MONTASE, Kumpulan Puisi Wayan Jengki Sunarta

Page 1


Wayan Jengki Sunarta

Montase

Pustaka Ekspresi


Montase

© Wayan Jengki Sunarta Penerbit Pustaka Ekspresi Jl. Diwang Dangin No.54, Br. Lodalang, Desa Kukuh, Marga, Tabanan, Bali 82181 Tlp. 081338722481 Email: pustaka_ekspresi@yahoo.com Tata Letak Gede Phalayasa Sukmakarsa Lukisan Sampul Herry Yahya Foto Profil Handy Saputra Cetakan pertama: Agustus 2016 ISBN: 978-602-7610-73-6


Untuk Mahaguru: Umbu Landu Paranggi & Frans Nadjira

Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan Karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan‌ (Umbu Landu Paranggi)

Hanya orang-orang tak waras yang berani menyeberangi batas angan milik penyair‌ (Frans Nadjira)


Isi Pengantar Penyair Aku Menemukanmu Ubud, Gerimis Menyapa Mengenang Murni Perjalanan Tak Ada yang Hilang Kau Mengukur Jiwamu Serenade Kembali Ke Denpasar Ibu Pasar Kumbasari Sabitah Napak Pertiwi Agustus Belum Pupus Kota Yang Dikutuk Pemabuk Fort Rotterdam Di Kedai Kopi Fort Rotterdam Di Somba Opu Fort Rotterdam Malam Hari Di Tepi Losari Malam Mabuk di Ubud Kemang Lembang Menuju Baleendah Di Buahbatu, Bandung Menyusuri Malam Braga Cikini Pelabuhan Sunda Kelapa Taman Fatahilah Pralaya Matra Interlude Perjalanan Puisi Untukmu

i 1 2 4 6 8 10 11 12 13 14 15 16 18 19 21 23 25 26 27 28 29 30 31 32 34 35 37 39 41 42


Pagi Negara Dunia Ketiga Siang Negara Dunia Ketiga Senja Negara Dunia Ketiga Malam Negara Dunia Ketiga Subuh Negara Dunia Ketiga Imajinasi, Kau, dan Danau Sentani Di Kafe Memories, Jakarta Garut Lereng Medini Lereng Merbabu Lereng Merapi Sajak Akhir Tahun Ubud, Hanya Keluh dan Riuh Teluk Benoa Negeri Jerebu Serenade Malam Derita Kian Melata Derita Jelata Malimbu Mengenang Kupang Sopi Gua Tengah Malam Tarian Lena Tafsir Clair de Lune — Debussy

43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 57 59 61 63 65 66 67 68 69 70 71 72


Pengantar Penyair Mencipta puisi bagi saya adalah proses yang tidak pernah selesai. Sama halnya dengan proses belajar memaknai kehidup­an dengan beragam warnanya. Ketika saya pertama kali menapaki jalan puisi pada awal 1990-an hingga kini, puisi selalu memberi banyak kemungkinan dan kejutan tak ternilai, yang membuat saya lebih memahami keberadaan sebagai manusia. Puisi adalah anugerah Semesta yang memberkati pengem­baraan batin saya menjelajahi rimba kehidupan. Montase adalah buku kumpulan puisi saya yang kelima setelah Pada Lingkar Putingmu (bukupop, 2005), Impian Usai (Kubu Sastra, 2007), Malam Cinta (bukupop, 2007), Pekarang­ an Tubuhku (Bejana Bandung, 2010). Montase menghimpun 55 puisi yang saya pilih dari masa penciptaan tahun 2010 hingga 2016 dan belum pernah dibukukan secara utuh. Namun, tentu saya tidak akan berhenti sampai di sini. Pada suatu waktu nanti akan kembali lahir buku puisi yang membuat saya semakin merasa bermakna menjalani kehidupan. Secara umum, montase dapat diartikan sebagai komposisi yang dihasilkan dari percampuran unsur dari berbagai sumber. Montase lebih sering dilakukan pada seni rupa, namun bisa juga pada sastra, musik, tari, atau seni lainnya. Pada seni rupa, montase dihasilkan dari mengomposisikan potongan beberapa gambar yang sudah jadi. Misalnya, gambar mobil dari majalah dipotong, lalu dipadukan dengan gambar orang dari sebuah koran, atau gambar lain dari sumber berbeda, kemudian dikomposisikan dan ditempelkan pada bidang gambar. Pemilihan “Montase” sebagai judul untuk buku kumpul­an puisi saya ini mengacu pada keberagaman tema, ekspresi batin, dan gaya ucap, yang disatukan menjadi sebuah buku yang utuh. Misalnya, meski banyak puisi dalam buku ini meng­ angkat tempat/daerah sebagai subject matter, namun seturut i


ekspresi batin hal itu berkembang ke berbagai persoalan lain, seperti kritik sosial, kisah cinta, kecemasan, renungan spiritual, dan sebagainya. Buku ini adalah montase dari 55 puisi terkait berbagai perjalanan dan persoalan yang mengusik batin saya. Buku ini bisa terbit dan sampai ke tangan pembaca atas bantuan berbagai pihak. Untuk itu, saya meng­ucap­ kan terima kasih kepada Made Sugianto sebagai penge­ lo­la Pustaka Ekspresi yang bersedia menerbitkan buku ini. Saya juga ucapkan terima kasih kepada Phalayasa Sukmakarsa, Handy Saputra, dan Dewa Putu Sahadewa yang turut berperan membantu penerbitan buku ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada kedua orang tua yang mendidik saya dengan segala kasih sayang­nya. Dan, kepada mahaguru Umbu Landu Paranggi dan Frans Nadjira, yang tiada henti mendidik saya men­ jalani kehidupan puisi dengan cara-cara unik mereka.

Batuyang, Batubulan Kangin, Gianyar, 17 Agustus 2016

Wayan Jengki Sunarta

ii


Aku Menemukanmu aku menemukanmu o, saudara masa lalu yang lahir kembali di kebun-kebun kopi siapa menujum ruhmu jadi bongkah-bongkah batu tumbuh di ladang-ladang kaum tani jangan tanya dari mana aku hanya pasasir yang mampir setelah beratus tahun terlunta dalam rimba rahasia kini, aku menemukanmu meski yang menyapaku hanya tumpukan batu memeram masa lalumu

(2010)

1


Ubud, Gerimis Menyapa pemabuk itu kembali menyusuri jalan yang sama gerimis menyapanya lebih ramah layaknya saudara yang lama berpisah mungkin gerimis rindu padanya rindu celoteh dan igau-igau yang membungkam malam sebelum dia sendiri tersungkur dihajar mimpi-mimpinya pernah suatu waktu sembari kencing di lorong Ubud dia mengutuki tiang-tiang listrik dan lampu-lampu kafe yang mencibirnya sinis “kembalikan cahaya kunang-kunang padaku!� teriak pemabuk itu pada lelampu kafe, yang makin malam genit menyapa turis terhuyung pemabuk itu melangkah menyusuri jalan yang macet, jalan yang pernah memberinya cinta pertama jalan yang dulu hanya pematang sawah jalan yang kini dipenuhi reklame, hotel, ruko, dan tentu saja kafe seorang turis perlente iseng menyapanya: “hello, apa kau masih punya tanah, pratima, uang kepeng, atau benda antik lainnya? 2


saya mau membelinya!� belum sempat bersuara si pemabuk terjungkal dalam comberan keruh gerimis menyelimuti tubuhnya dengan mesra

(2010)

3


Mengenang Murni – untuk pelukis I Gusti Ayu Kadek Murniasih – “saya hamil saat itu” tulismu di balik lukisan kecil yang kusimpan demi mengenangmu lukisan itu bercerita sosok perempuan hamil muda mengulum benih bunga dalam sangkar hijau toska Murni, kau tak perlu hamil anak-anak rohanimu telah mengembara sejauh cahaya “aku inginkan anak dari rahimku,” ujarmu pilu pucuk-pucuk ilalang mengering di halaman rumahmu Murni, rahim batinmu telah memberimu banyak anak melebihi yang kau duga kau bagikan saripati jiwa pada anak-anak berkursi roda kau beri mereka kuas, kanvas, warna

4


dan segala dera derita tumpah jadi lukisan tak terduga Murni, kini, di alam damai itu mungkin kau melukis malaikat yang tersedu kehilangan rahim atau menggambar wajah Tuhan dengan warna-warni derita manusia

(2010)

5


Perjalanan aku terus melaju perjalanan makin mendebarkan gerimis melukis hati meski tak sepenuhnya kupahami gunung-gunung menerka detak nadi mengurai detik demi detik dewa-dewi melipat kabut menggumamkan asmarandana aku terus melaju karang-karang lahar beku pepohonan hijau sumringah hari yang lelah merekah namun, entah tiba di mana perjalanan ini jalan yang kutempuh tak semudah waktu dulu mungkin berakhir di jiwa kelu angin garam membelai pepucuk ilalang menerbangkan bunga-bunga putihnya namun, aku selalu merasa kehilangan separuh jiwa ada saat aku mesti rela membuka jiwa menerima rahasia semesta ikhlas melepas segala yang telah jadi tilas 6


sejauh perjalanan mungkin tak terhitung berapa tikungan telah kulewati berapa debar masih tersisa berapa lubang buat aku oleng berapa tanjakan bikin mengeluh terkadang menjerit gemas melepas hasrat yang cemas menuruni lembah curam begitu rawan begitu rawan‌ ah, perjalanan ini menjebak aku memeram kisah demi kisah kenang sepanjang kenang

(2010)

7


Tak Ada yang Hilang tak ada yang hilang ketika musik itu mengalun ketika kau tertegun di pembaringan yang sedingin musim hujan adakah kau temukan kutuk di pelupuk mataku? tapi sedetik itu kau berkisah tentang pungguk yang merayu malam bulan menjauh dari reranting waru tak ada yang hilang lonceng di kejauhan berdentang mataku jadi siang kau masih terlentang di ranjang mataku menerawang pusar waktu membiru hutan-hutan tropis menipis di lembah-lembahmu yang hangat lazuardi hanya sepohon khuldi semadi di atas bukit diliputi halimun dan sepasang ular kasmaran di ceruk-ceruk matamu kelabu tak ada yang hilang nujuman demi nujuman 8


telah mendedah waktu membuka taman-taman silam kini aku mengerti memang, tak ada yang hilang hanya separuh kenang jadi bayang-bayang lekang kepayang di penghabisan malam lesap jadi nyeri yang asing

(2011)

9


Kau Mengukur Jiwamu kau mengukur jiwamu entah di mana kedalamannya matamu memeram sisa malam musim bunga akan kembali tiba taman-taman membuka rahasianya alunan genta dan taburan doa upacara-upacara mendedah jiwa Tuhan pun mabuk kata-kata langit memberi restu puisi demi puisi lahir letihmu mekar di ujung pagi halimun membasahi dedaun

(2011)

10


Serenade malam mengelus bahumu putih mulus waktu yang merayap pelan hampir tergelincir di situ kau meraba pergelangan tanganku meyakinkan darah mengalir lebih deras dari biasanya aku hanyut dalam arus deras darah di tubuhku sendiri arus deras dari sungai-sungai purbani yang berpusaran di dasar lingga malam mencium keningmu membelai rambutmu nadiku berpacu ubun-ubunku menyala segala yang rahasia membuka diri perlahan kelopak-kelopak padma merekah benih-benih embun tercurah tanah basah

(2011)

11


Kembali Ke Denpasar tak ada yang pupus dari ingatan ketika aku kembali ke kota ibu jalan-jalan lengang subuh pemabuk tergeletak di bawah patung pahlawan lampu-lampu merkuri memeram bau parfum pelacur jalanan

(2011)

12


Ibu Pasar Kumbasari subuh belum luruh kau telah menanak peluh di jalan-jalan becek pasar kota bergelut dengan bayang-bayang pagi yang setengah buta kebaya rombeng dan kain lusuh sayur mayur, ikan asin, bumbu dapur, palawija dalam keranjang anyaman bambu di kepalamu berkisah tentang letih subuh dan penat tubuh aku tahu, ibu, kaulah pengempu kehidupan kota ini dari jalanan desa kau melata tersihir cahaya lampu-lampu merkuri tak ada yang mampu menahanmu untuk tak putus-putus mencurahkan kasihmu ibu, tarianku tak ‘kan pernah sampai di jalan-jalan yang kau pijak dengan kaki telanjang aku menghormatimu melebihi hormatku pada para dewa yang selalu kau puja dengan sesajen dan upacara-upacara hingga tanganmu terasa mati rasa di pucuk-pucuk janur, serbuk-serbuk dupa dan kelopak-kelopak bunga ibu, jika saat itu tiba ijinkan aku merasakan peluhmu membasuh sanubariku agar aku makin memahami rahasia semesta yang menyala di ubun-ubunmu (2011)

13


Sabitah kau yang berkilau di hening langit malam bawa rinduku pulang ke rumah tua tak ada pintu yang bisa kuketuk lelah langkah dan mata suram jangan biarkan aku terlunta di jalanan bawa aku pulang ke rumah tua sabitah, kau yang bercahaya dari jiwa-jiwa purba semesta menyisakan kerumunan aksara tak usai dimaknai ke mana perginya kenangan jalan-jalan kota lunglai wajahku tak lagi punya arti pengemis dan gelandangan berserakan di emperan sabitah, tuntun aku ke rumah tua agar kilau cahayamu melengkapi perjalananku

(2012)

14


Napak Pertiwi – untuk: perupa Putu Bonuz – gema genta dan puja mantra berbaur resah ombak Nusa Penida Ratu Gede Mecaling menggurat takdirmu di rumah tanah, di pasir, di udara, di langit, di tebing karang, di perangai cuaca, di mbang hening seorang bocah menangis berlari sepanjang pantai perahu makin menjauh membawa kenangan pergi takdirmu ribuan warna tercurah dari kuas gelisah menari tak tentu arah menapak pertiwi kau lukis jiwamu sendiri dari mantra ke mantra kau gurat garis sakti menakar dan mengukur umur pada merdu nyanyian tekukur di pucuk-pucuk nyiur tepian pantai Nusa Penida di udara doa-doa hambur warna dan hidupmu makin bermakna (2012) 15


Agustus Belum Pupus – untuk: penyair Wayan Arthawa – agustus belum pupus ketika kau bergegas meninggalkan kata-kata getas di pintu pagi yang cemas tak ada tanda di pelepah pohon lontar di mana dulu para leluhur menakik namamu mengutuk takdirmu jadi sang kawi betapa fana tatap mata gadis-gadis jelita taman Tirtagangga betapa jelata ibu-ibu peladang salak ketika kau terharu menyadap sajak hingga duri jadi rindu hingga rindu jadi rinai di setapak jalan Telaga Tista tak ada tanda mengurai airmata cuaca tiba-tiba buta kata demi kata yang kau tempa menyerpih di keranjang sayur ibu pasar Amlapura agustus belum pupus aroma tuak mengaliri nadiku subuh makin rapuh dalam mabuk kubaca isyarat itu 16


hanya kita dan kata yang paham makna kehilangan

(2012)

17


Kota Yang Dikutuk Pemabuk inilah kota yang dikutuk para pemabuk ketika kau menziarahi nisan-nisan puisi yang berlumut di alun-alun tua matamu menyalakan lampu-lampu merkuri papan-papan iklan menyihir malam-malam gilamu inilah kota di mana tapak kakimu akan lunas di ujung senja penghabisan diterpa bunyi klakson bertubi-tubi dan kau pun sekejap lenyap di tikungan itu tak ada lagi yang mengenali jejakmu inilah kota ketika suaramu makin sepi di tengah riuh tawar menawar di ruang-ruang kantor pemerintahan tak peduli bayang-bayang linglung kaum jelata makin kusam makin melata makin menggema di aspal-aspal jalan

(2012)

18


Fort Rotterdam tak ingin kehilangan jejakmu siang itu kugambar parasmu di dinding Fort Rotterdam di halaman benteng tua daun-daun palma kehilangan gairah terik hari menyusupi jiwa tapi aku masih setia menyusuri kata demi kata yang menjalar dari manis bibirmu sijingkat langkahmu sebayang-bayang jemarimu terasa begitu akrab ah, mata jelita pemeram beribu rahasia betis cahaya menyihir penyamun kata angin laut beringsut berebut wangi rambutmu kaukah cahaya atau hanya sisa waktu melintasi nisan demi nisan serupa arwah serdadu di jalanan berlapis bebatu 19


aku gagu memunguti jejakmu meramunya dalam puisi kelu

(2012)

20


Di Kedai Kopi Fort Rotterdam dalam gelas kopi yang sisa hanya ampas puisi dan gumam getas endapan malam di meja kayu angin garam rambutmu lengang jalanan berdebu dan kita hilang tuju seorang pengamen gila mengiris senar gitar dengan butir-butir air mata pengemis cilik berbau amis menjulurkan tangan ke udara berharap gerimis memberkatinya tapi kau igaukan doa tak selesai yang ditulis penyair tak ternama celoteh dan tawa tetamu kedai berbaur bau pelabuhan kuli-kuli letih bergeletakan di lantai kotor monumen pantai bercampur pesing kencing dan ludah pelacur jalanan namun, kau masih saja silau lelampu perahu di kejauhan

21


pengamen gila meratapi jiwamu

(2012)

22


Di Somba Opu agak ragu kugurat namaku di pilar kayu Somba Opu baruga tua itu telah kehilangan tuan tanah rata, berdebu, rumput enggan hijau hanya pepohon mahoni berbagi teduh di setapak jalan kudengar tabuh rebana berpadu lagu kerajaan Gowa didendangkan pengembara kau buka jendela baruga senyummu diluruhkan nada kau lihat? pecinta yang tersesat diseret langkah lelah di hari berkeringat di Somba Opu, apa yang pilu selain langkah makin ragu

23


menjauh dari barugamu

(2012)

24


Fort Rotterdam Malam Hari cahaya matamu merekah di langit malam Fort Rotterdam meski tarian bissu belum usai kuraba arah cahaya yang terbayang hanya wajahmu para penari bissu menakik tapak tangan dengan keris di kejauhan di kelam lorong-lorong malam aku menakik jiwaku dengan mantra dan kata-kata sajak tapi yang terbayang hanya wajahmu gamelan berhenti suara penari bissu usai menabur mantra

(2012)

25


Di Tepi Losari tak tampak jejak kerang di hampar pasir yang hampir hangus terpanggang terik siang namun, pada teduh matamu aku masih menemukan sisa kilau cahya mercu saat kau berkisah kampung halaman yang jauh dan kenangan masa bocah di resto terapung yang sisa hanya murung mengambang di udara siang denting garpu dan piring makin hening ruap garam dan aroma ganggang mengekalkan perpisahan di tepi losari biru pantai makin sepi tanpa puisi

(2012)

26


Malam Mabuk di Ubud kuziarahi lagi kau dengan arak ramuan mari bersulang untuk kenang demi kenang dan kekonyolan kita hujan pun henti dalam kibasan tanganku malam dan lelampu merkuri gemetar di ujung jari di depan Puri Ubud celoteh berbaur sisa-sisa puisi basah wajah demi wajah membasuh jiwaku (masihkah kau kenang namaku?) di jalan pulang kulihat Tjokot, si pematung bungkuk itu tertatih memanggul bongkah kayu: “akan kupahat tubuhmu subuh nanti jika bertemu Lempad, sampaikan salamku belum usai dia gurat garis takdirku‌â€? aroma arak, lirih gerimis, malam igau wahai, pejalan mabuk di Ubud tak kau temukan dirimu (2012)

27


Kemang jika suatu waktu aku tiba lagi di jalanan berhias cahaya malam ingin kukenang wajahmu dalam setangkup dosa sebagai laron aku tak henti memburu cahaya meski pada ikal rambutmu gerimis menjelma kata-kata kupasrahkan rapuh sayapku pada hangat tubuhmu cintaku, kita makin tua di jalanan namun apalah yang lebih mungkin selain terus berjalan mencari tempat aman dan nyaman sekadar memulihkan letih kita beribu wajah kuyu, pesolek ibu kota, gelandangan, pengamen, bromocorah, pelacur tua tukang parkir, dan Tuhan yang bisu membayang di lelangit kamar losmen namun, siapa peduli? sebagai laron aku hanya ingin menerka cahaya dalam kelam jiwamu (2012)

28


Lembang di Lembang waktu yang murung meremang menyimak bayangku kau kehilangan igau halimun melata di jalanan udara menggigil dalam mantel kelabu pepucuk pinus tuntas menghapus namamu

(2012)

29


Menuju Baleendah jalanan lempang kepayang membayang wajah ibumu tanganmu memeluk erat pinggangku hangat tubuh merambati punggung detak jantungku makin kencang seirama laju motor, riuh kendaraan, ladang gersang, udara berdebu sungai Citarum menganga serapah sampah, genangan air keruh merendam perkampungan seleret gunung lembut menggoda hampir rampung sehampar sawah jadi pemukiman kaum urban dangau-dangau kumuh perlahan ditinggalkan petani motor terus melaju makin berdebar hatiku tiba di Baleendah tiba di pintu rumahmu rindu pun meleleh membasahi sendu wajah ibumu

(2013) 30


Di Buahbatu, Bandung di Buahbatu kutemukan diriku mendedah jejak lampau berceloteh anggur merah mereguk malam hingga tandas di Buahbatu para sahabat menggurat namaku di tembok kafe kampus seakan mengekalkan kenangan dalam gemuruh kota di Buahbatu petikan kecapi mengiringi jiwaku silaturahmi dengan jiwamu di Buahbatu akik, anggur merah, arak dan wajah Tuhan yang pucat merasuki malam laknat di Buahbatu waktu seperti beludru menghampar lembut rindu pertemuan

(2013)

31


Menyusuri Malam Braga adakah yang paham di mana waktu menepi sebelum kenangan menyepi pada sisa jejak kita lampu-lampu kota langit Braga menghitam di atap gedung-gedung tua mengukur kisah silam di kedalaman jiwamu tembok-tembok kelabu, guratan grafiti dan tanda hati bayangmu makin muram lorong-lorong menunggu ngilu malam pun buta pelacur merayu udara berdebu tukang parkir bercengkerama dengan kerlip lelampu layu malam pun bisu agak mabuk di trotoar berembun kau menari salsa dengan bayanganmu kita tak pernah paham di mana waktu menepi apakah di hampar puisi

32


apakah di basah matamu, ataukah di pupus cintaku

(2013)

33


Cikini bayangkan tentang sepi di tengah riuh kendaraan dan kemerlip lelampu kota ketika seekor anak kucing gemetar melintasi gerimis bayangkan tentang birahi ketika para penyair menulis puisi cinta picisan sementara beribu pelacur berduyun memenuhi ibu kota demi menghibur lapar bayangkan tentang nyeri ketika seorang veteran setengah buta memunguti botol-botol bir hingga pagi sembari berceloteh perihal negeri yang kehilangan jati diri di Cikini, sepi, birahi, dan nyeri saling berpacu melintasi gerimis seekor kucing lumat dilindas kendaraan di Cikini aku tersedu merindui-Mu sembari mereguk sisa bir dari botol terakhir

(2013) 34


Pelabuhan Sunda Kelapa aku berkawan debu, air keruh dan udara bertuba langkah gontai menyusurimu di terik siang Sunda Kelapa tongkang, perahu kayu, tiang layar tak lagi rindu lengking camar hanya seringai kuli-kuli pelabuhan menahan lapar di legam kulitnya matahari mati rasa seorang kakek menawariku bersampan “kan kuajak kau melayari masa silam Sunda Kelapa,� ujarnya senyum kakek itu begitu akrab muncul dari muara keruh di antara tongkang, perahu, dan sampah kota Jakarta dari atas sampan, kakek bertopi pandan itu, kembali bersuara: “anak muda, kau seperti tak asing di mataku mungkinkah dulu kita pernah bertemu?� aku hanya senyum santun tak ada kata yang mampu menjelaskan pertemuan kakek itu lenyap dari pandangan kembali kususuri jalanan berdebu 35


hingga ujung pelabuhan langit tiba-tiba menghitam di tiang layar seekor anak camar gemetar menahan angin garam di jalanan pulang aku terkenang kisah yang lekang kakek tua itu adalah aku

(2013)

36


Taman Fatahilah suara adzan bersahutan menggema di dinding bangunan Belanda menyusupi relung-relung jiwa Jakarta bergetar di senar-senar gitar bocah pengamen di tugu alun-alun kota tua sejarah bermula ditulis dengan darah di lembaran kisah pedih masa silam Fatahilah, Sunda Kelapa, rempah-rempah, serdadu Portugis, tentara Belanda, laskar Demak, prajurit Cirebon, candu, mesiu, bau bangkai, amis darah, budak, kuli, raja, penguasa berkelindan di kedalaman jiwaku di pusat kota ini aku bercengkerama dengan bebayangku sendiri sebatang pohon tua meranggaskan kenangan di bawahnya seorang veteran menyayat senar biola dengan ngilu lagu lawas Batavia melantun namun, di mana kau, kekasih? jejak langkahmu merambahi udara senja yang kuhirup

37


suaramu mengalun dari pelepah palma yang disepuh warna kencana di mana kau, kekasih? di alas tikar plastik aku bersila memusatkan rasa dan jiwa seorang ibu paruh baya menyeduhkan kopi untukku bocah-bocah pengamen menghiburku dengan suara serak pengemis-pengemis memelas menjulurkan kaleng bekas siapakah aku di taman ini sehampar pemukiman masa silam yang kini berganti rupa aku bukan Portugis, bukan Belanda, bukan Tionghoa, bukan Demak, bukan Cirebon, bukan Bugis, bukan Sunda, bukan Betawi, bukan Bali, bukan Melayu, bukan Jawa aku semesta kecil yang terkurung dalam diriku taman ini telah berjanji menggenapi rindu ketika senja tak lagi kehilangan arah ketika jiwa tak lagi berjarak melebur seluas semesta

(2013)

38


Pralaya Matra – untuk: perupa Nyoman Erawan – kususuri puing dan arang di reruntuhan warna yang garang kau tabur kutemukan kanvas usang, lelehan cat, kayu terbakar, patahan kuas anyir darah, bau bangkai hangus, airmata, dan tangis bayi kelaparan Erawan, beribu-ribu sesaji dihaturkan di tanah Bali tapi para penghuninya makin kehilangan jati diri benang tridatu tak lagi bertuah, trisula tumpul, kain poleng jadi taplak meja, tapakdara sirna makna hamparan kanvasmu seperti padang kurusetra tapi kau terus melukis dengan darah dan airmata tengah malam, lolongan anjing-anjing kuburan berloncatan dari warna-warna yang kau toreh apa lagi yang kau cari, Erawan? nujumanmu tak dipahami anak-cucu kekuasaan dan keserakahan makin bertriwikrama tanah Bali habis dijarah bromocorah dan durjana kau bergumam: “pralaya keindahan maha sempurna kehancuran mula kehidupan baru.” aku paham, dengan kuasa aksara dan warna kau hanya ingin bersuara 39


meski lidah dan jiwamu nyaris hangus diberangus pralaya

(2013)

40


Interlude Perjalanan bunga-bunga cahaya merekah sejauh perjalanan menujumu sekilas kenang demi kenang memaknai hidup dari kota ke kota dari dusun ke dusun pepohonan berkilau disepuh purnama tak ada yang mampu menghentikan rindu yang luruh di setiap pertemuan perjalanan itu menyatu dalam alur nadiku dan bunga-bunga cahaya menuntun jiwa menujumu

(2013)

41


Puisi Untukmu kangenku padamu, cintaku seperti bunga-bunga tembakau rekah sebelum tiba subuh cintaku padamu, kangenku seperti pepucuk bunga cengkeh aromanya memenuhi jiwa kita lintasi hari-hari cerah kaum tani kita lalui pula tahun-tahun kelam hembusan angin barat gemuruh menghancurkan ladang tembakau tapi tak usah cemas, cintaku pagi senantiasa berganti senja segera paripurna kangenku tak pernah usai cintaku tak habis lantaran sekilas prahara

(2013)

42


Pagi Negara Dunia Ketiga di taman ini tak kudengar kicau tekukur hanya tukang sapu membungkuk merenungi sisa sampah dan debu cahaya pagi menyajikan aroma tubuhmu begitu murni, sewangi kopi sehangat hisapan tembakau di emperan bangunan tua gelandangan menggulung badan mimpinya hinggap di pucuk gedung-gedung kota

(2013)

43


Siang Negara Dunia Ketiga gemuruh kendaraan comberan bacin udara keruh dan pacuan waktu seirama serak batukku terik siang, kawan setia bayang-bayang senyummu adalah keajaiban menggenapi dahaga berteduh di rimbun pohon seekor serangga sekarat di sela-sela daun kering dikerubungi semut merah tak jauh dari situ seekor kucing buduk meringkuk di tumpukan sampah udara kotamu telah meranggaskan bulu indahnya

(2013)

44


Senja Negara Dunia Ketiga senja berdebar menjalar di sela-sela jendela bangunan kumuh tak ada yang paham mengapa waktu seakan membeku di taman kota tak ada yang tahu mengapa kau pejamkan mata ketika kucium keningmu hanya senja yang rela mencurahkan sekilas cahaya di kedalaman jiwa kita

(2013)

45


Malam Negara Dunia Ketiga malam memoles gincu cahaya sumringah berkilau kaum jelata meraba saku pesta di alun-alun kota jagung bakar, telur asin, es cincau, pecel lele, teh hangat, kopi jahe tergelar di tikar plastik kuda lumping, penjual obat, akrobat, tukang ramal, pengamen, pengemis, pencopet, begundal, tukang parkir, penjual baju, wangi malam minggu mewarnai mimpi-mimpi kita jangan lagi tanyakan mengapa kita bisa bersama berpegangan tangan saling meraba dan membaca harapan di taman kota ini kita nikmati saja malam yang berdandan dan kilau-kilau cahaya yang menorehkan nama kita di tugu tua alun-alun

(2013)

46


Subuh Negara Dunia Ketiga subuh adalah wilayah teduh bagi yang merindui kemesraan mari, sayangku, lekatkan tubuhmu ke tubuhku kita berbagi hangat agar kau makin paham kisah silam yang pernah mengusir kita dari taman kini, kita tak perlu lagi taman itu, aneka wangi bunga dan khuldi telah kita nikmati sejauh perjalanan menyatukan diri “aku menyayangimu seperti nyawa mencintai tubuh,� bisikmu subuh dan tubuh mungkin kawasan paling aman dan nyaman untuk sembunyi dari tatap keji ibu kota kita yang makin tua yang tak peduli jerit lapar kaum jelata

(2013)

47


Imajinasi, Kau, dan Danau Sentani dengan perahu kayu kau seberangi danau Sentani agak ragu kau raba ricik airnya “air di sini warna hijau,� ujarmu berkawan langit biru dan kaum hitam kau terus berkayuh ke tengah danau perlahan pulau Kensio membuka diri serupa bunga rekah di hari dini kau jejakkan kaki di pulau terpencil itu seperti Columbus kau merasa menemukan sesuatu mungkin kepercayaan diri atau keraguan yang samar “kau tahu, pulau ini hanya dihuni 40 kepala keluarga Papua betapa terasing dan sederhananya mereka.� ah, calon antropolog, juru warta peradaban berapa pulau lagi mesti kau jelajahi berapa suku lagi ingin kau telisik? untuk meyakinkan diri betapa sejak awal mula manusia telah terasing dengan dirinya sendiri (2013) 48


Di Kafe Memories, Jakarta – bersama R.S.A. – di jalanan, malam merangkak meraih subuh yang letih sementara di sudut kafe ini kita hanyut dalam irama blues gelas-gelas bir saling berdenting kita berbagi cerita tentang kota yang bersolek penuh warna yang begitu dicintai bencana di jalanan, seorang gelandangan mengorek tumpukan sampah berharap sisa makanan irama blues memenuhi jiwa kita cintaku, betapa hidup makin fana berselimut kemilau cahaya kota

(2013)

49


Garut gerimis belum henti ketika aku sampai di pelataran hatimu yang hijau pegunungan malam suara serangga lelampu kota di lembah Garut menjalari relung jiwa seperti puisi yang kau gurat kata demi kata tercurah menggenangi musim resah tapi aku tak pernah sampai pada lamunanmu yang hijau pepucuk cemara

(2014)

50


Lereng Medini setelah jalan berliku dan berbatu aku tiba di semayam kesunyianmu halimun memeram rahasia gadis-gadis desa pemetik teh aku merindui Medini memburu puisi sejati mendengar kisah Kyai Kidang dan makam tua tengah hutan yang melantunkan pilu mengiris cemas perkampungan sejauh senja, halimun bertahta namun bara dalam unggunan masih setia menyala hangatkan jiwa pengembara

(2014)

51


Lereng Merbabu hutan cemara, hutan cemara‌ ke arah mana halimun sirna jalan setapak, tanah basah peladang tembakau pulang senja gamelan jawa mengalun dari dusun-dusun pedalaman aku tiba dari jauh membawa cinta sepenuh jiwa halimun, halimun‌ ke mana perginya hutan cemara

(2014)

52


Lereng Merapi aku tersesat jalan setapak ini memberiku banyak kisah seperti kabut setiap peristiwa memiliki rahasianya sendiri di lereng ini cemara dan bunga-bunga perdu selalu melahirkan beribu lakon aku tersesat namun, jalan ini mungkin membawaku menuju-Mu

(2014)

53


Sajak Akhir Tahun kurayakan semesta dalam diriku langit gemerlap kembang api terompet akhir tahun telah ditiup berbaur ledakan mercon kurayakan umat manusia, pohon-pohon, hewan-hewan, sungai, samudera, penghuni langit, pegunungan, jin, dedemit, danyang, dan segala yang tak terucapkan kurayakan cinta kasih dari segala penjuru angin kurayakan Kau dalam semestaku ketika berita duka melayang di udara ketika airmata kehilangan makna Kau rayakan aku dalam semesta-Mu ketika bumi yatim piatu dan aku kehilangan pintu menuju-Mu

(2014)

54


Ubud, Hanya Keluh dan Riuh malam makin mabuk seorang turis separuh baya berceloteh tentang Rsi Markandeya dan masa silam yang hanyut di sungai Campuhan aku menenggak arak sembari membayangkan cahaya kunang-kunang di pematang sawah turis itu terus berkicau tentang Bali dan cukong-cukong pariwisata di Ubud yang sisa hanya keluh dan riuh Lempad dan Tjokot telah lama mati gemuruh tarian kecak perlahan sirna ditelan bingar musik kafe dan cukong-cukong pariwisata beramai-ramai memberaki Bali celoteh turis makin berdengung seperti kerumunan tawon aku pergi menjauh duduk di bawah pohon jepun berteman arak dan sepi bercengkerama dengan diri di pelataran pura, seorang kakek tua menari sendiri

55


tongkat di tangannya menunjuk-nunjuk ke arahku malam makin kelam langit mencurahkan gerimis seperti tirta suci memerciki ubun-ubunku..

(2014)

56


Teluk Benoa – kepada investor serakah – jika suatu saat aku mati aku tak perlu kuburan bakar mayatku dan tebar abuku di laut tempat aku bisa bercanda dengan ikan-ikan cahaya, kepiting, ganggang, ubur-ubur, dan segala penghuni niskala namun, jika kau paksa mengubur laut daerah istirahku nanti jika kau paksa bikin pulau buatan bersiaplah aku akan terus gentayangan di saku kemejamu, di meja kasinomu, di apartemen, di hotel, di restaurant, di kolam renang, di villa, di segala tetek bengek yang kau puja puahhh…aku akan terus meniupkan mantra dari jiwa-jiwa nelayan dan pelaut teraniaya dari jiwa-jiwa kaum jelata yang kau tipu dari jiwa-jiwa pasrah ibu bumi aku akan menghisap ubun-ubunmu dari semestaku maka, dengan mudah pula bagiku menenggelamkan daratan buatanmu sekali hisap hancur pesta poramu musnah serakahmu hutan-hutan bakau berkerumun dalam jiwaku 57


dan kau hanya sepercik debu yang sekejap sirna disapu waktu

(2015)

58


Negeri Jerebu jerebu mengepung negeri kami lebih mengerikan dari tentara atau polisi sama memuakkan dengan politisi dan para pelaku korupsi di halaman rumah kami bunga mawar dan melati tampak muram dan kelabu burung-burung kutilang tak mampu berkicau kucing kami meringkuk di depan cawan air bulu-bulu indahnya meranggas perlahan penghuni hutan telah lama mengungsi sebagian mungkin telah mati terbakar atau dibakar namun kami tak bisa pergi dari negeri celaka ini kami tak perlu menyulut rokok sekadar untuk menghibur diri sebab sebagian paru-paru kami telah hangus diberangus jerebu anak-anak kami sesak nafas bukan karena asma kakek nenek kami perlahan mati bukan karena tuberkulosis

59


di negeri yang konon kaya raya ini perlahan kami menjelma jerebu berhembus bersama angin memburumu mengutukmu memberangusmu wahai, tuan penguasa dan kaum durjana!

(2015)

60


Serenade Malam kita belum usai, kekasih gaun anggunmu tentu merindukan hangat hasrat pagi tuang, tuang lagi sloki itu dengan arak ramuan leluhur kita minum hingga cahaya merekah sembari melamunkan hutan-hutan bakau di Teluk Benoa yang kita kasihi para durjana gentayangan di bumi Bali mereka melumat, mereka memangsa gunung, tebing, sawah, rawa-rawa, hutan bakau, pantai, laut, pura jiwa rakus mereka tak pernah puas namun, kita belum usai kita tidak akan pernah usai, kekasih nurani dari kemurnian jiwa selalu menyala menjaga tanah Bali tuang, tuang lagi sloki itu dengan arak ramuan yang disuling dari airmata nelayan dan kaum tani, dari airmata leluhur Bali mari bersulang untuk panji-panji nurani yang terus berkibaran di jalanan, yang berteriak lantang membela hewan-hewan jelata yang melata di hutan-hutan bakau tuang, tuang lagi sloki itu, kekasih 61


minum, minumlah hingga mabuk lalu semburkan muntahmu di mulut rakus para penguasa dan durjana‌ namun, jaga selalu gaun anggunmu seperti kau menjaga hutan bakau kita agar suatu ketika aku bisa menyusup dan menyesap saripati kehidupan di situ

(2015)

62


Derita Kian Melata di jalanan, derita kian melata hari-hari penuh duri, hari-hari penuh racun menyembur dari mulut bacin kaum politikus derita menjalari jelita matamu lelampu kafe meremang kau menjelma bebayang memudar dan samar di licin pinggulmu jiwaku tergelincir malam membeku dalam botol-botol bir kaum jahanam membual mengumbar janji di televisi derita kian melata di jalanan gelasku kembali kosong kau tuang tawamu, senyummu, rayumu aku makin mabuk seperti serangga buta merayapi bunga perdu kau yang selalu kehilangan siang merindui hari kemilau bau dan debu koran melekat di dinding kusam 63


berbaur peluh dan wangi pupurmu deritamu perlahan mengaliri nafasku menjalari denyut waktu di urat nadi tapi, tak usah peduli kita bercinta saja hingga subuh hingga embun membasuh derita yang semayam di redup matamu

(2015)

64


Derita Jelata kuraih kau dari bayangan senja ketika wajah dan kisah raib begitu saja ke mana kau ungsikan derita kaum jelata ketika tanah telah kehilangan gairah tani sejarah kelam merekah kembali langit memerah saat kau tiba siapa yang mampu meretaskan harapan negeri ini derita kaum jelata tak habis-habis seperti bunga perdu rontok di jalanan matahari kehilangan kemilau airmata mengaliri sungai-sungai kepiluan

(2015)

65


Malimbu aku tiba di Malimbu ketika senja membisu dan puisi paripurna tanpa salam rindu bukit-bukit itu telah lama bertapa di bumi Gora, diberkahi keindahan sekaligus kutukan namun laut itu, seperti wajah ibu yang haru menyambut kehadiranku penuh rindu

(2015)

66


Mengenang Kupang – untuk: Dewa Putu Sahadewa – kuceritakan pada kau perihal puisi yang kupetik dari perjalanan sejauh menyusuri arah terbit matahari kuceritakan pada kau perihal puisi yang diperam pohon-pohon tuak yang tumbuh di tanah-tanah tandus ketika laut bergaun biru menoleh padaku dengan wajah tersipu malu kuceritakan pada kau perihal puisi yang melintasi jalanan lengang siang hari ketika udara gerah membelai pori-pori ketika pohon-pohon flamboyan memberiku senyum merah merekah kuceritakan pada kau perihal puisi yang memeluk hamparan kota penuh kasih ketika malam dan sopi larut dalam darahku dengan kerinduan yang tak pernah usai kuceritakan pada kau perihal puisi yang memancar dari wajahmu ketika perjamuan belum berakhir

(2015)

67


Sopi ketika sopi mengaliri nadi aku ingin mengenangmu dalam perjamuan musim bunga merah merekah di taman-taman kota ketika sopi merasuki jiwa aku hanya ingin menatap jelita matamu meski sepasang camar tersesat di alismu yang murung di layar-layar perahu yang entah di mana berlabuh ketika sopi kuteguk dengan takjub aku hanya ingin musnah tanpa sisa di gelasmu yang merindukan baka

(2015)

68


Gua aku memandang ke dalam jurang menatap kedalaman matamu yang kulihat adalah musim dingin tak terperikan aku menyalakan diriku sebagai api unggun namun malam menggigil musim jadi pucat pasi daun-daun layu seperti sabda tanpa tuah jiwaku mengabu dalam unggunan aku kembali ke dalam gua pengasingan tak peduli perangai cuaca lumut dan tetes air memberiku kehangatan melebihi cahaya matamu

(2016)

69


Tengah Malam anggur vacqueyras dan beringer muncul dari kolong dingin ada yang hilang dari kehidupan, ada yang hangatkan jiwa siapakah kau yang coba memahamiku apa kau patung dewa maut atau hanya sekedar bunga perdu? tak ada tanda untuk dendam atau rindu musim hujan meringkus jiwamu tak ada kata atau suara hanya celoteh pemabuk di tikung jalan: — Hypocrite lecteur, — mon semblable, — mon frére! —* aku tak pernah mampu mengenalmu

(2016)

*  dari ”Au Lecteur” oleh Charles Baudelaire 70


Tarian Lena tarianmu seperti gerimis menyapa pepohonan di taman-taman kota gemulai jemarimu memberkati sebatang pohon ketika senja terlena kehilangan cara untuk sirna tarianmu tak usai liuk tubuh risau merengkuh pohon yang tumbuh dari taman lampau tarianmu berpadu daun-daun luruh mengubur tubuh di akhir waktu

(2016)

71


Tafsir Clair de Lune — Debussy ingin kuraih cahaya bulan yang berpendaran di bening matamu namun, malam yang manis mendadak senyum sinis aku berjalan lunglai rumah terlalu jauh aku tak mampu pulang di bawah remang merkuri mataku nanar perlahan aku menyadari hanya pemabuk cahaya tak bisa membedakan bulan dan bola lampu seperti laron patah sayap aku melata di jalanan kota meraih yang tak teraih sepi menikamku tepat di ulu hati lalu, tanpa kuduga bulan bercahaya dalam jiwaku aku merekah seluas semesta

(2016) 72


Biodata Penyair Wayan Jengki Sunarta lahir di Denpasar, 22 Juni 1975. Lulus­an Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Udayana. Pernah kuliah Seni Lukis di ISI Denpasar. Mencipta puisi sejak awal 1990-an, kemudian merambah ke penulisan prosa liris, cerpen, fitur, esai/artikel seni budaya, kritik/ulasan seni rupa, dan novel. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa dan terangkum dalam sejumlah buku bersama. Buku kumpulan puisi tunggalnya: Pada Lingkar Putingmu (bukupop, 2005), Impian Usai (Kubu Sastra, 2007), Malam Cinta (bukupop, 2007), Pekarangan Tubuhku (Bejana, Bandung, 2010). Buku kumpulan cerpennya: Cakra Punarbhawa (Gramedia, 2005), Purnama di Atas Pura (Grasindo, 2005), Perempuan yang Mengawini Keris (Jalasutra, 2011). Buku novelnya: Magening (Kakilangit Kencana, Jakarta, 2015). Beberapa karya sastranya meraih penghargaan, antara lain Krakatau Award 2002 dari Dewan Kesenian Lampung, Cerpen Pilihan Kompas 2004, Cerpen Terbaik Kompas 2004 versi Sastrawan Yogyakarta, Nominator Lomba Naskah Monolog Anti Budaya Korupsi se-Indonesia 2004, Nominator Anugerah Sastra Majalah Horison 2004, Penghargaan Widya Pataka dari Gubernur Bali (2007). Dia sering menghadiri undangan sejumlah pertemuan atau kegiatan sastra tingkat nasional, antara lain Pesta Emas RI di Taman Budaya Surakarta (1995), Kongres Cerpen Indonesia di Yogyakarta (2000), Panggung Puisi Indonesia Mutakhir 2003 di Teater Utan Kayu-Jakarta, Cakrawala Sastra Indonesia 2004 di TIM-Jakarta, Ubud Writer & Reader International Festival 2004 di Ubud, Festival Kesenian Yogyakarta 2007, Lampung Art Festival 2007, Temu Sastra MPU IV 2009 di Solo, Pertemuan Pengarang Indonesia di Makassar (2012), Temu Sastra Indonesia (TSI) di Jakarta (2012), Borobudur Writers and Cultural Festival


di Borobudur (2012 dan 2014), Apresiasi Seni 2015 di NTB dan NTT, Kongres Kesenian Indonesia (KKI) di Bandung (2015). Hingga kini dia terus menulis untuk berbagai media, menjadi aktivis kesenian, dan bergiat di Jatijagat Kampung Puisi (JKP), sebuah komunitas berkesenian di Denpasar. Dia bisa dihubungi di email: myjengki@yahoo.com.•



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.