5 minute read

Menjadi Mahasiswa Berjuang Mengenai Mimpi dan Harapan

Next Article
Wisnite

Wisnite

Falah Kharisma Nuraziz, EP '17 Wisudawan Juli 2021

Pengumuman SNMPTN telah diumumkan, akhirnya diterima di salah satu institut terbaik bangsa, katanya. Hal yang paling penasaran saat itu untuk diketahui adalah seperti apa kehidupan di ITB nanti? Seperti apakah orang - orangnya? Benarkah di perkuliahan itu memiliki banyak waktu luang dibandingkan ketika di SMA?

Advertisement

Masa OSKM telah tiba, mungkin bagian yang paling menarik adalah ketika memasuki kegiatan OHU (Open House Unit). Ada banyak sekali unit di ITB dimana jumlahnya sekitar 113 unit. Saat itu bertekad ingin mengikuti banyak unit supaya kehidupan ini bervariasi juga tidak hanya berkutat di akademik. Namun kenyataannya tentu engga bisa milih banyak. Bukan, bukan karena ragu atau dapet denda kalau ikut banyak unit, tapi lebih dikarenakan beberapa unit mengharuskan untuk bayar kalau mau gabung HAHA! Kalo misalkan setiap mau daftar aja ngeluarin biaya 10rb terus daftar 10 unit, udah lumayan tekor juga bosQ WKWK. Tak jarang juga ada yang nominalnya di atas itu. Apalagi mendengar kabar dari para leluhur yang hanya menjalani satu unit atau hanya tiga maksimal. Bahkan tak jarang juga ada yang masuk ke golongan GNU. Tentunya kegalauan melanda dan merasuki,

Harus daftar unit apa aja ini???

Ketika hari pertama kuliah dijalani, rasanya masih ingat pertama kali masuk ke kelas Fisika di GKU Barat. Akhirnya bisa melihat lebih dekat bagaimana tipikal anak - anak ITB. Canggung, mungkin itulah yang kata yang tepat untuk

menggambarkan suasananya pada pertemuan pertama. Dosennya pun cukup unik dalam pengamatan pribadi. Menarik sekali melihat fisika dijelaskan dengan “diceritakan”, bukan lebih ke latihan soal. Terpukau dengan penjelasannya, secarik kertas pun diambil untuk menuliskan apa yang dia utarakan. Paham? Sayangnya tidak. Tapi daripada ngelamun ga jelas kan? Begitu pula dengan dosen - dosen lain, entah mengapa tidak masuk di otak apa yang sedang dijelaskan. Dengan materi yang berpacu begitu cepat, materi yang ga ngerti pun semakin menumpuk, ketika ujian akan tiba, rasa takut tentunya muncul. Dengan proporsi umumnya 40% UTS, 40% UAS, dan 20% sisanya, tentunya proporsi ujian sangat menentukan indeks perkuliahan. Sama seperti mahasiswa ITB pada umumnya, memperoleh IP 4 tentunya menjadi dambaan. Ajaibnya menjelang ujian ternyata bisa paham juga mengenai materi yang diajarkan dengan banyak bantuan dari berbagai pihak. Tapi apakah akhirnya memperoleh nilai A semua? Hohoho tentunya tidak ferguso. Bagaimana dengan di jurusan? Uniknya, sama seperti dunia fisika yang semakin dalam semakin abstrak. Begitu pula dengan penjurusan. Beberapa mata kuliah tidak jelas bagaimana proporsi penilaian yang menyebabkan indeks yang maksimal.

Berbicara mengenai jurusan di power, sistem praktikum yang diterapkan benar-benar menarik. Dulu ketika tingkat 1 juga sudah mencoba mencari tahu seperti apa keunikan yang ada di jurusan power ini, salah satu fakta uniknya katanya tes awalnya bisa sampai 10 jam! Tentu saja aneh sekali ngebayanginnya, ga kebayang sama sekali. Namun ketika dijalani, ternyata semua rumor yang pernah dibicarakan itu benar HAHA. Meskipun sering hahahihi setiap modul praktikum yang dijalani, dipikirpikir memang aneh juga bisa lulus praktikumnya.

Penyesalan karena tidak maksimal dalam belajar saat praktikum akhirnya mengantarkan keinginan untuk menjadi asisten praktikum. Niat awalnya memang buat sekalian ngereview lagi materi praktikum di semester 5 dan 6. Ketika di akhir tersadar ternyata lumayan juga honornya. Beruntungnya entah mengapa bisa lolos menjadi asisten praktikum. Selama menjadi asisten praktikum, ternyata tersadar bahwa kalau dipelajari pelan-pelan pasti ngerti juga kok. Makanya akhirnya ga heran kalau dulu ketika menjadi praktikan banyak hal yang ga ngerti, ya karena waktunya kurang dan memang padat juga kegiatannya. Hal ini jugalah yang membuat tidak berani membantai juga ke praktikan saat praktikum. Bukan, bukan karena baik tapi karena belum ngerti juga materinya sama kok kita saat itu. Hahaha intinya maafkan wahai para praktikan jika merasa ada yang tersinggung selama praktikum, niatnya ingin memaksimalkan aja menjadi asisten kok saat itu. Wajar kok kalo memang beberapa konsep belum ngerti, yang salah kalau ga usaha belajar sama sekali hahaha.

Kehidupan di himpunan pun tak kalah menarik. Bukan, bukan sebagai BP namun sebagai salah satu bagian di Elektron HME ITB. Sangat beruntung sekali saat itu Elektron kembali dihidupkan ketika berada di semester 4 dan memperoleh kesempatan untuk menjadi salah satu penulis. Menjadi seorang penulis yang hebat telah menjadi salah satu impian sejak dulu. Rasanya juga merupakan salah satu kehormatan menjadi salah satu penulis di artikel perdana Elektron di Medium. Meskipun tahu kemampuan menulis yang pas-pasan dan kadang banyak bener revisi yang diberikan. Tak jarang pula kalimat - kalimat yang telah ditulis telah di parafrase ulang oleh editor. “Harus mampu

membahasakan suatu bahasan berbau elektroteknik ke orang awam” ternyata memang tantangan yang luar biasa. Karena di POH lupa ga nyebutin Elektron ini, perlu diberi bonus spesial berupa salah satu pigura yang mampu mengingat kembali memori pertemuan perdana tersebut.

Bagaimana dengan kehidupan di unit? Apakah memiliki banyak unit akhirnya tercapai? Tidak ternyata. Fokus di salah satu unit saja ternyata cukup berdarah-darah. Fenomena yang menarik ketika mengamati yang mengikuti unit adalah tak jarang semangatnya hilang ketika sudah lantik. Entah karena keteteran di akademik, entah karena ingin fokus akademik agar IP bisa 4, entah karena ada unit lain yang lebih menarik, entah karena merasa tak sevisi dengan unit yang dijalani, entah karena tak sesuai ekspektasi, entah karena masalah tak nyaman dengan angkatannya, dan lainlain. Mungkin fenomena menyedihkan yang pernah diamati adalah ketika ada yang berusaha mempertahankan anggota unitnya namun pada akhirnya unitnya hampir bubar dan seluruh kekeluargaan yang pernah dijalani hanya tinggal sejarah.

Pada akhirnya, kehidupan di ITB memang tidak semuanya sama dengan ekspektasi di awal. IPK 4 tidak mampu diraih, gelar cumlaude juga. Jumlah kenalan juga terbatas akibat hanya sedikit mengikuti aktivitas serta pendamping wisuda pun tak ada. Namun ternyata rasanya normal-normal saja dan banyak yang perlu disyukuri. Ketika mimpi dan harapan tidak sesuai dengan realita, apakah memang sebaiknya dari awal tidak memiliki mimpi untuk meminimalisir kekecewaan? Bagi penulis pribadi, mimpi dan harapan adalah penggerak untuk

melakukan sesuatu. Masalah akan tercapai atau tidaknya itu masalah nanti. Bagian yang terpentingnya adalah dalam mewujudkan mimpi tersebut perlu mengerahkan usaha semaksimal

mungkin. Tentu, penerapannya akan berbeda pada setiap orang. Mereka yang terlihat masih “ gagal” bukan berarti akan selamanya seperti itu. Bagi yang mengusahakan sepenuh hati penulis sendiri percaya suatu saat akan selalu mendapat keberuntungannya tersendiri.

This article is from: