Jakarta Biennale 2017: JIWA

Page 1


Pembukaan: Sabtu, 4 November 2017 di Gudang Sarinah Ekosistem 18.30 - 22.00 WIB Pameran: 5 November - 10 Desember 2017 Rangkaian Performans: 4 - 14 November 2017 Simposium: 13 - 14 November 2017 di IFI (Institut Français d’Indonésie) Jl. M.H. Thamrin No. 20, Jakarta Pusat 10350

13.00 - 20.00 WIB

Lokasi: Gudang Sarinah Ekosistem Jl. Pancoran Timur II, No. 4 Jakarta Selatan 12780 Buka setiap hari dari 11.00 – 19.00 WIB Gratis Museum Sejarah Jakarta Jl. Taman Fatahillah, No. 1, Jakarta Barat, 11110 Buka Selasa - Minggu, 09.00 – 17.00 WIB Museum Seni Rupa & Keramik Jl. Pos Kota, No. 2, Jakarta Barat, 11110 Buka Selasa - Minggu, 09.00 – 17.00 WIB


2

Pengantar

Melihat sekilas perjalanan Jakarta Biennale selama empat edisi terakhir (2009–2015), kita bisa melihat peran Jakarta Biennale dalam menawarkan tema-tema pembacaan realitas kontemporer. Dalam empat edisi tersebut, Jakarta Biennale telah menggagas isu kota yang kental berikut praktik-praktik artistik yang ditawarkan seniman, baik dalam pameran maupun intervensi ruang-ruang kota serta proyek seni berbasis situs dan komunitas. Irisan-irisan dan elemen-elemen yang berkelanjutan dari satu edisi ke edisi yang lain terlihat dalam Jakarta Biennale 2013 dengan tema “Siasat�, demi memeriksa ulang posisi dan praktik artistik warga dalam menyiasati segala keterbatasan, ketidakstabilan, masalah, ancaman, potensi, maupun kesempatan yang dihadapi di ruang kota. Beberapa isu lalu dibahas dengan lebih tajam dalam Jakarta Biennale 2015 yang berfokus pada isu-isu: kota dan sejarah; air dan lingkungan serta gender dan relasi-relasi di antaranya yang membentuk masyarakat hari ini. Ini membuat Jakarta Biennale menjadi refleksi kritis atau bahkan perayaan atas keriuhan dan kebisingan yang terjadi di sekeliling kita. Di tengah kebisingan kenyataan hari ini yang riuh dengan fanatisme, kegilaan para pemimpin, dan pertarungan ruang warga serta intoleransi, menjadi relevan dan penting untuk melihat dan mempertanyakan kembali dorongan-dorongan dasar manusia, mengamati berbagai hubungan yang bersifat majemuk, menggerakkan berbagai indra, rasa, dan wawasan. JIWA: Jakarta Biennale 2017 diselenggarakan sebagai usaha untuk terus memperkaya dan memperluas pengalaman artistik dan daya kritis publik dalam mendekati fenomena kenyataan kontemporer dengan cara yang lebih kontemplatif dan indrawi. Itulah mengapa kami memilih Melati Suryodarmo sebagai direktur artistik. Ia menawarkan konsep “Jiwa� untuk membahas berbagai masalah dan pertanyaan mengenai seni dan budaya kontemporer. Jiwa dapat diartikan sebagai sebuah dorongan dasar manusia, kebersamaan, masyarakat, alam, serta segala sesuatu yang bersifat rohaniah dan tak kasat mata. Dengan pengalaman dan kepekaannya sebagai seniman, kurator, dan networker, Melati Suryodarmo kami harap dapat membawa sudut pandang dan pendekatan yang berbeda dan inspiratif. Dari hasil beberapa tahapan diskusi, akhirnya empat kurator, Annissa Gultom, Hendro Wiyanto, Phillipe Pirotte, dan Vit Havranek, kami undang untuk bersama-sama Melati Suryodarmo merancang dan mengarahkan secara artistik bagaimana JIWA: Jakarta Biennale 2017 diselenggarakan.


JIWA: Jakarta Biennale 2017

Lokasi penyelenggaraan JIWA: Jakarta Biennale 2017 terletak di Gudang Sarinah Ekosistem dan, untuk memperluas jangkauan publik, Museum Sejarah Jakarta serta Museum Seni Rupa dan Keramik. Secara keseluruhan, JIWA: Jakarta Biennale 2017 terdiri atas 51 seniman yang berasal dari dalam dan luar negeri. Dengan terpilihnya tiga lokasi pameran, JIWA: Jakarta Biennale 2017 secara khusus terpusat di dua titik strategis di Kota Jakarta, yaitu di bilangan Pancoran, Jakarta Selatan, dan area Kota Tua, Jakarta Barat. Selain menyelenggarakan pameran seni rupa kontemporer, tim artistik JIWA: Jakarta Biennale 2017 memiliki perhatian khusus pada upaya penerbitan buku seni rupa. Penerbitan buku merupakan salah satu agenda penting Jakarta Biennale sejak 2013. Khusus pada JIWA: Jakarta Biennale 2017, tiga buku diterbitkan seiring penyelenggaraan bienial. Buku-buku tersebut adalah buku kumpulan tulisan seni rupa Bambang Bujono dari 1968–2017; buku catatan-catatan seni rupa Siti Adiyati dari 1975–1997; serta buku berisikan ulasan, tulisan, hingga arsip mengenai Semsar Siahaan. Dalam setiap penyelenggaraannya, Jakarta Biennale memiliki komitmen untuk mengadakan pendidikan seni rupa kepada publik secara berkesinambungan. Hal ini diwujudkan di antaranya dengan menyelenggarakan berbagai lokakarya, seperti lokakarya pemanfaatan benda-benda pascapameran, dan menghadirkan seniman sebagai pengajar di beberapa sekolah yang kami undang untuk bekerjasama. Hal ini kami lakukan untuk terus mendekatkan seni rupa kepada publik, terutama generasi muda. Selain beberapa hal di atas, Yayasan Jakarta Biennale akan terus mengembangkan kegiatan-kegiatan pendidikan dan kebudayaan di luar penyelenggaraan pameran Jakarta Biennale itu sendiri. Kami harap kami dapat memainkan peran penting dalam perkembangan seni rupa di tanah air. Kegiatan-kegiatan ini kami rancang dan susun sebagai upaya memperluas jaringan, kolaborasi, hingga penyebaran pengetahuan kepada publik yang lebih luas. Terima kasih atas kerja keras, kerjasama, serta dukungan seluruh pihak yang terlibat. Juga atas seluruh gagasan, semangat, dan persahabatan yang terjalin, yang telah memperkaya Jakarta Biennale 2017 ini.

Ade Darmawan Direktur Eksekutif Jakarta Biennale 2017

3


4

Pengantar Badan Ekonomi Kreatif Indonesia

Ekonomi kreatif adalah masa depan Indonesia. Dengan kemajuan zaman dan pergeseran era melalui teknologi dan urbanisasi, industri kreatif diakui menjadi sumber inovasi, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan bagi masyarakat. Presiden Joko Widodo optimistis bahwa ekonomi kreatif kelak menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Berbeda dengan sektor lain yang sangat tergantung pada eksploitasi sumber daya alam, kekuatan ekonomi kreatif lebih bertumpu kepada keunggulan sumber daya manusia. Karya seni, arsitektur, buku, inovasi teknologi dan animasi, berasal dari ideide kreatif pemikiran manusia. Munculnya kegiatan ekonomi kreatif diharapkan dapat memberikan nilai tambah yang dapat menjaga momentum pertumbuhan dan menciptakan lapangan pekerjaan. Sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif, Presiden Joko Widodo membentuk lembaga baru nonkementerian bernama Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Republik Indonesia. Badan ini bertanggung jawab atas perkembangan ekonomi kreatif di Indonesia. Perpres tersebut juga menjelaskan bahwa Bekraf dinakhodai oleh kepala badan yang dibantu seorang wakil, sekretaris utama, dan para deputi. Bekraf mempunyai enam deputi. Mereka adalah Deputi Riset, Edukasi, dan Pengembangan; Deputi Akses Permodalan; Deputi Infrastruktur; Deputi Pemasaran; Deputi Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual dan Regulasi; dan Deputi Hubungan Antar Lembaga dan Wilayah. Bekraf juga menetapkan 16 subsektor industri kreatif yang menjadi fokus pengelolaan dan pengembangan. Setiap deputi kemudian menerjemahkan visi dan misi di atas melalui berbagai program unggulan yang bisa diimplementasikan dalam konteks 16 subsektor tersebut. Badan Ekonomi Kreatif menyambut baik dan mendukung sepenuhnya penyelenggaraan JIWA: Jakarta Biennale 2017. Sebagai salah satu tonggak penting dalam seni rupa tanah air, Jakarta Biennale telah banyak memberikan sumbangan bersejarah. Kami berharap perhelatan ini terus dapat dilaksanakan dengan berkesinambungan dan melibatkan lebih banyak lagi pelaku seni baik dari dalam maupun luar negeri. Inilah awal tonggak baru ekonomi kreatif Indonesia. Salam Kreatif,

Triawan Munaf Kepala Badan Ekonomi Kreatif


JIWA: Jakarta Biennale 2017

5

Pengantar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Assalamu’alaikum wr. wb. Salam sejahtera bagi kita semua Om Swastiastu Namo Budaya Rahayu

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmatNya, sehingga Jakarta Biennale 2017 ini dapat terselenggara dengan sukses. Bienial ini merupakan wujud konsistensi dan besarnya kecintaan masyarakat, khususnya para pegiat seni rupa Jakarta, dalam melestarikan serta mengembangkan seni rupa Indonesia, di samping perannya sebagai upaya pemetaan perkembangan seni rupa Indonesia terkini. Kami memberikan apresiasi yang besar kepada para peserta pameran, kurator, serta seluruh panitia yang terlibat dan telah bekerja sama menyukseskan acara ini. Penyelenggaraan kegiatan kesenian yang diinisiasi oleh masyarakat (Jakarta Biennale Foundation) semacam ini sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu turut hadir dalam pelestarian, pengembangan, dan peningkatan apresiasi seni oleh masyarakat sebagai media pendidikan karakter bangsa. Kami berharap dukungan ini mampu mendorong pelaku/ pengelola seni untuk terus berproses kreatif melestarikan, menggali potensi, dan mengembangkan kesenian Indonesia. Semoga bienial ini dapat membawa dampak positif bagi perkembangan seni rupa di Jakarta dan memicu munculnya bentuk kebaruan yang lebih variatif dalam karya seni rupa Indonesia, sehingga Jakarta semakin semarak dengan kegiatankegiatan seni di tahun mendatang. Selamat mengapresiasi. Salam budaya! Wassalamu’alaikum wr. wb.

Dr. Restu Gunawan, M.Hum. Direktur Kesenian


6

Daftar Isi

Pengantar Jakarta Biennale 2 Pengantar Badan Ekonomi Kreatif Indonesia 4 Pengantar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 5

pengantar Kuratorial Ke Mana Jiwa Melayang dan Bersinggah? 8

Melati Suryodarmo Memberikan Jiwa pada Museum 16

Annissa Gultom Jiwa Seniman dan Jiwa Karya 20

Hendro Wiyanto Jiwa, Anima, dan Citraan 26

Philippe Pirotte Sakit Sebagai Sebuah Metafora 30

Vit Havranek


JIWA: Jakarta Biennale 2017

Seniman Abdi Karya 38

Marintan Sirait 94

Afrizal Malna 40

Mathieu Kleyebe Abonnenc 96

Alastair MacLennan 42

Nikhil Chopra 98

Alexey Klyuykov, Vasil Artamonov &

Otty Widasari 100

Dominik Forman 44

Pawel Althamer 102

Ali Al-Fatlawi, Wathiq Al-Ameri 46

Pinaree Sanpitak 104

Aliansyah Caniago 48

PM Toh 106

Arin Rungjang 50

Ratu Rizkitasari Saraswati 108

Chiharu Shiota 52

Robert Zhao Renhui 110

Choy Ka Fai 54

Shamow’el Rama Surya 112

Dana Awartani 56

Siti Adiyati 114

Darlane Litaay 58

Ugo Untoro 116

David Gheron Tretiakoff 60

Willem de Rooij 118

Dineo Seshee Bopape 62

Wukir Suryadi 120

Em’kal Eyongakpa 64

Ximena Cuevas 122

Eva Kot’átková 66

Yola Yulfianti 124

Gabriela Golder 68

Komunitas Bissu 126

Garin Nugroho 70 Gede Mahendra Yasa 72 Hanafi 74 Hito Steyerl 76 Ho Rui An 78 I Made Djirna 80 Imhathai Suwatthanasilp 82 Jason Lim 84 Karrabing Film Collective 86 Keisuke Takahashi 88 Kiri Dalena 90 Luc Tuymans 92

Ar t Brut, Seni Orang Terbuang 129 Dwi Putro Mulyono (Pak Wi) 132 Ni Tanjung 134

Retrospeksi: Menimbang Kembali Sejarah Dolorosa Sinaga 137 Hendrawan Riyanto 142 I Wayan Sadra 147 Semsar Siahaan 152

Performance Art & Symposium 158 Ucapan Terima Kasih 160 JIWA: Jakarta Biennale 2017 Team 164

7


8

Ke Mana Jiwa Melayang dan Bersinggah ?

Sebagai perhelatan lokal dan sekaligus internasional, biennale berfungsi sebagai gambaran umum dialog antara keduanya. Kelokalan ini menjadi salah satu persoalan penting bagi kita, masyarakat seni Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan tentang pencarian keaslian seni Indonesia, yang seakan tidak ada habisnya, sebenarnya menjadi kondisi periksa bagi perhelatan Jakarta Biennale 2017 ini. Sebagaimana halnya kita bisa menunjuk suatu kondisi dari hal-hal yang membentuknya, maka kita bisa memahami semangat suatu zaman melalui produk-produk budaya yang dihasilkannya. Apakah jiwa atau semangat karya seni masih ada ketika semua unsur-unsurnya sudah tiada? Pola pikir yang selama ini menguasai cakrawala berpikir kita adalah pola pikir yang berusaha melihat segala sesuatu berdasarkan sebuah titik pencapaian yang ada di depan secara linier dari posisi kita berdiri hari ini. Dari pemahaman ini, kematian adalah salah satu kepastian yang niscaya akan dicapai oleh semua orang. Gerak maju selalu bertekad untuk mencari kondisi yang lebih baik dari yang sudah ada, atau memperbaiki kesalahan yang lalu, dan hanya bisa selesai apabila kita sudah mati. Melalui tolok ukur ini, kita menilai kemajuan atau kemunduran sesuatu, baik itu pemikiran, perilaku dan bahkan budaya. Salah satu tujuan Jakarta Biennale 2017 adalah memeriksa kembali tolok ukur demikian yang selama ini sudah mendominasi pemikiran kita. Hari ini, seni tetap menjadi salah satu aspek penting dalam kehidupan. Selain sebagai produk budaya, yang dikondisikan oleh budaya, seni memberi sarana bagi kita untuk menengok dan memperluas cakrawala. Hal ini dimungkinkan pertama kali oleh hubungan personal antara pemirsa dan karya seni. Sudah hampir bisa dipastikan, semua orang memiliki cakrawala atau muatan pengetahuan yang dikumpulkan selama hidupnya (tabula rasa niscaya mustahil adanya). Perjumpaan dengan karya seni, pada tataran personal, seharusnya berlaku sebagai sarana untuk memperluas, menambah, meneguhkan, atau bahkan merevisi cakrawala yang sudah kita miliki. Merunut sejarah yang sudah lalu, pada akhirnya jelas bahwa kesenian harus tetap berada di antara masyarakat untuk menjadi perantara pikiranpikiran tentang manusia yang berhadapan dengan segala kenyataan kehidupannya. Entah berapa abad waktu berlalu, dan berapa abad lagi peradaban manusia di atas bumi ini akan terus berlangsung, seni akan terus menemukan tempatnya; di atas tempat yang terhormat maupun di tempat terhina, sebagai napas benda-benda atau sebagai kendaraan pikiran manusia untuk melihat masa depan.


9

Seni dan para pelakunya tidak bisa tidak akan selalu terikat pada keadaan zaman, yang pada gilirannya tergantung pada hal-hal seperti ekonomi, politik, militer dan belakangan ini, globalitas. Seniman, melalui karyanya, berlaku bagaikan cermin atas kondisi sosial yang melatari medan seni tersebut atau bahkan bekerja dengan mengatasi halangan dan rintangan yang terdapat di dalam medan seni. Artinya, untuk memperbaiki medan seni, para seniman itu harus bekerja di dalam medan seni; tidak ada pelaku seni yang berada dan bekerja di luar medan seni. Berasaskan gagasan tersebut, maka Jakarta Biennale 2017 pertamatama harus dilihat sebagai sebuah wadah yang memfasilitasi berbagai interaksi pengetahuan yang beredar dalam masyarakat, melalui kondisi periksanya, yang adalah jiwa. Tema Jiwa hadir dalam Jakarta Biennale 2017 dalam berbagai rupa. Jiwa bisa dimaknai sebagai semangat yang terwujud dalam setiap unsur kesenian, sebuah ranah imajinasi dan penciptaan dalam ruang dan waktu. Jiwa sebagai semangat berarti jiwa sebagai identitas. Sebuah pembeda yang berguna untuk merangkum dan memisahkan satuan wujud yang niscaya diperlukan dalam kehidupan. Tanpa memahami jiwa, kita tidak bisa memahami keragaman pikiran dan latar belakang berbagai karya seni yang menjadi bagian dari tubuh kesenian. Inilah yang dimaksud dengan kelokalan yang disebutkan di muka. Salah satu cara untuk menghadirkan identitas itu adalah dengan melihat kembali sejarah. Sejarah adalah ruang berbagai peristiwa di dalam kehidupan. Di dalamnya ada kuasa dan ada juga yang dilupakan. Dengan mencoba melihat beberapa pelaku dan kisah-kisah yang terlupakan, Jakarta Biennale 2017, antara lain berupaya untuk menghadirkan kembali, atau memberi peluang kehadiran, jiwa seni rupa Indonesia. Tanpa mengenali sejarah-sejarah kesenian Indonesia, niscaya pencarian identitas atau pemenuhan jiwa seni Indonesia tidak akan bisa tercapai. Sementara, apabila jiwa seni Indonesia tidak pernah mandiri, maka, dominasi rezim estetika yang selama ini dipaksakan, baik secara sadar atau tidak, bisa jadi akan terus menikam dari belakang. Upaya untuk menemukan kembali semangat atau jiwa kesenian Indonesia ini didorong oleh sebuah gairah perlawanan terhadap dominasi estetika itu tadi. Gerak maju hanya dimungkinkan melalui adanya sebuah titik tolak. Apabila kita selamanya bertolak dari pemikiran estetika yang bukan merupakan hasil pemikiran yang kita upayakan sendiri, maka selamanya pula kita akan selalu tersesat dalam salur-salur keterasingan. Artinya, kita menjauh dari pemahaman bahwa sebenarnya tidak ada


10

budaya yang lebih baik atau lebih buruk, yang ada hanyalah budaya yang berbeda; bahwa sebenarnya tidak bisa dibandingkan antara dua karya dari seniman berbeda, mana yang lebih baik, mana yang lebih buruk; bahwa sebenarnya kita berbeda dan seharusnya bisa nyaman bekerja dalam perbedaan itu. Maka, seni sudah tidak lagi bisa dianggap sebagai sebuah kematian dalam wujud indahnya benda-benda, namun, seni adalah jiwa yang menemukan hakikatnya yang mendalam atas hubungannya dengan kehidupan itu sendiri. Hal ini hanya bisa mungkin apabila kita memaknai seni sebagai pengejawantahan jiwa yang hidup dan yang dihidupi. Seni dan jiwa bergerak bersama sebagai satu kesatuan yang memiliki napas kehidupan. Keduanya tidak akan lelah memberi dan mencari peluang untuk bertemu dengan manusia dan nilai-nilai kehidupannya. Bersama zamannya, seni mengalir dan menjadi cerminan sejarah manusianya. Sementara itu, keseluruhan seni tersebut akan tergantung pada kecintaan manusia terhadapnya; tetap menjaga kelangsungannya, merawatnya, menjunjungnya, atau pun sebaliknya—melupakannya, menistakannya, dan membinasakannya. Dengan upaya kerja bersama tim artistik dan pertimbangan yang teliti, Jakarta Biennale 2017 ingin membawa pemirsanya untuk menilik kembali dan memahami pemikiran dan praktik beberapa seniman Indonesia yang telah mendahului kita dalam bentuk pameran arsip dan retrospeksi kecil. Retrospeksi kecil ini menelaah dan mengungkap kembali proses kreatif para senimannya lewat perspektif biografis dan semangat pemikiranpemikirannya. Apa yang telah dilakukan pada masa lalu menjadi mata rantai perjalanan sejarah seni di Indonesia. Karya-karya dan pemikiran di balik karya tersebut mencerminkan pergulatan intelektual pada jamannya. Oleh karenanya, walaupun terbatas, Jakarta Biennale 2017 melakukan telisik dan akhirnya menemukan hal baru tentang kontribusi para pendahulu atas ranah sosial dan politik melalui karya-karyanya. Seperti halnya ilmu pengetahuan, seni pun menjaga daya tahan dan keberlangsungannya untuk terus mencoba memberi sumbangan kepada manusia dan kehidupannya. Maka, jiwa dalam makna kedua yang dipahami Jakarta Biennale 2017 adalah jiwa sebagai kondisi niscaya sebuah sistem kepercayaan yang selalu berupaya memberi makna pada kehidupan. Dengan kata lain, jiwa yang hadir dalam diri setiap insan. Ketika kita melihat sejenak ke masa lalu, masa yang jauh ke belakang, atau, katakanlah, sebuah kondisi alamiah, segala aspek kehidupan bertumpu pada lingkaran kehidupan atau sebuah sistem kepercayaan. Melalui sistem kepercayaan itulah jiwa lahir; tidak ada satu pun yang luput


11

dari jiwa. Begitu juga dengan daya cipta. Pada zaman ketika waktu masih begitu murni, semua manusia punya banyak kesempatan untuk berpikir dan melakoni sistem kepercayaannya. Ini tidak hanya berlaku di Indonesia saja. Gerakan-gerakan untuk kembali ke akar, entah itu melalui arkeologi ataupun pembelajaran ulang mengenai nilai-nilai sistem kepercayaan kuno sudah berulang kali terjadi di sepanjang kurun sejarah. Hilangnya akar pada sistem kepercayaan primordial membuat jiwa semakin memudar. Kondisi ini bisa kita lihat di mana saja di seluruh dunia. Contoh paling belakangan adalah beberapa rangkaian peristiwa yang terjadi di Jakarta dan berbagai belahan bumi lainnya. Kita semua tahu, di masa lalu, kekalahan Jerman dalam Perang Dunia II praktis menghapus halhal yang berkaitan dengan tradisi yang dieksploitasi oleh pemerintahan Reich Ketiga. Hal yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan komunisme di Eropa. Banyak negara anggota Uni Soviet menggunakan citraan yang berakar pada tradisi masyarakat asli. Kini, tradisi tersebut mulai ditinggalkan dan diganti dengan citraan baru untuk menghindari asosiasi dengan politik di balik tirai besi. Sayang sekali, wacana primordial juga sering dikaitkan dengan populisme yang sekarang mewabah di seluruh bagian dunia. Persoalan “pribumi� dan “nonpribumi� di dalam negeri adalah contoh nyata dari perseteruan sengit antara populisme dan demokrasi. Padahal, untuk berbicara mengenai tradisi kita tidak perlu istilahistilah politik, atau arus balik kepada tradisi tidak niscaya mensyaratkan ideologi politik tertentu. Tentu saja, semua pasti memiliki ideologi. Ideologi di sini bukan semata-mata istilah seperti sosialisme, nasionalisme, komunisme, liberalisme, dan lain-lain. Namun, ideologi berarti posisi atau cara pandang, dan bisa berbentuk apa saja. Dalam kasus Jakarta Biennale 2017, ideologi yang mendasari konsep jiwa adalah sistem kepercayaan. Artinya, sistem kepercayaan hanya akan ada sejauh ada jiwa. Begitu juga sebaliknya, jiwa hanya akan ada sejauh kita memiliki sebuah sistem kepercayaan. Hubungan jiwa dan sistem kepercayaan adalah sebuah hubungan timbal-balik yang saling memperkaya. Di sisi yang berseberangan, sistem kepercayaan yang lengkap dengan berbagai aparat dan tata caranya sering dianggap terlalu membatasi. Pembatasan itu pada akhirnya mengantarkan kita pada persoalan kebebasan. Mengingat Jakarta Biennale 2017 adalah perhelatan seni, maka, kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan ekspresi atau artistik. Di luar batas hanya ada ruang kabur yang tak terpetakan oleh kesanggupan manusia. Maka, kebebasan adalah kemampuan untuk bergerak di dalam batas-batas, baik itu tradisi, peraturan, norma, adat atau bahkan


12

aturan artistik. Seorang penari, misalnya, tidak akan bisa menari tanpa memperhatikan kaidah atau aturan-aturan tertentu. Jiwa dalam Jakarta Biennale 2017 hadir sebagai kemampuan melihat tradisi dan kebudayaan asli dengan jernih. Seni kontemporer dan seni tradisi sebenarnya dua sisi dari satu koin yang sama. Yang satu harus bertopang pada yang lainnya. Jakarta Biennale 2017 tidak berusaha melihat tradisi yang diwakili oleh jiwa sebagai sesuatu yang romantik atau pemuliaan terhadap masa lalu yang jaya. Justru, dengan kembali melihat dan menghayati jiwa, melalui serangkaian sistem kepercayaan tertentu, kita bisa mengambil pelajaran berharga untuk meneruskan kesenian. Singkatnya, melihat jiwa dalam melalui sudut pandang realistis, bukan pragmatis. Jiwa-jiwa yang hadir melalui rupa dengan berbagai macam bentuk memberi refleksi atas ruang-ruang tak terduga yang menembus batasbatas perspektif dan nalar para pemerhatinya. Perjalananan panjang seseorang yang mencari jalan jiwanya melalui karya yang diciptakannya, melalui eksplorasi, eksperimentasi, dan naik-turun kondisi nuraninya, secara langsung ataupun tidak memberi jawaban atas pertanyaanpertanyan yang muncul dari pencarian itu. Kita bisa melihat perwujudan makna itu melalui pemilihan seniman yang ikut serta meramaikan Jakarta Biennale 2017. Logika di balik pemilihan seniman bukan semata-mata pilihan geografis, melainkan dipandu oleh kesatuan tema perhelatan tahun ini. Pemilihan seniman, pada gilirannya, merupakan salah satu cara untuk menyajikan keberagaman praktik kerja kreatif. Sebagai elemen yang menyatukan berbagai kekuatan rasa, pikir, napas, dan tubuh, jiwa menjadi sesuatu untuk kita pahami sebagai bagian dari kehidupan manusia yang terpenting. Jiwa dalam kaitannya sebagai kesatuan antara hasrat, rasa, dan pemikiran para pelaku seni dihadirkan sebagai komitmen antara ruangruang pribadi dan ruang-ruang yang lebih luas di luarnya. Keberagaman cara pandang dan telaah tentang jiwa menjadi acuan bagi beberapa seniman yang menyajikan karya melalui berbagai metode dan bentuknya. Jiwa sebagai kekuatan diri dalam membaca biografi kulturalnya, sebagai cara membaca tingkah laku politik manusia, sebagai acuan pembelajaran atas pengaruh estetika penciptaannya, hingga jiwa sebagai roh alam, hadir dalam pameran yang mencakup karya lukis, instalasi objek, multimedia, video, dan fotografi. Hubungan antara pemaknaan jiwa yang pertama dan kedua bisa dilihat sebagai interaksi semesta makro dan semesta mikro. Semesta mikro dalam Jakarta Biennale 2017 adalah jiwa sebagai identitas kesenian


13

lokal. Sementara itu, semesta makro adalah jiwa dalam makna kedua, yang adalah jiwa sebagai pendorong sistem kepercayaan universal. Semesta makro terdiri dari sekumpulan semesta mikro; semesta mikro tersusun atas berbagai satuan-satuan wujud, yang salah satunya adalah tradisi kesenian lokal. Hubungan tubuh dengan jiwa adalah tema yang secara umum dibahas sebagai hal yang saling berkaitan dekat. Tubuh sebagai elemen hidup yang menyatu dengan gagasan dan pemikiran pelakunya tentang tema-tema sosial, politik, budaya, lingkungan, dan spiritual dihadirkan dalam rangkaian seni performans. Gestur, teks, dan energi tubuh dalam seni performans mengutamakan tindakan yang berkaitan dengan waktu dan ruang. Ia bersifat liminal tapi memiliki keterlibatan yang terkadang abstrak, puitis, tapi dalam bentuk tindakan atau aksi-aksi dan materimateri yang nyata. Seni performans, sebagai strategi estetika dan moda praktik yang telah semakin diakui wilayahnya di ranah wacana seni rupa, menjadi bagian penting dalam perhelatan Jakarta Biennale 2017 ini. Kemudian, peran jurnalistik dalam sejarah kesenian di Indonesia memiliki sumbangsih yang tidak bisa diabaikan. Tulisan-tulisan itu mewakili kesan dan catatan reflektif dari berbagai aktivitas seni dan karya-karya yang disajikan. Cara pandang jurnalistik tentunya adalah kekhasan wacana dan kritik seni di Indonesia perlu dikumpulkan kembali dan dihadirkan melalui penerbitan buku. Budaya penerbitan buku mengangkat tradisi pengetahuan yang masih terus harus dijaga di tengah-tengah pesatnya teknologi komunikasi visual saat ini. Jakarta Biennale 2017 memulai penerbitan buku-buku kumpulan esai dan reportase yang ditulis oleh seniman, tokoh jurnalis, maupun tentang seorang seniman. Lokasi pameran utama Jakarta Biennale 2017 adalah Gudang Sarinah Ekosistem. Namun, peristiwa Jakarta Biennale 2017 sendiri disebar ke beberapa tempat selain lokasi utama tersebut. Jakarta Biennale 2017 mengambil strategi dengan menghadirkan banyak karya di ruang-ruang Museum Sejarah Jakarta dan Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta agar supaya pesan jiwa bisa dijangkau oleh masyarakat luas di tengah kota metropolitan yang terus membangun tubuh dan kecepatan mobilitasnya. Museum Sejarah Jakarta sebagai wadah bagi pengetahuan terkait sejarah sebuah kota, yang mengalami perjalanan panjang sejak masa kolonial hingga kini, sudah saatnya membuka diri bagi pengunjungnya dengan menawarkan cara pandang komprehensif maupun kritis melalui karyakarya seni rupa kontemporer yang dihadirkan oleh Jakarta Biennale 2017 ini. Sementara, Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta sudah selayaknya menjadi salah satu tujuan kunjungan masyarakat umum yang meminati


14

Melati Suryodarmo lahir di Solo, Indonesia, pada 1969. Melati belajar di jurusan seni rupa dan menyelesaikan pendidikan pascasarjananya pada 2003 dengan fokus pada studi Konsep Ruang dan Performance Art di Hochschule fuer Bildende Kuenste Braunschweig Jerman. Melati telah menampilkan karya performansnya di berbagai festival internasional dan pameran seni rupa di berbagai negara, di antaranya: The Life of Egon Schiele Van Gogh Museum Amsterdam (2005); Videobrasil Sao Paolo (2005); 52nd Venice Biennale dance Festival (2007); KIASMA Helsinki (2007); Manifesta7; Bolzano (2008), In Transit Festival, HKW Berlin (2009), Luminato Festival of the Arts, Toronto, (2012), Asia Pacific Triennale, Qagoma Brisbane (2015), Guangzhou Triennale, Guangdong, China (2015); Singapore Biennale, Singapura, (2016), Sunshower – contemporary Art in South East Asia – National Art Centre Tokyo (2017), dan lain-lain. Sejak 2007, Melati memfasilitasi PALA (Performance Art Laboratory Project) dan perhelatan seni performans “undisclosed territory” yang diadakan setiap tahunnya. Sejak 2012, Melati mendirikan Studio Plesungan di Solo, sebuah ruang alternatif untuk laboratorium seni performans.

sejarah seni rupa dan keramik Indonesia serta tentunya karya-karya terkini. Dengan hadirnya Jakarta Biennale 2017 di ruang-ruang museum Jakarta, fungsi museum sebagai salah satu ruang publik diperkuat melalui persinggungannya dengan wacana-wacana seni yang baru. Tidak pernah ada kata terlambat untuk mencoba sesuatu yang baru, dan sudah seharusnya tidak boleh ada yang memadamkan api semangat untuk terus saling mengisi dan berbagi wacana kehidupan melalui jiwa seni rupa.

Jakarta, 28 Oktober 2017

Melati Suryodarmo Direktur Artistik JIWA: Jakarta Biennale 2017


15


16

Memberikan Jiwa pada Museum

Berbicara tentang museum di Indonesia, kata-kata kunci yang ditekankan biasanya adalah identitas, asal usul, dan pengingat sejarah, jauh dari pembahasan rasa dan karsa jiwa bangsa yang abstrak. Jika tidak percaya, lihat saja museum-museum berlabel “nasional” yang menjadi saksi sulitnya menyajikan nasionalisme Indonesia. Seakan menghadapi hambatan perkembangan yang sulit dilalui, museum-museum Indonesia belum mampu berbicara tentang hal abstrak yang melatarbelakangi benda-benda di dalam koleksi mereka. Perlindungan “cagar budaya yang tak benda” (intangible cultural heritage) masih berada di tahap awal karena kita masih terlalu sibuk oleh perlindungan “benda cagar budaya” (tangible heritage culture). Sebagian besar museum di Indonesia menyajikan fakta artefaktual yang ditinggalkan orang-orang yang lebih dahulu pergi, tanpa menjelajahi lebih lanjut jejak kemanusiaan di baliknya, di luar sistem-sistem kebudayaan yang menjadi dasar analisis akademis. Museum-museum Indonesia belum memulai eksplorasi mendalam mengenai apa yang diwakili oleh ekspresi estetika yang membentuk alat-alat kehidupan yang telah dibuat, dipakai, dan ditinggalkan. Mungkin hal ini karena sebagian besar museum kita dibentuk dan didirikan secara politis untuk membentuk imaji identitas sebuah bangsa yang sebelumnya berkali-kali menjadi daerah jajahan, baik oleh “bangsa sendiri” atau oleh bangsa-bangsa dari belahan dunia lain. Mungkin hal ini yang membuat museum-museum kita belum bisa menjadi daya tarik kuat bagi masyarakat kita untuk kembali berkunjung berkalikali dan menjadikan museum sebagai bagian dari referensi serta sumber inspirasi, lebih daripada sekadar latar selfie. Di dalam konteks Indonesia, pemahaman “museum” dan “galeri” anehnya memiliki definisi pembatas yang mengkotak-kotakkan karya peradaban manusia. Lembaga “museum” lebih diasosiasikan dengan sudut pandang sejarah, arkeologi, dan antropologi sedangkan “galeri” lebih diasosiasikan dengan koleksi seni rupa “murni” dan bentuk seni modern lain. Kondisi ini sangat berbeda dengan museum-museum di Amerika Serikat dan Eropa yang menampilkan karya seni hasil peradaban manusia tanpa membatasi rentang waktu dan tanpa membebani koleksi artefakartefak kuno dengan tugas membentuk identitas bangsa. Permasalahan ini berakar dari sejarah kolonial di Indonesia yang menggunakan jasa ilmuwan dalam bidang ilmu bumi dan budaya untuk mengeksplorasi dan menyusun profil potensi dan ancaman yang dimiliki oleh daerah jajahan guna mengukur seberapa jauh eksploitasi bisa dilangsungkan. Hasil kumpulan eksplorasi inilah yang dapat kita saksikan di museum-museum tertua di Indonesia, seperti Museum Nasional Indonesia.


17

Pada awalnya, Museum Nasional juga memiliki koleksi lukisan dan seni rupa dari masa Hindia Belanda serta koleksi buku-buku ilmu humaniora. Namun, berdasarkan kebijakan lebih lanjut, koleksi-koleksi tersebut diceraiberaikan dan dijadikan koleksi awal untuk mendirikan Galeri Nasional dan Perpustakaan Nasional. Hanya satu “museum” yang sejak awal dibentuk dengan tujuan untuk membentuk koleksi seni rupa, yaitu Balai Seni Rupa Jakarta yang kini dikenal sebagai Museum Seni Rupa dan Keramik di area Kota Tua Jakarta. Museum ini dahulu dimulai dengan koleksi seni rupa modern Indonesia yang dikumpulkan oleh Yayasan Mitra Budaya. Hingga kini “perceraian” antara seni rupa Indonesia modern dan seni rupa kuno yang ada sejak akhir masa prasejarah hingga masa Hindia Belanda masih berlangsung dengan minimnya dialog antara dua pengkotakan tersebut. Museum-museum konvensional seringkali menampilkan koleksi pameran seni modern atau kontemporer, tetapi di ruang terpisah dan dengan interaksi ataupun dialog yang minim (atau tidak ada sama sekali) dengan koleksi permanen mereka. Hal ini bisa jadi salah satu aspek yang mencegah masa kini berdialog dengan akar dan masa lalu Indonesia, baik dalam konteks ikatan geografis ataupun konsep kebangsaan yang disusun oleh para bapak bangsa. Museum, bersama peta dan sensus, seperti yang Ben Anderson jelaskan, merupakan faktor pembentuk imaji sebuah bangsa—hal ini juga yang menjadi dasar terwujudnya museum-museum di area Kota Tua Jakarta. Pada 1970-an, Ali Sadikin, gubernur Jakarta pada masa itu, memulai proses konservasi area Kota Tua. Proses ini dimulai dengan memberikan penetapan status hukum area itu sebagai daerah pelestarian cagar budaya dan memanfaatkan kembali beberapa gedung tua di sekeliling lapangan Fatahillah untuk menjadi museum, di antaranya adalah Museum Seni Rupa dan Keramik dan Museum Sejarah Jakarta, dua venue tambahan untuk Jakarta Biennale 2017. Berbeda dengan Museum Seni Rupa dan Keramik yang memulai kehidupannya sebagai sebuah Balai Seni Rupa, yang menampung dan menampilkan koleksi seni rupa pilihan, Museum Sejarah Jakarta memiliki tugas yang lebih kompleks dalam menampilkan sejarah Jakarta. Museum yang terakhir ini menempati gedung eks Balai Kota (Stadhuis) Batavia yang sebelumnya juga dipakai untuk fungsi administratif lembaga militer dan kewilayahan sipil Jawa Barat pada masa awal kemerdekaan. Gedung ini dibangun pada 1707 oleh pemerintah kolonial untuk menggantikan Stadhuis lama yang menempati lokasi yang sama, menjadikan gedung ini sebagai peninggalan dan lambang terbesar masa kolonial di Pulau Jawa. Area Kota Tua sendiri merupakan sisa Batavia, kota pusat pengelolaan


18

koloni VOC di Asia Tenggara sejak 1619, yang kemudian dioperasikan oleh pemerintah Hindia Belanda ketika VOC bangkrut pada 1799, dan terus difungsikan hingga masa pendudukan Jepang yang bermula pada 1942. Gedung Stadhuis selama beratus tahun juga dikenal sebagai “Gedung Bicara” karena ruang-ruangnya selalu disibukkan oleh beragam laju proses administratif, bisnis, dan peradilan koloni. Kekuasaan dan eksploitasi adalah “jiwa” Stadhuis dahulu kala, “jiwa” pusat koloni yang selama ratusan tahun menekan, memeras, memecah, mendiskriminasi, dan mendikte bagaimana kepulauan Nusantara bisa menjadi mesin sumber kemakmuran yang maksimal. Beratus tahun pemerkosaan dan kejahatan perang dilaksanakan dengan amanat yang dihasilkan dari gedung ini. Jiwa-jiwa yang sakit, putih atau cokelat, meraih kemenangan di atas penderitaan manusiamanusia berkulit cokelat lain yang kurang beruntung, yang lahir bukan dari trah bangsawan, yang memuja alam, yang sebagian tidak mengenal katun halus, dan yang seringkali menjadi bagian dari komoditas. Maka, ketika kebijakan kebudayaan setelah kemerdekaan ingin mentransformasi gedung ini menjadi museum milik masyarakat, diperlukan ruwatan untuk memperbaharui “jiwa” gedung ini. Ali Sadikin bersama timnya menugaskan para seniman Harijadi Sumadidjaja dan S. Sudjojono untuk membuat dua karya seni khusus yang menjadi bagian tak terpisahkan dari fisik gedung ini. Visi ini cukup maju pada masanya dan mewujudkan kerja sama dengan seniman untuk memberikan penggambaran sejarah melalui pendekatan visual dan dalam gambaran yang lebih besar, memperbaharui “jiwa” gedung tersebut. Kedua seniman terpilih melakukan studi sejarah visual agar dapat melukiskan sedekat mungkin keadaan dari masa yang diacu. S Sudjojono, seniman pelukis seni rupa modern yang berjaya sejak masa Sukarno, melukiskan peristiwa penyerbuan Batavia oleh pasukan Mataram pada 1628 dan 1629. Ukuran kanvas yang dipakai sengaja dipilih sesuai dengan ukuran dinding selatan Ruang Sultan Agung, Museum Sejarah Jakarta. Untuk lukisan ini, ia melakukan studi sketsa bentuk ke museum-museum di Belanda dan juga keraton Solo. Harijadi Sumadidjaja, satu-satunya seniman yang dikirim oleh Presiden Sukarno ke Meksiko untuk mempelajari pembuatan mural, melukiskan Batavia masa 1820–1950 di ketiga dinding ruang mural Museum Sejarah Jakarta. Mural ini tidak bisa sepenuhnya selesai karena resapan air tanah ke dalam dinding melunturkan cat warna yang dipakai. Kebijakan museum sempat membatasi akses publik melihat kedua karya ini karena persoalan ruang yang terbatas dan persoalan konservasi. Hal ini berlangsung sebelum lukisan bertema Sultan Agung vs VOC mendapatkan perawatan konservasi dan alur baru museum pada 2017


19

menempatkan mural Harijadi sebagai titik awal kunjungan museum. Pada akhirnya, visi yang diusung pada 1970-an bisa dihidupkan kembali, yaitu memberi “jiwa� pada gedung eks Stadhuis dan mewarnai museum dengan sisa napas kehidupan yang pernah melintasi ruang-ruangnya. Hingga kini belum ada lagi museum-museum konvensional di Indonesia yang menjembatani dulu dan sekarang melalui seni. Inilah yang hendak diubah oleh Jakarta Biennale 2017. Sedikit berbeda dengan banyak praktik yang sudah ada, Jakarta Biennale 2017 berinisiatif untuk membawa seni rupa kontemporer ke museum. “Jiwa� sebagai pilihan tema Jakarta Biennale tahun ini merupakan momentum yang tepat, diwujudkan bersama pembaharuan yang dilakukan di museum-museum di bawah pengelolaan pemerintah Jakarta hari ini, yang dimulai dengan Museum Sejarah Jakarta dan Museum Seni Rupa dan Keramik. Museum Sejarah Jakarta yang siap dengan alur barunya pada Oktober 2017 akan menjadi tuan rumah bagi belasan karya seniman yang tergabung di dalam Jakarta Biennale 2017. Sebagian memiliki ruang yang terpisah dari cerita utama di dalam tata pamer museum, sebagian lain menginterupsi tata pamer permanen. Seluruh karya dipilih untuk mengundang pengunjung museum memulai dialog dan tidak menerima bulat-bulat apa yang disajikan oleh museum. Sebab, museum yang memiliki jiwa dan hidup dinamis adalah museum yang memulai pertanyaan, diskusi, diskursi, dan menjadi ruang untuk menguji ide-ide lama serta membuka kemungkinan mengkaji cara pandang lain. Annissa Gultom Kurator JIWA: Jakarta Biennale 2017

Annissa Gultom telah bekerja untuk dan dengan museum sejak 2002 ketika ia masih terdaftar sebagai mahasiswi program sarjana Departemen Arkeologi, Universitas Indonesia. Ia mulai terlibat dalam kerja sukarela sebagai pemandu program publik di Museum Sejarah Jakarta, yang kemudian dilanjutkan dengan pekerjan kuratorial untuk pameran-pameran temporer pada 2006 untuk museum yang sama dan Museum Nasional. Setelah menyelesaikan studi pascasarjana di program Museum Communication, di University of the Arts, Philadelphia, AS, ia terjun lebih jauh dalam penelitian dan perancangan museum. Hingga kini, pengalamannya dalam permuseuman dan tata pamer sebagian besar terfokus pada bidang arkeologi, antropologi, warisan cagar budaya, sejarah modern, dan etnografi kebudayaan yang masih berlanjut. Selain mengkurasi pameran, sebagai seorang museolog ia juga telah terlibat dalam proyek-proyek pengembangan database, perancangan program edukasi, strategi komunikasi publik, pengembangan sistem penyimpanan, dan penelitian audiens museum.


20

Jiwa Seniman dan Jiwa Karya

“Kapan listriknya nyala?’ “Kira-kira sepuluh menit yang lalu.” 10 menit yang lalu. Buat tema atau judul lukisan bagus aku pikir. Lalu visualnya bagaimana yah? Sebentar. Pertama lampu mati, lalu nyala 10 menit kemudian. Berarti jarak lampu mati sampai menyala lagi butuh waktu 10 menit. Kalau lampu mati dikali lampu nyala lalu dibagi 10, kecepatan rata-ratanya berapa ya…? Des. 04.

(Ugo Untoro, Cerita Pendek Sekali, 2017, hlm. 62).

Platform atau agenda Jakarta Biennale 2017 memilih tema yang sangat rumit: jiwa, yang dimaknai melalui sejumlah pengertian yang menunjukkan keluasan dan kekhasannya. Jiwa merujuk pada hal-hal yang bersifat nonmaterial: ide, gagasan, konsep, bahasa, pikiran, spiritualitas, intuisi, rasa-merasa, relasi sosial, hubungan dengan alam, proses-proses dematerialisasi, kefanaan ruangwaktu, dan seterusnya. Jiwa juga diproyeksikan pada segala sesuatu yang secara fisik kehadirannya bisa kita rasakan: tubuh saya, dunia kita atau dunia saya, orang-orang di sekitar kita, lingkungan fisik, benda-benda antik sampai wujud seni mutakhir yang memendam spirit atau identitas tertentu. Jiwa merasakan kehadiran hal-hal itu secara lebih mendalam dan mencerap kekhasannya. Dengan merujuk pada dua hal itu, aspek transenden pada jiwa tak sepenuhnya bisa terceraikan dari dunia fisik yang membuatnya ada. Jiwa memerlukan cara dan wahana tertentu untuk merealisasikan segi transenden itu. Segi dualitas jiwa dan nonjiwa biasanya dikatakan dengan cara yang lebih tajam dengan dua pernyataan. Pertama, benih transendensi tidak bisa diperlakukan seperti sebutir debu di dalam laboratorium; dan kedua, jiwa—karena niscaya memerlukan badan— ternyata tak bisa hadir melayat peristiwa akhir hidupnya sendiri. Luasnya lingkup pengertian jiwa ini membuat gagasan mengenai jiwa tidak mudah dipahami. Dalam diskusi ngalor-ngidul dengan para kurator Jakarta Biennale 2017, keluasan pengertian itu dicoba diatasi. Misalnya, dengan menelusuri pengertian jiwa dalam konteks sosial dan kebudayaan di Timur dan Barat. Apa artinya “jiwa bangsa”, “jiwa masyarakat”, “jiwa sosialisme, “jiwa kapitalisme”? Apakah jiwa dalam istilah-istilah ini punya arti yang sama dengan jiwa seperti bila kita bicara perihal sistematika tubuh-jiwa-roh? Jiwa penyair yang selalu gelisah,


21

yang mau hidup “seribu tahun lagi”, atau “sekali berarti sesudah itu mati”, tentunya tidak bisa kita bayangkan sama maknanya dengan jiwa puitis dalam arti tradisi kolektif, misalnya pantun. Memberi kesatuan makna pada kata “jiwa” untuk berbagai hal dan peristiwa membawa kita pada sesuatu yang univok. Kita menggunakan kata jiwa dalam arti yang hanya satu dan sama (swaidentik). Secara univok, kata “jiwa” (“jiva”) untuk nama grup band populer misalnya sama saja artinya dengan kata-kata “bangunlah jiwanya bangunlah badannya” dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya. Kesatuan univok membuat kita kelabakan karena ketunggalan sekaligus kekaburan maknanya. Sebaliknya, kekhasan arti jiwa mendorong kita pada pengertian ekuivok. Tiap penggunaan kata itu mengusung arti yang sama sekali berbeda. Masing-masing maknanya merujuk pada entitas yang khas. Kata “jiwa”, misalnya pada novel Jiwa-Jiwa Mati-nya Nikolai Gogol sama sekali diartikan secara berbeda dengan jiwa pada pertunjukan ritual para bissu dari Sulawesi Selatan. Sebagai bahasa ekuivok, arti suatu kata tidak bisa dipertukarkan begitu saja dengan arti kata lain meski bunyinya sama. Misalnya kata kuthuk (berarti anak ayam) yang digunakan oleh Sudjojono untuk menyebut para seniman muda Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia, 1937-1942) yang penuh harapan masa depan akan berbeda makna dengan pernyataan “ter-kutuk-lah mereka yang sekarang ini terlibat dalam pemalsuan lukisan Sudjojono.” Bahasa yang merelasikan antara keluasan/ketunggalan/kekaburan dan kekhasan adalah bahasa analogi. Melalui analogi, kata jiwa dalam sepenggal doa “jiwa-jiwa di api neraka” lebih-kurang memiliki arti yang sama sekaligus berbeda dengan misalnya “Rumah Sakit Jiwa Grogol”, atau “seniman kontemporer yang mengidap masalah kejiwaan-bipolar”. Dalam bahasa analogis, tekanan pada unsur kesamaan dan perbedaan memiliki peluang yang sama. Unsur kesamaan tidak membuat kedua hal itu identik, tapi elemen kebedaan tidak menunjukkan keduanya sematamata merujuk entitas yang betul-betul terpisah. Kesamaan dan kebedaan tidak mengabaikan fakta bahwa ada perbedaan jenis dan tingkatan dalam realitas, misalnya antara realitas fisik dan nonfisik, realitas manusiawi dan transenden, antara yang human dan nonhuman, dan sebagainya. Apa arti tajuk “Jiwa” dalam Jakarta Biennale 2017? Di Indonesia tentunya tidak ada seniman yang lebih terang merumuskan makna “jiwa” pada pernyataan mengenai seninya selain Sudjojono (1913-1986). Pernyataan terkenalnya, “seni adalah jiwa ketok”. Tapi apa sebenarnya maksud Sudjojono? Dibayang-bayangi oleh pernyataan S. Sudjojono yang sangat terkenal sejak hampir seabad yang


22

lalu, saya bertanya kepada Melati Suryodarmo—direktur artistik Jakarta Biennale 2017—tentang platform “jiwa” dalam perhelatan ini. Pertanyaan ini dimaksudkan lebih untuk merangsang pikiran, “Lalu, bagaimana dengan jiwa ketok yang disebut oleh Sudjojono tampak pada karya seni seorang seniman?” Pandangan mengenai jiwa ketok Sudjojono tidak memiliki critical area, jawab Melati. Ya, tampaknya begitu, jawab saya yang waktu itu merasa tak paham. Sejak itu saya mulai memikirkan apa maksud “critical area” pada jawaban Melati. Dari mana mesti mulai? Apakah berawal dari seniman atau karya seni? Apa itu “critical area” sebenarnya? Apakah ranah itu mesti digunakan untuk mendiskusikan para seniman atau karyakaryanya dalam bienial? Bagaimana caranya? Pandangan mengenai seni dan karya seni ternyata tidak begitu saja bisa diawali dengan salah satu atau salah duanya. Saya teringat pada gagasan mengenai hubungan antara praktik seni tertentu dan akar-akar pandangan teologis. Misalnya, wacana perihal seni formalis dalam seni rupa di Barat. Formalisme ditentang oleh gagasan yang disebut “antiseni”. Jika penganut formalisme memandang seninya sebagai “seni”, mereka dianggap lebih dekat dengan “sejarah seni”. Jika “antiseni” (istilah lain untuk “seni koseptual”, khususnya di Barat) merupakan cara untuk keluar dari tradisi “seni”, pelakunya dikatakan sedang menegaskan lebih pentingnya “sejarah teori seni” ketimbang “sejarah seni”. Melalui kecenderungan “antiseni”, teori-teori seni seakan telah berkembang terlalu jauh di luar sejarah (praktik) seni, bahkan cenderung mengabaikannya. Terjadi “overdosis” diskursus terhadap praktik seninya sendiri. Seni tamat digantikan oleh teori. Seni menjadi gugusan pemikiran filsafat. Tapi apa yang disebut sebagai “antiseni” sesungguhnya tidak sepenuhnya keluar atau berkhianat terhadap dunia seni. Bukankah “antiseni” diam-diam juga mengklaim diri sebagai “seni”? “Antiseni” juga dikritik karena mengidentikkan antara “mengerjakan seni” dengan cara mempraktikkannya, dan “mempraktikkan seni” dengan sama sekali tidak mengerjakan apa-apa. Akar teologisnya, seperti tulis Thomas McEvilley, adalah pertentangan antara nalar dan iman dalam tradisi panjang Kristiani. “Sejarah teori seni” bisa dipandang berakar dari sejenis nalar, adapun “sejarah (praktik) seni” lebih-kurang bisa ditelusuri pada apa yang yang disebut sebagai praktik “iman”. Jika tradisi seni menolak paham “antiseni”, maka sebenarnya yang terjadi adalah bahwa panggung teologis pindah ke arena yang lebih


23

sempit, bernama seni. Pertentangan itu adalah representasi kontestasi antara ranah nalar dan penghayatan ala iman. Ekses puritan yang menekankan pada “jiwa” atau roh memperoleh artikulasinya pada formalisme dalam seni. “Bahasa” dianggap lebih penting ketimbang materi fisik yang sering diuar-uarkan oleh para seniman “antiseni”, yang gemar mengusung tempat pipis sampai barang-barang rongsok atau sekadar main catur. Yang pertama dianggap lebih berjiwa dan “beriman” ketimbang yang kedua. Bahasa analogis tampaknya bisa menolong kita untuk menemukan wilayah kritis dalam tegangan seni kontemporer seperti dilukiskan di atas. Artinya, menggunakan antiseni sebagai analogi untuk seni sambil tidak sepenuhnya menghilangkan “anti”-nya, atau menggunakan “seni” sebagai cara yang luwes untuk menunjukkan provokasi yang dilakukan oleh “antiseni”. Telusuran yang lain soal relasi antara praktik seni dan jiwa ini tentunya bisa ditemukan di ranah filsafat klasik. Misalnya, tradisi yang dikenal sebagai mimesis, atau praktik peniruan artistik yang dianggap menjauh dari gagasan mengenai yang ideal. Tradisi mimesis bermula dari pandangan Platonik. Namun, berhenti pada tradisi ini semata membuat “jiwa” seniman tidak akan pernah bisa ditemukan di mana pun dan kapan pun. Tradisi mimesis kelak lalu didorong lebih jauh lewat anggapan bahwa hasil tiruan adalah entitas representasi, sebuah produk yang lebih-kurang mandiri. Produk mimesis ini menghasilkan bentuk, kesatuan, dan rancangan tertentu. Dorongan terhadap bentukbentuk ini, kata mahasiswa teater yang gemar mengutip Aristoteles, mau menggambarkan kodrat manusiawi, tindakan ekspresif karena hadirnya jiwa (psukhe). Praktik artistik melejit dari kekangan tradisi mimesis nirjiwa menjadi suatu praktik kejiwaan yang dianggap kodrati. Sayang sekali, dalam tradisi pendidikan formal seni di Indonesia, praktik seni rupa sering mendaku sebagai yang paling “beriman” dan sekaligus paling “murni” dibandingkan disiplin-disiplin seni yang lain, termasuk seni teater. Dan hasil dari proses “pemurnian” tak sadar itu sudah sama-sama kita ketahui. Maka, jika kita kembali kepada pernyataan Sudjojono mengenai “jiwa ketok” yang dikutip di atas, kita bisa melihat bahwa sebenarnya tokoh ini lebih dekat pada tradisi Aristotelian ala mahasiswa teater dengan “katarsis” maupun “psukhe”-nya ketimbang pikiran-pikiran mahasiswa seni rupa dengan mimpi-mimpi Platoniknya yang serba ideal. Jadi, apakah pada “seni sebagai jiwa ketok” kita justru mesti menemukan wilayah kritisnya ataukah percaya bahwa pernyataan itu tanpa kritisisme yang bisa diuji?


24

Bagi para pembaca Sudjojono, sering istilah “jiwa” pada pernyataannya dipahami begitu saja sebagai sesuatu identitas khas yang keras, atau bahkan tunggal makna. Penjelasan Sudjojono mengenai jiwa (yang menampak) tentu saja berhubungan dengan karya seni. Pandangannya mengenai hal itu seperti gambaran mengenai cermin terbalik. Karya seni berhubungan secara tertentu dengan realitas melalui jiwa sang seniman. Sudah pasti Sudjojono sendiri tidak pernah mendefinisikan apa itu jiwa. Namun, dari penjelasan berikut kita bisa meraba apa yang dimaksudkan olehnya mengenai jiwa. Jiwa itu ada di dalam tubuh seniman. Dalam hal jiwa, tentunya arti “berada di dalam” tidak sesederhana menunjuk sebuah lokasi tertentu. Hubungan antara jiwa seniman dan jiwa karya seni seperti gambaran cermin terbalik, seperti ini: realitas > mata > jiwa > < jiwa > tangan seniman > karya seni. Realitas hanya melahirkan karya seni melalui jiwa seniman. Namun, jiwa seniman ini tetap misteri menurut Sudjojono, karena jiwa memiliki banyak “kamar”. Bilik di dalam jiwa inilah yang mengolah atau menyaring realitas yang dicerap atau dialami oleh seniman untuk menjadi suatu bahasa tertentu, yakni seni. Kita tidak tahu, bagian “kamar” yang mana yang mengelola realitas yang dicerap, atau apa yang disembunyikannya ketika jiwa si seniman ini mengolahnya. Apakah “jiwa nampak” pada gagasan Sudjojono menampik atau secara diam-diam menyertakan yang tak nampak? Walaupun percaya pada jiwa seniman, justru sepanjang hayatnya Sudjojono tidak pernah melukis abstrak. Pandangannya mengenai lukisan abstrak, misalnya, sangat khas. Keabstrakan berhubungan dengan realitas yang lebih tinggi daripada yang fisik atau material. Jika yang material atau yang fisik ini bisa menjadi ukuran mengenai kesejahteraan seseorang atau masyarakat, maka masyarakat miskin atau seniman miskin, misalnya, mustahil membayangkan atau tabu menghasilkan sesuatu yang abstrak. Itulah lebih kurang platform sosial Sudjojono mengenai jiwa seniman dan jiwa karya seni. Platform sosial ini dapat dikenali kembali justru melalui gagasan-gagasannya yang terkesan individual. Maka, apakah kita mesti membuka dan menemukan wilayah-wilayah kritis gagasan jiwa oleh seorang seniman yang keren? Atau haruskah kita terburu-buru menutupnya?


25

“Jiwa” dalam Jakarta Biennale—sebagai sebuah metadiskursus yang lazim dalam sebuah pameran seperti ini—mestinya adalah upaya untuk menemukan wilayah-wilayah kritis semacam ini dalam perbincangan mengenai seni kontemporer. Jakarta, 27 Oktober 2017 Hendro Wiyanto Kurator JIWA: Jakarta Biennale 2017

Hendro Wiyanto Budiman memperoleh pendidikan seni rupa di Institut Seni Indonesia (Yogyakarta) dan filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (Jakarta). Ia telah mengerjakan sejumlah kurasi pameran di Indonesia dan menulis mengenai beberapa seniman dan kelompok seniman, antara lain Alit Sembodo, Dolorosa Sinaga, FX Harsono, Gerakan Seni Rupa Baru, Heri Dono, Jogja Agropop, Gede Mahendra Yasa, Melati Suryodarmo, Ugo Untoro, S. Teddy D. Hendro Wiyanto Budiman kini menetap dan bekerja di Jakarta.


26

Jiwa, Anima, dan Citraan

1. Marc Benamou, Rasa. Affect and Intuition in Javanese Musical Aesthetics (Oxford: Oxford University Press, 2000), 45.

2. Dalam tafsiran paling keras, jiwa manusia dianggap terletak di antara kepala, rambut dan dulu beberapa orang berusaha mengangkat jiwa mereka dengan “menjual” musuhnya.

3. Bruno Snell, The Discovery of the Mind: The Greek Origins of European Thought (Oxford: Blackwell, 1953) p. 198.

Jiwa, istilah yang tak bisa diterjemahkan, adalah sesuatu yang dirayakan dalam kesadaran kolektif di seluruh kepulauan Indonesia. Konsep ini mencakupi kumpulan nuansa hubungan dengan ciri “anismisme” tegas yang didapat dari budaya spiritual kuno. Dalam seluruh corak maknanya, jiwa dapat dimengerti sebagai semangat yang menempa hubungan antarobjek. Jiwa dianggap sebagai prinsip dasar yang menghinggapi dan menggerakkan individu, masyarakat, makhluk hidup selain manusia, dan alam. Jiwa melambangkan “kehidupan”, tetapi juga antusiasme, roh, hayat manusia, akal, perasaan, watak, substansi dan implikasi, sedemikian rupa sehingga konsep jiwa selalu luput dari genggaman pemahaman tradisional akan “sukma” (soul). Dalam kacamata budaya Indonesia yang mengejawantah, jiwa dipahami sebagai perasaan dan kesadaran, sebagai sesuatu yang menggerakkan semua makhluk hidup ke arah kebaikan atau kejahatan. Namun, jiwa juga bisa berarti—dan inilah yang paling hakiki dalam kaitannya dengan proyek pameran ini—sebuah medium persepsi yang bermukim di antara lapisan batin manusia yang paling bertubuh atau fisik dan paling tanwujud, yang juga berkelindan dengan kemampuan mengungkap dan menafsirkan serta daya pencerapan batin dan intuisi.1 Dalam pemikiran Yunani kuno, padanan konsep jiwa adalah nous (bahasa Latin: anima), yang berarti sukma atau roh (‘psychē’ atau ‘psychein’ yang berarti ‘bernapas’ dalam bahasa Yunani). Nous mewujud menjadi kemampuan mental makhluk hidup: akal, karakter, perasaan, kesadaran, ingatan, persepsi, nalar, dan seterusnya. Nous dan jiwa berbeda tatkala nous atau anima berlaku pada semua makhluk hidup yang ada dalam tataran hierarkis yang pasti dan ketat. Naik-turunnya tataran tersebut diatur oleh tinggi atau rendahnya tingkat kesadaran. Manusia terletak di derajat paling akhir dan memiliki sifat nous yang potensial sehingga membuat manusia mampu mencerap dan membentuk konsep. Meski pada dasarnya jiwa dianggap sebagai sarana membentuk hubungan, ikatan, minat, dan kecenderungan yang menjalin dunia, ia juga bisa dilihat sebagai sifat manusia, seperti juga nous atau anima. 2 Apabila jiwa dianggap mampu menyalurkan persepsi, dalam filsafat Yunani, nous juga ditaksir sebagai “penyerap citra”. 3 Dalam naskah Aristoteles yang terkenal, De Anima, roh sungguh-sungguh berpikir dan selalu menggunakan citraan: “Bagi roh yang berpikir, citraan berfungsi seakan-akan ia adalah isi pencerapan (dan ketika ia menyatakan atau menolak kebaikan atau keburukan dari sesuatu, ia akan menghindari atau menjejakinya). Itulah sebabnya, roh tidak pernah berpikir tanpa citraan. Proses yang terjadi adalah seperti ketika


27

udara memengaruhi pupil sedemikian rupa dan pupil meneruskan pengaruh itu pada objek selanjutnya (begitu juga untuk pendengaran), sedangkan titik akhirnya tunggal, satu buah cara, dengan proses mengada yang berbeda.”4

Paragraf di atas, meski rumit, menyatakan bahwa roh terdiri atas sekumpulan tataran prinsip penyerapan dan moral. Perangkat moral membutuhkan citraan (roh selalu berpikir dengan citraan) sekaligus juga memberikan penilaian terhadapnya. Kita bisa melihat bahwa bagi Aristoteles citraan tidak terbatas pada pencerapan optik semata, karena bagi Aristoteles indra pendengaran adalah salah satu bagian dari proses pembentukan citra. Namun, penggalan paling penting dari kutipan di atas ada di baris terakhir: “... sedangkan titik akhirnya tunggal, satu buah cara, dengan proses mengada yang berbeda.” Kalimat ini sepertinya merupakan upaya untuk menjelaskan citraan sebagai perpaduan indra pencerapan dan imajinasi yang terikat dalam hubungan yang tidak terlalu jelas. Di sinilah perangkat moral diperhitungkan: perdebatan mengenai citraan adalah ciri utama “roh berpikirnya” Aristoteles. Kemudian, kita bisa menyimpulkan, pemahaman moral terhadap citraan membimbing manusia untuk hidup etis di dalam dunia. Ada citraan-citraan yang tampaknya hadir di hadapan “roh berpikir”—demikianlah citraan itu ada—tetapi dihindari, sementara citraan lain dilakoni. Persandingan menarik antara konsep jiwa, yang bisa sekaligus jinak dan ganas, dan roh dalam budaya Yunani Kuno terletak pada fakta bahwa kuasa citraan sangatlah kentara, bahkan dalam selubung negatifnya. Hal ini terlihat dalam mitologi Yunani, jelasnya dalam kisah-kisah Narsisus, Orfeus, dan Medusa. “Roh berpikir” Aristoteles mengandaikan “mata akal budi” yang murni (semacam imajinasi), dan yang tercela tetapi merupakan pandangan mata sesungguhnya yang dialami tanpa mediasi selaku pembentuk konseptualisasi. Filsuf barat selanjutnya seperti Voltaire juga percaya bahwa konsep tidak bisa terbentuk tanpa citraan, 5 dan Immanuel Kant, dalam Reflexionen zur Anthropologie sepertinya yakin bahwa setiap bentukan konsep memerlukan imajinasi. Jika kita ingin mempelajari dan memahami pikiran manusia abad XIX, kita butuh akses metodis pada citraan mental yang melampaui intuisi spekulatif dan introspeksi nalar, dan menggapai melampaui Sensualisme empiris. 6 Akan tetapi, kekhawatiran akan kuasa citraan tersebut terlihat gejalanya dalam pemikiran Barat abad XIX, yang mengumpamakan kegelisahan yang tertanam kokoh terhadap apa yang mitis, mistis, dan animistik; lawan akal budi modern paling kuat.7 Para pemikir Barat abad XIX terombang-ambing antara daya tarik citraan dan hasrat memuja berhala yang asasi sehingga mereka akhirnya menolak

4. Aristoteles, De Anima, 3rd Book, 7th Paragraph, 413a, 16–17.

5. “Rien ne vient dans l’entendement sans une image”, Voltaire, Imagination, dalam: Encyclopédie méthodique: Grammaire et littérature, Volume II (1784), 295. 6. “Sensualisme” adalah ajaran filosofis empiris yang menyatakan bahwa sensasi dan pencerapan adalah bentuk kesadaran paling dasar dan penting yang mungkin bertentangan dengan ide-ide abstrak. 7. Seperti dalam Der Sandmann karya E. T. A. Hoffmann, Picture of Dorian Gray karya Oscar Wilde, Oval Portrait karya Edgar Allan Poe, atau The Scarlett Letter karya Nathaniel Hawthorne.


28

8. Lihat: Martin Jay, Downcast Eyes. The Denigration of Vision in Twentieth-Century French Thought (Berkeley dan Los Angeles, CA: The University of California Press, 1993). 9. Teori modernitas yang paling keliru adalah teori yang menganggap modernisasi sejalan dengan rasionalisme. Lihat: Bruno Latour, Nous n’avons jamais été modernes: essai d’anthropologie symmétrique (Paris: La Découverte, 1991). 10. Lihat bab “Das Bild” dalam Vilém Flusser, Für eine Philosophie der Fotografie (Göttingen: European Photography, 1983).

situasi ambigu ketika citraan dan kenyataan bersatu, kala batas antara simbol dan kenyataan menjadi kabur. Ketika itu, memiliki citraan mental artinya dianggap terpengaruhi oleh kuasa fatalistik yang mengeruhkan citra kenyataan, sembari mendesakkan yang “tak nyata”, ilusi, halusinasi, atau mimpi. Kemudian, perkembangan filsafat analitik yang semakin melantas pada awal abad XX lebih jauh lagi menistakan netra, karena nalar kini dipahami sebagai upaya verbal nan diskursif. Nous, anima, roh berpikir, yang berpikir melalui citraan, atau penetraan (vision) itu sendiri—yang sudah dari dulu dianggap sebagai indra paling utama—dibongkar pasang oleh sekelompok pemikir yang mempertanyakan dominasi hal-hal itu di kebudayaan barat. Para kritikus tersebut mempertanyakan kemampuan unggul anima untuk memberikan akses kepada dunia. 8 Namun, meskipun bentuk sihir, mitos, kultus, agama, dan ritual “pramodern” telah secara sah luluh di dalam masyarakat modern kita, daya yang tersimpan di dalam struktur spiritual itu kini melayang bagai hantu di seluruh sistem dan lapisan masyarakat modern untuk menyusupkan kembali dirinya (tanpa diundang) ke dalam semua struktur masyarakat itu.9 Di balik penalaran diskursif yang diagung-agungkan tersembunyi keterpikatan atas citraan. Citraan adalah sihir, menurut filsuf kelahiran Ceko, Vilém Flusser,10 karena citraan mengubah pengalaman menjadi fakta dan mengalihkannya menjadi adegan yang bisa dibayangkan. Persis karena kontradiksi internal dan dialektika inheren yang dimilikinya, citraan berisiko dibuang oleh agama dan dibongkar oleh pemikiran rasional dan diskursif. Seperti yang dikatakan oleh Flusser, sejarah ditandai oleh seteru antara wacana dan citraan, mengungkapkan oposisi antara kesadaran sejarah dan sihir. Ia menyatakan bahwa teks tidak mewakili dunia; teks mewakili citraan. Mengurai teks berarti menyibak citraan yang terwakili. Tujuan kata-kata tertulis adalah menjelaskan dan menafsirkan citraan serta menghadirkan makna gagasan, istilah, atau konsep untuk memahami penetraan. Citraan bisa ditelaah oleh teks, tetapi teks bergantung pada penetraan agar bisa dibayangkan. Begitu juga, penalaran rasional membedah sihir untuk akhirnya menyirnakannya, tetapi sihir menyusup kembali ke dalam pemikiran konseptual agar pemikiran itu dapat berisi dan bermakna. Mungkin persis karena citraan memiliki makna sihir, magis, sehingga karya seni dapat tercipta. Untuk hal yang sama pula karya seni dihancurkan. Berulang kali karya seni mengangkat citraan yang mampu menciptakan


29

situasi ambigu dan tak terkendali bagi mereka—baik pihak berwenang atau para subjek—yang ingin menalar dunia dan memberi makna bagi kehidupan kita.

Philippe Pirotte Kurator JIWA: Jakarta Biennale 2017

Philippe Pirotte adalah sejarawan seni, kritikus, dan kurator berbagai pameran internasional. Latar pendidikan sejarah seni ia peroleh di Universitas Ghent. Pada 1999, ia ikut mendirikan objectif_exhibitions art center di Antwerpen. Sejak 2004, ia memegang posisi Senior Advisor di Rijksakademie for Visual Arts di Amsterdam. Selanjutnya, ia menjadi Direktur Kunsthalle Bern di Swiss (20052100) dan Adjunct Senior Curator di UC Berkeley Art Museum dan Pacific Film Archive (sejak 2012). Saat ini ia menjabat sebagai direktur di Städelschule di Frankfurt am Main, Jerman, selain penasihat direktur program untuk Sifang Art Museum di Nanjing, Cina.


30

Sakit Sebagai Sebuah Metafora

1. Kuliah umum Jacques Rancière, “La Pensée du Présent”, di Institut Français di Athena, Yunani, pada 30 Januari 2014, https://vimeo. com/85497014 2. Pengarang: Hito Steyerl.

Tulisan ini menanggapi sejumlah karya yang ada di Jakarta Biennale 2017, tetapi di luar itu juga mengikuti temanya sendiri. Oleh sebab itu, tulisan ini tidak bermaksud mewakili pameran ini secara keseluruhan. Pokok dari tulisan ini adalah isu penyakit, pemahaman medis tentang penyakit, dan bagaimana penyakit dipahami oleh pasien; semuanya adalah topiktopik yang berhubungan secara longgar dengan tema “Jiwa”. Penyakit bukanlah topik populer dalam teori seni kontemporer atau dalam konteks institusi seni. Hal-hal yang berkaitan dengan kemunduran—impotensi, ketidakmampuan, kecacatan, kemalasan, kegagalan—yang salah satunya adalah penyakit, menimbulkan antipati, yang menyerupai rasa takut tertular. Penyakit adalah pertanda (indeks) kematian, sama halnya dengan asap yang menandai adanya api. Tema penyakit sosial, atau sebut saja wabah, menjadi terang bagi kita pada 2007. Jacques Rancière, dalam analisisnya mengenai krisis finansial, menunjuk pada turunan medis murni istilah ini. Dalam tradisi yang diturunkan dari Hipokrates dari zaman Yunani kuno, krisis adalah saat penentuan dalam tahapan penyakit dan pengobatannya: ketika dokter, setelah menerapkan semua cara untuk mengobati pasien, menghentikan upayanya dan memasrahkan pergulatan dengan penyakit kepada si pasien (dan kepada alam). Harapannya, pada akhirnya pasien itu sembuh dan selamat, atau menyerah. Namun, seperti yang dinyatakan Rancière, pada masa kini, kata “krisis” justru berarti sebaliknya. Krisis finansial 2007 tidak berakhir pada titik puncak atau penyelesaian, tetapi justru menetapkan diri sebagai keadaan patologis dan kronis yang diteruskan dari ranah ekonomi kepada masyarakat, hingga berubah menjadi penyakit sosial. “Dan, jelas suatu masyarakat yang sakit akan memanggil orang yang dialihtempatkan oleh krisis zaman dulu, yaitu, dokter. . . dan menuntut perawatan penuh perhatian dan teratur dari dokter masyarakat yang baik. Satusatunya persoalan adalah bahwa para dokter yang tersedia adalah pencipta krisis ini, mereka yang mengelola produksi kekayaan, dan merekalah yang atas nama produksi ini menghancurkan rintangan pertumbuhannya.”1

Jacob Woods, tokoh utama dalah Liquidity Inc. (2014),2 adalah seorang pengamat keuangan (bukan seorang dokter melainkan Analis Laboratorium Klinis) di Lehman Brothers yang kehilangan pekerjaannya dalam krisis keuangan 2007. Ia terbebas dari lingkungan yang terusmenerus mengawasinya, kemudian belajar menjadi petarung Mixed Martial Arts, sebuah disiplin bela diri baru yang menggugurkan banyak peraturan pertarungan kontak badan pada umumnya. Pergeseran profesional yang cair ke dalam dunia tubuh setengah-telanjang, dengan celana pendek dan pelindung kelamin, yang bergulat dalam kontes “segala boleh” di


31

atas matras dikelilingi pagar tali elastis, tidak mengejutkan siapa pun. Ada kemiripan peraturan yang mengatur kedua ranah tersebut. Namun, kata “Inc.”3 punya arti lain. Selain sebagai status hukum sebuah perusahaan, “incorporated” juga berarti ‘terpadu dalam satu tubuh’, ‘mengejawantah’. Pengobatan barat atau alopatik klasik mendekati tubuh sebagai mekanisme kompleks (biologis). Akan tetapi, dari sudut pandang subjek, tubuh bisa dianggap sebagai mekanisme selama ia memiliki fungsi. Selama tubuh kita sehat dan bekerja, tubuh bisa “dilupakan dan/atau dilampaui dalam berkegiatan di dunia.”4 Jika tubuh jatuh sakit, sang subjek menolak metafora medis mengenai tubuh sebagai mesin sebagai sesuatu yang asing; namun, persis di sinilah tubuh berkenaan dengan obat-obatan. Penyakit dirasakan oleh penderita bukan hanya sebagai rasa sakit yang terlokalisir, satu bagian yang tak berfungsi dari keseluruhan, melainkan sebagai sesuatu yang merongrong rasa ada-di-dunia sang penderita. Protagonis kita, Jacob, adalah contoh spesial. Ia menjelmakan penyakit sebagai peningkatan jaringan otot. Dirinya terasingkan, khas para penderita penyakit, di antara Diri dan tubuh—yang terwujud sebagai penyederhanaan tubuh yang hidup menjadi identifikasi diri yang lacur, narsistik, dengan intensionalitas ketubuhan dan citra tubuh. Etiologi penyakit menyatakan bahwa penyebab penyakit adalah kurang atau lebihnya pengembangbiakan intisari organisme organik atau anorganik dalam tubuh; alam atau obat-obatan menyembuhkan dengan cara mengembalikan keseimbangan tersebut. Pendeta tinggi Bissu dari suku Bugis, yang warisan budayanya muncul lewat performans Komunitas Bissu, 5 mengatakan: “Jika salah satu dari lima gender dipisahkan, akan ada ketakseimbangan di dunia.” Suku Bugis, sebuah kelompok etnis yang menempati pulau selatan di Sulawesi, membedakan antara lima identitas gender, yang dibedakan berdasarkan nama berikut: makkunrai (perempuan feminin), oroané (lelaki maskulin), calai (perempuan maskulin), calabai (lelaki feminin) dan bissu (dukun transgender). Dalam baurkomposisi citraan identitas gender yang terdiri atas potongan-potongan aspek, kurang atau lebihnya pengembangbiakan perempuan maskulin (calai), misalnya, tidak hanya akan mengancam mereka yang menjadi bagian dari himpunan tersebut, tetapi juga kesatuan lain yang memiliki aspek identitas sama. Seperti yang dikatakan oleh pendeta tinggi, hal itu akan menciptakan situasi yang tidak selaras bagi semuanya. Tema utama dari film Secteur IX B (2015) 6 adalah praktik pengumpulan dan pemindahan artefak budaya dan alamiah ke kota metropolis oleh pemerintah kolonial. Kisah fiksi ini mengangkat beraneka rupa elemen dari misi Dakar-Djibouti (1931-1933) yang sesungguhnya, yang bisa

3. Kata Inc. dalam bahasa Inggris kurang-lebih sama artinya dengan perusahaan terbatas. Dalam alih bahasa, diksi kata incorporated menjadi hilang karena ia harus diterjemahkan menjadi dua kata berbeda, yaitu, perusahaan terbatas dan mengejawantah atau terpadu—Penerj. 4. J.P. Sartre, Being and Nothingness (1943), dikutip dari S. Kay Toombs, “Illness and the Paradigm of Lived Body”, Theoritical Medicine 9, no. 2 (1988).

5. Pengarang: Komunitas Bissu.

6. Pengarang: Mathieu Kleyebe Abonnenc.


32

7. Nicholas B. King, “Security, Disease, Commerce: Ideologies of Postcolonial Global Health”, Social Studies of Science, 32/5–6 (October–December 2002) 763–789.

8. Pengarang: Em’kal Eyongakpa, Karrabing Film Collective

9. Mathieu Kleyebe Abonnenc, Secteur IX B, 2015.

10. Pengarang: Otty Widasari

sampai ke tangan kita berkat buku-buku penulis Prancis Michel Leiris. Namun, penyakit dan kegilaan (ditambah dengan doktrin higienis dan medis) sudah menjadi identik dengan kolonialisme, seperti yang sudah sering diungkapkan sejak Frantz Fanon. Bukan hanya kenyataan bahwa protagonis utama film tersebut, antropolog bernama Betty, jatuh sakit— rupanya akibat persentuhan dengan benda-benda yang terjangkiti praktik kolonial. Obat-obatan di daerah jajahan adalah sarana pemerintahan kolonial yang penting: “Pada awalnya, tujuan utamanya adalah untuk memastikan kesehatan prajurit, pedagang, dan pendatang dari Eropa dalam menghadapi iklim yang keras; strategi pencegahan dan pemisahan adalah metode yang dikehendaki. Kemudian, pokok masalahnya bergeser menjadi kesehatan penduduk asli, utamanya sebagai cara untuk memastikan ketersediaan satuan buruh yang produktif. Dalam kedua hal itu, ‘kesehatan masyarakat’ ada karena kepentingan pemerintah kolonial, sehingga perbaikan taraf kesehatan lokal (kecuali anggota angkatan buruh laki-laki) adalah dampak tidak langsung dan di luar rencana.”7 Pengobatan Barat para penjajah tidak berlaku layaknya kekuatan penyembuhan pada umumnya, tetapi memisahkan mereka yang sakit, dengan mengabaikan kesembuhan mereka, lalu melalui doktrin higienis menciptakan penyakit dalam populasi yang sepenuhnya sehat. Itulah sebabnya, mungkin “strategi penghindaran dan pemisahan” dalam karya-karya yang sangat kontemporer, dengan tema-tema kolonial dan neokolonial—Secteur IX B, WUTHARR, Saltwater Dreams (2016), Ones Who Are Being Controlled (2016) 8 —mencari cara melampaui kerangka teori pascakolonial arat dan keilmuan akademiknya. “Setiap tablet yang ia telan tak ubahnya seperti kotak obat yang dipadatkan. Obat-obat ini mengubah cerapannya akan kenyataan. Ia menulis bahwa ketika subjektivitas mencapai puncaknya, barulah kita bisa menggapai objektivitas.”9 Pengubahan kondisi kesadaran sebagai cara untuk menjangkau para leluhur, halusinasi mengenai kesetaraan dengan alam, melantur dalam tidur, dan pembakaran citraan kolonial adalah sarana-sarana untuk memperoleh kesetaraan pikiran. Karya Ones Who Looked at the Presence (2017) 10 langsung menolak gagasan bahwa seniman kontemporer dari bekas daerah jajahan bisa bicara tentang isu kolonialisme dari perspektif korban yang mewarisi penjajahan itu. Hal itu adalah kiasan budaya yang sudah tertanam dalam kesadaran kolektif masyarakat bekas negara jajahan dan berlaku sebagai vaksin bagi politik neokolonial. Senimannya menyelesaikan dilema pencurian citraan (citraan wajah manusia melihat ke kamera kolonial) melalui penyucian radikal,


33

membersihkannya dengan pembakaran. Rangkaian kejadian dalam video When the Dogs Talked (2014), WUTHARR, Saltwater Dreams (2016) 11 membuat kita langsung teringat akan The Idiot (1868),12 yang diacak ke dalam kerangka neokolonial masa kini. Konteks sejarah dan kelasnya sungguh berbeda—“Penderitaan perundang-undangan, kebijakan adat, dan penertiban di Wilayah Utara” menjadi sasana yang dibatasi oleh politik bias pengendalian masyarakat adat. Namun, kendati demikian, bahkan dalam penggarapan Karrabing Collective, seperti halnya Pangeran Myshkin, semua diputuskan oleh dorongan intersubjektif. Pencarian anggota keluarga, dengan maksud untuk menghindari pindah rumah, terganggu oleh pertemuan dengan kerabat yang sedang kesulitan. Perjalanan melalui bentang alam dikendalikan oleh pertemuan dengan leluhur yang kehendaknya bisa saja mengubah arah perjalanan. Sang protagonis harus bertindak dan mengubah jalan pergerakan mereka di dalam kenyataan berdasarkan tingkat mendesaknya dorongan. Menurut salah satu tokoh dalam buku Dostoevsky lain, “Memiliki kesadaran yang tajam adalah penyakit, sebuah penyakit yang nyata dan sungguh ada.” Psikoanalisis tidak hanya tertarik untuk menelaah fungsi ingatan semata, tetapi justru penyimpangan dan kesalahannya pula. Sebab, hal-hal inilah yang persisnya menunjukkan adanya usikan alam bawah sadar pasien pada rantai tempat peristiwa disimpan dan dicetakkan pada ingatan. Kini, pemisahan ingatan individual dan kolektif menjadi niscaya. Arin Runjang, dalam karyanya yang paling mutakhir, 246247596248914102516... And then there were none (2017), mengikhtisarkan pengalaman masa kecilnya yang traumatis. Ayahnya, ketika menjadi pelaut di kapal dagang, dipukuli habis-habisan oleh kelompok Neo-Nazi di Hamburg, dan kemudian wafat di rumahnya akibat luka yang diterimanya. Narasi individual terjalin dengan ingatan kakek sang seniman, yang berdiri di sisi sejarah yang salah dalam pergolakan antimonarki pada 1932, juga dengan kenangan tamu resmi terakhir Adolf Hitler selama berada di bungker bawah tanah di Berlin. Fungsi lupa, menurut psikoanalisis, adalah untuk menekan kejadian traumatis pada masa lalu atau menggantinya dengan ingatan palsu. Maka, kenangan dan pengulangannya dalam masyarakat berfungsi tidak hanya sebagai kesaksian sejarah yang “subjektif,” penyejarahan subjektif atas serangan rasialis, tetapi juga sebagai pertahanan atas kerja alam bawah sadar sang seniman, yang berusaha menekan atau mengubah ingatan. Jika sang subjek tidak mempertahankan diri dan membiarkan dirinya lupa, ia akan kehilangan kemampuan untuk menjalin masa depannya. Menurut Lacan, “Masalahnya bukan kenyataan,” ketika menjelaskan tujuan proses

11. Pengarang: Karrabing Film Collective. 12. Pengarang: Fyodor Dostoyevksy.


34

13. Pengarang: Kiri Dalena 14. Pengarang: Otty Widasari 15. Pengarang: Gabriela Golder

psikoanalisis, “tetapi kebenaran, karena dampak wicara lengkap (yaitu, psikoanalisis) adalah mengurutkan kembali ketidakpastian masa lalu dengan menekankan keniscayaan masa depan padanya, karena hal-hal itu ditetapkan oleh kebebasan kecil yang dihadirkan oleh subjek.” Seperti kita tahu, demam bukanlah penyakit, melainkan keberhasilan kekebalan tubuh melawan infeksi. Requiem for M (2010),13 Fiksi (2016),14 dan In the Memory of the Birds (2010) 15 mewakili daya tahan tubuh dan ingatan kolektif dari pemalsuan atau amnesia. Pada tahap pertama, ingatan kolektif dibentuk melalui cara-cara komunikasi sebagai informasi mengenai peristiwa. Jika informasi dikendalikan oleh organ-organ pemerintahan, dan jika badan-badan ini adalah pelaku langsung, seperti dalam kasus Pembantaian Maguindanao pada 2009, seperti yang dikupas oleh Requiem for M (2010), maka, versi peristiwa yang menyimpang ini meletakkan dasar bagi narasi kolektif yang palsu. “Citra” sejarah nasional selalu mencerminkan posisi kuasa dan identitas kelas yang memesannya; citra tersebut berlaku atas nama pelestarian dan kelanjutan (Monumen Nasional, 1969-1976). Mengenang adalah satu-satunya obat amnesia kolektif (kediktatoran junta militer Argentina 1976-1983, diangkat oleh In the Memory of the Birds, 2010), untuk menyelamatkan peristiwa yang telah dihapus oleh sensor ketat rezim militer. Tanggapan sistem kekebalan tubuh barisan kuratorial Biennale untuk melawan amnesia sejarah seni Indonesia periode neomodern adalah dengan memamerkan dua seniman dengan praktik dan nasib artistik berbeda dalam kehidupan—Siti Adiyati dan Semsar Siahaan. Adiyati adalah anggota kelompok Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB), yang melalui dua pameran sarat pernyataan mengubah kondisi wacana estetika melalui kecenderungan radikal atas gerakan internasional, seperti neodada, popart, dan seni objek, dengan relevansi kuat terhadap isu-isu sosiopolitik lokal. Tidak seperti para anggota lelaki dari kelompok itu (Jim Supangkat, FX Harsono, Dede Eri Supria, Nyoman Nuarta, dsb.), Adiyati berada di luar teropong perhatian karena norma sosial dan keadaan. Karya-karya lukisnya, baik dari periode GSRB maupun setelahnya, yang dipengaruhi oleh pascasurealisme dan lukisan avant-garde (Picasso), tetap tidak banyak dikenal sampai hari ini. Nasib karya Semsar Siahaan (1952-2005) ditentukan oleh aktivisme artistiknya pada periode Orde Baru. Selama bersekolah di Institut Teknologi Bandung (ITB), ia membakar patung gurunya hingga dikeluarkan dari kampus. Ia seorang aktivis radikal; sketsa-sketsa dan lukisan monumentalnya sejak 1980-an mengandung sintesis pendekatan


35

lukisan pascamodern dan tema sosial yang orisinal, dan pada saat yang sama mengkritik penyalahgunaan kuasa politik dan ekonomi.

Vit Havranek Kurator JIWA: Jakarta Biennale 2017

Vit Havránek adalah kurator dan penyelenggara seni yang berbasis di Praha, Republik Ceko. Sejak 2002 ia menjadi direktur sebuah inisiatif seni kontemporer, tranzit.cz (www.tranzit.org). tranzit.cz adalah platform produksi, ruang pameran (tranzitdisplay), platform kewacanaan (rangkaian kuliah, ceramah, konferensi tematik), dan penerbitan. Sejak 2007, tranzitdisplay menjadi tuan rumah untuk pameran solo Eric Beltrán, Eija Lisa Ahtilla, Ján Mančuška, Sung Hwan Kim, Apichatpong Weerasethakul, Babi Badalov, Luis Camnitzer, Haroun Farocki, Carla Filipe, Ruti Sela, Loulou Chérinet, Július Koller, Emily Roysdon, Chto delat?, Raqs Media Collective, Trinh T. Minh-Ha, dan lain-lain. Vit Havránek bersama dengan Zbynek Baladran (display) berperan sebagai direktur bersama ruang pameran tersebut sejak 2007-2015. Selain itu, ia menjadi salah satu kurator untuk banyak pameran di berbagai lokasi (Manifesta 8, Muzeum Sztuki Lodz, City Gallery Prague, New Museum Hub, VOX Montréal, dan lain-lain).


36

Abdi Karya (Indonesia) Afrizal Malna (Indonesia) Alastair MacLennan (Inggris) Alexey Klyuykov, Vasil Artamonov & Dominik Forman (Republik Ceko) Ali Al-Fatlawi, Wathiq Al-Ameri (Swiss) Aliansyah Caniago (Indonesia) Arin Rungjang (Thailand) Chiharu Shiota (Jepang) Choy Ka Fai (Singapura) Dana Awartani (Arab Saudi) Darlane Litaay (Indonesia) David Gheron Tretiakoff (Prancis) Dineo Seshee Bopape (Afrika Selatan) Dolorosa Sinaga (Indonesia) Dwi Putro Mulyono (Pak Wi) (Indonesia) Em’kal Eyongakpa (Kamerun) Eva Kot’átková (Republik Ceko) Gabriela Golder (Argentina) Garin Nugroho (Indonesia) Gede Mahendra Yasa (Indonesia) Hanafi (Indonesia) Hendrawan Riyanto (Indonesia) Hito Steyerl (Jerman) Ho Rui An (Singapura) I Made Djirna (Indonesia) I Wayan Sadra (Indonesia)


37

Imhathai Suwatthanasilp (Thailand) Jason Lim (Singapura) Karrabing Film Collective (Australia) Keisuke Takahashi (Jepang) Kiri Dalena (Filipina) Komunitas Bissu (Indonesia) Luc Tuymans (Belgia) Marintan Sirait (Indonesia) Mathieu Kleyebe Abonnenc (Prancis) Ni Tanjung (Indonesia) Nikhil Chopra (India) Otty Widasari (Indonesia) Pawel Althamer (Polandia) Pinaree Sanpitak (Thailand) PM Toh (Indonesia) Ratu Rizkitasari Saraswati (Indonesia) Robert Zhao Renhui (Singapura) Semsar Siahaan (Indonesia) Shamow’el Rama Surya (Indonesia) Siti Adiyati (Indonesia) Ugo Untoro (Indonesia) Willem de Rooij (Belanda) Wukir Suryadi (Indonesia) Ximena Cuevas (Meksiko) Yola Yulfianti (Indonesia)


38

Abdi Karya

Abdi Karya lahir di Sengkang, Indonesia, pada 1982. Setelah lulus dari Sastra Inggris Universitas Negeri Makassar, ia melanjutkan di

Universitas

Muhammadiyah

Makassar.

Sejak 2000, ia berkiprah dalam teater dan seni pertunjukan sebagai aktor, sutradara, manajer panggung, perancang panggung, penari, dan awak panggung. Sejak 2013, ia mengembangkan praktik performansnya.

Budaya tradisi Bugis menjadi sumber inspirasi bagi Abdi Karya dalam menciptakan karya-karyanya. Dalam penulisan naskah, teater, dan juga seni performansnya, Abdi Karya selalu mencoba membongkar makna dari pemikiran maupun filsafat yang muncul dalam adat istiadat, kisah-kisah lama, dan mitologi Bugis. Salah satu yang ia tekuni adalah mahakarya Bugis, I La Galigo, yang mengisahkan penciptaan semesta dan hingga sekarang masih dituturkan di kalangan keluarga petani. Bagi Abdi Karya, tubuh manusia bagaikan rumah Bugis yang terdiri atas tiga bagian sebagaimana layaknya semesta, yaitu dunia atas yang diwakili oleh kepala (pikiran), dunia bawah yang diwakili oleh tubuh (kesuburan), dan dunia tengah yang merupakan tempat bagi jiwa (ruh, atau sumange’). Kesadaran terhadap tiga hal ini membangun kewaspadaan terhadap ruang, yaitu ruang dalam (perempuan, kelembutan, femininitas) dan ruang luar (laki-laki, kekuatan, maskulinitas). Rumah, sebagai ruang fisik tak bergerak, menjadi kosmos bagi tubuh dan jiwa. Rumah menjadi tempat lahir sekaligus pulang. Dalam Memakai.Dipakai yang diciptakan pada 2016 ini, Abdi Karya memilih sarung sebagai simbol tubuh kedua masyarakat Bugis. Sarung adalah penanda ruang, waktu, dan peristiwa: sejak orang Bugis lahir hingga meninggal, sarung nyaris selalu ada. Dalam kehidupan tradisi sehari-hari, sarung memiliki berbagai fungsi, dari pakaian, pembungkus barang, hingga alat bantu memanjat. Sarung, sebagai tubuh kedua, menjadi tempat tubuh tumbuh melintasi waktu. Pikiran dan keinginan (baca: nafsu) membuat manusia lupa akan waktu. Tubuh menjadi medan pergesekan spiritualitas-intelektualitas-realitas. Memakai.Dipakai merupakan upaya Abdi Karya untuk menyampaikan pandangannya tentang bagaimana masyarakat modern menyikapi tradisi sebagai sesuatu yang hanya bisa dibanggakan tapi tidak dijaga kelangsungan hidupnya. Baginya, tradisi menyimpan kedalaman, dan ia menggunakan kekuatan tradisi masa lalu sebagai upaya untuk membaca masa kini serta memahami dari mana ia berasal; bagaimana ia berhubungan dengan dunia di luar disiplin kerjanya. Sejak 2004, karya-karyanya berangkat dari I La Galigo demi memperkenalkan kembali naskah tersebut sebagai teater. Sejak 2007, ia bekerja dengan seniman teater dan visual Amerika, Robert Wilson. Pada 2011–2017, Abdi adalah Manajer Pengembangan dan Kerjasama di Rumata’ ArtSpace Makassar. Ia menggagas Performance Lab, sebuah program lokakarya, pelatihan, presentasi, diskusi, dan pertunjukan di Makassar, serta membentuk kolektif teater lintas negara, 5ToMidnight International. Sebagai aktor, sutradara, dan pekerja panggung sejak masa kuliahnya di Universitas Negeri Makassar, Abdi Karya juga telah membangun jaringan kerja dengan seniman dari berbagai disiplin, di dalam dan luar Indonesia. Saat ini, ia sedang menyiapkan platform bagi beberapa ruang seni di Makassar untuk menjadi tempat residensi lintas disiplin. [MS]


39

Memakai. Dipakai | 2016 Seni performans | Tekstil, sarung | 5 hari, masing-masing 4 jam Foto: Panji Purnama Putra


40

Afrizal Malna

Afrizal Malna lahir di Jakarta pada 1957. Ia menulis puisi, cerita pendek, novel, kritik sastra

dan

teater,

skenarionya,

juga

skrip

teater

mengedit

beserta

buku

dan

memproduksi video seni. Ia peraih beberapa penghargaan,

di

antaranya

dari

Dewan

Kesenian Jakarta (1984), Tempo (2009), dan Kusala Sastra Khatulistiwa (2013).

Afrizal Malna adalah seorang penyair dan penulis yang bekerja dengan beraneka rupa media, termasuk teks, hiperteks, suara, video, dan instalasi. Ia pernah belajar filsafat, ikut serta di dalam festival puisi dan tampil dalam Poetry International Web. Karyanya, Teman-temanku dari Atap Bahasa, terbit tahun 2008, terpilih menjadi karya sastra terbaik tahun 2009 oleh majalah Tempo. Sejak 2016, ia menjadi anggota Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta. Sejak tahun 1980-an, Afrizal mengangkat bahasa puitis subjektif yang dekat dengan lingkungan budaya perkotaan Indonesia yang cepat berubah. Ketertarikannya pada penjabaran (“Warisan Kita,” 1989), daftar-daftar dan rangkuman (Jembatan Rempan-Rempah) memperlihatkan kedekatannya dengan Georges Perec dan metode-metode Oulipo (Prancis). Pendekatan konseptual juga sering ditemukan dalam puisi-puisi videonya, yang menggabungkan puisi suara dan animasi video. Dalam karya videonya, Afrizal mengutamakan aspek tutur dari bahasa—pengulangan, sajak musikal, dan ritme—ketimbang kualitas semantiknya. Segi visual dari karya videonya menggunakan cuplikan dari lingkungan terdekat Afrizal (termasuk citraan dirinya), gambar-gambar temuan mengenai alam dan pola-pola abstrak yang disejajarkan satu sama lain (5 Gempa Orang), disunting sedemikian rupa sehingga membangkitkan kesetimbangan antara metode puitis dan visual. Esai tentang Alfabet adalah rekaman puisi visual yang didapat dari aksara yang ia tulis di atas papan tulis. Puisi tersebut menggabungkan diagram puitis-aksara. Nalar konseptual tersebut diperkuat dalam Esai tentang Puisi, sebuah esai visual mengenai hubungan antara kata (penanda) dan objek (yang ditandai). Mulai dengan meletakkan spidol di atas papan tulis, Afrizal menulis kata PENA di samping objek dan lalu lanjut sembari menciptakan puisi objek tautologis dan tanda bahasanya. Karya-karya ini adalah karya paling mewakili kedekatannya dengan seni konseptual dan puisi visual yang menempatkan prinsip makna bahasa sebagai asal-usul pengetahuan dan komunikasi antarmanusia. Instalasi Afrizal, Alarm (2017), dibuat khusus untuk Jakarta Biennale 2017, mempertanyakan hubungan antara kata dan rujukan semantiknya. Menggunakan teknik hipogram, asosiasi, dan perlawanan kata, Afrizal berusaha mencari jalinan kata-kata yang mungkin “berbunyi” dengan jiwa. Bagaimana jiwa akhirnya bisa berbunyi seperti layaknya “alarm” yang memberikan “peringatan”? Kemudian, apa jadinya apabila dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi “alarm” sebagai “peringatan” diganti dengan “jiwa”? Menggunakan logika dalam bahasa Indonesia, Afrizal membongkar persekutuan makna yang selama ini berlaku, untuk bermain dalam bahasa ciptaannya sendiri. [VH]


41

A>L>A>R>M | 2017 Instalasi | Kotak dengan kerupuk, puing-puing, video | 400 x 400 x 240 cm Atas: instalasi ruangan; foto: Farid Burhanudin Kiri bawah: foto diambil dari video, digunakan atas izin seniman Kanan bawah: detail instalasi; foto: Farid Burhanudin


42

Alastair MacLennan

Alastair

MacLennan

Blairatholl,

Stanley,

tumbuh Kinross,

besar Perth,

di dan

Dundee, di Skotlandia, kemudian pindah di Chicago dan Charleston, AS, dan berikutnya Nova Scotia serta Vancouver, Kanada. Sejak 1975 ia berbasis di Belfast, Irlandia Utara, bepergian dan bekerja secara internasional.

Di bawah terik matahari, lalu terguyur hujan deras, selama enam jam Alastair MacLennan duduk diam tak bergerak sedikit pun. Seperti meditasi, seni performansnya pada 2008 dalam “undisclosed territory #2� di Padepokan Lemah Putih, Solo, ia lakukan dengan berdiam di dalam timbunan sampah rumah tangga yang kotor dan bau, yang menutup hampir seluruh tubuhnya hingga leher. Sepanjang performans itu, tubuhnya seolah melebur ke dalam susunan waktu yang ada dan waktu yang diciptakan, di antara ruang yang ada dan ruang yang diciptakan. Di sana, tubuh tidak lagi mengikat makna secara verbal atas hubungan subjek-objek dan bentuk benda-benda yang hadir. Keterhubungan yang muncul sepanjang performans itu merupakan kesatuan antara tubuh, energi atas ruang dan waktu, serta puitika yang sering dihadirkannya dalam warna kepiluan yang sangat hening. Kepiluan hening itulah, bagi Alastair, salah satu refleksi keberadaannya sebagai manusia yang menembus berbagai peristiwa konflik kemanusiaan yang keras. Bagi Alastair, seni adalah persilangan antara harapan dan kemauan untuk mengatasi konflik-konflik luar dan dalam tubuh yang berkaitan dengan spiritualitas, agama, politik, diri, budaya, kemasyarakatan, atau segala macam persilangannya; ekologi tidak saja mengenai hubungan antara manusia dan lingkungan alam, tetapi juga keyakinan atas pikiran dan jiwa. Tidak hanya seni performans, karya instalasi pendiri Belfast’s Art and Research Exchange ini juga menyodorkan rasa yang menghujam pikiran kita dengan segala kehalusan estetika yang kontradiktif dengan realitas kekerasan, seperti dalam Body of (D)earth di Venice Biennale (1997), di mana ia menuliskan nama-nama korban berbagai insiden di Irlandia sejak 1969 hingga saat itu di atas kertas tipis yang ia tata rapi di dinding, sementara aroma antiseptik rumah sakit menguar, menambah suasana kematian yang mencekam. Pada Jakarta Biennale 2017, Ash She He merupakan karya performans berdurasi pendek yang menginvestigasi empati yang melampaui konflik identitas. Alastair mengajak publiknya memasuki suasana kesadaran akan transformasi suatu penderitaan. Material-material utama yang dipilih, seperti abu, air, batu, ranting pohon, kertas, gelas, ember, diperlakukannya sebagai elemen yang tidak hanya simbolik atau memberi napas puitis, tetapi juga mengisyaratkan emosi nuraninya maupun publiknya. Ash She He, bagi Alastair, adalah kesaksian dan sekaligus proses peralihan dari kesendatan menuju keterbukaan waktu. Kesetiaan Alastair MacLennan pada seni performans juga dijalani bersama komunitas dan kelompok. Selain Belfast’s Art and Research Exchange, ia juga salah satu pendiri Bbeyond, kelompok seni performans di Belfast, dan anggota Black Market International, kelompok seni performans Eropa. Selain itu, ia Guru Besar Seni Rupa Emeritus di Universitas Ulster, Belfast; Anggota Kehormatan Dartington College of Arts, Devon; dan Honorary Associate untuk National Review of Live Art, Glasgow. [MS]


43

As She He | 2017 Seni performans | 30 - 40’ Foto: Adi Priyatna


44

Alexey Klyuykov Vasil Artamonov Dominik Forman

Alexey Klyuykov & Vasil Artamonov lahir masing-masing pada 1983 dan 1980, Mereka adalah duo seniman yang sudah bekerjasama sejak 2005. Meskipun berasal dari Rusia, keduanya sudah tinggal di Republik Ceko sejak kecil dan lulus dari Academy of Arts, Architecture and Design di Praha. Kini mereka kerap berkolaborasi dengan Dominik Forman.

Vasil Artamonov dan Alexey Klyuykov adalah duo seniman berkebangsaan Rusia yang sudah berkolaborasi sejak masa studi mereka di Academy of Arts, Architecture and Design pada 2005 di Praha. Pada awalnya, karya-karya mereka kebanyakan berupa seni konseptual (Monumental to the Third International, 2005) dan performans (How We Helped, 2006). Dalam The Course of Autumn (2010), keduanya menciptakan sebuah instalasi yang monumental berupa mesin-mesin kuno dari kayu yang mereka temukan di pabrik Poldi Kladno di Republik Ceko. Pabrik itu menjadi contoh kasus kegagalan privatisasi yang paling menonjol, yang berujung pada penutupan salah satu area industri terbesar di negara tersebut. Instalasi Wisdom (2007) memamerkan siluet janggut berbagai sosok sejarah terkenal, seperti Karl Marx, Mikhail Bakunin, Piet Mondriaan, dan Slavoj Žižek. Instalasi ini dibuat dari potongan kayu. Sejak sekitar tahun 2007, Artamonov dan Klyuykov mengalihkan perhatian mereka pada lukisan, khususnya sejarahnya dari segi materialisme sejarah sebagai sebuah arsip utopia masa depan yang belum terlaksana. Dalam Photographs of Freight Truck (2007), mereka melukis berbagai salinan dan variasi bentuk komposisi karya Kazimir Malevič pada penyangga-penyangga kereta. “Loncatan macan”— menurut Walter Benjamin—yang memotong kesinambungan sejarah lukisan, bagi Artamonov dan Klyuykov, bermula dengan paham konstruktivisme dan kubisme. Dalam serangkaian lukisan Fire in the Library, Demonstration and Globe (2007), yang disusun dalam “gaya kubus”, titik perhatian keduanya bukanlah memeragakan penerapan kubisme analitis pada objek riil, melainkan memeragakan penggunaan performatif bahasa pelukis dalam suatu proses kolektif yang mengkritisi ketiadaan imajinasi tentang masa depan yang lebih baik. Lukisan-lukisan itu menggabungkan lukisan bentuk (still-life) kubus yang nyaris abstrak dan menjorok ke dalam pada latar belakang putih dengan slogan teks pendek maupun panjang yang ditulis tangan tanpa tipografi. Kumpulan lukisan Artamonov dan Klyuykov yang dipamerkan dalam Jakarta Biennale 2017 berkaitan dengan riset terbaru yang mereka lakukan melalui kerjasama dengan seniman Dominik Forman. Dalam Manifesto of Radical Realism (2006) yang mereka buat bersama, mereka mendukung ide tentang kepengarangan kolektif dan seni yang ditujukan untuk antagonisme masyarakat pascakapitalis. Ketertarikan tersebut mengarahkan mereka pada penyelidikan tentang arkeologi masa depan dan sejarah awal kelompok garda depan Rusia (kelompok Jack of Diamonds, 1910–1917). Akhir-akhir ini, subjek lukisan mereka bervariasi, mulai dari lukisan bentuk perkakas masyarakat kelas pekerja atau dokumen-dokumen yang berhubungan dengan teori materialisme sejarah, hingga potret tokoh-tokoh bersejarah (Rosa Luxemburg, Pablo Picasso) atau yang berhubungan dengan tema lukisan para realis progresif. [VH]


45

Still Life with a basket and bricks | 2011 Cat minyak di atas kanvas | 45x105 cm Foto digunakan atas izin seniman

Material Basis of Spiritual Life | 2012 Cat minyak di atas kanvas | 62x52 cm Foto digunakan atas izin seniman


46

Ali Al-Fatlawi, Wathiq Al-Ameri

Ali Al-Fatlawi dan Wathiq Al-Ameri lahir pada 1972 di Baghdad, Iraq. Sejak 1997, mereka tinggal dan bekerja di Zurich, Switzerland. Duo ini telah berpartisipasi dalam berbagai perhelatan seni rupa, di antaranya Open International

Performance

Festival

2009) dan Venice Biennale (Italia, 2012).

(Cina,

Performans Wathiq Al-Ameri dan Ali Al-Fatlawi menjadi cerminan dan tantangan bagi sikap Barat terhadap Irak dan budaya Irak—rasa takut dan harapan, rasa gentar yang bangkit akibat korban sipil, penyeberangan batas wilayah, dan tekanan psikologis yang diekspresikan lewat gestur fisik. Manusia fana yang hidup dengan perang sebagai bagian dari keseharian, dan peran ingatan serta nyawa yang hilang dalam perang, juga merupakan topik-topik penting yang diekspresikan dalam performans mereka. Wathiq dan Ali memperoleh Performance Art Award Switzerland pada 2011, disusul dengan Swiss Art Award 2012 yang prestisius. Duo ini berbasis di Swiss dan berkolaborasi sebagai bagian dari studio Urnamo yang didirikan pada 2002. Keduanya telah saling kenal sejak kecil dan belajar bersama di Baghdad Arts Academy di Irak dan di F+F Schule für Kunst und Design. Salah satu topik yang muncul teratur dalam berbagai performans Wathiq dan Ali adalah pentingnya ingatan. Mereka percaya bahwa ingatan tersimpan dalam tubuh dan elemen-elemen masa lampaunya dapat diakses lagi pada masa sekarang. Dengan demikian, gesekan antara versi resmi suatu peristiwa, versinya yang telah termediasi, dan realitas yang dialami manusia menjadi titik perhatian dalam performans mereka. Dalam White Haunting Black, yang ditampilkan pada Art Festival of Spitsbergen (2015), keduanya mengenakan kostum yang kontras, Hitam dan Putih. Walaupun melakukan tindakan di dalam ruang yang sama, mereka sibuk oleh aktivitas yang sejalan tetapi berbeda—Hitam bekerja secara manual, Putih berjalan dan bermain golf—keduanya tidak pernah sampai pada titik temu. Menonton pertunjukan semacam ini, penonton tidak perlu komentar atau penjelasan langsung apa pun; semua orang benar-benar ambil bagian dalam matriks pembagian kerja dan kuasa yang bersifat mengasingkan ini. Agar dapat bertutur tanpa kata-kata dan mengekspresikan narasi tanpa tindakan, Wathiq dan Ali menggunakan berbagai macam objek. Mereka seringkali memanfaatkan simbol-simbol perang dan damai—helm militer, mawar merah, patung serdadu plastik yang dibakar selama performans, baju pelampung pengungsi, dan berbagai simbol budaya, seperti karpet Irak yang menandai asal mereka. Performans mereka dilakukan di gedung-gedung teater maupun ruangruang publik atau bentang alam, seperti bentang alam prasejarah yang tertutup salju pada Art Festival of Spitsbergen—menyediakan panggung yang monumental bagi mereka. Pada Jakarta Biennale 2017, Wathiq Al-Ameri dan Ali Al-Fatlawi menyajikan sebuah karya berjudul Vanishing Borders or Let’s Talk about the Situation in Iraq, Video Performance (2014). Karya ini merupakan sebuah renungan eksistensialis tentang batas-batas kehidupan dan kematian, dan naluri kehancuran yang memusnahkan semesta unik yang terkandung dalam diri setiap manusia. [VH]


47

Vanishing borders, or let’s talk about the situation in Iraq | 2014 Seni performans, video | 3 hari, masing-masing 6 jam Foto: Saprol &Panji Purnama Putra


48

Aliansyah Caniago

Aliansyah Caniago lahir di Tangerang pada 1987. Bersama beberapa kawan, ia mendirikan Ruang Gerilya, sebuah ruang kolektif seni. Ia telah meraih beberapa penghargaan, termasuk Top Honor Indonesian Art Award (2015)

dan

Award (2015).

Bandung

Contemporary

Art

Ruang publik bukanlah sesuatu yang baru bagi praktik seni Aliansyah Caniago. Kendati menekuni seni dwimatra di Program Studi Seni Lukis di Institut Teknologi Bandung (ITB) (2006–2011), ia selalu tertarik dengan bentuk-bentuk praktik seni yang berhubungan dengan publik. Sejak 2012 ia mulai menjelajahi seni peformans di ruang publik, berlandaskan kegentingan untuk meleburkan diri ke dalam masalah keseharian publik dan keinginan untuk bekerja dengan komunitas yang lebih luas. Karya-karyanya menyasar persoalan identitas, ingatan, lingkungan sosial, tradisi, dan modernitas. Ia berganti-ganti menggunakan istilah lanskap dan ruang sosial. Menurut Aliansyah, lanskap tidak dapat dimaknai sebagai panorama atau pemandangan yang statis. Ahli seni lanskap dapat menunjukkan bahwa bentang alam (landscape, landschaft, landscipe) dibentuk oleh dua hal, yakni ‘land’ (tanah) dan ‘skabe’, ‘schaffen’, atau ‘ship’ (kemitraan). Ada unsur manusia dan pembentukan ruang karena kehadiran dan interaksi manusia di dalamnya. Dalam Jakarta Biennale ini 2017, Aliansyah mengamati drama perubahan cepat di sebuah ruang hunian bernama Kampung Akuarium, Kecamatan Penjaringan, Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Inilah salah satu kawasan pinggiran di Jakarta yang telanjur tumbuh tak terkendali, padat hunian, rutin didera banjir dan bencana kebakaran. Lanskap sosial yang diamati Aliansyah, sejak 2016, merupakan dampak program penertiban dan relokasi hunian oleh Pemerintah DKI Jakarta. Sejumlah warga yang sudah berpindah ke hunian baru selalu berusaha untuk kembali ke kampung kendati sudah rata dengan tanah. Seakan tak terpisahkan dari relasi timbal-balik dengan “lanskap” lamanya, banyak warga Kampung Akuarium membangun tempat tinggal baru dari puing-puing yang masih ada. Dengan mengidentifikasikan diri secara simbolis dengan puing-puing kehidupan sosial, Aliansyah berupaya mendekatkan sensibilitasnya pada jejakjejak lanskap-pertarungan hidup warga kampung. Ia menjuluki seninya sebagai seni kon(tra)septual. Terinspirasi oleh istilah seni konseptual, bagi Aliansyah praktik performansnya justru adalah lawan seni yang (terlampau) konseptual. Ia memecah bentuk performansnya di dua tempat. Yang pertama adalah menghancurkan puing-puing sisa bangunan di Kampung Akuarium sebagai penanda aktualitas kehadiran seniman. Puing-puing itu akan ditumbuk menjadi isi karung tinju yang dibawanya ke ruang performans di Jakarta Biennale. Inilah lokasi performansnya yang kedua. Karung tinju menjadi sarana bagi publik Biennale untuk terlibat secara fisik sekaligus simbolis merasakan kekerasan dan kegeraman di lanskap sosial. Sebagai mantan petinju amatir selama beberapa lama di Bandung, Aliansyah terlatih menggunakan gerak-gerik dan potensi kekuatan fisik tubuh untuk berhadapan dengan lawan. Daya tahan tubuh menjadi narasi simbolis untuk membangkitkan kembali ingatan akan ruang sosial yang sarat pertarungan tak kasat mata. Sama halnya dengan kehadiran puing-puing; jejak tak kasat mata di dalam bungkusan sarung tinju. [HW]


49

Sunda Kelapa: Selamat Datang Jakarta | 2017 Instalasi, seni performans, video HD, samsak tinju | 6 hari, masing-masing 8 jam Atas: dokumentasi performans., foto: Panji Purnama Putra Bawah: foto diambil dari video, digunakan atas izin seniman


50

Arin Rungjang

Arin Rungjang lahir di Bangkok, Thailand, pada 1974. Ia telah menampilkan karya di antaranya di Venice Biennale (Italia, 2013) dan Faraway So Close! by Arin Rungjang (2013) di Den Haag, Belanda.

Perkenalan pertama Arin Rungjang dengan lagu “Bengawan Solo” terjadi saat ia menonton In the Mood for Love yang disutradarai oleh Wong Kar Wai (2000). Lagu itu, yang dibawakan penyanyi Shanghai Rebecca Pan, diciptakan pada 1940 oleh Gesang Martohartono yang berusia 23 tahun. Pada 2000, Arin Rungjang berusia 26 tahun, terbelenggu oleh perasaan sensual sejak kecil terhadap teman sekelasnya— tetapi tetap mencintai kekasihnya saat itu. Kisah asmara dan melankolia itu ia identifikasikan dengan “Bengawan Solo”, tapi dengan rona yang pahit. Pahitnya begitu kuat, menghancurkan tubuh dan jiwanya. Arin Rungjang kemudian menelusuri asal-usul “Bengawan Solo” dan menemukan bahwa lagu itu adalah tentang sungai bernama Bengawan yang melewati kota Solo. Berkomposisi musik keroncong, yang dipengaruhi budaya Portugal abad XVI, lagu itu sebenarnya menyajikan keindahan Bengawan Solo. Sejak itu, makna “Bengawan Solo” bagi Arin Rungjang mulai berubah. Berikutnya ia menemukan kisah Anneke Grönloh, seorang penyanyi keturunan Tondano beribu Belanda, yang pada masa kecilnya hidup di kamp konsentrasi Jepang di Hindia Belanda. Anneke kemudian pindah ke Belanda, dan pada 1967 merujuk pada ingatan masa kecilnya dengan menyanyikan “Bengawan Solo”. Semasa ia kecil, “Bengawan Solo” adalah lagu yang sangat populer di kalangan tentara Jepang. Kisah Anneke mengingatkan Arin Rungjang pada Koo Bun Koo Gum, kisah cinta populer di Thailand antara seorang gadis Thailand dengan prajurit Jepang. Cerita ini mewakili kisah-kisah cinta Thailand lain yang tak memiliki akhir. Hanya tersirat di ujung cerita, si prajurit hampir mati kena serangan bom pasukan Amerika Serikat pada Perang Dunia II dan tergeletak sekarat di pangkuan sang gadis. Selama penindasan komunisme dan orang Tionghoa di Indonesia pada 1965– 1966, Bengawan Solo menjadi lokasi pembuangan jenazah orang Tionghoa dan komunis yang dibunuh. Mereka diangkut dengan truk dan dilemparkan ke sungai. Beberapa bulan lalu, Arin Rungjang mengunjungi sungai itu, dan kisah nyatanya menguburkan hasrat romantismenya. Karya-karya Arin Rungjang terinspirasi oleh situasi kehidupan sehari-hari dan sejarah. Ia menggunakan berbagai media, terutama video dan instalasi yang merujuk pada ruang-ruang khusus (site specific), untuk menyelami sejarah dan kehidupan sehari-hari di sekitarnya. Melalui persilangan waktu dan ruang, karya-karya Arin Rungjang mengajak kita memasuki lapisan-lapisan makna yang berbeda-beda. Dalam karya video tujuh kanal bertajuk Bengawan Solo ini, Arin Rungjang mengundang Rachel Saraswati untuk membawakan “Bengawan Solo” bersama kelompok keroncongnya. Tampilan masing-masing individu penyanyi dan pemusiknya di setiap layar disejajarkan dengan teks yang mengisahkan pengalaman pribadinya. Arin Rungjang menyiratkan bahwa makna sesuatu yang kita temui bisa berubah drastis, seiring hidup yang terus berjalan dan kisah-kisah yang akan terungkap dalam situasi tak terduga. [MS]


51

Bengawan Solo | 2017 Instalasi video HD 7 kanal, audio Foto digunakan atas izin seniman


52

Chiharu Shiota

Chiharu Shiota lahir di Osaka, Jepang, pada 1972. Ia tinggal dan berkarya di Berlin sejak 1997.

Ia

menyelesaikan

pendidikannya

di Kyoto Seika University, Hochschule für Bildende

Künste

Hamburg,

Hochschule

für Bildende Künste Braunschweig, dan Universität der Künste Berlin (Jerman). Kini ia profesor tamu di Kyoko Seika University dan California College of the Arts.

Dalam praktik seninya, Chiharu Shiota berusaha “menghubungkan tubuh dengan semesta”. Setelah awalnya ingin menjejaki karier sebagai pelukis, Chiharu mendapati dirinya tak mampu melukis lagi. Baginya melukis tidak lagi bermakna spiritual; hanya menjadi perkara kehadiran fisik cat di atas kanvas. Ini berujung pada sebuah performans di Canberra School of Art, Becoming Painting (1994), di mana ia percikkan pada dinding-dinding galeri dan tubuhnya sendiri cat pernis merah yang mengandung racun—hingga kulitnya terbakar. Performans radikal ini—yang dipahami sebagai simbol pembebasannya – menghubungkan dirinya dengan para pendahulu seperti Hannah Wilke, Gina Pane, Valie Export, dan Marina Abramović. Chiharu pernah menjadi murid mereka pada pertengahan 1990an di Braunschweig, Jerman. Kini ia juga menyebut Ana Mendieta (1948–1985), dengan karya yang menggabungkan seni tubuh dan seni tanah, sebagai pengaruh besarnya. Walaupun sering berkutat dengan performans, Chiharu justru paling dikenal berkat instalasi berskala besar yang menutupi seluruh galeri dan ruang seni dengan ruang tiga dimensi yang terbuat dari benang. Instalasi pertamanya yang seperti itu, Return to Consciousness (1996), memuat sebuah ampula yang berisi darahnya di jantung jejaring benang. Instalasi ini berfungsi sebagai metafora tubuh, yang hilir-mudik di antara lesu dan hambarnya hidup. Untuk Jakarta Biennale 2017, Shiota menampilkan video dari tahun 1999 yang dibuat berdasarkan performans berjudul Bathroom. Di dalamnya, Chiharu duduk di bak mandi di dalam kamar mandi yang sesak dan sempit. Ia menuangkan lumpur yang terlihat seperti tinta pada kepalanya. “Aku tidak akan pernah menghapus kenangan yang telah terserap oleh kulitku,” tuturnya tentang performans itu. Tujuannya adalah “menyatu dengan bumi” dalam suatu ritual kepulangan. Filosofi butoh Jepang (“tarian bumi” atau “tarian lumpur”) melandasi banyak karya Chiharu dan menjadi semakin penting dalam Bathroom. Butoh adalah satu di antara ciptaan terpenting kelompok garda depan Jepang pada abad lalu. Para penarinya seringkali menampilkan tarian dalam keadaan telanjang dan tidak menghiraukan indahnya gerakan. Bagi mereka, ekspresi primitif adalah kuncinya. Tanah atau bumi merupakan konsep yang pokok dalam filosofi mereka. Dalam Bathroom Chiharu, hasrat untuk kembali ke keadaan awal, atau “mencemari” masyarakat yang telah didominasi oleh ritual pemurnian, terlihat jelas. Seiring video diputar, berbagai gambar hitam-putih jarak dekat menampilkan dirinya “mandi”. Ekspresi emosinya terminimalisir. Dengan halus karyanya menyampaikan perasaan putus asa yang nyata. Drama video itu lambat laun berkembang tanpa ada resolusi akhir sementara suasana semakin menakutkan dan mengancam. [PP]


53

Bathroom | 1999 Video super VHS | 5’ 11� Foto diambil dari video, digunakan atas izin seniman


54

Choy Ka Fai

Choy Ka Fai lulus dari Royal College of Art, London, pada 2011. Ia memperoleh Young Artist Award dari National Arts Council, Singapura,

pada

2010.

Karya-karyanya

telah ditampilkan di berbagai kesempatan, termasuk ImPulsTanz Festival, Wina (2015) dan Tanz Im August, Berlin (2015 & 2013).

Choy Ka Fai adalah seorang seniman dan pencipta performans yang terinspirasi oleh sejarah dan teorisasi yang menyiratkan ketidakpastian masa depan. Penelitian Choy berawal dari hasrat untuk memahami pengkondisian tubuh manusia, ingatannya yang tak kasat mata, dan berbagai daya yang membentuk ekspresiekspresinya. Beragam faktor tersebut melebur menjadi kompleks artikulasi pada persinggungan antara seni, desain, dan teknologi. Sejak awal kariernya, Choy menyelidiki hubungan antara dunia digital, mental, fisik, dan dunia nyata. Dalam Drift Net (2007), ia menciptakan lingkungan di mana internet melampaui batasnya dan masuk ke dalam ruang fisik yang dihuni oleh seorang penari. Transisi antara dua dunia tersebut dimediasi oleh desain citraan, bunyi, dan teks yang tumpang tindih; di mana materialisasi dunia virtual yang fana dapat disaksikan. Segitiga dunia virtual, materialisasi dunia digital, dan reaktivitas manusia juga berlangsung dalam V.I.S.T.A. Lab (2007) dan Revolution per Minute (2009). Dalam Rectangular Dream (2008), ia menjelajahi aspek imajinasi sosial dan estetik masyarakat urban serta kenyataan program perumahan umum milik negara di Singapura. Selanjutnya, dalam Lan Fang Chronicles (2010) Ka Fai menghidupkan kembali cerita sejarah terpinggirkan tentang salah satu republik modern pertama, yang dibangun oleh para pekerja Tionghoa di Kalimantan Barat selama masa kolonial Belanda. Bermula dari lanskap yang remeh-temeh, ketiadaan peninggalan berwujud fisik, dan kesenjangan sejarah yang sukar diamati, dokumenter ini menciptakan akses terhadap masa lampau seperti yang dibayangkan hari ini. Sejak 2011, Choy terlibat dalam eksplorasi jangka panjang digitisasi gerakan manusia, sejarah tari, dan penyajian ulang “kehidupan ketiga”. Prospectus for a Future Body (2011) menawarkan antarmuka teknologi yang kompleks, yang memungkinkan seniman membuat penari menampilkan koreografi yang terdigitalisasi— menggunakan elektroda suara yang terhubung dengan otot-otot mereka. Sehubungan dengan “Jiwa”, topik Jakarta Biennale 2017, Choy akan menampilkan performans bertajuk Dance Clinic Mobile Lecture Demonstration, sebuah program penyuluhan yang dibentuk oleh “Dance Clinic”, di mana seorang “Dance Doctor” bepergian dengan membawa perangkat jinjing ke daerah-daerah ekologi tarian global kita yang miskin teknologi. “Lecture Demonstration” ini menggunakan gagasan tentang klinik tari untuk menjelajahi ilmu pengetahuan dan teknologi koreografis. “Dance Doctor” akan membagikan berbagai studi kasus pasien tari dan memperagakan proses konsultasi dalam paradigma akal-tubuh. Unsur kedua karya Choy adalah sebuah video dokumenter tentang penelitian dan eksplorasi “Dance Clinic”. Theory of the Dancing Mind menyediakan wawasan tentang eksperimen-eksperimen dengan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan motion capture ini. [VH]


55

Theory of the Dancing Mind | 2017 Video dokumenter | Video HD kanal tunggal | 10’ Citraan digital digunakan atas izin seniman. Dance Clinic Project merupakan karya yang dipesan oleh Da:ns Festival Esplanade Theatres on the Bay, Singapura, dan diproduksi bersama oleh tanzhaus nrw sebagai bagian dari MOCCA - Motion Capturing Creative Area, proyek oleh Hochschule Dßsseldorf, Fachbereich Medien, LAVAlabs, Velamed GmbH, dan tanzhaus nrw, didukung oleh EFRE. Ikut mendukung: NTU Centre for Contemporary Arts, Singapura.


56

Dana Awartani Dana Awartani adalah seniman berdarah Palestina-Arab Saudi dan berbasis di Arab Saudi. Ia memelopori penelusuran seni ornamen Islam geometris dalam beragam bentuk. Dana terinspirasi oleh sufisme, filsafat Islam, dan latar belakang budayanya. Dalam satu dekade terakhir, seni kontemporer dan perkembangan museum sedang mengalami kebangkitan di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara, dan Dana merupakan satu di antara segelintir seniman perempuan yang tengah menyulut perhatian di kawasan tersebut. Kumpulan karyanya telah dipamerkan dan dipentaskan tidak hanya di Arab Saudi dan negara-negara lain di atas, tetapi juga di Asia dan Eropa. Selain itu, karya-karyanya juga telah menjadi bagian dari koleksi seni Islam di Syekh Zayed National Museum di Abu Dhabi dan British Museum di London. Untuk Jakarta Biennale 2017, Dana akan memamerkan karya berjudul I went away and forgot you. A while ago I remembered. I remembered I’d forgotten you. I was dreaming. Instalasi ganda ini memperkenalkan karya video pertamanya dan merupakan seruan untuk merayakan keindahan rancangan dan arsitektur tradisional Islam. Unsur pertama karyanya adalah instalasi pasir temporer yang diwarnai tangan dan disusun secara cermat di lokasi pameran selama beberapa hari. Unsur kedua adalah proyeksi film yang memperlihatkan dirinya memakai sapu untuk membersihkan instalasi serupa yang ia ciptakan di dalam sebuah rumah di suatu tempat dan menutupi lantai rumah itu dengan ubin bermotif Islam tradisional yang pernah menjadi sesuatu yang jamak di kebanyakan rumah Arab dan arsitektur bercorak Islam. Simbolisme Dana berlanjut dengan pigmen lokal yang digunakan untuk mewarnai pasirnya hingga rumah yang ia pilih sebagai situs karya, yaitu rumah khas kalangan elit era akhir 1950-an hingga awal 1960an di Arab Saudi. Pada periode inilah arsitektur tradisional mulai digantikan oleh estetika Eropa demi masyarakat yang lebih “beradab” dan “ maju”, dan pada saat yang sama menghapus jejak identitas budaya mereka. Apa yang terbentang di lantai dan yang diproyeksikan pada dinding muncul sebagai kisah peringatan yang merenungkan dualitas penciptaan dan kehancuran, masa lalu dan masa kini. Sang seniman berupaya menggugah kesadaran tentang pentingnya merayakan dan melestarikan bahasa estetika geometri yang tak lekang waktu sebagai bahasa universal keindahan dan harmoni. Karya ini telah dipamerkan di Jeddah, Torino, dan London tahun ini. [AG]

Dana Awartani menyelesaikan pendidikan dalam seni dan desain di Central St. Martins Byam Shaw, dan Seni Murni di Central Saint Martins College of Art and Design. Ia meraih gelar master dalam seni tradisional di Princes School, London.


57

I went away and forgot you. A while ago I remembered. I remembered I’d forgotten you. I was dreaming | 2017 Video dan instalasi ubin dan pasir berwarna | 24’ 48� Atas: instalasi, foto: Angga Reksha Bawah: foto diambil dari video, digunakan atas izin seniman


58

Darlane Litaay

Darlane Litaay telah menampilkan karyanya dalam berbagai perhelatan, di antaranya Indonesian Dance Festival 2012, Andong Mask Dance Fest, Bedog Art Festival, Bedog Art Festival.

Papua Barat dalam tubuh Darlane tidak hanya menjadi inspirasi untuk menyusun gerak koreografis yang berbasis pada kepekaan terhadap lingkungan, tetapi juga sebagai pelatuk bagi bahasa yang bisa mewakili resapan gagasannya di lingkungan hidup kekinian. Gabungan antara kepekaannya terhadap suara, warna, dan nuansa alam, dengan kecermatan mendetail dalam penempatan waktu, memunculkan kekhasan gerak Darlane dalam tarinya. Daya hadir Darlane tidak terikat pada bentuk gerak semata; energinya juga memunculkan penyatuan pekat antara tubuh dan ruangnya. Selama beberapa tahun tinggal di Yogyakarta untuk belajar di Institut Seni Indonesia (ISI), Darlane menyerap ilmu tari Jawa, yang baginya jadi elemen kontras terhadap dinamika gerak tari Papua. Perpindahan dari Sorong, Papua, ke Yogyakarta, Jawa, itu sendiri bagi Darlane adalah pengaruh besar bagi cara pandangnya. Selain itu, peralihan latarnya dari bidang ilmu elektronik ke bidang tari juga memunculkan proses transisi kreatif yang khas. Proses inilah yang menjadi penting bagi Darlane untuk melihat tema keasingan tubuh dalam ruang sosialnya. Upaya menggabungkan elemen-elemen tradisi Papua dengan tradisi Jawa dalam metode gerak telah dirintisnya sejak sepuluh tahun terakhir ini. Ia mengujicobakan penggabungan itu dengan kekuatan instingtif, tanpa meninggalkan realitas hidupnya. Banyak unsur visual yang secara sadar ia kontradiksikan dalam penggabungan telak, misalnya rambut kribo Papua dengan sanggul Jawa, atau orang Papua bercaping duduk di tengah sawah, atau bahkan imajinasi sebuah keraton yang didirikan di tengah hutan Papua. Keberadaannya yang cukup lama di Jawa, dan di berbagai residensi pendek di luar negeri, tidak menjauhkan dirinya dari tanah kelahiran tetapi justru membantunya melihat kembali Papua dengan perspektif yang terus-menerus mendekat. Dalam Rider, Darlane mendapat tantangan untuk merespons Hexentanz II (Witch Dance) karya Mary Wigman, koreografer legendaris dan pelopor tari kontemporer Jerman awal abad ke-20 yang banyak mengamati elemen budaya Timur. Dari imajinasi tentang budaya asing sebagai yang liyan, tatanan gerak yang Mary sajikan sangat asing bagi lingkungan budaya Eropa saat itu. Hexentanz II adalah karyanya yang menyelidiki okultisme dalam kaitannya dengan ritual dan kekuatan sihir. Karya itu menarasikan tubuh yang mengalami kekuatan sihir dengan membiarkan tubuh bergerak tanpa peduli asal-usul geraknya dan secara lebih murni daripada energi pada dirinya saat itu. Darlane menafsir Hexentanz II melalui studi kesejarahan dengan persepsi baru. Pertama kali disajikan dalam Witch Dance Festival 2016 di Berlin, Rider terkait dengan kekuatan sihir di mana tubuh mendapat kekuatan ekspresi tradisi Papua Barat untuk mengendalikan sihir sehingga menjadi daya magis hibrida dan ramah terhadap kehidupan. [MS]


59

Rider | 2016 Performans tari | 30’ | Foto: Farid Burhanudin & Panji Purnama Putra The Dance Clinic Project dipesan salah satunya oleh Da:ns Festival Esplanade Theatres on the Bay, Singapura. Dan diproduksi bersama oleh tanzhaus nrw sebagai bagian dari MOCCA—Motion Capturing Creative Area, sebuah proyek oleh Hochschule Düsseldorf, Fachbereich.


60

David Gheron Tretiakoff

1. Danse macabre, dari bahasa Prancis, kuranglebih berarti ‘tarian kematian’, merupakan alegori tentang keniscayaan kematian pada Abad Pertengahan di Eropa. Banyak ditemukan berupa lukisan, mural, dan fresko.

David Gheron Tretiakoff lahir di Prancis pada

1970.

Ia

membuat

film-film

yang

berusaha menyeimbangkan dokumenter dan eksperimental. Karyanya banyak menyentuh wacana

sosial-politik,

seperti

identitas

keislaman dan konsekuensi terorisme di dunia internasional.

David Gheron Tretiakoff adalah seniman visual, editor film, sutradara, dan pelaku seni performans yang berfokus pada perkembangan sosial politik kontemporer. Ia berkutat dengan berbagai persoalan menyangkut persepsi dan identitas negaranegara Islam serta konsekuensi politik dan psikologis terorisme internasional. Pengalaman berkeliling Timur Tengah selama bertahun-tahun memperdalam pemahamannya tentang kehidupan sehari-hari di kawasan itu dan ini terlihat dengan jelas dalam karya-karyanya. Untuk Jakarta Biennale 2017, David Gheron Tretiakoff akan menyajikan sebuah instalasi video terbarunya berjudul Ceremony, yang terdiri atas tiga layar tersinkronisasi. Masing-masing layar menampilkan film berdurasi dua puluh menit yang diputar secara berulang. Layar pertama Ceremony menyoroti seorang perempuan flamboyan yang menari mengikuti alunan musik Gnawa Maroko di sebuah sudut jalan di Paris. Sejurus kemudian, ia mengalami kesurupan. Ketika ia terhuyung dan ambruk, para pemusik melambaikan salam perpisahan dan pergi. Layar kedua menayangkan pesta di sebuah desa di Siwa Oasis yang ditinggali oleh orang-orang Berber di padang pasir Mesir. Dalam sebuah ritual, sekelompok laki-laki berpartisipasi dalam danse macabre,1 berupaya menaklukkan seekor banteng ke tanah sebelum salah seorang di antaranya memotong urat leher banteng itu. Perayaan di Siwa Oasis tersebut, yang dikenal sebagai pesta bulan setelah Ramadan, merupakan wujud sinkretisme yang khas dari tempat yang terisolir ini. Layar di tengah mempertontonkan suasana nokturnal, dilengkapi dengan alunan suara yang berfungsi sebagai lagu pengiring untuk keseluruhan instalasi. Dalam kegelapan, penonton mendadak menyadari adanya seonggok tubuh, kemudian kepala, mulut, dan tenggorokan. Bebunyian mulai terdengar, keras dan menggaung, seolah tercerai dari tubuh empunya yang rapuh. Inilah katajjaq, sebuah praktik suku Inuit dalam melantunkan mantra dari dalam tubuh, yang juga merupakan sebentuk kesurupan. Lembut dan berhawa dunia lain, praktik itu merupakan chant de vie—nyanyian kehidupan—leluhur; kemampuan animis yang bersumber dari pengetahuan suku Inuit. Sebagai musik asal-usul, lagu ini menyatukan kegelapan dan cahaya. Hilir-mudik di antara yang profan dan suci, Ceremony mengajak khalayak umum untuk turut berpartisipasi dalam sebuah ritual khayali yang asing; upacara yang seperti diingat dari sebuah agama yang terlupakan. Ceremony mengungkapkan dirinya sendiri tanpa wacana sebagai manifestasi kesadaran kolektif global, seolah aspek-aspek tertentu dunia ini tidak dapat dipahami dengan kata-kata atau bahasa, tetapi hanya dengan gerak-isyarat dan teriakan—melalui tubuh. Ceremony menyinggung tragedi yang dialami persisnya oleh para individu dan komunitas yang telah kehilangan hubungan dengan pengetahuan leluhur mereka dan berbagai cara untuk menghadapi dunia sekeliling. [PP]


61

Ceremony | 2017 Instalasi video 3 kanal | ca. 15’ Foto diambil dari video, digunakan atas izin seniman.

Division, Jakarta | 2017 Seni performans, proyeksi visual & audio | 40’ Foto: Panji Purnama Putra


62

Dineo Seshee Bopape

Dineo Seshee Bopape lahir di Polokwane, Afrika Selatan, pada 1981. Dikenal sebagai seniman multimedia, karyanya menelusuri topik-topik seperti hak asasi manusia, sosial politik, atau sistem ekonomi. Karya-karyanya telah dipamerkan dalam berbagai perhelatan, di antaranya dalam pameran bersama The Progress of Love, Amerika Serikat (2012) dan Anthropology of Things and People, Polandia (2013).

Dikenal lewat montase video eksperimental dan instalasi pahatan yang pejal, Dineo Seshee Bopape mengundang audiens untuk mendalami aspekaspek sosiopolitik dan metafisik ingatan, narasi, dan representasi. Dalam karyakarya terbarunya, ia menelisik simbol, narasi, dan ingatan yang tersimpan dalam bumi, dalam hubungan manusia dengan daratan dan tanah, dan dalam sudut pandang (budaya) yang digunakan untuk memahami seni tanah. Karya terbarunya mengingatkan kita akan New York Earth Room karya Walter de Maria dan kuil-kuil suku Maya. Kerap menggunakan batu bata yang terbuat dari lumpur, potongan tanah liat yang dibentuk dengan kepalan tangan, struktur tanah dipadatkan—yang diperoleh dari daerah setempat—yang mengisi seluruh ruangan, serta bulu, lembaran emas, dan ramuan obat, Dineo menegaskan bahwa tanah adalah materi yang menyimpan ingatan dan sejarah: aspek-aspek metafisik, spiritual, dan budaya bumi yang dalam beberapa cerita diklaim sebagai asal-usul kehidupan. Di luar kebendaan murni, bumi menunjukkan berbagai proses budidaya, perubahan klaim kepemilikan, dan sumber daya geologi. Dineo menghubungkan berbagai karakteristik tersebut dengan isu kedaulatan, nilai estetik diaspora Afrika, praktik-praktik spiritual dan budaya, serta ritual dan permainan tertentu. Sejak 2012 Dineo tertarik mengamati api sebagai daya hidup dalam setiap revolusi sejak awal sejarah umat manusia. Untuk Jakarta Biennale 2017, Bopape akan membuat sebuah instalasi yang mengingatkan kembali akan peran penting Upacara Bois Caïman pada awal revolusi Haiti 1791 ketika para budak menyatakan bahwa “berdasarkan aba-aba yang diberikan, perkebunan-perkebunan ini akan disulut api secara sistematis dan sebuah pemerontakan budak yang luas akan dimulai.”; api Marie-Joseph Angelique, seorang budak perempuan di Montreal lama yang menyulut api yang membakar kota dalam upayanya kabur bersama kekasih; api yang dijumpai Musa di Gunung Sinai saat Tuhan mendaku, “Aku ada sehingga menjadi aku.”; dan mungkin setiap api lain di pusat setiap cerita yang pernah dituturkan. Bopape akan membangun kuil atau tempat suci lain dari bata-bata lumpur dan menjaga api kecil terus menyala sebagai sebuah meditasi di tengah pemberontakan yang tak terhindarkan dalam jiwa manusia. Instalasinya menyejajarkan pembebasan politik sebidang tanah dengan pembebasan spiritual melalui kobaran pemberontakan yang paripurna dan cara-cara biologis yang disediakan bumi untuk menyatukan tubuh dan jiwa. [PP]


63

Ke Mollo | 2017 Instalasi media campuran | Bata merah, api, objek temuan | Dimensi bervariasi Foto: Panji Purnama Putra


64

Em’kal Eyongakpa

1. Bunyi akusmatik: bunyi yang tidak terlihat sumbernya.

Em’kal Eyongakpa lahir di Mamfe, Kamerun, pada 1981. Ia telah terlibat dalam berbagai pameran baik secara solo, misalnya di A Palazzo Gallery, Brescia, Italy (2016); Kadist Art Foundation, Paris (2015); Institut Français du Cameroun, Yaoundé (2012); maupun secara kolektif, di antaranya di 10th Bamako Encounters, Bamako, Mali (2015); Framer Framed Amsterdam (2015); dan Africa Acts, Paris (2015).

Seniman asal Kamerun Barat/Selatan, Em’Kal Eyongakpa mengamati sejarah kolektif dan ingatan lintas generasi, baik yang dialami maupun yang tak dikenal, lewat ritual pengulangan dan transformasi. Inti praktik Eyongakpa adalah pencarian akan negosiasi, koeksistensi, dan hubungan antara dunia “objektif” (ilmu-ilmu hayati/teknologi) dan subjektif (sistem pengetahuan pribumi, penafsiran, dan proyeksi yang taksa). Sejumlah proyek dan performansnya akhir-akhir ini semakin membangkitkan ingatan lintas generasi. Untuk Jakarta Biennale 2017, Em’Kal Eyongakpa menciptakan karya Untitled Thirty-seven (sǒ bàtú), yang secara harfiah berarti ‘bersih-bersih telinga’ atau ‘cuci telinga’ dalam bahasa Kɛnyaŋ (Kenyang), yang banyak digunakan di lembah berlintasan sungai di Manyu, kini Kamerun. Secara metaforis, karya ini merupakan pembasuhan suara, seperti suatu ritual atau impuls yang mendahului pengalaman. Instalasi ini meruangkan bunyi-bunyian, struktur serat tanaman/benang katun 100% yang dikeraskan, dan model “bola mata” yang menyala dan bergerak-gerak di sekelompok sel penjara bawah tanah Balai Kota Batavia era kolonial di Taman Fatahillah, Jakarta Pusat. Bebunyian direkam terutama dari unsur-unsur murni (air, api, angin, bumi). Konfigurasi pengeras suara di sel-sel, yang akan memanfaatkan arsitektur yang ada untuk menekankan unsur frekuensi rendah, menciptakan keadaan cair antara bebunyian akusmatik1 alam dan suatu sistem detak jantung yang mengerikan dan tak teratur. Di dalam sel-sel yang dapat diakses, aspek bunyi air dan alam yang menyembuhkan membangun latar bagi interval suara manusia yang mengambang: rekaman para sesepuh, beberapa penduduk asli di Manyu. Kolase ini juga mengumandangkan gagasan/petikan suara tokoh-tokoh revolusioner yang terkemuka dan yang nyaris tak dikenal dalam gerakan pembebasan kulit hitam seperti Amílcar Cabral, Chinua Achebe, Bate Besong, dan Haile Gerima. Intercepted Messages: Notes from Nyakumbo High Security Bunker Detainees merupakan koleksi 37 (jumlah hari pelaksanaan Biennale) catatan yang mengambil bentuk puisi dan surat (dari keadaan darurat atau urgensi yang dibayangkan atau nyata, dalam bahasa yang dikenali maupun tidak) yang akan bermunculan dari hari ke hari selama Biennale. Kata-kata dalam catatan tersebut dapat mengembangkan kemungkinan masa depan, atau kosmologi masa depan yang mungkin tercipta. Aspek final proyek Eyongakpa terdiri atas performans langsung yang menampilkan si seniman sendiri atau pelaku performans lainnya membacakan catatan atau surat terpilih, yang akan diproyeksikan pada layar kertas mudah larut, yang larut sepanjang performans dan proyeksi, dengan gambar video yang kemudian memudar menjadi latar langit gelap. [PP]


65

atas

Untitled thirty-seven (soĚŒ bĂ tĂş) | 2017 Instalasi suara | Benang katun, serat alami Foto digunakan atas izin seniman

bawah

Intercepted Messages: Notes from Nyakumbo High Security Bunker Detainees | 2017 Instalasi, performans | Catatan berisi surat dan puisi, kertas mudah larut Foto digunakan atas izin seniman


66

Eva Kot’átková

Lahir di Praha, Republik Ceko, pada 1982, Eva Kotátková telah berpartisipasi dalam berbagai ajang seni rupa di banyak negara: Ceko, Jerman, Austria, Hongaria, dan Amerika Serikat. Ia mendapat nominasi Dorothea von Stetten Art Award 2014 di Jerman.

Eva Koťátková adalah seniman visual, pembuat film, dan penulis (drama dan pertunjukan) yang berusaha menghimpun kembali ingatan-ingatan traumatis masa kecil manusia, kondisi mental atau fisik liyan, budaya, gender, dan perbedaan etnis. Praktik seninya dapat dihubungkan dengan “archival turn” (paradigma baru dalam penafsiran arsip sebagai objek penelitian itu sendiri), berwujud pembaharuan surealisme atau tafsir ulang teater absurd. Eva mengumpulkan berbagai dokumen, objek, dan cerita sejarah; proyek penelitian sungguh-sungguh yang dilakukan pada semua jenis arsip—rumah sakit jiwa, buku sekolah, institusi ilmiah dan pemerintah, kebun binatang, suratkabar, majalah, dan koleksi art brut (yang diciptakan di luar tradisi akademik seni rupa). Pertunjukan dramanya, The Judicial Murder of Jakob Mohr (2016), ditulis berdasarkan penuturan dan gambar yang dibuat oleh seorang pasien rumah sakit jiwa dan seniman Jakob Mohr, yang dihantui khayalan bahwa tingkah lakunya dikendalikan oleh dokter yang merawatnya melalui sebuah mesin misterius. Eva menyajikan hasil penelitian arsipnya dengan cara menggerakkan objek-objek yang “misterius” dan memberinya suara untuk mengekspresikan kekerasan yang diredam—seolah menggemakan Kafka atau Beckett dari kejauhan. Dalam instalasi berskala besar, Asylum (2013), yang dibuat berdasarkan penelitian di rumah sakit jiwa di Bohnice, Praha, pengunjung dihadapkan dengan hamparan fragmen-fragmen tubuh manusia yang dilengkapi atau “diperbaiki” dengan menggunakan beragam alat berkabel atau konstruksi menyerupai kandang; ini berhubungan dengan hambatan-hambatan yang memang dialami oleh pasien karena ketidakmampuan komunikasi. Instalasi di atas tumpuan lebar ini digerakkan oleh para pemain yang bagian-bagian tubuhnya mendadak muncul dari bawah kandang-kandang besi atau pada celah-celah tumpuan tersebut. Becoming a Bird (2017) adalah sebuah pertunjukan yang digarap secara khusus untuk Jakarta Biennale 2017. Naskah performans ini melibatkan sekelompok pemain yang dikumpulkan melalui rekrutmen terbuka demi sebuah pengalaman transformasi sejenak. Mereka diundang untuk memerankan “burung” selama pameran berlangsung. Sebelum performans utama dimulai, diselenggarakan sesi bersama para pemain dengan sebuah sofa sebagai alat bantu; tetapi sang seniman tidak menyediakan instruksi tentang bagaimana mereka harus bertindak atau membawakan peran. Para pemain diharapkan berperan sesuai keinginan mereka sendiri, mungkin dengan “mengingat” tentang bagaimana memerankan karakter orang lain—berdasarkan ingatan pribadi atau kolektif. Para pemain tidak diberi atribut yang membedakan mereka dari pengunjung (tidak ada kostum); satu-satunya larangan adalah komunikasi verbal. Terdapat elemen “patung” dalam ruang performans, yakni sebatang pohon mati yang kosong dan amat tinggi, yang menjadi penanda tempat berkumpul, bersantai, dan makan bagi para Burung. Pengunjung dapat memperhatikan bagaimana para pemain bertransformasi dari manusia menjadi burung secara unik. [VH]


67

Becoming a Bird | 2017 Seni Performans | 6 - 8 jam selama 6 hari Atas: instalasi; bawah: dokumentasi performans Foto: Panji Purnama Putra


68

Gabriela Golder

1.“Perang kotor”, periode ketika pemerintahan junta militer Argentina melakukan penghilangan dan penyiksaan terhadap orang-orang yang terutama diduga sebagai golongan kiri—pada praktiknya siapa saja yang dianggap menentang pemerintah.

Gabriela Golder lahir di Buenos Aires, Argentina, pada 1971. Ia penerima Sigwart Blum Award dari Argentinean Association of Art Critics (2007), First Prize di National Hall of Visual Art (2004), Media Art Award dari

German

Zentrum

für

Kunst

und

Medietechnologie (2003), dan penghargaan pertama di ajang Videobrasil (2003).

Gabriela Golder adalah seniman, kurator, dan pengajar Video Eksperimental di dalam maupun luar Argentina. Ia juga salah seorang direktur Bienal de la Imagen en Movimiento (BIM) dan CONTINENTE, sebuah pusat penelitian seni audiovisual milik Universidad Nacional de Tres de Febrero di Argentina. Gabriela terutama menggeluti gambar bergerak—film, video, dan instalasi. Karya-karyanya mengangkat topik seputar identitas perempuan sebagai konstruksi sosial dan upaya menghimpun kembali kesenjangan antara ingatan pribadi dan publik sehubungan dengan pemikiran-pemikiran progresif masa kini, identitas, dan teori kritis perburuhan. Dalam Through the Eyes of the Serious Girls (1999), Gabriela menyelidiki imajinasi yang melatarbelakangi pertanyaan sederhana: apa artinya menjadi perempuan? Film ini menyajikan tanggapan para perempuan berumur 8 hingga 88 tahun. Film Gabriela yang lain, In the Memory of the Birds (2000), mengisahkan perjalanan kembali menuju kenangan masa kecilnya pada masa pemerintahan junta militer Argentina (1976–1983). Gabriela menghadaphadapkan bagaimana kenangan menemukan wujudnya dalam imaji dengan penyelidikan tentang fakta sejarah terkait “perang kotor”1 yang menyebabkan hilangnya 30.000 orang. Menyaksikan videonya, penonton dihadapkan dengan sudut pandang Gabriela yang tajam dan kritis mengenai isu-isu sosiopolitik yang tengah memanas, berikut intensitas imaji yang ambivalen dan liris, yang menuntut kolaborasi emosional penonton. Dalam karya-karya terbarunya, Gabriela berkutat dengan kondisi-kondisi kelas dan ras dalam perburuhan, sebagaimana terlihat dalam The Conversation (2010), sebuah dialog berdurasi 80 menit antara Jean, seorang anggota serikat buruh yang militan dan komunis, dan Diop, seorang pemuda Senegal, pekerja yang “tak terdokumentasi” dan militan. Kesadaran politik progresif yang muncul di sini terlihat sebagai satu-satunya landasan yang mungkin untuk membangun relasi kesetaraan manusia dan solidaritas antargenerasi. Plot dialog yang serupa juga digunakan dalam Conversation Piece (2012), yang menyajikan dua gadis kecil serta nenek mereka. Sebuah “kelompok baca” feminin antargenerasi berkembang melalui pandangan yang dekat dan mencerahkan tentang Communist Manifesto (1848). Lanskap hitam-putih berangsur-angsur timbul-tenggelam di balik tirai kabut tebal sementara kicauan burung-burung berkumandang. Pemandangan yang nyaris permai, tetapi sesuatu yang tak teridentifikasi membuat penonton merasa asing. Tierra Quemada (2015), sebuah karya video yang ditayangkan dalam konteks “Jiwa” Jakarta Biennale 2017, dibuat berdasarkan kisah nyata—kebakaran terbesar sepanjang sejarah Chili yang memakan 15 korban jiwa, meluluhlantakkan 2.900 rumah, dan mengubah areal permukaan yang luas. Berdasarkan sumber kepolisian Chili, asal-muasal kebakaran Valparaiso adalah sepasang burung yang tersengat listrik ketika bertengger di atas kabel. [VH]


69

Tierra Quemada | 2015 Video kanal tunggal | 8’30� Foto diambil dari video, digunakan atas izin seniman


70

Garin Nugroho

Garin Nugroho lahir di Yogyakarta, Indonesia, pada 1961. Ia sutradara ternama Indonesia. Penghargaan yang diraihnya misalnya Special Jury Prize di Tokyo International Film Festival (1998). Filmnya, Surat untuk Bidadari (1994) memenangkan Best Film di Taormina Film Festival dan Tokyo International Film Festival.

Garin Nugroho adalah sineas terkemuka dalam gelombang perfilman 1990an di Indonesia dan salah satu yang terdepan membebaskan diri dari regulasi perfilman masa Orde Baru. Ia belajar sinematografi di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) (1981–1985) dan secara tak langsung pada sutradara legendaris Indonesia, Teguh Karya (1937–2001). Film-film awalnya, seperti Cinta dalam Sepotong Roti (1991), Surat untuk Bidadari (1994), dan Bulan Tertusuk Ilalang (1995), menempatkannya sebagai sutradara pertama Indonesia yang merebut perhatian sungguh-sungguh dalam kancah festival film internasional. Pada 1992, ia memperoleh gelar “Best Young Director” dalam Asia Pacific Film Festival di Seoul. Karya mutakhirnya, Setan Jawa—sebuah film bisu hitam putih dengan orkestra kerawitan Jawa—diputar di International Gamelan Festival, London dan Glasgow (2017). Dalam Jakarta Biennale 2017, Garin Nugroho secara khusus membuat film esai untuk mengenang kiprah seniman Hendrawan Riyanto (1959–2004), kakak kandungnya. Pada tahun-tahun terakhir hidup sang abang, Garin merasakan hadirnya kedekatan yang lebih. Dialog mereka dipicu oleh kecenderungan Hendrawan pada wacana dan praktik budaya sinkretik dan arkaik di Jawa. Bagi Hendrawan, arah itu akan membuka jalan baru bagi pencariannya di dunia seni kontemporer. Kecenderungan itu diamati oleh Garin, termasuk perubahan perilaku —mengarah ke kondisi kesurupan—yang sempat menjadi keprihatinan ibunda mereka. Percakapan kritis antar-keduanya kerapkali membuahkan sejumlah corat-coret studi karya oleh Hendrawan. Merasakan energi kreatif baru, sang sineas menyimpan empat album catatan dan gambar Hendrawan yang sebagian dipamerkan dalam Jakarta Biennale 2017. Film esai Garin menyusuri muasal pencarian Hendrawan dari rumah joglo tempat tinggal keluarga di Yogyakarta. Bagi Garin, rumah Jawa ini adalah titik hubung antara pikiran-pikiran akademik Hendrawan dan pergulatannya mencari “rasa” dalam budaya sinkretik Jawa. Dalam kebudayaan Jawa, manusia berada di antara jagat besar dan jagat kecil. “Pusat” bukanlah alam pikir logis rasional, melainkan bisa berarti “tali pusar” yang menghubungkan tiap manusia dengan ibu, sekaligus menggambarkan “dunia bawah” dan “dunia atas”. Perhatian Garin yang lain adalah Desa Pagerjurang di Klaten, Jawa Tengah. Hendrawan menemukan elan-hidup kesenimanannya di tempat ini ketika bersama Profesor Chitaru Kawasaki—pengajar di Kyoto Sheika University, Jepang – menghidupkan kembali tradisi pembuatan gerabah. Bagi Garin, desa gerabah ini telah mengembalikan Hendrawan sebagai subjek-Jawa dan seniman keramik yang menyadari kembali dimensi-dimensi magis, mistis, dan olah rasa dalam praktik seninya. “Film ini bukanlah biografi, melainkan sebuah ruang terbuka untuk menangkap sosok Hendrawan dan karyanya. Seperti memasuki rumah masa kecilnya, Desa Bayat, gambar-gambar serta karya instalasi keramiknya adalah ruang bebas untuk memperoleh jiwa, bahkan di dalam retakan-retakan tanah pada karyanya.” kata Garin. [HW]


71

Asal Usul | 2017 Video HD kanal tunggal | ca 15’ Foto diambil dari video, digunakan atas izin seniman


72

Gede Mahendra Yasa

Gede lahir di Bali, Indonesia, pada 1967. Ia telah berpameran baik secara solo, misalnya di Primo Marella, Milan (2011) dan Sigiarts, Jakarta

(2010);

maupun

secara

kolektif,

di antaranya Pleasures of Chaos, Primo Marella, Milan (2010) dan Contemporaneity: Contemporary Art of Indonesia, MOCA, Shanghai (2010).

Gede selalu bersikap kritis terhadap konvensi-konvensi praktik seni rupa. Ia mempertanyakan konstruksi identitas yang sering diusung dengan mengatasnamakan, dan seringkali mengesensialkan, tradisi. Citra-citra dari khazanah kebudayaan Bali, misalnya, diadopsi oleh banyak seniman setempat dan sejak dekade 1970-an menjadi identitas visual dalam praktik seni modern. Identitas terkurung dalam kerangkeng warisan budaya yang dibekukan. Sikap kritis terhadap hegemoni praktik seni ditunjukkan oleh Gede dan beberapa seniman muda melalui gerakan “Mendobrak Hegemoni” (2001). Identitas seni rupa yang diklaim sebagai representasi esensialisme spirit budaya Bali— disebut “taksu”—adalah komersialisasi budaya Bali dalam bentuk lain. Konstruksi itu dibangun oleh seniman, galeri, dan art-dealer yang menguasai medan dan institusi seni rupa. Kritik-kritik ini melahirkan gejala baru melalui wacana “post-Bali”. Bagi Gede, gagasan mengenai subjektivitas dalam seni adalah gejala yang bisa diobjektivasi. Kutub subjektivisme yang menjadi andalan dalam praktik seni, yang melahirkan jawara-jawara dalam seni rupa, bukanlah sesuatu yang absolut. Sejauh gagasan itu menjadi gejala visual, gagasan subjektif adalah gejala fiksi. Karya apropriasi Gede terhadap lukisan-lukisan Barat yang diklaim sebagai “universal” merupakan strategi yang disebutnya sebagai “mutasi transgenik”. Istilah ini menunjuk pada perubahan yang dikerjakan secara sadar untuk mengubah atau membelokkan rancang kehidupan, atau jalur genetika, yang telah melahirkan karyakarya “universal”. Dengan kata lain, praktik seni Gede selama ini adalah representasi atas representasi. “Orisinalitas”-nya tidak terletak pada temuan bahasa, pokok masalah, atau model berkarya yang baru, tetapi cara mempersoalkan apa yang disebut sebagai “orisinalitas” itu. Pada Jakarta Biennale 2017, Gede menampilkan sejumlah lukisan terbarunya, dengan citra-citra “orisinal” yang berbeda dengan karya-karya sebelumnya. Sifat-sifat analitis, logis, apropriatif yang selama ini menjadi ciri utama karyanya ditinggalkan. Ia melakukan percobaan dengan medium baru, yaitu encaustic painting. Encaustic adalah olahan campuran antara lilin lebah, getah damar, dan tempera, dan disebut sebagai salah satu medium melukis tertua. Bahan itu ditemukan pada peti-peti jenazah atau mumi dari panel-panel kayu dari abad 1 SM sampai abad 3 Masehi pada era Kristen Koptik di Mesir. Penggunaan encaustic, bagi Gede, sarat metafora dan asosiasi. Pemilihan materi untuk lukisan-lukisan itu dilatari oleh posisi politik. Pengusiran orang-orang Kristen Koptik oleh kelompok fundamentalis dan klaim-klaim kemutlakan atas nama agama tertentu dengan label Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) mesti ditolak. Pada titik inilah pemilihan medium seni menjadi sebentuk perlawanan. Bentuk-bentuk nonfiguratif yang kini dijelajahi Gede melalui wahana encaustic adalah seni yang personal. Namun, yang personal ini tak perlu didaku dengan klaim-klaim universal seperti pada masa lalu. Seni nonfiguratif adalah transendensi spiritual pada basis yang personal. [HW]


73

1

2

3

4 1. 2. 3. 4.

Lamotrigine | 2017 | 200 x 160 cm Amygdala | 2017 | 200 x 160 cm Lithium | 2017 | 200 x 160 cm Lamictal | 2017 | 200 x 150 cm

Lilin dan cat di atas kanvas Foto digunakan atas izin seniman


74

Hanafi

Lahir di Purworejo, Indonesia, pada 1960, Hanafi menempuh pendidikan di Sekolah Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta (1976-1979). Ia peraih Anugerah Kebudayaan dari FIB Universitas Indonesia (2005) dan salah satu peraih Top 10 Philip Morris Art Award (1997).

Hanafi adalah perupa yang terbentuk dalam lingkungan seni yang majemuk. Ia terbiasa membayangkan hubungan antara kata dan rupa, antara makna semantik dan kehadiran nyata benda. Baginya, kata-kata dan bahasa pada puisi sering terasa ajaib. Apa persisnya hubungan antara nama benda dan benda itu sendiri? Apa yang dibayangkan oleh penyair ketika membangun diksi dan menghadirkan makna dalam bahasa puitis mereka? Apakah benda-benda memiliki semacam puitika atau bahasa? Selama ini Hanafi dikenal dengan lukisan-lukisan abstraknya. Ia meratakan warna pada bidang datar kanvasnya dengan rol ketimbang sapuan kuas yang lebih mengandung emosi. Tidak ada identitas budaya apa pun pada karyanya, kecuali “identitas” jejak rol dan warna rata pada kanvas. Namun, hal itu bukanlah sesuatu yang sepenuhnya antifigurasi. Walaupun terbebas dari khazanah simbol, emosi, maupun figurasi, bidang datarnya melahirkan “figur” melalui kehadiran kata-kata. Di titik ini Hanafi melakukan subversi kata-kata—wahana para penyair—ke dalam seni rupanya. Rupa atau objek tertentu bisa lahir dari khazanah puisi, yakni sebagai konkretisasi. Sebaliknya, benda-benda beroleh “maknanya” melalui relasi puitik kata-kata, sebagai abstraksi. Proyek Hanafi untuk Jakarta Biennale 2017 adalah representasi ingatannya mengenai bahasa, bertajuk Perkenalan Pertama dengan Bahasa. “Setelah bahasa ibu, berbagai bahasa datang kepadaku, dalam bentuk dan rupa,” tulis Hanafi. Tak hanya sebagai bunyi tetapi juga imaji rupa. Bahasa-bahasa itu datang dan menggugah kepekaan artistik. Kata Hanafi, bahasa menghadap-hadapkan tubuh pada “dunia”. Objek pensil adalah sarananya yang paling awal untuk menuliskan bahasa ibu, sebelum ia mengenal bahasa lain, yakni bahasa rupa. Namun, apa yang ditulis oleh pensil tak hanya yang tertuang pada kertas, tetapi juga yang tergores di udara oleh pangkal pensil. Tindakan menulis di ruang kosong—yang abstrak ini—bagi Hanafi tetap bermakna sebagai “bahasa”. Bahasa kini dituliskan kembali melalui performans oleh penonton dengan mengenakan jas dan mantel yang dirancang khusus—yang bisa menjadi alusi akan panah-panah yang menancap pada tubuh Bisma dalam lakon Baratayuda. Inilah peluang bahasa bagi perupa untuk merelasikan apa yang tertulis dan tak tertulis. Perkenalan Pertama dengan Bahasa adalah puitika untuk mengenang kembali rupa bahasa melalui laku performatif tubuh. Hanafi belajar seni rupa di Yogyakarta (1976–1979) dan pindah ke Jakarta pada awal 1990-an untuk mengembangkan kesenimanannya. Baginya, kesenimanan adalah sebuah jembatan taksa antara “berkarya” dan “bekerja”. Ia telah berpameran tunggal sejak awal 1990-an, baik di Indonesia maupun di sejumlah negara manca (Singapura, Malaysia, Hongkong, Cina, Yunani, Spanyol, dan Kanada). Yang terakhir adalah Pintu Belakang/Derau Jawa, berlangsung di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 2016. [HW]


75

Perkenalan Pertama dengan Bahasa | 2017 Instalasi campuran media | Pensil, jaket | 10 x 9 meter Foto: Farid Burhanudin


76

Hito Steyerl

Hito

Steyerl

lahir

di

Munich,

Jerman,

pada 1966. Ia telah berpartisipasi dalam berbagai perhelatan seni rupa, misalnya European Biennial of Contemporary Art (2004) dan Vennice Biennale (2013). Ia meraih penghargaan New: Vision Award di Copenhagen

International

Documentary

Festival (2010) dan EYE Prize dari EYE Film Institute Netherlands (2015).

Hito Steyerl adalah sineas, seniman visual, penulis, dan pemikir. Saat ini ia profesor dalam bidang Seni Media Baru di Berlin University of the Arts, tempat ia ikut mendirikan Research Center for Proxy Politics. Ia belajar tentang perfilman di University of Television and Film Munich dan Academy of Visual Arts di Tokyo, dan tentang filsafat di Fine Arts Academy di Wina. Karya-karyanya ditujukan untuk menelisik hubungan antara kebenaran, gambar, dan kondisi visibilitas dua hal itu pada era percepatan teknologi. Titik permulaan karya-karya Hito adalah esai video November (2004), film “seni bela diri feminis” yang ia buat ketika masih remaja (1983) bersama temannya Andrea Wolf, yang kemudian menjadi pejuang revolusioner PKK internasional (Partai Buruh Kurdistan) dan dibunuh pada 1998 di Turki. Dalam Lovely Andrea (2007), Hito kembali ke Tokyo, tempat ia belajar pada akhir 1980-an untuk mencari foto dirinya sebagai seorang model shibari (seni ikat budak Jepang) bernama Andrea (dinamai berdasarkan nama temannya). Dalam instalasi video The Factory of Sun (2015), Hito membuat platform media prototipe yang ditampilkan di layar (seperangkat TV, studio realitas virtual, pusat kontrol operasi) di mana imajinasi umum tentang apa yang riil atau virtual tidak hanya diputarbalikkan begitu saja, tapi juga mengalami kloning visual dan efek-efek (pasca)produksi dalam sirkuit loop yang hampir tak terhingga. Hito juga menulis berbagai esai berpengaruh yang mengamati evolusi jaringan militer, industri, dan dunia hiburan. Esai-esai itu membuka tabir hubungan antara teknologi perang, relasi kuasa, dan modal dalam ranah seni kontemporer. Muatan esai-esai Hito terlihat paling jelas dalam kumpulan video kuliahnya yang berjudul Is the Museum a Battlefield (2013), I Dreamed a Dream (2013), dan Duty Free Art (2015). Instalasi video Liquidity Inc. (2014) yang ditampilkan dalam Jakarta Biennale 2017 menampilkan dan akhirnya melikuidasi hubungan antara perdagangan, investasi uang, penggalian sumber daya alam, cuaca, dan seni bela diri. Karakter utamanya, Jacob Woods, seorang pegawai Lehman Brothers yang kehilangan pekerjaan ketika bank ini bangkrut pada 2008, menata hidupnya kembali dan menemukan kebahagiaan dalam Seni Bela Diri Campuran, sebuah olahraga tempur yang “apa segala berlaku”. Badai hujan, angin tropis, dan perkiraan sinar matahari oleh media mengurangi tingkat ketidakpastian cuaca dengan model dan kiasan yang bercampur dengan simulasi dan deskripsi tentang perilaku pasar saham. Sementara itu, likuiditas, sebagaimana diperikan filsuf Zygmunt Bauman sebagai fenomena modernitas yang tidak dapat diamati secara kasat mata, dalam film telah menjadi teknologi yang hadir di mana-mana; memungkinkan penetrasi apa pun dan siapa pun secara meruyak. [VH]


77

Liquidity Inc | 2014 Video kanal tunggal dalam lingkungan arsitektur | 30’ Atas, kanan bawah: instalasi; foto: Panji Purnama Putra Kiri bawah: Foto diambil dari video, digunakan atas izin seniman & Andrew Kreps Gallery, New York


78

Ho Rui An

Ho Rui An lahir di Singapura pada 1990. Ia telah mempresentasikan karya-karyanya di Kochi-Muziris Biennale ke-2, Haus de Kulturen der Welt (Berlin), Hessel Museum of Art and CCS Bard Galleries (Annandale-on-Hudson), NUS Museum (Singapura), Jorge B. Vargas Museum dan Filipiniana Research Center (Manila), Serpentine Galleries (London), NTU Centre for Contemporary Art Singapore dan Para Site (Hong Kong).

Ho Rui An adalah seniman dan penulis yang bekerja dalam irisan seni kontemporer, film, performans, dan teori. Ia menulis, bicara, dan berpikir melalui citraan; menelusuri lokasi kemunculan, penyebaran, dan kemusnahan citraan dalam konteks globalisasi dan kepemerintahan. Ho Rui An telah menyempurnakan rumpun penataran-performans, sebuah ragam yang menggunakan beraneka rupa karakter atau elemen sebagai perspektif untuk mendekati berbagai tema. Karya performansnya yang menarik banyak perhatian adalah ketika ia menapis arsip sejarah dan budaya visual kontemporer untuk membongkar pergeseran hubungan antara citraan dan kuasa. Penelitian terakhirnya menelaah pertanyaan tentang keramahan liberal, demokrasi partisipatoris, dan masa depan spekulatif. Pada Jakarta Biennale 2017, Ho Rui An menampilkan Solar: A Meltdown, sebuah penataran-performans yang berangkat dari punggung antropolog Charles le Roux, yang basah oleh keringat, yang ditemuinya di Tropenmuseum, Amsterdam. Air muka ideal sang pejabat kolonial memancarkan sosok putih tanpa cela, berjejak jumawa, tak tersentuh oleh iklim. Melalui citraan aneh di Tropenmuseum ini, Ho Rui An melancarkan sebuah penelitian untuk mendekati kisah-kisah “Imperium” yang diredam atau mestinya bukan sesuatu yang spektakuler; sekaligus, yang lebih penting lagi, panas terik matahari di baliknya yang membakar punggung penjajah imperial. Mengamati bagaimana “ketaksadaran solar” membuat lelah proyek kolonial Eropa, penataran ini kemudian melihat perempuan kulit putih dan punkawallah (tukang kipas raja-raja) sebagai perlambangan “abdi global”—ruangan tata surya berpenyejuk segala ada. Berpilin menuju momen kehancuran bumi kontemporer ini, akhirnya karya itu berupaya mendaku keringat sebagai sarana pembebasan dari diri sendiri dan bersatu dengan surya. Dalam karya ini, Ho Rui An menghubungkan berbagai galur pemikiran tentang kolonialisme dan globalisasi dalam sebuah penataran-performans dengan mengerahkan citraan dari koleksi museum atau film-film Hollywood, seperti The King and I yang keluar tahun 1956. Dalam drama musikal tersebut, seorang guru dari Inggris, Anna, “mendidik” keluarga Raja Mongkut di Bangkok. Menurut Ho Rui An, salah satu lagu paling gampang diingat dari film tersebut, Getting to Know You, adalah pujian terhadap pertukaran antarbudaya. Ketika anak-anak kecil Thailand meniru cara berpakaian gurunya, Anna melambaikan kipas. Mereka membungkuk hormat dan berjabat tangan. Kelihatannya semua menyenangkan, tetapi, tentu saja semua atas perintah sang guru dan hantu penjajahan kembali muncul. [PP]


79

atas

kanan bawah

Solar: A Meltdown 2 | 2014 Instalasi | Cetak digital, proyeksi video, dan figurin (Ratu Elizabeth) | Sekitar 4 x8m kiri bawah detail instalasi

Solar: A Meltdown 1 | 2014 Penataran performans

Foto: Panji Purnama Putra

Foto digunakan atas izin seniman


80

I Made Djirna

I Made Djirna lahir di Bali, Indonesia, pada 1957. Ia telah berpameran tunggal di Northern Territory Museum of Art and Science, Darwin, Australia (1989), di Singapura (1998, 2002, 2007), dan Indonesia (2000, 2001). Ia juga berpartisipasi

pada

pameran

Singapore

Biennale, Atlas of Mirrors, Singapura, 2016.

Bagi Made Djirna, membuat karya seni adalah bermain-main dengan bendabenda di alam. Benda-benda itu layaknya makhluk hidup, menempuh berbagai tahapan seperti manusia: ada, berproses di dalam waktu, dan kelak tiada. Djirna adalah pemulung jiwa purba benda-benda di alam. Ia mengumpulkan benda-benda alam yang terserak di sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Dalam khazanah kebudayaan dan spiritual Hindu-Bali, pengakuan akan jiwa purba pada benda-benda adalah kesadaran akan hadirnya yang niskala. Yang niskala tidak kasat mata dan memiliki dimensi mitis-mitologis, di seberang sekala yang terbatas. Kesadaran Djirna ketika memulung benda-benda di alam adalah kesadaran prareflektif, di luar intensi untuk “tahu” dan hasrat untuk memberi nama pada sesuatu. Proyek Made Djirna untuk Jakarta Biennale 2017 melanjutkan proses memulung di atas. Ia mengamati batu apung (pumice) yang ditemukannya di sejumlah pantai di Bali. Selama berbulan-bulan ia menelusuri Pantai Beraban, Kabupaten Negara, sampai Pantai Jumpai di Klungkung. Ia juga memulung batu apung di Pantai Purnama, Gianyar, yang kini mengalami abrasi luas. Terbawa oleh gelombang laut dan diterjang banjir, setelah melalui proses ratusan tahun pembentukan, lava padat ini dianggap sebagai sampah yang perlu dibakar bersama jenis sampah yang lain. Djirna memahat batu-batu hasil letusan gunung berapi itu dengan intuisi akan wajah arkais-universal dan merangkainya menjadi karya objek-instalasi berukuran besar. Satu batu apung bagi Djirna menandakan simbol sebuah jiwa. Kesatuan jiwajiwa mewujudkan kekuatan tak terhingga. Itulah energi kehidupan. Dalam tingkat individual, energi kehidupan membentangkan jalan hidup yang mesti dilakoni oleh tiap individu; pradestinasi, sudah tertentukan sesuai kodratnya. Kepekaan pada yang niskala itu bagi Djirna hanya tumbuh melalui latihan rasa. Hanya dengan rasa inilah manusia bisa berkomunikasi dengan berbagai makhluk hidup yang lain, termasuk benda-benda di alam yang dianggap sebagai benda mati. Kata Djirna, “makin halus rasa kita, makin luas pula komunikasi kita di alam semesta.” Di dalam lingkungan fisik dan sosial yang berubah makin cepat, ruang untuk menemukan yang arkais makin sempit dan terbatas. Sejak awal 1970-an, hubungan fisik masyarakat Bali dengan alamnya berubah mengikuti industri turisme dan modernisasi. Namun, dunia modern yang bertumpu sepenuhnya pada logika rasional mereduksi apa yang tersembunyi menjadi sekadar apa yang nampak. Maka, Djirna berupaya melihat apa yang tersembunyi di balik penampakan alam, yang sesungguhnya memiliki self-givenness; memberikan dirinya untuk melahirkan keterbukaan si pemandang. Ekspresi kebudayaan Bali pada umumnya merupakan ungkapan rasa tulus dan persembahan kepada Sang Maha Pencipta. Ketulusan itulah—disimbolkan oleh batu-batu apung—yang makin tergerus oleh perubahan waktu dan zaman. [HW]


81

Unsung Heroes | 2017 Instalasi media campuran dengan batu gamping | Dimension bervariasi Foto: Panji Purnama Putra


82

Imhathai Suwatthanasilp

Imhathai Suwatthanasilp lahir di Chaiyaphum, Thailand, pada 1981. Ia mendapat gelar BA dalam Seni Murni dari Sipakorn University pada 2004. Ia mendapat beasiswa di Ecole National Supérieure des Beaux Arts, Paris, pada 2006. Silpa Bhirasri Silver Medal Award dalam 22nd Exhibition of Contemporary Art by Young Artists (2005) pernah diraih olehnya.

Imhathai memperoleh beasiswa untuk belajar di École Nationale Supérieure des Beaux-Arts, Paris, dan gelar master dari Fakultas Seni Lukis, Patung, dan Grafis dari Universitas Silpakorn, Bangkok. Karya-karyanya sudah dipamerkan di International Incheon Women Artists Biennale, Incheon (2009); Busan Biennale, Busan; Nichido Contemporary Art, Tokyo (2010); dan Thai Transcience di Singapore Art Museum, Singapura (2012). Pameran tunggalnya adalah “Rebirth” (2014) dan “Ruen Sam Nam See” di Bangkok (2017). Karya-karya dwimatra Imhathai terutama berbasis pada garis-garis liris yang artistik. Yang mengejutkan, citra-citra pada gambarnya seringkali terwujud lewat materi helai-helai rambutnya sendiri. Rambut-rambut yang sangat halus, lembut, dan tipis disusun untuk mewujudkan citra tertentu dengan garis-garis lengkung sangat rapat. Yang muncul pada bidang gambarnya adalah citra hitam-putih yang segera mengingatkan kita akan bentuk rahim atau tulang panggul, citra organik alam, rupa simetri, dan siluet wajah dengan isian yang rumit. Penggunaan materi rambut, baik asli maupun buatan, merupakan kekhasan karya-karya Imhathai. Ini tidak hanya untuk karya dwimatranya tetapi juga trimatra. Jalinan rambut yang membentuk potongan kepang, pot, mahkota, cadar, kerudung yang dirajut halus seperti sarang laba-laba, atau kain brokat tipis digabung dengan objek-objek sehari-hari seperti batu dan gantungan baju. Kerap menggunakan rambut sendiri, Imhathai seakan mau menegaskan dan meletakkan identitasnya sendiri pada objek-objek itu. Sesuatu yang privat dengan halus menampakkan diri, mencari maknanya melalui pertautannya dengan benda-benda lain. Dalam festival “undisclosed territory #9” (2015) yang berlangsung di Studio Plesungan, Karanganyar, Surakarta, ia menampilkan performans dengan sarana batu-batu koral putih yang dibungkus rajutan rambutnya sendiri. Batu-batu itu kemudian dilontarkan ke dalam hutan gelap dengan ketapel. Benda itu datang dari suatu tempat yang tak diketahui, ditemukan, dan kemudian jatuh di sebuah tempat yang entah. Imhathai kemudian menulis, “Keep it to see when I am not with you.” Benda-benda privat dan memori, inilah kekhasan yang menghuni kawasan seni perempuan. Bagi Imhathai, rambut memiliki identitas tertentu yang mampu menunjukkan hubungan kekerabatan. Rambut juga memiliki makna dalam banyak kebudayaan, terutama dalam khazanah ritual. Di dunia modern rambut adalah atribut yang tidak bisa dipisahkan dengan identitas pribadi, misalnya keperempuanan dan status gender. Pada Jakarta Biennale 2017, Imhathai menyajikan sejumlah gambar hitamputih yang mencitrakan sosok dan bentuk-bentuk seperti daun, rahim atau tulang panggul, dan siluet wajah. Ia menggunakan materi campuran berupa rambut, grafit, dan akrilik—untuk menghitamkan gambar. Penggunaan garis-garis halus dan rapat setipis rambut yang memenuhi bidang gambarnya menimbulkan kesan puitis, subtil, sesuatu yang liat sekaligus rapuh. Identitas visual itulah yang menandai kekhasan karya-karya Imhathai sebagai salah satu perupa kontemporer Thailand yang menonjol belakangan ini. [HW]


83

Myself-Portrait (left) | 2017 Teknik gambar campuran pada kanvas | 150x120 cm

Myself-Portrait (right) | 2017 Teknik gambar campuran pada kanvas | 150x120 cm

Foto digunakan atas izin seniman

Foto digunakan atas izin seniman

dari kiri ke kanan:

Life-Circulation No.1 | 2015 Life-Circulation No.5 | 2017 Teknik gambar campuran pada kanvas 76x56 cm Foto digunakan atas izin seniman


84

Jason Lim Karya-karya Jason Lim meliputi foto, video, instalasi, seni keramik, dan seni performans. Ia berkelintar antara penggunaan bentuk representasi yang ditandai oleh pengulangan (seperti ritual meniru perkembangan dan pembusukan peristiwa alam) dan bentuk-bentuk yang ia ciptakan sendiri. Bentuk karya keramik Lim, seringkali sebagai hasil dari performans, selalu merupakan hasil interaksi tubuhnya dengan material dan selalu mengandung potensi. Ia berprinsip bahwa makna datang dan pergi, dan menurutnya upaya untuk mencari dan menunjuknya sia-sia. Lim mendapat inspirasi dari tema-tema dunia material dan spiritual, seperti yang tersusur dalam naskah Hindu, Bhagavad Gita, dan sumber-sumber lain, termasuk peristiwa dan lanskap. Namun, ia tidak niscaya menirunya: ia ingin berkembang bersama alih-alih berkejaran dengan lingkungan alamiah. Performans Lim mengusik penonton dengan pilihan objek yang berani, seringkali dalam tataran penuh risiko dan mendesak. Struktur karyanya sudah selalu memiliki kemungkinan ambruk, merusak-diri, atau mengalami erosi. Karyanya menangkap hakikat objek kajian yang organik dan alamiah sembari mengungkapkan kesadaran hubungan manusia dengan objek tersebut. Dalam kata-kata Lim: “Saya mengubah identitas benda-benda dan menciptakan banyak lapisan makna. Buat saya, menangkap kecenderungan visual yang mempengaruhi dan merangsang persepsi dan khayalan pemirsa adalah hal penting. Dengan begitu, saya ingin melemparkan pertanyaan visual melalui karya saya, bukan jawaban.� Pada 1995 di galeri The Substation, Melbourne, Lim menyajikan karya terobosannya, Three Tonnes of Clay dengan rekan seniman keramik, Ng Siew Kuan. Tanah liat yang belum dibakar mengisi penuh seluruh galeri itu sehingga sang seniman dan pemirsa dapat membentuk dan mengubah ruangan tersebut. Setelah performans usai, jejak tubuh Jason masih tercetak pada instalasi tersebut sehingga ada kesan energi yang tertinggal bagi para penonton yang datang kemudian: mereka jadi tahu apa yang terjadi dalam ruang tersebut. Pada Jakarta Biennale 2017, sekali lagi Lim akan menggunakan tanah liat dalam jumlah besar dalam sebuah performans berdurasi, dan menggali motif akar gantung pohon beringin. Pohon beringin, yang tumbuh dari atas ke bawah pada suatu pohon inang, dikemukakan sebagai metafora filosofis yang menggerakkan praktik seni keramik Lim sekarang ini; menyibak karakteristik ganda dari alam sebagai yang baik dan jahat. [PP]

Jason Lim lahir di Singapura pada 1966. Ia dianggap sebagai empu keramik Singapura di

masa

depan.

Karya-karyanya

telah

dipamerkan, antara lain, di Australia, Jerman, India,

Jepang,

Belanda.

Polandia,

Thailand,

dan


85

Under the Shadow of the Banyan Tree | 2017 Performans menggunakan 2 ton tanah liat grog terakota, air, dan objek temuan | 6 - 8 jam selama 6 hari Foto: Panji Purnama Putra


86

Karrabing Film Collective

Karrabing Film Collective didirikan pada 2008 dan beranggotakan lebih dari 20 orang.

Karrabing Film Collective adalah sebuah “kelompok media yang berbasis penduduk akar rumput asli”. Sebagian besar anggotanya tinggal dalam komunitas Belyuen di Teritorial Utara Australia. Sejak 2008, mereka telah membuat enam film dan beberapa instalasi pendamping. Karrabing Film Collective telah memenangkan beberapa penghargaan dan hadiah, seperti Cinema Nova Award for Best Short Fiction Film (2015, Melbourne International Film Festival) dan penghargaan prestisius Visible Award 2015. Video, film, dan aktivitas berbasis media karya mereka lainnya mengusung topik kompleksitas kehidupan sehari-hari penduduk asli di bagian utara Australia sembari berbicara tentang isu-isu global terkait keberlangsungan hidup sebuah budaya di tengah kolonialisme pendatang. Colin Perry, wartawan seni, pernah menulis, “Mirip etnofiksi Jean Rouch, Karrabing Film Collective menggunakan cerita untuk menyampaikan kebenaran tentang neokolonialisme; di sini, fokusnya adalah tantangan legislatif, kebijakan adat, dan penjagaan oleh polisi di Teritorial Utara. Cerdas tapi tidak dibebani oleh teori yang ditampilkan secara eksplisit (lucu, mengejek, dan ironis), karya kolektif ini memberikan angin segar.” Jakarta Biennale 2017, dalam hubungannya dengan topik “Jiwa”, menampilkan video karya Karrabing, WUTHARR, Saltwater Dreams (2016). Berdasarkan kisah nyata, video ini menceritakan sebuah motor perahu yang rusak sehingga memaksa kru untuk mengubah rencana awal dan memperbaiki kerusakan. Hal ini kemudian mengarahkan mereka pada serentetan kejadian yang tidak disangka-sangka. Kerusakan motor perahu itu mungkin disebabkan oleh kabel yang telah berkarat, atau mungkin saja merupakan pertanda dari para leluhur penghuni tanah setempat. Beragam suara karakter dalam video tersebut mewakili logika dan pengalaman yang berbeda. Mereka memediasi suara leluhur penduduk asli yang terhubung dengan tanah itu, yang sekarang menjadi perkara kepemilikan dan eksploitasi, dan bicara tentang berbagai taktik praktis yang dilakukan oleh mereka yang hidup dalam ketidaksetaraan—dengan humor, untuk mencari kesenangan dalam otonomi bersama. WUTHARR, sebagaimana film-film lain untuk Karrabing, adalah cara untuk mengorganisasi diri dan menganalisis hidup mereka sendiri—ditulis, diperankan, dan direkam oleh anggota Collective. Menggabungkan cinema verité dengan dokudrama, mereka merekam video-video tersebut menggunakan peralatan yang sederhana, yakni kamera video nonprofesional dan telepon genggam iPhone. Gentingnya ketahanan hidup yang mendasar, yang merupakan reaksi terhadap kekerasan mayoritas, secara eksplisit menandai tindak-tanduk tokoh-tokoh yang unik dan memberikan arah terhadap alur cerita. Para protagonisnya tampak bertindak secara cepat dan spontan, meleburkan ketertebakan plot film. Penonton dibuat tidak yakin setiap saat dan tetap terbuka terhadap kejutan-kejutan yang menimbulkan korban. [VH]


87

WUTHARR, Saltwater Dreams | 2016 Video | 27’ Foto diambil dari video, digunakan atas izin seniman


88

Keisuke Takahashi

Keisuke Takahashi lahir di Tokyo, Jepang, pada 1972. Ia peraih beberapa penghargaan, di antaranya, MORI Art Museum Membership Special Prize, Jepang (2004), dan Outstanding Achievement Award of Graz Art Project, Austria (2005).

Keisuke Takahashi adalah seniman video dan media yang berusaha menimbang pertanyaan-pertanyaan seputar alam dan perkembangan peradaban yang cepat dan bagaimana keduanya mempengaruhi bentang alam. Ia bereksperimen dengan kondisi teknologi citraan digital dan mengembangkan bentuk-bentuk interaktivitas antara tubuh manusia dan gambar digital. Ia juga berkolaborasi dan menciptakan instalasi untuk penampilan tari, pertunjukan teater, dan acara publik lainnya. Sebagai anggota Nibroll, sebuah kelompok seniman lintas disiplin yang didirikan oleh Mikuni Yanaihara (1997), Keisuke menggagas sebuah kelompok off-Nibroll yang berfokus pada berbagai pertunjukan yang menjelajahi hubungan antara tubuh dan citraan. Dalam room (video, 2006), Keisuke menyelidiki hubungan antara khalayak dan yang tunggal dalam skala sosial. Dalam video itu, ia mendokumentasikan sel-sel terkecil organisme sosial, merekam ruang-ruang sempit tempat para lajang dan keluarga tinggal serta memformat mereka dalam bentuk kubus untuk menyimulasi kelompok-kelompok manusia di bumi. Instalasi video Town (2010) menempatkan penonton di dalam pemetaan sebuah kota yang dilakukan secara beragam. Instalasi ini bisa terlihat sebagai semacam studi arsitektur volume dalam bentuk 3D, di mana partikel terkecil dari suatu rumah menjadi sebuah partikel struktural tubuh manusia. Sudut pandang itu diperbesar pada instalasi a world (2010) yang menampilkan seluruh dinding ruangan karya dipenuhi dengan skema sosok kecil tubuh-tubuh manusia anonim yang terus bergerak. Dalam Hinomaru (2015) rona politis terasa kental; instalasi ini menelusuri sebuah warisan kolonial Jepang di Asia dan memperlihatkan banyaknya tubuh manusia yang lenyap ke dalam sebuah jurang merah, kiasan untuk warna bendera nasional Jepang. Dalam instalasi Dry Flower (2004), public = un + public (2010), a quiet day (2012) dan instalasi lain yang diperuntukkan bagi acara-acara pertunjukan tari dan teater, melalui program off-Nibroll, Keisuke berfokus pada pengembangkan alat interaktif yang menautkan gerakan tubuh penonton atau penari dalam usaha “menghidupkan� sebuah citraan. Dalam instalasi yang ia buat untuk dipamerkan di Jakarta Biennale 2017, Fictional Island (2016), Keisuke meminta pengunjung untuk memasuki sebuah model laboratorium studio animasi komputer yang memiliki beberapa unsur alam (pasir hitam) dan menciptakan model sebuah pulau. Karyanya memperlihatkan bagaimana lanskap 3D fiktif dibangun di antara batas-batas tanah dan laut sekaligus melontarkan imajinasi penonton ke asal-usul planet dan alam semesta. Karya ini, yang menjadi pengingat kosmologis, akan mengantarkan benak penonton pada kemampuan manusia menciptakan dan menghancurkan alam, di mana mereka menjadi bagiannya dan apa yang merupakan bagian dari mereka. [VH]


89

The Fictional Island | 2016 Instalasi video kanal banyak | 20’ Foto: Panji Purnama Putra


90

Kiri Dalena

Kiri Dalena lahir di Manila, Filipina, pada 1975. Karya-karyanya telah dipertunjukkan dalam berbagai ajang, misalnya Sunshower: Contemporary Art from Southeast Asia 1980’s to Now, National Art Center, Mori Art Museum, dan Busan Biennale 2016: Hybridizing Earth, Discussing Multitudes.

Kiri Dalena adalah seniman seni visual, pembuat film, dan aktivis hak asasi manusia. Ia mempelajari ekologi manusia di University of the Philippines dan penyutradaraan film dokumenter di Mowelfund Film Institute, Quezon City. Karya seninya merupakan seruan terus-menerus terkait masalah penyelewengan politik dan ketidakadilan sekaligus eksplorasi ingatan-ingatan traumatis dalam sejarah Filipina. Instalasi Kiri yang banyak menuai pujian, Erased Slogans (2008), merupakan sekumpulan arsip foto hasil rekayasa yang menampilkan demonstrasi massa sebelum penutupan suratkabar selama masa darurat militer di bawah kepemimpinan Presiden Ferdinand Marcos (1972–1986). Kiri menjelaskan bahwa penghapusan yang terlihat pada foto instalasinya merupakan kiasan atas sensor pemerintah. Perhatian penonton ia arahkan pada gerak-gerik, wajah, dan tubuh para pemrotes. Selanjutnya, ia terus berkutat dengan slogan-slogan, yang kemudian ia himpun dan bukukan. Satu dari beberapa buku kecil buatan tangannya adalah Red Book of Slogans (2008), berisi teks-teks yang dihapus (dan banyak teks tambahan) dari berbagai demonstrasi sepanjang 1950-an hingga Badai Kuartal Pertama tahun 1970—periode sarat kekacauan selama krisis ekonomi. Buku itu disusul oleh Yellow (2014), Peach (2014), dan Black Book of Slogans (2017), berisi berbagai teks yang dihimpun selama gelombang demonstrasi bersejarah sepanjang masa kepemimpinan berbagai presiden, mulai dari masa Gloria Macapagal-Arroyo hingga Rodrigo Duterte. Instalasi Kiri selanjutnya mengutip slogan-slogan demonstrasi dari kampanye menentang kecurangan pemilu pada 2004, yang dikenal sebagai skandal Hello Garci. Liar! Liar! Liar! (2010–2015) adalah apropriasi para partisipan Filipina atas film yang dibintangi Jim Carrey (1997), tentang seorang pembohong kompulsif yang kehilangan kemampuan berbohongnya. Dalam White Walls (2017), Kiri dan gabungan seniman lintas disiplin RESBAK (Respond and Break the Silence Against the Killings) mengumpulkan pecahan-pecahan kaca yang masih bening dari pemakaman dan toko barang bekas. Akumulasi sekitar 6.000 pecahan kaca, yang dihamparkan di sebuah ruang kosong, menjadi simbol jumlah orang terbunuh, yang terus bertambah, akibat perang pemerintah terhadap pengedar obat terlarang. Masing-masing pecahan kaca mewakili seseorang yang hidupnya hancur dan identitasnya ditelan bumi seiring mayat yang muncul silih-berganti di jalanan. Requiem for M (2010) adalah film video dan pengingat akan Pembantaian Maguindanao, peristiwa penculikan dan pembunuhan rombongan yang terdiri atas 58 anggota keluarga, jurnalis, dan pendukung kandidat oposisi dalam pemilihan gubernur Maguindanao. From the Dark Depth (2017), yang ditampilkan untuk pertama kali pada Jakarta Biennale 2017, merupakan film berdurasi 25 menit yang menampilkan kepekaan unik. Film ini merajut berbagai lapisan realitas demi menyajikan kisah seorang almarhum komunis yang bergabung dengan dunia kesetaraan, kebebasan, dan persaudaraan bawah tanah. [VH]


91

From the Dark Depths | 2017 Video | 25’ 53� Foto diambil dari video, digunakan atas izin seniman

GIKAN SA NGITNGIT NGA KINAILADMAN (FROM THE DARK DEPTHS) Pemeran: Genevieve Reyes, El Ora Espano, Kalil Almonte, Bon Andrew Lentejas. Sutradara/ Penulis: Kiri Lluch Dalena. Produser: Carl Chavez, Kiri Dalena. Produser Lini: Maya Quirino. Asisten Sutradara: Petrick Franco. Manajer Produksi: Nico Bagsic. Musik: Datu Arellano. Penata Gambar: Jippy Pascua. Penata Gambar Bawah Laut: Martin Zapanta. Kamera video analog dan 16 mm: Kiri Dalena. Penata Suara: Jedd Dumaguina. Penyunting: Charm Nogot, Jippy Pascua. Penyunting Tambahan: Kiri Dalena, Jon Olarte. Perancang Produksi: Aldrin Olaguer. Penata Artistik: Carlo Bernardino. Penata Artistik Bawah Laut: Melissa. Kostum Abuga-a: Clara Herrera. Perekam Suara: Gelay Tamayo Boom. Operator: Hans Gelilang. Asisten Produksi: Trishtan Perez, Ai Tacastacas. Asisten Juru Kamera: Aljohn Torres, Vonfrance Bicaldo. Penyelam: Ruel Tria, Valerie Asch, Diggy Asch, Robert Kim Garcia. Perancang Poster: Tom Estrera III.


92

Luc Tuymans

Luc Tuymans lahir di Mortsel, Belgia, pada 1958.

Ia

dianggap

berkontribusi

dalam

kebangkitan kembali lukisan pada era 1990an. Karya-karyanya telah ditampilkan dalam berbagai pameran dan museum, seperti San Francisco Museum of Modern Art dan Wexner Center for the Arts, Columbus, Ohio.

Luc Tuymans bergelut dengan mediasi dan penerjemahan found images (gambar-gambar yang ditemukan kembali setelah dibuang atau hilang), yang dalam lukisan-lukisannya terlihat tereduksi, buram, terlabur, atau terpadatkan, seolah dipandang dari beberapa jarak. Luc secara khusus mengolah kembali gambar sumber melalui berbagai sketsa, fotokopi, foto polaroid, atau bahkan rekonstruksi model fisik, sebelum ia mulai melukis. Alhasil, gambar-gambarnya mengikuti ketidakkonsistenan struktur ingatan masa lampau, seperti sejarah lisan yang menekankan kemungkinan pengakuan (kembali) dan penyampaian kenangan tentang kebenaran. Pendekatan ini menjadi kesaksian akan apa yang Luc percayai; bahwa representasi selalu hanya bisa parsial dan subjektif, dan bahwa makna harus dipersatukan melalui fragmen-fragmen yang terisolir. Untuk Jakarta Biennale 2017, Luc Tuymans menciptakan lukisan dinding, film animasi, dan beberapa gambar. Lukisan dinding tersebut, Twenty Seventeen, menampilkan seraut wajah pucat dalam jarak dekat yang terlihat seperti topeng muncul dari kegelapan dengan mata terbuka lebar. Sebagai hologram yang dibuat berdasarkan seorang tokoh dari sinetron Brazil, wajah itu tampak terpesona oleh sesuatu yang terjadi di luar gambar. Pengunjung mungkin akan teringat akan lukisan Indonesia yang tak dikenal oleh Luc: kanvas S. Sudjojono yang tak sempat selesai, Perusing a Poster (1956). Lukisan ini menampilkan suatu kerumunan yang terpesona oleh poster-poster—di luar bingkai gambar—untuk pemilihan legislatif pertama sejak kemerdekaan Indonesia. Pemilihan umum itu adalah satu-satunya yang terselenggara sebelum Sukarno membawa Indonesia menuju periode Demokrasi Terpimpin. Lima puluh tahun setelah Sudjojono, Luc menghubungkan karyanya dengan tahun pemilu yang mungkin memiliki konsekuensi-konsekuensi global. Ketertarikan Luc pada teknik-teknik sinematik yang lebih luas terus terasa sejalan dengan penciptaan sebuah film animasi, karya kolaborasinya bersama Joris Van Poucke, yang tengah dalam pengerjaan berjudul Animation (2017). Dalam suasana muram, penonton menyadari adanya sepetak tanah di pinggir sungai. Sosok-sosok putih menyeruak dari kegelapan. Penggambaran ini didasarkan pada adegan pembuka dalam A Twist of Sand (1968), pada saat individu-individu tak dikenal tinggal beberapa detik saja sebelum ditembak oleh sumber yang tak terlihat. Luc secara hati-hati menghindari momen eksekusi itu sendiri. Terakhir, Luc menciptakan beberapa gambar pensil yang didasarkan pada fotofoto patung kayu kecil seperti tokoh-tokoh cerita rakyat—kemungkinan Belanda— dalam latar pedesaan yang terlihat seperti diorama. Patung-patung kayu itu mengingatkan kita baik akan lukisan-lukisan awal Van Gogh yang gelap tentang kehidupan keras petani maupun tiruan menggelikan penjajah Belanda oleh pengrajin wayang Indonesia—yang dipamerkan di Museum Wayang Jakarta. [PP]


93

atas:

bawah:

Twenty Seventeen | 2017 Lukisan dinding | 245 x 169 cm

Animation (berkolaborasi dengan Joris Van Poucke) | 2017 Video Animasi | 20�

Foto: Panji Purnama Putra

Foto digunakan atas izin seniman


94

Marintan Sirait

Marintan

Sirait

lahir

di

Braunschweig,

Jerman, pada 1960. Pameran yang telah ia ikuti di antaranya: Indonesian Women Artist Exhibition (2001), Gwangju Biennale, Korea Selatan (2002), dan Intimate Distance: Indonesian Women Artists Exhibition (2007).

Marintan Sirait belajar seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan telah berpartisipasi di berbagai pameran, performans, lokakarya, seminar, dan residensi internasional sejak 1990-an. Ia penggagas dan fasilitator proyek-proyek performans dan seni visual partisipatif dan kolaboratif. Bersama seniman Andar Manik, ia mendirikan Jendela Ide (1995), sebuah wadah bagi kaum muda untuk mengalami transformasi nilai melalui media seni-budaya. Bersama sembilan perempuan profesional Bandung, ia mendirikan Rumpun Indonesia (2015), media perempuan untuk sosialisasi nilai integritas melalui seni partisipatif. Pada pertengahan dekade 1990-an, perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia dibayang-bayangi oleh praktik artistik baru, yaitu performans. Kecenderungan seni peristiwa yang melibatkan tubuh seniman sebenarnya sudah mulai menggejala sejak dekade 1970-an. Namun, baru pada akhir 1990-an praktik performans makin menegas. Di antara sangat sedikit seniman performans saat itu adalah Marintan Sirait. Bagi Marintan, tubuh personal perlu memperoleh tempat dan pemaknaan dalam ruang seni kontemporer. Di sanalah akan tampak paradoks-paradoks. Yang personal niscaya melakukan interaksi dengan kehidupan sehari-hari, mengusung nilai dan perspektif sosial. Namun, tubuh yang sama juga memendam memori dan cita-cita masa depan serta berhak atas kebebasan. Tubuh adalah rumah sekaligus tempat berlindung paling rentan dalam interaksi antarmanusia. Kita mengenal gagasan dualisme tubuh dan jiwa. Pandangan lain menggambarkan bahwa tubuh (soma) adalah tanda (sema) kehadiran jiwa kita. Melalui tubuh, jiwa manusia memperlihatkan tanda-tandanya. Marintan secara lintas disiplin menjelajahi praktik-praktik somatis, meditasi, dan estetika keseharian sehubungan dengan pandangan tersebut. Pada Jakarta Biennale 2017, Marintan menilik kembali karya performansnya, Membangun Rumah (1992–1997). Karya ini mengacu pada unsurunsur alam seperti gunung, tanah, pepohonan, dan konstelasi bintang-bintang. Praktik performansnya melibatkan rupa, gerak, bunyi, lintasan waktu, dan ruang. Karya barunya itu sendiri berupa instalasi dan performans, bertajuk Membangun Rumah dan Ruang Perjumpaan, dan menggunakan materi seperti tanah, abu, kerikil, cahaya, gerak tubuh (disebut ruang horizontal) dan proyeksi video pada kaca akrilik (disebut ruang vertikal). Praktik performansnya merupakan aktivisme yang partisipatif, kreatif, eksploratif, dan nonpolitik. Marintan menampilkan gagasan mengenai pelambatan. Dalam kehidupan personal maupun sosial, kepekaan akan gestur dan sentuhan sangatlah signifikan. Melalui gerak lambat tubuh, hal-hal itu dapat dihayati. Pelambatan merelasikan kembali hubungan tubuh dengan ruang, untuk menangkap lintasan waktu dan merasakan kehadiran benda-benda di sekitar kita. Gerak lambat menghidupkan penanda-penanda yang “membangun rumah” dan ruang-ruang perjumpaannya. Yang esoteris dan eksoteris bertemu di ruang-ruang itu. Mengisi salah satu rangkaian program Jakarta Biennale 2017, Marintan juga menyelenggarakan lokakarya performans “Ruang Perjumpaan”, mengangkat tema tentang tubuh-tubuh yang pada hakikatnya adalah kumpulan energi yang bergerak dalam sinkronisasi. [HW]


95

Re-inventing Membangun Rumah | 2017 Instalasi dan seni performans | tanah, kerikil, abu, kaca akrilik, video, tata cahaya & suara. * Marintan Sirait - instalasi | Bintang Manira Manik - tata suara Atas: instalasi; foto: Panji Purnama Putra Bawah: Marintan Sirait, Long Distance Call From Home. 2012. Foto: Tiarma Sirait.


96

Mathieu Kleyebe Abonnenc Mathieu Kleyebe Abonnenc pindah ke Prancis pada usia 15 tahun; sebuah perjalanan, menurut Frantz Fanon atau Aimé Césaire, dari bekas daerah jajahan ke pusat metropolis yang menciptakan kesadaran hakiki akan yang liyan. Melalui video, fotografi, instalasi, gambar, buku, dan proyek pameran, Mathieu meninjau sejarah kolonial dan gerakan pembebasan dengan teliti.

Mathieu Kleyebe Abonnenc lahir di Guyana Prancis pada 1977. Ia telah berpartisipasi dalam berbagai ajang seni rupa, di antaranya Venice Biennale (2015) dan Berlin Biennale (2014).

Dalam rangkaian gambar berjudul Slave-Trade Landscapes (2004–2007), Mathieu menghapus sosok budak dan penjajah dari cukilan asli yang menggambarkan misi Jules Crevaux, seorang penjajah dan penjelajah abad ke-19. Pada 2009, Mathieu mulai mempelajari karya Sarah Maldoror (lahir pada 1928, Guadeloupe), salah satu sutradara perempuan pertama di benua Afrika yang mengabdikan dirinya untuk pergerakan pembebasan di Afrika Lusofon pada 1960 sampai 1970-an. Mathieu menampilkan film Maldoror pertama, Monangambée (1969) dan membuat Foreword (Pengantar) bagi film kedua Maldoror yang hilang, Guns for Banta (1970), disita oleh pemerintah Aljazair pada 1971. Instalasi Mathieu, Double Agents, Phlebotomus Abonnenci (2014) menggambarkan, di antaranya, spesimen larva lalat pasir (Phlebotomus) dan dokumen dari rangkaian benda-benda Afrika yang dikumpulkan kakeknya ketika tinggal di Gabon pada 1930-an—berujung pada diskusi tentang praktik kolonial mengumpulkan dan mengimpor spesimen alamiah dan budaya sekaligus mempertimbangkan seberapa pentingnya status benda-benda tersebut sekarang. Cuplikan pengumpulan kolonial juga muncul pada awal film Mathieu, Sector IX B (2015), yang akan diputar di Jakarta Biennale 2017. Masalah koleksi museum kolonial, seperti yang terjadi dalam kasus Misi Dakar-Djibouti, yang bisa terungkap berkat peran penulis Prancis, Michel Leiris, dapat menjadi aktual dalam perdebatan kontemporer Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Mathieu mengenai film tersebut: “Di satu sisi, film itu bertujuan untuk menggulingkan keseragaman narasi petualangan ilmiah dalam konteks kolonial; di sisi lain, tujuan film ini mempertanyakan posisi setiap individu—dalam kasus ini, kakek saya—dalam proses penjarahan budaya dan pengumpulan kekayaan simbolis dan ekonomis.” Tokoh utama film tersebut adalah seorang antropolog muda yang mencoba mendefinisikan ulang batas-batas disiplin ilmu yang ia kuasai. Ia mereka ulang kotak obat dan resep medis yang diberikan kepada Misi Dakar-Djibouti, kemudian mencoba efek obat-obatan itu sendiri. Perlahan-lahan ia terjerumus ke dalam dunia fantastis dan tenggelam dalam halusinasi yang diakibatkan oleh zat-zat sintetis tersebut. Akhirnya, para penonton meragukan kenyataan yang terjadi pada sang antropolog. [VH]


97

Secteur IX B | 2015 Video | 42’ Foto diambil dari video, digunakan atas izin seniman


98

Nikhil Chopra Praktik artistik Nikhil Chopra beredar di sekitar seni hidup, lukisan, fotografi, patung, dan instalasi. Performansnya, yang biasanya dilakukan dengan improvisasi, membahas isu-isu seperti identitas, peran autobiografi, perihal berpose, dan potret diri. Karya-karyanya mencerminkan proses transformasi dan seringkali berdurasi panjang. Nikhil memadukan hidup sehari-hari, ingatan, dan sejarah kolektif. Tindakan sehari-hari seperti makan, istirahat, mencuci, dan memakai baju, juga menggambar dan membuat pakaian, mendapat nilai produktif, menjadi bagian penting dari apa yang diperlihatkan dalam pameran-pamerannya. Performansnya dapat dilihat sebagai sebuah bentuk penceritaan yang menenun sejarah, narasi personal, dan kehidupan sehari-hari. Proses performans adalah cara untuk mencapai, menguak, menyarikan, dan menampilkan semua aspek tersebut. Setiap performans tersingkap dalam happening berdurasi lama yang bisa dilakukan dalam satu atau beberapa hari, melalui gerakan-gerakan lambat, penuh pertimbangan, dan diritualisasi. Tindakan sehari-hari seperti mencuci, makan, bercukur, tidur, dan berpakaian menjadi elemen penyusun naskah performans yang karakter utama dan satu-satunya sering terlihat menggambar di atas kanvas lanskap atau pemandangan urban di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Setiap tindakan atau jeda sarat dengan antisipasi perubahan yang mungkin terjadi. Untuk Jakarta Biennale 2017, Nikhil Chopra menampilkan gambar dan proyek performans Land Water. Selama delapan jam, Nikhil akan menggunakan sebuah ruangan di Museum Sejarah Jakarta, di Taman Fatahillah. Ia akan membawakan sesosok persona yang menyerupai gagasan kolonial akan Lelaki Oriental Kebaratbaratan atau wog (westernized oriental gentleman; julukan cemoohan yang digunakan oleh pemerintah Inggris untuk para perwira penduduk asli di daerah jajahan yang bekerja untuk pemerintah kolonial). Karya ini mencakup pembuatan gambar di dinding menggunakan 20 kilogram lumpur, 20 kilogram beras, dan 20 liter air. Gambar-gambar itu melambangkan laut lepas sehingga memberikan kesan bahwa kita dikelilingi air. Gambar-gambar dan bahan yang digunakan untuk membuatnya akan membangunkan sejarah dan politik dalam diri yang berkaca. Kuasa Kolonial hampir selalu disebarkan dengan cara penguasaan, manipulasi, dan eksploitasi tanah dan air. Gagasan bahwa kita terjebak di air jelas terasa oleh banyak pulau di Indonesia, lebih-lebih sekarang karena kita berhadapan dengan perubahan iklim, gunung es yang meleleh, dan naiknya ketinggian air laut. [PP] Nikhil Chopra lahir di Kolkata, India, pada 1974. Ia memperoleh gelar BA dalam Seni Murni di Maryland Institute College of Art dan Master di Ohio State, Ohio, Amerika Serikat. Pamerannya antara lain New Exhibition, Prancis dan After Midnight: Indian Modernism To Contemporary India 1947/1997.


99

Land Water | 2017 Instalasi dan seni performans | 20 kg lumpur, 20 kg beras, 20 liter air/8 jam Atas: instalasi; bawah: dokumentasi performans Foto: Angga Reksha & Panji Purnama Putra


100

Otty Widasari

Otty Widasari lahir di Balikpapan, Indonesia, pada 1973. Pernah menempuh pendidikan di Institut Ilmu-ilmu Sosial dan Politik dan Institut Kesenian Jakarta, Jakarta. Selain mendirikan Forum Lenteng, ia juga direktur program akumassa.

Otty Widasari adalah seniman dan salah satu pendiri Forum Lenteng, sebuah kolektif di Jakarta yang berfokus pada seni, media, dan kajian sosial budaya. Kerja artistik individualnya terpelihara berkat keterlibatannya dalam aktivisme media, pengalaman-pengalaman jurnalistik yang berkaitan dengan realitas sosial historis, dan pembelajaran serta kegairahan akan film sepanjang hayat. Praktik menggambar yang ia lakukan secara terus-menerus menghimpun semua kegiatannya dalam satu wadah: buku harian kerja. Karya-karyanya mengangkat perjuangan sehari-hari yang berkaitan dengan kondisi material hidup, seperti dalam Home (2007) di mana karakter utamanya menggugat ekploitasi permanen para pekerja kelas bawah di tempat kerja mereka di Jakarta. Syair visual Green Mountain, Heaven Mountain (2013) diilhami dari sebuah kutipan dari rubai kuno Persia tentang tegangan antara kebiasaankebiasaan tertentu yang patriarkal dan membatasi, dan kebutuhan bagi perempuan untuk “merasakan kenikmatan surgawi di dunia�. Dalam karya videonya, Fiksi, sang seniman menambahkan sebuah multivoiceover misterius ke dalam rekaman video lo-fi sejumlah diorama di Monumen Nasional, Jakarta. Lanskap suara manusia melemahkan kejernihan monolitik versi kanonik kisah nasional Indonesia. Investigasi lainnya dalam serial pameran tunggal, Ones Who Looked at the Presence (2015) dan Ones Who Are Being Controlled (2016), menampilkan berbagai gambar wajah manusia yang menatap penonton. Semua wajah orang Indonesia ini digambar ulang dari materi fotografi dan film kolonial yang diproduksi oleh Perusahaan Hindia Belanda (sekarang tersimpan dalam arsip Belanda). Wajah-wajah itu dibidik oleh mata kolonial dari balik kamera, beserta struktur kuasa dan kekerasannya. Awalnya berfungsi sebagai laporan guna memberi gambaran tentang koloni bagi penonton di metropolis, kini gambar-gambar itu diapropriasi ulang oleh sang seniman untuk kita tonton dan pertanyakan. Performans videonya yang diciptakan untuk Jakarta Biennale 2017, juga dengan judul Ones Who Looked the Presence (2017) ini, akan mengembangkan investigasi lebih lanjut. Melakukan performans untuk kamera yang berdiri di sebuah ruang kosong, perlahan ia mempersiapkan alat pendukung untuk proyeksi film arsip hitam-putih. Pemindahan perancah secara teliti dan mengulang-ulang rupanya membutuhkan waktu hampir selamanya, sementara waktu proyeksinya sendiri singkat. Saat pertunjukan tiba-tiba berakhir, pertanyaan yang tak mengenakkan tetap tak terjawab: Mungkinkah mendekolonisasi gambar selain dengan membakarnya? Bagaimana bisa penggunaan gambar-gambar itu terbebas dari pemenjaraan seniman dalam perannya sebagai korban? Bukankah isyarat ikonoklastik terhadap gambar bersejarah merupakan konsekuensi dari jalan panjang menuju identitas pascakolonial Indonesia? [VH]


101

Ones Who Looked at the Presence | 2017 Video performans | 23’ Foto diambil dari video, digunakan atas izin seniman


102

Pawel Althamer berkolaborasi dengan

Jędrzej Rogoziński, Michał Mioduszewski, Sukma Hadi, Oksa, Ayah Bagol Kedungeran, Irsad, dan Dwi Penjol

Pawel Althamer lahir di Warsawa, Polandia, pada

1967,

dan

sempat

menempuh

pendidikan di Warsaw Academy of Fine Arts. Ia menerima penghargaan Vincent van Gogh Biannual Award (2004).

Pawel Althamer belajar seni patung di Warsaw Academy of Fine Arts (1988–1993). Ia bekerja dengan berbagai media meliputi patung, instalasi, video, performans, dan lainnya. Bersama para kolaborator sejak lama, Michał Mioduszewski and Jędrzej Rogoziński, Althamer menyelidiki bagaimana ruang perluasan persepsi manusia dapat terbuka bagi masyarakat yang lebih luas dan mengubah bentukbentuk sosial yang ada. Dalam performansnya, Water, Time, Space (1991), ia membungkus dirinya dengan plastik foil yang perlahan diisi air dingin. Pada tahun yang sama, dalam Self Portrait, ia berpakaian serba-putih seperti “manusia salju” dan duduk selama beberapa jam di sebuah taman yang tertutup salju. Ia kemudian menggunakan sosok penjelajah yang mengamati dan mendokumentasikan lingkungannya, baik sebagai patung laki-laki yang memegang kamera (Observer, 1995) maupun dalam performans selama berbulan-bulan di mana ia berjalan sembari mengenakan baju ruang angkasa buatan sendiri dan memfilmkan dunia di sekitarnya (Astronaut 2, Documenta X, 1997). Dalam sebuah performans yang menghidupkan kembali pertukaran komunal dalam Brodno (2000), Althamer membujuk para tetangganya di rumah susun untuk menyalakan/mematikan lampu di ruangan-ruangan tertentu, hingga melibatkan sekitar 200 keluarga. Sejumlah jendela kamar rusun memantulkan cahaya lampu membentuk nomor “2000” pada muka depan bangunan. Dalam Common Task, dari 2008–2010 para tetangganya melakukan misi ke Brasilia, Brussel, dan Oxford untuk mengamati tempat-tempat tersebut sembari mengenakan kostum berwarna emas layaknya para astronot yang datang dari luar angkasa. Draftsmen’s Congress (2012) mengundang para peserta untuk berkomunikasi melalui sejumlah citra yang digambar pada dinding. Tidak hanya mengandung kegiatan “belajar lagi dari semula” dan menjadi wadah berbagai saluran komunikasi antarmanusia, karya itu juga menorehkan namanya dalam barisan para seniman Fluxus, seperti Robert Filliou dan Yoko Ono. Gagasan ini mengelak dari pemikiran bahwa pendidikan seni dan keterampilan artistik adalah kondisi yang niscaya diperlukan untuk sebuah karya seni, dan membawa objek atau fenomena apa pun ke pengalaman estetik. Pawel menganjurkan kualitas yang sama dalam kolaborasinya selama lebih dari dua puluh tahun dengan Nowolipie Group, sekelompok orang yang menderita sklerosis ganda. Untuk Jakarta Biennale 2017, Pawel Althamer mengusulkan sebuah instalasi baru, Krasnobrodzka 13/Gotong Royong-Wspólna Sprawa (2017), yang merekonstruksi sebuah tangga di salah satu blok rumah susun di Warsawa tempat sang seniman dulu tinggal. Konstruksi yang bisa ditempati ini terkait dengan aksinya pada 2010 saat ia merenovasi sebuah ruang kosong menggunakan desain “pesawat ruang angkasa”, yang kemudian berfungsi sebagai ruang komunal yang dipersembahkan untuk seni, budaya, dan integrasi sosial. Ruang itu memunculkan pemutaran film dan diskusi para penduduk yang, meskipun bertetangga, tidak saling mengenal. Gubahan “alien” dari ruang yang ditelantarkan ini ternyata berubah menjadi simbol hubungan manusia yang tak teralienasi. [VH]


103

Krasnobrodzka 13 / Gotong Royong-Wspólna Sprawa | 2017 Performans kolaboratif | 23’ Foto: Panji Purnama Putra


104

Pinaree Sanpitak berkolaborasi dengan

Rahung Nasution

Pinaree

Sanpitak

lahir

di

Bangkok,

Thailand, pada 1961. Karya-karyanya telah diikutsertakan, misalnya, dalam pameran Female Power di Arnhem (2013) dan Sugar Spin: You, Me, Art and Everything.

Gagasan utama seni Pinaree adalah perihal tubuh perempuan yang tidak sertamerta terkait dengan politik gender. Bagi Pinaree, yang tak kalah bermakna dari eksistensi perempuan adalah spiritualitas kehidupan. Apa yang lebih simbolis, sekaligus material dan spiritual, pada sosok perempuan kalau bukan tubuhnya? Kehidupan bermula dari tubuh perempuan, melalui proses-proses biologis yang menghadirkan manusia baru melalui kelahiran. Inilah pelintasan antara alam dan budaya. Dalam karya-karya mutakhirnya, Pinaree menghadirkan sosok perempuan melalui bentuk payudara-stupa. Bentuk payudara mengingatkan kita akan bentukbentuk organik di alam dan, secara religius, pada stupa candi-candi Buddha. Dengan mengeksplorasi makna dan abstraksi rupa semacam itu, karya Pinaree memancarkan suasana meditatif, ketenangan, dan keseimbangan. Itulah yang disebutnya sebagai spiritualitas. Melalui karya-karyanya, Pinaree hadir sekaligus sebagai sosok ibu, perempuan, dan seniman yang bekerja dengan beragam medium (lukisan, gambar, patung, tekstil, keramik, dan performans). Pijakan awal untuk menikmati proyek performansnya adalah Breast+Stupa Cookery (2005). Awalnya bentuk-bentuk itu diekspresikan melalui karya trimatra (keramik, patung, karya instalasi) tapi kemudian berkembang menjadi performatif. Pinaree mengundang respons pegiat seni di bidang lain, khususnya kuliner, dan khalayak untuk berinteraksi serta mencicipi berbagai jenis makanan yang tersaji melalui rupa payudara-stupa. Peristiwa performatif “breast+stupa cooking� telah mewarnai dan menyinggahi sejumlah museum, galeri, lokakarya, pameran tunggal, dan bienial di sejumlah kota dan negara di dunia (Yokohama, Tokyo, Fukuoka, Singapura, Incheon, Beijing, Paris, San Fransisco, Los Angeles, Kamboja, New Zealand, Texas). Dan inilah untuk pertama kalinya karya Pinaree hadir di Indonesia. Dalam Jakarta Biennale 2017, Pinaree Sanpitak akan bekerjasama dengan aktivis kuliner yang sangat populer di Indonesia, Rahung Nasution. Putra Sayurmatinggi, Tapanuli Selatan, ini mendirikan SpiceLab (2015) bersama sejumlah seniman Bandung. Bagi Rahung, kepulauan Nusantara adalah gugusan tradisi dan resep kuliner yang kaya-raya. Indonesia adalah sebuah “Kepulauan Rempah-rempah� yang tiada duanya di dunia. Bersama chef Jodie Adrianto dan Jon Priadi dari Max Havelaar SpiceLab, Rahung akan merespons objek payudara-stupa Pinaree dengan keahlian memasak mereka. Masing-masing akan menyajikan nasi beraroma dari berbagai tradisi di Nusantara dalam tiga payudara-stupa berukuran besar dengan bahan-bahan makanan yang diperoleh di Jakarta. Tradisi memasak nasi beraroma ini, yang contohnya adalah nasi lemak, nasi kuning, dan nasi minyak, di Nusantara merupakan warisan dari percampuran tradisi India dan Islam pada masa silam. Umumnya, sajian itu berhubungan dengan perayaan musim panen, ritus kelahiran, dan berbagai upacara adat lainnya. Melalui alusi dengan tubuh perempuan dan bentuk stupa, kecenderungan pascaperformans ini secara sensual akan merefleksikan jejak-jejak sejarah dan budaya. Makanan menjadi seni, jejaring citarasa yang menghubungkan antarmanusia sejagat. [HW]


105

Breast+Stupa Cookery | 2005 hingga kini Performans | Makanan, benda berbentuk payudara+stupa Foto digunakan atas izin seniman


106

PM Toh Agus Nur Amal mendalami seni teater di Jurusan Teater, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Kesenian Jakarta. Pada 1991, ia pulang ke Aceh dan mempelajari tradisi mendongeng selama setahun di kampungnya. Sekembalinya ke Jakarta (1992), ia memproklamirkan PM Toh sebagai nama panggungnya.

PM Toh lahir dengan nama Agus Nur Amal di Sabang, Indonesia, pada 1969. Ia pernah pentas solo di Berlin (2011) dan mengampu lokakarya

di

antaranya

di

Nottingham

University, Inggris, dan Forum Scenography di Praha, Republik Ceko.

Teater tunggal adalah teater efektif, murah, dan sederhana. Pertunjukan PM Toh—tak kurang dari 600 jumlahnya—sudah berkeliling ke seluruh dunia. Pada 2014, ia mengikuti program residensi di ASEAS-UK (Association of Southeast Asian Students – UK) Conference, Brighton, Inggris. Ia kini instruktur utama dan narasumber untuk teater objek internasional. Kiprah mendongengnya yang akan selalu dikenang adalah pertunjukan dan lokakarya keliling selama pascakonflik dan tsunami di Aceh, pertengahan 2000-an. Namun, pentas paling mengesankan baginya adalah ketika ia mendongeng demi rekonsiliasi antara penganut Hindu dan Islam di Sumber Klampok, Bali, yang masih dirundung trauma pembunuhan massal 1965. Pada 2015, PM Toh merayakan 25 tahun berkarya dengan pameran tunggal Hidangan dari Langit di RURU Gallery, Jakarta. Hidangan dari langit merujuk pada ayat-ayat di dalam Al Quran yang menyebut seluruh isi alam semesta. Bagi PM Toh, langit, matahari, bulan, bintang, gunung, angin, awan, dan manusia bisa didongengkan kembali melalui benda sehari-hari (gayung, ember, corong, baskom, caping, kukusan, kaleng bir, seterika, kipas, sampai plastik sampah). Teater efektif, yang mengingatkan kita pada gagasan Arte Povera—gerakan seni kontemporer Italia akhir 1970-an—adalah teater kehidupan benda-benda. Menonton PM Toh mungkin juga merayakan keberlisanan yang tak juga tertundukkan oleh budaya modern dan keberaksaraan. Pertunjukannya adalah bagian dari kekayaan khazanah bahasa-bahasa dunia yang mayoritas justru tak memiliki tradisi aksara. Pada Jakarta Biennale 2017, PM Toh akan menampilkan dongeng bertajuk Jiwa Laut. Laut, tema terbesar untuk orang Indonesia, mengandung kehidupan, keluasan, kedalaman, kegelapan, dan ketenangan yang mampu menghipnotis kita. Melalui gagasan dan pengetahuan mengenai laut, orang Indonesia diantar menuju jiwa bangsanya. Namun, kata PM Toh, semua pengalaman bahari itu bagi orang Indonesia kini justru menjelang punah. Teater tunggal Jiwa Laut menggunakan objek sehari-hari seperti baskom air, topi petani, sandal, dan seterusnya. Tiga puluh dua baskom secara efektif akan digunakan untuk menggambarkan tujuh tingkat kedalaman laut, caping bambu menjadi gunung-gunung berapi yang tertidur, objek lain menjelma sebagai hiuhiu di samudra. Pertunjukan dongeng selama lebih-kurang 45 menit ini akan berlangsung secara interaktif dengan penonton yang mengenakan busana berwarna putih yang sebagai “layar” video. Dua buah proyeksi masing-masing akan mengarah ke panggung dan ke arah tubuh penonton. Jiwa Laut adalah dongeng ajaib terbaru PM Toh mengenai suasana hati laut, yang tenang menghanyutkan atau bergolak menunjukkan amarahnya. [HW]


107

Jiwa Laut | 2017 Teater tunggal | 60’ Foto: Panji Purnama Putra


108

Ratu Rizkitasari Saraswati

Ratu Rizkitasari Saraswati lahir di Jakarta, Indonesia, pada 1990. Pada 2013 ia menjadi finalis Indonesia Art Award.

Ratu Rizkitasari Saraswati belajar seni grafis di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan lulus pada 2013. Keterlibatannya dengan performans terjalin melalui beberapa lokakarya, antara lain lokakarya “Videosonic” di ITB, lokakarya “OK. Video: Flesh” di Bandung, dan lokakarya performans video di Jendela Ide, Bandung, bersama Marintan Sirait dan Melati Suryodarmo. Pada 2015, Ratu mengikuti festival performans “undisclosed territory #8” di Studio Plesungan, Solo. Lompatan dari seni grafis yang sarat tuntutan teknis ke performans, baginya, bermakna indrawi, cair, dan timbal-balik. Pada Jakarta Biennale 2017, Ratu menampilkan karya performans bertajuk Meronce. Istilah ini merujuk pada teknik merangkai benda-benda kecil yang diikatsambung dengan seutas tali. Umumnya hanya untuk hiasan. Meronce biasanya diperkenalkan kepada anak-anak usia dini untuk melatih kepekaan motorik, kesabaran, dan ketekunan melalui pengamatan bentuk dan warna. Dalam khazanah susastra Indonesia, Multatuli dalam karya besarnya, Max Havelaar, menggambarkan Kepulauan Indonesia sebagai “untaian ratna mutu manikam”, yang berarti beragam permata teronce indah. Meronce melahirkan sebuah untaian keindahan. Keterhubungan atau keintiman dalam pekerjaan meronce menarik Ratu untuk menampilkan performansnya. Dalam Meronce dihadirkan suasana diam yang komunikatif antara dua pihak yang sedang meronce. Gestur meronce dan kekhidmatan terhadap benda-benda kecil merupakan praktik yang menyatukan keduanya. Selama Jakarta Biennale 2017 berlangsung, Ratu akan melakukan tujuh kali performans meronce sekitar 12 kilogram manik-manik kaca kristal putih (21.600 butir), masing-masing berdurasi tiga jam, dengan dua anggota keluarganya sendiri, yakni ibu kandung dan adik perempuannya. Kedua sosok ini memiliki relasi sangat khusus dengan Ratu, yang dilukiskan dalam ungkapan atau frasa, “rasa penerimaan atas hubungan dengan keduanya sebagai caregiver, bagian dari perasaan-perasaan yang tidak bisa dimunculkan ke permukaan dengan mudah”. Bagi Ratu, kegiatan meronce di atas panggung dengan durasi panjang adalah semacam ritual untuk memahami perasaan dan keberadaan orang lain. Masingmasing ujung benang yang sangat jauh pada suatu ketika akan bertemu di sebuah titik dan menjadi untaian penuh sepanjang 35 meter. Untaian panjang kalung raksasa yang kedua ujungnya bersilangan ini adalah lambang perjalanan panjang yang tidak mudah. Bagi Ratu, performans ini adalah simbol sekaligus upaya yang memperlihatkan sisi kerapuhan dan kekuatan manusia dalam hubungannya dengan orang-orang terdekat. Performans Meronce Ratu yang sekilas remeh-temeh, yang menekankan penghayatan terhadap waktu dan praktik sehari-hari, adalah paradoks bagi gairah akan kemajuan dan kecepatan di masa kini. Secara reflektif, praktik ini mengesankan situasi “masyarakat dingin” (cold society) yang bergerak lambat, mengulang sesuatu yang telah ada, bergerak seperti biasa sesuai dengan siklus yang sudah terberi. [HW]


109

Meronce | 2017 Performans dan karya manik-manik yang bertambah panjang 3 jam setiap Sabtu dan Minggu Foto: Adi Priyatna & Farid Burhanudin


110

Robert Zhao Renhui

Robert Zhao Renhui lahir di Singapura pada 1983. Karya-karyanya diikutsertakan dalam berbagai ajang, di antaranya Singapore Biennale 2013 dan International Moscow Biennale of Contemporary Art (2017). Ia peraih Young Artist Award di Singapura (2010).

Praktik seni Robert Zhao Renhui banyak dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan, terutama ilmu kehewanan. Robert sudah memiliki ketertarikan terhadap alam sejak masih kecil. Ia sering memotret hewan di kebun binatang dan mengembangkan gaya yang meniru fotografi dokumenter dan ilmiah. Selama masa studi di London, Robert mengembangkan praktik seninya dengan membangun narasi fotografis berlapis yang mengajak para penonton untuk mempertanyakan apakah yang mereka lihat realitas atau fiksi. Penyelidikan Robert tentang objektivitas manusia yang tercerap menuntunnya untuk menciptakan dan mempublikasikan karya-karya melalui organisasi fiktif, Institute of Critical Zoologists yang ia dirikan pada 2008, yang pada awalnya ditujukan untuk “mengembangkan sebuah pendekatan kritis terhadap pandangan ilmu kehewanan, atau bagaimana manusia melihat hewan”. Institute of Critical Zoologists, pusat keilmuan pertama yang ditujukan demi dialog ilmu kehewanan dalam ranah ilmu sosial, ekologi, dan seni, adalah sebuah proyek jangka panjang seniman ini, yang selanjutnya selalu berfungsi sebagai payung organisasi untuk proyek-proyek tunggalnya. Salah satu karya Robert yang paling terkenal, yakni A Guide to the Flora and Fauna of the World, menggabungkan gambar lima puluh lima tumbuhan dan hewan yang dipermak secara digital sehingga terlihat alami, tetapi sebenarnya buatan manusia sehingga tidak pernah dimuat dalam ensiklopedia sejarah alam. Panduan dalam karya itu memaksa kita merenungkan cara-cara yang ditempuh umat manusia untuk mengubah planet ini, yang masih berlanjut hingga kini. Selain itu, panduan itu juga mempertanyakan cara-cara yang kita tempuh untuk mengendalikan alam secara stilistik demi kepentingan persepsi kita, serta menyelidik bagaimana sikap dan opini kita—yang juga merupakan bentuk fiksi—membentuk asumsi kita tentang dunia. Sebagian besar karya Robert difokuskan pada bentang alam Singapura—yang merupakan sebuah fiksi lain—dan mencakup representasi fakta, meniru tampak luar suatu dokumen, tetapi menenun yang riil dan fiktif, penaburan benih keraguan dalam benak penonton tentang objektivitas gambar yang mereka tengah amati. Untuk Jakarta Biennale, Robert memperlihatkan serangkaian foto, hampir seukuran sebenarnya, yang menampilkan sebatang pohon sangat tua dan besar yang telah tumbang di dekat rumahnya. Di Singapura, pohon-pohon dipotongpotong menjadi beberapa penggalan agar mudah dipindahkan. Pemotongan fisik hingga menjadi penggalan-penggalan itu mengilaskan—tapi tidak secara persis berhubungan dengan—bagaimana Robert menyunting dan mengurutkan citra-citra itu. Hal ini mengisyaratkan bahwa mungkin ada cara-cara lain untuk “mengelola” alam, entah itu lewat pihak berwenang maupun seni. [VH]


111

The World Will Surely Collapse, Trying to Remember A Tree (III) | 2017 Fotografi | 14 seri lightbox | 114 x 210 cm Foto: Panji Purnama Putra


112

Shamow’el Rama Surya Fotografer kelahiran Sumatra, Shamow’el Rama Surya, belajar fotografi pada 1990. Ia lulus dari sebuah kursus jurnalistik di Insitut Dr. Soetomo di Jakarta pada 1995. Shamow’el sekarang dianggap sebagai salah satu fotografer paling penting dari generasinya di Asia Tenggara. Buku kumpulan foto pertamanya, Yang Kuat yang Kalah, terbit tahun 1996, mendorong lahirnya satu generasi fotografer Indonesia, termasuk Ng Swan Ti dan Edy Purnomo. Shamow’el Rama Surya sekarang membaktikan hidupnya untuk misi kemanusiaan dan keagamaan. Salah satu rangkaian fotonya yang paling menarik, Yogyakarta: Street Mythology (1998–2000), mencatat perpaduan budaya keagamaan seperti Hindu, Buddha, dan Islam dengan kapitalisme dan aliran kepercayaan yang dipraktikkan di Yogyakarta. Foto-foto ini menampilkan orang-orang dan situasi seakan-akan mereka bukan dari masa sekarang. Setelah kejatuhan Suharto, masyarakat Indonesia mulai menemukan kembali identitas spiritual dan politik, kepercayaan, dan ideologi mereka. Seperti yang disaksikan oleh Shamow’el: masyarakat ini hendak berusaha menciptakan mitologi mereka sendiri. Untuk Jakarta Biennale 2017, Shamow’el akan menampilkan rangakaian foto pilihannya, A Certain Grace (2014), yang dibuat selama sebuah residensi di Papua. Perjalanannya ke Minyambaow, sebuah desa di pegunungan Arfak, sebuah kabupaten di Papua Barat, berawal ketika ia diajak menjadi relawan sebagai pengajar sementara di sekolah menengah di sana. Namun, Shamow’el berupaya menghindari penggambaran kuno orang Papua yang menggunakan pakaian tradisional, yang lagi-lagi mempraktikkan ritual yang menarik wisatawan. Alihalih, ia memusatkan perhatiannya pada kehidupan sehari-hari subjeknya dan pada praktik spiritual dan upacara mereka. Lagi-lagi, perpaduan dan kontradiksi tegas menjadi penting. Ia melambangkan, misalnya, beberapa keluarga mengikuti ekaristi hari Minggu, tetapi ia juga menangkap praktik animisme dalam batasbatas agama pada umumnya. Ia memfoto anak-anak bermain di luar, orang-orang berdoa, atau menari dalam ritus selama misa. Anjing atau babi, yang nantinya akan dimakan, berkeliaran sebagai bagian dari dunia yang ingin ia tangkap, seperti juga anak muda dalam peristiwa olahraga menggunakan kostum klub bola favorit mereka. Ia menangkap rasa penasaran dan hasrat masyarakat Minyambaow untuk ikut andil dalam globalisasi, sementara pada saat bersamaan tempat mereka hidup di tengah lingkungan alam yang liar diganggu dan dieksploitasi oleh globalisasi yang sama. [PP] Shamow’el Rama Surya lahir di Sumatra, Indonesia, pada 1970. Ia peraih penghargaan Photographer

of

fotoMAGAZIN,

Jerman

the

Year

1997

versi

(1988)

dan

telah

menerbitkan banyak buku fotografi, salah satunya A Certain Grace (2015).


113

A Certain Grace | 2015 Fotografi | 10 seri foto masing-masing 78 x 106 cm Foto digunakan atas izin seniman dan Afterhours Books


114

Siti Adiyati

Lahir di Yogyakarta, Indonesia, pada 1951. Ia satu dari sedikit mahasiswi yang terlibat dalam peristiwa Desember Hitam 1974 dan Gerakan Seni Rupa Baru, yang kemudian berpengaruh besar

dalam

lahirnya

seni

kontemporer

Indonesia. Pada 1993 ia menerima gelar Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres dari pemerintah Prancis.

Pada pertengahan 1970-an avant-gardisme seni rupa Indonesia lahir dengan mencetuskan kondisi keobjekan. Tak seperti tradisi lirisisme, yang menegaskan bahwa subjek selalu unggul dan berkuasa atas realitas eksternal, dalam avantgardisme objek-objek menerobos ke luar dari subjektivitas diri seniman. Avant-gardisme ini menawarkan seni konsep dan kekonkretan ide, diusung oleh Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) pada 1975–1979. Motornya adalah sejumlah seniman muda Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, yang sebagian besar laki-laki. Siti Adiyati dan Nanik Mirna (almarhum) adalah dua perempuan di dalam gerakan itu. Eceng Gondok Berbunga Emas merupakan karya Siti Adiyati yang pertama kali dihadirkan dalam pameran kedua GSRBI di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 1979. Pada 1970-an, jurang masyarakat kaya-miskin makin mencolok di Jakarta. Orde Baru telah mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing 1967. Maka, terbukalah kesempatan bisnis baru di kalangan militer maupun sipil. Terjadilah tarik-menarik kekuasaan dan kepentingan antara jenderal-jenderal politik dan kaum teknokrat yang mulai lahir. Kelompok orang kaya baru mulai tampak mencolok. Gaya hidup mewah ditunjukkan secara berlebihan dan kaum pinggiran terlempar dari gelanggang pembangunan. Siti Adiyati menghadirkan ironi semacam itu dalam bentuk sebuah kolam. Ke dalam kolam ia memindahkan tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes) sebagai metafora parasit kehidupan yang berbiak tanpa kendali. Eceng gondok pada karya 1979 diambil dari Kalipasir, Jakarta Pusat, yang dihuni oleh golongan miskin kota. Namun, di dalam kolam juga ada sejumlah bunga mawar plastik berwarna emas yang tampak anggun. Mana yang sungguh-sungguh parasit dalam kehidupan nyata kita? “Pada saat itu harga sekilo beras sama nilainya dengan setangkai bunga mawar plastik di toko. Bunga mawar plastik adalah benda mewah yang mesti diimpor, digemari oleh kalangan atas Jakarta. Sedangkan masyarakat miskin sulit sekali membeli sekilo beras untuk kehidupan sehari-hari mereka. Dan di masa itu tidak ada seniman yang tertarik pada sesuatu yang hidup. Para seniman—kaum laki-laki— hanya tertarik pada benda-benda mati saja,” tutur Siti Adiyati. Dalam Jakarta Biennale 2017, Siti Adiyati memperbesar kolam eceng gondoknya. Kolam Eceng Gondok Berbunga Emas di sini berukuran 20 x 8 meter dengan kedalaman air 30 cm. Seluruh permukaannya ditutupi ratusan eceng gondok dan 1.600-an batang mawar plastik bersepuh emas. Eceng gondoknya berasal dari empang sebuah perusahaan real-estate terkemuka di Jakarta Utara. Harga setangkai mawar plastik ini setara 3 kilogram beras raskin—beras untuk kaum miskin. Perbandingan antara harga-harga kebutuhan pokok dan barang-barang konsumtif menjadi semakin lebar setelah 40 tahun. Karya ini dapat dilihat sebagai sebuah dokumen multitafsir yang merangkum konflik, kegundahan, dan keriangan dalam sebuah kolam. Realitas berubah dan bergerak, tapi ironi tetap muncul mengiringi segenap perubahan itu. [HW]


115

Eceng Gondok Berbunga Emas | 1979 Instalasi | 20 x 8 m dengan kedalaman air 30 cm Foto: Panji Purnama Putra


116

Ugo Untoro

Ugo Untoro lahir di Purbalingga, Indonesia, pada 1970. Ia peraih “Man of the Year 2007” Tempo dan finalis Philip Morris Award (1998).

Ugo Untoro belajar di jurusan seni lukis, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta (1988–1994). Mulai berpameran tunggal sejak 1995 dengan tajuk Corat-Coret di Bentara Budaya, Yogyakarta. Pameran tunggal Untoro yang terkenal, Poem of Blood, telah ditampilkan di Yogyakarta, Jakarta, Shanghai, Hong Kong, dan Roma pada 2007–2009. Apa yang dihadirkan oleh seniman jika karya seni dikatakan sebagai ekspresi jiwa? Apakah jiwa seniman menetap pada objek-objek yang diseleksi atau coratcoret “autentik” di atas selembar kertas? Dapatkah seorang seniman menampik diri sendiri ketika ia memiliki intensi mencipta karya seni? Gagasan mengenai jiwa seniman menggugah gereget artistik Ugo Untoro. Ia pengagum Sudjojono (1913–1986), seniman-perintis modernisme di Indonesia yang merumuskan gagasan seni sebagai “jiwa ketok”. Terkait dengan itu, Ugo tertarik untuk mendiskusikan apa yang substansial hadir dan apa yang hanya secara imajiner terbayang dalam karya seni. Baginya, karya seni ditandai secara maknawi oleh proses artistik yang terus berjalan. Proses itu sebenarnya tidak boleh berhenti menjadi substansi yang ajek atau kalkulasi matematis; proses itu justru menjadi hakiki melalui durasi waktu. Pada Jakarta Biennale 2017, Ugo menampilkan sejumlah lukisan yang diilhami oleh ingatannya akan ibu, sosok yang dia anggap hakiki dalam kehidupan. Dalam perjalanan waktu, relasi dengan yang hakiki ini bisa berubah-ubah. Kejauhan dan kedekatan dengan yang hakiki mewujudkan sesuatu yang dinamis. Relasi itu seperti tarik-menarik antara seniman yang terus berproses mencipta karya seni dan karya seni itu sendiri. Pada suatu saat karya seakan tak dapat dilepaskan dari senimannya, pada saat yang lain karya itu mandiri. Gagasan di atas hadir melalui bonsai. Bagi Ugo, bonsai yang hidup di alam adalah sesuatu yang hakiki. Hakikatnya tetaplah alam, tetapi bonsai juga merelasikan antara alam dan pembuat bonsai; dialog intensif antara subjek dan objeknya. Dialog ini terjadi melalui tahap-tahap fisik (menanam, merawat, menyiram, memangkas, dan sebagainya) sehingga melahirkan sesuatu yang melampaui citra yang tampak. Peristiwa alam yang menghidupkan seperti hujan adalah misteri tak terduga dari semua itu. Tapi, melalui proses dialog dengan objeknya, bukan bonsai atau curahan hujan yang jadi pusat perhatian Ugo, melainkan apa yang dirasakannya selama proses mengamat-amati yang akan berlangsung terus tanpa titik. Kanvas-kanvas Ugo menandai proses peleburan antara subjek dan objek, yang dilakukan dengan cara melukis berulang-ulang objek yang sama, dengan persepsi yang berbeda-beda. Dengan cara itu, Ugo mau menciptakan suatu rangkaian kemiripan melalui sarana-sarana yang justru tidak mirip (to produce resemblance with non-resembling means). Bonsai adalah potret terbatas mengenai alam. Relasi personal antara seniman dan alam memiliki banyak wajah. Kemajemukan relasi itu merupakan tafsir Ugo mengenai jiwa dan ruang-ruang dinamis yang melingkupinya. [HW]


117

Bonsai in the Rain (No. 1-8) | 2017 Cat minyak pada kanvas | 140 x 160 cm Foto: Panji Purnama Putra


118

Willem de Rooij

Willem de Rooij lahir di Beverwijk, Belanda, pada 1969. Ia penerima nominasi Vincent van Gogh Biennial Award for Contemporary Art (2014), nominasi Hugo Boss Prize dari Guggenheim Museum (2004), dan Prix de Rome dari Rijksakademie van Beeldende Kunsten (1996).

Willem de Rooij menggeluti proses-proses produksi, seleksi, interpretasi, dan penggabungan gambar menggunakan beragam media, mulai dari patung, fotografi, film, hingga teks. Melalui penyelidikan dan apropriasi artefak budaya dari jenis yang paling beragam, Willem mencermati sejarah Eropa dan hubungannya yang sering rumit dengan bekas koloni-koloninya. Ia menganalisis kaidah-kaidah presentasi dan representasi dengan membangun tensi antara produksi makna secara sosiopolitik dan otonom. Instalasinya yang kompleks melibatkan tidak hanya arsitektur eksibisi, tetapi juga objek-objek seni dan etnografis dari berbagai koleksi museum, atau karya seni ciptaan seniman lain. Melalui tindakan apropriasi itu sendiri, Willem mengukuhkan ciri spesifik dan artistik objek tersebut dan menampilkannya dalam pameran atau instalasi berskala besar—meminjam katakatanya sendiri: kolase tiga dimensi. Untuk Jakarta Biennale 2017, Willem akan mempertunjukkan Ilullisat, karya instalasi bunyi terbarunya. Ilullisat, yang berarti ‘gunung es’, adalah nama sebuah desa di Disco Bay, Greenland. Pada 1997, Willem dikagetkan oleh lolongan anjinganjing kala senja, saat ia dan seniman Jeroen de Rijke tengah membuat film I’m Coming Home in Forty Days, sebuah film 16 mm yang menyajikan perenungan atas pergeseran warna dan cahaya, sembari mengelilingi gunung es. Hampir dua puluh tahun setelah itu, Willem kembali ke Disco Bay untuk merekam gonggongan kawanan anjing. Selama lebih dari seribu tahun, nelayan setempat sudah menggunakan kereta seret untuk perjalanan melintasi fyord. Lolongan anjing-anjing di Greenland ini berkumandang di dalam ruang pameran yang gelap melalui dua belas pengeras suara. Dimulai dengan seekor anjing mendengking, lolongan sahut-menyahut akan menyusul, memenuhi ruang pameran dan berujung pada beragam kakofoni berupa pekikan, raungan, ratapan, dan gonggongan – semacam doa malam kanina. Terpisah dari sumber aslinya, bunyi dalam instalasi ini anehnya terdengar seperti suara manusia. Willem memanfaatkan rekaman bunyi sebagai bahan mentah untuk karyanya yang secara semantik ambivalen, di mana hubungan antara kesegeraan bunyi dan acuan eksternal dibangkitkan. Bagi Willem, penting kiranya semua informasi lain dikurangi hingga minimal sekali supaya pengalaman penonton akan terkonsentrasi pada satu elemen saja: bunyi. Dalam instalasi ini, tidak ada hal lain kecuali panggilan binatang-binatang itu. Pada saat yang sama, sulit untuk menghindari kecenderungan menghubungkan bunyi itu dengan tema yang lebih luas; ketertarikan Willem pada eksotisme, pertukaran lintas budaya, dan (salah) tafsir yang disebabkan oleh ide tentang “yang eksotis” itu sendiri. [PP]


119

Ilulisat | 2014 Perekam suara digital 12 kanal, pengeras suara, dan kursi | 14’ 30” Foto digunakan atas izin seniman; Galerie Buchholz, Berlin/Köln/New York; Galerie Chantal Croussel, Paris; Regen Projects Los Angeles; Friedrich Petzel New York. Foto: Peter Lipton


120

Wukir Suryadi

Wukir Suryadi lahir di Malang, Indonesia, pada 1977. Riwayat pentasnya yang panjang meliputi kolaborasi bersama I Wayan Sadra, Leo Kristi, Arahmaiani, Melati Suryodarmo, Keiji Haino, Kazuhisa Uchihashi, Damo Suzuki, dan Rabih Beaini.

Selalu mengaku belajar musik secara otodidak, Wukir meninggalkan kota kelahirannya pada 1994 dan nyantrik selama lima tahun di Bengkel Teater di Cipayung yang dipimpin Rendra (1935–2009). Wukir juga belajar pada maestro musik gamelan—tokoh dekonstruksi musik—I Wayan Sadra (1953–2001). Pada 2009, bersama Ilham J. Baday, Wukir berkeliling Jawa Timur dan Jawa Barat, menampilkan seni performans di stasiun, rumah sakit jiwa, alun-alun, sumber mata air, lokasi pembuangan sampah, dan pondok pesantren. Pada 2010, ia membentuk grup Senyawa, bersama Rully Shabara, yang kini membetot perhatian di kancah musik alternatif, Indonesia maupun dunia. Tur melanglang buana (Amerika, Australia, Eropa, Asia, 2016) mengesahkan Senyawa sebagai grup dengan karya-karya di luar area musik—musik yang pramusik sekaligus pascamusik. Di Washington dan Seattle, Senyawa tampil sebagai pembuka dalam Unsound Festival (2016). Pada tahun yang sama, konser tunggal “Senyawa Tanah Air” diadakan di Gedung Kesenian Jakarta. Gagasan mengenai “new music” di Indonesia sudah muncul sejak dekade 1960an. Perlahan berkembang, “musik baru” berkumandang lagi melalui pertunjukanpertunjukan dalam rangka KIAS (Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat, 1993– 1994). Di sana, “musik baru” Indonesia sukses diwakili oleh sejumlah niyaga Jawa dengan perangkat “gamelan baru” (pralon, pipa air, sapu lidi, sampai balon). Jiwa “musik baru” inilah yang kini meledak melalui peristiwa musik Wukir Suryadi. Bagi Wukir, sebagai seniman, yang terpenting adalah kesadaran akan bunyi, yang juga melibatkan unsur penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Dengan demikian naluri musik bisa berkembang seliar-liarnya. Dalam “The Instrument Builders Project” di Melbourne dan Yogyakarta (2013–2014), ia menciptakan karya bertajuk Akar Mahoni (2013) dan Ekologi Gong (2014). Yang pertama adalah instrumen bunyi yang berpangkal pada bonggol akar pohon mahoni yang bermutasi menjadi gitar elektrik, theremin, dan perkusi. Yang kedua, instalasi bunyi yang diinspirasi oleh gong yang digantung rendah di atas kolam kecil untuk memperoleh resonansi suara baru. Pada Jakarta Biennale 2017, Wukir Suryadi menggubah suatu eksperimen sumber dan objek bunyi dari konfigurasi sabuk pelat kuningan. Pelat selebar jari tangan yang panjangnya bermeter-meter ini seakan dawai-dawai raksasa yang menantang potensi bebunyian. Pelat itu terpasang bersilangan pada sebuah dinding lebar. Interaksi antara dinding besar dengan khalayak penonton akan menentukan dengan sendirinya “komposisi” bunyi apa yang akan dihasilkan. Dinding besar, bagi Wukir, menyimpan rahasia-rahasia besar dan keras, menciptakan segregasi, sekat-sekat antara “kami” dan “kalian”. Bunyi yang dihasilkan dari karyanya adalah representasi sesuatu yang tidak kita ketahui. Gaung bunyi objek itu menciptakan situasi dan nada spektral yang kaya dan berbeda-beda; seakan pantulan sekat dan batasan yang ada pada diri tiap audiens karyanya. Wukir menamai karyanya Kehidupan di Dinding Besar Kabarnya Keras (2017). [HW]


121

Kehidupan di Dinding Kabarnya Keras | 2017 Instrumen/ instalasi bunyi | Kuningan, besi, kawat baja, kayu, benang, pickup, sistem suara | 4 x 10 m Foto: Panji Purnama Putra


122

Ximena Cuevas

Ximena Cuevas lahir di Meksiko pada 1963. Ia penerima Certificate of Merit dari Chicago International Film Festival (1993) dan Barbara Aronofsky Latham Memorial Award (2001).

Ximena Cuevas adalah seniman film dan video yang mengamati masyarakat kontemporer di kampung halamannya, Kota Meksiko, dengan pandangan pahitmanis dan penuh gairah. Karya-karya Ximena terutama dikenal karena ironinya dalam menguak mitos-mitos tentang “keluarga kelas menengah khas Meksiko”, adat sosialnya, dan harapan normatifnya berkaitan dengan hubungan heteronormatif dan konsep kecantikan. Video karya Ximena membongkar kemunafikan dan “separuh kebohongan”—begitu ia menyebutnya—mengenai imajinasi kolektif orang Meksiko, melalui parodi penggambaran tradisional mereka dalam budaya populer. “[Karya fotografi Ximena] ekspresif dan inventif, gaya suntingannya lincah lagi berani, dan selera musiknya sempurna. Baik ketika pokok permasalahannya percintaan lesbian ataupun kebanggaan kejantanan heteroseksual, ini panduan yang belum ada tandingannya,” tutur kritikus B. Ruby Rich pada 1998. Sejak usia tiga belas tahun, selama periode dua tahun Ximena terbiasa menonton sekitar empat film dalam satu hari. Ketika menginjak usia enam belas tahun, ia membesut film-film lama di Cineteca Nacional di Kota Meksiko. Dua tahun kemudian ia bekerja sebagai asisten seni dalam proyek Missing yang digagas oleh sineas Costa Gavras. Akhirnya, Ximena belajar perfilman di New School for Social Research dan Columbia University di Kota New York. Pada 1980-an, Ximena menjalani aneka rupa pekerjaan, mulai dari pengawas naskah hingga asisten sutradara, dari penata gambar hingga pemain figuran, untuk lebih dari dua puluh film, termasuk Under the Volcano oleh John Huston (pengawas naskah dan asisten produksi), The Falcon and the Snowman oleh John Schlesinger (asisten penata gambar dan figuran), Mentiras Piadosas oleh Arturo Ripstein, dan Encuentro Inesperado oleh Jaime Humberto Hermosillo (asisten sutradara). Setelah membeli sebuah kamera video film 8mm pada 1991, Ximena mulai fokus pada karyanya sendiri. Ia mulai terobsesi dengan hal-hal kecil yang terjadi sehari-hari. Cuplikan-cuplikan video kanal-tunggal karya Ximena membahas lapisan kebohongan dan kontradiksi yang menyelubungi representasi realitas seharihari. Secara sistematis, Ximena menyelidiki khayalan-khayalan identitas nasional, kolonisasi imajinasi massa, dan hal-hal yang dianggap tabu dalam hubungan gender. Melalui itu semua, ia mendefinisikan ulang makna film dokumenter dengan humor. Untuk Jakarta Biennale 2017, Ximena membuat montase baru yang merupakan gabungan dari found footage (rekaman yang hilang dan ditemukan ulang) dan gambar-gambar karyanya sendiri; menyeberangi realitas menuju fiksi dan kembali lagi, sementara pada saat yang sama menyajikan semacam foto-diri yang melodramatis. Dalam sebuah montase yang terlihat begitu hidup—sebagian besar berkat sumbangan iringan musik—Ximena menguak keahlian beragam jenis “pemain” yang ditampilkan dalam citra termediasi: dirinya sendiri, para aktor telenovela, atau orang biasa dari segala jenis latar belakang, yang dipanggungkan dalam genre paling beragam yang pernah ada dalam dunia hiburan televisi. [PP]


123

Preview 01 Jakarta Biennale | 2017 Video | 68’ Foto diambil dari video dan digunakan atas izin seniman


124

Yola Yulfianti

Yola Yulfianti lahir di Jakarta, Indonesia, pada 1981. Selain menerima Pearl Winner Award dalam, Tanz Film Pool Festival, ia meraih Hibah Cipta Perempuan Kelola (2014).

Yola Yulfianti mulai belajar tari tradisional sejak duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Ia menamatkan studi dalam bidang seni tari di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada 2004 dan bidang seni urban dan industri budaya di kampus yang sama pada 2011. Untuk tugas akhirnya dalam program pascasarjana, Yola membuat Suku Yola, sebuah film di mana ia menciptakan sukunya sendiri sebagai tanggapan terhadap klaim identitas yang semakin dibekukan. Yola menerima Pearl Winner Award atas film tersebut pada Internationales Tanz Film Pool Festival. Sudah sejak lama ia merasa keterasingan profesinya dari masyarakat yang menginspirasi karyanya. Pada 2012, Yola mendapatkan tawaran untuk bergabung dengan sebuah proyek di kawasan kumuh Penjaringan, Jakarta Utara. Proyek ini menjadi pengalaman yang membukakan mata karena ia berkesempatan untuk menyelidiki masalah kelangkaan air bersih melalui karyanya, Payau #2 Waterproof. Lalu tidak ada jalan kembali. Sejak itu, Yola mulai mengamati kesulitan-kesulitan bertahan hidup di pusat kota besar seperti Jakarta melalui kepekaan tubuh seorang penari. Gagasan yang melandasi karya-karya Yola adalah persepsi tentang kota besar sebagai panggung yang diliputi kekacauan—arena di mana hubungan antara ruang kota dan tubuh manusia dipenuhi ketegangan, bahkan kondisi saling menampik. Dalam kehidupan sehari-hari di kota, tubuh bahkan bisa “lenyap”. Para pengendara motor, contohnya, melindungi tubuh mereka dengan helm, jaket berlapis, kacamata hitam, dan masker wajah. Mereka yang mengendarai kendaraan roda empat menutup jendela kendaraan yang berlapis stiker gelap dan menghibur diri dengan teknologi audio-visual terbaru. Alhasil, realitas hidup yang mengelilingi para penduduk kota, yang beraktivitas secara terburu-buru tersebut, dapat lenyap tanpa sepengetahuan kita; penduduk kota hidup di tengah hutan kota, tetapi menghindari realitas kehidupan di sekeliling mereka. “Di jalan seolah-olah tidak ada orang lagi. Satu-satunya yang kulihat adalah patung-patung yang bergerak,” kata Yola. Bagi tubuh seorang penari, sebuah metropolis atau megapolis merupakan miseropolis—sebuah kota yang sarat penyiksaan tubuh. Pada Jakarta Biennale 2017, Yola Yulfianti menyajikan instalasi, Pasar Senen Kampung Melayu (2011), yang dibuat berdasarkan riset S3-nya di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Instalasi ini menampilkan beberapa karakter yang terlihat seperti avatar video game yang mengeksplorasi kompleksitas ruang kota. Para penari mengimprovisasi adegan yang seperti mimpi; menciptakan ruang di mana manusia dapat berinteraksi di jalan antara Kampung Melayu dan Pasar Senen—dua wilayah Jakarta yang sibuk. Kemungkinan-kemungkinan tubuh sebagai media ekspresi bertemu dengan teknologi media digital. Terciptalah narasi abstrak gaya bebas yang menyingkapkan gejala-gejala visual dari perkawinan mematikan antara subjek dan sistem sebuah kota, dalam semacam pesta jalanan. [PP/HW]


125

Kampung Melayu-Pasar Senen PP | 2017 Video tarian dengan 8 lapis kain tile berbagai ukuran | 7 Bagian | 50’ 23� Atas: instalasi; foto: Farid Burhanudin Bawah: foto diambil dari video, digunakan atas izin seniman


126

Komunitas Bissu Pada masa pra-Islam, suku Bugis merujuk pada kaum bissu sebagai elemen permanen agama. Bissu dianggap sebagai pendeta Bugis, pemuka adat, dan sosok yang agung sebab mampu mengalami dua alam (alam makhluk dan alam roh) serta memiliki dua gender manusia (perempuan dan lelaki). Peran bissu pada periode pra-Islam sangat penting terutama untuk mendoakan kesuburan padi agar hasil panen baik. Secara umum, bissu berperan sebagai pelaksana ritual budaya. Peran ini terkait mitos penciptaan bissu yang “dianggap sebagai bagian penting dalam menjaga keseimbangan kosmis”. Hingga kini peran tersebut masih dijalankan bissu. Bissu telah dikenal pada abad ke-9 Masehi melalui Sure’ Galigo, manuskrip anonim yang memuat kisah-kisah puitik. Sumber-sumber Portugis yang ditulis pada abad ke-16 menjelaskan identitas bissu sebagai wadam yang biasanya berperilaku homoseksual. Bissu, secara biologis bisa berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Pada umumnya, bissu bergender calabai, yakni secara biologis laki-laki namun melakukan peran dan fungsi perempuan dalam beberapa hal. Identitas gender bissu terbentuk dari aspek spiritualitas dan pemahaman terhadap tubuh. Bissu hidup dan tinggal di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, salah satunya di Kabupaten Pangkep, sekira 60 km dari kota Makassar, Sulawesi Selatan. Sebelum 2011 komunitas bissu tinggal di bola arajang (rumah tempat penyimpanan benda pusaka) di Segeri, Pangkep, bersama pemimpin bissu, Puang Matoa Saidi. Di bawah kepemimpinan Puang Matoa Saidi komunitas bissu dikenal khalayak yang lebih luas. Ia mampu membaca lontara Bugis Kuno dan menjadi penutur kronik Sure’ Galigo. Para bissu sering diminta untuk melakukan pergelaran Ma’giri’ di peristiwa kesenian dan kebudayaan, pariwisata, hingga acara politik. Pergelaran Ma’giri’ memperlihatkan kekebalan tubuh bissu yang mulanya berfungsi sebagai ritual untuk terhubung dengan dewata. Pergelaran Ma’giri’ kemudian mengalami pergeseran fungsi, tidak lagi sebagai ritual semata namun dijadikan komoditas hiburan dan pariwisata yang mendatangkan nilai ekonomi. Pergeseran fungsi ini mengakibatkan terjadinya perubahan kebudayaan pada kehidupan bissu. Setelah Puang Matoa Saidi meninggal dunia pada 28 Juni 2011, kehidupan komunitas bissu mengalami kemunduran. Komunitas bissu terpecah menjadi kelompok bissu yang dianggap “murni”, yang melaksanakan ritual Ma’palili’ dan Ma’giri’, dan kelompok bissu yang disebut tidak murni sebab telah dilepas kebissu-annya karena melanggar syarat sebagai bissu atau sebab tidak sepenuhnya memenuhi syarat untuk menjadi bissu. Bissu Juleha yang ditunjuk menjadi puang matoa menolak dilantik secara resmi. Ia merasa belum siap sebab, bila telah resmi sebagai puang matoa, ia harus tinggal di bola arajang sementara tak ada jaminan dari pemerintah untuk biaya kehidupan sehari-hari. Kini bola arajang kosong tak berpenghuni dan komunitas bissu tak memiliki puang matoa. [SF]


127

The Last Puang Matoa | 2017 Performans | 5 - 20’ | Atas: foto diambil dari video, digunakan atas izin Shinta Febriany Bawah: dokumentasi performans, foto: Panji Purnama Putra


128


129

Perlu sebuah tulisan tersendiri untuk art brut, istilah yang merujuk pada penciptaan karya oleh seniman otodidak, anak-anak, dan masyarakat terbuang, yang di antaranya mengidap penyakit mental. Sejak zaman keemasan psikiatri modern (Charcot), dokter-dokter di institusi penyakit mental sudah mengumpulkan karya seni para pasien mereka dan menggunakannya sebagai bahan sumber dalam kerangka proses diagnosis. Max Ernst, Paul Klee, André Breton, Jean Dubuffet, Dr. Walther Morgenthaler, dan buku-buku karya sejarawan seni dan dokter, Hans Prinzhorn; semuanya menyajikan karya seni yang hingga kini masih dianggap bahan medis atau keanehan dalam konteks seni. Para seniman avant-garde sudah dari awal abad ke-20 paham bahwa karyakarya tersebut adalah bukti naluri artistik yang sejatinya muncul dari alam bawah sadar psikologis. Mereka juga menghargai akar spontanitas, prakebudayaan, dan prabahasa karya-karya tersebut. Prinzhorn (1921) menunjukkan kedekatan formal karya pasien penyakit mental dengan budaya prasejarah dan primitif, sekaligus gerakan ekspresionisme masa itu. Maka, ia memperluas apropriasi antropologis topeng-topeng Iberia dan patung-patung Afrika yang dilakukan oleh para penganut aliran kubisme. Prinzhorn juga beranggapan bahwa sketsa-sketsa pengidap penyakit mental, yang ia kumpulkan dari seantero Jerman dalam sebuah koleksi di rumah sakit jiwa di Heidelberg, menggambarkan cerapan kenyataan yang terasing oleh sebab suatu penyakit. Sementara itu, karya para seniman avant-garde adalah peralihan sadar dari citraan lazim atas kenyataan dan menjadi pembuktian atas kecenderungan “kemerosotan” Diri. Setelah Perang Dunia II, art brut terus menarik perhatian dan dipopulerkan dengan penuh semangat oleh Jean Dubuffet, yang sudah mengumpulkan koleksi besar yang ia sumbangkan untuk kota Jenewa. Michel Ragon (pameran Art Brut, Naivism and Proletarian Literature, 1948) menampilkan karya-karya art brut bersamaan dengan karya ciptaan buruh tak berpendidikan dan pelukis naif. Gerakan antipsikiatri dan karya Michel Foucault dalam History of Madness mengubah paradigma sakit dan kesehatan mental, yang pada gilirannya mengubah definisi normal pula. Dalam bukunya, The Divided Self (1960), R. D. Laing, salah satu pelopor gerakan antipsikiatri, menyatakan: “Orang yang lebih baik mati daripada jadi Merah itu normal. Orang yang bilang jiwanya sudah hilang adalah gila. Orang yang bilang bahwa manusia adalah mesin mungkin ilmuwan hebat. Orang yang bilang bahwa ia adalah mesin, dalam istilah psikiatri, ia sudah ‘didepersonalisasi’. Orang yang bilang bahwa bangsa negro adalah ras rendah mungkin amat dihargai. Orang yang bilang putih kulitnya adalah semacam kanker bisa diandalkan.

Art Brut, Seni Orang Terbuang


130

Perempuan kecil di rumah sakit jiwa berkata kepadaku ia takut karena ada bom atom di dalam tubuhnya. Itu delusi. Negawaran dunia yang jumawa, yang mengancam menggunakan senjata Kiamat, lebih berbahaya dan jauh lebih terasing dari ‘kenyataan’ daripada banyak orang yang disebut-sebut menderita 1. R.D. Laing, The Divided Self, An Existential Study in Sanity and Madness, 2. ed., (London, Penguin Books, 1964), p. 11-12

2. Jacques Lacan, “The Mirror Stage as Formative of the Function of the I as Revealed in Psychoanalytic Experience”, dalam Ecrits: The First Complete Edition in English, (New York, Norton, 2007), p. 75-82

3. Pengarang: Eva Kot’átková.

‘psikosis’.1

Imbauan Laing tentang “akal sehat” bukan berarti bahwa orang berpenyakit mental tidak ada. Sebaliknya, ia menekankan bahwa “normalitas” nilai-nilai, norma-norma masyarakat pascaperang yang didukung oleh badan-badan kuasa, pengawasan, dan pengendalian— dari kacamata akal sehat—berada di luar batas-batas kegilaan. Niscaya opini Laing bukan satu-satunya. Di sini kita bisa mengangkat contoh latar belakang ontologis pemikiran semacam itu dari tulisan awal Lacan, The Mirror Stage as Formative of the Function of the I as Revealed in Psychoanalytic Experience (1936). Lacan melacak keterpisahan Aku dan citranya di cermin, yang bisa terjadi pada bayi berusia enam bulan: “Maka, demikianlah, fungsi penguasaan—yang selama ini kita kira fungsi sintesis ego—atas dasar keterasingan libidinal, menentukan pertumbuhan yang mengikutinya, yaitu, apa yang pernah saya sebut prinsip paranoia pengetahuan manusia.”2 Lacan memosisikan keterasingan jauh pada awal pencerapan manusia atas dunia (pengakuan citra diri di cermin: aku sebagai yang Lain), dan memantau bahwa pemisahan ini, sebuah perceraian “paranoid”, selalu menjadi atribut instrinsik pengetahuan manusia sampai mati dan pada umumnya. Sejak pertengahan 1990-an, pendekatan museum dan institusi seni di Eropa dan Amerika Serikat telah berubah; mereka pun mulai tertarik memamerkan art brut. Pada tampilan Portraits of Ancestors dan beberapa pilihan karya Dwi Putro Mulyono, atau Pak Wi, tim kurator mendukung satu tradisi avant-garde yang menolak pemisahan disipliner yang ditentukan oleh pembatasan normatif atas kesehatan mental. Karya-karya Ni Tanjung dan Pak Wi harus dimaknai dalam konteks ini: karya yang pada dirinya sendiri adalah pengejawantahan kuasa estetik. Di sisi lain, dalam pameran ada beberapa seniman yang terkait dengan perspektif berlawanan dengan pandangan di atas, yang diusung oleh gerakan antipsikiatri dan pendekatan sejenis. Jalur pelarian dari “paranoia kenormalan” adalah perubahan radikal manusia yang didorong oleh evolusi—ini diajukan oleh sebuah performans, In the Memory of Birds (2017). 3 Performans ini berkisah tentang hasrat seseorang untuk berubah menjadi burung. Selama pameran berlangsung, para pelaku performans, sejalan dengan motivasi sadar dan setengah sadar mereka,


131

akan menerapkan hasrat ini seiring waktu. Pakaian dan pernak-pernik mereka tidaklah berbeda dari para pengunjung pameran, yang tidak boleh mereka lakukan hanyalah bicara. Dalam ruang pamer, sebatang pohon disesuaikan dengan persyaratan fisiologis mereka, menjadi tempat berjumpa dan berlindung. Perceraian adalah proses psikologis saat sang subjek melepaskan diri dari dunia nyata dengan intensitas yang berbeda-beda; dalam perwujudan paling ringannya, bisa jadi wujudnya adalah lamunan. Mungkin itulah langkah pertama dalam pencerapan pemirsa atas Krasnobrodzka 13/ Gotong Royong WspĂłlna Sprawa (2017), 4 salinan naturalistis sebuah koridor dan anak tangga di dalam sebuah gedung, bagian dari blok di sebuah jalan di Warsawa dengan nama yang sama seperti judul karya ini. Bagaimana lagi kita harus melihat fakta bahwa sebagian interior bangunan dari ibukota Polandia parkir di Jalan Taman Fatahillah di Jakarta, Indonesia? Sepertinya, seni pula yang mengubah kenyataan dan norma-normanya sekaligus memperluas ruang kebebasan bagi masyarakat. Vit Havranek

4. Pengarang: Paweł Althamer.


132

Dwi Putro Mulyono (Pak Wi)

Dwi Putro Mulyono Jati mengidap skizofrenia tapi telah menerima banyak penghargaan dari Museum Rekor Indonesia, di antaranya dalam acara melukis selama empat hari berturutturut tanpa tidur. Melukis membantunya menghadapi kesehatan mentalnya.

Pencitraan Pak Wi persisnya bukanlah gambar yang teridentifikasi dengan baik, melainkan lebih merupakan hasil obsesi kompulsif. Pak Wi tidak menciptakan representasinya; ia meminjam representasi, atau lebih tepatnya, meminjam citra yang ia garap ulang secara khas hingga membangkitkan intensitas baru. Jika ia merepresentasikan gambar Bunda Maria, misalnya, Pak Wi tidak tahu apa yang harus disimbolkan oleh representasi Bunda Maria itu. Ia hanya “tahu�, secara intuitif, bahwa representasi Bunda Maria memiliki makna. Dan kesan itulah yang diterjemahkan karya-karyanya dalam tampilan menghantui, ikon-ikon disederhanakan, dan, lebih dari segalanya, warna-warna mencolok. Yang paling menonjol dari karya Pak Wi adalah gambar mata yang hampa dari segala cerlang, terpaku, memancarkan gelap yang dalam—seolah lukisan adalah cara untuk meredakan kekerasan yang terpendam. Dwi Putro Mulyono, akrab disebut Pak Wi, terlahir dalam keluarga Katolik Jawa di Dukuh, Gedongkiwo, Yogyakarta. Sebagai anak kedua tertua dari 10 bersaudara, Pak Wi lahir prematur; inilah sumber spekulasi tentang asal-usul gangguan skizofrenianya. Walaupun begitu, selama kanak-kanak, Pak Wi tidak menunjukkan gejala gangguan kejiwaan apa pun, kecuali bahwa ia lebih menyukai kebersihan, lebih disiplin, dan cenderung membuat permintaan yang harus dituruti, yakni harus duduk di kursi yang sama, minum dari gelas yang sama, dan menyimpan pakaian di dalam lemari yang sama. Selebihnya, Pak Wi sama seperti anak kebanyakan; senang menggambar di atas kertas dan mengendarai sepeda. Namun, menginjak 10 tahun, Pak Wi tidak berhasil naik kelas dari kelas tiga sekolah dasar. Menutup diri dari lingkungan sekitar, ia mulai menderita gangguan pendengaran dan wicara. Dipindah ke sekolah luar biasa, kondisinya kian memburuk, terutama setelah cintanya ditolak oleh seorang gadis Sunda. Pak Wi berhenti sekolah. Saat itu ia sudah kerap mengalami ledakan emosi dan menutup diri. Baru pada usianya yang ke-18, orangtuanya membawanya menemui psikiater, yang mengeluarkan diagnosis skizofrenia. Ketika tidak sedang bermain dengan sepedanya mengelilingi kampung, Pak Wi akan tinggal di rumah, terpaku memperhatikan gambar-gambar, atau memarahi adiknya. Pak Wi juga sering menghabiskan waktu menonton wayang di Semail, Bangunharjo. Setelah orangtuanya meninggal pada 1996 dan 1997, Pak Wi berkeluyur di jalanan Yogyakarta, bertahan hidup dari puntung-puntung rokok yang ia jumput di sisi jalan. Adik laki-lakinya, Nawa Tunggal, tak sampai hati melihat kondisinya dan memutuskan untuk membantu. Ia beri Pak Wi, pertama-tama, kertas, kemudian kanvas dan pewarna. Ia berhasil. Sampai sekarang, Pak Wi telah menghasilkan ribuan lukisan, dan terus menghasilkan yang baru setiap hari. Nawa Tunggal memasok foto-foto dasar; dari foto-foto tersebut, Pak Wi akan mengambil satu atau dua karakter. Kemudian Pak Wi mengubah gambar pinjaman ini menjadi kontur-kontur sederhana dari sosok-sosok sama yang dihantui dan menghantui; mata tajam yang menyorot, garis pinggir yang gelap dan tebal—selalu mata yang sama, dengan iris pada posisi terpaku. Pak Wi juga membuat lukisan persegi kecil. Nawa Tunggal memasang-masangnya dalam satuan yang terdiri atas 25 lukisan potret atau lebih yang berukuran sama. Baris demi baris mata yang terpaku menonjol dari wajah-wajah berwarna mentah dan berkontur gelap. Dalam pengulangan garis kontur yang sama ini, penuh oleh tipe warna mentah yang sama dari mana mata yang sama terlihat menonjol, apa yang kita tangkap adalah kesunyian dramatis laki-laki itu. [JC]


133

Another Soul | 2014 Akrilik di atas Kanvas | 21 lukisan, ukuran bervariasi Atas: instalasi lukisan. Foto: Panji Purnama Putra Bawah: detail lukisan. Foto digunakan atas izin seniman


134

Ni Tanjung

Bila terpikir tentang Ni Tanjung sekitar November 2017, satu-satunya hal yang terlintas dalam benak adalah takdir: ia tidak lagi di dalam ruangannya yang “kotor dan bau”, di rumahnya yang nyaman, di Desa Budakeling. Ia sekarang pengungsi di Denpasar, di mana ia mulai menggunting-gunting kardus lagi dan menggunakan cermin miliknya untuk melihat, bukan dirinya sendiri, melainkan dunia di belakangnya. Memang, Gunung Agung yang akbar itu sudah mulai bergemuruh lagi. Bagi Ni Tanjung dan mayoritas masyarakat Bali, Gunung Agung bukan hanya bongkahan batu dan lava; gunung itu kediaman para leluhur. Leluhur adalah alasan mengapa orang mempersembahkan sesaji di pura milik keluarga setiap hari; merekalah almarhum yang diajak bermusyawarah ketika masalah muncul; mereka orangtua atau anak-anak yang, saat meninggal, dibantu untuk mencapai status leluhur. Ya, mereka ada di mana-mana. Dan bagi orangtua, anak laki-laki atau sentana paling penting dalam proses menjadikan seseorang sebagai leluhur. Ni Tanjung sudah menjadi istri muda ketika Gunung Agung terakhir kali meletus pada 1963. Kampungnya berhasil selamat dari amukan Gunung Agung dan hidup Ni Tanjung pun berlanjut seperti biasa. Sekitar 1950, Ni Tanjung telah memiliki seorang anak perempuan, yang masih hidup, tetapi ia mengharapkan seorang sentana. Setelah melahirkan seorang anak perempuan lagi pada 1965, yang segera meninggal, Ni Tanjung melahirkan dua anak laki-laki yang kemudian meninggal secara berturut-turut pada 1967 dan awal tahun 1970. Ia tak kuat lagi. Tumbuh besar dalam bayang-bayang kediaman para leluhur yang ia sebut dalam doa-doanya setiap hari, Ni Tanjung hancur ketika harapan memiliki anak laki-laki pupus bersama kematian anak terakhirnya. Namun, obsesinya tidak goyah, hanya mengalami pergeseran dari pemberian sesaji berupa makanan, nyanyian, dan tarian menjadi perwujudan leluhur yang artistik. Bermula pada akhir 1990an, untuk pertama kali Ni Tanjung membuat sebuah gundukan dari batu-batuan vulkanis. Seorang seniman, Made Budhiana, mendapati “instalasi” karyanya dan menyediakan pewarna. Seiring berjalannya bulan dan tahun, gundukan itu membesar, batu demi batu tertata, menjelma wajah-wajah aneh: para leluhur. Ni Tanjung tengah membangun simbol sang gunung suci. Secara kebetulan, seorang ahli museum dari Swiss, Georges Breguet, telah mulai membuat karya Ni Tanjung menjadi pusat perhatian dunia art brut Eropa. Ia tahu bahwa para seniman art brut sebenarnya “melakukan sesuatu”. Mereka tidak tahu mengapa dan tidak sungguh-sungguh tahu bagaimana, tetapi mereka “melakukan sesuatu” secara kompulsif. Maka, Georges memberikan kardus dan gunting kepada Ni Tanjung, juga meminta seorang asisten mengunjungi Ni Tanjung untuk memberikan dukungan dan bahan-bahan yang diperlukan. Jadilah, sembari mengoceh dalam bahasa pseudo-Bali yang campur aduk, atau menyanyikan semacam wargasari kidung untuk dewa-dewa, Ni Tanjung kembali merekonstruksi dunia dewa, para leluhur, dan bahkan beberapa titan bertaring tajam serta makhluk mitologis. Ni Tanjung tidak terobsesi dengan kekerasan, keluarga, atau dunia modern di luar sana. Ia terobsesi dengan dunia arketipe Bali dahulu kala, ketika gunung dan dunia para leluhur masih menguasai alam pikiran orang-orang Bali. Ia memerlukan kehadiran seorang anak laki-laki untuk mengantarkan jiwanya, suatu hari, dalam perjalanan kembali ke dunia para leluhur. Ia masih menanti, dengan kardus dan pensil warna dalam genggaman. [JC]


135

Dunia Leluhur (Rakitan nomor 20) | 2017 Krayon di atas kertas | ukuran bervariasi Karya digunakan atas izin Georges Breguet. Foto: Jin Panji Purnama Putra


136

Retrospeksi: Menimbang Kembali Sejarah Dolorosa Sinaga Hendrawan Riyanto I Wayan Sadra Semsar Siahaan


137

Studio Dolorosa Sinaga. Foto: Adi Priyatna

Dolorosa Sinaga Dolorosa Sinaga belajar seni rupa di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ (1971–1977); kini Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Pada 1980 ia memperoleh beasiswa pascasarjana dari British Council untuk belajar seni patung di St. Martin’s School of Art dan lulus pada 1983. Ia kemudian belajar cetak pasir kuarsa di Art Department Sonoma State University (1985), perunggu serta patinasi di Piero Art Foundry, Berkeley (1985) dan Maryland University (1990), serta life casting di San Fransisco Art Institute (1987).

Arsip, objek studi, karya


138

Pameran tunggal pertamanya yang berskala retrospektif bertajuk Have You Seen A Sculpture from the Body dan diselenggarakan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta (2001). Pada 2008 ia menyelenggarakan lagi pameran tunggal di tempat sama dengan tajuk persis sama. Sejak 1983 ia mengajar di jurusan seni patung, IKJ. Dolorosa tak bisa dipisahkan dari berbagai aktivisme yang melibatkan para seniman dan cendekiawan muda, khususnya di Jakarta. Ia salah seorang seniman yang menginisiasi terbentuknya Jaringan Kerja Budaya pada pertengahan 1990-an dan pertemuan berkala Diskusi Bulan Purnama yang menempati studio kerjanya—membahas berbagai masalah seni, sosial, dan politik di Indonesia. Ia juga terlibat aktif dalam upaya-upaya International People’s Tribunal (sejak 2015) untuk mengungkap berbagai fakta dan kebenaran mengenai korban-korban pembantaian peristiwa 1965. Patung-patung sosoknya, yang sebagian besar menampilkan figur perempuan, adalah wujud lain komitmen Dolorosa dalam bidang sosial dan hakhak asasi manusia. Sensibilitasnya yang kuat terhadap patung figur berkembang melalui studi atas struktur anatomi tubuh manusia yang dilihat dari luar (sosok tubuh) ke dalam (jejaring otot), dan sebaliknya, dari dalam ke luar. Pemahaman yang tepat mengenai hal itu adalah landasan utama penciptaan mikrogestur patung-patung Dolorosa yang terperinci. Ia adalah perintis perkembangan seni patung modern di Indonesia yang menekankan gestur ekspresif bahasa tubuh manusia sebagai ungkapan emotif yang mendalam. “Figur adalah sumber inspirasiku yang tak pernah kering,” kata Dolorosa. Menggubah figur adalah menghidupkan emosi manusiawi melalui segumpal materi pejal patung, bahkan menggali passion atau pathos-nya yang meledak ke luar dari susunan tulang dan gumpalan daging. * Hampir semua patung Dolorosa bersosok perempuan dan bercitra rakyat jelata. Sosok-sosok itu tampil sebagai figur tunggal maupun dalam bentuk konfigurasi dramatik tertentu. Bagi Dolorosa, ungkapan bahasa tubuh perempuan merepresentasikan peristiwa kemanusiaan dan gugatan atas ketidakadilan. Perempuan, melalui bahasa tubuh yang terstrukturkan dari sisi “dalam”, adalah simbolisme duka sosial. Jika para pematung modern di sekitarnya tampak tekun mencipta bentuk yang seakan menjadi terminal terakhir untuk sesuatu yang paripurna, Dolorosa justru menyeberang dari khazanah realisme yang normatif semacam itu. Bentuk patung mulus, gubahan selesai, permukaan halus, dan gestur yang seakan-akan muncul dari cetakan adalah konvensi patung modern yang ditentangnya. Pun jika para seniman bermimpi tentang patung-patung berukuran besar yang menuntut ruang lebar dan luas—hasrat untuk menjadi monumental atau agung— Dolorosa justru meyakinkan kita, bahwa apa yang penting bukanlah kebesaran atau proyek gigantik. Terhadap lingkungan seperti itu, Dolorosa menawarkan kepada kita penglihatan yang intens, gubahan penuh simbol, dan bahasa yang lebih wajar, membumi. Maka, lahirlah seri patung penarinya yang membangkitkan renungan


139

Instalasi studio, arsip, dan karya. Foto: Panji Purnama Putra

akan isi dan gestur bermakna, bukan pameran otot dan kebesaran sosok monumental. Terhubung dengan segala sesuatu yang kecil dan menggugah menunjukkan lingkup kehidupan Dolorosa yang sesungguhnya. Di situlah letak kekuatan patung-patung Dolorosa. Ia seolah-olah memahami bahasa patungnya, figur-figur yang mengatakan kepada kita bahwa mereka adalah manusia di sekitar kita; manusia yang dipercakapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka, kita melihat sejumlah patung kecilnya yang memiliki kekuatan dan daya ekspresi yang besar, yang melampaui bentuknya sendiri. Patung ibu-ibu—rakyat jelata—yang kurus, menadah, bunting; atau patung penyair Wiji Thukul yang kurus kering dengan kepalan tangan kecil dan punggung bungkuk seakan ingin duduk sama rendah dengan orang-orang kecil yang dibelanya. Juga patung Gus Dur yang tiduran, terkekeh dengan pandangan bebas. Pada itu semua, kita melihat kesatuan dan keutuhan ekspresi


140

Seri patung Soekarno di Museum Sejarah Jakarta. Foto: Panji Purnama Putra

patung-patung Dolorosa; dan dengan itu mereka menggugat dan menggugah kepekaan sosial kita. Tanpa terpaku pada bentuk dan permukaan yang sekadar mulus atau realistik, Dolorosa justru menciptakan sesuatu yang “hidup� melalui rupa kasar, yang di sana-sini penuh dengan tekanan, tarikan, dan helaan; yang mengingatkan kita pada keseharian dan kebersajahaan, juga ketidaknyamanan. Kepala-kepala patungnya yang terbaik condong rebah ke samping, memberikan gambaran kelelahan bercampur rasa putus asa. Kelenturan ekspresinya mencerminkan daya kemanusiaan yang kuat, terkadang mengenai harapan yang masih ada, di kesempatan lain terkait batas antara hidup dan mati. Kita temukan pada raut wajah figur yang tak menentu itu semacam sumur kecil, sesuatu yang gelap dan bolong. Kekuatan ini hampir ada pada semua patung ciptaan Dolorosa. Saat tangannya menyapu wajah dan tak jarang membuatnya nyaris rata, ia memberi tekanan lebih pada ceruk kecil di suatu tempat. “Aku mencoblosnya begitu saja, dan itulah mulut patungku,� katanya. Lubang kecil itu menyarankan situasi kemanusiaan yang ingin dikatakannya. * Pada Jakarta Biennale 2017, Dolorosa menampilkan sejumlah patung figur Sukarno dalam ukuran manusia. Namun, tidak seperti monumen tentang Sukarno yang umumnya ditampilkan dengan pose lebih tenang, Dolorosa dengan kekhasannya menghadirkan gestur-gestur dinamis tokoh proklamator ini di sepanjang karier politiknya. Ia mengidentifikasi monumen-monumen di Jakarta era Sukarno, yang justru bukan berwujud Sukarno, sebagai penanda gestur khas milik Sukarno. Misalnya, patung Selamat Datang di bundaran Hotel Indonesia untuk menyambut pesta olahraga Asian Games IV di Jakarta (1962) dan monumen Pembebasan Irian Barat (1963). Inilah gestur khas Sukarno yang menggelorakan


141

Studio Dolorosa Sinaga. Foto: Adi Priyatna

semangat dan mengandung spirit menjebol atau “revolusioner”. Dolorosa tidak sekadar membuat monumen, ia memberi napas semangat hidup Sukarno pada patungnya. Sukarno memang selalu membutuhkan panggung. Di mata sejarawan, bangunan dan monumen-monumen di Jakarta tak lain adalah pemanggungan diri Sukarno. Ada banyak panggung yang telah diciptakan oleh Sukarno di luar kejeniusan pandangan politiknya. Bidang seni dan kebudayaan adalah panggungnya yang tak kalah besar. Yang terakhir ini jelas terbukti dari warisannya berupa ribuan koleksi benda seni, yang kini menjadi koleksi Istana Negara Republik Indonesia. Melalui ketertarikannya pada pose, makna, dan kedinamisan gestur Sukarno, Dolorosa mempersembahkan panggung bagi tokoh ini sebagai ingatan sosial atau memori sejarah. Gestur khas Sukarno lahir saat berorasi, tatkala berpose di depan koleksi seninya, dalam situasi khidmat religius, dan pada monumentalitas sejumlah karyanya. Bagi Dolorosa, secara simbolis gestur-gestur historis Sukarno dibutuhkan untuk menemukan lagi jiwa merdeka tokoh ini, inspirasi yang tak lekang bagi bangsanya. Sosok ini adalah roh bangsa yang inspiratif bagi gerakan perlawanan demi kedaulatan bangsa—yang hampir tak tergantikan hingga kini. Dalam rangka “Menimbang Kembali Sejarah”, untuk menyajikan jejak, karya, dan perjalanan seniman secara retrospektif, representasi Dolorosa di dalam Jakarta Biennale 2017 juga muncul melalui panggung totalitas proses kerjanya selama ini. Berbagai studi artistiknya yang mendalam mengenai penggunaan material lilin, kertas, tanah liat, dan plastik, juga rancangannya untuk karya-karya seni di ruang publik bisa kita saksikan di studionya. Representasi ini disajikan dengan memindahkan seluruh isi Studio Somalaing, tempatnya bekerja di Pondok Gede, Jakarta Timur, ke ruang pameran Jakarta Biennale 2017 di Gudang Sarinah Ekosistem. [HW]


142

Hendrawan Riyanto 1959 - 2004 Arsip, karya

Hendrawan Riyanto adalah seniman keramik yang memperoleh perhatian khusus dalam Jakarta Biennale 2017 untuk bagian “Menimbang Kembali Sejarah�. Bagian ini menampilkan baik karya maupun arsip seniman yang dianggap memberi kontribusi khas dalam dunia seni rupa di Indonesia. Jejak-jejak dan gaungnya melampaui rentang kehidupan sang seniman. Hendrawan mendalami seni keramik di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB), kemudian berturut-turut di Tajimi-Nagoya, Kyoto Sheika University (berguru dari ahli keramik Jepang, Profesor Chitaru Kawasaki), dan Shigaraki, Jepang.


143

Bagi Hendrawan, tidak ada materi berkarya seni yang lebih mendasar dibandingkan tanah liat. Praktik seninya ibarat membuka sebuah kitab sains yang mahaluas. Ia menemukan di dalamnya pengetahuan perihal “api”, “udara”, “air”, dan “bumi”. Rita Widagdo, seniman senior dan pengampu seni patung di ITB mengamati, proses kreatif Hendrawan memiliki wajah ganda. Ada gairah terhadap penjelajahan di tahap material—yakni lempung—sekaligus antusiasme untuk mengekspresikan gagasan-gagasan pribadi. Keduanya tidak bisa dipertukarkan begitu saja; tidak bisa ditetapkan yang mana yang muncul terlebih dulu. Pengamatannya terhadap sifat tertentu material sejajar dengan kepekaannya terhadap kondisi kemanusiaan di sekitarnya. Pada titik inilah, Hendrawan muda tidak lagi bisa bersandar pada kreasi-kreasi artistik seniman sebelumnya. Ia tidak punya pendahulu di ranah keramik yang khas ini. Bagi Hendrawan, segumpal lempung mengandung kapasitas luwes untuk berubah atau diubah menjadi bentuk yang mempribadi. Materi tanah liat memiliki vitalitas hidup. Vitalitas inilah yang menggerakkan semua makhluk sehingga lempung bukan sekadar objek melainkan subjek. Manusia mesti mencintai subjek natural ini karena suatu ketika pada masa depan mereka pun akan kembali menjadi tanah. Sebagai cabang seni yang kerapkali dikategorikan sebagai kriya-kerajinan (craft), seni keramik dianggap lebih rendah daripada seni murni atau Seni (fine arts atau Art). Pembedaan ini bertumpu pada pandangan ontologis dalam sejarah seni yang panjang. Diakui atau tidak, itulah situasi yang lebih-kurang juga dihadapi oleh para seniman di ranah ini, termasuk Hendrawan. Namun, Hendrawan justru melihat sebaliknya: spektrum luas dan keluwesan materi tanah liat tak tertandingi sehingga mampu mendobrak batas-batas kategori hierarkis dalam ranah seni rupa. Dengan kesadaran yang lebih mendalam, Hendrawan mengaitkan praktik seni keramiknya dengan khazanah budaya dan muatan spiritual Indonesia pramodern yang sinkretis. Dalam budaya ini, subjek penahu (knowing subject) menjadikan realitas kesadarannya sebagai objek di luar dirinya. Pola hubungan dengan alam tidak melulu rasional, tapi melalui penghayatan rasa. Pada saat itu, subjek merasakan diri sebagai objek. Distansi subjek-objek pun ditinggalkan, digantikan oleh konsep integrasi dan partisipasi. Dimensi rasa itulah yang dikaji dan dihayati oleh Hendrawan dalam praktik budaya di Tanah Air, secara khusus budaya Jawa. Ketika ia menghidupkan tradisi pembuatan gerabah di Desa Pagerjurang, Bayat, Klaten, di Jawa Tengah bersama Profesor Chitaru Kawasaki beberapa tahun yang lalu, ia merasa sudah menemukan elan-hidup kesenimanannya di tempat ini. Seperti beberapa seniman garda depan di Indonesia yang lain, Hendrawan menyadari bahwa dirinya ada di antara dua entitas kebudayaan sekaligus, kebudayaan nalar dan kebudayaan intuisi. Yang pertama melahirkan modernitas dengan semua nilai kebaruan atau kebisingan progresnya, yang kedua menjadi tilas atau warisan budaya lama kita yang lebih “dingin”. Sebagai seniman yang hidup pada masa kini, ia meyakini berada di titik yang berjarak sama di antara keduanya. Yang pertama didasari sepenuhnya oleh kesadaran subjek otonom


144

yang memandang ke depan, bahkan subjek sebagai pusat, totalitas, dan ukuran (subjectum). Modernitas ini melahirkan otonomi dan kebebasan individu yang sekuler, tapi bagi Hendrawan subjek perlu juga ditelusuri asal-usulnya, karena posisinya “subjected”, yakni berada di bawah kedaulatan tertentu. Pada titik inilah Hendrawan berupaya melacak kembali ruang mitos dalam masyarakat—khususnya Jawa—yang disebutnya “arkaik”, yakni “ruang asal-mula” sebagaimana dipraktikkan oleh masyarakat peladang dan petani. Ruang itu tentu saja bukanlah ruang sekuler, melainkan merujuk pada realitas transenden, yang disebut Hendrawan dengan istilah-istilah “roh”, “Tuhan”, “ning” atau “hening”. Perkembangan karyanya kemudian berfokus pada upaya merepresentasikan “hening” atau “ning” ini sebagai wacana tanding terhadap kebisingan dunia modern yang juga dialaminya. Pada persimpangan ini, Hendrawan mulai melacak dan mengenali kembali realitas di sekitarnya yang mengandung jejak-jejak religiusitas atau kesakralan. Kesakralan ada pada materi, tanah, tetumbuhan, benda-benda mati, dan tentu saja manusia itu sendiri. Ia pun menjelma sebagai “homo religiosus”—dalam istilah Mircea Eliade. Ia melihat realitas masyarakat arkaik masih hadir di sekitarnya; masyarakat yang tetap menyimpan “mitos-mitos kosmogonis” dan “mitos-mitos asal-usul”. Dalam pandangan ini, subjek menjadi subjek yang diam, bukan lagi berstatus sebagai “subjectum”, tapi “subjectus”—yang lebih terbuka dan bisa “tunduk” oleh objek. Sebagai “subjectus”, praktik karya seni Hendrawan melalui medium tanah atau keramik dan performans terutama mau menghadirkan situasi yang “sumeleh”. Menjadi “sumeleh” artinya terbuka pada pengalaman keheningan, saat-saat diam; yang ada tak lain adalah “ning” atau hening. Tujuannya adalah untuk menemukan “rasa sejati”, yakni kesadaran mistik akan kehidupan. Inilah yang tampak pada bentuk-bentuk dasar dalam presentasi instalasinya, yang jamak menggunakan berbagai materi setempat dan “hidup”. Kita melihat pluralitas medium yang dihadirkan pada karya-karyanya melalui yang dasar itu, yakni tanah, kayu, bambu, sirih, batu, api, sampai darah sapi. Praktik performansnya yang mulai gencar pada sekitar 2002 mengingatkan pada perilaku mistik dalam masyarakat “arkaik”. Mungkin serupa dengan apa yang disebut Paul Stange, seorang ahli antropologi yang mendalami praktik kebudayaankebatinan Jawa, sebagai “sujud-sumarah”, yakni keterbukaan meditatif pada roh, bukan pada ego. Itulah perilaku mistik kebudayaan petani dan peladang yang


145

Instalasi arsip dan karya. Foto: Panji Purnama Putra

dikaji oleh Hendrawan. Makin teguh dengan pilihannya pada praktik performans, Hendrawan kemudian meluaskan praktik seni lempungnya sebagai konfigurasi objek-objek instalasi yang bercampur. Potensi artistik material tanah liat—bentuk, warna, barik, kealamiahan, proses pembakaran—memperoleh makna dan praktik baru. Teknik dan peranti seni keramik di tangannya memunculkan peluang-peluang tak terduga. Perwujudan performans Hendrawan pun melangkah ke praktik “upacara”; “performans” pada era pascamodern. Wujud-wujud simbolis seperti mandala, rerajah, atau sesajen; materi-materi lokal seperti bambu, gerabah, kayu, tanah, batu, sirih, kelapa, daun pisang, dan darah sapi; semua menjadi elemen-elemen ritus-performansnya untuk berhubungan kembali dengan dunia lama, yakni budaya masyarakat petani dan peladang. Bagi mereka, realitas transenden dan yang indrawi adalah pasangan selaras. Bagi Hendrawan pun demikian, keduanya bukanlah oposisi, melainkan dwi-tunggal. Karya-karyanya, semisal Makan Malam Bersama Sri (performans, 2001), Mandala Peteng (instalasi, 2002), Inisiasi (performans, 2002), Hati Batu... Hati Batu... Hati Batu... Hati Batu... (instalasi, 2003), dan Ning... (2004) menunjukkan arah untuk menemukan vitalitas kehidupan dalam ranah budaya yang khas. Hendrawan sendiri menulis: Ada yang melihat/ lalu berbuat, dan baru mendengar...// Ada yang lebih dulu/ berbuat, supaya terlihat dan harus didengar...// Ada yang mendengar,/ lalu berbuat/ dan jadi terlihat// (Brosur pameran “Naliko Ning Semeleh... /Ketika Hening Diletakkan...” 2004)


146

Pada praktik performansnya, situasi “ning” atau “hening” merupakan situasi yang melibatkan kepekaan pendengaran ketimbang penglihatan. Situasi ini baginya mendekatkan kita pada rasa-merasa yang lebih hakiki ketimbang gagasan mengenai visualitas bentuk. Vitalitas kehidupan yang mula-mula ditemukannya pada segumpal lempung kini mengembara ke arah pencarian seniman akan “rasa sejati”, yakni kesadaran mistik yang ada pada seluruh kehidupan. Melalui terobosan bentuk karya dan praktik seninya, Hendrawan Riyanto membuka jalan bagi pengucapan baru dalam seni rupa Indonesia. Ia mengarahkan kembali pandangan kreatif dan menimba inspirasinya dari sumber-sumber tradisi dan kebudayaan kebatinan Jawa yang bertumpu pada rasa. Melalui praktik seni keramik ia melakukan pembaruan yang sekaligus mengukuhkannya sebagai bagian dari praktik seni kontemporer. [HW]


147

I Wayan Sadra 1954 - 2011 Panggung Teater Bong di belakang kantor Taman Budaya Surakarta itu disulap menjadi bengkel besalen atau pabrik gamelan. Gundukan api membara di tengah halaman teater. Beberapa pandai gamelan menempa lempengan logam bundar yang membara. Anak-anak api berpendaran. Tempaan palu di tubuh lempeng logam menghadirkan ritme konstan, juga produksi nada-nada yang terbatas. Hingga, setelah mewujud serupa ricikan gong, lempengan itu dimasukkan ke dalam air: cesssss‌! Satu ricikan alat musik gong terproduksi. Biasanya, setelah itu, mitos segera dibangun melalui serentetan ritual yang berujung pada penahbisan nama yang diawali dengan sebutan Kyai atau Nyai.

Arsip, karya


148

Tapi sang pemesan gong tak menuntaskannya hingga puncak selebrasi yang berujung pada penamaan Kyai atau Nyai itu. Sebaliknya, ia kembali menempa, menggerinda, bahkan membakarnya kembali hingga bopeng tak karuan. Di belakang tungku perapian, seratusan orang menggumamkan nada-nada choral. Suaranya berat. Nada-nadanya datar, lirih. Demikian kira-kira sepotong pertunjukan berjudul Gong Dekonstruksi yang pernah digagas oleh I Wayan Sadra. Karya ini urung dimainkan lantaran Sadra meninggal (2011) sebelum usai seluruh proses pengkaryaannya. Namun demikian, beberapa elemen karya tersebut sesungguhnya telah berpendaran lewat momen-momen artistik Sadra sebelumnya. Ia, misalnya, ketika hidup di tengah gairah pembaharuan era Sasonomulyo, melakukan eksperimen Gong Seret, di mana ricikan gong (dalam gamelan Jawa) tidak dimainkan sebagaimana dalam tradisinya—sebuah laku dekonstruktif yang luar biasa, sebab gong dimitoskan sebagai benda sakral oleh masyarakat pemiliknya—melainkan dengan diseret-seret di lantai panggung. Juga, pada karya Otot Kawat Balung Wesi yang dimainkan di Art Summit 2004. Di sini gong diletakkan di atas lantai dan dimainkan dengan tepakan dan pukulan tangan telanjang. Dalam Kesibukan Mengamati Batu-batu dari Balik Pintu yang berkolaborasi dengan penyair Afrizal (1996), pemaknaan serupa juga tampak pada karya yang mengingatkan naluri-naluri hewani pada manusia dalam balutan religius itu. Perlakuan Sadra atas gong tersebut tentu bukan sensasi murahan. Terutama setelah melakukan riset di sebuah besalen, Sadra menemukan nilai-nilai penting bagi ide dan gagasan karya-karyanya. Di besalen, katanya kala itu, sama sekali tidak ada aura wingit, mitos, dan magis seperti yang dikatakan orang. Malah, mitologi dan kepercayaan yang kompleks tidak lahir dari orang-orang yang kepepet, tetapi justru lahir pada saat Gong sudah berpindah tangan ke kaum kuat, saudagar, ningrat, calo, pejabat atau birokrat yang merangkap bakul. Di tangan mereka,


149

mitos berpendar-pendar menjadi nilai jual yang aduhai mahal. “Kesenjangan ini menolak saya menjadi romantis. Mereka membutuhkan suatu pembelaan!� sebut Sadra. Konstruksi pemikiran di ataslah yang menjadikan karya Sadra berbau Marxis. Gong Dekonstruksi adalah bentuk demitologi gong menjadi peranti musik yang terbebas dari beban kulturnya. Cara berpikir ini mewarnai semangat karyakaryanya yang lain, seperti Beringin Kurung yang menolak utopisme kaum papa yang menghamba pada kekuatan mitos beringin di keraton Surakarta. Ia, bahkan pernah pula menghadirkan sapi mencret di atas panggung, pada konser Bunyi bagi Suara yang Kalah (1996), untuk sebuah gagasan musikal yang mengiaskan bau rezim politik Indonesia menjelang reformasi. Momen intelektual yang ditandai dengan konstruksi pemikiran bebaskan musik dari beban kulturnya itu, menjadikan Sadra, oleh Dieter Mack, disebut sebagai komposer yang tidak bisa melewatkan suatu objek apa pun tanpa mengeksplorasikan bunyi-bunyinya. Satu ciri khas Sadra adalah “penasaran� terhadap segala media dan segala sesuatu yang berbunyi. Namun, Sadra tidak hanya menyusun bunyi-bunyi atau media-media, ia sangat sadar tentang

Instalasi arsip audio, video, dan objek. Foto: Panji Purnama Putra


150

implikasi masing-masing sumber tersebut. Artinya, ia bisa melakukan apa saja— termasuk menuntun sapi di atas panggung—akan tetapi pengolahan terhadap media itulah yang paling penting buatnya. Maka, unsur visual dan teatrikal acap menonjol dalam karyanya. Untuk semua itu, Sadra punya alasan: di Bali, kesenian itu total melibatkan seluruh indra. Mata dirangsang oleh ragam hias janur, hidung oleh bau dupa, kulit oleh percikan air pemangku, dan lidah oleh beras kuning. Impresi yang didapat dari sini melahirkan konsep kekaryaan yang cenderung multi media. Bahkan, beberapa karyanya justru lebih terbaca dari aspek seni rupa pertunjukan ketimbang musiknya sendiri. Daily, karya lain dari Art Summit 2004, mengesankan aspek visual yang ekspresif lewat pecahan telor ayam yang dilemparkan ke permukaan plat baja yang dipanaskan. Melalui itu, Sadra menjadikan sesuatu yang sangat terbatas dan sederhana menjadi sangat kaya dan bervariasi, sesuai dengan sifat dan karakteristik materi (media) yang digunakan. Keturunan seorang petani di pinggiran Kota Denpasar ini pun diganjar penghargaan bergengsi New Horizons Award dari International Society for Art, Sciences and Technology di Berkeley California pada 1991. Ia orang Asia pertama yang meraih penghargaan tersebut. Kelahiran 1 Agustus 1953 di Banjar Kaliungu Kaja, Denpasar, Bali, I Wayan Sadra datang ke dunia sebagai anak “nakal” yang hidup di lingkungan kesenian yang bergairah. Sedari kanak ia penabuh gamelan untuk upacara di pura-pura. Ia juga seorang penari Janger ketika kehidupan tarian ini meriah di Pulau Dewata. Semasa di bangku sekolah Konservatori Karawitan (Kokar) Bali, ia berpentas di desa-desa dan sekaha-sekaha (paguyuban manasuka) di sekitar kampungnya. Setamat dari Kokar, Sadra hijrah ke Jakarta, ingin menjadi polisi. Alih-alih jadi polisi, ia mengenyam di beberapa sanggar, termasuk sanggar Rasa Devani pimpinan I Wayan Diya serta Saraswati milik I Gusti Kompyang Raka. Di sini ia bertemu Sardono W. Kusumo dan direkrut sebagai pemusik dalam Dongeng dari Dirah (1974) untuk tur ke Eropa. Ia kemudian kuliah di jurusan seni rupa LPKJ-IKJ. Namun, atas kemampuannya dalam bermain gamelan, Sadra malah diangkat mengajar gamelan Bali di jurusan musik. Pada 1983 ia diminta Gendon Humardani, Direktur Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta, untuk mengajar mata kuliah Gamelan Bali dan Komposisi Baru. Di kampus yang sekarang menjadi Insitut Seni Indonesia (ISI) ini, Sadra mengajar sambil membuat karya dan melanjutkan studi S1. Puluhan karya dilahirkan di sini, meski sesungguhnya beberapa telah lahir sebelum hijrah ke Surakarta. Pada 1978, Sadra menampilkan komposisi karawitan berjudul Lanyad di TIM, Jakarta. Setahun kemudian membuat komposisi Lad-Lud-an untuk Pekan Komponis Muda. Di Sasonomulyo—kampus ASKI—ia mulai membuat komposisi Gender bersama empu karawitan, Marto Pangrawit. Sadra juga menyusun Triple X serta membuat musik untuk teater Byakossa dari Jepang. Pada 1986, selama enam bulan, ia menjadi pengrawit untuk Expo Vancouver di Canada. Dan Sadra mulai banyak terlibat dalam forum-forum musik dunia, seperti Pasific Ring Musik Festival di Sandiego State University, USA; Composer to Composer yang diprakarsai


151

oleh John Cage di Telluride, Colorado, USA (1990); komposisi musiknya, Bayu Bajra, dipentaskan keliling di Amerika Serikat (1991); menjadi seniman residensi di Darthmouth College, New Hampshire USA, untuk belajar musik elektronik pada Bergman Electronic Studio. Di sini Sadra melahirkan karya elektronik Snow Have Dream dan Work in Progress (1991). Pada 1992 Sadra membuat musik tari Tempest in Borobudur bersama penari butoh, Katsura kan, yang dipentaskan di Osaka, Fukuoka, Nagoya, dan Kyoto. Kemudian ia menggubah komposisi musik Tanpa Judul untuk Asia Pasific Composer & Conference di Wellington, New Zealand (1993). Ia juga membuat musik tari Dong Feng untuk Keiko Contemporary Dance Company yang dipentaskan di Jepang dan Thailand; diundang oleh IJsbraker (Amsterdam Muziek Centrum) dalam rangka Indonesie Muziek Week. Dan seterusnya, Sadra melahirkan karya-karya musik untuk konser maupun tari, teater, dan multimedia. Pada 1994 ia membuat Gatra Swara untuk pameran patung Hajar Satoto. Ia juga membuat musik-teater Korupsi Suara di Meja Makan (1996); menjadi penampil pada Festival Improvisatie-Bim Huis-jazz and Improvisation, Amsterdam; menyusun musik tari Asmarandana koreografer Ayu Bulan Jelantik di Moskow dan Leningrad Rusia (1997); membuat komposisi Laras Lurus bersama Sono Seni Ensemble serta komposisi musik Gender Plus untuk Pacific Musik Festival, Sapporo (Jepang) dan Weimar Kulturstad Festival (Jerman) pada 1998. Pada era 2000, Sadra mementaskan karya pada Compostella Milenium Fest di Spanyol; berkolaborasi dengan pemusik jazz dari Jepang, Takahito Hayasi; berkolaborasi dengan komponis Yuji Takashi dan koreografer Sardono W Kusumo di Sumida Hall-Tokyo; membuat musik untuk Hamlet, dipentaskan di Denmark; menyusun komposisi Beringin Kurung, Kodok Ngorek, Sungsang; membuat komposisi untuk teater Silent River di India dan Jepang; komposisi musik Wind untuk Vancouver New Musik; mementaskan Daily pada Art Summit Indonesia 2004; membuat karya musik teater Sobrat sutradara WS Rendra; mementaskan komposisi musik Bayu dan Enerji pada Festival Seni Surabaya 2006, juga berkolaborasi dengan kelompok Jazz Mazzola Duo dari Swiss. Sadra kerap diundang sebagai pembicara dan sesekali membuat drawing serta menuliskan pemikirannya tentang musik dan kebudayaan di berbagai media massa. [JG]


152

Foto arsip digunakan atas izin Lembaga Transformasi Indonesia - Pusat Pembelajaran Semsar Siahaan

Semsar Siahaan 1952 - 2005 Arsip, benda pribadi, lukisan Para Pekerja Perempuan di Antara Pabrik dan Penjara | 1982 Cat minyak di atas kanvas | 100x100 cm Digunakan atas izin Hariman Siregar Transfusi | 1987 Cat minyak di atas kanvas | 145x145 cm Digunakan atas izin Hariman Siregar Tanpa Judul | Tanpa Tahun Cat minyak di atas kanvas | 130x200 cm Digunakan atas izin Cemara 6 Galeri-Museum

Semsar Siahaan adalah ikon utama aktivisme seni di Indonesia. Ia memberdayakan seni sepenuhnya sebagai upaya pembebasan masyarakat dari kemiskinan dan ketidakadilan. Keindahan seni justru muncul dengan sendirinya dari upaya pembebasan yang dilakukan oleh seniman. Kebebasan perorangan ada demi pembebasan manusia terbanyak.


153

Semsar memperoleh pendidikan formal seni pertama kali di San Francisco Art Institute (SFAI), San Francisco, Amerika Serikat, pada 1975. Ia belajar seni lukis antara lain dari para pengampu semisal Bruce McGaw dan Ursula Schneider, pelukis-pelukis Amerika. Pada 1977, ia kembali ke Indonesia dan belajar seni patung di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, di bawah para pematung terkemuka (Rita Widagdo, G. Sidharta, Sunaryo, dan Surya Pernawa). Pada masa ini Semsar tidak cuma mematung, ia juga melukis. Pada 1981, ia menggegerkan dunia seni rupa Indonesia dengan mengabukan patung karya Sunaryo, gurunya. Karya itu baru saja kembali dari pameran seni patung internasional di Fukuoka, Jepang. Semsar membakar hangus patung itu, membungkusnya dengan daun pisang, dan menyajikan nasi kuning. Ia menyebutnya “seni kejadian� dan kena skors dari kampus. Bagi Semsar, seni modern Indonesia memuja keindahan estetik. Para seniman memanipulasi seni tradisi untuk kepentingan ego mereka sendiri. Sejak kepeloporan Raden Saleh (1811–1880), kiblat seni di Indonesia adalah Barat dan mimpinya adalah kemakmuran negara-negara maju. Estetika modern ini abai


154

1. Angka 250 diperoleh dari katalog pameran tunggal tersebut dan tulisan Sanento Yuliman dalam rubrik Seni Rupa majalah Tempo, 16 Januari 1988 (“Pusaran Semsar”), sementara dalam buku Brita L. MiklouhoMaklai, Exposing Society’s Wounds, Some Aspects of Contemporary Indonesian Art Since 1966 (1991, 1997), disebutkan jumlah 240.

terhadap kenyataan sosial di negeri sendiri, yang sebagian besar terdiri atas kaum agraris miskin (petani dan nelayan). Pada masa Orde Baru, hak-hak dasar rakyat itu dihilangkan dan kemanusiaan mereka ditindas. Pada 1988, Semsar Siahaan menyelenggarakan pameran tunggal di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Pameran ini ditujukan untuk ayahnya, Ricardo M.J. Siahaan, dan “seluruh rakyat Indonesia yang berjuang mempertahankan hak dan hidupnya”. Ia menampilkan 250 gambar hitam-putih dan 12 lukisan.1 Peneliti seni modern Indonesia, Brita L. Miklouho-Maklai (1991, 1997: 110), mengatakan, citra penindasan dan kekerasan yang mengerikan pada karya Semsar diolah dari karya-karya humanistis seniman Jerman, Käthe Kollwitz, dan satir George Grosz. Kedekatan Semsar dengan Grosz tampak terutama pada citra Manubilis, sosok manusia-binatang-iblis ciptaan Semsar. Istilah ini sudah muncul dalam cerita pendek yang ia tulis pada 1982. Rupa Manubilis adalah para pengisap tengik yang tampak beradab (civilized clowns). Citra kematian, penindasan, dan kejelataan terpapar sangat tajam dalam semua gambar Semsar. Imaji-imaji semacam itu dikontraskan dengan kekuasaan, ketamakan, dan kedegilan. Suasana to be or not to be bercampur dengan ironi, sinisme, dan sarkasme. “Keutamaan estetika” menemui ajal di jalan penuh paku dan duri seni pembebasan Semsar. Pameran tunggal itu berkeliling ke sejumlah kota di Jawa, menemui jejaring para aktivis di Yogyakarta, Surakarta, Salatiga, dan Bandung. Pada malam di ujung pameran, di Gedung Yayasan Pembina Kesenian, Bandung, Minggu, 10 April 1988, Semsar Siahaan mengumumkan “Seni Peristiwa Monumental


155

Menentang Pemilikan Pribadi atas Karya Seni”. Tanpa ragu sebagaimana waktu ia mengabukan patung karya gurunya, Semsar membakar semua gambar yang “harus dikembalikan pada apinya semangat pembaharuan”. Pemilikan pribadi adalah lahan subur neofeodalisme dan budaya itulah yang berbiak cepat pada masa kekuasaan rezim Orde Baru (1966–1998). Bagi Semsar Siahaan, kebaikan bisa dibicarakan dari sudut yang beroposisi, yakni hal-hal yang dianggap buruk. Maka, mengekspresikan kebaikan juga bisa dilakukan melalui objek-objek yang dipandang buruk. Dengan cara itu, ia mengekspresikan simpul bahwa pembicaraan tentang seni tidak identik dengan estetika atau keindahan semata. Pada 1993, Semsar masuk kembali ke Galeri Lama, TIM, tempat ia berpameran pada 1988. Ia menggubah karya instalasi site-specific di ruang galeri yang nyaris roboh. Karyanya berupa sebuah “monumen negatif” berupa galian seluas 9 x 3,5 x 2 meter yang menjadi kuburan patung-patung manusia tanah sebagai umpama tumpukan mayat para korban. Pada sekeliling dinding, ia melukis mural hitam-putih seperti gambar-gambar Manubilis-nya yang menegangkan. Karya Penggalian Kembali adalah monumen tentang korban kekejaman politik dalam sejarah Indonesia mutakhir. Bagi Semsar, perdebatan isme-isme di dalam seni tidak memecahkan masalah perjuangan manusia yang nyata. Oleh karena itu, pada dinding pintu masuk karya itu ia menulis: “Anda memasuki daerah bebas gravitasi posmo.” Semsar niscaya berang atas situasi ketidakadilan di sekitarnya. Ia seniman yang selalu siap turun ke jalan. Pada 1980-an, ia sudah terlibat dalam pembentukan sejumlah lembaga swadaya masyarakat; sebut saja INFIGHT (Indonesian Front for the Defence of Human Rights) dan YMB (Yayasan Maju Bersama), yang bergerak dalam perburuhan di Tangerang. Di dalam dinamika aktivisme yang marak pada masa itu, spanduk, poster, baliho, dan gambar-gambar Semsar Siahaan menyertai langkah-langkah para demonstran di jalan-jalan. Pada 1994, ia bergabung dengan para demonstran untuk menentang pemberedelan tiga majalah, Tempo, Editor, dan Detik, di Jakarta. Pasukan keamanan menghajar Semsar ketika ia berupaya melindungi seorang demonstran perempuan. Kaki Semsar, yang sejak kecil memang lemah karena penyakit polio, patah tiga. Krisis politik dan kerusuhan rasial menjelang reformasi 1998 membuat ia risau. Beberapa mahasiswa mati ditembak; sejumlah aktivis dan seorang penyair sahabatnya, Wiji Thukul, diculik. Ia pun merasa jiwanya terancam. Setelah beberapa lama, ia memutuskan untuk tinggal di Kanada (1999–2004). Namun, pada 2004 ia kembali mempersembahkan pameran tunggal di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, bertajuk The Shade of Northern Lights, menampilkan sejumlah lukisan dan karya instalasi. Tampak ada perkembangan tematik dan bentuk, seperti dalam G-8 Pizza dan The Study of Falling Man. Semsar menaruh perhatian saksama pada perkembangan geopolitik global yang dikuasai oleh negara-negara industri maju. Bagi Semsar, politik global ditandai oleh kemunculan neokapitalisme yang mengarahkan moncong ke seluruh dunia melalui perdagangan bebas di bawah World Trade Organization (WTO). Ia melambangkan negara-negara G-8 dalam bentuk piza raksasa dari kardus yang dipotong delapan, di bawah kontrol para


156

Instalasi arsip, benda pribadi, lukisan, dan video. Foto: Panji Purnama Putra

Manubilis bersama kroni-kroni mereka. Berhadapan dengan piza raksasa itu, bayangan manusia layaknya Icarus tersungkur jatuh ke dalam jurang ketidakpastian. Seni oposisional atau penghadap-hadapan Semsar tampak mengalami perluasan konteks dan pencanggihan visual. Lewat pameran terakhir itu, Semsar pun berpamit. Ia memutuskan untuk mencari tempat lebih tenang di Bali, merencanakan sanggar kreatif di sebidang tanah di Tabanan, Bali Utara. Di tengah persiapan itu, ia jatuh tersungkur oleh serangan jantung yang tiba-tiba. Semsar Siahaan wafat pada dini hari, Rabu, 23 Februari 2005, di rumah sakit di Tabanan. Sosok dan karya Semsar Siahaan ditampilkan lewat “Menimbang Kembali Sejarah�, bagian khusus yang mengangkat seniman dengan kontribusi khas di dunia seni rupa. Sebagai penghormatan kepada ikon seniman-aktivis ini, Jakarta Biennale 2017 memamerkan sejumlah arsip, lukisan, dan beberapa barang pribadi yang terkait dengan proses artistiknya, termasuk buku harian yang ia tulis pada 24 Oktober 1998–13 September 2002 ketika berada di luar Indonesia. Di samping itu, diterbitkan pula buku berisi tulisan-tulisan Semsar Siahaan, wawancara-wawancara, dan tulisan tentang sejumlah pameran karyanya. [HW]


157


158

Seni Performans & Simposium

GSE (Gudang Sarinah Ekosistem) MSJ (Museum Sejarah Jakarta) MSRK (Museum Seni Rupa & Keramik) IFI (Institut Français d’Indonésie)

Performans harian selama masa pameran 05 November - 10 December Eva Kot’átková GSE Hall A4 | 11:00 - 19:00

Performans mingguan selama masa pameran 05 November - 10 December, Setiap Sabtu dan Minggu Ratu Rizkitasari Saraswati | MSJ Mural Room | 13:00 - 16:00

4 November

Jason Lim GSE Hall B | 14:00 - 19:00 Bissu Community GSE Outdoor | 16:00 - 17:00 Abdi Karya GSE Stage Hall B | 17:00 - 19:00 Ali Al-Fatlawi & Wathiq Al-Ameri | GSE Hall B | 17:00 - 20:00

5 November

TALK SHOW | GSE Pelataran Hall B 10:00 - 13:00 | Open discussion with JIWA: Jakarta Biennale 2017 artists Nikhil Chopra MSJ | 10:00 -16:00 Pawel Althamer Msrk Outdoor | 10:00 - 17:00 Ali Al-Fatlawi & Wathiq Al-Ameri GSE Hall B | 11:00 - 17:00 Jason Lim GSE Hall B | 14:00 - 19:00 Alastair MacLennan Msrk Outdoor | 15:00 - 16:00 Otty Widasari GSE | 18:00 - 19:00

6 November

Ali Al-Fatlawi & Wathiq Al-Ameri GSE Hall B | 11:00 - 17:00 Alastair MacLennan GSE Area | Performance Art Workshop 13.00-19.00 Abdi Karya GSE Stage Hall B | 14:00 - 18:00 Jason Lim GSE Hall B | 14:00 - 19:00

7 November

Alastair MacLennan GSE Area | Performance Art Workshop 13.00-19.00 Abdi Karya GSE Stage Hall B | 14:00 - 18:00 Jason Lim GSE Hall B | 14:00 - 19:00 Gabriela Golder GSE Area I Performace 13.00-14.00, 15.00-16.00, 17.00-18.00 PM Toh GSE Stage Hall B | 20:00 - 21:00


JIWA: Jakarta Biennale 2017

8 November

159

Aliansyah Caniago GSE Hall B | 11:00 - 19:00 Abdi Karya GSE Stage Hall B | 14:00 - 18:00 Jason Lim GSE Hall B | 14:00 - 19:00 David Gheron Tretiakoff GSE Stage Hall B | 19:00 - 20:00 Darlane Litaay GSE Stage Hall B | 20:00 - 21:00

9 November

Aliansyah Caniago GSE Hall B | 11:00 - 19:00 Abdi Karya GSE Stage Hall B | 14:00 - 18:00 Jason Lim GSE Hall B | 14:00 - 19:00 Marintan Sirait GSE Area | Workshop 14.00 - 18:00 Darlane Litaay GSE Stage Hall B | 19:00 - 20:00

10 November

Marintan Sirait GSE Area | Workshop 14.00 - 18:00 Aliansyah Caniago GSE Hall B | 11:00 - 19:00

11 November

Pinaree Sanpitak GSE | 18:00 - 20:00 Marintan Sirait GSE Hall B | 20:00 - 21:00 Aliansyah Caniago GSE Hall B | 11:00 - 19:00

12 November

PM Toh GSE Stage Hall B | 15:00 - 16:00 Marintan Sirait GSE Hall B | 20:00 - 21:00 Aliansyah Caniago GSE Hall B | 11:00 - 19:00 Otty Widasari GSE Outdoor | 21:00 - 22:00

13 November

Simposium JIWA | IFI (Institut Français D’indonésie) 13:00 - 15:00 | Tentang Kepercayaan Asal dan Kehidupan Spiritual Sekarang 15:30 - 17:30 | Melihat Diri Sendiri sebagai Bagian dari Perubahan 19:00 - 20:00 | Performance Lecture by Ho Rui An Aliansyah Caniago GSE Hall B | 11:00 - 19:00

14 November

JIWA symposium | IFI (Institut Français D’indonésie) 13:00 - 15:00 Perihal Ikonoklasme: Antara Kekaguman dan Ketakutan 15:30 - 17:30 Di Luar Batas Tubuh Eksotis: Tubuh Sebagai Medium Pernyataan Politik 19:00 - 20:00 | Penayangan Film & Bincang Seniman by Karrabing Film Collective

19 November

Book Launching | Salihara (Jl. Salihara No.16, Ps. Minggu, Jakarta Selatan) 16:00 - 18:00 Melampaui Citra dan Ingatan Bunga Rampai

Tulisan Seni Rupa 1968 – 2017 Bambang Bujono

* Untuk informasi lebih lanjut tentang simposium, kunjungi situs web kami


160

Ucapan Terima Kasih

Tim Manajemen mengucapkan terima kasih kepada Individu

Organisasi

Adam Pushkin

Bamboo Curtain Studio

Agung Hujatnikajennong

Grafis Huru Hara

Amir Sidharta

Gudang Sarinah Ekosistem

Ashoka Siahaan

Serrum Studio

Bambang Bujono

Yayasan Mitra Museum Jakarta

Charles Esche Christian Gaujac Christian Søndergaard Krone Cokorda Istri Dewi Dewi Suciati Diana Sahidi Elsebeth Søndergaard Krone Esti Utami FX Harsono Gertrude Flentge Halim HD Heinrich Blömeke Hermawan Tanzil Inda C. Noerhadi Irawan Karseno Irma Chantily Mari Elka Pangestu Mia Maria Natasha Sidharta Natsu Tanabe Pustanto Ricky Joseph Pesik Rieko Yui Rini Darwati Sally Tallant Sonny Siahaan Sri Kusumawati Toeti Heraty Triawan Munaf Watie Murani


JIWA: Jakarta Biennale 2017

Tim Artistik mengucapkan

Lawren Joyce

terima kasih kepada

Mari Martraire (Kadist) Merci-Fahry-Ami

Individu

Muhamad Hafiz

Achri Hendratno

Muhammad Reza Hilmawan

Alisa Putri

Muhammad Subhan

Andike Widyaningrum

Ninus D. Andarnuswari

Andrew Kreps Gallery

Nissal Nur Afryansah

Ardi Yunanto

Rini DarwatiÂ

Ari Rusyadi

Saleh Husein

Arjuna Hutagalung

Sarah Monica

Arman Dewarti

Shinta Febriany

Ayah Bagol

Sigit-Digel-TegTeg

Bambang Bujono

Sono Seni Ensemble

Berto Tukan

Taufan Akbar

Birgit Zimmermann

Tim Serrum untuk Museum Sejarah Jakarta (Digel, Emji, Fahry, TegTeg, Upit)

Cecil Mariani

Tim Serrum untuk Museum Seni Rupa dan Keramik (Oksa, Penjol, Sukma)

Chozin-Dolly-Agus

Vanessa Van Obberghen

Christelle Havranek

Vincent Worms (Kadist)

Chuong-Dai Vo

Yayak Yatmaka

Cosmin Costinas

Yoga Prasetyo

Dea Aprilia

Yovista Ahtajida

Diani Siahaan Dirdho Adithyo

Organisasi

Eric Baudelaire

1335 Mabini

Filip Rutkowski

Arts and Theatre Institute, Prague

Foksal Gallery Foundation

Historia Cafe

Galang Aldinur Masabi

Pasukan Satuan Pengamanan Taman Fatahillah

Gaujac

Pasukan Oranye Wilayah Jakarta Barat

Gelar

Pasukan Satuan Pengamanan Museum Sejarah Jakarta

Georges Breguet

Tim Pemandu Museum Sejarah Jakarta

Halilintar Latief

tranzit.cz

Hariman Siregar

Unit Manajemen Museum Sejarah Jakarta

Hizkia Yosie Polimpung

Disbudpar DKI Jakarta

Indah Nurhadi

Museum Seni Rupa dan Keramik

Jean Couteau

Studio Plesungan

Jepri Ristiyanto

Sunpride

Jessica Kristie Kemalreza Gibran

161


162


JIWA: Jakarta Biennale 2017

163


164

Tim Kerja Direktur Artistik

Koordinator Media Sosial

Penulis Label Karya Anastha Eka,

Melati Suryodarmo

Reza Zefanya Mulia

Natalia Oetama, Frino, Alodia YD,

Administrator Media Sosial

Gesyada Siregar

Kurator

Dayna Fitria Ananda, Chynthia

Annissa Gultom

Anandhia Sifa Tyana

Penerjemah Zacharias Szumer Koordinator Sukarelawan Yulia Darnis

Hendro Wiyanto Phillippe Pirotte Vit Havranek

Program Edukasi Publik

Sukarelawan

Koordinator Yohanes Daris Adi Brata

Izmiria Azzahra, Mutiara Choiriyah, Niskala

Asisten Daniella Praptono,

Hapsari Utami, Bella Ferina, Cadrilla

Direktur Eksekutif Ade Darmawan

Gesyada Annisa Namora Siregar,

Bareno, Adinda Putri, Juan Simbolon,

Wakil Direktur Eksekutif Asep Topan

Sonya Annasha Bonita, Wahyudi

Dellia Rizki Ananda, Gita Sumaiku, Nanda

Direktur Pelaksana Farid Rakun Asisten Riset Semsar Siahaan

Ranti Rachmi, Nurul Komala Khoirunnisa,

Dokumentasi

Ade Irma Fitriani, Aditya Dewi Hapsari,

Andike Widyaningrum

Dokumentasi Performans

Agung Santoso, Anju Roida Maulita, Asri

Sekretaris Rafika Lifi

Ari Rusyadi, Patar Prabowo,

Putri Rahayu, Ayu Fitriani Hasibuan, Azis

Sponsor dan Kemitraan Ria Ekasari

Ranggi Arohmansani,

Arijaya, Bondan Ibnu Febrian, Dara Priscilla

Pengumpul Data Anam Khoirul

Ahmad Barelvi, I Gusti Agung P,

Junico, M. Dhisa Brahmana Putra, Ferahmi

Vicky Alchamdani,

Bobby, Fingki Kusumawardani, Ilham

Reza Chrisan “lie” Hadikusuma

Munadi, Ivania Kokasih, Kukuh Anggrio,

Penyunting Ninus D. Andarnuswari

Videografer Panji Purnama Putra,

Mega Puspita, Mirtha Khaerunnisa, Nadya

Asisten Penyunting Dirdho Adityo,

Erlan Dwi Apriaji, Angga Reksha

Zul El-Nuha, Nadifa Hasnasari, Nenny

Zacharias Szumer

Fotografer Panji Purnama Putra,

Purnamasari, Nisa Aulia, Nobella Yocha

Penerjemah Dirdho Adityo,

Farid Burhan, Adi Priyatna,

Picesia, Paramitha Puspita, Agustina Naomi

Yoga Lordason, Fitri Ratna

Zainul Arifin

Koyongian, Rachel Kamilia Faradiba Nibal,

Irmalasari, Fajar Zakhri

Editor Angga Rekhsa,

Raisa Ratriananda, Reni Rufaidah, Ridho

Pemeriksa Aksara

Sutradani, Nico Prabowo

Fauzan, Riki Sugianto, Rizki Fudholi, Rizky

Publikasi

Zacharias Szumer, Ining Isaiyas

Noor Alif Abdurachim, Rohan Hamdani,

Eksibisi Desain Grafis

Sari Hapsari, Sena Okto Priankartino,

Perancang Eksibisi

Maya Sintha Utari, Vindalia Annia, Widia

Perancang Grafis Zulfikar Arief

Ign. Susiadi Wibowo, Aditya Suwito,

Anggraini, Alisa Putri, Dewi Nilasari, Dwika

Asisten Perancang Grafis

Rahimah Zulfa

Putra Bramantya, Elva Sagita Cindra,

Garyanes Yulius, Angga Cipta

Manajer Eksibisi M. Sigit Budi S.

George John Fredrik Ante, Hasna Avni,

Produksi SERRUM STUDIO

Jessica Kristie, Joshua Dion Pratama,

Performance Coordinator

Luqyani Sa’adah, Muhammad Nur Rizaldi,

Manajer Komunikasi Indah Ariani

Mohammad Dendi Madya Utama

Sayyoidul Aqsha, Talitha Assyura, Insani

Media Armadani Azzahra,

Symposium Coordinator

Nurul Shopa, Mercy Cornelia, Marella Putri,

Cindy Ahimsa, Nastiti Dewanti,

Leonhard Bartolomeus

Wahyu Fauzi, Okta Rima Laluyan, Dwi Ilham

Pei Chu Yen Doris

Co-Coordinator Firsty Dewi

Suryaningrat, Belinda Puspa Dewi

Komunikasi


165


166

JIWA: Jakarta Biennale 2017 Yayasan Jakarta Biennale Penyunting: Ninus D. Andarnuswari Penulis: Melati Suryodarmo, Annissa Gultom, Hendro Wiyanto, Phillippe Pirotte, Vit Havranek Kontributor: Jean Couteau, Joko Gombloh, Shinta Febriany Penerjemah: Yoga Lordason, Dirdho Adithyo Asisten Penyunting: Zacharias Szumer Pemeriksa Aksara: Ining Isaiyas, Zacharias Szumer Penerjemah Tambahan: Fitri Ratna Irmalasari, Fajar Zakhri Perancang Grafis: Angga Cipta Gambar dan Fotografi: Seniman, Panji Purnama Putra, Farid Burhanudin, Adi Priyatna, Zainul Arifin, Angga Reksha


Gudang Sarinah Ekosistem, Jl. Pancoran Timur II No. 4 Jakarta Selatan 12780, Indonesia http://jakartabiennale.net info@jakartabiennale.net @jakartabiennale @jakartabiennale Jakarta Biennale

K atalog Pameran

Yayasan Jakarta Biennale


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.