check

Page 1

THIS IS THE FIRST BOOK I WROTE

FOR MY STAR: KANAMI KALA

L. RADIAN ATMADJA

Ketika menulis buku ini, saya menjadi tahu bahwasannya

penulis buku fiksi di luar sana sangatlah hebat nan penuh

gairah semangat. Saya menjadi yakin 10 artikel jurnal

ilmiah lebih mudah untuk saya buat daripada beberapa

lembar halaman buku ini sebab isi yang ditulis berdasar

pada fakta ilmiah, bukan perasaan.

Dalam buku yang sekarang kamu pegang, atau mungkin

kamu akan baca juga nantinya, saya tidak ada harapan

besar selain pengucapan terima kasih dan penjelasan halhal yang seharusnya menjadi jelas. Tulisannya tentu

banyak salah dan mungkin akan membuat bulu kuduk

merinding karena kalimat yang tertera sangatlah

menggelikan hahaha.

Maaf, sekali lagi, saya memang tidak pandai merangkai

kata-kata penuh emosi. Saya bukan penulis. Bukan pula

penyair. Tapi semoga kamu berkenan membaca tulisan

yang saya buat ini dan menjadikan apa yang ada sebagai hal baru untuk kamu melihat dunia.

Selamat membaca, Kanami Kala. Selamat mencintai dirimu

lebih daripada yang sebelumnya (karena saya sudah lebih dulu mencintaimu dan seterusnya akan seperti itu).

Saya tidak akan pernah lupa bagaimana waktu itu sosok

laki-laki muda, berusia baru menginjak 16 tahun pas lebih

tiga hari, dengan sedikit luka memar di beberapa bagian

tubuh, bertemu dengan sepasang adik kakak cantik nan tampan di sudut taman sedang bermain permainan petak

umpat. Sang lelaki muda yang kemampuan

bersosialisasinya sangatlah di bawah rata-rata sebab

hampir seluruh hidupnya hanya berdiam diri di rumah, tak

boleh bergaul, dibuat kikuk ketika sepasang kakak adik

tersebut memanggilnya riang dan mengajaknya spontan untuk ikut bermain.

“Hey kamu! Ikut main yuk! Kita kurang satu orang lagi nih!”

Kata-katanya terkenang. Sungguh titik balik yang tak pernah diduga. Itu adalah ajakan tulus pertama yang

mungkin baru kali ini didengar oleh sang lelaki muda. Ia

tercengang, sekaligus terharu. Dirinya pada saat itu

bingung harus menjawab apa karena hari sudah mulai sore

dan dia sejujurnya tak mengenal siapa dua anak di depannya kini.

Sang lelaki muda hendak pergi saja karena rasa malu sudah menjalar ke seluruh aliran tubuhnya. Tapi belum

sempat melangkah, kedua anak tersebut tak lama malah menghampiri sang lelaki muda, lalu memperkenalkan diri mereka ramah, dan mengajak sang lelaki muda untuk berteman.

“Kenalin! Aku Nami. Umurku 12 tahun! Baru masuk SMP beberapa minggu yang lalu hihi! Kalau yang di sebelahku, ini kakakku. Namanya Kak Tama.”

“Halo, salam kenal! Nama gue Tama! Lo anak baru di sekolah kan? Kita sekelas loh kalau lo inget! Bener kata Nami, nama gue Tama dan nama lo tuh….”

“Laksamana Radian Atmadja. Tapi kalian bisa panggil saya Aksa.”

“Ah, okei Kak Aksa! Salam kenal! Semoga kakak seneng tinggal di sini dan ayo kita main bareng mulai dari sekarang! Hihihi.”

Ya, itulah percakapan pertama yang dilakukan ketiganya.

Perkenalan singkat, tapi jadi awal mula pembentuk

hubungan erat antar satu sama lain.

Ya, itu percakapan pertama yang dilakukan ketiganya.

Perkenalan singkat, yang saya, kamu, dan Tama lakukan.

Saya tidak akan pernah lupa. Saya akan terus

menyimpannya sebagai memori terbaik yang pernah terjadi

dalam hidup. The precious things i've ever felt.

Satu tahun. Pada gilirannya bukanlah sebuah masa yang

panjang. Ia hanya terdiri dari 12 bulan, 52 minggu, dan 365 hari. Tak cukup kalau pertemanan kita yang hebat itu berhenti di jangka waktu sesingkat satu tahun saja.

Bagaimana keseruan kita bertiga ketika bermain di taman

tiap sore hari sepulang sekolah, bagaimana keasyikan kita bertiga ketika waktu libur datang lalu kita bersama-sama

pergi ke tengah alun-alun kota–mencoba berbagai

makanan kaki lima yang ada di sana, bagaimana kekompakan kita bertiga ketika menyanyikan lagu-lagu menarik di halaman depan rumah, semuanya tidaklah

cukup kalau terjadi hanya dalam kurun waktu satu tahun saja. Harusnya bisa terjadi terus menerus. Bertahun-tahun.

Terus begitu sampai mungkin kulit kita mengkriput, penglihatan kita memburam, dan gigi kita menghilang satu demi satu.

Memang, pertemanan kita atau lebih tepatnya persahabatan kita, sangatlah mengagumkan. Dan karena

itulah mungkin sepertinya Tuhan sudah merasa puas, kemudian akhirnya menyuruh para malaikatnya untuk mencukupkan persahabatan kita pada satu tahun, 12 bulan, 52 minggu, dan 365 hari saja. Tak lebih. Segala rencana harus terhenti. Segala kenangan harus tersimpan. Segala

perasaan harus ditunda.

Namun, Tama kakak terbaik yang selalu menjadi

panutan, dan Kanami adik sekaligus perempuan yang

sangat saya sayangi, kalian terlalu mengagumkan untuk

saya lupakan. Satu tahun, mungkin tidak terlalu

menyimpan begitu banyak memori, tapi tetap bagi saya itu

adalah kesempatan berharga. Waktu yang memberikan saya pelajaran dan perasaan baru indah yang bahkan

mampu menjadi dasar mengapa saya terbentuk menjadi

pribadi Laksamana Radian Atmadja seperti sekarang.

Kalian yang membuat seorang lelaki muda yang terkenal kikuk, pemalu, udik, penuh masalah ini berubah menjadi

sosok pemberani. Kalian yang membuat sang lelaki muda

tak tahu arah ini menjadi percaya bahwa Tuhan pasti

punya rencana dan kuasa dahsyat. Kalian yang membuat sang lelaki muda berhati dingin ini menjadi tahu apa

rasanya dicintai dengan sebenar-benarnya rasa tulus.

Kalian yang telah menyelamatkan saya. Membuat saya

merasa hidup kembali.

My life saver. You guys are blessing from God. Thank you. Thank you. And thank you. I am extremely fortunate to have best friends like both of you in my life. Rasa terima

kasih setinggi-tingginya takkan pernah berhenti terucap

karena kalian memang pantas untuk mendapatkannya.

Saya tidak akan pernah lupa bagaimana waktu itu sosok

laki-laki muda, berusia baru menginjak 16 tahun pas lebih

tiga hari, dengan sedikit luka memar di beberapa bagian

tubuh, bertemu dengan sepasang adik kakak cantik nan

tampan di sudut taman sedang bermain permainan petak

umpat. Sang lelaki muda yang kemampuan

bersosialisasinya sangatlah di bawah rata-rata sebab

hampir seluruh hidupnya hanya berdiam diri di rumah, tak

boleh bergaul, dibuat kikuk ketika sepasang kakak adik

tersebut memanggilnya riang dan mengajaknya spontan untuk ikut bermain.

“Hey kamu! Ikut main yuk! Kita kurang satu orang lagi nih!”

Kata-katanya terkenang. Sungguh titik balik yang tak pernah diduga. Itu adalah ajakan tulus pertama yang

mungkin baru kali ini didengar oleh sang lelaki muda. Ia

tercengang, sekaligus terharu. Dirinya pada saat itu

bingung harus menjawab apa karena hari sudah mulai sore

Saya tidak akan pernah lupa bagaimana waktu itu sosok

laki-laki muda, berusia baru menginjak 16 tahun pas lebih

tiga hari, dengan sedikit luka memar di beberapa bagian tubuh, bertemu dengan sepasang adik kakak cantik nan tampan di sudut taman sedang bermain permainan petak umpat. Sang lelaki muda yang kemampuan bersosialisasinya sangatlah di bawah rata-rata sebab

hampir seluruh hidupnya hanya berdiam diri di rumah, tak

boleh bergaul, dibuat kikuk ketika sepasang kakak adik

tersebut memanggilnya riang dan mengajaknya spontan untuk ikut bermain.

“Hey kamu! Ikut main yuk! Kita kurang satu orang lagi nih!”

Kata-katanya terkenang. Sungguh titik balik yang tak pernah diduga. Itu adalah ajakan tulus pertama yang

mungkin baru kali ini didengar oleh sang lelaki muda. Ia

tercengang, sekaligus terharu. Dirinya pada saat itu

bingung harus menjawab apa karena hari sudah mulai sore

dan dia sejujurnya tak mengenal siapa dua anak di depannya kini.

Saya tidak akan pernah lupa bagaimana waktu itu sosok

laki-laki muda, berusia baru menginjak 16 tahun pas lebih

tiga hari, dengan sedikit luka memar di beberapa bagian tubuh, bertemu dengan sepasang adik kakak cantik nan tampan di sudut taman sedang bermain permainan petak umpat. Sang lelaki muda yang kemampuan bersosialisasinya sangatlah di bawah rata-rata sebab

hampir seluruh hidupnya hanya berdiam diri di rumah, tak

boleh bergaul, dibuat kikuk ketika sepasang kakak adik

tersebut memanggilnya riang dan mengajaknya spontan untuk ikut bermain.

“Hey kamu! Ikut main yuk! Kita kurang satu orang lagi nih!”

Kata-katanya terkenang. Sungguh titik balik yang tak pernah diduga. Itu adalah ajakan tulus pertama yang

mungkin baru kali ini didengar oleh sang lelaki muda. Ia

tercengang, sekaligus terharu. Dirinya pada saat itu

bingung harus menjawab apa karena hari sudah mulai sore

dan dia sejujurnya tak mengenal siapa dua anak di depannya kini.

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.