killing’ escalated drastically. According to statistics, five women are murdered each day. People who murder women got remission and are freed after several years in prison. On the other hand, women who defend themselves or kill the perpetrator of violence against them are punished severely—even more so than their male counterparts. To fight against injustice, Turkish women began a new struggle recently,

encouraging each other to defend themselves and regain their legal rights. The phenomenon inspired the artist Zeyno Pekünlü. For three weeks, the artist learned a traditional martial art to defend herself. The learning process is retold in a series of B-movie styled posters. B-movies are low budget films with clichéd storylines, imitating popular stories or films, produced to attract midnight audiences in cinemas. The supposed film itself tells the story of a Turkish woman who leaves her country to learn how to fight and then returns for revenge.

181

Pretty Furious Women Jelita tapi Murka Video kanal tunggal, poster cetak digital, dan poster kain 5 menit (video), A0 (poster cetak digital) dan 2 x 1 meter (poster kain) Single channel video, digital print posters, and fabric poster 5 minutes (video), A0 (digital print poster) dan 2 x 1 meter (textile poster) 12 minutes 2012


SENIMAN / ARTIST

Maika Elan Hanoi

Maika Elan adalah fotografer lepas asal Hanoi. Sebelum menekuni fotografi dokumenter, ia kerap berkolaboasi dengan agensi dan firma mode di Vietnam. Pada 2010 ia memulai proyek fotografi dokumenter yang pertama, The Pink Choice. Proyek ini meraih posisi pertama dalam World Press Photo Awards 2013 untuk bidang Contemporary Issue, serta menjadi finalis dalam Asian Women Photographers Showcase 2012. Proyek ini juga telah dipublikasikan di banyak majalah cetak dan online di Amerika, Inggris, Jerman, Italia, Romania, hingga Spanyol. Maika Elan mendapat penghargaan ganda untuk Foto Esai Terbaik dan Foto Tunggal Terbaik dalam Indochina Media Memorial Foundation (2010). Ia pernah berpameran tunggal di Goethe Institut Hanoi (2012), serta terlibat di ‘Photoquai—Photography Biennale’, Paris (2013).

182

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Maika Elan is a freelance photographer from Hanoi. Before focusing on documentary photography, she often collaborated with fashion agencies and firms in Vietnam. In 2010, she started her first documentary photography project, The Pink Choice. This project came in first place in World Press Photo Awards 2013 in Contemporary Issue and she became a finalist in Asian Women Photographers Showcase 2012. The project has also been published in several print and online publications in the US, UK, Germany, Italy, Romania, and Spain. Maika Elan received a double award for Best Photo Essay and Best Single Photo in Indochina Media Memorial Foundation (2010). She held a solo exhibition at Goethe Institut Hanoi (2012), and participated in ‘Photoquai—Photography Biennale’, Paris (2013).


JAKARTA BIENNALE 2015

BEBERAPA TAHUN BELAKANGAN, negara-negara di dunia mulai mengakui hubungan homoseksual dan memberikan jaminan legal layaknya pasangan heteroseksual. Namun, di negaranegara Asia—di mana agama dan negara seringkali berkaitan erat—kesetaraan dan perwujudan dari hak asasi manusia masih sulit terwujud.

The Pink Choice Pilihan Merah Jambu Fotografi 40 x 60 cm Photography 40x60cm 2013

Berita mengejutkan dan luar biasa progresif justru datang dari Vietnam, sebuah negara dengan rezim otoriter yang menghapus hukuman dan kriminalisasi atas pernikahan sesama jenis. Sejak Januari 2015, pasangan homoseksual bisa menikah dengan bebas, meski hak dan perlindungan hukumnya belum sepenuhnya setara dengan pasangan dan pernikahan heteroseksual. Langkah ini membuat Vietnam menjadi negara pertama di Asia yang memiliki hukum progresif dan lebih bersahabat terhadap homoseksualitas.

IN RECENT YEARS, several countries around the world began to acknowledge homosexual relationship and granted homosexuals legal rights equal to those of heterosexual couples. However, in Asian countries— where religion and the state often go strongly hand in hand—such equality and human rights enforcement is still a long way to go. Surprising and incredibly progressive news came from Vietnam, a country led by an authoritarian regime, that removed punishment and criminalization of same-sex marriage. Since January of 2015, homosexual couples can get married freely, even though they have yet to receive equal legal rights and protection as their heterosexual counterparts. This step made Vietnam the first country in Asia with a progressive and friendlier law toward homosexuality.

Maika Elan memulai proyek fotografi The Pink Choice pada 2010. Ia memotret pasangan homoseksual dan transgender dalam suasana dan jarak yang intimperspektif yang berbeda drastis dari perspektif masyarakat Vietnam sehari-hari. Potret keintiman ini jelas tidak saja membutuhkan kedekatan antara pasangan, tapi juga antara pasangan dengan sang fotografer. Hanya dengan itulah para pasangan mau berbagi ruang pribadi mereka dengan Maika. Semua sentuhan, senyuman, atau tatapan dari orang-orang yang ia potret terlihat jujur.

Maika Elan began her photography project, The Pink Choice, in 2010. She took photographs of homosexual and transgender couples in intimate spaces and situations—a drastically different perspective from that of everyday Vietnamese people. These intimate portraits require not only a close relationship between the couples, but also between the couples and the photographer. Only that way would the couples be willing to share their personal space with Maika. Each touch, smile, or gaze of the people she photographed look honest.

Maika turut mengupayakan kedekatan dalam ruang pamer. Ia mencetak fotofotonya dalam ukuran kecil, mengajak publik untuk mendekati karya, baik secara harafiah maupun metafora, dan melihat bahwasanya cinta tidak terbatasi perbedaan gender. Belasan foto itu juga dipajang dalam ruangan tertutup, membuka kemungkinan bagi publik untuk berinteraksi dengan sesamanya.

Maika also aims for such intimacy in her exhibition space. She prints the photographs in a small size, inviting the public to step closer, both literally and metaphorically, and see that love is not limited by gender differences. The photographs are displayed in a closed space, opening the possibility for the public to interact with each other.

183


SENIMAN / ARTIST

Tom Nicholson Melbourne dengan with Grace Samboh Yogyakarta EDHI SUNARSO, pematung kepercayaan Presiden Sukarno, adalah sosok di balik berdirinya Patung Pancoran dan Monumen Selamat Datang di Jakarta. Menariknya, seluruh karya diorama museum buatan seniman asal Yogyakarta ini diwujudkan saat Orde Baru, meski persiapannya dilakukan sebelum itu. Salah satunya adalah diorama Ruang Museum Sejarah di lantai bawah Tugu Monumen Nasional (Monas), Jakarta. Edhi Sunarso diminta Presiden Sukarno untuk membuat diorama tentang kebangkitan bangsa Indonesia. Ia pun menghimpun bahan dengan berkunjung ke sejumlah lokasi historis di nusantara, dan mewawancara para pelaku serta saksi mata. Bahan-bahan ini ia olah menjadi beberapa gambar, yang kemudian diseleksi ahli-ahli sejarah pilihan Presiden Sukarno. Nahasnya, begitu proyek tersebut siap dikerjakan, peristiwa 30 September 1965 meletus. Peristiwa tersebut memantik darurat politik nasional, dan kekerasan kemanusiaan terhadap “orang-orang kiri” dan mereka yang dicap komunis. Sukarno dikudeta

Soeharto, yang kemudian naik sebagai pemimpin tertinggi negara. Imbasnya, proyek diorama Edhi Sunarso ganti perspektif. Menggunakan sejarah versi Soeharto, diorama berfokus pada cerita seputar Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)—yang konon berisikan perintah Sukarno ke Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengamankan negara. Sampai hari ini, naskah asli surat itu tidak pernah ditemukan. Tom dan Grace mendatangi kediaman Edhi Sunarso di Yogyakarta, untuk berbincang dengan pematung legendaris itu seputar proyek dioramanya. Video wawancara ini dipadukan dengan serangkaian foto: dokumentasi pembuatan diorama, di Monas maupun di studio, serta rekaman kediaman Edhi Sunarso saat ini. Lewat karya ini, Tom dan Grace berupaya menggali cerita-cerita di balik riwayat Edhi Sunarso sebagai seniman, yang bertautan dengan proses penulisan ulang sejarah Indonesia—yang dampaknya membekas sampai sekarang.

Tom Nicholson lahir di Melbourne pada 1973. Ia memperoleh gelar PhD di The University of Melbourne. Pada 2014, karyakaryanya ditampilkan di beberapa kota, yaitu Comparative Monument (Ma’man Allah) di Milani Gallery di Brisbane; Cartoons for Joseph Selleny di Art Gallery of New South Wales; Indefinite substitution di Geelong Art Gallery; dan Fractures: Jerusalem Show VII di Jerusalem, West Bank dan Gaza. Pada 2013, Tom menerima penghargaan Paul Guest Drawing Prize.

Tom Nicholson was born in Melbourne in 1973. He obtained his PhD from the University of Melbourne. In 2014, his works were exhibited in several cities, namely Comparative Monument (Ma’man Allah) in Milani Gallery in Brisbane; Cartoons for Joseph Selleny in Art Gallery of New South Wales; Indefinite substitution in Geelong Art Gallery; and Fractures: Jerusalem Show VII in Jerusalem, West Bank and Gaza. In 2013, Tom received the Paul Guest Drawing Prize.

Grace Samboh lahir di Jakarta pada 1984, tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Ia seorang sarjana periklanan di Jakarta yang kemudian studi magister kajian seni rupa di Universitas Gadjah Mada. Ia aktif berkegiatan di medan seni rupa Yogyakarta— salah duanya sebagai kurator ’21 Tahun Retrospektif Biennale Jogja’ pada 2009, serta direktur eksekutif dan kurator Yayasan Seni Langgeng dari 2010 sampai 2011. Pada 2011, ia bersama kawan-kawannya mendirikan Hyphen, kantor penelitian dan pengembangan seni dan budaya.

Grace Samboh was born in Jakarta in 1984. She lives and works in Yogyakarta. She obtained her bachelor’s degree in advertising in Jakarta, and master’s degree in art studies from Gadjah Mada University. She has a prominent presence in Yogyakarta’s art scene—a curator for ‘the Jogja Biennale 21 Years Retrospective’ in 2009, and an executive director and curator for Langgeng Art Foundation from 2010 to 2011. In 2011, she co-founded Hyphen, a research and development office for art and culture.

184

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

EDHI SUNARSO, President Sukarno’s most trusted sculptor, is the figure behind the Pancoran Statue and the Selamat Datang Monument—or welcome monument—in Jakarta. It is interesting to observe that all the museum dioramas by the Yogyakarta artist were done during the New Order era, even though the preparation had taken place before that. One of the dioramas in question is at the History Museum Room on the ground floor of the National Monument, Jakarta. Edhi Sunarso was commissioned by President Sukarno to create a diorama about the awakening of Indonesia. He collected research materials by visiting some historical locations in the country and interviewing witnesses and people involved in the events. He processed the materials into several images, which were then selected by historians handpicked by President Sukarno. Unfortunately, when the project was about to commence, the 30 September 1965 event occurred. The event instigated a national political emergency, as well as massive violence against left-wing people and alleged communists. Sukarno was

then toppled through a coup d’état by Suharto, who claimed the throne as the nation’s leader. Consequently, Edhi Sunarso’s diorama project changed its perspective. Using Suharto’s version of history, the dioramas revolve around the Supersemar (Order of March 11)—Sukarno’s decree that was believed to have given full authority to Suharto to do whatever it takes to restore order. To this day, the original document has never been found. Tom and Grace visited Edhi Sunarso’s residence in Yogyakarta to discuss with the legendary sculptor about this diorama project. The video of this interview is combined with a series of photographs: the documentation of the diorama’s creation process, in Monas and in the studio, and the documentation of Edhi Sunarso’s residence today. With this work, Tom and Grace attempt to dig up the stories behind Edhi Sunarso’s story as an artist in relation to the Indonesia’s rewriting of history—of which the impact is still very much relevant today.

185

Towards figures of dedication, and a flood Kepada para figur berdedikasi, dan banjir 25 menit 25 minutes 2015

Proyek ini berawal dari residensi kolaboratif yang melibatkan Gertrude Contemporary di Melbourne dan ruangrupa di Jakarta, serta didukung dengan hibah dari Creative Victoria. This project originated in a collaborative residency involving Gertrude Contemporary in Melbourne and ruangrupa in Jakarta, and was supported by a grant from Creative Victoria.


SENIMAN / ARTIST

Maddie Leach Wellington

KARYA MADDIE LEACH seringkali dimulai dengan penjelajahan gerak atau perpindahan. Ia tertarik dengan apa yang terjadi ketika sesuatu ada dalam transisi—dari satu tempat ke tempat lain; satu kategori ke kategori yang lain; satu bentuk ke bentuk lain. Dalam melakukannya, karyanya seringkali mengungkap bagian dari proses-proses tak kasatmata yang menggerakkan ekonomi global. Karya Leach barangkali bisa dikaitkan dengan ide-ide Marx mengenai sirkulasi dan bagaimana sebuah komoditas hanya masuk akal secara ekonomis saat ada dalam pergerakan. Namun, aspek karyanya itu bersifat sekunder jika dibandingkan dengan penyelidikannya terhadap transformasi-transformasi fisik yang terjadi dalam sebuah sistem pertukaran. Leach diundang untuk mengembangkan karya baru untuk Jakarta Biennale dan ia mengusulkan pengiriman dua tong air dari mata air Putaruru (sebuah kota kecil di Pulau Utara di Selandia Baru yang menghasilkan 70 persen air botolan di negara itu) ke Jakarta. Ia bermaksud memberikannya ke perusahaan Asia Pulp & Paper untuk ditukar dengan 1 kilogram kertas yang diproduksi dengan air impor tersebut. Permintaan yang terkesan sederhana ini telah memicu balas-berbalas surat elektronik yang seolah tak berujung, seiring sistem perdagangan global berusaha mengakomodasi kiriman ‘nakal’ itu. Baik pihak bea cukai maupun produsen kertas atau Jakarta Biennale tidak tahu bagaimana sebaiknya menanggapi hal ini, dan seluruh huru-hara ini direproduksi dalam pameran sebagai kertas dokumen yang dicetak di atas produk Asia Pulp & Paper, yang diletakkan di samping tong-tong air yang sekarang kosong.

186

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

MADDIE LEACH’S WORK often begins with an exploration of movement or displacement. She is interested in what happens when things are in transition—from one place to another; one category to another; or one form to another. In doing so, her work often reveals a part of the invisible processes through which the global economy conducts its business. It might be possible to link Leach’s work to Marx’s ideas of circulation and how a commodity only really makes economic sense when it is in movement, but this aspect of her work is secondary to investigating the physical transformations that take place within a system of exchange. Leach was invited to develop a new work for the Jakarta Biennale and proposed shipping two barrels of New Zealand spring water from Putaruru (a small town in the North Island producing 70% of New Zealand’s bottled water) to Jakarta—with the intention of giving them to the Indonesian corporation Asia Pulp & Paper in exchange for 1 kg of paper produced with the imported water. This seemingly simple request has resulted in an endless stream of email exchange as the global trade system tried to accommodate this rogue shipment. Neither the customs nor the paper manufacturers nor the Jakarta Biennale itself knew best how to respond and the whole saga is reproduced in the exhibition as a paper document printed on Asia Pulp and Paper products next to the now empty water barrels.


JAKARTA BIENNALE 2015

187

The Blue Spring Mata Air Murni Instalasi Installation 2015

Maddie Leach pada 1970, tinggal di Wellington, Selandia Baru. Lewat medium patung dan seni media baru, ia memetakan relasi antara individu dan masyarakat dengan bentuk, bahan, lokasi, sejarah, peristiwa, dan lingkungan di sekitarnya. Karya-karyanya pernah singgah di sejumlah galeri dan perhelatan seni rupa di Selandia Baru, dari Te Tuhi Centre for the Arts, GovettBrewster Art Gallery, hingga ‘5 th Auckland Triennial’ dan ‘SCAPE Christchurch Biennial of Art in Public Space’. Maddie juga salah satu dosen dan koordinator pascasarjana Whiti o Rehua School of Art, Massey University.

Maddie Leach was born in 1970, and lives in Wellington, New Zealand. Using sculpture and new media art, she maps out the relations between individuals and society with forms, materials, locations, history, events and the surroundings. Her works were exhibited at various galleries and art events in New Zealand, from Te Tuhi Centre for the Arts, Govett-Brewster Art Gallery, to ‘the 5 th Auckland Triennial’ and ‘SCAPE Christchurch Biennial of Art in Public Space’. Maddie is also a professor and post-graduate coordinator at Whiti o Rehua School of Art, Massey University.


SENIMAN / ARTIST

Oscar MuĂąoz Cali

Dystopia Distopia Video kanal tunggal 22 menit Single channel video 22 minutes 2011

Ciclope Video kanal tunggal 12 menit Single channel video 12 minutes 2011

188

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

ADA YANG LARUT dalam Ciclope dan Dystopia. Di sini, seniman memanfaatkan logika cetak yang menunjukkan bagaimana, secara sederhana, sebuah teks atau gambar yang diproduksi menggunakan tinta akan dengan mudah larut dalam air. Kedua video mempermasalahkan citraan dan ketahanan—sebuah metafora bagi keberlangsungan dokumen dan gambar. Pelarutan menunjukkan sesuatu yang terhapuskan. Dalam mitologi Yunani, Ciclope adalah raksasa bermata satu. Dalam Ciclope, ia dicitrakan melalui pusaran air dalam sebuah bak cuci, dan sebuah tangan yang menenggelamkan beberapa foto ke dalamnya. Larutnya foto dalam pusaran air menjadi metafor akan larutnya manusia dalam sebuah peristiwa, juga refleksi akan hubungan antara melihat dan mengingat, antara mata dan memori. Video Dystopia menggambarkan terlepasnya huruf-huruf dalam sebuah teks, yang mengapung di permukaan layar. Huruf-huruf tersebut kembali ke substansi aslinya, tinta. Melalui eksperimentasi berbagai medium ini, Oscar Muñoz mencoba menawarkan kesadaran baru atas sejarah, bahwasanya upaya manusia dalam melawan lupa bisa jadi akan berakhir sia-sia. Jika sejarah adalah gambar dan kata-kata yang menggunakan tinta dan membentuk gambar beku dalam medium cetak, maka ia bisa dibuyarkan ketika bertemu sesuatu yang mengalir seperti air.

189

SOMETHING DISSOLVES in Ciclope and Dystopia. The artist here uses the printing logic, exhibiting in a simple way how a text or image produced using ink will easily dissolve in water. The two video works bring up imagery and endurance—a metaphor for the survival of documents and images. The dissolution shows something that is being removed out of existence. In Greek mythology, Ciclope is a oneeyed giant. In Ciclope, his image is depicted as a whirlpool in a washing machine and a hand that sinks some photographs into it. The photographs dissolving into the whirlpool become a metaphor for people dissolving into an event, and also a reflection on the relation between seeing and remembering, between eyes and memory. Dystopia depicts letters detaching from a text and floating on the surface of the screen. The letters return to their original substance, ink. Through this multimedia experimentation, Oscar Muñoz attempts to offer a new awareness of history that trying to fight oblivion might be a futile endeavor anyway. If history consists of images and words, produced with ink and forming still images in print medium, then it could be dissolved when met with something that flows like water.

Oscar Muñoz lahir di Popayan, Kolumbia, dan belajar seni di Instituto Escuela Nacional de Bellas Artes di Cali pada 1970-an. Ia seorang seniman multimedia yang memakai gambar, foto, sablon, video, dan instalasi dalam karyanya. Munoz kerap mengeksplorasi hubungan antara kehadiran dan ketidakhadiran, gambar dan memori, ingatan dan rasa lupa. Perhatiannya terhadap realitas politik di Kolombia, yang selama enam dekade terakhir mengalami perang dan pemberontakan, membuatnya terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dan kekuatan gambar dalam konteks budaya konflik. Kini ia tinggal dan bekerja di Cali, tempat ia mendirikan Lugar a Dudas, ruang seni alternatif lokal yang memiliki program residensi.

Oscar Muñoz was born in Popayan, Colombia, and studied art at Instituto Escuela Nacional de Bellas Artes in Cali in the 1970s. He is a multimedia artist who works with drawings, photographs, printing, video and installation. Muñoz often explores the relation between presence and absence, images and memories, remembering and forgetting. His attention to Colombian politics, with its wars and rebellions in the past six decades, urges him to constantly pose questions on meanings and power of images in the context of conflicts. Today, he lives and works in Cali, where he founded Lugar a Dudas, a local alternative art space that offers residence programs.


SENIMAN / ARTIST

Yee I-Lann Kuala Lumpur

Pontianak: Chapter One: I’ve Got Sunshine On A Cloudy Day Pontianak, Bab Satu: Matahari Menguak Awan Kelabu Wheatpaste, instalasi video tiga kanal Dimensi bervariasi wheatpaste, three channel video installation Various dimensions 2015

UNTUK URUSAN REPRODUKSI, perempuan seringkali diposisikan serba salah. Ketika memutuskan untuk tidak memiliki keturunan, seorang perempuan bisa dihujat karena dianggap melanggar kodrat. Ketika ingin dan mencoba tapi gagal, ia juga tetap dihujat. Dalam kebudayaan tertentu, beginilah asal muasal kuntilanak. Sebagai warga Sabah, bagian Malaysia di ujung atas Kalimantan, Yee I-Lann akrab dengan cerita-cerita seputar kuntilanak—atau pontianak, sebagaimana mereka menyebutnya di Kalimantan. Sebagai seorang seniman, ia juga akrab dengan pemanfaatan fotografi untuk mendedah isu budaya dan pertarungan kuasa dalam praktik sosial manusia. I-Lan lantas membawa cerita kuntilanak ke medium favoritnya, untuk menampilkan bagaimana budaya patriarki terlanggengkan dalam cerita kuntilanak. Lewat sebuah foto-grafiti, I-Lann menghadirkan tiga pandangan misoginis tentang kuntilanak sebagai perempuan gagal, yang tak lagi bernilai ketika ia menolak atau tidak mampu

190

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

memenuhi tugas reproduksinya. Lewat tiga televisi layar datar, I-Lann menampilkan percakapan dengan sejumlah perempuan muda tentang kehidupan dan tuntutan atas peranan mereka, misalnya sebagai istri dan ibu rumah tangga, di masyarakat. Paduan keduanya akan memainkan asumsiasumsi pengunjung Jakarta Biennale 2015 seputar kuntilanak. Melalui karya ini, I-Lann ingin memperkenalkan kembali sosok kuntilanak sebagai representasi perempuan—yang setiap jengkal tubuhnya tidak lepas dari tuntutan sosial, politik, agama, dan normanorma setempat. Lewat bentuk-bentuk visual modern, I-Lann menempatkan kuntilanak sebagai penghargaan bagi perempuan-perempuan anti-hero, yang dicintai dan ditakuti pada saat yang sama. Proyek ini merupakan bagian pertama dari sebuah trilogi bernama Kuntilanak, Pontianak, atau Hantu di Pohon Pisang—yang rencananya akan menyingkap mitos di balik hantu-hantu perempuan lainnya.


JAKARTA BIENNALE 2015

IN THE SUBJECT OF REPRODUCTION, women are often put in a difficult position. When she decides not to have children, a woman can be condemned for defying the laws of nature. When she wants to and tries, and then fails, she will also be condemned. In certain cultures, this is how the story of kuntilanak (a supernatural being in the form of a woman with long hair who shrieks when laughing) begins. As a citizen of Sabah, the part of Malaysia in the north end of Kalimantan, Yee I-Lann is familiar with kuntilanak stories—or pontianak, as people in Kalimantan call it. As an artist, she is also familiar with the use of photography to uncover cultural issues and power play in social practices. I-Lan then brings the story of kuntilanak through her favorite medium, to showcase how the patriarchal culture is immortalized in that story. In the form of photo-graffiti, I-Lann presents three misogynistic views of kuntilanak as a failed woman who is no longer of value when she rejects or

cannot live up to her reproductive task. On three flat screen television sets, I-Lann presents conversations with a number of young women on life and its demands over their roles in the society, for example as a wife and a housewife. The combination of the two will play with the 2015 Jakarta Biennale visitors’ assumptions around kuntilanak. With this work, I-Lann wants to reintroduce the kuntilanak figure to the audience—as a representation of women whose every single inch of her body cannot escape from the demands of social, political, religious and local norms. Through modern visual forms, I-Lann positions kuntilanak as an appreciation for anti-heroines, who are loved and feared at the same time. The project is the first installment of a trilogy called Kuntilanak, Pontianak, atau Hantu di Pohon Pisang (Kuntilanak, Pontianak, or the Ghost of Banana Trees)—which is intended to demystify stories of other female ghosts.

Yee I-Lann lahir di Sabah, kini menetap dan bekerja di Kuala Lumpur. Ia mendapatkan gelar Bachelor of Arts (Visual Arts) dari University of South Australia pada 1993, dengan fotografi sebagai bidang studi mayor dan sinematografi sebagai minor. I-Lann juga bekerja di industri film di Malaysia dan mengajar di sejumlah universitas. Ia beberapa kali mengadakan pameran tunggal, salah satunya 'Yee I-Lann: Picturing Power' (2014) di Tyler Rollins Fine Art, Amerika Serikat, serta beberapa kali berpameran kelompok, salah satunya ‘Medi(t)ation: 2011 Asian Art Biennial, di National Taiwan Museum of Fine Arts.

Yee I-Lann was born in Sabah, and now resides and works in Kuala Lumpur. She obtained a Bachelor of Arts (Visual Arts) from the University of South Australia in 1993, majoring in photography and minoring in cinematography. I-Lann also works in the Malaysian film industry and teaches in universities. She has held several solo exhibitions, including 'Yee I-Lann: Picturing Power' (2014) at Tyler Rollins Fine Art, USA, as well as some group exhibitions, including 'Medi(t)ation: 2011 Asian Art Biennial', at The National Taiwan Museum of Fine Arts.

191


SENIMAN / ARTIST

Agung Kurniawan Yogyakarta

Kecabulan Sebagai Pelumas Demokrasi Obscenity for Lubricating Democracy

Performans 32 menit Performance 32 minutes 2015

Agung Kurniawan adalah aktivis sosial-budaya yang tinggal di Yogyakarta. Lahir di Jember pada 1968, ia mempelajari Arkeologi di Universitas Gadjah Mada dan Seni Grafis di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta—keduanya tidak selesai. Karier berkeseniannya dimulai dengan membuat ilustrasi, gambar, juga komik satir nan kritis. Kiprahnya merentang dari pameran ‘AWAS! Recent Art from Indonesia’ (pameran keliling dari 1999 hingga 2002), hingga ‘SIP! Contemporary Indonesian Art’ yang dipamerkan di Singapura dan Berlin pada 2012 dan 2013. Agung merupakan pendiri Yayasan Seni Cemeti, yang kini menjadi Indonesian Visual Art Archive; dan Kedai Kebun Forum, ruang pameran juga ruang belajar tentang seni dan fenomena sosial.

192

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Agung Kurniawan is a social-cultural activist living in Yogyakarta. Born in Jember in 1968, he studied archeology at Gadjah Mada University and graphic art at the Indonesian Institute of the Arts, Yogyakarta—both of which he did not finish. His career in the arts started with illustrations, drawings and critical satire comic. He participated in many events, from 'AWAS! Recent Art from Indonesia' (a travelling exhibition from 1999 until 2002), to ‘SIP! Contemporary Indonesian Art’ exhibited in Singapore and Berlin in 2012 and 2013. Agung founded the Cemeti Art Foundation, which is now known as Indonesian Visual Art Archive, and Kedai Kebun Forum, an exhibition space that also serves as a place to learn art and social phenomena.


JAKARTA BIENNALE 2015

MEMBACA ‘Bersatulah Para Pelacur Kota Jakarta’, puisi karya Rendra, adalah ziarah bagi Agung Kurniawan. Ia serasa mengunjungi kembali Jakarta 1960-1970an: klub malam bertebaran, juga hostes, lokalisasi, dan perjudian. Puisi Rendra dengan cermat melihat sekaligus secara getir mengkritik situasi saat itu. Jakarta kini, menurut amatan Agung, adalah kota yang ditata dengan semangat para moralis. Tak lagi tersisa tempat bagi kecabulan dan tindakan ‘amoral’ sejenisnya, yang sesungguhnya hanya menyuburkan industri kecabulan lain secara masif di Internet. Berbeda dengan industri kecabulan gaya lama yang eksploitatif terhadap perempuan, bagi Agung, industri sekarang ‘lebih humanis’. Para pelaku adalah pemuda-pemudi yang sadar akan modal yang mereka punya. Mereka profesional, menguasai alat produksi alias tubuhnya, dan tidak selalu bergantung pada pihak ketiga. Konsumen pun datang dari para pekerja profesional, pengusaha kaya, dan pembuat keputusan penting di negeri ini. Mereka layaknya pelumas bagi Jakarta yang sibuk. Tanpa mereka, mesin bernama Jakarta akan lumpuh. Puisi Rendra tetiba menemukan kembali konteksnya. Pada proyek pertunjukannya, Agung membagikan puisi Rendra kepada enam aktor, yang akan bergantian membacanya dalam enam bahasa: Cina, Arab, Inggris, Jawa, Indonesia, dan Binan—bahasa pergaulan yang populer di kalangan LGBT. Agung percaya, teks bernilai abadi dan bisa melintasi zaman. Melalui pertunjukan ini, Agung membuka kemungkinan bagi keterlibatan banyak orang, termasuk penonton, sebagai bagian dari pertunjukan.

READING Bersatulah Para Pelacur Kota Jakarta (‘Jakarta Hookers Unite’), a poem by Rendra, is a kind of pilgrimage for Agung Kurniawan. It is like he is revisiting Jakarta of the 1960s and 1970s, where nightclubs, hostesses, red light districts and gamblers were scattered. Rendra’s poem is an observant and bitter critique of the situation. Today’s Jakarta, as Agung observes, is a city planned by moralists. There is no room left for lewdness and ‘immoral’ acts, which gives way instead to another form of sex industry that thrives on the Internet. Unlike the old-school sex industry, which was exploitative of women, Agung thinks that today’s industry is more ‘humanistic’. The people involved are young men and women who are fully aware of their assets. They are professional, in control of the production tool, i.e. their bodies, and not always dependent on third parties. Consumers are also white-collar professionals, wealthy businessmen and important decision-makers in the country. They are like the lubricant that keeps the hectic Jakarta going. Without them, the big machine that is Jakarta will be paralyzed. Suddenly Rendra’s poem rediscovers its context. For his performance project, Agung will hand out Rendra’s poem to six actors who will take turn reading it in six languages: Chinese, Arabic, English, Javanese, Indonesian and Binan—a lingo with a set of characteristic vocabularies of the LGBT community. Agung believes that text is timeless and unbound by eras. With this performance, Agung is opening up opportunities for many people to get involved, including the audience, as part of the show.

193


SENIMAN / ARTIST

Arahmaiani Yogyakarta

Petaka The Disaster Instalasi Dimensi bervariasi Installation Various dimensions 2015

194

Violence No More II Jangan Ada Lagi Kekerasan II Performans 15 menit Performance 15 minutes 2015

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

SEJAK BERABAD-ABAD SILAM, budaya kekerasan terus berulang dalam sejarah Indonesia. Jauh sebelum negara ini terbentuk, kekerasan telah melekat pada sejarah kerajaan Jawa, terutama di kalangan elit penguasa, sebagaimana yang tertulis dalam kitab Pararaton—kitab naskah sastra Jawa Pertengahan, tentang sejarah raja-raja Singosari dan Majapahit di Jawa Timur. Memasuki era modern, praktik kekerasan dan perebutan kuasa terus berlanjut, dan berpuncak pada masa pemerintahan Soeharto.

THE HISTORY OF INDONESIA is a cycle of neverending violence. Long before the republic was formally established, violence was a big part of the history of the kingdoms in Java, especially among the powerful elite, as written in the book of Pararaton— an ancient scripture of the Medieval Javanese about the history of the kings of Singosari and Majapahit in East Java. In the modern era, the violence and power struggles continued, culminating in the Suharto regime.

Amatan-amatan ini diolah Arahmaiani menjadi dua bentuk karya. Pertama, performans—yang memadukan suara, musik, dan permainan cahaya (serta ketiadaannya) sebagai simbolisasi praktik kekerasan budaya di Indonesia. Karya ini akan terwujud melalui kolaborasi dengan seniman-seniman muda, sebagaimana yang pernah ia lakukan dalam karyakarya lainnya. Sebagai seniman yang telah berkarier selama tiga puluh tahun lebih, Arahmaiani hendak berbagi pengalaman berkarya, serta mendorong generasi muda agar lebih peka terhadap isu-isu budaya kekerasan.

Arahmaiani turns these observations into two works of art. The first is a performance—combining sounds, music, light and darkness to symbolize the cultural violence throughout the history of Indonesia. Much like her previous works, it will be a collaboration with young artists. Throughout a career spanning over thirty years Arahmaiani is more than willing to share her experience as an artist, as well as encourage the younger generation to be more sensitive to issues of violence.

Karya kedua adalah instalasi tumpukan pakaian—yang setiap helainya menyimpan jejak kekerasan dari beragam generasi. Tumpukan pakaian itu akan terkonsentrasi di satu tempat. Seiring dengan perjalanan mengelilingi ruang pamer, pengunjung dapat menemukan berbagai wujud kekerasan di pojok-pojok yang tak biasa dan tak terduga—seperti yang kerap kita alami sehari-hari.

195

The second body of work is an art installation in the form of a pile of clothes. These clothes are collected from various generations—every piece bears a mark of violence—and are concentrated in one place. In their journey around the exhibition area, visitors can find various forms of violence in unusual and unexpected corners. Art mirrors life.

Arahmaiani merupakan salah satu tokoh yang disegani dalam dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Ia bekerja dengan medium pertunjukan, lukisan, gambar, instalasi, video, puisi, tari dan musik. Karya Arahmaiani bergulat dengan isu politik saat ini, kekerasan, kritik terhadap kapital dan tubuh perempuan. Dalam beberapa tahun belakangan, ia juga mengangkat isu terkait identitasnya yang, meskipun muslim, tetap bersinggungan dengan budaya Hindu, Buddha, dan animisme. Sejak 2010, ia bekerja bersama para biksu Tibet dalam menyuarakan isu lingkungan.

Arahmaiani is a senior and respected figure in Indonesia’s contemporary art scene. She works with various media: performance, painting, drawing, installation, video, poetry, dance and music. Arahmaiani’s works deal with issues of current politics, violence, criticism on capital and the female body. In recent years, she also highlights issues related to her identity. Although a moslem, she is no stranger to Hinduism, Buddhism and animism. Since 2010, she has been working with Tibetan monks for environmental causes.


SENIMAN / ARTIST

Ng Swan Ti Jakarta

Flores Revisited Kembali ke Flores Fotografi 80 x 80 cm Photography 80 x 80 cm 2014

Setelah sepuluh tahun bekerja sebagai pegawai kantoran, Ng Swan Ti memutuskan untuk berhenti pada 2002 dan memulai karier sebagai jurnalis foto. Sepanjang 2002-2003, ia mengikuti lokakarya fotografi ‘I See’ (Imaging Center) yang diselenggarakan World Press Photo di Amsterdam. Karyakarya Swan Ti sudah banyak dipublikasikan di media lokal dan internasional. Sebagai pengurus PannaFoto Institute, Swan Ti juga mengembangkan dan menyelenggarakan kegiatan edukasi fotografi. Pada 2014, ia mempublikasikan buku fotografi pertamanya, Illusion.

196

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

After ten years doing corporate work, Ng Swan Ti decided to quit in 2002 and started a career as a photojournalist. In 2002-2003, she participated in the photography workshop ‘I See’ (Imaging Center) held by World Press Photo in Amsterdam. Swan Ti’s works have been published in local and international media. As a committee member of PannaFoto Institute, Swan Ti also develops and organizes photography educational events. In 2014, she published her first photography book, Illusion.


JAKARTA BIENNALE 2015

DI INDONESIA, perkara agama dan ibadah selalu jadi urusan publik. Pemerintah mewajibkan tiap warga negara memilih satu dari enam agama yang diakui, dan mencantumkannya dalam Kartu Tanda Penduduk. Sebagai keturunan Cina Khonghucu yang besar pada era Order Baru, Ng Swan Ti hidup di luar sekat agama yang disediakan pemerintah dan diamini masyarakat. Sejak kecil ia sudah biasa menghadapi perbedaan dan alienasi. Di rumah, ibunya beragama Khonghucu—yang dulu masih dilarang oleh Pemerintah. Di sekolah, ia sempat belajar Islam dan Katolik dan akhirnya dibaptis ketika kuliah. Pengalaman-pengalaman ini berujung pada pertanyaan-pertanyaan kritis soal agama, keyakinan, dan identitas. Swan Ti mencoba menjawabnya dengan fotografi, yang ia tekuni secara profesional sejak 2002. Ia telusuri ritual Katolik di beberapa tempat di Jawa dan Flores. Salah satu hasilnya adalah Flores Revisited, rekaman Swan Ti atas ritual Paskah di Flores. Empat belas foto dalam seri ini terinspirasi dari empat belas pemberhentian ritus Jalan Salib dalam agama Katolik. Beberapa foto awal menangkap simbol-simbol penting dalam ritual Katolik, patung salib Yesus yang pecah sebagian, tetesan lilin, serta rosario dalam genggaman tangan berkuku merah. Beberapa foto lainnya mewakili persepsi Swan Ti perihal agama, yang kerap silang-sengkarut dengan tradisi lokal bahkan kepentingan politik. Fokusnya ada pada detail keseharian warga di Flores, seperti cara masyarakat berpakaian untuk menyambut Paskah, atau tabiat anak muda memainkan ponsel pintarnya, sambil sesekali mengintip bagaimana umat di sekitarnya berdoa.

IN INDONESIA, religion and religious practices have always been a public affair. The government obliges all citizens to choose one of six acknowledged religions and list it on their identification card. As a Chinese-Confucian who grew up in the New Order era, Ng Swan Ti lives outside the religious pigeonhole provided by the government and agreed by the society. Since childhood, she has been used to being different and alienated. At home, her mother is Confucian—a religion that was forbidden by the government at the time. At school, she studied Islam and Catholicism, and was baptized when she was in college. These experiences led to critical questions about religion, faith and identity. Swan Ti tried to answer them through photography, which she has been doing professionally since 2002. She explored Catholic rituals in several places in Java and Flores. One of the results is Flores Revisited, Swan Ti’s documentation of the Easter ritual in Flores. The fourteen photographs in the series are inspired by fourteen stops in the Stations of the Cross in Catholicism. The early photographs capture important symbols in Catholicism, such as the partly broken statue of Jesus’ cross, drops of wax and Rosario in a red-nailed hand. Other photographs represent Swan Ti’s perception of religion, with religion often intertwined with local tradition, even political agenda. She focuses on the details of Flores people’s daily lives, like how they dress for Easter, or how the youth are immersed in their smartphones while taking glances at the praying parish around them.

197


SENIMAN / ARTIST

Reza Afisina Depok

REZA MENAMPILKAN beberapa benda yang berkaitan dengan pengeluarannya sehari-hari selama 2011-2014: struk belanja, tagihan rekening, invoice, bahkan alat hitung sederhana untuk menerangkan skala, berat, dan ukuran. Dalam karya ini, Reza hendak meninjau apa-apa saja yang tubuhnya alami sehari-hari. Ia mengamati pengalamannya sendiri berkegiatan dalam berbagai ruang dan bersinggungan dengan publik—mulai dari ia mematut diri di rumahnya di kawasan Depok, saat perjalanan, sampai setelah segala aktivitas di Jakarta usai. Pergi dan pulang. Dengan mengamati dirinya dan orang lain, Reza menemukan sejumlah kemungkinan narasi tentang isu-isu domestik, pendidikan, dan proses asimilasi yang membentuk strata kelas. Ia melihat kecenderungan masyarakat hari ini untuk mendramatisir keadaan sosial dan ekonomi sebagai bentuk adaptasi—sebuah siasat untuk bertahan hidup—termasuk ketika seseorang merasa perlu bekerja keras untuk ikut mendapatkan apa yang orang lain bisa dapatkan dengan mudah.

Lahir di Bandung pada 1977, Reza Afisina kini bekerja di ruangrupa, divisi Laboratorium Seni Rupa. Ia kerap menggunakan tubuh sebagai bahasa ekspresi, untuk menyampaikan gagasan seputar pengalaman keseharian dalam berumah tangga dan aktivitas lainnya. Selain seni performans, karya-karya Reza turut memanfaatkan beragam medium, seperti instalasi dan video. Ia telah berpartisipasi dalam banyak pameran—salah duanya adalah di Solomon R. Guggenheim Museum, New York City, pada 2013 dan ‘SECRET ARCHIPELAGO: The Contemporary Creation of South-east Asia’ di Palais de Tokyo, Paris, pada 2015.

198

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

REZA IS SHOWCASING items related to his daily expenditure from 2011 to 2014: receipts, bills, invoices, even simple calculating devices to measure scale, weight and size. With this work, Reza would like to review the range of activities and spaces that his body goes through every day. He observed himself in the morning, getting ready to start the day. He observed himself commuting, interacting with various people on the way. He observed himself back at home, or on the way home, after a hard day’s work in Jakarta. By observing himself and other people, Reza discovered a number of possible narratives on domestic issues, education and assimilation processes that form a class system. He sees that today’s society tends to dramatize social and economic background as a strategy to survive—especially when someone feels the need to work hard in order to enjoy what other people can enjoy so easily.

Born in Bandung in 1977, Reza Afisina now works for ruangrupa’s Art Laboratory division. He often uses his own body as a tool to express ideas regarding daily experiences in the household and other activities. In addition to performance art, Reza also utilizes other media, such as installation and video. He has participated in several exhibitions—including at Solomon R. Guggenheim Museum of New York City in 2013 and ‘SECRET ARCHIPELAGO: The Contemporary Creation of Southeast Asia’ at Palais de Tokyo, Paris, in 2015.


JAKARTA BIENNALE 2015

199

A Calculating Attempt with and without Sufficient Evidence for Proo Upaya Cermat Dengan dan Tanpa Bukti Cukup Instalasi, objek Installation, object 2015


SENIMAN / ARTIST

Tita Salina Jakarta

Tita Salina sejak 2011 berkarya sebagai duo artis bersama Irwan Ahmett—keduanya berfokus pada masalah ruang perkotaan, terutama isu ruang publik. Seniman kelahiran 1973 ini menempuh pendidikan Desain Grafis di Institut Kesenian Jakarta. Dalam empat tahun terakhir, ia mengerjakan beberapa proyek pribadi, pesanan, serta proyek undangan untuk program residensi di Jakarta, The Hague, Amsterdam, Istanbul, London, Sunderland, Singapura, Tokyo, Berlin, Ruhr, dan Bergen. Praktik seninya kerap memanfaatkan situasi dan kondisi spesifik dari sebuah tempat—dengan mengolah bendabenda temuan, melakukan penelitian, melibatkan masyarakat atau merespons kebiasaan warga.

200

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Since 2011, Tita Salina has been working as part of a duo of artists with Irwan Ahmett— both focusing on issues of urban spaces, especially public spaces. Born in 1973, the artist completed her study in Graphic Design at the Jakarta Arts Institute. In the past four years, she worked on a few personal projects, commissioned works and invitation projects for residency programs in Jakarta, The Hague, Amsterdam, Istanbul, London, Sunderland, Singapura, Tokyo, Berlin, Ruhr and Bergen. Her work often utilizes specific situations and conditions from a place—by processing found items, doing researches, involving the public or responding to the public’s behavior.


JAKARTA BIENNALE 2015

TANGGUL LAUT GARUDA RAKSASA, atau giant sea wall, merupakan solusi yang ditawarkan pemerintah untuk mencegah banjir dan membuka kawasan permukiman baru di Jakarta. Tanggul itu akan membentang sepanjang 32 kilometer di perairan Teluk Jakarta, dari Teluk Naga di Tangerang sampai Tanjung Priok di Jakarta Utara. Di dalam tanggul, akan terdapat laguna-laguna besar untuk menampung aliran dari tiga belas sungai daerah ibukota. Permukaan tanggul direncanakan menjadi pusat pengembangan perkotaan, mulai dari gedung kantor, perumahan, area hijau, hingga pantai. Kota terintegrasi ini akan mencakup tujuh belas pulau buatan hasil reklamasi dan diperkirakan bisa menampung dua juta penduduk. Dirintis pada 9 Oktober 2014, proyek ini direncanakan akan memakan waktu sepuluh sampai lima belas tahun. Tidak sedikit orang atau pihak, tak terkecuali Tita Salina, yang menyangsikan proyek tanggul laut raksasa sebagai solusi masalah perkotaan. Ia pun meneliti kawasan Pantai Indah Kapuk dan Muara Angke— dua daerah yang masuk dalam cakupan proyek—dan berkolaborasi dengan nelayan-nelayan setempat. Bersama, mereka mengumpulkan sampah laut di sekitar lokasi, lalu mengolahnya menjadi pulau buatan yang diberi nama ‘Pulau 1001’. Pulau sampah ini akan ditarik oleh kapal nelayan dan ditempatkan di antara pulau-pulau buatan hasil reklamasi dan Kepulauan Seribu. Melalui karya ini, Tita Salina mencoba menghubungkan isu reklamasi dan peruntukan lahan dengan sampah kota yang bermuara di laut serta masa depan nelayan tradisional. Selain pulau buatan, Tita juga membuat sebuah diorama sebagai representasi karyanya di ruang pamer Jakarta Biennale 2015.

201

TANGGUL LAUT GARUDA RAKSASA, also known as the giant sea wall, is a solution offered by the government to prevent floods and open new housing areas in Jakarta. The wall will span 32 kilometers across the waters of Teluk Jakarta (Jakarta Bay) waters, from Teluk Naga in Tangerang to Tanjung Priok in North Jakarta. Within the wall, there will be large lagoons to contain the water from thirteen rivers in Jakarta. The surface of the wall will be developed for a city development center, hosting office buildings, houses, green areas and beaches. This integrated city will host seventeen artificial islands from the reclamation, and is estimated to hold two million people of the city’s population. Initiated on 9 October 2014, the project is estimated to take ten to fifteen years to complete. Many people, including Tita Salina, doubt this gigantic project could become the solution for the floods and housing problems in Jakarta. Therefore, Tita went to do research in Pantai Indah Kapuk and Muara Angke—two areas that will be impacted by the project— and collaborated with local fishermen. Together, they collected marine debris and litter in the sea around the areas, then turned them into an artificial island called ‘Pulau 1001’ (Island 1001). This artificial island of waste is pulled by the fishermen’s boats and placed between the artificial islands from the reclamation and the Thousand Islands. With this work, Tita Salina tries to connect the reclamation issue and land used with the human waste that plagues the ocean and the future of traditional fishermen. Besides the artifical island, Tita also made a diorama to represent her work at the main exhibition hall of the 2015 Jakarta Biennale.

1001 st Island – The Most Sustainable Island in Archipelago 1001 Pulau: Pulau yang Paling Lestari di Nusantara Video, performans Video, performance 2015


SENIMAN / ARTIST

Yoppy Pieter Jakarta

Saujana Sumpu Fotografi 100 x 100 cm Fotografi 100 x 100 cm 2015

DANAU SINGKARAK dan Bukit Barisan di Sumatra Barat menjadi saksi sejarah bagaimana Desa Sumpu pernah hidup dan semarak. Seiring berjalannya waktu, satu per satu, penduduk meninggalkan desa kecil Minangkabau itu, hanyut dalam arus urbanisasi. Bagai Ibu Pertiwi yang telah renta, Sumpu sabar menanti kepulangan anak-anaknya. Penduduk Minangkabau memang punya tradisi rantau yang kuat. Orang-orang muda bersekolah atau bekerja di luar kota, untuk kembali lagi suatu saat dan membangun tanah kelahiran mereka. Tradisi itu perlahan berubah. Mereka yang pergi, kini bermukim di kota besar di seberang pulau. Saujana Sumpu adalah refleksi pemikiran Yoppy soal urbanisasi dan warisan tradisi. Melalui fotofoto hitam-putih yang digantung dan berayun, Yoppy mengajak pengunjung untuk menyusuri danau, bukit, serta kompleksitas kehidupan di Sumpu. Yoppy mengabadikan rumah gadang, tempat masyarakat latihan menari

Ketertarikan Yoppy Pieter pada fotografi telah tertanam sejak di Sekolah Dasar. Ia mulai menekuni fotografi dengan saksama ketika bekerja di sebuah penerbitan dan mengikuti lokakarya fotografi di PannaFoto Institute pada 2010. Ia berpartisipasi dalam ‘Permata Photojournalist Grant’ (2011) dan ‘Angkor Photo Workshop’ (2012). Karyakaryanya pernah mendapatkan Grand Prize dan First Winner dalam ‘Asian Without Border—Poetry in Motion’ oleh Asian Geographic (2010), dan dipamerkan di ‘Jakarta International Photo Summit #3’. Buku foto Saujana Sumpu juga telah diterbitkan pada 2015.

202

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

dan mengaji tiap sore, puluhan tahun lalu. Rumah panggung besar yang biasa dihuni tiga-empat keluarga itu kini didiami oleh seorang sepuh dan kucing. Mereka saling memandang dalam temaram. Keadaan Sumpu adalah konsekuensi dari modernitas dan pembangunan yang tak merata di Indonesia. Desa ditinggalkan, kota penuh sesak. Yang tradisional dianggap kuno dan tak keren, yang modern dikira pasti membawa kebajikan, dan keduanya seakan tak diizinkan untuk hidup berdampingan. Kekayaan tradisi pun perlahan mati, terdesak peradaban modern, layaknya Sumpu yang kini membeku dan berhenti hidup. Yoppy tidak meniatkan karyanya sebagai nostalgia semata, tidak juga untuk menghakimi perkembangan zaman dan teknologi. Melalui Saujana Sumpu, Yoppy ingin menggelitik kesadaran kita akan konsekuensi atas tindakan masa lalu, merenungkannya, untuk kemudian kembali maju melangkah.

Yoppy Pieter has been interested in photography since he was in elementary school. He began to study photography when he was working for a publisher and participated in a photography workshop at PannaFoto Institute in 2010. He participated in ‘Permata Photojournalist Grant’ (2011) and ‘Angkor Photo Workshop’ (2012). His works won Grand Prize and First Winner from Asian Geographic’s ‘Asian Without Border—Poetry in Motion’ (2010), and his works were exhibited at ‘Jakarta International Photo Summit #3’. His photography book Saujana Sumpu was published in 2015.


JAKARTA BIENNALE 2015

THE LAKE SINGKARAK and Bukit Barisan hills in West Sumatra are witnesses to how Sumpu village thrived in the past. As time went by, the villagers leave, one by one, following their urban dreams. Like old Mother Nature, Sumpu awaits patiently the return of her children. The people of West Sumatra, also called Minangkabau, indeed have a strong tradition of merantau, leaving their village to seek fortune and experience. The youth go to school and work outside of their hometown to return one day and build their native land. This tradition slowly changes. Those who leave now stay in big cities of foreign islands. Saujana Sumpu reflects Yoppy’s thoughts on urbanization and tradition. By hanging and swinging black and white photographs, Yoppy invites audience to visit the lake, the hills and the complexity of life in Sumpu. He also captures a traditional house where people used to practice dance and read the Quran every

afternoon decades ago. Only an old man and a cat now that inhabit the big house on stilts, which used to house three or four families. They stare at each other in gloom. The situation in Sumpu is a consequence of modernity and uneven development in Indonesia. Villages are abandoned while cities are overpopulated. The traditional is considered obsolete and uncool, the modern is perceived as good, and the two can never go hand in hand. Rich tradition slowly fades, replaced by modern civilization, like Sumpu freezing and ceasing to live. Saujana Sumpu is not intended as a mere nostalgia or as a judgment of technological advancement in modern times. With it, Yoppy would like to stimulate our awareness of consequences of past actions and to make us contemplate on them before we move forward again.

203


SENIMAN / ARTIST

Clara Ianni & Débora Maria da Silva São Paulo

Apelo Film 12 menit 57 detik Film 12 minutes 57 seconds 2015

204

APELO (PERMOHONAN) muncul dari kebutuhan mendesak untuk membahas pelembagaan kekerasan di Brazil— sesuatu yang muncul sepanjang sejarah negara itu, dimulai dari invasi Eropa pada awal abad ke-16 dan berlanjut hingga sekarang. Membawa karya itu ke Jakarta merupakan cara untuk merefleksikan sejarah trans-kolonial dan bagaimana setiap masyarakat yang hancur harus menghadapi masa lalunya. Pengambilan gambar Apelo berlangsung di Pemakaman Dom Bosco di batas luar São Paulo, tempat lanskap urban dan perdesaan bertemu. Film ini menghubungkan aksi-aksi kekerasan saat ini dengan yang terjadi pada masa lalu lewat sebuah pidato. Pemakaman itu dibangun pada 1971 oleh pemerintahan militer terakhir (19641985) sebagai kuburan para korban rezim tersebut, yang kebanyakan di antaranya menghilang dan kemudian dimakamkan secara massal. Pembicara dan salah satu penulis karya ini adalah Débora Maria da Silva, yang putranya

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

dibunuh pada 2006 sebagai seorang korban dari pasukan algojo polisi militer kota tersebut. Da Silva saat ini memimpin Mães de Maio, gerakan kaum ibu yang kehilangan anak-anak mereka akibat kekerasan polisi dan menuntut keadilan. Sebagai permohonan kepada yang masih hidup untuk mengenang mereka yang telah tiada, pidato itu mengkonfrontasi amnesia yang secara sistematis dipaksakan terhadap rakyat oleh negara dan kelompok elit. Amnesia ini tidak terbatas di Brazil dan mungkin menemukan gaungnya di Indonesia. Saat syuting, para pembuat film menemukan kuburan-kuburan baru yang digali untuk korban-korban tak bernama dari kekerasan polisi barubaru ini. Hal ini secara mengejutkan menekankan betapa situasi belum berubah saat ini di Brazil; betapa ketiadaan memori mengutuk kita untuk mengulangi tindak kekerasan yang sama, sampai trauma itu dihadapi.


JAKARTA BIENNALE 2015

APELO [PLEA] emerges from the urgent need to address the institutionalization of violence in Brazil – something that has been present throughout the country’s history, beginning with the European invasion in the early sixteenth century and continuing today. Bringing it to Jakarta is a way to reflect on transcolonial histories and how each damaged society has to deal with its past. Apelo was filmed in Dom Bosco Cemetery in São Paulo’s outer limits, where urban and country landscapes meet. It connects present-day acts of violence with those of the past through a speech. The cemetery was founded in 1971 by the last military government (1964-1985) as a graveyard for victims of the regime, most of whom were disappeared and later buried in mass graves. The speaker and co-author

205

of this work is Débora Maria da Silva, whose son was murdered in 2006, a victim of the death squads of the city’s military police. Da Silva currently leads the Mães de Maio movement of mothers who have lost sons or daughters to police violence and who demand justice. As a plea to the living to remember the dead, the speech confronts the amnesia systematically forced onto people by the state and elite. This amnesia is not confined to Brazil and might find echoes here in Indonesia. Whilst filming, the artists found new graves being dug for anonymous victims of current police violence, shockingly emphasizing how unchanged the situation is today in Brazil and how the absence of memory dooms us to repeating the same acts of violence until the trauma is confronted.

Clarra Ianni lahir di São Paulo pada 1987. Ia banyak berkarya dengan kombinasi berbagai media, seperti instalasi, patung, dan video—untuk mengkritisi perkembangan politik dan pembacaan sejarah dari masyarakat kontemporer. Karyanya sempat singgah di '31 st Bienal de São Paulo Exhibition' pada 2014. Ia pernah bekerja sebagai asisten kurator di Louvre Museum pada 2008 dan 2009, juga sebagai asisten kurator di '7th Berlin Biennale' pada 2012. Clara adalah anggota dan kontributor Krytyka Polityczna, jurnal intelektual kiri di Polandia.

Clarra Ianni was born in 1987. She works with a combination of various media, which include installation, sculpture and video— producing critiques on politicals and historical interpretations in contemporary society. Her works were exhibited at the '31 st Bienal de São Paulo Exhibition' in 2014 . She worked as an assistant curator at the '7 th Berlin Biennale' in 2012. Clara is a member of and contributor to Krytyka Polityczna, a leftist intellectual journal in Poland.

Débora Maria da Silva lahir pada 1960, adalah pendiri Mães de Maio—organisasi yang menyatukan keluarga korban kekerasan negara, khususnya oleh polisi militer, di São Paulo. Lewat organisasi ini, Débora menyuarakan demiliterisasi keamanan publik dan ganti rugi bagi para korban, terutama yang bermukim di daerah kumuh dan pinggiran kota-kota besar Brasil. Insiatif Mães de Maio memperoleh eksposur yang luas berkat sejumlah penghargaan: Santo Dias Human Rights Award pada 2011, Chico Mendes Medal of Resistance serta Human Rights Award—penghargaan tertinggi pemerintah Brazil untuk pejuang HAM—pada 2013.

Débora Maria da Silva, born in 1960, is the founder of Mães de Maio—an organization that unites family members of state violence victims, particularly by military police, in São Paulo. Through this organization, Débora is fights for demilitarized public security and compensation for the victims, especially for those living in the slums and city peripherals of Brazil. The Mães de Maio initiative gained a wide exposure from the accolades it got: Santo Dias Human Rights Award in 2011, Chico Mendes Medal of Resistance and Human Rights Award—the highest award from the Brazillian government for human rights activists—in 2013.


SENIMAN / ARTIST

Fuady Keulayu Banda Aceh

SENI TIDAK MELULU soal keindahan. Kadang ia bisa menjadi penyelamat ingatan, cerita sejarah yang sayang kalau terlupakan begitu saja.

ART IS NOT ALL ABOUT BEAUTY. Sometimes it can salvage memories, historical stories that are too precious to forget.

Sebagai seorang seniman, Fuady Keulayu tidak saja punya bakat bertutur, tapi juga pengalaman hidup semasa konflik. Melalui sebuah performans, ia memanfaatkan bakatnya itu untuk mengurai kembali narasi-narasi kecil di era pertikaian bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka dan Tentara Nasional Indonesia, yang berlangsung dari 1975 sampai 2005 di Aceh.

As an artist, Fuady Keulayu not only has the talent to tell stories, but he also has real life experience of conflict in his hometown. Through performances, he makes use of his talent to retell little pieces of narratives during the era of armed conflicts between the Free Aceh Movement and the Indonesian Armed Forces from 1975 to 2005 in Aceh.

Narasi-narasi kecil ini muncul di tengah-tengah masyarakat dan kerap luput dari liputan jurnalisme. Narasi-narasi ini yang Fuady ramu menjadi hikayat dengan rangkaian kata-kata berima yang penuh humor dan satir, seolah mengajak penonton untuk bertamasya ke masa lalu, dan menertawakan tindakan-tindakan konyol yang lari dari akal sehat. Selain humor, kepingan-kepingan sejarah ini Fuady tampilkan dengan mop-mop—seni biola Aceh yang kini hampir punah. Beberapa alat tambahan seperti harmonika membuat seni tradisi ini tampil dengan wajah baru.

Fuady Keulayu adalah seorang seniman tutur yang lahir pada 10 Mei 1985 di Pidie Jaya, Aceh. Ia menyelesaikan studi di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Selain bermain mop-mop, Fuady juga vokalis band lokal bernama Seungkak Malam Seulanyan. Sebagai seniman, ia kerap tampil di panggung-panggung di Banda Aceh, membicarakan isu-isu bertema sosial dan politik.

206

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

These small narratives are present among the people and are often overlooked by press coverage. Fuady turned them into a saga using humorous and satirical rhymes. He invites audience to take a trip to the past, and laugh at ridiculous things that had happened, which at times escaped common sense. Aside from humor, Fuady showcases these pieces of history with mop mop—a nearly extinct traditional Acehnese violin art. Some additional instruments, like harmonica, add a new feel to the traditional art.

Fuady Keulayu is a storytelling artist, born May 10, 1985, in Pidie Jaya, Aceh. He completed his study in Indonesian Language and Literature Education at Syiah Kuala University, Banda Aceh. In addition to playing mop mop, Fuady is also the vocalist of a local band named Seungkak Malam Seulanyan. As an artist, he likes to perform on stage in Banda Aceh, discussing social and political issues.


JAKARTA BIENNALE 2015

207

Narasi Scary Scary Narrative Performans bercerita Story telling performance 2015


SENIMAN / ARTIST

Iswadi Basri Banda Aceh

Menjamu Tamu Entertaining Guests 140 x 290 cm Cat minyak di atas kanvas 140 x 290 cm Oil on canvas 2015

Konferensi Air Water Conference 140 x 290 cm Cat minyak di atas kanvas 140 x 290 cm Oil on canvas 2015

Robot Kapitalis Capitalistic Robot 140 x 290 cm Cat minyak di atas kanvas 140 x 290 cm Oil on canvas 2015

KONON, 70 PERSEN permukaan bumi adalah air. Air praktis menjadi unsur terpenting dalam kehidupan—air bukan lagi sekadar pelepas dahaga, tapi juga komoditas, terutama pasca maraknya praktik privatisasi air oleh berapa perusahaan swasta. Kondisi air di Aceh setali tiga uang. Pasca bencana tsunami pada 2004, air tanah di Aceh disinyalir memiliki kandungan logam yang tinggi. Atas persoalan ini, masyarakat ditawarkan untuk memakai jasa perusahaan air minum. Iswadi Basri, melalui tiga lukisan di medium kanvas yang masing-masing berukuran 140 x 290 cm, mencoba berbicara tentang komersialisasi air. Dalam lukisan berjudul Menjamu Tamu, Iswadi seolah bertanya, air tanah itu milik siapa? Lukisan keduanya, berjudul Robot Kapitalis, menampilkan seekor lalat besar berbentuk robot sedang mengisap bumi yang gersang— metafora bagi pengisapan hasil alam, termasuk air, oleh sekelompok orang, yang kemudian meninggalkan dampak buruk bagi lingkungan dan kebudayaan masyarakat lokal. Dalam lukisan ketiga, berjudul Konferensi Air, tampak sebuah gelas besar dan bumi yang bertengger di sisinya. Tak jauh dari gelas itu terlihat beberapa ekor lalat mengisap air yang tumpah—penggambaran Iswadi tentang hasil dari konferensi-konferensi air yang selama ini cenderung berpihak pada kepentingan-kepentingan perusahaan.

Iswadi Basri atau Wadi lahir pada 30 Juni 1977 di Pidie, Aceh. Pendidikan formal terakhir yang ia tempuh adalah Sekolah Menengah Umum (SMU) Padang Tijie. Saat ini Iswadi aktif di salah satu sanggar lukis bernama Apotek Wareuna, Banda Aceh. Pada 2014 , Iswadi memeroleh penghargaan anugerah seni tahunan yang diberikan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Banda Aceh.

208

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

IT IS BELIEVED that water covers 70 percent of the surface of the earth. Water is practically the most vital element in life—it is not only something to quench thirst, but also a commodity, especially after the much talked about water privatization practices by private companies. The condition in Aceh regarding water is not much different. After the 2004 tsunami, the water in Acehnese soil is believed to contain a high level of metal. The answer to the problem is that the people are offered the option to use the service of companies to consume drinking water. Iswadi Basri, through three paintings on canvas, each 140x290cm in size, attempts to talk about water commercialization. In the painting Menjamu Tamu (‘Entertaining Guests’), Iswadi poses a question: who owns the water in the ground? His second painting, Robot Kapitalis (‘Capitalistic Robot’), shows a large robotic fly sucking on a barren land—a metaphor for natural resources exploitation, including water, by a group of people, which leaves negative impacts to the environment and local culture. In his third painting, Konferensi Air (Water Conference), we see a large glass and the Earth perched on its side. Near the glass, some flies are drinking some spilled water—Iswadi’s way of depicting the results of water conferences which have been favorable for the interests of companies.

Iswadi Basri, or Wadi, was born on June 30, 1977, in Pidie, Aceh. His last formal education was in Padang Tijie High School. Currently, Iswadi is an active member of a painting studio called Apotek Wareuna, Banda Aceh. In 2014, Iswadi received an annual art award from the Banda Aceh Office of Culture and Tourism.


JAKARTA BIENNALE 2015

209


SENIMAN / ARTIST

Surya Wirawan Yogyakarta

KEBERKARYAAN SURYA WIRAWAN berlandas pada realitas keseharian, pada hal-hal yang mungkin luput dari perhatian kita. Melalui komik-komiknya— yang kerap menampilkan tokoh Gareng Petruk dari cerita-cerita perwayangan Jawa—Surya mewadahi amatannya tentang kata-kata dan peristiwa di sekitarnya. Dilukis dengan cat air di atas kertas berukuran kecil, komikkomik Surya menjadi semacam oase yang mengundang kita untuk mendekat, bahkan terlibat, dengan perbincanganperbincangan yang sedang hangat di tengah masyarakat. Kehidupan seharihari menjelma jadi narasi yang intim.

Surya Wirawan, akrab dipanggil Yoyok Komo, lahir di Mojokerto pada 17 Februari 1973. Tinggal dan bekerja di Yogyakarta, Surya menamatkan studi di Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia, dan pernah bergabung dengan Taring Padi. Karyakaryanya kerap diwarnai unsur kritik sosial—yang ia wujudkan lewat gambar, sketsa, dan teknik-teknik grafis lainnya.

210

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

SURYA WIRAWAN LOVES to repackage daily lives into intimate narratives. With his comic drawings—which often feature Petruk and Gareng, the jester characters from Javanese mythology— Surya express his observations on the events and words unfolding around him. Painted in watercolor on smallsized pieces of paper, Surya’s comics become a kind of oasis, which invites us to come closer, or even get involved, to the public conversations happening around us.

Surya Wirawan, or Yoyok Komo, was born in Mojokerto on 17 February 1973. Living and working in Yogyakarta, Surya completed his study at the Indonesian Institute of the Arts' Faculty of Art, and joined Taring Padi. Many of his works— comics, drawings, sketches and other visual products—are ridden with social critiques.


JAKARTA BIENNALE 2015

Drawing, etsa Dimensi bervariasi Various dimensions 2015

211


SENIMAN / ARTIST

Nobodycorp. Internationale Unlimited Yogyakarta

PROPAGANDA BISA HADIR dalam berbagai bentuk, bisa lewat aksi langsung di lapangan, bisa juga lewat teknologi dan jaringan media. Apapun bentuknya, strategi komunikasi jelas jadi faktor paling vital. Tanpa pertimbangan dan persiapan yang matang, dampak suatu propaganda bisa jadi malah fatal—dan tak jarang berimbas ke si pelaku propaganda. Bagi Alit Ambara, yang selama lebih dari dua dekade getol mengedarkan poster-poster propaganda buatannya dengan label Nobodycorp. Internationale Unlimited, bahasa visual adalah strategi komunikasi yang paling jitu. Dengan desain visual yang tepat dan diolah secara serius, sebuah propaganda tidak saja bisa lebih efektif menyampaikan pesan, tapi juga bisa menjangkau publik yang lebih luas. Pada era Internet ini, poster-poster Alit yang kerap bicara soal gejolak politik, hak asasi manusia, dan pergerakan sosial dapat ditemukan berseliweran di sejumlah media sosial. Jakarta Biennale 2015 menjadi momen bagi Alit untuk merentang sejarah propaganda yang selama ini ia tekuni. Poster-posternya terdaftar dengan lisensi Common Creative, sehingga publik dapat mengunduh dan membagikannya kepada siapapun. Strategi distribusi yang memudahkan publik ini diharapkan memberi pemahaman, serta menumbuhkan kesadaran yang luas, akan pentingnya sebuah propaganda yang dibuat untuk kemajuan bersama.

212

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

PROPAGANDA CAN TAKE UP many forms, be it live action on a field or message through technology and media networks. Whatever it is, a communication strategy is a vital key. Without proper thinking and preparation, propaganda can have fatal implications—and often backfire. To Alit Ambara, who has been circulating propaganda posters for more than two decades under the label Nobodycorp. Internationale Unlimited, visual language is the most effective communication strategy. With the right and well-processed visual design, not only will a piece of propaganda convey its message effectively, but it will also reach a larger crowd. In this age of the Internet, Alit’s posters, talking about political turmoils, human rights, and social movements, frequent the social media. The 2015 Jakarta Biennale becomes a moment for Alit to display the history of propaganda, which has been a focus throughout his career. His posters are licensed by Common Creative, which means that people can download and circulate the posters freely. He hopes that with this public-friendly distribution strategy, more people will have an understanding and awareness of the importance of propaganda made for public benefits.


JAKARTA BIENNALE 2015

213

Poster Aksi Action Poster Poster 2015

Alit Ambara menempuh studi di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta dari 1989 sampai 1993, lalu lanjut studi Art History di Savannah College of Art & Design dari 1996 sampai 1998. Alit kemudian bergabung dengan Jaringan Kerja Budaya— program perkumpulan yang meliputi penerbitan majalah Media Kerja Budaya dan penyelenggaraan diskusi bulanan Diskusibulanpurnama. Pada 1998, Alit bergabung dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan, yang aktif membantu korban kerusuhan Mei 1998. Ia juga sempat aktif sebagai pengajar sukarela di Sanggar Anak Akar, sebuah komunitas anak pinggiran di Jakarta, selama 2000-2008. Kini ia aktif di Institut Sejarah Sosial Indonesia, sebuah lembaga studi dan penelitian sejarah sosial di Indonesia.

Alit Ambara studied at the Jakarta Arts Institute’s Faculty of Art and Design, from 1989 to 1993. He continued to study Art History at Savannah College of Art & Design from 1996 to 1998. He then joined Jaringan Kerja Budaya—a cultural collective whose programs include the publication Media Kerja Budaya (Cultural Work Media) and the monthly discussion Diskusibulanpurnama. In 1998, Alit joined the Volunteers for Humanity team, which provided aid for the victims of the May 1998 riot. He was also a volunteer teacher at Sanggar Anak Akar (Children of Roots Community), a community for underprivileged children in Jakarta, from 2000 to 2008. Today, he works for the Indonesia Social History Institute, a study and research institution for social history in Indonesia.


SENIMAN / ARTIST

Köken Ergun Istanbul

DALAM YOUNG TURKS, Köken Ergun membicarakan politik persebaran budaya masa kini. Ia mengamati bagaimana budaya negaranya tersebar melalui jaringan Turkish Schools di lebih dari 140 negara, yang dibina oleh imigran dan warga keturunan Turki di seluruh dunia. Fenomena ini Köken Ergun tuturkan melalui rekaman kegiatan dari Turki, Kenya, dan Indonesia, tentang persiapan pelajar-pelajar Turkish School setempat menjelang Turkish Olympics—perhelatan budaya tahunan di Turki. Dalam pekan raya nan megah ini, para pelajar luar negeri Turkish Schools akan bersaing dalam lomba cerita rakyat, sajak, dan lagulagu Turki. Terdokumentasikan juga bagaimana pelajar Kenya dan Indonesia berinteraksi dengan pelajar lain yang berbahasa Turki, juga dengan warga asli Turki yang berkunjung ke acara.

Young Turks Kaum Muda Turki Proyeksi video dua kanal, instalasi Two channel video projection, installation 2013–2015

214

Film ini kemudian dipadukan dengan lukisan peta dunia yang menunjukkan lokasi sekolah-sekolah Turki di dunia dan sebuah patung dalam instalasi— yang tidak saja membuka konteks lebih luas bagi rekaman kegiatan tadi, tapi juga menjadikan instalasi ini semacam pameran-dalam-pameran di Jakarta Biennale 2015.

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

IN YOUNG TURKS, Köken Ergun talks about today’s cultural dissemination of politics. He observes how his country’s culture is spread through the Turkish schools network in more than 140 countries around the world. Köken Ergun presents this phenomenon through the documentation of events in Turkey, Kenya and Indonesia on the preparation of local Turkish school students to compete in the Turkish Olympics—an annual cultural event in Turkey. In this large scale event, Turkish schools students from different countries would compete in reciting Turkish folktales, poems and songs. In the documentation, Kenyan and Indonesian students are seen interacting with other students, as well as with the Turkish attending the event, in Turkish. The film is then combined with the image of a world map showing the location of Turkish schools in the world and a sculpture in an installation work—which not only opens a bigger context for the event’s documentation, but also makes this installation a sort of exhibition-within-exhibition at the 2015 Jakarta Biennale.


JAKARTA BIENNALE 2015

Köken Ergun lahir di Istanbul pada 1976. Ia belajar akting di Universitas Istanbul, menyelesaikan studi Jurusan Sastra Yunani Kuno di King’s College London, dan menyelesaikan magister Sejarah Seni di Universitas Bilgi Istanbul. Usai bekerja dengan sutradara teater Amerika, Robert Wilson, Ergun menggeluti video dan film. Karya videonya dipamerkan secara internasional, antara lain di Palais de Tokyo, Stedelijk Museum Bureau Amsterdam, Kiasma, Digital ArtLab Tel Aviv, Casino Luxembourg, Protocinema, Wilhelm-Hack-Museum, SALT and Kunsthalle Winterthur. Beberapa karya filmnya mendapatkan penghargaan, termasuk Tiger Awards for Short Film di Rotterdam Film Festival (2007) dan Special Mention Prize di Berlin International Film Festival (2013). Ia juga memiliki karya-karya lain yang termasuk dalam koleksi untuk publik di Centre Pompidou, the National Museum of Contemporary Art,Athena, dan di Kadist Art Foundation.

215

Köken Ergun was born in Istanbul in 1976. He studied acting at Istanbul University, completed his study in Ancient Greek Literature at King’s College London and obtained a Master in Art History from Istanbul Bilgi University. After working with American theater director Robert Wilson, Ergun has been focusing on video and film. His video works have been part of international exhibitions at Palais de Tokyo, Stedelijk Museum Bureau Amsterdam, Kiasma, Digital ArtLab Tel Aviv, Casino Luxembourg, Protocinema, Wilhelm-Hack-Museum, SALT and Kunsthalle Winterthur. He won several awards for his films, including a Tiger Awards for Short Film at Rotterdam Film Festival (2007) and Special Mention Prize at Berlin International Film Festival (2013). His works are also included in the collection displayed for public at Centre Pompidou, the National Museum of Contemporary Art, Athens and Kadist Art Foundation.


SENIMAN / ARTIST

Pratchaya Phinthong Bangkok

Untitled (rice) Tanpa Judul (beras)

Tiga dokumen A4 dalam bingkai akrilik Three A4 documents rue des 4 fils 75003 paris l + 33 1 44 78 00 60on / email gb@gbagency.fr acrylic sheet / www.gbagency.fr 2014 agency

Pratchaya Phinthong Untitled (rice), 2014 Installation One A4 document in Thai under Plexiglass sheet to be translated in language used while exhibited

Pratchaya Phinthong Overall dimensions vary with size oflahir room pada 1974 di Ubon Ratchathani, Unique piece Ia menetap di Bangkok, kota tempat ia belajar Seni Thailand. Murni. Karyanya kerap menciptakan situasi yang menguji persepsi tiap orang, juga yang memungkinkan pengunjung untuk berbagi pengalamannya. Ia juga seringkali bermain dengan tempat dan identitas yang merepresentasikan kondisi ekonomi dan budaya. Phinthong pernah berpameran tunggal di Galleria d’Arte Moderna e Contemporanea, Bergamo, Italia, pada 2011, dan Centre d’Art Contemporain, Brétigny, Prancis pada 2010, serta berpartisipasi dalam 'Singapore Biennale' pada 2006 dan 'New Museum Triennial' pada 2012.

216

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Pratchaya Phinthong was born in 1974 in Ubon Ratchathani, Thailand. He resides in Bangkok, where he studied Fine Arts. His works tend to test individuals’ perception and enable visitors to share their experiences. He often plays with places and identities that represent a cultural and economic condition. Phinthong held a solo exhibition at Galleria d’Arte Moderna e Contemporanea, Bergamo, Italy, in 2011, and Centre d’Art Contemporain, Brétigny, France, in 2010; and participated in 'the Singapore Biennale' in 2006 and 'New Museum Triennial' in 2012.


JAKARTA BIENNALE 2015

SEKALIPUN BERSTATUS NEGARA eksportir beras terbesar di dunia, Thailand mengalami krisis pada 2013. Penyebabnya: kegagalan program skema subsidi beras (Rice Pledging Scheme) bentukan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra. Program ini mengundang petani untuk menyumbang stok beras negara dengan jaminan hipotek—surat utang yang dijanjikan akan dilunasi pemerintah dalam tiga bulan. Sialnya, harga beras di Thailand malah anjlok—akibat kalah bersaing di pasar global, dan diperparah dengan korupsi yang menjalar dalam jajaran partai Yingluck Shinawatra. Pemerintah tak mampu bayar utang kepada para petani. Kala itu, ada dua faksi politik dan ekonomi yang saling bertentangan. Kelompok berkaos kuning adalah kaum borjuisnasionalis, yang mendukung monarki dan militer. Kelompok berkaos merah adalah perwakilan kaum tani dan masyarakat perdesaan, yang mendukung rezim populis. Karya Phinthong berusaha menyelidiki bagaimana permainan politik dan ekonomi di Thailand, serta keterlibatan masyarakatnya, membawa negeri itu terperosok ke dalam krisis. Lewat penempatan sejumlah objek yang taktis dalam sebuah instalasi, sang seniman memainkan persepsi pengunjung pameran. Berbagai dokumen hipotek—dalam bahasa Thai dan Indonesia—dipajang pada sebuah papan yang menempel pada rangka besi. Masing-masing dokumen dibingkai dalam kaca akrilik, menampilkan laman muka dan belakangnya. Penempatan hipotekhipotek ini kurang lebih setara tingginya dengan tinggi timbunan beras di gudang negara. Rangka besi sendiri dihadirkan sebagai simbol dari gudang beras di Thailand. Sebagai upaya pencitraan publik, pemerintahan Yingluck Shinawatra menempatkan karung-karung beras sumbangan para petani di rangka-rangka besi yang menjulang tinggi. Stok beras negara seolah berlimpah, padahal tidak.

DESPITE BEING THE WORLD’S largest rice exporter, Thailand went into a financial crisis in 2013. The cause: a failed rice pledging scheme program by Prime Minister Yingluck Shinawatra. The program invited farmers to contribute to the nation’s rice stocks with mortgage—the government promised to pay them in three months time. Unfortunately, the price of rice in Thailand plummeted—beaten in the global market competition and made worse by corruption inside Shinawatra’s party. The government could not pay off their debt to the farmers. At the time, there were two opposing political and economic factions. The yellow-shirts are a nationalist, middle class group, supporting the monarchy and the military. The red-shirts represent the farmers and rural people, supporting the populist regime. Phinthong’s artwork attempts to investigate how the power play behind Shinawatra’s regime and the political involvement of its citizens led Thailand to a crisis. Through tactical placements of several objects in an installation, the artist plays with the visitors’ perceptions. Various mortgage documents—in Thai and Indonesian—are exhibited on a board attached to a scaffold rack. Each document is framed in acrylic glass, displaying the front and back pages. The level at which the mortgage documentsare placed is equal to the level of the rice stocks in the nation’s storage. The scaffold racks are presented as a symbol of Thailand’s rice storage. As an effort to create good public impression, Shinawatra’s regime piled the rice bags on towering scaffold racks. The nation’s rice stock appeared to be plentiful, but reality suggested otherwise.

217


SENIMAN / ARTIST

M. Cora Makassar

SUNGAI CILIWUNG ADALAH bagian penting dalam sejarah penghuni Jakarta. Berhulu di Gunung Pangrango, Jawa Barat, sungai ini mengalir melewati Bogor dan Depok sebelum masuk daerah ibukota dan bermuara di Teluk Jakarta. Di Jakarta, aliran Sungai Ciliwung bercabang dua di Manggarai— satu melalui tengah kota, antara lain sepanjang daerah Gunung Sahari, satu lagi melalui pinggir kota, antara lain melalui Tanah Abang. Keduanya adalah kawasan padat penduduk. M. Cora hendak mengamati pengaruh sungai Ciliwung terhadap bentuk rumah atau hunian di sekitarnya. Ia memutuskan untuk tinggal sementara di Kelurahan Balekambang, Condet, Jakarta Timur. Selama sebulan ia berkolaborasi dengan warga sekitar, untuk membuat maket purwarupa hunian dan sketsa morfologi rumah setempat dari masa ke masa. Melalui proyek ini, M. Cora mencoba melibatkan warga Condet secara aktif, untuk mengapresiasi ataupun mengangkat identitas hunian mereka. Memori kolektif warga tentang hunian akan disusun dalam bentuk maket dan sketsa, lengkap dengan penjelasan tentang latar belakang setiap elemen dari wujud fisik hunian tersebut.

M. Cora lahir di Makassar, 11 Februari 1983. Ia seorang arsitek dengan gelar Magister Arsitektur Universitas Hasanuddin, Makassar. Bersama rekan-rekannya di Arsitek Komunitas (Arkom) Makassar, Cora aktif melakukan pendampingan warga terkait isu penataan hunian padat dengan menggunakan pendekatan arsitektur alternatif. Ia juga melakukan advokasi terhadap kebijakan pemerintah dalam hal penataan permukiman.

218

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

THE RIVER CILIWUNG IS an important part of the history of Jakarta and its people. Starting at the Pangrango mountain, the river goes through Bogor and Depok before making its way across the capital to arrive into the Jakarta bay. In Jakarta, the river breaks into two tributaries in Manggarai—one goes through the center of the city, including Gunung Sahari area, and the other through Tanah Abang. Both areas are densely populated. M. Cora observed how the Ciliwung river affects the shape of the houses and residences in its surroundings. He decided to stay in the Balekambang neighborhood, Condet, East Jakarta. For a month, he collaborated with locals to make prototype models of residences and morphological sketches of houses in the area from time to time. In this project, M. Cora tried to actively involve the Condet residents to appreciate or promote the identity of their residences. The people’s collective memory about their housing is realized in the form of models and sketches, with explanations about the background of each physical element of the housing.

M. Cora was born in Makassar, February 11, 1983. He is an architect with a Master in Architecture from Hasanuddin University, Makassar. With his peers at Arsitek Komunitas (Arkom) Makassar, or Community Architects of Makassar, Cora actively works together with the people, using alternative architectural approaches to deal with housing planning issues. He also conducts advocations for government policies in residential planning.


JAKARTA BIENNALE 2015

Sisi(k) Ci Ondet Sketsa dan maket 1:5 Dimensi bervariasi Sketch and model 1:5 Various dimensions 2015

219


"

SENIMAN / ARTIST

ApriliaApsari Apsari Aprilia Jakarta

Pergelutan The Struggle Mural 2015

220

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

MARUNDA PUNYA SEJARAH penting bagi warga Jakarta, tidak saja sebagai lokasi kompleks rumah susun, tapi juga sebagai situs cagar budaya. Pasalnya, tidak jauh dari Rusunawa Marunda, ada rumah si Pitung—sosok pendekar Betawi, yang sebenarnya masih samar apakah memang benar ada atau hanya legenda belaka. Rumah Si Pitung menjadi simbol upaya warga setempat, khususnya penghuni Rusunawa Marunda, dalam melestasikan budaya dan seni Betawi. Lewat sanggar dan berbagai kegiatannya, mereka aktif menggiatkan lenong Betawi dan pencak silat di kalangan remaja dan anak-anak. Lewat sanggar pula, mereka mengadakan program-program pembelajaran bagi anak-anak sekolah, agar terhindar dari masalah-masalah sosial seperti kejahatan dan narkoba. Aprilia Apsari terinspirasi oleh upaya warga Marunda melestarikan budaya setempatnya. Memanfaatkan simbolsimbol kebudayaan Betawi, seperti pencak silat, seniman yang juga dikenal sebagai Nona Sari ini menuturkan bagaimana masyarakat Jakarta bertahan hidup di tengah deraan cobaan hidup dan masalah-masalah struktural kota. Mereka tetap optimistis mengarungi pertarungan yang ada. Selain itu, Aprilia Apsari juga menampilkan karya muralnya di Gudang Sarinah, ruang pameran utama Jakarta Biennnale 2015.

THE HISTORY OF MARUNDA is important for Jakartans, not only as an apartment compound but also as a cultural site. Not far from the Marunda apartment compound there is a house believed to be where Pitung—the legendary Batavian warrior whose existence is still debatable to this day— lived in. Pitung’s house becomes a symbol of the locals’ endeavor in preserving Betawi’s art and culture, particularly by the residents of Marunda. In their studio and through their activities, they promote lenong, a traditional performing art, and pencak silat, a martial art, among the youth. The studio is also the place where they hold programs to educate the youth and keep them away from social issues like crime and drugs. Aprilia Apsari was inspired by the Marunda residents’ endeavor to preserve their local culture. Using symbols in the Betawi culture, like pencak silat, the artist, also known as Nona Sari (Miss Sari), tells the story of how Jakartans survive in the midst of tribulations and the city’s structural problems. They remain optimistic in their struggles. Aprilia Apsari also created murals at Gudang Sarinah, the main exhibition space of the 2015 Jakarta Biennale.

Aprilia Apsari, dikenal juga sebagai Nona Sari atau Sari Sartje, adalah alumnus Fakultas Seni Rupa, Institut Kesenian Jakarta. Ia aktif berkarya dengan berbagai medium, seperti drawing, mural, dan instalasi. Pameran tunggal perdananya, dengan tajuk ‘Rayuan Pulau Kelapa’, berlangsung di RURU Gallery, ruangrupa, Jakarta pada 2008. Selain aktif berkarya, nona yang satu ini juga adalah vokalis White Shoes & the Couples Company, band yang sangat tenar di kalangan anak muda dan belantika musik nusantara.

Aprilia Apsari, also known as Nona Sari (Miss Sari) or Sari Sartje, is a graduate from the Jakarta Arts Institute’s Faculty of Art. She works using various media, like drawing, mural and installation. Her first solo exhibition, entitled 'Rayuan Pulau Kelapa' (The Spell of Coconut Island), was held in ruangrupa in 2008. Besides working with art, she is also the lead vocal of White Shoes & the Couples Company, a popular band in Indonesia’s music industry and youth culture.

221


LO S KE AN S I /M L AO N C/AT AR I OT N IST

Marunda, Jakarta Utara MARUNDA DIKENAL SEBAGAi lokasi salah satu kompleks rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Terdiri dari 26 blok yang masing-masing memuat seratus unit, Rusunawa Marunda dibangun oleh Kementerian Perumahan Rakyat pada 2007 sebagai sarana permukiman yang terjangkau bagi warga ibukota. Kini, tercatat ada lebih dari empat ribu warga Jakarta yang hidup di kompleks hunian vertikal tersebut. Marunda juga salah satu situs cagar budaya yang penting di ibukota. Tidak jauh dari Rusunawa Marunda, terdapat

222

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Rumah Si Pitung—rumah yang diyakini sebagai tempat tinggal sosok pendekar Betawi yang tersohor karena perlawanannya terhadap kompeni. Terdapat pula sanggar-sanggar, yang dikelola oleh warga Rusunawa Marunda, sebagai upaya pelestarian budaya Betawi, seperti lenong dan pencak silat. Total ada empat seniman Jakarta Biennale 2015 yang berkarya di Marunda: Aprilia Apsari, Dieneke Jansen, Post-Museum, dan Wonderyash.


JAKARTA BIENNALE 2015

MARUNDA IS KNOWN AS the location of Rusunawa Marunda, an apartment compound for lower income people. It consists of 26 blocks and each block hosts 100 units. The compound was built by the Ministry of Public Housing in 2007 as an affordable housing project for the people of Jakarta. Today, there are reportedly 4,000 Jakartans living in the compound. Marunda is also one of Jakarta’s important cultural sites. Located not far from the compound is Rumah Si Pitung—

the house believed to have been the residence of the legendary Betawi warrior, known for his valiant resistance to the Dutch colonial government. There are also studios run by the people of Rusunawa Marunda in an effort to preserve the Betawi culture, like lenong and pencak silat. There are four artists from the 2015 Jakarta Biennale who work in Marunda: Aprilia Apsari, Dieneke Jansen, PostMuseum and Wonderyash.

223


SENIMAN / ARTIST

Dieneke Jansen Aprilia Apsari Auckland

The Marunda: Dwelling on the Stoep Panggung Orang Marunda Video sembilan-kanal, instalasi Nine-channel video, installation 2015

Asih Yulia Nimbsitt Uwin Sunwarna Yanti Sunwarna

224

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

THE MARUNDA: Dwelling on the Stoep berlandas pada keinginan untuk membuka keterlibatan sosial melalui seni, yang pada perkembangannya bisa menjadi cerminan kondisi hidup di sebuah ruang hunian. Dieneke Jansen pun memutuskan untuk tinggal di rusunawa Marunda, Jakarta Utara, selama dua minggu. Selama itu pula ia merekam dan mewawancara warga setempat—melalui sebuah “panggung terbuka” yang mempersilakan warga untuk menceritakan kisah mereka di depan kamera. Kalau mau, warga pun bisa melakukan performans. Melalui proyek ini, Dieneke mengajak warga untuk berekspresi, demi membentuk artikulasi akan keseharian mereka—yang tidak lepas dari geliat ekonomi, budaya, dan politik tatanan kota. Aktivitas ini tidak saja menuturkan realitas, tapi mempertemukan seni dengan isu-isu sosial. Kamera diposisikan sebagai saksi sunyi akan peristiwa dan aktivitas warga di suatu ruang sosial. Pada hari terakhir residensi, Dieneke memutarkan hasil rekamannya selama di Marunda ke warga setempat. Para warga pun menonton diri mereka sendiri bercerita tentang ruang yang mereka huni sehari-hari. Momen ini turut Dieneke rekam. Hasil rekaman itu dikombinasikan dengan rekaman testimoni warga dalam sebuah instalasi.

THE MARUNDA: Dwelling on the Stoep is based on the intention to stimulate social involvement through art, which, in its development, can be a reflection of life in a residential space. Dieneke Jansen decided to live in the Marunda apartment blocks, North Jakarta, for two weeks. During her stay, she recorded and interviewed the residents—on an ‘open stage’ welcoming them to tell their stories in front of a camera. The residents could even do a performance. Through this project, Dieneke invited people to express themselves in order to articulate their daily lives—that are inseparable from the economic, cultural and political orders of the city. This activity not only speaks about reality, but also connects art with social issues. The camera is positioned as a silent witness to the events and activities of the people in a social space. On her last day there, Dieneke played her recording to the residents. Then they watched themselves telling stories about the space where they dwell. Dieneke also recorded this moment, which is then combined with the testimonial recordings of the residents in an installation work.

Dieneke Jansen adalah seniman dokumenter yang tinggal di Auckland, Selandia Baru. Selain kerap mengeksplorasi kemungkinan pertemuan ruang privat dan publik, fokus Dieneke adalah meneliti perkembangan perumahan; bagaimana dampak sosial timbul atas solusi pemerintah bagi warga berpenghasilan rendah. Melalui eksplorasi rekam jejak, Dieneke ingin menciptakan pertemuan estetika dengan isu-isu sosial, ekonomi dan geopolitik. Pada 2012, Dieneke Jansen melakukan residensi di CK12 di Rotterdam, dan dianugerahi New Zealand National Contemporary Art Award 2013. Ia juga seorang dosen senior di Bachelor of Visual Arts dan program Master Seni & Desain di AUT University, Selandia Baru.

Dieneke Jansen is a documentary artist residing in Auckland, New Zealand. In addition to exploring the possibilities of connecting private and public spaces, Dieneke focuses on examining housing development; how government ’s solutions for low-income citizens affect them socially. Through track record exploration, Dieneke wants to create an aesthetic connection among social, economic, and geopolitical issues. In 2012, Dieneke Jansen did a residency at CK12 in Rotterdam, and was awarded the New Zealand National Contemporary Art Award 2013 . She is also a senior professor at Bachelor of Visual Arts and Master of Art & Design at AUT University, New Zealand.

225


SENIMAN / ARTIST

Post-Museum Aprilia Apsari Singapore

DALAM PENGERTIAN UMUM, pasar dipahami sebagai tempat pertukaran nilai ekonomi: penjual menjajakan jasa atau barang, dan pembeli membeli apa yang ia butuhkan. Satu hal penting yang kerap luput dalam pengamatan ini adalah interaksi masyarakat yang berlangsung selama proses jual-beli. Really Really Free Market merupakan gerakan berskala global yang dimulai di Amerika Serikat. Sebagai gerakan anti ekonomi kapitalis, Really Really Free Market menawarkan alternatif bagi masyarakat untuk saling peduli dan berbagi, dengan menyelenggarakan pasar gratis yang menjajakan barang maupun jasa secara cuma-cuma.

Jakarta Really Really Free Market

Post-Museum membawa gagasan-gagasan tersebut dalam penyelenggaraan Jakarta Biennale 2015, dengan mengadakan Jakarta Really Really Free Market. Mereka bekerja sama dengan masyarakat di Rusun Marunda untuk proyek ini. Sebelumnya, Post-Museum telah melakukan observasi dan mempelajari

bagaimana sistem masyarakat di Rusun Marunda bekerja. Jakarta Really Really Free Market memiliki tiga 'aturan' dasar yang harus diikuti para peserta. Pertama, tidak ada transaksi jual beli atau tukar menukar di dalamnya. Kedua, masyarakat diharapkan memiliki kepedulian serta rasa ingin berbagi dan memberi. Ketiga, siapapun bisa berpastisipasi dan setiap partisipan wajib mengatur dirinya masing-masing. Sebagai sebuah peristiwa seni, Jakarta Really Really Free Market berlangsung pada waktu dan di tempat yang spesifik. Dengan pertimbangan ingin melibatkan partisipan yang lebih luas, Jakarta Really Really Free Market juga diselenggarakan di Gudang Sarinah— ruang utama pameran Jakarta Biennale 2015. Melalui proyek ini, Post-Museum membuka kemungkinan terjadinya interaksi sederhana yang lebih intens antara masyarakat melalui kegiatan saling berbagi, yang bukan hanya terkait barang, namun juga pengetahuan.

Proyek seni rupa Art project 2015

Post-Museum adalah lembaga sosial dan kebudayaan independen yang bertujuan untuk mendorong dan mendukung masyarakat yang kritis dan pro-aktif di Singapura. Sebelum membuat proyek Jakarta Really Really Free Market untuk Jakarta Biennale 2015, Post-Museum telah menyelenggarakan pasar gratis ini di berbagai kota, seperti Singapura, Fukuoka, dan London sejak 2009.

226

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Post-Museum is an independent cultural and social enterprise that aims to encourage and support a critical and pro-active community in Singapore. Before doing Jakarta Really Really Free Market for the 2015 Jakarta Biennale, Post-Museum has set up free markets in several cities, such as Singapore, Fukuoka and London, since 2009.


JAKARTA BIENNALE 2015

A MARKET IS GENERALLY perceived as a place of economic value exchange: sellers sell items or services, and buyers buy what they need. One important thing that often escapes from this observation is the interaction among people during the transaction process. Really Really Free Market is a global scale movement starting in the United States. As a movement against capitalistic economy, Really Really Free Market offers an alternative for people to care for and share with each other by setting up a free market that provides free items and services. Post-Museum brought the ideas to the 2015 Jakarta Biennale by setting up the Jakarta Really Really Free Market. For this project, they collaborated with the residents of Marunda low-cost apartment blocks. Post-Museum has observed and

studied how the societal system at the apartment works beforehand. Jakarta Really Really Free Market has three basic ‘rules’ that bind the participants. First, nothing is sold or exchanged within this area. Second, the public is encouraged to foster care and the desire to give and share. Third, everyone is free to participate and each should organize themselves. As an art event, Jakarta Really Really Free Market happens in a specific time and place. Considering a larger number of participants, Jakarta Really Really Free Market is also held at Gudang Sarinah—the main exhibition space of the 2015 Jakarta Biennale. Through this project, Post-Museum is opening up possibilities for simple and more intense interactions among the people by sharing; not only items, but also knowledge.

227


SENIMAN / ARTIST

Wonderyash Aprilia Apsari Jakarta

Happiness Seems To Be Shared Bahagia Milik Bersama

MASA KANAK-KANAK adalah masa paling indah, sekaligus masa paling berisiko, dalam hidup manusia. Pada masa itulah, seorang manusia dibentuk, yang tak jarang menentukan arah hidupnya untuk masa mendatang. Idealnya, setiap anak mendapat perlakuan terbaik, dari keluarganya maupun lingkungan tempat tinggalnya. Ketika diundang ke Rusunawa Marunda oleh Jakarta Biennale 2015, Wonderyash mengamati bagaimana kompleks hunian vertikal di Jakarta Utara itu terasa begitu kaku. Ruang hidup tersekat-sekat ke belasan lantai dalam gedung-gedung yang menjulang tinggi, sementara ruang rekreasi dan bersosialisasi hanya tersedia di lantai dasar. Wonderyash ingin memupus sedikit kekakuan itu lewat mural-muralnya. Di sejumlah dinding Rusunawa Marunda, Wonderyash menggambar sejumlah mural berisikan ekspresi kegembiraan anak-anak. Dengan pendekatan visual yang ilustratif, mural ini diharapkan bisa jadi sesuatu yang komunikatif bagi warga setempat.

CHILDHOOD IS THE MOST magical and the most crucial time in life. It is the time when a person is being groomed, which often will determine the course of her or his future. Ideally, every child should get the best treatment, from their family and their surroundings. When the 2015 Jakarta Biennale invited her to the Marunda low-cost apartment complex, Wonderyash observed that the vertical residential compound in North Jakarta is so rigid. Spaces for living are compartmentalized within tall buildings, while recreational areas and social spaces are limited to the ground floor. Wonderyash wanted to disperse the rigidness with her murals. She drew murals on some walls within the compound, narrating various children’s expressions of joy. Illustrated in bright colors and eye-catching visuals, the murals are expected to become a communicative medium for the residents.

Mural 2015

Wonderyash, terlahir sebagai Ayash Haryanto, masih tercatat sebagai mahasiswi Desain Komunikasi Visual di Universitas Trisakti. Sejak 2012, Wonderyash mulai fokus pada teknik ilustrasi dengan pendekatan warna hitam dan putih, sembari menjelajahi kemungkinan berkarya dengan pena, spidol, kuas, dan tinta Inspirasinya adalah iklan-iklan populer, poster pertunjukan musik, sampul album musik, dan komik dari era dekade 1960-1980-an.

228

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Wonderyash, born as Ayash Haryanto, is a student of Visual Communication Design at Trisakti University. Since 2012, Wonderyash has been focusing on illustrations in black-andwhite, while exploring the possibilities to work with pens, markers, paintbrushes and ink. She draws his inspiration from popular advertisements, posters of music shows, record covers and comic books from the 1960s to the 1980s.


JAKARTA BIENNALE 2015

229


SENIMAN / ARTIST

Annisa Rizkiana Rahmasari Semarang

JAKARTA BIENNALE 2015 mengundang Annisa Rizkiana Rahmasari, seniman yang aktif berkarya dengan medium zine, untuk berkarya dan membuat lokakarya bagi anak-anak di Sanggar Anak Akar. Kurang lebih ada tiga puluh anak yang ikut lokakarya selama tiga hari di Sanggar Anak Akar. Proses pembuatan zine tidak terlalu rumit, dan bisa dikerjakan dengan alat-alat yang sering kita jumpai di rumah. Annisa mengajak anak-anak menggambar menggunakan alat gambar seperti spidol dan cat air ke dalam zine berukuran kertas A5 (14,8 x 21 cm). Ia juga mengajarkan teknik kolase—dengan menempelkan potongan gambar— sebagai cara lain untuk memproduksi konten zine. Untuk memancing imajinasi para peserta lokakarya, Annisa mengajukan tiga topik turunan: sungai, cita-cita, dan rumah. Ketiga tema ini saling terkait satu sama lain, dan bisa menjadi gambaran akan masa depan dan dampak lingkungan pada kehidupan mereka sehari-hari. Karya-karya zine hasil lokakarya ini ditampilkan di Gudang Sarinah, ruang pamer utama Jakarta Biennale 2015. Pengunjung pameran dapat melihat langsung apa yang ada di benak anak-anak terkait dengan sungai, juga impian mereka akan lingkungan yang diharapkan.

Annisa Rizkiana Rahmasari lahir pada 1992 dan aktif berkarya dengan medium zine sejak 2010. Karya pertamanya adalah zine Au Revoir, tentang keseharian seorang gadis dalam dunia ceria yang absurd. Setelah Au Revoir, Annisa membuat banyak karya, di antaranya Supernova Thermomatic, Mini Zine Series, dan Koitakoi. Selain zine, Annisa juga bereksplorasi dengan medium gambar dan kolase. Pada 2015, Annisa berpartisipasi dalam pameran 'Tengok Bustaman #2 Bok Cinta Project' di Kampung Bustaman, Semarang. Kini ia sedang mempersiapkan kesibukan baru sebagai pengajar gambar di PrimaKids, sebuah kelas bermain alternatif di Semarang, dan merchandise project bersama SERRUM di Jakarta.

230

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

THE 2015 JAKARTA BIENNALE invited Annisa Rizkiana Rahmasari, an artist with a penchant for the zine medium, to organize a workshop for the children at Sanggar Anak Akar studio. Around thirty children participated in this three-day workshop. Creating a zine is easy and can be done using tools around the house. Annisa asked the children to draw using markers and watercolor pastes on the A5-sized paper (14.8x21cm). She also taught them how to create a collage—by putting together pieces of images—as another way to produce zine content. To stimulate the participants’ imagination, Annisa proposed three topics: rivers, dreams and houses. These three themes are connected, creating various narratives that can be used to understand how the children see themselves in the future, and how they imagine the environments around them will impact their daily lives. The zines produced in the workshop are displayed at Gudang Sarinah, the main exhibition venue of the 2015 Jakarta Biennale. Visitors can see what is on the children’s minds about rivers, and also their dreams for an ideal surrounding.

Annisa Rizkiana Rahmasari was born in 1992, and has been producing zines since 2010. Her first zine was Au Revoir, about the daily life of a girl in an absurdly happy world. After Au Revoir, Annisa produced many more zines, including Supernova Thermomatic, Mini Zine Series and Koitakoi. In addition to zines, Annisa also produces drawings and collages. In 2015, Annisa participated in the exhibition ' Tengok Bustaman #2 Bok Cinta Project' in Kampung Bustaman, Semarang. Currently, she is preparing for a new routine as a drawing instructor at PrimaKids, an alternative playgroup in Semarang, and for a merchandise project with SERRUM in Jakarta.


JAKARTA BIENNALE 2015

Akar Matahari Root of the Sun Zine 2015

231


SENIMAN / ARTIST

SUPERFLEX Copenhagen

SELAMA DUA PULUH MENIT, publik akan melihat sebuah restoran McDonald’s perlahan-lahan dipenuhi air, menenggelamkan gelas plastik berlogo M, baki, konter, hingga patung ikonik Ronald McDonald yang tersenyum lebar. Bencana dalam Flooded McDonald’s ini berlangsung di depan mata, tanpa embel-embel drama atau ketegangan yang memuncak layaknya film-film Hollywood. Flooded McDonald’s diproduksi SUPERFLEX menggunakan replika restoran cepat-saji populer itu yang mereka buat sendiri dari nol, sesuai ukuran dan bentuk asli yang biasa ditemui—kecuali makanan-makanan sisa, yang merupakan makanan asli. Lewat malapetaka visual ini, SUPERFLEX hendak menampilkan konsekuensi fatal dari praktik konsumerisme dan kapitalisme yang semena-mena. McDonald’s, sebagai korporat paling populer sejagat, menjadi simbolnya. Sebagai restoran cepat-saji kegemaran masyarakat, produk McDonald’s dituding berkontribusi buruk bagi kesehatan masyarakat—alasan di balik terciptanya istilah junk food. Sebagai korporat yang padat modal padat karya, McDonald’s kerap masuk berita

SUPERFLEX adalah kelompok seniman asal Denmark, yang didirikan pada 1993 oleh Jakob Fenger, Rasmus Nielsen, dan Bjørnstjerne Christiansen. Bagi SUPERFLEX, proyek kesenian merupakan alat, model, atau proposal yang dapat secara aktif digunakan atau dimodifikasi orang lain. Karya-karya SUPERFLEX pernah dipamerkan di 'The Spirit of Utopia', Whitechapel Art Gallery, London pada 2013; '9 th Gwangju Folly Project', Gwangju Biennale, pada 2013; dan '6 th Momentum Biennial', Moss, Norwegia, pada 2011.Beberapa penghargaan yang SUPERFLEX pernah terima: Red dot: Best of the Best Award, AIA Institute Honor Awards for Regional & Urban Design, serta German Landscape Architecture Prize pada 2013.

232

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

FOR TWENTY MINUTES, the public will see a McDonald’s restaurant slowly filling up with water, drowning plastic cups with the M logo on them, trays, counters, and the iconic Ronald McDonald statue with the big smile. The disaster in Flooded McDonald’s will be happening right in front of you, without suspense or escalating drama as in Hollywood films. Flooded McDonald’s is produced by SUPERFLEX, using a replica of the popular fast food restaurant chain. It is built from scratch in the size and form of the real thing—except for the leftover food, which is original. Through this visualized disaster, SUPERFLEX would like to showcase the fatal consequences of irresponsible consumerism and capitalism. McDonald’s, the world’s most popular corporation, becomes the symbol. As people’s favorite fast food restaurant, McDonald’s products have been accused of having negative contributions to the public health—the reason why the term ‘ junk food’ was coined. As a corporate entity with large-scale capital and human resources, McDonald’s has often made the news for employment cases—from low wage to excessive working hour issues. As a company

SUPERFLEX is a collective of artists from Denmark, founded in 1993 by Jakob Fenger, Rasmus Nielsen and Bjørnstjerne Christiansen. To SUPERFLEX, an art project is a tool, model or proposal that can actively be utilized or modified by other people. SUPERFLEX’s works have been exhibited at 'The Spirit of Utopia', Whitechapel Art Gallery, London in 2013; the '9 th Gwangju Biennale Folly Project', Gwangju, in 2013; and the '6 th Momentum Biennial', Moss, Norwegia, in 2011. They have received several awards, which include Red dot: Best of the Best Award, AIA Institute Honor Awards for Regional & Urban Design, and German Landscape Architecture Prize in 2013.


JAKARTA BIENNALE 2015

karena kasus-kasus ketenagakerjaan— dari upah yang rendah sampai jam kerja yang berlebihan. Sebagai pengolah hasil peternakan dan perkebunan, McDonald’s banyak dikecam karena terlibat kasus-kasus perlakuan buruk terhadap ternak, penggundulan hutan, serta produksi sampah berlebih dan metana yang merusak ozon. Flooded McDonald’s mengajak kita untuk merenungkan sejenak konsekuensi global dari pola konsumsi kita—bagaimana praktik bisnis yang abai terhadap alam dan manusia, pada akhirnya harus berhadapan dengan dampak ekologis yang dihasilkan. Tak ada pihak yang sepenuhnya salah dan benar.

that processes farming and plantation products, McDonald’s has been widely condemned for its involvement in cases of livestock abuse, deforestation, excessive waste and ozone-damaging methane production. Flooded McDonald’s invites us to take time to contemplate the global consequence of our consumption pattern—how business practices that are lacking human and environmental awareness will eventually face the ecological impacts resulted. There is no right or wrong side.

Flooded McDonald’s Banjir di McD Film 21 menit Film 21 minutes 2015

233


SENIMAN / ARTIST

Evelyn Pritt Jakarta

PORTRAITURE ATAU FOTO POTRET biasanya menampilkan ekspresi dan gerak tubuh manusia, baik individu maupun kelompok. Evelyn Pritt, yang akrab dipanggil Epel, mencoba sesuatu yang berbeda dengan membuat portraiture tentang air. Tidak seperti manusia, air tak bisa berpura-pura di depan kamera. Di berbagai tempat ia hadir, di lanskap alam maupun lingkungan buatan, perilaku air banyak dibentuk oleh tindak-tanduk manusia di sekitarnya. Bisa dibilang air adalah penanda terjujur akan kemanusiaan kita. Selama sebulan lebih, Epel mengikuti keberadaan air di tiga lokasi, yaitu Kampung Geulis di Bogor, serta Kampung Pulo dan Kampung Maja di Jakarta. Di semua lokasi, Epel memotret lanskap alam dan buatan manusia yang ‘mengurung’ air. Ia menyoroti detail pada batas pertemuan antara yang alami dan buatan. Rangkaian foto ini memetakan keragaman sifat air. Air bisa mengalir santai di satu tempat, diam tenang di tempat lain, atau berbuih di tempat lainnya. Air bisa memperlihatkan kejernihan, tapi juga bisa menunjukkan kotoran yang ia bawa sekian lama. Selama mengikuti dan memotret air, Epel menyediakan satu kaus putih untuk digunakan dan dicuci oleh para ibu di setiap lokasi. Kaus tersebut akan memberikan jawaban terkait lokasi mana yang memiliki air paling murni, dan mana yang paling kotor.

Cleanliness Kebersihan Fotografi, instalasi Dimensi bervariasi Photography, installation Various dimensions 2015

234

Melalui karya ini juga, Epel ingin secara khusus berbicara soal makna perempuan dan air. Perempuan seringkali diasosiasikan dengan pekerjaan domestik, seperti mencuci dan beberes rumah, sementara air adalah simbol pemberi kehidupan, seperti Ibu Pertiwi.

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

PORTRAITURE usually portrays human expressions and gestures, both in individual or collective sense. Evelyn Pritt, also known as Epel, has attempted something different by doing portraiture on water. Unlike humans, water cannot pretend and lie in front of the camera. In various places where water is present, be it in a natural landscape or an artificial environment, human beings around it shape the ‘behavior’ of water. We can say that water is the most honest signifier of humanity. For more than a month, Epel followed and observed water in three locations, Kampung Geulis in Bogor, Kampung Pulo and Kampung Maja in Jakarta. In all of these locations, the artist took photographs of natural and artificial landscapes that ‘contain’ water. She highlighted the details on the meeting points between the natural and the artificial. The series of photographs map out the various natures of water. Water can flow slowly at one place, be still at another or turn into foam at still another. Water can show us clarity, but it can also show the contamination it has been carrying. While following and taking photographs of water, Epel provided a white T-shirt to be worn and washed by housewives at each location. The shirts would give answers to the question: which location has the purest water and which has the most contamination. With this work, Epel also wants to specifically address the meaning of women and water. Women are often associated with domestic chores, like laundry and house cleaning, while water is the symbol of life provider, like Mother Nature.


JAKARTA BIENNALE 2015

Evelyn Pritt adalah fotografer yang aktif mengerjakan beberapa proyek fotografi personal mengenai alam. Ia belajar fotografi secara otodidak dan mengikuti beberapa lokakarya fotografi. Ketika pertama kali terlibat dalam pameran foto pada 1994, ia adalah peserta termuda. Lokakarya dan pameran foto itu bertajuk ‘Kota Kita I’ dan dikuratori oleh Yudhi Soerjoatmodjo dan Oscar Motuloh. Selain itu, ia beberapa kali terlibat dalam pameran kelompok, seperti dalam ‘Mata Perempuan, Seharusnya’ (2005) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta; ‘Lalu Kini Nanti’ (2004) di Goethe--Institut, Jakarta; dan di ‘Jakarta International Photo Summit’ (2014) di Galeri Nasional Indonesia.

235

Evelyn Pritt is a photographer who actively pursues personal photography projects on nature. She has no formal education in photography but she has participated in several photography workshops. She was the youngest photographer in her first exhibition in 1994; the workshop and exhibition were entitled ‘Kota Kita I’, curated by Yudhi Soerjoatmodjo and Oscar Motuloh. In addition, she has participated in several group exhibitions, including ‘Mata Perempuan, Seharusnya’ (2005) at Taman Ismail Marzuki, Jakarta; ‘Lalu Kini Nanti’ (2004) at Goethe-Institut, Jakarta; and ‘Jakarta International Photo Summit’ (2014) at the National Gallery of Indonesia.


SENIMAN / ARTIST

Renzo Martens Amsterdam

Episode III 90 menit 90 minutes 2008

EPISODE III, dengan sub-judul Enjoy Poverty, merekam perjalanan Renzo Martens di Kongo—negara Afrika yang langganan dilanda krisis kemanusiaan selama beberapa dekade. Bagi seniman asal Belanda ini, media Barat dan lembaga bantuan kemanusiaan selama ini menarasikan krisis di Kongo dalam perspektif yang terlampau sempit. Kata kunci yang rajin digulirkan: “kemiskinan”. Citraan tragis ini praktis menjadi ekspor Kongo yang paling menghasilkan secara finansial. Kongo sendiri bukannya tak berpunya. Tanahnya subur—banyak perkebunan komersil di sana. Belum lagi emas dan intan yang terkandung dalam bumi, dan ikan-ikan yang bersemayam di perairan mereka. Sayangnya, layaknya hasil ekspor produk alam, pundi-pundi uang dari segala kampanye kemanusiaan ini juga tak terjangkau oleh warga Kongo. Mereka dieksploitasi habis-habisan, oleh raja-raja setempat maupun oleh tamu-tamu yang konon berniat membantu. Renzo sadar dirinya hanya mampu berkontribusi secara simbolis—terlalu banyak permainan kuasa yang harus ia urai untuk benar-benar bisa membantu warga Kongo. Jadilah ia mengadakan

Renzo Martens menempuh pendidikan ilmu politik dan seni di Gerrit Rietveld Academie di Amsterdam dan Koninklijke Academie voor Schone Kunsten di Antwerp. Karya Renzo dipamerkan antara lain di Van Abbemuseum, Eindhoven; Stedelijk Museum, Amsterdam; De Hallen Haarlem; the 6 th and 7 th Berlin Biennales, Tate Modern, London; the '19 th Biennial of Sydney'; 'The Box', Los Angeles; Centre Pompidou, Paris; Kunsthaus Graz, Graz; Göteborgs Konsthall, Gothenburg; WIELS, Brussel and Stedelijk Museum Bureau, Amsterdam. Pada 2012, Renzo mendirikan Institute for Human Activities (IHA) di Kongo. Martens juga terpilih menerima Yale World Fellows pada 2013.

236

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

EPISODE III, with the subtitle Enjoy Poverty, documented Renzo Martens’ journey in Congo—a country in Africa repeatedly dealing with crisis of humanity for the past few decades. To the Dutch artist, the Western media and human aid organizations have been offering all too narrow perspectives in their Congo narratives. The keyword that constantly comes up: ‘poverty’. This tragic representation is practically Congo’s financially most lucrative export. Congo is by no means a poor country. Its land is fertile—it hosts many commercial plantations. It also has rich natural resources, like gold and diamond, and resources in its waters, like fish. Unfortunately, as is the case of their natural exports, the funds raised by all the humanity campaigns never really reach the people of Congo. They are just subjects of exploitation by local kings and supposedly helpful foreign guests. Renzo is aware that he can only contribute in a symbolic way—there is too much power play to deal with to actually help the people of Congo. So he held an emancipation program to teach the underprivileged to gain benefits from their biggest resource: poverty.

Renzo Martens studied art and political science at the Gerrit Rietveld Academie in Amsterdam and Koninklijke Academie voor Schone Kunsten in Antwerp. His works have been exhibited at the Van Abbemuseum, Eindhoven; Stedelijk Museum, Amsterdam; De Hallen Haarlem; the 6 th and 7 th Berlin Biennales, Tate Modern, London; the '19 th Biennial of Sydney'; 'The Box', Los Angeles; Centre Pompidou, Paris; Kunsthaus Graz, Graz; Göteborgs Konsthall, Gothenburg; WIELS, Brussel; and Stedelijk Museum Bureau Amsterdam. In 2012, Martens founded Institute for Human Activities (IHA) in Congo. He is also a recipient of the Yale World Fellows in 2013.


JAKARTA BIENNALE 2015

sebuah program emansipasi, untuk mengajarkan kaum fakir cara mengambil untung dari sumber daya terbesar mereka: kemiskinan. Renzo mengajak warga-warga setempat untuk belajar fotografi. Subjek yang disasar spesifik: suasana perang dan bencana, yang selama ini jadi komoditas utama media Barat. Sang seniman juga mengemas sebuah neon sign dalam kerangka besi, yang ia bawa keliling melintasi hutan melalui jasa kurir sewaan. Papan itu bertuliskan "Enjoy Poverty"—ajakan bagi warga Kongo untuk menikmati hasil dari tanah mereka sendiri, buah dari tangan dan keringat mereka selama ini.

Renzo invited locals to learn photography. The subject is very specific: war and disaster, the main commodities highlighted by Western media. The artist also packed a neon sign inside a metal grating which he carried with him across forests using a rented courier service. The sign reads ‘Enjoy Poverty’—a call for the people of Congo to enjoy the fruits of their own land and hard work.

Renzo Martens, Episode III, 2008. © Galerie Fons Welters, Amsterdam, KOW, Berlin, The Box, LA.

237


SENIMAN / ARTIST

Cut Putri

PAS E B AN

Banda Aceh

Saling Pancing Fishing Together Mural 2015

Cut Putri Ayasofya lahir di Banda Aceh pada 1991. Saat ini Cut terdaftar sebagai mahasiswi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. Selain aktif menggambar dan melakukan proyek mural, Cut juga merupakan salah satu pendiri Panyoet, Klub Komik Aceh, yang aktif berkegiatan sejak 2011.

238

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Cut Putri Ayasofya was born in Banda Aceh in 1991. She is now a student at Ar-Raniry Islamic State University. In addition to drawing and doing mural projects, Cut is also a co-founder of Panyoet, a Aceh Comic Club, established in 2011.


JAKARTA BIENNALE 2015

BERADA DI TENGAH-TENGAH pusat Jakarta, daerah Paseban menawarkan perspektif lain dalam memandang kehidupan ibukota. Mulai dari orang-orang buta huruf, anak terlantar, sampai persoalan prostitusi yang jadi santapan sehari-sehari, semuanya terasa kontradiktif—bahkan ironis—dengan segala modernitas dan kemegahan Jakarta. Irawita, seniman teater perempuan yang tinggal di Paseban, adalah salah satu saksi matanya. Ia bercerita bagaimana kesulitan ekonomi dan keterbatasan pengetahuan membuat sebagian warga Paseban hidup untuk hari ini saja, tanpa mempertimbangkan konsekuensinya bagi kehidupan mereka di masa mendatang. Kondisi yang sudah pelik ini diperparah oleh televisi, media yang banyak dikonsumsi oleh warga Paseban, yang setiap harinya getol memproduksi ilusi tentang konsumerisme dan ketergantungan terhadap barang-barang. Pertemuan Irawita dengan Cut Putri Ayasofya, seniman perempuan asal Aceh yang melakukan residensi di Paseban, berujung pada sebuah proyek mural dan teater anak. Karya ini merupakan rangkuman akan cerita sehari-hari anak-anak Paseban, termasuk di dalamnya relasi mereka dengan televisi. Beberapa elemen visual dalam mural mewakili kenyataan di Paseban, semisal televisi, anak-anak, dan ekspresi kemurungan warga. Mural ini akan bertempat di depan sebuah Pendidikan Anak Usia Dini Paseban— pengerjaan karyanya sendiri melibatkan warga dan anak-anak setempat. Selain itu, Cut Putri juga membuat mural di area Gudang Sarinah, ruang pameran utama Jakarta Biennale 2015.

LOCATED AT THE CENTER of Jakarta, the Paseban area offers a new perspective in observing lives in the capital. In Paseban, illiterate people, abandoned children and prostitution are common. Everything is so contradictory— ironic, even — to all of Jakarta’s glory. Irawita, a female theater artist living in Paseban, is a witness to all this. She sees and tells how the Paseban people tend to live today, without considering its consquences for their future, due to economic challenges and knowledge limitations. This condition is exacerbated by television, the popular medium among the people in Paseban, which produces illusions of consumerism and dependency on material things on a daily basis. Irawita’s encounter with Cut Putri Ayasofya, a female artist from Aceh who did a residency in Paseban, led them to a project of mural and children's theatre. The work summarizes the daily stories of the Paseban children, including their daily consumption of television. Some visual elements in the mural represent the reality in Paseban, such as television, children and the people’s somber expressions. The mural, created through collaboration between Cut Putri and the local residents, is located in front of an education center for children. Cut Putri also created mural in Gudang Sarinah area, the main exhibition of 2015 Jakarta Biennale.

239


L O K A S I / L O C AT I O N

S I T U S D A N K O M U N I TA S

Paseban, Jakarta Pusat SENEN ADALAH JANTUNG ibukota yang tidak pernah berhenti berdetak. Sebagai salah satu titik pemberhentian kereta api antarkota dan dalamkota, Senen adalah pemandangan pertama para perantau yang ingin mengadu nasib di Jakarta, juga pemandangan rutin jutaan warga ibukota yang berupaya menyambung hidup. Setiap harinya mereka larut dalam aktivitas tempat-tempat usaha yang memenuhi setiap jengkal Senen: dari kaki lima, pasar, toko, pusat perbelanjaan, sampai tempat hiburan.

240

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Senen jugalah imbas dari pembangunan ibukota yang tidak padu. Terletak tidak jauh dari pusat Jakarta, Senen setiap harinya berurusan dengan persoalan preman, prostitusi, tukang copet, tukang jambret, anak-anak terlantar, sampai orang-orang buta huruf. Kontras dengan segala citraan modern dan glamor ibukota. Paseban adalah miniatur dari segala hiruk-pikuk daerah Senen. Cut Putri—seniman Jakarta Biennale 2015—berkarya di wilayah ini bersama seniman dan masyarakat setempat.


JAKARTA BIENNALE 2015

SENEN IS THE ever-vibrant heart of the capital. As one of the stopping points of both the intercity and inner city trains, Senen is the first glimpse of Jakarta seen by the migrants coming to the city searching for better lives. It is also the view that millions of Jakartans see every day on their way to and from work. Every day, they are immersed in the activities of the business enterprises on every corner of Senen: streetside vendors, markets, shops, malls and entertainment joints.

Senen is also an excess of Jakarta’s uneven development. Located at a close distance from the very center of Jakarta, Senen deals with thugs, prostitutes, thieves, muggers, abandoned children and illiterate people on a daily basis. It is a complete contrast to the modern and glamorous imagery of Jakarta. Paseban is the miniature of the hustle and bustle that is Senen. Cut Putri—an artist from the 2015 Jakarta Biennale— worked in the area with local artists and residents.

241


SENIMAN / ARTIST

Cooperativa Cráter Invertido Mexico City

Today Hari Ini Cetak digital 350 x 250 cm Digital print 350 x 250 cm 2015

Wall Calendar Kalender Dinding Cetak digital 27 x 25 cm Digital print 27 x 25 cm 2015

242

TODAY ADALAH SEBUAH kalender berukuran 80 x 100 cm, tertanggal 14 November 2015 hingga 17 Januari 2016. Kalender ini menampilkan 65 potongan gambar yang dibuat secara kolektif, yang jika disatukan akan membentuk sebuah gambar utuh. Masing-masing gambar memiliki pemaknaannya sendiri, terkait dengan ruang dan waktu. Setiap hari, staf Jakarta Biennale 2015 membalik satu halaman kalender, membuka potongan momen baru. Sekelompok seniman ini mencoba memberikan jeda bagi publik untuk ‘membaca’ gambar satu per satu. Gambar-gambarnya sendiri berasal dari pemikiran soal bagaimana sebuah imajinasi dan visi kolektif beroperasi dalam satu gambar, menyatu di atas selembar kertas.

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

TODAY IS A CALENDAR, sized 80x100cm and dated 14 November 2015 to 17 January 2016. It displays 65 pieces of an image, which forms one whole image when put together. Each piece of the image has its own meaning in relation to space and time. Every day the 2015 Jakarta Biennale staff members turns one page of the calendar, opening a new moment. This group of artists tries to provide a pause between one image and the next for the public to ‘read’ the images one by one. These images originated from the idea of how collective imaginations and visions operate in one image, united on a piece of paper.


JAKARTA BIENNALE 2015

Selain Today, mereka juga mencetak Wall Calendar dalam jumlah terbatas. Kalendar ini tidak terpaku oleh hari, bulan, tahun atau apapun yang merupakan strukturisasi waktu. Sebaliknya, kalendar ini menampilkan ritme dan struktur dari berbagai gambar—masing-masing menggambarkan transformasi yang terjadi setiap hari, perkembangan sebuah ide, juga proses terbentuknya sebuah gagasan yang lengkap.

Besides Today, they also issued the Wall Calendar in limited quantity. The calendar does not display days, months, years, or any other time structure. Instead, it displays rhythms and structures of various images—each of them depicting daily transformation, development of ideas, and also the process in which a complete idea is formed.

Cooperativa Cráter Invertido adalah sebuah kolektif yang lahir dan bekerja di Mexico City sejak 2011. Kelompok ini terdiri dari sebelas anggota yang belajar otodidak tentang seni visual. Mereka juga merupakan wadah untuk proyekproyek multidisiplin, forum untuk berbagai acara, dan ruang pameran. Mereka turut berpartisipasi dalam penciptaan jaringan editorial independen di Meksiko.

Cooperativa Cráter Invertido is a collective founded and operating in Mexico City since 2011. The collective has 11 members who studied art informally. They also facilitate multidisciplinary projects, event forums and exhibition spaces. They participate in the creation of the independent editorial network in Mexico.

243



Program Publik Public Program


EDU KAS I PU BL IK / PU BL IC EDU CATIO N

Seni Rupa Kita

Our Art

Edukasi Publik Jakarta Biennale 2015

Jakarta Biennale 2015 Public Education

Edukasi Publik Jakarta Biennale 2015, sebagai salah satu program utama Yayasan Jakarta Biennale, berfokus pada misi “Menciptakan generasi yang paham seni rupa Indonesia.” Misi ini berusaha dicapai melalui distribusi pengetahuan dasar seni rupa bagi masyarakat umum, khususnya kelompok usia pelajar sekolah menengah atas.

This year’s Jakarta Biennale 2015 Public Education, one of the main programs of the Jakarta Biennale Foundation, has the mission “Creating a generation with an understanding toward Indonesian art.” One attempt to achieve this mission is by disseminating basic information on art to the public, particularly to senior high school students.

Pengetahuan dasar seni rupa yang disebarluaskan meliputi rentang waktu sejarah dan perkembangan seni rupa Indonesia, definisi dan karakter seni rupa Indonesia, medium dan bentuk-bentuk seni rupa, ekosistem dan industri seni rupa Indonesia, serta pelaku dan karya-karya seni rupa Indonesia.

The basic information includes the historical timeline and the development of Indonesian art, the definition and characters of Indonesian art, art media and forms, Indonesian art ecosystem and industry, and Indonesian art practitioners and their works.

Diharapkan proses penyebaran pengetahuan dasar di atas bisa menjadi jembatan pemahaman antara publik dengan kegiatan dan karya-karya seni rupa. Jembatan pemahaman ini dirasa perlu berdasarkan pengamatan dan survei yang pernah dilakukan sebelumnya, bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia ingin mengetahui lebih banyak tentang seni rupa Indonesia tapi tidak tahu di mana bisa mendapat informasinya. Fokus pada kelompok usia SMA ini dilakukan dengan tujuan membuat pengetahuan seni rupa menjadi pengetahuan umum pada generasi tersebut. Diharapkan setelah mereka memilih jalur profesi masing-masing, pengetahuan tersebut menyertai mereka sebagai alat pendekatan pada budaya seni rupa milik bangsa mereka sendiri— seni rupa kita.

246

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

This program is expected to bridge public understanding and art activities and works. It is deemed necessary because observations and surveys show that most Indonesians would like to know more about art but they don’t know where to get the information. The focus on high school students aims at making art a general knowledge for this generation. As they decide on the profession of their choice, the knowledge will work as a tool to approach the culture of art of their own country.


JAKARTA BIENNALE 2015

Proses distribusi pengetahuan di atas menggunakan tiga media utama: Buku Seni Rupa Kita, Duta Seni, dan Lokakarya dan Tur Jakarta Biennale 2015. Konten buku Seni Rupa Kita dan kegiatan-kegiatan Duta Seni serta lokakarya dan tur juga bisa dilihat lewat Instagram @senirupakita.

Buku Seni Rupa Kita dirancang untuk memuat pengetahuan dasar seni rupa yang disampaikan secara santai dan ilustratif. Buku ini ditujukan bagi kaum remaja dan publik yang ingin mengetahui lebih banyak tentang seni rupa. Kebutuhan akan adanya pengetahuan dasar yang lengkap dan tepat menjadi pemicu diterbitkannya buku ini, yang didistribusikan ke seribu sekolah menengah atas di Jakarta secara gratis, dan juga bisa diunduh secara gratis dalam bentuk format PDF di situs www.jakartabiennale.net. Untuk melengkapi rancangan buku Seni Rupa Kita, Tim Edukasi Publik JB 2015 telah mengadakan kegiatan Lab Guru pada awal 2015. Dalam Lab Guru, beberapa guru seni rupa sekolah menengah di Jakarta dilibatkan dalam diskusi untuk merumuskan permasalahan dan potensi dalam proses belajar-mengajar seni rupa, juga untuk mengidentifikasi kelengkapan dan ketepatan isi buku-buku seni rupa yang digunakan di sekolah-sekolah menengah atas. Selain itu, isi buku Seni Rupa Kita juga ditulis dengan mengacu pada Cetak Biru Seni Rupa Indonesia – Rencana Pengembangan Seni Rupa Nasional. Riset, perancangan, dan penulisan isi Cetak Biru Seni Rupa Indonesia yang difasilitasi oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia pada 2014 itu melibatkan sekitar empat puluh orang pelaku kompeten seni rupa Indonesia dalam serangkaian forum diskusi dan wawancara mendalam. Kesimpulan yang didapat dari Lab Guru dan survei-survei Tim Edukasi Publik lainnya menentukan cara penyampaian isi yang baru dan lebih ramah bagi pembaca usia sekolah serta masyarakat umum.

247

The information distribution uses three main media: the book Seni Rupa Kita (Our Art), Art Ambassadors and the Jakarta Biennale Workshop and Tour. The content of Our Art and the activities of the Art Ambassadors as well as the workshop and the tour can be seen on the Instagram account @senirupakita.

Our Art features the basic art knowledge in a casual and illustrative way. The book is aimed at teenagers and public who would like to know more about art. The need for thorough and accurate information about art was the reason behind the publication of this book, which is distributed to 1,000 high schools in Jakarta for free and can also be downloaded for free in PDF format at www.jakartabiennale.net. To complete the book, the JB 2015’s Public Education Team conducted Teachers Lab in early 2015, where a number of art teachers in Jakarta got together and identified the problems and potentials in teaching and learning art while also checking the completion and accuracy of art text books used at high schools. The content of Our Art refers to Indonesian Art Blueprint – The National Art Development Plan. The blueprints’ research, design, and content were facilitated by the Ministry of Tourism and Creative Economy in 2014 through Focus Group Discussions and in-depth interviews with 40 competent art practitioners. The conclusions derived from the Teachers Lab and other surveys conducted by the Public Education program have led to newer, more accessible content for students and the public in general.

Buku Seni Rupa Kita Our Art


EDU KAS I PU BL IK / PU BL IC EDU CATIO N

DUTA SENI JAKARTA BIENNALE JAKARTA BIENNALE ART AMBASSADORS

Duta Seni Jakarta Biennale adalah murid SMA yang diseleksi oleh guruguru dan Tim Edukasi Publik untuk menciptakan proyek komunikasi kreatif sebagai alat distribusi pengetahuan seni rupa di sekolahnya maupun di kalangan kelompok usia sebayanya. Kriteria pemilihannya adalah minat murid terhadap seni rupa dan potensi untuk mengembangkan diri lewat program ini. Pada 2015 ini dipilih delapan belas murid SMA, yang disertai guru pembimbing mereka dari sepuluh sekolah menengah atas di Jakarta. Para Duta Seni ini mengikuti tiga lokakarya dan pembimbingan individual untuk menggali pengetahuan tentang seni rupa. Mereka juga melakukan interaksi langsung dengan para seniman dan pekerja seni rupa Indonesia. Beberapa di antara mereka aktif dalam menyalurkan bakat dan pengetahuan lewat inisiasi mereka dalam acara Hai Day 2015, yang diselenggarakan oleh majalah Hai, salah satu pendukung sosialisasi Seni Rupa Kita, pada 10-11 Oktober 2015. Tak hanya itu, para Duta Seni juga terlibat dalam penciptaan gimmick kreatif, “Air Seni”, yaitu produk infused water yang dijual sebagai salah satu usaha sosialisasi kreatif tentang Jakarta Biennale 2015 dan proyek Seni Rupa Kita. Logo dan tata letak produk ini adalah hasil kolaborasi antara Joviana Henza (SMAK 1) dan Insan Fadhil (Lab School Rawamangun). Pada akhir program Edukasi Publik, para Duta Seni diminta untuk menciptakan proyek distribusi pengetahuan seni rupa berdasarkan apa yang mereka pelajari selama lokakarya dan pembimbingan. Proyek itu bisa berupa: proyek interaktif

248

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Jakarta Biennale Art Ambassadors are senior high school students selected by the teachers and Public Education Team to build creative communication project as a tool to distribute art knowledge in their schools and among their peers. The selection was based on the students’ interest in art and their potential to grow through this program. Eighteen students were picked along with their mentors from ten senior high schools in Jakarta this year. The Art Ambassadors attended three workshops and individual coaching to learn more about art. They also interacted with artists and art workers in the country. Some of them showcased their talents and knowledge during Hai Day 2015 held by Hai magazine, a sponsor of Our Art campaign, on 10-11 October 2015. Moreover, the Ambassadors were also involved in the production of creative gimmick ‘Art Water’, an infused water sold as a part of the creative campaign about the Jakarta Biennale and Our Art project. The product’s logo and layout was a collaborative work between Joviana Henza (SMAK 1, a vocational high school) and Insan Fadhil (Lab School Ramawangun High School). At the end of the Public Education program, the Art Ambassadors were asked to create an art knowledge distribution project based on what they had learned during the workshop and the coaching. It can be an interactive project with their friends, such as a workshop and discussion at school; articles or a magazine; collaborative artwork with their schoolmates; or other creative projects involving their friends at schools or other peers.


JAKARTA BIENNALE 2015

dengan melibatkan teman-teman sekolah, misalnya lokakarya, diskusi, dll, yang diadakan di sekolah; tulisan atau majalah; karya seni kolaborasi dengan teman-teman sekolah; proyek kreatif lainnya yang melibatkan teman-teman di sekolah maupun kelompok usia sebaya di luar sekolah.

The projects arepresented at each school, at Gudang Sarinah in December 2015, and can be downloaded at www. jakartabiennale.net.

Hasil proyek tersebut dipresentasikan di sekolah masing-masing, di Gudang Sarinah pada Desember 2015, dan dapat diunduh di situs www.jakartabiennale.net.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

DUTA SENI / ART AMBASSADORS

S MA / S E NI O R HI GH S CHO O L

M. Erlangga Putra

SMA 8

Losania Venanda

SMA 8

Joviana Henza

SMAK 1

Wilnie Chua

SMAK 1

Kalisha Tambunan

Global Jaya

Ramadanti Putri Dewi Rachman

SMA Diponegoro

Izzuddin Muhammadsyah

SMA Diponegoro

Nawwaf Husein Supria

SMA 29

Tsany Afifah Saribanan

SMA 29

Adhitanto Nabil Sabirin

SMA 87

Muhamad Alip Noor

SMA 87

Insan Fadhil

LAB School Rawamangun

Rahma Dhianti Chairunnisa

LAB School Rawamangun

Nadifa Hasnasari

ESOA

Laeticia Viorentine

ESOA

Alifi Adam

SMAN 110

Maulana Giffari

SMAN 110

Audrey Febrina

Ichthus South

249


EDU KAS I SEBL NIIK RU/PA K ITA PU

PU BL IC EDU CATIO N

250

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

251


EDU KAS I PU BL IK / PU BL IC EDU CATIO N

LOKAKARYA PUBLIK DAN TUR JAKARTA BIENNALE JAKARTA BIENNALE PUBLIC WORKSHOP AND TOUR

Serangkaian tur dan lokakarya publik dirancang sebagai pelengkap dan sarana untuk menjembatani karya seni dengan penontonnya.

The Jakarta Biennale 2015 organizes a series of workshops and tours to provide a guided viewing experience for the public.

Lokakarya berjudul “Apa sih Seni Rupa itu?” menjelaskan tentang pengetahuan dasar seni rupa, seperti sejarah dan perkembangan seni rupa Indonesia, definisi dan medium seni rupa, serta ekosistem seni rupa. Lokakarya ini akan didampingi dengan berbagai lokakarya untuk eksplorasi medium, memberi kesempatan bagi peserta untuk belajar lebih dalam tentang penggunaan medium tertentu.

The “What is art?” workshop shares about the basic knowledge of art, such as the history of art in Indonesia, the scope of art medium and practices, and the art ecosystem— from galleries, art fairs, auction houses, communities, to biennales. This workshop is accompanied several other workshops on exploring art medium, providing opportunities for the participants to learn how to create artworks from various medium.

Sedangkan tur Jakarta Biennale 2015 ini ditujukan untuk memberi pengalaman menikmati pameran, dengan pemandu yang sesuai dengan jenis pengunjung yang hadir. Tahun ini program tur Jakarta Biennale dibagi menjadi beberapa bagian:

Setiap kelompok tur terdiri atas paling banyak 20 orang. Kami juga mengundang sekolah-sekolah di Jakarta dan sekitarnya untuk berkunjung pada hari-hari biasa. Tur diadakan setiap akhir pekan, kecuali pada minggu-minggu Natal dan Tahun Baru. Jadwal, info, dan peraturan pendaftaran secara lebih terperinci bisa dilihat di situs www.jakartabiennale.net.

252

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

The tour is intended to provide opportunities for the public, to enjoy the exhibition spaces in Jakarta Biennale 2015 with guides selected for specific age groups. This year, the Jakarta Biennale 2015 tours are divided into several sessions:

The tour is organized every weekend, except during Christmas and New Year weeks. Each tour group should consist of maximum 20 people. We also invite schools in Jakarta and Greater Jakarta to have a visits on school days. For schedule, registration and more information, take a look at www.jakartabiennale.net.


JAKARTA BIENNALE 2015

1. Tur oleh para kurator ditujukan untuk publik berumur 15 tahun ke atas. 2. Tur anak-anak dan keluarga ditujukan untuk anak-anak berusia 5-12 tahun beserta orangtua ataupun guru. Tur ini melibatkan lokakarya dan aktivitas lain dengan beberapa karya seni Jakarta Biennale yang dikurasi khusus untuk berinteraksi dengan anak-anak. 3. Tur Sekolah Menengah ditujukan untuk anak-anak usia sekolah menengah usia 13-18 tahun, yang akan dipandu oleh para Duta Seni Jakarta Biennale 2015. Tur ini juga akan melibatkan lokakarya dan aktifitas dengan beberapa karya seni 4. Tur Mahasiswa ditujukan khusus untuk mahasiswa, berfokus pada kajian tentang konteks seni rupa di masyarakat.

1. Tour with the curators for people aged 15 and above. 2. Children and family tour or children aged 5-12 and their parents or teachers, guided by the Duta Seni of Jakarta Biennale 2015. The tour consists of workshops and other activities, and presents several Jakarta Biennale artworks curated especially for interactive activities with children. 3. High School tour for students aged 13-18 years, guided by Jakarta Biennale Art Ambassadors. This tour also includes workshops, other activities, and art works presentation. 4. Tour for university students; focusing on the context of artworks and art practices in society.

253


Akademi Maju Kena Mundur Kena & Simposium Makan Nggak Makan Asal Kumpul

PROGRAM PUBLIK/ PUBLIC PROGRAMS

AKADEMI MAJU KENA MUNDUR KENA MAJU KENA MUNDUR KENA ACADEMY 16-30 November 2015 Terbuka untuk publik dengan pendaftaran

254

Terbuka untuk publik dengan pendaftaran Akademi Maju Kena Mundur Kena (MKMK), hasil kerjasama Jakarta Biennale dan Institut ruangrupa, adalah sebuah Zona Pertukaran Sementara—ruang singgah untuk berbagi cerita, wawasan, dan cara pandang. Lewat Akademi ini, Jakarta Biennale 2015 melebarkan fungsinya, dari pameran seni rupa menjadi gudang pengetahuan dan pengalaman artistik. Perhelatan dua tahunan ini menjadi titik temu antara seniman, kurator, peneliti, dan beberapa undangan terpilih dengan khalayak lewat serangkaian pertemuan, diskusi, dan lokakarya.

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Maju Kena Mundur Kena Academy and Makan Nggak Makan Kumpul Symposium

Maju Kena Mundur Kena (MKMK, or Neither Forward nor Back) Academy, an initiative inaugurated by Jakarta Biennale and Institut ruangrupa, is a Temporary Exchange Zone— a platform where selected international participants can share their personal and artistic narratives, transfer their knowledge and possibly transpose their subjectivities. The temporary Academy make use of the Biennale as a repository of knowledge and artistic experience. The 2015 Jakarta Biennale serves as a meeting point between artists, curators, researchers, and other cultural producers through public sessions and more intimate workshops of various durations.


Selama dua minggu, Akademi MKMK membahas karya-karya seni dan pengaruhnya secara luas dari sudut pandang sosial, lingkungan, dan perubahan kota. Fokusnya adalah topiktopik yang jadi sorotan Jakarta Biennale 2015: sejarah kebersamaan kosmopolitan, politik air sebagai jalan masuk aktivisme kota, dan perempuan dalam hubungan antara gender, iman, dan perjuangan kelas di negara-negara dunia bagian Selatan. Akademi MKMK akan membentuk “kumpulan” baru yang terdiri atas 20-25 peserta terpilih dari Indonesia, negaranegara Asia Tenggara, dan bagian Selatan dunia lewat jaringan Arts Collaboratory. “Kumpulan” ini akan dipilih lewat proses undangan dan open call. Para anggotanya akan bekerja bersama untuk membentuk sebuah instalasi ruangan di area depan gedung Jakarta Biennale 2015. Lewat kelompok belajar ini, sebuah “kebersamaan terpaksa” pun hadir. Keadaan ini memantik refleksi tentang arti bekerja dalam sebuah kondisi serba tak mungkin. Lebih jauh lagi, tugas kumpulan baru ini adalah meninjau kebersamaan dan kolektivitas berdasarkan keragaman latar belakang setiap peserta yang ada. Di lain pihak, sudah saatnya kita mempertanyakan kembali arti kebersamaan—yang perayaannya bisa kita lihat dari maraknya pola berkumpul untuk membentuk kolektif-kolektif kesenian di Indonesia dalam dua dekade terakhir. Akademi MKMK mengembangkan beberapa metode, dengan sesi diskusi, kerja bersama, ceramah, dan debat di beberapa titik di Jakarta. Akademi MKMK juga akan mengunjungi Desa Cigondewa-nya Tisna Sanjaya dan Jatiwangi Art Factory, yang bekerja dalam konteks Jawa Barat yang sedang diterjang urbanisasi. Pada akhir program, para peserta Akademi MKMK menghasilkan sebuah

For two weeks, MKMK Academy discuss the exhibited artworks and their broad implications in terms of social agency, urban change, environmental crisis, and art. The discussions will inevitably focus on some of the main topics addressed by the 2015 Jakarta Biennale: the history of cosmopolitan collectivism, the politics of water as an entry point to urban activism, and the inequality against women with regard to relations between gender, faith, and class struggle—all using cases from several megalopolises in the global South. The Academy forms a new “collective”, consisting of twenty participants from Indonesia, Southeast Asian countries, and Global South countries through the Arts Collaboratory network. The participants are partly gathered through invitation and partly through an open-call process. They all have the chance to work together on a spatial installation within the introduction and discursive areas of the 2015 Jakarta Biennale. This newly formed collective inevitably reflects on its “forced togetherness” as a way to think through what it is to work and be together in an apparently functioning impossibility, that is responsible for the existence of every collective we know. Further, the task of this newly formed collective is to critically reflect on the urgency or otherwise of togetherness, collectivity, and collectivism from the contexts of each of the participants. There will also be a push to critically revisit the contemporary idea of collectivity and collectivism—a model that has come to dominate the Indonesian art scene in the last 15-20 years, and that has perhaps been too easily celebrated rather than scrutinized. MKMK Academy seeks to develop open formats through a series of discussions, working sessions, lectures

JAKARTA BIENNALE 2015

255


PROGRAM PUBLIK/ PUBLIC PROGRAMS

daftar yang berisi sepuluh etika dan sifat utama kebersamaan, kolektivitas, dan pembentukan kedua hal tersebut. Daftar ini menawarkan sebuah model praktik seni kebersamaan, yang dapat melampaui batasan-batasan kerja perseorangan— sejalan dengan kebutuhan dunia seni saat ini akan karya-karya yang bisa membebaskan dan memberi kemampuan lebih pada komunitas. Hasil dari proses penciptaan pengetahuan coba-coba ini akan disajikan ke publik lewat hasil rekaman yang ekstensif dalam kompleks bangunan utama Jakarta Biennale 2015. Publik bebas mengartikan kembali hasil yang tersaji, untuk mengembangkan pola pendidikan mereka masing-masing di kemudian hari. Info: akademi@jakartabiennale.net www.jakartabiennale.net

and exchanges of opinion in a variety of Jakarta locations and configurations. The MKMK Academy will further visit Tisna Sanjaya’s Cigondewa village and Jatiwangi Art Factory—both working in the context of urbanizing West Java. To end the whole process, participants of MKMK Academy produce a list of ten ethics and principals, as criteria for collectivism, collectivity, and forming togetherness. This will be distributed as a work-in-progress model of possible collective art practice, that could tackle the limitations faced by each of the participants when they act as individuals. In an art world in which the market dominates, there is a dire need for purposeful works, which emancipate and enable certain agencies for communities, as a way to create a tension between the need for ethical behavior and the comfort of the market. The results of this experiment of knowledge production are presented to the public through extensive recordings of the whole process in Jakarta Biennale 2015 main venue. The public is free to interpret the results, and hopefully come up with their own models of education as a consequence.

256

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


Selain Akademi MKMK yang khusus diperuntukkan bagi para peserta, inisiatif ini juga menyelenggarakan program simposium empat hari berjudul Makan Nggak Makan Asal Kumpul yang terbuka untuk umum. Simposium ini mengundang beberapa tokoh kunci dan sejumlah pekerja seni—meliputi seniman, kurator, kritikus—untuk membicarakan topiktopik kunci Jakarta Biennale 2015 di sebuah ruang diskusi terbuka. Program simposium ini akan berlangsung dalam Bahasa Indonesia dan Inggris, dengan layanan penerjemahan simultan.

Alongside the closed sessions for MKMK Academy participants, a major part of the whole two-week Academy is a four-day public Symposium program entitled Makan Nggak Makan Asal Kumpul (to eat or not to eat, as long as together). The symposium invited key intellectuals, artistis, curators, and other art workers to lecture on the main topics of the 2015 Jakarta Biennale in roundtable discussion sessions. The symposium will be conducted in Indonesian and English, with simultaneous translation service.

JAKARTA BIENNALE 2015 257 SIMPOSIUM MAKAN NGGAK MAKAN ASAL KUMPUL

MAKAN NGGAK MAKAN KUMPUL SYMPOSIUM 16-19 November 2015 G U DA N G SARINAH

Gratis dan terbuka untuk umum. Terbatas untuk 60 kursi. Free and open for public. Limited for 60 seat.s INFO: akademi@ jakartabiennale.net www.jakartabiennale.net


EDU KAS I PU BL IK / PU BL IC EDU CATIO N

Senin / Monday 16 November 2015 10.30 – 17.30

SIMPOSIUM #1 “ITU BISA DIATUR: Tentang Kebersamaan Kosmopolit” “Consider It Done: On Cosmopolitan Collectivism”

PEMBICARA / SPEAKER:

Nikos Papastergiadis (AUS), Eungie Joo (USA), Hilmar Farid (IDN), Reza Afisina (IDN), Zeyno Pekünlü (TUR), Renzo Martens (NLD) M O D E R AT O R :

Charles Esche (curator of Jakarta Biennale 2015) (SCT)

Selasa / Tuesday 17 November 2015 10.30 – 17.30

SIMPOSIUM #2 “MANA BISA TAHAN: Tentang Kesenjangan dan Kebersamaan” “Impossible to Go On: On Inequality and Collectivity”

PEMBICARA / SPEAKER:

Claudia Schouten (NLD), Ute Meta Bauer (DEU), Gatot Subroto (Paguyuban Warga Strenkali Surabaya, Indonesia)(IDN), M. Cora (IDN), Bik Van der Pol (NLD), Lifepatch (IDN), Dieneke Jansen (NZL), Clara Ianni (BRAl) M O D E R AT O R :

Mirwan Andan (IDN)

Rabu / Wednesday 18 November 2015 10.30 – 18.30

Kamis / Thursday 19 November 2015 13.00 – 20.30

SIMPOSIUM #3 “AKU SUKA KAMU PUNYA: Tentang Aktivisme lewat Kebersamaan” “I Like What You Got: On Activism and Collectivism”

PEMBICARA / SPEAKER:

SIMPOSIUM #4 “MAKIN LAMA MAKIN ASYIK: Menyoal Seni, Sejarah, dan kebersamaan” “The More the Merrier: On Art, History and Collectivism”

PEMBICARA / SPEAKER:

Remco de Blaaij (NLD), Viviana Cecchia (ITA), Hafiz (IDN), Goh Beng Lan (MYS), Etienne Turpin (CAN), Dan Perjovschi (ROU), Arahmaiani (IDN), Tita Salina (IDN), Etcétera (ARG) M O D E R AT O R :

Enin Supriyanto (IDN)

David Teh (AUS), Melani Budianta (IDN), Tone Olaf Nielsen (DNK) Tisna Sanjaya (IDN), Bamboo Curtain Studio (TWN), Richard Bell (AUS), Cooperativa Cráter Invertido (MEX), Bik Van der Pol (NLD) M O D E R AT O R :

Thomas Berghuis (NLD)

258

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

Institut ruangrupa (Ir.) adalah divisi paling muda yang dibentuk oleh ruangrupa, kumpulan seniman asal Jakarta. Mengambil bentuk sebuah sekolah gadungan, Institut ini memandang ruangrupa—sebagai kumpulan orang, acara, divisi, jaringan, dan metode yang telah lima belas tahun berdiri—bukan lagi sebagai sekadar suatu praktik budaya, melainkan lebih jauh lagi, sebuah gerakan penciptaan pengetahuan. Selain lokakarya untuk calon pekerja seni yang diadakan setiap tahun, Institut ruangrupa akan menjalankan sejumlah program penciptaan pengetahuan. Maju Kena Mundur Kena Academy & Makan Nggak Makan Asal Kumpul Symposium adalah elemen kunci program tersebut. Lewat program ini, para peserta akan melahirkan praktik kesenian diskursif dan kolaboratif—dua kualitas utama yang ruangrupa yakini.

259

Institut ruangrupa (Ir.) is a new initiative by the Jakarta-based artists’ collective ruangrupa. It takes the form of an educational wing (pretend-school) by considering ruangrupa as a whole—the people, programming, divisions, networks, and sensibilities— through its 15-year existence, beyond its intention to be a cultural practice, but also further as an operation for knowledge production. Besides holding a series of workshops for prospective art workers every year, Institut ruangrupa will aspire to run programmes in the future, of which Maju Kena Mundur Kena Academy & Makan Nggak Makan Asal Kumpul Symposium is a vital element. It will establish the scope of its operation in making the practice of the participants both discursive and collaborative, two main qualities ruangrupa believes to be the core of every successful work.


EDU KAS I PU BL IK / PU BL IC EDU CATIO N

RAOS Art on the Spot Roadshow JAKARTA BIENNALE 2015

Seni tidak terbatas di galeri, tidak juga melulu terwujud sebagai pameran. Praktik berkesenian sejatinya lebih luas lagi, terwujud dalam berbagai bentuk dan dilakoni oleh bermacam kalangan.

Art is not confined to galleries, nor is it always materialized as an exhibition. Artistic practice should reach beyond those spaces, transpired in various forms and played by different communities

Jakarta Biennale tidak menutup mata terhadap kemungkinan-kemungkinan tersebut. Melalui program Roadshow Art on the Spot (RAOS), Jakarta Biennale 2015 mencoba merangkul khalayak ramai dan menjamah ruang-ruang yang mereka huni. Program ini merupakan hasil kolaborasi Jakarta Biennale dengan Komplotan Jakarta 32 oC, Berakar Komunikasi, dan Koalisi Seni Indonesia.

The Jakarta Biennale is open to these possibilities. Through the program Roadshow Art on the Spot (RAOS), the Jakarta Biennale 2015 tries to embrace the crowd and touch the spaces they inhabit. The program is a collaboration between the Jakarta Biennale and Komplotan Jakarta 32oC, Berakar Komunikasi and Koalisi Seni Indonesia.

Mengusung tema “Hidup itu Seni”, RAOS menyambangi sepuluh universitas dan sepuluh ruang publik di Jakarta dari 19 Agustus sampai dengan akhir Oktober 2015. Di masing-masing lokasi tersebut, tim RAOS mengundang sejumlah seniman muda untuk mengadakan kegiatan bersama warga dan komunitas setempat.

260

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

With the theme ‘Life is Art’, RAOS visited ten universities and ten public spaces in Jakarta from August 19 to the end of October 2015. At each location, the RAOS team invited a number of young artists to organize activities with local residents and communities.


Kegiatan RAOS bermacam-macam, semuanya melibatkan proses pembuatan karya—mulai dari lokakarya menggambar, memotret, membuat grafiti, merakit wayang, menyusun kolase, sampai membuat topeng. Kegiatan-kegiatan ini, selain untuk memperkenalkan Jakarta Biennale 2015 ke publik yang lebih luas, dimaksudkan untuk membangun dan menjembatani komunikasi tentang seni dalam kehidupan sehari-hari. Siapapun bisa ikut serta. Karya-karya hasil RAOS dipamerkan selama Jakarta Biennale 2015, dalam sebuah galeri khusus di Gedung Sarinah, Pancoran. Dari publik, untuk publik.

The activities were varied, but all of them involved art creation processes, from drawing workshops, photography, graffiti making, puppet making, to collage and mask creation. Apart from introducing the Jakarta Biennale to a wider public, these activities aimed to build and bridge the communication about art in daily lives. Anyone could participate in it.

JAKARTA BIENNALE 2015

261

The artworks produced in RAOS are exhibited during the Jakarta Biennale 2015, inside a special gallery at Gedung Sarinah, Pancoran. From the public for the public.

Seniman-seniman yang terlibat dalam Roadshow Art on the Spot (RAOS) Jakarta Biennale 2015: Anton Ismael, Gardu House, Gelar Agryano, Hari Prast, Ika Vantiani, Jayu Julie, Jeany Pebriwayani, Kiswinar, Lala Bohang, Reza Mustar alias Komikazer, Ryan Riyadi alias The Popo.

The artists involved in the Roadshow Art on the Spot (RAOS) Jakarta Biennale 2015: Anton Ismael, Gardu House, Gelar Agryano, Hari Prast, Ika Vantiani, Jayu Julie, Jeany Pebriwayani, Kiswinar, Lala Bohang, Reza Mustar alias Komikazer and Ryan Riyadi alias The Popo.


EDU KAS I PU BL IK: /R OA DS HOW A RT O N T HE SPOT RAOS PU BL IC EDU CATIO N

262

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

263


EDU KAS I PU BL IK: /R OA DS HOW A RT O N T HE SPOT RAOS PU BL IC EDU CATIO N

264

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

265


EDU KAS I PU BL IK / PU BL IC EDU CATIO N

266

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

267


creative weekend market

PROGRAM PUBLIK/ PUBLIC PROGRAMS

Setiap akhir pekan, Jumat – Minggu Every Weekend, Friday – Sunday 27 November 2015 17 Januari 2016 10.00 – 19.00 GUDANG SARINAH

Untuk berpartisipasi, hubungi To participate, contact email: creativeweekendmarket. jb2015@gmail.com

Turut berperan dalam mendukung komunitas kreatif dan usaha mandiri kecil-menengah, Jakarta Biennale 2015 mengadakan acara ‘creative weekend market’ untuk publik selama tiga hari berturutturut pada setiap akhir pekan di Gudang Sarinah, Jakarta Selatan, dari akhir pekan setelah pembukaan hingga penutupan Jakarta Biennale 2015.

As an effort to support creative communities and small or medium-sized enterprises, the Jakarta Biennale 2015 holds the ‘creative weekend market’ for three days straight every weekend at Gudang Sarinah, South Jakarta. It starts on the weekend after the opening until the closing of the biennale.

‘creative weekend market’ menampilkan berbagai produk dari para pelaku kreatif seperti seniman, perancang grafis, maupun komunitas dan pekerja seni. Setiap acara memiliki tema khusus dan diramaikan oleh rangkaian acara musik serta lokakarya dari komunitas-komunitas yang terlibat. Pada setiap akhir pekan selama hampir dua bulan, Anda dapat mengunjungi arena pameran Jakarta Biennale serta membawa buah tangan dari ‘creative weekend market’.

The ‘creative weekend market’ showcases a wide range of products from artists, graphic designers, communities, and art workers. Each weekend has a special theme and there are music performances and workshops from the communities. At every weekend for almost two months, you can visit the exhibition arena of the Jakarta Biennale and go home with souvenirs from the ‘creative weekend market’.

27 - 29 November 2015

Market I “DIY, Craft, and Art”

18 - 20 Market V Desember “Campus & 2015 School Fair”

4-6 Desember 2015

Market II “Hobbies”

8-10 Januari 2015

Market IV “Home & Living”

11 - 13 Desember 2015

Market III “Music”

15- 17 Januari 2015

Market VI “Pasar Loak Flea Market”

268

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

269


PROGRAM / PROGRAMME

270

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

Program Pendukung Supporting Events

271


PAME RAN / E X HI BI T I ON

DISELENGGARAKAN OLEH / HELD BY:

Visual Jalanan KURATOR:

Abi Rama & Andang Kelana GALERI NASIONAL INDONESIA Jalan Medan Merdeka Timur No. 14 Jakarta Pusat PEMBUKAAN: OPENING:

26 Oktober 2015 19.00 – 23.00 WIB PAMERAN: EXHIBITION:

27 Oktober – 16 November 2015 10.00 – 19.00 WIB Gratis dan terbuka untuk publik Open for public and for free

Visual Jalanan: Bebas tapi Sopan

Street Visual: Free but Proper

Jalanan adalah “kanvas” terbuka dan setiap orang bebas menorehkan maknanya di sana. Namun, kebebasan tidak hadir secara cuma-cuma— ada negosiasi bahkan konfrontasi yang terusmenerus berlangsung di ruang publik. Di satu sisi publik dan seniman bisa memproduksi objek visual di jalanan, di sisi lain aparat pemerintah bisa menghapusnya, dan pihak korporasi getol berburu ruang untuk memasang iklan.

The street is a blank ‘canvas’ on which anyone can freely inscribe meanings. However, freedom is not without costs – there is an ongoing negotiation or even confrontation in the public space. Laymen and artists can create visual objects on the streets, but the government can erase them while corporations relentlessly pursue advertising space.

Seniman / Artists: Ace House Collective (Yogyakarta) Agung ‘Abe’ Natanael (Jakarta) Angga Cipta (Jakarta) Anggun Priambodo (Jakarta) Bujangan Urban (Jakarta) Dinas Artistik Kota (Jakarta) Gardu House (Jakarta) Karya Badminton Club + Ricky Janitra (Jakarta) Milisi Mural Depok (Depok) Methodos (Yogyakarta) The Popo (Jakarta) Tutu (Jakarta) ruangrupa (Jakarta) Stenzilla (Jakarta)

info@visualjalanan.org www.visualjalanan.org

272

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


Menanggapi fenomena ini, Forum Lenteng dan Kampung Segart menggagas sebuah program bersama dengan nama Visual Jalanan. Sejak 2012, Visual Jalanan aktif mengarsipkan serta membahas aktivitas visual di jalanan— mural, grafiti, tanda jalan, papan peringatan, poster, spanduk, ataupun tulisan warga di suatu tempat—melalui jurnal daring visualjalanan.org dan akun Instagram @visualjalanan.

In response to this phenomenon, Forum Lenteng and Kampung Segart initiated a program called Visual Jalanan (‘Street Visual’). Since 2012, the program has been actively archiving and discussing visual activities on the streets—murals, graffiti, street signages, warning signs, posters, banners, or just plain writings— through the online journal visualjalanan. org and the Instagram account @visualjalanan.

Hasil kerja Visual Jalanan selama ini dipamerkan dalam pameran ‘Bebas Tapi Sopan’ yang dikuratori oleh Abi Rama dan Andang Kelana—sebagai bagian dari ‘Jakarta Biennale 2015: Maju Kena, Mundur Kena’. Pameran ini turut mengundang belasan seniman, baik individu maupun kelompok, yang terinspirasi dari objekobjek yang ditemukan di jalanan. Pada Januari 2016, pameran ini menerbitkan katalog pasca-acara.

The works are then displayed in the exhibition called ‘Free but Proper’, curated by Abi Rama and Andang Kelana—as part of ‘Jakarta Biennale 2015: Neither Forward nor Back.’ The exhibition gathers over a dozen of artists, both individuals and groups, who are inspired by the objects found on the streets. In January 2016, the exhibition will publish a post-event catalog.

Pameran ‘Visual Jalanan: Bebas tapi Sopan’ didukung Forum Lenteng, Yayasan Jakarta Biennale, Dewan Kesenian Jakarta, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, Galeri Nasional Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Gardu House, Serrum, dan ruangrupa.

JAKARTA BIENNALE 2015

273

‘Street Visual: Free but Proper’ exhibition is supported by Forum Lenteng, the Jakarta Biennale Foundation, the Jakarta Arts Council, the Jakarta Tourism and Culture Office, the Indonesia National Gallery, the Ministry of Education and Culture, Gardu House, Serrum and ruangrupa.

Abi Rama terlibat dalam Studio Kampung Segart, sembari menyelesaikan studi ilmu komunikasi di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Seniman multimedia ini membentuk Kasetan, duo disc jockey yang menggunakan kaset sebagai materi utamanya. Bersama kawan-kawannya, ia juga terlibat dalam Klub Karya Bulu Tangkis—ruang eksperimentasi dan eksplorasi teknologi, visual, budaya kota, dan anak muda urban. Pada 2015, ia menjadi salah satu kurator dalam pameran ‘Peradaban Sinema dalam Pameran #2—Jajahan Gambar Bergerak: Antara Fakta dan Fiksi’, sepanjang perhelatan ‘ARKIPEL Grand Illusion: International Documentary & Experimental Film Festival’.

Abi Rama is involved in Studio Kampung Segart while completing his study in communication at the Institute of Social and Political Sciences, Jakarta. The multimedia artist also forms Kasetan, a disc jockey group that uses cassette tapes as the main medium. With his fellow artists, he is also active in Karya Badminton Club, a space for technological, visual, cultural, urban culture and urban youth experimentations and explorations. In 2015, he was one of the curators for the exhibition ‘Cinema Civilization in Exhibition #2 – Moving Picture Colony: Between Fact and Fiction’, during the ‘ARKIPEL Grand Illusion: the International Documentary & Experimental Film Festival’.

Andang Kelana, seorang kurator dan seniman seni media yang tertarik pada pengembangan karya-karya seni media berbasis daring. Ia sehari-hari bekerja di Forum Lenteng, dan sejak 2010 menjadi koordinator Jakarta 32 0 C—forum dan festival dua tahunan untuk karya visual mahasiswa. Pada 2015, ia mengkuratori pameran tunggal Abi Rama bertajuk ‘Graphic Interchange’. Pada 2015, ia dan Syaiful Anwar memproduksi dokumenter berjudul Harimau Minahasa. Andang telah terlibat dalam berbagai pameran dan perhelatan sinema maupun seni rupa berskala nasional dan internasional, seperti ‘OK. Video Flesh – 5 th’ Jakarta International Video Festival di Jakarta pada 2011, Art|Jog di Yogyakarta pada 2012, dan Artist-in-Residence di Ansan, Korea Selatan, pada 2014.

Andang Kelana is a curator and media artist who is into the development of online media artworks. His daily job is with Forum Lenteng, and since 2010 he has been the coordinator of Jakarta 32 0C—the biannual forum and festival for university students’ visual works. In 2015, he curated Abi Rama’s solo exhibition titled Graphic Interchange. In the same year, he co-produced a documentary with Syaiful Anwar called Harimau Minahasa (‘Minahasa Tiger’). Andang has been involved in various exhibitions and cinema festivals as well as arts events on a national and international scale, such as ‘OK. Video Flesh – 5 th’ Jakarta International Video Festival’ in Jakarta in 2011, Art|Jog in Yogyakarta in 2012, and Artist-in-Residence in Ansan, South Korea, in 2014.


SU P P O RT I NG EVE N T S VI SUAL JAL A NA N

Fotografi/ Photography: Agung 'Abe' Natanael / Visual Jalanan

274

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

275


PAME RAN / E X HI BI T I ON

DISELENGGARAKAN OLEH / HELD BY:

Erasmus Huis KURATOR:

Roel Arkesteijn ERASMUS HUIS, JAKARTA Kav S- Setiabudi Jalan H. R. Rasuna Said Blok C No. 3 Jakarta Selatan PEMBUKAAN / OPENING:

7 November 2015 16.00

PAMERAN / EXHIBITION:

8 November 2015 – 17 Januari 2016 KULIAH UMUM / PUBLIC LECTURE:

“Art & Social Engagement”: 7 November 2015 14.00

Pameran herman de vries

herman de vries exhibition

Seniman asal Belanda, herman de vries (yang selalu menuliskan namanya dengan huruf kecil untuk menghindari hierarki), adalah salah satu seniman paling terkemuka pada generasinya. Karyanya dirayakan di Paviliun Belanda dalam Venice Biennale 2015 ke-56, berjudul to be all ways to be, dan mencakup perjalanan karyanya selama lebih dari enam dekade. Ia dapat dianggap sebagai pionir seni ekologis— gerakan baru dalam seni yang tumbuh semakin pesat.

The Dutch artist herman de vries is one of the foremost artists of his generation. His work was celebrated in the Dutch Pavilion during the 56 th Venice Biennale 2015, titled to be all ways to be, and covering over six decades of his works. He is an artist that can be considered in retrospect as a pioneer of ecological art—a new movement in art, which is rapidly gaining visibility.

Lahir di Alkmaar tahun 1931, herman de vries merupakan advokat keberagaman budaya dan hayati selama puluhan tahun, jauh sebelum istilah-istilah tersebut mulai umum. Mengingat karya artistiknya yang tak lekang waktu, ketertarikannya terhadap budayabudaya yang berbeda, perjalanannya yang ekstensif, dan pengetahuannya mengenai ilmu botani, pameran karya de vries di Erasmus Huis di Jakarta merupakan peristiwa unik. Memiliki latar belakang sebagai ahli perkebunan dan ilmuwan hayati, de vries mulai menggambar dan melukis

276

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Born in Alkmaar in 1931, herman de vries has been an avowed advocate for cultural and biological diversity for decades—long before such terms became commonplace. Considering the timeless quality of his artistic oeuvre, his interest in different cultures, his widely-travelledness, and his knowledge of botanics, it is a unique occasion to display herman de vries’ work at the Erasmus Huis in Jakarta. Trained as a horticulturist and working as a natural scientist, herman de vries started to draw and paint in the mid-50s. In 1959-1961 he realized white paintings and white books, and was actively involved in the exhibitions and publications of the international ZERO movement. From 1964 onwards he


JAKARTA BIENNALE 2015

277


SU P P O RT I NG EVE N T S

pada pertengahan 1950-an. Pada 1959-1961, ia membuat karya “lukisan putih” dan “buku putih”, juga aktif terlibat dalam pameran dan publikasi gerakan seni rupa internasional ZERO. Sejak 1964, ia mengembangkan suatu kumpulan karya unik di mana seni, sains, dan filosofi disandingkan dengan realitas dunia. Pada 1975, ia memutuskan bahwa gejala dan proses alam merupakan karya seni fisik dan otonom yang harus ia tampilkan sebagai seniman. Karya-karya de vries banyak dikoleksi berbagai museum di dunia. Pada 2014-2015, de vries ambil bagian dalam pameran retrospektif ZERO di Museum Guggenheim New York, Martin Gropius Bau Berlin, dan Stedelijk Museum Amsterdam. Juga pada 2015 , Kröller-Müller Museum Otterlo menggelar karya-karya gambar de vries dari tahun 1965-1975 .

Pameran ini disertai dengan penerbitan. Erasmus Huis berterima kasih kepada Kebun Raya Bogor atas dukungan besar untuk pameran ini. The exhibition is accompanied by a publication. Erasmus Huis would like to thank Kebun Raya Bogor (Bogor Botanical Garden) for its generous support of the exhibition.

278

Dalam banyak hal, pameran de vries di Erasmus Huis memenuhi keinginan lamanya untuk berkunjung dan bekerja di Indonesia. Ia telah lama tertarik dengan budaya dan alam Indonesia, tapi tidak pernah mengunjungi negara ini. Pada 1947, ia dipanggil untuk bertugas dalam “Politionele Acties”, serangan Belanda terhadap Indonesia. Ia menolak. Menurutnya, “Menjajah negara lain tak lama setelah Perang Dunia II itu sial.” herman de vries telah bepergian dan bekerja di seluruh dunia sejak periode tersebut, namun tidak pernah sampai ke Indonesia. Untuk pameran di Erasmus Huis, herman de vries memperlihatkan patung dan instalasi baru. Seniman ini merayakan keanekaragaman budaya dan hayati Indonesia dengan menggunakan artefak dan bahan alam setempat, seperti arit, batang bambu dari Kebun Raya Bogor, daun teh, dan berbagai jenis beras.

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

developed a unique oeuvre in which art, science and philosophy are juxtaposed with the reality of the world. In 1975 he decided that the phenomena and processes of nature constitute physical and autonomous works of art that he, as an artist, should present. Works by de vries are included in museum collections worldwide. In 2014-2015 de vries took part in the retrospective ZERO exhibitions in the Guggenheim Museum New York, Martin Gropius Bau Berlin and Stedelijk Museum Amsterdam. Also in 2015 the Kröller-Müller Museum Otterlo showed a choice of de vries’ random objectivation drawings from 1965-1975. In many respects, the exhibition at the Erasmus Huis fulfills herman de vries’ long heartfelt wish to travel and work in Indonesia. He has been interested in Indonesian culture and nature for many decades, but never managed to actually visit the country. The artist was called to arms around 1947, to join the so-called ‘Politionele Acties’. He refused service, considering it “inopportune to occupy a people’s country, so short after the Second World War.” herman de vries has been travelling and working widely all over the world since then, but never managed to travel to Indonesia. For the exhibition at the Erasmus Huis, herman de vries is realizing new sitespecific sculptures and installations. Appropriating local artifacts and natural materials, such as rice sickles, stems of bamboo from Bogor’s botanical garden, tea leaves and rice in all its variety, the artist celebrates the cultural and biological diversity of Indonesia.


JAKARTA BIENNALE 2015

Kurator pameran ini adalah Roel Arkesteijn, kelahiran Scheveningen tahun 1974. Sejak 2008, ia menjadi kurator di Museum Het Domein di Sittard, Belanda, tempat ia menyoroti seniman-seniman yang mengemukakan isu-isu sosial dan politik, tertarik dengan persoalan gender, terlibat sebagai jembatan antara budaya-budaya yang berbeda, atau aktif dalam masalah ekologis. Arkesteijn menyelesaikan studi dalam bidang sejarah seni di Universitas Leiden pada 1999. Ia pernah menjadi kurator di Museum of Modern Art di Arnhem (kini Museum Arnhem), Stedelijk Museum Schiedam, dan GEM di Den Haag. Belakangan Arkesteijn juga rutin memberikan kuliah tamu di Radboud Universiteit di Nijmegen dan di Higher Institute for Fine Arts di Ghent. Ia banyak menulis mengenai seni kontemporer.

279

The exhition is curated by Roel Arkesteijn, born in Scheveningen, 1974. Since 2008 he has been curator at Museum Het Domein in Sittard, where he draws attention to artists who deal with social or political issues, are interested in gender questions, function as bridge-builders between different cultures, or are actively engaged in ecological matters. Arkesteijn completed his studies in art history at Leiden University in 1999. He has also worked as a curator at the Museum of Modern Art in Arnhem (now Museum Arnhem), the Stedelijk Museum Schiedam and at GEM in The Hague. In recent years Arkesteijn has regularly served as visiting lecturer at Radboud Universiteit in Nijmegen and at the Higher Institute for Fine Arts (HISK) in Ghent. He is the author of numerous publications on contemporary art.


PAME RAN / E X HI BI T I ON

DISELENGGARAKAN OLEH / HELD BY:

Institut Français d'Indonésie (IFI) dan Komplotan Jakarta 32°C IFI THAMRIN Jl. Thamrin No. 20 Jakarta Pusat 10350

8 November 2015 07.00 – 10.00 WIB

Seniman / Artists: Simon Hureau (Prancis), Komikazer (Jakarta), Hari Prast (Jakarta), Triwibawa ‘Cimot’ Santosa (Jakarta)

Pertunjukan secara langsung ini dilakukan di depan publik pada Minggu Tanpa Kendaraan Bermotor (Car Free Sunday) di Jl Thamrin This live performance take place in front the car-free Sunday crowd on Jalan Thamrin.

280

Komik di Jalanan

Comic on the Street

IFI dan Jakarta Biennale senang sekali dapat bekerjasama lewat pertunjukan yang menampilkan senimanseniman komik Indonesia dan seniman komik Prancis, Simon Hureau. Simon menerbitkan novel grafis pertamanya pada 2003.

IFI and the Jakarta Biennale are happy to collaborate for a performance by Indonesian comic artists and French comic artist Simon Hureau. Simon published his first graphic novel in 2003.

Sejak itu, ia telah menerbitkan sejumlah buku komik, sebagian di antaranya catatan perjalanan, sebagian lainnya komik untuk anak-anak, namun sebagian besar merupakan buku grafis fiksi untuk dewasa. Ia mengunjungi Indonesia pada 2011 untuk menjelajahi negeri ini dan bertemu para seniman komik serta memimpin lokakarya-lokakarya komik. Buku Kompilasi Komikus berisi beberapa gambar Simon Hureau dan seniman-seniman komik Prancis lainnya (Sylvain Moizie, Clément Baloup dan Joël Alessandra) sebagai sebuah catatan perjalanan mereka di Jawa dan Bali. Untuk kali ini, Simon dan tiga seniman komik Indonesia, yaitu Komikazer, Hari Prast, dan Triwibawa ‘Cimot’ Santosa, ingin menantang eksplorasi artistik mereka dengan membuat komik mural di atas medium 3D, yaitu gerobak, dengan tema utama Jakarta Biennale 2015, ‘Maju Kena, Mundur Kena: Bertindak Sekarang’. Secara khusus mereka menanggapi masalah lingkungan hidup yang terkait dengan isu terkini baik secara nasional maupun global.

Since then, he has published several comic books, some are travelogues, some are for kids but most of them are fictional adult graphic books. He travelled in Indonesia in 2011 to discover Indonesia and its comic artists and lead comic workshops. The book Kompilasi Komikus gathers some drawings of Simon Hureau and other French comic book artists (Sylvain Moizie, Clément Baloup and Joël Alessandra) and could be seen as the travelogue of their stay in Java and Bali.

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Within this occasion, Simon and the three Indonesian comic artists, namely Komikazer, Hari Prast and Triwibawa ‘Cimot’ Santosa, are eager to challenge their artistic exploration by making mural comic on a 3D medium, gerobak (a traditional wooden cart), under the main theme of Jakarta Biennale 2015, ‘Neither Forward nor Back: Acting in the Present’. In particular, they will respond to environmental problems related to current issues both nationally and globally.


JAKARTA BIENNALE 2015

281

Komikazer (Jakarta),

Simon Hureau (Prancis)

Simon Hureau (Prancis)


PAME RAN / E X HI BI T I ON

DISELENGGARAKAN OLEH / HELD BY:

Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL Nasional, or National Water and Sanitation Working Group) PUSAT PERFILMAN HAJI USMAR ISMAIL (PPHUI) Jalan H.R. Rasuna Said Karet, Kuningan Jakarta Selatan PAMERAN / EXHIBITION:

11 November 2015 08.00 – 17.00 terbuka untuk umum open for public.

Kisah Masa Depan The Future of Sanitasi dan Air Drinking Water Minum Indonesia and Sanitation in Indonesia Sejak 2007, Konferensi Air dan Sanitasi Nasional (KSAN) dilaksanakan setiap dua tahun sebagai bagian dari upaya meningkatkan akses air dan sanitasi nasional. Millenium Development Goals (MDGs) menargetkan 68,87% penduduk Indonesia terjangkau air minum layak dan 62,41% memiliki layanan sanitasi dasar pada 2015. Pada 2014 akses air minum sudah mencapai 68,36% populasi dan layanan sanitasi dasar mencakup 61.04% populasi nusantara. Pemerintah Indonesia dalam Undangundang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 menargetkan universal access (UA)— akses air minum dan sanitasi bagi seluruh penduduk—pada 2019. Pencapaian target UA pada 2019 membutuhkan komitmen dan upaya luar biasa dari para pemangku kepentingan, meliputi pemerintah provinsi, kota/ kabupaten, pihak swasta, masyarakat, dan mitra. Lebih penting lagi, butuh inovasi untuk dapat memenuhi kesenjangan akses air dan sanitasi. Tahun ini mengusung tema “Mencipta Masa Depan Sanitasi dan Air Minum”, KSAN hadir sebagai ujung tombak penghimpunan gagasan, dukungan, dan aksi nyata untuk pencapaian UA pada 2009. Acara ini diadakan oleh Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Nasional.

282

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Since 2007, Konferensi Air dan Sanitasi Nasional (KSAN or National Conference on Water and Sanitation) is organized biannually as a joint effort to improve public sanitation and access to water. Millenium Development Goals (MDGs) targeted 68.87% of the population in Indonesia to have access to clean water and 62.41% have basic sanitation services by 2015. In 2014, water supply is accessible to 68.36% and basic sanitation services have covered 61.04% of the population in Indonesia. The Indonesian government, as noted in the Medium Term National Development Plan 2015-2019, seeks to reach universal access—water and sanitation for the whole population—by 2019. In order to reach such lofty target, all stakeholders related to public welfare— ranging from the local government, private sectors, public, and partners— need to commit and work together. More importantly, they all need to innovate and take creative measures to bridge the gap in water access and sanitation service coverage. This year, with the theme ‘Securing the Future of Sanitation and Drinking Water’, KSAN seeks to gather ideas, supports, and concrete efforts to reach universal access by 2009. This event is organized by Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Nasional (National Task Force for Water Supply


Kegiatan utama dari KSAN 2015 adalah Knowledge Day pada 11 November 2015, yaitu hari presentasi ide, gagasan, praktik, dan pembelajaran oleh para inspirator sanitasi dan air minum dari seluruh Indonesia, di antaranya Sugeng Triyadi (Manajer Bank Sampah Kenanga Peduli), Abie Wiwoho (peneliti independen biofilter), Erlan Hidayat (Direktur PAM Jaya), dan Risanggono (Direktur Pundi Amal SCTV). Gagasan dan pembelajaran selama Knowledge Day akan terangkum dan terkomunikasikan lewat pameran esai foto, yang akan menampilkan karyakarya Arif Fadillah, Roy Rubiyanto, Dwianto Wibowo, dan Nickmatul Huda. Akan dipamerkan enam belas esai foto tentang pahlawan sanitasi dan air minum, dan sepuluh komik karya Masdimboy alias Adimas Bayu. ‘Pameran Esai Foto KSAN 2015’ akan diselenggarakan pada 11 November 2015 dari jam 08:00 sampai 17:00 di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Jakarta Selatan. Acara ini terbuka untuk umum.

and Environmental Health). The main program of KSAN 2015 is Knowledge Day—a platform to present ideas, concepts, recommendations, and working plans by activists and opinion leaders on water and public sanitation—on 11 November 2015. The speakers include Sugeng Triyadi (manager of Bank Sampah Kenanga Peduli/Kenanga Peduli Waste Bank), Abie Wiwoho (independent researcher on biofilters), Erlan Hidayat (director of PAM Jaya/City Water Company), and Risanggono (director of Pundi Amal SCTV/SCTV Charity Center). The ideas presented during Knowledge Day will be compiled and communicated through photo essay exhibition, displaying works by Arif Fadillah, Roy Rubiyanto, Dwianto Wibowo, and Nickmatul Huda. There will be sixteen photo essays on the inspirational figures in the struggle for water and public sanitation, and ten comics by Masdimboy alias Adimas Bayu. ‘KSAN 2015 Photo Essay Exhibition’ will be held on 11 November 2015 from 08:00 to 17:00 at Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Jakarta Selatan. The event is open for public.

JAKARTA BIENNALE 2015

283

PAMERAN ENAM BELAS ESAI FOTO KARYA / THE EXHIBITION OF SIXTEEN PHOTO ESSAYS BY:

Arif Fadillah, Roy Rubiyanto, Dwianto Wibowo, dan Nickmatul Huda PAMERAN SEPULUH KOMIK KARYA / THE EXHIBITION OF TEN COMIC WORKS BY:

Adimas Bayu (Masdimboy)


PR OY E K S E NI RU PA PU B L IK / PU B L IC ART PR OJECT

DISELENGGARAKAN OLEH / HELD BY:

Goethe-Institut KURATOR:

Tobias Rehberger & Ade Darmawan PEMBUKAAN: OPENING

Selasa, 10 November 2015 10.00 – selesai

Tuesday, November 10, 2015 10a.m. – finish

PAMERAN: EXHIBITION:

11 November 2015 hingga seterusnya. PASAR TEBET BARAT DAN PASAR TEBET TIMUR, Jakarta Selatan Karya-karya dapat disaksikan sesuai jam buka pasar The exhibition opens during the markets’ operational hours

Market share Market Share adalah ajang bagi sepuluh seniman muda Jerman dan Indonesia untuk melakukan pendekatan artistik guna merespons realitas di dua pasar di Tebet, Jakarta. Mereka adalah Angga Cipta, Bertrand Flanet, Edi Winarni, Hanna-Maria Hammari, Julia Zabowska, Liesel Busrich, Maharani Mancanagara, Muhammad Fatchurofi, The Popo, dan Putri Ayu.

Market Share is a venue for 10 young artists from Germany and Indonesia to use artistic approaches in responding to the reality in two markets in Tebet, South Jakarta. The artists are Angga Cipta, Bertrand Flanet, Edi Winarni, HannaMaria Hammari, Julia Zabowska, Liesel Busrich, Maharani Mancanagara, Muhammad Fatchurofi, The Popo and Putri Ayu.

Kesepuluh seniman ini—hasil seleksi dua kurator, Tobias Rehberger dan Ade Darmawan—selama ini terhitung aktif berkarya dalam ranah seni rupa publik. Selama proyek berlangsung, mereka melakukan riset dan observasi untuk menciptakan karya seperti instalasi, permainan, objek, video, dan lain sebagainya. Beberapa seniman bekerjasama dengan para pedagang lokal. Setelah pameran selesai, sejumlah karya mereka akan menjadi milik pasar.

Selected by curators Tobias Rehberger and Ade Darmawan, these artists have been actively churning out public art. During the project, they conducted research and observations to create installation art, games, objects, video and so on. Some artists collaborated with local vendors and their works would be owned by the market once the exhibition ends.

Tobias Rehberger bekerja dan tinggal di Frankfurt am Main, Jerman, sebagai seniman dan pengajar kelas patung di akademi seni rupa Städelschule. Rehberger konsisten berkarya dalam bidang seni, desain, dan arsitektur. Dianugerahi penghargaan Golden Lion pada Venice Biennale ke-53, ia merupakan salah satu seniman yang penting dan berpengaruh dalam generasinya.

284

Tobias Rehberger works and lives in Frankfurt am Main, Germany, as a sculptor and teacher at Städelschule arts academy. Rehberger has consistently worked in the fields of the arts, design and architecture. Awarded the Golden Lion at the 53 rd Venice Biennale, he is one of the most important and influential artists of his generation.

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


Proyek ini merupakan bagian dari Jerman Fest, yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Republik Federal Jerman Jakarta, Goethe-Institut, dan EKONID, untuk memperingati dan merayakan persahabatan antara Indonesia dan Jerman. Akan ada beragam acara dari September hingga November 2015, mencakup bidang budaya, politik, ekonomi, hingga ilmu pengetahuan. Seniman, musisi, penulis, aktor, penari, politikus, ilmuwan, praktisi ekonomi, dan atlet dari kedua negara berkumpul dan tampil di beberapa kota besar Indonesia. Beragam bentuk pertukaran informasi dan sinergi antara kedua negara akan memperkuat ikatan yang telah ada, dan menciptakan jalinan baru demi masa depan bersama.

This project is part of Jerman Fest—held by the Embassy of the Federal Republic of Germany in Jakarta, Goethe-Institut and EKONID, the German-Indonesian Chamber of Industry and Commerce— to commemorate and celebrate the friendship between Germany and Indonesia. Plenty of events are held from September through November 2015, from cultural and political events to economic and science events. Artists, musicians, writers, actors, dancers, politicians, scientists, economists and athletes from both countries gather, and some of them perform in several big cities in Indonesia. The diverse forms of information exchange and synergy between the two countries will strengthen the existing bonds and create a new weave for the collective future.

JAKARTA BIENNALE 2015

MITRA PROGRAM: PARTNERS: PD Pasar Jaya, Städelschule, ruangrupa, dan Jakarta Biennale 2015. KONTAK: CONTACT: Goethe-Institut Indonesien Jl. Sam Ratulangi 9-15 Menteng, Jakarta Pusat 10350 Indonesia Telepon: +62 21 235 50208

SENIMAN / ARTISTS:

Angga Cipta, Bertrand Flanet, Edi Winarni, Hanna-Maria Hammari, Julia Zabowska, Liesel Busrich, Maharani Mancanagara, Muhammad Fatchurofi, The Popo, Putri Ayu

Ade Darmawan bekerja dan tinggal di Jakarta sebagai seniman, kurator, direktur ruangrupa, dan Ketua Yayasan Jakarta Biennale. ruangrupa, yang ia dirikan bersama beberapa seniman lainnya pada 2000, adalah kolektif yang berfokus pada seni visual dan konteks budaya sosial, terutama ruang kota.

285

Ade Darmawan works and lives in Jakarta as an artist, curator, ruangrupa director and chairman of the Jakarta Biennale Foundation. He co-founded ruangrupa arts space with several other artists in 2000, a collective focusing on visual arts and social cultural contexts, particularly urban space.


SU P P O RT I NG EVE N T S MARK E T SHA R E

Edi Winarni

Julia Zabowska

286

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

The Popo

287


SE MI N AR

DISELENGGARAKAN OLEH / HELD BY:

CKU (Center for Culture and Development), Denmark

GUDANG SARINAH

Jumat & Sabtu / Friday & Saturday 20-21 November 2015 09.00 – 19.00 Lihat laman Jakarta Biennale 2015 untuk rincian lebih lanjut. Visit Jakarta Biennale 2015 website for details.

Sumbangsih Seni dan Budaya dalam Proses Perdamaian dan Rekonsiliasi di Asia

Seminar on the Contribution of Art and Culture in Peace and Reconciliation Processes in Asia

Dapatkah seni menciptakan perdamaian? Apakah budaya punya sesuatu yang dapat ditawarkan dalam situasi pasca-konflik? Bagaimana lembaga-lembaga seni dapat memperkuat dialog dan rekonsiliasi?

Can art create peace? Has culture anything to offer in post-conflict situations? How can art institutions strengthen dialogue and reconciliation?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, CKU (Pusat Kebudayaan dan Pembangunan Denmark) mengumpulkan sejumlah akademisi, praktisi seni/ pembangunan, dan seniman yang bekerja di persimpangan antara seni dan upaya perdamaian.

To answer these questions we gather scholars, art/development practitioners, and artists working in the intersections between art and peace building.

Tujuan seminar ini adalah untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman guna mengidentifikasi praktik-praktik dan metode-metode terbaik dalam pencegahan konflik dan rekonsiliasi melalui seni dan budaya. Seminar ini memberikan peluang berjejaring antara seniman, kurator, dan lembagalembaga dari Denmark, Nepal, Pakistan, dan Indonesia.

288

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

The aim of the seminar is to share knowledge and experiences in order to identify best practices and methods of working with conflict prevention and reconciliation through art and culture. The seminar provides networking opportunities between artists, curators and institutions from Denmark, Nepal, Pakistan and Indonesia.


Pembicara-pembicara utama, yaitu Profesor Yudhishtir Raj Isar, seniman Mariam Ghani, dan kurator Ade Darmawan, akan memberikan pemahaman mengenai keterkaitan antara seni/budaya dan perdamaian/ rekonsiliasi serta menyajikan latar belakang yang kuat untuk diskusidiskusi selama seminar. Sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh CKU (Pusat Kebudayaan dan Pengembangan dari Denmark) dan disusun oleh Ereshnee Naidu-Silverman, PhD, mengenai kontribusi seni dan budaya dalam proses-proses perdamaian dan rekonsiliasi, akan dipaparkan dalam seminar ini. Penelitian tersebut menunjukkan bukti, berdasarkan riset dan studi kasus, mengenai hubungan antara seni dan budaya serta peran keduanya dalam intervensi pra dan pasca-konflik. Tentu hasilnya dapat digunakan oleh para peserta dalam upaya-upaya mereka di masa yang akan datang. Program seminar meliputi tur bersama pemandu di Jakarta Biennale; lokakarya partisipatif; sesi-sesi mengenai seni dan budaya serta keterkaitannya dengan perdamaian dan rekonsiliasi; pameran foto dari Nepal Picture Library; pertunjukan seniman; diskusi inspiratif; program malam hari; dan peluang berjejaring yang diorganisir oleh Pecha Kucha Jakarta.

Keynote speakers Professor Yudhishtir Raj Isar, artist Mariam Ghani and curator Ade Darmawan will provide insights on the interlink between art/culture and peace/ reconciliation and give solid background for the discussions throughout the seminar. A new study commissioned by CKU (The Danish Centre for Culture and Development) and authored by PhD Ereshnee Naidu-Silverman about the contribution of art and culture in peace and reconciliation processes will be presented at the seminar. The study provides evidence, based on research and case studies, on the linkages between art and culture and their role in pre- and post-conflict interventions for participants to use in their future efforts. The seminar programme includes a guided tour of the Jakarta Biennale; participatory workshops; sessions on art and culture and their linkages to peace and reconciliation; a photo exhibition by Nepal Picture Library; artist performances; inspirational talks; an evening programme; and networking opportunities arranged by Pecha Kucha Jakarta.

CKU merupakan lembaga yang mengelola dirinya sendiri di bawah Kementerian Luar Negeri Denmark. Bekerjasama dengan kedutaan Denmark dan perwakilannya, CKU mengelola dan mengembangkan program-program kebudayaan serta pembangunan di Timur Tengah, Asia, Afrika Barat, dan Afrika Timur

.

JAKARTA BIENNALE 2015

289

KONTAK DI INDONESIA CONTACT PERSONS IN INDONESIA Dewi Suciati (CKU Programme Officer di Indonesia): (CKU Programme Officer in Indonesia) +62 (0) 811 8888 145 Signe Leth (CKU Programme Manager, Asia) (CKU Programme Manager, Asia): +45 33 97 17 09

CKU is a self-governing institution under the Danish Ministry of Foreign Affairs. In close cooperation with Danish embassies and representations, CKU manages culture and development programmes in The Middle East, Asia, West Africa, and East Africa.


SU P P O RT I NG EVE N T S SU MBAN G S IH SENI DA N B UDAYA

290

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

291


SU P P O RT I NG EVE N T S

DISELENGGARAKAN OLEH / HELD BY:

PWAG Indonesia, Arts for Women, dan Unmasked

FEMART Gathering “Feminist Art Gathering at Jakarta Biennale” dalam rangka Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan

“Feminist Art Gathering at the Jakarta Biennale” In commemoration of the International Day for the Elimination of Violence against Women

Isu perempuan dan seni budaya perlu diwadahi dalam satu ruang bersama. Masih tingginya tingkat kekerasan terhadap perempuan menuntut adanya tinjauan ulang terhadap gerakan perempuan. Adalah penting untuk memandang perspektif perempuan dalam seni budaya dan menelusuri upaya strategis guna menanggulangi masalah besar kemanusiaan tersebut.

Women’s issues and the arts and culture need to be brought together in the same space. The consistently high rate of violence against women demands an evaluation on the women movement. It is important to look at women’s perspectives in the arts and culture and explore the strategic efforts to defeat such enormous crime against humanity.

GUDANG SARINAH

27–28 November 2015

Bersama Project, Arts for Women, Unmasked, dan PeaceWomen Across the Globe Indonesia menyelenggarakan FEMART Gathering sebagai bagian dari Jakarta Biennale 2015. FEMART Gathering diadakan untuk memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada 25 November 2015, serta menyemarakkan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan (25 November – 10 Desember 2015), yang juga bertepatan dengan Jakarta Biennale 2015. FEMART Gathering menyediakan ruang diskusi dan forum terbuka bagi gerakan perempuan, pengamat masalah perempuan, pekerja seni, dan seniman agar dapat bersamasama memikirkan langkah strategis dalam upaya menghentikan kekerasan terhadap perempuan di Jakarta dan Indonesia pada umumnya. Acara ini akan diramaikan dengan pemutaran film dan pembacaan puisi.

292

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

Bersama Project, Arts for Women, Unmasked, and PeaceWomen Across the Globe Indonesia organize FEMART Gathering as a part of the Jakarta Biennale 2015. FEMART Gathering is conducted to commemorate the International Day for the Elimination of Violence Against Women on 25 November 2015, and to take part in the 16 Days of Activism against GenderBased Violence Campaign (25 November – 10 December 2015), which also coincides with the Jakarta Biennale 2015. FEMART Gathering provides a discussion space and open forum for women’s rights movement, observers of women’s issues, art workers and artists to come up with strategic measures to stop violence against women in Jakarta and Indonesia. The event is highlighted with film screenings and poetry readings.


JAKARTA BIENNALE 2015

RANGKAIAN ACARA PROGRAM

13.00 – 18.00 WIB:

1 p.m. – 6 p.m.

Pemutaran film dokumenter

GUDANG SARINAH

Screening of documentary

27 November 2015

Masih Ada Asa, Memory & Hope, Peace Women Across the Globe Indonesia.

Masih Ada Asa (The Hope Remains), Memory & Hope, Peace Women Across the Globe Indonesia.

15.00 – 18.00 WIB:

3 p.m. – 6 p.m.

Diskusi Seniman & Kekerasan Seksual

Discussion on Artists & Sexual Violence.

Pembicara: Dewi Candraningrum (Jurnal Perempuan), Linda Christanty, Naomi Srikandi (Teater Garasi Yogyakarta).

Speakers: Dewi Candraningrum (Jurnal Perempuan), Linda Christanty, Naomi Srikandi (Teater Garasi Yogyakarta).

Moderator: Olin Monteiro

Moderator: Olin Monteiro

15.00 – 18.00 WIB:

3 p.m. – 6 p.m.

Unmasked: FEMPOET “Poems for Women Survivor”

Unmasked: FEMPOET “Poems for Women Survivors”

Baca Puisi untuk Survivor Kekerasan Seksual

Poetry Reading for Survivors of Sexual Violence

Open Microphone Pembawa acara: Putri Minangsari

Open Microphone Host: Putri Minangsari

Bintang tamu: Sha Ine Febriyanti dan Dinda Kanyadewi

Guest Stars: Sha Ine Febriyanti and Dinda Kanyadewi

PENANGGUNG JAWAB PROGRAM: PROGRAM MANAGER: PWAG Indonesia & Unmasked KOORDINATOR ACARA PROGRAM COORDINATOR: Putri Minangsari & Olin Monteiro MANAJER SEKRETARIAT SECRETARIAT MANAGER: Sandie Elisabeth Monteiro KOORDINATOR DISKUSI HARI PERTAMA COORDINATOR OF FIRST DAY DISCUSSION: Olin Monteiro COORDINATOR PEMBACAAN PUISI COORDINATOR OF POETRY READING: Putri Minangsari

GUDANG SARINAH

28 November 2015

PWAG INDONESIA: Komplek Buncit Indah Jl. Mimosa IV blok E no. 17 Pejaten, Warung Buncit South Jakarta Email: pwagindonesia@gmail.com Sandie.elisabeth@gmail.com

293


SU P P O RT I NG EVE N T S

LOKAKARYA , SKA MARKET, PENAMPILAN MUSIK, JAKARTA SKA FESTIVAL WORKSHOPS, SKA MARKET, LIVE MUSIC, JAKARTA SKA FESTIVAL

DISELENGGARAKAN OLEH / HELD BY:

Jakarta Ska Foundation GUDANG SARINAH

GUDANG SARINAH, PANCORAN JAKARTA

Jumat - Minggu, Friday - Sunday, 11 - 13 Desember 2015 13:00 - 21:00 WIB

Skartefak Di tanah air, geliat pergerakan musik Jamaican, khususnya ska, selama lima tahun belakangan ini berkembang sangat pesat. Banyak bermunculan band baru yang berkualitas sementara band-band lama semakin produktif berkarya. Perkembangan itu semakin seru dengan aktifnya acaraacara yang dibuat oleh para aktivis dari komunitas musik Jamaican di Jakarta dan daerah lainnya.

Jamaican music, particularly ska, has grown immensely in this country in the past five years. New quality bands emerged while existing ones have been increasingly productive. The scene is getting more exciting with the events organized by activists of Jamaican music community in Jakarta and other areas.

Semaraknya perkembangan musik Jamaican ini tidak hanya terlihat dalam lingkup komunitas, tapi juga di masyarakat luas pecinta musik. Kini band pengusung aliran ska telah lazim bermain di pentas seni sekolah maupun acaraacara lain di luar komunitas, bahkan sampai di panggung-panggung besar yang berskala internasional.

Such vibrant development of Jamaican music is not only apparent within its community, but also among music enthusiasts in general. Ska bands are now a fixture in school arts festival and other events outside the community, or even on larger stages with international scale.

Tepat pada awal 2015, dibentuklah sebuah organisasi yang bernama Jakarta Ska Foundation, atau JSF, sebuah kolektif yang didasari atas kecintaan akan musik ska dan Jamaican. Di dalamnya tergabung para pelaku, aktivis, dan pecinta musik ska yang selama ini berperan aktif di skena musik ska tanah air, khususnya Jakarta. Dalam rangka Jakarta Biennale 2015, JSF berpartisipasi dengan mengusung tema besar “Skartefak”—dari kata “ska” dan “artefak”. Sebab, ska merupakan genre musik yang mempunyai latar sejarah panjang yang sangat memengaruhi perkembangan musik dan membentuk budaya anak muda di dunia.

294

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

In early 2015, an organization named Jakarta Ska Foundation (JSF) was established. It is a collective based on the love of ska and Jamaican music that gathers musicians, activists and ska music buffs that have been active in the music scene in this country, particularly Jakarta. For the Jakarta Biennale 2015, JSF takes part by bringing about the theme “Skartefak”, from the amalgamation of ‘ska’ and ‘artifact’. It refers to how ska as a musical genre has a long history that influences music development and shapes global youth culture.


JAKARTA BIENNALE 2015

295

Workshop Jamaican Music dengan tema “Traditional Ska & History of Jamaican Music”

Jamaican Music Workshop with the theme ‘Traditional Ska & History of Jamaican Music.’

GUDANG SARINAH

Workshop berisi penjelasan sejarah awal Jamaican Music dan hubungannya dengan Indonesia, penjelasan cara bermain musik ska di awal eranya dengan alat musik band beserta pemainnya (Sesi 1).

It discusses the early history of Jamaican music and the relationship with Indonesia, and how the music was played in its early period as well as the musical instruments and the players (Session 1).

Jam 13.00 – 21.00

Pertunjukan band dari Jakarta Ska Foundation All Stars

Performance from the Jakarta Ska Foundation All Stars.

Pameran karya foto dan lukis yang berhubungan dengan skena musik ska Jakarta

Photo and painting exhibition related to Jakarta ska music scene.

Bazaar CD band lokal

Jumat / Friday 11 Desember 2015 Friday, 11 December 2015 1 p.m. – 9 p.m.

Bazaar selling CDs of local bands.

Workshop Jamaican Music dengan tema “Rocksteady”

Jamaican Music Workshop with the theme ‘Rocksteady.’

GUDANG SARINAH

Workshop berisi penjelasan sejarah awal Jamaican Music dan hubungannya dengan Indonesia, penjelasan cara bermain musik ska di awal eranya dengan alat musik bandbeserta pemainnya (Sesi 2).

It discusses the early history of Jamaican music and the relationship with Indonesia, and how the music was played in its early period as well as the musical instruments and the players (Session 2).

Jam 13.00 – 21.00

Pertunjukan band dari Jakarta Ska Foundation All Stars

Performance from the Jakarta Ska Foundation All Stars.

Pameran karya foto dan lukis yang berhubungan dengan skena musik ska Jakarta

Photo and painting exhibition related to Jakarta ska music scene.

Bazaar CD band lokal

Bazaar selling CDs of local bands.

Sabtu / Saturday 12 Desember 2015 .


SU P P O RT I NG EVE N T S

Minggu, Sunday 13 Desember 2015 13.00 – 21.00

Workshop Jamaican Music dengan tema “Early Reggae”

Jamaican Music Workshop with the theme “Early Reggae.”

Workshop berisi penjelasan sejarah awal Jamaican Music dan hubungannya dengan Indonesia, penjelasan cara bermain musik ska di awal eranya dengan alat musik band beserta pemainnya (Sesi 3).

It discusses the early history of Jamaican music and the relationship with Indonesia, and how the music was played in its early period as well as the musical instruments and the players (Session 3).

Pertunjukan band dari Jakarta Ska Foundation All Stars

Performance from the Jakarta Ska Foundation All Stars.

Pameran karya foto dan lukis yang berhubungan dengan skena musik ska Jakarta

Photo and painting exhibition related to Jakarta ska music scene.

Bazaar CD band lokal

Bazaar selling CDs of local bands.

Penutupan: DJ dari Fever Sound System

Closing: DJ from Fever Sound System.

JAKARTA SKA FOUNDATION Jl. Manggis 4 No. 2, Tanjung Duren Selatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat 11470 Wiro: 0857.8007.0754 Darwin: 0853.1222.5313 E-mail: skartefak@gmail.com Facebook: https://www.facebook. com/pages/Jakarta-Ska-Foundation Website: www.skartefak.com YouTube: https://www.youtube. com/channel/UCVAHoe59WyC_ Gjc6XZKWKxA

296

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

297


SU P P O RT I NG EVE N T S

GUDANG SARINAH

Sabtu, Saturday, 19 Desember 2015 10:00 - 22:00

Street Dealin Pertama kali diluncurkan pada 2011, Street Dealin merupakan tempat transaksi bersama bagi kalangan seniman grafiti dan penjual barangbarang kebutuhan seniman grafiti—ajang untuk merayakan eksistensi kultur grafiti. Rutin diadakan dua kali setahun, bazar ini turut menyajikan penampilan musik, DJ, dan acara melukis bersama. Jumlah pengunjung terus bertambah setiap tahunnya—tidak hanya dari Jakarta, tapi juga dari kota-kota lain di dalam dan luar Pulau Jawa, bahkan dari luar Indonesia.

Rangkaian Acara Activities

Held biannually, the market also features music performances, DJs and collective painting. It has attracted an increasing number of visitors every year, not only from Jakarta but also from other cities in and outside Java, and even from overseas.

Grafiti

Graffiti

Program utama Street Dealin yang terbagi menjadi empat bagian:

The main program of Street Dealin is divided into four parts:

Big Wall

Big Wall:

Tembok besar yang akan menampilkan karya kolaborasi sejumlah seniman grafiti Asia Tenggara, di antaranya Indonesia, Malaysia, Philipina, Brunei, Thailand, Singapura, dan Australia.

A display of collaborative artworks by a number of graffiti artists from Southeast Asia, including Indonesia, Malaysia, the Philippines, Brunei, Thailand and Singapore, as well as Australia.

Bus Painting

Bus Painting:

Media gambar berupa bis/kopaja/ truk, tersebar di beberapa titik area Street Dealin, yang setiap sisinya akan direspons dengan gambar.

The painting of the sides of bus/kopaja minibus/truck sprawled at Street Dealin venue.

Local Competition

Local Competition:

Program khusus seniman lokal Indonesia, dengan ketentuan peserta berkelompok maksimal tiga orang dan harus mengirimkan konsep serta sketsa ke Gardu House. Setiap konsep yang masuk akan dikuratori oleh juri yang sudah dipilih oleh Gardu House. Pemenang akan mendapatkan hadiah uang pembinaan.

298

First launched in 2011, Street Dealin is a transactional venue for graffiti artists and sellers of the goods required by graffiti artists. It is the arena to celebrate graffiti culture.

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

A special program for Indonesian artists, who are required to work in a group of maximum three people, and send their concepts and sketches to Gardu House; the winner will receive a cash prize.


JAKARTA BIENNALE 2015

Graffiti Mapping.

Graffiti Mapping:

Media besar yang pada siang hari akan digambari dengan rancangan gambar pada siang harinya, dan yang pada malam hari akan dipapar dengan visual mapping.

A large medium will be painted on during the day, and will be exposed to visual mapping at night.

Musik Musik dipertunjukkan di atas dua panggung. Panggung utama yang diberi tajuk “Soundclash” akan menyajikan musik hiphop Indonesia. Panggung lainnya akan dimeriahkan dengan adu rap, beatbox, dan b-boy showcase.

Music Music performances will be held on two stages. The main stage of ‘Soundclash’ features Indonesian hiphop while the other one presents rap battle, beatbox and b-boy showcases.

Transaksi Jalanan

Street Dealin

Bazar yang memperjualbelikan karyakarya dan merchandise para seniman grafiti. Diundang juga para pengrajin makanan dan minuman untuk ikut memeriahkan suasana.

A market for graffiti artworks and merchandise, as well as food and beverages.

Residensi

Residency

Program residensi ini diikuti oleh seniman grafiti dari Asia Tenggara dan Australia. Mereka membuat karya yang merespons Jakarta era 1990-an, yang dipamerkan di arena Street Dealin.

A residency program for graffiti artists from Southeast Asia and Australia, whose artworks revolve around the theme of Jakarta in the 1990s and are exhibited at the Street Dealin arena.

299


SU P P O RT I NG EVE N T S

DESA JATISURA JATISURA VILLAGE

16-17 November 2015

KEEP THE FIELD Program acara dan kegiatan interdisipliner yang membangkitkan kesadaran internasional akan nilainilai unik komunitas seni Jatiwangi sebagai contoh metode perancangan sosial yang bersifat universal dan global-lokal.

An inter-disciplinary program and activities that evoke international awareness on unique values of the Jatiwangi art community as an example of universal and global-local social design methods.

Kecamatan Jatiwangi dikenal sebagai kawasan penghasil keramik terbesar di Indonesia. Kecamatan itu terdiri atas enam belas desa yang merupakan sentra produsen keramik, baik modern maupun tradisional. Dengan usaha keramik, masyarakat Jatiwangi berkembang menjadi sebuah komunitas industrial.

Jatiwangi Subdistrict in West Java is known as the largest ceramic producer in Indonesia. The area consists of 16 villages that are the production centers of both modern and traditional ceramic. Ceramic production has transformed Jatiwangi society into an industrial community.

Hari-hari ini Jatiwangi menghadapi perubahan sosial-ekonomi dengan dibangunnya jalan tol dan bandara internasional di sekitar kawasan tersebut. Kendati bakal mengakibatkan sejumlah perubahan fisik, yang bisa jadi berdampak positif, pembangunan tersebut juga dapat mengubah hubungan antara pemerintah dan orang setempat. Jatisura, salah satu dari enam belas desa tersebut, merupakan pusat Kecamatan Jatiwangi di mana terdapat sebuah inisiatif bernama Jatiwangi Art Factory (JaF). Kelompok seniman, desainer, dan arsitek itu—beserta jaringan internasionalnya—kini mengupayakan dukungan untuk membangkitkan kesadaran tentang situasi ini dan membantu mencari jalan keluar perihal penggabungan perencanaan berbasis modernitas dan nilai-nilai budaya setempat yang unik. ‘Keep the Field’ merupakan kolaborasi antara The Center for Contemporary Art Ujazdowski Castle di Warsaw, Polandia, dengan JaF. Kolaborasi yang dimulai sejak 2014 tersebut merupakan bagian program

300

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang

These days, Jatiwangi is facing socioeconomic changes with the development of toll roads and an international airport in the area. Apart from the physical changes, which may be positive, the development can alter the relationships between the government and society. Jatisura, one of the 16 villages, is the center of Jatiwangi Subdistrict, where an initiative called Jatiwangi Art Factory (JaF) exists. This group of artists, designers and architects, along with its international network, has rallied support to raise awareness on the situation and help find solution for the incorporation of modernitybased planning and unique local cultural values. ‘Keep the Field’ is a collaboration between JaF and The Center for Contemporary Art Ujazdowski Castle from Warsaw, Poland. This collaboration, part of the Polandbased UA Foundation program titled FOCUS+INDONESIA, has been ongoing since 2014. The first stage of this long-term project will take place at the end of 2015. This collaboration is intended as an effort to preserve the local culture that is related


UA Foundation dari Polandia berjudul FOCUS+INDONESIA. Babak pertama dari proyek jangka panjang ini berlangsung pada akhir 2015. Harapan kolaborasi ini adalah untuk melestarikan budaya lokal terkait produksi keramik, serta nilainilai unik dari kerja-kerja komunitas dan aktivitas seni rupa kontemporer di Desa Jatisura. Hasil dari residensi tersebut akan dipersembahkan kepada publik pada waktu yang bersamaan dengan penyelenggaraan Jakarta Biennale 2015, juga di berbagai acara seni internasional pada masa mendatang

to the production of ceramics, also the unique values of the community works and contemporary art activities in Desa Jatisura. The result of this residency program will be presented to the public in Jakarta Biennale 2015 and other international art events in the future.

JAKARTA BIENNALE 2015

1. Performans puitik dan tur futuristik ke Desa Jatisura oleh seniman, arsitek, desainer, dan tim JaF.

1. Poetic performance and futuristic tour to Jatisura Village by artists, architects, designers and JaF team.

Kegiatan Activities

2. Dialog terbuka dengan arsitekdesainer-seniman residensi:

2. Open dialog with resident architects-designers-artists:

•Intervensi situs baru oleh Robert Kusmirowski

•New sites intervention by Robert Kusmirowski

•Lokakarya dan presentasi perkembangan proyek oleh Marta Frank

•Workshop and project development presentation by Marta Frank

3. Presentasi narasi dan paparan garis besar ‘KEEP THE FIELD’—termasuk pendapat pribadi, kunjungan ke Jatiwangi Art Factory, pemutaran . film pendek, video, and dokumenter pengenalan konteks JaF Robert Kusmirowski, seniman visual Polandia yang menitikberatkan aktivitasnya pada sejarah, memori, benda temuan yang berhubungan dengan sejarah tempat tertentu. Maciej Siuda, seorang arsitek yang berupaya memecahkan persoalan berkaitan dengan isu dan kebutuhan komunitas, juga penulis proyek pembangunan sekolah di Haiti. Marta Frank, desainer yang mengutamakan kerja sehubungan dengan warisan budaya dan geografi. Jatiwangi Art Factory (JaF) dikenal sebagai salah satu lokus kebudayaan di Jawa Barat, Indonesia. Program JaF berfokus pada aktivitas seni kontemporer berbasis komunitas dalam konteks kehidupan perdesaan. Kegiatannya meliputi residensi seni; penciptaan seni visual, musik, video, dan keramik; pameran; diskusi bulanan; siaran radio dan pendidikan; juga festival seni yang berhubungan dengan warisan budaya setempat.

3.

.

301

Narrated presentation and outline exposure of ‘KEEP THE FIELD’— including personal opinions, a visit to Jatiwangi Art Factory, screening of short film, video and documentary as the introduction to JaF context.

Robert Kusmirowski, Polish visual artist who focuses on history, memories, materials related to the history of certain places.

Participants Para Partisipan

Maciej Siuda, an architect who attempt to solve the problems related to community issues and needs. She wrote about a school development project in Haiti. Marta Frank, a designer who focuses on cultural heritage and geography. Jatiwangi Art Factory (JaF) is a cultural locus in West Java, Indonesia. JaF program focuses on community-based contemporary art activities in the context of rural life. The activities include arts residencies; visual art, music, video and ceramic creation; monthly discussion; radio show and education; and arts festival on local cultural heritage.

Konsep ini dikembangkan oleh Marianna Dobkowska (kurator The Centre for Contemporary Art, Ujazdowski Castle, Warsawa) dan Kris Lukomski (PhD, School of Form, Polandia) bekerjasama dengan Ginggi Syarif Hasyim, Arief Yudi Rahman, Ismal Muntaha, Loranita Theo, Arief Syarifuddin, dan JaF.

The concept was developed by Marianna Dobkowska (curator at The Centre for Contemporary Art, Ujazdowski Castle, Warsaw) and Kris Lukomski (PhD, School of Form, Poland), in collaboration with Ginggi Syarif Hasyim, Arief Yudi Rahman, Ismal Muntaha, Loranita Theo, Arief Syarifuddin and JaF.


PROYEK SENI RUPA / ART PROJECTS

Kepang Kampung Baru

Braids of Kampung Baru

Hidup manusia tidak pernah bisa jauh-jauh dari seni. Ia merupakan jalan keluar termudah ketika seseorang ingin mengatasi persoalanpersoalannya. Hal itulah yang coba dibuktikan oleh TROTOARt di Penjaringan, Jakarta Utara—kawasan berpenghuni padat tempat bermukim mereka, yang juga memiliki gunungan limbah kain dari usaha konveksi di sekitarnya.

Life and art are inseparable. In times of trouble, people often look to art as the easiest solution. TROTOARt seeks to prove this thesis in Penjaringan, North Jakarta, a densely populated area where they reside. The area is also home to a high level of cloth waste from the clothing business in the surroundings.

TROTOARt berkolaborasi dengan anakanak, para ibu, akademisi, pemerintah, dan seniman dari kota lain untuk mengubah limbah tersebut menjadi kain kepang. Kain-kain itu, yang setiap utasnya sepanjang satu meter, berfungsi sebagai bahan baku pembuatan aneka benda artistik yang berguna. Berbagai hasil karya dari kain kepang ini ditampilkan di Gudang Sarinah, ruang pamer utama Jakarta Biennale 2015.

TROTOARt collaborated with children, mothers, academics, the local government, and artists from various cities to turn the waste into braided fabric. The fabric, each piece one meter long, can be used as raw materials to make all sorts of useful, artistic items. The various artworks produced from the braided fabric are exhibited in Gudang Sarinah, the main exhibition space of Jakarta Biennale 2015.

TROTOARt merupakan perkumpulan yang didirikan sejumlah seniman di Jalan Pintu Besar Selatan, Kawasan Kota Tua, Jakarta, yang mewujudkan berbagai aktivitas kesenian bermuatan sosial. KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) yang diikuti 200 anak-anak adalah salah satu kegiatan mereka. Selain itu, ada pula kegiatan Senam untuk Ibu yang melibatkan sekitar 300-an partisipan.

302

TROTOARt is a collective founded by a group of artists in Jalan Pintu Besar Selatan, Jakarta’s old city area, which organizes art events with social causes. Their KBM (Kegiatan Belajar Mengajar, or Learning Exercise) classes, attended by 200 students, is one of their events. In addition, they also organize exercise classes for mothers, with around 300 participants.

Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang


JAKARTA BIENNALE 2015

TROTOARt turut mengundang Sobirin, The Popo alias Riyan Riyadi, dan Marishka Soekarna untuk berkarya di Penjaringan. Sobirin akan berkarya di pinggiran Kali Opak, sementara The Popo membuat mural di Gang Senggol—sebuah lorong sepanjang seratusan meter, yang seharihari digunakan sebagai jalan pintas warga di RT 06/RW 08.

TROTOARt also invited Sobirin, The Popo alias Riyan Riyadi, and Marishka Soekarna to organize art projects in Penjaringan. Sobirin created artworks in the riverside area of Kali Opak, while The Popo drew a mural in Gang Senggol—a narrow passageway about 100-meter long, often used as a shortcut by the residents in RT 06/RW 08.

Marishka Soekarna mengadakan forum dengan orangtua setempat beserta anakanak mereka, untuk menghimpun aspirasi dan harapan mereka terhadap generasi penerus. Harapan-harapan ini yang Marishka olah menjadi mural di taman kanak-kanak setempat.

Marishka Soekarna organized a forum for parents in the neighborhood and their kids, to amass their opinions and aspirations regarding the future generation. These public opinions served as the basis for Marishka's mural in a kindergarten in the area.

303


Ucapan Terima kasih Acknowledgments


Rekanan Ruang Pamer Exhibition Space Partners SARINAH

Ira Puspadewi Handriani Tjatur Setiowati Magry N. Warganegara Andiko Sati Poerwoko

Rekanan Utama Lembaga Main Institution Partners DEWAN KESENIAN JAKARTA

Irawan Karseno Alex Sihar Helly Minarti Hafiz Inda C Noerhadi Sarnadi Adam Irvan Noe’man (Alm) Madin Tyasawan Sherly Banowati Andike Widyaningrum Dita Kurnia Riosadja Joel Taher Eva Tobing

STITCHING DOEN

Gertrude Flentge HIVOS

Tanja Vranic MONDRIAAN FUND

Birgit Donker Coby Reitsma Laia Frijhoff SAHA – SUPPORTING CONTEMPORARY ART FROM TURKEY

Merve Caglar Yavuz Parlar NEW ZEALAND EMBASSY JAKARTA

Dr Trevor Matheson Jemma Lala

Michael Rauner Emma Kay Ineke de Hoog Bob Wardhana Suni Wijogawati Sadiah Boonstra ACCIÓN CULTURAL ESPAÑOLA AC/E (SPANISH CULTURAL ACTION)

CENTRE FOR CULTURE AND DEVELOPMENT (CKU) DANISH EMBASSY

Marta Rincón Diana Jiménez Patricia Salas Mónica Hernández

BRITISH COUNCIL

Sally Goggin Adam Pushkin Katrina Schwarz Irma Chantily Rifda Amalia Olivia Sandra ARTS COLLABORATORY

Binna Choi - CASCO

Maddie Leach and Jakarta Biennale Foundation would like to thank: College of Creative Arts / Toi Rauwharangi creative.massey.ac.nz VANABBE MUSEUM

Marcia Vissers Christiane Berndes Jantine Claus Kim Sluijter Margo van de Wiel INSTITUT FRANÇAIS D’INDONÉSIE - JAKARTA

Didier Vuillecot Elisabeth Simonet Happy Herawati GOETHE-INSTITUT JAKARTA

ERASMUS HUIS

Rekanan Budaya Cultural Institution Partners

Casper Klynge Elsebeth Krogh Tanja Vestergaard Signe Leth Dewi Suciati Hanna Muszynska Jacob I. Myschetzky Maria B. Oehlenschläger

MASSEY UNIVERSITY WELLINGTON

JAPAN FOUNDATION ASIA CENTER

Nurul Komari KOREAN CULTURAL CENTER - JAKARTA

Jong Rye Tang Debora Manja AUCKLAND UNIVERSITY OF TECHNOLOGY

Dieneke Jansen and Jakarta Biennale Foundation would like to thank: The School of Art & Design and the Faculty of Design and Creative Technologies

Katrin Sohns Maya

Rekanan Organisasi Organization Partners SERRUM

Arief Rachman M. Arief Trihadi Arief Widiarso RUANGRUPA

Ajeng Nurul Aini Daniella Fitria Praptono FORUM LENTENG & VISUAL JALANAN

Hafiz Andang Kelana Mahardika Yudha Abi Rama Umi Lestari Christmastuti Destriyani Hanif Alghifary Rambo Rachmadi M. Fauzan Chaniago Dalu Kusma Ario Fazrien


RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU

Pithono Adi I Gusti Agung Putri Astrid Kartika Razif Muhammad Fauzi INTERNATIONAL BIENNIAL ASSOCIATION

Kate Jarocki INDOARTNOW

Tom H Tandio Natasha Sidharta Hafidh Ahmad Irfanda KELAS PAGI

Anton Ismael Andrew Carnegie Faris Shidqi

Individu Individuals Nadia Harjuni Rochajati Nyoman Vidhyasuri Utami Vivi Coster Amalia Wirjono Iswanto Hartono Rizki Nauli Siregar Aji Wibowo Nathanael Siagian Devie F Shufia Monika Irayati Mulia Idznilah Rachmad Gunawan Agung Hartamurti Rio ‘Tupay’ Suzandy Aulia Ulfa Saphira Andini Rahmi Angga Cipta

YAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA

Justina Neni Alia Swastika Ratna Mufida Adel

Program RAOS RAOS Program JAKARTA 32°C

BAZAAR ART JAKARTA 2015

Indonesia Art Concultancy MRA Media Seniman yang terlibat dalam pengumpulan dana BAJ 2015 All artist involved in BAJ 2015 fundraising

Andang Kelana M. Sigit Budi Santoso Sugar Nadia Yunnita Setyahati Nissal ‘Lindung’ Nur Afryansah M. Luthfi Nur Septian Fauzan Chaniago Ario Fazrien Bella Budi BERAKAR KOMUNIKASI

Eko Harsoselanto Yoga Adhitrisna Hari Prasetiyo Satriyo Wibowo Abdi Haq Nazar Krishnan Arista Yusdi Irawan Boney Tidarma Rian Gifari Maulana Imal Lidya Sembiring Lisa Kafrawi Andi Aswin

KOALISI SENI INDONESIA

Abduh Aziz Linda Hoemar Vidya Larasati A Annisa Ayu Maharani Ni Nyoman Putri Nanda P. L M. Hafez Gumay SENIMAN / ARTISTS

Hari Prasetiyo Jeany Pebriwayani Gardu House Anton Ismael Reza “KomikAzer” Mustar Kiswinar The Popo Gelar A. Soemantri Lala Bohang Ika Vantiani Simon Hauer Triwibawa ‘Cimot’ Santosa Grafis Huru Hara REKAN KOMUNITAS/ WARGA/ KAMPUS COMMUNITY/CITIZENS/ CAMPUS PARTNERS

Sanggar Anak Harapan Plumpang Utan Kayu Duri Kepa Rusun Marunda Kecamatan Pejagalan Sanggar Roda Pulogadung Penjaringan (Trotoart) Universitas Negeri Jakarta (HIMA Seni Rupa) Politeknik Negeri Media Jakarta (Wakil Ketua BEM Politeknik Negeri Media Kreatif -Farhan RF) Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Kampung Segart) Universitas Indonesia (Tim Psychology Summit 2015) Universitas Bina Nusantara (Himpunan DKV) Universitas Tarumanagara (Galeri Lawang dan BEM FSRD) Institut Kesenian Jakarta (Ketua Senat Seni Rupa Rico Prasetyo) STIKOM InterStudi (Budiman Setiawan)


Periset mengucapkan terima kasih kepada Researcher would like to thank Burhan Kadir Temmawela Rahmat Arham Ahmad Hilal Reza Rustam Nasrullah Mappatang Fardi Ali Nila AU Maulida Raviola Raka Ibrahim Rachmawati Ramli Institut Sejarah Sosial Indonesia Sanggar Akar petajakarta.org Nirwan Ahmad Arsuka Iwan Sumantri Prof. Dr. Melani Budianta Dr. Manneke Budiman Dr. Andi Akhmar Prof. Jeffrey Hadler Dr. Hilmar Farid Prof. Abidin Kusno Prof. Kuan-Hsing Chen Prof. Rudolf Mrazek Prof. Goh Beng Lan Seungki-Cho Etienne Turpin Program Edukasi Publik mengucapkan terima kasih kepada Public Education Program would like to thank Anton Ismael - Third Eye Space Studio Arief Darmawan - SMKN 20 Diela Maharani Erudio School of Art (ESOA) Gardu House Ibu Muji Icthus International School - Mr Jerome Irwan Ahmett Joy Rikkers - Stedelijk Museum M Khotibuk Umam - SMA Al Azhar Pusat Majalah Hai dan Panitia Hai Day 2015

Marda Yuantika Haninggarjati - ESOA M.G. Pringgotono Nova Dewi & Uwi Mantovani Paviliun 28 Popo Reza Afisina Reza Mustar / Komikazer ruangrupa RURU Museum Akili Program Simposium mengucapkan terima kasih kepada Symposium Program would like to thank Galit Eilat Angga Wijaya Klara Puspa Miki Salman Idaman Andarmosoko Gabriëlle Schleijpen & dan Dutch Art Institute (DAI)

Divisi Komunikasi mengucapkan terima kasih kepada Communication Division would like to thank [Individu/Individuals] Andi Gunawan Atreyu Moniaga Bhagavad Sambadha Chika Nadya Devi Gunawan Dian Adi Prasetyo Dimas Novriandi Dinda Kanya Dewi Galih Hidayatullah Ika Vantiani Iyas Lawrence Josefine Yaputri Kartika Jahja Komikazer Lucia Nancy Nunik Rahmawati Rahne Putri Sahid Permana The Popoh Zulika Sambadha

[Komunitas/Community] aikon – Yayasan Pikir Buat Nusantara Ayorek! Indonesian Visual Art Archive Suar Artspace Ketemu Projects Akumassa Kelola [Rekan Media/Media Partner] CNN indonesia Hai Magazine Detik.com Seputar Event Info Jakarta Elle Decoration Indonesia Media Indonesia Area Magazine Juice Magazine Freemagz Freemagz.com Oz Radio JKT - Bandung - Bali Whiteboardjournal Kompas Cetak Woman Radio Magdalene.co Kaleidoscope Asia Biennial Foundation O Channel Mustang Radio KIS FM Jakarta Demajors Radio RURU radio Qub tv Metrotvnews.com irockumentary.com The WKND Gigsplay Provoke! Magazine Trax Magz Esquire Bravacasa Cosmo Girl Kompas.com www.ccnindonesia.com CNN Indonesia TV Indoartnow Kelas Pagi


[Non-partner] Felicia S. – PathWay Magz Rachel Smith – Colours Magazine (Garuda Indonesia) Georgia Moodie – Books and Arts, ABC Radio National (Australia) Eda Sezgin – Gencsanat Art Magazine (Istanbul, Turkey) Louise Darblay – ArtReview (London) – ArtReview Asia

Divisi Sponsorship mengucapkan terima kasih kepada Sponsorship Division would like to thank Uwi Mathovani, Dewi Nova, Jonathan Lesmana - Suwe Ora Jamu Prana Andika - Fontana Residence

Tiara Maharani Kusuma – Kabare Magazine

Nanda Ekaputra, Ghalila Tania Gumai, Jafar Fakhry, Arya Damar Jayengrana - PT. GoJek Indonesia

Jacqueline Mermea – Art + Auction (USA)

Imam Faiz, Robby - Cano Digital Copy & Printing

Mohammad Ady Nugeraha – Bazaar Art Jakarta 2015

Wendi Armoko, MG Pringgotono - Weey!

Lucy Rees – Flash Art International (Singapore)

Stephanus - Globe

Susanne Boecker - Biennial Foundation

Ruth Setyawati - Cubicle

Kate Sutton - Art Forum (USA) Esther H - Life in Jakarta Andreas D. Arditya - Beranda Intiland Magazine

Fajar Ramadhan - Dwidayatour Junas Miradiarsyah - TelapTelep Foodtruck

Anwar ‘Jimpe’ Rachman mengucapkan terima kasih kepada/ would like to thank

Divisi Merchandise mengucapkan terima kasih kepada/ Merchandise Division would like to thank

Bang Lete (Srengseng Sawah)

Amenkcoy / Mufti Priyanka

Ibu Rayani Sri Widodo dan staf TK

People and Paper / Kiswinar Bujangan Urban / Jablay ESJEPEinc / Indah & Iwan Esjepe Little Museum / Anastasia Endah Grafis Huru Hara / Dighel dkk The Popo /Popo UGLY / Dila Ayulia dkk Canvas Living

Ibu Irma (Condet)

Babul Ilmi (Condet) Kedai Pojok Adhyaksa (Makassar)

Asep Topan mengucapkan terima kasih kepada/ would like to thank Sanggar Anak Akar Komunitas Ciliwung Condet Komunitas Kanot Bu Liga Kebudayaan Tikar Pandan Perkumpulan Pamflet Generasi Kolektif Hysteria

Benny Wicaksono mengucapkan terima kasih kepada/ would like to thank Ayos Purwoaji Debby Utomo Dwiki Nugroho Mukti Anitha Silvia Rizka Putri Novitasari Lailatus Sa’diyah Asy Syam EA Helmi Hardian Wahyu Gunawan Bapak Gatot Subroto Bapak Warsito Bapak Martono Bapak Said Paguyuban Warga Strenkali Surabaya (PWSS) Waft-lab C20 library and collabtive



Executive Director Ade Darmawan Managing Director I MG. Pringgotono Managing Director II Vicky Rosalina

TIM JAKARTA BIENNALE JAKARTA BIENNALE TEAM

Secretary Bellina Erby Administration Anita ‘Bonit’ Purniawati, Wiendy Anggraeni Sofion, Hana Monika Finance Consultant Icang S Tisnamiharja Finance Tri Suci Meilawati, Anita ‘Bonit’ Purniawati Curator Charles Esche Anwar ‘Jimpe’ Rachman Asep Topan Benny Wicaksono Irma Chantily Putra Hidayatullah Riksa Afiaty Curatorial Advisor Galit Eilat Curators Lab Program Coordinator Mia Maria Writer Erni Aladjai

Public Education Program Coordinator Mia Maria Assistant to Public Education Program Coordinator Yohanes Daris Adi Brata Duta Seni Coordinator Kushandari Arfanidewi, Angga Wijaya Writer for Seni Rupa Kita book Belle Bintang Biarezky Seni Rupa Kita Book Designer Angga Cipta Seni Rupa Kita Book Illustrator Joneta Witabora Symposium & Academy Coordinator Farid Rakun Assistant to Symposium & Academy Coordinator Klara Puspaindrawati Researcher Mirwan Andan Roadshow Program Coordinator Eko Harsoselanto, Andang Kelana Roadshow Team M. Sigit Budi S., Yunnita Setyahati, Sugar Nadia, Luthfie Nurseptian, M. Fauzan Chaniago, Nissal Nur Afryansah, Ni Nyoman Putri Nanda P. L.


Production Manager Arief Rachman Exhibition Designer Iswanto Hartono Exhibition Production M. Arief Trihadi Coordinator Venue Saiful Anwar Art Handling Team SERRUM Studio Display and Art Handling Coordinator Arief Atto Art Handling Winanda Suciyadi, R.M. Herwibowo, Gilang Ramadian, Pramudya Wiguna, Dwi Penjol, Ananta Rizky Pramudya, Irvanda, Geo Ferdias Art Handling & Construction Rahmat Hidayat Art Handling & Electric Oshan Nurisa, Safirul Islami Art Handling & Transportation Teguh Setiawan Construction Aris, Edi Junaidi, Sobirin Equipment Management Topan Darmawan Electronic Equipment Muhammad Lutfi Nur Septian Printing Development Wacil Wahyudi Runner and Print M. Sodik Documentation M. Hasrul Driver & Loading M. Hamsyah Art Handling for Video Mahardika Yudha, Gelar Agryano Soemantri Community Project Coordinator Bagasworo Aryaningtyas Mural Project Coordinator Adi Setiawan Publication Coordinator Ardi Yunanto Editor & Writer Adrian Jonathan Pasaribu Web Reporter Pandji Putranda, Shadia Pradsmadji, Ni Nyoman Nanda Putri Lestari Web Translator Rizal Iwan Web Administrator Syifanie Alexander Web Programmer Yohanes Daris Adi Brata CATALOG

Editor in Chief Ardi Yunanto Editor & Writer Ninus D. Andarnuswari, Adrian Jonathan Pasaribu, Bayu Maitra Indonesian Proofreading Adrian Jonathan Pasaribu, Ardi Yunanto Translator for Programs and Others Hera Diani Translator for Artwork Descriptions Rizal Iwan English Proofreading VRN, Ninus D. Andarnuswari, Adrian Jonathan Pasaribu Fact Checker for Artists’ Biographies Shadia Pradsmadji Graphic Designer Cecil Mariani Assistant to Graphic Designer Patricia Adele Hutauruk, Zulfikar Arief

Graphic Designer Cecil Mariani Assistant to Graphic Designer Angga Cipta, Andini Rahmi, Aulia Ulfa Saphira, Nissal ‘Lindung’ Nur Afryansah, Zulfikar Arief Merchandise Coordinator Harjuni Rochajati Communication Manager Shera Rindra M. Pringgodigdo Media Relation Officer Aldila Karina Putri, Dosma Ruth Belinda Social Media Administrator Charlie Chris Evan, Reza Zefanya Mulia Sponsorship Officer Ria Ekasari Resources & Hospitality Coordinator Yulia Darnis Opening Coordinator Indra Ameng Assistant to Opening Coordinator Ajeng Nurul Aini Creative Weekend Market Coordinator Thema Isriarti Putri Video Documentation Indoartnow Photo Documentation Kelas Pagi, 301 Studio (Panji Purnama Putra, Apriliyan) Videographer Muhammad Hafiz, Rendy Herdiyan Volunteer Agung Prasetya Nugraha, Agustian, Ahmad Alfian, Alamsyah Fahrizi, Alifah Mellisa, Alinda Rimaya, Anggun Yulia, Annisa Fauzia, Arief Alqori, Auliya Anugerah, Charisma Agni, Claudia Koenig, Dea Ayu, Degi Bintoro, Dervin, Dwi Aji, Fariz Reza Habib, Febry Sari Andini, Fitri Ayu Adriani, Hanna Astaranti, Intan Kusuma D., Intan R. Sabrina, Jelita Barbara, Leonardo Laurensius, Luna, Muhammad Rizky Faisal, Nerissa Arviana, Oti Maulidia, Ratmia Dewi, Ridwan Maulana, Rizky Setiawan, Ryan Theo, Ryana Arum, Sakinah Alatas, Viandira Athia, Yunita Napitupulu


Rekanan Utama / Main Partners

Rekanan Budaya / Cultural Partners


Rekanan Organisasi / Organization Partners

Sponsor / Sponsors

Rekanan Media / Media Partners




#Kompas50th

KOMPAS/ AGUS SUSANTO


5

th

ANNIVERSARY ISSUE

THE WORLD’S NUMBER ONE STYLE MAGAZINE FOR THE HOME

On Sale Now! TRINAYA MEDIA (021) 7206652 ELLE DECORATION INDONESIA

@ELLEDECORINA

ELLEDECORINDONESIA


THE BRAND NEW SERVICE

Pesan mobil boks, pickup bak, blind van dan truk engkel yang dapat dipesan langsung melalui aplikasi GO-JEK!

MENGAPA MENGGUNAKAN APLIKASI GO-BOX siap seketika

konfirmasi instan

Dapatkan kendaraan seketika setelah melakukan pemesanan langsung atau sehari sebelumnya! Layanan kami siap sedia 24 jam

Tak perlu lagi tawar menawar! Dengan satu klik, dapatkan kepastian harga dan kendaraan akan tiba dalam 45 menit

aman dan terjamin

dapatkan laporan pengiriman

Pengemudi dan kendaraan telah melewati pemeriksaan keamanan dan latar belakang. Barang anda akan diasuransikan hingga Rp 10.000.000

Pengiriman anda akan tercatat pada sistem yang mudah diakses. Tanda terima pengiriman akan dikirimkan lewat email

terlacak dan terencana

harga transparan

Antar barang anda hingga ke 15 titik destinasi! Lacak posisi kendaraan pada setiap waktu

Kami menerapkan skema penentuan harga yang sederhana berdasarkan jarak yang ditempuh

DOWNLOAD APLIKASI GO-JEK SEKARANG!

@ csgobox@go-jek.com

@goboxindonesia

www.go-box.co.id





Mission Statement: International Biennial Association (IBA) is a platform for establishing, researching and exchanging the knowledge and information necessary for institutions and professionals who plan and curate periodic art events such as biennials and triennials, artists, researchers and others concerned with contemporary art. IBA is a center for producing multidisciplinary discourse that embodies the productive and discursive voices of the global biennial community. It develops a range of diverse programs to support rights and promote mutual understanding between institutions and their individual members, who play pivotal roles in both its practice and discourse.

IBA Structure IBA consists of an Executive Board, Board Members, the IBA Office and the general membership. These groups work together to establish and carry out the IBA’s mission with the help of three different meetings: Board Meetings, General Assemblies and Working Committee meetings. Conducted by the 16 members of the Board and Executive Board, Board Meetings are held throughout the year and serve to advance IBA’s mission. Matters are thoroughly discussed and decisions are made. Discussions include new candidates for membership, changes to the articles, future advertising fees, sponsorship and partnership opportunities. Annual General Assemblies serve both the general membership and the public. As a communicative tool, they allow for both marketing of IBA as a fixture in the international art world and as a source for disseminating information about matters of policy, past actions and accomplishments as well as future endeavors. Should a matter discussed by the Board require a vote, a vote is held at the General Assembly. Led by board members acting in an individual capacity, the four Working Committees are the driving force behind IBA and the avenue through which objectives are met. The four committees – Programming, Research, Policy and Finance – propel the Board’s decisions forward. Overseeing all of these operations is the IBA Office. Located in the resident country of the IBA president, the IBA Office is responsible for planning and coordinating all meetings, communicating with all members regarding any issue or question that may arise, creating and maintaining IBA’s brand through public relations, strategic marketing and communications, and acquiring the funds to facilitate the daily functions of the office. Jakarta Biennale is a proud member of International Biennial Association, an association that promotes engagement between art professionals and institutions concerned with periodic contemporary art events.


T

he Japan Foundation (JF) adalah lembaga

para pelaku seni untuk terlibat dalam proyek seni

non profit yang didirikan pada tahun 1972 di

yang mengandung nilai kebajikan dari kehidupan

Jepang dan didedikasikan untuk menangani

dan diharapkan juga dapat menciptakan jaringan

program pertukaran budaya internasional secara

berskala internasional.

komprehensif. Dengan tujuan untuk memperdalam pemahaman antara masyarakat Jepang dan negara

Kesempatan ini semakin terbuka sejak JF mem-

serta wilayah lain, kami berharap agar berbagai

buka kembali program Asia Center pada tahun

kegiatan dan informasi yang kami berikan dapat

2014. Program ini lebih berfokus pada kegiatan

menciptakan kesempatan interaksi antar individu di

pertukaran dua arah yang melibatkan Jepang dan

dunia.

negara-negara di ASEAN. Kegiatan pertukaran dua arah antara para pelaku seni akan memungkinkan

JF memiliki 22 kantor cabang di 21 negara antara

adanya perkenalan budaya Indonesia kepada dunia

lain di Eropa, Timur Tengah, Amerika, Asia;

secara bertahap, mulai dari Jepang, ASEAN, hingga

termasuk Indonesia, selain dua pusat lembaga

tingkat dunia. Tahun ini, Asia Center masih mem-

pengembangan Bahasa Jepang di Jepang dan

buka peluang bagi pelaku seni di Indonesia untuk

kantor cabang di Kyoto. Melalui kantor-kantor

mengembangkan kekaryaannya melalui Grant Pro-

cabang ini, JF melakukan berbagai aktivitas

gram dan Fellowship Program. Aplikasi paling lam-

pertukaran budaya dan bekerjasama baik dengan

bat diterima pada tanggal 1 Desember 2015. Untuk

Kedutaan Besar dan Konsulat Jepang, institusi

keterangan lebih lanjut, dapat mengunjungi website

pengajaran Bahasa Jepang, dan lembaga budaya

http://www.jpf.go.jp/e/program/dl/culture/pdf/

setempat maupun individu yang berdedikasi di

pg_Q-EAS_e.pdf, http://www.jpf.go.jp/e/program/

bidang terkait untuk mengembangkan aktivitas

ac.html, dan http://jfac.jp/en/grant-fellowship/pro-

berskala global. Melalui program Pertukaran

grams-index/.

Seni dan Budaya, JF menciptakan peluang bagi

The Japan Foundation Jakarta @JF_Jakarta




Jakarta Biennale 2015: ‘Maju Kena Mundur Kena: Bertindak Sekarang’ Yayasan Jakarta Biennale, 2015

Pemimpin Redaksi Editor in Chief: Ardi Yunanto Redaktur dan Penulis Editors and Writers: Ninus D. Andarnuswari, Adrian Jonathan Pasaribu, Bayu Maitra Penyelaras Bahasa Indonesia Indonesian Proofreading: Adrian Jonathan Pasaribu, Ardi Yunanto Penerjemah Program dan lainnya Translator for Programs and Others: Hera Diani Penerjemah Deskripsi Karya Seniman Translator for Artwork Descriptions: Rizal Iwan Penyelaras Bahasa Inggris English Proofreading: VRN, Ninus D. Andarnuswari, Adrian Jonathan Pasaribu Pemeriksa Data Biografi Seniman Fact Checker for Artists’ Biographies: Shadia Pradsmadji Sambutan Forewords: Purba Hutapea, Irawan Karseno, Ira Puspadewi Pengantar Introduction: Ade Darmawan Kuratorial Curatorial: Charles Esche Curators Lab Anwar ‘Jimpe’ Rachman, Asep Topan, Benny Wicaksono, Irma Chantily, Putra Hidayatullah, Riksa Afiaty Bahan Deskripsi Karya Seniman Materials for Artwork Descriptions: Anwar ‘Jimpe’ Rachman, Asep Topan, Benny Wicaksono, Charles Esche, Irma Chantily, Putra Hidayatullah, Riksa Afiaty Program Programs: Mia Maria, Farid Rakun, Andang Kelana, Eko Harsoselanto Penyedia Bahan Data Collection: Bellina Erby, Vicky Rosalina Desainer Grafis Graphic Designer: Cecil Mariani Asisten Desainer Grafis Assistants to Graphic Designer: Patricia Adele Hutauruk, Zulfikar Arief Gambar dan Fotografi Pictures and Photography: Para seniman/all artists Jakarta Biennale 2015, Bagasworo Aryaningtyas, Adi Setiawan, Charles Esche, Putra Hidayatullah, Riksa Afiaty, Anwar ‘Jimpe’ Rachman



SENIMAN / ARTISTS Agung Kurniawan (Yogyakarta) Annisa Rizkiana Rahmasari (Semarang) Aprilia Apsari (Jakarta) Arahmaiani (Yogyakarta) Araya Rasdjarmrearnsook (Chiang Mai)

Fuady Keulayu (Banda Aceh)

NUR (Jakarta)

Idrus bin Harun (Banda Aceh)

Octora (Bandung)

Iswadi Basri (Banda Aceh)

Oscar Muñoz (Cali)

Jakarta Wasted Artists (Jakarta)

Peter Robinson (Auckland)

Jeremy Millar (London)

Pratchaya Phinthong (Bangkok)

Jonas Sestakresna (Denpasar)

Renzo Martens (Amsterdam)

Juan Pérez Agirregoikoa (San Sebastián, Paris)

Reza Afisina (Depok)

Köken Ergun (Istanbul) Kolatt (Yangon)

Ariani Darmawan (Bandung)

Komunitas Quiqui (Makassar)

Bamboo Curtain Studio (New Taipei, Yunlin)

Lab Laba Laba (Jakarta)

Post-Museum (Singapore)

Reza Enem (Makassar) Richard Bell (Brisbane) Sanchia T. Hamidjaja (Jakarta) Setu Legi (Yogyakarta) SUPERFLEX (Copenhagen)

Bik Van der Pol (Rotterdam)

Leonardiansyah Allenda (Banyuwangi)

Bron Zelani (Jakarta)

Lifepatch (Yogyakarta)

The Youngrrr (Jakarta)

Clara Ianni & Débora Maria da Silva (São Paulo)

M. Cora (Makassar)

Tisna Sanjaya (Bandung)

Maddie Leach (Wellington)

Tita Salina (Jakarta)

Cooperativa Cráter Invertido (Mexico City)

Maika Elan (Hanoi) Marishka Soekarna (Depok)

Cut Putri (Banda Aceh)

Tom Nicholson (Melbourne) dengan/with Grace Samboh (Yogyakarta)

Mark Salvatus (Manila)

Dan Perjovschi (Bucharest)

Tromarama (Bandung)

Maryanto (Yogyakarta)

Dea Widya (Bandung)

Wiyoga Muhardanto (Bandung)

Meiro Koizumi (Yokohama)

Dieneke Jansen (Auckland)

Wonderyash (Jakarta)

Melawan Kebisingan Kota (Surabaya)

Yee I-Lann (Kuala Lumpur)

Dwi ‘Ube’ Wicaksono Suryasumirat (Jakarta) Etcétera (Buenos Aires, Valparaiso) Evelyn Pritt (Jakarta) Firman Djamil (Makassar)

Merv Espina (Manila) Miebi Sikoki (Jakarta) Ng Swan Ti (Jakarta) Nobodycorp. Internationale Unlimited (Yogyakarta)

Surya Wirawan (Yogyakarta)

Yongseok Jeon (Seoul) Yoppy Pieter (Jakarta) Zeyno Pekünlü (Istanbul) Zulhiczar Arie (Yogyakarta)

KURATOR / CURATORS

Charles Esche Anwar ‘Jimpe’ Rachman Asep Topan Benny Wicaksono Irma Chantily Putra Hidayatullah Riksa Afiaty

Jakarta Biennale Foundation Jl. Amil Raya No. 7A Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta 12510 Indonesia

P: (+62) 21 797 1012 E: info@jakartabiennale.net www.jakartabiennale.net

jktbnl @JKTBNL / @JakartaBiennale @JakartaBiennale


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.