Selamat membaca, Kanami Kala. Selamat mencintai dirimu
lebih daripada yang sebelumnya (karena saya sudah lebih dulu mencintaimu dan seterusnya akan seperti itu).
Saya tidak akan pernah lupa bagaimana waktu itu sosok
laki-laki muda, berusia baru menginjak 16 tahun pas lebih
tiga hari, dengan sedikit luka memar di beberapa bagian
tubuh, bertemu dengan sepasang adik kakak cantik nan tampan di sudut taman sedang bermain permainan petak
umpat. Sang lelaki muda yang kemampuan
bersosialisasinya sangatlah di bawah rata-rata sebab
hampir seluruh hidupnya hanya berdiam diri di rumah, tak
boleh bergaul, dibuat kikuk ketika sepasang kakak adik
tersebut memanggilnya riang dan mengajaknya spontan untuk ikut bermain.
“Hey kamu! Ikut main yuk! Kita kurang satu orang lagi nih!”
Kata-katanya terkenang. Sungguh titik balik yang tak pernah diduga. Itu adalah ajakan tulus pertama yang
mungkin baru kali ini didengar oleh sang lelaki muda. Ia
tercengang, sekaligus terharu. Dirinya pada saat itu
bingung harus menjawab apa karena hari sudah mulai sore
dan dia sejujurnya tak mengenal siapa dua anak di depannya kini.
Sang lelaki muda hendak pergi saja karena rasa malu sudah menjalar ke seluruh aliran tubuhnya. Tapi belum
sempat melangkah, kedua anak tersebut tak lama malah menghampiri sang lelaki muda, lalu memperkenalkan diri mereka ramah, dan mengajak sang lelaki muda untuk berteman.
“Kenalin! Aku Nami. Umurku 12 tahun! Baru masuk SMP beberapa minggu yang lalu hihi! Kalau yang di sebelahku, ini kakakku. Namanya Kak Tama.”
“Halo, salam kenal! Nama gue Tama! Lo anak baru di sekolah kan? Kita sekelas loh kalau lo inget! Bener kata Nami, nama gue Tama dan nama lo tuh….”
“Laksamana Radian Atmadja. Tapi kalian bisa panggil saya Aksa.”
“Ah, okei Kak Aksa! Salam kenal! Semoga kakak seneng tinggal di sini dan ayo kita main bareng mulai dari sekarang! Hihihi.”
Ya, itulah percakapan pertama yang dilakukan ketiganya.
Perkenalan singkat, tapi jadi awal mula pembentuk
hubungan erat antar satu sama lain.
Ya, itu percakapan pertama yang dilakukan ketiganya.
Perkenalan singkat, yang saya, kamu, dan Tama lakukan.
Saya tidak akan pernah lupa. Saya akan terus
menyimpannya sebagai memori terbaik yang pernah terjadi
dalam hidup. The precious things i've ever felt.
Satu tahun. Pada gilirannya bukanlah sebuah masa yang
panjang. Ia hanya terdiri dari 12 bulan, 52 minggu, dan 365 hari. Tak cukup kalau pertemanan kita yang hebat itu berhenti di jangka waktu sesingkat satu tahun saja.
Bagaimana keseruan kita bertiga ketika bermain di taman
tiap sore hari sepulang sekolah, bagaimana keasyikan kita bertiga ketika waktu libur datang lalu kita bersama-sama
pergi ke tengah alun-alun kota–mencoba berbagai
makanan kaki lima yang ada di sana, bagaimana kekompakan kita bertiga ketika menyanyikan lagu-lagu menarik di halaman depan rumah, semuanya tidaklah
cukup kalau terjadi hanya dalam kurun waktu satu tahun saja. Harusnya bisa terjadi terus menerus. Bertahun-tahun.
Terus begitu sampai mungkin kulit kita mengkriput, penglihatan kita memburam, dan gigi kita menghilang satu demi satu.
Memang, pertemanan kita atau lebih tepatnya persahabatan kita, sangatlah mengagumkan. Dan karena
itulah mungkin sepertinya Tuhan sudah merasa puas, kemudian akhirnya menyuruh para malaikatnya untuk mencukupkan persahabatan kita pada satu tahun, 12 bulan, 52 minggu, dan 365 hari saja. Tak lebih. Segala rencana harus terhenti. Segala kenangan harus tersimpan. Segala
perasaan harus ditunda.
Namun, Tama kakak terbaik yang selalu menjadi
panutan, dan Kanami adik sekaligus perempuan yang
sangat saya sayangi, kalian terlalu mengagumkan untuk
saya lupakan. Satu tahun, mungkin tidak terlalu
menyimpan begitu banyak memori, tapi tetap bagi saya itu
adalah kesempatan berharga. Waktu yang memberikan saya pelajaran dan perasaan baru indah yang bahkan
mampu menjadi dasar mengapa saya terbentuk menjadi
pribadi Laksamana Radian Atmadja seperti sekarang.
Kalian yang membuat seorang lelaki muda yang terkenal kikuk, pemalu, udik, penuh masalah ini berubah menjadi
sosok pemberani. Kalian yang membuat sang lelaki muda
tak tahu arah ini menjadi percaya bahwa Tuhan pasti
punya rencana dan kuasa dahsyat. Kalian yang membuat sang lelaki muda berhati dingin ini menjadi tahu apa
rasanya dicintai dengan sebenar-benarnya rasa tulus.
Kalian yang telah menyelamatkan saya. Membuat saya
merasa hidup kembali.
My life saver. You guys are blessing from God. Thank you. Thank you. And thank you. I am extremely fortunate to have best friends like both of you in my life. Rasa terima
kasih setinggi-tingginya takkan pernah berhenti terucap
karena kalian memang pantas untuk mendapatkannya.
Saya tidak akan pernah lupa bagaimana waktu itu sosok
laki-laki muda, berusia baru menginjak 16 tahun pas lebih
tiga hari, dengan sedikit luka memar di beberapa bagian
tubuh, bertemu dengan sepasang adik kakak cantik nan
tampan di sudut taman sedang bermain permainan petak
umpat. Sang lelaki muda yang kemampuan
bersosialisasinya sangatlah di bawah rata-rata sebab
hampir seluruh hidupnya hanya berdiam diri di rumah, tak
boleh bergaul, dibuat kikuk ketika sepasang kakak adik
tersebut memanggilnya riang dan mengajaknya spontan untuk ikut bermain.
“Hey kamu! Ikut main yuk! Kita kurang satu orang lagi nih!”
Kata-katanya terkenang. Sungguh titik balik yang tak pernah diduga. Itu adalah ajakan tulus pertama yang
mungkin baru kali ini didengar oleh sang lelaki muda. Ia
tercengang, sekaligus terharu. Dirinya pada saat itu
bingung harus menjawab apa karena hari sudah mulai sore
Saya tidak akan pernah lupa bagaimana waktu itu sosok
laki-laki muda, berusia baru menginjak 16 tahun pas lebih
tiga hari, dengan sedikit luka memar di beberapa bagian tubuh, bertemu dengan sepasang adik kakak cantik nan tampan di sudut taman sedang bermain permainan petak umpat. Sang lelaki muda yang kemampuan bersosialisasinya sangatlah di bawah rata-rata sebab
hampir seluruh hidupnya hanya berdiam diri di rumah, tak
boleh bergaul, dibuat kikuk ketika sepasang kakak adik
tersebut memanggilnya riang dan mengajaknya spontan untuk ikut bermain.
“Hey kamu! Ikut main yuk! Kita kurang satu orang lagi nih!”
Kata-katanya terkenang. Sungguh titik balik yang tak pernah diduga. Itu adalah ajakan tulus pertama yang
mungkin baru kali ini didengar oleh sang lelaki muda. Ia
tercengang, sekaligus terharu. Dirinya pada saat itu
bingung harus menjawab apa karena hari sudah mulai sore
dan dia sejujurnya tak mengenal siapa dua anak di depannya kini.
Saya tidak akan pernah lupa bagaimana waktu itu sosok
laki-laki muda, berusia baru menginjak 16 tahun pas lebih
tiga hari, dengan sedikit luka memar di beberapa bagian tubuh, bertemu dengan sepasang adik kakak cantik nan tampan di sudut taman sedang bermain permainan petak umpat. Sang lelaki muda yang kemampuan bersosialisasinya sangatlah di bawah rata-rata sebab
hampir seluruh hidupnya hanya berdiam diri di rumah, tak
boleh bergaul, dibuat kikuk ketika sepasang kakak adik
tersebut memanggilnya riang dan mengajaknya spontan untuk ikut bermain.
“Hey kamu! Ikut main yuk! Kita kurang satu orang lagi nih!”
Kata-katanya terkenang. Sungguh titik balik yang tak pernah diduga. Itu adalah ajakan tulus pertama yang
mungkin baru kali ini didengar oleh sang lelaki muda. Ia
tercengang, sekaligus terharu. Dirinya pada saat itu
bingung harus menjawab apa karena hari sudah mulai sore
dan dia sejujurnya tak mengenal siapa dua anak di depannya kini.