Cemerlang
WASPADA Minggu 13 November 2016
B7
masuk belum tentu mengerti yang dijelaskan guru apalagi yang bodoh seperti kamu.” Ibu guru emosi melihat tingkah nakal Angga. “Tidak. Aku benci matematika, IPA, dan semua pelajaran menulis itu. Aku tidak suka disuruh menulis.” “Astaga, kau melawan Nak. Jadi kalau tidak belajar kau mau jadi apa?” Gurunya menekankan sekali lagi. Angga diam. Dia memang tidak tahu dirinya ingin menjadi apa. “Bu, saya akui memang anak saya ini bodoh. Dia tidak tahu apa-apa. Kepalanya tidak bisa menangkap pelajaran dengan mudah. Tapi walau begitu, dia harus mendengarkan penjelasan guru dan tidak boleh keluar dari kelas. Apa yang kau kerjakan Angga, kenapa kau sering sekali keluar dari kelas?” Bu Desi bertanya pada Angga. Angga hanya diam. “Kenapa diam Angga? Jawab Mama!” Bu Desi bersuara keras. “Aku tidak suka belajar!” Angga pergi dari kantor. Dia sudah tidak perduli lagi. Dalam hatinya kesal, selalu dikatakan bodoh, bodoh, dan bodoh. Iya, aku memang bodoh memang kenapa dunia? Angga bersandar di sebatang pohon besar. Dia duduk di bawah pohon itu, setelah puas berlari dari guru dan ibunya. Tiba-tiba seekor burung pipit jatuh di hadapannya. *** Melihat tingkah putranya, Bu Desi pusing tidak karuan. Sejak kapan putra sulungnya menjadi pembangkang seperti itu? Melawan orangtua, melawan guru. Maka dia pamit pada gurunya dan berinisiatif melihat kemana perginya anak bandel itu. Setelah itu, dia pastilah akan menasehati anak itu panjang lebar. Bu Desi pergi ke kantin mencari anaknya. Sepi. Tidak
ada seorang pun di sana kecuali Bu Kantin yang tampak tersenyum ramah dan mempersilahkan dia duduk. Bu Desi memutuskan untuk memesan makanan dan minuman. Dia tidak bisa menemukan putranya, tapi dia pasti di sekitar sekolah ini. Sekolah ini besar, jadi dia putuskan sarapan dahulu untuk mencari putranya itu kembali. Saat Bu kantin membawakan lontong dan teh manis pada Bu Desi, Bu kantin tersenyum tulus, memasang tampang yang ramah sekali. Seolah sudah kenal lama. “Ibu, apakah ibunya Angga?” Bu Desi mengangguk heran dan bertanya-tanya. Mengapa wanita paruh baya ini mengenalnya. “Angga sudah bercerita pada saya, tentang Ibu . Angga bilang, dia punya ibu yang sangat cantik dan pintar. Semua orang senang pada Ibu. Dia selalu memuji Ibu.” “Dia sering datang ke sinikan Bu? Apa yang dia lakukan?” Ibu Angga bertanya penasaran. “Setelah makan, biasanya dia membantu saya mencuci piring, mengelap meja, juga memperbaiki senter dan lampu yang rusak. Pernah juga dia memperbaiki kipas angin saya. Dia melakukannya dengan mudah. Saya senang sekali. Putra ibu sangat baik. Ibu beruntung punya putra seperti Angga.” Mendengar hal itu, Bu Desi naik pitam, “Lalu kenapa Ibu membiarkannya begitu? Anak saya bukan pembantu di kantin Ibu ini, dia seharusnya masuk ke kelas. Itu jam pelajaran Bu!” “Saya sudah menyuruhnya masuk kelas, tapi dia tidak mau Bu. Maaf, kalau membuat Ibu yang terhormat kecewa, tapi putra Ibu sangat baik. Saya harap Ibu tidak memarahinya hanya karena dia bodoh. Dia tidak bodoh, mungkin dia memang tidak sepintar kawankawannya, tapi hatinya tulus Bu. Saya suka kepribadian putra Ibu.” Dengan wajah yang penuh emosi, Bu Desi berlalu dari kantin setelah mendengar penuturan Bu kantin tersebut. Dia tidak menerima putranya mau mengelap meja, mencuci piring, dan memperbaiki bendabenda rusak tak berguna. Saat hendak berbelok menuju ruang kelas Angga, Bu Desi bertabrakan dengan seorang siswa. Dia Alfi, Alfi sedang mencari-cari Angga. “Maaf Bu!” Alfi menunduk. “Alfi, kamu ada lihat Angga?” Sultan menepuk pundak Alfi. “Nih, aku juga lagi cari dia. Si Angga itu kemana yah?” Alfi tampak berpikir keras. “Kalian mencari Angga?” tanya Bu Desi ragu. “Iya Bu, kami ingin mendengar ceritanya lagi. Dia itu pandai sekali bercerita, juga merakit mobil, perahu, dan sepeda
motor dari kayu. Dia sudah berjanji pada kami hari ini memperlihatkannya pada kami.” “Kalian ada lihat Angga?” Bu Desi semakin heran, kali ini ada lagi yang mencari anaknya. “Ada lihat Angga nggak? Aku pengen ketemu dia. Dia asyik orangnya lucu, ramah dan setia kawan,” seorang kawan juga menanyakan Angga. Betapa banyak teman yang peduli pada putranya itu. Aldi tiba-tiba datang menengahi, “Anggakan hari ini panggilan orangtua, mungkin dia di kantor.” Jawab Aldi. “Yah, si Angga. Kok bisa sih keseringan cabut begitu. Padahal aku sudah bantu menyiapkan PRnya.” Sultan mengeluh. “Iya nih. Aku juga sudah siapkan ulangan remedialnya, pasti nilai 100 ini. Dia tidak akan dapat nilai nol lagi.” Alfi berseru. “Kenapa kalian begitu baik dan perhatian pada anak Ibu?” Bu Desi tiba-tiba bersuara di tengah kerumunan siswa lakilaki itu. Semua terhenyak, tidak menyangka, wanita yang ditabrak Alfi itu adalah Ibunya Angga. “Bu, Angga sangat baik. Dia pernah terlambat ke sekolah gara-gara membantuku membawa ibuku ke rumah sakit. Aku sangat berhutang budi padanya.” Jawab Alfi. “Angga pernah membantu memperbaiki ban sepeda motorku yang rusak.” “Aku lupa bawa uang, Angga selalu mentraktir aku di kantin,” berbagai jawaban muncul dari mulut anak-anak itu. Tanpa sadar, air menggenang di sudut mata Bu Desi. Dia pergi dari kerumunan anak-anak itu, bergegas mencari putranya kemana berlari. Dibantu oleh teman-teman Angga yang penasaran ingin tahu dimana Angga berada. Dan beruntung bagi Bu Desi, dia menemukan putranya itu duduk di bawah pohon di belakang kelas paling sudut. Dia terpaku melihat putranya dengan seekor burung yang terluka. Tampak, Angga sedang mengobati luka burung itu dan mengelus bulunya yang indah. Bu Desi langsung menghampiri Angga dan memeluknya. “Maafkan Ibu Nak. Angga tidak bodoh. Angga pintar. Tidak pernah bodoh! Angga tidak bodoh!” berulang kali Bu Desi mengumandangkan kata ibu. Angga heran melihat ibunya. “Maafkan aku Bu. Aku memang salah. Aku cabut saat jam pelajaran berlangsung. Aku akan belajar lebih giat lagi, tapi aku takut peringkat terakhir lagi. Aku tidak bisa membahagiakan ayah, ibu.” “Tidak apa-apa, sudah. Sudahlah, tidak apa-apa Nak, kamu mendapat peringkat terakhir juga tidak apa-apa. Kau tetap nomor satu di hati Ibu. Kau hebat nak. Kau luar biasa.” ***
d i t e m p a t t i d u r, s e p e r t i memikirkan sesuatu. Malam itu, ayah tidak juga bicara. Akhirnya kesabaran ibu menemukan akhir. Wanita itu memaksa ayah untuk cerita bahkan sesekali dia mengeluh lelah melihat ayah seperti itu. Hingga akhirnya ayah pun tak punya pilihan selain menceritakannya.
“Baiklah jika kau memaksa aku akan cerita. Tapi kuharap ini tak mengubah apapun dalam hidup kita, Retno. Aku minta maaf tidak bisa menjadi suami dan ayah yang baik untuk anakanak. Aku minta maaf karena aku telah salah langkah. Aku...menikah lagi, Retno!” Byur, seperti tersiram air panas. Perih pedih. Begitulah hati kami setelah mendengar kejujuran ayah. Air mataku mengalir deras, tak tertahankan. Ayah yang amat kucintai menodai ketulusanku mencintainya. Dia hilang lenyap, bukan seperti ayah lagi. Ah, aku belum juga kembali ke masaku. Aku masih diliputi kesedihan berlarut-larut akibat kejadian itu. Semenjak itu pula, ibu memutuskan meninggalkan kami. Dan ayah membawaku ke genggaman istri baru ayah. Semenjak itu pula, ayah tidak pernah lagi memberikan dekapan hangat, kue kering kesukaanku, siulan khas dan kini vespa tua juga sudah digantikan dengan mobil baru. Dia bukan ayah lagi. Waktu terus berjalan, hingga akhirnya istri muda ayah dikaruniai anak perempuan. Mereka sangat bahagia, bahkan
aku sering terabaikan. Ingin rasanya kujambak rambut wanita itu tapi apa daya, ayah pasti membelanya. Di sela-sela waktuku, aku rindu ayah dan ibu. Rindu kehangatan keluargaku yang dulu. Keluarga sederhana yang dilimpahi kebahagiaan. Meski sering kekurangan tapi semua lewat begitu saja. “Aku rindu ayah-ibu.” Anak perempuan yang lahir dari rahim ibu tiriku itu berhasil merenggut segalanya dariku termasuk kasih sayang ayah. Bahkan ayah tidak segan-segan membentakku padahal aku tidak salah apa-apa. Pernah sekali waktu, aku melihat ayah pulang membawa kue kering kesukaanku dan siulan khas yang menggoda. Dengan penuh kegirangan aku keluar dari kamar, menyambut kedatangannya. “Ayahku sudah kembali. Dia adalah ayahku.” Namun, kue kering dan siulan khas itu bukan ditujukan untukku melainkan anak perempuan yang duduk di sebelah ayah. Anak perempuan yang lahir dari rahim ibu tiriku. Mereka berhasil merenggut segalanya dari hidupku.
Aku Tidak Bodoh Mama Cerpen: Rizki Muliani Nasution SEORANG anak lelaki kecil sedang menekuk tubuhnya. Bersandar di antara pertemuan dinding ruangan. Dia berdiam di sudut dan meratap. Dia tidak berani menatap dunia. Baginya, dunia ini gelap. Hanya suara hatinya yang kian menderu. Lantang dan ingin berteriak, “Aku bukan anak bodoh Ma!” “Perkalian 1 sampai 10, dia belum bisa juga. Padahal dia sudah kelas 6 SD. Perkalian 1 sampai 5 terbata-bata. Kau anak siapa? Kau Bodoh! Tidak ada keluargaku yang seperti kau. Kenapa kau tidak bisa membuka otakmu itu. Dengarkan gurunya kalau ngomong.” Angga hanya bisa terdiam, tak berucap. Anak sekecil itu sudah dipaksa untuk mengerti kata-kata kasar oleh sang ayah, yang adalah seorang jenderal. Angkatan yang sangat dihormati di bagian kepolisian. Bagaimana tidak! Bapak Hardiman diangkat jadi komandan termuda dalam kepolisian di masa mudanya dulu. Dia sangat jeli, gesit, dan punya semangat yang tinggi dalam bekerja. Atasan suka padanya,hinggabeliaudenganmudah mendapatkan promosi jabatan. Dan sekarang, putra sulungnya berbeda dengannya. Dia sangat lamban, susah, setiap guru selalu mengatakan, “Betapa lambatnya anak Bapak. Kami selaku guru prihatin. Namun saya rasa dengan bimbingan yang tepat untuknya dia bisa menguasai materi dengan benar. Mungkin, Bapak bisa mengajarinya di malam hari atau mencarikan guru les privat misalnya.” Begitulah, sore itu selesai tambahan kelas 6 SD, wali kelas berpesan pada Pak Hardiman. “Anak kurang ajar. Kau membuatku malu. Kenapa kau bodoh? Mulai malam ini kau tidak bisa bermain lagi. Kau harus les setiap hari!” Angga menunduk lemah. Dia masuk ke kamarnya dengan wajah yang lesu. *** Penentuan kelulusan Sekolah Dasar. Bocah lelaki itu menggenggam tangan ibunya. Dalam hati, takut membayangkan yang akan terjadi. Peringkat berapakah dia? Baguskah nilainilainya? Itulah gerangan hal yang dia sedang pikirkan. Ibu menggenggam tangannya kuat. “Angga, kau pasti bisa mendapatkan sepuluh besarkan? Ayahmu pasti senang kalau dia mendengar kau lulus dengan nilai bagus dan mendapat peringkat 10 besar.” Hari itu, hari kelulusan, seharusnya setiap anak bahagia karena akan segera melanjut ke
jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), namun naas bagi Angga. Begitu raport dan nilainya dibagikan oleh wali kelas, terteralah angka-angka yang membuat kepala Ibu Desi pusing. Putra sulungnya yang selalu dia banggakan itu, hanya mendapat nilai enam ke bawah. Hanya nilai pas. Kelulusan standar Ujian Nasional dan nilai raport yang pas sesuai standar KKM. Di raportnya tertulis peringkat 36 dari 36 siswa. Angga menatap wajah ibunya penuh harap. Anak lakilaki sekecil itu, tersenyum. Berharap dia akan mendapatkan kabar baik dari ibunya walau hatinya gamang. Keringat dingin membasahi telapak tangannya. Bernada tidak yakin. Tapi dia sudah berusaha keras. Dia sudah les. Dia sudah belajar. Ibunya menarik tangannya hingga sampai ke rumah. “Angga! Kau bodoh sekali. Lihat nilai raportmu ini. Mengapa kau hanya mendapat nilai begini. Mau ditaruh dimana muka ibumu ini Nak. Kawankawan ibu semua mengatakan kalau anaknya berprestasi. Mendapat sepuluh besar. Anak ibu, kau kenapa Angga? Kau pasti keseringan bermain bukan?” “Tidak Ma. Aku tidak mau belajar. Aku selalu salah.” Angga bersuara keras. Saat itulah ayahnya datang. “Kau! Kau melawan sama orangtua. Kau masih kecil sudah berani melawan orangtua, Ha!” Pak Hardiman melemparkan kursi kayu tepat ke samping Angga. Membuat tubuhnya bergetar ketakutan. “Kau memang anak bodoh dan tidak patuh. Apa sulitnya belajar? Kerjamu selalu minta uang dan bermain saja.” Melihat hal itu, naluri keibuan Bu Desi tergugah. “Sudahlah ayah, sudahlah. Angga butuh istirahat. Nanti kita bicara lagi dengannya. Angga, masuk ke kamar.” Perintah ibunya. Angga masuk dengan wajah penuh sembap. Air mata membasahi seluruh wajahnya. *** Bu Desi berprofesi sebagai seorang dosen. Dia sangat dihargai dan dihormati di kalangan teman-temannya yang berprofesi sama. Bu Desi mendapat
banyak penghargaan di bidang penulisan karya ilmiah. Ini membuat Bu Desi sangat sibuk dengan berbagai seminar. Semua orang mengelu-elukannya, sebagai dosen profesional dan berprestasi bagus. Saat melihat putra sulungnya, tetap dengan kebodohannya sejak kecil, betapa terpukul hatinya. Egonya tersayat menghadapi kenyataan. Dia pikir seiring berjalannya waktu, putranya itu akan mudah membaca dan berhitung. Namun nyatanya Bu Desi harus menelan kenyataan pahit kalau Angga tetap tidak bisa berpikir secepat dirinya. Angga lambat. Lambat sekali. Dia bisa membaca di kelas lima, itupun masih terbata-bata dan perkalian dan pembagian yang belum fasih. Saat melihat raport Angga siang itu, dia berpikir keras. Apa yang harus dia lakukan? Dia ingin putra sulungnya itu sukses. Cucu pertama dari keluarga besar mereka, tidaklah boleh jadi produk gagal. Memikirkan hal itu, kepala Bu Desi pusing. Matanya melihat ke arah televisi, namun di hatinya ada putra sulungnya, Angga dan masa depannya. Angga datang mendekat padanya. Anak itu duduk di samping Ibunya. Menonton televisi yang sedang menyiarkan acara berita. “Angga!” tiba-tiba Bu Desi membuka pembicaraan. “Apa Ma?” jawab Angga sumringah. Sakit hati yang dia dapatkan tadi siang, telah dia lupakan dengan mudah. “Kamu masuk SMP Nurul Il’mi yah?” “Apa? Aku tidak mau.” Angga merajuk. Dia mulai membayangkan, kalau dia akan selalu salah dan juga akan ditertawai dan selalu menjadi bahan hinaan. Menjadi peminta-minta jawaban. Selalu mengemis jawaban saat ulangan, sangat menyakitkan. “Tidak! aku tidak mau!” Angga berteriak keras. “Angga, diam!” Ibunya berkata padanya keras. Angga terdiam. Dia menunduk. “Ibu, Nurul Il’mi tempat orang-orang pintar berkumpul. Aku siapa? Aku akan menjadi anak paling bodoh di kelas, sama ketika waktu SD. Aku tidak mau Nurul Il’mi. Aku mau SMP biasa saja. Aku takut menjadi peringkat terakhir. Aku akan dimarahi ayah dan ibu lagi.” “Ibu tahu Nak. Tapi Ibu malu membuatmu sekolah di SMP biasa. Nurul Il’mi adalah tempat yang pas untukmu. Dimana siswa-siswa terkemuka dan pintar berkumpul. Anakanak teman Mama semua
sekolah di sana. Siapa tahu, kalau kau sekolah di sana, kamu akan terpacu menjadi pintar.” “Bagaimana kalau aku dapat peringkat terakhir lagi?” Angga menatap wajah Ibunya penuh harap. “Baiklah, Ibu janji tidak akan marah dan menutupi semua dari Ayah.” “Terimakasih Ibu” Angga bersemangat. Dalam hati, Bu Desi tersenyum. Angga putraku memang tidak bisa untuk berprestasi tapi dia tetap harus bisa masuk ke sekolah bergengsi dan favorit di kota ini. Tidak peduli, aku harus membayar berapa untuk semua itu. *** Angga melalui masa SMP dengan sangat menyakitkan. Setiap selesai membahas satu bab materi pelajaran, dia akan selalu bertanya pada kawannnya. “Aldi, ini benar nggak?” “Salah Angga, bukan begitu. Begini.” Aldi membetulkan jawaban Angga. Begitulah, Angga berteman baik dengan Aldi teman semasa SD-nya dulu. Angga selalu mengerjakan soal dengan sedikit kesalahan dan Aldilah yang biasanya memperbaikinya. Saat guru menjelaskan pelajaran IPA, Angga sama sekali tidak tahu apa-apa. Sangat sulit untuk mengikat ilmu di kepala Angga. Seperti siang ini, Angga kelelahan. Pelajaran matematika berlangsung selama 3 jam nonstop. Setelah matematika akan ada pelajaran IPA. Karena suntuk dan tidak berminat dengan pelajaran angka, Angga permisi pada Bu Guru dan berdiam di kantin hingga jam pelajaran berakhir. Itu, suatu kebiasaan yang menyenangkan bagi Angga. Bebas, dari rutinitas mengerikan itu. Angka-angka yang selalu membuat kepalanya pusing tak karuan. Di kantin, dia bisa makan, setelah makan biasanya
Angga akan membantu Ibu kantin untuk mencuci piringnya dan bersih-bersih. Angga tidak malu melakukannya, walau dia anak laki-laki. Tidak jarang, Angga memperbaiki peralatan listrik bu kantin yang rusak. Suatu hari, surat panggilan orangtua melayang pada Pak Hardiman dan Bu Desi, dalam surat itu disebutkan bahwa Angga sering meninggalkan jam pelajaran hampir setiap hari, dia permisi dan singgah di kantin dalam waktu yang cukup lama. Pak Hardiman naik pitam. Ibu Desi juga sangat kecewa atas tingkah putranya yang luar biasa bandel itu. “Kau saja yang pergi, Ma. Pulang sekolah nanti, dia harus bersiap menerima kemarahanku. Anak itu selalu mengecewakan.” Pak Hardiman bergegas ke kantornya setelah mengatakan hal itu. Bu Desi masuk ke kantor guru. Betapa malunya dirinya saat menghadap ke kantor guru dan menghadap wali kelas Angga. Beberapa guru di sekolah itu juga adalah temannya. Mereka, guru anaknya itu mengenalnya. Betapa malunya dia, yang seorang pendidik juga tidak bisa mendidik putra sulungnya itu dengan benar. Tidak menunggu waktu lama, Angga juga datang ke kantor. Dia tahu, akan dimarahi. Dia berjalan pelan. Tidak berani melihat wajah ibunya. Yang entahlah, marah atau tidak. “Angga, lihat. Ibumu sudah datang ke sekolah. Coba jelaskan pada kami, kenapa kau selalu cabut dan berlama-lama di kantin? Kau tahukan hampir setiapharikaumelakukanhalitu.” “Hanya di jam pelajaran matematika dan IPA bu!” jawab Angga lemah. “Iya, tapi setiap minggu kau melakukan itu. Apa maksudmu? Ingin membandel di sekolah ini? Yang pintar saja
Kue Kering dan Siulan Ayah Cerpen: Maririma Aku merindukannya. Sebungkus kue kering sepulang kerja, siulan khas, dan deru vespa tua di ujung gang. Tapi hujan keburu memanggil, menumpulkan, dan melenyapkannya di antara tangis yang turun dari langit juga pelipisku. Sore itu, seperti biasa ayah pulang kerja sambil mengendarai vespa tua. Setiap kali aku mendengar deru motor tua itu, aku berlari sampai ujung gang lalu duduk di depan ayah sambil memegang kue kering kesukaanku yang selalu ia bawa. Kalau hujan datang, aku hanya menunggunya di rumah. Tapi ia tidak pernah lupa menggodaku dengan siulannya yang khas. Lagi-lagi setiap mendengar kedatangannya, aku berlari menemuinya dan memeluk tubuhnya yang hangat bersahaja. Setiap sore di hari libur, ayah selalu mengajakku berkeliling kota. Bahkan sebelum ia berangkat kerja, kebiasaannya
adalah membawaku kelilingkeliling. Ibu sering marah tapi ayah selalu membelaku. “Daria, kamu itu kayak anak ayam aja ya! Kerjaannya ngekor terus.” Ibu memang ketus tapi dia sangat baik. Aku menyadari kesalahanku tapi aku tidak bisa melewatkan waktu bersama ayah. Ibu boleh memarahiku apa saja asal jangan melarangku jalan-jalan sore bersama ayah. Ayah dan ibu adalah malaikatku.Tapi itu dulu sebelum duka membubuh di dadaku. Sebelum tangis sering datang tiba-tiba. Sebelum duniaku menjadi gelap kelam. Sepertinya, aku tidak bisa mencintai mereka dalam kegelapan. Kini kue sepulang kerja, siulan khas ayah, juga deru vespa tua seperti sudah hilang, lenyap entah kemana. Kalau tidak salah, terakhir ada lima belas tahun yang lalu. Waktu kecil dulu, guruku
suka sekali menyuruh kami membuat puisi untuk ayah-ibu. Di antara teman-teman yang lain, aku adalah murid yang paling lancar menulis puisi. Tapi sekarang, aku sulit menuliskannya. Bahkan jika puisi itu tertulis, maka lebih tampak puisi untuk musuh. Malam itu, aku duduk di teras rumah ditemani secangkir kopi dan kue kering. Kutepikan diri sendiri. Kubiarkan suami dan anakku tenggelam dalam mimpi sementara aku menggenang di laut masa lalu. “Mengapa pergi, Yah! Ibu kesepian, aku pun begitu.” Rintik hujan yang turun membawaku pulang ke masa itu. Malam gelap diguyur hujan, ayah belum juga datang. Biasanya setiap sore dia sudah berkumpul dengan kami, menikmati kopi dan becanda tawa. Tapi hari itu, sore kami lewati dengan sepi. “Kemana Ayahmu ini? Jam
Puisi Puisi Karya: Irma Itasari Sihombing
Adindaku Sayang Adinda, tak rapuhkah hatimu Memandang bola mata ku yang mulai sayu Tak teriris kah hatimu menerawang jiwaku yang mulai lapuk Sebab kau pergi karena apa? Ooh...Adindaku sayang, kembalilah Kembali ke dekapan rinduku.
Anugerah Terindah Senja, bahagiaku mulai terlihat Aku bahagia, Tuhan kirimkan malaikat sepertimu Malaikat yang tak pernah lelah Malaikat yang tak sekalipun mengeluh Malaikat yang mencintaiku Malaikat tanpa sayap
segini kok belum pulang!” Ibu resah. Sebentar-sebentar ia bangun dari duduknya, melihat-lihat ke luar jendela. Sekali-sekali ia mencoba tenang, tapi ia tetap tampak gelisah. Aku diam saja, tidak tahu harus bagaimana. Besoknya, ayah pulang. raut wajahnya lelah. Bajunya kusut berantakan. Tidak ada
Karya: Dindinda
Arti Hadirmu Karya: Ade Melinda
Secercah Harapan Telah hilang Bersama alunan-alunan fantasi keindahan jiwa Tak menyisakan kisah Di antara goresan pena Hilang tanpa bayang Bersama semilir angin di ufuk senja Terbang jauh Jauh sejauh mata memandang Ku berjalan diatas embun Meraba secercah harapan Akankah masih ada kisah Yang bisa kulukis diantara kita?
Kau tau... Hadirmu semangat baru bagi jiwaku yang lusuh Hadirkan rona bahagia dibalik kesenduan Senda guraumu, senyum kecilmu, dan sapa manjamu Terhatur indah bagai nyanyian Yang mampu musnahkan derita Sekejap hadirkan dunia baru bagiku Tak ingin kulepas kisah ini Takkan ku biarkan sedetik pun enyah Dari memoriku Untukmu yang selalu setia mengiringi Setiap langkahku Yang mampu membalut setiap luka Dengan dekapan lembutmu Tak mungkin kuhempaskan indah bayangmu dari hidupku
senyum, tidak ada kue kering dan siulan khas. Dia tidak seperti ayah lagi, yang selalu memelukku sepulang kerja. “Kenapa Bang?” Ayah diam saja. Dia juga tidak menyapaku. Setiap ibu bertanya dia hanya menjawab singkat. Kadang-kadang dari ruang tamu, aku melihat dia membolak-balikkan badannya
Karya: Mhd Ikhsan Rtg
Karya: Utami Nirwana
Balada Kupu-kupu Malam Terpandang Enam Di kegelapan malam Temukan Satu Di kesunyian malam Tak ada yang dapat dilakukan Hanya sebuah penantian Yang penuh dengan harapan Demi sesuap nasi dan orang yang disayang
Tahunan telah dilewati sayang Menikmati gambaran ramai suka Karena Tergabunglah mereka Di antara jutaan Adam dan Hawa
Malam telah datang Mereka pun sudah bertebaran Menanti di trotoar jalan Dengan sejuta harapan Menunggu kedatangan si hidung belang
Suara menyorak sambut menyambut Dekat mendekat gundahan terbelah Selamanya begitu mengingat hati Takkan pernah bisa melihat satu lainnya Tersingkir antara ujung demikian ujung Kelola pikiran di sambut khawatan
Inilah kehidupan Yang penuh dengan cobaan Hidup di zaman yang penuh dengan kekerasan Seperti baja yang tak terhancurkan Itulah balada si kupu-kupu malam Karena sudah tak ada pilihan
Gumpalan hina tercampakan Mereka sekarang hanya mereka Kami sekarang hanya kami Kelompok itu bergabung Astagfirullah… Celotehan memparah hati kerap diselimuti Kesana kesini tak jelas Enam seirama satu selaras
Karya: Yuni Sulistiya Wati
Potret Negeri Potret negeriku menjadi materi kanvas paradigma Di mana-mana menjadi sabda pribadi Curahan fakta jati diri Negeri hamparan luas dari cerminan pribadi setiap insan
Sajak Negeri Untuk Pribadi Sajak ini masih saja Setia memandang mu negeri Negeri, ibu yang paling ramah Penuh kasih dan cinta negeri, ibu pertiwi kaya agraris Tapi kini apakah sajak hanya sebatas kata yang tak harus di maknai? Tidak ! Sajak ini catatan potret negeri untuk pribadi