This Is The First Book I Wrote For My Star: Kanami Kala by Radian Atmadja

Page 1

THE FIRST THE FIRST BOOK BOOK I WROTE I WROTE

This Is This Is For My Star: Kanami Kala For My Star: Kanami Kala

L. RADIAN ATMADJA

Ketika menulis buku ini, saya menjadi tahu bahwasannya

penulis buku fiksi di luar sana sangatlah hebat nan penuh

gairah semangat. Saya menjadi yakin 10 artikel jurnal ilmiah

lebih mudah untuk saya buat daripada beberapa lembar

halaman buku ini sebab isi yang ditulis berdasar pada fakta

ilmiah, bukan perasaan.

Dalam buku yang sekarang kamu pegang, atau mungkin

kamu akan baca juga nantinya, saya tidak ada harapan besar selain pengucapan terima kasih dan penjelasan hal-hal yang

seharusnya menjadi jelas. Tulisannya tentu banyak salah dan mungkin akan membuat bulu kuduk merinding karena

kalimat yang tertera sangatlah menggelikan hahaha.

Maaf, sekali lagi, saya memang tidak pandai merangkai

kata-kata penuh emosi. Saya bukan penulis. Bukan pula

penyair. Tapi semoga kamu berkenan membaca tulisan

yang saya buat ini dan menjadikan apa yang ada sebagai hal

baru untuk kamu melihat dunia.

Selamat membaca, Kanami Kala. Selamat mencintai dirimu

lebih daripada yang sebelumnya (karena saya sudah lebih dulu mencintaimu dan seterusnya akan seperti itu).

Saya tidak akan pernah lupa bagaimana waktu itu sosok

laki-laki muda, berusia baru menginjak 16 tahun pas lebih tiga

hari, dengan sedikit luka memar di beberapa bagian tubuh, bertemu dengan sepasang adik kakak cantik nan tampan di sudut taman sedang bermain permainan petak umpat. Sang

lelaki muda yang kemampuan bersosialisasinya sangatlah di bawah rata-rata sebab hampir seluruh hidupnya hanya

berdiam diri di rumah, tak boleh bergaul, dibuat kikuk ketika

sepasang kakak adik tersebut memanggilnya riang dan mengajaknya spontan untuk ikut bermain.

“Hey kamu! Ikut main yuk! Kita kurang satu orang lagi nih!”

Kata-katanya terkenang. Sungguh, titik balik yang tak pernah diduga. Itu adalah ajakan tulus pertama yang mungkin

baru kali ini didengar oleh sang lelaki muda. Ia tercengang, sekaligus terharu. Dirinya pada saat itu bingung harus

menjawab apa karena hari sudah mulai sore dan dia sejujurnya

tak mengenal siapa dua anak di depannya kini.

Sang lelaki muda hendak pergi saja karena rasa malu sudah

menjalar ke seluruh aliran tubuhnya. Tapi belum sempat melangkah, kedua anak tersebut tak lama malah menghampiri sang lelaki muda, lalu memperkenalkan diri mereka ramah, dan mengajak sang lelaki muda untuk berteman.

“Kenalin! Aku Nami. Umurku 12 tahun! Baru masuk SMP beberapa minggu yang lalu hihi! Kalau yang di sebelahku, ini kakakku. Namanya Kak Tama.”

“Halo, salam kenal! Nama gue Tama! Lo anak baru di sekolah kan? Kita sekelas loh kalau lo inget! Bener kata Nami, nama gue Tama dan nama lo tuh….”

“Laksamana Radian Atmadja. Tapi kalian bisa panggil saya Aksa.”

“Ah, okei Kak Aksa! Salam kenal! Semoga kakak seneng tinggal di sini dan ayo kita main bareng mulai dari sekarang! Hihihi.”

Ya, itulah percakapan pertama yang dilakukan ketiganya. Perkenalan singkat, tapi jadi awal mula pembentuk hubungan erat antar satu sama lain.

Ya, itu percakapan pertama yang dilakukan ketiganya. Perkenalan singkat, yang saya, kamu, dan Tama lakukan. Saya

tidak akan pernah lupa. Saya akan terus menyimpannya

sebagai memori terbaik yang pernah terjadi dalam hidup. The precious things i've ever felt.

Satu tahun. Pada gilirannya bukanlah sebuah masa yang

panjang. Ia hanya terdiri dari 12 bulan, 52 minggu, dan 365 hari. Tak cukup kalau pertemanan kita yang hebat itu berhenti di jangka waktu sesingkat satu tahun saja. Bagaimana keseruan kita bertiga ketika bermain di taman tiap sore hari sepulang

sekolah, bagaimana keasyikan kita bertiga ketika waktu libur datang lalu kita bersama-sama pergi ke tengah alun-alun

kota–mencoba berbagai makanan kaki lima yang ada di sana, bagaimana kekompakan kita bertiga ketika menyanyikan lagulagu menarik di halaman depan rumah, semuanya tidaklah cukup kalau terjadi hanya dalam kurun waktu satu tahun saja.

Harusnya bisa terjadi terus menerus. Bertahun-tahun. Terus

begitu sampai mungkin kulit kita mengkriput, penglihatan kita memburam, dan gigi kita menghilang satu demi satu.

Memang, pertemanan kita atau lebih tepatnya persahabatan

kita, sangatlah menakjubkan. Dan karena itulah mungkin

sepertinya Tuhan sudah merasa puas, kemudian akhirnya

menyuruh para malaikatnya untuk mencukupkan

persahabatan kita pada satu tahun, 12 bulan, 52 minggu, dan 365 hari saja. Tak lebih. Segala rencana harus terhenti. Segala

kenangan harus tersimpan. Segala perasaan harus ditunda.

Namun, Tama kakak terbaik yang selalu menjadi panutan, dan Kanami adik sekaligus perempuan yang sangat saya sayangi, kalian terlalu mengagumkan untuk saya lupakan. Satu

tahun, mungkin tidak terlalu menyimpan begitu banyak memori, tapi tetap bagi saya itu adalah kesempatan berharga.

Waktu yang memberikan saya pelajaran dan perasaan baru

indah yang bahkan mampu menjadi dasar mengapa saya

terbentuk menjadi pribadi Laksamana Radian Atmadja seperti

sekarang. Kalian yang membuat seorang lelaki muda yang

terkenal kikuk, pemalu, udik, penuh masalah ini berubah

menjadi sosok pemberani. Kalian yang membuat sang lelaki

muda tak tahu arah ini menjadi percaya bahwa Tuhan pasti

punya rencana dan kuasa dahsyat. Kalian yang membuat sang

lelaki muda berhati dingin ini menjadi tahu apa rasanya

dicintai dengan sebenar-benarnya rasa tulus. Kalian yang

telah menyelamatkan saya. Membuat saya merasa hidup kembali.

My life saver. You guys are blessing from God. Thank you. Thank you. And thank you. I am extremely fortunate to have best friends like both of you in my life. Rasa terima kasih

setinggi-tingginya takkan pernah berhenti terucap karena kalian memang pantas untuk mendapatkannya.

Saya tak bosan untuk mengatakan bahwa persahabatan kita memang menakjubkan. Banyak orang-orang iri dan ingin menjadi kita. Segala rasa baik seperti rasa kasih, rasa sayang, rasa cinta, selalu kita dapatkan satu sama lain. Ya, tak heran juga sebenarnya sebab hampir dari satu tahun bersahabat, sepertinya tiga perempat dari waktu yang ada kita lalui untuk menjalani kehidupan yang seru bersama-sama. Tak terpisahkan. Bertiga. Kita selalu lakukan apapun hal yang menyenangkan batin serta jiwa bersama. Mendapatkan kegembiraan bersama. Menanggung konsekuensinya pun bersama.

Kita saling menyayangi satu sama lain. Kita saling menjaga. Dan sialnya bagi saya ini berkembang jauh, kepada kamu, Kanami Kala. Rasa yang ditanam sebagai fondasi persahabatan, yang awalnya hanya sebatas “sayang untuk menjaga”, lambat laun bermetamorfosa menjadi “sayang untuk bentuk apapun”. Tak terhenti pada kata “teman”, “sahabat”, “adik”, “pacar”, atau yang lainnya.

Saya sendiri tidak mengetahui kapan pastinya perasaan itu

berubah. Apakah pada saat kamu menyuapi saya dengan

sepotong roti coklat buatan Ibu? Saat kamu menyemangati

saya yang sedang beradu panco dengan Tama? Atau saat kamu

pertama kali mengajak saya bermain petak umpat? Ah, saya

bingung kapan waktu pastinya. Tapi memang, kamu sudah

terlalu cantik dan bersinar sejak awal, sampai-sampai saya

dibuat terpukau di detik pertama kita bertemu.

Perempuan kecil yang riang, penuh semangat, antusias

dalam mengetahui hal-hal baru, dan tak pernah bosan untuk

tersenyum. Ya, itulah kamu, Kanami Kala. Bagai matahari

cerah di cuaca yang hangat. Bagai bintang kilau di malam yang

tentram. Kamu membawa kebahagiaan kepada orang-orang

sekitar tanpa harus bersusah payah. Kamu ada saja di sana.

Berdiri. Bernapas. Tersenyum. Melambaikan tangan dan berkehidupan seperti biasa saja sudah bisa membawa jutaan

bahagia bagi banyak orang. Saya sangat bersyukur karena

Tuhan menciptakan manusia sebaik dan seindah kamu. Tama, Ibu, saya, dan juga ayahmu, sangat bangga karena kamu selalu

tumbuh mengagumkan dan berhasil menjadi perempuan

tangguh, seperti sekarang ini.

Saya terus menyayangimu. Dan itu pasti. Tidak akan pernah

berubah meski kamu sering memarahi saya karena katamu

saya masih terlalu kaku; Meski kamu sering memarahi saya

karena katamu saya masih terlalu pendiam dan kamu tidak suka orang yang pendiam; Meski kamu sering memarahi saya

karena katamu saya masih terlalu pemalu untuk seorang lakilaki berumur 17 tahun yang seharusnya sudah berani berbicara di depan umum; Saya tetap suka kamu. Tetap sayang. Tak pernah berubah sampai sekarang sudah delapan tahun waktu berjalan.

Saya suka ketika melihat kamu memarahi saya karena

rasanya ada harapan baik yang ingin kamu lihat terwujud

dalam diri saya. Kamu ingin saya berubah, jadi lebih baik.

Kamu ingin saya tumbuh tanpa harus tertahan oleh luka-luka

lama yang mengintai. Kamu, ingin saya bebas. Bebas menjadi manusia seutuhnya yang dapat menjalankan hidup sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Tak diatur oleh apapun. Dan saya berterima kasih sekali lagi untuk itu, Nam. Terima kasih

sudah memanusiakan sesama manusia dengan sebaik-baiknya.

Kamu, membuat saya percaya kalau saya juga layak untuk lahir

ke dunia yang kelam ini dan merasakan bahagia. Kamu, berhasil membuat saya hidup kembali.

Waktu demi waktu bergulir. Petualangan kita semakin hari

semakin seru. Pun perasaan saya kepada kamu, terus

bertambah tanpa ada alasan yang jelas. Kamu tersenyum, saya

makin suka. Kamu mendengus kesal, saya makin sayang. Kamu

berteriak marah, saya makin cinta. Sepertinya tak butuh

sesuatu yang spesial untuk menumbuhkan perasaan ini.

Karena (sepertinya lagi) saya memang mencintaimu karena

kamu adalah Kanami Kala. Saya mencintaimu tak bersyarat

dan memang tak butuh alasan. Asalkan kamu orangnya, saya

akan suka. Dan tetap selamanya akan seperti itu. Tak akan

berubah meskipun waktu tetap bergulir, menghidangkan

jutaan kejadian yang tragisnya malah memisahkan kita semua.

Ya, saya, kamu, dan Tama–kita bertiga yang awalnya selalu

bersama, bagai cangkang dan buah yang sudah melekat tak

bisa dilepaskan, malah terpaksa berpisah–menjadi asing

karena sebuah insiden terkutuk tak bermoral. Kamu lupa akan

saya. Saya bersembunyi demi keamanan. Tama pergi, tanpa

bisa kembali lagi.

Saya bersumpah demi Tuhan, di hari itu, kalau waktu bisa

diulang, saya pasti akan pulang bersama kalian. Tak akan saya

biarkan Pak Hasan guru sosiologi memanggil saya ke ruang

guru hanya karena ingin memberitahu nilai saya ternyata

sangat bagus dan saya berpotensi untuk menjadi wakil sekolah

dalam Lomba Sosiologi Tingkat Nasional. Saya tidak pernah

berminat sama sekali untuk ikut lomba atau yang lainnya. Saya

hanya berminat untuk bermain bersama kalian. Pulang

bersama kalian. Berlari dan bernyanyi bersama kalian. Itu saja.

Saya hanya berminat untuk melakukan hal-hal menyenangkan

bersama kalian, tak mau mencoba yang lain.

Tapi Pak Hasan tidak bisa berhenti. Beliau terus berbicara.

Tak henti-hentinya menahan langkah saya karena saya belum

“mengiyakan” ajakannya sedari tadi. Jujur saya bosan. Saya

ingin cepat pulang bersama kalian. Akhirnya, di beberapa

waktu tersisa, saya pun memilih berbohong, minta izin keluar

untuk buang air kecil ke toilet, padahal sebenarnya saya

berlari pulang menuju gerbang sekolah–tempat kalian biasa menunggu.

Lima menit. Sepuluh menit. Saya tidak melihat kalian. Saya

lalu berpikir, kalian pasti sudah pulang lebih dulu sebab

ternyata saya juga baru sadar bahwa jam sudah menunjukkan

pukul empat lewat dua belas menit (saya selalu ingat).

Alhasil, saya pun berjalan pulang sendiri, menyusuri berbagai

patok tempat yang biasa kita lalui bersama sendiri, dan merasakan ketenangan sendiri. Tanpa pernah membayangkan

bahwa kalian berdua justru di bagian ruang lain, sedang berjuang mati-matian untuk hidup. Berjuang dari segala

kekejaman yang seharusnya tak pernah kalian dapatkan.

Pukul setengah lima kala itu, saya akhirnya sampai di rumah.

Rumah kalian tentunya. Saya memberikan salam kepada Ibu

terkasih dan bertanya apakah kalian sudah sampai atau

belum? Tapi Ibu menggeleng lemah, mengatakan kalau kalian

belum pulang. Mungkin kalian berdua sedang ingin

menghabiskan waktu berdua saja sebagai kakak-adik, pikir

saya dan Ibu pada saat itu, jadi saya pun memilih pamit dan pergi juga untuk setidaknya ikut menikmati sore yang ada sendirian.

Saya berputar-putar dulu jadinya ke berbagai tempat yang pernah kita kunjungi. Ke tepian sungai Jalan Tirta, ke taman

bunga Jalan Warna, ke warung bakmie ayam depan Gang

Rajawali, intinya ke semua tempat yang pernah kita kunjungi bersama. Saya mengenang seraya mengucap syukur kepada

Tuhan. Menyadari ternyata Ia masih baik, mengirimkan dua

pelukis hebat seperti kalian untuk mewarnai kanvas hidup saya yang semu.

Saya terus bersyukur. Saya tersenyum dan penuh harapan

semoga kita bertiga diberikan waktu yang panjang untuk setidaknya bisa menghabiskan waktu senang bersama-sama lagi di tempat-tempat itu. Di tempat yang biasa kita kunjungi bersama. Saya, kamu, dan Tama. Semoga kita bahagia selamanya.

Namun, belum sampai sepuluh menit rapalan doa itu terpanjat, tiba-tiba saja jantung saya dibuat berhenti berdetak karena beberapa orang berkerumun ramai di Jalan Flamboyan berteriak menyebut dua nama kalian.

"Itu yang laki-laki, yang namanya Tama, sepertinya sudah meninggal karena kepalanya terbentur keras! Kalau yang perempuan, tadi saya liat di seragamnya, namanya Kanami. Dia masih hidup tapi sama juga luka parah. Cepet, Pak, tolong telfon ambulans! Mereka korban tabrak lari!"

Pada detik itu juga saya berlari kencang, merangsek masuk menembus keremunan orang-orang tua yang menemukan kalian. Saya tidak percaya dengan apa yang saya dengar waktu itu. Tama meninggal? Kamu luka parah? Tabrak lari? Gak mungkin! Itu semua gak mungkin. Kalian berdua pasti baikbaik aja. Sehat-sehat dan bahkan lagi senang karena baru saja kalian main bersama Pasti. Saya gak percaya sama omongan yang baru aja disebut tadi.

Saya memaksa untuk melihat kalian pada saat itu. Meskipun

beberapa orang tua menghadang bahkan memarahi saya

karena katanya saya mencari bahaya, tapi saya tidak peduli.

Persetan dengan apapun, yang saya ingin lihat adalah

kepastian kondisi kalian pada saat itu. Kalian tidak boleh

celaka. Kalian harus hidup sehat sentosa.

Beberapa meter dilewati, beberapa orang dihindari, akhirnya

langkah saya dibuat benar-benar berhenti saat mata saya

memang melihat kalian berdua tergeletak tak berdaya dengan

luka dan darah yang terus mengalir dari beberapa bagian

tubuh. Tama yang benar-benar sudah terbujur kaku, saya

pangku tubuhnya untuk setidaknya saya berikan kehangatan

terakhir. Sementara kamu yang sepertinya sudah sedikit

sadar, saya terus genggam erat tangannya, berusaha

meyakinkan kalau kamu pasti akan baik-baik saja.

Saya memang ada di sana, Nami. Saya memang ada bersama

kalian di kejadian delapan tahun lalu itu. Tapi bukan pada saat

penculikan terjadi. Saya bersumpah, demi Tuhan, saya tidak

mengetahui apapun, bahkan tentang peristiwa penculikan yang sebelumnya terjadi. Kalau saya tau hal tersebut lebih

awal, sudah pasti saya akan melawan. Sudah pasti saya akan memberontak. Tak mungkin saya mengorbankan kalian, demi

Tuhan, saya benar-benar bersumpah.

Malam selepas peristiwa itu terjadi, saya tidak lepaskan barang satu detik pun pandangan saya untuk melihat kamu

yang masih terbaring lemah, mendapatkan perawatan intensif di ruang gawat darurat setelah dipukuli babak belur oleh

preman-preman biadab suruhan ayah tiri saya, yang pada saat itu saya belum mengetahuinya. Ibu menangis kencang.

Berteriak dengan suara yang sangat memilukan. Ia memegang

tanganmu cemas sembari memohon agar satu anaknya ini, tolong jangan ikut dipanggil juga oleh Yang Maha Kuasa.

Sementara saya, di sela-sela pintu kaca besar, menengok secara diam-diam, hanya bisa merapal doa dalam hati. Samasama memohon agar kamu bisa selamat. Memohon agar kamu

bisa baik-baik saja dan kembali sebagai Kanami yang riang, bagaimanapun caranya.

Di malam itu saya masih belum mengetahui apapun.

Tentang penculikan, tentang penyiksaan kalian berdua yang

ternyata didasari oleh saya. Saya benar-benar tidak tahu. Yang

saya yakini saat itu, kalian berdua terkena musibah kecelakaan

dan mengalami luka yang cukup parah, hingga membuat Tama meninggal dunia. Sudah itu saja. Tak ada kabar apapun soal penculikan. Tak ada informasi tambahan mengenai kecelakaan kalian. Saya, Ibu, bahkan semua orang pada saat itu murni berpikir bahwa kamu dan Tama benar hanyalah korban tabrak lari yang malang.

Akan tetapi, di tengah-tengah kesadaran yang menurun, saat waktu sepertinya sudah menunjukkan tengah malam, sebuah pesan singkat masuk ke HP saya. Pesan yang saya kutuk seumur hidup sebab pengirimnya adalah Yudha Wiyoko, ayah tiri saya, dan bajingan itu mengabarkan kalau dialah yang

menjadi dalang dalam kecelakaan kalian hari itu. Orang gila itu berkata kalian bukanlah terluka karena ditabrak, melainkan terluka karena disiksa oleh orang-orang kepercayaannya. Dia kirimkan berpuluh-puluh foto mengerikan ketika kalian disiksa. Dia tertawa puas karena merasa menang. Dan dia mencari saya, menyuruh saya untuk datang kepadanya jika mau kamu selamat.

Bajingan itu terlalu mirip seperti setan. Perilakunya

melebihi iblis dan bahkan menurut saya iblis pun tak mau

disamakan dengan dia sebab dia sungguh tak mempunyai moral. Saya ingin melawannya, Nam. Saya ingin melaporkan semua kejahatan yang sudah ia lakukan.

Namun, saya benar-benar tak punya kuasa saat itu. Segala hal

yang saya lakukan, tak pernah berbuah manis meskipun sudah

diiringi oleh bukti-bukti kejahatan Yudha yang kuat. Ditambah

lagi, ancaman yang ia beri di malam tepat ia mengirimkan pesan sungguh membuat saya tertegun. Ia mengancam saya, mengatakan bahwa apabila saya tidak datang kepadanya, tidak

memberikan uang hasil warisan almarhum ayah kandung saya

untuk dia, dia, tidak akan segan untuk membunuhmu. Dia akan menghancurkan keluargamu. Dan dia tidak main-main, sebab dia tau bahwa kalian–kamu, Tama, bahkan Ibu adalah

dunia saya sekarang. Dia tau, saya tidak lagi menganggap diri saya ini berharga. Titik terlemah saya kini bukanlah sebuah

kematian diri, tetapi kematian dari orang-orang tersayang.

Kamu, Tama, dan Ibu. Oleh karenanya, dia mengancam saya

dengan keselamatan kalian. Poros dunia saya saat itu.

Ancaman Yudha terlalu berat, saya terpaksa untuk tunduk.

Maka dari itu, setelah pemakaman Tama, setelah saya selesai

menghantarkan kakak terbaik saya menuju ke tempat

peristirahatan terakhirnya, saya pergi. Menghilang. Saya tidak

biarkan diri saya sedikitpun terlihat di depan kalian. Menjaga

kalian, kamu dan Ibu, dari jauh. Mendoakan kalian, kamu dan ibu, di manapun saya berada. Kalian, tetap menjadi poros

dunia saya. Saat itu, sekarang, dan selamanya. Saya berjanji.

Berduka untuk waktu yang lama, akhirnya saya coba untuk

memulai hidup baru kembali. Sembari mengumpulkan

keberanian dan bukti lain untuk menghukum Yudha, saya

memutuskan pergi ke negeri tempat segala pengharapan dan

kemuliaan terpanjat. Saya coba melangkah, melakukan hal-hal

unik baru yang mungkin bisa melupakan segala penat di kepala, mencoba berteman dengan orang-orang baru juga

dengan harapan saya bisa menemukan sosok pengganti kamu dan Tama. Tapi nyatanya, kalian memang terlalu hebat untuk

sekedar dilupa sesaat. Kamu dan Tama seperti hidup dalam

kopi yang selalu saya seduh di pagi hari. Terasa pahit, tapi

sungguh selalu ingin saya seruput hingga gelas menjadi

kosong tak bersisa. Kamu dan Tama seakan ada dalam tiap

lembar buku-buku sejarah yang biasa saya baca di perpustakan kota. Sarat akan masa lalu, tapi tetap akan saya

baca meski halaman terakhir menceritakan sebuah kegagalan.

Kamu dan Tama seperti hidup dalam tiap cuaca London yang

terkadang bisa membuat saya begitu kepanasan, tapi di hari–

lainnya justru sangat membuat saya menderita karena dingin

yang dihadirkan begitu sakit menusuk tulang.

Kamu dan Tama tak lekang oleh adanya ruang dan waktu.

Tak menguap meskipun jarak sudah memisahkan. Tak

memudar walaupun waktu sudah memperingati. Tak

menghilang meskipun ingatan sudah menjadi batasan. Kalian

selalu hidup. Selalu nyata. Dan saya begitu sakit ketika

menyadari bahwasannya kebersamaan kita hanya bisa

terkenang lewat memori. Sebab untuk bisa bersama lagi, itu

tidak akan mungkin. Bertiga, kita sudah tidak bisa kembali

Kekosongan itu terjadi dalam waktu yang lama. London

yang saya kira bisa jadi penyembuh, nyatanya tak berkutik

apa-apa dengan segala luka dan kenangan yang ada. London

eye tak berpengaruh. Tower Bridge biasa saja. Big Ben tak berselera. Tempat-tempat indah di London tak dapat saya

nikmati keindahannya karena rasa di hati, seperti sudah mati tak tertolong lagi. Saya mencoba. Selalu mencoba. Saya coba

untuk membuka diri kembali. Berteman dengan orang-orang di sana. Berjalan menggunakan langkah dan senyuman baru

yang terpatri. Namun, semuanya malah menjadi kepalsuan diri

yang memuakkan hari-hari. Saya lebih memilih kosong

daripada menjadi palsu.

Hampir empat tahun sepertinya kala itu, saya di hidup di London seorang diri. Berteman dengan banyak orang tapi tak pernah berinteraksi lama. Bersua dengan yang lain, tapi hanya

sebagai formalitas. Hidup saya bisa didefinisikan membosankan, tapi tetap bisa berjalan normal. Dan di saat fase membosankan ini, saya tiba-tiba dipertemukan dengan

Jo dan Jeff yang akhirnya juga malah dapat membantu saya

untuk bisa kembali lagi mengetahui semua kabar tentang

kamu di sana. Mereka menjadi sahabat, sekaligus pemberi informasi terbaik hingga untuk pertama kalinya, saya bisa merasa aman tinggal di London.

Dari Jeff dan Jo saya mengumpulkan kekuatan. Dari mereka

juga, saya mengetahui bahwasannya kamu ternyata sudah lupa akan semuanya. Kamu lupa akan saya. Kamu lupa akan

kejadian mengerikan di akhir bulan November tersebut. Kamu, hanya mengingat separuh bagian memori hidup yang sudah

terjalani beberapa waktu sebelum kejadiaan naas itu terjadi.

Jeff dan Jo mengatakan mungkin ini adalah efek samping dari

segala bentuk luka dari kejadian tersebut, amnesia retrogade, hilangnya memori untuk peristiwa yang terjadi sebelum

trauma. Amnesia retrograde membuat kamu tidak dapat

mengingat sebagian atau bahkan semua masa lalu yang pernah dijalani.

Akan tetapi, apapun itu namanya, hilangnya ingatan baik

itu tentang kejadian penculikan maupun tentang saya dalam

hidup kamu, saya yakini pasti memiliki dilematis yang samasama bisa membunuh. Hilangnya ingatan mungkin membawa

kamu pada pertanyaan-pertanyaan tak berujung yang

menyiksa hati. Namun, mengingat segala kenyataan pahit pun, pada gilirannya, sama-sama menganiaya batin dan jiwa.

Ingatan menyakitkan, percayalah, selalu membawa luka yang

tersimpan dalam waktu yang lama. Dan itulah yang saya rasakan. Yang kita berdua rasakan.

Saya kira dengan melupa, itulah cara yang terbaik

mengobati luka, makanya saya sempat iri kepada kamu yang

bisa melesapkan semua ingatan yang ada. Namun ternyata, saya salah. Ketidaktahuan sebab lupa akan hal-hal yang lekat, jauh lebih menyakitkan karena bisa mengarahkan pada rasa frustasi yang menggila. Saya, tak bisa melihat kamu harus

menjadi gila karena semua ini. Saya ingin Kanami Kala, perempuan cantik penuh senyum yang sekarang sudah

semakin bertambah usianya, bisa merasakan lega karena

mengetahui segala hal yang ia pernah lupa. Meskipun mungkin

akan lebih membawa sakit, tapi setidaknya kamu akan sakit

dengan mengetahui kebenaran yang ada.

Maka dari itu, dengan beberapa keberanian yang sungguh

telah berusaha dikumpul selama bertahun-tahun lamanya, akhirnya, saya bertekad untuk menjadi orang pertama yang

akan menyadarkan ingatanmu. Saya berjanji, dengan nama

Tuhan yang Paling Esa, saya akan mengembalikan segala

ingatan yang mati-matian ingin kamu dapatkan kembali.

Ingatan baik atau buruk, saya bersumpah, akan saya berikan

kepada kamu meski konsekuensinya adalah kamu, akan

membenci saya seumur hidup.

Semuanya berjalan lancar pada awalnya. Dengan saya yang

perlahan masuk lagi ke kehidupan kamu melalui identitas

baru, kita mulai lagi kisah kita yang sempat terhenti dengan

mimpi sukacita yang tak kalah mengagumkan dengan mimpi 8

tahun lalu. Kita sudah semakin dekat. Percaya adalah suatu

rasa yang tak lagi menjadi pertanyaan. Namun tetap, niat saya

adalah untuk mengungkapkan kebenaran. Keberadaan saya

seharusnya tetap pada pendirian sebagai penunjuk arah untuk

kamu kembali mengingat, bukan malah untuk membangun perasaan yang dikenal dengan kata "cinta". Saya seharusnya

tidak sejauh ini. Ya, ini sudah terlalu jauh. Dan sekali lagi saya meminta maaf yang sebesar-besarnya karena ego dan

perasaan saya yang tidak bisa dijaga malah membuat

semuanya menjadi lama untuk terungkap. Kamu akhirnya

malah mengingat semuanya dengan cara yang perih. Kamu, tidak seharusnya mendengar cerita yang salah dari seorang

Iblis bernama Yudha Wiyoko.

Maaf. Maaf. Maaf. Sekali lagi maaf karena akhirnya saya

lagi-lagi gagal untuk sekedar melaksanakan tugas menjadi

penjaga dan penunjuk arah. Saya lagi-lagi harus membuat

kamu tersiksa hingga sekarang pasti kamu sedang menderita sedemikian hebat karena ulah saya yang terlalu payah ini. Saya

tidak ada pembelaan apapun. Tentang semua kata-kata kamu

yang pernah terucap kemarin, saya akui, itu benar. Tama tak

seharusnya menanggung masalah yang saya perbuat. Tama

adalah sebaik-baiknya manusia yang rela menjadi sahabat sejati. Tak seharusnya saya menyulitkan dia apalagi sampai

membuatnya berhenti untuk bermimpi selama-lamanya. Saya

berjanji tidak akan pernah memaafkan diri saya sendiri.

Namun, izinkan saya untuk selalu menunaikan pesan yang ia pernah titipkan saya. Perihal menjaga kamu. Saya izin untuk

melakukan itu selama hidup saya masih berjalan. Lalu

selanjutnya, tentang kata pergi yang selalu terulang, saya akan

lakukan itu, Nami. Secepatnya. Saya berjanji tidak akan pernah

datang ke kehidupan kamu lagi. Saya akan pergi dan mari kita

hidup masing-masing dengan cerita baru yang lebih berwarna. Saya pasti tidak akan lupa. Selamanya, saya akan

mengintrospeksi diri untuk semua kesalahan yang ada. Tapi

kamu, tolong hidup dengan baik dan harus penuh bahagia.

Tetap harus bersinar, di manapun kamu berada.

Nami, saya mencintai kamu, dan itu pasti. Semua ruang

rasa dan pikir yang saya miliki, ternyata memang benar habis oleh kamu sendiri. Kamu ternyata memang benar akan selalu hidup dalam setiap kopi yang saya minum, nasi putih yang saya makan, buku tebal yang saya baca, dan bahkan oksigen yang saya hirup. Kamu akan selalu menjelma. Hidup. Dan saya tidak akan keberatan untuk itu, sebab sekali lagi, kamu adalah

bintang saya. Semesta saya. Sekali lagi, kamu adalah bagian yang paling saya sukai dari realitas hidup yang menyakitkan ini. Saya akan melakukan apa saja asalkan kamu tetap bersinar, walaupun pada gilirannya itu malah akan membuat saya pergi sejauh-jauhnya dari kamu. Itu, sama sekali bukan masalah.

Satu-satunya yang terpenting adalah kamu harus bahagia, kamu harus bersinar, kamu harus merasa 'hidup' kembali.

I hope you can find your own kind of happiness. I want you to have the courage to believe that you deserve everything you want, that you are capable and worthy of creating for yourself the kind of life that inspires something inside of you. I hope you find the kind of love that makes you want to be a better version of yourself. I wish you all the best and thank you for coming into my life. You are my star. You are my everything.

Barangkali cinta akan memudar katanya seiring dengan

memudarnya sebab. Tapi saya mencintai kamu tanpa sebab

apapun. Maka dari itu, segala janji bisa saya ucap, kecuali

melesapkan rasa yang sudah lama tertanam di hati.

Terima kasih Kanami. Terima kasih sudah menjadi pelajaran

sekaligus cinta terbaik di hidup saya. Semoga kita bisa

bertemu lagi di kesempatan lainnya. Semoga Tuhan, memberikan kita kesempatan lainnya. Amin.

This Is The First Book I Wrote

For My Star: Kanami Kala

-END-

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.