Waspada, minggu 24 jun i 2018 revisi

Page 14

WASPADA

B6

Minggu 24 Juni 2018

Pengantar: Setiap tanggal 22 Juni dikenang oleh umat Muslim Indonesia sebagai hari kelahiran Piagam Jakarta. Tetapi, tampaknya, sebagian umat di luar Islam masih tetap menjadikan Piagam Jakarta sebagai momok yang menakutkan. Padahal, Piagam Jakarta bukanlah barang haram di negara ini. Bahkan, dalam Dekritnya pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan tegas mencantumkan, bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi UUD 1945.” Jadi, Dekrit Presiden Soekarno itulah yang menempatkan Piagam Jakarta sebagai bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945. Dekrit Presiden itulah yang kembali memberlakukan Pancasila yang sekarang. Menteri Agama, Jenderal Alamsjah Ratu Perwiranegara, pernah mengatakan bahwa Pancasila adalah hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada Republik Indonesia.” (Red)

Pancasila, Hadiah Terbesar Umat Islam Piagam Jakarta adalah naskah pembukaan (preambule) UUD 1945 yang disiapkan untuk konstitusi Negara Indonesia merdeka. Ketika naskah pembukaan itu sudah disepakati, maka naskah-naskah rincian pasalpasal dalam UUD 1945 masih menjadi persoalan. Dalam rapat tanggal 13 Juli 1945, Wachid Hasjim mengusulkan, agar Presiden adalah orang Indonesia asli dan “yang beragama Islam”. Begitu juga draft pasal 29 diubah dengan ungkapan: “Agama Negara ialah agama Islam”, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk dan sebagainya. Kata Wachid Hasjim: “Hal ini erat perhubungan dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.” Berbagai macam pemahaman tentang hadirnya sebuah Piagam Jakarta yang telah dihasilkan oleh panitia Sembilan dalam musyawarahnya yang cukup rumit yang telah menjadi wakil akan seluruh rakyat Indonesia di saat itu. Dalam detik-detik yang menentukan menjelang pengesahan Piagam Jakarta, Ir. Soekarno selaku Ketua Panitia Sembilan dengan gigih meyakinkan seluruh anggota sidang BPUPKI untuk menerima rumusan Piagam Jakarta sebagai gentlemen agreement Bangsa Indonesia. Setelah disyahkannya Piagam Jakarta maka timbul pula beberapa sikap dari kelompok Katolik dan Protestan yang menyebabkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan dan diganti dengan kata baru. Maka Piagam Jakarta sampai saat ini perlu dipahami dengan pemahaman yang benar karena dari rumusan itulah muncul Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Sejarah Piagam Jakarta Suatu fakta yang tak dapat dibantah oleh siapapun yakni andaikata Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam sidangnyadi tahun 1945 mereka tidak menghasilkan konsensus nasional tentang sebuah Dasar Negara Republik Indonesia yang tertuang dalam naskah Piagam Jakarta, maka Bangsa Indonesia tidak akan mendapatkan rumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 seperti yang ada saat ini. P i a g a m Ja k a r t a y a n g memuat dan berisi tentang rumusan resmi pertama kali sebuah Pancasila bagi Republik ini, disusun dan ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 oleh sembilan pemimpin terkemuka Indonesia, berikut nama- nama yang menjadi anggota Panitia Sembilan dari BPUPKI, yaitu: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Ahmad Subardjo, KHA Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin. Dalam detik-detik yang menentukan menjelang pengesahan Piagam Jakarta, Ir. Soekarno selaku Ketua Panitia Sembilan dengan gigih meyakinkan seluruh

anggota sidang BPUPKI untuk menerima rumusan Piagam Jakarta sebagai gentlemen agreement bangsa Indonesia. BPUPKI adalah satu-satunya badan yang paling representatif untuk mewakili bangsa Indonesia ketika itu, baik dari segi keterwakilan suku, agama maupun aliran politik. Piagam Jakarta dari segi substansi maupun spiritnya merupakan kristalisasi cita-cita bangsa dan tujuan bernegara serta perjanjian luhur yang menjiwai proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun sebagaimana diketahui sehari setelah proklamasi kemerdekaan, pada tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin Islam bersedia mencoret tujuh kata yang tertuang dibelakang kata Ketuhanan, yaitu, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemelukpemeluknya. Perubahan yang fundamental tersebut terjadi karena sore hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Bung Karno dan Bung Hatta yakni tanggal 17 Agustus 1945 itu, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) datang menemui Bung Hatta, menyampaikan bahwa wakilwakil dari agama Protestan dan agama Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang menyatakan keberatan terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang dirumuskan oleh panitia Sembilan dalam bunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Mereka para wakil-wakil katolik dan protestan mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam saja. Bung Hatta kemudian menemui beberapa pemimpin Islam untuk membicarakan hal tersebut, yakni Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Muhammad Hasan. Mantan Menteri Luar Negeri dan tokoh diplomasi kemerdekaan RI Mr. Mohamad Roem menulis, “Hilangnya tujuh perkataan (dalam Piagam Jakarta, pen) dirasakan oleh umat Islam sebagai kerugian besar dan tidak jarang yang menyayangkannya. Tetapi, k a re n a h i l a n g n y a t u j u h perkataan itu dimaksudkan agar golongan Protestan dan Katolik jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia, maka umat Islam bersedia memberi korban yang besar itu. Karena itu, Menteri Agama, Jenderal Alamsjah Ratu Perwiranegara, pernah mengatakan bahwa Pancasila adalah hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada Republik Indonesia.” Keputusan yang diambil oleh beberapa pemimpin Islam dalam waktu yang sangatsingkat itu, sungguh mencerminkan sikap kenegarawanan dan komitmen terhadap persatuan dan kesatuan bangsa yang tiada bandingnya dalam sejarah Republik Indonesia. Dalam kaitan ini Bung Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi (1970) menyatakan, “Pada waktu itu kami menginsyafi bahwa semangat Piagam

Presiden Soekarno dan rekan-rekannya

Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan menggantinya dengan kalimat yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hal-hal yang mengenai syariat Islam yang berhubungan dengan kepentingan umat Islam, menurut Hatta, dapat diajukan ke DPR untuk diatur dalam bentuk Undang-Undang. Dalam perkembangan politik nasional setelah Majelis Konstituante yang dibentuk berdasarkan Pemilu 1955 berlarut-larut dalam merumuskan perubahan UUD, Presiden Soekarno atas desakan TNI Angkatan Darat mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konsiderans Dekrit 5 Juli tersebut, Presiden Soekarno atas nama rakyat Indonesia menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juli 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar. Isi Piagam Jakarta Piagam Jakarta adalah hasil musyawarah tentang Dasar Negara Indonesia yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 antara pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis). Panitia Sembilan merupakan panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI. Di dalam Piagam Jakarta terdapat lima butir yang setelahnya menjadi Pancasila dari lima butir, sebagai berikut: 1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD setelah butir pertama diganti menjadi KetuhananYang Maha Esa. Perubahan butir pertama dilakukan oleh Drs. M. Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. Naskah Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan ejaan Republik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin. Berikut adalah naskah piagam Jakarta : Naskah Piagam Jakarta Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasarkan kepada KeTuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab,Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jakarta, 22 Juni 1945 IR. SOEKARNO Drs. MOHAMMAD HATTA Mr. AA. MARAMIS ABIKUSNO TJOKROSURJO ABDUL KAHAR MUZAKIR H. AGUS SALIM Mr. ACHMAD SOEBARDJO WACHID HASJIM Piagam Jakarta sebagai momok Setiap tanggal 22 Juni biasanya dikenang oleh umat Muslim Indonesia sebagai hari kelahiran Piagam Jakarta. Tetapi, tampaknya, sebagian umat di luar Islam masih tetap menjadikan Piagam Jakarta sebagai momok yang menakutkan. Padahal, Piagam Jakarta bukanlah barang haram di negara ini. Bahkan, dalam Dekritnya pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan tegas mencantumkan, bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Sikap antipati oleh sebagian umat di luar Islam tentulah bukan hal yang baru. Mereka berpendapat, bahwa penerapan syariat Islam di Indonesia bertentangan dengan Pancasila. Pada era 1970-1980-an, logika semacam ini sering kita jumpai. Para siswi yang berjilbab di sekolahnya, dikatakan anti Pancasila. Pegawai negeri yang tidak mau menghadiri perayaan Natal Bersama, juga bisa dicap anti Pancasila. Pejabat yang enggan menjawab tes mental, bahwa ia tidak setuju

Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta (dok Kompas) untuk menikahkan anaknya dengan orang yang berbeda, juga bisa dicap anti-Pancasila. Kini, di era reformasi, sebagian kalangan juga kembali menggunakan senjata Pancasila untuk membungkam aspirasi keagamaan kaum Muslim. Rumusan Pancasila yang sekarang adalah: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rumusan Pancasila tersebut adalah yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan hasil dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang dengan tegas menyatakan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Jadi, Dekr it Presiden Soekarno itulah yang menempatkan Piagam Jakarta sebagai bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, UUD 1945. Dekrit Presiden itulah yang kembali memberlakukan Pancasila yang sekarang. Prof. Kasman Singodimedjo, yang terlibat dalam lobi-lobi tanggal 18 Agustus 1945 di PPKI, menyatakan, bahwa Dekrit 5 Juli 1959 bersifat “einmalig”, artinya berlaku untuk selama-lamanya (tidak dapat dicabut). “Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 tersebut,” Karena itu, adalah sangat aneh jika masih saja ada pihakpihak tertentu di Indonesia yang alergi terhadap Piagam Jakarta. Dr. Roeslan Abdulgani, tokoh utama PNI, selaku Wakil Ketua DPA dan Ketua Pembina Jiwa Revolusi, menulis: “Tegas-tegas di dalam Dekrit ini ditempatkan secara wajar dan secara histories-jujur posisi dan fungsi Jakarta Charter tersebut dalam hubungannya dengan UUD Proklamasi dan Revolusi kita yakni: Jakarta Charter sebagai menjiwai UUD ’45 dan Jakarta Charter sebagai merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD ’45.” Dalam pidatonya pada hari peringatan Piagam Jakarta tanggal 29 Juni 1968 di Gedung Pola Jakarta Menteri Agama ketika itu mengatakan: “Bahwa di atas segala-galanya, memang syariat Islam di Indonesia telah berabad-abad dilaksanakan secara konsekuen oleh rakyat Indonesia, sehingga ia bukan hanya sumber hukum, malahan ia telah menjadi kenyataan, di dalam kehidupan rakyat Indonesia sehari-hari yang telah menjadi adat yang mendarah daging. Hanya pemerintah kolonial Belandalah yang tidak mau menformilkan segala hukum yang berlaku di kalangan rakyat kita itu, walaupun ia telah menjadi ikatan-ikatan hukum dalam kehidupan mereka sehari-hari.” Meskipun Piagam Jakarta adalah bagian yang sah dan tidak terpisahkan dari UUD

Pancasila, Piagam Jakarta, dan Debat Dasar Negara 1945, tetapi dalam sejarah perjalanan bangsa, senantiasa ada usaha keras untuk menutup-nutupi hal ini. Di zaman Orde Lama, sebelum G-30S/PKI, kalangan komunis sangat aktif dalam upaya memanipulasi kedudukan Piagam Jakarta. Ajip Rosidi, sastrawan terkenal menulis dalam buku, Beberapa Masalah Umat Islam Indonesia (1970): “Pada zaman pra-Gestapu, PKI beserta antek-anteknyalah yang paling takut kalau mendengar perkataan Piagam Jakarta. Ketakutan akan Piagam Jakarta, terutama ke-7 patah kata itu bukan hanya monopoli PKI dan antek-anteknya saja. Sekarang pun setelah PKI beserta antek-anteknya dinyatakan bubar, masih ada kita dengar tanggapan yang aneh terhadapnya.” Jadi, sikap alergi terhadap Piagam Jakarta jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Negara RI, UUD 1945. Meskipun secara verbal “tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) telah terhapus dari naskah Pembukaan UUD 1945, tetapi kedudukan Piagam Jakarta sangatlah jelas, sebagaimana ditegaskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah itu, Piagam Jakarta juga merupakan sumber hukum yang hidup. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setelah tahun 1959 merujuk atau menjadikan Piagam Jakarta sebagai konsideran. Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan: “Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama:“bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut…”. Ridwan berpendapat, bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup di tengah

masyarakat Muslim. Tanpa UUD atau tanpa negara pun, umat Islam akan menjalankan syariat Islam. Karena itu, Piagam Jakarta, sebenarnya mengakui hak orang Islam untuk menjalankan syariatnya. Dan itu telah diatur dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dituangkan dalam Keppres No. 150/tahun 1959 sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara No. 75/tahun 1959. Hukum Islam telah diterapkan di bumi Indonesia ini selama ratusan tahun, jauh sebelum kaum penjajah Kristen datang ke negeri ini. Selama beratus-ratus tahun pula, penjajah Kristen Belanda berusaha menggusur hukum Islam dari bumi Indonesia. C. van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje, misalnya, tercatat sebagai sarjana Belanda yang sangat gigih dalam menggusur hukum Islam. Tapi, usaha mereka tidak berhasil sepenuhnya. Hukum Islam akhirnya tetap diakui sebagai bagian dari sistem hukum di wilayah Hindia Belanda. Melalui RegeeringsReglement, disingkat RR, biasa diterjemahkan sebagai Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda (APH), pasal 173 ditentukan bahwa: “Tiap-tiap orang boleh mengakui hukum dan aturan agamanya dengan semerdekamerdekanya, asal pergaulan umum (maatschappij) dan anggotanya diperlindungi dari pelanggaran undangundang umum tentang hukum hukuman (strafstrecht).” Jadi, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga, Belanda akhirnya tidak berhasil sepenuhnya menggusur syariat Islam dari bumi Indonesia. Ridwan menulis: “Sampai dengan berakhirnya masa VOC tahun 1799, VOC terus berkutat untuk melakukan unifikasi hukum dengan sedapat mungkin menyingkirkan hukum Islam, tetapi sampai munculnya Pemerintah Hindia Belanda usaha itu sia-sia belaka.” Kegagalan penjajah Kristen Belanda untuk menggusur syariat Islam, harusnya menjadi pelajaran berharga bagi umat lain. Kesimpulan Piagam Jakarta merupakan rumusan resmi pertama kali Pancasila bagi Republik ini, disusun dan ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 oleh sembilan pemimpin terkemuka Indonesia, berikut nama- nama yang menjadi anggota Panitia Sembilan dari

BPUPKI, yaitu: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Ahmad Subardjo, KHA Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin. Piagam Jakarta merupakan kristalisasi cita-cita bangsa dan tujuan bernegara serta perjanjian luhur yang menjiwai proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Di dalam Piagam Jakarta terdapat lima butir yang setelahnya menjadi Pancasila dari lima butir, sebagai berikut: 1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Sore hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 itu, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) datang menemui Bung Hatta, menyampaikan bahwa wakil-wakil dari agama Protestan dan agama Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang menyatakan keberatan terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang dirumuskan oleh panitia Sembilan dalambunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai rakyat yang beragama Islam saja. “Hilangnya tujuh perkataan (dalam Piagam Jakarta, pen) dirasakan oleh umat Islam sebagai kerugian besar dan tidak jarang yang menyayangkannya. Tetapi, karena hilangnya tujuh perkataan itu dimaksudkan agar golongan Protestan dan Katolik jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia, maka umat Islam bersedia memberi korban yang besar itu.Keputusan yang diambil oleh beberapa pemimpin Islam dalam waktu yang sangat singkat itu, sungguh mencerminkan sikap kenegarawanan dan komitmen terhadap persatuan dan kesatuan bangsa yang tiada bandingnya dalam sejarah Republik Indonesia. (m05/net/berbagaisumber)


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.