Seputar Indonesia Minggu, 17 Juni 2007 Arjuna Tumaritis Cerpen: Nanang Hape Aku menulis ini karena dua saudaraku yang lain tak bisa menulis. Mereka hanya tertarik pada tanaman dan ternak. Soal pupuk, hama ini dan itu, kakakku adalah ahlinya. Memilih bibit yang baik, cara petik yang tepat, dia sangat teliti. Lain halnya dengan Si Bengal bungsu itu. Dia memang tak kenal angka,apalagi huruf, tapi dia pintar bercakap-cakap dengan kambing- kambing kami. Kadang-kadang ia merayu agar mereka mau memakan rumput kering sisa persediaan kemarin. Jika kambing-kambing itu rewel, serapahnya segera menggema di seluruh kampung. Setelah itu kupingnya pasti memerah karena dijewer Bapak Semar, ayah kami tercinta. Gareng kakakku, Bagong adikku dan perkenalkan aku, Si Ganteng Mas Petruk,Arjuna dari Tumaritis. Entah kenapa mendadak semua keluguan itu menghilang dari rumah kami. Beberapa hari ini Gareng dan Bagong sibuk berdebat tentang keadaan Istana Amarta. ”Puntadewa dan adikadiknya itu, dulu aku yang nyeboki pantatnya. Enak saja dia main perintah seluruh anak-anak yang sudah disunat harus menjadi prajurit,” Gareng meradang. “Lho, itu kan demi kewibawaan Amarta juga, supaya Hastina berpikir lagi untuk tidak seenaknya pamer kekuatan.” ”Tapi Gong, sebagai tanaman, mereka belum siap untuk berbuah. Pemaksaan itu hanya akan merusak. Dahan-dahannya rapuh, mutu buahnya jelek, tidak tahan penyakit dan tidak akan berumur panjang.” “Kambing-kambing itu kalau tidak dibiasakan, dilatih, hanya akan menjadi binatang-binatang manja. Mereka hanya tahu rumput gajah itu enak, rumput kering itu hambar. Bagaimana dengan aku yang tiap hari mesti memenuhi kebutuhan mereka.” ”Anak-anak kita bukan kambing, dungu!” “Apalagi tanaman, sama sekali bukan, pincang!” Gareng memang pincang dan Bagong mungkin saja dungu karena nyatanya ia tidak menampik sebutan dari mulut Gareng itu. “Lho, kok pakai bawa-bawa kakiku yang pincang?” “Aku juga bukan orang dungu. Kamu yang tolol.” Ternyata aku salah.Gareng sakit hati pada kakinya yang pincang semenjak lahir itu dan Bagong mengingkari kedunguannya. Peristiwa itu terus saja kutulis, aku tidak akan melerai mereka. Tepatnya, aku tidak akan ikut campur karena bisa-bisa tulisan ini jadi macet. Maka selanjutnya sandal Bagong pindah ke muka Gareng dan entah bagaimana bisa wajah bulat Bagong telah terjebak di sarung Gareng. Semuanya baru berakhir ketika telinga keduanya sudah memerah oleh tangan Bapak Semar yang muncul tiba-tiba. Kata-kata Semar tidak menarik minatku sehingga aku mencari hal lain yang dapat ditulis. Ah, ke perbatasan. Siapa tahu ada yang menarik di sana. Ternyata perbincangan itu bukan hanya milik Gareng dan Bagong. Semua orang di perbatasan juga sedang hangat menggunjingkannya. Tentu saja tidak sekencang di Tumaritis karena di sini banyak prajurit berkeliaran. Salah-salah orang-orang yang hanya bermaksud mencari hiburan petang itu dijemput oleh hari naasnya. Mereka tidak pincang seperti Gareng dan mungkin juga tidak sedungu Bagong. Tapi mereka juga tidak pernah menceboki pantat Punta-dewa bersaudara. Maksudku, siapa tahu