Waspada, Sabtu 28 januari 2012

Page 22

Kreasi

B8

WASPADA Sabtu 28 Januari 2012

Menyontek, Budaya Atau Tuntutan? KATA menyontek sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan mahasiswa. Fakta yang terjadi bahwa menyontek memang suatu budaya yang dianggap sudah biasa. Mulai dari bangku sekolah dasar sampai kuliah hal ini terus berlanjut sebagai warisan turun temurun. Biasanya masalah menyontek selalu terkait dengan tes atau ujian. Dengan sejuta alasan, mahasiswa membenarkan tindakan menyontek tersebut. Mulai dari lupa belajar, bahan yang keluar belum diajarin dosen, materinya belum sampe sana lah, kurang tidur jadi nggak sempet belajar, dan banyak alasan lain untuk membenarkan tindakan menyontek yang sepertinya sudah mendarah daging di kalangan mahasiswa. Sejak lama, institusi pendidikan Indonesia menerapkan aturan yang ketat dalam hal “contek-menyontek”. Pemberian sanksi mulai tidak lulus mata kuliah, skorsing, dan bahkan di- ‘DO’ adalah sederetan ultimatum yang diberikan agar pencontek jera. Namun apa daya ketika institusi harus mengawasi ujian mahasiswanya yang jumlahnya pulu-

han sampai ratusan dengan berbagai metode ‘menyontek’ yang bermacam-macam. Hal ini tentu merugikan mahasiswa yang rajin belajar, karena objektivitas penilaian tidak ada, yang dilihat hasil ujian bukan keseluruhan proses dalam perkuliahan. Pernah pula terjadi mahasiswa yang jujur dalam menjawab pertanyaan nilainya lebih rendah daripada siswa yang jelas-jelas menyontek. Ternyata di perguruan tinggi semakin canggih lagi, teknologi bukannya digunakan untuk kemajuan bangsa malah menurunkan kualitas bangsa. Dengan kecanggihan teknologi saat ini, banyak mahasiswa menggunakan handphone untuk menyontek. Misalnya menyalinnya di handphone, memfotonya atau

mentransfer ‘jawaban’ dari satu mahasiswa ke mahasiswa lain. Ada istilah di kalangan mahasiswa bahwa “ngakal tetapi berakal, menyontek pakai otak” maksudnya banyak hal yang bisa dilakukan untuk menyontek yang penting nggak keta-

huan. Tujuannya hanya satu, yaitu menyontek demi mendapat nilai bagus atau IP tinggi. Lantas, nilai tersebut mau diapakan kalo kemampuan diri sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai tersebut? Bukankah sama saja seperti

kumpulan angka bermakna kosong? Makna nilai yang kita dapat bukanlah dari apa yang secara fisik terlihat, melainkan dari apa yang peroleh selama‘proses’ mendapatkan nilai tersebut. Percaya atau tidak, inilah faktanya di Monash University,

Australia. Kasus plagiarisme dalam satu tahun ajaran hanya satu kasus dan pelaku kasus tersebut berasal dari Indonesia. Hal ini tentu amat memalukan bagi negara kita , bukan? Menyontek memang sudah membudaya dalam masyarakat kita, namun

bukan berarti kita terus mengembangkan budaya itu. Seharusnya mulai dini kita perbaiki diri untuk semakin percaya diri dan sadar nilai bukanlah segalanya, tapi yang utama adalah‘proses’ belajar itu sendiri. Menyontek bukanlah hal

terpuji, selain membuat manusia menjadi malas berpikir, juga menurunkan harkat kita sebagai manusia yang telah diberi akal budi oleh Tuhan, bukan begitu teman?... *Arianda Tanjung

Semua Ada Aturannya... SEMUA harus punya aturan, termasuk media sosial yang harus diatur. Jika tidak, informasi yang masuk akan menjadi sampah yang tidak berguna bagi masyarakat khususnya generasi muda di era globalisasi saat ini. Demikian disampaikan Dra Hj Nadra Ideyani Vita MSi dalam penjelasannya pada acara debat bertemakan “Media Sosial (Jejaring Sosial) yang berdampak negatif” yang digelar mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi “Pembangunan” (STIK-P) Medan dalam mata kuliah Rhetorics and Public Speaking di aula kampus tersebut, Jl SM Raja, Sabtu (23/1) lalu. “Banyak masyarakat yang menggunakan media sosial, tapi belum tahu fungsi dan tujuannya. Yang menjadi pertanyaan

Waspada/ Arianda Tanjung

Waspada/Arianda Tanjung

TIM Pro media jejaring sosial berdampak negatif diwakili Yan Lee dan Vita TIM kontra media jejaring sosial berdampak negatif diwakili Fachri Andrian P Saragih cs. dan Largo Melanie cs. penting adalah apakah masyarakat sanggup untuk menerima hal tersebut (media sosial)? Jika tidak, masyarakat akan kebablasan,” ujar Puket I itu. Dalam acara debat tersebut, narasumber terdiri atas dua tim, Pro dan Kontra, yang masingmasing memiliki pandangan berbeda terhadap tema tersebut. Tim Pro diwakili Yan Lee, Vita P Saragih, dan Sesty Persia cs, sedangkan kubu kontra diwakili Fachri Andrian dan Largo Melanie cs. Diwakili Yan Lee, kubu Pro mengatakan jejaring sosial telah dimanfaatkan

dalam berbagai kehidupan masyarakat di berbagai bidang baik sektor bisnis, komunikasi, pendidikan, maupun lainnya. Perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi, khususnya pengguna situs jejaring sosial juga tidak dapat dipungkiri membawa dampak negatif. Dunia maya, khususnya penggunaan situs jejaring sosial, juga telah mengubah kebiasaan banyak orang penguna internet. “Hal ini membuka peluang terjadinya kejahatan sehingga memerlukan pengaturan

secara yuridis,” tambah Yan Lee. Beda halnya dengan tim Kontra yang menjelaskan pada diri manusia melekat adanya hak asasi manusia yang dibawa sejak lahir. Salah satu hak asasi tersebut adalah kebebasan berpikir dan menyampaikan pendapat serta memperoleh informasi. Media sosial juga memiliki dampak positif, di antaranya saling berbagi sesuatu dan mendapatkan informasi yang kita butuhkan dengan cepat plus bersosialisasi. Selain Nadra, dua panelis adalah Dra T Syahriani MSi (bidang

komunikasi) dan Dra Hj Erma S Tarigan SH MHum (hukum). Dari segi hukum, Erma mengatakan pemanfaatan jejaring sosial harus dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, kemanfaatan, kehati-hatian, dan itikad baik dengan mengutamakan kepentingan nasional, persatuan dan kesatuan, menghormati ketertiban umum, kesusilaan serta menjunjung tinggi etika. Dengan begitu, masyarakat dapat dengan nyaman menggunakan jejaring sosial tanpa harus merasa takut. Dari segi komunikasi, Syahriani

mengatakan bahwa di era globalisasi ini pemanfaatan teknologi informasi semakin banyak dilakukan, maka kecenderungannya yang muncul mendorong terhadap pola perubahan sosial yang sangat cepat. Hal ini menandakan tema “Media Sosial (Jejaring Sosial) yang berdampak negatif” sendiri memang pantas diperdebatkan karena menimbulkan banyak pro kontra di kalangan masyarakat. Kamu sendiri pro atau kontra? *Arianda Tanjung

Bereksplorasi Lewat Airbrush MELUKIS tidak hanya dilakukan di atas kanvas. Semakin banyak media yang digunakan untuk menuangkan kreasi seni tersebut. Satu di antaranya adalah melukis di kendaraan dengan teknik tekanan angin untuk menyemprotkan cat atau biasa dikenal dengan airbrush. Sepeda motor menjadi banyak pilihan di kalangan remaja untuk berekplorasi. Bahkan dari waktu ke waktu semakin sering dilakukan kompetisi untuk teknis airbrush.

Airbrush kian marak dan digemari terutama dari kalangan muda. Berbagai macam bidang kerja yang biasa dikerjakan dalam bisnis airbrush antara lain body kendaraan (motor maupun mobil), helm, alat-alat rumah tangga, dan lainnya. “Suasana baru akan kita peroleh dengan mengairbrush motor. Selain itu, kita juga bisa tampil beda dari motor keluaran pabrikan,” ujar Aulia Satriawan, mahasiswa Hukum UMSU Medan yang mengubah tunggangannya Supra X 125 dengan warna biru putih. Selain suasana baru, lanjut Aulia, dengan meng-airbrush dirinya bisa menunjang performa motor lebih apik lagi. “Namun perlu diingat, perubahan warna harus sesuai dengan surat kendaraan (STNK) biar nggak ditilang polisi,” saran pria berbadan tegap ini. Hal senada diucapkan Ricardo Hutahaean, dirinya mengaku merasa tampil beda dan memiliki kepuasan tersendiri apabila sepeda motornya diairbrush sesuai dengan selera. “Kepuasan itu mencapai puncaknya apabila motor tua kita kembali kinclong dengan tampilan perkembangan mo-

Waspada/Hajrul Azhari Ritonga

ADIT menunjukkan kebolehannya meng-airbrush di bengkelnya kawasan Garu I Kompleks SM Raja Vista Medan, Kamis (26/1). difikasi terbaru,” ucap pria berusia 22 tahun itu yang berprofesi sebagai sekuriti salah satu bank di Kota Medan. Seiring tingginya minat kawula muda terhadap seni airbrush, bisnis lukis melukis itu pun kian berkembang. Aditya Maulana merupakan salah satu airbrusher di Kota Medan yang mencoba peruntungan dengan membuka bengkel khusus airbrush.

Adit, demikian ia akrab disapa, memulai karirnya sejak dua tahun lalu. Berbekal ketertarikan di dunia lukis melukis dan modifikasi motor, terbentuklah bengkel airbrush yang kini menjadi tujuan banyak orang untuk memodifikasi motor mereka. Adit Airbrush, demikian nama bengkel Adit yang yang terletak di daerah Garu I Kompleks SM Raja Vista Medan. Bengkel

ini fokus modifikasi airbrush. Ketika dijumpai Kreasi, Kamis (26/1) lalu, Adit sedang mempraktekkan cara melukis dengan model airbrush. Ia menggambar sesuai permintaan konsumen. Dengan lihai, tangannya pun menyemprotkan cat dan mulai berkreasi dengan gambar. “Awalnya sulit memang. Namun, jika kita tekun dan serius untuk belajar pasti bisa,” tutur pria kelahiran 13 Februari 1989 ini. Harga yang ditawarkan Adit Airbrush pun relatif terjangkau masyarakat yang ingin tampilan motornya berbeda. Untuk full body (sepeda motor), biasanya pria berambut kribo ini memasang tarif sekira Rp350.000 hingga Rp400.000, atau tergantung tingkat kesulitan. “Bagi yang ingin melakukan perubahan warna menyeluruh, kita selalu sarankan mereka untuk melapor dulu kepada petugas berwenang. Hal ini agar perubahan warna dapat disesuaikan dengan STNK dan BPKB (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor),” saran alumni SMAN 6 Medan ini. *Hajrul Azhari Ritonga

Gimana Menurutmu? Abdul Rahman,

Panca Budi Medan

“Ya, tidak perlu disanggah lagi kalo budaya menyontek memang sudah erat dengan kehidupan siswa dan mahasiswa. Menyontek di saat ujian atau diberi pekerjaan rumah merupakan hal yang wajar. Buatku, menyontek merupakan masalah akut yang berbahaya. Bila terusmenerus, daya cipta otak kita menurun dan juga berdampak buruk bagi masa depan. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali untuk ngubah hal buruk seperti itu.”

Era Widya Hariono, USU “Kalo menurutku, menyontek akan menghilangkan rasa percaya diri seseorang. Bila kebiasaan tersebut berlanjut, maka percaya akan kemampuan diri luntur sehingga semangat belajar jadi hilang. Jika ini terus-menerus berlangsung, kita akan terus berpikir untuk pintar tidak bisa dengan belajar, tapi menyontek. So, percayalah sama diri sendiri dan tanam dalam hati bisa tanpa menyontek.”

Teks & foto: Arianda Tanjung

Erdi Warliyanto, UMSU

Waspada/Arianda Tanjung

“Sepertinya menyontek sudah lumrah dilakukan di Indonesia, apalagi di kalangan pelajar maupun mahasiswa. Menurutku, mereka yang melakukan perilaku nyontek umumnya memiliki kelemahan dalam perkembangan moralnya, mereka belum memahami dan menyadari mana yang baik dan buruk dalam berperilaku. Selain itu, perilaku nyontek boleh jadi disebabkan kurangnya rasa percaya diri.”

Lico Septian, STIK-P Medan “Nggak bisa dipungkiri kalo menyontek memang suatu budaya yang dianggap sudah biasa oleh semua orang, khususnya pelajar dan mahasiswa yang dipersiapkan sebagai generasi penerus bangsa ini. Mulai dari bangku sekolah dasar sampai kuliah pun hal ini terus berlanjut sebagai warisan turun temurun. Alangkah baiknya jika kita mau mengubah diri dari sekarang, lebih baik jujur meskipun hasilnya kurang memuaskan.”


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.