6 minute read

Jangan Menyerah Kawan

Meinanto Tri Yuriawan, EL '17 Wisudawan Juli 2021

Semua bermula Ketika masuk kelas 2 SMA. Aku menonton cuplikan video Aku Masuk ITB 2015 kala itu, video tentang penjelasan dari tiap fakultas dan jurusan di ITB. Seperti kata orang di film-film roman picisan lainnya, “Jatuh Cinta. ”

Advertisement

Semua bermula ketika masuk kelas 2 SMA. Aku menonton cuplikan video Aku Masuk ITB 2015 kala itu, video tentang penjelasan dari tiap fakultas dan jurusan di ITB. Seperti kata orang di film-film roman picisan lainnya, “Jatuh Cinta. ” Ya, sesederhana itu aku merasa seperti tersihir akan romansa yang ditawarkan oleh sebuah institusi. Aneh memang, aku juga tak paham. Oh ya, jika menarik waktu ke beberapa waktu sebelumnya, aku bukan orang yang cerdas ataupun rajin di suatu bidang, apalagi bidang studi, hahaha. Aku lulus dari SMP dengan nilai seadanya dan tidak punya keinginan untuk masuk ke SMA yang dianggap bagus oleh kebanyakan orang. Semangat setengah-setengah itu masih terbawa hingga masuk ke jenjang SMA. Jadi, bisa dibilang aku bukanlah orang dengan latar belakang memiliki prestasi yang gemilang.

Aku yang terlanjur jatuh hati dengan institusi yang kata orang berisi anak-anak “terbaik bangsa” ini mulai menakar diri dengan peringkat di sekolah, kemampuan dan kecerdasan kala itu. “Hmm, kayanya ga bakal bisa sih kalo SNM, SBMPTN juga tesnya susah banget pasti” gumamku kala itu. Jadi ya pesimis adalah keseharianku kala itu. Hingga suatu ketika ada seorang senior yang sudah diterima terlebih dahulu kala itu bercerita. Latar belakangnya hampir sama denganku, namun dia memiliki keterbatasan di penglihatannya, buta warna parsial katanya. Ia bercita-cita masuk ke FTTM ITB, namun untuk kesana diperlukan surat keterangan tidak buta warna. Singkat cerita ia berhasil masuk ke FTMD ITB melalui jalur SBMPTN. Ia bercerita bahwa ia belajar sangat keras sampai membuat janji pada diri sendiri untuk mengerjakan soal SBMPTN sehari minimal 1 paket. “Wah, ngaco!” gumamku.

. Merasa sebagai manusia yang tidak memiliki keterbatasan fisik, ku merasa seperti ditampar oleh diri sendiri. Dari titik itu, aku berjanji kepada diri sendiri untuk mulai belajar dengan serius, dengan niatan menguasai materi untuk nanti SBMPTN. Aku tidak pernah peduli dengan nilai yang datang, aku hanya berpikir bahwa pasti usaha tidak menghianati hasil. Sampai di titik dimana aku harus mendaftar SNMPTN. Karena pikirku ITB kala itu tidak membuka jalur mandiri sehingga jalur masuk ke ITB hanya melalui SNMPTN dan SBMPTN, aku bisa dibilang cukup gila mengambil keputusan untuk mendaftar ke STEI ITB. Pikirku, jangan tanggung-tanggung, toh ku juga tertarik ke teknologi. Di sekolahku sendiri orang yang diterima STEI ITB melalui jalur undangan bisa terbilang tidak menentu tiap tahun. Tahun sebelumnya pun hanya satu orang. Ketika pendaftaran ternyata seorang temanku ikut mendaftar ke STEI juga, Syifa Hasanah. Ketua MBC pada masanya nanti.

Dari situ aku memulai leap of faith pertama dalam hidupku. Kemudian kami berdua mendapat kesempatan yang sama untuk diterima di STEI ITB. Wah, kaget sih, hahaha. Bagaimana bisa orang yang tidak disangka-sangka sepertiku ini dapat diterima STEI ITB melalui jalur undangan? Terlebih lagi, aku melawan stigma dari sekolahku dan ikut membuka jalur untuk angkatan-angkatan berikutnya.

Sepanjang perjalanan kuliah, aku merasa kehidupan di Teknik Elektro ITB sangat berat dan tidak jarang selalu mendapat nilai yang mepet :’). Sampai di suatu ketika aku lengah, saat aku baru masuk ke jurusan ini, aku harus mengulang mata kuliah yang rasanya cukup aneh (karena tahun2 sebelumnya tidak pernah ada yang mengulang mata kuliah ini). Aku merasa sedikit shock akan hal itu, terlebih lagi di Elektro prasyarat untuk mengambil matkul cukup ketat, dan jika mengulang banyak mata kuliah maka harus menunda pengambilan skripsi dan menunda kelulusan. Terlebih IP di semester itu sangat terjun bebas jika dibandingkan dengan masa TPB, padahal kata kakak tingkatku, semester tersebut adalah semester yang harusnya bisa jadi pendongkrak nilai dari semester sebelumnya, karena semester berikutnya jauh lebih keras. Hari-hariku di Elektro hanya dihabiskan mengejar ketertinggalan dari teman-teman. Semester berikutnya pun seperti titik terang bagiku karena tidak ada matkul yang harus kuulang, dan bahkan aku berhasil memiliki IP yang lebih tinggi dibanding semester sebelumnya.

Di semester ke-5 aku sakit dan harus absen dari perkuliahan sekitar dua pekan. Sedihnya Ketika masuk aku harus berhadapan dengan ujian PSD. Ujian di Elektro tidak banyak, sehingga jika nilai sudah jelek di satu ujian, akan lebih sulit untuk memperbaiki nilai di ujian berikutnya. Kemudian hasil akhir keluar dan ternyata aku harus mengulang PSD. Di titik itu aku sangat bingung dan sempat ingin menyerah saja. Semester 5 di Elektro harusnya menjadi semester paling ‘ santai’ di Elektro dan aku tidak sanggup untuk lulus dari semua matkul yang diambil.

Berlanjut di semester 6 di Elektro yang terkenal sebagai semester paling berat, disambut oleh 4 praktikum dengan 4 mata kuliah paling berat. Sudah terkenal jika bertanya ke tiap kakak tingkat maka semua sepakat semester 6 adalah semester paling “ neraka” . Aku yang harus mengambil beban lebih karena mengulang matkul PSD itu menjalani semester 6 dengan neraka yang lebih berat lagi :’). Suatu hari LDTE membuka lowongan asisten praktikum, dan angkatanku sudah diperbolehkan untuk mendaftar menjadi asisten di semester tersebut. Aku hanya memiliki 1 mata kuliah yang bisa didaftarkan, dan rasa-rasanya aku hanya bisa tertawa melihat kondisiku. Tapi, jika melihat ke diriku tiga tahun lalu, barangkali diriku di SMA juga akan malu melihat diriku di semester 6. Dan lebih bodohnya lagi, aku mendaftar untuk menjadi asisten praktikum PMC. Leap of faith kedua di hidupku: menjalani semester paling neraka di Elektro, mengulang matkul, sekarang ditambah tanggung jawab menjadi asisten.

Kesibukanku di semester itu sangat menyita waktu, hingga aku harus mencuri waktu untuk tidur di sekre HME, mengerjakan Tugas Pendahuluan Praktikum ketika mengawasi praktikan, serta mengerjakan tugas di kelas. Sampai suatu ketika, saat pandemi menyerang, dan semua harus bertransisi ke daring. Banyak sekali sektor yang belum siap di ITB. Di masa transisi tersebut kami mahasiswa semester 6 harus mendaftar Kerja Praktek. Semua perusahaan menutup lowongan, bahkan teman-teman yang sudah diterima pun terpaksa dibatalkan penerimaannya. Tidak lama kemudian aku mendaftar ke tempat temanku yang sedang melakukan Kerja Praktek. Karena orang yang memeriksa CV ku melihat aku pernah menjadi asisten praktikum PMC, beliau menawarkan untuk mengerjakan web perusahaan beliau.

Di tengah keadaan pandemi itu aku tidak berpikir terlalu lama dan langsung mengiyakan tawaran tersebut. Leap of faith ketiga ku. Siapa sangka, aku berhasil melewati semester neraka elektro dengan beban yang lebih berat dibanding orang-orang. Aku pun berhasil memperoleh IP yang lebih tinggi dibanding semester sebelumnya :).

Memasuki semester 7 aku sempat cemas memikirkan apakah aku bisa mengambil Tugas Akhir atau tidak dengan hutang SKS yang kumiliki karena mengulang 2 mata kuliah. Ternyata bisa! Wah, siapa sangka aku sudah menjadi wisudawan sekarang. Dari orang yang tidak berasal dari SMA favorit, akhirnya berhasil mematahkan stigma bahwa STEI ITB hanya untuk anak-anak dari sekolah favorit. Dari orang yang cukup gagap mengarungi perkuliahan di Elektro, pada akhirnya berhasil menyelesaikan semester paling neraka di elektro sembari menjadi asisten. Dari orang yang cukup tertinggal, pada akhirnya menjadi orang yang berhasil diwisuda pertama.

Aku hanya ingin berpesan kepada semua orang yang masih membaca hingga akhir tulisan ini, untuk berani mengambil resiko di hidup dan terus belajar dari tiap kesempatan. Kadang ketika dunia datang dengan semua ketidakadilannya, yang kita butuhkan adalah leap of faith!

-Mei

This article is from: