B6
WASPADA Minggu 23 Juli 2017
Pengantar: Perang Shiffin (Mei-Juli 657 Masehi) terjadi semasa zaman fitnah besar atau perang saudara pertama orang Islam dengan pertempuran utama terjadi dari tanggal 26-28 Juli. Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar tahun 37 Hijriah. (Red)
Pertempuran Shiffin, Perang Saudara Islam Pertama Setelah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Talib diangkat sebagai khalifah, tetapi penerimaan dari seluruh kekhalifahan Islam sangatlah sulit didapat. Ali bin Abi Thalib RA berkata tentang dirinya yang diangkat umat Islam sebagai khalifah itu merasa agak kurang senang. Sebab, di antaranya ada yang membunuhi Utsman bin Affan, sekarang mereka berada di sisi pendukungnya agar bisa membaiatnya. Muawiyah, Gubernur dari Suriah yang merupakan kerabat dari khalifah yang terbunuh, sangat menginginkan pembunuh dari sang Khalifah diadili dimuka hukum. Seperti yang diterangkan oleh tabiin terkenal, Abu Muslim Al-Khaulani. Dia datang bersama teman-temannya menanyai Muawiyah RA, dan berkata mereka padanya, “Kamu menentang Ali dalam masalah khilafah atau kamu seperti dia?” Muawiyah menjawab, “Tidak. Aku tahu benar bahwa dia lebih baik dariku; tapi kalian ‘kan tahu, Utsman terbunuh dengan keji, sedang saya anak pamannya, dan juga keluarganya yang menuntut qisas kepada orang yang terlibat dalam pembunuhan itu. Maka kalian temuilah Ali dan katakan, ‘[Agar] segera menyerahi para pembunuh Utsman’.” Maka mereka datangi Ali dan menyampaikan hal itu kepadanya, dan Ali menjawab, “Ia harus masuk baiat dan kemudian mereka tuntut hal ini kepadaku.” Muawwiyah berpendapat Ali bin Abi Talib tidak berniat untuk melakukan hal ini, sehingga Muawwiyah memberontak terhadap Ali bin Abi Talib dan membuat Ali bin Abi Talib berniat memadamkan pemberontakan Muawwiyah. Tapi walau demikian, yang benar menurut ulama adalah Ali hendak melihat kasus ini dari perspektif mashlahah (keuntungan) dan mafsadah (kerusakan). Sehingga, dia berpendapat, perlu menahan dulu kasus ini. Agar supaya umat Islam bersatu dulu, baru melakukan qisas. Apalagi pembunuhnya hanya 2-3 orang saja, dan salah satunya seorang budak yang diketahui dari Mesir. Diketahui di belakang pembunuh-pembunuh yang sedikit itu, kalau sampai qisas ditegakkan pada hari itu jua, maka kabilah-kabilah pembela pembunuh itu akan segera melakukan kehancuran yang lebih besar. Al-Juaniy, Imam al-Haramain berpendapat bahwa Muawiyah memang memerangi Ali bin Abi Thalib, tapi tidak mengingkari kepemimpinannya, dan tidak bermaksud merebutnya untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, dia hanya menuntut agar terlaksananya qisas bagi para pembunuh Utsman, dengan asumsi dia benar, tapi dia salah dalam hal ini. Hasil dari keadaan ini adalah pertempuran di Shiffin antara kedua belah pihak.
Jalannya perang Peperangan ini berlangsung imbang sehingga kemudian kedua belah pihak setuju untuk berunding dengan ditengahi seorang juru runding. Pertempuran dan perundingan membuat posisi Ali bin Abi Talib melemah tetapi tidak membuat ketegangan yang melanda kekhalifahan mereda. Oleh penganut aliran Syiah, Ali bin Abi Talib dianggap sebagai Imam pertama. Oleh penganut aliran Suni, Ali bin Abi Talib adalah khulafaur rasyidin yang ke empat dan Muawiyah adalah khalifah pertama dari Dinasti Ummayyah. Kejadian-kejadian di sekitar pertempuran Shiffin sangatlah kontroversial untuk Suni dan Syiah dan menjadi salah satu penyebab perpecahan di antara keduanya. Awalnya, Setelah pasukan Syam dan Kufah sampai di wilayah Shiffin, kedua pihak mengambil posisi masing-masing. Utusan keduanya sibuk melakukan perundingan, dengan mengharap pertempuran bisa terhindar. Diriwayat yang lain juga disebutkan, bahwa Abu Darda’ dan Abu Umamah mendatangi Muawiyah, dengan isi percakapan yang hampir sama dengan riwayat sebelumnya. Setelah itu keduanya kembali kepada Ali bin Abi Thalib, dan dia mengatakan, ”Mereka adalah orang-orang yang kalian maksudkan.” Maka keluarlah banyak orang, dan mengatakan, ”Kami semua yang telah membunuh Utsman, siapa yang berkehendak maka silahkan dia melemparkan kami. Dalam “Minhaj As Sunnah” (4/384) juga dinukil bagaimana sikap para pendukung Muawiyah, mangapa mereka tidak membaiat Ali. ”Kami jika membaiat Ali, maka pasukannya akan mendhalimi kami, sabagaimana mereka mendhalimi Utsman, sedangkan Ali tidak mampu melakukan pembelaan terhadap kami.” Dari periwayatan di atas semakin jelas, bahwa memang kedua belah pihak, baik Ali dan Muawiyah tidak berselisih mengenai jabatan kekhalifahan, dan keduanya memang tidak bermaksud menyerang satu sama lain. Berbagai upaya menghentikan peperangan dilakukan kedua belah pihak. Para utusan terus melakukan perundingan, dan pasukan kedua belah pihak sama-sama menahan diri untuk melakukan serangan, hingga berakhirnya bulan-bulan haram pada tahun
Sungai Furat dari sisi lain
itu (37 H). Pasukan Kufah menyeru kepada pasukan Syam, ”Amir Al Mukminin telah menyeru kepada kalian, aku telah memberi tenggang waktu untuk kalian, agar kembali kepada al haq, dan saya telah menegakkan atas kalian hujah, akan tetapi kalian tidak menjawab…” Pasukan Syam menjambut seruan itu, dengan mempersiapkan diri di shafnya masing-masing. Pada hari Rabu, tanggal 7 pada bulan Safar, pertempuran berlangsung pada hari Rabu, Kamis, Jumat serta malam Sabtu. Dalam “Al Aqdu Al Farid” (4/3140) disebutkan bahwa kdua pihak bersepakat bahwa mereka yang terluka harus dibiarkan, begitu pula mereka yang melarikan diri tidak boleh dikejar, mereka yang meletakkan senjata akan aman, tidak boleh mengambil benda milik mereka yang meninggal, serta mereka mendoakan dan menshalati jenazah yang berada di antara kedua belah pihak. Mayoritas sahabat tidak ikut serta dalam pertempuran ini. Pada saat itu jumlah mereka sekitar 10 ribu, akan tetapi yang ikut serta tidak lebih dari 30 sahabat saja, sebagaimana riwayat yang disebutkan dalam “Minhaj As Sunnah” (6/237). Riwayat mengenai jumlah pasukan yang terbunuh di kedua belah pihak berbeda satu sama lain, akan tetapi Ibnu Katsir menyebutkan dalam “Al Bidayah wa An Nihayah” (7/288) bahwa pasukan Kufah berjumlah 120 ribu orang, terbunuh 40 ribu, sedangkan pasukan Syam berjumlah 60 ribu, dan yang terbunuh dari mereka 20 ribu orang,Namun menurut buku Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin Karangan Joesoef Sou’yb pasukan Ali bin Abi Thalib berjumlah 95.000 Prajurit dan yang terbunuh 35.000,sedangkan dari Pasukan Syam berjumlah 85.000 dan yang terbunuh berjumlah 45.000 Prajurit.
Terbunuhnya Amar bin Yasir Peristiwa terbunuhnya sahabat Amar bin Yasir dalam pertempuran Shiffin memberi pengaruh amat besar bagi kedua belah pihak, dimana sebelumnya rasulullah S.A.W telah berkata kepada Amar, bahwa ia tidak meninggal, kecuali terbunuh di antara dua kelompok orang-orang mukmin, sebagaimana disebutkan Al Bukhari dalam “Tarikh As Saghir” (1/104). Sedangkan Amru bin Ash, sahabat yang bergabung dalam barisan Muawiyah pernah mendengar bahwa rasulullah S.A.W bersabda mengenai Amar bin Yasir, sebagaimana termaktub dalam “Al Majma’ Az Zawaid” (7/244). ”Sesungguhnya orang yang membunuh dan mengambil hartanya (sebagai ghanimah) akan masuk neraka.” Lalu ada yang mengatakan kepadanya, ”Sesungguhnya engkau yang memeranginya!” Amru bin Ash menjawab, ”Sesungguhnya yang disabdakan adalah pembunuh dan perampas hartanya.” Hadits di atas menunjukkan bahwa memang kedua belah pihak mengetahui keutamaan masing-masing dan tidak ada kesengajaan untuk berniat saling membunuh.
Meninggikan Mushaf Bisa dikatakan bahwa peristiwa penting dalam perang Shiffin adalah pangangkatan tinggi-tinggi mushaf Al Qur`an, hingga pertempuran itu berakhir. Disebutkan dalam beberapa periwayatan bahwa ketika pertempuran berlangsung amat sengit banyak sahabat yang menyeru, dengan mengangkat Al Quran tinggi-tinggi, ”Jika kita tidak berhenti (bertempur) maka Arab akan sirna, dan hilanglah kehormatan…” Muawiyah yang juga mendengar khutbah itu membenarkan, ”Benar, demi Rabb Ka’bah, jika kita masih berperang esok, maka Romawi akan mengincar para wanita dan keturunan kita. Sedangkan Persia akan mengincar para wanita dan keturunan Iraq. Ikatlah mushaf-mushaf di ujung tombak kalian.” Maka saat itu, pasukan Syam menyeru, ”Wahai pasukan Iraq di antara kami dan kalian adalah Kitabullah!” Muawiyah memerintahkan seorang utusan untuk menghadap kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, ”Iya, di antara kami dan kalian adalah Kitabullah, dan kami telah mendahulukan hal itu.” Jawab dia. Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushannaf (8/336) bahwa kaum Khawarij mendatangi Ali bin Abi Thalib, dengan pedang di atas pundak mereka, ”Wahai Amir Al Mukminin, tidakkah sebaiknya kita menyongsong mereka, hingga Allah memberi keputusan antara kita dan mereka.” Usulan ini ditentang keras oleh sahabat Sahl bin Hunaif Al Anshari. ”Tuduhlah diri kalian! Kami telah bersama rasulullah S.A.W saat peristiwa Hudaibiyah. Kalau sendainya kami berpendapat akan berperang, maka kami perangi (tapi kenyataannya mereka tidak berperang)” Sahl juga menjelaskan bahwa setelah perjanjian damai dengan kaum musyrikin itu turunlah surat Al Fath kepada rasulullah S.A.W. Ali bin Abi Thalib pun menyambut pendapat Sahl, ”Wahai manusia, ini adalah fath (hari pembebasan).” Seru Ali bin Abi Thalib, akhirnya pertempuran itu pun berakhir.
Ali bin Abi Thalib Ali bin Abi Thalib (lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 Masehi – wafat 21 Ramadan 40 Hijriah/661 Masehi), adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Muhammad. Ali adalah sepupu dan sekaligus mantu Muhammad, setelah menikah Ilustrasi pasukan dalam perang Shiffin dengan Fatimah az-Zahra. Ia pernah menjabat sebagai salah seorang khalifah pada tahun 656 sampai 661. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan Syi’ah berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah Muhammad S.A.W. Ahlussunnah memandang Ali bin Abi Thalib sebagai salah seorang sahabat nabi yang terpandang. Hubungan kekerabatan Ali dan Rasulullah sangat dekat sehingga ia merupakan seorang ahlul bait dari Nabi S.A.W. Ahlussunnah juga mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai salah seorang Khulafaur Rasyidin (khalifah yang mendapat petunjuk). Sunni menambahkan nama Ali di belakang dengan Sungai Furat Radhiyallahu Anhu (RA) atau semoga Allah ridha padanya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada sahabat nabi yang lain. Sufi menambahkan nama Ali bin Abi Thalib dengan Kar- bersama dengan Muhammad. Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali bin Abi Thalib ramallahu Wajhah (KW) atau semoga Allah me-mulia-kan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasar riwayat kepada Muhammad S.A.W dilukiskan seperti Yohanes Pembapbahwa dia tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat tis kepada Yesus. Dalam riwayat-riwayat Syi’ah dan sebagian hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Dibuktikan riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi dalam sebagian riwayat bahwa dia tidak suka memandang Harun kepada Nabi Musa. Ketika Nabi Muhammad S.A.W menerima wahyu, riwayatke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh terbuka pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 bagian bawah terkena sobekan pedang dia, maka Ali enggan yang percaya setelah Khadijah istri nabi sendiri. Pada titik ini meneruskan duel hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki Ali berusia sekitar 10 tahun. Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar pakaiannya. Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam langsung dari Nabi S.A.W karena sebagai anak asuh, berkesemdalam ilmu al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual patan selalu dekat dengan nabi hal ini berkelanjutan hingga warriorship). Dari dia bermunculan cabang-cabang tarekat dia menjadi menantu nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu (thoriqoh) atau spiritual-brotherhood. Hampir seluruh masalah ruhani (spirituality dalam bahasa Inggris atau kaum pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan dia sesuai dengan Salaf lebih suka menyebut istilah ‘Ihsan’) atau yang kemudian catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan nabi khusus Qadiriyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang kepada dia tetapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabatmerupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya sahabat yang lain. Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Karena bila ilmu Syari’ah atau hukum-hukum agama Syekh Abdul Qadir Jailani (karya Syekh Ja’far Barzanji) dan Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan banyak kitab-kitab lainnya. semua yang diterima nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas Riwayat Hidup Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada masing-masing. Didikan langsung dari nabi kepada Ali dalam semua aspek tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim Syi’ah percaya bahwa (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang Ali dilahirkan di dalam Ka’bah. Usia Ali terhadap Nabi Mu- pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak. Ali bersedia tidur di kamar nabi untuk mengelabui oranghammad masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah nabi. Dia tidur menampakkan kesan nabi yang tidur sehingga masuk yang 30 tahun bahkan 32 tahun. Dia bernama asli Assad bin Abu Thalib, bapaknya Assad waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, adalah salah seorang paman dari Muhammad S.A.W. Assad sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh nabi yang telah yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar. Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali menikah mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dengan Fatimah az-Zahra, putri Nabi Muhammad. Ali tidak dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui anaknya yang baru lahir diberi nama menikah dengan wanita lain ketika Fatimah masih hidup. Assad,[butuh rujukan] Ayahnya memanggil dengan Ali yang Tertulis dalam Tarikh Ibnu Atsir, setelah itu Ali menikah dengan Ummu Banin binti Haram, Laila binti Mas’ud, Asma berarti Tinggi (derajat di sisi Allah). Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, binti Umais, Sahba binti Rabia, Umamah binti Abil Ash, di mana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga men- Haulah binti Ja’far, Ummu Said binti Urwah, dan Mahabba jadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak binti Imru’ul Qais. Ketika Muhammad mencari Ali menantunya, ternyata Ali dan ibu. Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu bagi Nabi S.A.W karena dia tidak punya anak laki-laki. Uzur mengotori punggungnya. Melihat itu Muhammad pun lalu dan faqir nya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi duduk dan membersihkan punggung Ali sambil berkata, Nabi S.A.W bersama istri dia Khadijah untuk mengasuh Ali “Duduklah wahai Abu Turab, duduklah.” Turab yang berarti dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk debu atau tanah dalam bahasa Arab. Julukan tersebut adalah membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh nabi julukan yang paling disukai oleh Ali. (m05/net/Wikipedia/berbagaisumber) sejak dia kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah
Padang pasir dan pohon kurma