Waspada, minggu 29 desember 2013

Page 11

Cemerlang

WASPADA Minggu 29 Desember 2013

Mawar Terakhir Untuk Ayah Cerpen: Suci Florence Sidabutar GEMERESIK dahan pepohonan ditiup angin di sekitar gedung-gedung setengah jadi di siang hari itu membuat hatiku gundah. Cahaya senja yang diiringi angin sepoi-sepoi lambat laun mengikis peluhku yang sedari tadi bercucuran. Dedaunan yang berjatuhan turut menambah keindahan yang ku rasa. Mungkin sejenak aku bisa melupakan lelahku yang sibuk mengadumartildanpaku.Diatas gedung ini memang tempat yang aman buatku menyendiri dari berisiknya suara forklift, mesin molen dan bor yang tak hentihentinya memecah kesunyian hatiku. Barang sepuluh menit aku bisa menjauhkan diriku sejenak sebelum kembali lagi menjalankan kewajibanku hingga magrib tiba. Gelap yang menunggu pun tiba di kota Nias, seolah-olah menjadi petujuk yang memerintahkan kami bersiap-siap ke bara penginapan untuk istirahat. Tak adawaktuuntukberdiamdirilagi. Langsung saja kami semua berduyun-duyun untuk mandi di kamar mandi darurat yang satusatunya ada di dekat gedung itu. Lantai dua gedung itu kami sulap menjadi tempat tinggal kami sampai proyek selesai. Malam itu usai makan, tak seperti biasanya kami langsung tidur. Mungkin ini karena dari tadi pagi mereka sudah kelelahan men-cor lantai empat yang harus

selesai cepat. Di ruangan 3x4 ini, hanya beralaskan selembar tikar tipis dan dibalut sarung yang aromanya sudah bercampur aduk dengan keringat, tempat aku dan teman-temanku melepaskan penat. Ku lihat sekelilingku. Sepi. Kulangkahkan kaki menyusuri lorong-lorong bangunan yang hampir selesai tersebut. Sesekali aku menuju ke dapur yang berada tepat di sebelah kamar tempat aku dan sembilan temanku beristirahat. Entah anginapayangmengusikpikiranku sehingga aku masih terjaga, padahal jam dinding sudah menunjukkan pukul 12 malam. “Tidakadayangperludisesali, Rik!” Bisikku yang mencoba menghibur diri sejenak. Memang ini sudah menjadi takdirku. Menjadi seorang buruh bangunandiusia17tahun.Hanya mengenyam tamatan pendidikan sampai kelas 2 SMP, cukup membuatkusadardiriuntuktidak memilih-milih pekerjaan yang datang padaku. Mulai dari buruh lepas di perusahaan meubel, sampaiburuhkasardikebunkela-

Karya: Nurhayati Mutia Hsb

Ibuku, Matahariku Kau menghapus setiap air mataku Meninggalkan bayang-bayang kelamku Kau luruhkan segala kepedihanku Terima kasih… Kau mampu tabah dalam setiap derita dunia Kini aku mampu melihat terbitnya matahari pagi berseri Dan dapat menemukan cahaya harapan baru Dengan doa tulus dan dekapan kasih sayangmu Ibuku, matahariku Karya: Khairun Niswah

Ibuku Pahlawanku Ibuku wanita kekar Tak peduli terik mentari Ia tetap saja gigih Mencari rejeki di lembaga bumi Ketika ayah telah tiada Ibuku wanita kekar Tak menyerah pada takdir Ia tidak ingin aku jauh Ibuku wanita kekar Merangkulku menuju dunia Mengenalkan segala-gala tiba Mendekapku dalam segala suci Tetap tersenyum Meski badai merengkuh hari Ibuku wanita kekar Ibuku pahlawanku Karya: Dian Novita Sari

Wanita Mulia Mak, dengan apa kubalas semua jasa Jika peluhmu berarti hidupku Mak, dengan apa kusekat segala lelah Jika bahagiaku menjadi mimpi terbesarmu Mak, dengan apa kuhapus seluruh sakit Jika senyumku adalah duniamu Maka aku tidak akan pernah mampu bernafas tanpa detak di jantungmu Bersebab kasih sayangmu teramat tulus Selamat Hari Ibu, Mamak Untuk wanita yang selalu menyuguh kemuliaan bagi anak-anaknya Karya: Julaiha S

Ibu Ada Semacam Kerinduan Di Sini Bu, sudah kulihat jelas daun-daun jatuh merayap dalam darahmu seperti telaga yang mengaliri air-air dingin penuh dengan gelembung-gelembung bening Bu, ada sejumlah baris puisi bertelungkup dalam lembar-lembar pasir kemudian terbakar dalam dadamu kau tetap serupa bulan sabit Ada yang bergetar di sini di dada yang besarnya serupa gunung sebegitu juga rindu itu malam yang renggang ada air-air terbang di sana menjumpai kita

Ibu Ratu Ini Puisinya Langit beradu mengepalkan gumpalan awan tangan kita lalu beku memucat dalam rendaman dingin Kemudian kita lihat pula kilat dan guruh saling menampar pelan-pelanjalanlahhalilintardiantaraperaduan Hujan lalu jatuh bersama dengan tangisku yang menderu-deru Ah, sudah lupakan cerita itu ibu ratu kita ssekarang bukan lagi dalam dongeng panjang dengan kertas-kertas minyak

pasawitdiPekanbarupunpernah menjadi pilihan yang harus kujalani di tengah-tengah ekonomi keluarga ku yang cukup memprihatinkan. *** Malam ini, tidak seperti biasanya. Gelisah tak menentu hati ini, ntah apa gerangan yang akan terjadi. Penasaranku pun memuncak, hingga kuputuskan untuk menghubungi keluarga yang ada di Medan. “Hallo, kak!. Apa kabar kalian di sana?” “Sehat, dek!. Tumbentumbenan kau nelpon jam segini. Ada apa rupanya?” “Gak apa-apa kok, kak. Cuma ingin tahu aja.” “Ini ada Bapak di samping, mau bicara bapak samamu!”

Karya: Yulia Tasnim

Kasih Ibu Kasih ibu tak pernah bohong kasih ibu tak pernah putus di tengah jalan kasih ibu tak jua padam dan kasih ibu bak air sungai yang mengalir tanpa ujung benar jika lagu bilang kasih ibu tak terhingga sepanjang masa tak pernah mengharap balas jasa atas segala kebaikannya ibu cara apa yang dapat kulakukan agar kasihmu dapat terbalaskan kasihmu akan selalu terkenang dalam lembaran hidupku

Tanya ini sedikit mengusik kegelisahanku sedari tadi. Ku putuskan untuk tidak mengambil kesempatan bicara dengan ayah di ujung telepon, dengan alasan pulsa yang tidak memadai. Benar. Dengan menanyakan keadaan keluarga di kampung halaman sedikit mengobati kegelisahan yang mulai memuncak. Dalam hati bertanya-tanya selalu. “Apageranganyangakanterjadi?” Hingga pukul 11:56, tepat 3 jam setelah percakapan singkatku dengan kakak, Hp ku pun berdering dengan nyaringnya. Ternyata itu sambungan dari kakak di Medan. “Iya, kak. Ada apa?” “Hiks…hiks…hks….! Dek…!” Semacam suara tangis

yang ditahan. Cuma itu balasan di ujung telepon yang terdengar. “Kakak mau ngomong apa? Ada apa? Kakak kenapa?” Rasa penasaran ku pun memuncak. Campur aduk pikiranku saat itu. Ada apa gerangan. Apa lagi dengan adanya suara tangis dari ujung telepon malam-malam begini. Semakin memuncaklah. “Bapak kita, dek. Bapak meninggal!. Hiks…hiks….” Serasadisambarpetirseluruh tubuhku saat mendengar berita itu.Sontaktubuhkuterkulailemas tak berdaya. Hanya bisa bertopang pada sepetak meja kecil di dapur. Cukup lama waktu yang kubutuhkan untuk bisa bangkit berdiri. Pikiranku hanya tertuju untuk pulang ke Medan. Untuk melihat jenazah Ayah yang terak-

hirkalinyasebelumdimakamkan. Setelah mendapatkan izin dari kepala mandor, kuputuskan untuk pulang keesokan paginya. Meskiakuharusmeminjamuang untuk ongkos balik pada mandor, sebab baru dua hari yang lalu aku mengirim uang ke Medan, yang sudah menjadi rutinitas bulanan ku akhir-akhir ini. *** Bukan kepergian Ayah yang kusesali. Sebab aku mempunyai pandangan tentang kematian. Setiapmanusiasudahditakdirkan rejeki, jodoh, dan kematiannya. Tidak ada yang mengetahui dan menghindarinya,sebabituhanya rahasia Tuhan. Hanya satu yang sangat menyesakkan di dadaku. Satu pertanyaan yang selalu terngiang di telingku. “Mengapa aku tidak mengambil kesempatan untuk bicara dengan Ayah yang terakhir kalinya?” Sementara saat itu, Ayah sangat ingin berbicara denganku. Kini, aku yang bodoh meratapi nasibku. Aku mau dibatasi oleh batasbatas pulsa yang tidak berharga sama sekali jika dibandingkan dengan percakapan ku dengan Ayah.Yang menjadi saat-saat terakhir Ayah, dan saat-saat terakhirku bersua dengannya. Lantas, andaisajaakumengetahuiituadalah saat-saat yang sangat berharga bisa berbicara dengannya, apakah aku masih mau dibatasi oleh sejumlah rupiah? Seandainyaakumengetahuinya.AkankutemaniAyahmengobrol sampai tiba saat kepergiannya. Meski rasanya aku ingin berada di sisinya saat-saat itu. Akan kutanyakan bagaimana perasaannya,apayangdiinginkandariku. Adakah makanan atau minuman yang hendak dia minta? Ingin ku peluk erat tubuhnya, sambil kubisikkan di telinganya; “Jangan khawatir, Ayah. Aku selalu ada untukmu. Di sini. Di hati ini selalu

Puisi-puisi

Karya: Manna Wassalwa

Surga Sebelum Kelahiranku Ibu, dahulu Kau izinkan aku menempati bagian dari dirimu Aku tumbuh di sana. Merasakan tiap detiknya dengan kasihmu Kau manjakan aku di tempat itu Kau izinkan aku merasakan surga sebelum kelahiranku.

Melodi Ibu Melihat senyumnya yang manis Ingin kukirimkan ibu bait puitis Sebagai hadiah yang semoga estetis Untuk melodi kasihnya yang menglaun harmonis Karya: Wenty Susanti

Bunda Bunda hangat peluk kasih sayang tulus terbesit alunan doa menyertaiku Bunda maha kuasa engkau wanita surga atas apa yang kau lakukan seiring restu langkah ikhlasmu Bunda betapa aku mencinta takkan mungkin terluka takkan mungkin terlupa Karya: Wiwik Utami Sitorus

Salam Rinduku Untuk Ayah Masih segar diingatanku Ketika kau menimang Dan memelukku penuh kasih sayang Pun aku masih meerasakannya sampai sekarang Kini aku telah tumbuh dewasa Seperti anak remaja lainnya Aku merindukan tawa Yang dulu kau pancarkan Salam rinduku untukmu, ayah Kau pahlawan yang tak pernah kalah Walaupun anakmu bersalah Kau tetap saja mengalah

ada namamu.” Bahkanhanyasemingguwaktuku untuk meninggalkan pekerjaan yang menumpuk di Nias. Harus kembali dan menyelesaikan tugas-tugas ku. Tidak ada waktu untuk bersedih buatku. Hidup harus berjalan terus. Dia boleh pergi. Namun, namanya akanselaluterpatridihatiini.Bahkan aku berniat untuk membuat batu nisan di makamnya. Sebab dana yang tidak mencukupi, makamembutuhkanwaktuyang cukup lama untuk bisa mengumpulkan uang untuk memasang batu nisan di makamnya. Aku bahkan bertekad untuk memasang batu nisan Ayah dengan uang hasil jerih payahku bekerja jadi tukang bangunan. Bermodalkan pekerjaan ini, ku kumpulkan rupiah demi rupiahuntukmenyambungnafas kehidupan di keluarga kami. Sepeninggal Ayah, akulah yang menjadi tulang punggung keluarga. Mengingat akulah anak lakilaki paling besar. Mulai dari biaya sehari-hari sampai biaya sekolah 3 orang adikku yang masih duduk di sekolah dasar. UntungsajaIbumasihpunya sepetak ladang di dekat rumah. Setiapadakesempatankakakpun ikut ambil peran membantu perekonomian keluarga dengan ikut membantu Ibu menanam palawija sepulang kuliah. Mau apalagihendakdikata.Almarhum Ayahbukanlahseorangpensiunan atau PNS. Kami sekeluarga lah yang saling bantu-membantu untuk menambah pundi-pundi keuangan. Hingga cita-cita beliau terwujud nantinya. Ingin melihat kakak lulus sarjana, adik-adikku bisa mencapai cita-cita mereka menjadi polisi, pilot, dan guru. Ya, kalau untuk aku apa yang mau dikata. Hanya bisa mengambil peran sebagai sarana mereka mencapai cita-cita dengan kemampuan yang aku bisa.

Karya: Abd. Rahman M

Akhir Tahun Di ujung waktu masa yang renta tubuh tua telah gigil akhir tahun menjemputnya kembali bersama waktu yang semakin ganas

Pergi Dia telah pergi semenjak kekasihnya menghilang diterkam senja entah berapa celoteh berhasil diramunya menjadi mantra mantra bernadikan pergi Karya: Armara R

Amulet Senja 1

Pengorbananmu, Bu Ibu, telah banyak kau rangkai bunga-bunga yang bermekaran pada taman hidupku kau rawat dengan belaian lembut kau sirami dengan kasih sayangmu kau jaga dengan dekapan hangatmu hingga aku tumbuh dan dewasa seperti saat ini Ibu kau begitu sabarnya mendidikku tak ada rasa bosan bahkan jenuh yang terbesit di benakmu adalah melakukan yang terbaik demi kesuksesanku

B3

Karya: Novitasari

Karya: Sindi Violinda

Terimakasih Ibu

Pucuk Akhir Tahun

Ibu… rambutmu kini sudah mulai memutih Kulitmu tak lagi kencang Penglihatanmu tak lagi terang Jalanmu kini sudah mulai goyang

Jelang angka baru pada pucuk akhir tahun Masih terdengar seru derai berdentum Angin pun tak henti menjelapak daun Membuatku menyongsong jemu

Sepanjang jalan engkau mengais rezeki Sepanjang waktu engkau menghitung Berapa rezeki yang kau dapat Tuk membayar semua kewajibanmu

Gamam sebab laberang pun putus Ini jemang sekalipun berkelana jauh Namun jika terus menerus Apalah nasib anak dan istriku

Engkau tak lagi dapat membedakan Mana siang dan malam Semangat mengalahkan gemetar kakimu Dan segala rasa lelahmu

Menyambut 2014

Ibu… engkau sudah terlalu banyak berkorban Hanya surga yang pantas membayar tulusmu Hanya Allah yang pantas menjagamu Dunia dan akhirat Ibu… Anakmu kan selalu merindumu Doaku dan setiap hembus nafasku ini Hanya bisa berkata Terima kasih Ibuku…. Untuk semua ikhlasmu

Tangisan Mata Bunda Dalam senyummu Kau sembunyikan letihmu Derita siang dan malam menimpamu Tak sedikitpun langkah menghentikanmu Untuk bisa memberi harapan baru bagiku Sesonggok cacian selalu menghampiriku Secercah hinaan tak peduli bagimu Selalu kau teruskan langkahmu Untuk masa depanku Dan mencari harapan baru lagi untukku Bukan setumpuk emas yang kau harapkan Dalam kesuksesanku nanti Bukan gulungan uang yang kau minta Dalam keberhasilanku nanti Bukan juga sebatang perunggu dalam kemenanganku Tapi… hanya serpihan yang kau inginkan Serpihan dalam kebahagiaanku nanti Betapa besar pengorbananmu untukku ibu Rasa salut menyelimuti hatiku yang kotor ini Salut akan pengorbananmu Salut akan kasih sayangmu Ibu…. Aku tetap menyayangimu dengan ketulusan hatiku

Ini sembilu peraduan Desember Tentang kehidupan selama setahun Kuheningkan pula di akhir tahun Detik-detik menyambut 2014 Jalanan penuh sesak Aku hanya berlabuh di tanah luas Sebelum jarum melewati dua belas Setelah itu, Banyak bom meledakkan jantung Membuat mulut saling beradu “Selamat tahun baru!” Karya: Siti Fatimah Sitepu

Syair Tsunami Tak bertambah perih kenangan kemarin Hilang seluruh pemilik rumah Teduhnya pada zhikir Tuhan Malam ini buta. Lentera ada di sudut mengobat puing-puing ingatan datang bertaut untuk tanggal 26. Menantang badai laut, lantunan syair adalah pengobat Hingga ufuk senja berakhir Syairnya kekal menabuh ampunan

Pucuk Desember Gumpallah awan di titisan langit, leburkan bulan Sedari awal angin relakan minggu ini lebur Bukan kasih tak hadir, hanya Masehi bermetamorfosis berpucuk dan buahnya ranum terus tinggi mengubah mimpi tak sampai ku katupkan jemari, doa munajat dipucuk tahun Desember, akhir ku memulai aksi

Terimakasih atas atensi para penulis yang telah mengirimkan karya cerpen dan puisi ke Redaksi Harian Waspada. Pengiriman karya puisi dan cerpen melalui email: sunanlangkat@yahoo.com

Senja beriring dalam kepingan hujan Yang tampak hanya sedikit bias oranye Senja-senja datang melawan siang Kepalsuan kesedihan semua ada Pada tatapan matanya Senja-senja menuntun malam Seiring dengan hancurnya harap Lepaskan sebuah amulet

Amulet Senja 2 Debu bercampur dengan air hujan Menambah kelamnya sang senja Kapankah segala terjadi Walaupun semua berada dalam genggaman Merintihlah menangislah Agar tenang hati Lebih dari ini Senja senja datang Bersama burung bangau Karya: Ely Rizki

Apa Kabar Desember Apa kabar Desember? Secercah harapan meninggalkan luka Barisan memori menambat menjadi kenangan Pernah kita lalui bersama Desember Memecah tawa dan hanyut oleh gelak canda Desember merajut kisah Membenamkan benci yang pernah ada Apa kabar Desember? Kerlipan indah tetap terasa Seiring hadirnya Januari

Bingkisan Akhir Tahun Telah banyak jalan yang kita singgahi Awal hingga akhir tiada terlewatkan Pohon itu, tempat aku menantimu. Bangku itu, tempat kita berbagi cerita, dengan sepotong kue yang kupunya Ini tentang kita Merajut kata hingga menjadi cerita Menyatukan asa dalam buaian khayal berdua Di penghujung tahun ini. Kisah lama kita kurampung dalam aksara. Berharap kan jadi bingkisan terindah di akhir tahun Karya: Mentari Syahputri

Pada Sebuah Senja Pada sebuah senja yang senantiasa merekah Sampaikan padanya, bahwa malamlah Yang akan menceburkan kita dalam sebuah mimpi Diarak dan disusun sebelum menjelang pagi

Senja Satu Desember Masihkah kau akan setia? Pada senja yang selalu Kita ceritakan Pula dengan rindu Yang tak jemu kita dendangkan Senja satu Desember Sayang kita belum bisa Melewatinya bersama

*** Bulan ini, tepat dua tahun setelah kepergian Ayah. Proyek pembanguan di Nias sudah selesai. Uang yang ku kumpulkan rupiah demi rupiah pun ku rasa cukup untuk memasang batu nisan di makam Ayah. “Cukup yang sederhana aja buat nisan Ayah, Rik!” Balas Ibu yang tidak menduga rencanaku tersebut. “Iya, Bu. Lagi pula sebulan lagi kita akan merayakan wisuda kakak.Hanyainginketikakitaberkunjung ke makam, keadaannya lebih baik dari setumpuk tanah saja.” Hari ini sepulang merayakan wisuda kakak di Kampus, kami langsung bergerak ke makam berbekal angkot sewaan , air mawar, dan tidak lupa kami membawa bunga mawar. Bunga ini sudah menjadi bagian dari Ayah. Bahkan semasa hidupnya Ayah rajin sekali merawat bunga yang diselimuti duri-duri tajam tersebut. Untuk yang satu ini, kami ambil sendiri dari tanamannya yang selama ini Ibu lah yang meneruskan merawat bungabunga mawar Ayah. Sore yang cukup cerah menjadi saksi betapa janjiku tepat di atas pusaran ini dua tahun silam terwujud. Kini, makam Ayah sudah memiliki nisan berhiaskan seikat mawar segar. Tidak seperti selama ini hanya dikelilingi batubatu besar untuk menandainya. Terlebih lagi, kunjungan ini diikuti dengan kebahagiaan kami bisa melihat kakak mendapatkan gelarsarjananya.Sungguhperjuangan yang tidak sia-sia. Akhirnya terbayar sudah jerih payahku. Nazar di atas makam itu sudah terbayar. Akhirnya aku bisa tenang menikmati sisa-sisa waktuku. Kini sudah saatnya aku meninggalkanhiruk-pikukdunia. Hingga gelap ku lihat ujung jalan pulang itu.

Karya: Latifah Harahap

Kembali Terselip Hampa Jenjang kerau yang padam Terselip hampa yang menjamah Tertusuk batinku yang terikat Tetap terasa sesak Dan hampa mendesak Hampa hampa Menerawang kesah mendulang Sudahlah sesak parau terselip Biarkan berlalu

Mengenang Desember Tak terasa penghujung waktu sudah Tak tahu lagi apa yang akan terjadi Hanya bisa mengenang dan lihat Berharap sebuah indah kan ada Desember-desember lalu’memerang Kini tinggal tiba saja Akan menempuh hari yang panas Penuh dengan bara Karya: Marataon Nasution

Selamat Tahun Baru Selamat tahun baru Buatmu sahabat yang Masih suka mengemis Harta karun rakyat Janganlah sahabat... Menggigit seperti tikus Menyeroboti kardus Kehidupan yang Masih disiapkan Tuk sekuntum petang

Selamat Tinggal Selamat tinggal dosaku Kini jatah baru datang Pada impiku yang hangat Pada naskah baru yang Terinspirasi oleh juri Dalam petualangan bisu Di tengah kiprah raja Yang pandai melucu itu Karya: Aswita M Simarmata

Menutup Tahun Aku tutup tahun lewat rangkaian kata kata ini bukan sembarang kata kata terangkai bersama puisi menyatu dalam doa menutup tahun di sini

Desember Penghabisan Entah berapa ribu puisi telah tercipta lewat angin, lewat senja terangkum menjadi satu di desember terakhir nama kita menjadi doa terakhir di waktu nanti

Lembar Baru Aku buka lembaran satu di lembaran pertama ada sesuatu hal yang entah sampai kapan pun akan tetap di sini nama itu tersimpan kasih Karya: Zakiyah R Sihombing

Dua Ribu Empat Belas Dua ribu empat belas kali tahun berganti Nol koma sekian dari kunikmati Rupa-rupa nan indah Menyeringai meninggalkan kenangan Menyibak lembaran baru Menuai kebahagiaan baru

Tahun Baru Kujelajahi malam bergema Riuh terompet memenuhi jalanan sesak Porak porandakan sang manusia Menggelapkan masa lalu Benderangkan masa datang Tawa tahun baru masih berdendang Memenuhi sisa malam


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.