ITB Nyastra #4

Page 1

1

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


ITB Nyastra #4 Tim Publikasi Lingkar Sastra Sampul: Ikhsan S. Hadi Penyunting: Dodo Suratman Publikasi Sunkencourt Copyleft 2016 https://lingkarsastraitb.wordpress.com http://itbnyastra.zine.or.id

2

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


ASAM

ANG- IN

sayang?... sayang? sayang! sayang...

AHOOOO......I Saya.......NG

sayang... sayang sayang sayang sama sayang sayang sayang gak sama sayang?

dimanakah dikau sekarang disini aku mengerang dan hanya mengarang dan merindukan sayang tak ada yang boleh melarang meski itu ayahmu seorang meskipun itu ibu tersayang aku disini menyarang dibawah awang-awang yang hanya dalam kenang dan ingin terbang walau itu ke jurang

sayang... sayang sangat sayang sama sayang sayang sayang gak sama sayang? sayang... kalo sayang gak sayang sama sayang gimana sayang mau sayang sama sayang? sayang... kalo sayang sayang sama sayang sayang mau sayang sama sayang?

...

... AHOOOO......I Saya.......NG ... kaulah yang aku pikirin seperti sebuah lilin yang takut dingin karena aku ingin berdua di pohon beringin walau kau tak yakin aku pasti ingin walau kau tolakin aku tetap ingin kalau kau di palakin akan ku pukulin yang malakin

(A.R.PRANANTA)

3

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


JALANAN MALAM KETIKA HUJAN (Annisaa Nurfitriyana)

Pernahkah kita menyadari bagaimana jalanan di malam hari ketika hujan turun? Begitu berwarna memantulkan cahaya Pantulan cahaya lampu mobil, lampu jalanan, ataupun lampu stopan Begitu indahnya warna yang dipancarkannya Keindahan yang tidak bisa disadari ketika hidup hanya mengeluhkan mengapa malam yang dingin harus diiringi dengan hujan yang lebat pula Keindahan yang mungkin hanya bisa dirasakan bila kita merasakan semua yang indera kita rasakan dengan perlahan… Atau mungkin melayangkan semua kepenatan yang didapati disepanjang siang, di jalanan menuju pulang, sembari menghembuskan nafas perlahan… fiuh… haaah… … Jalanan di malam hari ketika hujan turun memang selalu menarik Warnanya yang beragam mampu hadir sebagai aksen ditengah gelapnya langit malam tak berbintang Mungkin bila Bumi kita lihat dari luar angkasa, sepertinya kita akan melihat sisi yang terbasahi air hujan, berpendar seperti safir atau semacamnya…

4

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


… Tuhan mungkin menyembunyikan bintang-bintang di malam hari ketika hujan Namun Tuhan menggantinya dengan pantulan cahaya indah warna-warni ciptaan manusia Aku rasa Tuhan adil dengan memberikan porsi kepada cahaya ciptaan manusia Tuhan juga pasti ingin mengingatkan kita akan bentuk syukur yang paling sederhana Bahwa kita pasti tak akan bisa menikmati nikmat tersebut tanpa indera ciptaan-Nya … Tak hanya itu, hujan di jalanan malam hari juga telah memberikan berbagai macam makna Diantaranya tentang rasa yang kita rasakan Hawa sejuk nan syahdu membuat orang-orang terbuai dengan kesejukannya Membuat para pekerja keras sejenak merenung… Kemudian menyadari, mungkin hari ini aku perlu beristirahat… Mungkin saja tukang kue balok yang selalu ramai pengunjung menjadi berfikir, “Hmm, mungkin hari ini memang sepi, karena Tuhan ingin memberikanku cuti… Sepertinya aku akan menutup tokoku lebih cepat hari ini” …. Terkadang kita menjadikan hujan sebagai keluhan Tapi kurasa hujan di malam hari, hadir untuk memberikanmu jeda Bahwa ayolah, jangan lupa istirahat Jangan lupa merasakan…

Selasa, 2 Januari 2016 Malam hari hujan Feb 2nd, 2016

5

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


Ayah, tetaplah bersamaku Sampai akhir waktu (Afiani Fauziah)

Seperti kebanyakan anak pada umumnya, pasti menginginkan orang tuanya hidup rukun dan terus bersama. Bersama-sama menyayangi, mendidik, serta memberikan kasih sayang sepenuhnya yang tulus bagi sang anak. Namun tidak dengan Via. Sosok anak yang dikenal periang dan rendah hati inipun harus rela menerima kenyataan pahit atas perpisahan yang terjadi pada kedua orang tuanya. “Pak, Via berangkat sekolah dulu ya, assalamu’alaikum…” sambil bersuntangan kepada ayahnya. “Ya, hati-hati ya nak. Wa’alaikumsallam.” Jawab ayah ku. Ditengah perjalanan yang ku tempuh, banyak sekali hal-hal yang kutemui. Mulai melihat lalu-lalang kendaraan dijalan raya, mendengar bunyi klakson motor dan mobil yang saling berebut jalanan, sampai merasakan segarnya udara pagi yang masih berseri. Tak terasa, dua puluh menit sudah aku berjalan. Hingga pada saatnya akupun sampai digerbang sekolah. Ku pandangi tiap-tiap dari sudut sekolah. “masih sama.” Gumam ku. Dengan deretan kelas yang berjajar, genangan air hujan dilapangan karena bekas hujan semalam, dan, ya. Penjaga sekolah yang masih sibuk dengan ember dan lap pelnya. Hingga tak terasa waktu belajarpun hendak dimulai. Seperti biasa, sebelum belajar kamipun serentak berdo’a bersama. Seraya mengharap ilmu yang tengah kami cari inipun menjadi ilmu yang bermanfaat lagi berkah bagi kami nantinya. Keadaan kelaspun terlihat tenang saat proses pembelajaran tengah berlangsung. Hingga sampai pada akhirnya, lonceng sekolahpun berdering mengingatkan waktu pulang saatnya. Tepat saat jarum jam menunjuk pukul: 13:45, aku dan teman-temanpun beranjak pergi dari sekolah untuk kemudian pulang menuju rumah. Teriknya pancaran sang raja siang, memaksaku untuk berkeringat basah. “kenapa sih malamnya hujan siangnya kok malah selalu panas..” celetuk Nisa teman sekelasku. “Hush! Kamu tuh ya kalo bicara itu gak pernah dipikir dulu! Lagian, bagaimanapun juga ini semua itu pemberian dari Allah SWT. Mau tidak mau kita itu harus menerimanya dengan penuh pensyukuran, bukannya dengan penolakan!” jawabku pada Ica. “iya sih, tapikan… ya udahlah.” Kamipun terus melanjutkan perjalanan menuju rumah. Memang, selama kami bersekolah kami tidak pernah menggunakan kendaraan untuk bisa kami tunggani. Bukan karena apa-apa, mengingat keadaaan orang tua kami yang terbilang pas-

6

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


pasan, memaksa kami untuk bersekolah dengan berjalan kaki. Tak mengapa, lagipula jarak yang ditempuh dari rumah menuju sekolahpun hanya berjarak 1,5 km. Sampai pada akhirnya kamipun sampai ditikungan jalan raya. “Vi, kamu gak mau mampir dulu kerumah aku nih? Nanti aku buatin kamu es kelapa muda deh.. gimana, mau, mau, mau? Hehehe.” Ajak Nisa sembari merayu ku hanya untuk sekadar mencicipi es kelapa muda dagangan ayahnya. “Waaah, sepertinya boleh juga tuh! Hehe. Terima kasih ya Ca, tapi lain kali aja ya. Soalnya, aku harus langsung pulang. Biasa, beres-beres rumah.. hhehe.” “hmm, baiklah. Aku tunggu ya waktu lain kali mu itu! Hahaha, bye..” balas Ica sembari mendadahkan tangannya. Akupun hanya tersenyum melihat tingkah Nisa tersebut. Kembali, aku melanjutkan perjalanan pulangku. Setibanya dirumah, akupun mendapati ayah yang sedang terbaring berselimut dengan kompresan diatas keningnya. Dengan perasaan yang cemas, akupun mencoba mendekati bapak. Namun langkahku terhenti. Saat kulihat nampaknya bapak tengah tertidur pulas. Akupun tak ingin rasanya jika harus sampai membangunkan bapak. Dengan segala penat dan letih yang aku rasakan sepulang sekolah, akupun langsung berlalu menuju kamar tidur. Kuhempaskan tubuhku diatas kasur, sembari menarik nafas panjang untuk kemudian kuhembuskan perlahan. “Pahit!” ku berkata dalam hati. “Kenapa diusiaku yang masih sepolos ini, aku harus merasakan perihnya hidup tanpa adanya sosok seorang Ibu disampingku?” Hening… “Tidak! Apa yang sudah aku pikirkan tadi? Astaghfirullah…” Akupun langsung terbangun dari tidurku dan menangkas segala macam celotehan pahit yang hanya akan membuatku semakin terpuruk. Ditengah perasaan yang masih tak karuan, akupun disadarkan oleh panggilan suara yang terdengar tidak asing lagi bagiku namun nampak sedikit berbeda sekarang. Ya. Ternyata itu adalah seruan panggilan bapak terhadapku. “Ya, pak, sebentar” sahutku sambil menemui bapak. “Kenapa pak?” “Via, badan bapak terasa sakit semua. Tolong kamu pijitkan bapak ya nak!?” jawab bapak meminta tolong padaku. Dengan perasaan yang getir, akupun mulai memijat kaki bapak. Membatin: “Ya Allah, sembuhkanlah bapak, berikanlah kesehatan kembali untuknya. Kumohon, berilah kekuatan untuknya dalam melawan kesakitannya.”

7

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


Ya Allah, coba saja ibu masih berada dekat denganku, disini. Bersama bapak, merawat aku, dan juga bapak. memberikan kasih sayangnnya, dengan penuh ketulusan dengan rasa cinta. Ya Allah, sungguh. Disaat seperti inilah aku membutuhkan sosok seorang ibu! Tanpa kusadari, tetesan air matapun mulai menetes dan membasahi kedua pipiku. Namun dengan sigap, langsung kuhapus tetesan air mata dikedua pipiku. Sebab, tak ingin rasanya jika bapak sampai melihat ada cucuran air yang mengalir diantara kedua mataku. Tak lama kemudian, bapakpun kembali terbangun. Namun kali ini berbeda. Ia nampak semakin kesakitan. Mengerang, berguling sembari terus mengucap istighfar. Memintaku untuk diantarnya menuju rumah nenek. Kali ini akupun dengan diikuti rasa khawatir yang sangat, akupun langsung berlari, berlalu meninggalkan rumah untuk kemudian menemui nenek. Beberapa menit berlalu. Bapakpun terpaska dibawa menuju rumah nenek. Sesampainya disana, keadaan bapakpun malah semakin parah. Suhu badannya panas, sekujur tubuhnya menggigil cepat, kepalanya merasakan pusing yang teramat hebat. Saat disitulah. Saat disitulah, aku tak bisa berbuat apapun. Kedua bibirku terasa kaku. Pikiranku tak karuan, perasaan batinpun membadai dahsyat. Entah. Entah apa yang harus aku katakan untuk kemudian aku lakukan. Tapi yang sempat aku sadari, bahwa, kedua pipiku inipun kembali merasakan sesuatu yang membasahinya. Ya, kedua mataku kembali berderai. Bersedu, menangisi atas apa yang sudah terjadi terhadap bapak. Dalam keadaan seperti itupula lah, segala macam pikiranpun datang menghujam diriku. “Astaghfirullahhaladzim…” hanya itulah yang mampu terucap dalam diriku. Dengan cucuran air mata yang berlinang penuh dipipi, kembali, batinku tertegun untuk berbicara: “Ya Allah, kumohon. Janganlah sampai engkau mengambil ayahku diwaktu sekarang. Takkan ada lagi sosok yang akan menemaniku nantinya. Ayah, kumohon. Hanya engkaulah satu-satunya pegangan saat aku hendak terjatuh. Ayah, hanya engkaulah yang kujadikan teman saat temanku yang lain pergi meninggalkan aku. Ayah, hanya engkaulah pahlawan nyata saat ku mengharap, menginginkan sosok pahlawan. Dan, ayah, hanya engkaulah lelaki, yang bersosok ibu saat sosok ibu yang nyata pergi meninggalkan ku, membiarkanku, terpuruk rapuh disini tanpa kasih sayang dan pelukan darinya.” “Ayah, kumohon. Tetaplah disini, bersamaku, Sampai akhir waktu…”

8

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


Velinka (Fauzan Anwar)

Velinka, Mahasiswa Semester empat di salah satu perguruan tinggi di Kota Bandung. Sore itu ia berjalan bersama Daffa Menyesuri Jalanan Braga. Daffa adalah seorang Mahasiswa jurusan filsafat yang menghabiskan waktu kuliahnya hanya untuk mencari hal-hal yang bagi kebanyakan orang diangap aneh dan tabu. Waktu menunjukan pukul setengah enam sore. langit mulai gelap awan-awan berubah menjadi gelap juga. Daffa melihat kelangit “sepertinya akan turun hujan” ucap Daffa dalam hati. Tidak begitu lama kemudian Hujan pun turun. Mereka lari mencari tempat berteduh.Hujan turun semakin deras dan mereka berdua telah berteduh disalah satu pojok jalan yang terlindungi oleh kanopi toko. Jalanan Braga yang terbuat dari paving blok antik sudah hampir terendam oleh air. “Hujanya gede ya Daf” Kata Velinka tanpa memandang wajah Daffa sambil mengusap baju dan celanya yang basah. “Iya Vel gede banget.” "Gimana kalau kita ngopi dulu disana?" tanya velinka sambil menunjuk pada cafe di seberang jalan. “Yaudah ayo kita kesana” Jawab Daffa. Sesampainya Di Caffe, Vellinka memesan Segelas Coklat Hangat dan beberapa cemilan yang lainya. Café cukup sepi hanya ada dua orang pengunjung didalamya. Seorang Mahasiswi yang sibuk dengan laptopnya dan laki-laki paruh baya yang sedang membaca buku. “Kamu mau mesen apa Daf?” Tanya velinka.” “Terserah kamu Aja vel,” Jawab Daffa datar. “Yaudah disamain aja kata Daffa kepada waiters,”. Didalam Café, Daffa terus memandangi Hujan dari kaca jendela. Sesekali Daffa mencuri pandang pada wajah Velinka. Velinka Sedang Asyik memainkan Gadgetnya. Setelah Pesananya datang, Velinka memfoto makananya terlebih dahulu. “Emang Kenapa harus di foto dulu makananya?” Tanya Daffa memecah keheningan. “haha ya gitu Daf sekarang kan lagi musimnya Path sama Instagram” Jawab velinka. “emang Instagram sama Path itu khusus buat upload makanan ya?” “gak gitu juga sih Daf”. Jawab Velinka sambil terus memainkan Hp nya. “Vel aku mau bicara serius.” Ucap Daffa. Seperti sudah mengetahui arah pembicaraanya Velinka langsung terhenyak. “Untuk ketiga kalinya aku mau bilang kalo aku menyukaimu. kumohon.” Ucap Daffa. Wajah velinka langsung pucat dan terdiam sesaat. “Aku harus bilang berapa kali sama kamu Daf? kamu tau aku sudah punya pacar tapi kenapa kamu terus ngomong kaya gitu ? Emang nya wajar kalo aku terima cinta kamu dan kamu menjadi pacar keduaku? bagaimana bisa aku membagi kasih pada dua laki-laki yang berbeda. Aku bukan perempuan yang gemar bermain lakilaki. Dan hatiku juga tidak bisa membenarkan hal seperti itu” Daffa tampak gusar kemudian menghela nafas panjang. “Hah… Tidak bisa membagi kasih?” ia bergumam . “Ya Tuhan.” ketus Daffa. “Kenapa Daf ada yang aneh?” Tanya Velinka. “Aku Mencintai Fahri, aku menyayanginya. Didalam keadaan apapun aku selalu menghormatinya. Kumohon Daf jangan bicara hal itu lagi padaku. Aku sudah menjalin hubungan hampir dua tahun dengan Fahri. Aku tidak mungkin melepaskanya. Lebih baik kita bersahabat saja.” Ucap Velinka. Daffa meminum minumanya, matanya menegadah keatas langit-langit Ia tampak lemah. Bibirnya gemetar dia tidak tahu lagi harus berkata apa. “Jangan Marah Daf, kita berteman aja ya? Ucap Velinka genit

9

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


penuh perhatian. “Gimana Daf setuju kan?” Tanya Velinka sambil mengacungkan jari kelingkingnya. Daffa langsung mengengam tangan velinka yang putih dan letik dengan kedua tanganya. Velinka terkejut Darah panas langsung mengalir cepat diseluruh tubuhnya. “Aku bukan anak kecil lagi Vel” kata Daffa. “Aku tidak tertarik menjalin pertemanan dengan perempuan yang sangat kucintai.” Velinka semakin mabuk dengan apa yang dikatakan oleh Daffa. “Sudah Cukup! Cukup! Jangan bicarakan hal itu lagi aku sudah muak!” Bentak Velinka. Suasana menjadi hening. Jiwa Velinka masih dipenuhi oleh perkataan-perkataan Daffa. Tapi ia sudah lega. Daffa Sudah tidak membicarakan hal itu lagi. Ia menatap wajah Daffa yang sedang melihat ke jendela. Velinka memandang Daffa sebagai Laki-laki yang misterius dan keras kepala. Velinka merasa bangga terhadap dirinya sendiri. ketika ia melihat laki-laki tampan dengan sorot mata yang tajam fasih dan cerdas saat berbicara ini tunduk dan tak berdaya dihadapanya. Untuk beberapa menit mereka tak berbicara sepatah katapun. Daffa mengambil tasnya dan mengenakan kembali jaketnya. “kamu mau Pulang Daf ? Diluar masih hujan”. Kata Velinka. “Vel, Mungin saat ini Tuhan belum mengizinkan kita untuk menjadi sepasang kekasih tapi suatu saat akan ada waktunya untuk hal itu.” Ucap Daffa sebelum pergi. Daffa pun pergi meningalkan Café itu. sebelum pergi, ia membayar makanan yang telah mereka berdua pesan. Velinka hanya bisa menyaksikan Tingkah Daffa entah kenapa ia tidak bisa berkata apa-apa. Setelah kejadian Di Café tadi, malam itu velinka tidak bisa tidur ia gelisah di tempat tidurnya. Dalam kebingungan yang luar biasa ia berusaha memikirkan agar Daffa tidak mendekati dan menyukainya lagi. Saat ia berusaha untuk memikirkan dan melakukan hal itu, Bayang-bayang Daffa dan kejadian di café Saat Daffa memengang tanganya membuatnya semakin bergejolak. “Argkhh Apaan sih ini” Teriak Velinka kesal. Kesokan harinya Velinka ingin melupakan hal yang terus menghantuinya semalaman. Velinka bercanda bersama teman-temanya dikampus kemudian menemui Fahri. Akan tetapi Velinka tidak menemukan keberadaan Fahri. Velinka mencoba untuk menghubunginya namun teleponya tidak aktif. Sudah lebih dari satu bulan ini sikap Fahri berubah. Velinka merasakan Hal itu. Ia merasa sedikit tergangu akan tetapi tidak berprasangaka hal yang aneh. “Sudah dua tahun kami telah melewati berbagai macam cobaan. Tidak akan terjadi hal apa-apa.” begitu pikirnya. Velinka memutuskan untuk kembali ke Rumahnya. Sesampainya dirumah, Velinka langsung melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Saat ini pikiranya sangat tergangu. Ditengah kebingunganya, Handphone nya berbunyi. Ternyata ada pesan dari Daffa. Saat mengetahui pesan itu dari Daffa, Velinka langsung terkejut ia sangat senang dan bersemangat membalas pesan itu. Saat sedang menulis membalas pesan itu Velinka terdiam sejenak. “Loh kok aku jadi semangat gini Dapat massage dari Daffa?” Sahutnya dalam hati. “akh masa bodo” Velinka membalas pesan itu namun dengan bahasa yang sangat dingin dan memberikan kesan cuek. Didalam pesan itu, Daffa meminta tolong kepada Velinka untuk membantunya mengerjakan Soalsoal Statistika. Velinka merasa kegirangan dengan permintaan itu dan ia menyangupi untuk membantunya. “Makasih ya Vel. Aku tunggu kamu nanti habis Isya” Ucap Daffa menutup percakapan itu.”

10

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


Waktu telah menunjukan pukul Setengah tujuh malam. Velinka telah siap untuk pergi ke kosan Daffa. Sebelum pergi, Velinka menyemprotkan sedikit Parfum Amber yang beraroma halus dan tenang kemudian merapihkan rambut dan memeriksa kembali penampilanya. Saat ini Velinka dikendalikan oleh alam bawah sadarnya.Ia merasakan gejolak seperti Anak SMA yang baru mengenal cinta. Saat Velinka menaiki angkutan umum, Hujan turun sangat deras angin bertiup kencang. “Aduhh Hujanya gede banget mana aku gak bawa payung lagi.” Ujar Velinka didalam hati. Velinka Teringat Daffa dan langsung mengambil Handphone didalam tasnya. “Daf aku lagi dijalan. Ini udah hampir sampe. Tapi hujanya gede banget. Nanti kamu jemput aku di Dago deket RS Boromeus ya?” Velinka mengirim sms pada Daffa. Sesampainya dilokasi, Velinka langsung berlari mencari tempat berteduh. Velinka berteduh disamping warung rokok yang cahaya lampunya terkalahkan oleh lebatnya rentetan pepohonan dan cahaya lampu dari bangunan-bangunan indah diseberang jalan. Tak beberapa lama menunggu, Daffa pun tiba dengan mengunakan payung. “Maaf Vel, gara-gara mau nolongin aku kamu bela-belain hujan-hujana sampe gini.” “Ihh gak paapa kok Daf kita kan temen. kamu juga sering bantuin aku kok” Ucap Velinka. “Vel! ini aku bawa jaket kamu pake nih” Ucap Daffa sambil menyodorkan Jaketnya. “Makasih ya Daf.” Velinka tersenyum. “Ayo Vel kita pergi sekarang aja.” Ajak Daffa. “Oh iya Daf ayo” Mereka berdua pun berjalan sambil menyusuri hujan. Velinka merasakan kehangatan dan rasa aman saat Daffa memegangkan payung untuknya. Daffa yang saat itu sedang memegang payung juga secara tidak sadar memegang tangan Velinka. Velinka terkejut. Darah dari kakinya melaju cepat kearah kepala. Ia hendak melepaskan tangan Daffa tapi ia tak kuasa. Sebab Ia merasakan memang membutuhkanya. Akhirnya mereka berdua pun tiba dikosanya Daffa. “Mau minum apa Vel?” Tanya Daffa. “Aku mau coklat anget deh Daf” Pinta Velinka. “Ok. kamu tunggu dulu disini aku mau kebelakang bikin minumanya.” Kemeja Flannel yang dikenakan Velinka cukup basah. Ia membuka kemejanya untungnya Velinka mengenakan Tshirt didalamya. Rambutnya yang basah kemudian ia ikat agar terlihat lebih rapih. “Ini Vel Coklat panasnya” “Terimakasih Daf” kata Velinka. Didalam ruang tengah kosan, sudah siap whiteboard buku statistika dan lain sebagainya. “Ayo Daf sekarang aja ngerjainya nanti keburu malem” ucap Velinka. Saat Velinka menjelaskan soal-soal dan rumus statistika, Daffa tidak konsentrasi. Ia terus memandangi dengan seksama perempuan yang sangat ia cintai dan kagumi kini berada bersamanya seorang diri. “Halllooo Daf, kamu merhatiin gak?” ucap Velinka. “Iya Vel aku merhatiin kok.” Jawab Daffa. Setelah soal-soal statistik beres dikerjakan, Velinka hendak pulang. “Daf, aku pulang sekarang yaa? mumpung Hujanya kecil. kalo kelamaan disini takut hujanya gede lagi.” kata Velinka. Daffa tidak menjawab hal itu. Tapi saat Velinka mengenakan kembali Kemeja Flannelnya, Daffa menarik Tangan Velinka. Velinka merasakan tanganya seperti terbakar saat Daffa menyentuhnya. “Vel Terima kasih untuk semuanya. Tapi Perhatianmu yang tanpa cinta ini membuatku semakin menderita.” “Aku sangat mencintaimu Velinka Aviana Risdasari!” Velinka tidak mampu berkata apa-apa ia hanya terpaku memandang Daffa. ia merasakan dirinya sangat tak berdaya. “Velinka, Kamu sangat cantik.” Saat ini aku merasa menderita sekali Vel. Aku dapat berdiri disini seumur hidupku hanya dengan menatap matamu.” Diamlah sejenak Vel. Aku ingin memandangi matamu.”

11

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


Didalam kebingungan yang luar biasa, Velinka mencoba berpikir dengan cepat untuk mengatakan sesuatu yang bisa menghentikan Daffa. “Daf apaan sih! Aku harus cepat pulang.” Namun Daffa terus menyerbunya dengan kata-kata yang romantis penuh kesenduan. Daffa menyirami Velinka dengan rayuan yang sangat lembut. “Velinka Sayang, aku cinta padamu aku sayang padamu.” Ucap Daffa mencegah Velinka berbicara. Tak disangka Daffa menaruh satu tanganya di pinggang Velinka dan satu tanganya lagi memegang pipinya. Velinka menjauhkan tangan Daffa dan hendak mencoba untuk melampiaskan amarahnya. Namun, amarah itu tidak bisa keluar. Idealisme, kebajikan dan kebangaan atas dirinya hanya dapat menghasilkan sebuah kalimat yang biasa diucapkan oleh semua perempuan “Daffa kau gila.” Tangan Daffa semakin memegang pingangnya erat-erat. Kemudian memeluknya dan mendekatkan wajahnya ke telinga Velinka. “Vel aku tau kau didalam dilema yang sama. Kau juga menyukaiku kan sayang” Bisik Daffa lembut. Velinka semakin tak berdaya saat wajah Daffa mendekati bibirnya. ia langsung memejamkan mata. Daffa mencium halus Velinka dan mengulum bibirnya dengan sopan. Velinka hendak membalas ciuman Daffa dengan menyodorkan lidahnya. Untungnya Velinka tersadar bahwa ia sedang melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Velinka terperanjat dan langsung menjauhkan dirinya dari Daffa. “Daf aku baru tau kamu orangnya kaya gini. Aku kecewa sama kamu Daf!” Daffa tunduk dan terdiam. Ia merasa menyesal melakukan hal itu. tapi apa daya , semua itu diluar kendalinya. Velinka kemudian mengambil Tasnya dan langsung pergi meningalkan tempat yang telah membuatnya diperlakukan seperti itu. Sepanjang perjalanan pulang, nuraninya berbisik bahwa ia telah berkelakuan bejat dan bodoh seperti perempuan gila. Ia baru saja berpelukan dan berciuman dengan laki-laki yang bukan kekasihnya. Bahkan Fahri kekasihnya pun belum pernah melakukan hal itu. Sekarang Velinka sadar akan kekuatan hasrat. Ia mencoba berjuang melawanya, tapi belum apa-apa ia langsung menyerah. “Sialan Bedebah tak bermoral! Mahluk murahan! kau mahluk murahan. Ia mencela dirinya sendiri. Saat Velinka terus memaki dirinya sendiri , ia merasakan kehangatan dan rasa yang masih membekas di pinggang dan bibirnya. “arkghhh!!!.” Teriaknya didalam Angkot.

12

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


Kamu Yang Di Sana Kamu adalah pelengkap hidup Di saat aku berada dalam titik nadir frustasi Atau ketika aku semakin jauh dari-Nya Namamu tiba-tiba muncul, tak diundang Bukan karena parasmu aku teringat Bukan juga karena kementerengan nilai akademismu Bukan juga karena nasabmu yang mulia Namun, karena keteguhan prinsipmu Aku amati bahwa kamu tak pernah luput dari kemuliaan Postinganmu di blog, jejaring sosial milikmu, atau omongan teman dekatmu Semua menujukkan kekonsistenanmu dalam berbuat kebajikan Kebajikan itulah yang membuatmu mulia di mataku Aku tahu mempersuntingmu tidaklah mudah Kamu ibarat langit, sementara aku bumi Di berbagai sisi aku akui kalah sekalah-kalahnya Menjadikanmu sebagai bagian diriku adalah satu tekad untuk menjadikanku menjadi seorang mulia sepertimu Aku hanya ingin menjadi orang yang mulia di hadapan-Nya Itu saja Aku yakin itu bisa terjadi ketika hidup berdua denganmu Kamu yang di sana Aku yakin banyak kaum Adam yang mengirim proposal kepadamu Jikalau memang kamu lebih memilih bukan aku, aku ikhlas seikhlas-ikhlasnya Doakan aku bisa melupakanmu Doakan aku bisa melakukan kebaikan tanpa mengingat bayang-bayangmu. Bandung, 9 Februari 2016

13

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


Syalalalalala Siapa mengendaki kekalutan Dia datang bersama ketenangan Sementara Ketenangan yang melenangan Kekalutan yang senantiasa menjaga Ke mana aku harus mencari hulu Engkau yang maha membolakbalikkan hati manusia

Cawan Betapa lezatnya ilmu bagi yang mencari Tidur pun dihindari meski Kantuk berbisik mesra menggoda Oh setetes ilmu menggairahkan Kutangkupkan tanganku sebagai cawan Kitab segala kitab yang dibaca dengan merdu Kini ku tinggal sedepa dari lautan ilmu, Kumpulan kitab dari segala penjuru Kusimak menemani kantuk Hingga bangun siapa kuasa

(Kukuh Samudra)

14

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


Malam dan Pagi Ketika mataku masih terjaga Saat malam datang Apakah aku yang menjaga malam atau malam yang menjagaku? Bukankah tidak ada yang terlelap diantara kita? Ketika pintuku sudah terbuka Saat pagi menjelang Apakah aku yang menyambut pagi atau pagi yang menyambutku? Bukankah tidak ada yang acuh diantara kita? Aku tidak mengerti Siapa sebenarnya yang telah memulai? Bandung, 18 November 2015 Saat langit masih terlalu gelap untuk disebut pagi

15

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


MONOLOG 2 Sering kali keretamu berhenti di peron yang berbeda arah dengan tujuanmu. Kadang ditimpa badai, kadang hanya laron, kadang hanya sunyi, sunyi yang terbising. Ada kalanya kamu mesti bertopeng, selalu tersenyum dan ceria di depan publik. Tapi hati, siapa yang tahu? Karena kamu takkan pernah menyajikan hal yang buruk untuk orang lain, tak sepantasnya. Kamu tahu hanya kebaikan yang disuguhkan pada orang, yang buruknya ditelan sendiri kecuali kamu punya seseorang untuk dibagi, dan takkan mengeluh, menerimamu, dan kalian nikmati bersama. Ada kalanya kamu merasa tangguh, siapkan segala sesuatunya dengan sebaikbaiknya. Merasa pintar dengan ilmu yang cuma sedikit. Kamu kumpulkan orang. Kamu lambungkan mimpi-mimpi tertinggi, dan meniti garis dari titik-titik yang disusun dari awal perjalanan. Tapi kamu lupa, kamu lupa mengajak yang lain berkomitmen. Kamu berlari jauh, kamu berharap ada yang mengejarmu, tapi sebenarnya tak ada yang mengejarmu. Akhirnya harus jadi lebam di sekujur tubuh, hingga ke sel-sel otakmu yang terus dipacu sendiri. Di sakitmu yang makin memburuk itu, kamu ingin marah, menangis, kamu kesal! Kamu bingung harus bagaimana. Saat prioritasmu dibenturkan dengan prioritas orang lain, dipaksakan pun percuma! Bagai gong yang ditabuh, takkan ada yang mengalah, malah bergema hingga terdengar orang luar. Saat ini‌ yang kamu inginkan hanya berhenti. Berhenti! Dan tamat!

16

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


Piatu aku melihat seorang lelaki duduk di kursi, di taman di bawah mahoni mengubur potret ibunya dengan dedaunan kering yang rontok perlahan dari ranting matanya 2016 Lapcin Dimana kasih, sayang tak bisa kau dapatkan disini di kursi dingin yang sepi 2016

Lapbas Dimana disini kesatria, penonton maupun singa teriak ramai, beradu gengsi tapi diam dan sepi saat melawan tirani. 2016

Iqlimaku

“Episode itu,.� Dengan sadar aku meracau mengigau memanggil namamu Iqlima. Sore itu, aku hanya duduk dan menusuk lamunanku Aku lari kedalam novel, tapi novel meninggalkanku Aku lari kedalam puisi, tapi puisi menghanyutkanku Tanpa rasa ragu, mendung di kerudungmu

17

ITB Nyastra #4 | Februari 2016

telah membasahi potongan senja Aku selalu gemetar oleh suara kapasmu. Iqlima, hujan telah menemukan dan meniadakan kita hujan telah menyatukan orang pada sebuah payung berwarna hujan telah merontokan rambut pohon tua, hujan menyanyikan nada di atap-atap seng dan hujan tak selalu cengeng iqlima tak selalu.. terkadang, beberapa manusia takut pada air. Baik Air hujan maupun air mata. jika aku baca : ujung kabut yang menyelimuti bulan, menekan sepi mengajak serangga merindu cahaya. Bintang-bintang berkobar di langit samar memanjangkan pepohonan yang berkoar menebar kuncup melati. Ujung malam aku baca dengan dzikir ujung siang aku baca dengan pikir dan ujung senyumulah yang tak terbaca senyum yang membendung segala keindahan dunia. Iqlima, Harum kopi dan ampas parfumu masih mengendap di dasar cangkir dadaku. Kerling mata coklat tua serta sebongkah bibir merah muda, terdokumentasi begitu rapi dan tak satupun alpa dari ingatanku. Aku selalu kesengsem adegan itu iqlima “selalu...� [Biarlah qabil membunuhku, sebab aku sudah lama mati terbunuh iqlimaku, penakluk hati, bunga kambojaku] 2015


Sebuah puisi di Hari Pers Nasional 2016 yang berjudul:

PELACUR TINTA Terlintas oleh mereka Saat senyum simpul menggoda Lembaran-lembaran rupiah pun menganga Di depan mata busuk penuh kepalsuan Pujian hipokrit yang menghanyutkan Tak berarti memang, tapi diagungkan Terus saja‌ Tak kan ada yang marah Tak kan ada yang peduli Terus saja sampai kau gila‌. Gila harta..Gila tahta‌Gila jiwa KAU! Perkosa saja nurani mu Buka!!! jangan tinggalkan satupun dan telanjangkan di depan kami Kau lacurkan demi gengsi Kau buang harga diri pewarta Hanya untuk jadi tinta yang pertama

SELAMAT HARI PERS NASIONAL 2016

Puisi ini aku dedikasikan untuk sang pewarta yang kian miris. Pewarta yang menggadaikan kebenaran demi kemashlahatan pribadi. Maka, untuk semua tinta yang telah tergores aku ucapkan selamat. Selamat melawan kami!

18

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


Samudera Di bagian mananyakah sehampar samudera bisa seseorangan getarkan? Titik hantam yang harus seseorang sentuh dengan penuh ketakziman dan kesahajaan yang untuk sampai kadar tertentu tangannya harus tetap utuh jangan ikut menjadi asin lalu luruh. Karena menggetarkan sebuah samudera adalah pertarungan serta penyeimbangan, kalau bukan peperangan. Bagi seorang nelayan, terlepas dari tenaga yang biasa dia gunakan -putaran motor atau kayuhan sampan-, yang ia tahu, dengan congkaknya, hanyalah, melaut adalah untuk sebuah penaklukan sehitam apapun gelombangnya, segegas apapun anginnya. Sama pandirnya dengan seorang pendatang yang dihadapkan pada gulungan kecantikan samudera yang tiada henti meludahi dinding tebing. Memang sudah dari sananya, samudera dicipta untuk meluaskan diri, melampaui dan menumbangkan segala tembok pengunci. Dan, para pendatanglah yang kerap jadi korban gerak sentrifugal abadi ini. Dengan mulut setengah terbuka, matanya terbuka kering menganga, tiap sendi mulai ngilu membeku, sang pendatang seketika mencapai titik pemahaman tertinggi‌akan kehampaan diri; Ketidakberartian tubuh dan imajinya yang selama hidupnya ia tata sebagai pusaka, sebagai titik mula tiap saat dia harus memerankan keakuannya. Sang pendatang hanyut tanpa sisa dalam satu sapuan luhur samudera. Lalu para nelayan bagimana? Apakah mereka mengetahui ikhwal pusat samudera? Beberapa nelayan sering berkumpul, meneruskan cerita-cerita kawan-kawannya di daratan yang berbeda‌yang, katanya, telah menggetarkan samudera, samudera-labirin yang lain dari yang mereka punya. Atau mungkin saja, penaklukan samudera tidak dimungkinkan karena samudera menghampar tanpa puncak sehingga tak ada manusia yang bisa tancapkan pasak. Klaim penaklukan cuma dalam arti penyebrangan dari utara ke selatan. Penaklukan samudera tak pernah meninggalkan tanda, tak ada ukiran nama, tak ada kibaran bendera. Dan betapa enigma ini meraksasa ketika arah tenaga samudera justru menarik segenap manusia, menjadi gerak sentripetal buat setiap kapal. Termasuk bagi para pelaut ulung, yang ibaratkan pencarian titik getar bagai perburuan kumpulan harta karun seluruh daur tahun. Atau mungkin juga Tuhan ciptakan samudera agar manusia berfilsafat jika tidak dapat mencintainya tanpa syarat.

19

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


Hidup, Waktu dan Takdir Jika sakit tak kunjung reda Hingga tangis tak berdaya Membuat lelah tak terkira Ingin kulepas saja semua Agar ku dapat tenang Namun itu bukan penyelesaian Hanya waktu Ia yang tahu jawabannya Jawaban atas semua kejadian Waktu dan Takdir Sepasang hal yang berkaitan yang akan memberi kejutan dan keindahan pada jalan hidup Kita tak tahu Dan tak pernah tahu Hanya bisa berusaha dan menjalaninya dengan baik (Rifadina Kamila Yasmin)

20

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


Kematian Hinggar bingar tak lagi ku sapa Matahari tak jua menantang mata Hanya gelap dan sunyi yang kentara Hingga tersadar bahwa raga ini telah bergumul dengan tanah Ditimbun dan ditabur dengan bunga Aku bungkam namun merapal doa Ruh ku pun tak lagi bersama Hanya ada jejak-jejak dunia fana yang membopongku dalam dimensi barzah Mereka berseru “Malaikat datang, malaikat datang!â€? Lalu mereka menangis sesenggukan Dan aku hanya diam tak bersuara Hanya kulihat semuanya berlalu cepat Dan ku sadar‌. Ini kematian -Ros-

21

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


Seorang gadis kecil Didalam belantara kota Berimaji dan tertawa Hingga kepalsuan memudar Seorang gadis kecil Didalam belantara hutan Berimaji dan tertawa Hingga realitas memudar Seorang gadis kecil Didalam distorsi dunia Berimaji dan tertawa Hingga kesendirian bertanya "untuk apa kau tertawa?"

22

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


Aku Rindu Tidakkah pikiran itu sungguh liar Menciptakan fatamorgana realita yg menghidupkan emosi Menabur bumbu ketakutan yang tak pernah terjadi Kau korban, aku pun juga Tidakkah kita bisa duduk berdua kembali Membangun ruang dikerumunan manusia urban Saling berbagi dan melarutkan diri di dimensi berbeda yg disebut kebahagiaan

Oleh : Fardian Thofani

23

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


24

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


Valentine -Kepada sunyi

14 Februari 2016

Matahari mengetuk pintu jendelaku. Sial sekali hari ini--apalagi dengan titel yang orang-orang berikan pada hari ini! Valentine. Ya, Valentine. Ah, bukannya aku skeptis atau yang semacam itu, tapi aku baru saja diputusin. Bayangkan, pede sekali mantanku itu--baru kemarin ia berkata bahwa aku terlalu baik untuknya dan sejam kemudian dia sudah menggaet anak SMA! Yah, dia emang tampan dan kaya, sih, pantas saja gadis manis yang polos mau saja jalan dengannya. Aku menarik selimut dan mencoba tidur lagi. Aku tau tak seharusnya aku seperti ini, tapi--entah mengapa--sepertinya aku masih terjebak dalam kegalauan yang sangat. Di saat-saat kaya' gini, justru aku jadi keingetan dia--dia yang rela nganterin aku pulang pake kereta, nyasar di bawah jembatan Pasupati, dan bahkan minjemin jas hujan supaya aku bisa pulang--padahal dia masih ada kelas dan hujan masih belum berhenti sampai malam! Aku menahan tangis saat mencoba untuk tidur, tapi, sialnya, aku ga bisa tidur! Ya udah, aku mau makan aja. Biarin tambah gendut--yang penting aku bahagia! Aku berjalan menuju kulkas dan mencari makanan--dan aku menemukan bubuk coklat dan susu murni. Ah, jadi keingetan lagi, kan. Tiap kali dia mampir ke rumahku, ia selalu bersikap manja dan meminta dibuatkan susu coklat panas racikanku--ah, semua omongannya kosong sekali dan janji-janjinya hanya seperti balon gas--sebentar melayang, selanjutnya jatuh kembali ke tanah. Aku mengambil bubuk coklat dan susu murni, menutup pintu kulkas, dan mulai membuat susu coklat. Aku juga tak lupa menghidupkan radio--yang pada saat itu sedang memaparkan sebuah berita tentang pembunuhan dengan sianida yang dicampurkan dalam segelas kopi. Ah, buatku, pembunuhan dengan racun itu tidak jantan! Korban langsung terbunuh tanpa merasa sakit--harusnya, sih, jika dia emang niat membunuh, ya buat korbannya merasa sakit! Percuma capek-capek balas dendam kalau targetnya tidak merasa apa yang pembunuhnya rasakan!

25

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


Aku menghela napas. Yah, itu kan kasusnya dia. Aku ga ngurus--lah, bukan kasusku juga. Tapi, sebagai sesama orang yang sedang merasakan kemarahan yang menggebu-gebu, ingin sekali rasanya aku menasihati dia atas perbuatannya yang kelihatan sembrono--pembunuhan itu harus rapi agar kita tidak dicurigai. Susu coklat buatanku udah mateng, tinggal dikasih topping coklat tabur biar rasanya makin kuat. Aku membuka pintu kulkas lagi dan mencari coklat tabur--tapi, sialnya, aku kehabisan coklat tabur--yang ada cuma coklat batang. Aku ambil coklat batangnya, lalu kuambil juga pisau di dekat kompor dan talenan, dan aku mulai memotongmotong coklat batang hingga cukup kecil untuk ditaburkan di atas susu buatanku. Radio kini telah mengalihkan beritanya menuju sebuah tabrakan di jalan tol. Ah, biasa, ceroboh banget supir-supir sekarang--gara-gara buru-buru, mereka melupakan keselamatan. Aku membayangkan supir-supir itu sedang bertransaksi dengan Tuhan untuk menukarkan kekurangan waktu dengan nyawa! Padahal waktu, 'kan, bisa diatur. Udah molor, ceroboh pula. Kebiasaan. Karena aku udah biasa mainin pisau, tanganku bergerak otomatis aja sementara pikiranku melayang ke mana-mana. Saat itu, aku sedang kepikiran pendapatku tadi-yang pertama.

Gimana kalau.... Aku menghentikan aktivitasku, membungkus pisau dengan koran, dan menyambar ponselku. Aku segera mencari kontak mantanku itu dan meneleponnya. "Halo.... Ya, ini aku.... Ya, aku tau kita udah putus.... Ada coklat di rumah aku, sayang kalau ga abis.... Emang niat awalnya mau ngasih ke kamu kok. Sayang kalau ga dikasihin, ga ada yang makan.... Aku anter ke kosan kamu, ya.... Okay, see you soon."

Ditulis tanggal 23 Februari 2016 Meiya Narulita Suyasman

26

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


27

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


28

ITB Nyastra #4 | Februari 2016


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.