waspada minggu 29 november 2009

Page 17

Budaya 18 Raja Ulok Imago Memberi Tempat Pada Penonton

WASPADA

Minggu 29 November 2009

Resensi Buku

Membangun Dunia Global Tanpa Teror Judul Buku: Muslim, Dialog dan Teror Penulis: Chandra Muzaffar Penerjemah: Syamsul Penerbit: Profetik (Kelompok Mizan Utama), Jakarta Tebal : xiv + 269 halaman

Oleh: Yulhasni SEBAGAI sebuah tontonan dan untuk hiburan, Teater Imago yang berkolaborasi dengan Teater Alif IAIN SU dinilai berhasil. Lakon Raja Ulok yang dipentaskan di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Selasa (17/11) kemarin dalam event Medan Art Festival yang digagas Dewan Kesenian Medan (DKM), telah menancapkan satu gagasan berteater yang membumi. Pertunjukan yang mendewakan penonton, teater yang duduk sebagai sebuah pertunjukan kesenian yang dinikmati. Teater Imago telah membangun kesadaran betapa penting menjadikan penonton sebagai masyarakat yang tercerahkan. Raja Ulok, meski itu hanya karya fiksi pada bagian lain telah memberi angin segar bagi keberlanjutan teater di Medan. Imago telah memberi tempat kepada penonton teater kita. Lakon Raja Ulok sejatinya hanya kisah sederhana. Tidak ada yang istimewa dalam petikan dialog dari naskah yang ditulis Darwis Rivai Harahap. Sama seperti kebanyakan lakon komedi situasi, pesan-pesan moral habis ditelan oleh hingar bingar lelucon pemain di atas panggung. Jika boleh disamakan, Raja Ulok hampir mirip dengan lakon Sayembara Bohong karya Yusrianto Nasution yang beberapa kali dipentaskan oleh Teater ‘O’ USU. Raja Ulok, sebagaimana yang ditulis dalam situs resmi Teater Imago, diambil dari cerita rakyat yang sangat populer di Pantai Cermin, pada masa silam. Cerita berawal dari Sang Raja Ulok yang hendak mencari jodoh untuk putrinya Puan Maharani. Seperti kisah-kisah kerajaan, Sang Raja pun membuat sayembara. Siapa yang mampu mengalahkan ulok si raja, ia akan jadi orang istana. Bisa ditebak, tidak akan ada yang mampu mengalahkan Raja Ulok. Namanya juga raja, jika bisa dikalahkan, maka gelar kebesarannya akan dicopot. Cara satu-satunya untuk mengalahkan si raja dengan membawa kabur sang putri tercinta. Begitulah akhir lakon Raja Ulok yang berdurasi 1,5 jam tersebut. Penonton yang hampir memenuhi seluruh kursi di Gedung Utama TBSU itu tertawa

terpingkal-pingkal oleh ulah aktor Teater Imago. Kita harus mengacungkan jempol buat Darwis R Harahap yang mampu membaca selera kekinian penonton teater di Medan. Saya barangkali harus cepat-cepat mengambil kesimpulan dan mudah-mudahan saja tidak keliru, Raja Ulok jadi kekuatan utama dari empat grup yang tampil di even yang digelar DKM itu. Selain Teater Imago, ada Teater Siklus (Kereta Kencana), Romeo dan Juliet (Teater Generasi) dan Orangorang Tercecer Episode Jombang (Teater Blok). Pementasan Raja Ulok dengan tema sederhana itu sejatinya memang diperuntukkan bagi komunitas penonton yang tidak mempersoalkan artistik pentas, musik dan perangkatperangkat dramaturgi lainnya. Jadi tidak mengherankan misalnya pada pertunjukan Raja Ulok kemarin malam itu, penggiat teater Medan yang menonton jumlahnya bisa dihitung dengan jari karena memang tujuan pementasan bukan buat mereka yang akan ‘menghakimi’ setiap pertunjukan yang keluar pakem dramaturgi. Komedi yang dipertontonkan Teater Imago adalah spontanitas. Ini genre teater yang sudah lama dikenal. Komedi bagian dari genre teater sejak zaman Yunani kuno. Jika kemudian Raja Ulok dikemas dengan model lenong, itu kecenderungan yang sudah lazim. Kita tidak bisa menebak-nebak mengapa Raja Ulok tidak dikemas dengan setting panggung yang wah. Keinginan mereka untuk memainkan musik sekedarnya sebagai bagian pengiring alur cerita dari para kontestan ulok yang bertarung, boleh jadi didasari kepada kebutuhan lenong itu sendiri. Sebagai naskah yang menarik, dalam lakon Raja Ulok sebenarnya ada banyak peranperan pemain bisa dimaksimalkan. Darwis R Harahap sebagai penulis sekaligus menyutradari pementasan sepertinya enggan memperlebar Raja Ulok sebagai sebuah komedi situasi yang lebih mengeksplorasi kekuatan seluruh pemain. Ia justru membiarkan naskah jadi makanan empuk aktor tunggal yang berperan

Yulhasni

PENTAS KOMEDI RAJA ULOK : Teater Imago menampilkan naskah Raja Ulok, naskah/ sutradara Darwis R Harahap di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Selasa (17/11) dalam even Medan Arts Festival DKM. sebagai Raja Ulok (Apri SR). Dominasi ini menganggu ritme pertunjukan. Peran permaisuri (Rina Ndut), Putri Puan Maharani (Rosmeyni), pengawal dan dayang-dayang akhirnya hanya jadi aksesoris panggung. Alihalih ingin mengimbangi peran Raja Ulok, peran Panglima Talam (Sulaiman) pun sepertinya perlu diperjelas. Pemaksaan kostum kepada Panglima Talam sangat mengganggu keindahan kostum pemain lain. Penonton mungkin tidak menyadari bahwa dominasi tokoh Raja Ulok akhirnya menenggelamkan peran-peran lain yang tentunya bisa dimaksimalkan. Apri—dengan pengalaman keaktorannya—akhirnya memang jadi kunci pertunjukan. Tapi sudahlah, wacana kita pada pentas Raja Ulok semestinya mengalihkan ke isu karakter penonton teater kontemporer kita dewasa ini. Sejarah memang membuktikan, bahwa begitu teater menjadi milik masyarakat perkotaan, ia kemudian jadi sesuatu yang elitis. Namun sayangnya, situasi itu tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh kebanyakan pekerja teater. Teater Koma dan Teater Gandrik adalah ikon grup teater di Jawa yang kemudian dianggap sebagai kesenian kaum perkotaan. Sementara secara

terpisah, Teater Kubur, Teater Garasi atau Teater Ruang justru kembali ke masyarakat pedesaan yang tidak mampu mencapai wilayah estetika pentas teater yang dipertontonkan di gedung-gedung pertunjukan. Lakon Raja Ulok, meski itu bukan bagian dari elitisnya kesenian teater seperti yang pernah diusung Kampusi Promo dalam tajuk Sabtu Ketawa, seharusnya ditempatkan sebagai sebagai bagian yang elitis itu. Teater Imago meletakkan satu ikon baru dalam peta teater Sumatera Utara, bahwa mereka adalah grup yang akan terus memberi nuasa hiburan pada penonton. Arie Batubara (2002) mencatat bagaimana Teater Gandrik, dan pembacaan yang sama bisa pula diterapkan pada Teater Koma, telah membuat sinergi yang bagus antara kelompok industri, seniman, media massa, dan institusi kebudayaan yang lain sehingga bisa membuat pertunjukan teater sebagai kunci masuk ke dalam kelas elite kebudayaan. Penanda elitis ini bisa dilihat pada gedung tempat pertunjukan atau harga tiket yang mahal (dan ini berarti ada seleksi berdasarkan kelas ekonomi). Gerakan seperti ini sudah dicoba oleh beberapa grup teater di Medan. Namun, seperti

malu-malu, langkah ini terhenti tatkala garapan yang diusung tak mampu meyakini masyarakat untuk terus menyaksikan pertunjukan. Pada Raja Ulok, upaya itu tengah dijalani. Jika Teater Imago konsisten dengan garapan komedi, dimungkinkan grup ini akanmamputerhindardarikesan ikon elite teater di Medan. Elite pengertianya di sini teater yang hanyamilikmerekayangmemiliki kapasitas modal budaya. Pada masa-masa tertentu, teater memang disikapi dan dilanggengkan mitosnya sebagai sesuatu yang elite dan hanya dapat dijangkau oleh orangorang yang punya modal budaya, seperti yang sering terjadi di panggung-panggung kesenian. Ketika pementasan teater diselenggarakan di gedung pertunjukan yang besar seperti TBSU, ia menjadi elite ketika suguhan yang dipertontonkan hanya milik pelaku kebudayaan. Teater Imago tengah menghindari jargon elite itu dengan mencoba memposisikan diri sebagai bagian dari penonton. Raja Ulok tidak sedang mengulokulok teater kita di Medan ini yang selalu tak sanggup menjadi penghibur setia. Kerja seperti ini harus terus diapresiasi! * Dosen Telaah Drama Indonesia Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU

Berbalas Pantun Muhammad Yusuf Nasir, SE, S.Sos Drs. Nasrun Adil Nasir, M.Pd, M.Com (Cand. Doktor, Unimed) Dra. Hj. Maswita Nasir, SH, M.Si (Cand. Ph.D USM, P. Pinang Malaysia) Drs. Rizal Mahmuzar Nasir Ir. H. Muhksin Herrys nasir, M.Agr, MM Penyelia, Prof. Hj. Tengku Sylvana Chairunnisa Sinar, MA, Ph.D (Sekolah Pascasarjana, Linguistik Melayu USU) 1. A

Uteh Markum duduk di muka Minum-minum makan serabi Assalamu’alaikum kata pembuka Sholawat dan salam kepada Nabi

1.B

I.A.

Hang Tuah dan Hang Kesturi Pak Ongah suami Cik Zaitun Bersama kita datang kemari Karena hendak berbalas pantun

I.B

Berkain songket bajunya katun Kopian hitam selempang biru Sambil bernyanyi berbalas pantun Seloka karmina gurindam baru

II.A

Pohon roda dan pohon dadap Tumbang searah menimpa padi Tercium kami bau tak sedap Entah siapa yang tidak mandi

II.B

Pohon roda dan pohon dadap Jatuh daunnya di musim dingin Kalau ada bau tak sedap Mungkin... yang buang angin

Minum-minum makan serabi Menunggu Cik Siti dari pekan Sholawat dan salam kepada Nabi Syafa’atnya nanti kita harapkan

III.A Tepak Puan di atas peti Sirih kapurnya dibuang jangan Kalau kalian bijak bestari Binatang apa tidak bertangan?

III.B Sudah gaharu cendana pula Bunga cempaka di bawah bantal Sudah tahu bertanya juga Itu tandanya mulutmu gatal

IV.A

Tak ada gading yang tak retak Itu pepatah orang dahulu Ada gundul tapi tak botak Pepatah siapa seperti itu?

IV.B

Kalau tuan ke Tanjung Malim Panggilkan guru mengajar silat Kalau kalian orangyang alim Apa manfaatnya rajin Sholat?

V.B

V.A.

Siti Saleha anak piatu Sangat garang ibu tirinya Kalau pepatah seperti itu Pantun dikarang.... namanya Datuk Bidul pendekar silat Diundang sampai ke Malaysia Kalau rajin mengerjakan Sholat Hidup selamat lagi bahagia

XI.B Hanya satu yang pantai terbang Cik Zaitun punya itik Serati Kini sudah jadi gelombang Sebabnya abang tak hati-hati

XII.A Anak Belanda diangkat tandu Dilempar batu matanya kabur Kepalanya pecah terantuk tiang Di mabuk cinta diikat rindu Siang tak makan malam tak tidur Wajah abang terbayang-bayang

XII.B Kepalanya pecah terantuk tiang Anak Belanda penjajah negeri Pantas hukuman sampai begitu Wajah adikpun terbayang abang Tak lelap tidur seorang diri Tengah malam bukakan pintu

XIII.A Buah lakum masak merekah Masak sebuah letak di baki Datanglah hukum dari Mekah Mana yang janda cepat belaki

XIII.B Masak sebuah di balik daun Karna kecil tidak terpandang Jangan menjanda lebih setahun Nanti banyak sangkaan orang

XIV.A Anak ayam turun sepuluh Tersangkut kakinya dililit benang Baik mengajar bersunguh-sungguh Tuhan ridho siswa pun senang

XIV.B Anak ayam belajar terbang Sekali terbang tak bisa tinggi Tuhan ridho siswa pun senang Akan selamat kemanapun pergi

XV.A Orang Cina dipanggil nyonya Orang Batak dipanggil namboru Kalau boleh kami bertanya Mengapa langit berwarna biru

XV.B Orang Batak dipanggil namboru Dipanggil ibu tak sedap rasanya Sebabnya langit berwarna biru BegitulahTuhan menciptakannya

XVI.A Pertama intan cincin suasa Di jari m anis elok pakaikan Bulan Ramadhan bulan puasa Amal ibadah wajib tingkatkan

XVI.B Cik Puan pergi ke Kedah Pergi berlatih tari-tarian Wajib tingkatkan amal ibadah Sholat tarawih tadarus Quran

XVII.A Syawal tiba datang cahaya Ramadhan berakhir beritahukan Kalau tiba di Hari Raya Mengapa takbir dikumandangkan

XVII.B Pak Nasir pergi pekan CikNurmenunggupulangkembali Baiklah takbir dikumandangkan Sungguh besar karunia Ilahi

XVIII.A Cuaca indah di pagi hari Segar badan mandi di sumur Maafkan kami bertanya lagi Mengapa orang banyak menganggur

XVIII.B Segar badan mandi di sumur Sarapan sudah terhidang di meja Mengapaorangbanyakmenganggur Berat tangan malas bekerja

VI.B Tempat singgah kapal berlabuh Karena hendak memuat barang Walau.... di tempat jauh Teringat selalu.... seorang

XIV.A Burung jalak dan burung pungguk Yang satu patah sayapnya Nenek gelak atok mengangguk Teringat orang tu masa mudanya

XIX.B Yang satu patah sayapnya Jangan suka berangan-angan Teringat orang tu masa mudanya Waktu bercinta pegang-pegangan

VII.A Wak Alang pergi ke Tanjung Hendak membeli kain sarungnya Kalau abang menjadi burung Adik bersedia jadi sangkarnya

VII.B Hendak membeli kain sarungnya Sarung warnanya hitam kelam Kalau adik yang jadi sangkarnya Kurunglah abang siang dan malam

XX.A Sudah tahu bersopan santun Manis pula budi bahasanya Kalau kita berbalas pantun Baik bekerja ada hasilnya

XX.B Hang Kesturi gagah berani Perang di laut setia hukum Berbalas pantun sampai di sini Kami sudahi assalamu’alaikum

VIII.A Ambil obat di dalam laci Baik dibeli jangan dipinta Melihat... memakai peci Rasanya.... jatuh cinta

VIII.B Pulpen ini tidak bertinta Karena dipinjam orang selalu Kalau betul.... jatuh cinta Nantikan.... di malam Minggu

2. Simpang tiga jalan berkelok Banyak cerita banyak tak elok

IX.A Jalan rusak banyak berlubang Ada tanjakan dengan keloknya Kalau adik cintakan abang Coba tunjukkan apa buktinya?

IX.B Ada tanjakan banyak keloknya Berlumpur bagai kubangan sapi Kalau abang pinta buktinya Bawalah adik ke tempat sepi

X.A

X.B

Pantun Masa Kini Pantun masa kini di lingkungan remaja kedengaran aneh-aneh dan lucu. Pada orang Betawi pantun dua baris sangat populer. Pada orang Minang dan Melayu Batubara dikenal pula Talibun (Pantun enam baris). Pantun semacam di bawah ini sering diucapkan Sule, Aziz Gagap, Nunung dkk di Opera Van Java. Dalam sastra Melayu klasik juga dikenal pantun dua untai (baris) dalam satu bait yang disebut Karmina.

Kayu Meranti daunnya lebar Tempat Gelatik belajar terbang Datang seekor si burung Nuri Kalau adik sudah tak sabar Tunggu merisik kita bertunang Nanti malam yuk kawin lari

1. Ke Jakarta naik perahu Jangan berkata kalau tidak tahu

maupun bagi diri sendiri. Karena Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Bagian kedua bertopik ’Dialog’. Di dalamnya diungkapkan berbagai dialog peradaban yang ada di dunia. Tidak hanya di kawasan Asia, juga besarnya pengaruh budaya terhadap eksistensi agama. Tidak jarang, pemeluk agama yang lemah imannya sangat mudah tergoyahkan oleh gempuran budaya asing yang masuk ke dalam sistem tata nilai. Dialog ini pada intinya membincangkan nilai-nilai kesamaan dalam setiap agama. Yang jelas, agama selalu menginginkan adanya kenyamanan dalam tatanan kehidupan global. Dialog yang dibangun sejatinya dapat mencari jalan tengah antara berbagai perbedaan yang ada. Sebab, saat ini sedang tejadi term yang saling kontradiktif yang satu dengan lainnya. Adanya negara-negara yang kaya, sementara pada sisi yang lain juga terlihat negara-negara yang miskin. Demikian juga dengan kemajuan di dalamnya. Bersamaan dengan itu pula, berbagai pertentangan dalam membangun harmonisasi dunia perlu dibincangkan. Sebab, harmonisasi dunia merupakan bagian utama dalam ’penerjemahan’ nilai-nilai agama. Bagian ketiga bertopik ’Teror’. Teror adalah upaya penciptaan ketakutan pada orang atau sekelompok orang yang didasarkan atas kesewenang-wenangan. Teror dalam tingkat sekecil apapun pasti menimbulkan korban. Semakin besar teror yang ditebar, korban yang ditimbulkan juga besar. Apalagi, buku ini terlahir dari refleksi atas peristiwa runtuhnya World Trade Centre (WTC) dan Pentagon pada 11 September 2001. Dalam kejadian itu, banyak sekali korban yang ditimbulkan. Berbagai anak suku bangsa yang berada diWTC menjadi korban. Tiada terkira besarnya kerugian yang diderita. Semua itu adalah akibat dari sebuah perlakuan teror. Padahal, yang mendasari gerakan tersebut diduga keras adalah ketidaksenangan atas Amerika, namun yang menjadi korban banyak orang yang tidak tahu-menahu tentang sepak terjang yang dibangun Amerika. Akhirnya, buku ini menjadi bagian yang penting untuk mendiskusikan ulang tentang sepak-terjang orang-orang yang mengedepankan perlakuan teroris di balik nama agama. Kiranya buku ini dapat menjadikan pencerahan yang luar biasa sehingga tidak ada lagi benih-benih terorisme yang tumbuh; terutama di kalangan muda. Kalangan muda inilah yang akhir-akhir ini sering menjadi incaran untuk pelaku bom bunuh diri. Semoga buku ini bermanfaat. Peresensi Kusmin, M.Pd. adalah Kasubag Perencanaan Program dan Akuntabilitas pada Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, kini menjadi Mahasiswa S-3 IAIN Sumut.

Bina Bahasa

XI.A Dua tiga itik Cik Daud Hanya satu yang pandai terbang Setitik embun jatuh ke laut Siapalah tahu jadui gelombang

VI.A Pantai Cermin kuala Serdang Tempat singgah kapal berlabuh Bagaimana.... tak bimbang Bila... di tempat jauh

Pohon anggur daunnya rindang Lebat buahnya semakin rebah Tumbuhnya subur dekat perigi Kalau jujur ucapan abang Cinta adik bertambah-tambah Tunggu meminang tak sabar lagi

AKHIR-akhir ini, wacana yang menghubungkan Islam dengan terorisme menjadi suatu yang jamak di tengah negeri ini. Apalagi dengan ditemukan teroris sekelas Nordin M. Top, ataupun yang terakhir di Ciputat; Syaifuddin Zuhri dan Mohammad Syahrir. Semuanya itu mengait-ngaitkan adanya Islam garis keras yang mengganggu harmonisasi kehidupan bermasyarakat. Sehingga muncul stigmasasi yang parah atas nama Islam. Dengan jelas bahwa terorisme tidak dapat dibenarkan dalam kacamata manapun. Sebab, dalam teologi manapun terminologi terorisme tidak mendapatkan simpati. Karena terorisme selalu menebar ketidaknyamanan bagi umat manusia. Dipahami bersama bahwa agama selalu ada dalam bentuk perdamaian dan menciptakan kedamaian. Hanya dengan agama kehidupan menjadi damai. Lalu, kalau ada agama yang mengamini adanya ketidaknyamanan dalam tatanan kehidupan, bahkan menyebarkan teror, perlu dipertanyakan kembali sistem nilai yang dianut oleh agama tersebut. Sungguhpun buku ini agak lawas, namun dirasa lebih pas dibaca saat ini, di kala banyak kalangan yang mengalamatkan terorisme kepada Islam. Buku yang diterjemahkan oleh Syamsul ini merupakan kumpulan berbagai tulisan Chandra Muzaffar – seorang doktor (Ph.D) dalam bidang ilmu sosial. Penulisnya berkebangsaan Malaysia — sebagai muasala Nordin M. Top — dilahirkan di Kedah tahun 1947. Buku ini bersumber dari hasil seminar, artikel ilmiah, hasil wawancara, dan berbagai sumber lainnya. Semua itu dikompilasi dalam satu bentuk buku. Bisa dikatakan bahwa buku ini tentang esai Islam kontemporer yang berkaitan dengan terorisme. Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama bertopik ‘Muslim’ yang terdiri dari enam buah judul tulisan. Di dalamnya juga diuraikan tentang bom bunuh diri. Secara konseptual, buku ini tidak menganjurkan sebagaimana yang sering dilakukan oleh bagian dari kelompok tertentu. Dengan bom bunuh diri, ternyata menimbulkan korban yang besar. Bukan hanya orang diri sendiri yang menjadi korban, bahkan juga dari pihak lain. Tegasnya, bom bunuh bukanlah merupakan sebuah anjuran yang disampaikan dalam agama Islam. Karena ianya merusak dirinya dan orang lain. Lalu, mengapa ada kelompok/orang yang mengedepankan pemikiran bahwa bom bunuh diri bisa saja dilakukan. Sebagai sebuah kekeliruan dan ketidak-kaffah-an dalam memaknai agama yang damai; ada juga beberapa orang yang ’tersuntik’ oleh pemahaman yang keliru tersebut. Atas interpretasi yang keliru ini patutlah diperjelas bahwa sebagai agama yang damai, tidak akan pernah menimbulkan kerusakan bagi orang lain,

3. Naik rakit sendiri saja Kalau sakit di rumah saja 4. Banyak cerita dari jajan Bokek nih ye... 5. Terang cahaya si matahari Kalau dipercaya jangan mencuri 6. Burung jalak terbang tinggi .... galak .... tak berani 7. Main congkak di muka pintu Istrinya pekak suaminya bisu 8. Burung tempua tinggi melayang Awak dan tua malu tak Sembahyang

Bersama Balai Bahasa Medan

Bukan Sekedar Janji Oleh Anharuddin Hutasuhut “BUKAN sekedar janji, kami memberi bukti”, demikianlah bunyi sebuah iklan. Bukan hanya dalam iklan, pemakaian kata sekedar juga acapkali kita temukan dalam masyarakat. Namun, apabila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka kita tidak akan menemukan kata sekedar di sana. Mengapa? Kata sekedar bukan merupakan bentuk baku, sedangkan bentuk bakunya adalah sekadar. Kata sekadar tentu saja dibentuk dari kata dasar kadar ditambah dengan awalan se. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kadar diberi keterangan sebagai berikut. 1) ukuran untuk menentukan suatu norma; 2) isi atau bagian yang tulen (tentang emas, perak, dsb.); 3) nilai, harga, taraf (tingkatan). Selanjutnya, kata sekadar diberi keterangan sebagai berikut. 1) sesuai atau seimbang dengan; 2) hanya untuk;

3) seperlunya, seadanya. Sebagai penutup, mari kita perhatikan dengan saksama beberapa peristiwa berbahasa berikut. (1) Dalam acara jamuan makan, kita sering mendengar tuan rumah mengatakan, “Ayo, silakan, makan ala kadarnya!”; (2) Ketika menanyakan tingkat ketulenan emas, orang menggunakan kalimat, “Berapa kadar emas ini?” (3) Mengapa ketika ingin menyatakan bahwa yang diucapkan bukan hanya janji digunakan kalimat Bukan sekedar janji, kami memberi bukti? Untuk menyatakan bahwa yang kita ucapkan bukan hanya janji tetapi akan diwujudkan atau direalisasikan, kita seharusnya menggunakan kalimat “Bukan sekadar janji, kami memberi bukti”. Mari berbahasa Indonesia secara baik dan benar, bukan sekadar berbahasa!

Sejarawan Sumut Terbitkan Buku Sejarah Melayu BEBERAPA sejarawan di Sumut akan menerbitkan buku Sejarah Melayu baik yang berisi cerita-cerita rakyat maupun sistem pengobatan tradisional melayu. Sejarawan Universitas Negeri medan (Unimed), Dr Phil Ichwan Azhari, di Medan, pekan lalu, mengatakan,sejarahMelayuyang dibukukan dewasa ini masih sangat minim. Buku sejarah Melayu yang ada juga masih terkonsentrasi pada sejarah kerajaan atau kekeratonan. “Kondisi ini cukup menjadi perhatian bagi kita bersama, karena sejauh ini belum ada penulis atau sejarawan yang menulis cerita-cerita rakyat maupun tentang pengobatan tradisional Melayu secara lengkap,” katanya. Ia mengatakan, Melayu kaya

dengan cerita rakyat namun belum diangkat ke permukaan dalam bentuk buku. Demikian pula dengan sistem pengobatan tradisional (herbal) Melayu yang luar biasa. Padahal, sistem pengobatan tradisional Jawa sudah banyak dibukukan. Sistem pengobatan Melayu terbagi atas sistem pengobatan tradisional Melayu Langkat, Melayu Serdang dan Melayu Deli. Demikian juga dengan permainan tradisional anak Melayu, juga belum dibukukan meski permainannyamemilikikekhasan tersediri. “Kita iri melihat buku PermainanTradisional Anak Jawa yang menjadi buku best seller di toko-toko buku di Indonesia. Kita berharap permainan tradisional anak Melayu juga dibukukan,

karena permainannya tidak kalah dengan Jawa,” katanya. Selainitu,katadia,dalamdunia Melayu juga ada pengetahuan astronomi nelayan tradisional dalam membaca tanda-tanda alam, seperti membaca bintang, arah angin, ombak. Padahal, pengetahuan astronomi ini dahulu dijadikan nelayan sebagai panduan dalam mencari ikan di laut. “Melayu juga memiliki kekayaanwisatakuliner,misalnya masakan khas bubur pedas. Perlu diteliti dan ditulis, mengapa muncul bubur pedas. Apa makna di balik bubur pedas itu,” katanya sambil menambahkan bahwa penulisan sejarah Melayu itu selain melibatkan para sejarawan juga melibatkan beberapa tokoh Melayu di Sumut. (m06/ant)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.