Magang Mojok II-2021

Page 1

Magang Mojok II

(13 September – 8 November 2021)

Editor:

- Amannisa Elsani Sunardi

(Editor magang pada semua halaman)

- Prima Sulistya Wardhani

(Redaktur Pelaksana Mojok.co 2021 dan editor pada halaman 1-10, 27-58, 68-74, dan 82-94)

Ilustrator:

Lailan Fadhilah Tambunan

(Ilustrator magang pada semua halaman)

EDITORIAL

Balada Dinda-Dinda yang Punya Resting Bitch Face……………………………...1

Childhood Animal Cruelty: Bibit Suka Menyiksa yang Berbahaya……………..…5

Seandainya Hidup Memiliki Timer………………………………………………...8

Diary dan Privasi yang Terjajah sejak Kanak-kanak……………………………..11

MenjadiPemilik KosdenganSegala Kesialannya yang Menyebalkan…………...15

Ibu Mega Adalah Teladan bagi Kita yang Menghadapi Quarter Life Crisis……...19

Kiat-kiat Split Bills Paling AmpuhBikin Awet Pacaran………………………….23

LIPUTAN

CeritaPedagang Kuliner diJogja yang JadiSaksiHidup MahasiswaRantau…….27

Kisah Kuli Freelance yang Tiap Pagi Menanti Pekerjaan di “Depnaker”

Kalasan…………………………………………………………………….39

Di Balik Kemudi: Melihat Jasa Angkut Bekerja Sebelum dan Semasa

Pandemi……………………………………………………………………50

Gaya Hidup Food Waste Juga Ada Faedahnya buat Mereka yang Lapar…………59

AnakMuda, Healing, danProsesMenujuKestabilan…………………………….68

Cerita dariOrang yang Merawat danPeduli Kucing Jalanan……………………..75

TERMINAL

BukandiLSMatau Start-up,KerjadiPemerintahanyangPaling Enak…………..82

Abrakadabra 101: Serba-serbi Reaksi Klien ketika Diramal dengan Tarot………84

Berasal dari Kota Ambon Bukan BerartiPunya Suara Merdu……………………88

Lucky Cigarette dan Takhayul tentang Menjadi Baik-baik Saja…………………91

DAFTAR ISI

Pulau Geser: Pulau Kecil di Maluku denganCiri Khas Uniknya…………………95

Menjelang Halloween, Berikut Origin Story Hantu-hantu Indonesia yang Perlu

Kamu Cermati!..............................................................................................98

Copaganda: Polisi Baik Memang Cuma Eksis diSerial Drama Kriminal………105

Proses Mencintai Dapur Adalah Perjalanan yang Panjang dan Penuh Liku……109

4 Rekomendasi Anime Ongoing diMusimGugur………………………………113

Dicintai dengan Obsesif Adalah Ketidaksadaran yang Berbahaya……………...116

Apa BolehNyantumin Nama PasangandiHalaman Persembahan Skripsi?.........119

Ngomongin Masalah Orang Tua ke Anak, Perlukah? ............................123

Berdamai dengan Air Mata untuk Merawat Kenangan……………………….....127

Ingatan Sembrono dan Ikan Kurisi……………………………………………...131

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Balada Dinda-Dinda yang Punya Resting Bitch Face

oleh Nabila Cahyawati Santosa

Mungkin Dinda gak marah, dia cuma punya resting bitch face.

Belakangan ini jagat TikTok di Indonesia sedang terjangkit sebuah lagu. Lagu ini memiliki penggalan lirik yang menyuruh Dinda agar tidak marah-marah. Jika ditelusuri liriknya secara utuh, “Dinda” dalam lagu tersebut sebenarnya merujuk pada kata “adinda” yang berarti adik perempuan, namun lagu tersebut berakhir dengan mengiringi rekaman yang didominasi oleh Dinda-Dinda yang terlihat sedang tidak baik-baik saja: entah terlihat sedang ngambek, marah-marah, atau sekadar memasang resting bitch face di sepanjang rekaman.

Fenomena lagu dan video yang menjamur ini membawa ingatan saya ke masa lalu, kira-kira lima tahun yang lalu ketika saya masih duduk di bangku SMA. Sewaktu SMA saya sering kali diberi julukan sebagai wanita yang judes, dingin, pemarah, dan kaku. Tidak sepenuhnya salah, sih, namun tidak sepenuhnya benar pula.

Pernyataan benarnya: Saya mengakui bahwa saya memang terbilang kurang ekspresif dalam merespons sesuatu atau dalam berkomunikasi secara tatap muka.

Pernyataan salahnya: Tentu saya tidak gemar marah-marah sepanjang waktu.

1

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Sebagai orang yang canggung, saya tidak sadar bahwa ternyata apa yang terlihat padadirisayaakantampaksepertiorang yang galak danpemarahbagilawan bicara, apalagi untuk yang tidak mengenal saya secara mendalam alias superfisial. Saya yakin: Kasus serupa tidak hanya dimiliki oleh saya, tetapi juga banyak yang lain di luar sana. Dikira sedang marah padahal tidak. Ya, memang pembawaannya saja begitu, mau bagaimana lagi?

Kasus ini menjadi semakin pelik ketika tidak hanya teman-teman saja yang memberikan tanggapan atas ketakutan mereka terhadap ekspresi saya. Suatu pagi seorang guru tiba-tiba menegur saya ketika saya sedang mencium tangan beliau ketika hendak memasuki area sekolah.

“Nabila, kenapa, kok, marah-marah? Mbok senyum gitu, lo.”

Terkejutlah saya mendengar pertanyaan dan permintaan spontan itu. Pertama, terkejut karena ditanya kenapa marah-marah, padahal tidak sedang marah. Kedua, terkejut karena bingung kenapa disuruh untuk tersenyum, alih-alih diminta untuk menarik napas panjang, berzikir, atau beristigfar. Kenapa harus tersenyum?

“Saya nggak marah, kok, Pak. Memang muka saya gini,” jawab saya kemudian.

“Lho, anak perempuan, kok, mukanya marah-marah kaya gitu. Nggak boleh. Ayo, senyum yang lebar!”

Jeduer! Saya merasa baru saja disengat listrik bertegangan tinggi sekaligus diberi tahu nilai ulangan harian bahasa Prancis. Kaget dan bingung. Kenapa perlu penambahan embel-embel “anak perempuan” yang membuat pikiran negatif saya jadi berkelana ke sana kemari? Pagi yang tadinya damai dan biasa saja berubah menjadihariyangtidakterlupakanuntuksayasampaisaat ini, managuru sayapakai acara nungguin saya untuk tersenyum pula. Kalau belum tersenyum, saya belum beliau loloskan untuk pergi. Karena melihat antrean salim di belakang saya yang semakin mengular dan kepo apa yang terjadi pada saya, saya menutup pagi itu dengan tersenyum lebar―tentu tidak dengan ikhlas―kemudian dibalas dengan sangat puas oleh guru saya, “Nah, gitu ‘kan bagus.”

(September-November
Magang Mojok II
2021)
2

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Ah, betapa menyebalkannya punya resting bitch face. Peristiwa diminta untuk berwajahbaik denganalasansayaperempuansebenarnyatidak hanyaterjadisekalidua kali. Secara tidak sadar, perempuan sering diminta untuk memasang wajah tersenyum oleh berbagai macam orang. Contoh sederhananya adalah para catcaller yang meminta kaum perempuan untuk tersenyum dan tidak jutek agar kelihatan cantik dan mempesona di depan mereka. Contoh tidak sederhananya adalah kasus yang terjadi antara saya dan guru saya.

Tersenyum memang hal yang bagus, namun diminta untuk tersenyum adalah persoalan lain. Berhadapan dengan resting bitch face dan diberi perasaan seolah sedang dimarahi memang sesuatu yang tidak menyenangkan. Denganalasan seperti itu, saya mafhum jika saya harus mulai memikirkan untuk melatih ekspresi saya bila berkomunikasi dengan orang lain.

Saya merasa sangat keberatan ketika diminta untuk tersenyum jika alasannya adalah agar saya tampil pantas sebagai wanita, seolah kodrat wanita adalah selalu terlihat ramah, cantik, baik, dan presentable di mata masyarakat, apalagi jika

juntrungannya adalah agar pihak yang melihat mendapat kepuasan dari tampilan visual yang diharapkan selalu indah adanya. Hadeh. Saya manusia biasa yang memiliki hak untuk tidak terlihat baik-baik saja di tiap saat, juga merasa diri saya sendiri yang memiliki otoritas tertinggi atas tubuh saya. Ingin terlihat seperti apa, ingin menunjukkan diri saya seperti apa, tanpa perlu takut dengan pandangan siapa pun terhadap diri saya.

Akhir kata, lagu tersebut menjadi pengingat saya untuk refleksi diri. Saya berharap saya tidak terlalu menyusahkan banyak orang dengan kekhawatiran mereka karena mengira diri mereka saya marahin. Kita tidak perlu khawatir akan pandangan orang lain hanya karena kita perempuan jika terlihat tidak baik-baik saja di tiap kondisi kita.

Sepertinya para pengguna lagu di TikTok tersebut harus mulai mempertimbangkan pemikiran bahwa mungkin Dinda sedang tidak marah-marah. Dinda hanya sedang menjadi dirinya sendiri. (NCS/AES/LFT/PSW)

Magang Mojok II (September-November 2021)
3

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Editorial – Rabu, 29 September 2021

https://mojok.co/magangdimojok/balada-dinda-dinda-yang-punya-resting-bitchface/

4

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Childhood Animal Cruelty: Bibit Suka Menyiksa yang Berbahaya

oleh Yafi’ Alfita

Wah, memangnya bisa perbuatan menyiksa hewan sudah ada sejak masih anakanak?

Sejak kecil hingga kini saya masih kerap disuguhi pemandangan childhood animal cruelty atau kegemaran anak untuk menyiksa hewan, bahkan beberapa hari yang lalu saya kembali menyaksikan kejadian yang menyulut emosi saya. Saya melihat seorang anak melempar kucing dengan kursi plastik di warung soto.

Berengseknya, kedua orang tuanya yang melihatnya tidak melakukan apa-apa.

Kegemaran menyiksa hewanpada anak ini masih menjadi hal yang dimaklumi oleh para orang tua, padahal kekejaman kepada hewan ini pertanda bibit-bibit suka menyiksa yang ada pada anak.

Saya telah disuguhi pemandangan seperti ini sedari kecil. Dulu di kampung kelahiran saya anak-anak laki-laki berkumpul untuk membakar sebuah sarang burung beserta telur-telurnya. Bermodalkan sebuah korek api, anak-anak itu menyaksikan telur burung yang masih berisi janin burung beserta lendir-lendirnya dibakar sampai habis.

Magang Mojok II (September-November 2021)
5

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Di lain waktu di SD saya dulu kami baru saja selesai mempelajari bagaimana cara

hewan melindungi diri, salah satunya adalah proses autotomi pada cecak. Lantas atas rasa penasaran tersebut, anak-anak di kelas saya mengambil seekor cecak dan menunggunya untuk memutuskan ekornya sendiri. Lantaran cecak tidak kunjung

melakukan proses autotomi, sekumpulan anak-anak yang sedang geregetan itu mengambil sebuah cutter dan mengiris ekor cecak itu secara mandiri. Apa nggak pekok?

Pun belum lama ini, di akun TikTok saya sering muncul hal yang sama. Menggunakan sound sebuah lagu yang dimaksudkan untuk menampilkan videovideo lucu, para orang dewasa ini mengunggah video “keisengan” balita yang tengah gemas terhadap hewan peliharaannya. Video-video itu sering kali menampilkan kekejaman balita pada kucing. Tak jarang ada video yang menampilkan balita yang menyeret ekor anak kucing, bahkan juga melemparlempar tubuhnya, menginjak perutnya, dan menduduki punggungnya.

Saya jadi kepikiran: Kira-kira para orang tua dari anak-anak ini sadar nggak, ya, bahwa menyiksa hewanadalah hal yang keterlaluan, bahkan jika anak-anak mereka pelakunya?

Lingkungan yang mendukung

Saya pernah berbincang dengan seorang teman yang mengaku bahwa sedari kecil

ia kerap menyiksa hewan. Ia sering mengusir seekor kucing dengan cara menendangnya agar kucing itu kapok dan enggan kembali lagi. Ia pun bercerita bahwa sejak kecil kita memang seringkali diperlihatkan di layar kaca bahwa hewan adalah aktor jahat dalam kehidupan kita.

“Lihat saja berita di televisi semisal ada monyet ngamuk yang masuk ke perkampungan. Menurutmu, dia yang jahat memasuki kampung itu atau ternyata keberadaan kita yang memang telah mengusik habitatnya?” “Sial, iya juga,” batin saya. Di samping pengalaman pribadi ternyata sedari kecil kita sudah disuguhi berita semacam itu yang mendukung kita untuk melakukankekejamanpada hewan.

Magang Mojok II (September-November 2021)
6

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Maka, teruntuk para orang tua, saya kira sudah waktunya untuk menyadari bahwa

hewan merupakan makhluk hidup yang kedudukannya sama dengan manusia.

Hewanseakanmemilikiderajat palingrendahdalamkehidupankita yang bebaskita

apakan saja tanpa perlu menaruh rasa bersalah. Meskipun penyiksaan terhadap

hewan dilakukan oleh balita-balita yang belum mengerti konsekuensi terhadap perbuatannya, justru di situlah peranan orang tua seharusnya hadir.

Pemakluman ala orang tua, “Ah, namanya juga anak-anak.”

Seperti cerita yang saya sebutkan di awal, ketika saya sedang makan soto dan seorang anak melempar kursike seekor kucing tanpateguran sama sekalidariorang

tuanya, hal ini seakan telah menjadi hal yang lumrah di kalangan kita. “Ah, namanya juga anak-anak,” sanggah para orang tua demi memaklumi perlakuan anaknya. Saya justru jadi berpikir, jika begitu aturan mainnya, apakah lantas hewan yang disiksa tadi lalu membatin, “Ah, namanya juga manusia.”

Saya jadi menaruh rasa iba, terutama kepada hewan-hewan peliharaan yang tinggal bersama anak kecil di rumahnya, apalagi jika orang tuanya bersikap masa bodoh dengan kelangsungan hidup hewan-hewan tersebut. Yang terpenting hanyalah hiburan untuk anaknya bermain.

Menebak apa alasan mengapa manusia masih memosisikan hewan lebih rendah derajatnya daripada manusia seakan tiada habisnya. Coba saja: Jika yang disiksa anak-anak dalam cerita tadi adalah manusia, apakah kita masih ingin menyanggah, “Ah, namanya juga anak-anak”? (YA/AES/LFT/PSW)

Editorial – Rabu, 29 September 2021

https://mojok.co/magangdimojok/childhood-animal-cruelty-bibit-suka-menyiksayang-berbahaya/

(September-November 2021)
Magang Mojok II
7

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Seandainya Hidup Memiliki Timer

oleh Yafi’ Alfita

Renungkanlah….

Saya tahu bahwa dalam hidup ini kita telah memiliki timer masing-masing yang menghitung mundur kapan kita mati, namun saya butuh timer yang lebih dari itu.

Saya termasuk golongan orang yang butuh banyak syarat untuk tidur. Itu sebabnya saya menyalakan lampu, televisi, dan Spotify sebagai pengantar tidur. Agar tidak menyala sepanjang malam, saya selalu memasang timer untuk mematikan ketiganya. Saya bisa memakai guling sebagai temantidur atau barang apa pun yang ada di sekitar saya. Meski saya juga butuhguling, namun yang satu itu lebih mudah untuk saya akali.

Tatkala berada di rumah rutinitas saya sebelum tidur adalah menyalakan televisi dan memasang timer (atau pengatur waktu) hingga televisi tersebut mati dengan sendirinya. Saya pasang timer kira-kira 30-90 menit, tergantung taraf mengantuk saya saat itu.

Hal tersebut tak berubah manakala saya tidak sedang bermalam di rumah. Jika tempat yang saya tinggali tidak memiliki televisi, saya harus memutar lagu-lagu di Spotify dengan earphone dan memasang timer. Terkadang saya terbangun oleh

iklan di sela-sela lagu sebab akun saya belum menjadi akun premium.

8

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Membayangkan jasa-jasa yang telah diberikan timer kepada saya, saya berpikir:

Bagaimana kalau ternyata kita juga memiliki timer dalam kehidupan sehari-hari?

Saya yakin semua manusia pernah memiliki problemnya sendiri terhadap waktu. Mengenang masa kecil saya di rumah, saya memiliki timer yang dapat menyuruh sayauntukberhentimengerjakansesuatudanberistirahat. Timer tersebut adalahibu saya. Kala saya belajar untuk ulangan harian esok hari, Ibu sering kali menghentikan saya dan menyuruh saya tidur. Tentu saya cuma bisa manut lantaran saya memang mengantuk.

Keesokan paginya saya menyesal karena saya tidak mendapat nilai ulangan yang maksimal. Saat itu saya selalu menyalahkan Ibu sebab tak membiarkan saya belajar dan selalu menyuruh saya beristirahat. Kendati demikian, dewasa ini saya tersadar bahwa nilai ulangan yang tak maksimal itu toh tak menjerumuskan saya ke manamana. Lagi pula, waktu untuk istirahat dan tidur yang saya pakai saat itu tak akan pernah kembali.

Ibu menyadarkan saya bahwa tak ada sesuatu yang pantas diperjuangkan matimatian. Oleh karenanya, saya sering membayangkan jika ada timer dalam hidup saya yang dapat bekerja seperti Ibu: tahu kapan saya harus berjalan dan kapan saya harus beristirahat. Toh hidup hanya sekadar untuk terus bersama orang-orang tersayang. Kita sering kali terbuai mengejar dunia, padahal sejatinya dunia tak beranjak ke mana-mana.

Apabila ada timer lain di dunia ini yang bisa bebas saya atur, saya akan menghidupkan timer yang bisa membuat saya kembali berpijak di bumi.

“Bagaimana jika esok hari begini” atau “bagaimana jika esok hari begitu” adalah hal yang selalu membuat saya penat dan muak. Angan-angan memang tak selamanya harus mengenai hal bagus. Saya justru lebih sering membayangkan halhal buruk yang dapat terjadi pada diri saya. Angan-angan itu pulalah yang menghentikan saya dalam mengerjakan sesuatu lantaran terus dihantui ketakutanketakutan yang hanya terjadi di pikiran saya.

(September-November
Magang Mojok II
2021)
9

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Oleh karena itu, jika bisa dan mungkin, saya akan menyalakan timer yang

mengatakan kepada saya untuk berhenti memupuk ketakutan dan terus melangkah. Ketakutan yang selalu saya bayangkan tak akan menyelesaikan masalah atau merampungkan pekerjaan.

Saya sering bersantai dan tak melakukan apa-apa meski saya tahu bahwa masih banyak yang harus saya kerjakan. Terlalu banyak yang harus saya kerjakan sehingga saya bingung harus memulai dari mana.

Ini tak kalah penting dengan opsi-opsi timer yang saya inginkan tadi. Saya juga membutuhkan timer yang bisa membentaksaya. Timer yang menyadarkansayadari lamunan panjang dan meyakinkan saya bahwa hari ini terlampau indah untuk saya habiskan hanya dengan melamun.

Bukankah hidup akanterasa begitu indah jika kita memiliki timer yang dapat selalu mengingatkan kita... atau justru kita yang harus belajar untuk menjadi timer bagi diri kita masing-masing? Timer seperti Ibu tidak akan mungkin menemani kita selamanya. Oleh sebab itu, tentu kita harus mempersiapkan segalanya demi melanjutkan hari-hari panjang. (YA/AES/LFT/PSW)

Editorial – Selasa, 12 Oktober 2021

https://mojok.co/magangdimojok/seandainya-hidup-memiliki-timer/

10

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Diary dan Privasi yang Terjajah sejak Kanak-kanak

oleh Nabila Cahyawati Santosa

Hayo, siapa yang sering kepo sama rahasia orang di sekitarnya? Jangan dibiasakan, ya!

Suatu hari ketika sedang berbincang santai dengan Ibu, saya menangkap satu hal yang aneh. Ibu menyebutkan nama teman yang belum pernah saya ceritakan pada beliau. Setelah coba mengingatnya lagi, saya makin yakin. Orang tersebut memang

belum pernah saya ceritakan, malah, tidak akan pernah. Orang itu adalah orang yang pernah saya taksir diam-diam dan tidak perlu saya ceritakan. Keheranan ini terjawab sudah ketika menemukan diary (atau buku harian) saya tergeletak tidak pada tempatnya. Hmmm, apakah ini bentuk dari penjajahan privasi?

Saya tahu Ibu pernah membaca diary saya ketika SD. Tetap merasa sebal, namun saya pikir itu hanya akan berlangsung sekali. Itu pun atas dasar ketidaksengajaan.

Siapa tahu, beliau tidak sadar itu adalah sebuah diary. Beliau mungkin mengira

buku itu bukanlah buku harian, apalagi itu memang diletakkan secara sembarangan

waktu itu. Entah apakah pikiran saya dahulu terlalu mulia… atau justru terlalu bodoh. Dengan adanya repetisi ini, jelas membuat saya sadar bahwa ibu saya sengaja membacanya.

(September-November 2021)
Magang Mojok II
11

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Ingin marah ke Ibu, kok, rasanya malu. Takutnya, nanti beliau malah makin

membahasnya dan menanyakan lebih rinci perkara orang tersebut. Kalau saya tidak marah, kok, rasanya tidak adil. Privasi saya ditelanjangi oleh ibu sendiri. Orang yang seharusnya paling saya percaya di dunia. Atau justru sebab beliau adalah ibu saya, beliau boleh membaca diary anaknya? Kok, rasanya tetap tidak benar, ya?

Hal yang sama rupanya tidak hanya dialami oleh saya. Seorang teman, sebut saja

Bunga, mendadak histeris ketika mendengar cerita saya. “Sama, Nab! Sama!

Mamaku juga gitu, padahal bukunya sudah aku sembunyiin, lho. Masih aja dibaca. Pakai disinggung segala pas lagi ngobrol.” Peristiwa ini makin menyadarkan saya.

Jangan-jangan sejak kecil, sebagian dari kita memang sudah tidak punya privasi.

Saya tidak memahami alasan mengapa orang dengan sengaja membaca diary orang

lain, apalagi anggota keluarga sendiri. Mungkin ketika ada kecurigaan yang

beralasan, hal tersebut bisa lebih dibenarkan. Contohnya yakni tatkala anak

dicurigai melakukan tindakan kriminal serius. Setelah diamati, anak ini tiap berangkat sekolah selalu membawa cangkul dan parang. Saat pulang sekolah selalu ada noda darah di bajunya. Nah, kalau itu, ada kemungkinan ditemukan bukti autentik melalui buku hariannya: “Dear diary, ternyata klitih asyik juga, ya.”

Setelah dipikir-pikir lagi, aktivitas saya sebagai manusia tidak seberbahaya itu. Begitu pula dengan teman saya dan mayoritas anak Indonesia yang lain. Tindakan sebagai anak berusia praremaja dan remaja memang tidak selalu terlihat lurus, namun menjadi berlebihan jikalau melampaui batasan privasi anak. Kecurigaan itu rasanya tidak masuk akal. Satu-satunya yang masuk akal bagi saya yaitu bahwa orang ingin membaca buku harian orang lain karena penasaran.

Artinya, rasa penasaran (atau kepo) mampu menjajah privasi orang lain, bahkan anggota keluarga sendiri.

Pentingnya menjaga privasi tetap berada pada tempatnya

Menulis di diary merupakan bentuk katarsis yang menyenangkan bagi sebagian orang. Melalui diary, kita bisa menyampaikansegala hal. Hal yang barangkali tidak bisa atau hanya terlalu malas untuk disampaikan pada orang lain. Hal-hal remeh

II (September-November 2021)
Magang Mojok
12

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

yang ingin kita bagi hanya dengan diri kita sendiri. Ketika diary kita dibaca orang lain, rasanya seperti tercipta akumulasi perasaan marah, malu, dan sebal. Alhasil, keinginanuntukmenulis diary jaditerpengaruh. Kitacenderungtidak ingin menulis diary lagi. Terlanjur kagok.

Dampak dari terjajahnya privasi juga bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan. Dengan kata lain, hal ini menambah trust issues di tiap pribadi. Pikiran-pikiran negatif mulai muncul, apalagi bila privasi dijajah oleh anggota keluarga sendiri. Mengapa orang-orang yang paling kita percaya justru yang melanggar hak untuk memilikiruang yang utuhdanpribadi. Kalau sudah begitu, siapa lagi yang bisa kita percaya?

Perasaan tidak dihargai juga dapat tercipta dari terjajahnya privasi ini. Anak dapat merasa tidak mempunyai hak untuk memiliki sesuatu yang penting baginya: kebebasan untuk menyimpan “hidupnya” secara rahasia dan intim melalui diary.

Anak dapat merasa segala hal dalam hidupnya boleh dilihat oleh orang lain bila mereka ingin. Dampak jangkapanjangnya yaknianak akan menjadikesulitandalam menentukan batasan pada dirinya sendiri.

Anak boleh memiliki ruang tidak berbahaya yang ingin dia ciptakan sendiri: ruang yang aman dan personal untuk dirinya. Keluarga tetap harus memiliki batasan antaranggota. Batasan ini membuat kepercayaan menjadi hal yang normaldan sehat di dalam keluarga. Terciptalah interaksi antarindividu yang saling menghargai dan tidak merasa unggul di atas yang lain.

Pada akhirnya, anak berhak memiliki privasi yang tidak diganggu gugat oleh keluarga sekali pun. Perlahan, anak akan memahami konsep “memiliki hal-hal pribadinya sendiri” dan ia bisa melakukan itu. Jangan sampai penjajahan berkedok hubungan kekeluargaan ini malah menjadi malapetaka untuk semua pihak. Tentu sajahalyangpalingkitahindariadalahtiba-tiba menemukanhalamansedihdi diary

anak: “Dear diary, aku sudah tidak punya privasi di rumah ini. Apa baiknya aku telepon Kak Seto saja, ya?”(NCS/AES/LFT)

Editorial – Kamis, 14 Oktober 2021

Magang Mojok II (September-November 2021)
13

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

https://mojok.co/magangdimojok/diary-dan-privasi-yang-terjajah-sejak-kanakkanak/

14

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Menjadi Pemilik Kos dengan Segala Kesialannya yang Menyebalkan

oleh Nabila Cahyawati Santosa

Pengalaman anak rantau yang ngekos di tempat menyebalkan memang menarik, namun ini tidak hanya berupa cerita satu arah dari sisi anak kosnya. Ibu saya mengelola kos khusus pria. Selama menjalankan bisnisnya, beliau kerap mendapatkan kesialan-kesialan tak terduga. Kesialan yang beberapa di antaranya bisa menjadi pelajarandan renungan asyik untuk kita semua. Tidak untuk dicontoh, tentu saja. Wahai para anak kos budiman di mana pun kalian berada.

#1 Penipuan berkedok sewa kamar

Penipuan model ini biasanya menyasar pemilik kos newbie yang masih terburuburu dalam menerima penyewa. Modalnya hanya nomor telepon pemilik kos yang didapatkan secara cuma-cuma di web tempat mengiklankan properti. Melalui sambungan telepon, penipu akan berkata bahwa ia sudah mantap ingin menyewa kamar. Ditambah dengan pujian hiperbola seperti harga sudah sesuai, lokasi cocok, atau warna tembok sesuai dengan fengsui.

Magang Mojok II (September-November 2021)
15
Adaaa aja kelakuan bocah yang nyewa kamar kos, wqwq~

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Hal yang tentu saja cukup ganjil. Mengingat ia belum melihat kondisi dan lokasi kamarnya secara langsung.

Kalau sudah begini, penipu akan berpura-pura sudah transfer sejumlah uang pada pemilik kos. Ketika pemilik kos mengecek rekening dan tidak menemukan transaksi masuk, di sinilah penipu bekerja. Penipu akan menggocek korbannya untuk pergi ke ATM. Dengan tipu muslihtanya, ia melakukan perintah jarak jauh yang membuat rekening korban berkurang. Ala-ala modus penipuan ATM pada umumnya, lah.

Akan tetapi, penipuan seperti ini tidak berjalan lancar di keluarga saya. Ibu saya ndilalah lupa dengan saldo di rekeningnya sendiri. Jadi, ketika si penipu bilang apakah uangnya sudah masuk, ibu saya malah menjawab sudah. Penipunya jadi bingung sendiri, deh, lantas memutuskan tidak jadi melanjutkan aksinya. Janganjangan, malah ia yang takut ditipu ibu saya.

Oleh karena itu, calon-calon penyewa kos melalui telepon seperti ini harus kita curigai. Kalau perlu, kita tanya dulu bibit, bobot, dan bebetnya.

#2 Ngakunya saudara, ternyata bukan

Bagi pemilik kos yang tidak membatasi jumlah penyewa dalam satu kamar, penipuan seperti ini marak terjadi. Kos milik ibu saya pernah dihuni oleh pria dan wanita yang mengaku kakak-beradik. Data diri berupa fotokopi KTP yang diserahkan juga menunjukkan alamat rumah yang sama.

Entah karena kesialan mereka atau keberuntungan saya, suatu hari saya iseng mencari data diri mereka di sosial media. Berbekal dari nama yang saya tahu dari fotokopi KTP, saya menemukan akun Instagram mereka.

Alangkah terkejutnya saya ketika melihat bentuk kemesraan yang mereka umbar di platform tersebut. Kemesraan yang terlalu ganjil jika mereka benar kakak-beradik.

Sebelum dihakimi ibu saya sebab melapor tanpa bukti, saya telaah lebih lanjut akun mereka. Setelah menelusuri puluhan story, caption, dan foto di feed, saya berani

(September-November
Magang Mojok II
2021)
16

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

mengambil kesimpulan paling menegangkan dalam hidup saya: Pasangan kampret ini telah menipu kami.

Akhirnya, kedamaian berhasil kembali melingkupi kosan ibu saya setelahpasangan itu dikeluarkan secara tidak hormat. Pesan moralnya: Kemampuan stalking sebagai perempuan rupanya berguna untuk menyingkap tabir maksiat. Mengumbar kemesraan di media sosial memang perlu dipikirkan baik-baik, terutama bila punya ibu kos yang anaknya semidetektif.

#3 Pergi tanpa pamit

Jangan sangka hanya gebetanmu yang bisa pergi tanpa pamit. Anak kos juga sama. Anak kos tukang ghosting biasanya dijumpai di akhir bulan. Tepat ketika seharusnya ia sudah membayar tagihan kos bulan ini sekaligus bersiap membayar kos bulan depan. Bagaikan ninja, mereka mengeluarkan semua perabotan dan barang pada malam hari. Keesokan harinya tidak tersisa apa pun di dalam kamar. Hanya kunci kos yang dibiarkan menggantung bersama iktikad tidak baik yang terpatri selamanya.

Setidaknya kalau mau kabur, sisihkanlah sedikit effort untuk menulis surat perpisahan. Walau tidak menjamin akan mendapat pengampunan dari ibu kos, setidaknya surat yang baik bisa ibu kos kirim ke Mojok. Diterbitkan dengan judul “Surat Permohonan Maaf untuk Ibu Kos Tersayang”, lalu honornya bisa digunakan untuk mengganti biaya kos, deh. Win-win solution.

#4 Tidak bisa dihubungi

Tipe manusia ini adalah yang paling tidak diinginkan dalam sejarah mengelola jasa penginapan. Barangnya masih ada di dalam kamar, tapi sosoknya tidak ada. Begitu pula dengan kontak dan uang sewa bulanannya. Raib semua. Sudah dihubungi berapa kali pun, tetap tidak ada jawaban. Bisa dibilang, model ini adalah penyewa gaib.

Berbeda dengan manusia ninja yang kabur, setidaknya mereka membawa barangbarangnya pergi sehingga bekas kamar mereka bisa dihuni orang lain. Nah, kalau

Magang Mojok II (September-November 2021)
17

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

penyewa gaib masih meninggalkan jejak hidup mereka, penghuni kos baru yang ingin menyewa tidak dapat masuk.

Saya pernah menyarankan pada ibu saya untuk membuang barang-barang penyewa gaib ini. Pada dasarnya, Ibu adalah seorang ibu: Beliau tidak tega. Jika memang tidak ada kejelasan dari penyewa gaib, saya akan menyadur gaya manusia ninja. Diam-diam, saat malam tiba akan saya keluarkansemua barangnya, kemudian saya jual.

Pengelola ala ninja 1:0 Penyewa gaib

Itulah sekian kesialan yang pernah ibu saya alami sebagai pengelola kos-kosan.

Sebagai anak kos, tentu kita ingin mendapat pengalaman ngekos yang baik dan tidak rese. Hal yang harus kita ingat adalah memanusiakan pemilik kosnya.

Selayaknya orang tua, pemilik kos memang kadang bisa kepo, cerewet, dan menyebalkan, namun hal-hal itu yang menjadikan orang tua sebagai orang tua, bukan? (NCS/AES/LFT)

Editorial – Selasa, 19 Oktober 2021

https://mojok.co/magangdimojok/menjadi-pemilik-kos-dengan-segalakesialannya-yang-menyebalkan/

18

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Ibu Mega Adalah Teladan bagi Kita yang Menghadapi Quarter Life Crisis

oleh Ahmad Maghroby Rahman

Kalau harapan kalian belum terwujud sekarang, bersabarlah. Kelak semesta akan mempertemukan kalian dengan impian kalian selama ini~

Saya heran, deh, kenapa banyak orang nyinyirin Ibu Mega―sapaan Megawati Soekarnoputri―yang diangkat jadi Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)? Emang letak permasalahannya di mana? Daripada memberikan respons negatif, saya justru melihat diangkatnya Ibu Mega menjadi Ketua DewanPengarahBRIN sebagai cerminan dansuritauladan bagiorang-orang yang tengah dalam fase quarter life crisis seperti saya.

Netizen yang terhormat, coba insting nyinyirnya dibuang dulu. Coba kita berpikir jernih dan mengambil sisi positif dari Ibu Mega.

Masalah karier, impian yang tak kunjung tercapai, melakukan hal yang sebenarnya bukan passion kita, dan permasalahan lain yang kita hadapi saat fase quarter life crisis merupakan hal yang wajar. Mungkin hampir semua orang pernah mengalaminya, tak terkecuali Ibu Mega.

19

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Asal kalian tahu, ketika kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Ibu Mega ingin menjadi peneliti di bidang pertanian. “Saya sebetulnya ingin jadi peneliti, makanya saya ambil jurusan pertanian,” kata beliau.

Sayangnya, Ibu Mega harus menyimpan keinginan beliau untuk sementara waktu karena terpaksa berhenti kuliah. Saat itu situasi politik sedang tidak menentu.

Ibu Mega tak putus asa. Beliau mendaftar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan diterima. Kali ini cita-cita beliau bergeser dari peneliti di bidang pertanian menjadike ranahpsikologi, namunbeliau terpaksa menyimpan keinginan beliau kembali. Untuk kedua kalinya, beliau harus berhenti kuliah karena alasan yang sama.

Cobabayangin, deh, kalau kitaadadiposisiIbuMegasaat itu. Udahberhentikuliah dua kali, masih diawasi rezim pula. Cita-cita beliau bukan lagi kandas karena dipatahkan keluarga, seperti lagu “Jam Makan Siang” oleh Hindia, melainkan dipatahkan rezim Orde Baru, bro! Kurang quarter life crisis gimana?

Kini cita-cita Ibu Mega menjadi peneliti tercapai juga. Tak tanggung-tanggung: Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Beliau tidak hanya menjadi peneliti, namun juga Kepala Dewan Pengarah dari lembaga yang mengurusi riset dan inovasi, loh!

Nah, dari perjalanan karier Ibu Mega, kita belajar bahwa cepat atau lambat, kita pasti bisa menggapai cita-cita yang kita inginkan. Ingatlah kutipan lirik "Jam Makan Siang": "Tak ada jalan singkat tuk menuai yang kau tanam." Oleh karenanya, kata lanjutan lirik tersebut: "Sadari yang kau cari itu butuh dirancang, kecuali dietmu hanya makanan instan."

Sobat insecure, tak perlu khawatir jika sekarang kita belum bisa mewujudkan apa yang menjadi passion kita. Ibu Mega aja baru bisa mewujudkan passion beliau setelah penantian selama puluhan tahun.

Katakanlah ketika sedang berkuliah, Ibu Mega berumur dua puluh tahunan. Sekarang umur beliau tujuh puluh tahunan. Itu berarti beliau harus menunggu

Magang Mojok II (September-November 2021)
20

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

selama lima puluh tahunan untuk mewujudkan cita-cita yang mulia itu. Betapa sabar dan gigihnya beliau untuk meraih cita-cita, bukan?

Ibu Mega mengukir perjalanan karier beliau bukan tanpa perencanaan. Sebelum dilantik sebagai KetuaDewanPengarahBRIN, beliaupernahmenjadianggotaDPR RI, Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dan presiden. Beliau pernah memenangkan seorang calon presiden dan hingga kini masih menjadi ketua umum partai.

Menurut saya, semua yang dilakukan oleh Ibu Mega yang sudah-sudah hanyalah sambilan dan batu loncatan. Tujuan sebenarnya mungkin memang jadi peneliti.

Kalau bukan sebagai sambilan, karier Ibu Mega sebelum menjadi Kepala Dewan Pengarah BRIN barangkali semacam pengabdian masyarakat atau magang agar CV beliau tak kalah penuh dengan para milenial. Kalau tidak percaya, apa kalian ingat beliau telah menulis jurnal beberapa bulan yang lalu? Itu adalah upaya beliau agar punya portofolio untuk masuk ke BRIN.

Jadi, saya pikir diangkatnya Ibu Mega menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN sama sekali bukan nepotisme. Beliau terpilih karena kompetensi, CV, dan portofolio beliau. Kalau netizen masih bilang CV dan portofolio beliau gak relevan dengan kompetensi yang beliau miliki, ingatlah bahwa kita sebagai generasi milenial juga begitu.

Bukankah kita kerap melebih-lebihkan kemampuan kita di CV agar diterima oleh perusahaan? Acapkali pengalamanorganisasidankepanitiaan yang dicantumkan di LinkedIn itu hanya formalitas, gak, sih? Nyatanya, kita sebenarnya gak kerja alias numpang nama doang.

Kalau harapan kalian belum terwujud sekarang, bersabarlah. Kelak semesta akan

mempertemukan kalian dengan impian kalian selama ini. Tentu dengan catatan: Kalian harus punya partai, partai kalian harus berkuasa, dan kader kalian harus jadi presiden! (AMR/AES/LFT)

Editorial – Rabu, 20 Oktober 2021

Magang Mojok II (September-November 2021)
21

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

https://mojok.co/magangdimojok/ibu-mega-adalah-teladan-bagi-kita-yangmenghadapi-quarter-life-crisis/

22

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Kiat-kiat Split Bills Paling Ampuh Bikin Awet Pacaran

oleh Sarah Amany Wisista

Siapa yang masih ngutang pas jalan bareng pacarnya? Hayo, ngaku~

Pekan lalu linimasa Twitter saya kembali digegerkan oleh polemik urunan bayar saat kencan. Split bills, istilahkeminggrisnya. Ini bermula dari seorang mbak-mbak yang enggak terima diajak patungan di restoran fine dining, lalu bikin utas Twitter panjang lebar soal si teman kencan. Mereka baru kenalan hari itu dan mbaknya sendiri yang menentukan buat makan di restoran mahal tersebut. Cekcok daring itu pun diramaikan berbagai macam respons yang membuatnya bertengger awet di kolom trending

“Segitunya cuma karena keong? Aku bakal meledakkan diri kalau jadi cowoknya,” komentar seorang warganet. Mas dan mbak yang berantem itu memang memesan escargot, bekicot mewah ala Prancis, dalam pertemuan mereka. Selain bikin ketawa, komentar-komentar tersebut juga bikin saya berpikir tentang budaya ngedate di Indonesia. Kenapa cowok-cowok seringkali dibebani ekspektasi untuk mengongkosi kencan dan keseluruhan hubungan pacaran, ya?

Saya percaya prinsip “it takes two to tango”. Butuhdua orang yang berupaya samasama keras untuk bikin hubungan jadi lebih bermakna dan menyenangkan untuk dijalani. Bukan cuma tentang perkara emosional, tapi juga urusan praktis seperti

(September-November
Magang Mojok II
2021)
23

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

finansial. Karena enggak punya banyak pengalaman berkisah-kasih, saya menanyakan persoalan ini kepada beberapa teman yang sudah lebih berpengalaman. Apa saja, ya, kiat-kiat split bills paling ampuh bikin awet pacaran?

Kiat #1: Pisah nota

Kiat pertama adalah bentuk paling harfiah dari split bills, yakni pisah nota. Metode ini dapat dilakukan dengan membayar pesanan sendiri-sendiri di kasir, terutama

ketika sedang berkunjung ke kafe atau tempat yang sistemnya bayar duluan. Bisa juga dengan meminta pisah nota di restoran yang sistemnya bayar terakhir.

Meskipun efisien, kelemahan kiat ini terletak pada sifatnya yang terlampau praktis dan tidak intimate. Kayak anak sekolah patungan habis bukber, gitu. Sebab itulah, Juleha, seorang teman dekat yang menjadi narasumber tulisan ini, tidak begitu menyukainya. (“Rasanya kayak gimana, gitu,” komentar Juleha.) Jika menurutmu enggak masalah, ya, enggak apa-apa. Toh metode ini memang paling cepat dan tidak punya banyak potensi konflik. Usai kencan, enggak perlu lagi, deh, sibuk menghitung siapa bayar berapa.

Kiat #2: Dibayar dulu oleh satu pihak

Pada kiat kedua kamu dan mas/mbak pacar dapat memutuskan siapa yang akan bertanggungjawab bayar di kasir. Begitu nanti sudah masuk mobil atau siap boncengan, baru pihak yang satu lagi membayar bagiannya. Bisa sesuai pesanan, bisa juga dibagi rata sama besar. Kamu dapat menghitung manual di kalkulator, dapat pula memakai aplikasi yang bisa sekaligus menghitung pajak kalau bego matematika kayak saya.

Metode yang kedua ini lebih digemari Juleha. Itu juga yang sering ia praktikkan bersama mas pacar, apalagi teknologi yang kian berkembang terus menawarkan

beragam pilihan membayar. Selain cash, yang bersangkutan juga dapat mengganti uang dengan transfer ke e-bank atau aplikasi belanja daring. Cocok buat kamu yang

mengimani modern love versi 4.0.

Kiat #3: Bergantian membayar tiap kencan

Magang Mojok II (September-November 2021)
24

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Kiat ketiga menawarkan split bills dengan pendekatan jadwal piket. Persis yang

dulu kamu terapkan saat sekolah. Kamu dan mas/mbak pacar dapat bergantian membayar sesuai jadwal. Kalau pekan ini kamu yang bayar, pekan depan gantian.

“Jadwal” ini juga bisa dibagi sesuai aktivitas. Misalnya, kamu membayar makan dan dia membayar tiket nonton.

Kiat ini sering digunakan Joko, salah satu teman yang juga menjadi narasumber.

“Aku bakal kongkalikong di awal supaya jelas,” ujarnya. Metode yang satu ini memang lebih praktis sebab tidak perlu menghitung detail pembagian uang. Kalian juga harus sadar jadwal masing-masing, ya. Seperti piket yang bikin kelas bersih, split bills akan bikin hubungan jadi lebih harmonis.

Kiat #4: Bikin “kata sandi” dengan pasangan

Kiat keempat ini diperkenalkan oleh Juleha. Kalau kalian juga suka mencoba berbagai macam metode, kiat satu ini bisa menjadi pilihan. Juleha dan mas pacar punya dua kata sandi yang menurut saya cukup canggih. Kalau bilangnya kali ini aku pengin traktir, berarti pihak satunya tidak perlu mengganti. Kalau bilangnya kali ini aku dulu saja yang bayar, berarti pihak satunya akan mengganti uang yang sudah dikeluarkan sepulangnya dari tempat kencan.

Sungguh metode yang memudahkan hidup. Tak heran mereka lancar yang-yangan tanpa banyak masalah. Kamu pun dapat menyontek metode satu ini dengan menyusun kata sandimu sendiri dengan sang pacar.

Kiat #5: Bikin rekening patungan

Kiat kelima datang dari adik saya sendiri. Agak mengherankan, sih, sebab ia tampaknya jago betul menavigasi urusan hidup dan permasalahan-beranjakdewasa. Berbeda dengan kakaknya yang terseok-seok. Adik saya dan pacarnya

punya rekening yang khusus mereka buat untuk patungan uang jajan. Tiap satu pihak mengisi rekening dengan nominal tertentu, maka pihak lainnya juga berkontribusi dengan nominal yang sama.

II (September-November 2021)
Magang Mojok
25

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Hasildari nabung bareng hanya bolehdipakai saat sedang jalan-jalan berdua. Wow, kiat ini menjadi jawaban atas semua weakness points yang ada di kiat-kiat sebelumnya. Metodeinitentutidak terasasepertianaksekolah yangpatungan, tidak perluribet menghitung dikalkulator,tidakperlu mengingat jadwalpiket membayar, dan tidak perlu bikin kata sandi dengan pasangan. Plus, kamu juga bisa mencicipi rasanyapunya joint account kayakpasanganyangsudahmenikah. Doanya memang supaya langgeng sampai nanti, ‘kan?

Lewat mencari tahu kiat-kiat split bills dalam hubungan, saya jadi ikut belajar banyak hal. Kesimpulannya: Kita harus selalu mengomunikasikan kondisi finansial dan preferensi bayar-membayar dengan pasangan. Ini menyangkut perihal yang bisa menjadi amat sensitif, yakni uang. Senang-senangnya bareng, berartiusahanya juga harus bareng. Kalau belum siap bernegosiasi, sini saya bisikin kiat ke-6: enggak usahpacaran dulu!!! Mariduduk sebelahan saja sama saya ngetawain huruhara keong mahal di linimasa media sosial. (SAW/AES/LFT)

Editorial – Rabu, 27 Oktober 2021

https://mojok.co/magangdimojok/kiat-kiat-split-bills-paling-ampuh-bikin-awetpacaran/

26

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Cerita Pedagang Kuliner di Jogja yang Jadi Saksi Hidup Mahasiswa Rantau

Siapa yang akan kalian pilih: Bu Heri, Pak No, atau Mbah Marmo?

Yogyakarta lekat dengan mahasiswa dan kuliner. Beragam kuliner khas mulai dari yang sederhana sampai mewah jadi santapan para mahasiswa, demikian pula para penjaja makanannya. Mereka menyimpan segudang cerita dan pengalaman, baik dengan pelanggan yang selintas lalu maupun yang setia hingga lulus kuliah.

Bu Heri Rutin Berbalas Pesan dengan Mahasiswa saat Lebaran

Sisa-sisa hujan yang mengguyur Sleman pada Selasa (21/9) malam membawa kami ke salah satu warung bakmi di daerah Condongcatur. Lokasi persisnya berada di Jalan Sambirejo, Gempol, Condongcatur. Sayangnya, titik lokasi warung ini tidak terdapat diGoogle Maps, padahal letaknyacukup terlihat karenaberadaditepijalan yang sering dilewati pengendara dari arah utara jika hendak menuju Jalan AffandiGejayan.

Ketika masuk ke warung, kami disambut Bu Heri (60), salah satu pemilik warung bakmi godog yang berdiri sejak 1996.

“Monggo, Mas mau pesanapa?” tanyanya sambil memasukkan potongan ayam dan sayuran ke wajan.

27

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

“Bakmi nyemek kecap satu, Bu.”

Mulanya, warung ini ia dirikan bersama kakak sepupunya, Bu Mul. Mereka adalah warga Jogja yang tinggal di daerah Minomartani, Ngaglik tak jauh dari lokasi warung.

Saat berjualan mereka selalu berbagi tugas. Bu Heri bertugas memasak semua pesanan pelanggan, sedangkan Bu Mul membuat minuman, mengemas piring, hingga membantu mengaduk masakan di wajan agar tak gosong.

[caption id="attachment_309" align="aligncenter" width="300"]

Bu Heri sedang memasak.[/caption]

Pada 1996 mereka mematok harga satu porsi bakmi godog, nasi goreng, dan menu lainnya seharga Rp3.500. Harga tersebut, kata mereka, berangsur naik seiring dengan naiknya harga bahan masakan seperti ayam kampung, beras, gula, dan sebagainya.

“Dulu aja beras cuma lima ribu, Mas. Sekarang paling enggak sepuluh ribu,” ucap Bu Mul agak keras karena suara motor berknalpot racing yang kerap lalu-lalang di depan warungnya.

Saat iniBu HeridanBuMul mematokhargasatuporsibakmidankawan-kawannya dengan harga Rp16.000: Hampir lima kali lipat dibanding harga pada 25 tahun lalu, padahal itu merupakan harga yang sama sejak empat tahun lalu.

28

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

“Malah beberapa ada yang tanya, 'Kok, enggak naik, sih, Bu, harganya?', lalu kata saya, 'Ya, biar aja, nanti ada waktunya,'" ujar Bu Heri terkekeh.

Kami yang duduk persis di belakang gerobak melihat para pembeli yang silih berganti selalu disapa oleh Bu Heri dengan ramah.

Selama tiga kali ke sana di hari yang berbeda, kebanyakan pembeli warung Bu Heri merupakan karyawan muda, keluarga anak satu, ibu-ibu, hingga bapak-bapak bermobil yang bunyi alarmnya sampai ke warung saat ia menguncinya.

Kami, yang saat ini masih menjadi mahasiswa, lantas bertanya, “Kalau mahasiswa juga sering ke sini, Bu?”

Ia mengatakan bahwa saat pandemi hanya sedikit mahasiswa yang jadi pelanggan di warungnya karena masih berada di kampung halamannya masing-masing. “Sisa satu orang yang dari Jambi itu, Mas. Itu pun sudah lulus kuliah dan kerja di sini,” sambungnya.

“Dulu ada empat mahasiswa Jambi selalu ke sini. Pesannya pasti magelangan, enggak tahu kenapa suka sekali,” kenang Bu Heri sambil senyum-senyum sendiri.

Meski kini tidak pernah bertemu lagi, Bu Heri masih berbalas pesan dengan salah satu dari mereka, bahkan di sela-sela memasak, ia menunjukkan SMS dari salah satu mahasiswa langganannya kepada kami. Isinya: “Assalamualaikum gimana kabarnya Bu? Selamat Hari Raya Idul Fitri, Minal Aidin Wal Faizin, Mohon maaf lahir dan batin. (Anak lanang Jambi)”

Ia mengaku masih kerap berbalas pesan dengan mahasiswa itu, entah sekadar bertanya kabar atau mengucapkan selamat lebaran. “Ini, Mas. Masih saya simpan sampaisekarang,”ujarnya sembarimenyodorkanponselNokia jadulberwarnabiru.

Bu Heri mengatakan bahwa ia sudahbiasa memanggildandipanggildengan sapaan akrab. Katanya, para langgananyang sering kesinipunyapanggilan masing-masing terhadapnya, mulai dari sapaan “Mbok” sampai “Bu Legend”.

II (September-November 2021)
Magang Mojok
29

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

“Mas, kalau saben minggu ke sini, paling nanti datang-datang langsung ngomong, ‘Mbok, madang!'. Yakin, deh, Mas," kata Bu Mul. Kami tergelak.

Waktu menunjukkan pukul 22.45 WIB. Belum ada tanda-tanda kedatangan pembeli. Bu Mul yang biasanya bermobilitas tinggi, kini terduduk sambil menyandarkan kakinya ke dingklik. Baru ini kami punya waktu untuk berbincang langsung dengannya.

Ia bertanya, “Mas sebenarnya aslinya dari mana, to?” Belum kami sempat menjawab, Bu Heri menyambar dengan menjelaskan secara rinci asal orang tua

kami dan pekerjaannya, kami lahir di mana, dan kini tinggal di mana.

Kami terkesiap. Pantas saja banyak pelanggan yang akrab dengannya. Ternyata Bu

Heri cepat hafal dengan para pelanggannya, bahkan kami yang baru tiga kali mengobrol dengan mereka.

[caption id="attachment_192" align="aligncenter" width="300"]

Bu Heri memasak dengan dua tungku.[/caption]

Malam itu kami berbincang puas sekali. Tak hanya kami yang penasaran dengan

cerita mereka, namun Bu Heri dan Bu Mul juga mengorek informasi tentang kami.

Kami saling berbagi cerita dan pengalaman masing-masing.

Meski harga yang dipatok relatif mahal bagi mahasiswa kos jika dibandingkan

dengan angkringan atau burjo, setidaknya akan sepadan dengan pengalaman dan cerita yang didapat jika menjadi pelanggan di warung ini.

30

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Misalnya, cerita yang dialami Septy, perempuan 28 tahun asal Kalimantan Barat yang kini menetap di Jogja. Ia merupakan salah satu pelanggan warung bakmi Bu Heri sejak 2012. Dahulu, ketika kuliah S1, ia sering makan di warung Bu Heri bersama pacarnya.

“Dulu favoritnya bakmi rebus, saya bakmi goreng,” ujarnya. Meski demikian, pacarnya saat itu kini sudah menjadi mantan dan berkeluarga dengan orang lain, demikian pula dengannya. Meski pengalaman yang lalu dengan mantannya tak mungkin hilang dari ingatan, setidaknya Septy tahu ia harus pergi ke mana bila ingin mencari bakmi godog

Pak No Tetap Jaga Silaturahmi dengan Pelanggannya

Adalah Pak No (46) dan Bu Sri (39), pasangan suami-istri yang berjualan sejak delapan belas tahun silam. Malam itu (22/9) kami mendatangi warung makan yang terletak di Jalan Karangwuni, Caturtunggal, Sleman. Kami disambut oleh Pak No yang tengah mencuci piring dari pembeli sebelumnya.

Kami memesan nasi goreng bakso dan lanjut berbincang dengan Pak No dan Bu Sri.

“Awalnya, Pak No itu sopir pribadi, Mas,” kata Bu Sri. “Waktu itu bosnya Bapak wis pensiun, akhire pindah haluan, ya karena kebutuhan juga makin banyak, Mas,” pungkasnya.

“Terus nyicil bikingerobak dulu. Nantikalau sudahterkumpuluangnya, baru mulai jualan,” ujarnya.

(September-November 2021)
Magang Mojok II
31

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

[caption id="attachment_313" align="aligncenter" width="300"]

Pak No dan Bu Sri.[/caption]

Keduanya juga mengakui bahwa awalnya mereka enggan berjualan bakmi karena keuntungannya lebih sedikit dibanding berjualan yang lain.

“Keuntungannya lebih sedikit dibanding jualan soto,” kata Pak No, “tapi jualan soto, tuh, capek. Jadi, ganti jualan bakmi sama nasi goreng,” timpal Bu Sri.

Aroma nasi goreng yang sudah tercium membuat kami tak sabar mencobanya. Beberapa menit kemudian, pesanan kami diantar Bu Sri.

“Ini, Mas, pesanannya,”kataBuSridenganramah. Walaupunmengenakanmasker, tarikan di kedua matanya tak bisa membohongi bahwa ia sedang tersenyum.

Pak No bercerita pelanggan yang paling sering makan di warungnya merupakan mahasiswa UGM dan UNY. Kebanyakan adalah mahasiswa yang ngekos karena harga yang cocok bagi mereka.

Daftar menu yang berada di meja mendorong rasa penasaran kami untuk menanyakan harga yang dipatok Pak No saat awal berjualan.

“Kami menyesuaikandengan‘harga mahasiswa’ dan harga bahan baku, Mas,” kata

Pak No.

“Awalnya, harga untuk makanan 2.500 rupiah, Mas. Untuk minuman, semuanya lima ratus rupiah,” Bu Sri menimpali.

32

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Berjualan sejak 2003, Pak No memiliki banyak pelanggan lintas generasi. Mulai dari yang dahulunya mahasiswa dan sekarang sudah berkeluarga, hingga dosen dan pegawai di UGM.

Pak No dan Bu Sri mengakui bahwa pelanggannya yang sudah lulus kuliah dan sekarang bekerja biasanya akan kembali ke warungnya saat liburan ke Jogja.

“Kalau yang langganan sudah lama, biasanya balik ke sinipas mereka liburan, Mas. Coba tanya aja sama Mas Irfan ini,” kata Bu Sri sembari melayani pelanggannya dan memperkenalkan ke kami.

“Dari Tulungagung, Mas. Alumni Peternakan UGM,” kata Mas Irfan saat kami menanyakan asalnya.

Tidak hanya level mahasiswa dan dosen, Bakmi Pak No juga pernah didatangi oleh jajaran pejabat di masanya.

“Bahkan waktu itu, ya, Mas, pejabat juga pernah makan di sini," Pak No bercerita dengan antusias. Kami juga sangat bersemangat mendengar ceritanya.

“DulupernahdidatangiPakBambangSudibyo waktumenjabat MenteriPendidikan dan Pak Makarim Wibisono, mantan dubes Indonesia, Mas,” lanjutnya sambil menunjukkan kepada kami rumah Pak Bambang di sekitaran warungnya.

Selain itu, Pak No punya kebiasaan yang ia lakukan hingga saat ini yaitu menyimpan nomor ponsel pelanggannya. Sambil memeriksa ponselnya, ia menunjukkan kepada kami 711 kontak pelanggan yang ia simpan. Hal itu ia lakukan, selain untuk menerima pesanan, juga untuk menjaga silaturahmi dengan mereka.

Pak No bercerita bahwa biasanya pelanggan yang memesan lewat WhatsApp akan menanyakan kepadanya terlebih dahulu apakah hari itu ia berjualan atau tidak. Semisalnya sudah buka, pelanggan tersebut akan langsung memesan menunya via chat di WhatsApp.

(September-November 2021)
Magang Mojok II
33

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

“Biasanya pesanannya saya yang nyebutin, Bu Sri yang ngehafalin, Mas,” kata Pak No.

Bu Sri juga melanjutkan, “Pernah ada banyak yang pesan, kadang Pak No suka salah baca tulisannya, Mas, tapi saya tetap hafal pesanannya.”

Sementara itu, esok harinya kami berbincang dengan salah satu pelanggan tetap yang juga merupakan dosen kami, Mas Adi (38).

“Waktu itu keliling cari makanan. Terus, dari teman kos merekomendasikan ini. Ternyata murah dan rasanya juga enak bagi saya,” katanya.

“Enggak hanya soal harga dan rasa, Pak No bahkan hafal menu yang dipesan sama pelanggannya,” sambungnya.

Soal menu favoritnya, Mas Adi menyebut bahwa sejak awal hingga sekarang ia selalu memesan nasi goreng. “Nasi gorengnya enak, bro. Bintang lima, pokoknya,” katanya penuh semangat.

Ia juga bercerita tentang pengalaman uniknya selama menjadi pelanggan Bakmi Pak No. Dari cerita yang awalnya masih sendiri, punya pacar, hingga berkeluarga.

“Saat sayapunyapacar sayaajakdiakeBakmiPakNo.Sampaiakhirnyasayasudah berkeluarga, masih ngajak dia ke sana. Terus lama enggak ke sana, saya bawa anak satu. Lama enggak ke sana, datang, terus anak saya sudah dua. Jadi, tiap datang ke sana, tambah anak satu,” katanya tergelak.

Meskipunsudah berkeluarga danpunya anak, Pak No selalu ingat dengan Mas Adi.

Hal itu yang membuat Mas Adi sudah mengganggap Pak No seperti keluarganya sendiri.

“Saya merasakan jalinan emosional saat berkomunikasi dengan Pak No. Tiap baru datang, langsung ditanyakankabar, terus bernostalgia, dan tetap ingat dengan menu yang selalu saya pesan biasanya,” tutupnya.

Kumpul-kumpul dan Nostalgia di Soto Mbah Marmo

II (September-November 2021)
Magang Mojok
34

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Selain bakmi yang erat dengan kuliner khas Jogja, soto juga jadi salah satu menu

andalan para mahasiswa. Harganya murah, banyak tambahan lauk, dan mengenyangkan, seperti warung soto Mbah Marmo yang kami kunjungi Rabu

(22/9) lalu, di Jalan Bimosuko, Yogyakarta. Lokasinya diapit dua hotel berbintang: Grand Mercure dan New Saphir.

Ketika datang, kami disambut istri Mbah Marmo. “Monggo, Mas, pakai kol napa mboten?” tanyanya dengan setengah membungkuk. “Iya, Mbah, satu porsi, nggih.”

Kami izin berbincang dengan mereka. Mengetahui kami hendak meliput, Mbah Marmo berkelakar, “Boleh, silakan. Mbah Marmo istrinya lima, Mas!” kata lakilaki berusia 62 tahun ini. Kami semua terkekeh, gelak tawa pecah di warung seluas

5 x 8 meter itu. Istri Mbah Marmo hanya tersenyum kecil dan berkata, “Ngawur, mesakke anakmu.”

29 tahun lalu di lokasi tempat kami duduk saat itu Mbah Marmo dan istrinya mendirikan kios kecil untuk berjualan soto. Suasana bangunan tua langsung terasa

tatkala kami memasuki warung. Cat dinding yang mengelupas, dinding dari papan kayu yang diolesi dengan minyak, hingga barang-barang yang usianya tak lagi muda. Contohnya yaitu kipas angin kotak yang warna aslinya pun sudah tak kelihatan lagi, diganti warna kuning kusam di seluruh body-nya. Peribahasa “hidup segan, mati tak mau” cocok dengan kipas angin ini. Sama dengan jam dinding merek Mirado yang tertancap di dinding belakang kami. Jam dinding produksi tahun ‘80-an dengan ciri khas yang berbunyi tiap jam itu sudah berwarna kuning kusam. Meski demikian, ia masih berdetak dengan baik.

Ketika kami datang pada pukul dua belas siang, pelanggan yang makan di sana

hanya kami dan satu orang laki-laki, padahal menurut keterangan salah satu teman, biasanya pembeli soto Mbah Marmo harus mengantre hingga ke luar hanya untuk

duduk.

Magang Mojok II (September-November 2021)
35

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

[caption id="attachment_311" align="aligncenter" width="300"]

Mbah Marmo dan istrinya.[/caption]

Istri Mbah Marmo bercerita bahwa pandemi COVID-19 membuat warungnya sepi pembeli. Perempuan enam puluh tahun itu mengatakan bahwa sebelum pandemi warungnya bisa buka sampai pukul dua siang, sedangkan saat awal pandemi ia dan suami terpaksa menutup warung dan tak berpenghasilan selama empat bulan.

“Pas awal pandemi sepi sekali jalan ini, Mas, ndak ada orang lewat,” katanya.

Raut wajah yang semula murung kembali ceria tatkala ia bercerita bagaimana awal mula merintisusaha inidari nol. MbahMarmo yang saat itu berusiaduapuluhtahun menikahi dirinya yang berusia delapan belas tahun. Dari kampung halamannya di Kecamatan Cawas, Klaten, mereka pindah ke Jogja untuk mengadu nasib.

Pada 1989 Mbah Marmo berkeliling menjajakan soto dengan gerobak di permukiman penduduk tak jauh dari lokasi warung sekarang. Tiga tahun mengumpulkan pelanggan, Mbah Marmo akhirnya membangun sendiri kios itu.

Lebih dari seperempat abad mereka berjualan soto, para pelanggan selalu datang dan pergi. Kata istri Mbah Marmo, orang yang langganan di warungnya sudah tak terhitung jumlahnya. Asal daerahnya bermacam-macam: Kebanyakan berasal dari Medan, Batam, Bangka Belitung, Makassar, hingga Manado.

Kami berbincang dengan Elyas, pemuda 29 tahun asal Sragen yang sejak 2010 menjadi pelanggan tetap warung soto Mbah Marmo. Ia bercerita bahwa saat ia baru

Magang Mojok II (September-November 2021)
36

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

menjadi pelanggan harga soto Mbah Marmo masih Rp6.000, gorengan Rp500, dan es teh Rp2.500. Semua harga tersebut hanya berbeda seribu rupiah jika dibandingkan dengan harga saat ini.

Menurutnya, dengan harga semurah itu ia sudah bisa mendapat porsi yang besar, kuah soto yang banyak, dan mengenyangkan. “Namanya mahasiswa pengin hemat. ‘Kan biasa, makanpagi sama siang digabung. Jadi, harus kenyang,” katanya sambil terkekeh.

Baginya, harga yang dipatok Mbah Marmo dari dahulu hingga sekarang sangat terjangkau bagi semua kalangan, tak terkecuali kantong mahasiswa. Mbah Marmo melihat pelanggan yang makanditempatnya berasaldarilatar belakang yangsangat beragam, mulai dari mahasiswa, mantan mahasiswa, dosen, karyawan, buruh, hingga pensiunan.

Semasa kuliah Elyas bersama tiga orang temannya makan di sana tiap dua sampai tiga hari sekali. Sembari berbincang, ia mengingat-ingat kembali kebiasaan dengan teman-temannya ketika makan di warung ini.

“Dulu tiap pulang ngampus, terus ke sana, mbahnya tau saya, selalu tanya kabar kami dan gimana kuliahnya,” ujarnya.

Saat sudah lulus rutinitas tersebut hilang seiring ketiga temannya yang bekerja di luar Jogja. Ia mengatakan bahwa mereka sama seperti para langganan warung soto Mbah Marmo lainnya.

“Karena enggak sesering dulu, akhirnya ya sama dengan pelanggan lainnya juga,” ujarnya.

Meski demikian, mereka selalu menyisihkan waktu untuk makan di warung soto

Mbah Marmo tatkala semuanya sedang berada di Jogja. “Biasanya kita nge-list dulu, mana warung yang sering dikunjungi pas kuliah, salah satunya Mbah Marmo,” ujarnya. Menurutnya, makan di warung soto Mbah Marmo saat ini jadi tempat kumpul-kumpul dan nostalgia masa kuliah.

(September-November 2021)
Magang Mojok II
37

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Pada akhirnya, Mbah Marmo dan istrinya tetap menjadi bagian dalam hidup para pelanggannya. Mereka mengisi sirat-sirat hidup seseorang, serta menyaksikan seseorang berkembang, jatuh, bangkit lagi, hingga sukses. (MFPP/YWO/AES/LFT/PSW)

Reporter: Muhammad Fadhil Pramudya Putra dan Yogama Wisnu Oktyandito

Liputan 1 – Senin, 4 Oktober 2021

https://mojok.co/magangdimojok/cerita-pedagang-kuliner-di-jogja-yang-jadisaksi-hidup-mahasiswa-rantau/

38

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Kisah Kuli Freelance yang Tiap Pagi Menanti Pekerjaan di “Depnaker”

Kalasan

Wah, ternyata masih ada para pekerja yang setia, gigih, dan selalu rendah hati, lo!

Di pinggir Jalan Raya Solo-Yogyakarta KM 12,5, sekitar 6 km dari Candi

Prambanan yang kesohor, teras sebuah toko mebel perlahan berubah menjadi pangkalan para kuli serabutan. Mereka adalah kuli tanpa pekerjaan tetap sehingga

tiap hari harus berburu lowongan kerja. Agar lebih terasa akrab, kita juga bisa menyebut mereka kuli freelance, tohartinya sama. Diterastoko mebeltersebut tiap pukul tujuh pagi berkumpullah para pekerja yang tak mengenal gaji, tunjangan hari raya (THR), apalagi asuransi.

Penggalan jalan antarprovinsi tersebut masuk wilayah Kabupaten Sleman, Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Seperti namanya, jalan ini menghubungkan

Kota Yogyakarta dan Kota Solo dengan rute Yogya-Sleman-Klaten-Solo.

Mereka yang berkumpul di tepi jalan antarprovinsi tersebut berasal dari berbagai

daerah, tetapirata-ratadariwilayahsekitar saja. Ada yangdariKlaten(sudah masuk

Jawa Tengah serta Berbah dan Kalasan (dua kecamatan di Kabupaten Sleman, Provinsi DIY). Berasal dari tempat-tempat berbeda, persamaan mereka yaitu sama-

sama kelas pekerja yang tak terserap sektor formal jenis apa pun.

Magang Mojok II (September-November 2021)
39

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Teras toko mebel tersebut sudah menjadi pangkalan kuli freelance sejak 40-50

tahun silam. Setidaknya seingat Triyanti (55), seorang penjual lotek―makanan yang masih bersaudara dengan gado-gado dan pecel―di dekat situ, pangkalan kuli ini sudah ada sejak ia masih bocah.

Jika tadi kita sudah punya dua sebutan untuk para pekerja ini, kuli serabutan dan kuli freelance, seorang tukang atur lalu lintas di sekitar situ punya sebutan lain. "(Mereka) pegawai, Bang... pegawai bangunan," katanya sambil tertawa. Julukan lain yang beredar di pangkalan adalah PU alias pekerja umum. Mungkin ini merujuk ke Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang memang kerjaannya sekitar urusan konstruksi.

Obrolan Kuli Sebelum Memulai Hari

Marsono (51) sudah belasan tahun jadi peserta mangkal setia di teras toko mebel tersebut. Asalnya dari Klaten. Ia mulai jadi kuli serabutan sejak berhenti sebagai buruh pabrik. Alasannya mirip dengan banyak pekerja freelance: agar bisa bebas memilih waktu kerja.

Marsono yang biasa mengerjakan pembangunan membawa sendiri alat-alatnya: paku, meteran, tang, dan seterusnya. Upahnya sekitar Rp100.000 per hari dengan beberapa catatan. Pertama, kerjaan dari pemborong biasanya kurang dari itu. Kedua, kerjaan dari mandor proyek biasanya dibayar Rp100.000, namun sering tanpa ditanggung makan. Ketiga, dan ini paling enak, kerjaan langsung daripemilik bangunan, seperti renovasi rumah. Bayarannya penuh Rp100.000, masih dapat makan siang dan snack.

Kalau dipikir-pikir, tidak begitu tepat juga perkataan Marsono bahwa jadi kuli serabutanenakkarena bisa memilihwaktu kerja. Adakalanya ia ingin bekerja, tetapi tidak dapat tawaran. Ia bahkan tak bisa memukul rata, seminggu atau sebulan biasanya dapat berapa pekerjaan.

“Di sini, tuh, adu nasib,” timpal kuli lain yang duduk di sebelah Marsono, saat kami berdua dari tim Magang di Mojok menghampiri mereka, Jumat pagi (24/9).

Magang Mojok II (September-November 2021)
40

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Marsono dan seorang kuli lain itu yang pertama-tama kami temui saat datang ke

sana pagi-pagi. Ketika langit makin terang, makin banyak pula laki-laki dan perempuan yang datang. Menurut Marsono, hari itu tidak seramai biasanya. Hari paling ramai biasanya Senin sampai Rabu.

Mereka duduk di teras toko mebel, menghadap jalan raya. Lalu-lalang di jalan raya makin berisik. Kami harus mengobrol dengan setengah berteriak sambil bergantian menyorongkan kuping. Obrolan itu selesai saat Marsono dihampiri seorang kuli lain, Slamet (39), untuk merenovasi sebuah rumah di Kujonsari, wilayah Kecamatan Kalasan. Sebelum Marsono bersiap-siap menaiki motornya, salah satu dari kami―Sidra―menawarkan diri untuk ikut menguli.

Marsono membolehkan.

[caption id="attachment_558" align="aligncenter" width="300"]

Para kuli termangu menanti pekerjaan.[/caption]

Sehari Menjajal Jadi Kuli Serabutan

Saya danMarsono jongkok didepan pagar rumah bercat hijau dengan sebuah plang biru bertuliskan “RED PLANET Laundry” terpacak di dekat gerbangnya. Pemilik

rumah adalah pedagang angkringan cukup besar di dekat kampus UPN Veteran

Yogyakarta, kata Marsono. Tugasnya kali ini yaitu membangun taman dan kolam di belakang rumah, lalu mengubah gudang tak terpakai menjadi dapur.

41

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

“Tunggu teman sebentar, ya,” ia merujuk kepada Slamet. Kami sementara menunggu di depan pagar. Kata Marsono, Slamet berasal dari Kalasan dan sudah merenovasi rumah tersebut sejak tiga minggu yang lalu.

Sekitar lima belas menit kemudian orang yang dinanti datang. Ia sempat bingung melihat saya mengajaknya bersalaman. Untuk menghindari keruwetan, Marsono menjelaskan bahwa saya adalah mahasiswa yang ingin belajar soal kuli proyek.

“Biar Pak Slamet nanti enak jelasin ke pemilik rumahnya,” kata Marsono kepada saya kemudian.

Kami memasukigerbang danparkir dihalaman. Marsono bersiap-siap. Ia membuka jaketnya, saya mengikuti. Ia mengambil topi dari jok motor, saya pun meraba-raba pet yang sudah sejak awal menempel di kepala, menarik tutupnya ke belakang. Meskipun tak diberi upah dan tanpa pengalaman, praktik menjadi kuli di pagi itu membuat saya bersemangat.

Dengan lagak yakin, saya memasuki bekas gudang dan memeriksa medan yang akan digarap. Ruangan tersebut memanjang, ukurannya 3 x 8 meter, menghubungkan halaman depan dan halaman belakang. Di belakang terdapat dua petak kolam yang terbuat dari semen. Salah satu kolam masih terlihat baru, semennya halus dan warnanya lebih gelap dibandingkan kolam satunya. Kolam baru itu buatan Slamet.

Di halaman belakang itu Slamet mengambil tangga lipat, melebarkan lalu menegakkan kedua kakinya. Ia hendak memasang seng di halaman. “Kamu pegang tangga aja, ya,” ujar Slamet. Rasa gugup saya seketika luntur. Tugas pertama kuli magang ini masih mudah.

II (September-November 2021)
Magang Mojok
42

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

[caption id="attachment_227" align="aligncenter" width="300"]

Slamet dan Marsono.[/caption]

Setelah hampir satu jam memegangi tangga, saya dapat tugas yang lebih signifikan.

Slamet mengaduk cat dan mencampurnya dengan air. “Bisa ngecat, ‘kan?” tanyanya. Tentu saja. Tinggal oles-oles saja, tho?

Saya mengambil kuas dan menyapu tembok dengan cat yang sudah diracik Slamet.

Mengecat bukan pekerjaan yang sulit, justru menimbulkan perasaan nikmat. Namun saya dibayangi kesalahan, mengingat hasilnya akan dibandingkan dengan hasil cat tukang dengan jam terbang tinggi. Akibatnya, saya jadi gusar dan terusterusan menoleh ke hasil cat Slamet.

Sambil sama-sama mengecat, Slamet bercerita tentang dirinya.

Ia jadi kuli freelance belum lama jika dibandingkan Marsono, baru mulai pada

2014. Kampungnya di Gunungkidul, salah satu kabupaten di Yogyakarta, tapi kini tinggalbersamakeluarganyasendirididaerahPrambanan. Iapunyasebidangsawah di dekat rumahnya, tetapi masih ambil kerja sambilan di restoran.

Di tahun yang sama ia memilih konsisten nyambi sebagai kuli bangunan. Slamet

sadar hasilnya tak banyak dan tak pasti kapan akan dapat uang. Di samping upah yang tak menentu (saya teringat cerita Marsono tadi) Slamet bilang proyek

konstruksi di Yogyakarta menyerap kuli sampai ke kabupaten-kabupaten jauh, sepertiMagelang, Purworejo, hinggaDemak. Hukumekonomi lalubekerja: banyak

II (September-November 2021)
Magang Mojok
43

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

tenagakerja, persaingan makinketat,upahkulimakinmurah. “(Kulidariluar Jogja) dapat sembilan puluh ribu sudah bagus itu,” ujar Slamet.

Obrolan saat ngecat berlanjut bersama Marsono dan tuan rumah. Dua jam kami berbincang. Menjelang azan salat Jumat, saya berterimakasih banyak dan pamit, namun sebelumnya izin pinjam kamar mandi di rumah tersebut. Seorang penghuni rumah lain heran melihat saya.

“Lah, ini siapa?”

“Anak magang, Bu. Dari UIN, pengin tahu soal proyek,” jawab Slamet, sekali lagi untuk menghindari keruwetan.

“Di UIN ngambil jurusan apa?” tanyanya. “Kok, magangnya jadi kuli proyek?”

Saya cuma cengengesan.

Mangkal di Sor Talok Sudah Jadi Bagian dari Hidup

Selain membuntuti Marsono, kami juga ngobrol dengan kuli lepas lain bernama Rohman (55).

Rohman masih berada di pangkalan hingga pukul sebelas siang, jauh setelah Marsono pergi. Ia menyebut pangkalan ini "Depnaker", akronim Departemen Ketenagakerjaan. Istilah"departemen" memang masih nempel di lidah orang-orang

lama, dipakai puluhan tahun sampai penyebutannya diubah menjadi "kementerian" pada 2009. Selain Depnaker, orang-orang kadang juga menyebut teras toko mebel

tersebut sebagai "sor talok", frasa Jawa yang berarti 'di bawah pohon tolok (atau gayam)’. Kononsipohon talok sudahditebang lama danRohman menyaksikannya.

Kami membenarkan posisi duduk dan mengawali basa-basi dengan menanyakan lamanya ia mangkal.

“Saya belum lama, di sini baru 25 tahun,” kelakarnya. Kami terkekeh.

Kata Rohman, tempat tersebut sudahada selama puluhan tahun. Dulu sebelumruko

tersebut berganti-ganti pemilik dan direnovasi, hanya ada jalan setapak untuk

Magang Mojok II (September-November 2021)
44

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

mereka saat menunggu tawaran kerja. Rohman dan para kuli paruh waktu lain duduk di sana dari pukul enam pagi hingga menjelang tengah hari, mengharap seorang mandor, pemborong, juragan atau siapa saja yang sanggup membayar tenaga mereka. Kerja apa saja mereka lakukan, namun memang biasanya yang dicari khusus kerjaan kasar, seperti halnya tukang atau kuli bangunan untuk sebuah proyek. Mereka bisa bekerja sekali waktu hari itu juga atau borongan selama beberapa hari.

“Kerjaan di sini gak bisa dijagain, kalau gak dapet, ya, pulang,” kata Rohman Rohman sebelum kami sempat menanyakannya. Ia terlihat sedikit pasrah di selasela kisahnya.

Tanggungan keluarganya sudah tidak ada. Ia tinggal di rumah hanya bersama istri. Kedua anaknya sudah berkeluarga. Ia di rumah sendirian, sedang istrinya bekerja di tempat laundry. Daripada melamun sendiri, nongkrong dan bertemu temanteman senasib telah menjadi keseharian kakek bercucu satu itu. Barangkali ada yang hilang dari hari-harinya jika ia sekali saja tak ke Sor Talok. Dapat tak dapat pekerjaan, Rohman akan tetap singgah, bahkan jika ia telah mendapat kerja yang jaraknya terpentang jauh, ia sengaja lewat jalan daerah Dogongan, Kalasan itu.

“Besok ke sini lagi. Nyempetin mampir,” ucapnya.

Baginya, bekerja di kota berbeda dengan di desa. Jika di kota ia bisa fokus bekerja secara penuh hingga proses pembangunan rampung, di desa pembangunan sering kali dilakukan secara bertahap karena alasan dana. Tak jarang ia disuruh untuk berhenti secara tiba-tiba. Kalau sudah demikian, ia akan mangkal lagi.

Harisaat kamidatang itu terbilang sepi. SebelumRohman, hanya ada belasan orang yang datang lalu pergi. Ketika ramai, katanya bisa sampai tiga puluhan orang berkumpul menunggu kerjaan. Dari lipatan di pelupuk matanya, kami melihat Rohman tersenyum di balik masker yang menutupi wajahnya. Kabar baik. Menurutnya, kalau sepi, tandanyaorang-orangsudahmendapat kerja. Sebagiandari mereka sengaja hanya mampir sebelum berangkat ke tempat kerja.

II (September-November 2021)
Magang Mojok
45

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Meski bersedia kerja apapun, mereka memasang standar umum upah per hari, berbeda dengan mandor yang dibayar rangkap. Seorang mandor menerima gajinya sebagai kuli sekaligus sebagai pengawas yang mengarahkan tukang. Untuk pekerja biasa, paling tidak seratus ribu rupiah ditambah uang makan harus mereka peroleh selepas memeras keringat seharian. Kalau mujur, kadang mereka mendapat bingkisan sembako. Saat awal pemberlakuan pembatasan kegiatan karena pandemi pendapatan mereka juga terkena dampaknya: Upah sehari bisa turun menjadi Rp70.000. Itu belum karuan kalau dapat.

Pagi itu panas terik. Kendaraan lalu-lalang. Semua orang terlihat buru-buru, entah akan pergike mana. Diseberang jalansama sepertihari-harisebelumnya: Beberapa orang berjejer di pinggiran toko mebel. Kami sempat menunggu beberapa saat sendirian di tempat tersebut sebelum Rohman datang. Rasanya sudah seperti menanti mandor yang akan mempekerjakan kami sungguhan.

Saat kami ingin beranjak seorang laki-laki tua datang sembari menuntun sepeda ontelnya. Di tempat parkir motor kami amati jalannya santai, tak seirama dengan bisingnya mesin kendaraan diiringi klakson yang entah memang perlu selalu dibunyikan atau si sopir saja yang latah. Sejurus kemudian ia duduk. Kami agak gamang menghampirinya, kalau-kalau ia seorang musafir yang sekadar duduk istirahat dari perjalanan yang sangat jauh, namun akhirnya kaki kami tergerak juga ketika ia menyadari keberadaan kami dan menganggukkan kepala sambil menyunggingkan gummy smile-nya.

“Riyanto. Pak Yanto, gitu saja. Orang-orang sudah tahu,” katanya dengan setengah berteriak dan melirik kami yang sibuk mencatat namanya di ponsel.

(September-November
Magang Mojok II
2021)
46

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

[caption id="attachment_228" align="aligncenter" width="300"]

Riyanto bersama ontelnya.[/caption]

Dugaan kami keliru: Ia bukan musafir! Pria 61 tahun itu sama seperti orang-orang

lain: Bagian dari sekumpulan manusia yang tiap pagi menanti rezeki. Di tengah

obrolan kami baru sadar bahwa Riyanto merupakan seorang mandor. Sudah enam

bulan ini ia setia bekerja untuk renovasi rumah makan bebek panggang di Jalan

Pakem-Kalasan. Letak tempat kerjanya ke arah timur, sedangkan pangkalan PU ini agak ke barat. Dari rumahnya di dekat Pasar Gendeng, ia memilih belok dulu ke pangkalan karena ingin menunggu teman kerjanya berangkat.

Selama setengah tahun upahnya sebagai mandor sebesar Rp120.000 dan upahnya

sebagai kuli sebesar Rp100.000. Ia pun kerap memborong tawaran dari beberapa orang. Selain menjadi tenaga untuk pembangunan, ia bertindak sebagai pengawas. Mengarahkan para tukang yang mengecor secara tidak merata, misalnya. Statusnya sebagai mandor membuat upahnya cukup tinggi dibandingkan dengan pekerja lain, bahkan sering kali ia mendapat uang melebihi standar umumnya dan dikasih bonus hingga Rp175.000. “Paling tinggi pas di Condongcatur pernah dikasih 250 sehari. Jadi, gak tentu,” ungkapnya.

Ia menceritakan tempat mana saja yang pernah digarap olehnya selama ini, mulai dari rumah, klinik, hingga toko besi, yang katanya, besar.

“Itu saya yang garap, tapi saya nyepeda terus. Ndak apa.” Cara duduknya berubah menjadi tegap. Kami mengangguk sebagai bentuk apresiasi.

Magang Mojok II (September-November 2021)
47

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Yanto memang tipikal orang tua yang masih menggunakan cara-cara lama. Ia tak punyaponsel. Takadacarauntuk berkomunikasidengannya selaindatang langsung menemuinya. Citra “sederhana” ini juga terlihat ketika ia menolak kami sebut mandor. Meski upahnya beda, baik kedudukan mandor, tukang, maupun tenaga biasa terlihat setara baginya.

“Saya ndak mau (disebut mandor) sejak dulu. Yaudah biasa aja, dianggap sama aja seperti teman.”

Gaya bercerita Yanto yang sepotong-sepotong membuat kami seperti sedang bermain lego di kepala… atau apakah mungkin kami juga sedang menjadi pekerja konstruksi di pikiran sendiri? Kemampuannya mengarahkan sesuatu sudah terlatih.

Awalnya, Yanto cerita ngalor-ngidul soal pekerjaannya, kemudian tentang bagaimana tukang yang baik, kepercayaan pemilik proyek, hingga soal upah.

Semua itu kembali pada alasannya untuk kembali ke Sor Talok. Siapa sangka bahwa ternyata Yanto merupakan seorang seniman patung? Katanya, di depan rumahnya terdapat patung gajah yang ia buat sendiri. Sebelum kerja serabutan ia gemar membuat patung untuk dijual dengan harga yang beragam, namun karena pekerjaan tersebut dianggap tak punya prospek, istrinya melarang.

Percakapan kami terhenti karena kami kehabisan stok pertanyaan di kepala. Di tengah keheningan suara Yanto memelan. Ia mengungkapkan bahwa istrinya telah tiada sejak tahun lalu karena menderita sakit ginjal. Kini ia hidup seorang diri.

Pandangan Yanto menerawang jauh. Ia mengulang ucapannya bahwa ia akan kembali besok pagi pada kami sebelum akhirnya pamit pergi membawa ontel yang telah menemaninya selama empat puluh tahun.

“Sejak dulu saya di sini terus. Gak ada keperluan ke sini pun, saya akan tetap mampir." (DTW/MSMI/PSW/AES/LFT)

Reporter: Dina Tri Wijayanti dan Sidra Muntaha

Liputan 1 – Rabu, 6 Oktober 2021

(September-November 2021)
Magang Mojok II
48

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

https://mojok.co/magangdimojok/kisah-kuli-freelance-yang-tiap-pagi-menantipekerjaan-di-depnaker-kalasan/

49

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Di Balik Kemudi: Melihat Jasa Angkut Bekerja Sebelum dan Semasa

Pandemi

Kalian bosan dan capek menjalani profesi? Ingin lebih termotivasi? Baca ini!

Kami tiba di Kecamatan Kutowinangun, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah usai menempuh perjalanan 89 kilometer. Saya dan seorang penyedia jasa angkut, Darun (40), mengangkut lebih dari lima ratus kilogram pupuk organik dari sebuah pabrik di Tembi, Bantul dan sebuah sofa bed titipan menggunakan mobil pikap GranMax1.5 keluaran2013. Jenis pupuknya beragam, mulaidaricair sampai kering. Semuanya dikemas menjadi dua belas karung dan delapan dus. Setiba di lokasi akhir, tepatnya di penjual pupuk, kami masih harus memindahkan barangbarang dari mobil ke gudang.

Sekarung beratnya 25 kilogram. Ketika memikulnya di pundak, langkah saya sedikit goyah. Jumlah muatantersebut tidak terlalu banyak. Beberapa temanpernah kerja serabutan memindahkan barang yang dimuat penuh dalam satu kontainer, namun saat saya bawa ke gudang, barang itu rasanya tak habis-habis. Sok-sokan, saya sempat terpikir untuk mengangkat dua karung sekaligus

“Satu-satu aja,” Darun membaca pikiran saya. “Dua karung itu beratnya sama kayak kamu, loh.” Saya meringis.

50

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Malam itu Kamis (30/9). Beberapa hari sebelumnya, saya dan salah satu reporter magang Mojok, Yoga, mendapat tugas liputan soal jasa angkut. Terdapat beberapa jasa angkut yang kami hubungi, tetapi tak semuanya merespons. Salah satunya Darun, pria asal Kasongan, yang dengan senang hati bersedia. Agar makin mendalami peran, saya menawarkan diri jadi helper-nya.

Alhasil dari Kamis sore sampai Jumat (1/10) dini hari, saya menemani Darun mengangkut barang dari Kabupaten Bantul ke Kutowinangun. Paginya badan pegal-pegal, saya syukuri saja. Saya tak pernah terpikir untuk kerja sekeras ini, namun masa depan siapa yang tahu?

Pesanan Datang

Saya menghubungi istri Darun, yang kontaknya saya dapat dari penyedia jasa angkut lain yang sudah tak bekerja sejak Selasa (28/9). “Bisa langsung hubungi Mas Darun aja,” balas istrinya. Ia pun memberi kontak Mas Darun.

Belum sempat mengirim pesan, keesokan harinya saya ditelepon. Darun mengajak saya untuk mengangkut barang saat itu juga, namun di hari itu saya sudah terlanjur punya agenda lain. Saya pun minta dikabari bila Darun mendapat order di kemudian hari. Kamis pukul 10.49 WIB, Darun kembali menghubungi saya. Ia berkata bahwa terdapat pesanan untuk mengangkut barang ke Kutowinangun pada pukul satu siang, lantas saya menyanggupinya.

Beberapa saat setelahnya, saya dapat kabar bahwa pesanan tersebut ditunda hingga Jumat pagi, namun saya tidak dapat menyanggupinya. Darun pun mencoba menghubungi kliennya agar barang bisa diantar sore itu juga.

Pukul dua siang, terdapat berita baru. Kata Darun, sore itu barang-barang jadi diangkut. Saya pun mendatangi titik lokasi yang ia berikan dan mendapati sebuah rumah dengan gerbang biru. Di sebelah rumah terdapat mobil terparkir di bawah atap kecil yang disangga tiang. Di mobil tersebut terdapat tulisan nomor telepon dan nama “Mas Daruns”.

Mojok II (September-November 2021)
Magang
51

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

[caption id="attachment_316" align="aligncenter" width="300"]

Bersiap menuju pabrik pupuk.[/caption]

Di depan rumah berdiri seorang pria berbadan tambun mengenakan kaus Polo loreng. “Mas Darun, ya?” tanya saya.

“Iya. Kita langsung berangkat aja, ya, Mas,” jawab Darun.

Kami lantas menaiki mobil dan pergi mengambil barang di pabrik pupuk.

Tiba di Pabrik

Sesampai di pabrik, kami masih harus menunggu sekitar dua jam sebab barangbarang yang dipesan belum diberi label. Di situlah saya mulai mengenal Darun lebih dalam, terutama tentang jasa angkutnya.

Mobil pikap GranMax 1.5 yang Darun pakai ternyata belum berumur lama, baru dibeli pada 2018 hasil pinjaman dari bank. Sebelumnya, ia mengangkut barang menggunakan mobil pikap Zebra. Darun juga membantu istrinya berjualan sempol, bakso tusuk, jamur, dan lainnya. Semua jualan tersebut dititipkan ke beberapa sekolahan, semisal SMP Negeri 3 Sewon, dan ke pasar. “Dulu seribu tusuk sehari bisa (habis) itu,” jelasnya.

Rekam jejak jualan Darun terbilang bagus. Ia memberanikan diri meminjam uang

sebanyak seratus juta rupiah di bank. Sekitar delapan puluh juta ia pakai untuk membeli mobil pikap baru, sisanya untuk kebutuhan lain. Sekitar setahun setelah

52

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

membeli mobil, Darun mendapat musibah: Bisnisnya dihajar pandemi dan istrinya mengalami kecelakaan.

Praktis, penghasilan utama Darun kini adalah jasa angkut. Tatkala istrinya pulih, mereka melanjutkan berjualan di pasar, namun jajanan mereka tak selaku dulu saat mereka jajakan di sekolah-sekolah sebelum pandemi. Darun pun berusaha keras untuk mencari langganan. Beberapa kali ia menjual jasa angkutnya dengan harga di bawah standar.

Biasanya jasa angkut Darun dibanderol dengan harga Rp80.000 untuk lima kilometer pertama. Bila lebih, terdapat tarif tambahan sebesar Rp5.000 per kilometer. Ketika pandemi menghantam semua sektor bisnis, Darun pernah menerima order seharga Rp50.000. Dalam keadaan sulit seperti itu, Darun merasa tak bisa menolak.

“Rezeki hari itu datangnya segitu, ya udah,” ujar Darun. “Saya juga lihat-lihat dulu orang ini menghargai jasa angkut, nggak? Kalau dia punya uang tapi nggak mau bayar harga pas, ya, berartidia zalim. Soalnya kalauterlalu lunak atau empati, nanti dimanfaatkan orang.”

Kini, saat pandemi sudah berjalan lebih dari setahun, Darun mendapat pelanggan tetap: pemilik pabrik pupuk di Tembi yang rutin mengantar produknya ke Kutowinangun tiap minggu. Dari perjalanan 89 kilometer ini, Darun mengaku bahwa ia mendapat Rp500.000.

“Ini kalau jadi rutinan, ‘kan udah lumayan,” ucapnya.

Menanti Notifikasi

Selain jasa angkut mandiri seperti Darun, Yoga juga menghubungi penyedia jasa angkut yang mencariperuntunganlewat aplikasipengirimanlogistik, sebagaimisal, GoBox. Mereka adalah Ahmad, Catur, Tukiyo dan Alfan yang ditemui di daerah Soropadan, Kelurahan Condongcatur, Kabupaten Sleman pada Rabu (29/9) siang.

Saat saya temui mereka sedang nongkrong di teras rumah Tukiyo (36), tempat mangkal beberapa pengemudi jasa angkut. Tukiyo mengaku senang rumahnya jadi

Magang Mojok II (September-November 2021)
53

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

tempat mangkal karena membuatnya bisa tetap terhubung dengan teman-teman yang memiliki pekerjaan sejenis. Sesekali mereka bisa saling bantu.

Saat itu pukul 11.00 WIB. Ahmad dan lainnya sudah nangkring di sana sejak pukul sembilan pagi. “Ini masih slow (santai), Mas,” kata Ahmad lewat pesan WhatsApp sembari mengirim video penampakan rumah Tukiyo dan sekitarnya.

Ketika meminta izin untuk ikut mengangkut barang, Ahmad enggan menyanggupinya. Katanya, ia tak bisa berjanji karena pesanan datang tak pasti. “Kalau GoBox, udah seminggu lebih nggak dapat order,” kata Ahmad.

[caption id="attachment_317" align="aligncenter" width="300"]

Halaman depan rumah Tukiyo.[/caption]

Benar saja, dari awal hingga akhir pertemuan, tak terdengar sedikit pun bunyi notifikasi dari GoBox. Sepi. Sekali waktu, saat pandemi, Tukiyo mengaku pernah kebanjiran pesanan. Itu datang dari pemilik warung atau pengusaha yang terpaksa mengangkut jualannya untuk dibawa pulang karena bangkrut.

“Banyak yang kukut karena enggak sanggup bayar biaya kontrakan. Akhirnya tutup, barang dibawa pulang,” kata Tukiyo yang dua minggu terakhir tak kunjung mendapat pesanan dari GoBox.

Ia mengenang masa kejayaan GoBox, tiga tahun pertama setelah aplikasi tersebut diluncurkanpada 2015. Ditahunpeluncuran ia langsung mendaftarkan diri menjadi mitra jasa angkut di aplikasi tersebut.

54

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Tukiyo mengaku banjir pesanan kala itu. Ia bahkan pernah menerima delapan pesanan dalam sehari. Setelah mengangkut barang di satu tempat, ponselnya berbunyi lagi. Itu artinya ada pesanan baru yang masuk.

“Walah, Mas, dulu itu sebulan pernah dapat total lima belas juta,” katanya sambil mengelap lampu kiri pikapnya dengan minyak kayu putih.

Kliennya juga beragam. Menurut penuturan Catur (32), sebelum pandemi, mahasiswa lah yang paling sering memesan jasa angkut. Bagi mahasiswa, jasa angkut memang sangat dibutuhkan saat pindah indekos atau kontrakan.

Ia bahkan pernah mengangkut barang-barang dari empat mahasiswa dalam satu pikap dengan sekali antar. “Biar hemat biasanya, ya nggak salah juga, asal muat,” katanya. Sebaliknya ia juga pernah menerima pesanan jasa angkut sebanyak dua dus saja. Padahal jika pesan melalui GoBox, harganya dihitung berdasarkan jarak tempuh pengantaran barang: Rp87.000 untuk tiga kilometer pertama.

Selain itu, pesanan paling banyak datang dari penyelenggara pameran. Catur mengingat-ingat kembali saat ia mendapat pesanan untuk mengangkut barang di Jogja Expo Center (JEC). Katanya, loading barang saat itu menghabiskan waktu berjam-jam karena banyak pikap dan truk mengantre.

“Pernah masuk ke sana jam 12 siang, keluar baru jam 1 malam,” kenangnya.

Akan tetapi, pandemi membuat Tukiyo dan teman-temannya menjual jasa angkut secara mandiri. Klien bisa langsung memesan jasanya dengan menghubungi nomor ponsel yang tertera di plang depan rumahnya.

Tak jarang mereka saling berbagi dan lempar pesanan. Misalnya, Catur mendapat pesanan, tetapi ia ada urusan lain yang juga mendesak. Ia melempar pesanannya

kepada Tukiyo. Selanjutnya, ketika Tukiyo mendapat pesanan dan tak bisa mengambilnya, ia akan memberikannya kepada Catur sebagai ganti pesanan sebelumnya.

Haltersebut menjadi lumrah bagi mereka. “Itu gunanya punya tim kecil kayak gini: saling membantu satu sama lain,” kata Catur.

Magang Mojok II (September-November 2021)
55

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Selain melayani jasa angkut, Catur juga membuka usaha rental mobil, baik yang

berjenis pikap maupun Multi Purpose Vehicle (MPV atau minivan). Ia juga melayani jasa city tour, perjalanan luar kota, hingga antar-jemput bandara. Semua itu ia upayakan agar tetap berpenghasilan di kondisi sulit seperti saat ini.

Darun, Tukiyo, dan teman-temannya termasuk penyedia jasa angkut yang “beruntung”. Menurut Darun, ada juga jasa angkut yang bangkrut. Karena sepi pesanan, beberapa jasaangkut menggadaikanmobilnyadengan harga murahkeunit bisnis yang membutuhkan pengangkut barang. Nasib nahas, banyak pemilik mobil yang tak bisa melunasi barang gadaiannya.

Cerita Satu Aspal

Usai menunggu barang ditempeli label, saya dan Darun pun memulai perjalanan ke

Kebumen, menyusuri Kabupaten Kulon Progo dan Jalan Pantai Selatan (Pansela).

Matahari mulai terbenam. Sambil menyetir, Darun sesekali menatap langit, berharap hujan tak datang dan mengguyur barang angkutannya. Barang-barang tersebut memang sudah kami lapisi terpal. Bila hujan datang, ia mesti berkali-kali mengecek barang angkutannya dan memastikan tak ada yang kuyup atau rusak.

Pokoknya, bagi penyedia jasa angkut yang hanya bermodal pikap, hujan sangatlah merepotkan.

Selain hujan, terdapat hambatan lain bagi orang seperti Darun, yang menghabiskan waktu kerjanya di jalan. Begal, misalnya.

Suatu waktu Darun pernah berhadapan dengan gerombolan berengsek macam itu di jalan. Salahsatu dari mereka membawa kayu balok dan ingin menghadang mobil Darun. Melihat gerombolan tersebut, Darun melambatkan mobil hingga salah satu

dari mereka, yang membawa balok, menaiki bak angkutan. Darun langsung

menancap gas, tak membiarkan gerombolan lain naik ke bak angkutan. Si pemegang balok panik. Takut berhadapan dengan pengemudi sendirian, ia loncat

dari atas mobil dan jatuh terguling-guling.

Magang Mojok II (September-November 2021)
56

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

“Pasti takut, lah. Waktu itu sama temanku. Mau dia kayak bagaimana kalo lawan

dua orang, 'kan susah juga,” kenang Darun.

Darun mengenalkan jenis-jenis pengendara di jalur lintas provinsi. Berjalan di satu

aspal bersama ragam karakter pengendara jadi tantangan tersendiri baginya. Salah

satunya adalah pengemudi yang enggan mobilnya disalip. Pengemudi jenis ini, bila hendak disalip, akan terus menggeser mobilnya ke ruas kanan jalan.

Selain itu, ada juga sopir truk yang gemar membuat barisan panjang. Pengguna jalan semacam ini adalah tokoh antagonis bagi mereka yang buru-buru sampai ke tempat tujuan, sementara Darun… saya kira ia bukan pengendara yang tergesa.

Sebelumnya, Darun bilang perjalanankami akan sedikit lebih lambat dari biasanya. Jalanan gelap dan barang muatan cukup banyak. Ngebut di jalan justru berisiko.

Saya percaya saja sampai Darun menginjak pedal gas dalam-dalam dan menyalip tiga baris truk di depan. Ia melaju sama kencang dengan mobil dari arah berlawanan, lalu kembali menggeser pikapnya ke lajur kiri.

Terkesiap, sontak saya berseru, “Wuih!”

Didesak Kebutuhan

Setelah tiga jam perjalanan, saya dan Darun tiba di toko pupuk, Kutowinangun. Sesampai di sana, saya mengangkat barang ke gudang. Usai memindahkan semua barang, kaus saya basah. Darun berbincang dengan pemilik toko di dalam rumah, sementara saya menunggu di luar sembari menghisap rokok.

Pekerjaan yang melelahkan, pikir saya. Saat di mobil saya bertanya pada Darun apakah ia tak pernah bosan dan capek menjalani profesi sebagai jasa angkut. Tentu saja tidak!

Rasa bosan hanya ada di benak kelas menengah seperti saya. Darun, yang bekerja

untuk memenuhi kebutuhan mendesak, tak sempat memikirkan hal semacam itu. Ia punya keluarga yang juga punya kebutuhan sehingga mencoba berbagai cara, salah satunya yakni menjalankan berbagai usaha. Darun bahkan mengaku siap sedia

(September-November 2021)
Magang Mojok II
57

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

mengantar barang selama dua puluh empat jam. Tak ada libur, kecuali ada uzur yang mendesaknya tak mengantar barang.

Usai menumpang mandi di toko pupuk, kami pulang ke Jogja. Darun mengantar saya ke Jalan Wates, di mana saya janjian dengan seorang teman baik hati yang bersedia menjemput. Darun sama baiknya. Katanya, saya bisa jadi helper-nya lagi bila ada waktu luang dan keinginan, serta nanti ia beri makan dan uang untuk beli rokok.

Saya tak pernah membayangkan diri menjalani pekerjaan semacam ini, namun kalau kelak perut kelaparan atau dompet menipis, saya tahu saya harus datang ke mana. (MSMI/YWO/AES/LFT/PSW)

Reporter: Sidra Muntaha dan Yogama Wisnu Oktyandito

Liputan 2 – Senin, 11 Oktober 2021

https://mojok.co/magangdimojok/di-balik-kemudi-melihat-jasa-angkut-bekerjasebelum-dan-semasa-pandemi/

58

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Gaya Hidup Food Waste Juga Ada Faedahnya buat Mereka yang Lapar

Yuk, kenali food loss and waste lebih jauh melalui penerapannya!

Beberapa jam yang lalu saat berita ini ditulis, kami melihat satu cuitan yang lumayan ramai diperbincangkan netizen Twitter. Sebuah akun dengan username

@istrebki membagikan video bagaimana seorang karyawan sebuah toko donat terkenal, Dunkin Donuts, membuang donat-donat yang tak laku ke tong sampah

sebelum gerai ditutup. Sebenarnya video serupa juga pernah viral di sebuah akun

TikTok milik BryanJohnston, yang menunjukkandirinya membuang lebih daritiga ratus donat yang layak makan. Melalui kolom komentar, beberapa netizen yang

melihat video-video buang makanan tersebut mengaku miris dan sakit hati.

Seharusnya donat itu diberikan pada mereka yang membutuhkan makanan di luar sana. Sebuahakun bernamaJasmin Irishberkomentar, “This is a total waste of food. That is why the world is struggling.” Ini merupakan food waste. Inilah alasan mengapa dunia sedang berjuang.

Untuk melihat fenomena mubazir makanan ini, sebenarnya tidak melulu dari sisi produsen. Mari lihat teman-teman setongkrongan. Supaya lebih reflektif, lihatlah dari kebiasaan anak-anak muda seumuran kami. Menyisakan makanan di piring hampir jadi gaya hidup orang-orang. Di Jogja kami datang ke salah satu gerai fast food terkenal dan sebuah kafe yang biasa jadi tempat nongkrong mahasiswa. Alasannya macam-macam.

II (September-November 2021)
Magang Mojok
59

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Fenomena Saat Dine-in di Salah Satu Gerai Fast Food

Minggu (3/10) malam kami menuju ke salah satu restoran cepat saji. Sesampainya di sana, kami diberitahu oleh salah satu satpam yang bertugas bahwa batas maksimal untuk makan di tempat (atau dine-in) adalah sejam Jadi, ada waktu sekitar sejam yang kami gunakan selama di restoran tersebut untuk mengamati orang-orang yang juga dine-in.

Sambil memasuki restoran tersebut dan memesan makanan, kami terus mengamati tiap meja. Barangkali ada pembeli yang tidak menghabiskan makanannya. Setelah memesan, matakamiterus memandangidarisatusudut mejakesudut lainnya. Ingin memastikan bahwa pengamatan kami tidak ada yang terlewatkan satu pun.

Pesanan kami datang. Kami langsung menuju ke lantai dua dan kembali melanjutkan pengamatan di meja sekitar tempat kami duduk. Baru dua puluh menit mengamati, kami melihat di dua meja sebelah kami ada yang tak menghabiskan makanannya. Meja di sebelah kami diisi oleh ibu beserta tiga anaknya yang masih kecil. Kami taksir usia anak-anaknya antara lima hingga delapan tahun. Setelah mereka pergi, kami melihat nasi dan ayamnya bersisa. Di meja sebelahnya lagi sekumpulan tiga orang anak muda yang sebaya dengan kami yang tak menghabiskan kentang goreng yang mereka pesan.

Tak lama berselang, seorang karyawan berpakaian abu-abu mendatangi meja yang ditinggalkan. Dengan sigap, membersihkan meja dan membuang sisa makanan tersebut. Kami ingin mendatanginya dan berniat untuk sekadar mengobrol tentang tugasnyasehari-hari. Apadayakaryawantersebut terlihat terburu-burudansemakin memperjauh langkahnya dari kami. Ah, ya sudah, mungkin nanti bisa mengobrol lebih banyak saat mau tutup, pikir kami.

Tak terasa lima menit lagi sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Waktunya restoran tersebut akan tutup. Seorang satpam yang saat itu bertugas juga langsung memberikan pengumuman kepada pengunjung yang ada di lantai dua, termasuk kami. “Mas dan Mbak semuanya, mohon maaf. Sebentar lagi kami akan tutup.

Magang Mojok II (September-November 2021)
60

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Mohon pengertiannya,” begitu katanya sembari memberikan gestur kedua tangan memohon maaf.

Kami beres-beres agar segera pulang. Sesaat sebelum menuruni tangga, kami kembali menemukan di salah satu meja, dua orang yang kami taksir sebaya dengan kami juga menyisakan makanannya. Setelah dilihat, terdapat dua bungkus kentang yang tidak dihabiskan. Jadi, selama kurang lebih sejam kami di restoran cepat saji tersebut, total kami menemukan tiga buah meja yang makanannya terbuang sia-sia.

Setelah sejam melakukan pengamatan, kami menemui satpam dan meminta izin untuk mengobrol langsung dengan salah satu pegawai kebersihan restorantersebut.

Saat menyampaikan maksud dan tujuan kami, satpam tersebut malah memberikan tatapan sinis dan mengernyitkan dahinya. Kami diminta untuk menunggu di luar, sementara satpam tersebut seperti bicara dengan salah satu pegawai yang ada di dapur. Selama lima menit menunggu, kami hanya melamun dan mencoba pasrah.

Tak lama setelahnya, satpam itu mendatangi kami. “Boleh wawancara, tapi jangan ada ambil foto, ya. Silakan wawancara pegawai yang di parkiran itu,” ucap satpam tersebut memecah lamunan kami sembari menunjuk ke arah parkir gerbang keluar.

“Baik, makasih, ya, Pak,” balas kami.

Kami bergegas menuju ke parkiran yang dimaksud oleh satpam tersebut. Adalah

Abyan (21)―bukan nama sebenarnya―karyawan yang sudah bekerja di restoran cepat saji tersebut selama kurang lebih dua tahun. Ia menerima dengan senang hati saat kami menyampaikan maksud dan tujuan mengobrol dengannya. “Kita ngobrol santai aja, ya, Mas,” ucap kami setelah memperkenalkan diri.

Abyan bercerita bahwa selama bekerja, tiap harinya ia selalu menemukan sisa makanandan minumandaripengunjung direstorantersebut. Menurutnya, biasanya hal itu ditemukan dikalangan anak muda seusia kami. “Selalu saya temukan begitu, Mas. Miris, tapi mau bagaimana lagi,” ucapnya.

II (September-November 2021)
Magang Mojok
61

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Saat ditanyakan tentang jenis makanan dan minuman yang biasanya ditemukan

bersisa, ia menyebutkan bahwa untuk makanan adalah burger dan minuman yakni minuman bersoda.

“Dua itu yang paling sering, Mas. Kalau (menu) yang lain, kayak kentang atau es krim, jarang saya temukan nggak habis,” tambahnya.

Abyan juga menuturkan bahwa sampah sisa makanan tersebut nantinya bercampur

dengan sampah plastik atau bungkus makanan yang akan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) oleh petugas kebersihan lainnya. Tentu hal seperti ini akan menghasilkan permasalahan baru lagi.

“Iya, Mas. Kalau menurut yang saya lihat, gaya hidup ini tentu akan berpengaruh lagi ke lingkungan. Orang-orang yang mubazir, yang tidak menghabiskan makanannya, semestinya mulai mengurangi kebiasaan itu,” jawabnya.

Marikita lihat: Apakah sisa makanan akanterbuang sia-sia sepertidigerai fast food ini… atau justru berguna bagi banyak orang? Jikalau berguna, kira-kira bagaimana wujud kegunaannya?

Seorang Pemuda dan Kisahnya Bersama Komunitas Kutub

Untuk membuktikan semua hipotesis kami, pada Selasa (5/10) sekitar pukul 19.00

WIBkami menemuiseorangpemuda yang kontaknyakamidapat darisalahseorang

teman kami. Niat Daruz (25) ke Jogja memang ingin menjadi penulis. Atas rekomendasi kakaknya, laki-laki asal Tuban itu bergabung dengan Komunitas

Kutub. Kutub jadi tempat mereka yang ingin jadi penulis berkegiatan bersama di bawah asuhan Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari yang terletak di Jalan

Parangtritis KM 7,5 Cabean, Sewon, Bantul. Di sanalah ia ditempa. Sejak awal ia

bertekad untuk lepas dari kiriman orangtua. Demikian pula dengan temantemannya yang lain. Mereka mesti hidup mandiri dengan menghasilkan uang lewat apa saja, khususnya menulis. Ada juga yang jualan. Saat awal kedatangannya di Jogja ia mengirim beberapa tulisan ke media dan mendapat honor jika dimuat. Ia

sadar bahwa upaya tersebut tak bisa jadi satu-satunya yang jadi sandaran. Ia kerap tak mengantongi sepeser uang pun. Tekadnya kuat untuk bisa mandiri. Ia pernah

Magang Mojok II (September-November 2021)
62

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

menjajakan koran dan memperoleh upah kisaran Rp20.000 untuk makan hari itu juga. Lapar adalah kondisi yang amat dekat dengan kesehariannya.

Daruz hampir selalu berlima dengan temannya sesama Kutub. Kebetulan mereka kuliah di kampus yang sama dan sering nongkrong di warung kopi. Warung kopi sudah seperti rumah kedua baginya, bahkan ia pernah selama dua bulan tidur di sebuah kafe. Saat nongkrong ia tak pernah memesan makanan.

Kami menyimak masa lalu Daruz di sebuah kafe. Saat kami datang ia sedang menyunting naskah untuk sebuah penerbit. Kini ia sudah punya kerjaan tetap. Sambil setengah menutup laptopnya, ia menceritakan dirinya empat tahun silam.

Waktu itu dini hari. Sejak sore Daruz dengan keempat sohibnya pergi ke Kafe Kopas yang terletak di daerah Sorowajan. Saat itu ia masih naik ontelnya ke manamana. Sedang sehari penuh, tak ada isi lain di perut mereka kecuali mangga muda yang dirujak dengan bumbu penyedap, kecap, dan cabai. Dengan perut kosong dan badan gemetar, mereka tak mungkin kuat balik ke asrama. Jadilah mereka menumpang di warkop tersebut.

Meski tak pernah memesan makanan, acap kali meja mereka selalu penuh dengan gelas dan piring makanan sisa pengunjung lain. Sudah biasa mereka memakan sisa pesanan orang. Tidak jijik, tidak malu. Daruz berkata sembari sedikit tertawa, sebenarnya kebiasaan orang-orang yang tidak menghabiskan makanannya di lain sisi berfaedah juga. Ia dan kawan-kawan yang kelaparan bisa menyambung hari dari sisa yang mereka tinggalkan.

Pernah suatu ketika Daruz dan teman-temannya lapar. Terdapat segerombolan orang yang baru saja turun dari mobil memesan beberapa kudapan sambil ngopi. Sudah sepertidibidik, sisa makanan seolah melambai-lambaipada pemuda-pemuda yang lapar itu saat segerombolan orang tersebut beranjak dari kafe. Mereka hompimpa. Yang kalah ialah yang bakal menyahut makanan dari meja itu. Daruz kalah karena tersalip oleh pelayan kafe. Atas dorongan keroncongan perut, Daruz mengejar ke arah dapur si pelayan yang bersiap membawa nampan bekas makanan tersebut ke wastafel.

(September-November 2021)
Magang Mojok II
63

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

"Mas, sisa makanan itu jangan dibuang, kami belum makan," tutur Daruz mengulang kata-katanya kala itu.

Sang pemilik kafe mendengarnya. Daruz ditanya olehnya terkait jumlah kawannya. Sesaat setelahnya, seorang pelayan membawakan nampan berisi segunung nasi, telur, tempe, dan sambal. Plus sebatang rokok. Hari itu mereka mujur dan kenyang. Meminjamkata-kataDaruz:Sebetulnyakebanyakanorangdapat berbaikhati, kalau kita minta pastidikasih, asal meminta dengansopan. Rasa malu pada akhirnya akan terdesak oleh asam lambung.

Saat kantong kering Daruz pernah tidak makan dua hari utuh. Kami menanyainya tentang bagaimana rasanya perut kosong selama 48 jam. Katanya, ia gemetar dan sempoyongan. "Mata berkunang-kunang dan tidak bisa tidur," imbuhnya.

Bagi Daruz, pengalaman tersebut justru membuatnya lebih banyak belajar. Selama kami mengobrol, terdapat dua pengamen yang menghampiri meja kami. Saat mendengar dari kejauhan suara alunan musik, Daruz siap-siap merogoh receh di tasnya. Ia bilang bahwa ia selalu punya dorongan untuk memberi. Kalau ada pedagang asongan yang menjual apapun, ia akan membelinya dengan iba meskitak butuh. Lebih-lebih soal makanan, kalau bisa, pantang ia menyisakannya.

"Keinget dulu," ungkapnya.

Hipotesis pertama kami sudah terbukti, namun apakah ada kegunaan dari sisa makanan selain hal yang telah dilakukan oleh Daruz?

Bakudapan dan Strateginya

(September-November
Magang Mojok II
2021)
64

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

[caption id="attachment_342" align="aligncenter" width="300"]

Contoh food waste yang sering ditemukan.[/caption]

Kenyataan yang membuat kami merasa getir yaitu di Indonesia jumlah limbah makanan tiap orang jomplang dengan tingginya indeks kelaparan. Data ini dikeluarkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional berkolaborasi dengan Foreign Commonwealth Office dari Inggris, di mana limbah makanan yang

terbuang (atau food loss and waste) di Indonesia sejak 2000 hingga 2019 bisa

sampai 48 juta ton per tahun (sama dengan 115-184 kilogram per kapita tiap tahunnya).

Gaya hidup membuang-buang makanan di tingkat konsumen ini dapat dimulai dari tataran lingkungan terdekat, semisal keluarga. Orang-orang tua selalu punya cara untuk menyiasati anaknya yang bandel. Tak sedikit yang menggunakan teknik mengarang kisah fiktif yang bakal melekat di benak anaknya. Terlepas dari ceritacerita yang menakutkan atau juga konyol, mereka punya motif sendiri untuk menertibkan si anak. Ini kami alami sendiri, sebagai misal, ibu kami dulu selalu mengatakan, "Kalau makan nggak dihabisin, nanti nasinya nangis."

65

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

[caption id="attachment_343" align="aligncenter" width="300"]

Ilustrasi makanan yang belum dihabiskan.[/caption]

Hingga kini, entah karena masih percaya bahwa nasi memiliki air mata, ada obsesi untuk menghabiskan makanan yang sudah diambil. Selain doyan, rasanya sayang sekali untuk menyisakan, apalagi membuang-buang makanan.

Obsesi yang sama pun melekat pada Gatari Surya Kusuma (28). Ia banyak belajar tentang isu-isu pangan dari komunitas tempatnya bergiat, Bakudapan. Bersama food study group tersebut, ia pernah menginisiasi proyek yang mengulas soal sisa makanan bernama Living Leftover. Di sana mereka main-main selama dua bulan dengan sisa makanan di dapur hotel. Aktivitas-aktivitas belajar bareng semacam itu secara tak langsung membentuk pola pikirnya. Ia jadi berani mencoba-coba resep masakan dengan bahan yang ada.

“Di rumah aku biasa masak. Aku nggak terbebani dengan resep. Jadi, aku terobsesi untuk ngehabisin makanan itu,” tutur Gatari saat kami temui pada Selasa (5/10) sekitar pukul 15.00 WIB di JNM (Jogja National Museum).

Menurutnya, sikap seseorang terhadap makanantergantung pada akses. Akses yang ia maksud tak hanya bagaimana seseorang mendapat makanannya, namun juga soal akses pengetahuan. Sebenarnya pun pola konsumsi kita, katanya, sudah menyiasati masalah makanan sisa. Banyak jenis bahan pangan yang memang bisa dimasak beberapa kali, seperti sayur lodeh, jangan gori, sup, dan sejenisnya. Hari itu Gatari bercerita bahwa ia memasak sup ayam yang ia campur dengan kol dan wortel. (DTW/MFPP/AES/LFT)

(September-November
Magang Mojok II
2021)
66

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Reporter: Dina Tri Wijayanti dan Muhammad Fadhil Pramudya Putra

Liputan 2

Rabu, 13 Oktober 2021

https://mojok.co/magangdimojok/gaya-hidup-food-waste-juga-ada-faedahnyabuat-mereka-yang-lapar/

67

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Anak Muda, Healing, dan Proses Menuju Kestabilan

We are prepared now for ourselves, so we will be fine again…

“Cita-cita terbesarku adalah kestabilan.”

Tiga tahun berkuliahdi Universitas Gadjah Mada (UGM) terasa sangat lambat bagi Feli (21) yang beberapa bulan silam didiagnosis mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD) dan bipolar disorder

Sejak 2018 atau semester pertama kuliah, Feli sudah beberapa kali konsultasi ke psikolog. Pada rentang semester satu sampai tiga ia sempat didiagnosis mengalami PTSD, namun saat itu psikolognya berkata bahwa ia hanya stres berat. Feli juga mengaku bahwa ia tidak langsung membuka diri untuk bercerita. Hal tersebut membuat psikolog bingung dengan kondisinya.

Baru setelah mulai berkonsultasi dengan psikiater sejak semester empat, Feli tak hanya didiagnosis mengalami PTSD, tetapi juga bipolar disorder. Hal ini ia ketahui setelah psikolog dan psikiaternya melihatnya kerap mengalami episode depresif tatkala teringat pada trauma yang dimilikinya. Hingga kini, ia masih rutin mengonsumsi obat-obatan tiga kali sehari. Ia juga rutin kontrol dengan psikolog dan psikiaternya dua minggu sekali di Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM.

Susah Payah Selama Kuliah

68

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Mari mundur ke 2018. Saat itu salah seorang lainnya, Aldi (20), masih menempuh semester pertamanyadiUGM. Sepertikebanyakanpelajar SMA, ia mencita-citakan kehidupan yang baru dan berbeda dengan dunia SMA. Ia membayangkan ia akan punya pertemanan dan kehidupan sosial yang baik.

Akantetapi, enam bulan pertama setelah berstatus sebagai mahasiswa justru ia lalui dengan terseok-seok. Ia sering merasa pening. Obat pereda nyeri merupakan kawannya saat itu. Tak jarang ia bertanya pada beberapa temannya apakah mereka memilikiobat untukiakonsumsi. Memang, sesaat nyeridikepalanya hilang, namun bukan berarti itu tak akan muncul kembali sewaktu-waktu.

Selama enam bulan pertamanya itu, mood-nya terkadang juga tak menentu. Beberapa kali ia merasa sangat malas dan sama sekali tak bersemangat melakukan apa pun. Suatu waktuia kesulitanbanguntidur dan malas membereskan kamar kosnya. Di waktu yang lain ia sama sekali tak bisa melihat kamarnya kotor dan berantakan.

Di satu sisi ia terkadang merasa sangat senang dan antusias berinteraksi dengan orang lain. Di sisi lain adakalanya ia merasakan sedih, cemas, dan ketakutan. Suatu waktu iabisakehilangankemampuanuntukberkomunikasi, ketakutanberlebih, dan terlintas pikiran-pikiran mengerikan yang membuatnya takut bertemu dengan orang, mengurung diri, hingga keinginan untuk bunuh diri.

Perlahan, ia sadar ada yang tak beres dengan dirinya dan ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia memutuskan untuk pergi ke psikiater. Menurutnya, keluhan yang ia alami sudah memerlukan pertolongan yang berhubungan dengan

kesehatan jasmaninya, seperti pusing dan pening.

Setelah beberapa kali konsultasi dan mendapat obat, pada 2019 ia didiagnosis

mengalami bipolar disorder tipe 2, yaitu jenis bipolar disorder yang penderitanya memiliki dua kutub suasana hati, yakni depresi dan hipomania.

Mendengarnya, ia menyatakan denial. Panik. Bingung.

II (September-November 2021)
Magang Mojok
69

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Hingga saat ini, ia masih punya jadwal konsultasi dengan psikolog dua minggu sekali dan psikiater satu bulan sekali. Ia juga masih mengonsumsi obat-obatan, seperti yang berjenis mood stabilizer sampai antidepresan.

Menenangkan Diri dan Mencari Tempat “Aman”

Feli dan Aldi punya kiat masing-masing untuk menenangkan diri, baik ketika mengalami episode depresi, mania, maupun setelah trauma. Mengunjungi tempattempat yang aman dan nyaman bagi mereka adalah salah satunya.

Aldi, misalnya, punya definisi sendiri tentang tempat aman bagi dirinya. Menurutnya, tempat yang aman adalah tempat yang membuatnya nyaman untuk menyendiri, tidak merasa cemas, dan ketakutan. Tempat yang tidak ada orangorang yang memandangnya berbeda. Tak selalu tempat yang sepi, namun tempat yang orang-orang di sana cenderung tidak ada yang “peduli” dengan orang di sekitarnya.

Ia mengaku jarang menemukan tempat seperti itu di Jogja, terlebih di daerah perkotaan. Tentunya selain kamar seluas 3 x 4 meter yang jadi satu-satunya tempat ia menyendiri. Tatkala stres, tidur, makan, bekerja, sampai melepas stres pun, ia tetap berada di sana.

Salah satu tempat “aman” menurutnya ada di Gereja Katolik Hati Kudus Tuhan Yesus (HKTY). Letaknya ada di Jalan Ganjuran, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul―sebelas kilometer ke selatan dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

(September-November 2021)
Magang Mojok II
70

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

[caption id="attachment_453" align="aligncenter" width="300"]

Tanah lapang tempat berdoa.[/caption]

Meski baru pertama kali, Aldi mengaku ingin segera kembali lagi ke sana. Ia menemukan tempat yang dicari. Ia menemukan ketenangannya.

Beberapa teman yang acap kali beribadah ke sana juga menyebut gereja ini sering jadi tempat healing, pelepas stres, dan mencari ketenangan bagi anak-anak muda.

“Udah dari dulu. Tempatnya memang sepi dan syahdu. Enak untuk deep talk, haha.”

“Sering, sih, nemuinorang yang sakingkhusyuknyaberdoa, sampai nangis. Jadinya seperti curhat.”

Benar saja, Feli sejak 2018 sudah kerap beribadah ke Gereja HKTY Ganjuran dengan teman, saudara, maupun pacarnya. Awalnya, ia hanya mengikuti misa. Lama-kelamaan, ia merasa nyaman dengan tempat tersebut sehingga rutin tiap sebulan sekali berkunjung. Ia menghabiskan waktu selama tiga puluh menit sampai dua jam.

“Aku menemukan keheningan di sana, bisa benar-benar fokus dan legawa untuk ngomong,” katanya.

71

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

[caption id="attachment_454" align="aligncenter" width="300"]

Taman doa di depan candi Hati Yesus.[/caption]

Feli kerap berdoa di sana saban mengalami stres dan depresi. Meski demikian, dirinya tak serta-merta selalu membaik dan tenang setelah dari sana. Menurutnya, hal tersebut kembali lagi tentang penerimaan diri seseorang. Itu tergantung pada setiap orang. Jika seseorang belum bisa berdamai dengan keadaannya, episode depresifnya akantetap sama saja dan berlangsung lama. Setidaknya itu berdasarkan keterangannya.

Prinsip Utama Healing

Dina Wahida (34), psikolog di Career Development Center Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (CDC Fisipol) UGM menjelaskan bahwa healing sebenarnya bisa dilakukan dengan mudah dan melalui cara-cara apa saja. Tidak selalu harus mengeluarkan waktu, biaya, dan tenaga yang banyak.

Kita dapat memulai dari hal-hal yang sering kita anggap sepele, namun tetap

penting: self-talk. Self-talk bertujuan untuk merasakan, mengidentifikasi diri sendiri, dan menemukan makna dari tiap kejadian.

Selain mudah dan tidak merepotkan, self-talk bisa kita lakukan di mana pun, kapan pun, dan dalam situasi apa pun. Contohnya yaitu merasakan apa yang terjadi pada tubuh, mengingat kembali hal apa yang membuat stres, hingga makan apa saja dalam seminggu terakhir.

72

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Cara yang lain yakni berbelas kasih pada diri sendiri. Ketika melakukan ini, seseorang harus memberikan afirmasi positif dan berhenti mengkritisi diri sendiri. Kalimat-kalimat seperti“Akukerensudahsampaisejauh ini, akukuat, akumampu”

lebih baik daripada “Aku kurang banget, bodoh banget, sih.”

Selain itu, seseorang perlu menerapkan common humanity. Ia perlu paham bahwa kesulitan dan kegagalan dalam hidupnya dialami semua orang, bukan hanya ia sendiri. Artinya, berhenti bersikap keras pada diri sendiri. Setelah itu, proses seseorang menerima pikiran dan perasaan, tidak menghakimi, membesar-besarkan, dan menyangkal situasi di dalam dirinya juga merupakan hal-hal penting dalam healing

Meski demikian, Dina membenarkan pula orang-orang yang memilih healing dengan cara-cara lain, seperti nongkrong, pergi ke suatu tempat, atau berdiam di kamar. Menurutnya, hal tersebut kembali pada setiap individu karena perlakuan pada setiap orang pun berbeda-beda.

Dina pernah menangani klien yang selalu marah-marah dengan memukul tembok. Menurutnya, tak masalah jika kliennya marah-marah, asal caranya diubah. Ia menyarankan ke kliennya untuk pergi ke kamar mandi dan berteriak sekencangkencangnya di bak air yang terisi penuh tatkala kliennya ingin marah.

Selama seseorang merasa nyaman, terbantu untuk sembuh, dan energinya terisi kembalidengan cara-cara healing yang ia lakukan, haltersebut sah-sahsaja. Prinsip utama healing adalah kita bisa melakukannya dengan cara apa pun, asal jangan melakukan perilaku yang membuat seseorang merasa ada kerugian-kerugian selanjutnya. Contohnya yaitu suka banting-banting barang, memukul tembok, atau melukai anggota tubuh.

Intinya, setiap orang memiliki spirit atau energi yang dipengaruhi oleh lingkungannya. Ketika seseorang tidak memiliki energi atau mental breakdown, ia pasti melakukan healing untuk mencari rasa nyaman bagi dirinya. Jika sudah merasa nyaman, ia akan mengisi kembali energi atau spirit untuk menyembuhkannya secara mental.

(September-November 2021)
Magang Mojok II
73

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Bukan Proses Singkat

Feli dan Aldi punya cara healing mereka masing-masing. Selain pergi ke tempat yang membuatnya nyaman, Feli kerap menelepon temannya untuk bercerita dan berkeluh kesah tatkala episode depresif itu datang. Supaya lebih tenang, acap kali ia mendengarkan musik-musik instrumental, sebagai misal, Yiruma.

Atau Aldi, yang punya kebiasaan nongkrong di beberapa kafe untuk membuatnya lebih tenang dan aman dari rasa takutnya. Rasa takut yang justru kerap datang dari orang-orang di sekitarnya. Dengan nongkrong, ia merasa terbebas dari pandangan, penilaian, dan stigma negatif yang beberapa kali ia alami.

Aldi ingin orang-orang di sekitarnya―teman maupun orang awam―bisa memahami kondisi orang-orang dengan gangguan kesehatan mental. “Aku paham ketika aku depresi mungkin aku mengganggu. Tapi aku juga pengin orang lain paham saat aku lagi enggak mau berinteraksi dan pengin diam, mereka bisa paham dengan keadaanku,” jelasnya.

Pada akhirnya, untuk mencapai cita-cita terbesar mereka kelak―yaitu kestabilan―Feli dan Aldi masih belajar menerima diriapa adanya. “Itu proses yang lama,” ujar Feli pendek. Mereka sudah memiliki kesadaran dan kemauan untuk segera berbenah dan sembuh dari kondisi yang dialami saat ini.

“Aku ingin bergerak menuju kestabilan, aku sadar dengan apa yang aku lakukan, dan aku mulai menerima keadaanku,” tutup Feli. (YWO/AES/LFT/PSW)

Reporter: Yogama Wisnu Oktyandito

Liputan 3 – Rabu, 27 Oktober 2021

https://mojok.co/magangdimojok/anak-muda-healing-dan-proses-menujukestabilan/

Magang Mojok II (September-November 2021)
74

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Cerita dari Orang yang Merawat dan Peduli Kucing Jalanan

Kalo kalian nemu kucing yang luka dan terlantar, kalian pelihara atau cuma kalian obatin?

“Saya, tuh, kasihan lihat kucing yang nggak terawat terus dibuang sama pemiliknya begitu aja di jalanan.”

Entah apa yang ada di pikiran orang-orang yang tega membuang kucing ke jalanan hingga ke pasar. Terlepas dari apapun jenisnya atau bagaimanapun kondisinya, kucing tetaplah makhluk hidup yang berhak menikmati hidupnya dan mendapatkan perawatan yang layak dari pemiliknya. Tak jarang pula ditemukan kucing yang dibuang ke jalanan dalam kondisi sakit atau tak terawat.

Anggap Kucing seperti Anak Sendiri

Beberapa minggu sebelum menulis ini, saya menemukan dan membaca liputan yang membahas tentang kisah pemulung yang menyelamatkan kucing jalanan.

Ternyata hal tersebut juga saya temukan saat berbincang dengan Pak Gondrong.

Malam itu saya berbincang dengan Pak Gondrong di salah satu pasar yang ada di Jogja. Pak Gondrong (60)―begitu dirinya kerap disapa―bercerita bahwa dirinya sudah lima belas tahun merawat kucing yang terlantar. Semua bermula ketika ia menemukan tetangganya membuang kucing dengan memasukannya ke kardus

75

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

berukuran 32 x 20 x 23 cm (atau seukuran kardus mi instan) dan dibiarkan begitu

saja tanpa makanan.

“Sekarang kucingnya masih rutin saya rawat,” tuturnya dengan antusias, “bahkan kucingnya udah gemuk, Mas, udah sehat.”

Tidak hanya yang ditemukan di jalanan, ia bercerita bahwa sejak lima belas tahun

silam ia terus berkeliling dari pasar ke pasar untuk memperhatikan dan merawat

kucing yang ada di sana. Hal tersebut ia lakukan agar bisa melihat kondisi kucing dan rutin memberikannya makanan yang ia beli dengan uangnya sendiri.

“Sudah saya anggap seperti anak sendiri, Mas,” tawanya sambil melanjutkan ceritanya.

Pak Gondrong mengingatkan bagi pemilik yang membuang kucing dengan seenaknya di jalanan untuk menjadi pemilik yang semestinya bertanggungjawab. Pernah ada satu kejadian, Pak Gondrong menemukan kucing yang dibuang dalam keadaan kaki belakangnya tidak bisa ditekuk sehingga tidak bisa berjalan dengan normal. Hingga akhirnya, Pak Gondrong tergerak untuk mengobati kaki kucing tersebut dan merawatnya di rumahnya.

“Pas saya bawa ke dokter hewan, katanya bisa sembuh, tapi nanti jalannya nggak bisa normal kayak sebelumnya. Makanya, jalannya pincang. Yang penting, saya bersyukur kakinya bisa diobati, Mas,” ucapnya sambil menggendong kucing tersebut dan menunjukkan bagian kakinya yang pincang kepada saya.

(September-November
Magang Mojok II
2021)
76

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

[caption id="attachment_489" align="aligncenter" width="300"]

Pak Gondrong menggendong kucingnya.[/caption]

Hingga saat ini, terdapat lima kucing yang terus dirawatnya di rumah dan menjadi peliharaan kesayangannya.

Merawat Kucing dan Tergabung di Komunitas

Tidak hanya dengan Pak Gondrong, malam itu saya juga ditemaniSiti(38). Tatkala memasuki halaman parkir pasar, Siti langsung dikerubungi sekumpulan kucing di sana. Ada delapan kucing. Tanpa berpikir panjang, Siti langsung menjawab rasa penasaran saya.

“Sudah biasa, Mas. Mereka juga sepertinya sudah paham dan tahu bunyi motor saya,” ujarnya sembari tertawa.

Malam itu Siti membawa dua jenis makanan kucing: bolt untuk jenis makanan kering dan life cat untuk jenis makanan basah, serta satu mangkuk sebagai wadah untuk makanannya. Setelah memasuki kawasan di mana Siti biasanya memberi makan kucing yang ada di pasar, ia langsung mencampur kedua jenis makanan dan membagikannya kepada delapan kucing yang ada.

“Kita pilih waktunya di malam haridan tempatnya diarea belakang ini karena lebih leluasa dan gak bakal diprotes sama pedagang sekitar dan orang-orang juga, Mas,” ujarnya.

“Maksudnya diprotes gimana, Mbak?” tanya saya penasaran.

77

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Siti bercerita bahwa acap kali ia mendapat protes dari pedagang yang ada di pasar. Menurut para pedagang, kucing di sana suka buang kotoran sembarangan yang terkadang mengganggu mereka. Oleh karenanya, ia lebih memilih waktu di malam hari supaya tidak mengganggu suasana di pasar.

Ketika memberi makanan kucing, Siti juga dibantu Pak Gondrong. Saya meminta izin untuk ikut memberikan makanan ke kucing lainnya. “Boleh, Mas, silakan,” jawabnya setuju.

[caption id="attachment_490" align="aligncenter" width="300"]

Kucing pasar memakan bolt dan life cat.[/caption]

Siti saat ini tergabung sebagai salah satu relawan komunitas yang bergerak pada kepedulian terhadap kucing, khususnya yang ada di pasar. Namanya Peduli Kucing Pasar (PKP) Jogja. Relawannya tersebar di 34 pasar yang ada di Jogja.

Siti memang memiliki minat terhadap kucing. Bermula dari berbincang-bincang dengan salah satu temannya di Plaza Ambarrukmo enam tahun yang lalu, ia menyatakan bergabung dengan komunitas yang bergerak pada kepedulian terhadap kucing ini. Demikian pula Pak Gondrong, yang turut bergabung sejak tahun lalu.

“Setelah itu, saya mencoba mampir ke salah satu pasar. Melihat keadaannya yang beberapa kurang terawat, saya makin tergerak untuk lebih peduli terhadap kucing dan merawatnya,” lanjut Siti.

78

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Siti menuturkan pengalamannya saat ada orang yang mendatangi pasar untuk membuang kucing miliknya. “Kondisinya kurang terawat, Mas. Kurus banget Akhirnya, kami sterilkan dan rawat dia. Sekarang kondisinya lebih membaik dan sehat,” katanya.

Yang lebih mengherankan lagi, ada orang yang mendatangi pasar dan mengambil kucing di sana tanpa sepengetahuannya. Untungnya, hari itu Siti diberitahu oleh pedagang yang ada di pasar. Singkat cerita, setelah mendapatkan kontak orang tersebut, Siti langsung menemuinya dan menemukan luka di sekitar mata kucing tersebut. Siti juga menyebut bahwa kucing tersebut terlihat tidak dirawat dengan baik. Hal ini terlihat dari badannya yang begitu kurus. “Entahlah, saya juga kurang tahu apa alasan orang-orang itu mengambil kucing di sini, tapi ternyata malah nggak dirawat. Mbok, yo bertanggung jawab,” ujarnya yang tampak kesal.

[caption id="attachment_491" align="aligncenter" width="300"]

Oleh karena kasus seperti itu dan demi alasan keamanan, Siti meminta kepada saya untuk merahasiakan dan tidak menyebutkan nama pasarnya.

Sempat Ditentang Orang Tua

Merawat dan memelihara kucing jalanan menjadi kesenangan tersendiri bagi Opi

(21), yang sempat ditentang orang tuanya. Ia merupakan mahasiswa psikologi di

79
Mangkuk sebagai wadah makanan kucing.[/caption]

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

salah satu universitas di Jawa Barat yang bersedia untuk menjadi salah satu narasumber liputan ini.

Opitidak menyangsikan bahwa kucing liar suka buang kotoran sembarangan, susah dalam hal toilet training-nya, dan kadangkala suka mencuri makanan yang ada di rumah.

“Akhirnya, orang tuaku ngebolehin karena kasihan dan kucing yang ingin aku pelihara juga lucu,” katanya.

Saking senangnya terhadap kucing, Opi juga memberi nama ketiga kucingnya tersebut.

“Adaduakucing liar, namanya MochidanKiky. Satulagikucing ras yang diadopsi, namanya Momo,” ucapnya.

“Kalau Mochi dan Kiky, mereka awalnya sering berada di sekitar rumah. Karena lucu, mereka langsung kubawa ke rumah. Tidur dan makan di rumah. Jadi, ya, kupelihara,” lanjutnya.

Ada beberapa hal yang membuat Opi tergerak untuk merawat dan memelihara kucing di rumahnya.

“Pastinya yang pertama kasihan karena kucing liar di sini banyak dan makannya susah. Terus, kucing liar yang ada di sekitar rumah ini diperlakukan nggak semestinya,” ujar Opi.

“Aku pernah menemukan ada kucing yang ekornya putus karena digunting sama orang. Itu memang benar-benar nggak pantas untuk dilakukan,” katanya lirih.

Opi melanjutkan ceritanya tergerak untuk merawat dan memelihara kucing liar, yang juga berangkat dari pengalamannya. Saat itu ia menemukan ada orang yang membuangkucing yang dimasukkankekardus. Kardustersebut malahditinggalkan

begitu saja di rumah makan, padahal di dalamnya terdapat anak-anak kucing bersama induknya.

(September-November 2021)
Magang Mojok II
80

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Selain itu, Opi sering melihat ada orang-orang yang berbagi ceritanya di media

sosial yang menemukan kucing terlantar dan dibuang oleh pemiliknya.

“Jadi, sejak 2017 aku mulai merawat dan pelihara kucing di rumah,” tutupnya.

(MFPP/AES/LFT)

Reporter: Muhammad Fadhil Pramudya Putra

Liputan 3 – Jumat, 29 Oktober 2021

https://mojok.co/magangdimojok/cerita-dari-orang-yang-merawat-dan-pedulikucing-jalanan/

81

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Bukan di LSM atau Start-up, Kerja di Pemerintahan yang Paling Enak

oleh Aniati Tokomadoran

Dah, kerja jadi PNS emang paling enak!

Membaca tulisan Mbak Ajeng Rizka, “Semakin Pengin Daftar PNS karena Pekerjaan Korporat Kaya Kuda Pecut” di Mojok, saya makin menyadari satu hal.

Cita-cita saya buat jadi anak muda yang kerja nyaman dan bersenang-senang tampaknya tidak berakhir menyenangkan. Saya punya pengalaman kerja di pemerintahan, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dan start-up

Saya termasuk anak muda yang terlena bekerja di LSM dan start-up. Kedua kantor ini mewadahi saya agar saya bisa bekerja sesuai passion, namun realitas menampar saya. Setelah saya alami sendiri, saya baru sadar: betapa enaknya kalau saya kerja di pemerintahan saja.

Selain gaji yang terjamin, ada beberapa hal yang membuat kerja di pemerintahan lebih enak dibandingkan start-up maupun LSM.

Pertama, kerjanya terstruktur. Kerja di pemerintahan itu punya jadwal yang rigid Agenda rapat pun sudah dijadwalkan dari jauh-jauh hari sehingga segala persiapan nggak dilakukan dengan serba-dadakan. Ada helaan napas panjang tatkala

82

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

menyiapkan itu semua. Hal ini berbeda ketika kita kerja di LSM atau start-up. Di sini rapat bisa diadakan secara mendadak. Semua seolah-olah harus selalu siap sedia kapan pun. Klien bisa menghubungi kita sewaktu-waktu, tanpa peduli apakah kita masih bertenaga atau sudah lelah melewati hari.

Kedua, ada libur di akhir pekan. Kalau kerja di pemerintahan itu jelas, kerja mulai Senin hingga Jumat, sementara Sabtu dan Minggu libur. Ini tidak berlaku jika kita bekerja di LSM atau start-up. Hari libur hanyalah formalitas di dunia kerja, tapi tidak untuk praktiknya. Banyak hal yang tiba-tiba menjadi urgent untuk dikerjakan saat weekend tiba

Ketiga, merasa aman. Bukan hanya karena gajinya yang aman dan terjamin, kerja di pemerintahan artinya juga ada sejumlah aturan yang harus kamu patuhi, salah satunya yakni tidak membahas atau terjun ke wacana-wacana politik. Ini berbeda dengan ketika kita bekerja di start-up maupun LSM. Khususnya di LSM, justru pekerjaannya membahas isu-isu sosial dan politik. Seberapa sensitif pembahasan soal isu tersebut, bisa kita dengar dari tinggi-rendahnya suara saat sedang membicarakannya. Ya, saat rapat kita perlu sesekali melirik ke luar kantor: kalaukalau ada tukang bakso yang lewat sambil membawa walkie-talkie

Bagaimana? Bekerja di pemerintahan memang enak sekali, bukan? Ini bisa jadi pilihan anak muda seperti yang saya cari: Pekerjaan aman dan saya bisa bersenangsenang. Selain itu, karena punya support system yang baik, saya pun nggak overthinking dengan tukang bakso keliling.

FYI, nih, anak muda yang punya cita-cita pengin hobinya dibayar, bisa memilih kerjadipemerintahansebagaitambatanpekerjaan,apalagianak muda yang hobinya tidur di kelas waktu sekolah dulu. Tentu hobi ini bisa dilanjutkan, bahkan ada yang membayar waktu tidur kita tersebut. (AT/AES/LFT/PSW)

Terminal

Rabu, 29 September 2021

https://mojok.co/magangdimojok/bukan-lsm-atau-start-up-kerja-di-pemerintahanyang-paling-enak/

Magang Mojok II (September-November 2021)
83

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Abrakadabra 101: Serba-serbi Reaksi Klien ketika Diramal dengan Tarot

oleh Sarah Amany Wisista

Kira-kira kalian termasuk kategori klien pembacaan tarot yang mana, nih?

Dalam beberapa tahun terakhir, saya sering kali dirujuk sebagai “madam” oleh

cukup banyak teman dan kenalan. Selain karena gemar memakai lipstik ungu gelap

ala penyihir di buku cerita anak-anak dan membuat saya kelihatan seperti habis

makan ayam cemani, kalau mengutip review seorang teman yang agak kurang

ajar saya juga (((kebetulan))) menekuni beberapa cabang ilmu perbintangan dan ramal-meramal. Sebab itulah, saya kerap dipanggil madam… atau kadang-kadang dukun.

Saya mulai serius mengulik astrologi dan tarot sejak kira-kira tiga tahun yang lalu.

Sedari kecil saya punya cita-cita menjadi penyihir. Meskipun awalnya saya niati

sebagai cara untuk mengenali diri sendiri, pada akhirnya saya juga menyediakan

“servis” untuk membantu orang lain dalam perjalanan mengenali diri mereka.

Ketika sudah mulai berani membacakan tarot untuk orang lain, saya kerap

mengamati reaksi yang timbul ketika “klien-klien” ini sedang saya terka garis

hidupnya. Jika kalian belum pernah mengalami dibacakan tarot dan sekarang

bertanya-tanya bagaimana rasanya, saya akan menyajikan sedikit cuplikan

Magang Mojok II (September-November 2021)
84

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

berdasarkan pengalaman saya menjadi ahli nujum. Abrakadabra! Berikut adalah

serba-serbi reaksi klien ketika mereka sedang diramal dengan kartu tarot.

Pertama, mereka yang gelisah bahkan sebelum pembacaan dimulai. Klien-klien yang masuk ke kelompok ini acap kali terlihat cemas, yang dapat saya tangkap dari gestur mereka: mengetuk-ngetukan kaki ke lantai, berganti-ganti posisi ketika duduk, dan secara umum terlihat luar biasa ndredeg. Tidak jarang mereka akan mengaku sendiri, “Ya ampun, aku takut banget kalau hasilnya nanti jelek….”

Sebagai pembaca tarot, saya akan berusaha menenangkan mereka dan meyakinkan ulang bahwa ini adalah ruang aman untuk bercerita. Betul, anggap saja kalian sedang curhat dengan teman, bedanya kali ini spirit-spirit ikut “nimbrung” memberikan komentar. Tenang, ini akan menjadi pengalaman yang wholesome, kok.

Kedua, mereka yang interaktif. Sejauh ini saya baru menemukan satu orang yang benar-benar bersemangat dan aktif bertanya, beda dengan kebanyakan klien yang

memang biasanya mengikutialur pembacaan yang saya tawarkan. Beberapa datang tanpa pertanyaan khusus danhanya ingintahu secara general bagaimana kehidupan mereka nanti.

Klien saya yang satu ini bertanya soal karier. Sepanjang setengah jam pembacaan ia bercerita dan bertanya banyak tentang kondisi-kondisi spesifik di kantornya.

Rasanya cukup mirip main tenis karena tek-toknya berasa sekali. Meskipun agak panik karena kadang saya lumayan pahpoh saat berbicara saya senang, deh, dapat klien yang interaktif. Rasanya saya juga jadi belajar banyak darinya.

Ketiga, mereka yang skeptis. Ini yang menurut saya paling… ah, gimana, ya.

Membicarakan tarot, kita juga pasti membicarakan intuisi, ‘kan? Begitu pula tentang energi dan bagaimana itu ditukarkan antara saya dengan klien. Makanya, saya suka bingung sendiri kalau sedang membaca tarot dan… buset, kepala saya tiba-tiba kosong! Mirip tong yang nyaring bunyinya. Saya tidak dapat menangkap pesan apa pun dan kebingungan sendiri.

(September-November 2021)
Magang Mojok II
85

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Ternyata mereka hanya mau ngetes saya. Ya ampun, saya tidak peduli, tahu, kalau

kalian tidak percaya sama tarot. Tidak usah buang-buang waktu saya, lah. Mending kalau dibayar, biasanya cuma gratisan dan memang hanya kebelet masturbasi ego untuk membuktikantarot,tuh, cumapseudosains. Iya, deh, ngab, emang kamu yang paling pinter dan tahu segala-galanya.

Keempat, mereka yang akan menjadi sangat emosionalsetelahpembacaan. Kadang ada yang sampai menangis, apalagi kalau jawaban yang keluar tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Sekali itu ada klien yang datang dengan kegamangan balikan-sama-mantan-atau-tidak dan dua dari kartu-kartu yang keluar melingkupi

Three of Swords dan Seven of Swords Enggak, Neng, jangan balikan. LARI JAUHJAUH SEKARANG JUGA.

Ia brebes mili sesudahnya. Saya paham, sih, saya juga pernah menyayangi orang sedalam itu sampai sedih berkepanjangan ketika orang-orang menyarankan untuk berhenti. Saya akan memberikan mereka waktu sebanyak-banyaknya untuk memproses perasaan-perasaan ini. Pembacaan tarot kadang bisa menjadi sangat berat dan melelahkan, tapi pil kejujuran memang kerap pahit sekali: harus kalian minum supaya kalian lekas sembuh.

Meskipun demikian, harus diingat, ya, bahwa tarot bukan sesi terapi. Jika kalian betul-betul merasa tidak tahu lagi bagaimana cara menyelesaikan masalah yang sedang dialami, jangan sungkan untuk mencari bantuan profesional.

Kelima, mereka yang bertanya-tanya, “Ini, tuh, memang pesan darispirit-spirit atau dipengaruhi kondisi psikologisku saja, ya?” Betul, ini adalah tarot reader yang sedang berusaha membaca problema dirinya sendiri. Setidaknya itu yang saya rasakan saat melakukan hal serupa.

Saya pernah iseng bertanya saya akan dapat pacar atau tidak dalam waktu dekat.

Eh, yang keluar anehnya adalah kartu The Lovers. Saya jadi semalaman kepikiran sampai lumayan cenat-cenut. Ini memang bakal dapat pacar atau dek kartu tarot ini sedang balik mengisengi saya, ya? Kayaknya, sih, paling banter saya cuma dapat

(September-November
Magang Mojok II
2021)
86

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

mas-mas bingungan yang keburu saya buatkan playlist diSpotify. Ya, seperti biasa, lah.

Perjalanan saya menjadi penyihir modern tidak hanya dipenuhi cerita-cerita intens danmengharukantentang menemukandirisayakembali, namun jugadisisipikisahkisah lucu dan konyol yang membuat keseluruhan pengalaman ini menjadi sesuatu yang saya pegang erat-erat seperti balonku ada lima. Lebih dari apa pun, tarot bagi saya adalah media refleksi untuk merenungi kembali masalah-masalahtersebut dan posisi kita di dalamnya.

Sebagai seorang pembaca tarot, saya sendiri tidak begitu suka menjawab pertanyaan-pertanyaan yang skalanya megaspekulatif, seperti nanti akan menikah dengansiapa atau dua puluhtahun lagi bisa nyalon jadianggotalegislatifatau tidak. Menurut saya, kita selalu punya free will atau kehendak bebas dalam menentukan sesuatu. Jadi, saya memperlakukan tarot bukan sebagai sesuatu yang mutlak, melainkan sebuah saran yang bisa dipertimbangkan.

Pendekatan yang saya pakai berfokus pada masalah-masalah masa kini dan cara terbaik untuk menanggulanginya. Acap kali apa yang muncul di pembacaan adalah sesuatu yang sudah kalian tahu, kok. Kalian hanya butuh diafirmasi oleh orang lain.

Jadi, kalian kira-kira masuk ke kategori klien yang mana, nih?

(SAW/AES/LFT/PSW)

Terminal

Rabu, 29 September 2021

https://mojok.co/magangdimojok/abrakadabra-101-serba-serbi-reaksi-klienketika-diramal-dengan-tarot/

Magang Mojok II (September-November 2021)
87

Berasal dari Kota

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

oleh Aniati Tokomadoran

Emang bener, ya, semua masyarakat Ambon bisa bernyanyi dengan merdu?

Malam ini saya dan tetangga-tetangga saya berkumpul di kos adik saya. Kami sama-sama berasal dari Ambon. Sudah lama kami tidak bertemu, tepatnya sejak saya mulai sibuk dengan jadwal perkuliahan saya. Agenda malam ini yaitu makanmakan. Menunya sederhana: nasi, ikan kembung goreng, ca kangkung, dan sambal colo-colo. Saya ingin sekali makan colo-colo sejak beberapa minggu yang lalu untuk mengobati kerinduan terhadap tanah kelahiran, akhirnya kesampaian juga.

Kami berbagi tugas: Ada yang memasak nasi, ada yang memotong dan menumis sayur, dan saya membuat colo-colo. Hampir semua sudah matang, tinggal menggoreng ikan kembung. Hmmm, suasana seperti ini membuat saya bernostalgia. Sayatahu bahwa Ambontidak hanya terkenalakan colo-colonya yang merupakan makanan khas, namun juga sterotip suara merdu yang lekat dengan masyarakatnya. Saya penasaran: Apakah kalian punya pengalaman terkait stereotip bersuara merdu hanya karena berasal dari Ambon?

88

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Berbagai cerita pun mengalir. Salah seorang tetangga saya, Ongki, mengaku punya

pengalaman buruk saat praktikum kesenian di SMA. Ia disuruh untuk karaoke oleh gurunya, namun memilih untuk kabur. Kali ini ia selamat dari suruhan gurunya, namun keberuntungan tidak selalu datang dua kali. Kabur pun bukan solusi lantaran

saat kuliah dosennya tahu asalnya dari Ambon. Ongki diminta untuk menyanyi

karena stereotip suara merdu orang Ambon. Ia memilih untuk berkata, “Saya nggak

bisa nyanyi kalau nggak diiringi alat musik, Pak.” Dosennya mencoba untuk merayunya, “Kali ini nyanyi aja nggak apa-apa, enggak usah pakai alat musik.”

Merasa jawabannya tak diterima dosen, Ongki memilih untuk mengganti topik pembahasan agar tidak disuruh untuk menyanyi.

Adik saya, Anca, bisa menyanyi, tetapi tidak terlalu peka terhadap ritme. Ia termasuk tipe manusia yang nggak hafal ketukan untuk memulai bernyanyi

sehingga harus dipancing dengankode daripengiring musik atau dirigen. Anca saat

SMA juga memiliki pengalaman tentang praktikum kesenian, namun saat bernyanyi ia memilih untuk menyanyikan lagu Ebiet G. Ade agar masih berada dalam "zona aman".

Saya sama sepertiadik saya: Sejak SD hingga SMA, kami selalu ikut paduan suara.

Kelompok istimewa yang bisa berteduh dari sinar matahari ketika upacara bendera.

Saya merasa memiliki keberanian untuk bernyanyi tatkala kuliah, yang tidak akan saya lakukan ketika saya masih tinggal di Ambon.

Nongkrongnya orang Ambon selalu ada alat musik, minimal gitar. Kalau tidak ada alat musik, meja atau kursi pun bisa menjadi perkusi. Bila sudah ada yang mulai bernyanyi, pasti ada yang berinisiatif untuk menggunakan suara satu (atau suara rendah) dan suara dua (suara bantu yang tinggi dan menggunakan falsetto).

Tongkrongan pun berubah suasana menjadi mirip orkestra.

Saya yang bersuara biasa saja hanya bisa menyanyi jika tahu lirik dan nadanya.

Stereotip orang Ambon bersuara merdu jadi petaka buat sebagian orang Ambon

yangtidakbisabernyanyi. WalauAmbondinobatkansebagaikotamusikduniaoleh

UNESCO dan banyak penyanyi memang berasal dari sana, bukan berarti satu

kotanya bagus dalam bermusik atau bernyanyi. Pekalongan dijuluki sebagai kota

(September-November 2021)
Magang Mojok II
89

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

batik, tetapibukan berartisemua warganya bisa membatik, ‘kan?Ada banyak bakat lain di Pekalongan.

Sejauh yang saya tahu, tidak ada bakat yang berdasarkan geografis tertentu. Kalau genetik seseorang mendukung namun bakatnya tidak ia asah dengan baik, ia tidak akan bisa menyalurkan bakatnya. Di keluarga saya ada yang pandai bernyanyi dan ada pula yang tidak, padahal kami berasal dari keluarga dan daerah yang sama, ‘kan? Sebagian mau mengasah bakatnya untuk bernyanyi, sebagian lagi menemukan bahwa bakatnya bukanlah bernyanyi. Bakat dan genetik memang membawa pengaruh pada diri seseorang, namun minat dan ketekunannya lah yang menentukan ia akan menjalani profesi apa di kemudian hari. (AT/PSW/AES/LFT)

Terminal – Kamis, 30 September 2021

https://mojok.co/magangdimojok/berasal-dari-kota-ambon-bukan-berarti-punyasuara-merdu/

90

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Lucky Cigarette dan Takhayul tentang Menjadi Baik-baik Saja

oleh Sarah Amany Wisista

Penasaran gak, sih, kenapa ada orang yang membalikkan batang rokok terakhirnya sambil berdiam diri?

Meskipun bukan orang yang religius-religius amat, bisa dibilang saya sebetulnya cukup spiritual. Setidaknya ada sebagian dari diri saya yang percaya takhayul dan menggemari ide tentang ritual. Misalnya saja, saya merasa saya harus makan opor ayam tiap Idulfitri. Saya juga tidak pakai baju hijau kalau sedang pergi ke pantai selatan dan selalu membalik satu batang cigarette (atau rokok) dalam pak untuk dibakar di saat terakhir.

Baru pekan lalu seorang teman bertanya-tanya: Mengapa saya selalu melakukan itu tiap baru saja membuka segelrokok?Tentusaja setelah itu ia minta sebatang. Harus saya akui bahwa pertanyaannya barusan adalah bridge yang mulus dan tidak biasa untuk menjambret rokok teman dengan sopan. Setelah pengajuan proposalnya saya terima, ia pun membakar hibah rokok dari saya sambil cengengesan dan melanjutkan, “Tapi aku betulan penasaran, Sar. Memangnya kenapa?”

Saya memandangi rokok yang terbalik dalam pak. “Ini namanya lucky cigarette,” kata saya. “Fungsinya kayak lilin ulang tahun. Kalau rokok ini dibakar, kamu bisa memohon sesuatu.”

Mojok II (September-November 2021)
Magang
91

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Saya menyulut sebatang rokok, sementara seorang teman lain ikut urun cerita.

Katanya, ada beberapa orang yang sengaja membalik rokok dan membakarnya di saat terakhir sebagai semacam bentuk “persembahan” untuk teman atau orang tersayang yang sudah meninggal. Konsepnya lumayan mirip dengan sesajen yang ditinggalkan pawang hujan untuk menghalau badai. “Atau amer yang kemarin kita tuang di toilet buat penunggu rumah,” tambahnya.

Saya mendengarkan penjelasannya dengan terkesima. Mencengangkan. Ternyata ritual ini bisa jadi persembahan untuk spirit-spirit yang tidak terlihat.

Karena penasaran, saya mengulik sejarah di balik penamaan lucky cigarette itu sendiri. Menurut akun jacobfuckingjones di YouTube, ritual membalik satu batang rokok ini bisa ditelusuri jejaknya hingga masa-masa Perang Dunia II. Kala itu para tentara yang berada di medan perang, terutama mereka yang bertempur di Pasifik, merasa mereka bisa mati kapan saja. Tidak mengherankan sebab perang yang terus menggila kelihatan seperti tidak ada ujungnya.

Banyak dari mereka kemudian memulai tradisi untuk membalik satu batang rokok di dalam pak, menamainya sebagai lucky cigarette, dan membakarnya di saat terakhir. Alasannya sederhana: Kalau mereka bisa hidup dalam waktu yang cukup lama untuk mengisapnya, berarti mereka beruntung karena masih selamat. Saya sampai merinding waktu mendengarnya.

Topik ini memang menarik dan membicarakan lucky cigarette selalu membuat saya teringat pada seorang teman. Mari panggil saja ia Pakdhe sebab begitulah kolegakolega sejurusan kami menjulukinya. Pakdhe suka pakai ikat kepala dan mengidentifikasi dirinya sebagai penggemar Coldplay garis keras. Ia juga punya kebijaksanaan khas pakdhe-pakdhe yang membuatnya sering didatangi teman

sejawat kala mereka butuh bantuan untuk menyelesaikan berbagai perkara. Karena beliau, saya berkenalan dengan konsep lucky cigarette

Saat itu saya sedang main ke kontrakan teman-teman seangkatan. Saya ingat betul itu terjadi saat semester dua perkuliahan dan saya bahkan belum mulai merokok. Saya masih berusia delapan belas tahun dan seperti kebanyakan remaja berusia

Magang Mojok II (September-November 2021)
92

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

delapan belas tahun lainnya yang labil dan emosional, saya sedang mengalami patah hati terkacau sepanjang sejarah hidup saya yang pendek. Sekacau itu sampai saya terpikir untuk berguling-guling di jalan raya tiap tiga menit sekali.

Pakdhe, yang memang tinggal di kontrakan tersebut, kala itu duduk berseberangan dengansayadimejadiruangtengah. Sambilmengobrol, ia menarikkeluar sebatang rokok dan membakarnya. Dariujung mata, saya dapat melihat ada satu batang yang posisinya terbalik di dalam pak. Walaupun sebelum itu sudah pernah beberapa kali melihatnya, hari itu saya tiba-tiba penasaran sekali tentang artidi balik hal tersebut.

“Pakdhe,” kata saya, “kenapa ada satu batang yang dibalik?”

“Ini namanya lucky cigarette,” jawab Pakdhe. “Fungsinya kayak lilin ulang tahun. Kalau rokoknya dibakar, kamu bisa memohon sesuatu.”

Sebagai teman akrab, Pakdhe tahu betul kondisi emosional saya saat itu sedang mambrah-mambrah. Dengan kebijaksanaannya yang khas pakdhe-pakdhe, ia pernah menemani saya melalui episode breakdown yang cukup seram dan memberikan petuah tentang beranjak pelan-pelan.

“Masalah yang kamu alami ini skalanya sebesar pohon jati tua,” katanya. “Kalau mau diberantas sampai ke akar, kita harus mulai menebang dulu dahan-dahannya. Satu-satu, perlahan-lahan.”

Meskipun tahu betul bahwa merokok tidak masuk ke dalam daftar yang Pakdhe maksud sebagai “menebang dahan-dahan”, saya tetap saja terseret ke pusaran jahat rokok beberapa bulan setelah tragedi patah hati itu dimulai. Jelek, sih… tapi yah, setidaknya (waktu itu) kadartoleransi saya terhadap nikotin amatlah rendah. Rokok bikin saya pusing dan ingin tidur habis merokok sehingga saya tidak punya waktu untuk menangis. Plus, kalau sudahsampai di batangterakhir, saya bisa mengajukan satu permohonan kepada semesta atau siapa pun yang mau dengar. Doa saya sama dan berulang: Saya mau menjadi baik-baik saja.

Membicarakan lucky cigarette lagi sekian tahun setelah “pertemuan” pertama saya dengan konsep tersebut, bagi saya rasanya agak surreal. Membalik batang rokok

(September-November 2021)
Magang Mojok II
93

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

sekarang sudah saya anggap bagian dari memori otot. Terkadang saya bahkan lupa berdoa kalau sedang membakarnya mungkin mirip hari-hari masa kecil yang saya habiskan untuk melamun mau beli jajan apa sewaktu sedang salat. Barangkali memang begitulah keniscayaan dari ritual. Makin sering ia dilakukan, makin besar pula kemungkinan maknanya dilupakan.

Saya membayangkan tentara-tentara itu tidur di tenda yang dingin dan berlumpur: Mereka memikirkan rumah dan mengira-ngira besok mereka bakal mati karena ditembak atau dirudal. Bagi mereka, menghabiskan satu pak rokok utuh tentu akan terasa seperti pencapaian besar, mungkin mirip dengan apa yang dulu saya rasakan sebab menghabiskan sekotak rokok berarti menandakan satu hari lagi yang tidak jadi saya isi dengan berguling-guling di jalan raya.

Saya masih belum oke-oke banget, sih, tapi sepertinya sudah tidak sekacau dulu.

Setidaknya begitulah kata Pakdhe, yang dengan adem-ayem mengatakan bahwa pohonjatisaya sepertinya sudahtinggal menyisakanakar. Mendengarnya, saya jadi kepengenpercaya satu takhayul bahwa nanti, pada akhirnya, kita akan merasa baikbaik saja. Saya akan menunggunya dengan sabar sembari berdoa lewat membakar satu batang rokok yang dibalik dalam pak. (SAW/AES/LFT/PSW)

Terminal – Selasa, 5 Oktober 2021

https://mojok.co/magangdimojok/lucky-cigarette-dan-takhayul-tentang-menjadibaik-baik-saja/

Magang Mojok II (September-November 2021)
94

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Pulau Geser: Pulau Kecil di Maluku dengan Ciri Khas Uniknya

oleh Aniati Tokomadoran

Wah, pasti asyik bisa sering lihat laut, tapi apa bener enak tinggal di pulau kecil?

Tumbuh besar sebagai anak yang tinggal di pulau kecil memiliki keistimewaan tersendiri. Saya dibesarkandi sebuahpulau kecil bernama Pulau Geser yang berada di ujung timur Provinsi Maluku, tepatnya di Kabupaten Seram Bagian Timur.

Saking kecilnya, kita perlu zoom in sebanyak tiga kali agar bisa melihat pulau ini.

Saya menghabiskan masa kecil saya bersama teman-teman di bibir pantai. Salah

satu kegiatan kami yaitu bermain bola pasir. Kami membentuk pasir menjadi

sebuah bola, lalu saling memecahkan bola satu sama lain. Siapa yang bolanya

memecahkan semua bola temannya, dialah jagoannya. Berbagai lapisan jenis pasir yang berbeda makin menambah kekuatan bola. Karena sering kalah, saya pernah

menggunakan bola yang terbuat dari semen untuk melawan teman-teman. Hari itu saya menjadi pemenang dan jagoannya karena mengalahkan banyak orang. Hanya

saja, strategi saya akan ketahuan kalau bola ini mengering. Akhirnya yang saya

lakukan adalah bolak-balik ke air laut untuk membasahi bola.

95

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Maluku, termasuk pulau-pulau kecil di dalamnya, memang menarik perhatian turis dan wisatawan dengan pesonanya. Buat kamu yang penasaran gimana rasanya tinggal di pulau kecil dengan segala keunikannya, khususnya Pulau Geser, ini dia ciri-cirinya!

Pertama, ikan murah. Namanya juga pulau, tentunya dikelilingi laut dari segala arah. Banyaknya ikan bisa dilihat dari harga ikan yang begitu murah. Sebagai gambaran, ikan kakap merah sebanyak empat sampai lima ekor bisa dibeli dengan harga Rp15.000. Tak jarang anak-anak dari pesisir yang bersekolah di Pulau Geser juga bisa makan di akhir bulan dengan modal kail. Kalau ada sagu atau beras, lauknya bisa langsung dipancing saja di pelabuhan atau di belakang rumah.

Kedua, sayuran mahal. Berbeda dengan ikan, sayuran di pulau tidak beragam dan mahal. Sayur wortel dua biji bisa dibeli dengan harga Rp20.000, bahkan Rp25.000. Harga ayam broiler seekor Rp50.000. Kalau mendekati Lebaran dan stok ayam kurang, harga ayam bisa naik sampai Rp150.000. Sering makan ikan memang bisa bikin pintar, tapi jarang makan sayur juga bahaya buat tubuh dan pencernaan.

Ketiga, mabuklaut. Sebagaianak yangdibesarkandipulaukecil, sayatidakpunya

banyak pilihan untuk berkendara ke luar pulau selain kapal atau perahu. Kondisi

laut yangtakmenentu, membuat kitaterpaksaharus beradaptasidengan mabuk laut. Gelombang ombak yang tinggi menjadi sahabat perjalanan. Acap kali mesin kapal atau perahu mati di tengah laut sehingga kami perlu meminta bantuan ke nahkoda.

Keempat, rambu lalu lintas. Kendaraan yang ada hanya motor dan sepeda di pulau yang menyerupai huruf "G" (huruf kapital, lo, ya) ini. Iya, selain transportasi laut yang digunakan buat menyeberangi pulau, tidak ada rambu lalu lintas, apalagi macet yang melelahkan. Adik saya saat pertama kali ke Jogja malas jalan-jalan. Bukan karena perjalanan yang jauh, tapi ia capek menghadapi lampu lalu lintas dan capek menunggu lamanya lampu lalu lintas berganti.

Kelima, air tawar. Kita akan menjumpai masalah air jika tinggal di pulau kecil karena sulit sekali mendapatkan air tawar. Jangan kaget kalau ada penjual air

Magang Mojok II (September-November 2021)
96

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

keliling dengan gerobak yang terisi enam jerigen (atau sebanyak tiga puluh liter).

Biasanya air tawar diambil dari beberapa sumur.

Kehidupan di pulau kecil berbeda dengan kehidupan di kota, jadi kamu pasti membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Culture shock menjadi hal yang lumrah, namun seiring berjalannya waktu, membiasakan diri adalah kunci dari semua masalah. (AT/AES/LFT)

Terminal – Kamis, 7 Oktober 2021

https://mojok.co/magangdimojok/pulau-geser-pulau-kecil-di-maluku-dengan-cirikhas-uniknya/

97

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Menjelang Halloween, Berikut Origin Story Hantu-hantu Indonesia yang

Perlu Kamu Cermati!

oleh Sarah Amany Wisista

Siapa bilang hantu Indonesia kalah saing sama hantu Barat?

Oktobertelahtiba. Ituberartikitaakan merayakan ulang tahunorang-orangSkorpio dan menghelat Halloween di penghujung bulan. Sebagai orang yang keminggris, saya turut merayakan bulan yang terkenal witchy dan angker ini laiknya orangorang di belahan dunia sebelah barat sana. Spooky season, istilah kerennya. Meskipun enggak sampai beli labu atau laba-laba palsu buat mendekor kosan, saya sudah mulai nonton ulang beberapa film horor yang saya gemari dan memikirkan karakter apa yang bisa saya sontek untuk Halloween nanti.

Karena bosan dengan cerita hantu ala barat yang itu-itu saja, saya jadi kepikiran merayakan Oktober tahun ini dengan sentuhan local wisdom. Setelah dipikir-pikir lagi, perbendaharaan cerita hantu kita enggak kalah keren, kok. Lagi pula, Halloween pada asalnya memang bukan budaya masyarakat kita, ‘kan? Budaya masyarakat kita adalah ketempelan setan saat study tour sekolah dan bikin utas Twitter tentang penampakan mistis kala KKN. Itu saja sudah menunjukkan betapa erat hubungan yang kita miliki dengan mereka.

98

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Entitas-entitas itu telah bersemayam sekian lama dalam kehidupan bermasyarakat

dan rasanya enggak afdol kalau kita enggak tahu sejarah lengkap mereka. Dari entitas-entitas ini, kita bisa juga, loh, berefleksi tentang rasanya menjadi warga

Indonesia. Berangkat darisemangat tersebut, saya mengumpulkan origin story lima hantu/setan/makhluk jadi-jadian klasik dari Indonesia dan menceritakannya ulang untukmu.

#1 Pocong

Pocong yang sering terlihat dengan mata merah, balutan kain kafan, dan kerap meneror warga dengan meloncat-loncat adalah entitas pertama dalam daftar ini.

KiprahnyadiduniaperhantuanIndonesia memang legendaris. Saya ingat betulsaya masih menjadi bocah TK enggak ingusan sewaktu pertama kali nonton sinetron

Jadi Pocong. Mumun, sang pocong yang menjadi karakter utama dalam sinetron tersebut, sampai menghantui pikiran saya sekian lama. Harus saya akui juga ia berjasa dalam memperkenalkan saya kepada konsep kematian.

Karena kisah Mumun, saya meyakini bahwa pocong adalah arwah penasaran yang enggak bisa mati dengan tenang selama bertahun-tahun. Kasihan juga, ya. Hidup

sebagai warga negara Indonesia saja sudah makan hati, ini sampai mati saja masih juga dikejar-kejar konsekuensi keteledoran pihak berwenang (baca: tukang gali kubur yang enggak melepas ikat tali kafan).

Akan tetapi, riset saya tentang pocong ternyata membuahkan fakta berbeda. Menurut satu artikel yang saya baca, pocong ternyata adalah perwujudan makhluk halusalih-aliharwahorang yangsudahmeninggal. Katanya, sih, pocongmula-mula

terbentuk lewat asap yang keluar dari tengah kuburan sebelum mewujud jadi satu hantu utuh.

Lebih mengagetkan lagi, moda transportasi pocong ternyata adalah terbang. Bukan loncat-loncat seperti yang digambarkan dalam banyak film. Dengan amunisi tersebut, ia siap menakut-nakuti seisi kampung. Plus mengasisteni warung makan

kalau empunya butuh dorongan~

Magang Mojok II (September-November 2021)
99

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

#2 Kuntilanak

Kuntilanak biasanya dapat ditemukan dengan setelan terusan putih, kuku panjang, dan suara ketawa yang enggak tertahankan. Ia adalah entitas kedua yang akan saya ulas. Berbeda dengan pocong dan Mumun, saya enggak punya ikatan emosional apa pun dengan hantu yang acap kali diberi nama kode “Mbak K” ini. Saya cuma tahu ia sering dirumorkan menunggui pohon-pohon tua besar dan katanya meninggal saat sedang hamil.

Katanya, tanda-tanda kemunculan mbak kunti dapat diketahui dari bunyi tangisan melengking dan wangi bunga melati atau daging busuk. Ia juga terkenal suka menculik anak-anak sebab enggak pernah berhasil melahirkan anaknya sendiri. Aksinya terhadap anak-anak juga membuat kuntilanak disamakandengan beberapa hantu lain seperti sundel bolong dan wewe gombel.

Berdasarkan penelusuran, saya jadi tahu bahwa kuntilanak kerap mewujud mbakmbak cantik yang berjalan sendirian malam-malam untuk menarik “mangsa”.

Betul, siapa lagi kalau bukan laki-laki yang ingin berbuat kurang ajar? Setelah itu, ia akan menghisap darah mereka. Dalam beberapa versi yang saya dengar, ia memang punya dendam kesumat terhadap laki-laki yang memperkosanya. Dendam itu pun dibayarkan ketika ia sudah menjadi arwah gentayangan.

Versi yang terakhir saya rasa sering dipakai sebagai formula dalam film horor.

Kalaupun bukan kuntilanak, pasti ada saja perempuan-perempuan korban kekerasan yang berakhir membalaskan dendamnya sebagai hantu. Lagi-lagi, ini takdir yang cukup menyayat hati. Hidup sebagaiperempuan diIndonesia saja sudah berat, ternyata masih harus jadi hantu juga buat dapat keadilan.

#3 Babi ngepet

Babi ngepet belum lama ini beken karena berhasil bikin geger satu Kota Depok. Satu Indonesia, sih, sebetulnya. Pada akhirnya, memang ketahuan kalau itu hanya akal-akalan seorang “ustaz” belaka, tapi interest publik terhadap isu ini begitu besar

(September-November
Magang Mojok II
2021)
100

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

sehingga rasanya agak komikal. Kenapa kita setakut itu, ya, sama babi jadi-jadian?

Pertanyaan ini bikin babi ngepet berhak untuk masuk dalam kompilasi ini.

Setelah dipikir-pikir lagi, kayaknya kita bukan takut sama babinya. Kita takut sama apa yang mungkin bisa dilakukan babi tersebut, yakni menjambret harta tetangga dengan ilmu hitam pesugihan untuk memperkaya diri sendiri. Bayangkan, kalau kamu lagi seret uang, kamu enggak perlu ikut serangkaian fase dalam Squid Game untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup. Cukup jaga lilin dan jadi babi saja.

Tapi, enggak juga, deng. Ritual yang harus dilakukan untuk dapat sampai di tahap initernyata juga ngeri-ngerisedap kayak main Squid Game. Selainritus yang rumit, prosesi menjadi babi ngepet juga membutuhkan tumbal yang harus dikorbankan sebagai ganti kekayaan. Enggak jarang, tumbal tersebut adalah anak sendiri. Ya ampun, mau cari duit kok sebegininya banget, ya….

Terlepas dari benar atau enggaknya, kisah-kisah mengenai babi ngepet ini bikin saya kepikiran tentang jurang antar kelas sosial dan ekonomi yang menganga di Indonesia. Menurut saya, masuk akal, sih, kalau legenda babi ngepet jadi sangat dipercaya. Pasti kaget, ‘kan, melihat tetangga sendiri tiba-tiba punya harta banyak tanpa kelihatan kerja? Eh, itu, mah, influencer Instagram, ya.

#4 Jelangkung

Kalau Amerika punya ouija, di Indonesia kita punya jelangkung. Prinsip keduanya kurang lebih sama: memanggil jin atau entitas tak kasat mata lainnya lewat sebuah medium. Setelah dipanggil, ya, enggak diapa-apain juga, sih. Paling ditanya-tanyai oleh orang-orang yang berada di dalam lingkaran.

Jelangkung yang biasanya dibuat daribatokkelapa diduga merupakan hasil serapan

dari salah satu tradisi bangsa Tionghoa. Bentuk tradisi tersebut dimainkan para remaja saat festival bulan untuk memanggil Dewa CayLan Gong (Dewa Pelindung

Anak-anak). Seperti jelangkung, ritual tersebut juga melibatkan boneka dari

tempurung kelapa dan papan tulis yang akan digunakan boneka tersebut untuk menyampaikan pesan. Dalam ritual jelangkung sendiri, ada semacam mantra yang

II (September-November 2021)
Magang Mojok
101

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

harus diucapkan oleh pemain ketika ingin memanggil arwah masuk ke boneka.

Kamu juga pasti familier, ‘kan?

"Jelangkung, jelangkung. Datanglah ke pestaku. Datang tak dijemput, pulang tak diantar."

Enggak bisa disangkal, saya sebetulnya merinding juga mengetik mantra di atas.

Untuk menyiasatinya, saya sengaja nyanyi keras-keras supaya enggak terbaca

dalam hati (walaupun gagal juga, sih). Sedihnya, saya baru tahu ternyata itu bukan

mantraorisinil yang digunakanuntuk memanggil jelangkung. Aslinya pakai bahasa

Jawa dan lebih seram. Kamu cari sendiri, ya, saya enggak berani ngetiknya.

Meskipun bukan merupakan bentuk orisinilnya, mantra berbahasa Indonesia

tersebut tetap membuat saya kepikiran beberapa hal. Lirik ini, misalnya: Datang

tak dijemput, pulang tak diantar. Film Jailangkung menurut saya seram betul, tapi saya juga kasihan membayangkan ia harus pergi dan pulang dengan usaha sendiri.

Sebagaiorang yang enggakpunya motor,saya ikut terenyuh membayangkanberapa

uang yang harus ia keluarkan untuk ongkos pulang-pergi dengan ojol. Jangan

salahkan jelangkung kalau nanti dia ghosting kamu, ya. Lha wong enggak modal.

#5 Hantu Jeruk Purut

Agak berbeda dengan entitas-entitas sebelumnya, hantu ini mendiami satu lokasi spesifik yakniTPU Jeruk Purut diCilandak, JakartaSelatan. Kehadirannya ditandai

dengan suara lolongan anjing dan wujudnya dipercaya berbentuk pastor buntung yang gemar menenteng kepalanya sendiri ke mana-mana. Sosok ini menjadi amat terkenal setelah menjadi karakter utama dalam film Hantu Jeruk Purut (2006) dan sekarang turut membuat TPU terkait tenar sebagai lokasi wisata uji nyali. Buset, lokasi wisata….

Satu versi menyebutkan bahwa hantu ini tadinya adalah pastor londho yang dipenggal pejuang pribumi pada masa-masa penjajahan dulu. Ketika sudah jadi arwah, iaenggak bisapulangkerumahnyadiTPUTanah Kusir danterjebak diTPU Jeruk Purut yang merupakan pemakaman Islam. Jadi, sebetulnya ia nenteng-

2021)
Magang Mojok II (September-November
102

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

nenteng kepala karena kesasar. Mungkin harus dipertemukan dengan Ayu Ting-

Ting kali, ya, sebagai makhluk yang sama-sama pernah salah alamat.

Berdasarkan penuturan juru kunci, arwahsang pastor sebetulnya sudah menghilang

dari orbit pergaulan TPU Jeruk Purut bahkan sebelum film tentangnya dibuat.

Dugaan beliau, sih, sang pastor akhirnya pergi karena enggak enak sama penghuni

lain di pemakaman Islam itu, apalagi ada makam habib dan syekh juga di sana.

Waduh, saya jadi mengkhawatirkan potensi intoleransi antarkepercayaan lintas

dimensi, tapi senang juga mendengar sang pastor akhirnya enggak kesasar lagi.

Meskipunenggaksedalam ikatanemosionaldenganMumun, sayapunyapenggalan

ceritasendirisoalTPUJerukPurut.Pertengahantahun ini adik sayasempat magang

jadi barista coffee shop di Cilandak. Untuk menempuh perjalanan pulang ke rumah kami di Jagakarsa, ia membutuhkan seenggaknya 45 menit (hingga satu setengah jam kalau macet) berkendara dengan motor.

Beberapa kali saya ikut menemaninya sif malam. Saya cukup terhenyak ketika enggak sengaja mendapati TPU Jeruk Purut berada di sebelah kanan jalan yang kami berdua lintasidenganmotordijalanpulang. Tentusayatambah ndredeg sebab waktu itu sudah nyaris tengah malam.

“Dek, kita ngelewatin TPU Jeruk Purut,” kata saya mencoba tenang.

“Iya,” jawabnya cuek sambil terus menyetir.

“Ada hantunya,” kata saya lagi, kali ini sambil membayangkan ia menyetir pulang lewat jalan ini malam-malam tanpa teman.

“Belum pernah ketemu, sih,” jawabnya lagi. Saya menganga. Anak-anak zaman sekarang kayaknya memang lebih takut hantu kapitalisme dibandingkan dengan

halus yang enggak punya kepala. Mengingat pengalaman tersebut, saya makin

yakin menyusun arsip origin story hantu-hantu Indonesia ini untuk diingat bersama supaya anak muda, tuh, jangan melupakan sejarah bangsa sendiri. Gitu, loh.

2021)
Magang Mojok II (September-November
103

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Meskipun khazanah hantu di negara ini amatlah kaya dan beragam, saya pikir

memahami kisah lima hantu di atas cukup bagi kita untuk memulai tradisi merayakanHalloweendengan identitaskebangsaanIndonesia. Barangkalijuga bisa

jadi ide kostum saat Halloween nanti, ‘kan? Sejalan lagi dengan imbauan pemerintah untuk mencintai produk lokal.

Yang penting, sih, saransaya, habis baca ini enggak usah lihat jendela. Kagok juga, ‘kan, kalau tiba-tiba mendapati Mumun merengek minta dilepaskan tali pocongnya? (SAW/AES/LFT)

Terminal – Jumat, 15 Oktober 2021

https://mojok.co/magangdimojok/menjelang-halloween-berikut-origin-storyhantu-hantu-indonesia-yang-perlu-kamu-cermati/

104

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Copaganda: Polisi Baik Memang Cuma Eksis di Serial Drama Kriminal

oleh Sarah Amany Wisista

Apa bener polisi yang baik hati cuma ilusi?

Rajin baca jadi pintar, malas baca jadi polisi. Kalau sedang melihat slogan itu mejeng di poster-poster tuntutan aksi, saya selalu bertanya-tanya siapa yang mencetuskannya pertama kali. Saya kepengen salim dan nraktir beliau makan sepuasnya di Mie Gacoan, deh… sebab kok bisa kepikiran, ya??? Betul-betul cara yang amat tajam dan efektif untuk bilang bahwa kegoblokan institusi satu itu memang luar biasa nggak ketakar.

Seminggu ke belakang saya jadi diingatkan terus-terusan akan pahitnya kebenaran slogan tersebut tiap bertandang ke Twitter. Mula-mula ada liputan kekerasan seksual dari Project Multatuli, yang membacanya bikin saya sesenggukan. Muncul pula respons Humas Polri yang melabeli reportase tersebut sebagai hoaks, sampai baru kemarin klip mahasiswa digebuki polisi saat aksi beredar. Esoknya petugas yang bersangkutan memeluk mahasiswa tersebut seakan-akan masalah bisa selesai begitu saja. Apa bukan goblok namanya?

Karena itu, tidaklah mengherankan ketika tagar #PercumaLaporPolisi muncul ke permukaan. Linimasa saya dibanjiri cerita-cerita warga yang sakit hati karena laporannya tidak diseriusi. Seorang teman, yang mari kita sebut sebagai Yolita,

(September-November 2021)
Magang Mojok II
105

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

pernah mengalami ini langsung beberapa tahun lalu. Dalam percakapan kami di telepon baru-baru ini, Yolita menceritakan kembali musibah kecolongan tas yang pernah dialaminya dulu, serta betapa nggak becusnya polisisaat menangani laporan kehilangan barang.

Kisahnya, saat itu ia sedang berkunjung ke salah satu mal di bilangan Sleman. Untuk melepas penat, ia dan beberapa teman bermain di area arkade selama beberapa waktu. Baru saja menyelesaikan satu putaran gim, ia baru sadar tasnya hilang tanpa jejak. Di dalam sana ada laptop, ponsel, dompet, dan beberapa barang berharga lainnya.

Sontak Yolita kelimpungan. Ia segera melapor kepada satpam mal yang memberinya akses terhadap rekaman CCTV di area arkade. Dalam potongan rekaman, terlihat ada dua orang pria yang diam-diam mengambil tas Yolita saat ia sedang lengah. Sisatpampunmenyarankannyauntuk melapor kekantor polisi yang kebetulan berlokasi persis di seberang mal. Di sanalah ia mendapat perlakuan tidak enak dari polisi yang berjaga.

“Mereka ketawa-ketawa, Sar,” kata Yolita, “bahkan sampai ngegodain juga. Rasanya mau bilang, ‘Aku habis kena musibah, loh, Pak.’ Bener-bener nggak habis pikir.”

Kisah Yolita memiliki benang merah dengan penggalan-penggalan pengalaman lain di bawah tagar #PercumaLaporPolisi. Intinya satu: Mereka nggak peduli. Institusi yang seharusnya mengayomi itu malah jadi salah satu pihak paling menindas dan bikin jengkel warga sipil. Beda jauh, deh, dengan penggambaran karakter mereka di serial-serial drama kriminal.

Imaji polisi yang sigap, bertanggung-jawab, bahkan kocak di serial drama kriminal sebetulnya bukan sesuatu hal yang baru. Ada istilah khusus untuk menjelaskan fenomena ini, yakni copaganda atau cop propaganda. Lewat plot sedemikian rupa, karakterpolisi(cop) dibingkaiseolahmerekaadalahpihak yang menyenangkandan betul-betul dapat dipercaya.

II (September-November 2021)
Magang Mojok
106

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Genre ini berjubel di Amerika Serikat. Penggemarnya pun banyak. Coba sekarang

kalian buka Netflix atau Amazon Prime. Kalau nggak ada, boleh juga IndoXXI.

Susuri kolom film dan serial bergenre crime, kalian pasti akan kewalahan dengan

begitu banyak pilihan yang tersedia. Apalagi yang sampai ditayangkan bermusimmusim, belum yang macam CSI (Crime Scene Investigation) atau Law & Order.

Mereka punya edisi-edisi khusus kota dan bentuk kejahatan tertentu, seperti CSI: Miami atau Law & Order: Organized Crime

Jika sedang ingin ketawa, kalian juga bisa pilih Brooklyn Nine-Nine. Sitkom ini menceritakan dinamika sebuah departemen kantor polisi di Brooklyn, New York

denganlucu dan jenaka. Kalau kalianaktifdiTwitter, pastipernah lihat klip detektif

kepolisian yang berusaha mencari tersangka pembunuhan dengan menyanyikan I Want It That Way, ‘kan?DariMiami hingga New York, dariserius hingga humoris.

Sebanyak itu pilihannya, saudara-saudara.

Fenomena copaganda ini sempat mendapat perhatian khusus di Amerika Serikat, khususnya ketika gerakan Black Lives Matter memanas pada pertengahan 2020.

Perlakuan brutal polisi terhadap orang-orang yang turun ke jalan terus terjadi, dan berakhir sebagai sorotan menyedihkan sepanjang aksi. Ini membuat orang-orang mengevaluasi kembali serial drama kriminal yang mereka tonton dan cintai. Bisa jadi berbahaya, nggak, ya?

Jawabannya: Bisa, jika semua plot dankarakteristik itu ditelan mentah-mentah oleh

audiensnya. “Meskipun ceritanya fiktif, tetap saja serial itu menggambarkan departemen polisi sebagai sesuatu yang nyata,” ujar Steven Thrasher, seorang penulis dan profesor jurnalistik yang sudah mendalami gerakan Black Lives Matter

sejak 2014. “Itu bisa mengalihkan perhatian orang-orang dari kekerasan yang sebetulnya terjadi di departemen polisi riil.”

Dari kasus ini, orang-orang saling mengimbau satu sama lain agar menjadi penonton yang bijak dan dapat memilah. Meskipun bioskop dan televisi dipenuhi polisi-polisi yang keren dan heroik, kenyataannya di jalan mereka menggebuki warga hingga tewas. Dengan memahami itu, indoktrinasi dalam copaganda pun dapat sebanyak mungkin diminimalkan.

Mojok II (September-November 2021)
Magang
107

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Itu yang terjadi di Amerika Serikat. Di Indonesia mungkin tidak akan sepenuhnya

serupa, sih, sebab kita memang nggak punya serial drama kriminal yang terkenal.

Polri beberapa kali pernah bikin proyek kolaborasi film yang plotnya berkisar pada

kehidupan polisi, tapi ceritanya jelek dan maksa. Meskipun begitu, kita sebetulnya

pernah terjangkiti bentuk-bentuk subtil dari copaganda. Masih ingat Briptu

Norman Kamaru yang jago nyanyi atau Pak Eko yang jago melempar itu, nggak?

Kebayang, ‘kan, sebesar apa animo masyarakat terhadap polisi yang “ganteng”, “unik”, dan “lucu” itu?

Barangkali justru itulah yang bikin copaganda di Indonesia lebih menyeramkan.

Kita nggak butuh serial bermusim-musim buat memandang polisi sebegitunya, cuma butuh petugas yang kebetulan ngerekam dirinya sendiri saja waktu lagi nyanyi lagu India. Tanpa kehadiran mereka pun, sebagian besar masyarakat kita

masih menempatkan polisi sebagai karier yang amat prestisius. Nggak kehitung seberapa banyak anak-anak muda yang berjuang mati-matian supaya bisa masuk

akademi polisi, bahkan sampai menggelontorkan sekian ratus juta untuk nyogok orang dalam agar bisa dapat posisi.

Seperti cicak dan kecoak, kabar itu selalu bikin saya merinding setengah mati.

MenelaahsemuakegaduhandiTwitter belakanganini bikin saya makin yakin kalau genre kriminal itu seharusnya dimasukkansaja ke fantasi. Soalnya kapan, coba, kita pernah ketemu polisi yang betulan baik hati dan gemar menolong? Polisi tidur di gang perumahan kali, ya, yang rela dilindas mobil dan motor berkali-kali supaya orang-orang nggak lantas ngebut dan nabrak kucing. Lapor polisi, tuh, nggak ada gunanya. Percuma, pulang saja. Bukankah polisi baik memang cuma eksis di serial drama kriminal? (SAW/AES/LFT)

Terminal – Senin, 18 Oktober 2021

https://mojok.co/magangdimojok/copaganda-polisi-baik-memang-cuma-eksis-diserial-drama-kriminal/

II (September-November 2021)
Magang Mojok
108

Proses Mencintai Dapur Adalah Perjalanan yang Panjang dan Penuh Liku

oleh Sarah Amany Wisista

Memanggil seluruh kaum Hawa yang merasa alergi dengan dapur, mari mendekat dan bacalah yang satu ini~

Sewaktukecil sayapernahalergi berat dengandapur. Bukanberartisaya bersinatau gatal-gatal ketika masuk ke dapur, ya, tapi rasanya sebal dan nggak mau saja berdiam diri lama-lama di sana. Saya pikir ini ada hubungannya dengan segala macam ocehan orang-orang yang kayaknya nggak pernah capek nyuruh saya belajar masak. Itu, loh, mereka-mereka yang sudah berumur. Paham, sih, niat mereka baik, tapi dirongrong terus-terusan malah bikin saya jadi kesal alih-alih bersemangat. Rasanya mungkin mirip kalau kamu sudah niat mau cuci piring, eh, malah tiba-tiba disuruh sama orang lain. Bete, ‘kan?

“Bayangno kamu nggak pernah ke dapur sampai gede,” kata mereka, tentu dengan variasi kalimat. “Masa perempuan nggak bisa masak? Nanti suami sama anak-anak kamu mau kamu kasih makan apa?”

Sambil bersungut-sungut, saya menunjuk magnet dengan nomor delivery restoran cepat saji yang tertempel di pintu kulkas. “Nanti tak kasih ayam KFC.”

Sebetulnya saya tergoda ingin menjawab: (1) Nanti cari suami yang bisa masak; atau (2) ya sudah, nggak usah nikah saja sekalian. Daripada makin diomeli karena

Magang Mojok II (September-November 2021)
Sunardi 109
EDITOR: Amannisa Elsani

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

jawaban yang melantur ke mana-mana, saya memilih settled pada jawaban ayam

KFC tadi. Lagian siapa juga yang nggak mau makan ayam yang gurih dan kriukkriuk itu, sih? Cuma orang aneh yang mau makan masakan buatan orang yang nggak bisa bedain jahe sama kencur.

(“Makanya, kamu belajar!” ujar mereka gemas.)

Beranjak besar, persepsisayaterhadapdapur dankegiatanmemasak masih bertahan begitu-begitu saja. Ketika SMA, saya belajar di boarding school yang bikin saya makin nggak pernah ke dapur. Boro-boro masak. Kalau mau makan, saya tinggal turun ke dining hall (ruang makan) dan melahap apapun yang mereka sajikan di meja. Usai makan, saya menaruh piring dan gelas kotor di bak yang nanti akan dicuci ibu-ibu dining hall.

Hal paling “masak-masak” yang pernah saya lakukan di asrama adalah mencoba bikin spaghetti instan di toples pakai air panas dari dispenser. Itu saja diketawain teman-teman sampai hari ini. Sungguh tidak ada domestik-domestiknya.

Hal ini sempat bikin Bapak sedikit uring-uringantiap saya pulang ke rumah di libur semesteran. Kalau adik saya makin hari makin jago memasak segala macam resep yang ia temukan di YouTube, saya nyalain kompor buat rebus Indomie saja masih kagok. Belum membicarakan kecanggungan saya megang spons waktu berupaya mencuci piring atau berlagak jompo ketika membantu menjemur pakaian.

Ya gimana, diasrama saya tinggal naruh keranjang cuciankotor di laundry sekolah. Harapan Bapak membuat saya jadi lebih mandiri dengan memasukkan saya ke boarding school memang sudah fals sedari awal.

Tahun-tahun pun berlalu. Dengan gembira, saya mengumumkan bahwa kemajuan teknologi makin mendukung rencana mencekoki suami dan anak-anak saya kelak dengan makanan warung. Jangankan makanan cepat saji kayak ayam KFC, lotek dan sushi saja sekarang bisa dipesan lewat layanan pesan-antar ojek daring.

Keajaiban ini pun saya nikmati tanpa malu-malu sepanjang masa perkuliahan.

2021)
Magang Mojok II (September-November
110

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Akan tetapi, semuanya berubah sejak pandemi menyerang. Sepanjang hari-hari lockdown pertama saya jadi terjerumus ke dalam lubang gelap TikTok. Selain belajar joget, saya juga dapat banyak video memasak yang cantik dan sederhana. Nggak seperti durasi video-video YouTube yang bisa sampai berjam-jam, konten di Tiktok paling lama cuma tiga menit. Itu bikin resep yang disajikan jadi sangat straightforward dan mudah dimengerti.

Karena terlalu sering melihat video-video semacam itu seliweran di laman TikTok (damn you, algorithm), saya jadi penasaran ingin… masak. Wow, ini tidak pernah terjadi sebelumnya! Setelah memantapkan hati pada satu resep, saya menelepon adik yang waktu itu sudah pulang ke Jakarta (saya masih tinggal di kos di Jogja).

FYI, adik saya ini masuk jurusan tata boga. Jomplang banget sama kakaknya yang motong bawang aja serampangan. Untung adik saya baik hatidan mau memberikan tips, walausempat ketawajuga, sih. Setelahniat-niatin jalankakikePasar Colombo buat beli bahan-bahan makanan, petualangan saya di dapur pun dimulai. Banyak canggung dan bingungnya, tapi jadi juga, tuh, tumis kangkung dan ayam teriyaki pertama dalam hidup saya. Rasanya lumayan, lagi. Mencengangkan.

Setelah percobaan pertama yang terbilang sukses, saya makin semangat mencoba resep-resep yang saya temukan dari TikTok. Gochujang chicken, egg mayo tori don, rose pasta, dan masih banyak lagi. Saat akhirnya sudah yakin kalau hasil masakan saya memang bisa dimakan, saya mulai berani mengundang teman-teman untuk mencicipi. Teman saya, yang mari kita sebut sebagai Juleha, bahagia betul tiap saya menyuguhinya rose pasta kalau ia sedang bertandang ke kos.

“Enak banget, Sar,”katanya sambiltambahporsi. “Aku bisa makanduapanci, nih.”

Meskipun nggak percaya-percaya amat sama komentar Juleha, saya tetap senang melihatnya makan selahap itu. Ternyata memasak, tuh, menyenangkan sekali. Dimakan sendiri saja sudah senang, apalagi melihat orang yang kita sayang ikut menikmati makanan itu juga.

Saya jadi kepikiran perkataan orang-orang tua yang dulu sering menyuruh saya belajar masak. Bukannya saya nggak mau belajar, cuma cara nyuruhnya itu, loh.

II (September-November 2021)
Magang Mojok
111

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Bikin saya jadi sebal sendiri sama suami imajiner yang kayaknya malas dan nggak asik itu. Mamah saya yang kerja kantoran itu jarang banget masak, kok, paling saat weekend saja. Suami dan anak-anaknya tetap sehat dan bahagia. Kami punya bibi yang sehari-hari masak di rumah dan saya nggak lantas memandang Mamah sebagai ibu yang kurang “ibu” atau semacamnya.

Setelahsayarenungi, perasaantidaksukaterhadap kegiatan memasak itusepertinya timbul karena saya diajari memasak untuk orang lain, khususnya untuk keluarga yang akan saya bangun kelak. Itu bukan masalah. Setelah sudah berani ngoprekngoprek di dapur, saya jadi tahu bahwa ada kebahagiaan tersendiri dari melihat masakan kita dinikmati orang lain.

Esensi paling penting dari memasak itu sendiri terlupakan karena stereotip yang mereka tanam. Mereka menyiratkan bahwa memasak adalah sesuatu yang wajib saya kuasai hanya karena saya perempuan, pun nggak akan jadi istri dan ibu yang baik kalau nggak bisa masak. Terlepas dari peran-peran gender tradisional, memasak adalah basic life skill yang menguasainya akan bikin hidup kalian lebih nyaman dan sejahtera. Dan... hei! Rasanya ternyata menggembirakan, loh, bisa menyenangkan diri sendiri dengan masak makanan enak.

Perjalanan mencintai dapur memang bisa jadi sangat berliku, namun kini saya dengan bangga bilang bahwa saya sudah nggak lagi alergi dengan tempat itu. Tentu masih banyak yang perlu saya pelajari, baik dalam memasak maupun mengklaim kembali agensi yang saya miliki dalam ranah personal, tapi saya kira ini adalah langkah awal yang cukup monumental. Selamat memasak! (SAW/AES/LFT)

Terminal

Selasa, 19 Oktober 2021

https://mojok.co/magangdimojok/proses-mencintai-dapur-adalah-perjalananyang-panjang-dan-penuh-liku/

II (September-November 2021)
Magang Mojok
112

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

4 Rekomendasi Anime Ongoing di Musim Gugur

oleh Dyah Ayu Nur Wulan

Grab your popcorn and let’s watch the series!

Oktober telah tiba. Musim panas berganti menjadi musim gugur. Tiap pergantian musim pasti terdapat berbagai macam tontonan yang menarik untuk dinikmati para pecinta anime. Menurut web otakotaku.com, terdapat 46 serial TV baru yang akan tayang pada musim ini.

Sebenarnya yang paling saya tunggu adalah serial Kimetsu no Yaiba (atau lebih dikenal dengan judul Demon Slayer) yang telah tayang pada Minggu (10/10). Saya yakin kalian yang pecinta anime sudah menonton episode pertama Demon Slayer.

Jika kalian belum membuat wishlist tontonan untuk musim gugur tahun ini, khususnya serial anime yang sedang berlangsung, berikut 4 rekomendasi anime bergenre romance dan horor buat kalian!

#1 Taisho Otome Fairy Tale

Taisho Otome Fairy Tale menceritakan tentang seorang anak bungsu dari keluarga

Shima yang kaya raya bernama Tamahiko Shima. Ia pernah mengalami kecelakaan

yang membuat tangannya lumpuh sehingga keluarganya menganggapnya sudah

113

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

tidak berguna lagidan mengasingkannya ke sebuah desa. Haltersebut membuatnya

merasa putus asa. Ketika sedang merasa sangat putus asa, muncullah seorang gadis yang dikirim oleh ayahnya untuk dijodohkan dengannya.

Plot dari serial ini mirip dengan Mikakunin de Shinkoukei (atau Engaged to the Unidentified). Perbedaan antara keduanya yakni alasan dari perjodohannya. Serial ini sangat cocok untuk kalian yang menyukai genre romance dengan jalan cerita yang mudah.

#2 My Senpai Is Annoying

Karena saya menyukai anime yang bergenre romance-comedy, saya merekomendasikan kalian untuk menonton My Senpai Is Annoying. Karakternya menggambarkan kehidupansehari-hari yang membuat saya gampang relate dengan ceritanya.

Serial ini menceritakan tentang tokoh yang bernama Futaba Igarashi. Ia adalah

seorang gadis pekerja kantoran yang memiliki senpai bernama Harumi Takeda. Meskipun sangat usil dan berisik, diam-diam Harumi sangat perhatian dengan Futaba.

#3 Mieruko-chan

Oktober identik dengan Halloween. Tidaklah mengherankan bila banyak orang di berbagai belahan dunia saat ini membicarakan tentang sesuatu yang spooky. Salah satunya yaitu serialanimebergenre horor.Sejujurnyasayatidak terlalu sukadengan tontonan yang membuat saya takut, namun adegan-adegan komedi yang terselip di dalamnya membuat serial ini tetap recommended

Serial ini menceritakan tentang seorang gadis SMA bernama Miko Yotsuya yang

dapat melihat hantu secara tiba-tiba. Kemampuan yang dimiliki Miko masih menjadi misteri datangnya dari mana. Reaksinya yang pura-pura cuek untuk menutupi ketakutannya yang begitu besar membuat serial ini makin lucu.

#4 Komi-san wa, Komyushou desu

Magang Mojok II (September-November 2021)
114

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Diadaptasi dari sebuah manga yang cukup terkenal, saya yakin para pecinta anime menunggu serial yang satu ini. Serial ini menceritakan tentang seorang gadis SMA bernama Shouko Komi. KecantikandankeanggunanKomi membuat dirinya sangat populer. Di balik ketenarannya ternyata ia memiliki masalah yang cukup serius dalam berkomunikasi. Permasalahan tersebut diketahui oleh teman sebangkunya yang bernama Hitohito Tadano. Tadano memutuskan untuk membantu Komi. Hal inilah yang membuat serial inijugadikenaldengan judul Komi Can't Communicate

Bergenre Slice of Life (SoL) dalam hal pertemanan, kita tak hanya merasakan romansa saat menontonnya, namun juga geregetan.

Alur cerita yang ringan dantokoh-tokoh yang menggemaskan menjadikan keempat serial ini sebagai healing. Waktu luang kalian tak akan terbuang sia-sia sembari menunggu episode terbaru Demon Slayer

Jadi, tunggu apa lagi? Yuk, segera masukkan keempatnya ke wishlist tontonan kalian bulan ini! (DANW/AES/LFT)

Terminal – Kamis, 21 Oktober 2021

https://mojok.co/magangdimojok/4-rekomendasi-anime-ongoing-di-musim-gugur/

115

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Dicintai dengan Obsesif Adalah Ketidaksadaran yang Berbahaya

oleh Nabila Cahyawati Santosa

Hari gini masih ada stalker yang creepy? Waspadalah!

Saya baru saja menamatkan dua season serial Netflix berjudul You. Serial yang berkisah mengenai pemuda obsesif yang rela melakukan hal-hal brutal demi seorang wanita. Di mana hal-hal yang ia lakukan memang berdasarkan fantasinya sendiri, tanpa consent daripihak wanita. Menurutnya, hal yang ia lakukanbukanlah

sesuatu yang berbahaya, melainkan jalan terbaik untuk membahagiakan wanita yang ia suka.

Cerita ini langsung membawa ingatan saya pada kisah seorang teman, sebut saja

Dhea. Tidak sama persis seperti serial You, namun kisah Dhea menyimpan plot yang serupa. Ditaksir oleh pria obsesif di saat usia Dhea masih belum mampu membentuk persepsi cinta yang sehat. Usia remaja awal, gitu.

Dhea bercerita bahwa seseorang memberinya surat-surat cinta melalui fake account di Instagram. Melalui surat itu, si pengirim menuliskan kekagumannya akan Dhea.

Tak lupa, ia juga menyinggung hal-halkecil tentang Dhea yang tidak diketahui oleh

banyak orang. Misalnya nama ayam warna-warni peliharaan Dhea, umur bapak

Dhea, sampai nama panggilan Dhea yang hanya diketahui oleh teman-teman satu circlenya.

Magang Mojok II (September-November 2021)
116

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Dhea boleh jadi kaget dan bingung. Karena tindakan ini terjadi di usia remajanya, ia lebih memaknai hal ini sebagai: “Wow, aku punya secret admirer!” Seseorang yang mengamatinya secara lekat. Seseorang yang menjadikannya sebagai objek yangspesialuntuk diperhatikansampaike hal-halterkecilnyasekalipun. Dheatidak melihat hal itu sebagai sesuatu yang berbahaya, bahkan beberapa teman yang ia ceritakan jadi menginginkan hal yang sama.

Akan tetapi, perlakuan pengirim surat ini berujung menyeramkan. Suatu hari ia mengirimkan foto rumahDhea seolah ia ingin memberi informasi pada Dhea, “Aku sampai tahu letak rumahmu, lho. Aku seperhatian ini sama kamu.” Untungnya, Dhea mulai bisa membaca hal ini sebagai sesuatu yang tidak beres.

Peristiwa semacam ini tentu tidak hanya menimpa Dhea. Banyak remaja di luar sana mungkin pernah mengalami peristiwa membingungkan yang sama. Bentuk

tindakan obsesi ini pun tidak selalu berupa distalk creepy oleh orang yang tidak diketahui wujudnya. Bentuk-bentuk perlakuan intens yang dilakukan atas dasar

cinta menurut yang bersangkutan juga bisa jadi obsesi yang tidak disadari oleh orang-orang. Itulah letak bahayanya.

Seperti serial You. Sosok tokoh utama bernama Joe Goldberg yang digambarkan sangat memuja wanita yang ia “cintai”. Caranya sangat intens, seperti selalu ingin tahu keberadaan wanita yang ia suka. Hal itu membuat Joe memata-matainya setiap hari hingga menyingkirkan hal-hal yang berpotensi buruk untuk wanita yang ia suka. Dengan cara yang tidak halal pula.

Joe jelas memiliki obsesi yang berlebihan akan cinta sampai ia nekat menunjukkan

cintanya dengan cara yang tidak wajar. Menyekap orang di ruang bawah tanah, lantas menghantam kepalanya hingga meregang nyawa. Menurut Joe, itu merupakan cara praktis untuk menyingkirkan pengacau dalam hidup wanita yang ia suka.

Remaja usia dini bisa jadi melihat tindakan Joe itu sebagai sesuatu yang heroik dan pemberani. Tentu dengan tingkat tindakan yang direduksi, ya. Ngeri juga kalau di dunia nyata hal-hal psikopat Joe Goldberg benar diamini sebagai hal yang wajar.

Mojok II (September-November 2021)
Magang
117

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Intinya sama. Mereka mungkin merasa diberi perlakuan cinta yang intens dan obsesifadalahhal yang lumrah. Mereka tidak sadar bahwa itu adalah tindakan yang berbahaya.

“Kok ada, ya, cowok yang segitu beraninya demi pasangannya. Aku mau, deh, dispesialkan seperti itu juga.” Lalu mereka jadi mendambakan perilaku obsesif sebagai bagaimana mereka ingin diperlakukan oleh pasangannya. Seramnya lagi, mereka bisa jadi berpikiran bahwa jangan-jangan cinta memang harus seperti itu. Pemikiran semacam ini jelas sangatlah berbahaya.

Remaja-remaja usia dini bisa jadi berpikir bahwa orang-orang yang menunjukkan

cintanya dengan jalan yang intens ini terlihat lebih menarik. Orang-orang obsesif ini bisa terlihat lebih menginginkan mereka, lebih ber-effort untuk mendapatkan mereka. Mereka akan merasa spesial ketika didambakan oleh orang-orang seperti itu. Sebenarnya kebutuhan untuk merasa spesial adalah kebutuhan yang normal, namun harus dipenuhi dengan bijaksana.

Oleh karena itu, hal yang perlu kita luruskan adalah bagaimana kita memaknai bentuk cinta. Persepsi orang terhadap cinta memang berbeda-beda, tetapi setidaknya kita harus memiliki kesamaan bahwa kita menginginkan cinta yang sehat dan wajar.

Terutamauntuk remaja yang masihmembentukpersepsitentang cinta. Perlukehatihatian dalam mengonsumsi cerita yang menyuguhkan tokoh-tokoh dengan obsesi cinta yang tidak baik. Jangan sampai hal-hal ekstrem tersebut diapresiasi sebagai bagaimana cinta itu seharusnya, padahal itu tidak sehat.

Tayangan-tayangan yang menimbulkan kesalahpahaman itu juga harus dimaknai denganpemikiran yang bijaksana. Jangan sampai tokoh-tokoh sepertiJoe Goldberg

dari serial You menjadi tuntunan dalam memaknai cinta. Ngeri! (NCS/AES/LFT)

Terminal

Senin, 25 Oktober 2021

https://mojok.co/magangdimojok/dicintai-dengan-obsesif-adalah-ketidaksadaranyang-berbahaya/

II (September-November 2021)
Magang Mojok
118

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Apa Boleh Nyantumin Nama Pasangan di Halaman Persembahan Skripsi?

oleh Nabila Cahyawati Santosa

Berdoalah, moga gak diterkam dosen gegara diem-diem nyantumin yang terzheyenk di halaman persembahan skripsi. Hehehe~

Salah satu hal yang turut menyumbang ruwetnya proses menyusun skripsi adalah menulis halaman persembahan. Kalian yang hendak, sedang, atau sudah menjalani proses inipastisering dilema olehpertanyaan. Saya tebak yang paling utama adalah

“Apa yang harus ditulis?” Yang lebih spesifik untuk sebagian kaum berpasangan adalah “Harus menulis nama pasangan nggak, ya?” Hayo, ngaku~

Menulis skripsi memang proses yang panjang dan melelahkan. Tidak heran buat beberapa orang dukungan yang konstruktif memang sangat berpengaruh. Template normatif halaman persembahan yang berupa: Sang Pencipta, orang tua, keluarga, dantenaga pengajar, bisa jadi ketambahan sosok-sosok penting. Termasuk kekasih, gebetan, selingkuhan, serta derivat-derivatnya. Tergantung kalian nyebutnya apa.

Kisah ini menceritakan tentang sahabat saya, sebut saja Reza Rahardian. Semasa mengerjakan skripsi, dia rutin mencurahkan lelah dan getirnya proses skripsi kepada pacarnya yang jauh di sana. Kebetulan mereka menjalani hubungan jarak jauh. Kekasihnya acap kali memberi motivasi dan semangat yang positif. Ketika

Magang Mojok II (September-November 2021)
119

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Reza menuliskan nama pacarnya di lembar persembahan skripsinya, saya bisa memahami alasannya.

Inspirasi menyertai untuk kekasihku, Markonah, terima kasih untuk penyertaanmu dalam hari-hari yang penuh keluh itu, tulis Reza tulus. Demi membaca keromantisan yang jarang-jarang saya lihat itu, saya tertawa panjang. Untungnya, Reza tidak tersinggung. Alih-alih cringe, saya bisa melihat itu sebagai sesuatu yang manis. Ya gimana nggak manis, saya juga satu penelitian dengan Reza. Jadi, saya sangat menyadari bagaimana “keluh”nya berkutat dengan kambing, lalu ganti bebek, kemudian ganti kambing lagi. Ealah, malah curhat.

Akan tetapi, sebab hubungan tidak ada yang tahu, Reza akhirnya berpisah dengan kekasihnya. Tepat setelah skripsinya selesai dikumpulkan untuk kepentingan yudisium. Nasi sudah menjadi bubur, skripsi sudah menjadi milik fakultas.

Ucapkan selamat tinggal yang panjang untuk revisi dan sejenisnya.

Kasus seperti Reza tentu bukanlah kasus tunggal. Dalam belantara dunia skripsi, para muda-mudi dengan kemalangan yang membingungkan ini sudah menjadi hal yang lumrah. Malah, sudah banyak tindakan preventif yang diterbitkan dalam bentuk tulisan larangan. Namanya saja anak muda. Sudah tahu banyak testimoni buruknya, tetap saja dilakukan.

Halaman persembahan bukan rencana jangka panjang yang harus jadi kenyataan

Namanya juga Reza Rahardian. Sahabat saya yang satu itu selalu bisa menemukan hal-hal luar biasa dibalik kesedihan yang menimpanya. Ketika banyak Reza-Reza di luar sana yang menyesal akan keputusannya, Reza yang satu ini tidak merasa demikian.

“Buat apa disesali, Nab? Toh, ucapan terima kasihku waktu itu tulus buat Markonah.”

Saya jadi kepikiran. Benar juga. Reza menulis nama Markonah sebab dia merasa Markonah memberinya dukungan yang membantunya menyelesaikan skripsinya.

II (September-November 2021)
Magang Mojok
120

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Dia ingin mengucapkan terima kasih pada Markonah melalui medium lembar

halaman persembahan. Tatkala hubungan mereka berakhir, itu masalah lain. Rasa

terima kasih Reza pada Markonah tentang skripsinya tidak jadi hilang begitu saja.

Markonah, mantan kekasih Reza bukannya jadi ketahuan tidak mendukung Reza

semasa dia mengerjakan skripsi. Bukan juga artinya Markonah ketahuan memberi semangat yang palsu dan tidak ikhlas pada Reza. Alasan yang membuat Reza

merasa perlu menuliskan nama Markonah di skripsi itu tetap nyata dan ada pada tempatnya. Reza merasa tidak perlu menyesalinya walau tempatnya ada di masa lalu.

Lagi pula kita memang tidak seharusnya menggantungkan ekspektasi pada selembar halaman persembahan. Halaman persembahan, sekali lagi, hanyalah

halaman berisi ucapan terima kasih yang ikhlas dan tanpa paksaan. Karena Reza merasa Markonah memberi kontribusi dalam proses penyusunan skripsinya, dia tulus menuliskan namanya. Tanpa harus berpikir terlalu jauh jika ke depan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Tentu beda kasus kalau mantan pacar kalian ternyata memang bajingan dan hanya berpura-pura menyemangati kalian. Tetap saja, menulis nama yang salah di halaman persembahan skripsi kita bukanlah kesalahan kita.

“Yang namanya hubungan nggak ada yang tahu. Misalnya, pasangan sudah menikah juga bisa cerai. Mau nyantumin nama suami atau istrinya juga sama saja, ‘kan? Yang paling penting itu tujuannya nulis itu apa. Kalau dari awal udah takut dan nggak ikhlas duluan, mending nggak usah sekalian,” tukas Reza dengan bijak bestari.

Olehkarena itu, menulis namapacar dihalamanpersembahan bukanlah melulusoal hal yang kelak bisa kita sesali kejadiannya. Hal ini bisa jadi bentuk kedewasaankita kelak di masa yang akan datang. Apakah kemudian akan melihat skripsi sebagai penyesalan yang perih dan menyedihkan… atau malah dengan dewasa menyikapinya sebagai bentuk memaafkan masa lalu? Tak lupa kita menjadikan

II (September-November 2021)
Magang Mojok
121

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

value-value positif dari hal-hal yang memang dulu terbukti membantu dan membahagiakan.

Silakan, pilihan ada di tangan kalian. (NCS/AES/LFT)

Terminal

Rabu, 27 Oktober 2021

https://mojok.co/magangdimojok/apa-boleh-nyantumin-nama-pasangan-dihalaman-persembahan-skripsi/

122

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Ngomongin Masalah Orang Tua ke Anak, Perlukah?

oleh Yafi’ Alfita

Bayangkan jika orang tua kalian menjadi sobat karib kalian. Pasti seru, dong!

Sebagian dari kita sejak kecil tumbuh dekat dengan orang tua. Tak jarang kita telah menganggap orang tua layaknya sahabat sendiri. Orang tua dapat kita jadikan tempat mencurahkan segala sesuatu tanpa terhalang apapun. Mengenai apa saja

masalah kita hari ini, bagaimana hubungan kita dengan teman-teman di sekolah, hingga mengenai sosok yang kita sukai. Semuanya akan terjadi jika hubungan kita dengan orang tua kita memang harmonis, tetapi bagaimana jika keadaan ini berbalik? Orang tua yang menganggap anak sendiri sebagai temannya dan menceritakan halapapun yang sedang mereka alami. Kira-kira pas atauenggak, ya?

Pada masa tumbuh kembang anak, komunikasi dengan orang tua tentu menjadi salah satu hal yang paling utama. Tak sedikit juga nasehat dan perkataan dari orang tua yang masih saya jadikan prinsip hingga kini. Contohnya yaitu tips memilih pasangan yang enggak pelit, jangan lupa meminta surat tilang jika ditilang polisi, hingga keharusan melanjutkan pendidikan dan enggak perlu pusing lantaran belum bisa memasak sebagai perempuan. Itu karena Ibu bilang nanti saya juga bisa masak sendiri.

123

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Akan tetapi, di antara komunikasi orang tua dan anak yang telah dibangun sejak kecil, tak sedikit juga yang dapat mengantarkan anak pada depresi.

Seorang psikolog dalam video TikTok-nya menjelaskan berbagai macam hal yang seharusnya tak diceritakan orang tua kepada anak. Salah satu penyebabnya adalah banyak anak di bawah umur yang belum siap menerima bentuk komunikasi tertentu. Sebagai permisalan, ada orang tua yang mendidik dengan cara sharing pelbagai permasalahan pada anak, sedang mental anak belum siap dijejali hal-hal tersebut.

Lantas apa sajakah hal-hal yang seharusnya tidak kita komunikasikan kepada anak sejak dini? Simak tulisan ini hingga akhir.

#1 Permasalahan keuangan yang sedang dialami

Saya yakin enggak sedikit orang tua yang terlalu blak-blakan menceritakan segala permasalahannya ke anak, termasuk soal keuangan. Ketika kita merajuk minta dibelikan mainan, tak jarang orang tua bilang, “Ibu lagi enggak punya uang,” disertai alasan-alasan lainnya.

Bayangkan seandainya orang tua sampai membocorkan segala permasalahan finansial yang sedang dialami keluarga. “Ibu aja habis utang tetangga buat bayar sekolah kamu, buat makan besok susah, masih aja minta mainan.” Apa enggak ambyar?

Adakalanya orang tua menganjurkan dan membimbing si anak untuk menabung

sejak dini, serta untuk mulai menulis rincian anggaran sejak anaknya memahami

ilmu hitung dengan baik. Mencatat pengeluaran dan pemasukan per hari dengan jujur di sebuah buku tulis atau file Excel juga mengajarkan keterbukaan terhadap

satu sama lain. Baik orang tua maupun anak menjadi lebih berpikir sebelum mengambil sebuah keputusan.

#2 Permasalahan dengan pasangan

(September-November 2021)
Magang Mojok II
124

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Kasus ini tentu sering terjadi. Banyak orang tua yang sengaja menceritakan permasalahannya dengan pasangan agar anak ikut membenci salah satunya. Apa enggak pusing?

Anak yang masihdi bawahumur tentubelumdapat bersikap bijak, apalagimemberi nasihat. Apa yang dapat orang tua harapkan selain ia tumbuh dewasa dengan membenci salah satunya?

Saya juga memiliki seorang teman yang tumbuh dengan orang tua yang menceritakan segala keresahan pada pasangannya. “Bapakmu itu, lo, enggak pernah menafkahi Ibu” atau “Ibumu itu jadi istri enggak pernah bisa diatur.”

Tumbuh sejak kecil dengan hal-hal tersebut tentu membuatnya tak nyaman.

Alhasil, teman saya hingga kini kesulitan mendapat pasangan. Dia memiliki trust issues terhadap suatu hubungan. Yang lebih menyebalkan lagi, setelah dia tumbuh dewasa dan membenci salah satu dari orang tuanya. Ibunya berkata, “Jangan gitu, Nak. Gitu-gitu juga masih bapakmu.” Lhadalah, piye to kih?

#3 Memperlakukan anak seperti therapist

Anak memang masih memilikijiwa yang murni. Bersih, bening, danbelumternoda. Sepatutnya orang tuatak lantas membagi masalah yang membuat anak sedih, lebihlebih mengharapkan anak dapat memberi solusi dan kata-kata bijak. Anak-anak hanyalah anak-anak.

Ekspektasi terhadap anak yang dapat mendengarkan permasalahan orang tua dengan seksama terasa kurang realistis dan enggak masuk akal. Yang ada, anak hanya bisa ikutan sedih dan merasa bertanggung jawab membantu orang tua yang sedang ditimpa kesedihan. Tatkala si anak memberi masukan ala kadarnya demi membantu orang tua,orangtuanya bilang, “Tahuapakamu?Kamu itu masihkecil.”

Duh, jadi serba salah, ‘kan?

Sebenarnya memang tak mudah bagi orang tua untuk menceritakan permasalahan

mereka kepada anak, apalagi jika masihdalamkeadaanemosional. Kita tahu betapa

sulitnya mengendalikan ego pribadi untuk menceritakan kronologis masalah secara

(September-November 2021)
Magang Mojok II
125

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

objektif. Salah satu cara yang cukup manjur untuk membangun keharmonisan

sebuah keluarga yakni membiasakan diri untuk makan bersama, sebisa mungkin duduk di meja makan tiap waktu sarapan, makan siang, dan makan malam. Jikalau

belum sanggup untuk melakukan ini secara rutin, setidaknya luangkan waktu sekali

saja tiap hari dengan menggunakan video call atau telepon bagi anggota keluarga yang tidak bisa hadir saat itu. Hal ini juga merangsang keterbukaan antar anggota keluarga, bahkan sekadar membahas hal-hal sepele, seperti apa yang kita rasakan

hari ini, ada kejadian apa saja dalam sehari, besok menu makan kita apa, dan sebagainya. Saya yakin cara seperti ini membangun kepercayaan anak terhadap orang tua, demikian pula sebaliknya.

Terlepas dari poin-poin yang telah saya bahas, saya yakin orang tua mana pun pasti tidak ada yang memiliki niat buruk terhadap anaknya. Seorang alumnus magister profesi psikologi klinis yang bernama Gracia Ivonika menjelaskan tata cara yang harus diperhatikan orang tua saat hendak curhat ke anak. Di antaranya adalah memilih topik yang sesuai, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, serta memperhatikan usia dan kemampuan anak. Tak kalah penting, orang tua sebaiknya menceritakan cara penyelesaian masalah tersebut agar anak dapat mempelajari problem solving dengan baik.

Bukankah indah kalau komunikasi orang tua dan anak terjalin dengan baik? Orang tuatakhanyadapat sharing keanak, namunjuga mendidikanak untuk memecahkan masalah di masa depan. Curhat dengan memperhatikan topik dan tata cara yang baik tentu dapat menyelamatkan mental si anak di kemudian hari. Semoga tak ada lagi anak yang tumbuh dengan ketakutan-ketakutan yang mengganggu mentalnya hingga dewasa. Parenting yang sehat tentu membuat sebuah keluarga menjadi harmonis, bukan? (YA/AES/LFT)

Terminal – Kamis, 28 Oktober 2021

https://mojok.co/magangdimojok/ngomongin-masalah-orang-tua-ke-anakperlukah/

II (September-November 2021)
Magang Mojok
126

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Berdamai dengan Air Mata untuk Merawat Kenangan

oleh Nabila Cahyawati Santosa

Menangislah bila harus menangis karena kita semua manusia~

Seorang teman pria mengirimi saya pesan singkat sore ini. Pesan yang singkat dan efektif, namun juga rapuh: “Nab, aku kangen sama mantan pacarku.” Waduh, batin saya bingung. Sebab tidak memahami bagaimana harus merespons teman saya, saya hanya dapat menyodorkan satujawaban. Jawaban yang juga saya terapkan jika sedang kangen dengan Robin, kucing peliharaan saya yang hilang: menangis. Berdamai dengan air mata.

“Buat apa nangis, Nab? ‘Kan udah besar,” kilah teman saya. Saya memahami letak keraguannya. Perihalair mata adalahsesuatu yang dihindarioleh kebanyakan orang dewasa, apalagi bagi kaum pria yang dibebani stereotip harus senantiasa kokoh dan terpercaya.

Tunggu… ini terdengar seperti tagline Semen Tiga Roda.

Melalui tulisan ini, saya ingin memberitahu hal-hal yang membuat menangis bisa saja kita lakukan jika rindu mendera. Rindu akan kenangan seseorang merupakan salah satu contohnya. Kenangan, sebagai bagian perjalanan yang hendak kita rawat dengan cara-cara terbaik. Saya ingin meyakinkan pada teman saya bahwa ia boleh

Magang Mojok II (September-November 2021)
127

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

menangis jika ia mau. Ia boleh menangis bila itu membantunya merawat kenangannya dengan baik. Berapa pun usianya, apa pun jenis kelaminnya.

Menangis membuat perasaan lebih lega. Sehabis menangis, sering kali perasaan menjadi lebih lega dan tenang. Barangkali ketika merindukan kenangan, kita hanya butuh untuk mengekspresikannya dengan jujur.

Menangis merupakan cara menjadi jujur dengan diri sendiri. Kita mengakui bahwa ada rasa sedih yang nyata. Rasa sedih yang tidak ingin disangkal. Tubuh akan meresponsnya dengan mengeluarkan air mata. Efeknya, perasaan jauh menjadi lebih lega.

Alih-alih membohongi diri sendiri dengan berucap, “Nggak, aku nggak kangen sama Jokowi,” kemudian muram karena tidak bisa mengekspresikannya dengan baik, tentu jujur dan rilis air mata lebih bijaksana untuk kita lakukan.

Menahan kesedihan bukanlah sesuatu yang wajib dilakukan orang dewasa. Orang dewasa justru harus bisa memahami kesedihannya sendiri dan mampu mengekspresikannya dengan cara-cara yang baik, termasuk kesedihan akan kenangan yang mendera itu.

Nah, namun ingat, menangis secukupnya saja, ya. Setidaknya sampai sudah merasa lebih baik. Juga, jangan menangis disembarangan tempat. Caritempat-tempat yang tidak berbahaya untuk menangis. Saya sarankan jangan menangisi kenangan masa lalu di pundak gebetan baru kalian.

Menangis jauh lebih ekonomis. Sering kali ketika mengenang momen-momen di masa lalu, kita membutuhkan pemantik atau katalis, sebagai misal, lagu, aroma, atau rasa. Bila kenangan di masa lalu dirasa terlalu memberatkan, menangis bisa menjadi jawaban.

Kangen nonton konser One Ok Rock di Singapura sama mantan, tapi tidak punya uang? Ya sudah, rawat kenangannya dengan nonton tayangan One Ok Rock di YouTube dan menangis. Kangen makan Hakata Ikkousha sama mantan tapi

2021)
Magang Mojok II (September-November
128

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

uangnya cuma cukup untuk beli Sarimi soto koya? Ya sudah, cukup beliSarimidan makan sambil menangis. Sedap, bukan?

Untuk kaum-kaum akhir bulan, menangis memang sahabat yang baik. Tak perlu sampai beli alkohol jika ingin merawat kenangan. Bila resistensi alkohol kalian rendah, nanti kalian malah bisa melakukan hal-hal yang destruktif. Cukup menangis. Dompet aman, perasaan tenteram.

Menangis itu sehat. Inilah alasan mengapa semua orang masih butuh menangis. Kesedihan akan kenangan yang ditahan tentu akan berakibat buruk pada kesehatan mental maupun fisik. Menangis, sebagai bentuk pelepasan akan kesedihan, jelas akan memberi efek yang baik.

Selain itu, menangis juga dapat membersihkan mata dari kotoran. Kandungan enzim yang terdapat dalam air mata dapat membunuh bakteri dengan cepat. Tak hanya merawat kenangan, namun juga membersihkan mata dari kotoran-kotoran masa lalu.

Tentu saja kebutuhan akan sehat merupakan kebutuhan yang harus dimiliki oleh orang-orang dewasa pula. Ingat, kalian tetap manusia, bukan Kapten Amerika.

Dengan beragam hal yang memvalidasi menangis sebagai sesuatu yang baik, saya rasa kita mulai harus berdamai dengan air mata. Stigma buruk tentang menangis seperti lemah, cengeng, dan tidak boleh dilakukan saat dewasa harus kita olah menjadi pemahaman yang menyeluruh.

Lagi pula dengan segala kebaikan yang ditawarkan oleh proses lakrimasi, saya rasa itu adalah cara yang bijak untuk merawat kenangan. Tentu kita ingin menempatkan kenangan di tempat terbaik dalam diri kita. Apa pun yang terjadi kini, kenangan tetaplah hal yang indah di masa lalu. Merawat dengan cara-cara yang jujur seperti menangis jelas akan meneguhkan hal tersebut sebagai hal yang baik.

Terakhir, menangis bukan menjadi pekerjaan untuk kaum wanita saja. Kenangan

bukan hanya milik kaum wanita. Kali ini kita tak perlu memedulikan statement

Sudjiwo Tejo di Twitter: “Tuhan menciptakan pundak laki-laki untuk menyangga

(September-November 2021)
Magang Mojok II
129

Magang Mojok II (September-November 2021)

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

tangis perempuan. Dan Tuhan menciptakan tangis perempuan agar laki-laki melupakan tangisnya sendiri.” Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan samasama mempunyai kelenjar air mata, maka menangislah! (NCS/AES/LFT)

Terminal – Selasa, 2 November 2021

https://mojok.co/magangdimojok/berdamai-dengan-air-mata-untuk-merawatkenangan/

130

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Ingatan Sembrono dan Ikan Kurisi

oleh Ahmad Maghroby Rahman

Benarkah sebuah benda bisa mengingatkan seseorang akan sesuatu yang sangat berkesan baginya?

Ingatan bukanlah makhluk yang bisa diatur, bahkan oleh tengkorak kita sekalipun. Ia bisa saja tiba-tiba muncul, bersembunyi, atau hilang. Ia bisa singgah di mana saja. Ia bisa bersemayam di sebuah catatan harian, lagu, foto, atau hal-hal yang identik dengan melankolia. Ia juga bisa bertautan dengan hal-hal yang tak terduga. Ikan kurisi, misalnya.

Menurut Wikipedia, ikan kurisi adalah ikan yang menghuni perairan dasar, mempunyai nama Latin Nemipterus japonicus, berasal dari suku Nemipteridae, hidup secara bergerombol, tersebar diperairanIndo-Pasifik…. Tentu saya tak perlu memberikan deskripsi panjang lebar seperti di atas sebab itu urusan pakar perikanan.

Juga tak perlu dijelaskan panjang lebar tentang berapa harga sekilo ikan kurisi. Satu kilonya terdiri dari berapa ekor; jika kecil isi berapa; jika tanggung isi berapa; jika besar isi berapa; dan segala tetek bengeknya. Itu semua urusan para tengkulak dan pedagang ikan.

Magang Mojok II (September-November 2021)
131

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Seperti yang telah saya katakan, urusan saya di sini adalah mengetengahkan persoalan antara ikan kurisi dan ingatan. Dalam hal ini, saya memilih kisah malang yang menimpa Alex Monata, teman saya, sebagai studi kasusnya.

Beberapa bulan yang lalu, di pagi yang cerah, Alex datang ke rumah saya untuk bermain. Saya tahu kedatangannya bukan untuk tujuan lain, kecuali secangkir kopi gratis, sarapan gratis, dan tentu sebatang rokok Surya 12. Hari itu ibu saya masak menu yang menggoda: kuah bayam dengan serutan jagung, tempe, tahu, sambal mentahterasi, danikankurisigoreng. Menuterakhir adalah favorit saya, lebih-lebih bagi Alex.

Seperti biasa, jika ada teman datang bertamu dan Ibu telah memasak, saya pasti disuruh Ibu untuk mengajak teman saya sarapan. Saya pun dengan antusias menghidangkan menu itu di depan Alex, namun dia tiba-tiba mengatakan bahwa dia tidak ikut makan. Dia bilang bahwa dia sedang tak bernafsu makan. Tumbentumbenan, saya pikir.

Dia malah nyelonong pergi ke kamar mandi. Tak lama kemudian, terdengar Alex mual-mual dari dalam kamar mandi. Beberapa saat kemudian, dia keluar kamar mandi dan segera pamit pulang.

Aneh sekali. Beberapa menit yang lalu dia masih bugar dan sehat. Sekarang dia terlihat lesu hingga memutuskan untuk pulang. Mungkin dia sedang sakit, pikir saya.

Hari-hari selanjutnya ketika dia saya ajak untuk ngopi, dia selalu menolak. Dia bilang dia sedang sakit.

Seminggu berlalu. Alex mengajak saya untuk ngopi. Kami pun bertemu di kedai kopi langganan. Di situ dia bercerita apa yang terjadi pada dirinya sedari rumah saya. Dia bercerita bahwa selama seminggu dia hanya mendekam di dalam kamar, menatap langit-langit, dan mengutuki nasib.

Apa sebabnya? Ingatan. Bagaimana bisa?

(September-November 2021)
Magang Mojok II
132

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

Saudara-saudara, jadi begini. Alex Monata, karib saya ini, dua tahun lalu ditinggal nikah oleh pujaan hatinya. Status mereka bukan berpacaran lagi, melainkan tunangan! Tanpa kata “pamit” atau “selamat tinggal”, tiba-tiba temannya mengirim foto undangan pernikahan tunangannya dengan orang lain. (Dua bulan sebelumnya Alexdantunangannyatak berkomunikasisamasekalikarenasebuahpertengkaran.)

Nah, ingatan itulah yang kembali menjangkiti kepala Alex. Melupakan sesuatu yang traumatis memang sangat sulit. Alex mengaku, sudah setahunan ini ingatan itu mau perlahan-lahan menepike sudut kecilkepalanya. Dia punsebenarnya sudah mulai belajar menerima semuanya.

Namun, pertanyaan saya, kenapa sekonyong-konyong ingatan itu muncul dan menjangkiti kepala Alex kembali?

“Ikan kurisi goreng, Rob,” katanya sambil menahan tawa.

“Ah, kamu ada-ada saja!” saya tertawa terkekeh-kekeh.

“Ikan kurisi goreng di rumahmu,” katanya kali ini dengan terbahak-bahak.

“Dulu tiap ngapel aku dan dia sering memasak di dapur,” Alex mulai bercerita dengan suara yang dalam.

“Kami pergi ke pasar buat belanja, terus masak dan makan bareng. Selalu ikan kurisi. Kami sama-sama suka ikan kurisi, Rob. Kalau lihat ikan kurisi goreng, aku ingat janji, masa depan,....”

Saya hanya terdiam mendengarkan Alex bercerita sambil sesekali menghisap rokok dalam-dalam.

“Apa lagi yang traumatis bagimu selain ikan kurisi? Lagu atau tempat tertentu?” tanya saya.

Sebagai teman yang baik, saya tak mau salah putar lagu atau mengajaknya ke tempat yang bisa membangkitkan memori pahit itu.

“Sambal petai, Rob, kami juga suka masak.”

II (September-November 2021)
Magang Mojok
133

EDITOR: Amannisa Elsani Sunardi

“Lagu atau barang pemberian?”

Alex menggelengkan kepala.

“Masa, dia tidak pernahkasih kamu kado? Atau hal lain yang lekat dengankalian?”

“Ada, tapi aku biasa-biasa saja!”

Menurut Alex, perempuan itu memang pernah memberinya tiga kaus abu-abu polos, namun semua itu biasa-biasa saja baginya. Malahan, sampai sekarang dia sering mengenakannya. Dia juga punya kedai favorit yang biasa jadi tempatnya memadu kasih bersama perempuan itu, tetapi itu sama sekali tak traumatis untuknya.

“Itulah repotnya, Rob. Andai bisa memilih, lebih baik aku trauma dengan kaus polos pemberiannya. Aku bisa membuang atau membakarnya agar tak ingat.”

“Unik sekaligus absurd menurutku.”

“Ya, ingatan, begitulah, sembrono memang!”

Saya setuju dengan perkataan Alex. Ingatan memang sembrono. Ia sekehendaknya saja memilih tempat untuk menyimpan diri.

Andai manusia bisa mengaturnya, kita mungkin akan meletakkan segala kenangan baik di tempat atau hal-hal yang dekat dengan kita. Jika ingatan itu tentang suatu hal buruk, mungkin kita akan menyimpannya pada hal-hal yang asing dan jauh, sebagai misal, di luar angkasa. Dengan demikian, hidup kita akan dipenuhi kebahagiaan.

Sayangnya, kita tidak akan pernah bisa mengaturnya. Begitulah. (AMR/AES/LFT)

Terminal – Selasa, 2 November 2021

https://mojok.co/magangdimojok/ingatan-sembrono-dan-ikan-kurisi/

Mojok II (September-November 2021)
Magang
134

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.