5 minute read

Rumah Sastra Sebagai Cara Membiasakan Budaya Baca

Rumah Sastra Sebagai Cara Membiasakan Budaya Baca

Abdurrahman Ahmad

Advertisement

Indonesia memiliki masalah dalam hal minat baca. Hal ini

sudah berlangsung sejak lama dan menjadi masalah yang tidak begitu mendapat perhatian serius. Berdasarkan data dalam penelitian “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University in 2016 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara dengan minat baca di dunia. Indonesia berada di bawah Thailand (59) dan diatas Bostwana (61). The World’s Most Littered Nation (WMLN) memberikan peringkat bukan pada kemampuan penduduk untuk membaca tetapi lebih kepada perilaku melek masyarakat dan sumber daya pendukung. Adapun poin-poin yang dinilai yaitu sistem pendidikan, perpustakaan, koran, dan lain-lain. Di era digital yang serba canggih nan mudah ini, semua informasi dengan mudah diakses kapan saja dan dimana saja. Lalu kenapa minat baca di Indonesia masih rendah? Apakah masyarakat Indonesia tidak bisa membaca? tentu tidak karena setiap hari selalu melihat layar handphone dan laptop untuk bermain sosial media dan untuk sekedar membaca status setiap orang, namun masyarakat lebih memilih melakukan hal yang

tidak bermanfaat daripada sekedar mencari tahu satu informasi penting yang bermanfaat, atau apakah di Indonesia masih belum terdapat cukup buku? Ini tentu saja bukan alasan yang tepat. Dalam essay ini, saya ingin mencoba menawarkan cara yang lebih efektif untuk mengatasi permasalahan klasik tentang minat baca di Indonesia.

Gambar 1. Daftar Peringkat Negara

Membangun budaya baca adalah hal yang perlu dilakukan lebih awal kepada masyarakat. Budaya merupakan kebiasaan yang diulang-ulang setiap hari. Menurut pendapat Sulasman dan Gumilar (2013) Budaya adalah cara hidup yang

dikembangkan dan dibagi oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terdiri dari banyak elemen kompleks, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, alat, pakaian, bangunan, dan karya seni. Perwujudan budaya adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk berbudaya, dalam bentuk perilaku dan objek yang nyata, seperti pola perilaku, bahasa, alat kehidupan, organisasi sosial, agama, seni , dll. Semuanya dimaksudkan untuk membantu manusia dalam kehidupan masyarakat.

Melalui pengalaman saya sebagai orang yang berasal dari desa yang masih sangat meyakini dan mempertahankan ajaran dan warisan nenek moyang, ada banyak hal unik dan menarik untuk diketahui oleh orang banyak. Kehidupan masyarakat yang masih primitif di tengah arus modernisasi yang terus berkembang pesat menjadi hal yang langka dan unik. Lombok, itulah sebutan bagi pulau kecil tempat tinggal saya. Pulau Lombok adalah salah satu pulau yang menempati peringkat 108 dari daftar pulau di dunia berdasarkan luasnya. Di sebagian besar wilayah pulau Lombok masih mempertahankan semua warisan dari leluhur seperti ajaran, budaya, tempat-tempat bersejarah, dan sebagainya. Desa Kekait adalah salah satu desa yang terletak di kabupaten Gunungsari, kota Lombok Barat,

provinsi Nusa Tenggara Barat. Di desa ini, setiap orang dari semua latar belakang memiliki aktivitas mereka sendiri. Sebagian besar kegiatan yang mereka lakukan yaitu petani, tukang kebun, dan buruh. Sulitnya mencari pekerjaan membuat sebagian anak muda menganggur. Namun, hampir orang-orang muda di pulau Lombok dididik setidaknya lulusan dari sekolah menengah atas. Hanya sedikit orang yang tidak berpendidikan — mereka lulus dari sekolah dasar dan langsung menikah untuk mendapatkan pekerjaan. Para wanita yang menikah akan menjadi ibu rumah tangga sementara pria akan menjadi buruh. Mereka yang lulus dari universitas tidak dijamin untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Mereka akan menghadapi cara yang sangat umum dalam mendapatkan pekerjaan. Jadi, pendidikan tinggi tidak menjadi prioritas selain tidak mampu tetapi tidak ada keinginan juga. Sebenarnya pemerintah membekali beasiswa kepada orang yang tidak mampu membayar. Tetapi, lagi dan lagi mereka terlalu sibuk dengan hal yang tidak berguna daripada mencari informasi yang berguna. Hanya beberapa dari mereka yang bisa memanfaatkan dan mendapatkan kebaikan pemerintah. Dari kasus di atas, minat baca masyarakat di desa Kekait, kita bisa melihat hanya pada orang yang berpendidikan. Tetapi bagaimana dengan orang yang tidak berpendidikan? Itu hanya salah satu daerah di desa saya yang menghadapi permasalahan

minat baca. Ketika masyarakat tidak mempunyai kepentingan untuk membaca sebuah bacaan, maka mereka tidak akan menghabiskan waktu mereka untuk melakukan hal itu. Maka bacaan-bacaan yang membuat mereka merasa butuh untuk membaca perlu diadakan sebanyak mungkin. Bacaan santai dan ringan aeperti koran, majalah, karya sastra bisa menjadi refrensi awal.

Rumah Sastra sebagai salah satu wadah yang diharapkan bisa membangun budaya baca masyarakat Indonesia. Rumah Sastra adalah sebuah tempat bagi semua kalangan masyarakat (semua umur) untuk belajar segala hal melalui cara yang santai untuk membiasakan budaya baca. Rumah Sastra ini adalah gagasan autentik saya untuk dapat direalisasikan. Kata rumah berhubungan dengan tempat yang sangat tenang sementara kata sastra berhubungan dengan jenis membaca yang menyenangkan. Jadi, Rumah Sastra adalah cara yang cukup menyenangkan untuk menciptakan budaya membaca. Langkah pertama adalah saya akan membangun tempat utama Rumah Sastra yang berlokasi di Desa Kekait Taebah. Kemudian langkah kedua adalah saya akan menjalin kerjasama dengan semua orang muda berpendidikan dan profesional untuk berkolaborasi dalam membangun cabang Rumah Sastra di seluruh wilayah Kabupaten. Langkah ketiga, saya akan menghubungkannya

dengan kementerian pendidikan dan kebudayaan. Jadi, Rumah Sastra akan berjalan dengan baik dengan dukungan dari pemerintah.

Rumah Sastra akan mencakup semua usia dari latar belakang yang berbeda. Bukan hanya orang-orang berpendidikan dan orang-orang yang memiliki pekerjaan tetapi juga orang-orang yang tidak punya pekerjaan dimungkinkan untuk bergabung dalam Rumah Sastra. Semua anggota yang bergabung untuk masuk Rumah Sastra akan dibagi menjadi tiga kelompok atau kelas. Anggota yang berusia di bawah 10 tahun akan berada di kelas anak-anak, anggota yang berusia di atas 10 tahun hingga 18 tahun akan berada di kelas pra-muda, anggota yang berusia lebih dari 20 tahun dan di bawah 30 tahun akan berada di kelas muda, dan anggota yang berusia lebih dari 35 tahun akan berada di kelas tua. Mereka akan belajar membaca dan menulis satu hari satu halaman. Ini akan dilanjutkan sampai akhir program mereka. Produk yang mereka buat akan ditinjau sebelum mempublikasikannya di media. Rumah Sastra akan menjadi cara yang sederhana dan tepat dalam membangun budaya membaca. Jika budaya membaca telah dibangun, itu akan mempermudah dalam menciptakan minat baca. Jadi, ini dapat membantu Indonesia mendapatkan peringkat yang lebih maju selangkah. Jika ide ini menjadi proyek pemerintah, semoga

pandangan tentang literasi Indonesia dan minat baca masyarakat akan meningkat.

Referensi

[1] Sulasman, & Gumilar, Setia. (2013). Teori-Teori Kebudayaan.

Surakarta: Pustaka Setia.

[2] http://www.ccsu.edu/wmln/

[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Pulau_Lombok

[4] http://www.pikiranrakyat.com/pendidikan/2017/03/17/soal-minat-bacaindonesia-peringkat-60-dari-61-negara-396477