B11 Pariwisata Nanar Menatap Kecantikan Beuti Canar
WASPADA Minggu 22 Maret 2015
NAMANYA terdengar unik dan cantik, Beuti Canar. Berasal dari dua kata Bahasa Sunda lokal yakni Beuti yang bermakna umbi dan Canar berarti duri. Sesuai namanya, gunung sepi ini berhutan penuh tanaman merambat berduri. Namun keberadaannya diselimuti banyak pesona yang membuat mata ini nanar menatapnya. Kalau saya sebut Gunung Gede, Ceremai, dan Papandayan, saya yakin sebagian besar pecinta alam dan pendaki gunung Indonesia, terlebih di Jawa pasti sudah paham betul. Maklum ketiga gunung itu merupakan gunung terpopuler di Jawa Barat, artinya paling sering didaki alias pasaran. Artikel atau tulisan terkait ketiga gunung tersebut pun sudah over exspose. Begitupun dengan Gunung Galunggung, rasanya nama gunung di Tasikmalaya itu pun tidak begitu asing di telinga. Apalagi letusan terakhirnya mend u n i a . Ta p i k a l a u s a y a bilang Gunung Beuti Canar, saya yakin banyak yang tidak tahu atau bahkan baru kali ini mendengarnya. Beuti Canar memang bukan gunung tersohor di Jawa Barat, apalagi di Indonesia. Gunung berketinggian 2.240 meter di atas permukaan laut (Mdpl) atau setara 7.349 kaki ini disebutsebut sebagai puncaknya Gunung Galunggung yang pernah meletus hebat 5 Mei 1982. Letusan yang berlangsung 9 bulan hingga 8 Januari 1983 tersebut meninggalkan deretan punggungan Gunung Beuti Canar dan Gunung Canar yang memagari kawah kaldera Galunggung yang luas bak mangkuk raksasa. Gunung Beuti Canar sendiri berada tepat di belakang kawah Gunung Galunggung sekaligus menjadi atapnya Tasikmalaya yang berjarak sekitar 17 Km dari pusat kota. Pertama kali mendengar nama Beuti Canar saya langsung terpikat. Rasa penasaran dan gairah petua-
langan pun berdenyut kencang. Saya merasa kembali ke usia belasan tahun, laksana pria muda yang tengah terpesona gadis ranum nan harum. Begitulah emosi yang muncul setiap kali mendengar nama gunung tak popular, yang belum pernah saya daki dan kabarnya punya kelebihan tersendiri, termasuk Beuti Canar ini. Ketika Asep Puswantoro mengajak saya mendaki Gunung Beuti Canar, ajakannya itu pun langsung saya sambut. “Tanggung kalau cuma ke Talaga Bodas, kita nanjak Beuti Canar aja sekalian,” ajak Kang Asep, begitu biasa saya panggil. Usai menyiapkan perlengkapan pendakian, logistik, air, tenda, dan parang atau golok, kami pun berangkat. Dani dan Tandang, dua rekan Kang Asep ikut serta. Dari belakang Pasar Wanareja, Garut, kami naik tiga sepeda motor menuju Talaga Bodas yang berada di Desa Sukamenak, Kecamatan Wanareja. Ketika itu jalanan masih rusak, tidak semulus sekarang. Butuh waktu 1,5 jam untuk sampai pintu masuk Talaga Bodas yang berjarak sekitar 8 Km dari Pasar Wanareja, sedangkan dari Terminal Guntur Kota Garut sekitar 20 Km dan dari Bandung sekitar 83 Km. Akses Wanaraja ke Talaga Bodas dulu memang rusak parah, bergelombang dan berbatu besar. Hanya para pecinta alam dan pendaki gunung tangguh serta warga lokal yang mampu menapakinya. Tapi kini kendaraan roda dua dan empat non 4WD pun sudah bisa sampai pintu masuk Talaga Bodas, termasuk dari arah Rajapola, Tasikmalaya. Setibanya di Talaga Bodas, kami mampir di pondok Opalin atau Organisasi Perlindungan Alam dan Hutan Indonesia di dekat pintu masuk. Sekarang pondoknya sudah tidak ada. Belakangan berdiri pos Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Taman Wisata Alam (TWA) Gunung
PUNCAK Gunung Canar di sebelah Utara dari Puncak Beuti Canar.
Ta l a g a B o d a s, m a k l u m kawasan seluas 23,83 hektar ini dikelola oleh BKSDA Jawa Barat II dengan status kepemilikan lahan oleh Kementerian Kehutanan. Opalin yang didirikan Kang Asep 2005 lalu ini bertugas memberikan penyuluhan tentang konservasi hutan kepada pelajar dan masyarakat. Tujuannya mengamankan areal hutan konservasi TWA Gunung Talaga Bodas dan sekitarnya dari gangguan pencurian kayu, perburuan burung, pemungutan kayu bakar, dan pengembalaan ternak. Organisasi lingkungan nirlaba ini, lanjut Kang Asep juga kerap mengkritisi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lapangan atas Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang merupakan program Perum Perhutani serta untuk mencegah bencana yang lebih besar seperti longsor dan kekurangan sumber air. “Kami
KANG Asep, Tandang, dan penulis berfoto bersama di Puncak Beuti Canar sebelum turun.
hanya ingin cari solusi agar hutan yang tinggal sedikit ini tidak dirusak orang yang hanya memikirkan perut dan keuntungan sepihak,” sindir Kang Asep yang kini masih menjadi Ketua Opalin. Selepas santap siang di warung dekat pintu masuk, kami beranjak menuju Talaga Bodas. Danau kawah yang berada di ketinggian 1.512 Mdpl ini menjadi d a y a p i k a t u t a m a T WA Gunung Talaga Bodas. Biasanya orang yang berkunjung termasuk para pendaki cuma mentok di sini, terpana dengan keindahannya yang mirip dengan Kawah Putih dengan Gunung Patuha-nya di Kabupaten Bandung. Di danau kawah berwarna putih kehijauan ini, pengunjung biasanya melakukan berbagai aktivitas seperti camping, hunting photography, dan relaxing jalan-jalan santai ataupun berendam di kolam-kolam air panasnya yang mengandung belerang yang dipercaya dapat menyegarkan lelah dan menyembuhkan berbagai penyakit terutama reumatik dan kulit. Usai melewati tepian Talaga Bodas sebelah kanan lalu kami masuk hutan. Sekitar satu jam berjalan kami keluar dari hutan, lalu bertemu Kawah Saat yang berada di ketinggian 1.827 Mdpl. Kawah ini berupa daerah terbuka langsung di bawah punggungan Gunung Talaga Bodas dan Gunung Canar yang bebatuan dan beberapa pohonnya berwarna kemerahan. Kawahnya berpasir kering dengan beberapa pohon terbakar dan vegetasinya jarang. Tempat ini cocok untuk istirahat sejenak. Saya
pun mengambil gambar kawah ini mulai dari bentuk kawah, bebatuan, vegetasi, dan landscape-nya. Dari tepi Kawah Saat, kami mengambil jalur di sebelah kiri memasuki hutan lagi dan melintasi sungai kecil tempat terakhir untuk pasokan air. Selanjutnya melewati tanjakan batu kecil yang mengarah tepat ke arah bahu punggungan antara Gunung Beuti Canar yang berada lebih jauh ke Selatan dan Gunung Canar (2.211Mdpl) di sebelah Utara. Dani yang berada di depan mulai mencari-cari jalur. Sesekali pemuda gagah ini menerabas semak-semak yang menutupi jalur dengan parang. Beberapa trek di jalur ini memang sudah tertutup ilalang. Ini bukti gunung ini sedikit sekali pengunjungnya. Bukti kuat lainnya jalurnya relatif bersih dari sampah pendaki. Keasrian dan kebersihan jalur pendakian inilah yang menjadi kelebihan lain Beuti Canar. Saya yakin gunung-gunung lain terlebih gunung popular yang jalur pendakian dipenuhi sampah pendaki tak bertanggungjawab, bakal cemburu dibuatnya. Hari mulai gelap. Untunglah Dani menemukan trek yang benar. Dia mengikuti tali rafia berwarna biru dan pita kuning hingga akhirnya mencapai ketinggian ‘puncak’ kecil di ketinggian 1.980 Mdpl sebelum naik ke sadel antara Beuti Canar dan Canar. Dari sadel inilah bagian tersulit dari medan Beuti Canar berupa punggungan tipis menanjak. Kini saya berada paling depan, menerobos belukar di punggungan itu. Untung banyak akar pohon sebagai
pegangan sekaligus berfungsi sebagai tali untuk menarik diri. Gelap malam semakin menyulitkan pergerakan, tak ada pilihan selain terus nanjak perlahan dengan bantuan sinar lampu senter hingga terus ke Selatan. Akhirnya kami tiba di puncak Gunung Beuti Canar sekitar pukul 8 malam. Di puncak ada tanah datar. Kami langsung memasang tenda dome berkapasitas 4 orang. Saat melihat tanah datar di puncaknya dengan beberapa pohon di belakangnya mengingatkan saya akan puncak Gunung Rajabasa di Lampung Selatan. Sebelum tidur, kami masak untuk santap malam dan tak lama kemudian terlelap dininabobokan angin dingin Beuti Canar. Dini hari saya terjaga. Keluar tenda lalu mengabadikan pesona sunrise yang masih malu-malu muncul namun perlahan
menerangi hamparan awan hitam keabu-abuan. Lambat laut bias surya menerangi puncak Beuti Canar. Di kejauhan terlihat Gunung Canar di sebelah Utara, wilayah Tasikmalaya, dan beberapa lembah sekitarnya di Timur. Kawah Galunggung tidak terlihat dari sini, tetapi ada beberapa bagian berwarna putih terlihat samar-samar di kejauhan di sisi Utara dan Gunung Guntur nampak kecil jauh di Selatan. Di sebuah pohon dekat puncak ada tanda ‘Gempala’ dibuat oleh sekelompok mahasiswa yang mendaki Beuti Canar dari arah Tasikmalaya. Usai sarapan dan berfoto bersama, kami segera menuruni puncak Beuti Canar kembali melewati jalur yang sama sewaktu mendaki, melewati punggungan berhutan yang kiri-kanannya menganga jurang dalam, lalu turun Kawah Saat, masuk hutan lagi sampai akhirnya tiba di Talaga Bodas. Kang Asep dan Tandang segera melepas pakaian, langsung berendam di kolam air panas. Sementara Dani santai di dekat warung kecil. Di area kolam rendam air panas terdiri dari 2 kolam besar berukuran 5 x 10 meter dengan kedalaman hingga 1,5 meter. Airnya berwarna putih keabuabuan. Asap putih mengepul dari permukaan airnya. Tercium pula aroma belerang yang tidak terlalu menyengat. Tadinya saya mau ikutan berendam, tapi siang itu pengunjungnya agak ramai jadi batal. Cuma rendam kaki dan cuci muka dengan air hangatnya. Hmmmm… segar. Perlu diingat, air Talaga Bodas dan kolam-kolam air hangatnya tidak untuk diminum, karena kandungan belerangnya tinggi. Jika Anda tertarik mendaki Beuti Canar usai membaca tulisan ini, sebaiknya membawa air minum dan bekal yang cukup serta perlengkapan bermalam se-
perti tenda dan sleeping bag. Bawa pula parang untuk menerabas semak belukar di beberapa jalurnya yang tertutup. Jangan lupa bawa kantung plastik kuat untuk membawa turun sampah sisa logistik Anda. Ada baiknya Anda ditemani penduduk lokal yang paham jalur pendakiannya. Anda bisa menemui Mang Udin anggota Opalin di dekat pintu masuk Talaga Bodas untuk meminta bantuan panduan. Pasalnya sulit menemukan trek pendakian ke gunung sunyi ini terutama setelah Kawah Saat dan seterusnya. Kurang teliti bisa nyasar, apalagi banyak trek para pemburu atau pencari kayu. Belum lama ini sekelompok pendaki dari Jakarta dikabarkan gagal mencapai puncaknya. Mereka cuma sampai di Kawah Saat lalu balik lagi usai beberapa kali tak berhasil menemukan trek sebenarnya menuju puncak Beuti Canar. Rute pendakian ke Beuti Canar selain dari Talaga Bodas, Wanareja, Garut juga dari Cisayong, Tasikmalaya yang rutenya jauh lebih panjang dan menantang dibanding rute dari Talaga Bodas. Kalau Anda memilih lewat jalur Talaga Bodas dengan menggunakan kendaraan umum, dari Terminal Guntur naik angkot berwarna merah putih ke Wanareja Rp 6.000 per orang. Lalu dari Pasar Wanareja naik ojek sepeda motor Rp 35.000 (harga sebelum BBM naik) ke Telaga Bodas sekitar 30 menit. Rencananya tahun depan saya mau balik mendaki Beuti Canar lagi. Hati masih penasaran ingin mencoba jalur trek dari Tasikmalaya lalu turun lewat Wanareja ataupun sebaliknya. Mata masih ingin menatap ‘keelokan’ lain Beuti Canar dengan tatapan nanar karena terpesona keasrian dan kesunyiannya yang menawan. Naskah & foto: adji k.
BERENDAM di kolam air panas Talaga Bodas usai turun dari Puncak Beuti Canar.
Cara Elang Menjaga Habitatnya GUNUNG Batu namanya. Tapi bukan berarti cuma ada bongkahan batu tegak dan cadas setinggi sekitar 250 meter yang setia menunggu dicumbu lagi oleh para pemanjat tebing alami. Gunung berdiri tegar setinggi 875 Mdpl di Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat ini senantiasa dijaga elang yang resah mengawasi arena bermainnya itu siang malam. Kaki tebing gunung ini pun dihijaukan sedikit hutan, termasuk hutan hasil reboisasi. Pepohonan di dalamnya lumayan tinggi-tinggi, bercampur dengan semak belukar.Tapi tidak serapat hutan asli dataran rendah. Kendati begitu, hutannya itu berguna menjadi tempat singgah bahkan sarang sejumlah burung. Sayangnya jumlah burung di kawasan ini sepertinya semakin berkurang, akibat perburuan. Buktinya di beberapa rumah warga setempat, ada yang memelihara burung-burung hias nan cantik, elok dipandang. Ukurannya kecil dan bulunya ada yang berwarna cerah biru, kuning, dan merah. Setiap burung dikurung dalam sangkar kayu yang lumayan bagus. Ketika ditanya dari mana
burung-burung tersebut, seorang warga tanpa sungkan mengatakan beberapa dari hasil menangkap di hutan Gunung Batu dan sekitarnya. Mendengar jawabannya, saya langsung teringat kisah serupa yang terjadi di hutan Gunung Beuti Canar dan sekitar Talaga Bodas di Garut, masih Jawa Barat. Di sana juga dikabarkan kerap terjadi perburuan burung-burung hias sejak lama. Setiap kali melihat burungburung mungil berbulu warnawarni itu dalam sangkar, entah mengapa selalu hadir rasa iba. Burung yang dikurung itu memang tidak perlu susah payah mencari makan untuk menyambung hidup. Pemiliknya sudah menyediakan makanan dan minuman. Itu jika pemiliknya baik.Tapi bagaimana kalau dia jahat atau seketika waktu lupa memberi makan dan minum burung malang itu? Alangkah menderitanya dia. Menyandera burung di dalam sangkar semewah apapun lengkap dengan makan dan minum yang lebih dari cukup, tetap saja telah merampas hak asasinya sebagai burung. Bagaimana tidak, keberadaan kedua sayapnya jadi sia-sia. Sebutannya sebagai burung, tak berarti lagi. Sebab dia tidak bisa
ELANG mengawasi arena bermainnya di Gunung Batu, Jabar. bebas terbang di langit luas, kemanapun dia suka. Bukankah itu sejatinya mahluk bernama burung? Dia semestinya tinggal di alam raya, menemukan jodohnya, bercinta, dan meme-
lihara keturunannya sampai anak-anaknya tumbuh besar, memiliki sayap yang kuat, dan bisa terbang mandiri. Sayangnya banyak orang yang tidak menyadari itu. Dengan berbagai alasan, mereka
foto: saiful a.zy
mencabut kehidupan hakiki burung itu, memenjarakannya. Ada yang mengatasnamakan hobi, kesenangan, keyakinan bisa menjaga sang pemiliknya dari santet, dan lagi-lagi karena nilai ekonomi burung itu yang
cukup menggiurkan, membuat orang tega begitu. Kabarnya seekor burung hias apalagi bersuara merdu harganya bisa jutaan rupiah. Sewaktu menapaki lereng Gunung Batu, saya masih teringat burung-burung hias milik salah satu warga di situ berkicau kesana-kemari, seakan berteriak-teriak minta dilepaskan dari sangkarnya. Tapi apa daya, saya tak bisa melepasnya. Saat mendekati lokasi base camp, seekor elang (eagle) terlihat terbang melayanglayang di langit sore Gunung Batu yang kelabu karena mendung dan berawan pekat. Kendati tak begitu jelas, keberadaan elang itu membuatku terhibur. Untunglah ada Saiful A.Zy yang membawa kamera semi DSLR. Ketua Adat Pemuda Islam Pecinta Alam (PELITA) ini berhasil mengabadikan elang itu kendati kurang memuaskan karena langit semakin gelap. Keesokan harinya, sewaktu Saiful dan rekan-rekan PELITA lainnya menanjak ke puncak utama Gunung Batu, dia melihat elang lagi. Kali ini dia beruntung, elang itu hingga di ranting pohon. Dia pun berhasil mengabadikannya dengan jelas. Saya sempat memujinya. “Ini
jepretan langka de,” tulisku mengomentari foto elang itu yang diupload di instagramnya. Setelah diperhatikan hasil jepretannya, elang gunung itu nampak tengah mengawasi sesuatu. Seolah-olah dia tengah menjaga Gunung Batu dari manusia-manusia pengganggu. Ketika saya perhatikan lagi, sepertinya hewan berdarah panas itu resah dengan kehadiran para pendaki gunung di hari pertama tahun 2015 itu. Mungkin hewan pemangsa mamalia kecil seperti kadal, ayam, tupai, tikus, serangga, dan ular (terutama elang gunung) dan ikan (untuk elang laut) ini menyangka pendakipendaki itu akan memburunya seperti para pemburu burungburung hias selama ini. Padahal kami tidak sama sekali bermaksud untuk itu. Kami datang ke arena mainnya ini untuk menikmati dan mengabadikan pesona alamnya yang menghampar ke segala penjuru arah. Itu saja. Sebelumnya beberapa rekan PELITA juga menemukan jangkrik Gunung Batu. Bentuknya sama seperti jangkring umumnya Cuma nampak lebih bersih dan terang serta berantena panjang. Jangkrik atau
cengkerik yang bernama latin Gryllidae ini pun terlihat lebih bersahabat. Cuma saja hewan yang berkerabat dengan belalang ini tidak bisa diam saat aku hendak memotretnya. Saya tidak tahu apakah jangkrik itu jantan atau betina. Pendaki dari kelompok lainnya juga mengaku bertemu dengan kalajengking, yang termasuk dalam sekelompok hewan beruas dengan delapan kaki (oktopoda), sewaktu turun dari puncak. Ini membuktikan bahwa Gunung Batu dihuni beragam satwa serangga dan unggas. Bahkan ketika Syaiful balik lagi ke gunung ini, dia melihat sekelompok monyet hitam berekor panjang. Mendaki gunung sambil mengabadikan sejumlah faunanya dari spesies serangga, unggas, reptil, dan lainnya ataupun beberapa flora khasnya seperti jamur, bunga liar, anggrek hutan misalnya memberikan keasyikan tersendiri. Semua itu bisa membuat pendakian bernilai lebih. Apalagi bila bahan yang didapat dijadikan data, entah itu untuk keperluan penelitian, artikel tulisan, dan lainnya kemudian dipublikasikan. Naskah: adji k.