2 minute read

Understanding public spaces in campus area

Global Public Space Toolkit: From Global Principles to Local Policies and Practice

Ruang publik dipahami sebagai area multifungsi yang mencakup interaksi sosial, kegiatan ekonomi, serta ekspresi budaya di antara orang-orang yang beragam, yang dalam prosesnya dapat meningkatkan sense of identity dan sense of belonging (Martinez-Bäckström et al., 2016).

Advertisement

SDG Indicator 11.7.1 Training Module: Public Space

UN-Habitat dalam modulnya mengenai Public Space menganggap ruang publik sebagai ruang kebersamaan dalam sebuah hunian, dimana berperan sebagai wadah multifungsi yang terhubung dengan area lainnya, serta mampu mencerminkan perbedaan gender, usia, etnis, dan golongan lainnya (UN-Habitat, 2018).

Vital Public Spaces: Designing and managing public spaces for inclusive, safe, resilient and sustainable cities

The Charter of Public Space yang mendefinisikan ruang publik seperti jalan, taman dan fasilitas publik lainnya sebagai tempat yang dimiliki dan digunakan oleh umum, dapat diakses dan dinikmati oleh masyarakat tanpa adanya motif keuntungan (The Charter of Public Space, 2015).

Terdapat tiga kualitas utama sebuah ruang publik, yakni tanggap (responsive), demokratis (democratic), dan bermakna (meaningful) (Carr et al., 1993). Ruang publik yang tanggap (responsive) dipahami sebagai ruang yang dikelola dengan mempertimbangkan kebutuhan penggunanya, ruang publik yang demokratis (democratic) berarti pengguna memiliki hak yang terlindungi dan bebas berekspresi, serta ruang publik yang bermakna (meaningful) mampu memberikan kesan dari fungsi ruang publik tersebut.

Ruang publik di lingkup kampus bukan hanya sebagai pemenuhan elemen estetika, tetapi juga menjaga kehidupan kampus yang sehat. Pemahaman dasar dalam penyediaan ruang publik di lingkup kampus merupakan pemenuhan kebutuhan dasar mahasiswa seperti kenyamanan, relaksasi, dan interaksi sosial dimana mahasiswa dapat lebih berekspresi sekaligus memahami makna dari suatu ruang (Hanan, 2013).

Adanya ruang publik yang mengakomodasi seluruh pengguna tanpa melihat gender dan ras di lingkup kampus dapat meningkatkan nilai toleransi dan kebersamaan dari penggunanya. Ruang publik di lingkungan kampus dapat berupa taman yang mampu menjadi wadah pengembangan diri serta komunitas yang berkelanjutan.

Dengan demikian, ruang publik sebagai wadah interaksi sosial, ekonomi, dan budaya harus dapat diakses secara baik oleh publik, mampu menjadi tempat yang menarik dan bermakna, mampu memberikan lingkungan sosial yang positif, mampu memberikan kenyamanan kepada penggunanya, serta mampu beradaptasi dengan perubahan yang ada (Carmona, 2019).

Berdasarkan hal tersebut, didapatkan bahwa ruang publik di lingkungan kampus harus mampu diakses oleh seluruh civitas akademika, serta ruang publik yang bermakna mampu membuat mahasiswa menjadi lebih ekspresif dan relaks.

Dalam lingkungan kampus, ruang publik yang inklusif dapat berupa taman kampus yang dilengkapi oleh ruang diskusi dan fasilitas sosial lainnya yang dapat diakses oleh seluh kalangan mahasiswa dan mampu menjadi ruang pengembangan diri bagi mahasiswa.

Taman Teknik, Universitas Diponegoro, yang dikelilingi oleh delapan dari dua belas departemen di Fakultas Teknik, telah berperan sebagai ruang diskusi untuk mahasiswanya setelah diresmikan pada tahun 2020. Walaupun demikian, letaknya yang berada di belakang gedung tanpa adanya papan informasi menghambat aksesibilitas dari taman itu sendiri.

Di satu sisi, ruang publik di lingkungan kampus yang memiliki peranan besar sebagai ruang rekreasi dan ruang diskusi bagi penggunanya seharusnya dapat diakses oleh seluruh mahasiswa dan pengajar tanpa melihat latar belakangnya. Selain itu, ruang publik ini juga harus mampu menjadi wadah pengembangan diri bagi mahasiswa agar lebih ekspresif dan mampu memaknai ruang di sekitarnya.

Di sisi lain, perempuan yang lebih cenderung mengalami ketidaksetaraan atas access, mobility, serta safety and freedom from violence merupakan pihak yang lebih banyak ditemukan di Fakultas Teknik dengan perannya sebagai mahasiswa, tenaga pendidik, dan lainnya.

Oleh karena itu, Taman Teknik sebagai taman kampus perlu diterapkan sebagai ruang publik yang responsif gender dengan tingkat aksesibilitas dan tingkat visual yang tinggi untuk dapat mengatasi ketidaksetaraan gender yang telah disebutkan sebelumnya.

This article is from: