JURNAL COMMUNICATION

Page 1


COMMUNICATION

ISSN 2086 - 5708

Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 Diterbitkan oleh Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Budi Luhur, dua kali dalam setahun. Penerbitan jurnal ini dimaksudkan sebagai media pertukaran informasi, pengetahuan yang berlandaskan perkembangan, dan kajian Ilmu Komunikasi serta keterkaitannya dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan lainnya.

Penasihat

: Dr. Ir. Wendi Usino, M.Sc, MM.

Penanggung Jawab

: Dr. Hadiono Afdjani, MM.,M.Si.

Pemimpin Redaksi

: Dr. Umaimah Wahid, M.Si

Ketua Editor

: Dudi Iskandar, M.I.Kom

Dewan Editor

: Indah Suryawati, M.Si Nawiroh Vera, M.Si Ahmad Toni, M.I.Kom

Tata Letak

: Arief Ruslan, S.Kom

Sekretaris

: Armaini Lubis, MM

Alamat Redaksi Lembaga Riset, Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Petukangan Utara, Jakarta Selatan 12260. Tel. 021-5853753, Fax. 021-7371164, 5853752 Website : http://www.budiluhur.ac.id


DAFTAR ISI

COMMUNICATION

ISSN 2086 - 5708

Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 GLOBALISASI DAN IMPERIALISME BUDAYA DI INDONESIA Dedy Djamaluddin Malik

1

RASISME MEDIA POLITIK Dedi Kurnia Syah Putra Dan M. Yahya Arwiyah

17

KONSTRUKSI PEMBERITAAN DUGAAN KASUS KORUPSI KEPALA SKK MIGAS (Analisis Isi Berita Kompas, Republika, Koran Sindo, Dan Media Indonesia) Armaini Lubis Dan Dudi Sabil Iskandar KONSTRUKSI REALITAS SOSIAL BUDAYA DALAM IKLAN KOMERSIAL TELEVISI Muhammad Hasyim INTEGRATED MARKETING COMMUNICATIONS IN MARKETING PUBLIC RELATIONS PERSPECTIVE (Survey On Tourism Destination Development In Three Colors Of Lake Kelimutu, Ende, East Nusa Tenggara Province) Nunung Rusmiati BUSHIDO PADA PEREMPUAN JEPANG: MEMAKNAI NILAI-NILAI BUSHIDO PADA PEREMPUAN JEPANG DALAM FILM RUROUNI KENSHIN (2012) DAN MYU NO ANYO PAPA NI AGERU (2008) Renata Pertiwi Isadi Dan Sumekar Tanjung REPRESENTASI MAKNA VISUAL POSTER FILM RELIGIUS (Studi Semiotika Poster Charles S. Pierce Pada Film 99 Cahaya Di Langit Eropa) Suwarno

32

51

62

80

98


EDITORIAL Alhamdulillah, Jurnal Communication Volume V Nomor 2 Oktober 2014 yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur, Jakarta, kembali menyapa Anda. Untuk 2014, edisi kali ini adalah yang kedua setelah April. Tentu saja kemunculan Jurnal ini adalah berkat jasa dan kerja sama di antara kita. Untuk edisi kali ini, Jurnal Communication menyajikan tujuh tulisan. Yakni, Globalisasi dan Imperialisme Budaya di Indonesia karya Deddy Jamaluddin Malik (Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi, Bandung). Artikel berbahasa Inggris berjudul Integrated Marketing Communications In Marketing Public Relations Perspective (Survey On Tourism Destination Development In Three Colors Of Lake Kelimutu, Ende, East Nusa Tenggara Province) ditulis Nunung Rusmiati yang sedang menyelesaikaan program doktoral di Universitas Sahid, Jakarta. Konstribusi lain ditulis oleh dua dosen Universitas Telkom, Bandung, Dedi Kurnia Syah Putra dan M. Yahya Arwiyah. Keduanya menulis tentang Rasisme Media Politik. Dari internal Fikom Universitas Budi Luhur hasil penelitian tentang Konstruksi Pemberitaan Dugaan Kasus Korupsi Kepala SKK Migas (Analisis Isi Berita Kompas, Republika, Koran Sindo, dan Media Indonesia) ditulis oleh Armaini Lubis dan Dudi Sabil Iskandar. Sedangkan dari Sulawesi, diwakili oleh tulisan Muhammad Hasyim dengan judul Konstruksi Realitas Sosial Budaya dalam Iklan Komersial Televisi. Hasyim adalah dosen Program Studi Sastra Prancis FIB Universitas Hasanuddin Makassar. Sedangkan Renata Pertiwi Isadi Dan Sumekar Tanjung dari Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia meneliti tentang Bushido Pada Perempuan Jepang: Memaknai Nilai-Nilai Bushido Pada Perempuan Jepang Dalam Film Rurouni Kenshin (2012) Dan Myu No Anyo Papa Ni Ageru (2008). Tulisan terakhir berbicara tentang Representasi Makna Visual Poster Film Religius; Studi Semiotika Poster Charles S. Pierce Pada Film 99 Cahaya Di Langit Eropa, Suwarno dari Universitas Budi Luhur, Jakarta. Ucapan terima kasih layak disematkan kepada semua pihak yang berjasa terhadap penerbitan Jurnal edisi ini. Yakni, mitra bestari, penulis, kru redaksi, dan tentu saja pihak Rektorat Universitas Budi Luhur yang senantiasa mendukung secara maksimal terhadap penerbitan Jurnal ini. Tak ada yang sempurna dalam karya manusia, termasuk dalam penyusunan Jurnal ini. Oleh sebab itu, kritik dan saran sangat dinanti oleh redaksi. Hanya kepada Tuhanlah kami kembalikan semuanya. Semoga menjadi amal baik bagi kita semua. Amiin Oktober 2014 Redaksi


Communication ISSN 2086-5708 Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014 Terbit dua kali setahun April dan Oktober berisi tulisan yang diangkut dari bidang Ilmu Komunikasi

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada para pakar selaku mitra bestari yang telah bersedia menjadi reviewer dalam jurnal Communication Volume 6, Nomor 2 Oktober 2014 Daftar mitra bestari tersebut yaitu : Prof. H. Deddy Mulyana, Ph.D. M.A. (Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung) Prof. Dr. Ahmad Sihabudin, M.Si. (Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten) Yuliandre Darwis, Ph.D (Pengajar Magister Ilmu Komunikasi Universitas Andalas) Dr. Turnomo Rahardjo (Pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro) Dr. Eko Harry Susanto (Pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Taruma Negara)


GLOBALISASI DAN IMPERIALISME BUDAYA DI INDONESIA DEDY DJAMALUDDIN MALIK Email: dedy_malik@yahoo.com Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom), Bandung

ABSTRACT This article depicts globalization and its influences according to each schoolarly worldview.There is close relationship between globalization and communication. Globalization then bring about media or cultural imperialism. The concept of media imperialism came from many schools of thought: ( free flow of information gap, dependency, world system, and electronic colonialism) as a response and criticism to Western media dominationand its culture. But there are many critics on its assumptions and validities that are mentioned here. Eventhough there are some weaknesses on its asumptions and its research methodologies, media or cultural imperialism has been still important to be studied by international communication researchers.Finally, the writer discusses the effects and influences of media imperialism in Indonesia.In the Old Order rezim cultural imperialism existed but was not prominent; in New Order rezim, cultural imperialism was dominant and in Reformation rezim, its significantly dominant. Fortunately, there are consciousness in political elites to bring back political identity of nation by strenghtening nationalism and Trisakti doctrine in facing cultural imperialism. The writer hopes that this article will inspire many scholars to conduct research on this subject in the near future. Keyword: globalization, cultural imperialism, political identity, Trisakti doctrine ABSTRAK Artikel ini ini menggambarkan globalisasi dengan cara pandangnya masing-masing. Globalisasi berkaitan erat dengan komunikasi dan komunikasi global melahirkan imperialisme budaya atau imperialisme media. Kedua konsep itu datang dari banyak mazhab pemikiran (arus informasi bebas yang senjang, dependensi, sistem dunia, dan kolonialisme elektronik) sebagai respons dan kritik terhadap dominasi budaya dan media Barat. Dengan memakai metoda kepustakaan, digambarkan sejarah, pengertian dan asumsi-asumsi sekaligus kritikan terhadap konsep imperialisme budaya. Berikutnya, penulis menggambarkan pengaruh imperialisme budaya di Indonesia. Pada era Orla, imperialisme budaya ada namun terkendali akibat politik kebudayaan rezim Soekarno yang “menasionalisasi budaya�. Sementara pada era rezim Soeharto, imperialisme budaya lebih menonjol karena politik kebudayaan pintu terbuka (open sky policy) dan pada era reformasi, imperialisme budaya semakin nampak signifikan akibat liberalisasi semua bidang kehidupan, termasuk politik. Dan wajah imperialisme budaya semakin beragam tidak hanya datang dari Barat, melainkan juga dari non-Barat, termasuk Asia. Makin menguatnya imperialisme budaya dewasa ini, telah menimbulkan kesadaran kaum elit sehingga dalam Pilpres 2014 gagasan nasionalisme, kemandirian dan doktrin Trisakti menjadi materi kampanye politik para capres dan cawapres. Konsep kunci: globalisasi, imperialisme budaya, doktrin Trisakti Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

1


PENDAHULUAN “Globalization” dipandang Tomlinson (1999:2), sebagai: “complex connectivity referring to the rapidly developing and ever more complex network of interconnections and interdependencies that characterize modern social life”. Interkoneksi dan interdependensi yang demikian cepat dalam globalisasi terjadi akibat perkembangan teknologi informasi yang dewasa ini semakin konvergen. Karena globalisasi merupakan bagian dari concern semua negara, maka banyak peneliti tertarik dengannya. Para analisis globalisasi menurut Held and McGrew (1999) terbagi ke dalam tiga mazhab pemikiran (school of thought): hyperglobalist, skeptics dan transformationalist. Pertama, kelompok yang melihat globalisasi sebagai ancaman bagi satu negara karena ia akan mengurangi kekuasaan negara dan digantikan kemudian oleh datangnya pasar global. Mazhab ini melihat faktor ekonomi sebagai determinan globalisasi yang akan mendenasionalisasi ekonomi satu negara dan akan menyebabkan hilangnya kedaulatan negara. Kedua, mazhab skeptic menyatakan bahwa globalisasi adalah sebuah mitos seberapa yang dimaksud dengan globalisasi dalam perspektif ekonomi sebagaimana dinyatakan kaum hyperglobalist bukanlah fakta yang universal. Interdependensi ekonomi hanyalah terbatas pada OECD. Ketiga, mazhab transformasionalis yang menganggap globalisasi punya konsekuensi struktural dan merupakan kekuatan pendorong perubahan masyarakat lewat pengaruh ekonomi, politik dan sosial dengan jalan proses dialektis. Jadi globalisasi bukan sekedar

homogeni atau heterogen, konvergen atau divergen melainkan sebuah proses dialektis yang menimbulkan baik integrasi atau fragmentasi sekaligus. Dalam konteks mazhab inilah kemudian, komunikasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembicaraan globalisasi. Bahkan McLuhan melihat globalisasi dan komunikasi sebagai konsep yang deeply interwined, ketika ia mengetengahkan “medium is the message” dan “global village”. Menurut Rentenan, 2005:4) “Secara praktis tidak mungkin ada globalisasi tanpa media dan komunikasi”. Dengan menunjukkan eratnya kaitan komunikasi dengan globalisasi, maka Rentenan mendefinisikan globalisasi sebagai : ”process in which worldwide economic, political, cultural And social relations have become increasingly mediated across time and space”(p.8). Peranan media dan komunikasi dalam proses globalisasi menjadi sangat strategis dan penting. Pertama, berbagai perusahaan media mogul dewasa ini semakin beroperasi secara global. Kedua, banyak infrastruktur komunikasi global memfasilitasi arus informasi global. Ketiga, media global berperan penting dalam memandang berbagai peristiwa lintas dunia untuk membangun sistem makna bersama. Tulisan ini ingin menggambarkan: (1) bagaimana imperialisme media memandang globalisasi dan relasi antarnegara dalam konteks posisi dan peran media; (2) dapatkah konsep imperialisme media menggambarkan dan membuktikan dampak media secara utuh dan menyeluruh atas terbentuknya homogenisasi budaya di negara-negara berkembang, sehingga penjajahan budaya dari Barat nyata terbukti; dan (3) bagaimana reaksi dan kritik yang selama ini berkembang dari para

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

2


peneliti komunikasi terhadap konsep imperialisme media?; dan (4) adakah imperialisme media di Indonesia?. Tulisan ini akan diawali dengan mendeskripsikan konsep imperialime budaya dan imperialisme media serta pengaruh tradisi intelektual di belakangnya. Kedua, akan menunjukkan berbagai teori yang melandasi munculnya konsep imperialisme media. Ketiga, menyajikan kritikan terhadap konsep imperialisme media. Dan keempat, mendiskusikan ada tidaknya imperialisme media di Indonesia. Analisis didasarkan atas studi literatur (library research) dan analisis kritis terhadap gejala media dan budaya imperialisme yang berkembang di Indonesia. Penggunaan konsep imperialisme media atau imperialisme budaya disini tidak dimaksudkan sebagai dua konsep yang terpilah tegas (mutually exclusive), tetapi mengandung satu pengertian ibarat dua sisi dalam satu mata uang logam. KERANGKA PEMIKIRAN Sejarah Imperialisme Media Sehabis Perang Dunia II, terjadi Perang Dingin (Cold War) antara Blok Barat yang dipimpin Amerika dengan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet. Perang ini berlangsung dari 1945 hingga 1989 saat tembok Berlin runtuh. Amerika mewakili ideologi kapitalis dan Soviet mewakili ideologi sosialis. Dalam konteks pergulatan komunikasi internasional, Amerika memperjuangkan laissez-faire dan free flow of information sebagai bagian dari freedom of the press. Belakangan Unesco juga menuntut free flow across border to lead better world yang didukung para peneliti program riset komunikasi internasional (KI)yang tergabung dalam MIT Center for International Studies. MIT ini lalu membentuk Program Riset dalam

Komunikasi Internasional yang dipimpin Lasswell, Ithiel de Sola Pool, Karl Dutsch, Daniel Lerner, Schramm, dan Lucian Pye. Riset mereka didanai Ford Foundation. Keterlibatan Amerika dalam PD II dengan Soviet, membuat para peneliti terperangkap dalam bias Barat karena strategi KI dirancang agar proBarat dan anti-komunis. Paradigma KI yang menjual doktrin free flow dan the ideal to lead better world kemudian dilegitimasi oleh metoda riset komunikasi yang berpusat pada efek empiris media yang diprakarsai Lasswell, Lazarsfeld dan Hovland. Lahirnya paradigma pembangunan modernisasi yang di dalamnya menempatkan media sebagai magic multiplyer effects pembangunan, telah dijadikan sarana untuk mencapai citacita perubahan masyarakat dari tradisonal menuju modern. Namun sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi, agensi-agensi kantor berita Barat seperti Reuters atau French Press Agency dan Associated Press (AP) telah mengonstruksi realitas dunia menurut persepsi Barat. Kala itu, Barat lebih banyak memberitakan berbagai peristiwa negatif negara-negara Dunia Ketiga seperti Amerika Latin, Afrika dan Asia. Mereka digambarkan sebagai negara yang penuh bencana, kudeta, revolusi dan berita-berita negatif lainnya. Di tengah kondisi demikian, datang tawaran pinjaman utang luar negeri, alih teknologi dan resep budaya agar negara-negara Dunia Ketiga mengikuti jalan modernisasi Barat dan sebagian negara Amerika Latin, Afrika dan Asia pun mengikuti jalan tersebut. Di tengah hiruk-pikuk modernisasi, pada 1960-an diam-diam muncul para sarjana komunikasi Eropa yang tergabung dalam InternationalAssociation Communication Research (IAMCR).

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

3


Kelompok ini berasal dari Association for Education in Journalism and mass Communication (AEJMC) yng memiliki tradisi riset kritis. Dengan bantuan Unesco, mereka membentuk Education and Research in International Communication. Dalam riset-riset mereka, ditemukan betapa program-program berita dan hiburan Barat mendominasi media Amerika Latin, Afrika dan Asia. Karena itu, mereka melihat adanya imperialisme baru yang dilakukan bukan secara hard poweryakni penggunaan kekuatan militer untuk menguasai satu negara, melainkan melalui soft power (diplomasi) yang disebutnya sebagai imperialisme budaya dan media. Wacana imperialisme media, semakin menggema pada 1970-an terutama di Amerika Latin lewat para pemikir seperti Antonio Pasquali (1963), Luis Ramiro Beltran (1976), Mario Kaplun (1973), F. Rayyes Matta (1977). Sementara dari Inggris, muncul mazhab Frankfurt yang membawa tradisi kritis terhadap ilmu sosial, termasuk bidang komunikasi. Munculnya Andre Gunnar Frank yang mengecam modernisasi lewat paradigma dependensia telah memperkaya analisis media terhadap dinamika global komunikasi. Philip Elliot dan Peter Golding lewat Center of Mass Communication Research pada Universitas Leicester, Inggris mempublikasikan sebuah studi yang mengambarkan dominasi Barat atas arus pemberitaan internasional, khususnya antara Inggris dengan negara-negara Afrika (Martin dan Heibert, 1990:288). Sarjana Inggris yang lain Oliver Boyd Barret (1977), telah memperkenalkan konsep “imperialisme media” dan dianggap sebagai pemuka teori ini. Tampaknya tokoh yang paling menonjol adalah Herbert Schiller yang menulis Mass Commucation and American Empire

(1969) dan Communication and Cultural Domination (1976). Tokohtokoh lain yang menyumbang penting adalah Armand Mattelart, Cess J. Hamelink, McChasney, Nordenstreng, Noam Chomsky, dan banyak lagi. Dalam konteks tradisi keilmuan, teori komunikasi massa Amerika mewakili mazhab dominan positivisme. Paradigma ini mengacu pada empirisme kuantitatif dan administratif dengan dukungan riset psikologi-sosial, sosiologi strukturfungsional yang percaya akan keteraturan (order) dan konsensus. Sementara itu, dari sudut riset komunikasi, positivisme dipengaruhi oleh persuasi dan propaganda dan determinisme teknologi informasi yang menempatkan komunikasi massa sebagai agen perubahan sosial. Sedangkan imperialisme media datang dengan sebuah tradisi riset baru yakni paradigma kritis yang banyak dipengaruhi ilmuwan Eropa. Tradisi ini dipengaruhi neo-Marxis yang memandang realitas sosial dalam poros konflik dan pengaruh teori ekonomipolitik serta masyarakat massa yang memandang media sebagai alat kekuasaan kelompok hegemonik dan dominan di masyarakat sehingga media menimbulkan kesadaran palsu (false-conciousness) terhadap masyarakat (McQuail, 2005:96-133). Pengertian Imperialisme Media Menurut Livingston A. White, imperialisme budaya punya ragam istilah yang banyak. Boyd-Barret (1977) menyebutnya “imperialisme media”, Link 1984 dan Muhammadi, (1995) menyebutnya, “dominasi dan dependensi budaya”, McPhail (1987) menyebutnya,”kolonialisme elektronik”, Hamelink (1983) menyebutnya, “sinkronisasi budaya”, Galtung (1979) menyebutnya, “imperialisme struktural”, Mattelart

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

4


(1994) menyebutnya, “imperialisme ideologis” dan imperialisme ekonomi. Namun istilah yang paling populer dipakai adalah “imperialisme budaya” atau “imperialisme media”. Asumsinya, lanjut A. White, karena media menempati posisi sentral dalam penciptaan budaya. Karena itu, dua istilah ini sering saling bertukar (interchangeble), ibarat dua anak kembar. “Imperialisme budaya”, kata Salwen (1991:30) adalah istilah yang bermuatan ideologis yang sering berkaitan dengan penggambaran efek atau pengaruh media massa Barat terhadap khalayak luar negeri. Para peneliti imperialism budaya (IM) sepakat sebagaimana digambarkan Berltran, (1978b:184) bahwa : ”cultural imperialism is a verifiable process of social influence by which a nation imposes on other countries its set of beliefs, values, knowledge, and behavioral norms as well as its overall style of life”. Sementara Schiller (1979) mendefinisikan imperialisme budaya:…”Sum of the processes by which a society is brought into the modern world system and how its dominating stratum is attracted, pressured, forced, and sometimes bribed into shaping social institution to correspond to, or even promote, the value and structures of the dominating center of the system”. Cess Hamelink (1983:2-3) secara deskriptif menggambarkan hilangnya identitas lokal berupa adatistiadat, pakaian, musik, cita rasa dan gaya hidup setempat yang digantikan oleh semua yang serba Amerika akibat serbuan media mereka. Konsep lain dari imperialisme budaya adalah,apa yang disebut imperialisme media (media imperialism). Menurut BoydBarrett, “media imperialism refers to the process whereby, the ownership, structure, distribution or content of the

media in any one country are, single or together, subject to substantial external pressures from the media interests of any other country or countries, without proportionate reciprocation of influences by the country so effected”. Dalam konteks bingkai imperialisme media, media sering diidentikkan sebagai “ideological state apparatuses” yang membawa kepentingan negara maju, khususnya Amerika. Dengan merujuk pada definisi imperialisme budaya dan media sebagaimana dikemukakan di atas, dapatlah tergambarkan, bagaimana globalisasi dipahami oleh kelompok ini. Bagi mereka, globalisasi ditafsirkan, sebagaimana yang didefinisikan Anthony Gidden yakni:”Globalization as the spread of modernity, which he defines as the extention of the nation-state system, the world capitalist economy, the world military order and the international devision of labor”(Giddens dalam Thussu, 2006:63). Dari perspektif teori globalisasi, kaum imperialis media, dapat dimasukkan ke dalam kubu hyperglobalist yang memandang globalisasi sebagai ancaman ekonomi global dan militer dari negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang dan belum berkembang (Tomlinson dalam Muhammadi, 1997:74). Menurut Barret, teori imperialisme budaya terbagi ke dalam dua model. Pertama, model Schiller yang lebih ideologis dan yang kedua adalah model yang generik atau bersifat umum. Masing-masing kelompok ini membangun tradisi program riset dengan jalan yang berbeda. Model pertama dibangun oleh kelompok pendekatan ekonomi-politik yang didasarkan pada tradisi neoMarxis. Paradigma dependensia

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

5


misalnya, banyak mewarnai pendekatan awal program riset imperialisme budaya.Sedangkan kelompok yang kedua, datang dari para ilmuwan mazhab behavioristik yang menyodorkan program riset komunikasi dengan penekanan pada efek media ,studi analisis isi dan studi arus berita.

sering digunakan oleh mazhab neoMarxist. Dalam usaha menunjukkan hasil survei tentang ada tidaknya gejala imperialisme budaya di Indonesia, penulis menggunakan metoda kronologis ysitu dengan memetakan penggambaran gejala imperialisme budaya pada masa rezim Orde Lama, rezim Orde Baru dan rezim Orde Reformasi.

METODE PENELITIAN Tulisan ini akan diawali dengan mendeskripsikan konsep imperialime budaya dan imperialisme media serta pengaruh tradisi intelektual di belakangnya. Kedua, akan menunjukkan berbagai teori yang melandasi munculnya konsep imperialisme media. Ketiga, menyajikan kritikan terhadap konsep imperialisme media. Dan keempat, mendiskusikan ada tidaknya imperialisme media di Indonesia. Pendekatan metodologis yang dipakai dalam kajian ini, menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan metoda pengumpulan data didasarkan atas studi literatur (library research) atau analisis dokumen dan analisis kritis terhadap gejala media dan budaya imperialisme yang berkembang di Indonesia. Riset kepustakaan atau analisis dokumen adalah sebuah cara untuk menggali data dari sumber yang berbentuk buku, jurnal, majalah, surat kabar, undang-undang, website dan data tertulis lainnya yang relevan dengan topik bahasan. Penggunaan konsep imperialisme media atau imperialisme budaya disini tidak dimaksudkan sebagai dua konsep yang terpilah tegas (mutually exclusive), tetapi mengandung satu pengertian ibarat dua sisi dalam satu mata uang logam. Namun, apabila harus dikonstruksi melalui polarisasi mazhab pemikiran (school of thought), penulis condong memilih konsep imperialisme budaya (cultural imperialism), sebuah konsep yang yang

HASIL PENELITIAN Teori dan Asumsi Imperialisme Media Imperialisme media dikonstruksikan oleh empat teori: ketimpangan arus informasi (flow of information gap) dependensia, world system theory (WST), dan electronic colonialism (ECT). Dunia mengalami kesenjangan informasi antara negara Pusat(core) dengan negara Pinggiran (periphery). Kaum dependenista menganggap bahwa pembangunan telah melahirkan keterbelakangan negara-negara dunia ketiga. Sementara itgu, teori sistem dunia melihat terjadinya eksploitasi dan hubungan asimetris antara “negara pusat” kepada “negara pinggiran” dan “semi pinggiran”. Kolonialisme elektronik memandang relasi sepihak yang dibentuk oleh importasi hardware dan sofware beserta unsur pendukungnya untuk mengubah masyarakat setempat. Teori kolonialisme elektronik (Electronic Colonialism Theory) merupakan bagian dari teori makro (Phail,2010:16) yang tradisi risetnya datang dari Innis, McLuhan, Mattelart, Ellul, Bagdikian, dan Barnett. Teori ECTini kata Phail, menekankan pada:”posits that foreign produced, created, or manufactured cultural products have the ability to influence, or possible displace, indigenous cultural productions, artifacts, and media to the detriment of recieving nations (hal.320). Informasi dari luar menurut teori ini bisa menyebabkan

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

6


penolakan, perubahan, pengasingan terhadap kebiasaan otentik setempat, pesan-pesan domestik dan sejarah kulturalnya. Sementara kultur konsumerisme akan merajalela mendominasi realitas media karena makin berkuasanya perusahaanperusahaan multinasional yang datang ke negara-negara berkembang. Kedua, teori sistem dunia (WST) yang dikembangkan oleh Immanuel Wellernstein. Menurut teori ini, relasi negara-bangsa (nation-state) terbagi ke dalam tiga zona: core, semi peripheral dan peripheral zone. Diasumsikan bahwa relasi satu wilayah dengan wilayah lain menunjukkan ketidaksamaan dan ketidakmerataan dalam hubungan ekonomi. Wilayah pusat (core zona) mendominasi dan mengontrol dua wilayah lainnya yakni semi pinggiran dan pinggiran. Wilayah pusat berusaha mengontrol dan merumuskan sifat dan lingkup interaksinya dengan kedua wilayah semi pinggiran dan pinggiran. Wilayah pusat juga menyediakan teknologi peringkat keras, lunak, modal, pengetahuan, barang dan jasa kepada dua wilayah yang berfungsi sebagai pasar dan konsumen sekaligus. Ketiga, teori dependensi. Program riset imperialisme budaya kaum dependenista menganggap bahwa realitas dunia terbagi kedalam dua kategori: Negara maju (core) dan Negara pinggiran (periphery). Negaranegara pinggiran sangat bergantung pada media yang dimiliki Negara maju. Dalam konteks ini imperialisme budaya dilihat sebagai alat Negara maju untuk memelihara dominasi setelah mereka meninggalkan penjajahannya dalam bentuk penguasaan militer. Pandangan ekonomi-politik kaum dipendenista melihat imperialisme budaya sebagai produk ekonomi-politik kaum imperialis.

Keempat, ketidakseimbangan informasi (imbalance flow of information). Hampir 80% informasi dunia dikuasai oleh Utara. Sedangkan Selatan hanya menguasai kurang lebih 20% informasi. Studi Tapio Varis pada 1980-an tentang arus pesan televisi dunia yang didukung Unesco menyimpulkan seriusnya pertukaran informasi yang tidak seimbang antara Utara dan Selatan. “Most countries”, kata Varis, “are passive recipients of information disseminated by a view other countries” (Roach,1997:47). Hal ini terjadi karena teknologi informasi dan komunikasi - hard-ware maupun software- konglomerasi media, dan kekuatan ekonomi dan politik dikuasai negara-negara Utara. “Dominasi Barat”, kata Stevenson, “mencakup seluruh aspek komunikasi global, berita, budaya pop, bahasa Inggris sebagai bahasa global, dan teknologi komunikasi” (Stevenson dalam Salwen and Stacks, 1996:188). Kegiatan negara-negara superpower kala itu dalam melakukan propaganda, melibatkan organisasi-organisasi intelegens-nya seperti CIA, KGB, Mossad, MI-5, dan RAW, telah menimbulkan dominasi komunikasi dan informasi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang. Para sarjana Amerika Latin misalnya, memakai kacamata teori dependensia untuk mengkaji perusahaan media massa yang berkembang di negeri itu pada1970 dan 1980-an. Empatdari lima perusahaan jaringan televisi swasta besar yang ada Amerika Latin (sepertiGlobo TV di Brasil dan Televisa di Mexico), ternyata tidak menunjukkan watak kepemilikan sebagaimana yang lazim ada di Negara Ketiga (Third World). Menurut kaum dependista, media dan rakyat Amerika Latin terus bergantung pada negaranegara maju, terkait dengan berita dan

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

7


kebutuhan kulturalnya. Herbert Schiller (1969) dalam Mass Communication and American Empire mampu menunjukkan keterlibatan pemerintahan Amerika dan perusahaan-perusahaan bisnisnya yang mencengkram sistem media Dunia Ketiga. Dorfman dan Matterlart (1975) dalam How to Read Donald Duck, misalnya, mampu melacak jejak-jejak ideologis kaum imperialis dalam komik Walt Disney yang didistribusikan secara luas ke Amerika Latin. Dari berbagai studi yang dilakukan kaum imperialis media, paradigma dominan Barat mengenai komunikasi dan teknologi informasi, menurut Gudykunst dan Mody (2002:9), dikritik tajam sebagai berikut: 1. Teknologi komunikasi dan informasi yang disebarluaskan Barat, dianggap sebagai nilai yang mengandung muatan paternalistik dan etnosentrisBarat. 2. Metodologi riset komunikasi internasional Barat yang berpusat pada efek media telah mengabaikan konteks ideologi, ekonomi, politik, dan budaya negara-negara Dunia Ketiga. 3. Model Lasswell yang mengacu pada: who, say what, in which channel and with what effect harus digantikan dengan pertanyaan riset yang baru: “who owns and controls the distribution of communication and for what purpose and intents? 4. Media merupakan bagian integral dari “ideological state apparatuses” yakni bagian dari alat negara yang menanamkan nilainilai ideologis kepada publik. Dari sebagian besar teori dan riset imperialisme media, terdapat beberapa asumsi pemikiran yang

melandasinya. Pertama, bahwa imperialisme media berasumsi bahwa dominasi dan hegemoni budaya dan media terjadi disebabkan karena faktor eksternal, seperti faktor ekonomi dan politik yang mempengaruhi operasi media. Sementara itu, paradigma modernisasi melihat keterbelakangan masyarakat terjadi karena “cacat mental” yang dialami oleh masyarakat yang belum maju. Kedua, studi dan riset media menekankan pada efek media dengan menggunakan teori hypodermic needle (teori jarum hipodermik) yang mengandaikan bahwa media memiliki pengaruh langsung terhadap khalayaknya. Ketiga,relasi antarnegara dalam komunikasi internasional dan globalisasi telah melahirkan homogenisasi budaya dan media di negara-negara berkembang. Keempat, khalayak dianggap sebagai entitas yang pasif dalam menerima informasi dan komunikasi dari luar. Kelima, teori-teori imperiliasme media pada umumnya menggunakan teori-teori makro komunikasi yang menekankan pada arus informasi satu arah (one way flow of information) atau “top down transmission system from dominant country to dominated country”.Keenam, imperialisme budaya percaya bahwa media memainkan peran penting dalam pembentukan kebudayaan. Dari perspektif paradigmatik, teori kritis imperialisme budaya atau dependensi dapat dibedakan dari teori free flow dan free market yang berparadigma positivisme-modernisasi. Menurut Daniel Biltereyst, kedua mazhab ini menunjukan perbedaan signifikan dalam memandang realitas dunia komunikasi. Pertama, paradigma dependensi berada pada posisi paradigma kritis, penganut kaum kiriprogresif dan bermazhab imperialisme budaya. Sedangkan paradigma free

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

8


market menganut paradigma administratif, berposisi sebagai kaum konservatif dan penganut mazhab free flow of information. Kedua, kaum dependensi melihat dominasi Amerika sebagai wujud konspirasi hukum pasar kapitalis yang tertanam dalam nilainilai, norma dan ideologi kapitalis Amerika dengan nilai yang sudah distandarisasi. Sedangkan pada free market, merujuk pada hukum free market yang percaya pada seleksi alamiah yang bebas di ruang publik dan memandang budaya sebagai nilai universal yang bisa diterima siapapun. Ketiga, pada dependensi konsep khalayak dilihat sebagai entitas yang pasif dan dianggap sebagai komoditas. Sedangkan pada free market, khalayak dipandang sebagai entitas yang terbuka dan menunjukan kebutuhan dan permintaan yang kooperatif. Keempat, dari sudut pengaruh budaya, kaum dependensi melihat pengaruh media Barat menimbulkan ketergantungan bangsa-bangsa bukan-Barat, menciptakan homogenisasi dan sinkronisasi budaya serta menciptakan kesadaran dan kebutuhan palsu (false needs and consciousness). Dan bisa ditambahkan disini sebagai faktor kelima bahwa teori dependensi menggunakan teori-teori makro. Sedangkan free market menggunakan teori-teori mikro. PEMBAHASAN Kritik terhadap Teori Imperialisme Media Menurut para pengeritik imperialisme media, SribernyMuhammadi (2001) misalnya, imperialisme media mengandung problematik baik secara teoretis maupun secara empiris. Media, tambahnya, bukanlah faktor tunggal dan menentukan yang mempengaruhi khalayak. Terdapat determinan-

determinan lain yang juga mempengaruhi khalayak seperti faktor industri (fesyen, turisme, arsitek dll) dan warisan pendidikan kolonial. Lagi pula, kata yang lain, konsep imperialisme media kurang memiliki ketepatan definisi yang jelas. Hampir semua pengagas teori ini, memiliki defenisi yang sangat beragam. Sui Nam Lee (1988) misalnya, mengeritik konsep ini sebagai istilah yang tidak spesifik. Namun, ketika ia menawarkan imperialisme media digantikan dengan istilah �imperialisme komunikasi�, juga menimbulkan perdebatan. Selain itu, data ekonomi dari imperialisme media mungkin dapat diukur lewat statistik, tapi mengukur data budaya, lebih sulit untuk diukur. Di sini kata Golding dan Harris (1997:5) media imperialisme telah mencampuradukkan efek ekonomi dan budaya secara arbitrer (semena-mena). Kritikus lain menyatakan bahwa konseptualisasi tentang polarisasi kekuatan dunia ke dalam tiga kategori: firsth world, second world, dan third world, dewasa ini sudah tidak relevan lagi mengingat jatuhnya benteng Jerman Timur sebagai babak baru dalam sejarah dunia yang ditandai dengan makin banyak dan kompfleksnya realitas komunikasi internasional dewasa ini. “US is not the only dominant player in term of media production�, kata Thussu (2007: 11-28 ). Dalam Media on the Move, Thussu menunjukkan gejala industri baru di sebelah Selatan yang mulai melakukan counter-cultureterhadap produksi Hollywood. Tumbuhnya industri hiburan Bollywood, telenovela di Amerika Latin, Cina, Korea dan sejumlah negara Timur Tengah seperti Iran, Mesir dan Turki yang selalu mendapat perhatian di festival perfilman dunia. Karena itu, ia kemudian membagi arus informasi

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

9


dunia ke dalam tiga kategori: global, transnasional dan geo-cultural. Imperialisme media pun mengabaikan peranan khalayak yang, menurut banyak penelitian, menunjukkan resistensi terhadap kepemilikan dan isi pesan dari berbagai media asing. Straubhaar (2000) misalnya, meperkenalkan konsep cultural proximity yang menunjukkan bahwa khalayak lebih memilih program siaran yang lebih dekat dengan ikatan kulturnya daripada siaran budaya asing. Dalam keseharian kita misalnya, meskipun Indovision banyak menawarkan seperti stasiun berita CNN, al-Jazeera atau berbagai sumber hiburan lainnya, ternyata yang lebih banyak ditonton adalah beritaberita dan hiburan dari stasiun televisi nasional sendiri. Selain hambatan bahasa, faktor lainnya adalah karena alasan cultural proximity itu. Dari temuan-temuan riset tentang khalayak yang menggunakan teori reception misalnya, menunjukkan bahwa pesan yang diterima khalayak ternyata menimbulkan pesan polisemic yakni pesan yang tidak tunggal tetapi beragam dan mengundang banyak tafsir dari tiap khalayak. Ternyata, menurut riset reception, khalayak itu bersifat aktif ketika mendapat pesan dari luar. Menurut Fiske dan de Certeau, khalayak dinilai sebagai “active producers of meaning, not consumers of media meaning�. Studistudi kualitatif dan etnografik oleh Ien Ang dalam Watching Dallas (1985), Janice Radway (1987) tentang Reading the Romance, David Morley (1986) tentang Family Television, membuktikan bahwa khalayak punya persepsi yang berbeda-beda atas isi pesan yang diterimanya. Kritik lainnya yang tertuju pada imperialisme media misalnya, selain karena peta politik dunia yang sudah berubah, penemuan teknologi

informasi pun sudah demikian drastis berubah. Munculnya media baru telah telah mengeliminasi struktur dan sebaran isi pesan asimetrik yang kemudian digantikan oleh pesan yang bersifat interaktik dan simetrik. Pola hubungan subyek-obyek sudah ditengarai oleh konsep yang disebut Computer-mediated communication (CMC) sehingga melahirkan pola hubungan yang intersubyektivitas dalam ruang maya network society yang bersifat egaliter dan demokratis. Efek kultural dari media global pun tidak lah dengan sederhana menimbulkan homogenisasi budaya, tetapi globalisasi budaya telah melahirkan cultural hybridization yakni saling bercampur, berfusi, berbaur dan saling menyatu antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Bahkan yang lain menyatakan bahwa efek globalisasi dalam kebudayaan telah melahirkan glocalization yakni hasil sintesis antara homogenisasi budaya dengan heterogenisasi budaya, sehingga menimbulkan jalan tengah glokalisasi. Sementara menurut yang lain efek globalisasi dalam kebudayaan telah melahirkan heterogenisasi budaya sehingga realitas masyarakat semakin plural. Kasus jilbab kaum muslimat di berbagai negara Eropa misalnya, bukannya “jiwa Eropa� menghilangkan identitas khas mereka, justru sebaliknya yang terlihat adalah menguatkan penegakan dan perluasan hak-hak mereka di tengah dominasi masyarakat yang menafikannya. Selain itu, teori imperialisme media tidak bisa diterapkan dalam semua situasi, terutama terhadap situasi kekinian yang telah menunjukkan berbagai pergeseran aktor negara (state-actors), non-state actors, konvergensi teknologi informasi dan komunikasi, ideologi dan sistem politik dunia yang semakin

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

10


terbuka, plural, dan saling mempengaruhi satu sama lain. Dari sudut worldviews teori, temuan riset empiris dan peta dunia, relevan untuk mengkonstruksi relasi negara dalam dinamika komunikasi internasional pada 1970-an. Belakangan, setelah banyak kritik dan tanggapan serta riset baru, pandangan dunia (worldviews) imperialisme media perlu mendapat berbagai revisi. Hal lain yang juga membuat bias teori imperialisme media, memakai pendekatan ekonomi-politik dengan menganalisis hubungan media dengan kebijakan luar negeri Amerika. Imperialisme media juga kurang memperhatikan elit nasional di negara berkembang yang didukung elit dominan dalam komunikasi internasional untuk memelihara dan menjaga struktur ekonomi-politik elit nasional atau lokal sendiri. Konsentrasinya pada dampak bisnis transnasional dan peran kekuatan eksternal terhadap perkembangan ekonomi dan sosial, namun imperialisme media mengabaikan kelas di tingkat nasional dan lokal, gender, etnik dan relasi keuasaan antarpara aktor (Thussu, 2007:52). Imperialisme Budaya di Indonesia Adakah imperialisme budaya di Indonesia? Jawabannya, secara hipotetis ada. Masalahnya seberapa jauh derajat kualitas dan kuantitasnya, membutuhkan satu riset. Faktor waktu, faktor politik kebudayaan yang dianut rezim, dan dinamika masyarakat, merupakan beberapa variabel yang penting diperhatikan. Bila mengacu pada kurun waktu zaman Orde Lama misalnya, gejala imperialisme budaya Barat melalui budaya pop seperti musik rock and roll atau Beatless misalnya, cukup digemari publik. Demikian juga gejala pornografis dalam poster, iklan, dan ilustrasi

media, sudah cukup marak. Waktu itu, Perang Dingin antara Amerika dengan Uni Soviet demikian kuat sehingga Indonesia berada di antara dua pengaruh negara adikuasa tersebut. Namun politik kebudayaan era Soekarno pada saat itu lebih condong pada semangat anti-imperialisme. Karena itu, melalui ajaran Trisaksinya: (yakni daulat politik, daulat ekonomi dan daulat kebudayaan), rezim Orla melarang segala bentuk kebudayaan pop dari Barat. Para personil Koes Ploes misalnya, yang terpengaruh Beatless dan Rock and Roll, sempat dipenjarakan. Para seniman Lekra yang “dekat” dengan PKI, dan pengaruh politiknya cukup besar pada waktu itu, “segera menjadi pelopor bagi gerakan budaya yang ikut dalam arus penentangan terhadap imperialisme kebudayaan”(Chisaan, 2008:58). Mereka demikian rajin mengeritik pemerintah agar lebih tegas menolak kebudayaan Nekolim. Zaman Demokrasi Terpimpin model Soekarno, ingin membangun politik kebudayan dengan cara melakukan “nasionalisasi kebudayaan”(Kleden, 1987:233). Caranya, dengan menghidupkan kembali seni-seni tradisi rakyat yang tumbuh di kalangan komunitas dan etnis yang ada di Indonesia. Berbeda dengan Orde Baru, rezim Soeharto menganut politik kebudayaan sebaliknya. Ia lebih terbuka bahkan sangat lunak dengan “imperialisme budaya” Barat. Soeharto melakukan politik kebudayaan dengan cara: “internationalization of culture”(Haryadi and Shodiq, 2014:331). Semua bentuk kebudayaan Barat: ilmu, teknologi dan budaya pop dibuka dengan massif. Strategi pembangunan ekonomi misalnya, sangat dipengaruhi oleh ekonomi model kapitalis. “Mafia Berkeley”

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

11


misalnya, adalah para perancang strategi pembangunan di era Soeharto yang “dekat” dengan mazhab ekonomi liberal Barat. Dalam komunitas keilmuan saat itu, hanya ISEI yang cukup menonjol karena para anggotanya banyak yang saat itu tengah menjadi birokrat. Sementara peran ilmu-ilmu sosial lain, kata Haditz dan Dhakidae (2005:2): ”were pressed to adhere to the developmental reference points provided, which mainly stressed growth, stability, and the non-desruption of the social order”. Ilmu-ilmu sosial waktu itu diperankan sebagai bagian dari narasi besar paradigma positivisme yang mendasari gerak modernisasi di Indonesia, sehingga strategi pembangunan meniru (copy paste) model strategi pembangunan modernisasi Barat. Keterikatan rezim Orba dengan Bank Dunia, IMF dan WTO adalah bagian dari ekonomi global yang sulit dihindari untuk tidak dikatakan sebagai bagian dari wujud imperialisme budaya Barat. Di berbagai universitas mulai dibuka jurusan studi pembangunan. Adanya mata kuliah “wiraswasta” misalnya di Fekon atau jurnalistik pembangunan di Fikom misalnya, adalah kasus-kasus yang menunjukkan jejak-jejak imperialisme budaya yang dibawa “ideologi” modernisasi, merembes dan “mensubversi” komunitas ilmuwan kita. Deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi ekonomi model neoliberal, telah menumpulkan peran ilmu sosial di sudut “pinggiran”. Demikian juga dengan kebudayaan pop Barat. Ketika rezim Orba meluncurkan Satelit Palapa sebagai bagian dari “open sky policy”, industri televisi demikian pesat berkembang. Di samping TVRI, muncul pula banyak stasiun TV Swasta yang menyuguhkan musik, iklan, film,

variety shows dan sinetron yang banyak berasal dari impor Barat. Pada 1990-an misalnya, ANTV bermitra dengan MTV yang memiliki jaringan dengan berbagai televisi dunia. Global TV bermitra dengan MTV yang porsi hiburannya lebih mengangkat kebudayaan pop Korea. SCTV bermitra dengan Entertaiment and Sport Programme Network (ESPN). Sementara Indosiar bermitra dengan Home Box Office (HBO) yang banyak menayangkan film-film laga layar lebar. Dominasi iklan, sinetron, dan film-film asing di berbagai televisi nasional, demikian massif terutama sebelum terjadinya krisis ekonomi 1998. Namun gejalanya mulai berkurang setelah rezim Orba mengalami krisis ekonomi yang berakibat kemudian pada pergantian rezim berikutnya. Dalam hal iklan misalnmya, studi Ginting menyimpulkan bahwa : ”Dari 20 yang diamati terdapat nilai-nilai budaya asing yang menonjol yaitu perubahan pola interaksi personal individu, seksualitas (personal intimacy), kecantikan (beauty), pola hidup konsumtif, dan tingginya penggunaan istilah asing pada iklan” (hal.2, tanpa tahun). Demikian juga dalam hal mode, media massa sangat menonjol dalam menyosialisasikan gaya hidup dan mode Barat. Hasil studi Yohana (2009:98) pada Majalah Gogirl misalnya, menunjukkan bahwa rubrik fashen Hollitrend banyak mengangkat produk Barat seperti: harem, jumpsuit, vintage dress, bubbly skirt, legging, ripped jeans, vest dan bomber jacket. Yang menarik dicatat dalam kaitannya dengan politik kebudayan pada rezim Orba, kebijakannya, bersifat “dual policy” (Hariyadi and Shodiq, 2014:332). Di satu pihak, membuka pintu lebar-lebar bagi kebudayaan Barat, namun di pihak

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

12


lain, melakukan “tekanan” terhadap kaum intelektual dan politisi atau kekuatan civil yang akan berpotensi menggangu stabilitas nasional. Demokrasi politik yang dibangun bersifat “semu” dalam pengertian, meskipun media massa sebagai bagian dari “pilar keempat” demokrasi, namun fungsi pengawasannya (watchdog function) , hampir tidak diberi ruang gerak yang leluasa. Demikian juga dengan partai politik. Meskipun terdapat tiga partai politik dengan Golkar sebagai “the rulling party”, dan PPP dengan PDI sebagai “oposisi”, setidak-tidaknya “bukan partai pemerintah”, namun kedua partai tersebut dapat “dikendalikan” rezim Orba. Demikian halnya dengan kekuatan “civil society”, kelompok Islam yang sering “mengganggu” pemerintah, kemudian diwadahi dalam ICMI, meskipun sebagaian elit Islam seperti Gus Dur misalnya, sempat mendirikan “forum demokrasi” sebagai upaya membangun proses demokratisasi dari bawah. Kala itu, semua gagasan ekonomi, budaya dan sosial diperbolehkan “bebas tanpa syarat”, kecuali liberalisasi dan demokrasi politik. Dibandingkan dengan rezim Orla, gejala imperialisme budaya Barat pada masa Orba, tampak jauh lebih menonjol. Cara pandang neo-liberal dalam ekonomi yang dianut para elite atau, cara berpakaian dan penggunaan merk yang “branded” dari Barat, perilaku pejabat publik dan keluarganya yang sering berbelanja ke luar negeri, semakin tingginya anggota masyarakat mengonsumsi jenis makanan KFC, McDonald, AW dan minuman Cola Cola misalnya, sudah lumrah menjadi kebiasaan santapan masyarakat kita. Sementara itu di bidang industri film dan musik misalnya, hampir setiap hari televisi yang ada di Indonesia, menyuguhkan

banyak film kekerasan produk Amerika. Jaringan bioskop seperti Blitz dan XXI di tiap pusat kota misalnya, dikuasai oleh film impor Amerika. Artis-artis Hollywood sudah cukup dikenal masyarakat kita. Demikian pula dalam industri musik, lagu-lagu Barat sudah menjadi bagian dari “makanan” keseharian anak-anak dan remaja kita. Era Reformasi, politik kebudayaan semakin terbuka lebar. Negara seakan mengalami “stateless” dalam kaitannya dengan gerak imperialisme budaya. Globalisasi yang semakin intensif dan mendatangkan perkembangan teknologi informasi yang bersifat interaktif, maka sumber pengetahuan tidak saja datang dari media konvensional, tetapi juga dari inkonvensional ketika masyarakat semakin gandrung memanfaatkan media sosial yang di era reformasi ini semakin massif. Dalam pada itu, rezim reformasi bukan saja akrab dan terbuka dengan imperialisme budaya Barat dan non-Barat, melainkan telah membuka “kotak pendora” bagi liberalisasi politik yang selama ini “disandra” rezim Orba sehingga melahirkan kembali sistem multipartai dan pemilihan langsung presiden, gubernur dan walikota-bupati. Di era multimedia sekarang, para pejabat publik dan politisi, ibarat selebriti yang main sinetron penuh “dramatik” di televisi dan media sosial yang kemudian menjadi bgagian dari kebudayaan pop. Baju kota-kotak ala Jokowi misalnya, telah menjadi bagian dari kebudayaan pop masyarakat. Pemanfaatan media sosial, bukan saja telah meningkatkan partisipasi politik warga dalam pilkada atau pilpres, melainkan juga hak untuk memilih produk kebudayaan pop yang datang dari tiap penjuru dunia. Kegandrungan remaja kota terhadap K-Pop yang membuat boyband dan

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

13


girlband asal Korea menjadi trendsetter, menurut hasil riset S2 komunikasi UI, itu akibat akses internet (Astuti, 2012:102). Demikian juga dengan kebudayaan pop dari Jepang, Peranc is, Inggris, Spanyol, Timur Tengah seperti musik nasyid misalnya, dengan mudah diakes melalui internet. Jadi, media massa maupun media sosial dewasa ini telah menjadi sumber utama bagi akselerasi dan sosialisdasi budaya pop dunia. Akibatnya, imperialisme budaya Barat dan non-Barat semakin deras merasuki kalangan masyarakat Indonesia. Imperialisme budaya di era reformasi, tampak semakin menonjol dibandingkan era rezim Orba. Sebab kualitas dan intensitasnya, frekuensi dan bobotnya, semakin lebar, luas dan merasuk segala sendi-sendi kehidupan ekonomi, politik dan budaya. Imperialisme yang datang sekarang, bukan hanya dari Barat melainkan juga dari non-Barat. Sudah lama orang kita juga mengenal dan mengapresiasi film dan musik India, Cina, Jepang dan sekarang yang cukup digandrungi adalah musik Korea. Musik dan film dari Timur Tengah pun dewasa ini sudah mulai diapresiasi. Festivalfestival film di Barat misalnya, banyak juga dimenangkan oleh Iran, termasuk Indonesia. Makanan Cina, Jepang termasuk makanan Timur Tengah seperti kebab dan nasi kebuli, bukanlah makanan asing lagi bagi warga Indonesia. Hal yang menarik, akibat “desakan” imperialisme budaya yang datang dari segala arah, muncul juga gerakan counter-culture (perlawanan) budaya untuk menguatkan indigeneous culture (budaya asli) kita. Pemerintah daerah di sebagian kota dan propinsi, telah mewajibkan penggunaan bahasa daerah dan pakaian khas subkulturnya masing-masing. Busana batik pun sudah lama dijadikan pakaian nasional

kita, termasuk beberapa jenis musik seperti angklung dan tarian daerah yang dipakai untuk menyambut para tamu negara dan dijadikan “alat” diplomasi publik dalam pertemuan antarbudaya di mancanegara. Gejala busana muslimah yang tradisinya sudah mendunia dan semakin menjadi “trendi” sekarang, merupakan bagian dari counter-culture dari kaum muslimat dunia terhadap cara berbusana Barat. Menonjolnya imperialisme budaya di semua sektor kerhidupan dewasa ini, telah melahirkan kesadaran politik dari elite politik sehingga muncul wacana baru tentang pentingnya kedaulatan ekonomi, politik dan budaya sebagai materi utama kampanye politik pada kedua calon Capres dan Cawapres PrabowoHatta dan Jokowi-JK saat Pilpres 2014 kemarin. Apalagi ketika pilres dimenangkan pasangan Jokowi-JK, maka semangat menghadirkan kembali semangat Trisakti, akan menjadi basis legitimasi yang kokoh bagi perjalanan pemerintahan atau rezim baru mendatang. Sayangnya, dukungan partai-partai koalisi pemerintah di parlemen hasil Pemilu 2014 lalu, tidak memberi topangan cukup kuat dibandingkan koalisi partai yang kalah bertarung pada pilpres lalu, membuat efektivitas kabinet Jokowi-JK, berada dalam situasi yang spekulatif. Kemenangan partai nonpemerintah dalam mengembalikan pilkada langsung menjadi tidak langsung, MD3 dan pemilihan pimpinan DPR, apakah merupakan isyarat sebagai langkah taktis untuk menopang strategi menguatkan identitas politik kebudayan nasional, atau sekedar “balas dendam” jangka pendek agar rezim Jokowi-JK menjadi tidak efektif dan akhirnya tidak memberi kontribusi bagi ikhtiar melemahkan imperialisme budaya

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

14


yang dewasa ini semakin menggurita?. Di atas permaianan politik jangka pendek dan situasional ini, yakin bahwa dil ubuk hati terdalam para elite, sudah terbentuk kesadaran bersama akan mimpi sebuah bangsa yang “dibayangkan”: kuat dalam ekonomi, politik dan kebudayaan!.

KESIMPULAN 1. Globalisasi adalah proses kompleks yang membawa dunia menjadi semakin “menyatu” melalui intensitas dan ekstensi komunikasi dengan segala bentuk salurannya. Isi komunikasi mengandung bias kepentingan baik atas nama individu, kelompok, bisnis korporasi dan negara baik secara ideologis, ekonomi, dan kultural. Karena itu, globalisasi tak lain adalah imperialisme budaya yang datang ke Indonesia. 2. Teori imperialisme budaya/media merupakan bagian dari teori komunikasi internasional yang mampu menggambarkan dominasi dan hegemoni media Barat yang isinya mengandung kepentingan politik, ekonomi dan budaya sebagai bagian dari diplomasi publik untuk mengkonstruksi sudut pandang dunia (worldview) Barat terhadap negaranegara Dunia Ketiga atau yang non Barat. 3. Validitas dan realibitas teori imperialisme budaya menimbulkan banyak kritik karena tidak mampu menggambarkan dominasi dan hegemoni media dan budaya untuk setiap bangsa. Dalam pada itu, counterhegemony melalui industri film Bollywood misalnya, atau film-film Cina yang juga dominan, termasuk pemberitaan Aljazeera, telah membuka pintu realitas dunia menjadi multiperspektif. Imperialisme budaya dewasa ini bersifat multipolar.

4. Kuat dan lemahnya efek imperialisme budaya bergantung pada politik kebudayaan dan kebijakan komunikasi satu negara, ketahanan ekonomi dan budayanya, termasuk kesadaran literasi individu dalam menerima berbagai informasi dan hiburan yang datang dari luar. Bangsa Jepang misalnya, meskipun mampu mengadopsi modernisasi Barat dalam teknologi dan ekonomi, namun watak kultural “Ketimuran”-nya tidak lantas terkikis. 5. Gejala imperialisme budaya dilihat dari kurun waktu rezim berkuasa dan politik kebudayaannya, menunjukkan bahwa pada era rezim Orla, imperialisme budaya tumbuh namun tidak massif akibat politik kebudayaan “pintu tertutup” bagi budaya Barat. Sedangkan era Orba, imperialisme budaya lebih terbuka dan massif kecuali liberalisasi politik Barat. Dan era reformasi, imperialisme budaya semakin massif dan semakin terbuka akibat politik kebudayaan rezimnya dan tumbuhnya media sosial yang menumbuhkan partisipasi warga di segala sektor kehidupan. 6. Dibutuhkan strategi kebudayaan bagi satu bangsa, termasuk Indonesia untuk terbuka mengambil nilai-nilai universal dalam semua bidang baik ilmu, teknologi, ekonomi dan budaya tanpa kehilangan “jati diri” sebagai sebuah bangsa yang berdaulat dan bermartabat di tengah bangsa-bangsa lain. Membangun branding nation yang positif dan berkarakter adalah pekerjaan rumah kita ke depan. 7. Semangat Trisakti yakni berdaulat dalam ekonomi, berdaulat dalam politik dan berdaulat dalam kebudayaan, merupakan wacana baru yang tengah menjadi kesadaran politik para elit politik untuk membangun bangsa yang “diimpikan” ke depan. Kesadaran akan pentingnya doktrin Trisaksi di kalangan elit akan mampu mereduksi

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

15


imperialisme budaya yang semakin kuat sekarang. DAFTAR PUSTAKA -

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Astuti (2012). Imperialisme Budaya Industri Dunia Hiburan Korea di Jakarta: Studi terhadap RemajaRemaja Jakarta yang menggemari Pop Korea. Jakarta: Tesis S2 Universitas Indonesia. Chisaan, Choirotun (2008). Lesbumi Strategi Politik Kebudayaan. Yogyakarta. LkiS. Gudykunst, William B and Mody, Bella (2002). International and Intercultural Communication. London and New delhi: Sage Publication. Hadiz, Vedi R and Dhakidae, Daniel, eds (2005). Social Science and Power in Indonesia. Jakarta-Singapore: Equinox Publishing and Institute of Southeast Asian Studies. Hamelink, Cess J. (1983). Cultural Autonomy in Global Communication. New York and London: Longman. Haryadi and Shodiq, Dalhar (2014). “Managing Popular Culture: Comp;aring Old Order, New Order, and Reform Periods� in International Integration Regional Public Management Journal. America: Atlantis Press Kleden, Ignas. (1987). Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES. McQuail, Dennis (2005). McQuail Mass Communication Theory. London: Sage Publication (Fifth Edition). McPhail, Thomas (2006). Global Communication. USA: Blackwell Publishing. Muhammadi, Ali ed.(1997). International Communication and Globalization. London: sage Publication. Muhammadi-Sreberni, Annebela;Winseck, Dwyne; McKrnna, Jim and Boyd-Barret, Oliver (1997). Media in Global Context: A Reader. London, New York, Sidney and Auckland: Arnold.

-

-

-

-

-

-

-

-

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

Roach, Collean (1997). Cultural Imperialism and Resistance in Media Theory and Literary Theory. Media, Culture and Society, 19, 47-66. Salwen, Michael B., Lin, Carolyn A and Anokwa, Kwadwo (2003). International Communication: Concept and Case. Belmond USA: Thomson & Wadsworth. Salwen, Michael B and Stacks, Don W (1996). An Integrated Approach to Communication Theory. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Salwen, Michael (1991) Cultural Imperialism: A Media Effects Approach. Critical Studies in Mass Communication, 8, 29-59. Straubhaar/LaRose (2002). Media Now: Communications Media in the Information Age. Belmond USA: Wadsworth. Thussu, Daya Kishan (2006). International Communication: Continuity and Change. New York: Hodder Arnold. __________________ed. (2007). Media on the Move: Global Flow and Contro Flow. London and New York: Routledge. Yohana, Patrecia (2009). Imperialisme Budaya pada Rubrik Fasyen: Studi Analisis Semiotika Imperialisme Budaya pada Rubrik Fashion di Majalah Gogirl. Medan: Skripsi Jurusan Fikom Fisip, Unsut

16


RASISME MEDIA POLITIK DEDI KURNIA SYAH PUTRA DAN M. YAHYA ARWIYAH dedikurniasp@telkomuniversity.ac.id dan yahyaarwiyah@telkomuniversity.ac.id Pengajar Universitas Telkom, Bandung ABSTRACT Racism is a classic study of political media which is interesting to be review again, as renewal of thinking. The concept of Media Racism views the media as a battlefield of ideology, where there is a conflict between the ruling class and subordinate classes. This chaos causes the birth of ideology media racist where the elitist ruling class media force the subordinate to receive media content ruling class interest. Stuart Hall (1932) on his writing essay ‘The Whites of Their Eyes; Racist Ideologies and The Media’ said that the analysis of media cultural practice based on Marx's theory perspective revealing the mass media autonomy and replace Gramsci's concept of hegemony and Althusser who view the media as ideological state apparatus (Woollacott 1982: 110). Politically, there was a culmination of hypothetical political journalism n 2014. Media is co-opted, as if it has been collapsed by the authority of " media public". Few of them enter to the realm of practical politics, like Golkar Party Chairman Aburizal Bakrie with his Viva Group, Hary Tanoesoedibjo, a candidate of vice president at People's Conscience Party with his MNC Group and Surya Paloh, as a founder and Chairman of National Democratic Party with his Media Indonesia Group and Dahlan Iskan, a new politician from Democratic Party who is also a Media king under Java Post Media Group. Key words: media racism, political journalism, media conglomeration

ABSTRAK Rasisme media politik merupakan kajian klasik yag menarik untuk diulas kembali, tentu sebagai pembaharuan pemikiran. Konsep Rasisme Media memandang media massa sebagai medan perang ideologi, di dalamnya terjadi pertentangan kelas antara ruling class dan subordinat class. kekacauan inilah yang melahirkan rasis ideologi media. Di mana elitis penguasa media memaksa subordinat class menerima konten media yang sarat kepentingan ruling class. Meminjam pemahaman dari Stuart Hall (1932) melalui tulisannya yang tajam berjudul The Whites Of Their Eyes; Racist Ideologies and the Media. Ia mengungkapkan analisis dari praktek media berdasarkan perspektif dari teori kulturalis Marx, yakni dengan mengungkapkan otonomi media massa dan mengganti konsep Hegemoni Gramsci serta Althusser yang memandang media sebagai ideological state apparatus (Woollacott 1982: 110). Secara politis, tahun 2014 merupakan puncak dari hipotesis jurnalisme politik. Media terkooptasi, seolah wibawa “media publik” runtuh seruntuh-runtuhnya oleh segelintir orang penguasa media. Kemudian yang “segelintir” tersebut kesemuanya masuk ke ranah politik praktis. Dapat disebutkan, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie dengan Viva Group. Hary Tanoesoedibjo, calon wakil presiden usungan Partai Hati Nurani Rakyat dengan MNC Group. Surya Paloh, pendiri sekaligus Ketua Umum Partai Nasional Demokrat dengan Media Indonesia Group. Dahlan Iskan, politisi baru melalui Partai Demokrat juga seorang Raja Media dibawah bendera Jawa Pos Group.

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

17


Kata kunci: rasisme media, jurnalisme politik, konglomerasi media PENDAHULUAN

Landasan dasar dalam riset ini, terutama keterkaitan jurnalisme politik merupakan antitesis dari etika jurnalisme yang semakin memudar. Meminjam pemahaman dari Stuart Hall (1932) melalui tulisannya yang tajam berjudul The Whites Of Their Eyes; Racist Ideologies and the Media. Ia mengungkapkan analisis dari praktek media berdasarkan perspektif dari teori kulturalis Marx, yakni dengan mengungkapkan otonomi media massa dan mengganti konsep hegemoni Gramsci serta Althusser yang memandang media sebagai ideological state apparatus (Woollacott 1982: 110). Mula-mula, Hall menyampaikan gagasannya terkait interpretasi media, di dalamnya termasuk ideologi. Menurutnya, walaupun media massa cenderung untuk mereproduksi suatu interpretasi guna memenuhi kebutuhan dari kelas yang berkuasa (ruling class), mereka juga berfungsi sebagai medan perjuangan ideologis. Jadi, media juga berfungsi untuk memperkuat pandangan bersama dengan menggunakan idiom-idiom publik, dan dengan mengklaim bahwa dirinya menyuarakan opini publik. Hall juga mengungkapkan secara teoritis, bagaimana orang memaknai teks media. Stuart Hall (Encoding and Decoding, 1973), berpendapat ideologi dominan secara khusus dikesankan sebagai preferred readings dalam teks media, namun bukan berarti hal ini diadopsi secara otomatis oleh pembaca. Situasi sosial yang mengelilingi pembaca/penonton/pendengar akan mambawa mereka untuk mengadopsi

teks media dari sudut pandang yang berbeda. Sebelum membicarakan tiga hal dasar tentang ideologi, penting untuk memberikan pengantar tentang dasar sistem pemaknaan menurut Hall. Hall menurunkan dan mengelaborasi gagasan Parkin mengenai tiga sistem pemaknaan dasar yang digunakan individu untuk menafsirkan atau memberi respons terhadap persepsi mengenai kondisi masyarakat. Ia menunjukkan tiga sistem tersebut terkait dengan cara pembaca mendecode teks media. Pertama, sistem dominan (dominant readings), merupakan salah satu sistem atau kode yang dihasilkan ketika situasi sosial yang mengelilingi pembaca menyerupai preferred readings. Kedua, sistem negosiasi (negotiated readings), merupakan sistem atau kode yang dinegosiasikan. Dalam hal ini, nilai-nilai dominan dan struktur yang ada dalam preferred readings diterima, namun nilai-nilai tersebut digunakan sebagai penegasan bahwa situasi sosial yang ada perlu diperbaiki. Ketiga, sistem oposisional (oppositional readings), merupakan sistem atau kode yang menolak versi dominan dan nilai-nilai sosial dari preferred readings. Pembaca atau khalayak media menempatkan pesan dalam sistem makna yang secara radikal berlawanan dengan makna dominan. 1 Sedang ideologi, bagi Hall merupakan istilah yang kompleks untuk didefinisikan. Makna ideologi dapat memberikan implikasi tertentu, tergantung dalam konteks apa dia digunakan. Secara sederhana ideologi 1

Tumenggung Adeline. Laba-laba Informasi Teknologi. (Jakarta: LSPP, 2009)

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

18


adalah kumpulan ide atau gagasan. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang dunia (weltanschauung). 2 Ideologi juga merupakan sebuah sistem pemikiran abstrak yang diterapkan pada berbagai persoalan publik. Penjelasan yang lebih detail dari Hall tentang ideologi media terkait dengan konsep-konsep seperti “pandangan dunia,” “sistem keyakinan” dan “nilai-nilai”, namun makna ideologi lebih luas dari konsepkonsep itu. Ideologi bukan hanya untuk meyakini realitas, namun juga cara dasar untuk mendefinisikan realitas. Sehingga ideologi tidak hanya berhubungan dengan persoalan politik. Konotasinya lebih luas dan lebih fundamental dari itu. Analisis ideologis dapat dilacak kembali pada pemikiran Marx dan Marxisme Eropa abad ke-20. Pada Marxis awal, ideologi selalu dihubungkan dengan istilah kesadaran semu (false consciousness) yang disebarkan oleh kelas penguasa (ruling class) kepada kelas yang dikuasai (subordinate class). Kesadaran semu ini muncul karena pandangan atau gagasan-gagasan subordinate class dipaksa untuk menerima pandangan atau gagasan-gagasan ruling class dan untuk melayani kepentingan penguasa itu sendiri.3 Kembali pada pemikiran Stuart Hall untuk memahami konsep ideologi media, terlebih dahulu Hall ingin kita membaca dasar-dasar memaknai konten media, dalam membaca teks 2

Weltanschauung dapat diartikan sebagai pedoman hidup. Jalan berpikir tentang realitas yang membentuk ideologi individu-individu 3 Ahmad Danial. Media, Iklan Politik dan Komodifikasi Kekuasaan. (Yogyakarta: LkiS, 2009), h. 96

media, kita diarahkan untuk memahami konsep representasi. Representasi itu sendiri adalah salah satu praktik penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut pengalaman berbagi. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasa yang sama, dan saling berbagi konsep-konsep yang sama. Menurut Hall, ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental. Yaitu konsep tentang sesuatu yang ada di kepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, bahasa yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu. Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu. Relasi antara “sesuatu”, “peta konseptual”, dan “bahasa/simbol” adalah jantung dari produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang kita namakan representasi. Representasi merupakan salah satu proses dalam sirkuit budaya

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

19


(circuit of culture). Melalui representasi, maka makna (meaning) dapat berfungsi dan pada akhirnya diungkap. Representasi disampaikan melalui tanda-tanda (signs). Tandatanda tersebut seperti bunyi, kata-kata, tulisan, ekspresi, sikap, pakaian, dan sebagainya merupakan bagian dari dunia material kita (Hall, 1997). Tanda-tanda tersebut merupakan media yang membawa makna-makna tertentu dan merepresentasikan “meaning� tertentu yang ingin disampaikan kepada dan oleh kita. Melalui tanda-tanda tersebut, kita dapat merepresentasikan pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Dalam industri media (Napoli, 2009: 163-164) di dalamnya termasuk produksi pesan sekaligus distribusi informasi seringkali menjadi ajang perbincangan yang tidak kunjung berakhir. Dalam telaah kajian Ilmu Komunikasi, media dan profesi jurnalis yang berada dalam satu konsep industri senantiasa terlibat dalam dialektika kehidupan sepanjang masa. Kajian ini juga kemudian melahirkan telaah atas media dan pornografi, media dan politik. Dalam makalah ini sendiri, akan fokus pada konsep media dari sudut pandang tingkatan ideologi dan struktur rasisme sebagaimana argumentasi Hall dalam The Whites of Their Eyes: Racist Ideologies and the Media. Ada dua kata kunci yang menjadi klaim pekerja media selama ini bahwa media sebagai medium merupakan refleksi “independen dan objektif�. Jurnalis selalu menyatakan dirinya telah bertindak objektif, seimbang serta tidak berpihak pada siapapun dan pada kepentingan apapun dalam mengetahui kebenaran serta memberitakannya pada khalayak. Namun dalam kenyataan, kita ketahui lewat pemberitaan suatu peristiwa

yang sama. Media tertentu memberitakan dengan cara menonjolkan aspek tertentu, sedangkan media lainnya memelintir bahkan menutup aspek tersebut dari pemberitaan. Berangkat dari pernyataan di atas, media memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap kehidupan. Sejalan dengan pemikiran pemakalah, salah satu kekuatan media massa adalah membentuk realitas sosial. Gebner dalam buku Boyd-Barret, Approach to Media: a Reader (1995: 12), memperkenalkan konsep resonansi. Hal ini terjadi saat media massa dan realitas sebenarnya menghasilkan koherensi yang powerfull, di mana pesan media mengkultivasi secara signifikan. Ketika realitas media mirip dengan realitas sosial yang terjadi di lingkungannya, proses resonansi itu berlaku. Secara teoritik media tidak terlepas dari pengaruh politik dalam menentukan arah berita. Perangkat yang dipakai sebagai prisma dalam menyeleksi realitas yang pertama adalah politik media yang kemudian dirumuskan dalam kebijakan redaksional dimana realitas yang sama dapat menghasilkan konstruksi berita yang berbeda. Kemudian respon terhadap tuntutan pasar yang disebut segmentasi khalayak. Pada gilirannya segmen pembaca ini akan mempengaruhi berita (Bimo Nugroho, dkk, 1999: 4 dalam Farid Hamid, 2002: 6). Konteks di atas, pada dasarnya penjelasan dari apa yang telah dijabarkan dalam konsep hierarkhi pengaruh media yang telah peneliti jelaskan dalam pengantar tesis ini. Pada dasarnya, media massa tidak berdiri sendiri meskipun dalam koridor aspek keberadaannya dalam

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

20


pemerintah menempati pilar keempat dalam demokrasi, alasannya jelas karena adanya konsep mutualissimbiosis antara media dan politik. KERANGKA PEMIKIRAN Marketing politik di media massa Ranah politik di Indonesia telah menghangat menjelang pemilu 2014. Agenda lima tahunan ini juga menjadi hajatan besar bagi para marketer, tidak terkecuali para pekerja media yang berlomba-lomba dalam perburuan sebuah berita seputar pemilu 2014. Pada 2009 suasana hajatan besar tersebut dapat dirasakan dari media massa. Iklan Sutrisno Bachir, Rizal Mallarangeng dan Prabowo adalah iklan pembuka yang tayang sebelum waktu kampanye ditetapkan secara sah. Memang, dalam isi iklan tersebut mereka sepakat untuk tidak menyebut diri sebagai calon presiden. Namun demikian, khalayak memahami maksud dan tujuan mereka hanya untuk menarik perhatian. Selain iklan tokoh, partai politik mencoba jalur modern untuk sekedar mengenalkan diri melalui jasa periklanan di media massa, khususnya media massa. Kini, pada 2014 hiruk pikuk marketing politik lebih kental dan terkesan mengabaikan etika regulasi tentang kampaye politik. Iklan Partai Hanura secara terang-terangan mengusung calon presiden dan wakil presden, meskipun masa kampanye belum secara resmi di buka, begitupula dengan ratusan calon angota legislatif yang juga menebarkan iklan di mana-mana. Masih tokoh lama, Prabowo Subianto bersama Partai Gerindra, juga tak surut dalam beriklan. Kontestasi iklan politik, sebagian lainnya menyebut keharmonisan kompetisi tersebut tidak

hanya terlihat di media massa, demikian juga dengan jalanan yang penuh dengan kemeriahan berbagai atribut, mulai dari spanduk yang sekedar ajakan persuasif hingga banner berukuran raksasa, begitu juga dengan bendera partai peserta pemilu menjadi hiasan jalanan sepanjang kota hingga gang di pelosok desa. Semua kegiatan tersebut adalah bagian dari upaya untuk meraih public atentif respons. 4 Politik memang lahan strategis untuk dipasarkan (great field for marketing). Banyak pihak yang menuai keuntungan ketika pemilu tiba, mereka tentunya para marketing politik yang tidak terbatas pada succes team peserta pemilu, namun pihak di luar itupun merasaan keuntungan yang sama. Seperti perusahaan advertising, media massa, dan perusahaan yang berhubungan dengan aksesoris pemilu lainnya. Namun, marketing politik bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Seorang marketer harus memahami etnografi wilayah. 5 Indonesia adalah negara yang terbentuk dari keberagaman, keberagaman tersebut berdampak besar terhadap cara pecitraan. Khalayak adalah target marketing yang diproyeksikan sebagai pemilih tersebar dalam beragam segmen, usia muda hingga tua, tinggal 4 Respon publik atentif adalah reaksi tanggapan yang dilakukan oleh masyarakt sadar politik. Public atentif sangat dibutuhkan dalam kehidupan Negara demokrasi. Golongan Putih dapat dikategorikan sebagai publik atentif karena secara sadar untuk tidak menggunakan hak. Masyarakat sadar politik dapat dilihat dari reaksinya terhadap perpolitikan Negara. Semisal mengikuti pemilihan umum sebagai nilai minimal dari publik atentif. Lihat: Taufik Hidayat, Ilmu Komunikasi dan Sistem Politik. (Jakarta: Qisthi Press, 2007), h. 58. 5 Etnografi wilayah dimaksudkan untuk memahami kondisi target, daerah satu tidak mungkin sama dengan daerah yang lain sehingga harus menggunakan cara marketing yang berbeda pula. Lihat: Agus Daman Huri, Arena Perpolitikan Modern. (Yogyakarta: Kinasius, 2000), h. 92.

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

21


di kota maupun desa, pria dan wanita, agama yang berbeda, miskin dan kaya, dan lain sebagainya. Karena beragam itulah, maka yang paling sering menjadi pilihan pertama adalah komunikasi above the line (ATL). 6 Komunikasi jenis ini bukanlah satu-satunya jaminan untuk meraih simpati pemilih. Itu dikarenakan efeknya yang sebatas kesadaran bukan kegiatan, pemilih hanya tahu tentang seseorang namun tidak menaruh simpati dan respect terhadapnya. Untuk itu dibutuhkan marketing politik yang memenuhi kebutuhan perbedaan pemilih. Agar target suara tercapai maka marketing politik perlu melakukan kombinasi kegiatan marketing hingga pemilih melakukan action. Sales force juga merupakan faktor yang sangat penting dalam keseluruhan elemen marketing. Dalam kancah politik, sales force adalah para kader atau orang yang secara struktur mendukung. Seperti halnya sales force, maka memang sulit untuk mengharapkan kader bekerja keras menjual tokoh calon apabila tidak ada insentif yang memadai. Insentif yang diharapkan para kader itu bisa berupa finansial, sosial, emosional, maupun tujuan religius. Sehingga perlu disusun dengan cermat program pengembangan kader termasuk insentifnya. Kesimpulannya, media massa sebagai tempat bertarungnya para 6 Komunikasi jenis ini sering di sebut ATL theory, atau komunikasi melalui iklan media massa. Seperti televisi, radio dan koran. Teori ATL hanya mampu menghasilkan Awaraness semata. Sementara dalam teori klasik tentang hubungan kepada calon konsumen (pemilih) mengikuti alur AIDA (Awaraness Interest Desire Action) atau AISAS (Awaraness Interest Search Action Share) jika target pemilihnya adalah kalangan atas, karena teori ini digunakan bagi konsumen di era internet. Lihat: Benyamin Franklin, Political Marketing in Mass Media. (New Jersey: Press, 2000), h. 133.

marketing politik telah menjadi acuan utama dalam menjual gambaran calon. Tidak dapat disangkal jika Media massa memiliki kemampuan tangguh dalam pengemasan citra. Sehingga marketing politik dapat berjalan sesuai rangkaian yang telah direncanakan untuk mendapatkan banyak pembeli (pemilih). Media massa memiliki rumusan sebagai agen simulasi yang berfungsi merealitaskan suatu realitas. Dalam istilah Baudrillard disebut sebagai hiperreality. Konsep tersebut relevan dengan konsep media massa, sehingga tidak mengherankan jika Media massa memiliki tempat di mata marketer. 7 Media massa dan citra politik Media merupakan perangkat penting untuk menuju satu tujuan besar dalam suatu bangsa dan negara. Dalam upaya mewujudkan tujuan besar tersebut harus terdapat kekuatan yang besar pula. Mereka yang menguasai media dapat dipastikan memiliki kuasa yang begitu besar. Tujuan besar dalam kehidupan bernegara tentu hanya untuk membangun budaya rakyat atau menguasainya. 8 Relevansi media massa dalam menyediakan ruang untuk kampanye dapat ditinjau melalui keberadaan UU No. 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum DPR, DPD, dan DPRD. Undang-undang tersebut memuat sebanyak 11 materi pasal dalam bagian keenam mengenai pemberitaan, 7 Jean Baudrillard, the Consumer society. (London: Sage Publication, 1998), h. 42. 8 Easter Steany mengungkapkan jika pedang Achiles (seorang panglima perang dari kerajaan Athena atau Yunani klasik) tidak lebih tajam dari pena seorang penyair kerajaan. Pena di era modern diartikan sebagai media massa, daam hal pembahasan ini adalah televisi. Begitu besar efek televisi hingga dapat mempengaruhi kondisi bangsa dan Negara. Lihat: Easter Steany, Evolution of the Press. (London: Pearson Education, 1998), h. 164.

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

22


penyiaran, dan iklan kampanye. Di antaranya pasal 89 dan pasal 90 paragraf pertama, pasal 91 paragraf kedua, dan pasal 92 paragraf ketiga. kemudian pasal 93 sampai pasal 100 paragraf keempat. 9 Peran media yang dimuat dalam undang-undang pemilihan umum membuat media skala nasional berani melangkah lebih jauh dalam menunjukkan kontribusi dalam pemilu. Di antaranya adalah stasiun media massa Metro TV dan TV One, kedua stasiun media massa tersebut tercatat sebagai yang berpartisipasi paling aktif dalam menyediakan ruang seputar dinamika pemilu untuk disampaikan kepada khalayak. Terlebih keduanya merupakan media politik yang dikuasai oleh politisi, Metro TV dikendalikan oleh Ketua Umum Partai Nasional Demokrat dan TV One oleh Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golongan Karya. Tidak hanya media elektronik, berbagai media cetakpun menyediakan kolom khusus terkait program pemilu. Terlebih forum kampanye dan debat presiden dan wakil presiden. Berbagai media tersebut secara elegan menyajikan rangkaian program khusus pemilu, meliputi pemberitaan, sorotan politisi dan partai politik beserta program-programnya, survei pemilih, iklan politik, sampai pada perdebatan terbuka antar tokoh politik maupun partai. Berbagai kemasan programprogram terkait pemilu di dalam beberapa media besar pada dasarnya memiliki tujuan yang sama. Yakni tujuan untuk melakukan proses pendekatan yang telah terencana. Diakui atau tidak kegiatan tersebut secara pervasive mampu merubah cara pandang pemilih terhadap calon yang 9

Buku Undang-undang Republik Indonesia.

sering muncul di media. 10 Selebihnya kembali kepada khalayak yang ditempatkan sebagai penimbang, sekaligus pada akhirnya pengambil keputusan di saat pemilu berlangsung nantinya. Dengan kata lain, media merupakan arena penyampaian isi pesan terkait Pemilu, di mana politisi dan partai-partai politik adalah pemain sekaligus penulis isi informasi dan sutradara. Sementara itu, khalayak berperan sebagai penonton dan juga dewan juri atas karya sutradara. 11 Media massa sebagai agen simulasi sebuah realitas mampu memperkaya keadaan nyata menjadi lebih nyata. Meminjam tesis Jean Baudrillard, pakar komunikasi Prancis, menyatakan bahwa kemampuan media massa dalam memproduksi sebuah realitas buatan menjadi realitas yang sebenarnya, bahkan meski tidak memiliki rujukan sama sekali dalam kehidupan kita. Teori Baudrillard masuk akal dihubungkan pada banyaknya iklaniklan politik di Media massa yang dimanfaatkan oleh para marketer. 12 Dalam penciptaan citra realitas, media massa mampu menciptakan hegemoni opini publik. Dengan kemampuan membangun opini publik inilah yang memudahkan alur para marketing politik dalam merangakai dinasti elektabilitas. Berbagai isu akan ditampilkan kepada khalayak dan kahalayaklah yang berhak memilih, apakah isu tersebut sebagai cerminan pribadi calon atau bukan. Citra realitas politik yang demikian akan mendapat respon adanya ruang demokrasi, 10 Pervasive adalah kegiatan mempengaruhi yang bersifat slow but sure. Mesti secara perlahan namun intens. 11 Ardian Khadafi, “Memoar Kebijakan Populis� sebuah artikel lepas, Lihat: Tempo, Edisi: Selasa 12 Juli 2009. 12 Jean Baudrilard, the Consumer Society. (London: Sage Publication, 1998), h. 64.

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

23


mengunakan istilah hegemoni yang berarti semua keputusan ditangan rakyat, sedang cara dominasi lebih dekat pada keputusan yang dipaksakan oleh penguasa. Di Indonesia, pada awal reformasi yang dimulai pada tahun 1999 telah lepas dari sistem media dominasi, atau sering disebut media yang dikuasai oleh penguasa, dan hal tersebut berimbas pada penyekatan kebebasan pers. Karena memang tdak ada cerminan demokrasi bagi negara jika media harus didominasi oleh penguasa. Jika hal tersebut terjadi, dunia perpolitikan hanya menjadi “realitas politik yang sudah dikemas (manufactured political realities)�. Dan sekarang inilah era kekuasaan media (mediacracy) mencapai titik puncaknya. Media secara sempurna mampu melakukan rekayasa terhadap realitas politik. Dengan kata lain, media memiliki peran besar sebagai pendefinisian realitas politik. 13 The Setting of Agenda, berperan inti dalam pembahasan ini. Kaitannya dengan permasalahan Media massa dan perilaku pemilih. Teori tersebut memaparkan dengan jelas bagaimana transaksi informasi yang diproduksi oleh Media massa adalah sebuah realitas buatan yang menghasilkan komunikasi linier opini publik. Artinya, dalam teori agenda setting menjabarkan mengenai kepentingan media dalam hal mempengaruhi. Teori ini adalah satusatunya teori yang menjembatani bahasan Media massa dan perilaku pemilih. Khalayak sebagai penerima pesan dikontruksikan oleh peran agenda setting. Semisal membangun opini publik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menggiring 13 Tony Wilson, Watching Television: Hermeneutics, Reception and Popular Culture. (Cambridge: Polity Press,1993) h. 72.

pemikiran khalayak, dan pada akhirnya bernilai pragmatis. Media massa, dalam hal ini Media massa seperti telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya yang berkemampuan dalam mengkonstruksi sebuah realitas maya. Kemampuan inilah yang kemudian disinyalir sebagai alat pengubah mindseat pemirsanya. Khalayak senantiasa menerima apa yang ditransformasikan oleh Media massa dan tanpa sadar khalayak telah terpengaruh. Berlandaskan pada teori agenda setting, realitas ciptaan Media massa mampu memberikan gambaran yang dianggap relatif secara jelas kepada khalayak jika realitas tersebutlah yang seharusnya dilakukan. 14 Dalam kaitannya dengan hubungan media massa dan perilaku pemilih setidaknya pendapat di atas relevan. Khalayak tidak dapat berbuat banyak kecuali menerima hujan iklan politik, berbagai media besar termasuk Media massa telah mengisi memori khalayak dengan wajah-wajah tokoh politik. Namun demikian, media massa bukanlah faktor penentu dalam hal pemilihan. Khalayak sepenuhnya memiliki hak untuk menentukan mana yang harus di pilih. Media hanya sebagai pengantar pesan dari para marketing politik dan khalayaklah yang akan menentukan. 15 Pada dasarnya, hubungan media massa dengan perilaku pemilih dipengaruhi oleh fenomena sosial yang berkarakter pada kesejahteraan ekonomi dan kekuasaan politik yang berlainan, namun Media massa mampu merangkum keberagaman tersebut dalam wadah yang lebih dinamis yakni opini publik. 14 Tri Guntur Narwaya, Matinya Ilmu Komunikasi. (Yogyakarta: Resist Book, 2006), h. 57 15 Marshall McLuhan, Understanding Media, the Extensions of Man. (New York: signet Book/McGraw Hill, 1964), h. 21.

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

24


Pendekatan linier –opini publik— tersebut tidak serta merta diciptakan oleh media massa. Melainkan hasil pergulatan para marketer yang berusaha menciptakan isu yang diproyeksikan sebagai pengangkat pamor sang calon. Beberapa hal di atas, dapat dijelaskan jika dinamisasi hubungan yang terjadi antara media, pemilih, dan politik, menunjukkan siklus pergumulan kelompok-kelompok dominan atau berkuasa. Kelompok dominan yang dimaksud adalah politisi pemegang kekuasaan dan calon pemegang kekuasaan, dan pemilik modal yang saat ini terspesifikasi menjadi pengusaha, pemilik perusahaan, investor, atau yang memiliki kepentingan terhadap salah satu calon dan lain-lain. Sementara itu, rakyat tertindas: pekerja, petani, nelayan, perempuan, kelompok minoritas, merupakan kelompok yang dikuasai dalam kehidupan sosial. Sifat media massa pada dasarnya adalah netral. Kenetralan media massa tidak dapat dipahami sebagai artian tidak memihak. Secara content yang diberitakan atau isu jelas netral, akan tetapi dalam pengemasannya tidak dapat dikatakan netral.16 Media massa memiliki fungsi sebagai social control yang menempatkan media sebagai lapisan pengontrol sosial. 17 16 Pengemasan media terhadap sebuah berita tidak dapat dikatakan netral. Ini bukan berarti media tersebut memihak kepada salah satu pihak. Isu yang diberitakan media wajib hukumnya netral atau sering disebut cover both side (berita diambil secara berimbang). Akan tetapi, sifat media sebagai kontrol sosial memiliki hak besar untuk berada pada pihak yang di yakini benar. Dengan demikian, dapat diambil sebuah kesimpulan jika netral-nya media hanya pada sebuah kebenaran berita bukan pada cara penyampaiannya. 17 Joseph R. Dominick, the Dynamics of Mass Communications; Media in the Digital Age. (New York: McGraw Hill, 2005), h. 41.

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan mengunakan Telaah Framing Robert N. Enmant. Metode ini diarahkan pada latar dan fenomena isu secara utuh. Dengan demikian tidak boleh mengisolasi isu atau objek penelitian kedalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan penelitian. Proses pemberitaan dalam organisasi media akan sangat mempengaruhi frame berita yang akan di produksinya. Ada tiga proses framing dalam organisasi media menurut George Junus Aditjondro, 18 yaitu: 1. Proses framing sebagai metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibalikkan secara halus, dengan memberi sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja, dengan mengunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu dengan bantuan foto, karikatur dan alat ilustrasi lainnya. 2. Proses framing bagian tak terpisahkan dari proses penyuntingan yang melibatkan semua pekerja di bagian keredaksian media cetak, redaktur, dengan atau tanpa konsultasi dengan redaktur pelaksana, menentukan apakah laporan si reporter akan dimuat ataukah tidak, serta menentukan judul yang akan diberitakan. Proses framing tidak hanya melibatkan para pekerja media, juga pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu yang masing18

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2002:165

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

25


masing berusaha ditampilkan sisi informasi yang ingin ditonjolkan (sambil menyembunyikan sisi lain). Proses framing menjadikan media massa sebagai arena dimana informasi tentang masalah tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan pandangannya HASIL PENELITIAN Rasisme Media Politik Membincang media Politik, pada 2014 ini merupakan puncak dari hipotesis jurnalisme politik. Bagaimana tidak, secara kasat mata media terkooptasi, seolah wibawa “media publik� runtuh seruntuhruntuhnya oleh segelintir orang penguasa media. Kemudian yang “segelintir� tersebut kesemuanya masuk ke ranah politik. Mari kita sebutkan bersama, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie dengan Viva Group. Hary Tanoesoedibjo, calon wakil presiden usungan Partai Hati Nurani Rakyat dengan MNC Group. Surya Paloh, pendiri sekaligus Ketua Umum Partai Nasional Demokrat dengan Media Indonesia Group. Dahlan Iskan, politisi baru melalui Partai Demokrat juga seorang Raja Media yaitu Jawa Pos Group. Awam menilai konglomerasi media merupakan preseden buruk bagi iklim demokrasi. Opini dikuasai oleh sedikit elit yang kemudian menjadi representasi publik. Tentu ini bukan hal baik, bagaimanapun publik punya hak untuk terlindungi dari keterpengaruhan opini elitis melalui media yang dikuasai. Konglomerasi, akan membiaskan perlindungan tersebut. Ada yang menarik dari isu tentang kampanye salah satu partai politik di Indonesia. Semua mahfum,

politisi tersebut dinobatkan sebagai calon wakil presiden dan penguasa media. Salah satu televisi dibawah naungan MNC Group membuat program kuis dengan melibatkan khalayak sebagai penjawab kuis. Hanya saja, kuis tersebut kemudian diketahui kuis rekayasa. Memang, dasar dari adanya kuis diperuntukkan untuk promosi politisi tersebut. Hanya saja, masalah muncul karena rekayasa program. Kemudian, banyak kalangan mengutuk konglomerasi media tersebut, kepemilikan media di tangan segelintir pengusaha cumpoliticos. Mengutip disertasi Daniel Dhakidae pada tahun 1991 dengan judul The State, The Rise of Capital, and The Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry. Menjelaskan polemik konglomerasi media di Indonesia. Terutama pasca 1998, konglomerasi media kerap disebut-sebut kambing hitam dan penyebab terjadinya krisis wacana di ruang publik. Media sangat kental sebagai perpanjangan tangan kepentingan pemiliknya. Sehingga berita-berita yang diproduksi lebih sering bermuatan kepentingan politik pemilik. Tentu ini merupakan persoalan rumit, karena media yang seharusnya berada pada ranah publik terdistorsi oleh ownership. Ada yang menarik, pada masa Orde Baru berkuasa, dengan kesigapan sensor yang begitu luarbiasa membuat jurbalisme tunduk pada regulasi dan kepentingan kekuasaan. Pemilik media takmampu berkutik. Apakah hal tersebut merupakan indikasi kebaikan pers? Tidak juga, karena kepentingan beralih pada penguasa. Dengan kondisi tersebut, jurnalisme politik dianggap mati, hanya mati suri. Kemudian orde

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

26


berganti, jurnalisme politik yang di era Orde Baru mati suri terlahir kembali dengan format dan kemasan berbeda jika dibandingkan dengan bentuk sebelumnya. Perkembangan media hari ini, jurnalisme politik tumbuh subur, melebihi bahaya yang dilahirkan dari rezim diktator sekalipun. Transformasi Orde Baru ke era Reformasi kemudian mempengaruhi secara drastis iklim politik Indonesia, tentu berimbas pada persoalan Jurnalisme. Salah satunya adalah booming-nya praktik jurnalisme politik. Peletakan dasar isunya adalah wajah politik yang sama sekali berubah. Satu misalan yang dapat diceritakan, politik sebelumnya dikekang, dikuasai sedikit elit, dan partai merupakan kekuatan penuh. Kemudian, reformasi membawa serta perubahan wajah politik, pemilihan secara langsung dan politisi dipaksa untuk dikenal oleh konstituen. Dengan demikian, media menjadi satu-satunya perantara paling mutakhir yang menjadi tujuan utama, untuk apa? Tentu membangun citra dan popularitas. Pada waktu yang takterlalu jauh, maka muncullah teori baru yang disebut dengan citra Politik. Dengan asumsi tersebut, sistem pemilihan langsung memungkinkan adanya perubahan cara berpolitik. Jika sebelumnya hanya melalui perwakilan partai politik. Saat reformasi bergulir, partai politik taklagi berkuasa, tetapi masing-masing politisi berjuang untuk mendapatkan simpati konstituen, dengan membangun popularitas setinggi-tingginya. Kembali pada pemikiran Dhakidae, ia mencoba melepaskan diri dari dominasi pendekatan penelitianpenelitian sebelumnya. Dhakidae hadir dengan rumusan dan refleksi baru, ia menawarkan pendekatan ekonomi

politik. Melalui pandangan ekonomi politik, studi yang dilakukan Dhakidae berupaya melihat perubahan yang terjadi dalam jurnalisme di Indonesia. Dimulai pada masa otoritarianisme Orde Baru, awal mula pertumbuhan industri media, serta apa implikasi industri tersebut terhadap kejatuhan jurnalisme politik di Indonesia. Dari alur pemikiran Dhakidae, ia memberikan lima bahasan, di bagian awal Dhakidae mendeskripsikan tentang perkembangan pasar yang mencakup sirkulasi dan iklan media di periode 1950-an. Di masa itu, pasar media masih didominasi oleh koran-koran yang berafiliasi dengan partai politik. Pers partai menguasai pasar dengan total 77, 77 persen (komunis 28, 57 persen, sosialis 18, 14 persen, Islam 11, 56 persen, nasionalis 19, 5 persen) sementara pers yang independen hanya menguasai 22, 22 persen. Harian Rakjat menjadi surat kabar terbesar dengan oplah 55.000 eksemplar per hari. 19 Ini masa paling menarik terkait dinamika jurnalisme Indonesia. Pers terlibat saling serang antar mereka sendiri, termasuk gencar menyerang pemerintah. Tentu, sekaligus menjadi mesin propaganda bagi partai politik. Dampaknya, mendekati sejarah tragis bagi pemerintah dengan kejatuhan kabinet, bangun kembali dan terseokseok melawan serangan media yang ofensif dan destruktif sebagai konsekuensi sistem parlementer yang berlaku pada masa itu. Masih melanjutkan kronologi jurnalisme dan politik pada masa itu, terjadi pemberontakan di banyak daerah karena takterkontrolnya opini. Lebih jauh lagi, pada masa ini sistem 19 Daniel Dhakidae. The State, The Rise of Capital, and The Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry. 1991.

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

27


pemerintahan belum sabil sebagai dampak refolusi yang pecah. Sehingga iklim pemerintahan yang rentan kemudian dihantam kritik tajam dari media massa melalui opini-opini pemberitaan semakin memperkeruh suasana. Fokus studi dalam kajian jurnalisme politik, sejajarnya merupakan kondisi kapitalisme media massa, sehingga muncul keriuhan konglomerasi media. Iklim politik yang terguncang, justru menjadi perkembangan media tumbuh subur. Dhakidae menggunakan enam media sebagai contoh untuk melihat bagaimana akumulasi kapital terjadi. Asumsi pertama, akumulasi kapital yang terjadi di Sinar Harapan, Kompas, dan Tempo. Ketiga media ini ditandai dengan karakteristiknya sebagai media berorientasi pasar nasional dan terintegrasi dengan industri. Asumsi kedua, akumulasi kapital di Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, dan Pos Kota dengan karakteristiknya yang berorientasi pasar lokal dan integrasi yang rendah terhadap industrialisasi.20 Pada dasarnya, konglomerasi membawa dampak buruk bagi iklim demokrasi. Apa pasal, media sebagai kekuatan propaganda akan mengalir takseimbang ketika kepemilikan media hanya dikuasa oleh beberapa elit saja. Kontrol sosial yang terjadi akan bias, dan masyarakat kehilangan hak untuk mendapatkan informasi yang selayaknya penting bagi banyak orang. Selain itu, profesionalitas jurnalis terganggung dengan kekuasaan di lingkar media itu sendiri. Sehingga muncul pertanyaan yang juga dilontarkan oleh Dhakidae, siapasebenarnya jurnalis itu? Buruh? 20 Daniel Dhakidae. The State, The Rise of Capital, and The Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry. 1991.

Karyawan? Atau profesional independen yang bebas dari tekanan? Ini sulit untuk dijelaskan selama konglomerasi media menguasai kehidupan jurnalistik. Sejatinya, jurnalis adalah profesional, bertanggung jawab sesuai dengan kepustakaan wartawan yakni secara langsung berhadapan dengan publik, bukan pemilik media. Hanya saja, ini bukan persoalan mudah. Sifatnya yang profesional membuat jurnalis memiliki daya tawar yang kuat dalam hubungan produksi berita. Sebaliknya, ketika profesionalitas disandera oleh kekuatan kepemilikan, secara ekstrim jurnalis disebut buruh, atau mungkin karyawan, maka jurnalis takmemiliki daya tawar. Pengingat sejarah, kekuatan rezim Orde Baru terkait pembatasan industri media dan tidak membiarkannya tumbuh tanpa batas, rezim menganut aliran yang menyatakan hanya penguasa yang mampu menentukan kebenaran, sehingga kontrol terhadap media sangat dominan. Sederhana untuk menjelaskan hal ini, Orde Baru memerlukan media massa sebagai alat propaganda strategis, sekaligus sebagai alat kontrol. PEMBAHASAN Konglomerasi Media dalam Ranah Politis Membaca ulang dari apa yang telah dibedah secara fenomenal oleh Dakhidae, di sini akan kembali disinggung persoalan konglomerasi media. Terutama, pada tahun 2014 merupakan tahun politik, terdapat pertarungan wacana, opini hingga propaganda media dalam skala besar. Setidaknya, Empat raksasa media berkompetisi sengit. Sebut saja MNC Group dipimpin oleh Hary Tanoesoedibjo, Viva Group dipimpin

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

28


Aburizal Bakrie, Dahlan Iskan memimpin Jawa Pos Group, dan tentu saja Media Group dengan Surya Paloh sebagai nahkodanya. Strategi kampanye, komunikasi, hingga publisitas program menjadi persoalan taktik, bukan persoalan biaya taupun media. Taktik menjadi faktor penentu karena kesemuanya memiliki uang, kesemuanya memiliki akses media yang kuat. Sehingga, yang diperlukan untuk reform strategi adalah taktik. Dengan membawa pesan dengan asumsi menarik konstituen sebanyak mungkin. Perebutan bukan lagi persoalan popularitas, namun lektabilitas-pun. Kenapa kemudian kita merasa perlu mempersoalkan konglomerasi media? Bukanlah hak semua orang untuk memiliki kekuasaan usaha sebesar-besarnya? Jawabannya sederhana, media dengan kepemilikan politis akan mengganggu bahkan merusak nilai media massa itu sendiri sebagi penyedia informasi publik, juga menjadi ruang publik sekalipun. Sebagai dampaknya, independensi media secara permasif membiaskan ruang publik. Implikasi mendasar dari politisasi media massa, dapat dilihat dari suguhan dan tayangan media itu sendiri, khalayak sebagai publik atau konsumen media disuguhi informasi yang jauh dari nilai informatif, hiburan yang takmenghibur, narasi deskriptif yang takpula mendidik. Ambil satu contoh sederhana dari pemberitaan media massa yang dikuasai oleh politik. Berita yang dikemas merupakan manipulasi citra sarat dengan kepentingan politis. Dari uraian empat penguasa media raksasa di atas, dapat disimpulkan bahwa konglomerasi media tidak hanya sekadar

membincang persoalan finansial dan komersialitas semata. Namun, ada ego politik menyeruak masuk di sana. Keempat cumpoliticos di atas tidak akan mudah menghindar dari penggunaan frekuensi publik melalui medianya. Memang strategis, sebagaimaa mengutip pandangan William L Rivers (2003), pemberitaan melalui media itu memiliki posisi crusial. Terlebih media televisi, ia memiliki daya hegemoni melebihi media lain. Pengaruh televisi, secara terus menerus dan perlahan akan mempengaruhi pola pikir khalayak. 21 Review histories pada era Orde Baru, ruang publik di media massa dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk kepentingan penguasa. Sehingga reformasi yang bergulir tidak membawa alur demokrasi menjadi lebih baik dalam ranah pers dan pemerintah. Jika dimasa lalu, media terkooptasi oleh penguasa, hari ini takjauh berbeda, hanya saja penguasa media berpindah tangan kepada konglomerat. Fakta tersebut, berdampak pada independensi pers itu sendiri karena dominasi keoutusan ada di hegemoni pengusaha politik. KESIMPULAN Media harus bebas. Ia tak terkait dengan apapun yang menjadi kepentingan elite. Tetapi, peran media yang bebas terkait erat dengan hak publik untuk tahu (right to know), sehingga media menjadi alat investigasi jalannya pemerintahan, kegiatan politik elit, yang sudah selayaknya diketahui oleh publik sebagai konstituen. 22 Bagi indonesia, 21 Dedi Kurnia Syah Putra. Media dan Politik. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012) 22 Menambahkan, kebebasan media menjadi kegelisahan global. Terutama di Inggris, apapun bentuk kritikan yang ditujukan kepada Kerajaan juga lembaga pemerintahan dibawahnya, dianggap sebagai tindakan

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

29


sistem pers yang bebas sudah menjadi kebutuhan karena kompleksitas penduduknya. Seorang warga negara tidak mungkin terus menerus dapat duduk di kursi audien saat dengar debat calom legislatif, eksekutif atau bahkan saat sidang parlemen. Lalu bagaimana konstituen dapat mengetahui kinerja wakilnya, tawaran paling rasional adalah melalui media. Sehingga seluruh konstituen dapat leluasa mendapatkan informasi sebanyak yang diperlukan, sebaliknya, media sekaligus menjadi alat kontrol bagi parlemen atas tanggung jawabnya kepada konstituen. Runutan pemilik media sesungguhnya dalam posisi pelayan publik, sama halnya dengan penguasa. Dalam dinamika demokrasi, pers merupakan penguat. Kontrol utama media sejatinya tetap ada pada publik. Oleh karenanya, media sebagai ruang publik merupakan nilai berharga bagi bangsa yang harus terus dijaga dan dipelihara, juga dikontrol dan digunakan secara demokratis. Bicara soal media demokratis, maka salah satu indkasi yang harus tertanam di lingkaran media massa adalah independensi. Terjaga dari penyalahgunaan pemilik modal, adanya media merupakan komitmen independensi guna menjaga ruang publik yang sehat dan kredibel. Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, dalam pasal 5, UndangUndang menegaskan bahwa tidak boleh ada monopoli kepemilikan dalam bidang penyiaran. Semoga, ke depan tak lagi ada dominasi politik dalam media sehingga kiprah media kejahatan, fitnah dan bahkan pemberontakan. Amerika Serikat kemudian menghapus anggapan tersebut dan meletakkan meda sebagai penjaga yang baik bagi Demokrasi. Baca selengkapnya dalam Jurnal Demokrasi. Melvin I. Urofsky, Democracy Principles. (Virginia: Commonwealth University, 2001), h. 4

massa kembali kaffah untuk merumuskan, kecerdasan masyarakat yang informatif, bernilai dan perekat hubungan konstituen dengan keadilan, kejujuran serta keterbukaan informasi. DAFTAR PUSTAKA -

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Baudrillard, Jean. The Consumer society. London: Sage Publication, 1998 Castells, Manuel. The Rise of The Network Society. Oxford: Blackwell, 2001 Dhakidae, Daniel. The State, The Rise of Capital, and The Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry. 1991 Dominick, Joseph R. The Dynamics of Mass Communications; Media in the Digital Age. New York: McGraw Hill, 2005 Franklin, Benyamin. Political Marketing in Mass Media. New Jersey: Press, 2000 Hidayat, Taufik. Ilmu Komunikasi dan Sistem Politik. Jakarta: Qisthi Press, 2007 Huri, Agus Daman. Arena Perpolitikan Modern. Yogyakarta: Kinasius, 2000 McLuhan, Marshall. Understanding Media: the Extention of Man. New York: Signet Book/ McGraw Hill, 1964 McQuail, Dennis & Steven Windahl, Communication Models for the Study of Mass Communication. New York: Longman, 1981 Narwaya, Tri Guntur. Matinya Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Resist Book, 2006

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

30


-

-

-

-

-

-

-

Putra, Dedi Kurnia Syah. Media dan Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012 Sartono, M. Komunikasi Massa. Surabaya: Inti Media, 2003 Steany, Easter. Evolution of the Press. London: Pearson Education, 1998 Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru. Ciputat: Kalam Indonesia, 2005 Tumenggung, Adeline M. Laba-Laba Media; Hidup Dalam Galaksi Media. Jakarta: LSPP, 2005 Urofsky, Melvin I. Democracy Principles. Virginia: Commonwealth University, 2001 Wilson, Tony. Watching Television: Hermeneutics, Reception and Popular Culture. Cambridge: Polity Press,1993

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

31


KONSTRUKSI PEMBERITAAN DUGAAN KASUS KORUPSI KEPALA SKK MIGAS (Analisis Isi Berita Kompas, Republika, Koran Sindo, dan Media Indonesia) ARMAINI LUBIS DAN DUDI SABIL ISKANDAR armain.lubis@yahoo.comdan dudisabiliskandar@yahoo.com Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur, Jakarta Selatan ABSTRACT This research aims to analyze the construction of news in four national newspapers, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, and the Koran Sindo about alleged corruption Migas chairman SKK Rudi Rubiandini. News in this study is seen as a result of the construction of the reporter with all the background, knowledge, and ideology, respectively. Commonplace when the content and framing of the four different newspapers reporting on alleged corruption in the Chairman of the Oil and Gas SKK Rudi Rubiandini. Using a qualitative approach and method of analysis of this research, this study found three things. Namely, the current news of corruption has become a commodity, including in cases of alleged corruption Migas chairman SKK Rudi Rubiandini in this country has become a commodity. Second, allegations of corruption became the most powerful weapon to shed his political opponents. Third, the text message is a representation of where the powers as pointed out by Michel Foucault. The relationship between power and knowledge directly explain the representation of relations of 'power-knowledge'. Knowledge is power to control social and political orders. On the opposite side is the power of knowledge is knowledge foster meaningful power. Key words : news, newspaper, politic, and corruption. ABSTRAK Penelitian ini bertujuanuntuk menganalisis konstruksi berita di empat koran nasional, Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan Koran Sindo tentang dugaan korupsi Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini. Berita dalam penelitian ini dipandang sebagai hasil konstruksi dari wartawan dengan segala latar belakang, pengetahuan, dan ideologinya masing-masing. Lumrah bila isi dan pembingkaian keempat surat kabar tersebut berbeda dalam pemberitaan tentang dugaan korupsi Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini. Menggunakanpendekatan kualitatif dan metode penelitian analisis ini, penelitian ini menemukan tiga hal. Yakni, saat ini korupsi sudah menjadi komoditas berita, termasuk dalam kasus dugaan korupsi Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini di negeri ini sudah menjadi komoditas. Kedua, tuduhan korupsi menjadi senjata paling ampuh merontokkan lawan-lawan politiknya. Ketiga, teks berita merupakan representasi dari kekuasaaan sebagai mana disinyalir oleh Michel Foucault. Adanya hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan secara langsung menjelaskan representasi dari hubungan ‘power-knowledge’. Knowledge is power mengkontrol tatanan sosial politik. Di pihak yang berseberangan adalah power is knowledge yang bermakna kekuasaan menumbuhkan pengetahuan. Kata kunci : berita, koran, politik, korupsi

PENDAHULUAN

Sebuah berita di satu surat kabar bukan hanya rangkaian fakta yang tersusun

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

32


menjadi sebuah kalimat dan paragraf. Ia juga merupakan representasi dari pikiran dan sikap reporter dan asisten redaktur serta redaktur, plus kebijakan redaksi yang tertuang dalam editorial atau tajuk rencana. Minimal segala latar belakang budaya, pergaulan, dan pendidikan wartawan sangat memengaruhi bagaimana fakta dikonstruksi dalam sebuah berita. Fakta yang hanya ditulis apa adanya akan kering gaya dan tidak nyaman dibaca. Gaya penyajian ini pula memuat berbagai warna. Dengan kata lain tidak ada teks media atau berita yang sepenuhnya objektif atau hanya kumpulan fakta yang dijadikan data untuk sebuah tulisan. Selalu ada campur tangan pikiran dansikap penulis serta editor atau bahkan kebijaksanaan redaksi surat kabar tersebut. Institusi dan pemilik surat kabaradalah pemilik kepentingan media hari ini. Karena posisinya sangat strategis,pengelola atau pengusaha surat kabar sangat menentukan berita dalam bentuk kebijaksanaan redaksi. Dari sajian media massa, publik mengetahui warna, ideologi, dan kepentingan media massa tertentu. Tulisan di sebuah surat kabar akan mempengaruhi opini publik dengan ukuran yang berbeda-beda, tergantung seberapa lama publik membaca surat kabar tersebut. Oleh sebab itu, wartawan menentukan hitam putih fakta yang disajikan di surat kabar. Pemilihan headline, tema, kalimat, dan kata dalam sebuah berita yang disajikan media tersebut kepada khalayak sepenuhnya tidak bebas nilai. Kebijakan resmi redaksi terhadap suatu peristiwa bukan tertuang dalam editorial atau tajuk rencana, tetapi juga pada arah berita. Berita lebih berpengaruh membentuk opini pembaca daripada tajuk rencana. Inilah yang disebut tidak ada teks yang tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi. Ada tiga pertimbangan sebuah peristiwa menjadi berita di surat kabar, yaitu ideologis, politis, dan bisnis.

Pertimbangan ideologis terjadi karena faktor pemilik atau nilai-nilai yang dihayatinya. Pertimbangan politis berangkat dari kenyataan bahwa pers tidak terlepas dari kehidupan politik. Apalagi pers adalah disebut sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy). Sedangkan kepentingan bisnis berkaitan dengan pemasukan dari iklan. Ketiga pertimbangan itu juga berpengaruh pada sudut pandang berita. Semua yang disajikan media kepada khalayak memiliki atau memiliki ideologi, mengandung kepentingan, dan nilai dari lembaga dari media tersebut. Muatan ideologi dan kepentingan tersebut ditransformasi dalam bentuk berita. Dalam konteks itu, berita bukan hanya penyajian sejumlah fakta yang tersusun sehingga enak dibaca tetapi juga mengandung dan menyajikan interpretasi akan arti dan makna dari peristiwa tersebut. Muncunya ideologi bukan hanya pada wacana yang disajikan, tetapi juga pada penempatan dan pembingkaian berita dalam sebuah surat kabar. Penempatan berita pada headline akan berbeda pengaruhnya di benak publik atau pembaca dengan berita yang diletakkan bukan headline. Selain itu kelengkapan sebuah berita seperti unsur 5W + 1H (What, When, Who, Where, Why, dan How), foto, grafis, dan ilustrasi juga menentukan ketertarikan masyarakat terhadap berita tersebut. Karena perbedaan berita itulah penelitian yang berkaitan dengan teks surat kabar seperti dugaan korupsi Kepala SKK Migas ini menjadi menarik. Perbedaan penyajian menunjukkan perbedaan karakter, ideologi, dan kepentingan surat kabar. Temuan fakta boleh sama tetapi ketika disajikan tidak mungkin sama. Artinya, lead pada satu surat kabar belum tentu dijadikan kepala berita pada surat kabar lain. Begitu juga dengan tubuh dan ending berita. Bahkan, tidak jarang sebuah berita membuang fakta. Tergantung kemauan reporter dan editornya.

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

33


Dalam konteks pemberitaan korupsi Kepala SKK Migas di surat kabar itulah menarik untuk diteliti. Oleh sebab itu, rumusan penelitian ini adalah bagaimana konstruksi pemberitaanKompas, Koran Tempo, Koran Sindo, dan Media Indonesia dalam kasus dugaan korupsi Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini? KERANGKA PEMIKIRAN Jurnalistik Surat Kabar Salah satu bentuk media cetak adalah surat kabar atau biasa disebut koran. Banyak bentuk media cetak, salah satunya adalah surat kabar atau sering disebut koran. Dari sudut masa terbit, koran ada yang dua hari sekali, harian, dua harian, atau mingguan. Mingguan kerap dinamakan tabloid. Tetapi intinya sama koran. Surat kabar merupakan bentuk jurnalistik tertua. Makanya pengertian jurnalistik yang sekarang berkembang di media elektronik dan media akses (internet). Onong Uchjana Effendy (1990:151) menyatakan jurnalistik berasal dari bahasa Inggris journalism. Kata itu bermula dari journal. Journal berakar dari bahasa Latin diurna yang berarti “harian” atau “setiap hari.” Versi lain menyatakan jurnalistik berasal dari bahasa Yunani Kuno du jour yang berarti “hari”. Kata itu kemudian menjadi bahasa Prancis jour yang berarti harian atau catatan harian. Pada masa Julius Cesar, di pusat kota ada papan pengumanam untuk rakyat. Ini dinamakan Acta Diurna (Asep Syamsul Romli, 2005:1-2). Dari berbagai istilah di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa jurnalistik berarti dunia kewartawanan yang menyangkut semua media. Secara terminologi jurnalistik berarti pengelolaan laporan harian yang disebarkan kepada masyarakat. Jurnalistik adalah keseluruhan proses pengumpulan, penulisan, penyuntingan, dan penyebaran berita (Ana Nadhya Abrar, 2011:14)

Dalam perkembangannya pengertian jurnalistik berkembang dari penyebaran informasi (jounal d’information) menjadi untuk mempengaruhi masyarakat journal d’opinion. Kini fungsi jurnalistik melangkah lebih maju, yaitu memberikan makna seperti dalam konsep komunikasi semiotika seperti diusung oleh Fiske atau komunikasi ritual dalam perspektif Carey. Ensiklopedia Pers Indonesia mendefinisikan surat kabar sebagai media cetak yang terbit secara harian atau mingguan yang tidak memiliki gambar kulit yang berbalut dari jenis kertas lain terdiri dari sembilan atau tujuh kolom. Koran berisi informasi keseharian dan termasuk komunikasi massa yang berfungsi sebagai penyebar berita baru (Kurniawan Junaedhie,1991:137). Yang menjadi titik tekan dari jurnalistik media cetak atau surat kabar adalah kepentingan umum. Makanya pekerja dalam bidang jurnalistik harus memiliki tanggung jawab sosial sebagai salah satu pertanggungjawaban kepada publik atau pembacanya. Bahwa fakta yang disajikan kepada pembaca bukan fakta yang sebenarnya. Ia merupakan realitas kesekian kalinya. Berita yang tertera dalam surat kabar bukan saja merupakan jalannya sebuah peristiwa tetapi sebuha konstruksi baru dari sebuah peristiwa. Sebab melewati beberapa tangan, antara, reporter dan editor. Bahkan bisa jadi berita tersebut masuk ke tangan redaktur pelaksana, dan campur tangan pemimpin redaksi. Dalam memproduksi berita dan menghasilkan koran yang siap dibaca masyarakat, banyak komponen dan personil yang terlibat seperti reporter, editor, editor bahasa, designer, dan layouter. Bahkan, kartunis dan redaktur foto juga menentukan sebuah berita, khususnya unsur menarik minat pembaca. Tabel di bawah ini menggambarkan proses produksi berita sehingga surat kabar siap dibaca khalayak.

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

34


Inti surat kabar adalah berita. Untuk melanggengkan hidup dan kehidupan surat kabar kru redaksi atau pembuat berita harus memenuhi standar dan kriteria kelayakan berita. Secara singkat menurut Sudirman Tebba (2005:55) berita adalah jalan cerita tentang peristiwa. Artinya, berita mengandung dua hal, yakni, peristiwa dan jalan cerita. Tanpa dua hal tersebut sebuah tulisan bukan tidak dikatagorikan berita. Karena surat kabar menyajikan berita untuk dikonsumsi publik yang plural, maka ia harus menyajikan berita sesuai kebutuhan masyarakat yang berbeda. Untuk itu ada kriteria sebuah peristiwa layak dijadikan berita dan dimuat oleh satu surat kabar. Kriteria itu antara lain, aktual, berkaitan dengan kedekatan dnegan pembaca, penting untuk masyarakat, ketokohan, ketegangan peristiwa, konflik, keterlibatan emosi, dan humor (Sudirman Tebba, 2005:55) Secara singkat peristiwa menjadi berita disebabkan memiliki kriteria aktual, faktual, penting, dan menarik (Asep Syamsul Romli, 2005:35-40). Berita dan Wacana Manusia adalah makhluk yang berbahasa. Dengan bahasa manusia melakukan komunikasi. Menurut Poepoprodjo yang dikutip Alex Sobur (2009:273), hakikat bahasa adalah bahasa penutur. Ia didengar bukan ditulis dan dilihat. Selain untuk komunikasi, bahasa merupakan ekspresi dari sikap, pikiran, dan gagasan yang dimiliki seseorang. Dalam keseharian kemampuan berbahasa ditentukan oleh penggunaan, makna, simbol, dan komunikasi. Pada tahap selanjutnya, bahasa tutur mengalami perkembangan yaitu bahasa tulisan yang bisa didokumentasikan. Sebab bahasa tidak sekedar alat urutan bunyi yang dapat dicerna secara empiris tetapi juga kaya dengan makna yang sifatnya non-empiris (A. Chaedar Alwasilah, 2010:44). Oleh sebab itu lumrah bila kini kita mengenal

bahasa tulisan yang salah satunya diproduksi oleh media cetak. Melalui bahasa sebuah peristiwa yang tidak dialami diketahuinya karena ia memperolehnya melalui berita. Dalam konteks ini bahasa tulisan menimbulkan makna sebagaimana bahasa lisan baik bagi yang memproduksi atau membacanya. Seperti dipaparkan di atas komunikasi bukan hanya proses penyampaian pesan, tetapi juga pertukaran simbol yang kemudian membentuk makna. Makna terjadi karena ada tanda. Ada tiga jenis makna dalam sebuah proses komunikasi. Yaitu, makna si penutur, makna bagi si pendengar, dan makna tanda (sign meaning) yang melekat pada tanda itu sendiri. Makna ketiga merujuk pada sifat yang inherent pada tanda tersebut sehingga diketahui apakah penggunaan kata dan gagasan tersebut tepat atau tidak (A. Chaedar Alwasilah, 2010:58). Makanya kata Arthur Asa Berger (2010;227), makna itu bersifat relasional. Segala sesuatu akan bermakna jika memiliki hubungan dengan jenis yang dilekatkannya. Hubungan tersebut bisa tersurat atau tersirat. Makna adalah hubungan sosial yang dibangun oleh sinyal di antara sang emisor dan reseptor ketika tindakan semik sedang berlangsung. Dengan demikian, makna timbul karena ada interaksi antara satu orang atau lebih dalam konteks tertentu melalui berbagai medium. Salah satu bentuk interaksi adalah melalui bahasa tulisan dalam media cetak yang dikenal dengan nama berita. Berita yang semula merupakan fakta yang dirangkai secara pribadi dalam institusi media karena dipublikasikan melalui media cetak ia menimbulkan makna bagi orang lain. Oleh sebab itu, bahasa dalam bentuk berita tidak bebas nilai. Ia dikonstruksi dan mengkonstruksi maknanya tertentu tergantung orang yang membuat dan membacanya. Makanya kata Stuart Hall yang dikutip Eriyanto (2001:37), makna tidak tergantung pada struktur makna itu sendiri, tetapi pada praktik pemaknaan.

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

35


Sebab makna adalah produksi sosial, suatu praktik. Berita atau gagasan yang dilontarkan dan menjadi perbincangan khalayak disebut wacana (discourse). Ibnu Hamad (2010:39-40) membedakan pengertian discourse dalam dua pengertian. Pertama, discourse (dengan d kecil) yang melihat bagaimana bahasa digunakan pada tempatnya untuk memerankan kegiatan aspek kebahasaan. Kedua, Discourse (dengan D besar) yang merangkai unsur discourse (dengan d kecil) bersama unsur non-linguistik untuk memerankan kegiatan, pandangan, dan identitas. Beberapa bentuk non bahasa antara lain ideologi, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Dalam politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama bahasa politik (Eriyanto, 2001:3). J.S. Badudu seperti dikutip Eriyanto (2001:2) secara komprehensif mendefinisikan wacana dalam dua bentuk. Yakni, sebagai rentetan kalimat yang saling berkaitan. Ia menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lain sehingga membentuk kesatuan struktur sehingga ada keserasian di natara kalimatkalimat tersebut. Kedua, wacana sebagai kesatuan bahasa yang tertinggi dan terlengkap. Ia berada di atas berada di atas klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan. Ia memiliki awal dan akhir yang nyata yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan. Kekuasaan dan Korupsi Ketika ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Sisminbakum, Kementerian Kehakiman dan HAM, mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengeluhkan adanya pembunuhan karakter dan masa depan karier politiknya. Ia menuding pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menjadikan korupsi sebagai alat untuk membunuh karier politik seseorang. Tuduhan korupsi menjadi senjata paling

ampuh merontokkan lawan-lawan politiknya. Dalam pandangan Yusril, tudingan korupsi di era reformasi mirip seperti tudingan keterlibatan dalam Parta Komunis Indonesia (PKI) ketika era Orde Baru. Rezim Soeharto menjadikan PKI sebagai alat propaganda dan membunuh karakter musuh-musuh politiknya. Plus penguasaan media dan pemberitaan yang masif tentang dugaan keterlibatan dalam korupsi penguasa era reformasi menjadikan korupsi dan PKI sama ampunya hanya dalam wuyang dan terminologi yang berbeda. Dalam konteks inilah sesungguhnya teori kekuasaan dan pengetahuan dari Michel Foucault menemukan kebenarannya. Menurut Foucault power produce knowledge, yang didefinisikan sebagai pihak yang berkuasalah yang membuat pengetahuan. Adanya hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan secara langsung menjelaskan representasi dari hubungan ‘powerknowledge’. Knowledge is power mengkontrol tatanan sosial politik. Di phak yang berseberangan adalah power is knowledge yang bermakna kekuasaan menumbuhkan pengetahuan. Foucault memberikan definisi kuasa berbeda dengan ilmuan lain. Pakar tentang kekuasaan lain memusatkan perhatian pada negara, sedangkan Foucault meneliti kekuasaan lebih pada individu, subjek yang kecil. Kekusaaan tidak bekerja karena represi atau penindasan tetapi terjadi dalam kondisi normal dan dengan regulasi. Kehadiran susunan, aturanaturan, sistem-sistem regulasi, meniscayakan kuasa ada. Ia bukan berasal dari luar tetapi dari dalam. Makanya kekuasaan ala Foucault bersifat menyebar dalam semua aspek kehidupan. Makanya dalam pandangan ilmuan kelahiran Prancis 15 Oktober 1926 ini, kekuasaanya tidak dimaknai dalam term “kepemilikan�. Kuasa tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup tertentu (Eriyanto, 2001:65-67).

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

36


Kekuasaan tidak senantiasa dipahami sebagai sesuatu yang menindas, melainkan produktif, kekuasaan menyusun wacana, pengetahuan, benda-benda, dan subjektivitas (Marianne W. Jorgensen dan Louise J. Phillips, 2007:25). Bagi saya, kekuasaan “selalu ada di sana”, orang tidak pernah dapat berada “di luarnya” dan tidak “batas-batas” bagi mereka yang menghancurkan sistem dan meloncat masuk ke dalamnya….Orang tidak pernah mampu berada “di luar” kekuasaan bukan berarti ia terjebak dan diharuskan untuk kalah setiap saat apapun keberadaannya. Menurutnya, kekuasaan dan pengetahuan merupakan suatu pasangan yang mengekspresikan terikatnya diskursus secara erat maupun ekspresi kapasitas produksi kekuasaan menciptakan diskursus. Pengetahuan dan kebenaran, pengetahuan dan fakta selalu memiliki hubungan yang sistemik (Paul Robinow,2011:17). Pertautan pengetahuan dan kekuasaan bukan saling meniadakan melainkan saling menguatkan (Paul Robinow, 2011: 23). Dengan begitu menurut Foucault, kekuasaan selalu teraktualisasi melalui pengetahuan dan pengetahuan selalu memiliki efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya (power produce knowledge). Sedangkan knowledge is power dalam konsep Foucault adalah institusi yang berkuasa membuat definisi, tatanan, peraturan, norma, dan kebenaran dalam masyarakat. Pengetahuan tidak menungkapkan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan itu sendiri berada dalam relasi kuasanya (Eriyanto, 2001:67). Dalam pandangan Foucault, pengetahuan bukan hanya sekedar refleksi atas realitas. Kebenaran adalah konstruksi kekuasaan dan rezim pengetahuan yang berbeda sehingga menentukan benar dan salah (Marianne W. Jorgensen dan LouiseJ. Phillips, 2007:24).

METODE PENELITIAN Analisis isi kualitatif adalah metode penelitian yang menggunakan teks sebagai bahan dasar analisisnya. Analisis isi model ini mengemukakan gagasan penulis yang termanifestasi maupun yang tidak tertera. Makanya metode ini menjembatani isi media, membandingkan media, menjelaskan kecendrungan dalam konten komunikasi (Weber, 1990:9). Karena fokus pada teks, analisis isi kualitatif sangat akrab dengan komunikasi. Dalam pandangan Weber, pemahaman dasar dari analisis isi adalah bahwa banyak kata sesungguhnya dapat diklasifikasikan ke dalam kategorikategori yang lebih kecil. Setiap kategori itu dibuat berdasarakan kesamaan makna kata dan kemiripan makna kata dari setiap teks atau pembicaraan. Dengan asumsi itu, kita akan dapat mengetahui fokus dari pengarang, pembuat teks, atau pembicara dengan menghitung jumlah kategori yang ada dalam teks tersebut. Krippendorff (2004:86) menambahkan, ada empat bentuk analisis isi kualitatif. Pertama adalah analisis wacana (discourse analysis), secara sederhana analisis wacana mencoba memberikan pemaknaan lebih dari sekedar kata/frase atau kumpulan kata/frase yang ditulis oleh pengarang. Analisis wacana fokus pada bagaimana fenomenafenomena partikular dimunculkan oleh pengarang teks. Kedua adalah analisis retorika (rhetorical analysis). Ketiga adalah analisis isi etnografis (ethnographic content analysis), dan Keempat adalah analisis percakapan (conversation analysis). Dalam penelitian ini, analisis isi bentuk pertama (analisis wacana) yang digunakan. HASIL PENELITIAN Yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah teks berita empat koran nasional yang menjadikan peristiwa penangkapan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini, Rabu 14 Agustus 2013,

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

37


sebagai berita utama. Keempat koran nasional tersebut adalah Koran Tempo, Koran Sindo, Kompas, dan Media Indonesia. Mereka menempatkan berita dugaan korupsi di SKK Migas sebagai berita utama sehari pasca penangkapan Rudi Rubiandini. No Nama Media Edisi 1 Koran Tempo Kamis, 15 Agustus 2013 2 Koran Sindo Kamis, 15 Agustus 2013 3 Kompas Kamis, 15 Agustus 2013 4 Media Kamis, 15 Indonesia Agustus 2013

Sindo

2.

3.

4.

5. Sebagai sebuah peristiwa yang melibatkan pucuk pimpinan pejabat negaradugaan korupsi Ketua SKK Migas menarik dari sudut pandang berita. Oleh sebab itu, semua media, khususnya surat kabar, menjadikannya sebagai berita. Tentu saja sebagai sebuah berita di surat kabar, kecelakaan Sukhoi diberitakan secara beragam. Tergantung sudut pandang wartawan dan kebijakan redaksi surat kabar tersebut.

3

Kompas

1.

2.

3. 4.

Matriks Perbandingan Kaidah 5W + 1H Matriks Perbandingan Who (Siapa) No 1

2

Nama Media Koran Tempo

Koran

Who 1. Busyro Muqoddas (Wakil Ketua KPK) 2. Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK) 3. Widyawan Prawiratmaja (Direktur Komersial SKK Migas) 4. Anonim 1. Mahfud MD

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

5.

6.

7.

(Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi) Akil Mochtar (Ketua Mahkamah Konstitusi) Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK) Junimart Girsang (Penasihat hukum Simon Tanjaya) Jero Wacik (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK) Johan Budi SP (Juru Bicara KPK) Abraham Samad (Ketua KPK) Pri Agung Rakhmanto (Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi) Hatta Rajasa (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat) Jero Wacik (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) Akil Mochtar (Ketua Mahkamah Konstitusi) 38


4

Media Indonesia

1. Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK) 2. Johan Budi(Juru Bicara KPK) 3. Jero Wacik (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) 4. Kurtubi (Pengamat migas) 5. Agung Marsudi D Susanto (Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi) 6. Mahfud MD (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi)

2

Koran Sindo

1.

2.

Matriks Perbandingan What (Apa) N o 1

Nama Media Koran Tempo

What 1. Dugaan suap dalam tender minyak 2. Penyuapan berkaitan dengan kegiatan yang menjadi lingkup kewenangan SKK Migas 3. Kernel adalah pedagang minyak terdaftar yang sudah beberapa kali mengikuti tender pembelian minyak di SKK Migas. Widya mengatakan, Kernel belum

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

3.

4.

5.

pernah memenangi tender tahun ini. Namun, pada tahun-tahun sebelumnya, Kernel beberapa kali meang tender. “Mungkin senin pekan depan ada tender serupa Rudi tidak sendiri dalam melakukan korupsi karena kasus tersebut akan menyangkut orang banyak Kasus korupsi Kepala SKK Migas itu seperti kasus Nazarudin, sehingga KPK harus berani mengusut tuntas kasus itu agar terkuak sejumlah fakta korupsi di BP Migas (SKK Migas) “Saya tidak terkejut di (Rudi) ditangkap karena sudah lama saya curiga bahwa orang itu punya masalah,� kata Mahfud Tertangkapnya kepala SKK Migas ini membuktikan bahwa ada persoalan serius dalam institusi itu Kehadirnya SKK Migas setelah bubarnya BP 39


Migas, tidak benar-benar memiliki konsep dan sistem yang berbeda. “jadi hanya ganti nama saja 6. Forum ekspose (gelar perkara pimpinan dan penyidik KPK) menyetujui untuk meningkatkan tahapan proses pemerikasaan menjadi tahapan penyidikan dan mengualifikasi tiga orang sebagai tersangka, yaitu S (Simon Tanjaya) sebagai pemberi dan penerima A (Ardi) dan R (Rudi), 7. Junimart Girsang, mengklaim urusan perusahaan Simon tidak terkait dengan SKK Migas 8. Penghentikan sementara Rudi Ribuandini sebagai kepala SKK Migas diganti oleh wakil kepala SKK Migas Johanes Widjonarko untuk melaksanakan tugas kegiatan operasional SKK Migas berdasarkan

3

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

Media Indonesi a

1.

2.

3.

4.

5.

6.

keputusan Presiden No IX tahun 2013. KPK akan didalami kemana aliran suap itu KPK menangkap Rudi dan Simon G Tanjaya (Komisaris Utama Kernel Oil) serta pelantar Deviardi. Selain itu, KPK menyita barang bukti berupa uang US$690 ribu dan S$127 ribu (lihat grafik) KPK menahan Rudi dan Deviardi di Rutan Cipinang cabang KPK, sedangkan Simon ditahan di Rutan Guntur Peluang menjerat pihak lain dalam kasus Rudi sangat terbuka Jero menyatakan sangat terkejut dengan ditangkapnya Rudi. Ia juga mengaku tidak kenal dengan Kernel Oil hadirnya SKK Migas memang semakin memperbesar lubang bagi mafia migas. “Ada lubang mafia karena SKK Migas kasih (minyak) pihak 40


7.

8.

9.

4

Kompas

1.

lain untuk dijual ke luat negeri,” ujar Kurtubi, yang juga Ketua DPP Partai Nasdem Bidang Energi dan Migas. Kasus sogok di industri migas di Indonesia sudah menjadi tradisi. Dari hasil kajiannya, suapmenyuap di industri migas itu seperti transaksi jual-beli. “jadi, ada uang ada barang,” Kasus yang melibatkan Rudi itu akan berbuntut panjang. “saya yakin, nanti akan terkuak banyak,” kata Mahfud kepada Metro TV Saat MK membubarkan BP Migas, dirinya mendapat data dugaan penyimpangan di BP Migas dibawah kepemimpianan Rudi dari internal BP Migas. total kekayaan Rudi Rp8 miliar lebih. Operasi tangkap tangan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

2.

3.

4.

5.

Gas Bumi Rudi Rubiandini oleh Komisi Pemeberantasan Korupsi Dugaan korupsi di lembagatersebut berlangsungsejak institusi itu bernama BP Migas KPK sudah melakukan studi untuk memahami business process migas dan juga melakukan deterrence effect berdasarkan informasi masyarakat. Kami tetap mengharapkan informasi yang valid untuk bisa mengembangkan kasus ini. Mudah-mudahan ada upaya lebih pasti lagi karena kami berkejaran dengan waktu. Proses sangat intensif sudah dan segera dilakukan pascapenangkapan Bersama lembaga negara lain, KPK menyelamatkan potensi kerugian negara Rp 153,4 triliun dari persoalan minyak dan gas, terumata dari lifting KPK akan terus mengembangkan kasus dari hasil 41


operasi tangkan tangan ini untuk menyelamatkan pendapatan negara dari sektor energi dan mineral, penyelidikan dan penyidikan KPK tidak akan berhenti pada SKK Migas. Pendapatan negara dari sektor energi dan mineral besar sekali. 6. “Selain migas, KPK juga akan memfokuskan pada sektor tambang, seperti batubara, emas, atau timah. Jika tanpa pengelolaan yang baik dan diikuti pengawasan yang efektif, potensi besar itu menguap semuanya. Hanya segelintir orang yang menikmati manfaatnya, tetapi rakyat tetap miskin 7. Korupsi rawan terjadi di industri migas. Ia mengatakan, SKK Migas memiliki kewenangan menunjuk pihak ketiga untuk menjual minyak mentah dan gas bagian negara. Penunjukan

melalui lelang atau langsung itu dilakukan karena SKK Migas bukan entitas bisnis 8. SKK Migas tidak boleh berhenti karena menyangkut investasi yang besar 9. Agar produksi migas jangan samapai terganggu oleh kasus ini penangkapan Rudi menunjukan keberadaan SKK Migas saat ini tidak seperti yang dimaksudakan putusan MK saat membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), November 2012. 10. “SKK Migas itu Cuma ganti baju saja karena BP Migas sudah dibubarkan MK. Orang (pegawai) sama, semua yang di BP Migas, demikian pula strukturnya. Tidak berubah IV.4. Perbandingan Kaidah 5W + 1H Matriks Perbandingan When (Kapan) No

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

Nama Media

When 42


1

Koran Tempo Koran Sindo

2

3

Kompas

4

Media Indonesia

1. 2.

1. 2.

Selasa malam 13 Agustus 2013 13 Agustus 2013 Ditetapkan 14 Agustus 2013 Selasa (13/8) malam 14 Agustus 2013 Selasa (13/8) malam

Matriks Perbandingan Where (Di mana) No 1 2 3 4

Nama Media Koran Tempo Koran Sindo Kompas Media Indonesia

3

Kompas

4

Media Indonesia

Where Jalan Brawijaya VIII, Jakarta Selatan Jember, Jawa Timur, Gedung KPK, Jakarta Jalan Brawijaya VIII No 30, Jakarta Selatan Gedung KPK, Jakarta Jember, Jawa Timur

Matriks Perbandingan How (Bagaimana)

Matriks Perbandingan Why (Mengapa) No 1

2

Nama Media Koran Tempo

Koran Sindo

Why Rudi Rubiandini dan pelatih golfnya, Deviardi, diduga sebagai tersangka penerima suap. Adapun petinggi Kernel Oil Pte Ltd, Simon Gunawan, ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap. Mahfud mengaku pernah mendengar beberapa kasus soal Rudi sejak pengadilan kasus BP Migas sendiri yang memberikan setumpuk data tentang ketidakberesan lembaga tersebut

Setelah MK menjatuhkan vonis uji materi UndangUndang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas dan membubarkan BP Migas, Rudi menjadi penentang paling keras untuk menyerang MK secara frontal dan ngawur SKK Migas itu Cuma ganti baju saja karena BP Migas sudah dibubarkan MK. Orang (pegawai) sama, semua yang di BP Migas, demikian pula strukturnya. Tidak berubah Peluang menjerat pihak lain dalam kasus Rudi sangat terbuka

No 1

2

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

Nama Media Koran Tempo

Koran Sindo

How Selasa malam lalu, KPK membekuk Rudi di rumahnya di jalan Brawijaya VIII, Jakarta Selatan, setelah ia menerima uang US$400 ribu dari Deviardi. Uang tersebut diduga merupakan suap dari Simon yang dititipkan kepada Ardi. Setelah melalui pemeriksaan yang insentif sejak tiba di KPK Selasa malam hingga kemarin pukul 12.00 WIB, penyidik akhirnya menetapkan 43


tiga tersangka yang terlibat dalam kasus Rudi yang juga guru besar ITB tersebut Saat penangkapan, penyidik KPK menyita uang tunai USD 400.000. Selain itu saat menggeledahan di rumah Rudi, penyidik menemukan uang USD90.000 dan 127.000 dolar Singapura serta USD 200.000 di rumah Ardi. Uang yang disita tersebut kemarin diperlihatkan pada saat konferensi pers di KPK. “Ini adalah jumlah uang termasuk yang terbesar yang disita KPK dalam OTT (Operasi Tangkap Tangan),� imbuh Bambang. Selain menyita uang tunai, penyidik juga menyita motor gede (moge) jenis BMW warna hitam berserta BPKB yang diduga juga diberikan kepada Rudi. Bambang memastika pemberian uang USD400.000 Sesuai menjalani pemeriksaan di KPK, tadi malam ketiga tersangka keluar gedung langsung menggunakan baju tahanan ketiganya ditahan di rutan KPK yang berada di dua lokasi untuk 20 hari kedepan. Simon ditahan di rutan KPK yang terletak di guntur pomdam. Sementara

3

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

Kompas

Ardi dan Rudi ditahan di rutan KPK yang terletak di basemen gedung KPK KPK menangkap Rudi di rumahnya, Jalan Brawijaya VIII No 30, Jakarta Selatan. Selain Rudi, KPK juga menangkap Simon Gunawan Tanjaya, eksekutif di perusahaan treding dan pengelolaan minyak mentah asal Singapura, Kernel Oil Pte Ltd. Simon diduga menyuap Rudi melalui Deviardi alias Ardi. Ardi merupakan pelatih golf pribadi Rudi. KPK juga menangkap dua petugas keamanan dan seorang sopir. Saat ditangkap, Selasa sekitar pukul 22.30, Rudi baru menerima uang 400.000 dollar AS (Rp 4,1 milyar) dari Ardi di rumahnya. Ardi mendatangi rumah Rudi sambil membawa uang suap menggunakan motor klasik BMW. Motor klasik BMW yang dibawa Ardi ini juga ikut diberikan kepada Rudi Ardi dikualifikasikan sebagai penerima karena selain menjadi pelantara suap kepada Rudi, penyidik KPK juga menemukan uang 200.000 dollar AS (Rp 2 miliar) saat menggeledah rumahnya. 44


Rudi dan Ardi dikenai Pasal 12 huruf a dan b Pasal 5 Ayat 2 atau Pasal 11 UndangUndang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Adapun Simon diduga melanggar Pasal 5 Ayat 1 Huruf a dan b atau Pasal 13 UU Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Uang 400.000 dollar AS yang diterima Rudi diduga bukan pemberian pertama. Sebelumnya, mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ini diduga menerima pemberian berdasarkan temuan KPK saat menggeledah rumah Rudi. “Dalam penggeledahan itu ditemukan, selain 400.000 dollar AS itu, di rumah R juga ditemukan 90.000 dollar AS (Rp 928 juta) dan 127.000 dollar Singapura (Rp 1 miliar). Sementara di rumah A ditemukan 200.000 dollar AS,” ujar Bambang. 4

Media Indonesia

Seusai menjalani pemeriksaan hampir satu hari, kepada wartawan Rudi membantah dirinya korupsi. “saya tidak melakukan korupsi, tapi saya kelihatan masuk masalah gratifikasi. Ada teman yang datang membawa

uang. Makanya biar proses hukum yang berjalan,” kata Rudi yang mengenakan baju tahanan KPK sambil masuk mobil tahanan di gedung KPK, Jakarta, tadi malam. PEMBAHASAN Jika diamati empat berita tentang kasus korupsi ini, Kompas tampil dengan judul berita lebih soft daripada tiga media lainnya. Korupsi di SKK Migas sejak BP Migas (Judul) Jumlah Uang Disita Terbesar dalam Operasi Tangkap Tangan KPK (Upperdeck). Bandingkan dengan Koran Tempo yang lebih tegas. Penangkapan Kepala SKK Migas (Judul); Suap Diduga untuk Memuluskan Tender Minyak (Upperdeck) atau Koran Sindo yang mengambul judul Rudi Bermain Sendiri atau Disuruh? (Judul). Kompas tidak berani menunjuk langsung Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini yang secara jelas dan tegas ditangkap tangan oleh KPK. Menurut Ibnu Hamad (2004:117) ada tiga strategi dan gaya Kompas dalam mengupas sesuatu yang sensitif (salah satunya berita yang berkaitan dengan korupsi yang rentan dan cenderung menjustifikasi). Pertama, model jalan tengah (MJT); menggugat secara tidak langsung; mengkritik tapi disampaikan dengan santun, terkesan putar-putar dan mengaburkan pesan yang hendak disampaikan. Kedua, model angin surga (MAS); dalam mengupas Kompas bukan menggugat atau mempertanyakan hal-hal tertentu; tetapi lebih sekedar himbauan dan harapan. Ketiga, model anjing penjaga (MAP) yang bersifat terbuka dan menggunakan yang lebih berani. Khusus berita politik, menurut Ibnu Hamad, Kompas lebih menulis aman. (2004:119) Seraya mengutip ungkapan wartawan senior Kompas, Rikard Bangun, “Pasar itu kejam” yang bermakna Kompas

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

45


tidak mau mengorbankan brand atau kedigdayaan dalam media cetak hancur karena keberpihakan ketika meliput hal yang sensitif atau konflik. Gaya safety mencerminkan khas berita-berita Kompas. Surat kabar yang tidak mau konflik, seperti karakter salah satu pribadi pendirinya, Jacob Oetama. Menjaga dari kepentingan pembaca, terutama pembaca muda yang berkiprah dalam KNPI, dan pasar mereka. Ini merupakan ciri khas pemimpin pasar dalam usaha. Ia tidak akan mengorbankan brand untuk satu kepentingan tertentu atau yang berkonflik. Sebagai pemimpin pasar yang mayoritas pembacanya berbeda dengan akar historis mereka, Kompas harus ekstra hati-hati dalam menulis satu berita, meskipun hal tersebut berita kilas/singkat/kecil. Sebab ketersinggungan pembaca membuat track record dan nama baik Kompas tercoreng. Akibatnya, laba perusahaan menurun karena kue iklan dan pembaca menurun. Inilah yang dihindari oleh Kompas dalam berbagai berita dan tampilannya. Sementara itu, dalam pengutipan kasus dugaan korupsi Ketua SKK Migas ini, Media Indonesia memilih Kurtubi yang merupakan Ketua Bidang Energi Partai Nasdem sebagai salah satu narasumbernya. Ini berbeda dan tidak dilakukan oleh tiga media lainnya. Artinya, kutipan Kurtubi ini menjadi bias kepentingan politik Partai Nasdem. Media Indonesia merupakan bagian dari Media Group milik Surya Paloh yang menjadi Ketua Umum Parta Nasdem. Pengambilan nama Kurtubi lebih sebagai kompanye terselubung Partai Nasdem daripada kepentingan publik atau berita. Di sinilah kepentingan politik Partai Nasdem bersembunyi di teks Media Indonesia. Di sisi lain, Koran Tempo yang merupakan bagian dari Grup Tempo unggul dalam mendeskripsikan fakta sebagai karakteriristik khas dari sebuah majalah. Pemuatan kronologis penangkapan Rudi dalam bentuk cerita bergambar adalah salah satu buktinya.

Tanpa membaca secara mendalam seperti disajikan Koran Sindo, Media Indonesia, dan Kompas, pembaca akan paham tentang peristiwa tersebut. Penggambaran merupakan unsur yang terpenting dalam sebuah berita. Pembaca tidak perlu direpotkan untuk membaca kupasan yang mendalam dan menyita waktu. psikologis pembaca ini yang berhasil ditangkap oleh Koran Tempo dalam berita dugaan korupsi Ketua SKK Migas ini. Selain itu, seperti biasanya karakter majalan semi investigatif, Koran Tempo kerap mencantumkan sumber anonim (sumber yang enggan disebut namanya atau tidak diungkapkan). Penyebutan ini tidak dilakukan di Media Indonesia, Kompas, dan Koran Sindo. Penyebutan sumber anonim biasanya dilakukan sebagai sesuatu yang membahayakan jiwa dan keselamatan narasumber. Namun, dalam konteks berita ini sesungguhnya tidak ada yang perlu disembunyikan karena tidak berkaitan dengan kerahasiaan yang mengancam jiwa sumber berita. Sedangkan Koran Sindo yang relatif tidak memiliki kepentingan dalam berita ini mencoba mengetengahkan fakta dengan kupasan yang sangat mendalam. Setelah berita utama di halaman pertama yang bersambung ke halaman dalam, Koran Sindo mengetengahkan ilustrasi yang sangat lengkap sebanyak dua halaman di tengah (center). Dengan penambahan ilustrasi dua halaman di dalam, Koran Sindo sudah memberikan penjelasan yang sangat mendalam tentang (all about) SKK Migas dan Rud Rubiandini. Dalam konteks inilah, Koran Sindo lebih unggul menyajikan deskripsi secara mendalam. Inilah yang disebut dengan surat kabar menjadi majalah harian. Khas karakter jurnalistik interpretatif yang menjelaskan. Korupsi dan Kekuasaan Ketika ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Sisminbakum, Kementerian Kehakiman dan HAM,

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

46


mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengeluhkan adanya pembunuhan karakter dan masa depan karier politiknya. Ia menuding pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menjadikan korupsi sebagai alat untuk membunuh karier politik seseorang. Tuduhan korupsi menjadi senjata paling ampuh merontokkan lawan-lawan politiknya. Dalam pandangan Yusril, tudingan korupsi di era reformasi mirip seperti tudingan keterlibatan dalam Parta Komunis Indonesia (PKI) ketika era Orde Baru. Rezim Soeharto menjadikan PKI sebagai alat propaganda dan membunuh karakter musuh-musuh politiknya. Plus penguasaan media dan pemberitaan yang masif tentang dugaan keterlibatan dalam korupsi penguasa era reformasi menjadikan korupsi dan PKI sama ampunya hanya dalam wuyang dan terminologi yang berbeda. Dalam konteks inilah sesungguhnya teori kekuasaan dan pengetahuan dari Michel Foucault menemukan kebenarannya. Menurut Foucault power produce knowledge, yang didefinisikan sebagai pihak yang berkuasalah yang membuat pengetahuan. Adanya hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan secara langsung menjelaskan representasi dari hubungan ‘powerknowledge’. Knowledge is power mengkontrol tatanan sosial politik. Di phak yang berseberangan adalah power is knowledge yang bermakna kekuasaan menumbuhkan pengetahuan. Foucault mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli. Kuasa oleh Foucault tidak dimaknai dalam term “kepemilikan�, dimana seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu. Kuasa tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Kalau banyak teoritisi lebih memusatkan perhatian pada negara, maka Foucault meneliti kekuasaan lebih pada individu, subjek yang kecil. Ia

berpendapat, seperti yang dikutip oleh Bartens, strategi kuasa berlangsung dimana-mana. Dimana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, dimana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan dengan dunia, disitu kuasa sedang bekerja. kuasa tidak akan datang dari luar tetapi menentukan susunan, aturan-aturan, dan hubungan-hubungan itu dari dalam. Sebagai contoh, dapat disebut hubunganhubungan sosial ekonomi, hubunganhubungan yang menyakngkut keluarga, seksualitas, media komunikasi, dinas kesehatan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Bagi Foucault, kekuasaan selalu terakumulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggara kekuasaan, menurut Foucault selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaannya. Hampir tidak mungkin kekuasaan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran. Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memproduksi pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya, tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran, oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit, bukan juga sebuah konsep yang abstrak. Akan tetapi ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri dimana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Disini, setiap kekuasaan selalu berpretensi

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

47


menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan. Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Menurut Foucault, kuasa tidak bersifat subjektif. Kuasa tidak bekerja dengan cara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Kuasa memproduksi realitas, memproduksi lingkup-lingkup objek, dan ritus-ritus kebenaran. Strategi kuasa tidak bekerja melalui penindasan, melainkan melalui normalisasi dan regulasi, menghukum dan membentuk publik yang disiplin. Publik tidak dikontrol lewat kekuasaan yang bersifat fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan didisiplinkan lewat wacana. Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial, dimana memproduksi bentukbentuk kategorisasi perilaku sebagai baik atau buruk, sebagai bentuk pengendalian perilaku. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk subjektifitas dan perilaku lebih dari secara sederhana digambarkan sebagai bentuk restriksi (pembatasan). Korupsi sebagai Komoditas Berita Berdasarkan hasil survei Cirus Surveyors Groups dan Indonesia Indikator 20 November-30 Desember 2013 terdapat missing point dalam penyerapan aspirasi rakyat oleh partai politik dan media. Direktur Eksekutif Cirus Surveyors Group, Andrinof Chaniago mengungkapkan hal lain yang menarik dari survei kali ini adalah adanya missing point dalam penyerapan aspirasi rakyat oleh partai politik dan media. Misalnya, rakyat menginginkan perbaikan atau adanya jalan baru. Media tidak (minim) mewacanakan masalah tersebut. Media lebih memilih memberitakan politik. Dengan kata lain ada yang tidak nyambung/connect antara benak publik dan benak media. “Justru yang menjadi perbincangan di media adalah masalah politik bukan perbaikan

jalan seperti keinginan warga. Ini yang mengagetkan� Menurut survei itu, mahalnya harga kebutuhan pokok (27,9 persen) dan kondisi jalan/sarana transportasi (22,2 persen) di seluruh Indonesia menjadi masalah utama masyarakat saat ini. Urutan selanjutnya yang menjadi masalah utama adalah sulitnya mencari lapangan kerja (16,3 persen) dan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sebanyak 12,1 persen. Dalam catatan Indonesia Indikator, sepanjang tahun ini, setiap bulannya tidak pernah sepi dari pemberitaan tentang korupsi. Rata-rata terdapat 12.656 pemberitaan per bulan. Sebuah frekuensi pemberitaan yang sangat tinggi jika kita membandingkannya dengan pemberitaan lainnya yang juga sangat mendasar, misalnya pemberitaan tentang kemiskinan yang hanya mencapai rata-rata 2.724 berita setiap bulannya. Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, Rustika Herlambang menyatakan Indonesia Indicator telah melakukan monitoring pemberitaan korupsi di media massa selama kurun tahun 2013. IZ melakukan monitoring pemberitaan terhadap 337 media, 1 Januari - 9 Desember, dari seluruh pemberitaan di Indonesia tanggal 1 Januari - 9 Desember, yakni sebanyak 1.872.234, terdapat pemberitaan korupsi sebanyak 152.346. Ini artinya, pemberitaan kasus korupsi menempati porsi sebesar 8,14% dari seluruh pemberitaan di Indonesia di luar infotainment. Ini meningkat dari jumlah pemberitaan korupsi tahun 2012 yang berada dalam kisaran 107.936 berita, atau sekitar 8.995 pemberitaan/bulan. Dalam konteks itulah sesungguhnya korupsi sebagai agenda setting tersendiri dari masing-masing media. Tentu saja berita korupsi yang diangkat tergantung ideologi dan kepentingan media bersangkuita. Kasus bail-out Bank Century, misalnya, Koran Tempo tidak menjadi konsentrasi utama karena ada Sri Mulyani dan Boediono.

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

48


Keduanya dekat dengan pendiri Grup Tempo, Goenawan Mohamad. Mereka memiliki ideologi yang sama, liberal. Kompas yang dekat dengan kekuasaan, termasuk dengan Permerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pun melakukan hal yang sama. Tidak massif dalam memberitakan dana talangan tersebut. Sebagai pemimpin pasar di surat kabar akan sangat rugi jika memiliki agenda yang bersinggungan dengan kekuasaan. Kasus pemberedelan Kompas 1978 oleh rezim Orde Baru menjadikan Kompas lebih hati-hati atau tepatnya menjadi safety player dalam memberitakan sesuatu terutama yang bersinggungan dengan kekuasaan. Kondisi sebaliknya jika kasus dana talangan Rp 6,7 triiun di Media Indonesia. Ia akan menjadi konsentrasi utama Media Indonesia karena Partai Nasdem berkepentingan untuk membuat citra buruk tentang Partai Demokrat yang diduga terlibat. Oleh sebab itu, berberapa kali editorial dan headline Media Indonesia menyoroti dana talangan ini dengan beragam dalih, terutama kepentingan rakyat. Dengan demikian, sesungguhnya empat media yang mengangkat dugaan korupsi Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini sebagai berita utama menyimpan dan menyiapkan agenda tertentu. Apapun itu. Karena korupsi hari in adalah komoditas tertentu yang layak dijual media kepada pembaca. Semua media akan berlomba menyajikan berita korupsi dengan beragam cara sehingga meningkatkan minat baca masyarakat. Kenaikan pembaca akan menguntungkan surat kabar tertentu, yakni kenaikan rating pembaca yang biasanya dilakukan oleh AC Nielson. Dari jumlah rating inilah kue iklan akan datang. Harga iklan berbanding lurus dengan jumlah pembacanya. Oleh sebab itu, berita korupsi, termasuk dalam kasus dugaan korupsi Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini di negeri ini sudah menjadi komodifikasi; sesuatu yang dibisniskan!.

KESIMPULAN Berdasarkan paparan di bab sebelumnya, khususnya dalam hasil dan pembahasan penelitian tentang berita dugaan korupsi Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini di empat koran nasional, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Pertama, korupsi sebagai komoditas berita. Teks berita dan realitas masyarakat terkadang berbeda. Empat media yang mengangkat dugaan korupsi Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini sebagai berita utama menyimpan dan menyiapkan agenda tertentu. Apapun itu. Karena korupsi hari in adalah komoditas tertentu yang layak dijual media kepada pembaca. Semua media akan berlomba menyajikan berita korupsi dengan beragam cara sehingga meningkatkan minat baca masyarakat. Kenaikan pembaca akan menguntungkan surat kabar tertentu, yakni kenaikan rating pembaca yang biasanya dilakukan oleh AC Nielson. Dari jumlah rating inilah kue iklan akan datang. Harga iklan berbanding lurus dengan jumlah pembacanya. Oleh sebab itu, berita korupsi, termasuk dalam kasus dugaan korupsi Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini di negeri ini sudah menjadi komoditas. Kedua, pada era reformasi tuduhan korupsi menjadi senjata paling ampuh merontokkan lawan-lawan politiknya. Rezim Soeharto menjadikan PKI sebagai alat propaganda dan membunuh karakter musuh-musuh politiknya. Plus penguasaan media dan pemberitaan yang masif tentang dugaan keterlibatan dalam korupsi penguasa era reformasi menjadikan korupsi dan PKI sama ampuhnya hanya dalam terminologi yang berbeda. Ketiga, teks berita merupakan representasi dari kekuasaaan. Ini bersandar pada teori kekuasaan dan pengetahuan Michel Foucault. Menurut Foucault power produce knowledge, yang didefinisikan sebagai pihak yang berkuasalah yang membuat pengetahuan. Adanya hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan secara

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

49


langsung menjelaskan representasi dari hubungan ‘power-knowledge’. Knowledge is power mengkontrol tatanan sosial politik. Di phak yang berseberangan adalah power is knowledge yang bermakna kekuasaan menumbuhkan pengetahuan.

-

di Kementrian Komunikasi dan Informasi, Jakarta, 2008 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, LKiS, Yogyakarta, 2008 Tebba, Sudirman,Jurnalistik Baru, Kalam Indonesia, Jakarta, 2005

DAFTAR PUSTAKA -

-

-

-

-

-

-

-

-

Abrar, Ana Nadhya,Analisis Pers; Teori dan Praktek, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2011 Burton, Graeme, Yang Tersembunyi di Balik Media; Pengantar kepada Kajian Media, Jalasutra, Yogyakarta, 2008 Eriyanto, Analisis Wacana, LKiS, Yogyakarta, 2001 Fiske, John, Cultural dan Communication Studies; Sebuah Pengantar Paling Komprehensif, Penerjemah Josal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim, Jalasutra, Yogyakarta, 2004 Hamad, Ibnu, Komunikasi sebagai Wacana, La Tofi Enterprise, Jakarta, 2010 Hamad, Ibnu, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa, Granit, Jakarta, 2004 Jorgensen, Marianne W dan LouiseJ. Phillips, Analisis Wacana; Teori dan Metode, penerjemah Imam Suyitno dkk, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007 Kovach, Bill and Tom Rosenstiel, The Elements of Journalism, Three Rivers Press, New York, Amerika Serikat, 2007:36 Meleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2010 Mulyana, Ahmad, Tanda dan Makna sebagai Objek dari Wacana, Makalah Seminar

Journal Communiaction Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

50


KONSTRUKSI REALITAS SOSIAL BUDAYA DALAM IKLAN KOMERSIAL TELEVISI MUHAMMAD HASYIM hasyimfrance@yahoo.com Program Studi Sastra Prancis FIB Universitas Hasanuddin Makassar

ABSTRACT

This research aims to analyze the socio-cultural construction of reality on commercial products that are advertised on television. Social and cultural construction of the products seen as a sign, as well as sign language as verbal, so businesses advertising media construct social and cultural meanings inherent in a sign that structured products in the minds of consumers. Using a qualitative approach, data collected through the recording commercials advertising television. The study uses a review semiotics Barthes as a method for analyzing the layers of meaning as a sign of reality (reality of denotation, connotation and myth). The results showed that the advertisers have done a variety of ways persuasive to lead the consumer to use the product promoted, so that the function of advertising is done by the manufacturer does not emphasize on functionality or usability of the product but the social-cultural function is constructed, how to be a sign of the structure, and natural as well as the language used in the communication. Advertising messages has become a socio-cultural meanings of consumption for consumers who then applied these meanings to the social and cultural life as a natural thing. Keywords: advertising, semiotic, socio-cultural reality, sign of connotation, ideology ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konstruksi realitas sosial budaya atas produk komersial yang diiklankan melalui media televisi. Kontruksi sosial budaya atas produk dipandang sebagi tanda, seperti halnya bahasa sebagai tanda verbal, sehingga usaha media iklan mengkonstruksi makna sosial budaya yang melekat pada diri produk menjadi tanda yang berstruktur dalam pikiran konsumen. Menggunakan pendekatan kualitatif, data yang dikumpulkan melalui hasil rekaman iklan-iklan komersial televisi. Penelitian menggunaan tinjauan semiotika Barthes sebagai metode untuk menganalisis lapisan-lapisan pemaknaan sebagai realitas tanda (realitas denotasi, konotasi dan mitos). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengiklan telah melakukan berbagai cara persuasif untuk menggiring konsumen untuk menggunakan produk yang dipromosikan, sehingga fungsi iklan yang dilakukan oleh produsen tidak menekankan pada fungsi atau kegunaan produk tetapi fungsi sosial budaya yang dikonstruksi, bagaimana menjadi tanda yang berstruktur, dan alamiah seperti halnya bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Pesan-pesan iklan telah menjadi konsumsi makna sosial budaya bagi konsumen yang kemudian diaplikasikan makna-makna tersebut ke dalam kehidupan sosial budaya sebagai suatu hal wajar. Kata kunci : iklan, semiotika, realitas sosio kultural, tanda konotasi, dan ideologi PENDAHULUAN Perkembangan

periklanan

televisi di Indonesia dewasa ini menunjukkan bahwa produsen sebagai

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

51


pengiklan melakukan berbagai cara atau strategi persuasif untuk meyakinkan konsumen dengan menghilangkan keraguan-keraguan yang tidak beralasan tentang produk yang dipromosikan melalui iklan. Maka, dalam melakukan strateginya, pengiklan tidak hanya sekadar menjual manfaat sebuah produk, tetapi lebih dari itu, iklan menjual sebuah sistem ide dengan menyisipkan nilai simbolik secara otonom sebagai suatu upaya mengkonstruksi realitas atas produk yang dipromosikan. Realitas iklan yang dibangun oleh produsen sebagai cara untuk mempengaruhi suatu sikap dan cara pandang terhadap suatu realitas. Apa yang kita rasakan sebagai “pertukaran nilai simbolik”, seperti Coca-Cola, di mana produk tersebut telah menjadi salah satu minuman utama yang disajikan pada berbagai kegiatan seremoni seperti seminar, pernikahan dan bahkan hari raya keagamaan. Begitu pun mie instan misalnya Indomie, telah menjadi salah satu makanan selalu disediakan pada setiap keluarga yang dapat dikonsumsi setiap saat dan setiap waktu. Iklan telah menciptakan sistem gagasan yang tanpa disadari telah menjadi realitas sosial budaya di mana makna-makna produk yang diproduksi telah menjadi budaya dominan, sesuatu yang dianggap alamiah dan wajar dalam kehidupan manusia. Baudrillard menekankan melalui iklan kapitalis menciptakan komoditas yang dibutuhkan orang, tidak lagi menekankan pada use value (manfaat produk), melainkan “symbolic value”. Artinya, orang tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan karena kegunaan atau nilai tukarnya, melainkan karena nilai simbolis yang sifatnya abstrak dan terkonstruksi, ’si nous consommons le produit dans le produit, nous consommons son sens dans la publicité (ketika kita mengkonsumsi produk sebagai produk, maka kita telah

mengonsumsi maknanya melalui iklan, 1968: 252). Konsumsi makna yang dimaksud tidak lain adalah realitas produk (nilai simbolik) yang diciptakan pengiklan. Melalui iklan kita mengkonsumsi selera, emosi dan harapan sebagai sistem gagasan yang tanpa disadari dianggap sebagai realitas. Akhirnya, dalam teks-teks iklan digambarkan bagaimana hubungan manusia dengan produk, di mana pemaknaan tentang dirinya ada pada produk yang dikonsumsi. Kita pun dapat menyaksikan tayangan-tayangan iklan komersial di televisi yang tidak lagi menekankan fungsi atau kegunaan produk, tetapi lebih kepada fungsi sosial. Iklan produk kesehatan khusus perempuan lebih menekankan pada bagaimana menjaga hubungan keharmonisan dalam sebuah keluarga, dan bagaimana seorang perempuan sebagi pengguna produk merawat diri sebagai salah satu solusi meningkatkan hubungan keharomisan dalam rumah tangga. Produk minuman suplemen merepresentasikan sosok lakilaki sebagai pengkonsumsi produk minuman suplemen, yang maskulin dan pemberani. Begitu pun produk susu untuk anak-anak pengiklan menjual konsep kecerdasan, dan produk kendaraan menawarkan konsep gaya hidup metropolitan. Kenyataan menunjukkan bagaimana masyarakat mentransfer makna-makna iklan produk dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, slogan iklan motor Honda, ‘One Heart’ menjadi motto pada komunitas motor produk Honda. Tagline ‘bikin lo beda’ pada produk Suzuki Satria merepresentasikan penggunanya sebagai pengendara motor merek tersebut yang tampil berbeda dengan yang lain. Contoh-contoh iklan yang telah disebutkan menunjukkan bagaimana kekuatan iklan dalam mengkonstruksi realitas yang tertanam dalam pikiran konsumen.

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

52


Berkaitan dengan uraian di atas, yang menarik untuk diteliti adalah bagaimana realitas iklan ditampilkan dalam media televisi? Bagaimanakah sistem signifikasi (relasi dan hierarkhi sistem tanda) diciptakan dalam mengkonstruksi realitas sosial budaya terhadap produk yang diiklankan? Dan bagaimana gambaran mitos masa kini dikonstruksi dalam iklan media televisi? Pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut akan dijawab dengan pendekatan semiotika Roland Barthes, teori tanda yang menekankan pada lapisan-lapisan pemaknaan atas suatu objek (realitas produk). KERANGKA PEMIKIRAN Suatu hal yang dimiliki manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah kemampuan manusia dalam menciptakan tanda-tanda yang menghubungkan mereka dengan realitas. Dalam memaknai realitas, manusia memanfaatkan dua unsur, yang Ferdinand de Saussure menyebutnya signfiant (penanda) dan signefié (petanda). Sebuah contoh yang diberikan Saussure dalam bukunya, Cours de Linguistique Générale (1967: 97), berupa bunyi /arbròr/ yang terdiri atas enam huruf ‘arbror’ adalah penanda dalam sebuah konsep yang berhubungan pada sebuah objek yang pada kenyataannya merupakan sebuah pohon yang memiliki batang dan daun. Penanda tersebut (citra bunyi atau kata) itu sendiri bukanlah sebuah tanda, kecuali seseorang mengetahuinya sebagai hal demikian dan berhubungan dengan konsep yang ditandainya. Saussure menggunakan istilah signifiant (penanda) untuk segi bentuk tanda, dan signifié (petanda) untuk segi maknanya. Dengan demikian, semua yang hadir dalam realitas dilihat sebagai tanda yang dipahami atau dimaknai melalui proses signifikasi antara penanda (realitas) dan petanda (makna tertentu

yang diberikan pada realitas). Roland Barthes, pengikut semiotika de Saussure, memandang realitas sebagai tanda yang dibangun melalui dua level pemaknaan, yaitu denotasi dan konotasi. Dalam teorinya (Barthes, 1977: 89-90), denotasi, sebagai sistem signifikasi tahap pertama (sistem primer), yaitu pemaknaan secara umum diterima dalam konvensi dasar sebuah masyarakat. Barthes menggunakan istilah Expression (E) untuk penanda dan contenu (C) untuk petanda dan relation (R) yang menghubungkan antara E dan C sehingga melahirkan makna pada sistem primer. R berfungsi sebagai pembentuk dan pembeda makna. Selanjutnya, konotasi sebagai sistem signifikasi tahap kedua (sistem sekunder), adalah pemaknaan tertentu (makna tambahan) dari sistem primer. Konotasi menghasilkan makna baru yang diberikan oleh pemakai tanda yang dapat dilatarbelakangi oleh ideologi, sosial budaya dari suatu masyarakat, atau berdasarkan atas konvensi yang ada dalam masyarakat. Konotasi digunakan pemakai tanda untuk menjelaskan realitas sosial budaya. Dalam perkembangan sistem tanda Barthes, makna konotasi yang didasari oleh pandangan budaya atau ideologi oleh masyarakat dapat menjadi mitos, yaitu suatu cara berpikir dari suatu kebudayaan atau ideologi terhadap suatu realitas. Bagi Barthes, mitos adalah the ideological implications of what seems natural, ‘myth’ means a delusion to be exposed (Culler, 2001:2). Mitos merupakan cara mengkonseptualisasikan atau menaturalisasikan realitas tertentu dalam masyarakat pengguna tanda (Fiske, 2004: 121). Dengan mengacu pada teori Barthes, maka realitas sebagai tanda dapat dibagi atas realitas denotasi, realitas konotasi dan realitas mitos. Dalam pada itu, dengan merujuk

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

53


pada Charles Sander Peirce, realitas sebagai tanda dipandang sebagai sesuatu yang mewakili sesuatu, ‘something which stands to somebody for something in some respect or capacity’. Sesuatu itu dapat berupa hal yang konkret yang dapat ditangkap dengan pancaindra, yang kemudian melalui proses penafsiran (interpretan), mewakili sesuatu yang lain (makna tertentu), yang ada dalam kognisi manusia. Sesuatu yang pertama disebut representamen dan sesuatu yang ada dalam kognisi manusia disebut objek. Peirce menyebut tanda sebagai representamen dan konsep, benda, gagasan, dan seterusnya yang diacuhnya sebagai objek. Makna (impresi, kognisi, perasaan, dan seterusnya) yang diperoleh dari sebuah tanda dinamakan interpretan (Danesi, 2010:37). Jadi, dalam pemaknaan sesuatu tanda melalui proses semiosis, terjadi dari hal yang konkret (realitas yang ada di sekitar pengguna tanda) ke dalam kognisi manusia. Dengan demikian secara garis besar, realitas dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda atau representamen yang mewakili sesuatu yang lain (makna tertentu) yang ada dalam kognisi manusia. Realitas sebagai tanda dibentuk dan dikonstruksi manusia melalui proses semiosis. Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa realitas merupakan sistem signifikasi yang diciptakan atau dikonstruksi oleh pengguna tanda (individu dan masyarakat) yang kemudian ditafsirkan sebagai sesuatu yang memiliki makna. Realitas yang dikonstruksi, merupakan sesuatu yang konkrit, ditangkap oleh panca indra manusia, dan kemudian melalui proses signifikasi, (relasi antara penanda dan petanda) melahirkan tanda yang menstruktur dalam kognisi manusia. Alfred Schutz menjelaskan, realitas merupakan stock of knowledge (1993: 80), yakni sekumpulan pengetahuan dalam kognisi manusia

yang diperoleh melalui hubungannya dengan realitas sosial budaya, sehingga cara pandang manusia atau frame terhadap suatu realitas tidak lepas dari stock of knowledge yang dimiliki. Dengan demikian, konstruksi realitas dapat menjadi stock of knowledge dalam diri manusia (masyarakat) yang terbentuk melalui hasil relasi penanda dan petanda (signifikasi). Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu bentuk teknologi yang saat ini mewarnai kehidupan manusia di masa sekarang adalah media massa. Bentuk-bentuk media seperti surat kabar, majalah, televisi, iklan dan internet merupakan produk budaya yang berfungsi mengkomunikasikan pesan dengan meggunakan tanda. Menurut McLuhan, The medium is the message (1964: 11), yang terbentuk melalui proses relasi antara penanda dan petanda. Penanda adalah pesan (citra akustik) yang ditampilkan dalam bentuk teks (baik teks verbal maupun nonvernal) dan petanda adalah makna dari pesan tersebut. Dengan demikian, apa yang dipresentasikan oleh media adalah realitas sosial budaya yang dikonstruksi dan dikomunikasikan melalui pesan. Lebih lanjut, John Fiske menekankan bahwa media bukan hanya menyajikan representasi realitas tertentu tetapi juga media mempengaruhi dan memproduksi realitas yang mereka mediakan (2004: 1). Iklan televisi sebagai media mengkonstruksi realitas tertentu atas produk yang dikomunikasikan. Tujuan utama iklan televisi tidak hanya memperkenalkan atau mempromosikan produk yang ditawarkan kepada masyarakat tetapi bagaimana produk itu dipercaya (belief, Kotler, 1991: 41). Konstruksi realitas tertentu atas produk merupakan suatu upaya bagi pembuat pengiklan untuk membangun kepercayaan kepada khalayak. Makna realitas merupakan

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

54


simbol identitas diri (kepribadian) suatu produk yang dikomunikasikan melaui iklan (Kellner, 2010: 135). Salah satu sistem tanda yang digunakan manusia dalam menghubungannya dengan realitas adalah bahasa. Claire Kramsch dalam Language and Culture (1998: 3), mengatakan bahwa bahasa dalam hubungannya dengan budaya, dapat mengekpresikan, menciptakan dan melambangkan realitas budaya. Pertama, menjelaskan bagaimana katakata dapat menyampaikan fakta, gagasan atau peristiwa-peristiwa. Katakata bersifat komunikatif, karena merujuk pada pengetahuan tentang dunia, tentang kehidupan yang dibagi bersama orang lain. Kata-kata juga merefleksikan tingkah laku, cara pandang terhadap dunia, dan kepercayaan; Kedua menunjukkan, bagaimana bahasa dapat menciptakan realitas. Masyarakat tidak hanya dapat mengekspresikan pengalaman dengan bahasa, namun dapat sekaligus menciptakan pengalaman melalui bahasa; Ketiga mengacu pada bahasa sebagai sistem tanda, yang dianggap sudah mengandung nilai dalam dirinya. Penutur bahasa akan mengidentifikasi dirinya dan orang lain melalui bahasa yang digunakan. Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966: 26), mengatakan bahwa media seperti iklan televisi pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa adalah unsur utama, dan instrumen pokok untuk menciptakan realitas. Demikian pun, Saussure menekankan bahwa hakikat bahasa adalah sistem tanda yang dibentuk oleh dua unsur yang tak terpisahkan, yaitu signifier dan signified), dan bahasa merupakan system paling penting dalam kehidupan manusia: “La Langue un système de signes exprimant des idées, et par là,

comparable à l’écriture, à l’aphabet des sourds muets, aux rites simboliques, aux forms de politesse, aux signaux militaires, etc. etc. Elle est seulement le plus imfortant de ces systems (1967: 33). Langue (bahasa) merupakan sistem tanda yang mengungkapkan gagasan, dan oleh karenanya, dapat dibandingkan dengan tulisan, dengan abjad tuna rungu, dengan ritus simbolik, degan bentuk-bentuk sopan santun, dengan tanda-tanda militer,. Namun, hanya langue-lah (bahasa) merupakan yang terpenting di antara sistem-sistem tersebut. Sistem tanda bahasa digunakan secara maksimal dalam iklan televisi. Media iklan televisi memanfaatkan sistem tanda itu untuk menjelaskan makna realitas produk yang dikomunikasikan, sehingga apa yang ada dalam berbagai makna iklan merupakan realitas bahasa itu sendiri sebagai sistem tanda utama. Selain bahasa sebagai sistem tanda, iklan televisi menggunakan bahasa visual (gambar). Bahasa verbal berhubungan dengan situasi saat berkomunikasi dan situasi ini ditentukan oleh konteks pengirim (komunikator) dan penerima (komunikan). Sedangkan, dalam bahasa visual, bagaimana penerima (khalayak) menafsirkan teks dan gambar yang dikomunikasikan oleh pengirim. Iklan televisi menggunakan kedua tanda ini (bahasa verbal dan visual) untuk mengkonstruksikan makna realitas iklan. Maka, ketika di televisi hadir iklan komersial, seperti ‘Mie Sedap’ dengan menyampaikan pesan verbal ‘setiap saat dan setiap waktu’ yang memaknakan mie instant sebagai makanan utama dalam keluarga, pada dasarnya bukan hanya kata itu sebagai penanda yang menjadi kekuatan konstruksi atas realitas, namun kata-kata itu telah diperkuat bahasa visual, yaitu gambaran secara visual perilaku pemain dalam iklan

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

55


tersebut. Kekuatan bahasa sebagai sistem tanda dalam memaknai realitas iklan menjadi hal yang menarik dalam kajian linguistik dan semiotika. Pertama, iklan televisi menggunakan bahasa sebagai sarana penyampai pesan kepada konsumen (pemirsa). Artinya, penggunaan bahasa yang berupa teks dalam iklan TV memiliki makna-makna tertentu untuk menyampaikan komunikasi yang lebih efektif kepada pemirsa dan dengan makna-makna tersebut pemirsa dapat memahami pesan dalam iklan televisi. Kedua, semiotika (dalam penelitian media iklan) adalah kajian yang dapat digunakan untuk mengkaji tanda, yang menfokuskan pada makna pesan dan cara pesan disampaikan melalui tandatanda baik tanda linguistik maupun tanda visual mengkomunikasikan makna. Menurut Marcel Danesi, tugas pokok semiotika adalah mengidentifikasi, mendokumentasikan dan mengkalsisfikasi jenis-jenis tanda dan cara penggunaannya dalam aktivitas yang bersifat representatif. Karena jenis-jenis tanda berbeda di tiap budaya tanda menciptakan pelbagai pencontoh mental yang akan membentuk pandangan yang akan dimiliki orang terhadap realitas (2010: 33). METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif (bahasa verbal dan nonverbal – gambar video dalam iklan komersial televisi), yang bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat populasi atau objek yang dikaji dan mengambarkan hasil penelitian dalam bentuk narasi yang disertai gambar video (iklan TV), dan dilandasi dengan teori-teori yang menunjang hasil penelitian. Dengan demikian, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah slogan, tagline dan narasi teks iklan televisi. Ada pun data iklan

komersial televisi yang akan dibahas pada penelitian adalah iklan produk Teh Sari Wangi, Mie Sedaap, dan Ponds Age Miracle. Metode penelitian ini juga menggunakan pendekatan semiotika Barthes, untuk mengkaji bagaimana proses produksi tanda (pesan nilai sosial budaya) yang menghasilkan lapisan pemaknaan (denotasi, konotasi dan mitos) sebagai realitas tanda produk. HASIL PENELITIAN Realitas Iklan sebagai Sistem Tanda Dengan mengacu semiotika Barthes, realitas iklan televisi memiliki lapisan-lapisan pemaknaan di mana hubungan satu lapisan dengan lapisan lain terbentuk melalui proses signikasi. Lapisan-lapisan pemaknaan tersebut dapat dideksripsikan menjadi tiga realitas tanda, yaitu realitas denotasi, yang menyajikan nilai fungsional (kegunaan atau manfaat) suatu produk, realitas konotasi, yang merupakan nilai nonfungsional dan realitas mitos, adalah nilai ideologis atau kepercayaan pada produk yang diiklankan. PEMBAHASAN Realitas Denotasi Lapisan pertama, disebut realitas denotasi, merupakan segala sesuatu yang bisa dicerap dari latar (setting), kostum yang digunakan model iklan, tata letak, karakter, teks tulisan atau slogan, logo, musik, relasi yang terjadi antara pelaku (bintang iklan). Realitas denotasi berurusan dengan perkara komunikasi (informasional). Informasi yang disampaikan dalam realitas denotasi adalah nama merek, fitur-fitur yang melekat pada merek dan nilai manfaat atau kegunaan produk tersebut. Dalam iklan televisi, denotasi mengacu kepada makna aktual (realitas ril) pada suatu produk. Penanda pada lapisan pertama merupakan merek produk, dan petanda menjelaskan makna, dan nilai manfaat atau kegunaan merek produk.

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

56


Dalam upaya menciptakan kepibadian untuk sebuah produk, media iklan membuat sistem signifikasi. Yang pertama dan hal utama sistem signifikasi ini dibuat dengan memberikannya dan mengkomunikasikan merek produk tersebut. Ketika sebuah produk diberi nama merek dan dikomunikasikan melalui iklan, maka seperti seorang pribadi, produk itu dapat dikenal dalam kaitannya dengan nama merek dan manfaat atau kegunaan produk tersebut. Dalam realitas denotasi, sistem penandaan yang utama dan konkrit dikomunikasikan adalah merek dan kegunaan produk. Semua media iklan, termasuk iklan televisi, merek dan kegunaan produk merupakan sistem signifikasi yang utama yang dikomunikasikan kepada khalayak. Realitas Konotasi Lapisan kedua, disebut realitas konotasi, merupakan sistem signifikasi yang merujuk pada makna tambahan atau simbolik yang melekat pada produk (merek) yang diiklankan. Realitas konotasi tidak lagi mengacu kepada nilai manfaat atau nonfungsional, tetapi nilai simbolik atau label tanda pada merek produk. Realitas konotasi merupakan system pendaan yang memaknai sesuatu yang lain di luar dirinya (makna denotasi), misalnya penciptaan realitas sosial budaya pada produk yang diiklankan. Misalnya, iklan Teh Sari Wangi tidak lagi dimaknai sebagai minuman teh, tetapi dikonotasikan sebagai minuman keluarga. Contoh iklan teh Sari Wangi versi ‘Ulang Tahun’. Iklan teh tersebut menyampaikan pesan ‘Mari Bicara’ yang dimunculkan pada setiap akhir iklan. Keduanya tidak lagi mempresentasikan nilai fungsional Sari Wangi sebagai produk minuman teh. Akan tetapi, iklan tersebut lebih menekankan pada nilai nonfungsional, yaitu hubungan emosional. Dalam

iklan tersebut dijelaskan teh Sari Wangi telah menjadi media komunikasi dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam keluarga. Pada iklan teh Sari Wangi versi ulang tahun, diceritakan bagaimana seorang istri berusaha untuk mengingatkan kepada sang suami, hari ulang tahun sang istri hanya dengan mengajak suami untuk ‘ngeteh’. Iklan itu mengkonstruksi minuman teh Sari Wangi, sebagai media komunikasi ‘mari bicara’ dapat menyelesaikan masalah dalam keluarga. Contoh lain bagaimana media iklan menciptakan realitas sosial budaya adalah iklan televisi mie Sedaap, edisi ‘setiap saat, setiap waktu.’ Pada awalnya, ide iklan tersebut diangkat dari kisah suatu keluarga yang selalu menyajikan mie ‘Sedaap’ sebagai makanan setiap hari. Diawali dengan seorang ibu menyediakan mie Sedaap sebagai makanan sarapan pagi untuk keluarganya (suami dan anak). Selain itu, sang ibu menyediakan mie untuk makanan siang yang dibawa anaknya ke sekolah. Pada siang hari, sang ibu pun menyediakan lagi mie Sedaap untuk makan siang bagi sang suami dan pekerja di sawah. Iklan tersebut mengkonstruksi realitas mie Sedaap sebagai makanan lezat dan bergizi, dan kelezatannya sehingga mie Sedaap menjadi makanan utama bagi suatu keluarga. Mie Sedaap bukan lagi mie ‘sembarangan’, tetapi mie Sedaap sudah menjadi makanan ‘utama’ sebagai pengganti beras. Penekanan iklan tersebut dapat dilihat pada pesan linguistik, ‘setiap saat, setiap waktu’, yang mengkonotasikan bahwa mie “sedaap” adalah makanan yang dapat dikonsumsi setiap hari kapan dan di mana saja. Dalam realitas iklan, mie instan merupakan makanan utama yang dikonsumsi setiap saat dan setiap waktu. Iklan televisi makanan Mie

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

57


Sedaap dan minuman teh Sari Wangi mengkonstruksi makna realitas tertentu. Realitas Mie Sedap berkonotasi makanan utama setiap hari dan realitas the Sari Wangi sebagi minuman solusi masalah dalam keluarga. Realitas sosial budaya dalam iklan merupakan sistem tanda di mana tanda (realitas iklan) dibangun relasi antara penanda dan petanda sehingga menghasilkan makna tertentu.

tetapi lebih mengutamakan nilai ideologis yang dibentuk dan menjadi label pada merek produk. Misalnya, produk kosmetik seperti Pond’s anti aging dikaitkan dengan keharmonisan dalam rumah tangga (dengan tujuan untuk menyenangkan pasangan). Iklan Ponds Age Miracle : Signified (Hidupkan Kembali Cintamu) Sign :

Realitas Mitos (Ideologi) Lapisan ketiga disebut realitas mitos (ideologis). Menurut Barthes, ‘le mythe est une parole’ (mitos adalah suatu tipe tuturan, Barthes, 1957: 181). Mitos merupakan sistem komunikasi yang mengandung suatu pesan yang dibentuk melalui proses signifikasi konotatif dan denotatif. Sistem konotatif bersifat ideologis. System ini sebagai unsur petanda mengandung nilai-nilai ideologis. Dan sisten denotatif (keliteralan, kandungan literal imaji, objek dan teks atau kalimat tampak jelas) merupakan bentuk-bentuk mitos (penanda) yang berfungsi menaturalisasikan atau melumrahkan suatu realitas (Barthes, 1977: 182). Media iklan televisi menciptakan sistem signifikasi atas realitas produk dengan cara menjungkirbalikkan suatu fakta (wacana budaya), yaitu kultur dalam pesan iklan dijungkirbalikkan menjadi hal yang natural atau wajar. Dengan kata lain, sebagai dampak dari penjungkirbalikkan mitos, fondasifondasi dasar ujaran menjadi sesuatu yang dianggap sesuai dengan pikiran sehat, pertimbangan yang benar, dan opini umum. Karena adanya naturalisasi dalam pesan iklan, produk yang dikomunikasikan tidak ada lagi hubungannya dengan nilai kegunaan suatu produk. iklan televisi tidak menekankan pada nilai fungsional

Signifier (nama merek produk ‘Pond’s Age Miracle’), Begitu pun iklan rokok Surya 12 dikaitkan dengan mitos kejantanan. Dalam iklan tersebut disebutkan ‘Surya 12 (signifier), Taklukkan Tantanganmu’ (Signified). Berdasarkan penelitian penulis terhadap iklan tekevisi, nilai-nilai mitos diciptakan dalam iklan produk adalah: kecantikan, kejantanan, keharmonisan, kemewahan, kelas sosial, persahabatan, dan seksualitas. Dengan demikian, dalam lapisan ketiga, media iklan televisi menciptakan sistem signifikasi penanda tanpa petanda. Penanda merupakan merek produk yang dikomunikasikan dan petanda nilai ideologis yang tidak memiliki hubungan langsung dengan produk yang diiklankan. Misalnya iklan rokok Surya 12. Pada akhir cerita iklan tersebut, ditampilkan nama produk (Surya 12), sebagai penanda, kemudian dimunculkan slogan sebagai petanda yang berbunyi ‘Taklukkan Tantanganmu’. Iklan rokok Gudang Garam membangun mitos kejantanan (keberanian dan percaya diri). Sistem penandaan dalam realitas mitos tidak lagi menstruktur, sebagaimana teori sistem tanda yang dikemukakan oleh Saussure. Hubungan penanda dan petandanya tidak bersifat tetap, melainkan dalam kenyataannya (seperti dalam iklan

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

58


televisi), penanda dapat memiliki hubungan yang lain atau sesuatu yang baru dalam petanda. Oleh karena itu, makna suatu tanda diperoleh tidak berdasarkan perbedaan antartanda yang hubungan antara penandapetandanya bersifat statis, melainkan dapat berubah-ubah sesuai dengan kehendak pemakai tanda (pembuat iklan). Hubungan baru ini disebut simulacrum. Dalam bab kesimpulan buku Barthes, ditekankan bahwa: “The aim of semiological research is to reconstitute the functioning ot the systems of significations other than language in accordance with the process typical of any structuralist activity, which is to build a simulacrum of the objects under observation.� (Barthes, 1968: 95) Penekanan pada realitas mitos adalah bagaimana menciptakan objekobjek baru (makna baru) yang melekat pada merek sehingga dapat menjadi identitas diri atau kepribadian suatu merek, yang tujuan utamanya adalah menciptakan kepercayaan (belief) kepada khalayak. Makna baru itulah yang menjadi realitas ‘real’ pada merek produk yang dikomunikasikan melalui media iklan televisi. Dengan demikian, dalam sistem signifikasi, relasi antartanda (penanda dan petanda) menghasilkan hierarki atau level pemaknaan (denotasi, konotasi dan mitos) seperti gambar di bawah ini: dan relasi dan hirarki sistem signifikasi menciptakan makna realitas baru dalam media iklan televisi.

Sosial-budaya

Gambar 1. Piramida system signifikasi dalam Iklan

Dan

relasi

dan

hirarki

sistem

signifikasi menciptakan makna realitas baru dalam media iklan televisi.

Gambar 2: Signifikasi realitas media iklan televisi

KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa media iklan, sebagai pengguna tanda menciptakan sistem signifikasi (tanda verbal dan nonverbal) dalam mengkonstruksi makna realitas baru iklan televisi. Sistem signifikasi Iklan yang diciptakan, kemudian, ditafsirkan oleh pemirsa sebagai pemakai tanda, sebagai realitas yang memiliki makna tertentu. Pembuat iklan menggunakan nilai-nilai sosial budaya dalam menandai merek produk yang dikomunikasikan, sehingga realitas iklan televisi yang dibangun menjadi suatu sistem signifikasi yang menstruktur dalam kognisi manusia. Nilai sosial budaya di masyarakat merupakan pandangan (mitos) yang digunakan oleh pengiklan yang ditransferkan maknanya ke produk komersial yang diprmosikan lewat iklan. Sehingga pandangan-pandangan

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

59


atau mitos yang dikontruksi dalam iklan seolah-olah dianggap wajar atau alamiah yang sama halnya pada nilainilai sosial budaya yang di masyarakat. Dengan demikian, pesan-pesan iklan komersial yang disampaikan pada dasarnya diambil dari sistem real (nilainilai sosial budaya), yang ada di masyarakat, yang kemudian melalui proses encoding, makna sosial budaya tersebut melekat pada produk komersial yang dipromosikan. Pada dasarnya, tidak ada hubungan logis produk teh Sari Wangi dijadikan sebagai media komunikasi dalam menyelesaikan masalah dalam rumah tangga, produk Mie Sedaap yang dikonsepsikan sebagai makanan pokok pengganti beras, Produk kecantikan Ponds yang dikaitkan dengan hubungan kaharmonisan pasangan (keluarga). Namun secara semiotik, mitos bekerja dengan menaturalisasikan atau melogikakan suatu pandangan (nilainilai sosial budaya) yang melekat pada produk menjadi alamiah dalam pikiran masyarakat konsumen. Pertama-tama iklan menciptakan kekhawatiran, rasa takut, dan kecemasan, kemudian, iklan memberikan solusi dengan menciptakan suatu mitos (pandangan umum) yang diambil dari nilai-nilai sosial budaya di masyarakat, sebagai cara untuk keluar dari kekhawatiran, rasa taku dan kecemasan melalui penggunaan produk. Bila mengacu pada konsep semiotika Saussure, tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat iklan adalah bagaimana tanda (makna pesan) yang disampaikan dengan mentransfer nilainilai sosial budaya pada produk yang dipromosikan menjadi realitas alamiah di masyarakat, yang sama halnya bagaimana masyarakat penutur bahasa menciptakan suatu tanda verbal yang dikemudian diterima secara konvensional sebagai sistem tanda dalam masyarakat penuturnya. Dalam penelitian lanjutan, kita dapat berfokus pada bagaimana

konsumen sebagai pengguna produk mereproduksi makna atas pesan nilai sosial budaya pada iklan produk komersial yang dikontruksi oleh pengiklan. Melalui penelitian lanjutan tersebut, secara hipotesis, dapat ditemukan makna-makna konotasi sebagai hasil reporduksi tanda oleh masyarakat konsumen. DAFTAR PUSTAKA - Barthes, Roland. 1968. Elements of Semiology. New York: Hill and Wang - Barthes, Roland. 1982. Empire of Signs. New York: Hill and Wang - Barthes, Roland. 1977. Image Music Text. (Essays selected and translated by Stepehen Heath). London: Fontana Press - Barthes, Roland. 1957. Mythologies. Paris: Edition du Seuil - Brandt, Line. 2010. Metaphore and Communicative Mind. Journal of Cognitive Semiotics. Volume 5, Number 1-2 (p. 4378). - Buchler, Justus. 1966. Philosophical Writings of Peirce. New York: Dover Publications. - Culler, Jonathan. 2001. Barthes, A Very Short Introduction. New York: Oxford. - Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Jakarta: Jalasutra. - Danesi, Marcel. 2004. Messages, Signs, and Meanings: A Basic Textbook in Semiotics and Communication Theory. Canada: Canadian Scholars’ Press Inc. - Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics (Advances in Semiotics). Bloomington: Indiana

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

60


-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

University Press. Fiske, John. 2004. Cultural and Coomunication Studies. Sebuah Penganter Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. Hasyim, Muhammad. 2014. Konstruksi Mitos dan Ideologi dalam Teks Iklan Komersial Televisi: Suatu Tinjauan Semilogi. ‘Disertasi’, Universitas Hasanuddin, Makassar. Hoed, Benny. 2011. Semiotik dan Dinamika Kehidupan Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu Jefkins, Frank. 1997. Periklanan. Jakarta: Erlangga. Lely Arrianie, Gushevinalti & Yuliati. Komoditas Fetisisme dalam Iklan Politik Pemilukada Kota Bengkulu. ‘Jurnal Communication’, Vol. 5 Nomor 1 April 2014. ISSN2086-5708 (hal. 54 – 64). Kasali, Rhenald. 1995. Management Periklanan Konsep dan Aplikasinya di Indonesia. Jakarta: Grafiti. Kellner, Douglas. 2010. Budaya Media. Yogyakarta: Jalasutra. Gramsch, Claire. 2009. Language and Culture. New York: Oxford University Press. Martin, Bronwen & Ringham, Felizitas. 2000. Dictionary of Semiotics. New York: Cassell. McLuhan, Marshall. 1964. Understanding Media. The Extension of Man. London: Routledge & Kegan Paul. Noth, W. 1990. Handbook of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press. Peter L., Berger and Thomas Luckmann. 1996. The Social Construction of Reality A Treatise in the Sociology of

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

-

-

-

-

-

-

Knowledge. New York. Saussure, Ferdinand de. 1967. Cours de Linguistique Générale. Paris: Payot Sebeok, Thomas A. 1994. An Introduction to Semiotics. Canada: Toronto Univerity Press. Schutz, Alfred & Luckmann, Thomas. 1993. The structure of the life – world. New York: Northwestern University press Simamora, Bilson. 2002. Aura Merek. Jakarta: Gramedia. Sunardi, ST. 2004. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Bukubaik. Walton, Paul & Davis, Howard. 2010. Bahasa, Citra, Media. Yogyakarta: Jalasutra. Van Zoest, Aart. 1996. Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

61


INTEGRATED MARKETING COMMUNICATIONS IN MARKETING PUBLIC RELATIONS PERSPECTIVE (Survey on TourismDestinationDevelopmentinThree Colorsof LakeKelimutu, Ende, East Nusa Tenggara Province) NUNUNG RUSMIATI n.rusmiati@yahoo.com Program of Doctoral Communication Post-Graduate School, Sahid University, Indonesia ABSTRACT The tourism industry also affects a tourist-destination country in term of cross-cultural understanding. To support the tourism activity in a tourist destination, it is necessary to have a good destination marketing strategy. Destination Marketing is a communication process with potential visitor to influence their tour destination. Destination Marketing possessed major role in the process of implementation. It does so, by its effort to communication the value, vision and mission and it competes to promote tourism destination. The potential Indonesian tourism industry will continue to suffer if the image of Indonesia, as a safe and comfortable country, is not correctly conveyed with the right strategy. It is time for the government to develop, communicate and promote tourism destination in other parts of Indonesia, especially in eastern parts of Indonesia. The research questions of this case study of integrated marketing communications from the perspective of public relations regarding potential tourist destination in one of eastern parts of Indonesia: Lake Tiga Warna Kelimutu, the Residence of Ende, the Province of Nusa Tenggara Timur are: Is there any effect of word of mouth communication on the attractiveness of tourist destination?, Is there any effect of marketing public relation on the attractiveness of tourist destination?, Is there any effect of destination marketing management on the attractiveness of tourist destination? , Is there any effect of Integrated Marketing Communication (IMC) on the attractiveness of tourist destination?, Is there any effect of marketing public relations (MPR) on the attractiveness of tourist destination?, Is there any effect of Integrated Marketing Communication (IMC) on destination marketing management?, Is there any effect of tourism infrastructure on the attractiveness of tourist destination?, Is there any effect of supporting tourism industry on the attractiveness of tourist destination?, Is there any effect of the attractiveness of tourist destination on customer satisfaction?, and Is there any effect of customer satisfaction on behavior intention?. Keywords : imc. Mpr, tourism destination - three colorsof LakeKelimutu ABSTRAK Industri pariwisata juga mempengaruhi negara tujuan turis dalam hal pemahaman antar budaya. Untuk mendukung aktivitas pariwisata sebagai bagian dari tujuan pariwisata, diperlukan sebuah strategi pemasaran tujuan kepariwisataan. Pemasaran tujuan wisata merupakan proses komunikasi dengan pengunjung potensial yang mempengaruhi tujuan-tujuan wisata mereka. Pemasaran tujuan wisata mempunyai peran penting dalam proses implementasi. Dengan melakukan hal demikian, pemerintah juga berusaha mengkomunikasikan nilai, visi dan misi dan juga dengan mempromosikan tujuan wisata. Industri pariwisata postensial di Indonesia akan terus menderita jika imej Indonesia sebagai negara yang aman dan nyaman tidak tersampaikan Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

62


dengan baik dengan sebuah strategi yang jitu. Inilah waktunya untuk pemerintah untuk mengembangkan, mengkomunikasikan, dan mempromosikan tujuan pariwisata di seluruh wilayah Indonesia khususnya Indonesia bagian timur, seperti Danau Tiga Warna Kalimutu, Perumahan Trandisional Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pertanyaanya peneltian ini adalah, adakah usaha dari komunikasi mulut ke mulut dalam menarik ketertarikan terhadap tujuan wisata tersebut? Apakah terdapat dampak manajemen pemasaran tujuan wisata dalam meningkatkan kemenarikan tujuan wisata? Adakah dampak dari pemasaran hubungan masyarakat dalam meningkatkan kemenarikan tujuan wisata? Adakah dampak dari komunikasi pemasaran terpadu pada pengelolaan pemasaran tujuan wisata? Apakah terdapat dampak dari infrastruktur pariwisata dalam meningkatkan kemenarikan tujuan wisata? Adakah dampak industri penyokong pariwisata dalam meningkatkan kemenarikan tujuan wisata? Apakah terdapat dampak kemenarikan tujuan pariwisata terhadap kepuasan konsumen? Dan apakah terdapat dampak kepuasan konsumen terhadap kecenderungan perilaku? Kata kunci : Imc. Mpr, tujuan wisata, danau tiga warna Kelimutu INTRODUCTION On the basis of human life, holiday is a basic needs of a human being in which all people are bound to, especially with current globalization in this modern world, work in tight schedule. In fact, the european economic system has implemented the Vacation Tax for their taxpaying citizens in effort to fully utilize the right to vacation. The tourism industry, as one of the sector in the economic community development, has to be perceived as an industry that influences other sectors, such as , transportation (land, air, and sea), travel services (airplane, local bus, hotel, etc), home industries (souvenirs product in tourist destination). The tourism industry also affects a tourist-destination country in term of cross-culturalunderstanding. To support the tourism activity in a tourist destination, it is necessary to have a good destination marketing strategy. Destination Marketing is a communication process with potential visitor to influence their tour destination. The aim is to tailor their specific interest to certain destinations and products in a country or city of tourism destination. Destination Marketing possessed major role in the process of implementation. It does so, by its effort to communication the value, vision and mission and it competes to promote tourism destination.

Donn Tilson and Don W. Stacks (2002) said that, “A comprehensive communication strategy integrating public relations, advertising and marketing on equal terms in a dynamic mix that alternately relied on one particular component or a combination of three disciplines can effectively use the strengths of each of the three disciplines�. With that statement we can summarizethat the success of marketing destination depends on three strong pillars, those are: public relations, advertising and marketing. The potential Indonesian tourism industry will continue to suffer if the image of Indonesia, as a safe and comfortable country, is not correctly conveyed with the right strategy. It is not enough for Indonesia to rely solely on Bali alone as tourist destination because other areas in Indonesia also potentially possess great tourist destinations through their unique cultures and spots. Itis time for the government to develop, communicate and promote tourism destination in other parts of Indonesia, especially in eastern parts of Indonesia. The research questions of this case study of integrated marketing communications from the perspective of public relations regarding potential tourist destination in one of eastern parts of Indonesia: Lake Tiga Warna Kelimutu, the

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

63


Residence of Ende, the Province of Nusa Tenggara Timurare: 1. Is there any effect of word of mouth communication onthe attractiveness of tourist destination? 2. Is there any effect of marketing public relation onthe attractiveness of tourist destination? 3. Is there any effect of destination marketing management on the attractiveness of tourist destination? 4. Is there any effect of Integrated Marketing Communication (IMC)on the attractiveness of tourist destination? 5. Is there any effect of marketing public relations (MPR)on the attractiveness of tourist destination? 6. Is there any effect of Integrated Marketing Communication (IMC)on destination marketing management? 7. Is there any effect of tourism infrastructureon the attractiveness of tourist destination? 8. Is there any effect of supporting tourism industryon the attractiveness of tourist destination? 9. Is there any effect ofthe attractiveness of tourist destination on customer satisfaction? 10. Is there any effect of customer satisfaction on behavior intention? THEORETICAL DESCRIPTION AND HYPOTHESES Theory and concept used in the study are integrated marketing communication. According to Smith it is processes that have crossed functions in creating and maintaining profitable relations with customers and other stakeholders by strategically controlling and influencing sent messages to the groups as well as triggering dialogues for particular intensions. 1 Schultz, 1

Smith, Paul, Chriss Berry, Alan Pulford. 1999, Strategic MarketingCommunication (New Ways Build and Integrate Communications). Great Britanian: British Library Cataloguing.

Shimp, dan Belch separately suggest IMC as a concept of planned and integrated communication applied in various types of marketing communication in order to maximally provide understandings and impacts trough consistent messages sent to the customers and other clients relevant to goods and services being communicated.2 Level of interest of tourism destination is determined by six dimensions; 1) Word-of-mouth communication 2) customers perception towards tourism destination as outcome of marketing public relation activity 3. Mix Marketing management conducted by local administrator of the tourism destination 4) other integrated marketing activities undertaken by local administrator of the tourism destination 5) infrastructure as facility for developing tourism, and 6) industrial sector to support tourism activities The first concept is about marketing communication which is a challenging scope from internal information of the company up to customer decision making system. Image and message of the product are included in that presented by the company to both the potential customers and other stakeholders. 3 In addition, according to American Advertisement Association, marketing communication is a concept about planning marketing communication generating extra values of comprehensive plan to evaluate strategic roles of various disciplines in communication – for instance, common advertisement, direct response, selling promotion, and public relation – and to integrate those disciplines in order to carry out clarity, consistency and maximum

2

Schultz, D. P., & Schultz, S. E. (2004). A history of modern psychology (8th ed.).Belmont, CA: Wadsworth/Thomson Learning ; A Terrence, Shimp, 2003, Periklanan Promosi Pemasaran Terpadu, Jakarta: Penerbit Erlangga ; GE Belch, & Belch, 2007. Advertising and Promotion. New York: McGraw-Hill, Inc. p. 11. 3 Philip Kotler, 2004, Marketing Management, Jakarta: Penerbit Erlangga

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

64


communication impacts as quoted by Morissan. 4. Marketing communication as indicated by Lwin and Aitchison is a term depicting organization, company, or government that communicates messages to public as their target. The public in the perspective of marketing communication is a group of potential customers who receive their marketing messages, while Tom Duncan defines Marketing communication as follows Marketing Communication is a collective term for all the various types of planned messages used to build a brand -advertising, public relations, sales promotion, direct marketing, personal selling, packaging, events and sponsorships, and customer service. 5 Marketing communication definition above is a process of continuous dialogue between sellers and purchasers in particular market places. It has no difference with the communication utilized by sellers and purchasers and it is also considered as activities that assist in decision making in marketing field as well as direct exchanges to be more satisfied by taking all parties into realization of performing better in that each of them can make profit. The marketer party earns financial profit and product position as well as service and image. More importantly, customers can get satisfaction from products and services provided by the marketer. In oder to achieve communication, company is able to use instrument called promotion mix. 6 In the instrument which is mix marketing communication are elements

4

Morissan, 2007, Periklanan Komunikasi Pemasaran Terpadu, Jakarta: Ramdina Prakarsa h. 7. 5 Tom Duncan, 2002.Using Advertising and Promotion to Build Brands, New York: Mc-Graw Hill h. 7,17,21. 6 G.E Belch, &M.A, Belch, 2007. Advertising and Promotion. New York: McGraw-Hill, Inc.

as suggested by Kotler 7 as a combination of five models of communication in marketing as follows: Advertisement is every presentation which is not delivered by human and ideas, goods and services, that are promoted by certain sponsors Selling promotion covers any short term incentive to encourage people to give a try or to buy goods and services Public relation and press include any program arranged to promote and protect company image and each product Personal sell is a face-to-face interaction with one or several prospectus purchasers by means to do presentation, to answer question and to get order. Direct and interactive marketing is the utilization of letters, telephone, faximili, email or internet to directly communicate, to ask responses or to carry out dialogue with particular customers and procpestus customers. Another concept in Integrated Marketing Communication is one of marketing communication plans to introduce extra values of a comprehensive planning which is to evaluate strategic roles of various disciplines of communication – for instance, common advertisement, direct response, selling promotion, and public relation – and to combine the disciplines so that they provides clarity, consistency and extends maximum impact of communication. In other words, IMC is “a process of customer relationships management actuating brand value” so, Integrated Marketing Communication (IMC) is one out of so many available processes to cultivate relationship with customers. As previously elaborated, it is highlighted that the basic concept of IMC is communication. IMC, through communication, tries to maximize positive messages and to minimize negatives ones of 7

Philip, Kotler, 2005, Marketing Management, Jakarta: Prentice Hall. p. 249.

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

65


a particular brand whose objective is to generate and support brand relationship that is to positively make profit and to improve values of shareholders of the company. Within IMC are integration of marketing functions such as advertising, personal selling, sales promotion, and Public Relations to generate and maintain brand relationships. Establishment of a good brand relationship requires good brand message making. Furthermore, to a good brand message, marketing functions must deliver integration and have no contradiction. The elaboration about components and elements of IMC as follows 1) Direct Marketing, 2) Sales Promotion, 3) Public Relations / Marketing Public Relations, 4) Personal Selling, 5) Advertising, 7) Publicity, 8) Events atau Sponsorship, 9) Interactive Marketing and 10) Customer Satisfaction. The next concept is tourism. Tourism in Bahasa is parawisata which was officially used in August 17 1961 by President Soekarno.Pariwisata in Bahasa is derived from archaic Javanese language (Kawi) or Sanskrit. In Bahasa Indonesia Dictionary, wisata is defined as having a trip collectively to extend knowledge, to have pleasure or recreation, while the traveler is so-called as wisatawan. Happy Marpaung indicates in his book Pengantar Pariwisata that if a person stays less than 24 hours, s/he is known as a tourist while if s/he stays more, s/he is called as a traveler. 8 Along the development, tourism is to provide significance for both tourists and the natives. It can confer a standard life for local people through economic advantages obtained from tourism destination. Tourism, therefore, requires marketing to make profit. Marketing tourism is quite complicated in that industrial tourism products have distinctive characteristics compared to those in general markets as the products are connected to particular companies and institutions within society. In one hand, the can have 8

Ibid. p. 15

cooperation, on the other hand they have an opposite relationship that they act as competitors instead of partners. Wahab views, as quoted by A. Yoety, marketing in tourism is as follows: “a process of management under the name of the national tourism organization or the companies of tourism industry to determine actual and potential tourism, to bring about communication among them, to influence interest, need, motivation, like and dislike towards regional, national and international and in turn to achieve optimal satisfaction of the tourists, hereby the objective is attained. They also formulate and arrange tourism destinations by which all objectives can be achieved�.9 Marketing is equipped by several elements that will guide managers of the national tourism organization or the companies of tourism industry to attain the objective which is to attract more tourists to come, to make them stay longer, and to encourage them to spend more money in the tourism locations. The tourism industry, according to Yoeti, is a group of various types of company that collectively produce goods and services demanded by the tourists especially and the travelers generally during their trips. Each tourism destination is distinctive not only in terms of providing natural beauty, cultural product, and cultural performance but also in terms of giving service. Tourism marketing is no other than the arts and managerial activities. It is clearly seen as argued by Yoeti 10 that tourism marketing is a process of management utilized by the national tourism organization or the companies of tourism

9

Yoeti, 2005, http://repository.upi.edu/operator/upload/s_mpp_054 295_chapter2.pdf. p.1. 10 Oka A Yoeti, Yoeti. 2003. Tours and Travel Marketing. PT Pradnya Paramitha. Jakarta

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

66


industry to identify tourists who have desire to have a trip and those who have potency to have a trip. Horner dan Swarbrooke 11 suggest that destination marketing involves tourism as a tool not as an objective including to improve image of certain regions, to develop facility available to local community, to enforce local society to have a pride for their region, to intensify quality of environment and to try to improve popularity of particular tourism destination. Morgan 12 argues that branding destination to strengthen each type of destination; national, provincial, municipal tourism destinations and investment course, so that they can make strong impression in target market mind and attract them either to visit and to invest. Moreover, destination marketing is able to guarantee satisfaction for all stakeholders including segmented targets. Prideaux and Cooper13, therefore point out that destination marketing is not only focused on demand, the increasing number of tourists but also on supply such as the raising trend of investment in accommodation, entertainment, infrastructure and so on. 14 Swarbrooke and Horner 15 state that there are eight elements that are likely to improve the success of destination products as follows:

11

John Swarbrooke & Susan Horner, 2001. Business Travel and Tourism, ButterworthHeinemann,Oxford,United Kingdom. 12 Morgan, N., Pritchard, S., & Pride, R. (Eds), 2004. Destination branding: Creating the unique destination proposition (2nd ed). Pp 59 – Oxford: Butterworth-Heinemann. P. 40. 13 B Prideaux and MCooper, 2002. Ecotourism in Indonesia : A strategy for regional TourismDevelopanment? Asean Journal on Hospitality and Tourism, 1(2). p. 95-106. 14 B Prideaux and MCooper, 2002. Ecotourism in Indonesia : A strategy for regional TourismDevelopanment? Asean Journal on Hospitality and Tourism, 1(2). p. 95-106. 15 John Swarbrooke & Susan Horner, 2001. Business Travel and Tourism, ButterworthHeinemann, Oxford,United Kingdom.

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Destination marketing agencies which provide information for potential visitors Geographical features including climate, topography, and landscapes Transport networks including airports, seaports roads, and railways within the destination, and links with the outside world Accommodation establishments including hotels and universityhalls of residence Human-made attractions such as historic buildings, theme parks, restaurants, bars, museums, theatres Venues such as convention and exhibition centres, hotel meeting rooms Ancillary services such as florists, audiovisual specialists, sign-makers, etc. Specialist destination management companies providing organization services for conferences, trade fairs and incentive travel

From those eight elements, the researcher identifies that the success of destination products is in accordance to five following factors: Marketing destination, within which are included public relations, advertising and other integrated marketing communication Geographical condition, including climate and natural beauty. Adequate Infrastructure availability, covering infrastructure connectivity (both external access from outside the area and within the area) and supporting infrastructure such as communication facility and electricity. Supporting tourism industry such as the availability of hotel, restaurant, hospital and any types of facility related to convenience to stay in areas of tourism destination

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

67


Creativity of human resources in the tourism location like cultural and arts performances, ability to conduct MICE events; meeting, incentive, convention and exhibition and in producing unique souvenirs and alike. 1)

Research Hypothesis The research hypothesis proposed in this study are as follows: 1. Word of Mouth Communication has a significant effect on the tourist attractiveness of Destination 2. Marketing Public Relations has a significant effect on the attractiveness of tourist Destination 3. Destination Marketing Management has a significant effect on the attractiveness of Tourist Destination 4. Integrated Marketing Communication has a significant effect on the attractiveness of Tourist Destination 5. Marketing Public Relations has a significant effect on Destination Marketing Management 6. Integrated Marketing Communication has a significant effect on Destination Marketing Management 7. Tourism Infrastructure has a significant effect on the attractiveness of Tourist Destination 8. Supporting Tourism Industry has a significant effect on the attractiveness of Tourist Destination 9. The attractiveness of Tourist Destination has a significant influence on Customer Satisfaction 10. Customer Satisfaction has a significant influence on Behavior Intention

tourists who visit the Three Colors of Lake Kelimutu Flores. The population in this study were visitors who fascinated to the Lake Kelimutu Three Color NTT. Samples arethen taken using a technique Convenience sampling, which consistof 111 samples of domestic tourists and 123 samples of foreign tourists. They were interviewed on February up to March 2012. Convenience sampling method used in this research was based on prelimenaryreseacrh. Methodologically, these samples should be taken using random technique. However, due to the unavailability of finite population (both local and domestic tourists), the samples were taken by using inconvenient sampling technique.Nevertheless, social science research using SEMoften uses nonprobability sampling (convenience/incidental sampling) to overcome the problem of unavailable listed population. RESULTS AND DISCUSSION A. Specific data In Figure 6, there are specific data of respondents related to Gender, Education, Age, visiting frequency, and Nationality.

RESEARCH METHODOLOGY Research method used in this study is a quantitative method using Structural Equation Modelling (SEM). Respondents of this research are both local and foreign Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

Gender women 40.6%

S2 9.4%

men 59.4%

Education S3 3.4%

Middle school 3.4%

High school 28.2% S1 55.6%

68


Nationality Indonesian

European 43.6%

USA 3.0%

Australian 4.7%

> 55 th 12.4%

36 - 55 th 35.5%

47.4%

ASEAN 1.3%

17 th Age <1.7%

18 - 35 th 50.4%

visiting frequency

more than 5 times 5.6%

2 - 5 times 30.3% 1 time 64.1%

Figure6. The Specific Data of Respondents (Gender, Education, Age, Visiting Frequency, and Nationality Source: Research Results, 2012, designed using LISREL Version 8.51 From the perspective of gender in Figure 6, it is indicated that 59% of respondents are men, while the rest (41%) are women. With regards to respondent’s formal education background, 3.4% are middle schools, 28.2% are high schools, 55.6% are undergraduates, 12.8% are graduates (9.4% are masters and 3.4% are doctoral degrees). From the perspective of nationality, 52.8% are foreign tourists (come from some parts of the world: 43.6% are European, 4.7% are Australian, 3% of USA, and 1.3% are ASEAN), while the rest (47.8%) are Indonesian (domestic tourists). Based on visiting frequency, it shown in Figure 7 that 64.1% of respondents has visited to Lake Tiga Warna Kelimutu, the Residence of

Ende, and the Province of Nusa Tenggara Timur for the first time, while the rest (35.9%) has visited it for more than one time (30.3% are more than 2-5 times and 5.6% are more than 5 times). The distribution frequency of the respondents according to age drawn in Figure 7 shows that 50.4 % of respondents in the 18-35 age group, 35.5% are aged 3655, 12.4% are aged more than 55, and 1.7% are aged less than 17. B. Research Findings 1) Test Validity and Reliability Based on this research, Reliability test results of six main dimensions used are shown in Table 1. Table 1. Reliability Statistical Test for Both Models of Domestic and Foreign Tourists Cronbach's Alpha Domes Foreig No Dimensi tic n Respo Respo ndents ndents Marketing Public 1 0.936 0.911 Relations Integrated 2 Marketing 0.852 0.852 Communication Supporting Tourism 3 0.827 0.692 Industry Tourims 4 0.787 0.609 Infrastructure Destination 5 Marketing 0.821 0.889 Management 6 Behavior Intention 0.726 0.827 Model 0.951 0.924 Source: Test Results using LISREL Version 8.51 From Table 1, it is known that the values of Cronbach Alpha of most dimensions are greater than 0.70. Only one dimension of the

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

69


Cronbach's Alpha value is less than 0.70, thatis Tourims Infrastructure. 2) Compatibility Test Model Furthermore, result tests of the compatibility models of both foreign and domestic tourists using several Goodness of Fit Index can be seen in Table 2. Values of Goodness of Fit drawn in Table 2 show that both models of local and foreign tourists are in a good match. The pvalue of 0.4328 (model of foreign tourist) and the p value of 0.34861 (model of local tourist) are greater than the alpha error (Îą = 0.05). While both models RMSEA (0.019 for foreign tourist) and 0.024 (for local tourist) are less than 0.08. Table 2. Compatibility Test Model on Several Goodness of Fit Index Goodnes s of Fit

Require ments Fit

Research finding Model Model Wisman Wisnus

Free degrees Positif 436 344 (DF) p-value 0,43284 0,34861 ≼ 0,05 GFI > 0,90 0,976 0,935 RMSEA < 0,08 0,019 0,024 Source: Test Results using LISREL Version 8.51 a. Individual Line Testing The test results on the model foreign tourist (see Figure 7) as individual pathways, suggests that all indicators used in the study affect directly the seven latent variables. While on the model of domestic tourist (Figure 8), there is none affected directly the power indicator (X24), while other indicators directly influence.

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

70


Figure 7. Output SEM of Foreign Tourist Model Source: Research Results, 2012, designed using LISREL Version 8.51 If seen from the SEM output mentioned above, it shows that most of the lines showed no significant, there are two paths significantly from the MPR to DESTMM and from IMC to DESTMM.

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

71


Figure 8. Output SEM of Domestic Tourist Model Source: Research Results, 2012, designed using LISREL Version 8.51

When viewed from the output of the Model SEM of domestic tourist mentioned above (Figure 7 and Figure 8), it is seen that all the lines show a significant effect. This means the model of domestic tourist results is consistent with theories used in the study

(Swarbrooke and Horner, 2001; Page & Connell, 2006; Kotler & Keller, 2009; de Matos & Rossi, 2008; Tasci & Gartner, 2007; Yoon & Uysal , 2005, and Shiffman & Kanuk, 2000). Technical implications of the results of path analysis above show that the activities of marketing public relations (MPR) and integrated marketing communication (IMC) will be more efficient if it is managed by the institutions that are competent in their field, in this case, consists of all stakeholders of tourism in Indonesia. Therefore, the government (cq. ministry of tourism and creative industries) as a team leader in the marketing of tourism in Indonesia must have a strong visionary leadership, have an organizational culture oriented brand (a brand oriented organizational culture), and must be capable of coordinating both department and aligned (departmental co-ordination and process alignment), as well as must have a consistent communication range of stakeholders (consistent communication across a wide range of stakeholders) and a capability of fostering a strong cooperation compatibility with various stakeholders (compatible strong partnership). Based on the results of data processing by using LISREL on the model used in this research, there are some important things to answer the research questions of this study and the purpose of this study: 1. In the model of foreign tourist, there is no influence of word of mouth communication (WOM) on the attractiveness of tourist destination. Instead, in the model of domestic, it is significant 2. In the model of foreign tourists, there is no a significant effect of Marketing Public Relations (MP) on the attractiveness of tourist destination. Rather, in the model of domestic, it is significant 3. In the model of foreign tourists, there is no effect of destination marketing

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

72


management on the attractiveness of tourist destination, while in the model of domestic, it is significant 4. In the model of foreign tourists there is no effect of integrated marketing communication (IMC) on the attractiveness of tourist destination, while in the model of domestic, it is significant 5. In both models of foreign and domestic tourists, there are a significant influence of marketing public relations (MPR) on destination marketing management. 6. In both models of foreign and domestic tourists, there are a significant effect of integrated marketing communication (IMC) on destination marketing management. 7. In the model of foreign tourists there isno significant effect of the attractiveness of tourism infrastructure on tourist destination, while in the model of domestic, it is significant 8. In this model of foreign tourists supporting Tourism Industry on the attractiveness tourist destination, while in the model of domestic it is significant 9. In both modelsof foreignand domestic tourists, there are a significant influence on the attractiveness of tourist destination 10. In both models of foreign and domestic tourists, there are a significant influence of customer satisfaction on behavior intention.

model of foreign touristsupport the theory used in this study. In more specific, the results of both H5 and H6 apparently supportthe hypothesis conducted by Pike (2004), while the results of testing H9 and H10, support research conducted by Yooshik Yoon & Muzaffer Uysal (2005). While in the model of domestic tourist, all the tests of hypotheses result inall significant conclusions, so that these resultssupport all theories used in the study. The results of testing hypotheses H1, H2, H3, H4, H5, H6, H7 and H8, support advanced study conducted by Swarbrooke John and Susan Horner (2001), while the H9 and H10 support advanced research conducted by Muzaffer Uysal Yooshik Yoon (2005). Table 2. Testing Hypotheses of H1 to H10 In the Model of Foreign and Domestic Tourists

Hhypotheses

H1

H2 3) Testing Hipothese Model of Foreign And Domestic Tourists The Test result on H1 to H10 on the model of foreign tourist can also be seen in detail in Table 3. Basically, all figures covered in Table 3 summarize results presented in Figure 7 and Figure 8 in a more simple way. Based on Table 3 we may discuss further the theoretical implication of the results. The results of testing hypothesis (including H5, H6, H9 and H10) on the

H3

H4

Effect of Word of Mouth Communication on the attractiveness of tourist Destination Influence between Marketing Public Relations on the attractiveness of tourist Destination Effect of the Destination Marketing Management on the attractiveness of tourist Destination Effect of Integrated Marketing Communication on the attractiveness of tourist Destination

Influence of the Destination H5 Marketing Public Relations on Marketing Management

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

T Test Results Do Fore me ign stic non Sig signi nifi fican can t t non Sig signi nifi fican can t t non Sig signi nifi fican can t t non Sig signi nifi fican can t t Sig Sign nifi ifica can nt t 73


T Test Results Hhypotheses Do Fore me ign stic Effect of the Integrated Sig Sign Marketing Communication on nifi ifica H6 Destination Marketing can nt Management t non Sig influence of the attractiveness signi nifi H7 of Tourism Infrastructure on fican can Tourist Destination t t Effect of the Supporting non Sig Tourism Industry on the signi nifi H8 attractiveness of Tourist fican can Destination t t Sig Effect of the attractiveness of Sign nifi H9 Tourist Destination on ifica can Customer Satisfaction nt t Sig Influence between Customer Sign H1 nifi Satisfaction on Behavior ifica can 0 Intention nt t Sources: Research Result using LISREL 8.51 The results of path analysis in both foreign tourists and domestic models (shown in Table 3) indicate that the variable marketing public relations and integrated marketing communication variables are not directly related to the attractiveness of tourist destination. Both variable marketing public relations and integrated marketing communication have greater influences on the attractiveness of the destination variable since destination marketing management used as an intermediate variable (mediating variable). These results are very useful for researchers and readers because prior to this research, many researchers have a strong suspicion of the direct impact of IMC and MPR on the local attractiveness of tourist destination. Eventually, by this research result these allegations are not apparently proven. For cases related to developing tourist destination that has not been popular

(a sleeping destination) likes Three Colors of Lake Kelimutu, the results of this study are expected to be a very good empirical inputs for further developingtourist destination, including other tourist destinations in Indonesia that has also notyet been popular. However, the activities of marketing public relations and integrated marketing communication will be more efficient (powerful) if managed by competent institutions in the field of tourism. The result of testing hypothesis (H7) in the model of domestic tourist indicates that the effect of infrastructure onthe attractiveness of tourist destination proves significant. The important of domestic tourist infrastructure may also attract the tourist visit Kelimutu Three Color Lakes. Accordingly, the results of in-depth interviews researcher with the Ministry of Tourism & Creative Economy (Marie Pangestu) support this conclusion, that is the infrastructure facilities in Lake Three Colors of Kalimutu,according to her, need to be improved, particularly with regard to international and local transportation. Furthermore, the results of testing hypotheses H8 in the model of domestic tourist indicates that effect of supporting tourism industry on the attractiveness of tourist destination does also provesignificant. This shows the role of supporting tourism industry, such as hotels and restaurants, has an important contribution in the effort to increase the interest of tourists to visit Lake Three Colors of Kalimutu. The results of an indepth interview with the Minister of Tourism & researchers Creative Economy (Marie Pangestu) also reinforces this conclusion. Test result of H9 as already mentioned before shows thatthe attractiveness of tourist destination affects significantly upon customer satisfaction for both foreign and domestic tourists. This suggests that the interest of visitors in Lake Three Colors of Kalimutu are supported by their satisfaction. Based on interviews with

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

74


tourists, most of them express satisfaction over his visit to Lake Three Colors of Kalimutu for its natural beauty and authenticity which are perceived as still "original". Although Lake Kelimutu Three Color has been visited over the last decades, but it’s natural beauty is not widely known, both in the domestic and international tourists. This concludes that the roles of public relations played by both central and local governments have not yet been optimal. While the test results of H10 with regard to both models of foreign and domestic tourists, as also already mentioned before, suggests that customer satisfaction significantly affect upon behavior intention. This means that customer satisfaction is very powerful influence on behavior intention. Therefore, to improve the behavior intention, where behavioral intention in this study is constructed of two indicators, namely the recommendation and re-visit, the manager of Lake Kelimutu Three Color should make every effort to satisfy the visitors who come to Lake Three Colors Kelimutu. In the model of foreign tourists, of the six exogenous variables that build the attractiveness of tourist destination path none proves significant. The path variables proves significant only in marketing public relations and integrated marketing communication since both variables are moderated by destination marketing management, by assuming that there is a significant influence of destination marketing management on the attractiveness of tourist destination. While in the model of domestic tourist, all paths in the model indicate significant assay results. This means that in the model of domestic tourist, theories that support the formation of this model convincingly proves that the proposed model could explain the phenomenon of the variables that influence the attractiveness of destination tourism.

In the model of foreign tourists, the value of the variable load factor of tourism infrasructure that built on structural model of attractiveness of tourist destination has the highest value (of 0.83), but the results showsthat none significant results of hypothesis tests. It is thus incompatible with the theory developed by Pike (2004) stating that tourism infrastrcuture have a significant influence on the development of attractiveness of tourist destination. While in the model of domestic tourist, there are two grades of high load factor, those are marketing public relations and integrated marketing communications, where both variables affect the attractiveness of tourist destination through moderating variables, i.e. destination management maketing.When compared to the line without going through moderator variables, then theoretically it can be concluded that in order to develop a tourist destination that already exists but have not yet been popular (a sleeping destination), likesLake Three Colors of Kelimutu, it suggests that the participation of government (both central and local) and the public (including the role of private ) need to be fully involved in the context of increasing attractiveness of tourist destination. Further that the role of central and local government in the form of the commitment of all officers in developing a tourist destination should be combined with IMC strategy and the right to the appointment MPR advertising agency that has a high competence. That is expected to provide a significant impact to the development of a tourist destination as a whole. In the model of domestic model, the tests of hypothesis about effect of word of mouth on the attractiveness of tourist show significant result. This variable becomes a second priority - after the Assembly and IMC - needs to be done in developing a tourist destination that has not been popular (a sleeping destination). The communication strategy through word of mouth should be a supporting element for the development of

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

75


tourism destination in Indonesia. Therefore an update information about tourists who have visited a sort of sleeping tourist destination should be done systematically through the development of customer data base. The third priority is a need to develop tourism infrastructure, where the model is proved to be a significant in the model of domestic tourist and gives a high load factor. From the above findings, it is suggested that infrasturcture tourism development, such as highways and transportation tool will be very crucial. Considering a sleeping tourist destinationin Indonesia, there are some destinations that are located in remote areas, such as the King of the Four in Papua and Marine Park in Southeast Sulawesi, which could become a new tourism icon of Indonesia in the future. In line with the above findings, supporting tourism industry in a model of domestic tourist apparently affects the attractiveness of tourist destinationsignificantly. From the above findings, it is also suggested that supporting the development of tourism industry, such as the procurement of hotels, restaurants, guides and other supporting facilities, will be the main drivers of the development of tourism in Indonesia. Seeing the results of research in the model of foreign tourist, where the majority of foreign tourists hypothesis test results showed no significant, further research would need to be considered to segment respondents by country of origin or by geographic area, such as tourists from Europe are separated by tourists from Asia, Australia, Middle East and so on. Sampling in this study are respondents who visiting the destination site, so that the author can not know the reasons why more domestic and foreign tourists do not visit Lake Three Color ofKelimutu. Therefore, for subsequent research should be done on extracting information to the tourists visiting the destination closes to Lake Three Color of Kelimutu (like Bali for example) but not to.

4)

Research’s Limitations Several limitations of this study are as follows: 1. The absence of grouping respondents tourists suspected to cause no good processing results on the model SEM tourists. This can be understood because of characteristics that differ between travelers coming from Europe will be different from the those who come from Asia, Australia, America and Africa. 2. Respondents were interviewed in this study were respondents who have visited Lake Three Colors of Kelimutu, so researchers can not know the reasons why tourists prefer to visit attractions near Lake Three Colors of Kalimutu, such as Bali, thanto visit Lake Three Color of Kelimutu. 3. Use of method performed by convenience sampling/ incidental sampling method (not random sampling) is forced to be done due to the unavailable list of finite population of the coming tourists (both domestikc and foreign). As a result, the every single sample taken may not have a similar chance as a precondition when using SEM.

V. Conclusion and Implication A. Conclusion There are some important conclusion resulted in this research: As a potential tourist destination, Lake Three Color of Kalimutu can be promoted or communicated in various ways. One way that can be taken according to the results of this research is through word of mouth marketing. Word of mouth marketing can be done by foreign tourists and domestic travelers who have been to Lake Three Color of Kalimutu. The local Developers of tourist destination in Lake Three Color of Kalimutu can give a satisfaction and a

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

76


pleasant impression to travelers who have been to Lake Three Color of Kalimutu, so they can plan a return visit (re-visit) and recommend to others. The decision to come back and a willingness to recommend to other potential tourists to visit is the purpose of the word of mouth marketing. For this purpose the parties involved in the management and development as well as promotion aboutLake Three Color of Kalimutu can also encourage and maximize WOM activity. Marketing public relations seen as an effort to integrate the marketing and public relations is one of the tools to assist the development of a tourist destination. Therefore, marketing public relations activities which are coveraged by the media is expected come after MPR activity. A Plenty of the media cover the ins and outs of the tourism potential of Lake Three Color of Kalimutu, in order to reach a comprehensive understanding of the increasing number of tourist visits and established a good image on Lake Three Colors of Kalimutu and all relevant tourism stakeholders. Another important factor is the destination marketing organization in which includes the development of supporting infrastructure, access to area attractions, and policies enabling to support the ease and comfort of tourists. If all these elements are formed then this infrastructures will helpestablish the attractiveness of tourist destination. At this point, it can be concluded that the attractiveness of tourist destination will be enhanced when supported by the Assembly, IMC, and WOM. Herein lies the integration of activities to develop a tourism destination. Integrated marketing communications conducted by the Regional Government of Ende - Flores is not yet maximized. Although the potential tourists of Lake Three Color of Kalimutu have a very promising opportunities for foreign exchange earnings, economic improvement

of society and the benefits for investors, the results of this study apparently concludes that tourism is still categorized as "a sleeping destination". Marketing public relations (MPR) is shown to have a role on destination marketing programs, such as management. Yet, MPR conducted in tourism, as a Sleeping Destination, will be different from other destination areas, and is already well known. Lake Three Colors of Kalimutu’simage can be deployed with better Integrated Marketing Communication (IMC). With a deep impression for both foreign tourists and tourist archipelago, IMC will make marketing to be more comprehensive and will make a more focused marketing activities. As for this, it needs a support from all stakeholders, one role of government to create an umbrella legislation that could make IMC activities go well. When research is done, there is no local regulation that supports it, so the focus of activity for the local government Ende is making local regulation in the not too long (Don Bosco Wangge, Regent Ende). In the model of domestic tourist, tourism infrastructure possess influence on the attractiveness of tourist destination. Meaningful variables for domestic tourist infrastructure is so important to note that encourage domestic tourists to visit Kelimutu Three Color Lakes. Accordingly, the results of in-depth interviews (depth interviews) with the Ministry of Tourism & Creative Economy (Marie Pangestu) support this conclusion in a way that infrastructure facilities in Lake Three Colors of Kalimutu need to be improved, particularly with regard to access to both international and local transportation.. Supporting tourism industry prove to havea role inincreasing the attractiveness of destination tourism. This shows that the role of supporting tourism industry, such as hotels and restaurants, have an important contribution in the effort to increase the

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

77


interest of tourists in visiting the Lake Three Colors of Kalimutu. The results of an indepth interview with the Minister of Tourism & researchers Creative Economy (Marie Pangestu) reinforces the importance of these variables. Furthermore, the attractiveness of the tourist destination proves significantly affect upon customer satisfaction. This suggests that the interest of visitors in Lake Three Colors of Kalimutuaffects satisfaction, with a positive relationship. Based on interviews with tourists, most of them express satisfaction over their visit to Lake Three Colors of Kalimutu for its natural beauty and authenticity.. From the results of the study also concluded that the customer satisfaction hasa significant influence on behavior intention. Therefore, to improve the behavior intention, where behavioral intention in this study is constructed by two indicators, namely the recommendation and re-visit, the manager of Lake Three Colors of Kalimutu should make every effort to satisfy the visitors who come back to revisitLake Three Colors of Kalimutu. B. Implication Referring to the overall results of this study, the authors reiterate that the potential of tourism in Indonesia generally and in NTT East in particular need a real action, immediate and integrated. The real meaning is not limited to the discourse and politics separated from the interests of the local government. Attention and integrated management of the area of potential tourist destination of Lake Three Colors of Kalimutu’sinfrastructures is aimed at providing an alternative to the new tourist area after Bali. Now is the time for "sleeping destination on the eastern side of Indonesia awakened. The hope is that when talking about the tourism people's minds will open to new alternative tourist area. When the natural richness in the form of oil and gas and other non-renewable resources is reduced, the Government of Indonesia through tourism stakeholders need

to set up an integrated tourism in Indonesia by arranging the foreign tourism for economic survival to the awake state. Now it is in a position where tourism becomes a contributor to the fifth division of the country after oil, palm oil, coal and rubber processing. This position can be improved if the tourism’s performance can be improved, reproduced and given more attention from all stakeholders. Tourism has been a significant potential to become a promising industry for the betterment of society in terms of economic, civilization and culture. In and through the tourism industry there will be a cultural exchange, economic exchange and the exchange of knowledge and mindset of the people in the tourist destination. However, the exchange is not expected to make the public forget the distinctiveness or uniqueness of culture and behavior based on religious values, morals and genuine wisdom. However the values of Pancasila is the identity of the Indonesian people must remain the main grip. From the perspective of communication, it is once again to be underlined that tourism is a message worth telling to the world, the message content is a popular tourist destination and its associated elements, the medium chosen according to the demands of the situation and condition, while the goal is understanding occurs. Understanding the tourism industry is very important for managers,together with travelers in generating repeated visits decisions. The implications of this study can be confirmed that the Lake Three Colors of Kalimutu is a destination point that can attract and encourage tourists to re-visi. This would be expected if it is not supported by the goodwill and commitment of the government and interested parties to encourage the Lake Three Colors of Kalimutu as a favorite choice after Bali, Lombok and Komodo. The academic implications of the research is that based on the model that

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

78


isbuilt for use as basis in the integrated development and promotion of Lake Three Colors of Kalimutu. The model discussed in this study includes a comprehensive component and priority measures to be applied in marketing communications activities in tourist destination. REFERENCE Belch, G.E & M.A, Belch, Advertising and Promotion. New York: McGraw-Hill, Inc, 2007 Kotler, Philip, Marketing Management, Jakarta: Prentice Hall, 2005 Kotler, Philip, Marketing Management, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004 John Swarbrooke & Susan Horner, 2001. Business Travel and Tourism, ButterworthHeinemann,Oxford,United Kingdom. Morgan, N., Pritchard, S., & Pride, R. (Eds), Destination branding: Creating the unique destination proposition (2nd ed). Pp 59 – Oxford: ButterworthHeinemann, 2004. Morissan, Periklanan Komunikasi Pemasaran Terpadu, Jakarta: Ramdina Prakarsa, 2007. Prideaux , B and MCooper, Ecotourism in Indonesia : A strategy for regional TourismDevelopanment? Asean Journal on Hospitality and Tourism, 1(2), 2002. Schultz, D. P., & Schultz, S. E. A history of modern psychology (8th ed.).Belmont, CA: Wadsworth/Thomson Learning ; A Terrence, Shimp, 2003, Periklanan Promosi Pemasaran Terpadu, Jakarta: Penerbit Erlangga ; GE Belch, & Belch, 2007. Advertising and Promotion. New York: McGraw-Hill, Inc, 2004. Smith, Paul, Chriss Berry, Alan Pulford. 1999, Strategic MarketingCommunication (New Ways Build and Integrate Communications). Great Britanian: British Library Cataloguing, 1999

Swarbrooke, John & Susan Horner, Business Travel and Tourism, ButterworthHeinemann, Oxford,United Kingdom, 2001 Tom Duncan, Using Advertising and Promotion to Build Brands, New York: Mc-Graw Hill, 2002. Yoeti, 2005, http://repository.upi.edu/operator/uplo ad/s_mpp_054295_chapter2.pdf. p.1. Yoeti, Oka A, 2003. Tours and Travel Marketing. PT Pradnya Paramitha. Jakarta

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

79


BUSHIDO PADA PEREMPUAN JEPANG: MEMAKNAI NILAI-NILAI BUSHIDO PADA PEREMPUAN JEPANG DALAM FILM RUROUNI KENSHIN (2012) DAN MYU NO ANYO PAPA NI AGERU (2008) RENATA PERTIWI ISADI dan SUMEKAR TANJUNG herojaejoongrenata@gmail.com, sumekar.tanjung@yahoo.com Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Indonesia

ABSTRACT This study is focused on Japanese women Bushido principle interpretations on Rurouni Kenshin (2012) and Myu no Anyo Papa ni Ageru (2008). Both cinemas popularly represent Bushido values of Japanese woman’s lives. Therefore, the question proposed in this study is what are the signifying practices considered as the representation of Bushido values in both cinemas? Barthes’ semiotics is applied to answer this question. The findings resulted are integrity (Gi), compassion (Jin), bravery (Yu), honor (Rei), honesty (Makoto), dignity (Meiyo) and loyalty (Chungi). Keywords: bushido principles, samurai, Japanese cinemas, woman. ABSTRAK Fokus penelitian ini untuk mengkaji pemaknaan nilai-nilai Bushido pada perempuan Jepang dalam Rurouni Kenshin (2012) dan Myu no Anyo Papa ni Ageru (2008). Kedua film merepresentasikan nilai-nilai Bushido dan kehidupan perempuan Jepang. Maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana representasi praktik signifikasi nilai-nilai Bushido pada perempuan Jepang dalam kedua film tersebut? Peneliti menggunakan semiotika Barthes untuk menjawab pertanyaan tersebut. Terdapat tujuh temuan yang dihasilkan, yakni integritas (Gi), pengasih (Jin), keberanian (Yu), penghormatan (Rei), kejujuran (Makoto), martabat (Meiyo) dan kesetiaan (Chungi). Kata kunci : Prinsip Bushido, samurai, sinema Jepang, wanita PENDAHULUAN Meski globalisasi kian pesat, Jepang tetap mempertahankan budaya samurai. Para Samurai dikenal sebagai orang-orang Jepang terdahulu yang berpikiran maju dan menginginkan Jepang yang modern. Munir mengungkap dalam buku “Jurus

Menang dalam Karier dan Hidup ala Samurai Sejati” bahwa kemajuan Jepang saat ini masih terkait dengan spirit Samurai yang mengalir dalam darah generasi baru masyarakat Jepang. “Spirit Samurai sudah lama dipercaya sebagai salah satu faktor yang membentuk karakter

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

80


bangsa Jepang yang menjadikannya bangsa unggul, yang mampu bangkit dari kehancuran akibat Perang Dunia Kedua menjadi negara industri yang sangat berpengaruh di dunia.� (Munir, 2009: 2) Selama ini representasi Samurai selalu dikaitkan dengan orang laki-laki yang senang bertarung, mengutamakan keberanian, rela mati demi kehormatan, dan memiliki tradisi-tradisi yang keras. Perlu diketahui bahwa di balik pemikiran-pemikiran tersebut, perempuan Jepang juga memiliki dan memegang teguh spirit Samurai. Apa yang tampak di luar, selain menonjolkan keberanian, kehormatan, dan kesetiaan. Samurai juga mengabdi, melayani, dan memiliki kepercayaan diri. Samurai perempuan umumnya mendapat pengaruh dari lingkungan sosial, yang tentunya memiliki keakraban dalam dunia pertempuran. Salah satu samurai perempuan petarung yang sangat dikenal adalah Tomoe Gozen. Pada permulaan masa feodal, tugas dan kewajiban utama para Samurai perempuan adalah mengurus rumah dan keperluan dasar rumah tangga mereka. Selama suami mereka para Samurai sedang berkelana dan menghadapi perang, tanggung jawab seorang istri (samurai perempuan) adalah mengurus segala keperluan rumah tangga, menjaga anak-anak, bahkan siap sedia secara fisik untuk mempertankan rumah mereka. Sehingga, mereka pun diberi pendidikan bela diri (menggunakan senjata yang bernama

naginata) untuk menjaga rumah tangganya (Force, 2012: 6). Mengutip dari New World Encyclopedia (dalam Force, 2012:6), terdapat nilai-nilai khusus pada karakter perempuan dalam kelas samurai. Nilainilai tersebut adalah kerendahan hati, kepatuhan, pengendalian diri, kekuatan, dan kesetiaan. Para Samurai perempuan ini sebenarnya tak ubahnya seperti istriistri pada umumnya. Mereka mengurus perabotan, mengatur keuangan, mendidik anak, dan menyayangi orang tua atau mertua yang tinggal satu atap bersama mereka. Jadi hal-hal umum dalam rumah tangga ini sebenarnya memang sudah dibawa sejak zaman dahulu. Hal tersebut membuktikan bahwa perempuan Jepang sejak dulu sudah dikenal sebagai pekerja keras, pantang menyerah, disiplin, dan bermoral. Meski fenomena ikon-ikon modern dari Barat masuk dalam kehidupan Jepang, kehidupan mereka tetap kental dengan budaya yang diajarkan para pendahulunya. Seperti tidak memanjakan anak, mengajarkannya untuk menghormati orang lain, serta selalu bersikap mandiri dan kuat. Pada konteks yang lebih luas, kebudayaan-kebudayaan tradisional Jepang hingga kini masih dilakukan oleh masyarakatnya. Karena melanggengkan budaya dan tradisi merupakan bentuk rasa penghormatan mereka terhadap para leluhurnya. Terlebih bila tradisi tersebut dapat memberikan dampak yang positif, maka mereka akan selalu menerapkan dan menjaganya. Oleh karena itu leluhur

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

81


Jepang, terutama kaum Samurai merupakan salah satu yang berjasa dan berperan penting dalam kemajuan Jepang. Spirit para Samurai terbentuk dari prinsip-prinsip yang menuntun mereka menuju keharmonisan dalam hidup. Logikanya, sisi spiritual yang baik akan membawa pada perilaku moral yang baik pula. Banyak hal positif yang dapat terbangun dari tradisi, karena itu spirit Samurai terus mengalir pada generasi muda penerusnya hingga kini. Bagi masyarakat Jepang tradisi bukanlah hambatan untuk mencapai modernisasi, justru tradisilah yang telah membawa mereka kini dipandang di mata dunia. Jepang cukup terbuka dalam menghadapi globalisasi dan segala pengaruh budaya luar, di sisi lain mereka tetap berusaha untuk mempertahankan budayanya sendiri. Salah satu bukti yang dapat dilihat dengan jelas adalah upaya bagaimana tradisi-tradisi Jepang tetap diselipkan dalam budaya modern, contohnya dalam produk-produk media seperti film.

dan Teruyuki Kagawa. Manga yang mulai diterbitkan pada tahun 1994 ini kemudian dibuat dalam bentuk animasinya oleh Studio Gallop, Studio Deen, dan SPE Visual Works pada tahun 1996 (http://www.examiner.com/article/twomore-live-action-rurouni-kenshinsequels development, akses 25 Januari 2014). Memperoleh antusiasme memuaskan dari penggemar, akhirnya cerita ini diadaptasi kembali pada 2012 dalam bentuk live action. Disutradarai Keishi Otomo Rurouni Kenshin rilis di Jepang pada tanggal 25 Agustus 2012, dan 14-16 Desember 2012 di Los Angeles, Amerika dalam Eiga Fest. Berlatar era Meiji, film ini menceritakan pengembara bernama Himura Kenshin, yang dikenal sebagai Hitokiri pembunuh bayaran, Kenshin sadar dan memutuskan mengakhirinya. Menyesali perbuatannya, ia pun mengembara ke pedalaman Jepang untuk menawarkan bantuan kepada siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Ia melakukannya untuk menebus kesalahan sebagai seorang pembunuh di masa lalu.

KERANGKA PEMIKIRAN Di sini peneliti menganalisis film Rurouni Kenshin (2012) dan Myu no Anyo Papa ni Ageru (2008) untuk memahami representasi nilai-nilai bushido pada perempuan Jepang. Rurouni Kenshin adalah salah satu film Jepang sukses yang mengadopsi serial komik (manga) populer Samurai X karangan Nobuhiro Watsuki. Ini diperankan oleh Sato Takeru, Takei Emi, Aoi Yu, Munetaka Aoki, Koji kikawa, Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

Gambar 1

82


Poster Film Rurouni Kenshin (2012) (Sumber: http://www.comicbookmovie.com/fansit es/GraphicCity/news/?a=62294)

Berbeda dengan Rurouni Kenshin yang ditayangkan di bioskop, Myu no Anyo Papa ni Ageru adalah tanpatsu atau film satu episode yang disiarkan oleh televisi untuk program amal tahunan Nippon Television yang bertema, “24 Hour Television”. Mengadopsi kisah nyata seorang ayah penderita penyakit chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP) yang langka. Hayato sempat beberapa kali kehilangan semangat hidupnya. Ia kerap kali emosi dan sensitif menghadapi lingkungan sekitarnya. Aya sebagai istri dan Myu putrinya, selalu berada di samping Hayato. Bahkan Myu putri kecilnya dengan penuh kepolosan ingin memberikan separuh kakinya demi kesembuhan sang papa. Ia ingin papanya dapat kembali berjalan lagi seperti sedia kala dan dapat bermain bersamanya. Sebagai drama keluarga, film ini disiarkan pada tanggal 30 Agustus 2008 berurutan dengan program spesial NTV “24 Hour Television” lain. Film ini diperankan oleh Matsumoto Jun, Karina, dan Rina Hatakeyama.

Gambar 2 Poster Film Myu no Anyo Papa ni Ageru (2008) (Sumber: http://s389.photobucket.com/use r/lelacmd/media/Caratulas%20de %20 Series%20Asiaticas/MyunoAnyo PapaniAgeru.jpg.html)

Kedua film yang menjadi objek penelitian ini memiliki tipe yang berbeda, yaitu film bioskop / layar lebar (Rurouni Kenshin) dan film televisi (Myu no Anyo Papa ni Ageru). Secara mendasar keduanya pun memiliki beberapa karakteristik yang berbeda pula. Dalam hal perangkat yang menjadi media pemutar, perlengkapan pada layar lebar saling terpisah dibandingkan televisi yang perlengkapan pendukungnya cenderung terangkum dalam internalnya sendiri. Aspek rasio (AR) layarnya juga berbeda, untuk film bioskop pada umumnya yang sering digunakan saat ini widescreen dengan rasio 2.35:1 / 2.39:1 / 2.40:1, sedangkan untuk standar televisi menggunakan rasio 1.78:1 atau yang dikenal juga sebagai 16:9 (http://cinephilesdiary.blogspot.com/20 12/07/faq-aspect-ratio-explained.html, akses 26 Februari 2014).

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

83


Perbedaan yang sangat jelas juga terdapat pada treatment yang digunakan pada dua tipe film yang berbeda ini. Secara sederhana treatment untuk film layar lebar cenderung lebih khas dan rumit dibandingkan dengan film televisi. Misalnya saja dalam hal treatment audio, untuk keperluan bisokop perlengkapan dan pengaturannya lebih detail dibandingkan untuk keperluan televisi broadcast (http://musicaudioproduction. com/2013/12/06/perbedaan-treatmentproduksi-audio-untuk-film-layar-lebardan-untuk-broadcast-televisi/, akses 26 Februari 2014). Pertimbangan memilih film Rurouni Kenshin dan Myu no Anyo Papa ni Ageru sebagai objek penelitian ada beberapa alasan. Pertama, kedua film ini memiliki penokohan perempuan dari kaum masyarakat Jepang yang konon katanya berpegang pada ajaran bushido warisan para Samurai. Kedua, film-film ini memiliki latar waktu cerita dan genre yang berbeda, sehingga dari tanda-tanda dan simbol-simbol yang ada dapat memberikan keragaman dalam penganalisisan. Ketiga, kedua film ini walau diproduksi di negara Jepang, tapi juga beredar dan ditonton di negara-negara lain, sehingga penontonnya semakin banyak dan tidak hanya berasal dari negara Jepang saja, dengan kata lain karya ini dapat diapresiasi masyarakat dalam jangkauan yang luas. Potret Samurai dalam Film Jepang Meski Samurai dikenal sebagai tokoh di era Jepang kuno, setidaknya sebagian besar penikmat media banyak

mengetahui tentang apa dan siapa itu Samurai. Bahkan dalam games (battle) populer komputer banyak karakter petarung yang menggunakan tokoh Samurai. Sebut saja Date Masamune, Sasaki kojiro, dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak film produksi Jepang, salah satunya adalah film Samurai. Film Samurai atau Chanbara adalah sebutan popular untuk film pertarungan pedang dari negara Jepang. Sebutan Chanbara juga biasa digunakan untuk menyebutkan genre film, drama televisi, dan teater Jepang yang adegan klimaksnya berupa pertarungan pedang. Film Samurai muncul sekitar tahun 1920-an disaat masa keemasan film bisu. Cerita dalam film Samurai pada umumnya berlatar waktu sekitar periode Heian (794-1185) dan periode Tokugawa (1603-1868). Menceritakan tentang kehidupan dan petualangan seorang Samurai yang melewati pertarungan dalam perjalanan hidupnya. Secara umum Samurai dikenal sebagai sosok petarung yang identik dengan pedang yang menjadi ciri khasnya. Tentu dengan ciri khas seperti itu cerita tentang Samurai banyak mengandung unsur pertarungan dan peperangan. Keahlian bermain pedang dan adegan pertumpahan darah menjadi hal yang biasa dalam film Samurai. Dari sekian banyak yang dikisahkan, para Samurai didominasi oleh kaum laki-laki. Lalu, apakah ada perempuan yang menjadi Samurai? Beberapa sumber menjelaskan ada beberapa sosok Samurai perempuan melegenda yang tak kalah tangguh dibandingkan Samurai laki-laki. Sebut

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

84


saja Tomoe Gozen (1157-1247) dan Nakano Takeko (1847-1868). Para Samurai petarung ini adalah istri, anak, atau ibu dari keluarga Jepang yang terpanggil jiwanya untuk turun dalam medan perang. Samurai perempuan tidak ikut berperang, tapi mereka dibekali dengan pendidikan bela diri untuk melindungi keluarga. Meskipun tak sebanyak petarung laki-laki, informasi-informasi yang ada cukup untuk membuktikan bahwa kekuatan para Samurai perempuan juga memiliki efek yang kuat dalam sejarah Samurai (Force, 2012: 1). Bushido: Jalan Hidup Sang Samurai Selama beratus tahun para Samurai mendalami berbagai disiplin ilmu di luar seni perang dan mulai menuliskan ciri-ciri ideal seorang Samurai, yang akhirnya menghasilkan sebuah hukum Samurai yang dikenal dengan nama bushido (Mente, terj. Muhammad Yusuf Anas 2009: 21). Seorang pemikir yang sangat penting dan berpengaruh bagi para Samurai adalah Yamaga Soko (1622-1685). Ia merupakan tokoh terkenal dalam sejarah Jepang karena intelektualitasnya dan pemikirannya yang hebat. Ia lah orang yang menyusun prinsip bushido (Ranjabar, 2008: 22-25). Bushido berasal dari kata “bushi” yang berarti ksatria atau prajurit dan “do” yang berarti jalan, jadi dapat diartikan bushido adalah jalan ksatria. Jalan ksatria ini memiliki sebuah sistem etika atau moral yang berlaku di kalangan Samurai (Suharman, 2012). Oleh karena itu kaum Samurai selalu hidup dalam kode etik bushido

tersebut. Dikutip dari penjelasan Mente tentang hukum bushido: “Petunjuk utama bagi para Samurai dalam hukum bushido tersebut adalah mereka harus mengembangkan keahlian olah pedang dan berbagai senjata lain, berpakaian dan berperilaku dalam sebuah cara yang khusus, dan mempersiapkan diri untuk menerima kematian yang bisa terjadi sewaktu-waktu ketika melayani tuan mereka.” (Mente, terj. Muhammad Yusuf Anas 2009: 21) Makna bushido secara umum berarti sikap rela mati untuk kepentingan negara atau kerajaan, kaisar maupun tuannya. Di samping keberaniannya, konsep bushido dalam diri Samurai adalah sikap untuk mencari harmoni dengan alam semesta, khususnya dengan lingkungan. Karena dengan keharmonisan mereka dapat memperoleh ketenangan, kesederhanaan, dan keindahan (Suharman dalam Suharman, 2012). Dalam Bushido tertanam prinsip-prinsip yang mengarahkan seseorang untuk hidup dalam ketenangan jiwa dan keyakinan hati. Jadi di samping ketangguhan seorang Samurai dalam memainkan pedang, sewajarnya ia juga memiliki keharmonisan jiwa yang tertanam dalam dirinya. Keseimbangan di antara keduanya akan membawa kekuatan yang positif. Hal mendasar dari prinsip hidup Samurai adalah kejujuran. Jujur pada diri sendiri dan pada orang lain. Keduanya saling berkesinambungan,

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

85


karena bila seseorang dapat jujur pada dirinya sendiri maka secara otomatis ia akan bisa jujur pada orang lain. Sepertinya memang tampak sederhana, kenyataannya banyak yang masih belum bisa melaksanakannya. Bila seorang Samurai telah dapat menjalankan prinsip ini, maka barulah ia bisa dianggap memiliki hidup yang seutuhnya. Karena bagi para Samurai kejujuran adalah sesuatu yang sangat bermakna dan dapat membawa pada kedamaian. Banyak hal positif yang muncul dari prinsip hidup para Samurai. Tentu semua yang baik itu ingin terus dilestarikan penerusnya demi mempertahankan kedamaian. Selama beberapa generasi budaya Samurai telah tertanam begitu kuat dan mendarah daging pada masyarakat Jepang, sehingga akan sulit bagi mereka untuk meninggalkan rangka pemikiran ala Samurai tersebut (Boye de Mente dalam Suharman, 2012). Untuk memahami karakter dari prinsip ajaran bushido, secara sederhana dapat dijelaskan dalam bentuk refleksi tindakan dan perilaku moral. Bushido merupakan ajaran-ajaran moral seperti keberanian, ketabahan hati, kemurnian, cinta nama baik, kesetiaan, tanggung jawab, rasa malu, dan kehormatan (Suharman, 2012). Pada zaman dahulu para Samurai yang kalah dalam pertempuran akan melakukan seppuku atau harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau di perut). Mereka beranggapan lebih baik mati daripada harus hidup menanggung malu dalam kekalahan. Dalam kehidupan Jepang modern

wacananya sedikit berubah, fenomenanya bisa kita temui pada kasus para pejabat negeri yang merasa gagal dalam mengemban tugasnya atau tersangkut masalah korupsi, mereka akan ‘mengundurkan diri’ dari jabatan. Sebenarnya tindakan harakiri pada Samurai awalnya merupakan bentuk dari kesetiaan pada tuannya. Kesetiaan para Samurai diwujudkan dengan hanya mengabdi pada satu tuan saja. Bahkan ketika tuannya mati, mereka juga mengikuti ke alam kematian (Ranjabar, 2008, 30-31). Bentuk kesetiaan semacam ini sering ditunjukkan dalam sikap rela berkorban, meski bukan dalam bentuk kematian yang sesungguhnya. Nilai-nilai bushido yang diterapkan para Samurai dijelaskan oleh Suharman (2012). Pertama, Gi (integritas) yang berarti kemampuan membuat keputusan yang tepat dengan keyakinan moral, sehingga keputusan bisa adil dan seimbang untuk semua orang, tanpa memandang warna kulit, ras, jenis kelamin ataupun usia. Yu (keberanian) merupakan kemampuan untuk menangani setiap situasi dengan gagah berani dan percaya diri. Jin (pengasih) dinyatakan sebagai suatu bentuk kombinasi kasih sayang dan kemurahan hati. Nilai ketiga ini diterapkan bersama Gi akan membuat seorang Samurai dapat meredam keinginan untuk menggunakan kemampuan mereka secara arogan atau untuk mendominasi orang lain. Selanjutnya Rei yang diartikan sebagai penghormatan yang berhubungan dengan kesopan-santunan dan sikap yang layak kepada orang lain. Rei juga

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

86


berarti harus menghormati semua pihak. Kelima adalah Makoto atau bersikap jujur pada diri sendiri, layaknya bersikap jujur kepada orang lain. Meraba Historisitas Konteks Perfilman di Jepang Era Taisho (1912 M - 1926 M) menjadi awal sejarah industri film di Jepang. Sato Tadao (dalam Syversen, 2011: 22-24) berpendapat bahwa konsep tradisional tertentu dari citra dan teknik seni visual memiliki pengaruh pada sinema Jepang. Ia juga mengaitkan sinema Jepang dengan musik dan seni teater tradisional Jepang. Seni teater tradisional yang bisa dibilang paling terkenal dari Jepang adalah Kabuki dan Noh. Richie menguraikan tentang hubungan antara film Jepang dan kabuki, ia menyatakan bahwa pengaruh dominan pada awal sinema Jepang adalah dari drama teater. Mengenai sinema Jepang sebelum tahun 1945, Richie secara terbuka membedakannya dengan sinema Amerika dan Eropa. Hubungan antara individu dan lingkungan sekitar adalah tema yang dominan dalam keberlangsungan sinema Jepang saat itu. “If the American film is strongest in action and the European film is strongest in character, then the Japanese film is richest in mood or atmosphere, in presenting characters in their natural surroundings.” (Richie, 1971: xix) Dalam perkembangan sinema jepang pasca perang yang dipengaruhi Amerika dan Eropa, Richie mengatakan

bahwa menggabungkan genre merupakan karakteristik dari sinema Jepang secara umum. Itu yang membedakannya dengan sinema Amerika, Eropa dan Rusia. Selain itu, Davis juga berpendapat bahwa sinema Jepang tidak mengadaptasi sinematik Amerika dan Eropa secara eksklusif setelah Perang Dunia II, tetapi penyesuaian telah terjadi pada pertengahan tahun 1930-an (Davis, Darrel William, dalam Syversen, 2011: 45-46). Pada periode tahun 50-an, 60-an, dan 70-an terlihat masih banyak pengaruh Amerika dan Eropa pada sinema Jepang. McDonald (dalam Syversen, 2011: 57) mencatat, pada akhir 1940-an penonton Jepang pasca perang lebih mencari hiburan, bukan indoktrinasi. Studio-studio segera menyortir permintaan dengan mengusung musikal, komedi, dan melodrama. Pada masa-masa itu sinema Jepang juga menemukan “dunia luar”, seperti karya Kurosawa, Rashomon yang menjadi pemenang Grand Prix pada 1951 Cannes Film Festival. Setelah kemenangan tersebut, sinema Jepang yang kaya akan warisan budaya mendapat pengakuan dari seluruh dunia. Awal tahun 50-an juga terlihat pengaruh neorealisme Italia dalam sinema Jepang (Anderson dalam Syversen, 2011: 47). Meskipun realisme dari drama Jepang mungkin terlihat dalam pandangan pertama pada neorealisme, keduanya benar-benar kontras satu sama lain. André Bazin menjelaskan, ideologi neorealisme adalah upaya untuk menggambarkan realitas bukan sekedar “plastik” dari

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

87


image. Plastik di sini maksudnya adalah untuk menyebut gaya set, makeup, pencahayaan, framing dan komposisi dari shots, dan kinerja aktor/ pelaku. Berikut kutipan dari AndrĂŠ Bazin mengenai ideolog neorealisme: “The ideology of neorealism was typified by its on location filming, utilization of nonprofessional actors and depicting of menial situations lacking in dramatic valence. In addition the sound and dialogue should ideally consist of purely diegetic on location recordings, and the narrative and style should be incorporated into each other in a manner that enhances the reality of the film, rather than adding to dramatic composition.â€? (Syversen, 2011: 48). Meski demikian, dari argumen Bazin ini hubungan realitas mengungkapkan tidak munculnya kecocokan dengan gaya pemanfaatan alat pada sinema Jepang. Pada pengamatan yang lebih dekat, bagaimanapun juga film-film yang ada dipersatukan oleh kontrol yang ketat melalui gaya angling, pencahayaan, suara, pementasan, dan performa aktor, yang semuanya ini sangat kontras dengan ideologi neorealisme. Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an muncullah formula sistem studio. Perkembangan ini bisa dibilang tren turunan dari estetika tradisional

Jepang, sebagai pengaruh dari luar dan memunculkan banyaknya genre baru. Perkembangan ini muncul karena dengan sistem pengaturan yang ada dapat memberikan kontrol yang lebih pada sutradara maupun penulis narasi atas pekerjaan mereka. Kondisi ini akhirnya mengakibatkan munculnya gelombang baru Jepang pada tahun 1960 (Desser dalam Syversen, 2011: 48-49). Adapun pada era 70-an, kecenderungan gelombang baru era 60-an dipertahankan sepanjang dekade. Para sutradara jelas dipengaruhi oleh gelombang baru ini, bahkan ingin terus dilanjutkan sampai era 80-an. Popularitas fenomena perfilman pada ini mati menjelang akhir 70-an. Seperti yang dikatakan Desser (dalam Syversen, 2011: 53), makna implisit dari istilah "gelombang baru" pasti membawa kematiannya sendiri. Para sutradara baru ini membuat film yang menolak inovasi gaya dari gelombang baru awal era 60-an, dan kembali ke gaya dan karakter klasik yang dapat ditemukan dalam "humanis" pada film era 50-an. Fitur gaya baru dari new wave ini ditandai dengan memperbaharui pengaruh dari sinema klasik. Tak hanya para pembuat film baru yang menerapkan narasi sinema klasik, tapi beberapa sutradara gaya baru new wave (awal 60-an) juga berpendapat untuk memproduksi film 80-an dengan gaya yang konsisten pada pola sinema klasik, berbeda dengan pekerjaan mereka

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

88


dekade dalam

untuk dilihat dan dianalisis. Ketiga, teks-teks media adalah bagian dari kehidupan.

METODE PENELITIAN Barthes mengembangkan dan menyempurnakan konsep Saussure yang semiotik signifikasinya berhenti pada tataran denotatif saja. Penanda dan petanda pada tingkat denotasi ini kemudian menjadi satu dan membentuk penanda tersendiri yang kemudian dimaknai pada tingkat kedua yaitu konotasi. Barthes, menjelaskan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat didominasi oleh konotasi. Konotasi adalah pengembangan segi petanda oleh pemakai tanda sesuai sudut pandangnya. Kalau konotasi sudah menguasai masyarakat, maka akan menjadi mitos. Barthes mencoba menguraikan betapa kejadian seharihari menjadi “wajar�, padahal itu mitos belaka, akibat konotasi yang mantap di masyarakat Semiotika dalam hal ini merupakan metode analisis yang tepat untuk menganalisis dan memperoleh pemahaman tentang makna tersembunyi dalam foto. Ada tiga keuntungan penggunaan semiotika sebagai metode analisis. Pertama, teks itu sendiri selalu siap diakses. Saat ini banyak artefak media diperjualbelikan dalam berbagai bentuk, seperti CD, DVD, dan lainnya. Sehingga, ini memudahkan para peneliti untuk mengakses. Kedua, ragam bentuk media juga membuat teks mudah

HASIL PENELITIAN Nilai-nilai Bushido Perempuan pada Film Rurouni Kenshin dan Film Myu no Anyo Papa ni Ageru Pada Rurouni Kenshin yang memang merupakan film Samurai representasi tokoh perempuan digambarkan hidup pada era Meiji. Mereka menggunakan pakaian tradisional Jepang seperti kimono dan hakama. Pada umumnya film-film samurai memang digambarkan pada suasana Jepang tempo dulu seperti era Meiji dan masa-masa sebelumnya. Orang-orangnya berpakaian tradisional, bersenjatakan katana dan terdapat beberapa adegan pertarungan dalam filmnya. Kaoru sebagai salah satu tokoh perempuan yang menjadi sarana analisis dalam film ini bukan sepenuhnya seorang Samurai. Ia adalah putri dari seorang Samurai dan menjadi asisten pelatih ajaran bela diri di dojo milik ayahnya. Kaoru direpresentasikan sebagai perempuan yang cantik, bertubuh ramping, anggun, rapi, berhati lembut, tegas dan pemberani bak seorang Samurai. Penampilan Kaoru banyak ditunjukkan dengan penggunaan busana hakama yang sebenarnya kebanyakan digunakan oleh kaum pria. Sebagai asisten pelatih dari dojo milik ayahnya, Kaoru masih sering menggunakan hakama meski dojo tersebut sudah tak memiliki banyak murid. Penamilan Kaoru dengan hakama membuatnya

pada satu atau dua sebelumnya (Nygren Syversen, 2011 : 54).

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

89


terihat lebih gagah dan lues dalam bergerak. Meski senyatanya kemampuan bertarung Kaoru tidak ditunjukkan secara jelas dalam film ini, tekadnya untuk membela kebenaran bukanlah isapan jempol semata. Kaoru bahkan berani menantang hittokiri batousai dan menghadapi para bandit yang menyeramkan demi memperjuangkan suatu kebenaran yang diyakininya. Ia akan berusaha menjaga apa pun yang ia rasa patut untuk dilindungi terlebih dalam hal kebenaran.

Gambar 3 Capture Scene dalam Film Rurouni Kenshin

Denotasi pada scene ini adalah saat Kaoru mencurigai pemuda yang tak dikenalnya karena pemuda tersebut berkeliaran membawa katana. Kaoru dengan curiga dan penuh kewaspadaan menginterogasi pemuda tersebut dan siap mengajaknya berduel. Konotasinya adalah memang membawa katana pada masa itu merupakan suatu hal yang dilarang oleh pemerintah. Sehingga berkeliaran dengan membawa katana dapat dikatakan melanggar peraturan pemerintah.

Hal mengesankan lain dari sikap Kaoru adalah meski ia memiliki kesempatan menyerang dari belakang lebih dulu, Kaoru tidak melakukannya demi kemenangan semata, ia memberikan kesempatan pada lawannya untuk mengetahui keberadaannya terlebih dahulu, karena menyerang dari belakang bukanlah sikap seorang Samurai. Tak heran bila Kaoru melakukan hal demikian, karena ia adalah keturunan dari seorang Samurai.

Gambar 4 Capture Scene dalam Film Rurouni Kenshin

Denotasi pada scene ini adalah Kaoru didesak untuk menjual dojo-nya dan diperlakukan kasar oleh para bandit, ia bahkan dihina. Namun dengan berani Kaoru melakukan penolakan. Konotasi awalnya adalah jumlah yang tak sebanding antara kumpulan para bandit dengan Kaoru yang hanya seorang diri. Dengan tampang menyeramkan para bandit berpikir dapat menakuti dan menggertak Kaoru yang mereka anggap lebih lemah. Dojo peninggalan ayah Kaoru didatangi sekumpulan bandit tak sopan yang mengaku ingin membeli dojo tersebut. Kaoru bersikeras tak mau

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

90


menjualnya. Para bandit mulai menghina ajaran-ajaran ayah Kaoru. Meski awalnya Kaoru banyak menunjukkan sikap keras pada orang yang telah dikenal, ia akan bersikap sangat ramah dan akrab. Kelembutan hatinya pun ditunjukkan dalam perhatian-perhatian yang menghangatkan perasaan. Sikap dalam bermasyarakatnya pun ditunjukkan dengan sangat baik, hingga para penduduk desanya banyak yang sayang dan ingin melindungi Kaoru.

Gambar 5 Capture Scene dalam Film Rurouni Kenshin

Denotasi pada scene ini adalah Kaoru ingin membalas budi pada Kenshin dengan menawarkannya tinggal di rumah Kaoru, karena Kenshin tak memiliki tempat untuk tinggal. Namun di sisi lain Kenshin merasa tak pantas menerima kebaikan Kaoru tersebut. Konotasi awalnya adalah seseorang memang patut untuk membalas budi atas kebaikan orang lain yang pernah membantunya. Sehingga sikap Kaoru sangatlah wajar terlebih bagi orang yang pernah berjasa padanya.

Kaoru menjemput Kenshin yang baru saja keluar dari tahanan. Ia menawarkan Kenshin agar tinggal di rumahnya sebagai rasa terima kasih. Kenshin menolak, karena ia tahu bahwa Kaoru sangat membenci hittokiri battousai. Tapi Kaoru memberikan penjelasan. Akhirnya Kenshin bersedia ikut dengan Kaoru. Sedangkan dalam film Myu no Anyo Papa ni Ageru suasananya tidak menceritakan tentang kehidupan Samurai seperti pada film Rurouni Kenshin. Myu no Anyo Papa ni Ageru digambarkan berlatar Jepang di masa yang sudah modern atau pada era kontemporer. Representasi tokohtokohnya pun ditunjukkan dalam penampilan yang modern dan pakaian yang lebih simple. Sisi modern lainnya juga ditunjukkan pada banyaknya alatalat canggih di rumah sakit yang dipergunakan untuk memeriksakan kesehatan pasien. Tokoh perempuan yang menjadi objek analisis utama dalam film ini bernama Aya Yamaguchi. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang hidup bersama dengan anaknya Myu, dan Hayato suaminya yang menderita gangguna syaraf gerak. Aya direpresentasikan sebagai perempuan yang memiliki paras cantik, tinggi, dan bertubuh ramping. Ia sering mengenakan pakaian yang simple dan trendi seperti baju kaos dan celana jeans. Sifat-sifat pada diri Aya diuraikan seiring mengalirnya kisah hidupnya bersama keluarga kecilnya. Prinsip dan sikap hidup Samurai terlihat saat Aya menghadai masa-masa sulit seperti saat mendampingi suaminya

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

91


yang sedang sakit. Berbagai cobaan datang menghampirinya, termasuk masalah internal dalam keluarganya sendiri.

Pada Film Myu no Anyo Papa ni Ageru, Hayato suami Aya memiliki penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Mereka dikisahkan sudah banyak berusaha dan mencoba berbagai cara untuk menyembuhkan, hasilnya belum bisa terlihat secara signifikan. Hayato sempat merasa putus asa hingga emosinya sempat turun naik. Hal tersebut berimbas pada perlakuannya terhadap Aya dan Myu. Meski merasakan cobaan hidup yang cukup berat, Aya tetap tabah dan berpikiran positif pada keadaannya saat itu.

Gambar 6 Capture Scene dalam Film Rurouni Kenshin

Denotasi pada scene ini adalah Kaoru dan Kenshin yang berbeda pandangan atau pendapat dalam pemikiran-pemikiran mereka. Konotasi awalnya adalah tiap orang mungkin saja memiliki pemikiran yang berbeda, sehingga perselisihan mungkin saja terjadi. Istilah beda kepala beda isinya menjadi terbukti adanya. Sehingga lebih dalam lagi dari scene tersebut dapat dimaknai tiap orang memiliki prinsip hidup masing-masing, dan mereka mereka memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk menjaga dan dipertahankannya. Kaoru dan Kenshin berada di dalam dojo. Kaoru menceritakan perbuatan hittokiri battousai palsu yang telah sempat mengacaukan dojo ayahnya. Kaoru berniat untuk menghentikan pembantai yang masih bebas berkeliaran itu. Kenshin menanggapi sikap Kaoru tersebut dengan menyampaikan pemikirannya.

Gambar 7 Capture Scene dalam Film Myu no Anyo Papa ni Ageru

Bahkan pernah dalam suatu kesempatan Aya diberikan kebebasan untuk melepaskan diri dari Hayato dan tak perlu lagi terlibat dengan kondisi Hayato yang sakit, karena kedua orangtua Hayato lah yang akan menjaga dan merawat Hayato selanjutnya. Aya menolak dan tetap bertahan untuk bersama Hayato meski ia akan menghadapi masa-masa yang sulit selanjutnya. Denotasi pada scene ini adalah ayah Hayato meminta Aya untuk memikirkan masa depannya lagi dan

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

92


berpisah dari putranya yang sakit. Maksud ayah Hayato adalah agar selanjutnya Aya dapat hidup lebih bahagia. Namun Aya menolak permintaan ayah Hayato tersebut. Konotasinya adalah kedua orang tua Hayato merasa tidak ingin merepotkan orang lain atas apa yang dialami oleh anak mereka, dan merasa perlu untuk melakukan pengorbanan. Bahkan pada istri Hayato sendiri, orang tua Hayato tak ingin merepotkannya dan meminta Aya untuk memikirkan masa depan yang lebih baik untuk dirinya. Namun Aya menolak untuk meninggalkan Hayato setelah mendengarkan perkataan orang tua suaminya itu.

Gambar 8 Capture Scene dalam Film Myu no Anyo Papa ni Ageru

Pembingkaian tokoh utama perempuan dalam kedua film ini digambarkan sebagai wanita yang cantik, anggun, dan penuh tanggung jawab. Menurut Elita (Skripsi, 2013) film terus melestarikan budaya kecantikan dari waktu ke waktu. Pada umumnya tokoh heroin dalam suatu film memang selalu digambarkan dengan fisik yang rupawan dan memiliki moral yang baik, sehingga hal

tersebut menjadi daya tarik tersendiri dalam film. Dalam film yang menggambarkan kehidupan Samurai, mungkin akan mudah terlihat sikap dan sifat seorang Samurai, tapi bagaimana dengan film-film era modern dan kontemporer yang tidak menampilkan sosok seorang Samurai secara langsung? Diperlukan kecermatan dalam memaknai sifat dan perilaku seorang tokoh untuk dapat menunjukkan adanya prinsip hidup Samurai di dalamnya. Representasi sosok Samurai seperti yang ada dalam film Samurai pada umumnya memang tak terwujud secara fisik pada tokoh perempuan dalam film Rurouni Kenshin maupun Myu no Anyo Papa ni Ageru. Meski demikian, jiwa Samurai dapat dilihat dari tindakan maupun sifat dari tokohtokoh perempuan tersebut. Mereka membawa semangat para Samurai dalam menjalani kehidupannya seharihari, bahkan dari sifat-sifat tersebut membentuk mitos-mitos dan kebiasaan dalam masyarakat Jepang. Sebagai wujud prinsip-prinsip hidup yang diwariskan Samurai ini, terdapat beberapa temuan seperti yang telah dijelaskan di atas. Secara garis besar nilai-nilai bushido tersebut dirangkum dalam; integritas (Gi), pengasih (Jin), keberanian (Yu), penghormatan (Rei), kejujuran (Makoto), martabat (Meiyo), kesetiaan (Chungi). Nilai-nilai tersebut dilakukan dengan tujuan mencapai kedamaian, keharmonisan, keamanan, ketenangan, serta menjaga keselarasan.

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

93


Integritas (Gi), pengasih (Jin), dan penghormatan (Rei) tercermin di mana Kaoru dalam film Rurouni Kenshin bermaksud memberikan tumpangan tinggal pada Kenshin yang baru keluar dari tahanan sementara setelah terlibat pertarungan untuk membela Kaoru sebelumnya (lihat Gambar 3). Masa lalu Kenshin yang kelam tidak lantas membuat Kaoru memandangnya sebelah mata sebagai orang yang kejam. Kaoru mencoba melihat kenyataan dari apa yang dirasakannya sekarang, Kenshin telah berubah, bahkan telah menjadi orang yang sangat baik dan sopan. Itulah yang membuat Kaoru yakin bahwa keputusannya untuk membantu Kenshin adalah tindakan yang tepat. Keputusan Kaoru menolong Kenshin tersebut menunjukkan integritasnya bersikap adil dalam membantu sesama tanpa membedabedakan latar belakang. Ia bersikap murah hati dengan bersedia memberikan tumpangan pada Kenshin yang saat itu tak memiliki tempat tinggal. Selain itu kebaikannya tersebut juga merupakan bentuk dari sikap penghormatan Kaoru dan rasa terima kasihnya pada Kenshin yang pernah membantunya. Keberanian (Yu) dan kejujuran (Makoto) ditunjukkan (Gambar 4) dengan Kaoru yang gagah berani menghadapi serangan dan hinaan para bandit yang menjatuhkan nama baik dojo milik ayahnya. Keberanian lain yang ditunjukkan Kaoru terdapat pula pada scene di mana Kenshin sedang bertarung dengan Jin’e untuk menyelamatkan nyawa Kaoru. Kaoru

memilih untuk siap mati dan rela berkorban demi pentingnya sebuah komitmen. Meski komitmen tersebut bukanlah milik Kaoru sendiri, ia tetap berusaha meyakinkan Kenshin untuk tetap menepati janjinya, yaitu untuk tidak membunuh lagi. Karena sikap menjaga komitmen ini merupakan bagian dari kejujuran yang harus dipegang teguh oleh seorang Samurai. Selain itu keberanian dan sikap menjaga komitmen juga ditunjukkan oleh tokoh Aya dalam film Myu no Anyo Papa ni Ageru. Aya siap menghadapi masa depan bersama suaminya yang sedang sakit dengan penuh percaya diri meski ayah Hayato telah memberikannya kebebasan untuk meninggalkan putranya tersebut. Sikap Aya ini merupakan bentuk dari komitmennya terhadap ikatan pernikahan antara ia dan Hayato. Kesetiaan (Chungi) dan martabat (Meiyo) tercermin di mana Aya tetap tabah dan mengabdikan hidupnya untuk besama Hayato meski telah mengalami hal-hal sulit dan sempat mendapatkan bentakan dari suaminya tersebut (lihat Gambar 9). Denotasi pada scene ini adalah Aya tetap bersabar meski ia telah dibentak oleh Hayato saat sedang berusaha membantu mendorong kursi roda Hayato yang tergelincir ke bebatuan. Konotasinya Aya terus saja membantu Hayato dalam kondisi apapun, meskipun ia dalam keadaan lelah. Bahkan saat mendapatkan perlakuan kurang baik seperti bentakan dari Hayato, ia tetap setia di samping Hayato.

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

94


Aya tetap berpikir positif bahwa sebenarnya Hayato tak memiliki niat untuk menyakiti perasaannya. Hayato hanya sedang tidak stabil karena sedang menghadapi penyakit yang dideritanya.

Gambar 9 Capture Scene dalam Film Myu no Anyo Papa ni Ageru

Pada sikap kesetiaan terdapat pula aspek tanggung jawab, scene yang menunjukkan sikap tanggung jawab tersebut adalah pada dedikasi Aya dalam menjalankan pekerjaannya. Denotasi dari scene ini adalah Aya bekerja keras di sebuah toko roti dan melayani para pelanggan dengan penuh keramahan. Konotasinya, sementara Hayato sedang sakit, Aya bekerja untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Awalnya ia mendapat tentangan keras dari Hayato tentang hal ini, namun Aya mencoba memberikan pengertian bahwa kesembuhan Hayato adalah hal yang paling utama, sehingga ia rela bekerja demi mendapatkan biaya pengobatan untuk Hayato. Meski kondisi keluarga kecilnya sedang kurang baik, Aya tidak melibatkan permasalahan yang sedang dialaminya tersebut ke dalam pekerjaan. Aya yang bekerja di sebuah toko roti

tetap bersikap ramah pada setiap pelanggan dan memberikan senyuman pada mereka untuk menunjukkan rasa hormat dan rasa sopannya. Ia mampu menunjukkan sikap profesional di lingkungan pekerjaannya.

Gambar 10 Capture Scene dalam Film Myu no Anyo Papa ni Ageru

Pada akhirnya prinsip-prinsip samurai tersebut pun tertanam begitu kuat pada perempuan-perempuan Jepang dari zaman ke zaman, bahkan menjadi suatu kebiasaan dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Contoh paling mendasar yang mencerminkan ketangguhan Samurai dalam diri perempuan adalah pada sosok seorang ibu. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef pernah memaparkan tentang peran kyoku mama atau education mama yang diterapkan di negara Jepang selalu diabaikan dan disepelekan di negara-negara lain (Daoed Joesoef, Kompas, 7 Juli 2007, Pendidikan Mama (Kyoiku Mama)). Membahas tentang moralitas pada masyarakat Jepang, budaya asing yang datang memiliki pengaruh yang cukup besar dalam menumpulkan nilainilai moral tersebut. Untungnya masyarakat Jepang memiliki kunci

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

95


untuk setidaknya tidak terpengaruh sepenuhnya dengan budaya asing yang masuk, yaitu dengan cara memperbarui kesadaran akan identitas diri mereka, dan tidak mengabaikan masa lalu, serta memilah aspek tertentu yang disesuaikan dengan keadaan baru (Man, 2013: 14). Sejak demokrasi serta individualisme dikenalkan di Jepang oleh budaya budaya Barat (seiring kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II), Mente (terj. Muhammad Yusuf Anas, 2009: 59) mengakui, bahwa pada beberapa tingkatan tertentu moralitas tradisional masyarakat Jepang telah mengalami penurunan signifikan. Kendati demikian, berdasarkan standar keseluruhan barangkali masih bisa disebut sebagai masyarakat yang paling menjunjung tinggi nilai-nilai norma bila dibandingkan dengan penduduk negara lain di seluruh dunia. Kepatuhan terhadap standar etika yang luhur dan formal masih menjadi landasan moral dan standar penting bagi perilaku orang-orang dewasa di Jepang. Sementara itu bagi anak-anak muda Jepang, Mente kembali mengakui adanya perbedaan, berikut kutipan dari Mente: “Anak-anak muda Jepang yang tumbuh di bawah pengaruh konsep individualisme serta kebebasan ala masyarakat Barat, secara umum akan mengabaikan etika tradisional tersebut ketika mereka berinteraksi dengan sesama mereka dalam situasisituasi tertentu. Akan tetapi, ketika mereka ingin diterima di dunia orang dewasa, maka

mereka harus mampu menyesuaikan diri terhadap standar etika tradisional yang berlaku, baik dalam bahasa verbal maupun perilaku fisik.� (Mente, terj. Muhammad Yusuf Anas, 2009: 87) KESIMPULAN Dalam karya Musashi yang berjudul The Book of Five Rings, kultur Samurai diuraikan secara sempurna dan sukses mempengaruhi pikiran masyarakat Jepang. Mayoritas orang Jepang secara sadar atau tidak sadar, membentuk sikap dan perilaku mereka dalam pola pikir dan perilaku Musashi, termasuk kesediaan mereka untuk mengorbankan diri demi sebuah idealisme serta usaha yang terusmenerus dalam meraih sebuah kesempurnaan (Mente, terj. Muhammad Yusuf Anas, 2009: 40). Karya Musashi tersebut sesuai dengan hasil temuan yang banyak dijumpai dalam delapan scene pada penelitian ini, yaitu sikap rela berkorban. Bahkan ada beberapa scene yang juga merupakan gabungan dari prinsipprinsip lainnya seperti keberanian, pengabdian, dan ketabahan, sehingga semakin menunjukkan terbentuknya sikap seorang Samurai dalam tokoh perempuan Jepang dalam kedua film ini. Meski prinsip hidup Samurai ini dapat dituangkan dalam tampilan film, bahkan pada kehidupan masyarakat modern, peneliti menemukan adanya keterbatasan dalam beberapa eksekusinya. Realisasi prinsip Samurai dilakukan tidak dalam satu kesatuan yang utuh seperti pada Samurai

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

96


senyatanya, melainkan terpenggalpenggal demi kebutuhan skenario dan karakter tokoh dalam cerita. Selain itu pemaknaan pada objek yang bukan sepenuhnya Samurai juga merupakan tantangan tersendiri dalam analisis ini. Sehingga dalam memaknainya pun diperlukan ketelitian agar dapat menemukan esensi yang sama dengan yang terkandung dalam sikap Samurai sebenarnya. Film Rurouni Kenshin dan Myu no Anyo Papa ni Ageru merupakan film produksi Jepang modern yang masih dapat menampilkan kelestarian sikapsikap para leluhurnya. Banyak pula mitos-mitos masyarakat yang terdapat di dalamnya. Mitos yang menjelaskan prinsip dan tradisi masyarakat Jepang secara turun temurun. Banyak nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya, perlu diingat bila ingin mengadopsi prinsip-prinsip yang dipegang oleh masyarakat Jepang tersebut perlu dilakukan penyaringan kembali dan penyesuaian dengan budaya setempat, karena tak jarang perbedaan kultur pada suatu budaya memiliki jarak yang sangat signifikan.

-

-

-

-

-

-

-

DAFTAR PUSTAKA -

-

-

Force, Krista. 2012. History of Samurai Women. Shodan Research Paper (Februari, 2012). Joesoef, Daoed. “Pendidikan Mama (Kyoiku Mama),” Kompas, 7 Juli 2007. Man, John. 2013. Samurai: Jalan Kehormatan Sang Pejuang Terakhir, terj. Ratih Ramelan. Ciputat: Pustaka Alvabet.

-

-

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

Masao, Kitami. 2013. The Swordless Samurai: Pemimpin Legendaris Jepang Abad XVI, terj. Mardohar S. Indonesia: RedLine Publishing. Mente, Boye De. 2009. 42 Rahasia Hidup Bahagia A la Samurai, terj. Muhammad Yusuf Anas. Yogyakarta: Think. Munir, Risfan. 2009. Jurus Menang dalam Karier dan Hidup a la Samurai Sejati. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Ranjabar, Agata P. 2008. Harakiri: Kepahlawanan Samurai Jepang. Yogyakarta: Pinus Book Publisher. Richie, Donald. 1971. Japanese Cinema: Film Style and National Character. New York: Anchor Books. ROL. 2012. “Film ‘Samurai X’ Bakal Sambangi 60 Negara” http://www.republika.co.id/berit a/senggang/film/12/09/03/m9rs9 1-film-samurai-x-bakalsambangi-60-negara (25 Januari 2014). Suharman. 2012. Kaum Samurai dan Ajaran Bushido dalam Perspektif Pendidikan Karakter. Bahan Proceeding Prodi Pendidikan Sejarah IKIP PGRI Wates. Syversen, Robin. 2011. Rearticulating Japanese Cinematic Style. Master Thesis in Japanese (AAS), Institute of Cultural Studies and Oriented Languages (IKOS) University of Oslo. “FAQ: Aspect Ratio Explained” http://cinephilesdiary.blogspot.c om/2012/07/faq-aspect-ratioexplained.html/ (26 Februari 2014). “Serba-serbi Karakter Jepang: Kesadaran Kelompok, Kerja Keras, Bushido dan Senyum 97


-

Jepang” http://www.id.embjapan.go.jp/aj305_01.html (25 Januari 2014). “Studio Swan Developing 2 additional ‘Rurouni Kenshin’ Live-Action Film” http//www/examiner.com/article /two-more-live-action-rurounikenshin-sequels-development (25 Januari 2014).

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

98


REPRESENTASI MAKNA VISUAL POSTER FILM RELIGIUS ( Studi Semiotika Poster Charles S. Pierce Pada Film 99 Cahaya di Langit Eropa )

SUWARNO Suwarno654@yahoo.co.id Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Budi Luhur, Jakarta ABSTRACT

Movie poster is the main and leading media campaign that deals directly with the target audience in conveying the message information before launching a film. Thus, the visualization of the poster that includes the components of verbal and non-verbal language should be given serious consideration in its design. As well as 99 movie posters of light in the sky of Europe which is released firstly on 05 December 2013. This research uses a qualitative approach by using the realm interdisciplinary because of being able to integrate the various disciplines of science in the discussion. This qualitative analysis tries to see more in the object of research that uses the concept of Islam as the ideological foundation of the meaning of the sign.While the method that is used to analyze in this research is the method of Charles Sanders Peirce's semiotic triangle concept, where the sign that is formed by a triangular relationship namely Representamen that is also called (sign) by Peirce,it relates with the object which is referred . Well, that relationship yields interpretant. The result of this research concludes that the verbal and visual appearance of the film's 99 light in the sky in Europe explains the signs of the culture and the triumph of Islam in Europe as well as the image of a noble Muslim and reflects the harmony of the characteristics of the visual appearance of a movie poster. Keywords: movie poster, visual semiotics, Peirce.

ABSTRAK Poster film merupakan media promosi utama dan terdepan yang berhadapan langsung dengan target audiens dalam menyampaikan informasi pesan sebelum peluncuran sebuah film. Dengan demikian, maka visualisasi poster yang mencakup komponen bahasa verbal dan non verbal harus mendapatkan perhatian yang serius dalam perancangannya. Seperti halnya poster film 99 Cahaya di Langit Eropa yang secara perdana di rilis pada 5 Desember 2013. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan ranah interdisipliner karena mampu memadukan berbagai disiplin ilmu dalam pembahasannya. Analisis kualitatif di sini berusaha melihat lebih dalam objek penelitian dengan konsep Islam sebagai landasan ideologis dalam pemaknaan tanda. Sedangkan metode yang digunakan sebagai pisau analisi dalam penelitian ini adalah metode semiotika Charles Sanders Peirce dengan konsep segitiga makna, di mana tanda dibentuk oleh hubungan segitiga yaitu representamen yang oleh Peirce disebut juga (sign) berhubungan dengan object yang dirujuknya. Nah, hubungan tersebut membuahkan interpretan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa tampilan verbal dan visual dari film 99 Cahaya di Langit Eropa ini menjelaskan tanda-tanda kebudayaan dan kejayaan Islam di Eropa serta citra muslim yang sangat mulia serta mencerminkan keselarasan dan keserasian karakteristik tampilan visual poster film. Kata kunci : poster film, semiotika visual, Peirce. Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

99


PENDAHULUAN

Media komunikasi visual banyak ditemukan dalam proses komunikasi sehari-hari. Selain tayangan informasi di media elektronik dan cetak yang menjadi sumber informasi utama masyarakat, terdapat juga bentuk-bentuk media lainnya yang dipergunakan sebagai sumber informasi bagi masyarakat, seperti spanduk, baliho, poster, dan berbagai jenis mediavisual lainnya menghiasi sudut-sudut jalan bersaing mencuri perhatian masyarakat melalui daya pikat visual. Secara umum poster adalah lembar-lembar pesan yang dipasang di suatu tempat berupa pengumuman atau dalam bentuk iklan biasanya berupa gambar maupun tulisan yang mana pemasanganya di tempat-tempat yang mudah untuk terbaca oleh masyarakat. Sebagai salah satu media informasi, cenderung menggunakan kalimat yang singkat, padat dan jelas, di mana orang yang membacanya akan bisa langsung paham dan mengerti dengan hal-hal atau ide-ide yang digagas oleh pendesain poster. Dengan kata lain, setiap kata yang digunakan hendaknya bersifat sugestif, mudah diingat, karena dalam poster biasanya cenderung mengutamakan gambar dibanding kata-kata. Poster terutama dibuat dengan tujuan untuk memengaruhi orang banyak dan memberikan pesan singkat. Oleh karena itu, cara mendesainnya harus menarik, sederhana, dan hanya berisikan satu ide atau satu kenyataan saja. Poster merupakan sarana promosi yang paling cocok untuk memberikan informasi mengenai film yang akan diluncurkan. Biasanya pihak produser akan melakukan promosi terlebih dahulu agar masyarakat luas mengenalnya. Makanya, tidak heran bila poster akan dibuat semenarik mungkin, seindah mungkin, dengan penuh perpaduan warna yang menggugah dalam menciptakan citra visual yang diharapkan. Tujuannya jelas, supaya hal tersebut menjadi gerbang utama dalam

menyampaikan pesan agar mampu menarik minat, perhatian, kepentingan, atau setidaknya sifat ingin tahu seseorang. Dengan demikian harapannya jelas, yaitu mendulang penonton yang sebanyakbanyaknya untuk mau menonton film tersebut, dan poster dituntut harus bisa menjelaskan secara simbolis. Pemilihan warna dalam sebuah poster merupakan suatu harga mutlak yang harus dilakukan. Dan itu menuntut kejelian tersendiri dalam membuat keseimbangan dan perpaduan yang merangkum semua pesan yang hendak disampaikan pada khalayak. Tujuannya jelas, agar sebuah poster tersebut mampu memikat hati dan pandangan para pemirsanya, sehingga memancing rasa penasaran yang tinggi untuk mengetahui lebih dalam tentang komunikasi visual yang disuguhkan oleh para perancang poster. Poster film “99 Cahaya di Langit Eropa“ merupakan poster film yang menggunakan fitur gambar bangunan masjid dan Menara Eifel di dalamnya, yang dipadukan dengan desain yang sangat kontras dalam pemilihan warnanya. Penggunaan fitur gambar bangunan di sini tentu bukanlah tanpa alasan yang kuat. Begitu juga dengan pengaturan tanda verbal berupa judul, dimana yang dibesarkan dan ditonjolkan cuma kata-kata “ 99 Cahaya“ saja. Sedangkan kata-kata “di Langit Eropa” lebih dikecilkan. Poster film 99 Cahaya di Langit Eropa ini sepertinya mengisyaratkan suatu bentuk pengetahuan tentang Islam di tanah Eropa. Poster ini menyajikan konsep suatu bangunan yang disandingkan dengan gambar tokoh-tokon pemain dalam film tersebut dengan tanda-tanda yang sudah cukup familiar dengan pengetahuan kita yang dipadukan dalam kontras warna pada latarnya. Fenomena poster film 99 Cahaya di Langit Eropa tersebut berkaitan erat dengan bagaimana penggunaan karakteristik tanda-tanda pada poster tersebut. Cara-cara penandaan dengan

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

100


ikon-ikon bangunan terkenal yang bersifat mendunia telah mengundang suatu pertanyaan tentang bagaimana motivasimotivasi ataupun makna yang tersembunyi di balik poster tersebut. Keseluruhan isi media pada dasarnya merupakan suatu konstruksi realitas. Alex Sobur mengatakan bahwa pekerjaan media pada hakekatnya adalah mengkontruksi realitas, isi media menurutnya adalah hasil para pekerja media mengkontruksikan berbagai realitas yang dipilih (Wibowo, 2011: 142). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah karakteristik desaian visual dalam tanda-tanda verbal dan non verbal pada poster film 99 Cahaya di Langit Eropa? 2. Apa makna tanda yang terkandung di balik tampilan visual yang direpresentasikan oleh poster tersebut? KERANGKA PEMIKIRAN Representasi Representasi merupakan sebuah proses bagaimana sebuah referen mendapatkan bentuk tertentu dengan tanda-tanda (Danesi, 2010: 280). Istilah representasi secara lebih luas mengacu pada penggambaran kelompok-kelompok dan institusi sosial. Representasi berhubungan dengan stereotip, tapi tidak sekedar menyangkut hal ini. Lebih penting lagi, penggambaran itu tidak hanya berkenaan dengan tampilan fisik (appearance) dan deskripsi, melainkan juga terkait dengan makna (nilai) di balik tampilan fisik. Tampilan fisik representasi adalah sebuah jubah yang menyembunyikan bentuk makna sesungguhnya yang ada dibaliknya (Burton, 2007 : 41). Dalam kajian semiotika modern, istilah representasi menjadi suatu hal yang sangat penting, karena semiotik bekerja dengan menggunakan tanda (gambar, bunyi, dan lainya) untuk menggabungkan, menggambarkan, memotret, atau memproduksi sesuatu yang dilihat, diindra,

dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu (Danesi, 2010 : 24). Dengan mempelajari representasi, kita mempelajari pembuatan, konstruksi makna. Karenanya, representasi juga berkaitan dengan penghadiran kembali (representing) : bukan gagasan asli atau objek fisikal asli, melainkan sebuah re-presentasi atau sebuah versi yang dibangun darinya. Representasi dalam teks media boleh dikatakan berfungsi secara ideologis sepanjang representasi itu membantu memproduksi hubungan sosial yang berkenaan dengan dominasi dan eksploitasi (Burton, 2007 : 42). Reperesentasi merupakan bentuk kongkrit (penanda) yang berasal dari konsep abstrak. Beberapa diantaranya dangkal atau tidak kontroversial. Akan tetapi, beberapa representasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan budaya dan politik. Karena representasi tidak terhindarkan untuk terlibat dalam proses seleksi sehingga beberapa tanda tertentu lebih istimewa dari pada yang lain, ini terkait dengan bagaimana konsep tersebut direpresentasikan dalam media berita, film, atau bahkan percakapan sehari-hari (Hartley, 2009 :265). Menurut Stuart Hall ada dua proses representasi. Pertama, representasi mental, yaitu konsep tentang “sesuatu” yang ada di kepala manusia masing-masing (peta konseptual), representasi mental masih merupakan sesuatu yang abstrak. Kedua, “bahasa”, yang berperan penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala manusia harus diterjemahkan dalam “bahasa” yang lazim, supaya manusia dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dari simbol-simbol tertentu (Wibowo, 2011: 148). Reperesentasi merupakan bentuk kongkrit (penanda) yang berasal dari konsep abstrak. Beberapa diantaranya dangkal atau tidak kontroversial. Akan tetapi, beberapa representasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan budaya dan politik. Karena representasi

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

101


tidak terhindarkan untuk terlibat dalam proses seleksi sehingga beberapa tanda tertentu lebih istimewa dari pada yang lain, ini terkait dengan bagaimana konsep tersebut direpresentasikan dalam media berita, film, atau bahkan percakapan sehari-hari. (Hartley, 2009 :265) Dengan mempelajari representasi, kita mempelajari pembuatan, kontruksi makna. Karenanya, representasi juga berkaitan dengan penghadiran kembali (re-presenting) : bukan gagasan asli atau objek fisikal asli, melainkan sebuah re-presentasi atau sebuah versi yang dibangun darinya. Representasi dalam teks media boleh dikatakan berfungsi secara ideologis sepanjang representasi itu membantu memproduksi hubungan sosial yang berkenaan dengan dominasi dan eksploitasi (Burton, 2007 : 42). Karakteristik Poster

Istilah poster bukanlah sesuatu yang asing lagi bagi masyarakat. apalagi jika seseorang yang sering berhubungan dengan dunia publik, karena di dunia tersebut sering terlihat contoh poster yang sengaja diperlihatkan dengan tujuan dan maksud tertentu. Poster adalah media periklanan sekilas pandang yang berbentuk lembaran informasi, biasanya ditempatkan didinding (Widyatama, 2011: 260). Sedangkan Robin Landa dalam buku Graphic Design Solutions mendeskripsikan poster sebagai bentuk publikasi dua dimensional dan satu muka, digunakan untuk menyajikan informasi, data, jadwal, atau penawaran, dan untuk mempromosikan orang, acara, tempat, produk, perusahaan, jasa atau organisasi (Supriyono, 2010: 158). Sebagai sebuah karya seni dibidang desain grafis yang memuat iklan atau pengumunan, poster memiliki bermacam jenis. Berikut ini jenis-jenis poster yang sering di jumpai di masyarakat menurut Adi Kusrianto dalam bukunya “Pengantar Desain Komunikasi Visual� (2007: 339) antara lain : Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

a). Postrer Teks : Merupakan jenis poster yang paling tua. Sebagaimana namanya, poster teks mengutamakan teks sebagai informasi, tetapi biasanya juga ada elemenelemen gambar seperti symbol kerajaan, gambar raja, atau ornament lain. b). Poster Bergambar : Merupakan poster yang berkembang di awal abad modern, dimana perkembangannya dipicu atas dua hal, Pertama, semakin majunya teknologi percetakan. Kedua, dimulainya era industrialisasi dalam skala besar dengan terjadinya Revolusi Industri di Prancis yang menyebabkan diperlukannya sarana iklan menggunakan poster. Oleh karena itu, poster dicetak dalam jumlah besar. c). Poster Propaganda : Poster propaganda adalah poster yang memiliki tujuan untuk mempersuasi baik individu maupun kelompok dengan kepentingan tertentu. d). Poster Kampanye : Sejak bermunculannya Negara-negara demokrasi yang menyerahkan keputusan mengenai kepemimpinan kepada rakyat, Poster digunakan sebagai alat untuk mencari simpati dari calon pemilih pada pemilihan umum. e). Poster Wanted : Merupakan Poster yang digunakan untuk memuat sayembara dalam upaya menemukan penjahat yang sedang dicari negara. f). Poster Cheesecake : Merupakan jenis Poster yang merupakan konsumsi anakanak muda. G). Poster Film : Poster film berguna untuk mempromosikan 102


sekaligus mempopulerkan filmfilm yang akan ditayangkan. Industry film sangat memamfaatkan poster untuk mempopulerkan film-filmnya. h). Poster Buku Komik : Pada tahun 60-an pupularitas komik dunia telah mencapai puncaknya, hal ini secara langsung juga meningkatkan produksi massal poster-poster komik pada era 70-an ke tas. i). Poster Affirmation : Poster affirmation dibuat dengan tujuan memotivasi khalayak melalui kata-kata yang dimuat dalam poster. Kata-kata motivasi dalam poster affirmation pada umumnya berupa opportunity, leadership, dan sebagainya j). Poster Riset dan Kegiatan Ilmiah : Poster riset dan kegiatan ilmiah adalah jenis poster yang digunakan dikalangan akademisi untuk mempromosikan kegiatan ilmiah yang akan dilakukan. k). Poster di Dalam Kelas : Poster dalam kelas pada awalnya populer di sekolah-sekolah Amerika Utara. l). Poster Pelayanan Masyarakat : Pelayanan masyarakat atau social Campaign merupakan suatu jenis poster yang tidak bersifat komersial, atau tidak diperdagangkan (seperti posterposter Cheesecage, poster film, poster karya seni, dsb), karena poster semacam itu sering dilombakan oleh lembagalembaga pemerintahan maupun LSM. n). Poster Komersial : Merupakan jenis poster iklan yang banyak dilihat dimana saja. Poster jenis ini didesain dan diproduksi sebagai sarana untuk mempromosikan suatu produk

dan diproduksi dengan budget tertentu sesuai anggaran sales promotion. Desain Komunikasi Visual

Desain komunikasi visual adalah ilmu yang mempelajari konsep komunikasi dan ungkapan daya kreatif, yang diaplikasikan dalam pelbagai media komunikasi visual dengan mengolah elemen desain grafis yang terdiri atas gambar (ilustrasi), huruf dan tipografi, warna, komposisi, dan lay-out (Tinarbuko, 2009: 24). Sedangkan Widagdo (1993:31), desain komunikasi visual dalam pengertian modern adalah desain yang dihasilkan dari rasionalitas, dilandasi pengetahuan, bersifar rasional, dan pragmatis (Tinarbuko,2009:23). Komunikasi visual merupakan elemen penting dalam pelestarian kebudayaan dimasyarakat. praktek-praktek kebudayaan tidak lepas dari unsur-unsur visual yang dekat dengan kehidupan lingkungan sosial masyarakat, seperti patung, seni ukir, media cetak, diagram, grafis, film, dan lain sebagainya. Dari semua khasanah visual yang melekat dalam kebudayaan masyarakat berpusat pada kesadaran visual. Komunikasi visual sendiri dimaknai sebagai “...means all the ways that writers and readers interact through the look of pages and screens.� (Hilligoss&Tharon, 2001: 1). Produk visual dalam kebudayaan masyarakat tidak lepas dari tradisi penglihatan (vision) sebagai bagian dari kesadaran masyarakat. Bahkan menurut David Sless (1981: 16) menyatakan bahwa “ideas streamming from the clasical philosophical tradition separate vision from thinking and treat each as discrete processes.� Sedemikian hingga komunikasi visual sesungguhnya memiliki kemandirian tersendiri sebagai sebuah kajian tentang fenomena visual yang ada di sekitar masyarakat. Dalam dunia kreativitas sering terjadi perdebatan, adu argumentasi tentang konsep desain.

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

103


Desainer yang tidak mampu mempertahankan konsep karyanya bisa jadi gugur dan kalah bersaing. Desainnya tidak diterima karena ia tidak bisa meyakinkan orang lain (Supriyono, 2010:53). Pesan visual harus kreatif (asli, luwes, dan lancar), komunikatif, dan efektif sekaligus indah/estetis. Selain rajin praktik mengoperasikan komputer, belajar desain komunikasi visual harus dilandasi pemahaman teori. Selain itu, perbanyak mengamati karya-karya desain diberbagai media untuk menambah pengalaman estetik (aesthetic experience). Tanpa teori, anda akan seperti berjalan dalam kegelapan - tidak tahu arah, melangkah dengan coba-coba. Namun, sebaliknya, teori tanpa dipraktikkan juga useless, lumpuh - mengerti jalan, tetapi tidak dapat mencapai tujuan karena tidak ada tindakan (Supriyono, 2010: 53). Tanda dan Makna

Alam semesta dan dunia yang kita huni ini merupakan sekumpulan atau serangkaian tanda-tanda yang selalu menghiasi setiap kombinasi dari sebuah proses kehidupan. Setiap tanda-tanda yang ada tersebut tentulah tidak terlepas dari makna-makna yang mengiringinya dalam setiap wujud relasinya. Merujuk teorinya Pierce (North, 1995:45) maka tanda-tanda dalam gambar dapat dilihat dari jenis tanda yang digolongkan dalam semiotik. Diantaranya ikon, indeks, dan simbol (Tinarbuko, 2008: 17). Tanda adalah sesuatu yang terdiri pada sesuatu yang lain atau menambah dimensi yang berbeda pada sesuatu, dengan memakai apapun yang dapat dipakai untuk mengartikan sesuatu yang lainnya (Berger, 2010: 1). Menurut Sumbo Tinarbuko dalam bukunya “Semiotika Komunikasi Visual” (2008: 17) ikon, indeks, dan simbol tersebut dijelaskan sebagai berikut : a) Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat pula

b)

c)

dikatakan, tanda yang memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang dimaksudkan. Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang diwakilinya. Atau disebut juga tanda sebagai bukti. Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya.

Denotasi dan Konotasi Dalam semiologi, makna denotasi dan konotasi memegang peranan yang sangat penting jika dibandingkan dengan peranannya dalam ilmu linguistik. Makna denotasi bersifat langsung, dan dapat disebut sebagai gambaran dari suatu petanda. Dengan demikian, jika kita memperhatikan suatu objek, misalnya boneka barbie, maka makna denotasi yang terkandung adalah “ ini boneka yang panjangnya 11½ dan mempunyai ukuran 5 ¼ - 3-4 ¼ .boneka ini kali pertama dibuat tahun 1959”. Sedangkan makna konotatifnya akan sedikit berbeda dan akan dihubungkan dengan kebudayaan yang tersirat didalam pembungkusnya tentang makna yang terkandung didalamnya. Makna tersebut akan dihubungkan dengan kebudayaan Amerika, tentang gambaran yang akan dipancarkan serta akibat yang ditimbulkan, dan lain-lain (Berger, 2010:65). Pemikiran-pemikiran tentang makna dan penafsiran fenomena didudukkan sebagai unsur yang memiliki peran ataupun tanda utama pada proses transformasi budaya. Dalam pemikiran hermeneutik, Paul Ricoeur yang dikenal sebagai seorang filsuf yang memiliki perspektif kefilsafatan, menonjol berkat pemikirannya tentang pemaknaan (semantik). Ricoeur menjelaskan bahwa

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

104


pada hakekatnya semua filsafat itu merupakan interpretasi, dan hidup itu sendiri sebenarnya merupakan interpretasi. Jika terdapat pluralis dalam pemaknaannya, maka dibutuhkan interpretasi, terutama jika simbol-simbol yang dilibatkan begitu banyak sehingga mengandung pemaknaan yang berlapislapis (Sachari, 2007: 40). Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol mengacu pada pendapat Spradley (1997:121) adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur yaitu : (1) simbol itu sendiri ; (2) satu rujukan atau lebih ; (3) hubungan antara simbol dengan rujukan. Semua itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu simbol itu sendiri meliputi apapun yang dapat kita rasakan atau alami (Tinarbuko, 2008: 20). Spradley (1997: 122) menjabarkan makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (makna referensial). Piliang (1998: 24) mengartikan makna denotatif adalah hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas dalam pertandaan tahap denotatif. Misalnya, gambar manusia, binatang, pohon, rumah. Warnanya juga dicat seperti merah, kuning, biru, putih, dan sebagainya. Pada tahapan ini hanya informasi data saja yang disampaikan (Tinarbuko, 2008: 23). Konotasi, yakni proses penyelusupan atau pelapisan makna kedua keatas pesan fotografis, terjadi pada beberapa tahap berbeda yang merupakan bagian dari proses panjang produksi foto (pemilahan, tindakan teknis, framing, layout) dan memperlihatkan, pada akhirnya, suatu proses pengkodean (coding) analog fotografis (Barthes, 2010: 6). Pada akhirnya makna konotatif dari beberapa tanda akan menjadi semacam mitos atau petunjuk mitos (yang menekankan maknamakna tersebut) sehingga dalam banyak hal (makna) konotasi menjadi perwujudan mitos yang sangat berpengaruh. Masalah

ini dibahas dalam Language and Materialism: Development in Semiology and The Theory of the Subject, karya Rosalind Coward dan John Ellis. (Berger, 2010 : 65). Sebagian proses semiologi menjadi kegiatan untuk menguraikan mitos tersebut dari makna denotatif yang terkandung di dalamnya, dimana yang sebagian darinya oleh Barthes disebut sebagai “mitologi” (Berger, 2010 : 66). Semiotika Charles Sanders Peirce Bagi Charles Sander Pierce tanda ”is something which stand to somebody for something in some resfect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa.berfungsi , oleh Pierce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau represntamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan ligisign. Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Dan berdasarkan interpretantnya dibagi atas rheme, dicent sign atau decisign dan argument Menurut Alex Sobur (2001: 97) teori dari Peirce seringkali disebut sebagai “grand theory” dalam semiotika. Mengapa begitu? Ini lebih disebabkan karena gagasan Peirce bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Peirce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal (Wibowo,2013:17). Sebuah tanda atau representamen (representament), menurut Charles Sanders Peirce (1986:5&6), adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu dinamakan sebagai interpretan (interpretant) dari tanda yang pertama pada gilirannya mengacu pada objek (object). Dengan

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

105


demikian, sebuah tanda atau representamen memiliki relasi triadik langsung dengan interpretan dan objeknya. Apa yang disebut sebagai proses semiosis merupakan suatu proses yang memadukan entitas yang disebut sebagai representamen tadi dengan entitas lain yang disebut sebagai objek. Proses semiosis ini pula di sebut sebagai signifikasi (signification) (Budiman, 2011: 17). Jadi bisa kita katakan, Peirce dalam teorinya menggunakan teori segitiga makna (triangle meaning), yang terdiri atas sign (tanda), object (objek) dan interpretant (interpretan). Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka munculah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Tanda terdapat di mana-mana; kata adalah tanda, demikian pula isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Dengan kata lain, segala sesuatu dapat menjadi tanda. Pemikiran Peirce tentang relasi antara representamen, objek, dan interpretan bisa dijelaskan melalui bagan segitiga makna pada gambar berikut Segitiga Elemen Makna Peirce sign

Intepretant

Object Gambar 4.1

Sumber: Jhon Fiske, Introduction to Communication Studies, Second edition, Methuen & Co. LTD, London, 1990, hal 42.

Tanda dalam pandangan Peirce, adalah sesuatu interpretasi (semiosis) yang mengalir. Pada dasarnya semiosis dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang dapat diberikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antar lima istilah: S adalah untuk semiotic relation

(hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i untuk interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh (misalnya, suatu disposisi dalam i akan bereaksi dengan cara tertentu terhadap r pada kondisikondisi tertentu c karena s); r untuk reference (rujukan); dan c untuk context (konteks) atau conditions (kondisi) (Sobur, 2006: 17). METODE PENELITIAN Objek kajian dalam penelitian ini adalah poster film 99 Cahaya di Langit Eropa. Dengan demikian, maka objek kajian tersebut akan dianalisis mengambil gambar dari poster film tersebut. Kemudian gambar tersebut akan uraikan satu persatu menurut jati dirinya masingmasing, sehingga nantinya dapat diketahui nantinya seperti apa karakteristik dan makna dari setiap gambar/tampilan visualisasi yang ada. Subjek kajian dalam penelitian ini adalah karakteristik visual yang melekat dari tampilan poster film dengan nuansa religius, dalam hal ini adalah film 99 Cahaya di Langit Eropa. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Menurut Guba, paradigma adalah “...Seperangkat kepercayaan dasar yang menjadi prinsip utama...pandangan tentang dunia yang menjelaskan pada penganutnya tentang dunia...� (Wibowo, 2013: 165). Menurut LittleJohn, (2002: 163), paradigma konstruktivis berbasis pada pemikiran umum tentang teori-teori yang dihasilkan oleh peneliti dan teoritisi aliran konstruktivis. Little Jhon mengatakan bahwa teori-teori aliran konstruktivis ini berlandaskan pada ide bahwa realitas bukanlah bentukan yang objektif, tetapi dikonstruksi melalui proses interaksi dalam kelompok, masyarakat, dan budaya (Wibowo, 2013: 165). Dalam penelitian ini paradigma merupakan kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir penulis, sebagai titik tolak cara pandang kita sehingga akan membentuk citra subjektif mengenai realita dalam hal ini tampilan visualisasi

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

106


pada sebuah poster film 99 Cahaya di Langit Eropa, yang akhirnya penulis menentukan bagaimana cara menganalisis tampilan visualisasi yang melekat pada sebuah poster,yang nantinya akan dengan menggunakan pisau analisis Semiotika Charles Sander Pierce. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian yang bersifat interpretif. Penelitian kualitatif (qualitative research) adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedurprosedur statistik atau dengan cara kuantifikasi lainnya (Sudikin, 2002: 1). Metode semiotika yang digunakan dalam berbagai penelitian, termasuk penelitian desain, mempunyai berbagai model analisisnya yang spesifik, sesuai dengan karakter objek (desain) yang akan diteliti (Piliang, 2010: 312). Menurut Krisyantono dengan mengutip Christomy dalam bukunya “Teknik Praktis Riset Komunikasi� (2006: 269), secara umum ada sejumlah tahapan riset dalam semiotika. Analisis semiotika Charles.Sander yang dapat digunakan untuk mengetahui kontruksi karakteristik desain visual dan makna dalam sebuah tanda pada sebuah produk komunikasi visual yang berbentuk poster. HASIL PENELITIAN Dalam penelitian ini, peneliti melakukan analisis karakter desain yang

dipadukan dengan analisis semiotik terhadap tanda-tanda dalam poster dengan menggunakan konsep yang telah ditetapkan sebelumnya. Poster yang dianalisis dalam penelitian ini adalah poster film 99 Cahaya di Langit Eropa. Poster bisa dibilang merupakan satusatunya cara utama yang wajib dibuat oleh sebuah rumah produksi untuk memperkenalkan film yang akan dirilisnya ke khalayak. Oleh sebab itu, profile poster yang akan diluncurkan ke khalayakpun tidaklah asal-asalan. Sebuah poster yang baik dan bagus haruslah mempunyai ciri khas tertentu yang mampu mewakili seluruh pesan yang akan disampaikannya ke benak konsumen dengan menciptakan efek yang menggugah. Nah, efek yang menggugah tersebut haruslah dipadukan atau diimplementasikan juga dalam sebuah cara promosi yang jitu dan efektif, sehingga nantinya diharapkan film yang akan diluncurkan menuai panen kesuksesan besar bagi khalayak pencintanya. Pada penelitian ini, identifikasi tanda dilakukan dengan mengadaptasi jenis-jenis tanda berdasarkan hubungan obyek dengan tanda yang di kemukakan oleh Peirce. Pada poster film 99 Cahaya di Langit Eropa, dapat kita identifikasi jenis tanda dan struktur teks sebagai unit analisis yang diteliti. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar poster dan tabel berikut ini.

Poster Film 99 Cahaya di Langit Eropa

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

107


L A F

D G

J

E

B H M C I

N K

Tabel 6.1 Identifikasi Tanda Teks Poster Film Jeni s Penjelas Unit Analisa Tan an da Tanda  Gambar berhubun pemain (A) gan  Gambar dengan Bangunan objek (menara) karena dengan ciri Ikon adanya khas (B) kemiripa  Warna latar n. belakang Contoh, (C) potret, peta, dan lainya. Adanya  Warna Inde kedekata identitas ks n Poster (D) keberada  Gambar Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

an antara tanda dengan objek atau hubungan sebab akibat. Contoh, adanya asap menanda kan adanya api

  

Menara Eifel (E) Gambar Pemain (besar) (F) Gambar Pemain (kecil) (G) Gambar Masjid (Arsitektur Turki) (H) Gambar sekelompok Orang dengan sebuah meja belajar. (I) Kerudung/J ilbab dan kebaya lengan panjang (J) Latar 108


Sim bol

Hubunga n ini biasanya bersifat konvensi onal, artinya adanya persetuju an tertentu para pemakai tanda. Contonya adalah basaha, bendera , angka tertentu.

   

Belakang (K) Teks slogan (L) Teks Headline (M) Teks lainnya (N) Teks ayat alQur’an (O)

Film 99 Cahaya di Langit Eropa merupakan sebuah film yang diangkat dari sebuah karya novel. Film ini sebenarnya merupakan secuil kisah nyata tentang perjalanan seorang warga negara Indonesia ke tanah Eropa. Dimana dalam kisahnya merasa tabjub akan peninggalan sejarah Islam di Tanah Eropa. Dari hasil pengamatan yang peneliti lakukan pada poster film 99 Cahaya di Langit Eropa, setidaknya ditemukan sebanyak tiga tanda yang dikategorikan sebagai ikon, delapan buah tanda dikategorikan sebagai indeks dan empat tanda sebagai simbol. Perpaduan tanda ikon, indeks dan simbol dalam poster film tersebut didesain sedemikian rupa oleh desainer dari pihak rumah produksi untuk diinformasikan kepada khalayak agar kesan dan makna poster tersebut bisa tertangkap dengan sempurna dibenak konsumen pecinta film di Tanah Air. Berikut ini analisis dan interpretasi dari tanda-tanda dalam poster film 99 Cahaya di Langit Eropa tersebut. a. Makna Tanda Ikon

Tanda pada ikon (A) terdapat tanda visual gambar orang. Berdasarkan hubungan tanda dengan objek pada tanda tipe ikon, maka tanda dan objek yang dirujuk itu pada hakekatnya sama yaitu sama-sama rerpretasinya (interpretant) disini jelas mengacu pada orang-orang yang berperan sebagai pemain yang melakoni sebuah film. Ini merupakan manifestasi suatu sifat khas pengambilan peran dalam sebuah film yang kerap menjadi pusat perhatian para pecinta film yang pada realitas dimasyarakat adalah sebagai “pemukau” atau daya tarik tersendiri yang memberikan kontribusi utama terhadap kesuksesan sebuah film. Para sutradara sering mengungkapkan, bahwa terdapat juga ketergantungan daya tarik terhadap pemilihan tokoh pemeran dalam film secara umum, yang akan membuat film tersebut akan dicintai oleh masyarakat penggemarnya. Tanda ikon (B) dalam poster film ini, terdapat visualisasi dua buah bangunan yaitu berupa Masjid dan sebuah bangunan menara. Berdasarkan hubungan tanda dan objek pada tanda tipe ikon ini, maka tanda dan objek yang dirujuk itu sama yaitu gambar bangunan masjid dan gambar menara Eifeel. Keberadaan gambar bangunan ini didalam poster sebagai tanda yang memperkuat gambaran negeri Eropa sebagai sebuah elemen visual. Sebuah bangunan biasanya bisa mempertegas imaji kita tentang gambaran sebuah tempat yang interpretannya mencakup ciri-ciri fisik dari bangunan itu sendiri sebagai sebuah ikon tempat atau lokasi di muka bumi ini. Menara Eifeel menandakan negara Perancis, sedangkan Masjid dengan banyaknya kubah dan menara yang ramping dan tinggi menandakan ciri khas Masjid-Masjid di wilayah Turki, yang berarti menunjukkan lokasi negara Turki.. Keberadaan kedua gambar tersebut pada poster merupakan suatu representasi tentang kisah sejarah Islam yang terdapat di Negara-negara Eropa. Maka interpretant yang terbentuk yaitu adanya suatu pendekatan bahwa poster film ini mencoba

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

109


menginformasikan pada pecinta film religius bahwa banyak terdapat bukti-bukti sejarah akan kebesaran dan kejayaan Islam dimasa lampau di negara tersebut. Tanda ikon (C) merupakan latar belakang dari elemen poster film 99 Cahaya di Langit Eropa. Berdasarkan hubungan tanda dan objek pada tipe ikon, maka tanda dan objek yang dirujuk disini adalah sama-sama warna yang ada pada latar belakang poster film ini. Disini bisa lihat secara garis besar latar belakang bingkai poster ini adalah hitam. Dalam poster film ini bisa dilihat warna putih, dan kuning keemasan sebagai background dari semua gambar visual yang menempatkan semua tampilan ikon lainnya didepan dari warna tersebut. Interpretannya jelas menunjukkan ruang yang sangat kontras dalam poster agar terlihat menarik dan menonjol. b. Makna Tanda Indeks Pada tanda indeks (D) berupa warna idenditas poster secara garis besar hanya terdiri dari dua warna saja yaitu hitam sebagai bingkai poster dan putih kuning keemasan sebagai warna ikon poster. Secara indeksial warna ini mengacu pada keberadaan karakter desain poster tersebut dan juga sifat umum atau arti umum penggunaan warna ini. Perpaduan warna hitam dan putih yang dinaungi oleh kuning keemasan disini jelas bisa diinterpretasikan pada tujuan kekontrasan sebuah poster agar terlihat sangat menarik dan mencolok. Selain indeksial warna ini mengacu pada hal penciptaan kekontrasan poster, hal tersebut juga mengacu pada sifat atau arti umum yang terkandung dalam pesan poster ini yaitu berupa adanya cahaya di langit Eropa. Tentu arti dan makna cahaya disini bukan menunjukkan warna cahaya yang sesungguhnya ada di Langit Eropa tersebut seperti yang terlihat pada gambar poster, akan tetapi pemilihan warna tersebut hanyalah merupakan kiasan saja terhadap tema yang diusung dalam film ini yang memang menceritakan tentang suatu

masa keemasan dari dunia Islam pada dahulunya di Tanah Eropa. Tanda indeks (E) berupa gambar menara Eifeel secara indeksial jelas mengarah pada negara Perancis sebagai sebuah objek yang konseptual yang berfungsi menunjukkan suatu keberadaan. Jadi berdasarkan hubungan tanda dan objek pada indeks, maka yang menjadi tanda disini adalah gambar menara Eifeel dan objeknya adalah posisi dari tanda menara Eifeel tersebut. Interpretan yang terbentuk disini, jika merujuk pada tema atau judul film, jelas mengarah pada kejayaan Kerajaan atau kekhalifahan Islam yang pernah menguasai hampir seluruh Eropa khususnya negara Perancis. Kemudian lagi secara interpretan menara Eifeel bukan saja menggambarkan tentang Negara Perancis, namun sudah menjadi semacam simbol negeri Eropa karena menara Eifeel merupakan salah satu bangunan yang termasuk keajaiban dunia. Tanda indeks (F) dan (G) merupakan gambar ikon yang menandakan para pemain atau pemeran dalam sebuah film. Gambar orang yang dibuat lebih besar dari yang lainnya dalam sebuah poster film bisa diinterpretasikan sebagai pemeran utama dalam sebuah film. Begitu juga sebaliknya, gambar orang yang dibuat semakin kecil berarti menunjukkan peran yang diambil oleh orang tersebut juga semakin sedikit atau kecil. Dalam arti lain hal itu juga berarti itu bisa diinterpretasikan kalau orang tersebut bukanlah pemeran utamanya. Tanda indeks (H) merupakan gambar bangunan Masjid dengan menaranya. Berdasarkan hubungan tanda dan objek pada tanda indeks, maka yang dirujuk menjadi tanda disini adalah gambar bangunan masjid. Sedangkan yang menjadi objek disini adalah model arsitektur bangunan. Secara indeksial tanda disini mengacu pada keberadaan bentuk arsitektur suatu ciri khas bangunan tertentu pada suatu negara. Interpretant yang terbentuk disini adalah pengakuan

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

110


eksistensi hasil karya suatu bangsa atau hasil cipta suatu kebudayaan. Dan bangunan Masjid dengan banyak kubah yang bertingkat-tingkat serta dengan kombinasi menara yang banyak dengan bentuk yang ramping dan tinggi-tinggi, itu menandakan tentang suatu kebudayaan atau masyarakat yaitu bangsa Turki. Merujuk pada judul dalam film ini, maka pengambilan Masjid dengan arsitektur Turki bisa diinterpretasikan dengan kerajaan Islam terbesar dimuka bumi yang pernah ada, yang mana wilayah kekuasaannya sampai ke daratan Eropa pada masanya dan bertahan ratusan tahun di daratan Eropa tersebut sebelum akhirnya hancur terkikis oleh perjalanan waktu. Sebagai catatan yang perlu diperhatikan, ketika Qurtubah atau Kordoba di bawah Khalifah Abdurrahman III, 300-350 H atau 912-960 M, mengalami kemajuan yang luar biasa dibidang pertanian, industri, perdagangan, seni dan ilmu. Penduduknya pada waktu itu setengah juta, dengan 13.000 rumah dan 300 Masjid. (Suryanegara, 2009: 64). Tanda indeks (I) merupakan gambar beberapa orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hubungan tanda dan objek pada tipe indeks, maka yang dirujuk menjadi tanda disini adalah gambar sekelompok orang dengan sebuah meja belajar. Sedangkan yang menjadi objek disini adalah figur pelajar. Secara indeksial gambar beberapa orang yang terlihat seperti sedang berdiskusi atau berinteraksi di sebuah meja mengacu pada konsep berupa proses belajar. Interpretantnya adalah adanya kewajiban bagi umat manusia untuk menuntut ilmu tanpa harus membedakan jenis kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Dalam gambar terlihat mereka sepertinya diibaratkan berada dalam suatu ruangan belajar yang mana itu di tandai dengan sebuah meja didepan mereka. Dan tampak gambar mencitrakan visualisasi muslim yang sedang belajar.

Merujuk pada tema dalam film ini, maka gambar beberapa orang yang tampak sedang belajar tersebut, secara konotasi bisa diinterpretasikan sebagai kemajuan dunia pendidikan Islam di Eropa pada zaman atau masanya yaitu pada masa Khilafah Umayah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Jadi dengan kata lain, kemajuan ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan di tanah Eropa tersebut pada mulanya dimulai atau dibawa oleh kekhalifahan Islam pada waktu itu. Kemudian lagi pada poster kita lihat gambar bangunan Masjid dibuat lebih rendah posisinya jika dibandingkan dengan gambar bangunan menara Eifeel. Tanda indek (J) merupakan jilbab dan pakaian kebaya lengan panjang yang dikenakan oleh perempuan. Berdasarkan hubungan antara tanda dan objek pada tanda tipe indeks, maka yang dirujuk menjadi objek disini adalah gambar pakaian jilbab dan kebaya lengan panjang yang dikenakan perempuan. Sedangkan yang menjadi objek disini adalah keharusan menutup aurat. Secara indeksial gambar jilbab dan kebaya lengan panjang pada poster ini mengacu pada konsep busana ciri khas kaum hawa dalam Islam. Interpretannya adalah bentuk kepatuhan seorang hamba wanita dalam Islam terhadap perintah atau aturan Allah untuk menutup auratnya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa batas aurat seorang wanita yang di perintahkan dalam Islam itu adalah seluruh anggota tubunya kecuali muka dan telapak tangan. Tanda indeks (K) merupakan latar belakang warna dalam poster film 99 Cahaya di Langit Eropa. Berdasarkan hubungan tanda dan objek pada tanda tipe indeks, maka yang dirujuk menjadi tanda disini adalah latar belakang/background visual (hitam, putih, dan kuning keemasan). Sedangkan yang merupakan objek disini adalah jenis warna-nya yang di gunakan tersebut. Secara indeksial warna-warna ini mengacu pada keberadaan kombinasi tema

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

111


pesan film yang diusung dengan desain karakter kekontrasan dalam bingkai sebuah poster film. Interpretant yang terbentuk adalah sebagai berikut : hitam menunjukkan bahwa Islam itu adalah agama yang agung, suci, damai, dan jujur. Kuning keemasan menunjukkan bahwa Islam penuh dengan optimisme, harapan dan keagungan. Putih menunjukkan bahwa agama Islam itu merupakan agama yang suci, bersih, jujur, dan penuh dengan kebahagian. Dalam poster bisa dilihat untuk pemilihan warna adalah hitam, putih dan kuning keemasan dan tidak ada warna yang lain. Tidak terlalu banyaknya penggunaan warna dalam poster ini tentu bukan tanpa alasan. Merujuk kepada psikologi warna, tentulah pemilihan warna hitam dan putih serta kuning emas dalam poster film ini tentu dengan alasan yang sangat kuat. Dari sini penulis melihat, selain menciptakan unsur kontras yang menarik dan mencolok, desainer memilih warna tersebut sebagai komponen utama poster dikarenakan film ini mengusung tema tentang hal-hal yang bertemakan keagamaan, dalam hal ini khususnya tentang sejarah kejayaan kerajaan Islam. Dalam Islam warna hitam dan putih sudah sesuatu yang tidak asing lagi dalam ritual ibadah, terutama ibadah haji. Dalam ibadah haji warna hitam bisa kita jumpai ketika melihat bangunan ka’bah yang berselimutkan kiswah hitam dengan beberapa motif putih dan kuning emas juga. Sedangkan putih merupakan warna pakaian orang yang melaksanakan ibadah haji.

simbol-simbol partai politik, jika kita melihat sekelompok orang dengan memakai pakaian serba kuning dengan logo pohon beringin maka bisa diinterpretasikan kalau mereka adalah orang partai golkar. Tanda simbol (L) merupakan teks slogan yang digunakan dalam poster film 99 Cahaya di Langit Eropa. Berdasarkan hubungan tanda dan objek pada tanda tipe simbol, maka yang dirujuk menjadi tanda disini adalah “Sebuah Film Fenomenal Yang Diangkat Dari Novel Laris”, “Mengungkap Rahasia Islam Di Benua Eropa”. Sedangkan yang menjadi objek disini adalah arti tiap-tiap kata pada kamus dalam acuan nyata. Interpretant yang terbentuk disini yaitu menunjukkan adanya superioritas produk, dalam hal ini adalah film yang bersangkutan. Sebagai sebuah tanda simbol, slogan tersebut sengaja ditulis dibagian atas sekali dari poster. Slogan biasanya dibuat dengan menggunakan kata-kata yang menarik dan mencerminkan suatu superioritas produk. Dalam poster ini, hal itu dibuktikan dengan slogan yang bertuliskan “Sebuah Film Fenomenal Yang Diangkat Dari Novel Laris”. Dari katakata slogan tersebut, secara konotasi, interpretasi yang diciptakan disini seolaholah ingin mengatakan kepada khalayak seperti ini, “ayo semuanya, mari saksikan film ini beramai-ramai, jangan sampai Anda tidak menontonnya atau melewatkannya, karena film ini diangkat dari novel terlaris”.

c. Makna Tanda Simbol Sebagaimana kita ketahui bahwa simbol merupakan salah satu cara yang paling efektif dan efisien dalam dunia komunikasi visual terkait tentang tanda. Simbol biasanya dibuat oleh manusia untuk memudahkan mereka dalam mengingat sesuatu ataupun memudahkan manusia dalam membentuk citra dirinya dalam kehidupan sosial. Contonya,

Pembahasan Tanda Ikon Dalam penelitian ini, dari hasil analisis tanda pada poster film 99 Cahaya di Langit Eropa, penulis menemukan terdapat tiga tanda yang bersifat ikon. Dari kelompok tanda ini, desain visual dengan karakteristik penggunaan atau pemilihan warna disesuaikan dengan pemilihan gambar bangunan dengan gaya arsitektur tertentu yang berkaitan dengan kemajuan

PEMBAHASAN

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

112


dan kejayaan Islam di negeri Eropa. Dari ke tiga tanda ikon tersebut, yang sangat gamblang memvisualisasikan pesan yang ingin disampaikan pada khalayak adalah keberadaan gambar bangunannya yaitu menara Eifeel dan Masjid dengan arsitektur tertentu dengan kubah yang banyak dan bertingkat-tingkat dengan memiliki banyak menara yang tinggi dan langsing, serta pemilihan warna latar hitam, putih, dan kuning keemasan. Gambar Masjid dihadirkan secara bersama dengan menara Eifeel dalam poster ini mencerminkan suatu tempat yaitu Turki dan Perancis sebagai bentuk adanya hubungan yang sangat erat antara ke dua wilayah atau negara tempat bangunan tersebut berada. Hubungan tersebut sudah pasti pada hal yang bersifat historis maupun dalam masa sekarang ini tentang keberadaan dunia Islam itu sendiri yang pernah jaya di tanah Eropa. Hal itu terlihat dari tampilan karakter desain visual pemilihan warna hitam sebagai bingkai poster, putih dan kuning keemasan sebagai warna latar yang berasosiasi sebagai gambar warna langit di poster tersebut. Adanya makna oposisi biner pada realitas simbolis ternyata hanya terjadi pada gambar bangunan Masjid dan menara Eifeel secara tersendiri dan warna cahaya langit putih yang dilingkupi kuning keemasan. Akan tetapi secara keseluruhan, jika melihat hubungan antara tanda dengan teks, ternyata makna-makna yang mungkin terjadi antara gambar bangunan dan seluruh tanda dalam lingkup ikonik mengarah pada karakter desain visual yang bersifat historis atau sejarah Islam di masa lalu. Pemilihan desain visual gambar sebenarnya merupakan bentuk representasi image dari positioning pesan. Dengan demikian terjadi dinamika internal seperti yang diungkapkan oleh Peirce bahwa interpretant bisa menjadi tanda baru bagi sistem pemaknaan lain dalam rantai semiosis. Dengan kata lain, karakteristik desain visual digunakan sebagai

positioning dari pesan. Tampilan-tampilan visual tersurat dan tersirat disini mengacu pada tampilan-tampilan rasional yang mengetengahkan pengetahuanpengetahuan yang bersifat historis dari ke dua negara atau wilayah yang menceritakan tentang dunia Islam dalam konstruksi positioning pesan pada tandatanda poster. Pembahasan Tanda Indeks Dari penelitian ini, ditemukan sebanyak delapan tanda indeks. Karakteristik desain visual pada poster dalam kelompok tanda ini banyak berhubungan dengan pemilihan warna pada identitas dan latar belakang poster dengan dipadukan pada gambar bangunan yang dipilih yang mencerminkan faktor arsitektur tertentu terhadap masjid sebagai rumah ibadah umat Islam serta menara Eifeel sebagai hal yang menunjukkan wilayah tertentu yaitu Perancis sekaligus mewakili Eropa. Desain visual warna hitam, putih dan kuning keemasan serta pemilihan masjid bergaya arsitektur Turki dan menara Eifeel menurut penulis mengarah pada beberapa interpretant tertentu, yaitu : a) Bahwa pesan pada poster bisa diolah oleh desainer poster berdasarkan tema atau judul dari film yang akan diproduksi. Dengan demikian karakteristik visual yang dimunculkan akan memberikan provokasi tertentu serta kemudahan bagi khalayak untuk menyerap dan mengetahui lebih dalam tentang daya tarik tampilan visual sebuah poster. b) Pemilihan warna hitam bingkai poster menunjukkan bahwa poster tersebut sangat indah dan elegan dan sangat sesuai dengan karakteristik religius agama Islam yang memang merupakan agama yang elegan dan indah. Tanda-tanda lain yang merepresentasikan juga karakteristik desain visual religius tentang Islam sebagai bentuk positioning pesan dalam poster dimana pesan visual ini menunjukkan sifat utama ajaran dalam

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

113


Islam yaitu meng-esakan Tuhan, menuntut ilmu, menutup aurat, beribadah, serta mengamalkan Kitab suci Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Tampilan-tampilan karakteristik desain visual yang bersifat emosional mengarah pada bangunan rumah ibadah umat Islam yaitu Masjid sebagai tempat melakuakan ritual ibadah berjamaah dalam menjalin dan mengikat tali persaudaraan sesama muslim, memperkokoh persatuan dan kesatuan umat Islam, dan tempat melakukan tafakur pada Allah Tuhan semesta alam. Pembahasan Tanda Simbol Dari hasil analisis dalam penelitian ini, ditemukan empat buah tanda tipe simbol. Pada tanda-tanda tipe ini, interpretant lebih banyak mengarah pada tampilan visual berupa karakteristik terhadap pemilihan tipografi dan bagaimana penataan desainnya akan disusun dan ditampilkan dalam pembuatan sebuah poster, sehingga nantinya akan terlihat indah, elegan, menarik, kontras, menggugah, memprovokasi dan sebagainya. Tetapi sungguhpun demikian, justru penekanannya terletak pada headline atau judul dalam bingkai sebuah poster yang bersifat dogmatik. Dalam hal ini, penekanan tentang masa kejayaan Islam di tanah Eropa tersebut tertuang dalam bentuk headline slogan pada juduknya yang menggunakan angka “99” sebagai bagian kata-kata dalam kalimat headline tersebut. Angka 99 sebenarnya adalah angka yang bersifat dogmatik dan tidak asing bagi umat muslim dimanapun berada karena angka 99 merupakan nama Allah secara keseluruhan yang ada dalam Al Qur’an. Dengan judul “99 Cahaya di Langit Eropa”, poster film ini merepresentasikan pengetahuan tentang Islam secara keseluruhan yang tertuang dalam praktik kehidupan sehari-hari. Sehingga dengan demikian judul tersebut bisa dikatakan merepresentasikan Cahaya

Ilahi (Allah) yang pernah terpancar di bumi Eropa dahulunya dan mengalami masa kejayaan yang luar biasa dan bertahan cukup lama. Simbol lainnya berupa teks slogan, teks tambahan dan teks ayat suci Al Qur’an merupakan pendukung terhadap tema dan judul film yang diusung, sehingga kesan dan pendukung daya tarik dari sisi produser, pemain dan sumber cerita film tersebut. Dari ulasan seluruh tanda-tanda yang ada pada poster film 99 Cahaya di langit Eropa, baik itu berupa ikon, indek, dan simbol, dapat diintepretasikan bahwa terdapat satu garis besar tema, yakni kemajuan kehidupan Islam, lebih tepatnya kejayaan kerajaan Islam di tanah Eropa. Kejayaan Islam tersebut merupakan hal yang tidak mungkin untuk diamati secara langsung. Oleh karena itu, kehadiran poster film 99 Cahaya di langit Eropa dengan secuil pesan simboliknya, memberikan gambaran umum pada audiens dalam membayangkan dalam benak khalayak tentang sisa-sisa kejayaan kehidupan Islam. Hal tersebut, dengan realitas modern saat ini tampak tertuang dalam beragam bukti-bukti peninggalan kebesaran dalam sejarahnya melalui film 99 Cahaya di Langit Eropa ini yang ditonton oleh masyarakat. KESIMPULAN Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik desain dan makna yang terbentuk dari tanda-tanda yang dikonstruksi dalam pembuatan sebuah poster film di era teknologi yang serba modern sekarang ini, dalam ranah kajian komunikasi visual. Poster film yang menjadi bahan kajian disini adalah poster film yang bertemakan religius, dalam hal ini adalah poster film 99 Cahaya di Langit Eropa. Setelah sebuah poster siap untuk diluncurkan ke khalayak, biasanya jauhjauh hari rumah produksi telah memiliki semacam kajian terhadap rencana bagaimana supaya poster tersebut

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

114


mendapat tempat dihati masyarakat pecinta film. Caranya tak lain dan tak bukan adalah mempromosikan poster tersebut secara masif agar pesan dan citra yang diharapkan sampai kekonsumen dengan efektif. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan beberapa poin sebagai berikut: 1) Seorang desainer poster film harus mempunyai pengetahuan dan wawasan yang mumpuni terhadap poster yang akan dibuatnya. Hal tersebut tidak lain dan tidak bukan akan sangat berguna dan membantu sekali bagi pendesainer tersebut untuk mengalirkan pesan yang akan disampaikan pada khalayak dengan efektif. Tujuannya jelas, kalau wawasan tersebut akan sangat menentukan citra tampilan komunikasi visual yang memang dituntut oleh produser film harus sesuai dengan tema ataupun judul yang di usung dalam sebuah pembuatan film, dalam hal ini tentunya film yang bertemakan religius. Pengetahuan tersebut pada akhirnya akan membantu seorang desainer dalam menentukan pemilihan tandatanda yang akan ditampilkan dan disusun secara terpadu dan seimbang sehingga citra tampilan visual yang dilihat oleh khalayak berasa dalam benak mereka dan dapat dimengerti dengan mudah. 2) Ditemukannya pada poster film 99 Cahaya di Langit Eropa tentang pentingnya peranan karakteristik desain dalam bidang komunikasi visual dalam merangkai dan menghasilkan makna pada tanda-tanda yang dikomunikasikan. Adapun

karakteristik desain yang sangat diperhatikan dalam masalah ini adalah masalah pemilihan warna dan tipografi huruf dalam sebuah poster film. Pemilihan warna dan tipografi huruf dalam sebuah poster film bukanlah asal-asalan dalam arti sesukanya berdasarkan minat atau keinginan seorang desainer saja.

DAFTAR PUSTAKA - Budiman, Kris, Semiotika Visual Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas. Yogyakarta: Jalasutra, 2011 - Berger, Arthur Asa, Pengantar Semiotika : Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Terjemahan M.Dwi Marianto. Edisi Baru. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana, 2010 - Burton, Graeme, Membincangkan Televisi. Terjemahan Laily Rahmawati. Yogyakarta & Bandung : JalaSutra, 2007. - Bungin Burhan , Sosiologi Komunikasi , Kencana Prenada Media Group, 2011 - Berger L Peter dan Luckman Thomas , The social Contruktion of Reality, Anchor Books , New York, 1967. - Cobley, Paul dan Litza Jansz, Mengenal Semiotika For Beginner. Bandung: Mizan, 2002. - Danesi, Marcel, Pengantar Memahami Semiotika Media. Terjemahan A. Gunawan Admiranto. Yogyakarta : Jalasutra, 2010 - Fiske, John, Cultural and communication studies: Sebuah pengantar paling komprehensif. Terjemahan Y. Iriantara & I. S. Ibrahim. .Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra, 2007

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

115


- Hartley, John, Communication, Cultural, and Media Studies : Konsep Kunci. Yogyakarta : Jalasutra, 2009. - Hilligoss, Susan & Tharon, Howard, Visual Communication: A Writers Guide. Second Edition. New York : Longman Publisher, 2002. - Kriyantono, Rachmat, Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup, 2006 - Kusrianto, Adi, Pengantar Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta : CV. Andi Offset, 2007. - Piliang, Yasraf Amir, Semiotika dan Hipersemiotika, Kode, Gaya & Matinya Makna. Cetakan ke Empat. Bandung : Pustaka Matahari, 2012. - Sachari, Agus, Budaya Visual Indonesia. Jakarta : Erlangga, 2007. - Sless, David, Learning and Visual Communication. New York : Halsted Press, 1981. - Sobur, Alex, Semiotika Komunikasi, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2003. Semiotika Komunikasi, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2004. Semiotika Komunikasi, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2006 Semiotika Komunikasi, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2009 - Sudikin, Basrowi, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya : Penerbit Insan Cendikia, 2002. - Sumarno, Marselli, Dasar-Dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT. Gramedia, 1996. - Suryanegara, Ahmad, Mansur, Api Sejarah : Buku Yang Akan Mengubah Drastis Pandangan Anda Tentang Sejarah Indonesia. Bandung : PT. Salamadani Pustaka Semesta, 2009

- Sutrisno, Widyatmoko, Koskow, Irama Visual : Dari Toekang Reklame Sampai Komunikator Visual. Yogyakarta : Jalasutra, 2006 - Short, L. L, Peirce’s Theory of Signs. New York: Cambridge University Press, 2007. - Tinarbuko, Sumbo, Semiotika Komunikasi Visual, Jalasutra. Yogyakarta, 2008 - _______________ Semiotika Komunikasi Visual. Jalasutra. Yogyakarta, 2012 - Wibowo, Indiwan. Seto. Wahyu, Semiotika Komunikasi : Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi komunikasi. Jakarta : Penerbit Mitra Wacana Media, 2013. - Widyatama, Rendra, Teknil Menulis Naskah Iklan. Yogyakarta : Cakrawala, 2011

Journal Communication Volume 5, Nomor 2 Oktober 2014

116


Biografi Penulis Dedy Djamaluddin Malik, lahir di Bandung, 25 Desember 1957. Ia adalah Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom-Bandung). Pernah menjadi anggota DPR 2004-2009. Alumni Fikom Unpad 1983, menyelesaikan S2 di Pascasarjana Unpad 1992. Sekarang tengah menyelesaikan program S3 di Usahid, Jakarta. Dalam organisasi profesi, ia pernah menjadi pengurus ISKI Pusat sekaligus Pemred Jurnal ISKI Pusat (1994-1996). Pernah juga menjadi anggota AMIC Singapore, International Communication Association (ICA ), Amerika. Pernah mengajar di Fikom Unapd, Unpar, Unpas, UIN Sunan Gunung Jati Bandung, dan Uninus. Sejak mahasiswa, aktif di berbagai organisasi intra kampus di BPM dan Dewan Mahasiswa. Pada 1980-82 pernah menjabat sebagai Ketua Senat Fikom Unpad. Di ekstra kampus aktif di IPMI dan HMI. Sejak mahasiswa hingga sekarang, masih aktif menulis artikel dan kolom di media lokal dan nasional. Buku yang pernah diterbitkan antara lain Hegemoni Budaya (1992) bersama Yudi Latif, Komunikasi Internasional bersama Jalaluddin Rakhmat dan Zaman Baru Islam (1997) bersama Idi Subandi Ibrahim. Renata Pertiwi Isadi, lahir di Samarinda (Kalimantan Timur) 10 November 1991. Menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Mempunyai minat yang besar terhadap kajian Japanese Culture, sinema, dan manajemen media. Sumekar Tanjung, lahir di Yogyakarta tanggal 14 Juli 1987. Menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan pendidikan S2 Ilmu Komunikasi dan Media di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Mempunyai minat yang besar pada kajian jurnalistik, pop culture, visual culture, sinema dan manajemen media. Dedi Kurnia Syah P, adalah pengajar Ilmu Komunikasi di Telkom University, Bandung. Meraih gelar Sarjana dari Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Magister Ilmu Komunikasi dari Universitas Mercubuana Jakarta. Dan kini, sedang menempuh pendidikan doktoral dalam kajian Media dan Diplomasi Politik di Universitas Sahid Jakarta. Dr. M. Yahya Arwiyah, MH adalah dosen tetap di Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Telkom University Bandung. Meraih Sarjana Hukum dari Universitas Samudera, Langsa. S2 Hukum Bisnis dari Universitas Sumatera Utara dan Doktor bidang Pendidikan Kewarga-Negaraan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Penerima penghargaan Satya Kencana Wira Karya Satya dari Presiden RI tahun 2014. Saat ini, dipercaya sebagai Wakil Rektor Bidang Penelitian di Universitas Telkom Bandung. Suwarno S,Sos,M.I,Kom lahir di klaten 22 juni 1967, menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Komuikasi di Universitas Budi Luhur di Jakarta dan menyelesaikan S2 Ilmu Komunikasi di Universutas Mercu Buana di Jakarta. Saat ini berkerja di Universitas Budi Luhur Jakarta dan mempunyai minat besar mengabdikan ilmunya sebagai dosen kajian Ilmu Komunikasi. Dr. Muhammad Hasyim, M.Si, Lahir di Maros Sulawesi Selatan, tanggal 28 Oktober 1967. Menyelesaikan pendidikan S1 Sastra Prancis Unhas, S2 Ilmu Komunikasi dan S3 Linguistik Unhas dengan fokus penelitian semiotika. Staf pengajar pada jurusan Sastra Prancis Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (Unhas) sejak 1995 hingga sekarang dan dosen pengasuh mata kuliah Semiotika dan Kajian Media dan Budaya.


Dudi Iskandar lahir di Bandung, 5 Maret 1972. Menyelesaikan kuliah di Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Gunung Djati Bandung, 1996, dengan predikat cum laude. Menyelesaikan pendidikan magister di Pascasarjana Universitas Mercu Buana, Jakarta, 2012, dengan spesialis political communication. Sejak Maret 2012, menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur, Jakarta, dan di beberapa universitas lainnya. Selain mengajar, aktif juga sebagai peneliti di Cirus Surveyors Group (CSG), Jakarta. Selama 12 tahun menjadi wartawan di berbagai media cetak dan online. Antara lain, Media Indonesia (Oktober 2001- November 2007), Koran Jakarta (Desember 2007-Maret 2010), dan beritasatu.com (Juni-Juli 2010). Terakhir di gresnews.com (Juli 2012-Februari 2013). Produktif menulis di berbagai media cetak. Puluhan tulisan dimuat di Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Seputar Indonesia, Sinar Harapan, dan Pikiran Rakyat serta di jurnal. Delapan buah buku yang ditulis dan dieditnya. Armaini Lubis, S.Sos., MM, lahir di Panyabungan, Sumatera Utara, 12 Mei 1967. Menyelesaikan starta satu di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, Fakultas Ilmu Komunikasi. (Humas) pada 1993 dan magister di Program Pasca Sarjana. Manajemen pemasaran Universitas Budi Luhur pada 2003. Kini sedang menyelesaikan magister komunikasi di Universitas Budi Luhur. Untuk korespondensi bisa dilakukan melalui lubisarmaini@yahoo.co.id


PEDOMAN PENULISAN JURNAL COMMUNICATION Beberapa hal yang harus diperhatikan penulis dalam penulisan jurnal adalah sebagai berikut: Maksud dan Tujuan Jurnal Communication diterbitkan Lembaga Riset Universitas Budi Luhur sebagai media penyebarluasan hasil penelitian yang dilakukan peneliti di lingkungan Universitas Budi Luhur dan peneliti lain. Ruang Lingkup Jurnal ini memuat hasil penelitian dari berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan Ilmu Komunikasi, termasuk yang menunjang pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan pembangunan nasional. Bahasa Tulisan yang dimuat dalam jurnal ini menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baku dan baik. Penggunaan istilah hendaknya menggunakan pedoman dari lembaga pembinaan bahasa atau Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) Bentuk Naskah Naskah diketik pada kertas ukuran A4 putih dengan spasi 1,2. Tulisan mempunyai jarak 3 centimeter dari kanan, kiri, atas dan bawah kertas berjarak 2,5 cm. Panjang naskah tidak lebih dari 20 halaman dan sekurang-kurangnya 10 halaman termasuk gambar dan tabel. Tulisan menggunakan jenis font Times New Roman ukuran 12, naskah diketik dengan bentuk satu kolom. Isi Naskah Naskah disusun dalam urutan sebagai berikut : 1. Judul (Bahasa Indonesia dan menggunakan huruf kapital serta tebal/bold). Untuk sub-judul ditulis huruf kecil dan tebal/bold 2. Nama penulis (menggunakan huruf kapital dan tebal/bold) 3. Menyertakan nama lembaga/instasi dan alamat email. 4. Panjang tulisan antara 15-20 halaman dengan kertas ukuran A4 5. Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris antara 200-300 kata. Abstrak berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian. Untuk abstrak bahasa Inggris ditulis miring. 6. Sistematika penulisan adalah • Pendahuluan (berisi latar belakang dan perumusan masalah) • Kerangka pemikiran • Tujuan penelitian


• Metode penelitian (alat, bahan, cara, dan metode analisis) • Hasil penelitian dan pembahasan • Kesimpulan • Daftar pustaka, lampiran (kalau ada). 7. Kutipan menggunakan pola bodynote (di dalam naskah), bukan footnone (catatan kaki) atau endnote (catatan akhir). 8. Penggunaan kata-kata dari bahasa asing harus ditulis miring. 9. Tidak ada jarak setelah setelah judul dan sub-judul. 10. Harus ada jurnal dalam referensi/daftar pustaka 11. Ukuran huruf dalam tulisan : • Isi memakai huruf jenis Times New Roman ukuran 12 • Daftar pustaka memakai huruf jenis Times New Roman ukuran 11 • Abstrak huruf jenis Times New Roman ukuran 10 12. Halaman setiap Bab menggunakan angka 1 , 2 , 3 dst, sedangkan untuk Subbab menggunakan angka misalnya 1.1 , 1.2 , 2.1 2.2 dst Judul Tulisan dan Nama Penulis Judul tulisan harus mencerminkan isi dari tulisan. Kalimatnya pendek, ringkas, dan mudah dipahami. Nama lembaga/instansi pengarang harus jelas dicantumkan pada halaman pertama. Bila penulis lebih dari satu orang, maka perlu diurutkan sesuai dengan kode etik penulisan. Tabel dan Gambar Tabel dan gambar diberi judul yang singkat dan jelas maksudnya. Judul tabel berada di atas, sedangkan judul pada gambar berada di bawah. Setiap tabel dan gambar diberi nomor urut (1,2,… dst) dengan menggunakan huruf Arial Bold ukuran 10 . Daftar Pustaka Penulisan daftar pustaka disusun menurut pedoman APA diketik 1 (satu) spasi untuk setiap pustaka dan berjarak 2 (dua) spasi untuk pustaka yang satu dengan yang lain. Alamat Redaksi Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk file (copy disket, copy CD) dan 1 print out ke Lembaga Riset Universitas Budi Luhur, Jalan Ciledug Raya, Petukangan Utara, Jakarta Selatan 12260, Telp. (021) 5853753 Ext. 251 (ALAMAT EMAIL BELUM ADA). Kelengkapan naskah dalam bentuk soft dan hard copy tersebut di atas harus diserahkan ke Lembaga Riset Universitas Budi Luhur. Redaksi berhak mengedit dan mengubah tulisan sepanjang tidak mengganggu substansi hasil penelitian.



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.