Jurnal kebangkitan 3

Page 1


Kami bukanlah pejabat kampus, kami juga bukanlah para jenius, bukan pula agamawan dengan iman yang lurus, apalagi mahasiswa yang hanya berorientasi lulus, kami hanya kumpulan manusia yang ingin hidup dengan militansi yang tak pernah pupus.

“Even if you are a minority of one, the truth is the truth� _ Mahatma Gandhi _

1


Terima kasih kepada

Tuhan bagi yang percaya, Diri pribadi masing-masing, Lingkar Sastra ITB, Perkumpulan Studi Ilmu Kemsayarakatan ITB, Institut Sosial Humaniora – Tiang Bendera, Majalah Ganesha – Kelompok Studi Sosial Ekonomi Politik, Senartogok, Semua anggota Aliansi Kebangkitan, Unit-unit di ITB yang lain, dan semua yang akan membaca!

2


Pengantar Hanya dari Sebuah Diskusi

Memang tak butuh macam-macam untuk mencipta sesuatu, apalagi sebuah jurnal sederhana yang berisi kumpulan tulisan.

Tidak banyak

memang, tapi militansi menulis sederhana seperti inilah yang bisa menajamkan pena setajam peluru timah para prajurit. Pembahasan mengenai makhluk bernama pos-modern bukanlah suatu hal yang baru. Wacana itu sudah mulai muncul sejak awal abad 20, ketika kepercayaan manusia modern terhadap rasionalitas mulai luntur. Namun mengingat fenomena pos-modern terus semakin terlihat dan terangkat, wacana ini tidak pernah menjadi makanan basi, yang terbuang masuk tong sampah atau dimakan kucing, tapi akan terus disantap dengan nafsu dari kegelisahan akan makna yang semakin runtuh pada subjektivitas. Ya mungkin karena itu pula lah bung Haris dan kawan-kawan memunculkan kembali wacana ini dalam sebuah diskusi di penghujung semester, kala ujian berada di ujung tanduk dan aroma liburan semakin menggoda. Pos-modern bukanlah topik yang mudah dibahas bersama, karena apa yang ia tawarkan adalah subjektivitas. Maka apakah perlu pemahaman bersama?

Walaupun

memang

pembahasan

lari

kesana-kemari,

dari

bagaimana keadaan manusia kelak hingga tentang perjodohan. Salah satu yang menarik bagiku adalah, dengan semua subjektivitas yang semakin terlihat, bukan tidak mungkin kelak, puncak peradaban manusia adalah anarki sejati. Ya apapun bahasannya kala itu, pada akhinya diskusi hanyalah sesi berbagi. Apapun konklusi dan interpretasi, silakan ambil sendiri.

3


Fenomena pos-modern memang merupakan suatu fenomena yang menarik. Well, tentu saja, karena itu yang kita rasakan dan akan kita rasakan. Rasionalitas merumuskan

sudah

mulai

relativitasnya,

runtuh

secara

diikuti

dengan

sistematis

ketika

pengembangan

Einstein mekanika

kuantum. Bersamaan dengan itu, sisi bahasa, sosial, seni, dan sekotr-sektor lainnya juga secara perlahan mengalami dekonstruksi terhadap maknamakna yang terkandung di dalamnya. Melihat kemana manusia bergerak, mungkin lama-lama pusat keyakinan akan terus mengecil, berawal dari kemutlakan sejati pada pra-modern, lalu mengerucut pada kemutlakan objektif pada era modern, dan sekarang bergerak menuju kebenaran subjektif. Kemutlakan semakin sulit untuk diyakini ketika semua orang pasti memiliki perspektif yang selalu berbeda. Ah, apapun itu, aku juga mungkin tidak bisa berkata banyak. Kebenaran toh milik masing-masing individu. Yang terpenting, usaha-usaha untuk mengabadikan semua perjalanan pencarian kebenaran itu lah yang perlu dijaga dalam konsistensi, termasuk dengan pengarsipan dalam jurnal ini. Walau mungkin tulisan lama juga ikut nyangkut, tak ada yang namanya kadaluarsa, toh kami tidak memakai pengawet. Makna tetap akan selalu ada dalam kata-kata yang terbaca, maka nikmatilah, selagi kebenaran masih bisa dirayakan bersama-sama.

PHX 8 Januari 2016 Komando Pembebasan Harian Wilayah III sektor Himpunan

4


Prolog "Kuliah Publik: Mengintip Horizon Postmodernisme" Cafe Tiben #13 / Kajian Awal Tahun

5


Di Halaman Depan Kampus ISH Tiben Jumat, 18 Desember 2015 Pukul 18.41 s/d 23.00 (disambung di warung pak Rocky kalau masih kurang) Pembicara: • Abdul Haris Wirabrata • Georg Wilhelm Friedrich Hegel • Choirul Muttaqin • Martin Heidegger • Husein Abdulsalam • Karl Marx • Okie Fauzi Rachman • Jaques Lacan Moderator/Provokator: Senartogok! Sebenarnya ini semacam UAS, atau lebih tepatnya pemaparan terakhir hasil belajar selama setahun lebih. Secara pribadi, aku mengucapkan selamat telah berkutat dan hampir tewas dengan materi-materi yang man teman dalami dalam setahun ini, Husein dengan Marx kesayangannya, Haris dengan Hegel paporitnya, Choi dengan Heidegger pujaannya, atau Okie dengan Lacan kebanggaannya. Nanti sore adalah waktu yang tepat untuk menjabarkan dan membagikan untuk kami hasil perjuangan dan jungkir baliknya selama ini. Kami tentu tak sabar dengan diskusi santai barengan ini, sekalian menyambut 6


liburan nantinya. Kita tentu tak mau kalah dengan militer, sebab diskusi gabungan juga harus dilakukan. Mari berkumpul sambil menyusun materi mengenaskan di tahun berikutnya. Oh iya, acara ini disponsori toko buku Cak Sam, dan kabarnya beliau membawa yang 'ena ena' untuk kita minum

7


Daftar Konten

Catatan Kuliah: Absolut Gain Dan Trauma (10) Heidegger Dan Pijar-Pijar Posmodern (19) Bring me, horizon of postmodernism! (27) Postmodernisme a la Derrida, Mekanika Kuantum, dan Jodoh Objektif : Sebuah Cocoklogi Ekstrem (33) Antara Postmodernisme dan Postradisionalisme (43) Gerakan Sosial-Politik Mahasiswa di Era Postmodernisme 2014: Pemilu, Pencitraan, dan Post-Modernisme Kesempurnaan adalah Utopia (73)

8

(60)

(47)


9


Catatan Kuliah: Absolut Gain Dan Trauma Abdul Haris Wirabrata

Ditulis sebagai cemilan setelah kuliah publik : Mengintip Horizon Posmodernisme di “Tiang Bendera” Institut Sosial Humaniora, jumat 18 Desember 2015.

“In his Conflict of Faculties written in the mid 1790s, Immanuel Kant addresses a simple but difficult question: is there a true progress in history? (He meant ethical progress in freedom, not just material development.) Kant conceded that actual history is confused and allows for no clear proof: think how the 20th century brought unprecedented democracy and welfare, but also holocaust and gulag…” [1]

Kutipan diatas sekiranya dapat menjadi gambaran awal keadaan yang dibawa Choirul Mutaqqien dalam Fenomenologi Heidegger dan Pijar-pijar Postmodernisme [1.5], dimana kita menyoalkan narasi besar yang dalam perjalanannya menemukan kontradiksi dan penolakan yang tak terjelaskan. Kontradiksi dan penolakan (negativitas — negativity) [2] lewat fakta historis yang telah dialami ini sejak dulu merupakan masalah yang dihadapi manusia terkhusus dalam ranah filsafat. Formulasi sebuah meta-narasi atau gagasan universal, untuk mencerap keberagaman bentuk yang kita lihat, setidaknya tetap menemui kebuntuannya sendiri. Sejak manusia melihat impotensi dalam mengikutkan pengalaman dan peristiwa yang material dan mewaktu pada kapal gagasan universal yang abadi (dipandang dapat membawa umat

10


manusia ke pulau yang lebih baik), kita melemparkan pandangan curiga pada setiap upaya penyatuan menyeluruh dunia yang begitu kaya akan perbedaan. Sejak

plato,

metafisika

mempersoalkan

kemungkinan

dan

ketidakmungkinan manusia mencerap pengetahuan tentang yang partikular ke dalam sebuah gagasan menyeluruh. [‌] as if Ideas form another, even more substantial and stable order of “trueâ€? reality. Plato

sampai

sebelum

kant

berpendapat

bahwa

penampakan

(appearance) dipahami sebagai ilusi atau cara pandang yang cacat tentang yang berada di luar alam pikiran kita sehingga tugas filsafat ialah menyediakan

jalan

untuk

melampaui

yang

cacat

tersebut

hingga

mendapatkan the way things really are.Dengan kata lain ide tentang realitas objektif berada ada diluar sana, diluar pikir dan cara kita untuk sadar. Kant kemudian me-radikal-kan pembedaan dalam schein (appearance as illusion) dan erscheinung (appearance as phenomena). Dalam Kant, Alam tidaklah hal yang berada diluar kita sejak ia menunjukkan bahwa susunan gagsan, sistem, dan gambaran tentang dunia bergantung pada kategori-kategori. Proyek utama filsafat Kant yaitu menunjukkan bagaimana metafisik atau pengetahuan filsafat mungkin. Sistem filsafatnya tidak mendekati langsung tatanan ontologis tentang realitas melainkan melihat pengetahuan sebagai jaringan kompleks pengetahuan kategoris. Seperti yang diutarakan Choirul, Inti dari subjektivitas modern ialah bahwa manusia membedakan antara ciriciri benda dan makna yang kita berikan padanya. Motif utama filsafat Kant kemudian ialah yang metafisis, bukan thing-in-itself, yaitu untuk kritik seluruh kemungkinan kategoris metafisis itu sendiri. Menurut Kant, filsafat yang sukses bukanlah lagi mengenai penjelasan yang mengandung kebenaran tentang keseluruhan dari yang ada (being), melainkan filsafat yang 11


mengikutkan ilusi-ilusi (mengapa ia perlu, tak terhindarkan, dan bukanlah kebetulan. [3] Peninjauan kritis dan teliti memiliki peran penting dalam mengikut sertakan ilusi yang diperlukan tadi. Namun sistem tersebut masih dapat melahirkan kesimpulan kontradiktif, paradox. Dimana gagasan yang menuntut

konsistensi

dan

sistem

yang

koheren

mengikutsertakan

kontradiksi-kontradiksi di dalamnya. Menurut hegel, sistem tersebut tetap saja mengantarkan kita pada penerimaan dan penolakan suatu gagasan filsafat.

Digambarkan

bahwa

pengetahuan

filsafati

bergerak

seperti

pertumbuhan kuncup -bunga-buah. Dimana saat bunga hadir di dunia, kuncup yang berupa perwujudan awal hilang ditolak. Seperti dikatakan di awal, penolakan tersebut merupakan kontradiksi atau negativitas. Hegel melihat cara pandang tersebut tidak dapat membawa kita dalam mencerap isu sebenarnya. Pengetahuan filsafat, tidak seperti pengetahuan lain seperti ilmu alam yang memiliki kemapanan dalam mengelola kontradiksi, dimana error menunjukkan kebenaran bahwa pengetahuan tersebut salah. Bila filsafat terus menolak dan menerima gagasan-gagasan yang muncul — karena bahkan landasan filsafat masih perlu dipertanyakan — ia tak akan pernah menjadi pengetahuan yang meng-aktual dan efektif dipinjam sebagai cara kita melihat dunia. Dalam phenomenology, hegel berupaya membangun keterkaitan antara yang pengetahuan awal yang dicari dan negativitasnya. Baik adanya bila kita mengintip sedikit tentang bagaimana gagasan berperan dalam menunjukkan jurang besar tak tertambal antara yang universal dan partikular. Roh (spirit) dilihat sebagai hubungan subjek dengan dirinya sendiri. Hegel membagi tahapan manusia sebagai pertumbuhan anak-remaja-dewasa.[4] Remaja dilihat sebagai fase dimana ia menemukan kontradiksi antara gagasantentang-dirinya dan kontradiksi yang ia lihat pada dirinya-dalam-kehidupan. 12


Seperti saat ia dikatakan sebagai seorang yang baik, namun merasa masih pernah melakukan kejahatan sekaligus juga sedikit-banyak membagikan cinta pada manusia dan makhluk yang partikular. Ada yang kurang dalam atribut religius tersebut, ia tidak benar-benar baik namun tidak pula pantas disebut jahat. Hegel melihat ini sebagai sebuah keterbelahan diri (subjek) dengan yang universal. Pernah sebelum menyadari kontradiksi tersebut, saat fase anak-anak, ia tidak menyoalkan kategori tersebut. Keterbelahan melempar remaja ini pada betapa terpisahnya dunia ini dengan berbagai kekayaannya yang majemuk kemudian membimbing remaja ini untuk meraih dirinya yang utuh juga sekaligus menolaknya terus menerus. Keterbelahan dipandang sebagai proses aufhebung, pembatalan yang melahirkan negativitas. Sistem Kant mengatakan, proses dalam metafisik berada dalam luas lingkaran pengetahuan kita yang tidak lagi melirik pada ‘realitas noumenal’ sebab ia tetap external. Hegel disini berbeda dengan Kant, dimana hegel menjamah

kembali

the-thing-in-itself

yang

dihindari

Kant.

Hegel

mengikutsertakan fasepre-reflexive ground, dari anak-anak ke remaja, momen keterbelahan antara yang universal dan partikular, atau sebelum metafisik dan upaya menjelaskan diri dan dunia ini muncul. Selain itu, Hegel memandang keterbatasan kita menjelaskan realita — dengan kontradiksi di dalamnya — adalah yang dapat menunjukkan ketidakmampuan the-thing-initself menjelaskan keutuhannya. Itu cukup menunjukkan pada kita betapa realita di luar diri kita memang terpecah dan terbelah dalam dirinya sendiri. Ingat bagaimana proyek manusia dalam merumuskan masa depan tidaklah mungkin tanpa mengikutsertakan trauma masa lalu. Sehingga pencarian yang absolut bukanlah usaha untuk mendapatkan realitas yang lebih objektif. Penjelasan objektif oleh berbagai domain pengetahuan ada di luar sana, namun perlu kita ikutkan ilusi subjektif sebagai kondisi yang diperlukan untuk kita memiliki pengetahuan objektif tersebut. Mengutip Zizek,

13


Hegel’s famous critique of Kantian skepticism — we can only get to know the Absolute if the Absolute already in advance wants to be bei uns (with us) — through his interpretation of parousia as the epochal disclosure of being: parousia names the mode by which the Absolute (Hegel’s name for the Truth of Being) is already disclosed to us prior to any active effort on our part, i.e. the way this disclosure of the Absolute grounds and directs our very effort to grasp it — or, as mystics and theologians put it, you wouldn’t have been searching for me if you had not already found me. [5] Keterbelahan tersebut menunjukkan negativitas, yang mana ia bukan merupakan yang muncul dari ketiadaan. Negativitas, kontradiksi, trauma, dan luka dipandang sebagai hal yang memungkinkan terbukanya positivitas yang baru. Namun negativitas tidak boleh dilepas dari aspek subjektif pengetahuan awalnya yang berdiri sebagai appearance as phenomena sebelum ia dipandang sebagai ilusi, mengutip heidegger, Hegel’s notion of negativity lacks a phenomenal dimension (i.e., Hegel fails to describe the experience in which negativity would appear as such). Hegel never systematically exemplifies or makes appear the differences between the terms rejection, negation, nothing, is not, and so forth.[6] Heidegger awas terhadap hegel tentang negativitas tersebut. Negativitas sendiri selalu berada dibawah kerja yang menghasilkan negativitas tersebut yaitu subjektivitas. Setiap penyangkalan dan kontradiksi terhadap tesis awal selalu kalah saat posisi subjektif lebih strategis (dalam artian foucauldian). Lewat Heidegger, jelaslah bahwa di hadapan pertumbuhan pengetahuan manusia, ada manusia lain yang diperbudak. Dasein pengemuka negativitas tercerabut dari landasan ‘natural’ keberadaannya yang unik dan kayaan pada keterkaitan dirinya dan dunia.

14


Logika yang diperbudak tersebut mau tidak mau mesti patuh pada logika positif yang sedang berkuasa. Ilustrasi (rendering) logika tuan positif tersebut berlanjut terus — menerus sampai mencapai absolute knowledge, yang pada hakikatnya merupakan penindasan tanpa akhir. Sejak itu, logika positif dan narasi besar yang menjanjikan kebaikan bagi umat manusia — yang menjadi landasan tiap tindakan revolusioner, bersifat techne, dan usaha perwujudan visi zaman — ditolak mentah-mentah. Alih-alih memberikan peluang emansipasi, ia tetap berada dalam payung totalitarianisme. Lahirlah pandangan yang kita sebut postmodernisme, dekonstruksi tiada akhir, pertarungan kekuatan antar diskursus, memberi peluang hidup bagi logika yang diperbudak, dan merayakan perbedaan dan demokrasi. Hanya dua jalan keluar yang ditawarkan (tanpa kekerasan), yaitu membiarkan mereka yang unik pada dirinya sendiri. Kedua, bila terjadi persinggungan, rekonsiliasi mungkin diambil. Tidakkah menarik bila kita sadar bahwa luka, derita, sakit yang dialami manusia

merupakan

negativitas

yang

menampakkan

dirinya

untuk

membelah kembali ilusi yang dibuat oleh logika positif, ia menyadarkan anak-anak tadi bahwa ia tidak benar-benar baik dan bukan benar-benar untuk mengabdi pada gagasan kemanusiaan yang tidak mampu menampung negativitas dalam dirinya sendiri. Ketidakcukupan gagasan negativitas yang dilihat oleh heidegger dapat kita cerap sebagai upaya narasi besar emansipatoris yang melahirkan kontradiksi dan penolakan yang dialami oleh manusia. Mari kita lihat beberapa tragedi kemanusiaan yang mana dalam ilustrasi gagasan pada relalitas yang dihidupi menemukan dirinya ditolak oleh pengalaman pahit. Pengalaman yang menyakitkan dalam domain kemanusiaan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu sebagai kejadian temporal yang dialami dan sebagai text masa lalu (diluar kepentingan teleologis, dalam artian contingent materialist process) yang dapat dibaca.

15


Proses pembacaan kejadian lampau yang traumatik mestilah menyebutkan perbudakan narasi materialis pada pengalaman subjektif yang diemban pelaku pada kejadian tersebut. [7] Sejak subjektivitas berperan penting dalam proses dialektik, kita perlu melihat gagasan Lacan yang akan lebih baik dijelaskan oleh Fauzi Rahman. Sekilas saja, individu manusia memiliki masalah dalam menjelaskan identitasnya. Seperti kasus si anak baik, penggambaran selalu kurang atau terlalu berlebihan dalam menjelaskan identitas subjek. Oleh sebab itu perlumirror stage yang bergerak dalam tatanan realitas simbolik (bahasa ibu, figur, tokoh panutan, bahkan fiksi yang dianggap keren). Cermin yang disediakan realitas simbolik memiliki master signifier dimana kita sebagai subjek mengapropiasi tiap detail sang tuan lewat penanda yang selfreproducing.Bayangan di hadapan kita saat berada di depan cermin bukanlah kita

namun

nampak

seperti

kita.

Suatu

waktu

ia

akan

nampak

sebagai appearance as phenomena namun dalam prosesnya kita temukan diri kita tercerabut kembali, bahwa kita bukan bayangan tersebut, bukan sekalikali figur tersebut. Tetapi perlu diikutkan juga bahwa perubahan penampakan dari fenomena ke ilusi ditandai dengan betapa miripnya kita dengan gambar tersebut. Subjek melihat bahwa ‘identik yang penuh’ memiliki banyak kontradiksi tak terjelaskan — yang subjek unik dan selalu tidak cukup ini — hilang. Lantas itu menjadi sebuah trauma, yang mana negativitas menjadi penolakan yang begitu kuat. Tidakkah ini kita lihat dalam perubahan subjek diri sebagai individu, bahkan sebagai bangsa dimana sebuah tragedi memaksa kita keluar dari cermin tersebut. Keluar dari tatanan simbolik berarti menolak setiap inci karakter dan bentuk yang dimilikinya. Subjek mengapropriasi sebuah gagasan ideal lain yang lebih baik dari sumber lain. Namun Lacan tidak melihat demikian, penolakan tersebut dapat dibaca sebagai aufhebung yang melahirkan 16


negativitas dan proses ini terikat pada tatanan simbolik awal yang diapropriasi. Negativitas sebagai ideal baru pun mereproduksi kembali dirinya sendiri dan pada suatu saat meruntuhkan dirinya sendiri. Pada akhirnya, dalam artian sempit, terjadi pengembalian subjek dalam tatanan simbolik. Lebih dari itu, pengembalian subjek pada tatanan simboliknya tidak dilihat sebagai hal yang sama. Proses ini disebut sebagai dialectical reversaldimana tatanan simbolik kepayahan menjaga dirinya di tatanan real subjek. Dengan memberikan lapangan paling luas untuk suatu identitas mengeluarkan potensinya yang paling besar, subjek dapat menelanjangi tatanan simbolik yang penuh kontradiksi dan penolakan diri. [8] Proses ini dapat kita lihat pada film trilogi feminis oleh Lars Von Trier, Dogville (2003), dimana heroineyang keluar dari tatanan simbolik ayahnya tentang temporalitas kejahatan dan kebaikan malah menemukan kontradiksi dalam ideal barunya di sebuah desa Dogville. Setelah mengalami berbagai kekerasan, perbudakan dan pelecehan di desa tersebut, Grace ditawari sang ayah untuk memberi pelajaran dengan menggantung mayat seekor anjing desa tersebut di tower balai desa. Grace menolak dengan memutuskan untuk menghilangkan desa beserta manusia di dalamnya. Dalam pembacaan film tersebut dengan cara pandang lacanian act, Grace tidak kembali pada tatanan simbolik melainkan menemukan tatanan baru yang meskipun terkait, berbeda dari yang awal dan bagian negativinya. [9] Mungkin cukup brutal bila membuat hubungan paralel berbagai tragedi yang pernah terjadi dalam kehidupan individu maupun kolektif kita, namun pembacaan tersebut setidaknya perolehan terbaik yang didapat dari sebuah tragedi, dimana kita dapat memandang peristiwa 65 terjadi agar berbagai buku dapat ditulis. Jelas cara pandang seperti ini memiliki masalah besar terkait penghilangan manusia sebagai upaya pemusnahan suatu ideologi atau identitas. Tetapi, tidakkah lewat reformasi, ’65, revolusi terpimpin, konflik 17


horizontal, dan vertikal, kita menemukan berbagai sisi baik dimana suatu cara dan gagasan menemukan impotensinya dalam mengawal sekaligus masalah dan kontradiksi pada gagasan awal kita tentang hidup berbangsa dan bernegara. Perolehan absolut kita adalah perluasan horizon kegagalan yang pernah diusahakan bangsa ini dan bagaimana ia membuka peluang-peluang emansipatoris lain. Namun tetap saja, kita tetaplah asing dengan masa depan.

Referensi [1] Zizek, The Three Events of Philosophy, Zizekian Studies Volume Seven Number One [1.5]

Choirul

Mutaqqien,

Fenomenologi

Heidegger

dan

Pijar-pijar

Postmodernisme [2] Hegel, Phenomenology of Spirit (translasi Miller), Oxford University Press [3] Zizek, Less than Nothing, Introduction, Verso [4] Malabou, The Future of Hegel, Chapter Hegel on Man, Routledge [5] Zizek, Heidegger versus Hegel, e-flux journal no 32 [6] Ibid. [7] Zizek, lecture on German Idealism and Psychoanalysis with Slavoj Zizek, Alenka Zupancic, Mladen Dolar, Deutsches Haus, Youtube [8] Zizek,Cunning of reason : Lacanian reading of hegel, [9] Denny, david, Signifying Grace: a reading of Lars Von Trier’s Dogville, Žižek and Cinema — IJŽS Vol 1.3

18


Heidegger Dan Pijar-Pijar Posmodern Choirul Muttaqien

Istilah “Postmodern” telah digunakan dalam banyak bidang dengan meriah dan hiruk pikuk. Kemeriahan ini menyebabkan setiap referensi kepadanya mengandung resiko dicap sebagai ikut mengabadikan mode intelektual yang dangkal dan kosong. Awalan “post” pada istilah postmodern seringkali menimbulkan banyak perdebatan. Apakah “post” itu berarti pemutusan hubungan pemikiran total dari segala pola kemodernan? Atau sekedar koreksi atas aspek-aspek tertentu saja dari kemodernan? Apakah segala

hal

yang

modern

itu

sedemikian

ideologis?

Jangan-jangan

postmodernisme itu justru bentuk radikal dari kemodernan itu sendiri, yaitu kemodernan yang akhirnya bunuh diri. Atau justru wajah arif kemodernan yang telah sadar diri atau sekedar tahap dari proyek modernism yang memang belum selesai? Dalam bidang filsafat sendiri istilah “postmodern” diperkenalkan oleh Jean Francois Lyotard dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, dan sejak saat itu menjadi locus classicusuntuk diskusi-diskusi tentang postmodernisme dibidang filsafat kini. Pemikiran Lyotard berkisar tentang posisi pengetahuan di abad ilmiah kita, khsusunya tentang cara ilmu dilegitimasikan melalui yang disebutnya, “narasi besar” seperti Kebebasan, Kemajuan, Emansipasi kaum proletar, dll. Dengan kata lain, dalam abad ilmiah ini narasi-narasi besar menjadi tidak mungkin, khususnya narasi tentang peranan dan kesahihan ilmu itu sendiri. Maka nihilisme, anarkisme, dan pluralisme “permainan-bahasa”pun merajalela. Ini baginya tidak jadi soal, sebab disisi lain ini menunjukkan juga kepekaan baru terhadap

19


perbedaan-perbedaan dan keberanian melawan segala bentuk totaliterisme, yang memang perlu. Sehingga postmodernisme dirumuskan sebagai suatu periode

dimana

segala

sesuatu

itu

dilegitimasikan

dan

akhirnya

postmodernisme adalah initifikasi dinamisme, upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan terusmenerus.

Posmodernisme dalam ranah filsafat Bila kita bicara dari sudut filsafat, maka karakter yang khas dalam modernisme adalah bahwa ia selalu berusaha mencari dasar segala pengetahuan (epstemé, Wissenschaft) tentang “apa”nya realitas, dengan cara kembali ke subjek yang mengetahui itu sendiri (dipahami secara psikologis maupun transendental). Di sana diharap ditemukan kepastian mendasar bagi pengetahuan kita tentang realitas itu, realitas yang biasanya dibayangkan sebagai “realitas luar”. Kepastian itu persisnya terdapat dalam hukum logika. Jadi, kalau saja kita bisa mengorganisasikan gagasan-gagasan secara logis tepat, maka langsung pula kita dapatkan “representasi” yang benar atau keserupaan “objektif” dengan enyataan. Demikian fondasionalisme dan representasionalisme telah menjadi sebutan bagi paham yang berkembang sejak Descartes hingga filsafat analitik abad keduapuluh. Dalam peristilahan Heidegger, karakteristik kemodernan yang menonjol adalah bahwa dunia menjadi semacam gambar atau representasi, sekaligus manusia menjadi subjek di antara lautan objek. Atau dalam peristilahan Merleau-Ponty, manusia menjadi kosmotheoros, alias penonton murni, dan pada saat yang sama dunia menjadi le Grand Objet.

20


Dalam modernisme, filsafat memang berpusat pada epistemologi, yang bersandar pada gagasan tentang subjektivitas dan objektivitas murni, yang satu sama lain terpisah tak saling berkaitan. Tugas pokok filsafat adalah mencari fondasi segala pengetahuan, dan tugas pokok subjek adalah mempresentasikan kenyataan objektif. Demikian maka klaim-klaim dari kaum

posmodernis

tentang

“berakhirnya

modernisme”

biasanya

dimaksudkan untuk menunjukkan berakhirnya anggapan modern tentang “subjek” dan “dunia objektif” tadi, dunia yang seolah sepenuhnya mandiri menanti subjek yang akan membuat representasi mental tentangnya saja. Lalu posmodernisme dimengerti sebagai upaya-upaya untuk mengungkapkan segala konsekuensi dari berakhirnya modernisme itu beserta metafisika tentang

fondasioanlisme

dan

representasionismenya.

Awal

yang

menyakinkan dari tumbangnya modernisme kiranya adalah justru pada saat fenomenologi dari Edmund Husserl tampil dan naik daun. Sejarah tentang posmodernisme betatapun juga tak bisa melewati tahap ini, tentu dengan menyiangi unsur-unsur mana pada Husserl yang betul-betul baru dan yang termasuk kuno. Teks kunci dalam hal ini terutama adalah The Idea of Phenomenology. Menurut Lyotard, istilah posmodern merupakan suatu pemutusan hubungan total (diskontinuitas) dengan kultur modern dan bukan sekedar koreksi atas berbagai pemikiran dan kultur modern. Posmodernisme diartikan sebagai ketidakpercayaan pada berbagai bentuk meta-narasi (antifondasionalisme), ketidakpercayaan pada klaim kebenaran ilmu pengetahuan objektif–universal.

Ketidakpercayaan

pada

klaim

kebenaran

objektif–

universal itu didasarkan atas kesadaran akan adanya keterbatasan dan ketidakmampuan dalam melihat realitas dari perspektif dan paradigma tertentu. Penolakan terhadap meta-narasi berarti berakhirnya penjelasan yang bersifat universal tentang tingkah laku dalam rasionalitas instrumental.

21


Postmodernisme menolak ide bahwa realitas objektif dan cerita rasional tunggal bisa dicapai. Hal ini menerima eksistensi suatu realitas, tapi tidak pernah bisa secara akurat diketahui. Melalui persepsi dan bahasa, dunia/realitas secara sosial dikonstruksi oleh komunitas. Perspektif tentang ilmu pengetahuan yang berasal dari Nietzsche digunakan Lyotard untuk menolak pandangan ilmu pengetahuan yang universal dan total. Baginya, teori merupakan konstruksi. Tidak ada perspektif tunggal tentang realitas objektif yang universal. Manusia tidak memiliki akses untuk mengobservasi dunia sebagaimana nyatanya, anggapan dan keinginan untuk mencapai itu adalah sia-sia dan sesat. Kebutuhan dan keinginan untuk menemukan kebenaran ilmu pengetahuan sesungguhnya hanyalah sekedar istilah yang mengacu pada wacana yang berhasil dan bermanfaat. Ini berlaku bagi semua pengetahuan dan logika yang selalu bersifat provisional dan perspektivis. Prinsip dasar posmodernisme bukan benar-salah, namun apa yang oleh Lyotard disebut paralogy membiarkan segala sesuatunya terbuka, untuk kemudian sensitif terhadap perbedaanperbedaan. Postmodernisme cenderung melihat kebenaran dikaitkan dengan asas kegunaannya (pragmatis) di semua bidang, baik sosial-budaya, politik, seni, pendidikan dan lain-lain. Hal ini berlaku pada semua bidang, baik social-budaya, politik, seni, pendidikan dan lain-lain.

Heidegger dan Postmodernisme Di samping Kierkegaard, Nietszche, dan Husserl, Martin Heidegger (1889-1976) juga dipandang sebagai perintis posmodernisme. Heidegger sangat kritis terhadap filsafat modern tentang manusia. Manusia bukanlah segumpal substansi berpikir yang sadar diri, atau makhluk yang kerjanya memikirkan dan merumuskan hal ihwal; tetapi manusia adalah dasein, ia “ada 22


dalam dunia�. Hubungan manusia dengan kenyataan tidak semata-mata hubungan intelektual, subjek memahami objek. Kondisi modernisme, adalah sebuah kondisi relasi keterpisahan ontologik. Manusia dikonsepkan sebagai subjek yang terpisah dari alam objek (metafisika subtansi). Manusia berdiri dan memiliki jarak, bahkan secara sadar mengambil jarak atas objek. Sebuah titik archimedes untuk menemukan objektivikasi metode. Segala ukuran kebenaran bertumpu pada manusia. Pada Descartes legitimasi objektif selain berdasarkan pada rasio cogito melalui eksperimen matematik yang jernih dan terpilah-pilah, juga berdasar atas eksistensi tuhan. Argumentasi Cartesian yang menjadikan manusia sebagai titik sentral dalam pemecahan masalah dunia. Sebenarnya penuh dengan kekaburan dan pertentangan dalam argumen-argumenya. Di satu pihak ada penyanjungan akal budi manusia, yang menjadikan manusia sebagai subjek yang merdeka. Hal tersebut merupakan titik awal keterputusan manusia dari tuhan, akan tetapi dilain pihak konsep rasionalitascogito justru dijadikan Descartes sebagai perangkat pembuktian eksistensi tuhan. Implikasi dari cara berfikir ini adalah metafisika substansi, usaha memahami ada dengan menyingkirkan aksidenaksiden, sebuah kehendak untuk menguasai relaitas dengan reduksi. Kondisi modernisme yang dijiwai semangat konsep cogito dari Descartes dengan metafisika substansialistik pada babagan selanjutnya mendapatkan banyak kritikan. Kritik terhadap modernisme dilontarkan dari dua arah pertama kritik diri yang menghendaki proyek modernisme dilanjutkan. Pada posisi ini kita bisa menyebut barisan pemikir dari sekolah frangkfrut Habermas, Adorno, Hokhaimer dan lain-lain. Pada arah kedua adalah yang menghendaki modernisme ditinggalkan. Pada titik kedua ini diawali oleh

23


kerja Heidegger dan Nietzsche, yang selanjutnya diteruskan oleh para pemikir pos-strukturalis. Pandangan

dualitas

Cartesian

yang

menghidupi

gaya

berfikir

modernisme mendapatkan kritik dari Heidegger. Kritik Heidegger inilah nantinya yang akan memulai titik awal masuk gerbang postmodernisme. Melalui fenomenologi eksistensial Heidegger mengawali pemikiranya dengan menganalisis

posisi

aku

terpisahkan. Dasein adalah

subjek

konsep

dengan

yang

dunia

dilahirkan

yang

tidak

Heidegger

untuk

memahami posisi aku sebagai ada dalam dunia. Dasein adalah konsep yang yang mengantikan subjek, aku, kesadaran yang popular dalam modernisme. Melalui Dasein Heidegger mengidealkan hubungan manusia dan dunia bukanlah hubungan yang epistemologis antara subjek yang mengetahui dengan Manusia

objek tidak

yang

diketahui,

difahami

secara

akan

tetapi

substansialitik,

hubungan yang

ontologis.

menunjukkan

keterpecahan antara substansi dan aksidensi. Sebuah hubungan oposisi biner. Dengan pemahaman atas realitas sebagai sebuah keseluruhan hubungan yang saling kait mengkait, dan menolak manusia sebagai titik sentral. Bahwa adanya manusia selalu hanya bisa difahami jika dikaitkan dengan ada-ada sebelum keberadaanya, dalam suatu interaksi yang saling kait secara linear tidak hierarkis oposisi biner. Bagi Heidegger kondisi postmodernitas adalah kondisi pengumpulan ada dengan segala diemnsinya yang telah dipecah-pecah oleh tradisi metafisiks substansi. Kembali pada ada adalah terlepasnya manusia dari faham humanisme rasional modernisme. Bagi Heidegger manusia tidak dapat lagi dianggap sebagai satu-satunya ukuran kebenaran, yang tanpa toleransi sama sekali terhadap perbedaan.

24


Pemikiran Heidegger tersebut kemudian mempengaruhi para posstrukturalis dengan gagasan mereka masing-masing. Pemahaman atas keseluruhan faktisistas kehidupan secara tidak langsung menolak gaya narasi besar subtansialistik dalam metafisika kehadiran. Dalam ranah metafisika gagasan Heidegger disambut oleh seruan untuk kembali pada narasi-narasi kecil dari J.F Lyotard. Dalam epistemologi dan nilai melalui titik awal penolakan posisi manusia sebagai ukuran mutlak kebenaran, lahir anything goes, Paul Fayerabend. Fayerabend bersama dengan Thomas Khun menolak objektivikasi universal. Puncaknya pada Derrida dengan semangatnya untuk merusak segala bangunan pemikiran yang telah mapan, melalui penyelidikan hermeneutik dekontruksi yang lagi-lagi menolak universalitas kebenaran pada diri manusia.

Penutup Gerakan posmodernisme merupakan gerakan transformasi kultural yang muncul untuk merespon kegagalan kaum modernis untuk memenuhi janjinya. Dalam banyak bidang, termasuk ilmu sosial, diskursus modernis telah didekonstruksi oleh posmodernis. Sehingga, asumsi yang secara historis terkondisi dan titik buta yang dibawa oleh Grand Narrative kaum modernis mengenai objektivitas-scientific yang bebas nilai dan perkembangan komulatif telah diidentifikasi. Banyak hal menarik dan bisa diterima dari apa yang ditawarkan oleh pasca modernisme. Lepas dari sah atau tidaknya keberadaan pasca modernisme kenyataanya dia ada dan keberadaanya harus diakui. Postmodernisme ingin menghilangkan pendasaran umum dan lebih melihat cerita-cerita kecil. Tanpa ada kerangka atau dasar pijakan tersebut kita tidak bisa bicara apa-apa. Disini akan mudah terjadi kesewenang-wenangan dan

25


yang

menjadi

korban

sudah

tentu

masyarakat

bawah

atau

kecil.

Postmodernisme menjadi kurang cerdas jika menganggap semua cerita besar perlu didekonstruksi. Namun, pasca modernisme tidak mampu melakukan itu. Dekonstruksi yang sebenarnya, kata Franz Magnis Suseno adalah menganalis dengan teliti. Postmodernisme tetap dapat dikembangkan dan dipercaya asal ia tidak memutlakkan prinsip dia sendiri dengan menghilangkan prinsip pihak lain. Segala sesuatu perlu dikritisi, dipertanyakan, apakah ia benar berjuang demi menegakkan martabat dan kebahagiaan manusia yang lebih besar, serta sifat saling menghargai manusia sebagai individu-individu dengan segala keunikan dan keberagamannya. Pasca modernisme memberikan hak untuk menyuarakan pendapat dan terus menjalankan sifat emansipatoris.

Referensi [1] Jean-Francois Lyotard. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge [2] J. F. Lyotard. The Postmodern Condition: A Report of Knowledge, (Manchester:University of Manchester, 1982) hlm. Xi [3] St. Watson. Kant and Foucault: on the ends Man [4] Vincent Descombes, Foucault: A Critical Reader [5] Suyoto, dkk, Postmodernisme Dan Masa Depan Peradaban, Yogyakarta: Aditya media, 1994. [6] Ernest Gellner, Menolak Postmodernisme (Bandung: Mizan, 1994). [7] The Re-enchanment of Science: Postmodern Proposal (Albany: State University of New York, 1988). 26


Bring me, horizon of postmodernism! Okie Fauzi Rachman

Sesungguhnya, manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang tidak pernah selesai didefinisikan. Manusia dengan keistimewaannya bukan saja binatang yang berfikir, tapi juga merasa. Dia bukan saja makhluk yang dapat mengurai argumen dengan logis, melainkan juga dapat mencintai keindahan. Dia bukan saja membutuhkan hal-hal materil seperti sandang dan pangan, melainkan juga membutuhkan hal-hal abstrak seperti nilai dan cinta. Kompleksitas akan pengertian manusia ini pada akhirnya mewarnai sejarah peradaban manusia yang tidak pernah selesai. Manusia mulai mengorganisir diri, mulai dalam bentuk keluarga, kelompok berburu, sampai menjadi sebuah negara, semua hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia yang kompleks tersebut. Itu juga yang membuat pada zaman dahulu kala setiap orang terbiasa untuk hidup holistik. Holistik dalam bentuk diri seseorang yang mesti punya beragam keterampilan, mulai dari sains, seni, filsafat, hingga agama. Contohnya dapat kita lihat dalam diri Leonardo Da Vinci yang sangat jenius. Seorang dokter, seniman, saintis, arsitek dan lain sebagainya. Hal ini mensyaratkan satu hal, bahwa sebenarnya manusia memerlukan semua aspek dalam hidup. Tidak hanya berpikir, tetapi juga merasa. Tidak hanya mengetahui melalui panca indra, tetapi juga memerlukan penalaran. Namun seiring berkembangnya waktu, semua bidang-bidang itu akhirnya semakin otonom karena setiap bidang mulai terspesialisasi dalam medan jelajah yang lebih dalam. Maka, mungkin, akhirnya kita dapat

27


menemukan apa yang disebut dengan profesi, seperti seniman, filsuf, ilmuwan, dan teknisi yang berfungsi untuk melengkapi kebutuhan manusia lainnya yang lepas karena dia harus menghabiskan waktunya dalam satu bidang saja. Sehingga fungsi seorang filsuf dalam masyarakat adalah memenuhi kebutuhan akan kontemplasi dari anggota masyarakat lainnya dan fungsi seorang agamawan adalah memenuhi kebutuhan akan nutrisi batin untuk manusia lainnya. Dapat kita lihat bahwa sebuah masyarakat merupakan perwujudan dari manusia itu sendiri, sehingga organ-organ di dalam masyarakat merupakan organ-organ dari manusia itu sendiri. Akhirnya dapat kita katakan bahwa sejarah dunia ternyata merupakan sejarah akan kebutuhan manusia itu sendiri. Ketika kebutuhan yang satu mendominasi kebutuhan lainnya, maka seorang manusia tidaklah menjadi utuh, atau dalam konteks masyarakat akan terjadi ketidakseimbangan yang menghasilkan kekacauan. Hal ini dapat kita terawang dari sejarah dunia yang telah terjadi. Ketika kebutuhan akan hubungan dengan Tuhan menghegemoni kebutuhan lainnya, maka yang muncul adalah masa kegelapan atau The Dark Ages. Dalam masa kegelapan, kebutuhan manusia akan berpikir secara rasional dan ilmiah diberantas, maka kebutuhan tersebut akhirnya mengebugebu

untuk

memberontak

dan

membalas

dendam

dengan

cara

mengaklamasikan diri sebagai sebagai penentu kebenaran di era selanjutnya. Lahirlah masa reinassance atau era Modern. Era Modern ditandai dengan pemutarbalikan akan dasar kebenaran dari agama menuju rasionalitas dan science. Salah satu penanda zaman ini adalah revolusi industri di abad ke 18 yang menggagas bahwa dengan menggunakan instrumen rasionalitas, umat manusia dapat mencapai kemajuan yang akan berakhir pada kesejahteraan manusia. Oleh karena rasionalitas adalah sama bagi semua manusia, maka wacana-wacana berbau universal sangatlah disukai di zaman ini. Berbagai teori dilahirkan dengan keyakinan bahwa teori 28


tersebut dapat diterapkan bagi seluruh wilayah tempat umat manusia hidup. Salah satu instrumen teori yang paling handal bagi umat manusia dilahirkan di abad ini, yaitu kapitalisme. Kapitalisme yakin bahwa jika kita membiarkan setiap manusia dengan bebas mengejar kebutuhannya sendiri, maka suatu tatanan masyarakat yang ideal akan terbentuk.

Horizon Postmodern : Merayakan Kemerdekaan Perbedaan Namun seperti yang terjadi pada zaman kegelapan, kepercayaan manusia terhadap akal pikirannya ternyata telah menutup kebutuhan lainnya. Dan setelah rasionalitas memberontak, kini giliran kebutuhan akan kebenaran yang lain yang mengkudeta rasionalitas. Kebenaran lain ini mengukuhkan

dirinya

sebagai

paradigma

umum

masyarakat

yang

termanifestasi dalam proyek zaman baru kita : era Postmodern. Era Postmodern adalah era yang ditandai dengan proyek-proyek yang tidak homogen : dari kritik terhadap modernitas sampai kepada proyek melanjutkan modernitas itu sendiri. Tidak seperti sains atau agama yang memberontak

dengan

cara

mengeser

koordinat

definisi

kebenaran,

postmodern mendistribusikan kebenaran kedalam kebenaran-kebenaran partikular kecil. Tema-tema yang diemban dalam era modern berangkat dari paradigma sains, bahwa kebenaran itu dapat dijelaskan dalam fenomena yang tidak hitam putih, sehingga berlaku universal. Namun disisi lain hal ini sudah tidak mumpuni lagi di zaman kita. Utopia-utopia besar seperti kapitalisme ternyata hanya meghasilkan kesenjangan sosial dan kerusakan alam. Realitas ternyata lebih kompleks dari sekedar rumus-rumus ekonomi dan tidak dapat begitu saja diformulasikan oleh matematika.

29


Era

modern

yang

merayakan

logika

dan

rasionalitas

ternyata

menyeragamkan umat manusia dalam satu tipe dan memberangus kebutuhan lainnya, yaitu kebutuhan untuk diakui secara partikular dan personal, yang termanifestasikan akan kebutuhan akan seni, sehingga akhirnya kali ini senilah yang mengukuhkan diri sebagai paradigma utama masyarakat. Paradigma yang dipakai oleh seni dapat kita tinjau dari fungsi seni itu sendiri.

Bambang

Sugiharto,

seorang

fisuf

dari

Universitas

Katolik

Parahyangan, pernah menjelaskan bahwa fungsi seni adalah sama dengan sains, yaitu memperlihatkan atau menunjukan realitas. Namun perbedaanya adalah yang diperlihatkan oleh seni adalah sisi lain dari realitas itu sendiri, yaitu kompleksitas dan misterinya. Seni bermain dalam tataran qualia atau reaksi-reaksi yang sangat personal dalam hidup. Maka jika sains bermain dalam ranah logika konseptual yang disistematisasi, seni bermain dalam ranah imaji dan logika, yang akhirnya menyentuh rasa setiap orang, sesuatu yang diabaikan oleh modernitas. Dengan kata lain seni berfungsi untuk menciptakan persepsi baru atas realitas, yang akhirnya menjadi paradigma utama dalam tema-tema postmodern. Hal ini dapat kita lihat dari salah satu filsuf yang disebut-sebut sebagai inspirator dari gerakan postmodern : Friedrich Nietzche. Berbeda dengan filsuf lain yang memaparkan hasil pemikirannya dalam deskripsi-deskripsi esai dengan logika yang rigid, Nietzche malah membuat tulisan yang dipenuhi dengan kata-kata puitis yang cukup sulit untuk ditangkap maksudnya, yang menurut Romo Setyo Wibowo sebenarnya menceritakan kisah hidupnya yang pelik. Lebih jauh lagi menurut Romo Setyo, Nietzche adalah salah seorang filsuf yang sebenarnya dengan sengaja menutup-nutupi maksud dari tulisantulisannya sendiri, karena jika hal itu dapat dimengerti, berarti sang penafsir

30


memiliki masa lalu yang sama kelamnya dengan Nietzche. Nietzche ternyata telah mengajarkan sesuatu yang penting kepada kita, bahwa hidup adalah lebih kompleks dari rumus-rumus yang kita bayangkan, dan idĂŠe fixe-idĂŠe fixe yang telah menempel di dalam otak kita tidak kuasa untuk menjelaskannya. Namun hal tersebut dapat kita pahami melalui perasaan. Atau kita dapat kita lihat dari fenomena-fenomena politik kontemporer, dimana pemimpin politik dengan ide-ide utopis nan besar kini sudah tidak lagi populer. Pemimpin-pemimpin sederhana, yang walaupun tidak bervisi besar, namun dapat menyentuh hati masyarakatnya dengan menghembuskan harapan akan hidup yang lebih baiklah yang memperoleh popularitas yang tinggi di masyarakat. Dan tentu saja kita semua tahu siapa yang tengah saya bicarakan. Seni dan postmodern kini telah menjadi logika publik yang baru, yang mengukuhkan kemenangannya atas paradigma lama. Namun setelah melihat sejarah secara lebar, yang menjadi pertanyaan menarik adalah apakah akan ada lagi zaman dan paradigma yang mendobrak postmodern? Karena pada saat zaman modern pun August Comte yakin bahwa paradigma saintifik adalah paradigam puncak bagi umat manusia dan Francis Fukuyama yakin bahwa demokrasi liberal tempat kapitalisme bernaung adalah akhir dari sejarah.

Referensi [1] Kuliah “Pengantar ke Pemikiran Nietzche� oleh A. Setyo Wibowo dalam Studia Humanika :Nietzche, Pemikir Yang Sering Disalahpahami, BPP Salman ITB, 2013.

31


[2] Kuliah “Seni dan Dunia Manusia” oleh Bambang Sugiharto dalam Extension Course Filsafat dan Budaya : Filsafat Seni : Perspektif Kontemporer, Fakultas Filsafat Unpar, 2014. [3] Kuliah “Seni Sebagai Bahasa Peradaban” oleh Acep Iwan Saidi dalam Extension Course : Bahasa dan Peradaban, Forum Studi Kebudayaan ITB, 2013.

32


Postmodernisme a la Derrida, Mekanika Kuantum, dan Jodoh Objektif : Sebuah Cocoklogi Ekstrem Asra Wijaya

33


Postmodernisme a la Derrida, Mekanika Kuantum, dan Jodoh Objektif : Sebuah Cocoklogi Ekstrem “ Ada banyak macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh sebab itu ada banyak macam kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.� -Nietzsche-

Apa itu postmodernisme? Sebuah anekdot lucu berpendapat. Postmodernisme adalah ketika kau bermain bola di lapangan dan terserah mau membuat gol ke gawang siapa(sebab modernisme hanya menginginkan kau untuk membuat gol sebanyak-banyaknya ke gawang lawan). Jangan dikacaukan dengan : Bermain bola di lapangan tapi terserah ingin memainkan apa. Entah itu menulis puisi, bermain skak atau sholat dhuha. Sekilas begitulah postmodernisme. Barangkali ada lagi anekdot menarik. Jika modernisme mengartikan postmodernisme, maka modernisme akan berkata : dia (postmodernisme) terdiri atas 2 akar kata post, modern (isme tidak dimasukkan). Post berarti setelah dan modern berarti modern. Postmodernisme berarti isme setelah modern. Sementara postmodernisme sendiri dapat memperkenalkan diri : “Saya adalah kata yang tersusun atas huruf-huruf p,o,s,t,m,d,e,r,n,i,. Atau, Saya adalah apapun yang kau pikirkan tentang Saya, sekaligus apa yang tidak kau pikirkan tentang Saya.� Sudah jelas bukan?

34


Biar sedikit bingung. Agar supaya tidak terlalu bercanda, mari kita menyimak beberapa pandangan dari berbagai sumber berikut, dibawah ini : Lyotard

dan

Geldner

:

Postmodernisme

merupakan

lawan

dari

modernismeyang dianggap tidak berhasil mengangkat martabat manusia modern. Postmodern adalah pemutusan secara total dari modernisme. Derrida, Foucault dan Baudrillard : Postmodern adalah bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teoriteori. David Graffin : Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari moderinisme. Giddens : Postmodern adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Habermas : Postmodernisme merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai. Jacques Derrida Beliau dapat disebut seorang filsuf Prancis keturunan Yahudi. Derrida konon dianggap sebagai pendiri ilmu dekonstruktivisme—sebuah ajaran yang menyatakan bahwa semuanya di-konstruksi oleh manusia, juga bahasa—Semua kata-kata dalam sebuah bahasa merujuk kepada kata-kata lain dalam bahasa yang sama dan bukan di dunia di luar bahasa. Derrida juga dikabarkan sebagai salah satu filsuf terpenting abad ke-20 dan ke-21. Beberapa kata kunci filsafatnya yang terpenting adalah dekonstruksi dan differance.

35


Dekonstruksi Istilah dekontruksi untuk pertama kalinya muncul dalam tulisan-tulisan Derrrida pada saat ia mengadakan pembacaan atas narasi-narasi metafisika Barat. Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Metode dekonstruksi merupakan proyek filsafat yang berskala raksasa karena Derrida sendiri menunjukkanbahwa filsafat barat seluruhnya bersifat logosentris. Dengan demikian, dekonstruksi mengkritik seluruh proyek filsafat barat. Differance Dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan bahwa struktur penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih tua� ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri (presence-to- self)—yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran. Derrida menyatakan bahwa signifikasi selalu merujuk ke tandatanda lain dan kita tidak akan pernah sampai ke suatu tanda yang hanya merujuk ke dirinya sendiri. Maka, tulisan bukanlah tanda dari sebuah tanda, namun lebih benar jika dikatakan bahwa tulisan adalah tanda dari semua tanda-tanda. Dan proses perujukan yang tidak terhingga (infinite) dan tidak habis-habisnya ini tidak akan pernah sampai ke makna itu sendiri. Inilah pengertian“tulisan� yang ingin ditekankan Derrida. Derrida menggunakan istilah arche-writing, yakni tulisan yang merombak total keseluruhan logika tentang tanda. Jadi, tulisan yang dimaksud Derrida bukanlah tulisan (atau tanda) sederhana, yang dengan mudah dianggap mewakili makna tertentu. Dilihat dengan cara lain, tulisan merupakan prakondisi dari bahasa, dan bahkan 36


telah ada sebelum ucapan oral. Maka tulisan malah lebih “istimewa” daripada ujaran.Tulisan adalah bentuk permainan bebas dari unsur-unsur bahasa dan komunikasi. Tulisan merupakan proses perubahan makna terusmenerus dan perubahan ini menempatkan dirinya di luar jangkauan kebenaran mutlak (logos). Jadi, tulisan bisa dilihat sebagai jejak, bekas-bekas tapak kaki, yang harus kita telusuri terus-menerus, jika ingin tahu siapa si empunya kaki (yang kita anggap sebagaimakna yang mau dicari). Proses berpikir, menulis dan berkarya berdasarkan prinsip jejak inilah yang disebut Derrida sebagai differance. Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya persis sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari kata differer-differance-difference, tidak hanya dengan mendengar ujaran (karena pelafalannya sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah letak keistimewaan kata ini, hal inilah yang diyakini Derrida membuktikan bahwa tulisan lebih unggul ketimbang ujaran. Proses differance ini menolak adanya petanda absolut atau “makna absolute,” makna transendental, dan makna universal, yang diklaim ada oleh De Saussure dan oleh pemikiran modern pada umumnya. Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan (spacing), dimana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya hanyalah selalu berupa jejak dibelakang jejak. Selalu ada celah atau kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini membuat pencarian

makna

absolut

mustahil

dilakukan.

Setelah

“kebenaran”

ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak “kebenaran” lain di depannya, dan begitu seterusnya. Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal yang “ada di depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan pegangan. Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata adalah ketidakpastian, atau permainan. Semuanya harus ditunda

atau

ditangguhkan

(deferred)

37

sembari

kita

terus

bermain


bebasdengan perbedaan (to differ). Inilah yang ditawarkan Derrida, dan posmodernitas adalah permainan dengan ketidakpastian. Postmodern dan Positivisme Nietzsche

adalah

tokoh

postmodern

yang

temasuk

pengkritik

pandangan positivisme August Comte. Menurut Comte, subyek (manusiared) mampu menangkap fakta kebenaran, sejauh hal itu faktual, dapat diindra, positif dan eksak. Akan tetapi menurut Nietzsche, manusia tidak tidak dapat menangkap fakta. Apa yang dilakukan manusia untuk menangkap objek itu hanyalah sekedar interpretasi. (ST. Sunardi,1999:67-68). Banyak pernyataan bahwa Nietzsche tidak percaya bahwa kita bisa mengetahui. Fakta kebenaran itu tidak ada, yang ada hanyalah interpretasi dan dan perspektif. Maka dengan dengan sendirinya tidak ada kebenaran universal yang tunggal. Penafsiran itu tidak itu tidak menghasilkan makna final, yang ada hanyalah pluralitas. (ST.Sunardi,1999:180) sehingga bagi Nietzsche, kebenaran adalah suatu kekeliruan yang berguna untuk mempertahankan arus hidup.Tanggapan Terhadap Postmodern Konsepsi epistemologis post-modern yang belum jelas merupakan persoalan yang cukup mendasar. Tidak dapat disangkal lagi bahwa dalam interpretasi, setiap orangmempunyai sudut pandang dan perspektif sendiri-sendiri (berbedabeda). Dalam perpektif,subjek-subjek tertentu bisa dianggap benar, namun bisa jadi keliru bagi perspektif subjek yang lain. Jika pada masa Modern, manusia mengingkari agama oleh karena pengaruh rasionalitas, namun pada masa Postmodern ini manusia mengingkari agama dengan irrasionalitas. Pada postmodern ini bermunculan agama-agama baru buatan manusia (– isme) yang merupakan hasil sinkretisme dan pluralisme. Tidak ada kebenaran absolut dalam agama apapun atau mungkin bahkan dalam kitab suci apapun, yang ada adalah kebenaran relatif, kebenaran menurut masing-masing yang memandangnya, sehingga manusia di sini sebagai hakim penentu kebenaran, 38


dan bukan Tuhan yang menjadi penentu kebenaran melalui Kitab Suci yang diwahyukannya. Derrida, melalui teori Dekonstruksi-nya, telah mengantarkan kita pada sebuah model semiotika ketidakberaturan atau semiotics of chaos. Dekonstruksi menolak kemapanan, menolak obyektivitas tunggal dan kestabilan makna. Karena itu, Dekonstruksi membuka ruang ‘kreatif’ seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan penafsiran. Itulah Dekonstruksi, yang membuat setiap orang bebas memberi makna dan mentafsirkan suatu obyek tanpa batas. Ruang makna terbuka luas. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru melahirkan makna-makna lain. Demikian seterusnya. Sehingga, demikian bebas dan banyaknya makna dan tafsiran, membuat era dekontruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tidak berarti lagi. Fenomena postmodernisme ini memunculkan berbagai macam persoalan tentang peran iman dan agama. Ketika manusia tidak lagi percaya akan rasionalitas yang dianggap telah gagal melanjutkan proyek pencerahannya, maka dunia tidak lagi diatur oleh kebenarantunggal dan sistem mekanis. Segala bentuk kebenaran tunggal ditolak dan direlativkan, demikian juga agama, teologi dan ajaran iman. Pada saat itulah manusia berada dalam kotak-kotak individualisme yang berdiri sendiri. Ada yang kemudian jatuh kepada ekstrim. Mekanika Kuantum Mekanika kuantum lahir atas keisengan-keisengan. Segelintir manusia mengamati fenomena atom dan sub-atom sehingga muncullah spekulasi seperti : mengukur berarti mengganggu. Mengukur berarti menciptakan benda dll. Mekanika Newton diruntuhkan Einstein lalu determinasi Laplace diruntuhkan Born-Heisenberg lewat Interpretasi Copenhagen. 39


Ada yang menarik apabila mekanika kita klasifikasikan. Dia seolah akan menjadi tiga dalam satu : Mekanika Newtonian, Mekanika Relativistik, dan Mekanika Kuantum. Mekanika Newtonian berpangku pada beberapa hukum Newton. Hukum Newton tentang gerak dan gravitasi. Mekanika Relativistik bergantung pada kerangka relativitas umum dan khusus. Sedangkan Mekanika Kuantum berspekulasi pada kemungkinan dan fungsi gelombang Schrodinger. Beberapa diktum dari mekanika kuantum : 1.

Tidak ada realitas selama ‘ia’ belum diukur.

2.

Tidak ada pengukuran yang dapat menghasilkan nilai yang pasti.(Asas ketidakpastian Heisenberg).

3.

Segalanya adalah fungsi probabilitas. Seseorang boleh menyatakan sebuah objek sebagai apa saja tetapi harus bertanggung jawab terhadap tingkat kemungkinan objek tersebut (Fungsi gelombang Schrodinger). Dunia tidak lagi seperti yang dipikirkan oleh Newton, yaitu dunia yang

mekanis dan dapat diramalkan. Teori Kuantum berpendapat bahwa kita tidak bisa memprediksi gerakan ataupun relasi partikel-partikel atom ataupun subatom yang kita amati. Paling-paling, kita hanya dapat memprediksinya sampai tahap probabilitas. Dunia ternyata lebih indah. Apa yang kita lihat bukanlah dunia yang sebenarnya, apa yang kita rasa adalah bukan yang sebenarnya, sebab dalam yang sebenarnya selalu terkandung komponen imajiner yang mengandung tidak sebenarnya.

40


Jodoh Objektif Tentang jodoh yang tidak bisa dijelaskan secara sains dan objektif. Jika pun hanya bisa dibuat analisis-analisis yang singkat yang mencoba meraba apa yang terjadi sebenarnya. Jangan-jangan istilah jodohnya itu adalah tidak berjodoh merupakan sebuah penjelasan juga. Ada kalimat bertuliskan, Al-Haqqu Minallah. Lalu apa kaitannya dengan jodoh? Saya akan mencoba mencocoklogikan secara radikal melalui tulisan ini. Kebenaran itu datangnya dari Allah. Saya berkeyakinan bahwa kebenaran ilahi, kebenaran objektif itu : tiada akses, tiada jalan menuju ke sana. Tiada kesempatan untuk mengkonfirmasi kebenaran ilahi. Akan tetapi, ada semacam alternatif : kebenaran subjektif. Mengutip sang melankoli garis abadi Soren Aabye Kierkegaard, hakikat kebenaran objektif itu tidaklah menjadi hal yang utama. Yang utama adalah relasi dengan kebenaran subjektif sendiri. Seberapa kuat ia digenggam dan dipeluk. Nah dengan jodoh, adakah jodoh objektif, jodoh yang memang ditakdirkan dari surga, diutus untuk dirimu wahai pembaca yang khusyuk ? tidak ada akses, tidak ada jalan dan semacam alat konfirmasi tentang itu. Pada ujungnya, ya, jodoh subjektif-lah yang ada dan seberapa intim dan seberapa kuat kau mempertahankannya. Lebih Lanjut tentang Filsafat Jodoh: http://www.asrawijaya.com/2015/10/filsfafat-jodoh-bagian-pertama.html http://www.asrawijaya.com/2015/10/filsafat-jodoh-bagian-keduamendegar.html http://www.asrawijaya.com/2015/10/filsafat-jodoh-bagian-ketiga.html

41


2 Puisi Untuk Suplemen Giliran Ada yang datang ada yang pergi Ada yang hilang ada yang mengganti Narasi menjadi metanarasi Sementara Tuhan masih tetap sendiri Bandung, 2015 puisi mekanika kuantum erwin schrodinger Aku kini kucing dalam kardus Dan kau adalah materi radioaktif meluruh di sekitarku Pilihanku cuma menunggu Sesiapa Tuhan siap membuka Aku ada atau tiada Bandung, 2015 Diolah dari berbagai sumber, mohon maaf bagi yang merasa tulisannya saya copas, sila dicopas lagi kalau tidak setuju.

42


Antara Postmodernisme dan Postradisionalisme Fauzan Anwar

Mungkin sebagian dari kita masih merasa asing dengan gagasan postmodernisme atau postradisionalisme. Pada dasarnya kedua gagasan tersebut lahir sebagai respon atas kegelisahan dan kegamanganya terhadap paham modernisme. Postmo dan postra memeliki kesamaan namun juga memiliki perbedaan yang khas. Postmodern pertama kali muncul di Prancis sekitar tahun 1970-an. Pada awalnya postmodern lahir terhadap kritik arsitektur, memang harus kita akui kata postmodern itu sendiri sebenarnya muncul sebagai bagian dari modernitas. Namun peluasan makna dan pemahamanya menjadikan postmo liyan bagi paham modernisme. Charles

43


Jencks dengan bukunya “The Language of Postmodern�. Architecture (1975) menyebut postmodern sebagai upaya untuk mencari pluralisme gaya arsitektur setelah ratusan tahun terkurung satu gaya. Ada kejadian unik di bulan

juli

tahun

1972,

sebuah

bangunan

yang

melambangkan

kemodernisasian di ledakkan dengan dinamit. Peristiwa peledakan ini oleh sebahagian pemikir dianggap sebagai kematian modern dan menandakan kelahiran postmodern. Bertitik tolak dari hal tersebut postmodern mulai memasuki ranah umum. Pemikiran dan gagasan postmodern ini mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan termasuk filsafat. Kata ‘post’ sebenarnya tidak dimaksudkan sebagai sebuah periode akan tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui segala hal yang berbau modern atau beyond modernity. Postmodern ini lahir sebagai kritik atas realitas modern yang dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek pencerahan. Ajaran utama dari gagasan posmodern adalah penolakanya atas narasi-narasi besar yang muncul pada dunia modern. lalu memberikan tempat bagi narasi kecil yang tersebar dan beraneka ragam untuk menampakkan eksistensinya. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa hal-hal dibanggakan oleh pikiran modern itu untuk diragukan dan apa yang dulu dianggap rendah justru dihargai dan dilakukan pemekaran terhadapnya. Pendekatan postmodernisme sangat didasarkan pada subjektivitas. Salah satu pemikiran postmo yang paling kentara akan gagasan subjektivitas ini adalah Jaques Derida. Dalam pemikiranya Derrida memperkenalkan istilah Dekontruksi. Dekontruksi adalah sebuah metode hermeneutika yang menjelaskan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal teks adalah benda yang mati sehingga dapat dibangun kembali pondasinya. Jacques Derrida mengatakan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Sehingga banyak 44


kebenaran yang diangap final. Hal Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu,kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu. Postmodernisme

juga

berusaha

menciptakan

bias

makna

serta

mempertanyakan kembali gagasan-gagasan besar yang telah menghegemoni umat manusia dewasa ini. Michael Foucault berpendapat bahwa melalui gagasan postmodernisme, realitas akan menampakan fenomena sejati hubungan antara ilmu dan kekuasaan. Paham postmo ini sangatlah pelik. Berbagai macam ‘tren’ pemikiran lahir dari pondasi berfikir postmodernisme. Salah satu tren yang lahir akibat efek dari postmodernisme ini adalah gagasan postradisionalisme. Paham Post-tradisionalisme “postra” adalah sebuah konstruk intelektual yang berpijak dari kebudayaan dari dalam bukan tekanan dari luar. Gagasan postra ini sejatinya adalah sub bagian dari gagasan postmodernisme. Gagasan Post-tradisionalisme bertitik tolak dari transformasi sebuah tradisi dalam upaya pembentukan tradisi baru yang berakar pada keberadaan kebudayaan sendiri yang masih bias. Sepengetahuan penulis gagasan Post-tradisionalisme mulai mencuat ke permukaan oleh para intelektual muda Nahdatul ulama (NU) yang dipengaruhi oleh para pemikir islam modernis seperti Fazlur Rahman ,Abed al jabiri, Mohamed Arkoun ,Nasr hamid abu zayd dll. NU yang bernafaskan islam mengagas pemikiran post-tradisionalisme Islam ini dengan pondasi kebudayaan lokal. Sehingga dalam tahap perkembanganya ‘tren’ bahwa Islam itu identik dengan arab mulai dikritisi dari akar-akarnya. Tujuanya adalah untuk menampakan Islam secara hakikat yang tidak terbentur dalam suatu kontruks kebudayaan tertentu. Gerakan Post-Tradisionalisme ini adalah semacam “lompatan tradisi”. Yang berangkat dari suatu tradisi yang secara terus-menerus berusaha

45


memperbaharui

dirinya

sendiri

dengan

cara

mendialogkan

dengan

modernitas. Mohammed Arkoun menjelaskan bahwa kemunculan post tradisionalisme Islam dipicu oleh kejumudan berpikir dalam konteks pemikiran islam dengan indikator: tunduk pada wahyu dan ortodoksinya, penghormatan pada otoritas dan keagungannya (imam mazhab dalam konteks

fiqih,

teologi

dan

tasawwuf)

dan

lain

sebagainya.

Post-

tradisionalisme sangat kental dengan nuansa kultural,teologis antroposentrik, dan filosofis-sosiologis. Berbeda dengan paham postmo yang bersifat lebih universal. Persamaan antara postmo dan postra terletak pada kritiknya terhadap paham modern. Namun berbeda dalam upaya pengembanganya. Gagasan Postra lebih terkukung dengan sebuah kontruks teologis dan budaya tertentu. Penulis menyimpulkan bahwa gagasan postra sejatinya adalah sub bagian dari paham postmodernisme yang lebih cantik. Karena jika kebudayaan yang ada di setiap negara dikembangkan oleh gagasan postra,penulis yakin akan terjadi dinamika sejarah yang bersifat harmonis. Dewasa ini jika kita berfikir berdasarkan paham postmodernisme dan postradisionalisme pergerankanya

maka

sehingga

sejarah

ilmu

terhindar

dari

pengetahuan

keterpengaruhan

paradigma yang bersifat eksploitasi positivistik. Semoga Bermanfaat.

46

dapat

dilacak

paradigma-


Gerakan Sosial-Politik Mahasiswa di Era Postmodernisme Uruqul Nadhif Dzakiy

Abstrak Mahasiswa merupakan entitas masyarakat yang memiliki andil dalam perubahan sosial-politik yang ada di Indonesia. Dalam catatan sejarah, mahasiswa memiliki kontribusi yang besar dalam konflik perpolitikan nasional seperti ikut serta menurunkan rezim Orde Lama dan Orde Baru. Gerakan mahasiswa diidentikkan dengan gerakan sosial-politik elitis yang sasarannya adalah para pejabat tinggi negara. Reformasi 98 membawa arus gelombang baru dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai akibat dari arus informasi yang terbuka luas. Gelombang ini berkembang dan mencapai klimaksnya di dekade awal 2000-an dimana arus postmodernisme mempengaruhi kondisi gerakan mahasiswa di berbagai sisi. Arus inilah yang membuat wajah baru gerakan mahasiswa yang tak lagi sebagai gerakan utopis, elitis, dan ideologis melainkan sebagai gerakan rasional, populis, dan anti-ideologi. Pada makalah ini akan dibahas terkait bagaimana gerakan politik mahasiswa menyikapi arus besar postmodernisme ini. Kata kunci : postmodernisme, gerakan sosial-politik mahasiswa

47


Pendahuluan Mahasiswa merupakan entitas pemuda yang bermukim di lembaga pendidikan tinggi seperti universitas, institut, sekolah tinggi, dan sebagainya. Mahasiswa selain memiliki kegiatan harian sebagai penuntut ilmu (hard skill), mereka juga mengasah softskill-nya selama belajar di kampus. Berorganisasi adalah salah satu bentuk softskill yang digeluti oleh mahasiswa. Melalui organisasi, mahasiswa belajar bagaimana berinteraksi dengan orang lain dan juga belajar tentang masalah sosial dan politik. Melalui wadah organisasi, mahasiswa seringkali membahas terkait berbagai permasalahan mulai dari masalah internal organisasi sampai dengan masalah bangsa. Dari sini, mahasiswa seringkali diasosiasikan dengan agent of social change atau agen perubahan sosial. Pada masa awal republik ini berdiri, mahasiswa seringkali menjadi aktor politik nasional yang diperhitungkan oleh penguasa. Mulai dari aksi penggulingan Soekarno sampai aksi penggulingan Soeharto pada Mei 1998 silam. Mahasiswa menjadi entitas yang dielu-elukan kehadirannya oleh masyarakat. Pada masa tersebut, mahasiswa dan politik ibarat satu ikatan tali yang sukar untuk dilepaskan. Masa reformasi menjadikan arus semakin terbuka di republik ini terutama arus untuk bersuara yang semula dibungkam pada masa orde Baru. Sejak masa ini, keran informasi seolah dibuka secara total dan tak terbendung. Puluhan partai politik dengan aneka ide dan gagasan mengikuti perhalatan akbar Pemilihan Umum (Pemilu). Media-media yang semula ditekan oleh penguasa berlomba-lomba memberikan informasi secara gamblang atas kinerja pemerintah dan juga berbagai kondisi kebangsaan lainnya. Mediamedia massa baru juga bermunculan. Mahasiswa bersorak-sorai karena kini mereka dapat menyuarakan berbagai aspirasinya secara langsung ke

48


pemerintah tanpa harus melewati serangkaian tembakan bayonet, gas air mata, dan sebagainya seperti pada detik-detik reformasi 98 silam. Gelombang arus reformasi menyebar ke berbagai ranah kehidupan masyarakat. Gelombang arus informasi sebagai dampak dari reformasi menjadi semakin tak terbendung sejak internet masuk ke tanah air yang mencapai momentumnya pada tahun 2000-an awal. Ditambah lagi dengan kemudahan

akangadget terutama smartphone yang

memfasilitasi

berbagai

jejaring sosial yang mulai booming di dekade kedua abad ke 21, membuat arus informasi tak hanya hadir dari satu arah (media massa). Kini setiap orang bebas untuk menyampaikan gagasan di media sosial. Tak hanya itu, kualitas liputan jurnalistik yang menurun akibat mengejar rating dan kecepatan dan juga dikuasai oleh segelitir orang yang bermain di dunia perpolitikan nasional, membuat kesahihan liputan informasi menjadi semakin bias. Sumber informasi yang semakin bias dengan sebaran opini pribadi yang semakin meluas secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi dinamikan gerakan mahasiswa. Kini gerakan mahasiswa tak lagi berbicara politik. Gerakan politik mahasiswa hanya tersektor pada tingkat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau Kabinet Keluarga Mahasiswa (KM) yang menjadikannya semakin eksklusif. Gerakan mahasiswa pun menjadi semakin beragam jenisnya mulai dari kesenian, pengabdian masyarakat, dan sebagainya yang lebih memiliki dampak langsung ke masyarakat. Gerakan yang lebih konkret dan jelas hasilnya mendapat respon yang positif di kalangan mahasiswa, sementara gerakan politik yang konseptual ideologis diasosiakan sebagai gerakan wacana yang peminatnya semakin meredup. Gerakan yang dilakukan mahasiswa kini sekedar pragmatis dan tidak memiliki akar pemikiran yang kuat namun itu yang justru digandrungi dan memiliki massa yang banyak. Gelombang informasi seperti yang dijelaskan

49


dimuka tak lain adalah tanda dari arus postmodernisme. Arus inilah yang mempengaruhi wajah gerakan sosial-politik mahasiswa saat ini.

Pertanyaan Riset Makalah ini akan menjawab dua pertanyaan mendasar terkait dengan gerakan sosial-politik mahasiswa di era postmodernisme ; 1. Bagaimana sebaiknya gerakan mahasiswa di era postmodernisme ? 2. Bagaimana mempertahankan idealisme visi-misi gerakan sosial-politik mahasiswa di tengah arus postmodernisme ?

Metodologi Makalah ini menyajikan pembahasan terkait dengan bentuk gerakan mahasiswa yang ada saat ini berdasarkan pengalamatan penulis yang telah berkecimpung di dunia kemahasiswaan selama lebih dari lima tahun sejak 2009 dengan dibenturkan dengan berbagai literatur yang ada terkait dengan konsep postmodernisme. Penulis memakai buku karangan Bambang Sugiharto berjudul Postmodernisme ; Tantangan terhadap Filsafat terbitan PT. Kanisius sebagai referensi utama, ditambah dengan literatur lain yang relevan.

Pembahasan Literatur Istilah "postmodern" muncul pertama kalinya di wilayah seni. Menurut Hassan dan Jencks, istilah itu pertama-tama dipakai oleh Fredico de Onis

50


pada tahun 1930-an dalam karyanya, Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana, untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernisme. Kemudian di bidang histeriografi oleh Toynbee dalam A Study of History (1947). Sebenarnya benih penggunaan positif awalan "post" telah terdapat pada tulisan Leslie Fiedler tahun 1965 ketika ia menggunakannya dalam istilah-istilah macam "post-humanist, post-male, post-white" dsb. Pertengahan tahun 70-an Ilhab Hassan kemudian muncul memproklamirkan diri sebagai pembicara utama postmodernisme dan ia menerapkan label ini pada eksperimentalisme seni dan kecenderungan ultra-teknologi dalam arsitektur. Istilah itu kemudian menjadi lebih populer manakala digunakan oleh para seniman, penulis, dan kritikus macam Rauschenberg dan Cage, Burroughs dan Sontag untuk menunjukkan sebuah gerakan yang menolak modernisme yang mandek dalam birokrasi museum dan akademi. Kemudian Charles Jencks sebagai pembicara utamanya. Lalu juga dalam seni visual, seni pertunjukan, dan musik di tahun 1980-an.[1] Postmodernisme katanya adalah logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya. Ia mengaitkan tahapantahapan modernisme dengan kapitalisme monopoli, sedang postmodernisme dengan kapitalisme pasca Perang Dunia Kedua. Masyarakat postmodernisme ditandai oleh implosi (ledakan ke dalam) alias peleburan segala batas, wilayah dan pembedaan antara budaya tinggi dan budaya rendah, penampilan dan kenyataan, dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini dipelihara terus oleh teori sosial maupun filsafat tradisional. Mengambil Ide Lyotard, postmodernisme itu sepertinya adalah intensifikasi dinamisme, upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan terus-menerus. Lebih lanjut, postmodernisme diartikan sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar ; penolakan

51


filsafat metafisis, filsafat sejarah, dan segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi-seperti Hegelianisme, Liberalisme, Marxisme, atau apa pun.[2] Postmodernisme secara bahasa berasal dari kata "post" yang berarti pasca, setelah, sesudah, dan "modernisme" yang berarti segala hal yang serba saklek, mekanis, dan saintifik. Dari terminologi tersebut, postmodernisme tidak lagi berpijak pada kebenaran mutlak yang menjadi ciri khas pada masa modernisme. Kaum postmodernis menyangkal bahwa modernisme tak lagi relevan dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di kehidupan ini. Mereka pun meninggalkan doktrin modernisme yang serba pasti, sentral, dan prosedural menjadi hal yang sifatnya relatif. Dari sinilah muncul konsep kombinasi berbagai aliran gabungan antara modern dan pra-modern. Sebagai contoh ideologi. Warga negara tak lagi menerima kebenaran tunggal yang menjadi ciri khas politik totalitarian yang memakai ideologi tertentu dalam menjalani roda pemerintahan (politik) suatu negara. Orang cenderung antipati pada ideologi-ideologi besar yang menjadi ciri khas zaman modern seperti kapitalisme dan komunisme. Mereka memandang bahwa ideologiideologi tersebut sudah tidak cocok diterapkan suatu negara. Kini orang cenderung pragmatis dan acuh terhadap gerakan politik ideologis. Bagi mereka tidak penting ideologi apa yang dibawa, melainkan stabilitas ekonomi negara yang lebih penting. Selain di bidang ideologi politik, dunia arsitektur pun tak luput dari arus besar postmodernisme. Para arsitek sudah mulai mendesain bangunan klasik modernis yang desainnya diadopsi pada aliran arsitektur pra-modern dan modern. Banyak kita jumpai bangunan-bangunan dengan gaya arsitek kuno dan klasik namun memiliki fasilitas serba modern. Arus postmodernisme juga merambah ke dunia industri. Dunia industri kini tak sekedar mengejar untung-rugi semata melainkan memberikan perhatian lebih pada lingkungan. Seringkali kita mendengar istilah "green economy", "sustainability", dan 52


konsep-konsep lain sebagai ciri dari gelombang postmodernisme. Dengan kata lain, postmodernisme menjadi gelombang baru di berbagai sendi kehidupan termasuk juga gerakan sosial-politik mahasiswa.

Diskusi dan Analisis Gerakan mahasiswa di awal kemerdekaan hingga akhir 90-an dikenal sebagai gerakan sosial politik yang didalamnya seringkali mengkritisi kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. Gerakan dalam artian tersebut berupa aksi turun ke jalan dengan berbagai tuntutan yang ditujukan untuk penguasa republik. Pada masa ini mahasiswa dicitrakan sebagai entitas yang mewakili suara rakyat Indonesia. Seperti pada gelombang demontrasi besar-besaran untuk menumbangkan rezim Orde Baru, banyak elemen masyarakat mendukung aksi mahasiswa dengan memberikan bantuan logistik dan dukungan moral lainnya. Setelah gelombang reformasi 98, lambat laun gerakan mahasiswa bermetamorfosa menjadi berbagai macam gerakan. Gerakan politik masih ada, namun tak lagi sekuat pra-reformasi. Kalaupun ada gerakan politik, gerakan hanya tersektor dalam lingkaran Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang tak sedikit elemen mahasiswa lain acuh terhadap gerakan ini. Metode gerakan turun ke jalan menjadi satu hal yang semakin tidak populer. Ketidakpopuleran tersebut membuat model gerakan lebih kepada cara-cara pop (kependekan dari populer) yang aman dengan harapan mendapat simpati dari mahasiswa lain secara lebih luas. Kini, seringkali kita dapati gerakan paraf petisi di situs change.org, infografis di berbagai jejaring sosial, #save di twitter, dan berbagaimedium lain yang memiliki tujuan sama dengan metode gerakan klasik seperti demonstasi turun ke jalan yakni turut serta menginginkan perubahan yang lebih baik. 53


Gerakan Konvensional

Gerakan Postmoderninme

Utopis

Rasional

Narasi Besar

Narasi kecil

Elite

Populis

Ideologis

Anti-Ideologis

Konflik

Anti-konflik

Kaku

Fleksibel

Tabel 1 Perbedaan Gerakan Konvensial dan Gerakan Postmodernisme Mahasiswa Gerakan politik yang tidak lagi menjadi sentral menjadikan BEM atau Kabinet Keluarga Mahasiswa tidak lagi menjadi mercusuar gerakan. Mahasiswa bebas untuk membuat dan menentukan jenis dan bentuk gerakan. Bahkan banyak mahasiswa yang menciptakan gerakan kultural yang sama sekali tidak berada di payung universitas seperti halnya himpunan dan unit. Sebagai contoh Rakapare. Organisasi ini ini beranggotakan sekelompok mahasiswa lintas universitas yang memiliki kepedulian untuk menyelesaikan konflik/masalah sosial yang muncul di permukaan. Organisasi yang berdiri di Bandung dengan dikomandoi oleh mahasiswa ITB ini mencoba untuk selesaikan masalah sosial di masyarakat tanpa melalui birokarasi dan audiensi berkelanjutan dengan pemerintah atau bahkan demonstrasi turun ke jalan. Sebagai contoh salah satu programnya yaitu ikut serta bersama petani Karawang

untuk

memperjuangkan

hak

atas

tanah

yang

beralih

kepemilikannya kepada salah satu perusahaan swasta. Para anggota organisasi ini membantu masyarakat dalam merancang strategi agar status kepemilikan tanah tetap ada di pihak petani. Transfer pengetahuan ke petani dan juga perlatihan-perlatihan ke petani dilakukan guna agar petani memiliki bekal yang cukup untuk menyuarakan aspirasinya. Tak hanya itu, mereka 54


menyusun gambaran masalah secara umum kemudian ditarik benang merah yang menjadi akar masalah. Melalui akar masalah ini, solusi digali secara cermat. Biarpun gerakan ini sama sekali tidak berada dibawah atap kampus, gerakan ini berjalan sukses dan mendapat respon positif dari kalangan mahasiswa, terbukti dengan sirkulasi penambahan anggota yang cukup besar.

Gerakan Mahasiswa Konvensional

Arus postmodernisme

Gerakan mahasiswa postmodern

Gerakan mahasiswa postmodern berbasiskan nilai

Gambar 1 : Skema perkembangan gerakan sosial-politik mahasiswa

Selaian berwujud gerakan sosial kemasyarakatan, gerakan mahasiswa lain mewujud dalam gerakan diskusi dan keilmuan dengan kemasan yang berbeda. Sebagai contoh, kolaborasi antarunit pendidikan di ITB yakni Majalah Ganesha-Kelompok Studi Sejarah Ekonomi dan Politik (MG-KSSEP), Institut Sosial Humaniora Tiang Bendera (ISH Tiben), Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK), dan Lingkar Sastra (LS). Unit-unit tersebut menyusun kajian pekanan yang terjadwal dengan tema-tema khusus. Kolaborasi tersebut membuat stigma diskusi dan kajian tidak tersektor pada 55


unit tertentu dan jumlah anggota yang ikut-serta meningkat. Acara-acara masing-masing unit kini tak lagi hanya disokong oleh kekuatan internal unit sendiri, melainkan ada dorongan dan bantuan dari unit-unit lain. Hasil diskusi/kajian pun disebarkan ke khalayak kampus melalui penyajian yang apik seperti halnya infografis, selain berwujud tulisan. Tak hanya itu, karya konkret seperti buku coba ditampilkan dan kemudian disebarkan kepada massa kampus. Mereka tak lagi hanya sekedar kajian/diskusi melainkan fokus pada produk. Contoh lainnya unit Lingkar Sastra (LS). Sebagai unit budaya, LS memainkan peran ganda disamping ikut serta dengan tiga unit lain untuk selenggarakan

diskusi

yang

bertemakan

sastra,

juga

mengadakan

pertunjukan-pertunjukan yang dikemas kekinian. Sebagai contoh salah satu kegiatannya adalah "Metamorfosa" yakni sebuah pertujukan puisi yang dilakukan di hari Valentine. Acaranya tak lagi esklusif di tempat tertutup, melainkan coba dihadirkan dilingkungan terbuka. Saat itu diadakan di teras CC Barat ITB tepat di didepan jalan tangga kawasan padat lalu lintas mahasiswa keluar-masuk kampus ITB. Acara ini juga sebagai saingan acara nonton bareng film spesial Valentine yang diputar oleh Liga Film Mahasiswa (LFM) ITB yang diadakan di lapangan cinta depan CC Timur ITB. Dari sini terlihat bahwa pola gerakan yang dilakukan oleh unit LS ini tak hanya fokus pada mereka para penikmat sastra khususnya puisi, melainkan difokuskan pada khalayak umum yang awam pada puisi. Pola gerakan semacam ini merupakan gejala postmodernisme. Di era postmodernisme ini, gerakan politik mahasiswa konvensional perlahan-lahan akan dijauhi. Mereka yang dipandang sebagai aktivis mahasiswa tak lagi sekedar mereka yang gemar demonstrasi, aktif diskusi membahas karya-karya Marx, dan nongkrong di kampus sampai larut malam dengan ditemani kopi dan rokok, namun mereka yang memiliki aliran 56


gerakan lain yang cenderung lebih santai, fleksibel, dan bersifat lokal dapat dimaknai sebagai aktivis. Gerakan-gerakan yang digandrungi merupakan gerakan non-ideologis dan mampu memberikan inspirasi. Dua hal inilah yang menjadi ciri dari postmodernisme. Oleh karenanya gerakan politik yang masih berorientasi dengan romantika masa lalu seperti halnya reformasi 98 akan ditinggalkan para pengikutnya. Gerakan politik harus mampu menyadari arus besar postmodernisme ini. Gerakan politik harus menyesuaikan dengan arus besar postmodernisme dengan membumikan gerakannya ke grass-root dengan memakai metodemetode yang biasa dilakukan oleh gerakan mahasiswa postmodernisme seperti halnya terbuka terhadap semua aliran pemikiran (inklusif), mengemas penyampaian

ke

publik

dengan

menggunakan

media

yang

sedang hits dikalangan anak muda seperti halnya jejaring sosial, infografis, dan sebagainya, dan meramu strategi gerakan yang lebih dapat berdampak langsung kepada masyarakat. Memang seringkali terjadi distorsi dikarenakan gerakan politik memiliki misi tertentu yang sifatnya perubahan sosial, namun dengan mengabaikan arus postmodernisme dan mempertahan gerakan politik konvensional akan membuat perubahan yang diinginkan menjadi seolah sia-sia. Mengikuti arus postmoderisme tidak berarti pragmatis dengan melupakan idealisme visi-misi semula yang dibawa, melainkan bagaimana mengejahwantahkan

visi-misi

menjadi

tindakan

yang

diterima

oleh

masyarakat luas dan berdampak secara langsung. Arus postmodernisme merupakan tanda zaman sebagai respon dari arus modernisme yang telah berkembang sejak sekian lama. Mempertahankan arus modernisme dalam gerakan politik seolah mempertahankan status quo dimana ini menyalahi prinsip perubahan yang sedang gendang ditiupkan. Kini tinggal bagaimana caranya meramu arus postmodernisme yang serba fleksibel, tidak jelas arah, dan terkadang dangkal secara konten/nilai menjadi 57


arus

postmodernisme

berbasiskan

nilai.

Mungkin

dengan

ini

akan

memunculkan aliran baru yakni postmodernisme berbasis nilai. Gerakan politik mahasiswa memiliki kans besar untuk melakukan hal tersebut.

Kesimpulan Arus besar gelombang postmodernisme mempengaruhi dinamika gerakan politik mahasiswa. Gerakan mahasiswa di masa awal kemerdekaan hingga akhir orde baru ditandai dengan gerakan yang berbasis politik yang kaku, ideologis, dan eksklusif. Reformasi 98 membuka wajah baru gerakan mahasiswa dan menemui puncaknya di dekade awal 2000-an dimana gelombang postmodernisme mulai mempengaruhi arah gerak mahasiswa. Akibatnya gerakan mahasiswa tak sekedar turun ke jalan menuntut banyak hal ke pemerintah, melainkan muncul gerakan-gerakan baru yang inklusif dengan

marketisasi

yang

dikemas

secara

apik.

Itulah

gerakan

postmodernisme dan dari situ seorang aktivis tak lagi sekedar mereka yang sibuk berdiskusi permasalahan politik bangsa hingga larut malam serta gemar demonstrasi turun ke jalan. Gerakan

politik

mahasiswa

harus

menyadari

betul

arus

besar

postmodernisme dengan tak lagi beromantika dengan gerakan politik pada pendahulu seperti gerakan politik menurunkan rezim Soeharto pada tahun 98 silam. Di masa postmodernisme ini tak ada lagi musuh tunggal. Gerakan ini lebih bersifat lokal dan jelas arah/capaiannya (rasionalis, tidak utopis). Sangat mustahil untuk membuat arus tandingan, maka gerakan politik mahasiswa harus menyesuaikan. Nilai yang diperjuangkan gerakan politik mahasiswa harus terus dipertahankan namun dalam mengaplikasikan gerakan harus luwes dengan mengikuti arus postmodernisme. Gerakan politik mahasiswa harus inklusif dan mengarah ke grass-root, mahasiswa dan masyarakat secara 58


luas. Dengan mengadopsi aliran postmodernisme dan mempertahankan nilai visi-misi yang dibawa, gerakan sosial-politik mahasiswa menjadi gerakan postmodernisme yang berbasiskan nilai. Dengan demikian diharapkan nilainilai yang diperjuangkan dapat diterima oleh khalayak yang lebih luas.

Daftar Pustaka Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Pustaka Filsafat Penerbit PT. Kanisius, cetakan ke-9, 2014

[1] Sugiharto, I. Bambang, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Pustaka Filsafat Penerbit PT. Kanisius, cetakan ke-9, 2014 [2] Sugiharto, I. Bambang, ibid

59


2014: Pemilu, Pencitraan, dan Post-Modernisme Anton Kurniawan

(Tulisan ini ditulis pada 4 Januari 2014. Walaupun sudah lama, isinya tetap bermakna) Memasuki tahun 2014, persiapan pertandingan politik lewat Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia semakin gencar dilakukan. Berbagai pihak, entah itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak yang mempunyai hajat hingga partai politik termasuk di dalamnya calon legislatif melakukan jurus-jurus untuk meraih simpati publik. Bagi mereka, seolah tidak ada kesempatan kedua, sekarang waktunya, tidak ada kesempatan lain. Buat kontestan yang memiliki kantong tebal, pemasangan iklan jelas bukan masalah besar. Hanya saja, menjadi problema bagi kontestan berdana paspasan. Jangankan iklan, pemasangan baliho atau spanduk saja sudah membuat dompet kian menipis. Namun, semua tetap dilakukan. Mutlaklah pepatah: “Tak kenal maka tak sayang�. Berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan elektabilitas diri maupun partai. Bakti sosial lebih sering ditemui, perbaikan jalan kampung, kerja bakti pembenahan saluran drainase,

60


hingga yang paling primitif, panggung kesenian diselingi dengan kocokan hadiah juga mewarnai langkah-langkah jelang 9 April 2014. Semua itu wajar, pengorbanan maksimal biasanya selaras dengan hasil optimal. Hanya perlu diingat, masyarakat Indonesia semakin cerdas akhirakhir ini. Pengalaman “ditipu� pada 1999, 2004, dan 2009, membuat mereka semakin hati-hati dalam memilih. Lebih lanjut, sebagian yang merasa ditipu maksimal cenderung pasif, ogah memilih lagi karena merasa hidup tetap akan sama, siapapun yang mewakili aspirasi mereka. Terjadilah pergulatan sengit untuk memenangkan hati rakyat seperti ini. Kontestan berlomba dengan gaya masing-masing agar jangan sampai suara potensial hanya menjadi kertas kosong tanpa coblosan. Masyarakat Indonesia memang masih dikenal sebagai masyarakat yang sangat terpengaruh dengan pemberitaan media, baik media massa berupa cetak maupun elektronik ataupun media sosial yang menjadi candu zaman ini. Masyarakat seolah dapat melupakan dosa-dosa manusia di masa lalu dengan citra yang baik di media. Sebaliknya, masyarakat bisa mengutuk habis-habisan seseorang yang menjadi si jahat di media tanpa mengetahui duduk perkara sebenarnya.

Pencitraan, Solusi Jitu Masyarakat Telenovela Telenovela, drama yang pernah meledak di Indonesia era 2000-an merupakan representasi masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia menggemari tayangan ini bukan tanpa alasan. Masyarakat yang waktu itu menonton, merasa punya keterkaitan dengan bintang telenovela. Masalah kompleks, entah percintaan beda kasta, ekonomi, dan konflik dengan orang tua seolah mengajak penonton ikut hidup di dalamnya. Pemirsa diundang

61


untuk berjuang bersama tokoh, menonton dari perspektif berbeda perjuangan hidup masing-masing yang kala itu masih dibayangi krisis moneter 1998. Faktor wajah menawan dari bintang kian menarik mata yang dahulu jenuh dengan percaturan politik di Senayan dan Istana Negara untuk menikmati telenovela. Tahun 2014 yang dikenal juga sebagai tahun kuda kayu dalam hitunghitungan fengshui China ternyata menunjukkan fenomena masyarakat telenovela kembali. Berbagai survei yang digelar oleh lembaga independen menampilkan hasil mengejutkan. Tokoh-tokoh lama dalam perpolitikan Indonesia digeser oleh satu sosok yang seperti datang dari langit, Joko Widodo ‘Jokowi’. Gubernur DKI Jakarta yang sebenarnya tidak memilii perawakan pemimpin, entah bagaimana mampu meraih simpati masyarakat. Masyarakat ibukota yang sudah gerah dengan tiga masalah krusial namun abadi, yakni banjir, kemacetan, dan tata kota seolah mempunyai harapan baru. Tokoh-tokoh lama, seperti Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto, Jusuf Kalla, hingga empunya partai Jokowi, Megawati Soekarnoputri dilangkahi oleh pria asal Solo ini. Pemberitaan luar biasa dari media semakin menambah kesan baik dalam diri eks Walikota Solo tersebut. Bayangkan saja, apabila kita yang merasakan kekecewaan saat banjir lalu melihat pemimpin kita ikut jalan kaki, melepas atribut mewah dan protokoler sambil mencoba menghibur kita di dinginnya genangan air. Walaupun tidak memberi dampak apa-apa waktu itu, seolah ada harapan tumbuh. Pemimpin gue banget tampak dalam diri Jokowi. Masyarakat akar rumput yang telah muak dengan birokrasi berbelit seperti memiliki napas kedua untuk percaya dengan pemerintah. Apabila Jokowi maju dalam pemilihan presiden sebagai calon presiden, tampaknya kemenangan mutlak akan diraih. Namun, diamnya Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) patut ditunggu. Beranikah ia membiarkan sekaligus merelakan seseorang yang

62


tidak bertrah Soekarno untuk menasbihkan diri sebagai presiden di negeri yang dimerdekakan oleh ayahnya? Lantas, kemana saja tokoh-tokoh lama bangsa? Aburizal Bakrie yang telah dibaptiskan menjadi calon presiden Partai Golongan Karya seperti terhambat dengan citranya sebagai pengusaha yang turut bertanggungjawab dengan kasus lumpur Lapindo Brantas. Ada anekdot dimana sampai lumpur terus mengalir, maka ARB, inisial baru Aburizal Bakrie, tetap akan tenggelam dalam lumpur kekalahan. Prabowo Subianto, masih dikejar masyarakat soal kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Timor-Timur (Timor Leste saat ini). Untung saja, partai Gerindra yang ia arsiteki memberi gambaran jelas mengenai visi ke depan: Indonesia Macan Asia. Masyarakat yang rindu kemandirian ekonomi dan kebanggaan berbangsa cenderung memilih Prabowo apabila Jokowi tidak maju menjadi calon presiden pada April mendatang. Jusuf Kalla, sosok yang pernah menjadi wakil presiden Republik Indonesia seperti sudah kehilangan momentum. Dalam survei, namanya selalu muncul ke permukaan, namun, peran guru bangsa seperti sudah melekat kepadanya. Akan tetapi, dalam politik, yang pasti adalah ketidakpastian. Kita tunggu saja, bukan tidak mungkin Partai Demokrat yang sudah berdarah-darah akibat dikerjai kadernya sendiri dalam kasus korupsi menjadi kendaraan Jusuf Kalla. Masyarakat telenovela sebenarnya tidak ingin macam-macam. Harga pangan terjangkau, biaya kesehatan dan pendidikan yang masuk akal, dan ketersediaan sumber daya macam Bahan Bakar Minyak (BBM), listrik, dan air secara konsisten sudah menyenangkan. Masyarakat telenovela tidak peduli angka pertumbuhan ekonomi Indonesia. Yang mereka peduli, lebih soal negara tidak menambah repot kehidupan mereka yang sudah dipusingkan dengan konflik di dalam rumah tangga, maupun masalah klasik seperti telenovela. 63


Memasuki tahun 2014, pembangunan citra akan menjadi hal yang digembor-gemborkan tiap kontestan. Masyarakat Indonesia harus benarbenar hati-hati dengan yang satu ini. Memperhatikan dengan seksama, apakah calon atau pemimpin benar-benar tulus untuk bekerja buat rakyat atau dirinya sendiri menjadi obat penangkal pencitraan semu. Jangan sampai, kita tertipu lagi seperti yang sudah-sudah. Apakah baik benar-benar baik atau justru menutup borok-borok masa lalu? Apakah sungguh tulus ataukah hanya ingin mengembalikan fulus ke kantong mereka? Media juga, jangan dilupakan, berada di pihak mana mereka saat ini? Siapa pemiliknya dan apa kepentingannya? Masyarakat telenovela biasanya sudah tahu jawabannya hanya belum mau menjawabnya. Nanti saja, di surat suara tanggal 9 April 2014!

Selamat Datang Post-modernisme! Post-modernisme tampaknya sudah merasuki bangsa Indonesia di 2014. Post-modernisme sendiri merupakan tahap dinamika kehidupan setelah era modernisme. Modernisme ditandai dengan penggunaan teknologi informasi menggeser tradisionalisme yang selama ini melekat. Post-modernisme adalah sebuah antitesis dari kegerahan modernisme. Post-modernisme dapat diklasifikasi menjadi tiga ciri, yaitu dekonstruksi, simulasi, dan hiper-realitas. Pertama, dekonstruksi dimaknai sebagai pembangunan kembali makna dari sesuatu. Sebagai contoh, latar belakang seperti suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) seperti tidak terlalu penting saat ini. Semakin banyak di Indonesia pernikahan antaragama, antarsuku, hingga antarbangsa. Batasbatas kedaerahan semakin pudar, bahkan hilang di kota-kota metropolitan. Faktor seperti itu dianggap tidak terlalu penting. Mulai timbul kenyamanan melihat manusia sebagai manusia tanpa vonis alami dari Tuhan seperti warna

64


kulit dan suku. Kalaupun ada gesekan horizontal akibat agama, itu lebih banyak dihasilkan dari pertikaian individu yang kebetulan beda agama lalu merambat seolah ada pertentangan antaragama. Dewasa ini, Indonesia juga semakin akrab dengan hal-hal yang dahulu tabu, seperti seks dan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Film yang ada di bioskop dan pasaran semakin vulgar, kasus pelecehan kian menjadi-jadi, dan mulai ada suara untuk mengesahkan pernikahan homogen alias sesama jenis. Dalam hal ini, agama menjadi benteng terakhir. Secara manusia, memang tidak ada yang salah dengan percintaan sesama laki-laki atau perempuan. Namun, secara agama, Indonesia masih cukup kolot dengan belum melegalkan pernikahan sesama jenis. Kasus transgender yang dulu selalu mengundang perhatian pun kini biasa saja terjadi. Memang, masih ada sentimen miring terhadap pelaku, namun permisifnya masyarakat telenovela memungkinkan hal itu. Kontestan dalam Pemilu 2014 ini harus hati-hati benar dalam menghadapi hal ini. Kedua, simulasi semakin gencar terjadi di Indonesia. Masyarakat ingin mudah, praktis, dan tidak repot-repot. Fenomena teknologi informasi menjadi idola saat ini. Media sosial memakan sebagian waktu kita yang biasa digunakan untuk perbincangan tatap muka. Lebih muda memakai Global Positioning System (GPS) saat ini dibandingkan bertanya dengan mulut untuk mencari alamat. Fenomena permainan di dalam komputer dan tablet juga menggandrungi anak-anak. Permainan yang mengandalkan fisik semakin dipinggirkan terutama bagi anak-anak di kota besar. Seolah ada kebanggaan apabila berjaya di dunia simulasi walaupun dalam kehidupan nyata melempem.

65


Dikaitkan dengan politik 2014, calon pemimpin potensial seperti Anies Baswedan, Dahlan Iskan, dan Gita Wirjawan masuk dalam bagian ini. Anies Baswedan, sosok intelektual yang merupakan rektor Universitas Paramadina tampil meraih simpati masyarakat lewat tajuk klasik “Melunasi Janji Kemerdekaan”. Jawaban-jawaban cerdas dalam setiap forum, termasuk mengapa mau ikut konvensi Partai Demokrat memukau banyak pihak. Salah satu rekam jejak paling baik yang ia torehkan adalah program “Indonesia Mengajar”, program untuk mengirimkan mahasiswa ke pelosok daerah untuk berbagi kecerdasan dengan anak-anak yang masih tertinggal. Selain itu, aksi #turuntangan cukup meraih simpati publik di media sosial. Sebuah ungkapan menarik pernah ia lontarkan, “Bila yang baik berdiam diri saja, maka sama saja membiarkan yang jahat duduk di kursi kekuasaan”. Dahlan Iskan, sosok menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini meraih simpati publik lewat aksi yang cenderung nekat. Ia mengganti direksi BUMN yang dianggap kurang kompeten, mendukung program mobil nasional, sekaligus tampil dengan tampilan sederhana, yakni kemeja putih dan sepatu kets. Beberapa mungkin masih ingat, saat ia menggeser portal di gerbang tol di Jakarta. Kala itu, semua gempar. Maklum saja, masyarakat telenovela biasanya alergi dengan hal semacam itu. Namun, dengan aksi sederhana itu, terlihat perbedaan. Mulai ada perbaikan di sistem pembayaran jalan tol. Citra positifnya ditambah dengan iklan obat masuk angin yang ia bintangi. Ia cenderung kandidat calon presiden alternatif yang biaya kampanyenya dibantu oleh produk, salah satu efek post-modernisme. Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Gita Wirjawan juga bermain di lapangan yang sama dengan Anies Baswedan dan Dahlan Iskan. Sosok muda, tampan, dan intelektual menjadi idola masyarakat. Jawaban cerdas serta kemampuannya dalam bermain musik menambah baik penilaiannya. Dalam konvensi Demokrat, ia menjadi sosok yang diunggulkan. Maklum saja, 66


Susilo Bambang Yudhoyono, presiden RI sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat saat ini, sudah tidak dapat maju dan memilih jalan paling aman untuk mengerek kembali popularitas Partai Demokrat yang telah tiarap. Kemungkinan besar, ia memilih Gita Wirjawan, sosok muda untuk maju menjadi citra Partai Demokrat bagi masyarakat. Wibawa yang ia miliki kirakira hampir sama dengan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004. Ketiga nama yang disebut memang berlomba dalam konvensi calon presiden Partai Demokrat. Bukan masalah apabila mereka gagal, namun ada sebuah fenomena baik dimana pemimpin sungguh datang dari masyarakat. Yang menjadi pertanyaan, apakah itu cukup untuk menutup kebobrokan Partai Demokrat akibat dibunuh kadernya sendiri? Apakah pemenang konvensi Demokrat ini cukup tangguh menghadapi Jokowi dan Prabowo Subianto, dua sosok paling populer saat ini? Waktu akan menjawab. Hiper-realitas menjadi ciri terakhir post-modernisme di Indonesia. Ada pelebih-lebihan dalam berbagai peristiwa akhir-akhir ini. Media jelas menjadi motor terbesar. Masyarakat disuguhkan oleh berita-berita keras seperti korupsi, terorisme, dan narkotika. Ketika ada berita baik, masyarakat heboh, gempar dan senang, walaupun berlebihan. Fenomena ini tampak saat Tim Nasional Sepakbola U-19 berhasil juara Piala AFF di Jawa Timur pada 2013 kemarin. Kehebohan dimana-mana terjadi. Selain karena kerinduan juara, memang ada harapan baru di tengah kemerosotan prestasi Indonesia di dunia. Tanggapan sensasional terjadi lagi saat Evan Dimas dkk. sukses menekuk Korea Selatan. Indonesia seperti sudah juara dunia waktu itu. Padahal jalan masih panjang. Belum ada gangguan dunia hiburan dan pesan politik yang sudah-sudah, semoga juga tidak. Hal-hal mendasar seperti ideologi tidak terlalu penting saat ini. Yang dinilai sungguh hanya individu. Ada fenomena melebih-lebihkan dari masyarakat yang sudah terlanjur rindu kemajuan. Partai sesungguhnya 67


menjadi nasionalis murni, hanya figur yang membedakan. Kalaupun ada pemilih setia, itu dapat disebabkan latar belakang dan lingkungan yang mendukung. Maka dari itu, gagasan Soekarno dapat muncul kembali ke permukaan dalam perpolitikan Indonesia di masa mendatang. Indonesia niscaya akan maju apabila memiliki satu partai saja, partai nasional. Orangorang terbaik dari berbagai golongan, faksi, dan ideologi bergabung dalam satu partai, tidak terpisah seperti saat ini. Meskipun gagasan ini dianggap kuno, dengan kondisi hiper-realitas saat ini justru dapat terjadi. Tidak akan ada persaingan kekuasaan untuk tokoh-tokoh potensial melainkan saling mendukung untuk negara ini. Tidak ada lawan politik, yang ada hanya kawan politik. Gagasan ini sangat mungkin terjadi apabila Pemilihan Umum 2014 gagal melahirkan pemimpin yang merepresentasikan kebutuhan rakyat. Ide ini dapat pula terjadi saat pencitraan semakin menjengkelkan, semua memakai topeng dan tidak tampil apa adanya. Masyarakat Indonesia benar-benar dalam kegentingan politik pada 2014. Barangsiapa dapat menunjukkan citra positif dan tanggap dalam fenomena post-modernisme akan memenangkan hati rakyat. “Sajak Sebatang Lisong� karya almarhum W.S. Rendra yang dibacakan di Institut Teknologi Bandung pada 19 Agustus 1977 akan menutup tulisan ini. --------------------------------------Sajak Sebatang Lisong

Menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya, mendengar 130 juta rakyat,

68


dan di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka

Matahari terbit. Fajar tiba. Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan.

Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet, dan papantulis-papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Delapan juta kanak-kanak menghadapi satu jalan panjang, tanpa pilihan, tanpa pepohonan, tanpa dangau persinggahan, 69


tanpa ada bayangan ujungnya. …………………

Menghisap udara yang disemprot deodorant, aku melihat sarjana-sarjana menganggur berpeluh di jalan raya; aku melihat wanita bunting antri uang pensiun.

Dan di langit; para tekhnokrat berkata :

bahwa bangsa kita adalah malas, bahwa bangsa mesti dibangun; mesti di-up-grade disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung-gunung menjulang. Langit pesta warna di dalam senjakala 70


Dan aku melihat protes-protes yang terpendam, terhimpit di bawah tilam.

Aku bertanya, tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair-penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki dewi kesenian.

Bunga-bunga bangsa tahun depan berkunang-kunang pandang matanya, di bawah iklan berlampu neon, Berjuta-juta harapan ibu dan bapak menjadi gemalau suara yang kacau, menjadi karang di bawah muka samodra. ………………

71


Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing. Diktat-diktat hanya boleh memberi metode, tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan. Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan yang nyata.

Inilah sajakku Pamplet masa darurat. Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan.

19 Agustus 1977 ITB Bandung Potret Pembangunan dalam Puisi

72


Kesempurnaan adalah Utopia Kurnia Sandi Girsang

Dalam keilmuan teknik industri, efisien berkaitan erat dengan variabel input pada suatu sistem. Misal, suatu sistem produksi massal mobil memiliki variabel input raw material berupa besi. Sistem tersebut dapat dikatakan efisien jika jumlah besi yang digunakan optimum, atau biasanya dengan parameter minimasi jumlah besi. Selain keefisienan, suatu sistem juga memiliki aspek lain yang dikenal dengan keefektifan. Konsep keefisienan selalu berkaitan dengan konsep keefektifan, kedua hal tersebut sulit untuk dipisahkan satu dengan lainnya. Jika keefisienan membicarakan tentang variabel input, keefektifan membahas tentang variabel output dari suatu sistem. Analoginya seperti ini, masih menggunakan contoh dalam sistem manufaktur mobil. Misal, suatu sistem produksi massal mobil memiliki variabel output berupa jumlah mobil yang dapat dihasilkan pada suatu kurun waktu tertentu. Sistem tersebut dapat dikatakan efektif jika dengan berbagai variabel produksi yang ada, nilai output dari produksi mobil dapat meningkat. Kedua konsep tersebut bagai dua mata koin yang tidak dipisahkan, atau dalam bahasa ekonominya konsep ini dikenal melalui prinsip: dengan usaha yang sekecil-kecilnya untuk untung yang sebesar-besarnya. ‘Usaha yang sekecil-kecilnya’ di sini adalah tentang keefisienan sebab hal tersebut merupakan variabel input, sedang ‘untung yang sebesar-besarnya’ tentang variabel output yang identik dengan keefektifan. .

.

.

73


Menurut saya, kesempurnaan adalah hal yang sangat relatif sebab sangat bergantung dari cara pandang seseorang terhadap sesuatu. Saya membagi kesempurnaan menjadi dua aspek berdasarkan pada asal dan tujuannya: Kesempurnaan dari Tuhan dan Kesempurnaan dari Manusia. Saya membagi menjadi dua aspek sebab seringkali dalam perilaku di kehidupan sehari-hari orang mencampuradukkan antara dua perspektif yang berbeda tersebut. Misal, saya berbicara kepada si A tentang kesempurnaan. Tentu sejak awal kami berdua harus menyamakan persepsi tentang kesempurnaan apa yang kita maksud. Jika itu kesempurnaan dari manusia, berarti yang kita bicarakan adalah tentang suatu utopia yang terus diperjuangkan

untuk

dicapai

yang

berimplikasi

pada

pemakluman-

pemakluman pada hal-hal yang diluar dari control kita. Kesempurnaan dari manusia di dunia sains dikenal dengan istilah ‘pendekatan’ atau ‘faktor koreksi’. Semua persamaan saintifik di dunia ini adalah pendekatan yang dibuat oleh para ahli, tidak ada satupun yang benarbenar sempurna. Untuk itulah dalam beberapa persamaan digunakan faktor koreksi. Nah, jika pandangan ini tidak menjadi dasar pikiran memandang suatu kesempurnaan, tentu akan banyak sekali variabel ‘tidak penting’ yang dimasukkan untuk mencapai definisi kesempurnaan tersebut. Contohnya begini, kita awali dari pertanyaan kenapa suatu rumah tidak bisa bertahan dari gempa? Rumah tersebut tidak bisa bertahan dari gempa sebab fondasinya tidak kokoh dan bahan baku semen yang digunakan bermutu jelek, hal itu karena orang tersebut memiliki kondisi finansial yang buruk, hal itu karena cara bersikap ia di dunia kerjanya tidak bagus, hal itu karena istrinya yang sedang hamil terlalu banyak menuntut, hal itu karena kantor tidak memberikan tunjangan kehamilan untuk keluarga, hal itu karena keuangan perusahaan tersebut tidak dalam kondisi baik, hal itu karena 74


negara mempunyai kebijakan pajak tinggi, hal itu karena‌.. dan seterusnya. Jika tidak dihentikan, alasan-alasan terhadap penyebab ‘rumah yang tidak tahan gempa’ akan tidak berhingga, begini ilustrasi dalam gambar:

Gambar: Kesempurnaan dari Tuhan Kepala dari bagan di gambar tersebut adalah suatu kejadian, sedangkan lingkaran yang mengikuti di belakangnya adalah penyebab dari berbagai variabel atau disiplin ilmu tertentu. Pencampuradukan antara dua sudut pandang kesempurnaan ini menurut saya dalam filsafat dikenal dengan fenomena gejala postmodernis dan poststrukturalis. Gejala tersebut dapat dilihat dari manusia sekarang yang memandang suatu kebijakan dari luar batasan sistem yang dapat dikontrol oleh manusia lainnya (ia menggunakan sudut pandang kesempurnaan Tuhan). Menyikapi fenomena tersebut seharusnya orang lain paham bahwa tidak mungkin suatu hal dapat sempurna tepat seratus persen. Contoh, Bu Risma walikota Surabaya menutup komplek lokalisasi Gang Dolly tentu dengan batasan sistem kesempurnaan tertentu yang dalam hal adalah aspek moralitas warga Surabaya. Di sisi lain ada pihak-pihak tertentu

75


yang menggunakan retorika dari sudut pandang kesempurnaan lain yang menuntut bahwa kebijakan walikota Surabaya tersebut dapat mengakibatkan masalah perekonomian. Inilah fenomena kesempurnaan manusia di jaman pasca rasionalitas saat ini, ini adalah bahasa lain dari gejala postmodernisme dan poststrukturalis. Ini merupakan konsep yang sangat absurd, jika suatu koloni masyarakat telah menggunakan pandangan postmodernisme, menurut saya hal tersebut akan berbahaya pada tatanan kebenaran/kebaikan dari masyarakat tersebut. Akhirnya akan timbul istilah ‘terserah melakukan apa asal jangan mengganggu ketenangan orang lain’. Hal ini jelas bebas nilai. Hasilnya bisa dilihat dari kebijakan Mahkamah Agung AS yang melegalkan LGBT. Fenomena

kesempurnaan

Tuhan

yang

dilihat

dari

kacamata

kesempurnaan manusia ini, atau menurut saya bahasa lainnya adalah postmodernisme, sangat di tentang dalam kehidupan ilmiah di kota Manchester, Inggris. Menurut saya hal tersebut bagus, artinya mereka masih memiliki nilai yang diperjuangkan sebagai seorang ilmuwan. Salah satu tokoh terkenal yang membenci konsep ‘bebas nilai’ ini adalah Noam Chomsky. Untuk contoh kasus kebijakan penutupan lokalisasi Gang Dolly, sungguh sangat berbahaya jika prinsip ‘kebebasan nilai’ dijunjung. Artinya tidak ada satu sudut pandang kesempurnaan apapun yang dapat melukai sudut pandang kesempurnaan lainnya. Tidak ada urgensi dari suatu hal dibanding dengan hal-hal lainnya. Dalam kasus tersebut urgensi yang diperjuangkan Bu Risma adalah moralitas, bukan urgensi lain semisal perekonomian yang menjadi diksi pihak lain untuk menolak. Jika bebas nilai, Gang Dolly akan terus jalan, perekonomian jalan, moralitas juga jalan tetapi di tempat lain. Lalu, sebuah pertanyaan pun timbul, dimanakah letak kepedulian jika sudah sampai ke hal tersebut? 76


Pencampuradukkan antara kesempurnaan dari Tuhan dan dari manusia akan berimplikasi pada kebebasan nilai. Atau mungkin agar tidak tercampur aduk, bisa digunakan definisi absolut: kesempurnaan hanya ada pada Tuhan. Oleh karena itu, menurut saya kesempurnaan adalah utopia yang terus diperjuangkan oleh manusia. Definisi kesempurnaan tersebut akan membawa kita pada pemakluman untuk menyisihkan variabel lain yang tidak sesuai dengan nilai apa yang sedang diperjuangkan. Proses pemilahan atau eliminasi dan verifikasi variabel-variabel yang dikira lebih diprioritaskan dalam bahasa lain dikenal dengan keefisienan (dan pasti akan berdampak pada keefektifan sebab output biasanya adalah tujuan dari melakukan perubahan). .

.

.

Kesempurnaan seperti apa yang akan diperjuangkan untuk diraih? Jawaban dari pertanyaan ini berbeda-beda tergantung dari konteks situasi dan urgensi saat itu. Tentu berbeda antara tujuan kesempurnaan dari si A dan si B. Kesempurnaan menurut si A adalah IPK tinggi, sedangkan kesempurnaan menurut si B adalah pengalaman organisasi. Setelah didapatkan maksud dari kesempurnaan apa yang akan diperjuangkan, tahap selanjutnya adalah proses menuju hal tersebut yang kaitannya dengan keefektifan dan keefisienan. Dalam memilih variabel efektif tak bisa dipungkiri seseorang akan mengeliminasi hal-hal lain yang tidak sesuai untuk diperjuangkan. Misal, si A pingin IPK tinggi. Variabel input adalah banyak belajar. Bukan malah PDKT sebab ini adalah variabel input untuk jodoh.

77


Referensi Hasil wawancara dengan Muhammad Elvandi, mahasiswa jurusan Filsafat di University of Manchester Bahagia, Senator Nur. Pengantar Teknik Industri. Penerbit ITB Chomsky, Noam. How The World Works. Penerbit Bentang Sarup, Madan. Pengantar Postmodernisme dan Postrukturalis. Penerbit Kanisius

78


Semoga konsistensi ini tak pernah terhenti! Karena hanya mati yang dapat menghentikan kami Salam Pembebasan

79


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.