Redaksi/Sirkulasi/Iklan: GEDUNG PERS PANCASILA Jl. Gelora VII No. 32 Palmerah Selatan Jakarta Pusat. Tlp: 021-5356272, 5357602 Fax: 021-53670771 www.suluhindonesia.com
Kamis, 30 Juni 2011
No. 121 tahun V
Pengemban Pengamal Pancasila
Politik Menjamah
Lembaga Negara JAKARTA - Pengamat Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, aktivitas politik kini telah merambah semua lembaga negara sehingga terjadi banyak perlambatan kinerja. ‘’Konstelasi politik ternyata mempengaruhi apa yang menjadi kerja dari lembaga negara, kalau kita lihat secara jeli kasus-kasus yang ada, hampir semuanya tidak lepas adanya intervensi atau adanya unsur politik yang ada didalamnya, tak terkecuali lembaga-lembaga hukum,” katanya di Jakarta, kemarin. Menurut dia, kasus-kasus yang kini terus mencuat lebih merupakan kepanjangan tangan dari aktivitas politik. Diantaranya kasus pemberantasan Korupsi di KPK, kasus pemalsuan surat di KPU hingga ramainya perseteruan di KPK. Misalnya kasus Nazaruddin
yang pertama kali dilaporkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfudz MD, yang kemudian dibalas oleh Nazaruddin membuka birokrasi terlibat dalam kasuskasus pilkada. ‘’Ini menunjukkan bagaimana tangan kotor politik sudah merambah kepada lembaga-lembaga negara yang kemudian berpotensi konflik kepentingan dan perpecahan karena memang sudah secara profesional tidak ada lagi yang dikatakan bersih,” katanya. Menurut dia, semakin mendekati 2014 konstelasi politik semakin panas dan akan terus mempengaruhi lembagalembaga negara. “Politik buka kartu akan semakin menguat,” katanya. Hal ini karena pada 2014, konstelasi politik dinilai akan sangat liar apalagi tidak adanya tokoh yang populer seperti Presiden Susilo Bambang Yu-
dhoyono yang nanti sudah tidak bisa mengajukan diri menjadi Presiden. ‘’Karena semua merasa memiliki kesempatan, serangan politik terjadi secara masif, kemudian terjadi turunannya melibatkan lembagalembaga negara, karena lembaga negara inipun sudah tidak bersih secara profesional,” katanya. Dalam kesempatan tersebut, Yunarto menilai bakal calon presiden perlu dimunculkan segera guna mendorong terciptanya suasana politik yang lebih rasional. ‘’Perlu segera dimunculkan, karena ini akan menjadi pembelajaran masyarakat, pemimpin seperti apa nantinya yang akan diinginkan,” katanya. Menurut dia, dengan kemunculan bakal capres akan mendorong masyarakat lebih kritis dan rasional. (ant)
Sasar Penegak Hukum
KPK Perlu Permanen JAKARTA - Pakar hukum tata negara, Jimly Asidiqie menganggap pentingnya lembaga penegak hukum yang membidangi masalah korupsi untuk dipermanenkan keberadaannya dimana saat ini seperti diketahui bahwa KPK merupakan salah satu lembaga penegak hukum yang bersifat Ad Hoc. ‘’KPK sebagai lembaga penegak hukum yang sebaiknya difahami sebagai lembaga yang kita perlukan dan dapat di permanenkan,” katanya. Namun yang perlu diperhatikan, tambah Jimly adalah perbaikan sistem yang perlu disempurnakan supaya dapat masuk dalam satu kesatuan sesuai dengan kebutuhan saat ini. ‘’Tapi perlu kita perbaiki supaya dia masuk dalam satu kesatuan sistem, misalnya suatu hari nanti yang jadi sasaran KPK jangan semua pejabat tapi hanya penegak hukum saja,” ucapnya. Karena KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi tidak mungkin dibebani oleh tanggung jawab yang terlalu besar untuk menanggani semua tindak pidana korupsi. ‘’KPK tidak munggkin kita bebani dengan tanggung jawab yang terlalu besar. Sehingga pemberantasan korupsi dilakukan oleh polisi dan kejaksaan, tapi polisi, jaksa, hakim dan advokat yang bermasalah baru diurus KPK. karena kalu semua di urus KPK terlalu banyak,” papar mantan calon ketua KPK itu. Ia tidak memungkiri banyaknya lembaga Ad Hoc yang ada saat ini perlu di evalusai karena keberadaan dan fungsinya yang tumpang tindih. Namun ada pula beberapa lembaga yang menurutnya justru perlu di pertahankan bahkan dipermanenkan keberadaannya sesuai kebutuhan negara, seperti lembaga yang menaungi ideologi dan konstitusi, lembaga pemberantasan korupsi, lembaga lingkungan hidup, dan lembaga hak asasi manusia. ‘’embaga Adhoc itu memang harus ada yang di merger atau bubarkan, tapi ada juga yang perlu dipertahankan,’’ tegasnya. (oga
Suluh Indonesia/ant
GALIAN - Sejumlah kendaraan terpaksa berjalan tersendat ketika melintas di dekat pengerjaan galian pipa di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta, kemarin. Galian seperti memicu kemacetan kota Jakarta.
Ipar Presiden
Menjadi Kasad JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memilih Panglima Komando Strategi dan Cadangan Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen TNI Pramono Edhie Wibowo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat yang baru, menggantikan Jenderal TNI George Toisutta yang akan pensiun 1 Juli 2011. ‘’Panglima TNI (Laksamana TNI Agus Suhartono) sudah mengusulkan Pramono Edhie Wibowo, besok dilantik. Keputusan itu sudah melalui pertimbangan para kepala staf dan rapat Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi,” kata Mensesneg Sudi Silalahi di Jakarta, kemarin. Pemilihan nama Pramono yang juga adik dari Ibu Negara Ani Yudhoyono itu dilakukan setelah Presiden Yudhoyono menerima tiga nama calon KSAD yang diusulkan Panglima TNI. Tiga nama itu merupakan hasil seleksi dari tujuh kandidat yang berhak menduduki jabatan KSAD karena menyandang bintang tiga. Tiga calon itu adalah Letnan Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo, Wakil KSAD Letjen TNI Budiman dan Komandan Kodiklat TNI Letjen TNI Marciano Norman. Nama Pramono sebelumnya sudah disebut-sebut sebagai kandidat kuat KSAD karena dinilai berprestasi. Dia pernah menduduki posisi strategis sebagai Komandan Jenderal Kopassus, ajudan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri, Pangdam Siliwangi, dan Pangkostrad. Sudi mengatakan, pelantikan Pramono yang juga putra dari mantan Komandan Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat (RPKAD, kini Kopassus), Sarwo Edhie Wibowo (almarhum) sangat mumpuni. Lulusan terbaik Akademi Militer angkatan 1980 itu memiliki karir cemerlang dalam perjalanan karirnya sebagai prajurit TNI. ‘’Memang jenjang karirnya sangat memadai,’’ kata Sudi. (har)
Pemberian Reward and Punishment
Berperan Suburkan Gerakan Terorisme DALAM sebuah sistem organisasi, pemberian reward and punishment merupakan suatu keniscayaan. Namun, itu akan menjadi sebuah persoalan ketika upaya pencegahan yang dilakukan polisi harus diukur oleh sebuah prestasi kerja. Apa konsekuensinya ? ‘’Diyakini, pemberian reward and punishment turut berperan dalam menciptakan gerakan terorisme yang makin subur dan berani,’’ demikian persoalan yang mengemuka dalam diskusi bertema “Polisi Target Utama Teroris” di Gedung Pers Pancasila, Jakarta, kemarin. Diskusi menghadirkan pembicara Ketua Biro Penerangan
Umum Brigjen Pol. Ketut Untung Yoga Ana, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane dan pengamat intelejen AC Manullang. Ketua Presidium IPW Neta S Pane mengakui adanya pergeseran target dari kelompok teroris yang mengarah pada upaya penyerangan secara terang-terangan kepada
aparat kepolisian. Kasus bom bunuh diri di masjid yang masuk dalam kompleks area Polres Cirebon menjadi bukti polisi menjadi target teroris saat ini. Neta mengakui sebagai garda terdepan dalam penanganan dan pencegahan gerakan terorisme, tidak bisa dihindari polisi menjadi pihak yang berhadapan langsung dengan kelompok teroris. Namun, dia berpendapat adanya penerapan yang salah dalam pemberian reward and punishment dalam tata kerja di kepolisian menjadi salah satu penyebab kebencian teroris terhadap polisi. ‘’Diciptakan unit-unit organisasi di kepolisian, seperti
Densus juga perlu dicermati dalam konteks membangun intitusi polisi yang utuh. Karena biasanya, jika terjadi keberhasilan dalam sebuah operasi penggerebekan kelompok teroris, Densus, Brimob akan naik pangkat. Sementara, lembaga intelejen yang merasa sudah payah, tidak naik pangkat,” ujarnya. Neta mencermati, reward and punishment yang mempengaruhi kerja polisi dengan lebih menjalankan upaya represif dibanding mengutamakan upaya persuasif dalam pendekatan penanganan dan pencegahan terorisme terjadi pasca bom Bali I dan II. Seolah terjadi
persaingan antara Densus dengan intelejen. Ia mencontoh, kasus penggerebekan teoris di Temanggung, Jawa Tengah yang diekpos secara besar-besaran sehingga mendapat perhatian media massa dan publik, menjadi bukti reward and punishment secara tidak disengaja telah menimbulkan terjadinya persaingan untuk merebut penghargaan. Padahal, gembar-gembor penyerbuan delapan teroris itu ternyata hanya menggerebek satu teroris. Begitu pula, ledakan bom buku di Utan Kayu, mempertontonkan kecerobohan seorang polisi. (har)